PERSPEKTIF KONSEP RADD -...
Transcript of PERSPEKTIF KONSEP RADD -...
KONSEP RADD DALAM PERSPEKTIF PEMBAGIAN KEWARISAN ISLAM
(Studi Analisis Terhadap Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik)
Skripsi
Diajukan kepada fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
AHMAD SAUKANI NIM : 106044101385
Di bawah bimbingan
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Nip. 1955 0505 1982031012
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1431 H/2010 M
OUTLINE
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teori dan Konseptual
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS
A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris
B. Sebab-Sebab Mewariskan
C. Ahli Waris Dzawil Purud
D. Ahli Waris Ashabah
E. Seputar Hijab Dalam Waris
F. Cara Menentukan dan Menyelesaikan Warisan
BAB III PEMBAHASAN TENTANG RADD
A. Pengertian Radd
B. Rukun-Rukun Radd
C. Pendapat Para Ulama Tentang Radd
D. Ahli Waris Yang Mendapat Radd
E. Penyelesaian Masalah Radd
BAB IV ANALISA PERSPEKTIF KONSEP RADD
A. Sejarah Singkat Kompilasi Hukum Islam
B. Konsep Radd dan Alasan Pembuatan Klausal Pasal 193 Dalam Kompilasi Hukum Islam
C. Konsep Radd Menurut Pendapat Para Ulama
D. Analisis Perbedaan Konsep Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP RADD DALAM PERSPEKTIF PEMBAGIAN KEWARISAN ISLAM (Studi Analisis Terhadap Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Ahwal al-Syahsiyyah. Jakarta, 31 Agustus 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (……………….)
NIP: 1950 0306 197603 1001
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (…………….....) NIP: 1972 0224 199803 1003
3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (……………….) NIP: 1950 0306 197603 1001 4. Penguji I : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (……………….)
NIP: 150050917
5. Penguji II : Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lc, MA (……………….) NIP: 1955 0706 1992031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Ahmad Saukani
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat-Nya, sebagai Dzat yang maha indah dan terpuji,
dimana seluruh pujian dijagad ini dipersembahkan untuk-Nya, takkan pernah terasa
cukup untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih atas segala rahmat dan
cinta yang diberikan kepada hamba-Nya.
Salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada manusia agung,
Muhammad SAW yang menjadi panutan ummat islam, yang selalu dinantikan
syafaatnya dihari pembalasan.
Tidak ada kata yang tepat yang dapat penulis untaikan, selain syukur untuk
menunjukkan betapa ALLAH memberikan kekuatan fisik dan psikis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KONSEP RADD DALAM PERSPEKTIF
PEMBAGIAN KEWARISAN ISLAM (Studi Analisis Terhadap Pasal 193
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik)”
Penulis sadari, bahwa selesainya tugas ini adalah tanpa menafikan semua
pihak, baik yang terlibat secara langsung atau tidak, tanpa uluran tangan mereka
tidak mungkin selesai skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
i
2. Drs. H. A. Basiq Djalil S.H., M.A sebagai Ketua Program studi Ahwal Al-
Syahsiyyah, sekaligus sebagai dosen pembimbing Skripsi ini, yang dengan
sabar memberikan arahan dan masukan yang amat berarti kepada penulis.
3. Prof. Dr. H. Hasanudin AF, MA. dan Dr. H. A. Juaini Syukri. LC., MA yang
telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan telah memberikan saran,
arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Kamarusdiana S.Ag., M.H., selaku sekretaris Program Studi Ahwal Al-
Syahshiyyah, terimakasih atas pelayanan yang sangat memuaskan dan
bantuan yang tidak terlupakan.
5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya, untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang
berguna di dunia dan diakhirat, semoga do’a dan didikannya menjadi berkah
dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.
6. Pegawai Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga
meberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam
penulisan skripsi ini.
7. Ayahanda dan Ibunda yang senantiasa mendorong, membimbing, mendidik
penulis dan teramat berjasa, arif mendidik, tiada hentinya berdoa untuk
penulis agar menjadi manusia yang berguna. Abanganda Erwin Lubis dan
Ilham Lubis yang selama ini memberikan bantuan financial dan motivasi
kepada penulis agar menjadi orang yang sukses. Kakakku Sakdiah Lubis,
ii
iii
Saidah lubis dan adik-adikku Armidah Hannum, Nur Sa’adah, Misbah
Hannum, Atikah, Mahadi Husein Lubis yang senantiasa mendoakan serta
memberikan support kepada penulis.
8. Teman-teman jurusan Peradilan Agama angkatan 2006, yang selalu menjadi
guru, teman berdiskusi dilokal, semoga apa yang kita cita-citakan dapat
terlaksana. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Mandailing Natal
Hasonangan, Ikhwan Efendi, Khoirul Anwar, Muhammad Syarif, Wahyu,
Pangala, Parjuangan, Moraganti, Siti Aisyah, Hamna Sari, dan sahabat
lainnya yang tidak disebutkan namanya satu persatu, yang akan selalu
menjadi guru, teman satu ide dan satu perjuangan.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini,
penulis berdo’a semoga Allah SWT., senantiasa mencurahkan rahmat dan
hidayahnya. Kemudian harapan penulis, skripsi ini bermanfa’at bagi para pembaca.
Jakarta, 27 Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………............ i
DAFTAR ISI................................................................................................. .. iv
BAB I : PENDAHULUAN……………………………………….
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ........................................................... 9
E. Metode Penelitian ......................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ................................................... 12
BAB II : KEWARISAN DALAM ISLAM .....................................
A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris ............................ 14
B. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Dalam Waris ... 22
C. Ahli Waris dan Bagiannya ........................................... 28
D. Asal Masalah dan Tashihul Masalah............................. 39
E. Hijab Dalam Waris........................................................ 45
F. Cara Menentukan dan Menyelesaikan Warisan............ 48
BAB III : RADD DALAM KEWARISAN .......................................
A. Pengertian Radd ......................................................... 52
B. Rukun dan Syarat Radd.............................................. 54
C. Pendapat Ulama Tentang Radd................................. 55
iv
v
D. Radd Dalam KHI dan Fiqh Klasik ............................. 65
E. Penyelesaian Masalah Radd....................................... 68
BAB IV : ANALISA PERSPEKTIF KONSEF RADD...................
A. Sejarah Singkat Kompilasi Hukum Islam.................. 72
B. Konsep Radd dan Alasan Pembuatan Klausul Pasal
193 Dalam Kompilasi Hukum Islam ........................ 80
C. Konsep Radd Dalam Pandangan Ulama Beserta
Aplikasinya ................................................................ 82
D. Analisis Penulis.......................................................... 84
BAB V : PENUTUP ..........................................................................
A. Kesimpulan ............................................................ 90
B. Saran........................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati, semua
tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum pada lingkungan, terutama dengan
orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti
lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya
dan bagi orang lain, serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua,
kerabat dan masyarakat lingkungannya. Demikian juga kematian seseorang
membawa pelajaran dan akibat hukum pada diri, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.1
Hukum diciptakan untuk memelihara hak dan tanggung jawab, baik
berkaitan dengan masalah individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun suatu
lembaga.2 Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum
perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan system
kekeluargaan, sekaligus merupakan salah satu bagian perdata.3
1 Usman Suparman dan Somawinata Yusuf, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam
(Jakarta: Bayu Media Pratama, 2002), h.1. 2 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pustaka Setia, 1999 ), h.1. 3 Parman Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur'an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir
Tematik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 2.
1
2
Dikalangan ummat Islam apabila terjadi kematian, yang mati itu
meninggalkan harta, maka peralihan hartanya harus merujuk kepada ajaran agama,
karena Al-Qur'an sudah menjelaskan secara eksplisit tentang pembagian warisan
melalui pendekatan matematis, yang menggunakan angka pecahan. Meskipun Al-
Qur'an sudah menjelaskan secara terperinci tentang bagian masing-masing ahli waris,
namun tidak semua ummat Islam mengetahuinya secara baik.4
Bila kematian yang menimbulkan kewarisan itu terjadi didalam suatu
keluarga, dan diantara keluarga ada yang mengetahui cara pembagiannya maka
keluarga itu mengurus sendiri harta peninggalannya, sesuai dengan ajaran agama.
Tetapi kalau tidak ada, boleh meminta petunjuk kepada orang yang paham tentang
pembagian, sesuai dalam ajaran Al-Qur'an. Maka kalau sudah menerima bagian
masing-masing, persoalan selesai sudah.5
Namun, karena objek ini adalah harta benda, sering timbul ketidak puasan
disebagian anggota keluarga, disamping disebabkan oleh ketidak tahuannya dengan
ajaran agama, juga disebabkan keserakahannnya dan rasa egois. Kalau urusannya
sudah timbul persengketaan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka
hal ini memerlukan penyelesaian pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan
untuk memaksakan keputusannya, inilah yang dinamakan lembaga "qadha" atau
4 A Sukris Surmadi, Transidensi Keadilan Hukum Waris Islam Trans Formatif (Jakarta:
Raja Grafind Persada,1997), h. 1. 5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h.322.
3
peradilan. Dengan demikian lembaga peradilan itu merupakan langkah terakhir dalam
penyelesaian urusan kewarisan.6
Peradilan yang menjalankan ajaran agama dalam bentuk yang resmi di
Indonesia, telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 melalui
stbl. No. 152 Tahun 1882 tentang pendirian Raad Agama (yang menjadi cikal bakal
Pengadilan Agama) untuk pulau jawa dan Madura. Dalam Stbl ini ditetapkan salah
satu wewenang absolutnya adalah kewarisan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah
Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
pembentukan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia diluar Jawa,
Madura dan Kalimantan Selatan dan Timur. Dalam Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan salah satu wewenang Peradilan Agama adalah kewarisan.
Eksistensi Peradilan Agama semakin kuat dengan lahirnya Undang-Undang
No 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989. Bila
dilihat kewenagan absolut Peradilan Agama semakin luas hal ini terlihat dalam pasal
49 disebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang- orang yang beragama
Islam dibidang perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi
syariah”. Setelah diperluas kewenangan Pengadilan Agama dan eksistensinya
6 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 323.
4
semakin kuat semakin jelaslah posisi Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman
dibidang perdata Islam.7
Didalam pasal ini disebutkan bahwa kewarisan bagi ummat Islam, diseluruh
Indonesia penyelesaiannya menjadi wewenang Pengadilan Agama. Tentang hukum
yang digunakan dalam menyelesaikan kewarisan itu adalah hukum islam tentang
kewarisan. Hakim dalam memutus perkara merujuk pada kitab-kitab fikih, khususnya
fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti mazhab Imam
Syafi'i, tanpa menutup adanya aliran fiqih atau mazhab lain, meskipun kecil. Karena
dalam menentukan hukum, hakim dalam memutuskan yang merujuk kepada fikih
menghasilkan penetapan yang berbeda-beda dalam suatu kasus kewarisan, baru
menimbulkan masalah.
Hal ini mendorong pemuka Negara untuk merumuskannnya dalam satu
bentuk kesatuan, setelah melalui proses panjang. Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama Menteri Agama, dengan
melibatkan Ulama, para pakar fiqih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya,
berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Kompilasi Hukum Islam
yang mengatur urusan perkawinan, kewarisan dan perwakafan ini disebar luaskan
melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10
7 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu kajian Dalam Sistem
Peradilan Islam (Jakarta: Kencana, 2007), h. 247.
5
Juni 1991 yang meminta sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam di
Peradilan Agama yang ada diseluruh Indonesia.8
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari
pasal 171 sampai dengan pasal 193. Didalam Kompilasi Hukum Islam pasal
mengenai kewarisan sebahagian ada yang tidak sesuai dengan pikih yang
berkembang di Indonesia, khususnya mazhab Syafi'i buktinya kalau kita amati dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Islam Indonesia banyak memperaktekkan
pendapatnya.
Salah satu pasal Kompilasi hukum Islam yang tidak sesuai dengan pendapat
yang berkembang di Indonesia adalah pasal 193 mengenai Radd disebutkan "Apabila
dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan
angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai
dengan hak masing-masing ahli waris, sisanya dibagi secara berimbang diantara
mereka".
Masalah radd terjadi apabila pembilang lebih kecil dari pada penyebut dan
pada dasarnya adalah kebalikan masalah aul. Namun demikian penyelesaian
masalahnya tentu berbeda dengan masalah aul, karena aul pada dasarnya kurangnya
bagian yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan
pembagian. Didalam Kompilasi Hukum Islam masalah radd boleh diberikan kepada
8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2007),
h.108.
6
siapa saja sesuai dengan kata-kata "sisanya dibagi secara berimbang diantara
mereka", maksudnya sisa harta sesudah diberikan hak masing-masing ahli waris
masih ada sisa, sisanya ini diberikan kepada ahli waris dzawil furud yang mendapat
warisan. Padahal bila kita lihat pendapat Imam Syafi'i sisa harta tidak boleh diberikan
kepada ashabul furudh bahkan wajib diberikan kepada Baitul Maal.9
Tetapi di Kompilasi Hukum Islam membolehkan kepada siapa saja. Jadi ada
perbedaan antara Kompilasi Hukum Islam dengan fikih yang berkembang di
Indonesia khususnya Mazhab Syafi'i dan Jumhur Ulama. Menjadi masalah ialah,
hukum materil Pengadilan Agama yaitu Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan
pemahaman masyarakat Islam Indonesia yang banyak diperaktekkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik ia pembagian waris yang dibagi diantara keluarga yang
mengetahui cara pembagiannya, yang tidak masuk ke Pengadilan Agama. Maka sisa
harta ini perlu ada kejelasan untuk siapa diberikan biar tidak terjadi perselisihan
diantar para ahli waris karena menyangkut harta benda yang masih bisa menjadi
objek persengketaan.
Dari permasalahan ini, penulis ingin meneliti tentang hal ini, karena
merupakan hal yang menarik untuk dibahas dengan judul:
"Konsep Radd Dalam Persfektip Pembagian Kewarisan Islam (Studi Analisis
Terhadap Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik)"
9 Hasan Ahmad Khotib, Al-Fiqh al-Muqaran (Mesir: Darul Ta'rif,1957), h.338.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar lingkup pembahasan Skripsi ini tidak terlalu luas, maka penulis
membatasi penelitian ini hanya pada seputar masalah “Konsep Radd Dalam
Persfektip Pembagian Kewarisan Islam (Studi Analisis Terhadap Pasal 193
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik). Yang dimaksud persfektip adalah sudut
pandangan, pandangan.10 Pandangan para Ulama terhadap konsep radd dalam
pembagian warisan dan pandangan kompilasi hukum Islam terhadap konsep radd
yang ada. Pandangan ini meliputi pendapat, alasan-alasan yang dikemukakan dalam
mempertahankan argumen konsep radd yang ada.
Sedangkan konsep Radd adalah sisa harta yang harus diberikan kepada waris
sesudah mendapatkan bagian masing–masing. Persoalan Radd secara garis besar
terjadi pada dua kemungkinan, Pertama radd dalam hal ada suami atau istri, kedua
radd dalam hal suami atau istri tidak ada.11 Didalam pembahasan ini titik berat yang
dicari adalah konsep yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dengan pendapat para
ulama.
2. Perumusan Masalah
Di Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa radd diberikan kepada
ahli waris dzawil furud termasuk kepada suami atau istri, sedangkan menurut Imam
10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h.675.
11 Suhwardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap Dan Praktis
(Jakarta : Sinar Grafika, 1995) hal.165.
8
Syafi’i dan Imam Malik, radd itu harus diberikan kepada Baitul Mal. Dan menurut
Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah suami atau istri tidak boleh
mendapatkan radd.12 Hal ini yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini.
Rumusan tersebut diatas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah perbedaan dan persamaan konsep Radd yang ada dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik ?
