pidana

3
Ajaran Kausalitas dalam Hal Perbuatan Pasif Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pid atau tidak pidana positif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi). indak pidana omisi adalah tindak pidana yang ter!uj sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu ke!aji hokum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu ."# Delik omisionis (delicta omissionis) terbagi ata delik omisi yang sebenarnya (yang murni), la$im disebut delicta omissionis dan deli yang tidak murni, la$im disebut delicta commissionis per omissionem commiss omissionis ialah delik, perbuatan atau tindak pidana yang oleh pembuat undang%undang dirumuskan demikian dengan kata lain dinyatakan hanya dapat di!ujudkan dengan perbu pasif, tidak berbuat atau mengabaikan ke!ajiban hukum, di mana seharusnya ia berb &isalnya pasal%pasal '# %'# , ** , **, *", *+, "' K HP. -ebaliknya delicta co ialah perbuatan pidana yang ter!ujud, karena pembuat melanggar larangan unda berbuat aktif terhadap apa yang dilarang. &isalnya dalam pasal%pasal "#*, " " Apakah ajaran kausalitas berlaku juga pada tindak pidana pasif0 ntuk tindakpidana pasif murni (eigenlijke omissie delicten) tidaklah merupakan persoalan, oleh sebab tindak murni itu adalah murni berupa tindak pidana formil, yang dalam hal ter!ujudnya tida akibat, atau tidak bergantung pada akibat, misalnya pada Pasal "1 atau **. Dengan ter!ujudnya perbuatan membiarkan (Pasal "1 ) atau tidak datang (Pasal **) tindak p telah terjadi secara sempurna. 2ain halnya dengan tindak pidana pasif yan (oneigenlijke omissie delicten atau comisionis per ommisionem commissa). indak pid yang tidak murni adalah berupa tindak pidana pasif yang terjadi pada tindak pidana materiil. -ebagaimana diketahui bah!a pada tindak pidana materiil tertentu dapat terjadi deng berbuat, seperti seorang ibu dengan maksud membunuh bayinya sengaja tidak er!ujudnya perbuatan tidak menyusui (!ujud perbuatan menghilangkan secara pasif ny pada ""/) tidak dengan demikian otomatis menimbulkan akibat kematian bayinya, pada saat setelah beberapa hari tidak disusui (perbuatan tidak menyusui bayinya belum meninggal, bisa jadi sedang sekarat yang kemudian diketahui segera dilakukan pertolongan medis, maka bayinya tidak mati, maka yang terjadi adal percobaan pembunuhan (Pasal ""/ jo. Pasal " K H Pidana). "/ Persoalan ini timbul berhubung tindak pidana pasif yang pada dasarnya adalah berupa tindak pidana formil itu, dilakukan pada tindak pidanamateriil, di mana unsur akibat menjadisangatpenting dalam hal untuk ter!ujudnya tindak pidana. Dengan tidak berbuat, misalnya tidak menyusui b menimbulkan akibat terlarang yakni kematian bayinya. Dalam hal yang diterangkan ter inilah yang menimbulkan persoalan. &engenai persoalan ini ada beberapa pandangan, a.Pandangan pertama Pada mulanya timbul pandangan yang berdasarkan pada ilmu penget alam. 4erdasarkan pandangan ini maka 5tidak mungkin ada hubungan antara akibat deng melakukan perbuatan5 (aktif), atau tidak mungkin tidak berbuat apa pun dapat menimbulkan suatu akibat. Pendirian ini tidak memuaskan berhubung dalam hukum tidak harus sama