2. Apa yang menjadi dasar bagi ulama Indonesia membuat konsep Radd
dalam Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan pendapat jumhur ulama ?
3. Bagaimanakah aplikasi pembagian Radd ?
4. Bagaimana relevansi konsep radd dalam perkembangan sosio-kultur
masyarakat Indonesia sekarang ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk menemukan perbedaan dan persamaan antara Kompilasi Hukum
Islam dan Jumhur Ulama tentang status hukum radd.
2. Untuk mengetahui alasan yang jelas dari para ulama Indonesia tentang
perbedaan radd dalam Kompilasi Hukum Islam dengan jumhur ulama.
3. Mengetahui dasar hukum yang dipakai dalam penentuan radd dalam
Kompilasi Hukum Islam.
12 Hasan Ahmad Khotib, Al-Fiqh al-Muqaran, h.338-339.
9
4. Untuk mengetahui konsep radd dan penyelesaiannya dalam kewarisan
Islam.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Untuk memberikan gambaran hukum yang jelas tentang konsep radd
yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik.
2. Menambah khasanah keilmuan khususnya bagi penulis dan pada
umumnya pada pembaca.
3. Pengembangan kuwalitas pengetahuan hukum waris, khususnya tentang
cara pembagiannya kalau ada masalah radd.
4. Bagi Peradilan Agama untuk mengetahui secara jelas tentang konsep
dalam Kompilasi Hukum Islam masalah radd.
D. Tinjaun (review) kajian terdahulu
1. Penetapan Ahli Waris dan Masalah Rad dalam Hukum Waris, pada tahun
1998 yang ditulis oleh Ramelan, jurusan perbandingan mazhab dan hukum. Dalam
Skripsinya Ramelan mempokuskan pada penetapan siapa yang berhak menerima
warisan dan cara menyelesaikan pembagian masalah rad dalam warisan. Saudara
Ramelan menyimpulkan bahwa ahli waris yang ditetapkan mendapatkan warisan
apabila masih ada sisa harta (radd) semuanya mendapatkan radd sesuai bagian
masing-masing. Bedanya dengan skripsi yang saya bahas adalah perbedaan konsep
Radd dalam KHI dengan Jumhur Ulama, titik berat yang saya cari konsep, dasar,
alasan yang dipakai.
10
2. Respon Perempuan Terhadap Sistem Pembagian 2:1 Dalam Hukum
Kewarisan Islam (Studi di RT 04/05 Kel Bojong kulur Kec. Gunung putri Kab.
Bogor) pada tahun 2008 yang ditulis oleh Eli Nurmalia, Jurusan Peradilan Agama.
Dalam skrifsinya Eli Nurmalia membahas tentang respon perempuan terhadap sistem
yang ada dalam waris 2:1 dengan penelitian lapangan. Eli menyimpulkan bahwa
mereka menerima sistem pembagian tersebut karena dirasa sudah merupakan wujud
keadilan ALLAH dengan melihat tentang kewajiban laki-laki lebih besar dalam
nafkah. Perbedaan dengan skripsi saya yaitu saya membahas tentang konsep Radd
sedangkan Eli membahas tentang pembagian 2:1.
3. Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung
(Studi analisis putusan Pengadilan Agama) pada tahun 2008 yang ditulis oleh Elfit
Nufitra Mubarok jurusan Peradilan Agama. Dalam skrifsi ini membahas tentang
penyelesaian gugatan di pengadilan Agama terhadap kewarisan anak perempuan
dengan saudara kandung, dengan menganalisis dua putusan Pengadilan Agama
Cibadak dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Elfit Muftra Mubarak
menyimpulkan bahwasanya status hukum kewarisan anak perempuan dengan saudara
kandung harus mengikuti pendapat KHI, bedanya dengan skripsi yang saya bahas
adalah Elfit membahas tentang kewarisan anak perempuam dengan saudara kandung
sedangkan saya membahas tentang konsep radd antara KHI dengan jumhur Ulama.
F. Metode Penelitian
Adapun metode yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah :
11
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan
menelusuri berbagai literatur, karena suatu yang di kaji adalah Kompilasi Hukum
Islam, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersipat
deskriftif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata–kata, gambar, bukan angka.13
2. Pendekatan Penelitian
Secara Normatif yaitu hukum doktriner yang dilakukan dalam penelitian
untuk mendapatkan dasar pemikiran, perumusan dan operasi awal konsep. Sedangkan
secara histories menelusuri sejarah Kompilasi Hukum Islam Khususnya klausal pasal,
selanjutnya menganalisa antara konsep dan klausal Kompilasi Hukum Islam.
3. Jenis Dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer dan
data skunder, dan dari kedua sumber data tersebut penulis menginterpretasikan sesuai
permasalahan yang diangkat penulis. Adapun data primer adalah Kompilasi Hukum
Islam, kitab waris dan kitab waris dari beberapa mazhab seperti Sarhu al-Matnu al-
Ruhbiyyah, al-Fiqh al-Muqaran, Ahkam al-Mawaris Fi as-Syariati al-Islamiyyah al-
Mazahibu al-Arba’ah dan lain-lainnya.
Sedangkan sumber data skunder adalah, penulis ambil dari karya–karya
lainnya yang tentunya berhubungan dengan pokok masalah yang penulis bahas dalam
skrifsi ini, seperti artikel–artikel, internet dan sebagainya.
13 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung : Pustaka Setia,2002), h.51.
12
4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Sedangkan pengumpulan data, tekhnik yang digunakan adalah penelitian
kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data dari berbagai literatur yang
relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan karya ini.
Dalam menganalisa data yang terkumpul, penulis memakai metode deskriftip
analisis, yaitu kegiatan menganalisa dengan cara tertentu sehingga dapat lebih mudah
dipahami dan disimpulkan, proses analisis data atau pengolahan data, dimulai dengan
menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian reduksi data
dengan membuat abtraksi penyederhanaan sebagai usaha membuat rangkuman inti
dan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
5.Tekhnik Penulisan
Sedangkan teknis penulisan dalam skripsi ini mengacu kepada buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Adapun mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya
dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut :
Pada Bab Pertama membahas pendahuluan meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manpaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
13
Bab Kedua membahas kewarisan dalam Islam meliputi: pengertian dan dasar
hukum waris. rukun, syarat, sebab dan penghalang waris, ahli waris dan bagiannya,
asal masalah dan tashihul masalah, hijab dalam waris, dan cara menentukan dan
menyelesaikan warisan.
Bab Ketiga mengkaji tentang radd dalam kewarisan meliputi: pengertian
radd, rukun dan syarat radd, pendapat para ulama tentang radd, radd dalam kompilasi
hukum Islam dan fiqh klasik, penyelesaian masalah radd.
Bab Keempat membahas tentang analisa perspektif konsep radd meliputi:
sejarah singkat Kompilasi Hukum Islam, konsep radd dan alasan pembuatan klausal
pasal 193 dalam Kompilasi Hukum Islam, konsep radd menurut pendapat para ulama,
analisis penulis.
Bab Kelima merupakan bab penutup: kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KEWARISAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahas Arab yang diambil dari kata “waritsa”(ورث)
“yaritsu” (ير ث ), “wirtsan” ( ور ثا), isim failnya “waaritsun” ( رثوا ) yang artinya
ahli waris.1 Sedangkan Faraidh bentuk jamak dari faridhah, berarti faraidh berasal
dari kata “faradha” ( ) ”yapridhu“ ( ضرف ضريف ), “Fardhan” ( اض رف ), yang artinya
menentukan.2
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
hukum kewarisan islam, seperti faraidh, fikih mawaris, dan hukm al-Waris. Kata
yang lazim faraidh, kata ini digunakan oleh an-Nawawi dalam kitab fiqih Minhaj al-
Thalibin, oleh al-Mahally dalam komentarnya atas matan minhaj, disebutkan alasan
penggunannya dikarenakan lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan, oleh
karena itu, hukum ini dinamakan faraidh.3
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta:Hidakarya Agung, 1990) Cet Ke-8. hal.
496. 2 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pusat
Progressif, 1997) Cet ke-14, hal,104. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, hal. 313. 3 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal. 5.
14
15
Ilmu waris disebut juga fiqh al-Mawaris, fikih tentang warisan, dan tata cara
menghitung harta waris yang ditinggalkan.4
Dengan demikian perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan
dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Dikatakan ilmu waris
karena dalam ilmu waris ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta peninggalan,
dikatakan ilmu faraidh karena membahas tentang bagian-bagian tertentu, yang sudah
ditetapkan ukurannya bagi setiap ahli waris.5
Memang pada awalnya pembahasan ilmu ini didalam literatur hukum islam
hanya didapatkan sebagai bagian dari kitab fiqh, yang ada pada judul bab al-Faraidh
atau faslul Faraidh. Kemudian masa berikutnya barulah secara khusus dibahas dalam
kitab yang berdiri sendiri misalnya kitab, Syarhu as-Saydis Syarif ala as-Sirajiya oleh
Muhammad al-Jurjaniy Tahun 814 Hijiriyyah. Kitab Matnu al-Rahbiyyah oleh
Muhammad Ali bin Muhammad Ali bin Hukum al-Ruhby Tahun 577 Hijiriyyah. al-
Furratu al-Faid oleh Sayyid Ali bin Qosim al-Abbasy Tahun 1300 H. Terakhir dalam
abad sekarang terdapat kitab khusus yang menggunakan namanya dengan memakai
kata mawaris atau miras semisal al-Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah karya
Hasanain Muhammad Makhluf Tahun 1954 Masehi. Muhazzarah fi al-Mirazi al-
Muqaran Karya Abdurrahim al-Kisyka Tahun 1959 Masehi. Attirkah Wa al-Miras fi
al-Islami karya Yusuf Musa Tahun 1960 Masehi. Ahkamu at-Tirkati wa al-Mawaris
4 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami (Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah, 2000) Terjemah H. Addys Aldizar dan Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) h. 13.
5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 5-6.
16
Karya Abu Zahrah Tahun 1963 Masehi.6 Kitab yang terbaru sekarang adalah Ahkam
al-Mawaris Fi al-Syariati al-Islami al-Mazahibu al-Arba’ah karya Muhammad
Muhyidin Abdul Hamid Tahun 1996 Masehi.
Di Indonesia penyebutan fiqh mawaris disebut juga hukum kewarisan islam,
hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya terjemahan
bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqh mawaris menunjukkan identitas hukum waris
islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, bisa mencakup hukum
waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab undang-undang hukum
perdata.7
Para ahli faraidh banyak memberikan defenisi tentang ilmu faraidh atau fiqh
mawaris. Walaupun defenisi-defenisi yang mereka kemukakan secara redaksional
berbeda, namun defenisi–defenisi tersebut mempunyai pengertian sama. faraidh
secara etimologis memiliki beberapa arti sebagai berikut ( عطالق ) artinya ketetapan
atau kepastian ( ديرقالت ) suatu ketentuan (االنزا ل) menentukan (التيين) penjelasan
( لالحاال ) menghalalkan ( ا ءطالع ) pemberian.
Sedangkan secara terminologi ialah penetapan kadar warisan bagi ahli waris
berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd
6 Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) hal. 3. 7 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 4.
17
(mengembalikan sisa harta kepada penerima warisan) dan tidak berkurang kecuali
dengan aul.8
Dan menurut Ahmad Kamil al-Hudhuri., ilmu faraidh menurut etimologi
ialah: “memindahkan sesuatu dari tempat ketempat yang lain” dan menurut
terminologi ialah: “hak yang diterima ahli waris dari bagian-bagian yang ditetapkan
sesudah meninggal pewaris.” 9
Menurut Syekh Muhammad Umar al-Bakari., ilmu faraidh ialah: “suatu ilmu
hitung untuk mengetahui bagian-bagian tertentu penerima waris dari harta yang
ditinggalkan pewaris.”10
Menurut al-Syarbini., mendefenisikan ilmu faraidh yaitu: “ilmu fiqh yang
berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris).”11
Menurut Amir Syarifuddin., ilmu faraidh ialah: “hak-hak kewarisan yang
jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur’an dan Sunnah.”12
8 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-
Islami, h.13. 9 Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawarisu al-Islamiyyah, (Mesir: Lajnatu at-Taqrib, 1366
H/1966 M) hal. 4. 10 Syekh Muhammad Umar al-Bakri. Hasiyyah Matnu al-Ruhbiyyah (Semarang: Usaha
Keluarga, Tth ) h. 3. 11 Muhammad al-Syarbini al- Khatib, Mughni al-Muhtaj, juz 3 (Kairo: Musthafa al-Baby al-
Halaby,1958) hal. 3. 12 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 39.
18
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy., mendefenisikan faraidh secara etimologis
adalah: “bagian yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk waris seperti ½ ¼.”
sedangkan secara terminologis adalah : “suatu ilmu dengan dialah dapat kita ketahui
orang yang menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
membaginya.”13
Dengan demikian ilmu faraidh mencakup 3 unsur didalamnya:
1. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris
2. Pengetahuan bagian setiap ahli waris
3. Pengetahuan cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian
harta warisan.
Dasar Hukum Waris
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara jelas,
antara lain: ayat pertama, berbicara tentang bagian anak laki-laki dan
perempuan.
☺ ⌧
☺ ⌧
☺
⌧ (..............)
13 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal. 4.
19
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(Q.S. al-Nisa, 4:7)
Ayat kedua, berbicara tentang warisan anak laki-laki dan perempuan serta ayah
dan ibu (al-furu’ dan al-ushul), seperti termaktub dalam firman Allah SWT.
⌧
☯
⌧ ⌧
☺ ☺ ⌧
⌧
⌧
⌧ ☺ ☺
(.........................)
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
20
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Nisa, 4:11)
Ayat ketiga, berbicara jika si mayyit tidak mempunyai keturunan yang mewarisi
adalah ushul.
⌧
☺
☺
☺
☺
⌧
☺
⌧
(....................)
Artinya: “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
21
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Q.S. al-Nisa, 4:12)
2. Al-Sunnah
Hadis yang menjadi ketentuan pembagian warisan antara lain:
س ابع ابن نع هيبا نع سو طا ابن انث دح بيه و ثنا حد ئيل اسما بن س مو ثنا حد
ىقفماب باهلها ئض الفرا الحقوا: ل قا ملس و هيعل اهللا ىلص يبالن نع هعن اهللا يض ر
14 )ىر البخا ه روا (آر ذ جل ر لى الو فهو
Artinya “Bercerita kepada kami Musa bin Ismail bercerita kepada kami Wahib bin Thawus dari ayahnya dari Abdullah ibnu abbas semoga ALLAH meridhoinya dari Nabi SAW bersabda: “Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (H.R. Bukhari) Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud.
ناثدح :ل قا ,حبش اال وه و ,دلحم ثيدح اذه و ,دل اخ نب دلخم و حل اص نب دمحا
ل اق :ل قا س ابع نبا نع ,هيبا نع س و اط نبا نع رمعم اثندح ,قز الر دبع
14 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Berut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003) Juz 4, Cet Ke-2. Hal.318.
22
Artinya”Ahmad bin Solih dan Mukhlid bin Holid, ini hadis muhklid, dia itu ashbah berkata ia, bercerita kepada kami Abdul Razak, bercerita kepada kami Mu’mar dari anak Thawus dari ayahnya dari Abdullah bin Abbas berkata ia, Bersabda Rasulullah SAW: Bagikanlah harta waris diantara para ahli waris menurut kitab Allah, maka jika ada sisa laki-laki lebih utama” (H.R Muslim dan Abu Dawud)
3. Ijma’ dan Ijtihad. Para shahabat, tabi’in, generasi pasca shahabat dan tabi’it
tabi’in, generasi pasca tabi’in telah berijma’ tentang legalitas ilmu faraidh dan
tiada seorangpun yang menyalahi ijma’ tersebut.
B. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Dalam Waris.
1. Rukun Waris
Rukun secara etimologi yaitu apabila posisinya kuat dijadikan sandaran.
Sedangkan menurut terminologi adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas
keberadaan sesuatu yang lain.16
Maka Rukun Waris Ada Tiga Macam:
a. Al-Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia baik mati hakiki (yaitu
kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian,
15 Abi Dawud Sulaiman Bina Lias’at al-Muhtani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, (Berut: Daar ibn
Hizam, 1998) hal. 45. 16 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami. Hal. 27.
23
bahwa seseorang telah meninggal dunia) maupun mati hukmi (yaitu
kematian seseorang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim
dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi dalam kasus seseorang
yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya,
setelah dilakukan upaya-upaya tertentu. Melalui keputusan hakim, orang
tersebut dinyatakan meninggal dunia). Dan mati taqdiri (yaitu perkiraan
seseorang telah meninggal dunia. Misalnya seseorang yang diketahui ikut
berperang).17
b. Al-Warits, yaitu adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau
karena akibat memerdekakan hamba sahaya.
c. Al-Mauruts yaitu harta benda yang menjadi warisan
2. Syarat-Syarat Waris
Syarat menurut etimologi adalah tanda, sedangkan menurut terminologi sesuatu
karena ketiadaannya tidak akan ada hukum.18
Syarat Waris Ada Tiga Macam:
a. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya, maupun secara hukum, seperti
keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang)
17 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hal. 4 18 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami. Hal. 28
24
b. Hidupnya ahli waris setelah kematian pewaris, walaupun secara hukum
seperti anak dalam kandungan.
c. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.19
Mengenai syarat yang ketiga (tidak adanya penghalang pewarisan) diantara
para ahli faraidh, ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak termasuk
kedalam syarat pewarisan, yang menjadi syarat pewarisan yang ketiga adalah:
Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayyit, seperti
garis kekerabatan, perkawinan dan perwalian.20
3. Sebab-Sebab Waris
Sebab menurut etimologi adalah sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu
yang lain baik sesuatu tersebut bisa diraba seperti tali. Sedangkan menurut
terminologi adalah hal yang mengharuskan keberadaan hal yang lain, sehingga hal
yang lain itu menjadikan hal yang lain tidak ada secara substansial.21 Contoh api
merupakan sebab terjadinya kebakaran.
Sebab-sebab mewariskan yang disepakati ulama ada tiga macam
a. Kekerabatan
b. Pernikahan
c. Wala’ (membebaskan budak)
19 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Toha Putera, 1972) hal. 426-427. 20 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama,2002) Cet ke-2, hal, 25. 21 Muhammad Sabatul al-Maridini, Sarhu al-Matnu al-Ruhbiyyah (Semarang, Usaha
Keluarga, Tth) hal, 10
25
Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan ulama yaitu Baitul Mal.22
4. Penghalang Mendapatkan Waris
Penghalang menurut etimologi adalah penghalang diantara dua hal. Sedangkan
menurut terminologi adalah sesuatu yang mengharuskan ketiadaan sesuatu yang lain.
Tentu saja ketiadaan sesuatu yang lain itu, tidak serta merta bermakna secara
substansial. Dengan demikian, penghalang adalah keberadaannya, syarat adalah
ketiadaannya, dan sebab adalah keberadaan dan ketiadannya.23
Penghalang mewarisi yang disepakati ada tiga macam
a. Berlainan Agama yaitu berlainnya agama orang yang menjadi pewaris
dengan orang yang yang menjadi ahli waris. Mengenai kedudukan
berlainan agama sebagai penghalang warisan telah menjadi ijma’ ulama.24
Namun demikian menurut Muadz, Muawiyyah, Ibnu al-Musayyab,
Masruq dan an-Nakha’i berpendapat bahwa penghalang warisan
perbedaan agama, tidak termasuk bagi orang muslim untuk mewarisi harta
peninggalan ahli warisnya yang non muslim.25
b. Perbudakan yaitu seorang budak tidak dapat mewarisi dan mewariskan
harta peninggalan dari dan kepada ahli warisnya. Ia tidak dapat mewarisi
karena dipandang tidak cakap mengurus harta milik, dan status
22 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fi al-Fiqh Al-Islami, h. 41.
23 Ibid, hal 46. 24 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal, 37. 25 Ibid, hal 38.
26
keluargannya terputus dengan ahli warisnya. Para ulama telah sepakat
bahwa perbudakan sebagai penghalang warisan.
c. Pembunuhan. Jumhur ulama telah sepakat dalam menetapkan
pembunuhan sebagai penghalang kewarisan adalah pembunuhan yang
disengaja dan disertai permusuhan. Hanya fuqaha dari golongan khawarij
saja yang membolehkannya. Mereka juga beralasan bahwa ayat-ayat
mawarits itu memberikan faedah yang umum, tidak dikecualikan si
pembunuh. Oleh keumumannya ayat tersebut harus diamalkan.
Sedangkan selainnya masih diperselisihkan. Ulama Syafi’i
berpendapat pembunuhan itu mutlak menjadi penghalang pewarisan, baik
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, baik dilakukan karena
menjalankan hak maupun bukan, baik pembunuhnya orang yang baligh
maupun orang yang belum baligh. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa
pembunuhan yang menjadi halangan adalah (1) pembunuhan yang
bersanksi qishas, yaitu yang dilakukan berdasarkan kesengajaan dengan
mempergunakan alat-alat yang dapat dianggap menghancurkan anggota
badan orang lain. (2) pembunuhan yang bersanksi kaffarat, yaitu
pembunuhan yang dituntut sebagai penebus kelalainnya dengan
membebaskan seorang budak wanita Islam atau kalau tidak mungkin, ia
dituntut menjalankan puasa dua bulan berturut-turut, seperti pembunuhan
27
mirip sengaja, atau pembunuhan yang dianggap silap.26 Ulama
Malikiyyah berpendapat sesungguhnya pembunuhan yang menjadi
penghalang pewarisan ialah pembunuhan yang disengaja dan disertai
permusuhan, baik dilakukan langsung maupun tidak langsung.27 Ulama
Hanabilah berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang pewarisan
adalah pembunuhan tanpa hak yang dibebani sanksi qishos, diyat dan
kafarat.
Penghalang mewarisi yang tidak disepakati
a. Riddah yaitu keluar dari Islam. Orang tersebut disebut murtad, baik
dalam keadaan dapat membedakan secara sadar, maupun dalam keadaan
bercanda. Yang diperselisihkan apakah kemurtadan menjadi penghalang
yang diiringi dengan kekafiran yang sesungguhnya? Dalam hal ini ada
dua pendapat, yaitu (1) Kebanyakan para Ulama berpendapat bahwa
kemurtadan menjadi penghalang untuk mewarisi bila diiringi dengan
kekufuran. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara kekafiran yang
datang secara tiba-tiba dengan kekafiran yang dilakukan sejak awal,
keduanya tetap menjadi penghalang. Namun satu hal yang penting, makna
kekufuran sebenarnya secara hukum sudah mencakup bentuk-bentuk
kekufuran yang lainnya. (2) Kalangan mazhab Syafi’iyyah berpendapat
26 Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif, 1975) Cet Ke-4, hal, 86. 27 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal, 35.
28
bahwa kemurtadan merupakan penghalang mewarisi yang independen,
tidak bisa digabungkan dengan persoalan berlainan agama.28
b. Berlainan Negara yang dimaksud adalah berlainan atau perbedaan jenis
pemerintah antara dua Negara. Jumhur Ulama termasuk didalamnya
Imam Malik dan sebagian ulama-ulama Hanafiyyah, berpendapat bahwa
berlainan Negara antara orang-orang non muslim tidak menjadi
penghalang untuk saling mewarisi diantara mereka. Sebab nash tentang
penghalang itu bersipat umum dan dapat mencakup kepada mereka juga.
Nash yang melarang saling mewarisi antara dua orang ahli waris yang
sama agamanya itu dapat saling mewarisi, meskipun berlainan
Negaranya. Selama dalil yang bersifat umum ini tidak ada yang
mentakhsisnya, maka dalil tersebut wajib diamalkan. Sedangkan Imam
Abu Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah menyatakan bahwa
berlainan Negara antara orang-orang non muslim menjadi penghalang
pewarisan mereka, karena terputusnya ismah (ikatan kekuasaan) dan tidak
adanya hubungan perwalian, justru terakhir ini menjadi dasar warisan.29
C. Ahli Waris dan Bagiannya
1. Golongan Ahli Waris
28 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami. Hal, 62. 29 Fathurrahman, Ilmu Waris, hal, 86
29
Golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang
laki-laki dan 10 orang perempuan.30 mereka adalah:
Kelompok ahli waris laki-laki
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah
c. Bapak
d. Kakek shohih dan seterusnya keatas
e. Saudara laki-laki kandung.
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
i. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
j. Paman sekandung
k. Paman sebapak
l. Anak laki-laki paman sekandung
m. Anak laki-laki paman sebapak
n. Suami
o. Orang laki-laki yang memerdekakan budak.
Kelompok ahli waris perempuan
a. Anak perempuan
30 Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnu al-Ruhbiyyah (Surabaya: Maktabah Saqofah,
Tth) hal, 3.
30
b. Cucu perempuan pancar laki- laki
c. Ibu
d. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas
e. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan sebapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Isteri
j. Orang perempuan yang memerdekakan budak
Dari kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh)
tertentu, yakni bagian yang telah ditentukan kadarnya (Furudhul muqaddarah),
mereka disebut ahli waris ashabul furudh atau dzawil furudh; sebagian lainnya tidak
mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah diambil
oleh ahli waris ashabul furudh, mereka disebut ahli waris ashabah.31
Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga
terdekat (zul arham), yang tidak disebutkan didalam kitab Allah tentang bagiannya
(fardh) atau tentang usbhat, mereka dikenal dengan sebutan ahli waris dzawil arham.
2. Bagian Ahli Waris
31 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal, 65.
31
Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur’an hanya ada enam, yakni
1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6.32
Para ulama, dalam mengkaji pembahasan tentang bagian-bagian yang telah
ditentukan al-Qur’an (fardh dan ash-habul furudnya) menggunakan dua metode.
Pertama, membahas setiap fardh secara terperinci, misalnya menyebutkan bagian
separuh (1/2), kemudian menyebutkan ahli waris yang mendapatkan bagian separuh,
menyebutkan bagian seperempat (1/4) dengan menyertakan ahli waris yang
mendapatkan bagian itu, dan seterusnya. Kedua, menyebutkan ashabul furudh beserta
uraian seputar kondisi mereka satu persatu. Misalnya, menyebutkan suami
adakalanya mewarisi setengah (1/2) harta peninggalan dan adakalanya mewarisi
seperempat (1/4) bagian, atau menyebutkan ibu pada satu kondisi dia mewarisi (1/3),
adakalanya dia mewarisi bagian (1/6), dan adakalanya pada kondisi yang lain, si ibu
dapat mewarisi satu pertiga (1/3) dari sisa harta waris.33
Dalam mengurutkan Bagian ahli waris ini, akan dipakai pada metode yang
kedua, sekaligus klasifikasi fardh dan ashabah.
a. Ahli waris dzawil furudh
Ahli waris dzawil furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian
tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam al-Qur’an) yang bagiannya itu tidak
32 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, hal. 66. 33 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 106.
32
akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah–masalah yang terjadi radd
atau aul.
Ahli Waris tetap menjadi dzawil furudh dan tidak bisa menjadi ashabah,
Berjumlah 7 orang yaitu:
1) Ibu: seperenam (1/6) bila bersama keturunan si mayyit, juga ketika ada
dua orang saudara atau lebih, atau sepertiga (1/3) utuh ketika tidak ada
keturunan simayyit dan tidak ada saudara, atau sepertiga (1/3) sisa jika
orang yang ada bersama ibu dan bapak adalah suami atau istri, dan hanya
pada dua kelompok ahli waris yang ditinggalkan, yang dikenal dengan
umariyyatain atau al-Gharrowain.
2) Nenek dari jalur ayah: seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-
sama dengan ahli waris yang lainnya. Dengan syarat tidak ada ayah.
3) Nenek dari jalur ibu: seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-sama
dengan ahli waris yang lainnya. Dengan syarat tidak ada ibu.
4) Saudara laki-laki seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan
sepertiga (1/3), bila bersama –sama dengan ahli waris lainnya.
5) Saudara perempuan seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan
sepertiga (1/3), bila bersama-sama dengan yang lain.
6) Suami: setengah (1/2) bila tidak bersama dengan keturunan si mayyit dan
seperempat (1/4) bila bersama dengan keturunan simayyit.
33
7) Istri: seperempat (1/4) bila tidak bersama keturunan simayyit dan
seperdelapan (1/8) bila bersama keturunan si mayyit.34
Ahli Waris sewaktu-waktu bisa fardh dan ashobah yaitu:
8) Ayah
9) Kakek
Keduanya dapat mewarisi jalan fardh 1/6 ketika tidak ada keturunan si
mayyit. Namun, keduanya juga dapat mewarisi dengan cara ashabah, yakni ketika
mereka tidak bersama-sama keturunan simayyit secara mutlak.
Keduanya juga dapat mewarisi secara fardh dan tashib, secara bersama-sama
dengan keturunan si mayyit. Dengan syarat sisa harta waris yang telah dibagikan
kepada ashabul furudh lebih dari seperenam (1/6) bagian. Namun, jika sisa harta
waris hanya seperenam (1/6) bagian itu. Demikian pula, jika sisa harta waris tidak
mencapai seperenam (1/6) bagian. Jika kondinya demikian, asal masalahnya
dinaikkan untuk menyempurnakan bagian seperenam (1/6). Tidak menutup
kemungkinan, dalam satu kasus, harta waris telah habis di bagikan atau tidak tersisa
sama sekali. Dalam kondisi ini, asal masalahnya di aulkan menjadi seperenam.35
Contoh:
Mewarisi hanya jalan fardh
Ayah 1/6
34 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 106. 35 Ibid, hal.99
34
Anak laki-laki sisa
Mewarisi jalan Ashobah
Istri 1/4
Ayah Sisa
Mewarisi dengan jalan fardh dan tashib secara bersamaan
Anak perempuan 1/2 3
Ibu 1/6 1
Ayah 1/6 + sisa 1 secara fardh + 1 secara tashib = 2
Ahli waris yang mewarisi jalan fardh pada suatu ketika dan disaat lain mewarisi
dengan jalan ashobah. Ahli waris semacam ini ada 4 orang yaitu:
10) Seorang anak perempuan atau lebih
11) Seorang cucu perempuan dari seorang keturunan laki- laki atau lebih
12) Seorang saudara perempuan sekandung atau lebih
13) Dan seorang saudara perempuan seayah atau lebih
Jika tidak, empat orang tadi disebut sebagai kelompok ahli waris yang
mendapatkan bagian separuh (1/2) dan dua pertiga (2/3). Mereka dapat mewarisi
harta peninggalan dengan jalan fardh, jika mereka tidak bersama ahli waris yang
mengashobahkan mereka. Sedangkan bagian tetap mereka adalah adalah separoh
(1/2) jika sendiri dan dua pertiga (2/3) jika bersama-sama. Mereka juga mendapatkan
bagian hak waris secara lunak, jika terdapat ahli waris yang menyisakan untuk
35
mereka. Akan tetapi, mereka tidak menyatu dalam waris mewarisi secara fardh dan
waris mewarisi secara tashib.36
Contoh waris mewarisi secara fardh
1 anak perempuan 1/2
Paman kandung sisa
Contoh waris mewarisi secara tashib
Istri 1/8
1 anak perempuan sisa
1 orang anak laki-laki sisa
b. Ahli Waris Ashabah
Kata ashabah merupakan jama’ dari tashib yang berarti kerabat seorang dari
pihak bapaknya. Dalam memberikan defenisi ashabah atau tashib pada hakikatnya
ulama faraidh mempunyai kesamaan persepsi dan maksud, antar lain:
Sebagaimana dikemukakan Rifa’i Arief yang dikutip oleh Usman Suparman dan
Yusuf Soawinata yaitu: “bagian yang tidak ditentukan dengan kadar tertentu seperti
mengambil seluruh harta atau menerima seluruh harta atau menerima sisa setelah
pembagian ashabul furudh”.37 Menurut Fathurrahman ashabah ialah: “ahli waris
yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah
36 Ibid, hal.101. 37 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal. 72.
36
disepakati oleh seluruh fuqaha. Seperti ashabul furudh dan yang belum disepakati
seperti dzawil arham”.38
Dalam kitab Matnur al-Ruhbiyyah ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapat
bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya, yang telah disepakati oleh seluruh
fuqoha (seperti ashabul furudh) dan yang belum disepakati oleh mereka (seperti
dzawil arham) serta mereka mendapatkan sisa harta peninggalan setelah dikurangi
bagian furudh.39
Sayid Sabiq membagi ashabah atas dua bagian, yakni ashabah nasabiyyah yaitu
berdasarkan kekerabatan dan ashabah sababiyyah yaitu berdasarkan adanya sebab
memerdekakan hamba sahaya. Mengenai ashabah nasabiyyah para ahli faraidh
membaginya menjadi tiga bagian yaitu: Pertama, ashabah bil nafsi. Kedua, ashabah
bil ghair. Ketiga, Ashabah ma’al ghair.40
Adapun rincian ashabah nasabiyyah sebagai berikut:
1) Ahabah bi an-Nafsi ialah tiap-tiap kerabat yang lelaki yang tidak diselangi
dalam hubungannya dengan yang meninggal oleh seorang wanita.41
Orang- orang yang menjadi ahli waris ashabah bi an-Nafsi berjumlah 12
orang. Yaitu: Anak laki- laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-
laki sekandung, saudara laki-laki se ayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki
38 Fathurrahman, Ilmu Waris, hal. 339. 39 Muhammad Sabatul al-Maridini, Sarhu al-Matnu al-Ruhbiyyah, hal. 23. 40 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Hal. 432 41 Hasby ash-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hal. 167.
37
sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman sekandung,
Paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, anak laki-laki dari
paman seayah, laki-laki yang memerdekakan budak, perempuan yang
memerdekakan budak.42
2) Ashabah bi al-Ghoir ialah tiap wanita yang mempunyai furudh tapi dalam
mawaris menerima ashabah, memerlukan orang lain dan dia bersekutu
dengannya untuk menerima ashabah.43
Orang-orang yang menjadi ashabah bi al-Ghoir adalah sekelompok anak
perempuan bersama seorang atau sekelompok anak laki-laki, dan seorang
atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok
saudara laki-laki, mana kala kelompok laki-laki tersebut menjadi waris
ashabah bi an-Nafsi.44
3) Ashabah ma’a al-ghoir ialah tiap wanita yang memerlukan orang lain dalam
menerima ashabah, sedangkan orang lain itu bersekutu menerima ashabah
tersebut.45
Adalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung
maupun sebapak, yang mewaris bersama-sama dengan seorang atau
42 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal. 75. 43 Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, hal.
92. 44 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal. 77. 45 Hasby ash-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, hal. 179.
38
sekelompok anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala
tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak, serta tidak
ada saudaranya yang laki-laki, yang menjadikannya sebagai ahli waris bil
ghoir. Jadi saudara perempuan sekandung atau sebapak mempunyai tiga
keadaan, yaitu sebagai penerima warisan secara fardh manakala tidak
bersama-sama dengan saudara laki- lakinya sebagai ashabah bi ghoir
manakala bersama dengan saudara laki-lakinya; dan sebagi ashabah ma’al
ghair manakala bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan
pancar laki-laki.46
c. Dzawil Arham
Semula istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni mencakup
seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang
meninggal.47 Para Ulama faraidh memberikan definisi dzawil arham yaitu setiap
kerabat yang bukan (tidak termasuk) ashabul furud dan bukan (tidak termasuk)
golongan ashabah. Penyebutan ini dimaksudkan untuk membedakan orang-orang
yang termasuk dzawi al-arham dengan orang orang–orang yang termasuk ash-habul
furudh dan ashabah.48 Orang-orang yang kelompok dzawil arham antara lain:49
46 Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawaris FI al-Syari’ al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah Al-
Bayyan al-Araby, 1958) hal. 102-103. 47 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal. 79.. 48 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 339. 49 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal. 80.
39
1) Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya kebawah.
2) Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya kebawah
3) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
4) Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah.
5) Anak laki-lakisaudara perempuan sekandung dan seterusnya kebawah.
6) Anak perempuan saudara perempuan sekandung da seterusnya kebawah
7) Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya kebawah
8) Kakek dari pihak ibu dan seterusnya kebawah
Mengenai hak waris dzawil arham, para fuqaha masih berselisih pendapat.
Sebagian mereka menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali tidak dapat menerima
warisan, dan sebagian lainnya menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, yakni
mana kala tidak ada lagi golongan ashabul furudh dan ashabah, dzawil arham dapat
menerima warisan. Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali
tidak menerima warisan adalah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab,
Sufyan al-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i dan ibn hazm. Imam Malik dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada hak waris bagi dzawil arham dan harta warisan
tersebut diberikan ke Baitul Mal.50
50 Ibid, hal. 81.
40
Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham berhak menerima warisan
adalah Ali, Ibn Mas’ud, Syuraih al-Qadhi, Ibnu Sirrin,’Atho’ Mujahid, Imam Abu
Hanifah dan Imam Ibnu Hanbali.51
D. Asal Masalah dan Tashihul Masalah
1. Asal Masalah
Asal masalah dalam hukum waris adalah bilangan yang paling sedikit atau kecil
yang bisa diambil darinya, bagian para ahli waris secara benar tanpa ada bilangan
pecahan, dan besarnya bagian itu berbeda sesuai dengan perebedaan para ahli waris
yang ada.52
Yang dimaksud dengan asal masalah ialah kelipatan persekutuan terkecil (KPT)
yang dapat dibagi oleh setiap penyebut furudhul muqaddarah para ahli waris ashabul
furudh. Untuk mengetahui besarnya asal masalah, terlebih dahulu diperhatikan
jumlah macam penyebut yang terdapat pada masalah yang akan diselesaikan, tanpa
memperhitungkan jumlah macam pembilang. Apabila jumlah macam penyebutnya
telah diketahui, maka penentuan masalahnya.53
51 Yusuf Musa, Al-Tirkah Wa al-Mirats Fi al-Islam, (Mesir: Daar al-Kitab al-Araby, 1959)
hal. 278. 52 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 297. 53 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.100 *Tamatsul berasal dari kata “tamaatsala” (تماثل) “yatamaatsalu” ”tamaatsulan“ )ثلامتي(
)تماثال( artinya serupa.
41
Pertama, Tamatsul* yaitu apabila hanya ada satu macam penyebut baik hanya
satu pecahan maupun beberapa pecahan yang mempunyai penyebut yang sama, maka
asal masalahnya adalah bilangan penyebut itu sendiri.54
Contoh: 1/2 asal masalahnya 2
1/3 asal masalahnya 3
Kedua, Tadakhul* yaitu jika bilangan terbesar dari penyebutnya dapat dibagi
(menghasilkan bilangan bulat) oleh bilangan penyebut lainnya, maka asal masalahnya
adalah bilangan penyebut tersebut.55
Contoh: 1/2 dan 1/4 Asal masalahnya 4
1/2 dan 1/6 Asal masalhnya 6
Ketiga,Tawafuq* yaitu jika bilangan-bilangan penyebut tersebut bukan tadakhul,
tetapi diantaranya ada bilangan-bilangan yang dapat dibagi oleh bilangan yang sama
(tawafuq), maka asal masalahnya adalah hasil perkalian bilangan tawafuq tersebut
dibagi dua.56
*Tadakhul berasal dari kata “tadaakhala” )تداخل( yatadaakhilu” )يتداخل( “tadaakhulan”
)تداخال( artinya terjalin, saling memasuki. 54 Ibid, hal. 100. 55 Ibid, hal. 100 *Tawafuq berasal dari kata “tawaafako” ( افقوت ) “yatawaafiku”(يتوافق )
“tawaafukon” ( قافتوا ) artinya bersepakat. *Tabayyyun berasal dari kata “tabayyana”( نيبت ) “yatabayyanu” (يتبين) “tabayyunan” (تبينا)
artinya tampak, jelas. 56 Ibid, hal 101
42
Contoh: 1/4 dan 1/6 Asal masalahnya 12
1/6 dan 1/8 Asal masalahnya 24
Keempat, Tabayyun* yaitu jika bilangan-bilangan penyebut tidak bisa dibagi
oleh bilangan penyebut terkecilnya atau tidak bisa dibagi dengan bilangan yang
sama, selain angka satu, maka asal masalahnya adalah hasil perkalian dari bilangan-
bilangan tabayyun tersebut.57
Contoh: 1/3 dan 1/2 Asal masalahnya 6
1/3 dan 1/4 Asal masalahnya 12
Dalam masalah yang hanya terdapat ahli waris ashabah asal masalahnya
adalah jumlah kepala mereka, dengan ketentuan bahwa seorang laki-laki sama dengan
bagian dua orang perempuan, apabila ada ahli waris yang perempuannya. Dalam
masalah yang terdiri atas dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan asala
masalahnya adalah 5; setiap anak laki-laki mendapat 2/5 dan anak perempuan 1/5.58
2. Tashihu al-Masalah
Tashihul masalah yaitu mencari angka masalah terkecil yang bisa menetapkan
saham-saham para ahli waris tanpa angka pecahan. Yakni satu kelompok ahli waris
tidak mendapatkan bagian secara genap.59 Apabila hasil pembagian saham yang
57 Ibid, hal. 102. 58 Ibid, hal. 103. 59 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 303.
43
berupa pecahan tersebut terdapat hanya pada satu kelompok, maka penentuan tashihul
masalahnya dapat ditempuh sebagai berikut:
Pertama, Melihat adadur- ruus (jumlah kepala) dan jumlah saham para ahli
waris pada kelompokyang memerlukan tashih, apakah kedudukannya tabayyun,
tawafuq, atau tadakhul.60
Kedua, Apabila kedudukannya sudah diketahui maka penyelesaian tashihul
masalahnya adalah: i. Jika tabayyun dikalikan dengan jumlah kepala:61
JUMLAH
KEPALA
JUMLAH
SAHAM
DIKALIKAN
DENGAN
2 2 3 3 5 7
3 5 4 7 3 2
2 2 3 3 5 7
ii. Jika tawafuq dikalikan dengan hasil pembagian jumlah kepala dengan pembagi tawafuq tersebut, seperti:
JUMLAH KEPALA JUMLAH SAHAM DIKALIKAN DENGAN
4 4 6 6 8 8
6 10 4 15 6 10
2, yakni 4:2 2, yakni 4:2 3, yakni 6:2 2, yakni 6:3 4, yakni 8:2 4, yakni 8:2
60 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.105 61 Ibid, hal. 106
44
iii. Jika tadkhul dikalikan dengan hasil pembagian jumlah kepala dengan
jumlah saham, seperti62
JUMLAH KEPALA JUMLAH SAHAM DIKALIKAN DENGAN
4 6 6 8 8 9 15 15
2 2 3 2 4 3 3 5
2, yakni 4:2 3, yakni 6:2 2, yakni 6:3 4, yakni 8:2 2, yakni 8:4 3, yakni 9:3 5, yakni 15:3 3, yakni 15:5
Apabila hasil pembagian saham yang berupa pecahan, pecahan tersebut
terdapat pada beberapa kelompok, maka pentashihannya adalah dengan cara
mengalikan asal masalah dan saham-sahamnya dengan KPK dari angka-angka
pengali kelompok tersebut, seperti:63
JUMLAH KEPALA JUMLAH SAHAM DIKALIKAN DENGAN
3 3 3 4 3 12 4 16
4 1 2 3 2 7 3 16
3
3 } = 3, yaitu KPKnya 3 4 3 } = 3, yitu KPKnya 12 4
62 Ibid, 106. 63 Ibid, 107
45
6 15 3 7
1 4 5 10
9 } = 180, yaitu KPKnya 6 15 3 7 } = 21, yaitu KPKnya
Contoh:
Seorang meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang istri, ibu, 3 anak perempuan, dan
cucu laki-laki pancar laki-laki, berapakah bagian masing-masing ahli waris tersebut
apabila sipewaris meninggalkan harta warisan sebesar Rp 720.000.000.00.’
Jawab:
Asal Masalah = 24
Istri 1/8 : 1/8 x 24 = 3
Ibu 1/6 : 1/6 x 24 = 4
3 Anak Perempuan 2/3 : 2/3 x 24 = 16
5 Anak laki-laki Ashabah : (24-23) = 1 Pancar Laki-laki 24 Jadi kalau dibagi masih bisa menjadi pecahan pentashihannya untuk masalah ini
dikalikan dengan KPK-nya dari 3 dan 5, yaitu 15. Jadi penyelesaiannya sebagai
berikut:
Istri = 3 x 15 = 45
Ibu = 4 x 15 = 60
3 Anak Perempuan = 16 x 15 = 240
5 Cucu Laki-Laki = 1 x 15 = 15
46
Pancar Laki-Laki 360 Istri = 45/360 x 720.000.000.00.’ = Rp 90.000.000.00.’
Ibu = 60/360 x 720.000.000.00.’ = Rp 120.000.000.00.’
3 Anak Perempuan =240/360 x 720.000.000.00.’ = Rp 480.000.000.00.’
Masing-masing 80/360 x 720.000.000.00.’ = Rp 160.000.000.00.’
5 Cucu Laki-Laki = 15/360 x 720.000.000.00.’ = Rp 30.000.000.00.’
Pancar Laki-Laki
masing-masing adalah = 3/360 x 720.000.000.00.’ = Rp 6.000.000.00.’
E. Hijab Dalam Waris
Hijab secara harfiah artinya satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh
Mawaris istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris hubungan
kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusnya terhalang hak-hak
kewarisanya oleh ahli waris yag lebih dekat. Ahli waris yang menghalangi disebut
hajib, dan ahli waris yang terhalang disebut dengan mahjub keadaan menghalangi
disebut hijab.64
Hijab dilihat dari akibatnya, ada dua macam, pertama, Hijab nuqsan, yaitu
menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub seperti suami
yang seharusnya menerima bagian setengah karena bersama anak laki-laki maupun
perempuan, bagiannya terkurangi menjadi 1/4. Ibu yang sedianya menerima bagian
64 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hal. 89
47
1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara dua orang atau lebih, terkurangi
bagiannya menjadi 1/6.