description

rtiuyt

Transcript of pidana

Ajaran Kausalitas dalam Hal Perbuatan PasifDilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana aktif atau tidak pidana positif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewajiban hokum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu.36 Delik omisionis (delicta omissionis) terbagi atas delik omisi yang sebenarnya (yang murni), lazim disebut delicta omissionis dan delik omisionis yang tidak murni, lazim disebut delicta commissionis per omissionem commissa. Delicta omissionis ialah delik, perbuatan atau tindak pidana yang oleh pembuat undang-undang dirumuskan demikian dengan kata lain dinyatakan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan pasif, tidak berbuat atau mengabaikan kewajiban hukum, di mana seharusnya ia berbuat aktif. Misalnya pasal-pasal 164-165, 224, 522, 523, 529, 531 KUHP. Sebaliknya delicta commissionis ialah perbuatan pidana yang terwujud, karena pembuat melanggar larangan undang-undang, berbuat aktif terhadap apa yang dilarang. Misalnya dalam pasal-pasal 362, 373, 378 KUHP. 37 Apakah ajaran kausalitas berlaku juga pada tindak pidana pasif? Untuk tindak pidana pasif murni (eigenlijke omissie delicten) tidaklah merupakan persoalan, oleh sebab tindak pidana pasif murni itu adalah murni berupa tindak pidana formil, yang dalam hal terwujudnya tidak penting akibat, atau tidak bergantung pada akibat, misalnya pada Pasal 304 atau 522. Dengan terwujudnya perbuatan membiarkan (Pasal 304) atau tidak datang (Pasal 522) tindak pidana itu telah terjadi secara sempurna. Lain halnya dengan tindak pidana pasif yang tidak murni (oneigenlijke omissie delicten atau comisionis per ommisionem commissa). Tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana pasif yang terjadi pada tindak pidana materiil. Sebagaimana diketahui bahwa pada tindak pidana materiil tertentu dapat terjadi dengan tidak berbuat, seperti seorang ibu dengan maksud membunuh bayinya sengaja tidak menyusuinya. Terwujudnya perbuatan tidak menyusui (wujud perbuatan menghilangkan secara pasif nyawa pada 338) tidak dengan demikian otomatis menimbulkan akibat kematian bayinya, mungkin pada saat setelah beberapa hari tidak disusui (perbuatan tidak menyusui telah selesai), tetapi bayinya belum meninggal, bisa jadi sedang sekarat yang kemudian diketahui orang dan lalu segera dilakukan pertolongan medis, maka bayinya tidak mati, maka yang terjadi adalah berupa percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo. Pasal 53 KUH Pidana).38 Persoalan ini timbul berhubung tindak pidana pasif yang pada dasarnya adalah berupa tindak pidana formil itu, dilakukan pada tindak pidana materiil, di mana unsur akibat menjadi sangat penting dalam hal untuk terwujudnya tindak pidana. Dengan tidak berbuat, misalnya tidak menyusui bayinya, dapat menimbulkan akibat terlarang yakni kematian bayinya. Dalam hal yang diterangkan terakhir inilah yang menimbulkan persoalan. Mengenai persoalan ini ada beberapa pandangan, yaitu:a.Pandangan pertama Pada mulanya timbul pandangan yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan alam. Berdasarkan pandangan ini maka "tidak mungkin ada hubungan antara akibat dengan tidak melakukan perbuatan" (aktif), atau tidak mungkin tidak berbuat apa pun dapat menimbulkan suatu akibat. Pendirian ini tidak memuaskan berhubung dalam hukum tidak harus sama dengan ilmu pengetahuan alam, karena hukum adalah mengenai nilai, sedangkan ilmu pengetahuan alam adalah mengenai alam nyata. Dalam kehidupan sehari-hari banyak kejadian-kejadian yang oleh sebab tidak berbuat yang seharusnya yang menimbulkan akibat, yang menurut rasa keadilan masyarakat menuntut pertanggungan jawab pidana terhadap pembuat yang tidak berbuat, seperti pada peristiwa kecelakaan kereta api yang menewaskan sekian banyak orang. Maka adalah tidak mungkin untuk berpegang teguh pada pendapat menurut ilmu pengetahuan alam ini.39 b.Pandangan kedua Pandangan yang disebut dengan "theorie van het anders doen" Atau teori berbuat lain, yaitu didasarkan bahwa perbuatan aktif itu adalah suatu perbuatan apa yang dilakukan pada saat terwujudnya suatu akibat terlarang. Berdasarkan pendirian ini, maka dalam contoh ibu yang tidak berbuat menyusui bayi tadi, dipandang dia berbuat apa pada saat kematian bayinya itu terwujud, misalnya dia sedang berkencan dengan pasangan kumpul kebonya disebuah hotel. Maka tidak berbuat menyusui dan berkencan dengan pasangan kumpul kebonya, dianggap yang menyebabkan kematian bayinya. Pendirian ini pun tidak memuaskan, karena tidak terdapat hubungan antara berkencan dengan matinya bayi.40 c.Pandangan ketiga Pandangan yang ketiga apa yang dimaksud dengan "theorie van het voorafgaande doen" atau teori berbuat sebelumnya. Menurut teori ini, yang harus dipandang sebagai sebab daripada akibat ialah perbuatan yang mendahului pada saat terwujudnya akibat. Contohnya, ialah seorang penjaga wissel KA yang tidak memindahkan wissel ketika kereta api hendak lewat, yang menjadi penyebab adalah karena penerimaan jabatan sebagai petugas wissel sebelum terjadinya akibat kecelakaan kereta api. Pandangan ini juga tidak memuaskan, berhubung tidak ada hubungan antara diterimanya jabatan penjaga wissel dengan kecelakaan kereta api.41d.Pandangan keempat Pandangan keempat ialah didasarkan pada kewajiban hukum yang dimiliki seseorang yang pada waktu dan keadaan tertentu diwajibkan oleh hukum harus berbuat. Apabila karena hukum seseorang wajib berbuat, dan kemudian dia tidak berbuat yang menimbulkan akibat, maka sebab dari akibat itu adalah terletak pada dimilikinya kewajiban hukum tersebut. Pelopor pandangan ini ialah Van Hamel yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak berbuat, ia tidak dapat dianggap menyebabkan suatu akibat, apabila dia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat (als de dader de rechtsplicht heft om te doen). Kewajiban hukum timbul dari 3 macam, yaitu: (1) pekerjaan atau jabatan, (2) ditetapkan oleh hukum, dan (3) kepatutan yang diakui dan dijunjung tinggi oleh masyarakat (maatschapelijke betamelijkheid). Oleh karena itu untuk mengetahui apakah pada seseorang yang tidak berbuat yang karenanya menimbulkan suatu akibat, memiliki kewajiban hukum untuk berbuat (tidak menimbulkan akibat terlarang itu) adalah mencarinya dari tiga macam sumber tersebut.42 Seorang ibu sejak melahirkan bayinya memiliki suatu kewajiban hukum yang didasarkan pada kualitas atau kedudukannya sebagai ibu yang melahirkan untuk berbuat menghidupi bayinya dengan cara yang pada umumnya menyusuinya. Kewajiban hukum dapat timbul pada diri seseorang karena ditentukan secara tegas oleh hukum misalnya Pasal 304 dan 522. Sedangkan kewajiban hukum dapat pula lahir dari kepatutan-kepatutan yang dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Misalnya seorang anak kecil yang suatu hari bapak ibunya meninggal bersama karena kecelakaan dan tidak meninggalkan keluarga lain yang dekat, maka tetangganya timbul kewajiban hukum untuk memberi makan anak itu agar tidak menimbulkan akibat kelaparan dan jika berlanjut pada kematiannya.43 Pandangan keempat ini dapat mengatasi persoalan tentang apakah mungkin perbuatan dalam tindak pidana pasif yang tidak murni dapat menimbulkan akibat terlarang? Pemecahan masalah ini penting dalam hal pembebanan tanggung jawab pada si pembuat. Pandangan yang keempat ini sesuai dengan kenyataan pada umumnya yang berliku pada masyarakat, dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Contoh petugas penjaga palang kereta api yang tidak menutup jalan dengan menurunkan palang pintu yang mengakibatkan sebuah bis mengalami kecelakaan karena ditabrak kereta api dengan menimbulkan banyak orang mati. Dengan mempertanggungjawabkan akibat matinya banyak orang kepada penjaga palang yang tidak berbuat apa-apa ketika kereta api hendak lewat adalah memenuhi rasa keadilan masyarakat.44

36 Adami Chazawi, Loc.cit.,h. 227.37 H.A. Zainal Abidin, Loc.cit.,h. 213.38 Adami Chazawi, Op.cit., h. 22839Ibid.,h. 229.40Ibid.41 Ibid.,h. 230.42 Ibid.,h. 231.43Ibid.,h. 232

DAFTAR PUSTAKAAdami Chazawi. 2005.Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Andi Hamzah. 2010.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta. C.S.T Kansil. 2007.Latihan Ujian: Hukum Pidana.Jakarta: Sinar Grafika. H.A. Zainal Abidin. 2007.Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika. Leden Marpaung. 2012.Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana.Jakarta: Sinar Grafika. Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana.Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 2002.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta. Teguh Prasetyo. 2012.Hukum Pidana.Jakarta: Rajawali Press