Kedua, Hijab hirman, yaitu menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak
waris ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang
menghalangi. Misalnya saudara perempuan sekandung yang semula berhak menerima
bagian 1/2, tetapi karena bersama dengan anak laki-laki.65
Berikut adalah daftar Hajib-Mahjub Hirman
65 Ibid, hal. 90
1 Kakek Terhalang Oleh
Adanya
Ayah
2 Nenek Garis Ibu
Ibu
3 Cucu Laki-Laki
Anak Laki-Laki
4 Saudara Laki-Laki/
Perempuan
Kandung
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
5 Nenek garis Ayah
Ayah Ibu
6 Saudara laki-laki seayah
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki Sekandung
7 Saudara Perempu
an Seayah
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki Sekandung
Saudara Peremp
uan Seayah
8 Saudara Lk/Pr Seibu
Ayah Anak Laki-Laki/Pr
Cucu Laki-Laki/Pr
Sdr Laki-Laki Sekandung
Saudara Peremp
uan Seayah
Kakek
48
9 Anak Laki2 Saudara Laki2 sekandung
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki Sekandung
Saudara Peremp
uan Seayah
Kakek
10 Anak Laki2 Sdr seayah
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki
Sekandung/ Seayah
Saudara Peremp
uan Sekand
ung/ Seayah
Kakek
11 Paman Sekandung
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki
Sekandung/ Seayah
Saudara Peremp
uan Sekand
ung/ Seayah
Kakek Dan
Anak Laki2
sdr Laki2 skdg
12 Paman Seayah
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki
Sekandung/ Seayah
Saudara Peremp
uan Sekand
ung/ Seayah
Kakek Dan
Paman Sekandung
13 Anak Laki2 Paman Sekandung
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki
Sekandung/ Seayah
Saudara Peremp
uan Sekand
ung/ Seayah
Kakek Dan
Paman Skdg/ Seaya
h 14 Anak
Laki2 Paman Seayah
Ayah Anak Laki-Laki
Cucu Laki-Laki
Sdr Laki-Laki
Sekandung/ Seayah
Saudara Peremp
uan Sekand
ung/ Seayah
Kakek Dan
Paman Skdg/ Seaya
h Dan
Anak Laki2 Paman Skdg
F. Cara Menentukan Dan Menyelesaikan Warisan
Jika kita ingin membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak, kita
harus melihat mana yang disebut harta peninggalan (tirkah) dan membayar lunas
49
semua utang dan melaksanakan semua wasiat simayyit, yang tidak lebih dari 1/3 harta
waris, kita harus mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan warisan. Dan harus
diketahui siapa yang terlarang menerima warisan. Kita harus mengikuti langkah-
langkah berikut ini.
1. Menentukan bagian-bagian ash-habul furudh jika mereka ada
2. Menjelaskan asal masalah
3. Menentukan bagian setiap ahli waris
4. Harta Waris dibagi berdasarkan asal masalah.
5. Apabila kita telah mengetahui bagian untuk setiap ahli waris dan kadar satu
bagian dari harta waris, tinggal kita kalikan kadar bagian itu dengan jumlah
bagian ahli waris, dan hasilnya adalah kadar satu bagian dari harta waris.
6. Semua ini diberikan, apabila para ahli warisnya dari dzawil furudh saja atau
sebagian lagi ashabah. Apabila ahli warisnya hanya ashabah dan semuanya
laki-laki, atau semuanya perempuan, asal masalahnya adalah jumlah ahli
warisnya. Namun apabila para ahli waris itu campuran, ada laki-laki dan
perempuan, asal masalahnya adalah jumlah laki-laki dikalikan dua, ditambah
jumlah perempuan.
Contoh Penyelesaiannya: Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
istri, bapak, ibu, kakek, seorang anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki. Harta
peninggalannya sebesar Rp 48.000.000,00.
50
Maka penyelesaiannya sebagai berikut: Kita harus menentukan siapa ahli waris yang
mendapat warisan
Isteri 1/8
Bapak 1/6
Ibu 1/6
Kakek Terhalang oleh adanya Ayah
Seorang anak laki-laki Ashabah (sisa)
Seorang cucu laki-laki Terhalang oleh adanya anak
Sesudah kita menentukan siapa ahli waris, selanjutnya pembagiannya yaitu
Isteri 1/8 : 1/8 X 24 = 3
Bapak 1/6 }a.m 24 : 1/6 X 24 = 4
Ibu 1/6 : 1/6 X 24 = 4
Seorang Anak laki-laki Asabah (sisa) : (24-11) = 13
48.000.000 : 24 = 2.000.000
Isteri 3 X 2.000.000 = Rp 6.000.000.
Bapak 4 X 2.000.000 = Rp 8.000.000.
Ibu 4 X 2.000.000 = Rp 8.000.000.
Seorang Anak Laki-Laki 13 X 2.000.000 = Rp 26.000.000. +
Rp 48.000.000.00.,
Dalam pembagian waris ada disebut ahli waris inti yaitu tidak pernah tertutup
tapi tentu akan tampil sebagi yang mendapat bagian harta tinggalan karena tidak
terhijab hirman adalah: Suami atau Istri, Ibu, Ayah, Anak Perempuan, dan Anak
51
Laki-Laki. Mereka disebut ahli waris inti karena dalam kenyataan bahwa
kemungkinan yang mutlak mereka itu tentu menerima hak kewarisannya, sementara
ahli waris diluar mereka tertutup sama sekali selagi masih ada anak, ayah dan ada
ibu, sehingga mereka tidak bisa menikmati hak kewarisan mereka, menerima bagian
harta tinggalan.66
SKEMA AHLI WARIS INTI
Ibu (-)
Ayah (+)
66 Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, hal.
3.
52
Yang Meninggal - / +
Suami (+)
Istri (-)
Anak Perempuan
(-)
Anak Laki-Laki
(+)
Keterangan: + = Laki-Laki - = Perempuan
= Sebab Pernikahan = Sebab Keturunan.
53
BAB III
RADD DALAM KEWARISAN
A. Pengertian Radd
Radd berasal dari kata “radda” ( در ) “yaruddu” (يرد)“raddan” (ردا), yang
artinya kembali.1 Secara etimologi radd artinya “al-‘awd” ( دوالع ) “ar-ruju” )عوجلرا(
artinya kembali, dan “ash-sharf” ( رفصال ) artinya menghindarkan.2 Dan radd berarti
juga dengan “arrapashu” ( صفرال ), dan “al-Iadah” ( ةادعاال ) artinya mengembalikan.3
Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 25.
⌧ ⌧
⌧ ☺ ⌧ )..................(
Artinya : “Dan Allah menghalau (mengembalikan) orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. al-Ahzab, 33:25)
1Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pusat
Progressif, 1997) Cet ke-14, hal, 486. Lihat juga . Abul Yazid Muhammad Abul Azmi, Maqosidu al-Miraz Fi Douni Nususi al-Syariati Waqonuni al-Mawaris, (Mesir, Hukmu Attabi’i Mahfuzatul Lilmuallif, 1999) hal.84.
2 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami (Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah, 2000) Terjemah H. Addys Aldizar dan Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) hal. 321.
3 Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah (Ttp, Lajnat Atta’rif al-
Islamiyyah,1966) hal. 54.
52
53
Menurut Hasanain Muhammad Mahluf., radd secara terminologi adalah: “adanya
kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan adanya kekurangan pada jumlah
sahamnya.”4
Dan menurut Ahmal Kamil al-khuduri., radd adalah: “memberikan harta yang
tersisa kepada ashabul furud, sesudah diberikan bagian masing-masing ashabul furud
dan tidak bersama dengan ahli waris ashabah, dibagi sesuai dengan nisbat bagian
mereka.”5
Menurut Sayid Sabiq., bahwa radd adalah: “pengembalian apa yang tersisa
dari bagian dzawil furudh nasabiyyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya
bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.”6
Menurut Hasan Ahmad Khotib., Radd adalah: Adanya kekurangan jumlah
jumlah saham dari pada asal masalah, dan adanya kelebihan kadar bagian para ahli
waris.7 Menurut Fathurrahman., radd adalah: “penambahan pada bagian-bagian ahli
waris dan pengurangan saham-sahamnya.”8
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa radd adalah suatu masalah
kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya. Dan
4 Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi al-Syariatil al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah
al-Bayyan al-Araby, 1958) hal. 138. 5 Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah hal. 55. 6 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Ttp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), jilid III, h. 306 7 Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqhul al-Muqaron, (Kairo: Darut at-Taklif. 1957) hal. 336. 8 Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif, 1975) Cet Ke-4, hal. 423
54
dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar para ahli waris. Karena pada masalah
radd ini, ada penambahan kadar kepada para ahli waris. Masalah Radd ada karena
tidak ada ashabah dalam pembagian waris, maka sesudah dibagikan bagian masing-
masing ahli waris masih ada sisa, yaitu sisa kecil Hazairin menamakannya dengan
Dzawu-Iqarabat.9 Dan Hasanain Muhammad Makhluf menamakannya dengan al-
Naqishah.10
B. Rukun dan Syarat Radd.
1. Rukun-Rukun Radd
a. Terwujudnya ashabul furudh
b. Terwujudnya kelebihan saham
c. Tidak ada ahli waris waris ashabah
Ketiga ini harus ada, sebab kalau salah satu dari rukun tersebut tidak ada tentu
tidak akan terjadi masalah radd. Misalnya jika para ahli waris dari seseoarang yang
mati semuanya terdiri dari ashabah maka harta peninggalan asal masalahnya adalah
sesuai jumlah bilangan ashabah tersebut. Atau beberapa orang ashabul furudh dan
seorang ashabah, niscaya tidak akan ada sisa lebih atau kurang. Demikian juga
apabila jumlah saham-saham dari para ahli waris adalah sebesar jumlah asal masalah,
sehingga tidak ada kelebihan sedikitpun, tentu tidak akan terjadi masalah radd.11
9 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tritamas,
1964) Cet ke-3. hal.45. 10 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) Cet ke-2. Hal. 119. 11 Fathurrahman, Ilmu Waris, hal. 423.
55
2. Syarat-Syarat Radd.12
1. Adanya Kelebihan harta dan kelebihan saham.
2. Tidak ada ahli waris ahabah.
Persoalan radd terjadi dalam hal ada suami atau istri , kedua, dalam hal suami atau
istri tidak ada13
C. Pendapat Para Ulama Tentang Radd
Tidak ada Nash yang khusus yang terdapat dalam kitab ALLAh SWT. Atau
dalam Sunnah Rasulullah saw tentang radd. Karena itulah, para sahabat, tabi’in, dan
para imam mazhab fiqih, berbeda pendapat tentangnya. Para Ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini pada prinsipnya, ada dua pendapat yaitu radd itu tidak
ada dan radd itu ada.14
1. Pendapat Para Sahabat dan Tabiin
a. Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khottab
Mereka berpendapat Pengembalian sisa harta diserahkan kepada ashabul
furudh, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri. Karena suami atau istri
bukanlah kerabat nasab.15 Tidak boleh diserahkan ke baitul mal, karena nasab lebih
utama dibandingkan hubungan agama. Dzul al-furudh mengumpulkan dua sebab,
12 Abul Yazid Muhammad Abul Azmi, Maqosidul al-Miraz Fi Dauni Nususi al-Syariati Wa
Qonuni al-Mawarisi, hal.84. 13 Suhwardi k Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum waris Lengkap dan Praktis (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998) hal 165. 14 Fathurrahman, Ilmu Waris, hal. 423. 15 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah Ala
al-Mazahibul Arbaah, (Berut: Maktabah al-Azriyah, 1996) hal 172
56
yaitu hubungan agama dan hubungan nasab, sementara kaum muslimin (baitul mal)
hanya mempunyai satu sebab saja yakni hubungan agama. Maka radd diserahkan
kepada ashabul furudh kecuali kepada suami atau istri.
Dalil yang dikemukakan adalah Surah al-Anfaal ayat 75
⌫
⌧
(............)
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Anfal,8:75)
Ayat ini menjelaskan bahwa suami atau istri tidak termasuk pengertian
umum ayat ini. Suami atau istri dapat mewarisi karena sebab perkawinan, dan ini
terputus bila salah seorang dari mereka wafat. Karena itu, bagian warisan untuk
suami atau istri hanya apa yang ada dalam nash, dan tidak ada pengembalian untuk
mereka karena hal itu tidak ada dasarnya. Hubungan kekerabatan karena nasab akan
tetap kekal, walaupun ahli warisnya telah wafat. Oleh sebab itu, tidak ada alasan
untuk mencegah ash-habul furudh, yang memiliki ikatan kekerabatan dengan
57
simayyit, maka sisa harta sesudah pembagian waris, ash-habul furud lebih berhak
mendapatkan warisan daripada orang lain.16
b. Utsman bin Affan
Apabila ada sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh dan tidak
ada ashabah karena nasab dan sebab, Pengembalian sisa harta diserahkan kepada
seluruh ash-habul furudh, dengan kadar bagian masing-masing tanpa terkecuali
(radd boleh diberikan kepada siapa saja tanpa ada pengecualian). bahwa radd dapat
diberikan kepada seluruh ahli waris dzul al furudh sekalipun kepada suami istri
menurut bagian mereka masing-masing.17
Dalil yang dikemukakan adalah bahwa suami atau istri menanggung
kekurangan pada bagian mereka ketika aul, maka mereka juga wajib menerima
tambahan ketika ada sisa lebih (radd). Alasan lainnya bahwa dalam al-Qur’an telah
ditetapkan bahwa suami atau istri adalah ahli waris dan tidak ada yang melarang
dalam menambahi sisa waris. Oleh sebab itu tiap-tiap yag ditetapkan oleh Nash
menyalahi qiyas maka wajib mendahulukan apa yang ditetapkan oleh nash.18
c. Pendapat Abdullah ibnu Mas’ud
16 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islam, hal. 322 17 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), juz 7, h. 46. Lihat
juga Hasan Yusuf Ghazali, al-Miras ala al-Mazahibul Arba’ah dirasatan watatbikhan, (Ttp: Daar al-Fikr, 2003) hal. 113.
18 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah Ala
al-Mazahibul Arbaah, hal. 172.
58
Radd tidak boleh diberikan kepada enam ashabul furudh yaitu suami, istri,
nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, dan
saudara-saudara seibu. Dalil yang dikemukakan adalah mewarisi sisa setelah ash-
habul furudh, dengan jalan pengembalian, sama hukumnya dengan jalan ashabah.
Oleh karena itu dahulukanlah yang lebih dekat kemudian yang agak dekat. Tidak
tetap radd itu bagi suami adan istri karena salah satu keduanya tidak ada sipat
qorabat. Dan tidak tetap mendapatkan radd cucu perempuan dari anak laki-laki
bersama anak perempuan sulbi, saudara perempuan sebapak bersama saudara
perempuan sekandung, serta saudara seibu bersama ibu dan nenek, karena salah satu
dari yang tiga ini ada orang yang lebih dekat dengan si mayyit daripada mereka.19
d. Pendapat Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir dan Sulaiman ibnu
Yasar.
Tidak ada radd dalam waris mewarisi dan harta yang tersisa setelah bagian
ash-habul furud dibagikan, tidak bisa dikembalikan kepada mereka, tetapi harus
diserahkan ke baitul mal. Dalil yang dikemukakan adalah bahwa ALLAH SWT telah
menjelaskan bagian ash-habul furudh dalam masalah warisan. Oleh karena itu, tidak
boleh ditambahkan dengan sisa harta, karena perbuatan itu melampaui batas yang
ditentukan ALLAh SWT.20
Sebagaimana di dalam al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 13-14
19 Ibid, hal.173. 20 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 322.
59
⌧
⌧ (.............)
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’ 4:13-14)
Ayat ini turun sesudah menerangkan bagian ashabul-furudh, artinya
membatasi bagian yang telah ditentukan oleh ALLAH SWT. Maka seluruh sisa harta
itu diserahkan kepada baitul mal.21
e. Abdullah ibnu Abbas
Sisa harta diberikan kepada ash-habul furudh selain suami, istri dan juga
selain nenek, jika ia bersama ashabul furudh yang memiliki hubungan kekerabatan
karena nasab. Jika tidak ada, ia boleh medapatkan pengembalian. Dalil yang
dikemukakan adalah Warisan nenek merupakan makanan untuknya. Oleh karena itu
21 Ibid, hal. 323
60
nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah ditetapkan, kecuali
jika tidak ada ashabul furudh, yang memiliki hubungan karena nasab.22
2. Pendapat para Imam Mazhab
a. Imam Syafi’i dan Imam Maliki
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki Sisa harta yang tersisa setelah
bagian ashabul furudh dibagikan (radd), tidak bisa dikembalikan kepada ashabul
furud, tetapi harus diserahkan ke baitul mal.23 Demikian juga tidak boleh diserahkan
kepada dzawil arham, baik keadaan kas baitul mal teratur dalam melaksanakan
tugasnya maupun tidak. Sebab hak pusaka terhadap kelebihan tersebut adalah
ditangan orang-orang muslimin pada umumnya. Orang-orang muslimin pada
keadaan bagaimanapun tidak boleh dianggap sepi. Biarpun nashir tersebut tidak
melaksanakan amanat orang-orang muslimin, tetapi hal itu tidak dapat
menggugurkan hak mereka.24 Oleh karena itu Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan
kepada ahli waris dzul al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena
tidak ada jalan untuk memilikinya dan harus diserahkan ke baitulmal.
22 Ibid, hal. 327. 23 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala
Mazahibul Arbaah, hal. 174. 24 Muhammad Syarbini al-Khotib, Mughnil Muhtaj (Mesir: Musthapa al-Baby al-Halaby,
1958) Juz III, hal. 6.
61
Dalil yang dikemukakan bahwa Allah SWT menjelaskan bagian tiap-tiap ahli
waris, apabila kita memberikan radd itu kepada ashabul furudh berarati kita sudah
memberikan yang bukan haknya. Dalam alqur’an surah an-Nisa’ ayat 13-14.
⌧
⌧ (.............)
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’ 4:13-14)
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh melampaui batas yang telah
disyariatkan oleh ALLAH SWT, yang melampaui batas akan mendapatkan sanksi
yang keras. Karena bahwasanya ALLAH SWT telah menentukan bagian para dzawil
furudh secar qoth’iy besar kecilnya secar pasti, tidak perlu ditambah atau dikurangi.
Menambahi fardh mereka berarti membuat ketentuan yang melampaui batas
ketentuan syariat. Orang-orang yang melampaui batas ketentuan syariat, oleh tuhan
diultimatum akan diabadikan dineraka.
62
Imam Syafi’i berkata: apa makna radd? Apakah itu merupakan sesuatu yang
diperoleh melalui istihsan (anggapan baik) walaupun demikian, apakah kita
mensyariatkan sesuatu yang tidak disyariatkan Allah? Kalau boleh, kita bisa saja
memberikan warisan kepada tetangga atau nasab yang jauh. Kalau tidak boleh,
mengapa ada yang membolehkan radd? 25 Berdasarkan dalil ini Imam Syafi’ dan
Imam Maliki berpendapat bahwa radd itu harus diberikan kepada baitul mal, karena
baitul mal merupakan ahli waris yang tidak mempunyai ahli waris. Demikian Urwah
dan Imam syafii mengemukan hal yang sama dengan Zaid bin Tasbit.26
Kondisi dan situasi yang dialami oleh fuqaha syafi’iyyah dikemudian hari
berlainan dengan suasana dan situasi yang dialami Imam Syafi’i. Sehingga
mendorong pengikut-pengikutnya seperti Imam Ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain,
al-Mutawally, al- Mazani dan Ibnu Suraij, mempatwakan bahwa sisa harta itu
tidak boleh diserahkan kecuali kepada ash-habul furudh secara nasab dan tidak boleh
diberikan kepada suami atau istri, sama ada baitul mal terorganisir dengan adil atau
tidak terurus. Pendapat Imam Nawawi, Imam al-Mawardi apabila baitul mal
terorganisir dengan adil maka tidak boleh diberikan kepada ashabul furud dan jika
25 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 323, 26 Muhamad Ibn Idris al-Syafii, Al-Umm, (Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah,1993), juz 4, h.
100. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, (Ttp.: Maktabah al Kulliyah al azhariyah, 1969), juz II, h. 380.
63
baitul mal itu tidak terorganisir dengan baik diberikan kepada ashabul furud kecuali
suami atau istri.27
Pendapat mazhab Maliki generasi berikutnya bahwa apabila baitul mal
tidak terorganisir dengan adil ketika ada kelebihan sisa harta diberikanlah kepada
ashabul furudh sesuai dengan nisbah bagian mereka kecuali kepada suami atau
istri.28
b. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh
(radd) diberikan kepada ashabul furudh senasab, kecuali kepada suami atau istri, baik
baitul mal terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul
furudh.29 Penyingkiran suami dan istri dari menerima radd itu ialah karena radd itu
adalah hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan simati, sedang
sebagaimana diketahui bahwa hak pusaka suami dan istri tersebut bukan karena
adanya sebab perhubungan darah, tetapi karena adanya sebab perkawinan.30 Dalil
yang dikemukakan adalah surah al-Anfal ayat 75
27 Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran (Mesir:Darul Ta’rif, 1957) hal 337. 28 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989) hal.358. 29 Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran, hal. 339. 30 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), h. 103.
64
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat).” (Q.S. Al-Anfal, 8:75) Ayat ini mempunyai makna umum, yaitu setiap orang yang terikat dengan
hubungan rahim lebih utama untuk menerima warisan daripada yang lain. Dengan
demikian, mereka berhak mengambil sisa dari harta waris. Ayat ini juga tidak
bertentangan dengan ayat waris-mewarisi, sebab bagian yang telah ditetapkan sudah
diberikan kepada ash-habul furudh. Karena itu mengambil sisa bukanlah menambah
bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun karena ada sebab yang lain, seperti
orang yang mewarisi karena sebab kekerabatan melalui dua jalur.31
Selain berpegang pada firman Allah tersebut, mereka juga mendasarkan
pendapatnya pada hadits yang disampaikan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
ياب نب دعس نب رم اع ين ربخ ا ل اق ىره الز ناث دح ن يافس ناث دح ى دمالح ناث دح
ىف تا اءف ت ولما لىع هنم تيفش ءفا اضرم ةكمب تض رم: ل قا هيبا نع ص قاو
سيلو اريثآ ال ما ىل ن ا اهللا ل وس ر يا تلقف يندوعي موسل عليه اهللا لىص ىبالن
31 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 324.
65
Artinya“Bercerita kepada kami Hamidi bercerita kepada kami Supyan bercerita kepada kami Zuhri, berkata ia, bercerita kepada kami Amar bin Sa’ad bin Abi Waqos dari ayahnya berkata ia, Pada saat haji Wada’ Rasulullah saw, mengunjungiku yang sedang sakit keras. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulllah, aku adalah orang yang memiliki harta yang banyak dan tidak ada yang mewarisi hartaku, kecuali anak perempuanku satu-satunya. Jika demikian, bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga (2/3)dari hartaku? Nabi saw menjawab, tidak boleh. Aku bertanya lagi Bagaimana jika aku sedekahkan separuh hartaku, ya Rasulallah? Nabi saw. Menjawab, Juga tidak boleh, Aku kembali bertanya, kalau sepertiga (1/3) mendengar itu, nabi saw. Bersabda ‘kalau sepertiga (1/30 boleh, dan itupun sudah banyak. Sebab, seandainya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa, meminta-minta kepada manusia, .…(H.R. Bukhari)
Bentuk argumentasi dari hadis diatas adalah Rasulallah SAW, tidak melarang
sa’ad yang membatasi warisannya hanya untuk anak perempuannya, namun beliau
melarangnya berlebihan dalam memberi sedekah, sehingga anaknya menjadi kaya
dengan warisan. Jelasnya, anak perempuan Sa’ad tidak mewarisi seluruh harta,
32 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matnul al-Bukhari Bi-Hasiyyatis al-
Sindi, (Berut: Daar ibn al-Hizam, tth) Jilid ke-4, hal. 165.
66
kecuali jika ia mengambil bagian tetap yang setengahnya dan sisa menjadi
pengembalian.33
c. Syi’ah Zaidiyah dan Imamiyyah
Mereka berpendapat kelebihan harta diserahkan kepada ahli waris yang ada
sesuai dengan kadar masing-masing.
Sedang di kalangan Syi’ah Imamiyah juga terdapat perbedaan tentang memberikan
sisa harta kepada suami isteri ketika ahli waris yang lain tidak ada. Pertama, sisa
harta diberikan kepada suami tidak kepada isteri. Pandangan ini yang lebih mashur di
kalangan mazhab Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua, sisa harta
diserahkan kepada suami atau isteri secara mutlak dan dalam semua keadaan. Ketiga,
sisa harta diberikan kepada suami atau isteri manakala tidak ada imam yang adil.
Kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan kepada suami.34
D. Radd Dalam KHI dan Fiqh Klasik
1. Radd Dalam KHI
Dalam masalah radd ini, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan
bahwa apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada
33 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 325, 34 Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhamad,(Jakarta : Basri
Press, 1994), h. 357.
67
seluruh ahli waris, tanpa terkecuali kepada suami atau istri.35 Hal ini sebagaimana
termaktub dalam pasal 193 KHI36 “Apabila dalam pembagian harta warisan diantara
para ahli waris dzawil furud menunjukkan pembilang lebih kecil daripada angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris,
sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka”
Sikap tegas yang diambil oleh Kompilasi Hukum Islam yang hanya
memberikan satu pilihan yaitu sisa harta yang sesudah dibagikan kepada ashabul
furudh (radd) boleh diberikan kepada semua ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum
Islam Radd itu diserahkan kepada seluruh ashabul furudh, termasuk kepada suami
atau istri.
2.Radd Dalam Fiqh Klasik
Masalah radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada
dzawil furudh, sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta (ashabah) tidak ada.
Mengenai radd para Ulama berbeda pendapat tentang pengembailannya apakah
diserahkan kepada ashabul furudh atau kepada baitul mal (radd itu ada atau tidak
ada). Terus para Ulama juga berbeda pendapat tentang pengembalian kepada ashabul
furud siapa saja yang mendapatkan radd.
35 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal
198. 36 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007) hal 160.
68
Mengenai perbedaan ini para Ulama yang mengatakan radd itu ada
(diserahkan kepada ashabul furudh) adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Abu Hanifah, Imam ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mutawally,
al-Mazani dan Ibnu Suraij.
Para Ulama yang mengatakan radd itu tidak ada (diserahkan kepada baitul
mal) adalah Zaid bin Tzabit, Urwah ibnu Zubeir, Sulaiman ibnu Yasar, Imam Syafi’i,
dan Imam Maliki.
Para ulama yang mengatakan radd itu ada atau diserahkan kepada ashabul
furudh masih berbeda pendapat tentang siapa saja ashabul furudh yang mendapatkan
radd, menurut kebanyakan para ulama yang berpendapat radd itu diserahkan kepada
ashabul furudh bahwa suami atau istri tidak boleh mendapatkan radd, Alasan
pembatasan ini adalah oleh karena yang menjadi alasan adanya radd tersebut adalah
hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan
bukan karena hubungan rahim.
hanya Usman bin Affan yang membolehkan suami atau istri mendapatkan
radd. Alasan yang dikemukakan adalah mereka menerima hak yang sama dalam
pengurangan waktu terjadi ‘aul tentu tidak ada alasan untuk membedakannya pada
waktu menerima kelebihan hak.37 Semua sisa harta yang ada dikembailkan kepada
ahli waris dzawil furudh yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing. Kalau
37 Ibid, hal. 108
69
furudnya 1/3 dari harta maka radd yang diterimanya adalah 1/3 dari sisa harta itu dan
begitu seterusnya.38
E. Penyelesaian Masalah Radd
Sesuai dengan pendapat Imam Hanafi, Imam Hanbali, mazhab Syafi’i
generasi berikutnya dan mazhab Maliki generasi berikutnya bahwa Cara
penyelesaian radd sesuai dengan perbedaan jumlah ash-habul furudh, ada empat
situasi
1. Ashabul furudh hanya satu orang atau beberapa orang sejenis, tanpa suami
atau istri. Dalam situasi ini, harta waris dibagikan berdasarkan jumlah ahli
waris.
Contoh:
a. Ahli warisnya terdiri dari ibu, harta waris Rp 6.000.000.’
Ibu 1/3 x 6 = 2.’2 x 6.000.000.’ = Rp 2.000.000.’ 6
Sisa 6.000.000 – 2.000.000.’ = Rp 4.000.000.’ Ini diberikan kepada ibu
b. Ahli warisnya terdiri beberapa orang sejenis yaitu, dua orang saudara
kandung, harta waris Rp 6.000.000.’ Asal masalahnya jadi dua, setiap
ahli waris mendapat bagian yang sama, termasuk bagian tetap fardh
dan bagian pengembalian.
38 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 107.
70
2. Ashabul-furudh terdiri dari beberapa ahli waris dan tidak ada suami atau
istri.
Pada situasi ini, harta waris dibagi berdasarkan jumlah bagian yang
dibagikan, bukan brdasarkan jumlah orang.
Contoh: Seorang wafat meninggalkan ibu dan dua saudara seibu, harta waris
Rp 12.000.000.’
Ahli Waris Fardh AM: 6
Ibu 1/6 x 6 = 1.’ 1 x 12.000.000 = Rp 2.000.000.’ 6
2 Saudari seibu 1/3 x 6 = 2.’ 2 x 12.000.000 = Rp 4.000.000.’
6 3. Ahli waris ashabul-furud hanya satu orang tetapi bersama salah satu suami
atau istri, penyelesaiannya adalah menjadikan asal masalahnya dari bagian
tetap orang yang tidak mendapatkan pengembalian, dan sisanya dibagikan
sesuai jumlah ahli waris
Contoh:Seorang wafat meninggalkan suami dan dua anak perempuan, harta
waris Rp 24.000.000.’
Ahli Waris Fardh AM: 4
Suami 1/4 x 4 = 1.’ 1 x 24.000.000.’ = Rp 6.000.000.’ 4
2 Anak perempuan 3/4 x 4 = 3.’ 3 x 24.000.000.’ = Rp 18.000.000.’ 4
71
4. Ahli waris ash-habul-furudh lebih dari satu orang, bersama salah satu dari
suami atau istri, penyelesaiannya adalah menjadikan asal masalahnya adalah
hasil dari dari suami atau istri. Kemudian sisanya dibagikan kepada ash-habu
furudh, yang menerima pengembalian sisa harta waris, sesuai nisbat mereka.
Jika masalhnya memerlukan tashih dilakukan tashih sesuai dengan
kaidahnya.
Contoh:Seorang wafat meninggalkan Istri, ibu dan saudara seibu Rp
24.000.000.’
Ahli Waris Fardh AM: 12
Istri 1/4 x 12 = 3.’3 x 24.000.000 = Rp 6.000.000.’ 12
Ibu 1/6 x 12 = 2.’ 2 x 24.000.000 = Rp 4.000.000.’ 12
2 Saudara seibu 1/3 x 12 = 4.’ 4 x 24.000.000 = Rp 8.000.000,’ 12 Rp 18.000.000.’ 24.000.000 – 18.000.000 = 6.000.000.’Sisa harta ini diberikan kepada Ibu dan
saudara seibu. Yaitu
Ibu 1/6 x 6 = 1.’1 x 6.000.000 = Rp 2.000.000.’ 3 2 Saudara se ibu 1/3 x 6 = 2.’ X 6.000.000 = Rp 4.000.000.’ 3 Rp 6.000.000.’
BAB IV
ANALISA PERSPEKTIF KONSEP RADD
A. Sejarah Singkat Kompilasi Hukum Islam
1. Latar Belakang
Latar belakang pertama diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena
adanya kesimpang siuran putusan Pengadilan Agama yang saling berbeda, pada hal
kasususnya sama dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah islam.
Walaupun kitab kitab yang dipergunakan sudah ada ketentuan rujukan bagi
Pengadilan Agama pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan
Agama No. B/1/735/ tanggal 18 Pebruari 1958 yang merupakan tindak lanjut
peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyyah diluar jawa dan Madura.
Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapat
kesatuan hukum yang memeriksa perkara para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab .1 al-
Bajuri, Fathu al-Muin dengan Syarahnya, Syarqawi ala at-Tahrir, Qulyubi/Mahalli,
Fathu al-Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibu al-Mustaq, Qowaninu al-
Syar’iyyah li Sayyid Usman bin Yahya, Qowaninu al-Syar’iyyah li Sayyid
1 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007) Cet Ke-5
hal. 22.
72
73
Shodaqoh Dahlan, Syamsuri li al-Faraidh, Bughyatu al-Mustarsyidin, al-Fiqhu ala al-
Muadzahibi al-Arba’ah, Mughni al-Muhtaj.
Dengan menunjuk ketiga belas buku ini maka langkah kearah kepastian
hukum semakin nyata dan keadaan ini dicatat sebagai pergeseran kearah kesatuan
hukum dalam bentuk tertulis dari beberapa bagian hukum islam.
Ide kompilasi hukum islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun
Mahkamah Agung membina bidang teknis Yustisial Peradilan Agama. Tugas
pembinaan ini berdasar pada Undang-Undang No 14 Tahun 1970 yang menentukan
bahwa pengaturan personal, keuangan dan organisasi pengadilan yang ada, di
serahkan kepada depertemen masing-masing. Sedangkan pengaturan teknis yustisial
ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-Undang tersebut telah
ditetapkan tahun 1970, akan tetapi pelaksanaannya dilingkungan Peradilan Agama
baru bisa dilakukan pada tahun 1983 setelah ditandatanganinya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan
04/SK/1-1983 dan No. 1,2,3 dan 4 Tahun 1983.2
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) merupakan proyek
Pembangunan Hukum Islam di Indonesia. Rancangan tersebut disusun oleh Tim
yang terdiri Unsur-Unsur Depertemen Agama dan Mahkamah Agung. Bila dilihat
keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret
2 Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) Hal. 107. Lihat juga Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam, hal.33.
74
1985 No. 07/KMA/1985/ dan No. 25 Tahun 1985 tentang penunjukan Pelaksanaan
Proyek Kompilasi Hukum Islam, dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa
proyek ini diadakan, yaitu:
a. Bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia terhadap jalannya peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan
Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama
ini menjadikan hukum fositif di Pengadilan Agama.
b. Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu
membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para Pejabat
Mahkamah Agung dan Depertemen Agama Republik Indonesia.3
Menurut Lampiran Surat Keputusan Bersama tanggal 21 Maret 1985 tersebut
diatas, ditentukan bahwa tugas pokok proyek tersebut adalah untuk melaksanakan
usaha Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi
Hukum. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan
putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia
untuk menuju Hukum Nasional.4
3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hal 15. 4 Ibid, hal. 35.
75
Metodologi yang dipergunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam
itu sisesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu penyusunan kaidah-kaidah
atau garis-garis hukum sejenis kedalam sebuah kitab yang disusun secara sistematis
dengan memanfaatkan sarana, bahan, nara sumber yang tersedia. Untuk
mengoptimalkan itu semua, ditempuh berbagai jalan yang disebut jalur dan
pendekatan perumusan.5
Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, maka proyek pembangunan
Hukum Islam melalui Yurisprudensi dilakukan dengan cara:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan penelaahan pengkajian
kitab-kitab yang ada kaitannya dengan materi kompilasi. Pengkajian
kitab-kitab diserahkan pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(IAIN) di Indonesia.6
Penelaahan kitab-kitab ini dilakukan oleh 7 Institut Agama Islam Negeri
(IAIN). Kitab yang ditunjuk sebanyak 38 macam kitab fiqh, yaitu:
1) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kitab yang dibahas adalah (Ianatu
at-Thalibin, Tuhfah, Targhibu al-Mustytaq, Bulghat al-Salik,
Syamsuri Fi al-Faraidh, al-Mudawanah)
5 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002) hal. 115. 6 Ibid, hal. 115.
76
2) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (al-Muhalla, al-Wajiz, Fathu al-
Qodier, al-Fiqhu ala al-Madzahibu al-Arba’ah, Fiqhu al-Sunnah)
3) IAIN Sunan Ampel Surabaya ( Kasyf al-Qina, Majmu al-Fatawi Ibn
Taimiyyah, Qowaninu al-Syariah Li Sayid Usman bin Yahya, al-
Mughni, al-Hidayah, Syarah Bidayah Taimiyyah Mubtadi)
4) IAIN AR-Raniriy Banda Aceh (al-Bajuri, Fathu al-Muin, Syarqowi
ala al-Tahrir, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al-Muhtaj, Al-Syarqowi)
5) IAIN Antasari Banjar Masin (Qolyubi/Mahalli, Fathu al-Wahab
dengan Syarahnya, Bidayatu al-Mujtahid, al-Uum, Bughyatu al-
Mustarsyidin, Aqedah Wa al-Syari’ah)
6) IAIN Alauddin Ujung Pandang (Qowaninu al-Syar’iyyah Lis Sayid
Sudaqoh Dakhlan, Nawab al-Jalil, Syarah Ibnu Abidin, al-Muwattha,
Hasiyyah Syamsuddin Muh Irfat Dasuki.
7) IAIN Imam Bonjol Padang (Badaiu al-Sannai, Tabyin al-Haqaiq, al-
Fatawi al-Hindiyyah, Fathu al-Qodier, Nihayah).7
b. Wawancara dilakukan dengan para ulama, yang pelaksanaannnya
dilakukan oleh 10 Pengadilan Tinggi Agama. Ada 166 Ulama yang
mewakili organisasi-organisasi Islam dan Individu, khususnya pimpinan
pesantren, yang diwawancarai oleh panitia. Wawancara dilakukan
individual dan Kolektif,
7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hal. 39.
77
c. Jalur Yurisprudensi karena lewat yurisprudensilah diketahui bagaimana
praktek yang berlaku dimasyarakat Indonesia.
d. Studi Perbandingan, kenegara Maroko, Turki dan Mesir, sebagai tempat
mengadakan studi banding sebab Maroko adalah Negara pengikut
Mazhab Maliki, Turki sebagai Negara sekuler dan pengikut mazhab
Hanafi,sementara mesir disamping lokasinya yang berada diantara
Maroko dan Turki, juga sebagai Negara pengikut mazhab Syafi’i.8
Alasan memilih sumber penetapan hukum dalam kompilasi hukum islam
di Indonesia adalah, karena kitab-kitab fiqh merupakan bentuk
perkembangannya. Kedua, karena ulama-ulama Indonesia dianggap
paling mengetahui kondisi Indonesia dari sisi tradisi, kebudayaan dan
konteks masyarakatnya. Ketiga, sejalan dengan poin kedua, lewat
yurisprudensinyalah diketahui bagaimana praktek yang berlaku
dimasyarakat Indonesia. Keempat, untuk mengetahui Negara-negara
Muslim lain memberikan respon fenomena kontemporer yang
berhubungan dengan hukum perkawinan.
e. Loka karya, setelah terhimpun data dan diolah tim kemudian
menghasilkan konsep Kompilasi hokum Islam, kemudian dibahas oleh
para Ulama dan Cendikiawan Muslim dalam Loka Karya yang diadakan
pada tanggal 2 s.d. 5 Pebruari 1988 di Jakarta. Hasil Loka Karya tersebut
8 Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama,2002) Cet ke-2, hal, 194
78
kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk
memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada
tanggal 10 Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden NO 1 Tahun 1991, yang
memuat Instruksi kepada Menteri Agama untuk Menyebarkan Kompilasi
Hukum Islam sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama
Indonesia pada Loka Karya Tahun 1988. Untuk melaksanakan Instruksi
Presiden NO 1 Tahun 1991, kemudian pada tanggal 22 juli 1991 Menteri
Agama mengeluarkan Keputusan No 154 Tahun 1991 yang menyerukan
kepada seluruh instansi Depertemen Agama dan istansi pemerintah lainya
yang terkait agar menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut,
dan sedapat mungkin menerapkannya disamping peraturan perundang-
undangan lainnya.9
Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama diatas,
berarti Kompilasi Hukum Islam telah memperoleh kekuatan dan bentuk yuridis
untuk digunakan dalam praktik di Pengadilan Agama atau oleh instansi pemerintah
lainnya dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-
masalah dibidang yang telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam. Bidang hukum
yang diatur adalah Buku I tentang Hukum Perkawinan, pasal 1 s/d pasal 170. Buku II
9 Ibid, hal. 194-195.
79
tentang hukum Kewarisan, pasal 171 s/d 214 dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan, pasal 215 s/d 229.10
2. Fungsi Kompilasi Hukum Islam
Ada tiga fungsi penyusunan kompilasi Hukum Islam di Indonesia yaitu:
a) Sebagai suatu langkah awal /sasaran antara untuk mewujudkan
kodifikasi dan juga unifikasi hukum Nasional yang berlaku untuk
warga masyarakat. Hal ini penting mengingat mayoritas penduduk
Indonesia adalah beragama Islam, dimana ketentuan-ketentuan hokum
yang sudah dirumuskan dalam kompilasi ini akan diangkat sebagai
bahan materi hokum nasiaonal yang akan diberlakukan nanti.
b) Sebagai pegangan dari para hakim Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya.
c) Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam
yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang
diambil dari berbagai kitab kuning yang semula tidak dapat mereka
baca secara langsung.11
10 Ibid, hal. 195. 11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hal. 59.
80
B. Konsep Radd dan Alasan Pembuatan Klausul Pasal 193 Dalam
Kompilasi Hukum Islam
Konsep Radd sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
dijelaskan di dalam pasal 193 Kompilasi Hukum Islam.12 yaitu: “Apabila dalam
pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa
angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli
waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu
sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkan sisanya dibagi secara
berimbang diantara mereka”
Dalam pasal ini hanya diuraikan tentang pengertian radd, tetapi tidak
dijelaskan siapa-siapa yang berhak mendapatkan radd tersebut, suami atau istri
mendapatkan bagian apabila dikaitkan dengan harta bersama. Berdasarkan UU No
1Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ditetapkan apabila terjadi perceraian baik
cerai mati, maupun cerai hidup maka setengah dari harta bersama itu adalah milik
istri. Dalam UU No 1 Tahun 1974 masalah harta bersama hanya diatur secara singkat
dan umum dalam Bab VII, terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 35, 36 dan 37. Undang-
Undang ini menyerahkan pelaksanaan penerapan harta bersama ini berdasarkan
ketentuan nilai-nilai hukum adat. Ini terlihat dalam pasal 37: “bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”
12 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hal. 160.
81
sementara KHI dalam pasal 96 (1) dinyatakan: “Apabila terjadi cerai mati, maka
separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lama”
Dalam memahami konsep radd yang ada, kompilasi hukum islam memahami
bahwa radd itu harus diberikan kepada ahli waris tanpa pembatasan, artinya suami
atau istri menjadi dapat bagian dari sisa harta yang sudah dibagikan (radd) keseluruh
ashabul furudh.13
Adapun alasan yang dikemukakan dalam pembuatan klausul pasal adalah
bahwa sanya suami atau istri dalam kekurangan harta waris (masalah aul) ikut serta
menanggung bagian yang diambil oleh ahli waris biar bisa mencukupi pembagian
warisan. Alasan lainnya mengikuti pendapat Usman Bin Affan yang menyatakan
radd itu boleh diberikan kepada siapa saja ahli waris ashabul furudh. Alasan ketiga
adalah misi unifikasi hukum agar dalam menyelesaikan pembagian warisan tidak
menimbulkan keraguan bagi pihak-pihak yang mempedominya. 14 Alasan ke empat
bahwasanya maqosidu al-Syariah yaitu tujuan dibentuknya hukum untuk
mendapatkan keadilan dalam masyarakat yang sesuai dengan perkembangan kondisi
social-kultur masyarakat. Sebagaimana dari sisi tradisi, kebudayaan dan konteks
masyarakatnya bahwa suami atau istri sangat berperan, saling membantu dalam
mengumpulkan harta.
13 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal
198. 14 Ibid, hal.198
82
C. Konsep Radd Dalam Pandangan Ulama Beserta Aplikasinya
1. Imam Syafi’i dan Imam Malik
Radd diberikan kepada Baitul Mal, tidak boleh diberikan kepada ashabu al-
Furudh secara nasab maupun secara hukum.15
Contoh penyelesaiannya:
Jika ahli warisnya suami dan anak Harta peninggalan simati Rp 36.000.000.’ maka
penyelesaiannya adalah:
Ahli waris bagian AM: 12
Suami 1/4 x 12 = 3.’ 3x 36.000.000 = Rp 9.000.000.’ 12 5 Anak perempuan 2/3 x 12 = 8.’ 8 x 36.000.000 = Rp 24.000.000.’ 11 12 Rp 33.000.000.’
36.000.000 – 33.000.000 = Rp 3.000.000.’ Sisa dari pembagian ini tidak boleh
diberikan kepada ahli waris ashabul furud yaitu suami dan anak perempuan, akan
tetapi diberikan kepada Baitul Mal.
Pendapat pengikut mazhab Syafi’i belakangan berbeda dengan Imam Syafi’i
seperti:
a) Al-Mazani dan Ibnu Suraij. Berpendapat radd diberikan kepada ashabu al-
Furudh secara nasab, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri,
walaupun baitul mal terorgansir dengan adil atau tidak.
15 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala
Mazahibul Arbaah, hal. 174.
83
b) Imam an-Nawawi, Ibnu Suraqah dan Imam al-Mawardi. Mereka
berpendapat bahwa radd diberikan kepada ashabu al-Furudh secara nasab,
kecuali suami atau istri dengan syarat baitul Mal tidak terorganisir dengan
adil, jika terorganisir dengan adil, radd diberikan kepada Baitul Mal..16
2. Imam Ahmad bin Hanbali dan Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh
diberikan kepada ashabul furudh senasab kecuali kepada suami atau istri, baik baitul
mal terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul furudh.17
Contoh:
Jika ahli warisnya terdiri dari istri, nenek dan dua orang saudari tunggal seibu, harta
peninggalan simati sejumlah Rp 24.000.000,00. penyelesaiannya sebagai berikut:
ahli waris Fardh/Porsi AM Harta waris 12 Rp 24.000.000. Istri 1/4 x 12 = 3; 3 x 24.000.000. = Rp 6.000.000. 12 Nenek shohih 1/6 x 12 = 2; 2 x 24.000.000 = Rp 4.000.000 12 2 sadri se ibu 1/3 x 12 = 4; 4 x 24.000.000 = Rp 8.000.000 + 12 Sisa Rp 6.000.000
Sisa lebih ini diberikan kepada nenek dan dua saudari seibu dengan jalan
perbandingan. Perbandingan fardh nenek dengan 2 saudari = 1/6 : 1/3 = 1 : 2.
Jumlah perbandingan = 1 + 2 = 3 = Rp 6.000.000.’
16 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989) hal.358. 17 Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran, hal. 339.
84
Tambahan untuk nenek 1/3 x 6.000.000 = 2.000.000.’
Tambahan untuk 2 saudari 2/3 x 6.000.000 = 4.000.000’
Jadi penerimaan nenek seluruhnya adalah Rp 4.000.000 + 2.000.000. =
Rp 6.000.000.’
Jadi penerimaan 2 sdri se ibu seluruhnya Rp 8. 000.000 + 4.000.000 =
Rp 12. 000.000.’
Istri tidak mendapatkan sisa harta, tetap mendapat Rp 6.000.000.’
D. Analisis Penulis.
Mengenai keberadaan radd para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ at-Tabiin, para Imam
Mujtahid, bebeda pendapat tentang radd itu ada atau tidak, dan radd itu diberikan
kepada ahli waris yang bagaimana.
Klasipikasi perbedaan ini adalah:
1. Zaid bin Tzabit, Urwah bin Zubeir, Sulaiman bin Yasar, Imam Syafi’i
dan Imam Malik. Mereka berpendapat bahwa radd itu tidak ada
walaupun ada wajib diberikan kepada Baitul Mal.
2. Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Abdullah
bin Abbas, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, Pengikut Mazhab
Syafi,i, dan Maliki, Syiah Zayidiyyah dan Imamiyyah. Mereka
berpendapat bahwa radd itu ada, diberikan kepada ahli waris ashabu
al-furudh.
85
Mereka berbeda pendapat tentang ashabu al-Furudh yang bagimana boleh
mendapatkan radd. Apakah ia ashabu al-furudh disebabkan senasab atau disebabkan
hukum. Karena bila kita teliti kembali ashabu al-furudh itu adalah para ahli waris
yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’, mereka adalah:
ibu, Nenek, Kakek dari jalur ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu,
suami, istri, ayah, kakek, anak perempuan, cucu perempuan,saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seayah.
Disini para ulama menyatakan bahwa ashabu al-Furudh yang boleh diberikan
radd adalah yang disebabkan senasab, suami atau istri tidak boleh mendapatkan radd,
karena ia ashabu al-furudh yang disebabkan hukum. Berbeda dengan pendapat
Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa pemberian radd diberikan kepada semua
ashabu al-furudh tanpa memandang sebab, artinya suami atau istri tetap mendapat
radd.
Bila kita teliti alasan yang dikemukakan para Ulama, baik yang menyatakan
radd diberikan kepada Baitul Mal atau ashabu al-Furudh sama kuatnya, karena al-
Qur’an maupun Hadist yang menjelaskan secara mendetail tidak ada, kecuali hanya
interpretasi para Ulama Mujtahid untuk menentukan hukum. Seperti pendapat yang
menyatakan radd diberikan kepada Baitul Mal, dalil yang dikemukakan adalah surah
an-Nisa’ ayat 13-14 yang artinya bahwa hukum ALLAH tidak boleh melampaui
batas yang sudah ditentukan dari bagian-bagian ahli waris. Tidak boleh menambahi
atau mengurangi, ketika ditambahi, itu artinya melampaui ketentuan ALLAH, maka
ketika ada radd diberikan kepada Baitul Mal, karena sudah menjadi hak orang islam.
86
Terus bila kita teliti dalil yang menyatakan radd diberikan kepada ashabu al-
Furudh, surah al-Anfal ayat 75 yang artinya orng-orang yang mempunyai hubungan
kerabat lebih berhak mengambil sisa harta waris, karena mengambil sisa bukan
menambahi bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun karena ada sebab yang
lain, seperti mewarisi disebabkan kekerabatan, pernikahan dan memerdekakan
budak. Begitu juga radd bagi ashabu al-Furudh dikarenakan sebab, bukan karena
menambahi ketentuan ALLAH.
Mengenai ketentuan suami atau istri mendapatkan radd atau tidak, disini para
Ulama menyatakan alasan bahwa radd itu adalah hak para ahli waris yang
mempunyai hubungan darah, bukan karena hubungan perkawinan. Tetapi Utsman
bin Affan menyatakan tidak adil ketika aul, suami atau istri ikut menanggung beban
atu mereka dikurangi, seharusnya ketika radd mereka dapat, artinya suami atau istri
wajib mendapatkan radd.
Setelah penulis meneliti pendapat yang dikemukakan para Ulama, mengenai
masalah radd. Kaitannya dengan konsep radd dalam hukum pasitif di Indonesia
adalah mengenai orang yang berhak menerima radd, menurut Imam Syafi’i, Imam
Malik, radd wajib diberikan kepada baitul Mal. Tetapi pengikut mazhab Syafi’i,
Maliki, Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah berpendapat radd diberikan
kepada ashabu al-Furudh kecuali kepada suami atau istri. Didalam Kompilasi Hukum
Islam mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan radd diberikan
kepada semua ashabu al-Furudh sesuai nisbat masing-masing. Maka perbedaan yang
87
mendasar antara konsep Kompilasi Hukum Islam dengan konsep para Imam Mazhab
adalah pemberian radd kepada suami atau istri.
Adapun mengenai pertentangan dalam fiqh klasik dan KHI, adalah kaitannya
dengan teori kebolehan mengenai hukum Islam, dengan dua hal. pertama, berkaitan
dengan kebolehan. Kedua, pengkompromian nilai dengan KHI.18
1. Kebolehan dalam KHI ada tiga hal:
a) Fiqh ikhtilaf di dalam KHI ditetapkan boleh contoh pasal 53 yang
membolehkan perempuan hamil dengan laki-laki yang menghamilinya.
b) Fiqh membolehkan sedang KHI melarang contoh pasal 40 dilarangnya
laki-laki kawin dengan wanita yang ahl kitab.
c) Fiqh boleh, KHI membatasi contoh pasal 55 tentang poligami.19
2. Pengkompromian Nilai
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pula metedologi yang
menguatkan nilai-nilai terutama antara Nash, syarat dan dengan hukum
adat. Karena ada beberapa hal yang tidak ada dalam Nash, tetapi dalam
realita masyarakat Indonesia ada dalam bentuk adat. Sehingga diambil
jalan keluar dengan metode pengkompromian nilai seperti halnya anak
angkat yang tidak terdapat dalam nash, sedang dalam masyarakat ada,
maka diambil jalan keluarnya dengan wasiat wajibah. Demikian juga ahli
18 Basiq Djalil, Pernikahan LIntas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan KHI, (Jakarta: Qolbun
Salim, 2005) Cet Ke-1. Hal. 184. 19 Ibid, hal. 185
88
waris pengganti semua itu bagian dari kandungan maslahah mursalah
dalam KHI yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia baik metode
kebolehan ataupun pengkompromian nilai.20
Adapun mengenai radd ini, menurut penulis masuk dalam kategori fiqh
ikhtilaf dalam KHI ditetapkan boleh. Menurut penulis yang paling tepat penerapan
hukum radd di Indonesia, antara konsep Jumhur Mujtahid dengan Kompilasi hukum
Islam adalah konsep yang ada dalam KHI, karena sesuai dengan kondisi social-
Kultur Masyarakat dan realitas yang terjadi dimasyarakat, bahwa suami atau istri
sangat berperan untuk mengumpulkan harta mereka saat hidup, mereka saling bantu
untuk menunjang dalam mengumpulkan harta.
Walaupun mayoritas warga Negara Indonesia dalam masalah masalul
fiqhiyyah mereka lebih condong menganut mazhab Syafi’iyyah. Dalam masalah radd
mazhab syafi’iyyah tidak memberikan radd kepada suami atu istri sedangkan dalam
KHI memberikan kepada suami atau istri, karena melihat dari maqosidyus syariah
yaitu tujuan dibentuknya hukum untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat,
yang sesuai dengan perkembangan kondisi social-kultur masyarakat, karena
bahwasanya pertimbangan hukum bukan hanya pertimbangan Nash akan tetapi juga
pertimbangan realitas. Dan juga hukum bisa berubah sesuai perubahan masa,
keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.
Kemudian menurut penulis ada cara lain untuk menyelesaikan radd, yaitu kita
harus melihatnya secara studi kasus perkasus, karena tujuannya untuk mendapatkan
20 Ibid, hal. 186.
89
keadilan didalam masyarakat, salah satu contoh ketika istri tidak mau mengurusi
suami ketika sakitnya yang berkepanjangan adalah saudari perempuan kandung,
maka radd lebih dapat dirasakan keadilannya apabila diberikan kepada yang
mengurusi suaminya, yaitu saudari perempuan kandung. Demikian pula apabila istri
yang terus menerus mengurusi suami maka radd diberikan kepada istri. Justru harta
itu sebenarnya hasil dari babak belurnya istri, sedang suami banyak menganggurnya,
lalu apakah sisuami yang wafat itu dianggap harta suami oleh saudari perempuan
kandung, kemudian radd diberikan kepada saudari perempuan kandung atau istri
tidak dapat apa-apa dari radd. Oleh sebab itu penyelesaian masalah radd hakim harus
melihat studi dilapangan untuk menemukan hukum dalam menyelesaikan masalah
radd. Bisa saja masalah radd bisa diberikan kepada satu ashabu al-Furudh karena
pertimbangan maqosidu al-Syariah.
Menurut penulis, penyelesaian masalah radd sebaiknya diberikan seluruhnya
kepada suami atau istri, mengingat kondisi keduanya di Indonesia sangat rentan
ketika salah satu dari keduanya meninggalkan yang lain. Karena harta yang mereka
kumpulkan pada hakikatnya, hasil dari usaha berdua untuk mengumpulkan harta.
Maka ketika ada pembagian waris suami atau istri, kadang tidak diperdulikan oleh
ahli waris yang lain. Pemberian radd seluruhnya kepada suami atau istri dengan
pertimbangn maqosidu al- Syariah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang dikemukakan di atas, penulis akan
mengemukakan beberapa kesimpulan.
1. Perbedaan antara Fiqh Klasik dengan Kompilasi Hukum Islam tentang konsep
radd adalah: Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik sisa harta sesudah
dibagikan kepada ahli waris (radd) wajib diberikan kepada baitul mal.
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, pengikut mazhab
syafi’i dan Maliki, seperti Imam Ibnu suraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mazani,
Ibnu Suraij, Imam al-Mawardi dan Imam an-Nawawi, berpendapat bahwa:
radd itu diberikan kepada ahli waris ash-habu al-Furud kecuali kepada suami
atau istri Alasan pengecualian ini dikarenakan keduanya bukanlah ahli waris
nasabiyyah, Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam radd itu diberikan
kepada semua ahli waris termasuk kepada suami atau istri. Adapun
persamannya adalah: persamaan pendapat antara KHI dengan Utsman bin
Affan tentang pemberian radd keseluruh ashabu al-Furudh termasuk kepada
suami atau istri.
2. Pemberian radd kepada suami atau istri dalam Kompilasi Hukum Islam
dengan pertimbangan ketentuan nilai-nilai hukum adat, maslah al-Mursalah,
pertimbangan maqosidu al-Syariah yang sesuai dengan pertimbangan sosio-
90
91
kultur masyarakat, dan mengikuti pendapat Utsman bin Affan. Penetapan ini
sebagai misi unifikasi hukum, untuk membentuk kepastian hukum di
Indonesia.
3. Penerimaan radd bagi seluruh ashabu al-Furudh menurut Kompilasi Hukum
Islam sesuai dengan proporsi bagian yang diterimanya. Sedangkan menurut
Fiqh Klasik sesuai dengan pendapat para Ulama bahwa sesuai dengan
proporsi masing-masing.
4. Perkembangan sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini, suami atau
istri sangan rentan terhadap ahli waris yang lain, ketika salah satu dari
keduanya meninggal. Karena pada hakikatnya, harta waris hasil dari usaha
berdua, maka ketika ada pembagian waris, suami atau istri kadang tidak
diperdulikan oleh ahli waris yang lain. Sebaiknya pemberian radd diberikan
seluruhnya kepada suami atau istri, dengan pertimbangan maslahah al-
Mursalah dan maqosidu al-Syariah, karena radd bukanlah hukum qoth’i,
artinya radd bisa berubah sesuai dengan perubahan masa, keadaan, adat dan
niyat selama hukum itu tidak qoth’i.
B. Saran-Saran
Dari semua uraian diatas, penulis ingin mengemukakan beberapa saran yaitu:
1. Konsep radd yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam untuk dijelaskan
kepada masyarakat biar tidak terjadi kesalahan pahaman. Seperti melalui
seminar, work shop, sekolah dan pondok pesantren.
92
2. Meskipun para ulama sepakat bahwa radd itu tidak boleh diberikan kepada
suami atau istri, seharusnya dalam prakteknya mengikuti pendapat kompilasi
Hukum Islam. Melalui penetapan yang dilakukan oleh pengadilan agama, atau
fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia biar tidak terjadi
persengketaan dan perdebetan hukum
3. Bagi hakim Peradilan Agama untuk mengetahui secara baik tentang konsep
radd. Karena Hakimlah yang menentukan mana yang dipakai dalam
kewarisan.
4. Sebaiknya pasal tentang radd yang ada dikompilasi Hukum Islam dirubah,
dengan mempertegas kedudukan suami atau istri dalam mendapatkan radd.
5. Konsep Radd dalam pelajaran hukum waris agar dimasukkan dalam
kurikulum Tsanawiyyah dan Aliyah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahnya, Depag RI.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Radar Jaya Offset,
2007. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Sahih Bukhari, Berut: Daar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2003. Juz 4, Cet Ke-2. Sulaiman, Abi Daud, Sunan Abi Daud, Berut: Daar Ibnu Hizm, 1998.
Khotib, Hasan Ahmad, Al-Fiqh Al-Muqaran, Mesir: Darul Ta'rif, 1957.
Hasan, M Ali, Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Usman, Suparman dan Yusuf, Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002. Cet ke-2.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Cet ke-4.
Ash-Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, Hukum mawaris Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Rahman, Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Maarif, 1975. Cet ke-4.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al- Azhar, Hukum Waris, Terj. H Addiyz Al-Dizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.
Syarifin, Pipin, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Pustaka Setia, 1999.
Ali, Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan
Tafsir Tematik, Jakarta: Pustaka Setia, 1999. Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Surmadi, A Sukris, Transidensi Keadilan Hukum Waris Islam Trans Formatif,
Jakarta: Raja Grafindo, 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka setia, 2002.
Kuzari, Akhmad, Sistem Ashobah Dasar Pemindahan Hak milik Atau Harta Peninggalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
K Lubis, Suhrawardi dan Simanjuntak, Komis, Hukum Waris Islam Lengkap dan
Praktis, jakarta: Sinar Grapika, 1999.
Manan, Abdul, Etika Hakim Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam) Jakarta: Kencana, 2007.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2005. ______________ Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. Al-Hudhuri, Ahmad Kamil, al-Mawaris al-Islamiyyah, Mesir: Lajnatu at-Taqrib,
1966.
Al-Khotib, Muhammad al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1958.
Al-Mardani, Muhammad Saba’atul, Syarhu Matnu al-Ruhbiyyah, Semarang: Usaha
Keluarga, Tth. Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnur Ruhbiyyah, Surabaya: Maktabah Saqofah,
Tth.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia, Surabaya: Pusat Progressif, 1997, Cet ke-14.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Abul Azmi, Abul Yazid Muhammad, Maqosidu al-Miraz Fi Douni Nususi al-Syariati
Waqonuni al-Mawaris, Mesir, Hukmu Attabi’i Mahfuzatul Lilmuallif, 1999.
Makhluf, Hasanain Muhammad, al-Mawaris Fi al-syariatil al-Islamiyyah, Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958.
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Ttp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), jilid II. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, Jakarta: Tritamas,
1964, Cet ke-3.
Abdul Hamid, Muhammad Muhyidin, Ahkamul Mawaris Fi as-Syariati al- Islamiyyah ala Mazahibu al-Arba’ah, Berut: Maktabah al- Azriyyah, 1996.
Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
______, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum
Islam, Jakarata, Qolbun Salim, 2005. Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, T.th Al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris, Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 1993,
Juz IV. Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayah al Maqtashid, Ttp: Maktabah al-
Kulliyah al Azhariyyah, 1969. Juz II Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam Wa adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 1989. Jawad, Mughniyyah, Fiqh lima Mazhab, terj, Afif Muhammad, Jakarta: Basri Press,
1994. Ghazali, Hasan Yusuf, Al-Miras Ala al-Mazahibu al-Arba’ah Dirasatan watatbiqon,
Ttp, Daar al-Fikr, 2003. Ali, Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA