PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP...
Transcript of PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP...
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP
KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
Oleh :
Abd. Rohman Nawi
103045228168
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH (KETATANEGARAAN ISLAM)
PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN
INDONESIA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Abd. Rohman Nawi
NIM. 103045228168
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH (KETATANEGARAAN ISLAM)
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Perspektif Hukum Islam Terhadap Konsep
Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
hari Selasa, 08 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah.
Jakarta, 08 Desember 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP. 19550505 198203 1 012
Panitia Ujian :
1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag.
(…………..)
NIP. 19721010 199703 1 008
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag
(…………..)
NIP. 19710215 199703 2 002
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SS, MA, MM
(…………..)
NIP. 19550505 198203 1 012
4. Penguji I : Prof. Dr. Hj. Amany B. Umar Lubis, Lc, MA
(…………..)
NIP. 150270614
5. Penguji II : Drs. Abu Tamrin, M. Hum
(…………..)
NIP. 19650908 199503 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah
saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 08 Desember
2009
Abd. Rohman Nawi
ا��� ا��� ا� �ـ��
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berbagai karunia dan anugerah yang
diberikan kepada segenap hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh
dengan ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada hamba pilihan-Nya yang membawa risalah kebenaran, pemimpin
bagi pembawa cahaya keridhaan-Nya yang abadi, yaitu Sayyidina Muhammad SAW,
sebaik-baik makhluk dan dipenuhinya dengan akhlak yang sempurna.
Penulis bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah
satu syarat dalam menempuh gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul
“PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN
INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006”.
Penulis menyadari dengan kerendahan hati bahwa dalam setiap tahap
penyusunan skripsi ini begitu banyak bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak/Ibu sebagai:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,
SH, MA.,MM.
2. Ketua Program Studi Jinayah dan Siyasah, Dr. Asmawi, M.Ag., dan
Sekretaris Program Studi Jinayah dan Siyasah, Sri Hidayati, M.Ag., beserta
staff dan seluruh dosen yang telah memberi ilmu, membimbing dan
mengarahkan penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini.
3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA.,MM. Selaku pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan
bimbingannya serta do’anya dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan, baik Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan fasilitas pada Penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.
5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Sarmada dan Ibunda tercinta Hj.
Hanifah (Almh), bang Sobur, mama Uum, bang Tohir, mpo Idah, bang
O.G., mama Ayu, Noer, Yati, ibu Nina yang selalu mendukung penulis
dengan sepenuh hati dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan, Ahmad Syaifuddin, Ana. M, Ana. P, Ahmad
Nazir, Qosim, Iswara, Husen, Bonchu sekeluarga dan my best friend
Fikriyah yang telah memberikan semangat disaat penulis membutuhkannya.
Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh
mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca
pada umumnya. Amîn.
Jakarta, 08 Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
D. Review Studi Terdahulu 8
E. Metode Penelitian 11
F. Sistematika Penulisan 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN
A. Warga Negara dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia 14
B. Sejarah Perundang-undangan Tentang Kewarganegaraan Indonesia 19
C. Asas Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 31
D. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia Menurut Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 39
BAB III ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP
KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
A. Warga Negara dalam Islam 44
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan
Sisi Kelahiran 56
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan
Sisi Perkawinan 57
D. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan dalam Islam 70
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 74
B. Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 77
LAMPIRAN : UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara merupakan suatu organisasi kemasyarakatan, oleh karena itu di
dalamnya pasti dihuni oleh sejumlah penduduk. Dalam pengetahuan hukum tata
negara, untuk dapat dipandang sebagai suatu negara haruslah memenuhi tiga hal,
yang salah satunya adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu
tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh
suatu tertib hukum nasional1 yang dalam kajian ilmu politik disebut rakyat.
Bahkan menurut berbagai teori yang dikembangkan dalam ilmu negara, negara
ada demi warga negara. Terutama jika mengacu kepada paham demokratis, yang
dianut oleh berbagai negara modern dewasa ini, termasuk Indonesia. Eksistensi
negara adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
Hal tersebut sudah sepantasnya, sebab maksud adanya negara adalah
untuk menyelenggarakan kepentingan warganya. Negara akan menjadi kuat dan
sukses bila warga negara sebagai pendukungnya juga kuat. Kuat dalam arti
seluas-luasnya, termasuk kuat dalam arti persatuan diantara rakyatnya. Oleh
karena itu ketentuan siapa yang akan menjadi warga negara bukanlah persoalan
perorangan akan tetapi merupakan persoalan atau wewenang bagi negara yang
berdaulat dengan tetap menghormati prinsip-prinsip umum Internasional. Atas
1 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet ke-3, h. 3.
dasar itulah diperlukan pengaturan mengenai kewarganegaraan. Di Indonesia
mengenai kewarganegaraan diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945.2
Penduduk atau rakyat suatu negara terdiri dari warga negara, yaitu orang
sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara, yang mempunyai
hubungan yang tidak terputus dengan tanah airnya, dengan Undang-Undang
Dasar negaranya, sekalipun yang bersangkutan berada di luar negeri, selama yang
bersangkutan tidak memutuskan hubungannya atau terikat oleh ketentuan hukum
Internasional.3
Selain itu, dalam suatu negara adakalanya dijumpai golongan minoritas
yang oleh Wolhoff disebut “minoriteit, yaitu golongan orang yang berjumlah
kecil atau disebut juga warga negara asing (WNA)”4, sedangkan hubungannya
dengan negara yang didiaminya hanyalah selama yang bersangkutan bertempat
tinggal dalam wilayah negara tersebut.5
Dalam wilayah kewarganegaraan Indonesia muncul suatu kendala yang
cukup jelas dihadapan kita selama ini, yaitu kendala konsep dalam memahami arti
2 Tim Redaksi Pustaka Pergaulan, UUD 1945, Naskah Asli dan Perubahannya, (Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2004), Cet ke-3, h. 74.
3 I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003),
Cet. Ke-2, h. 94.
4 Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), h. 169.
5 Mustafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jogjakarta:
Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 23.
warga negara. Pertanyaan sederhana yang ada pada kita yaitu, apakah warga
negara itu orang yang dalam kartu identitas (KTP, SIM, PASPOR) tertulis
kewarganegaraan tertentu ? Dalam wilayah ini saja terkadang pemahaman kita
masih simpang-siur tentang warga negara itu sendiri. Ada orang yang asal
lahirnya di Indonesia, dia adalah warga negara Indonesia, atau sebaliknya bagi
warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di luar wilayah teritorial
Indonesia anak tersebut menjadi warga negara asing.6
Sebagai contoh, dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, tidak
setiap warga negara dari suatu negara selalu berada di dalam negaranya.7 Tidak
bisa kita pungkiri bahwa kita sering menyaksikan banyak sekali penduduk suatu
negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja
ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula
terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan
anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam
proses persalinan.
Dalam hal negara tempat asal seseorang dengan negara tempat ia
melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama tentu
tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi apabila kedua negara yang
6 Mohammad AS. Hikam, dkk, Fiqh Kewarganegaraan, Intervensi Agama-Negara
Terhadap Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: CV Adipura, 2000), h. 41-42.
7 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003), Cet. Ke-9, h. 82.
bersangkutan memiliki sistem yang berbeda maka dapat terjadi problem
mengenai status kewarganegaraan yang menyebabkan seseorang menyandang
status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi
tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateles)8.
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara dianut prinsip
‘Ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan
status orang tua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orang tuanya
berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-
anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orang tuanya itu.9 Akan tetapi,
sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa
ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status
kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status
kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan istri. Terlepas
dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara
asal pasangan suami istri itu, hubungan hukum antar suami istri yang
melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan
berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.10
8 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), Cet ke- 8, h. 98.
9 Soependri Soeriadinata, Sendi Pokok Tata Negara Indonesia, (Jakarta: CV. Karya
Indah, 1974), h. 94-95.
10 T. May Rudy, Hukum Internasional I, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), h. 37.
Mengenai masalah kewarganegaraan sistem politik Islam terkandung
secara implisit dan dapat dipahami dari al-Quran dan al-Sunnah.
Kewarganegaraan sistem politik Islami pertama-tama berdasarkan agama Islam,
tetapi apakah ini berarti bahwa semua orang Islam secara otomatis menjadi warga
negara sistem politik Islam atau orang bukan muslim tidak dapat menjadi warga
negara sistem politik Islam ?11
Dalam hal konsep kewarganegaraan sistem politik Islam-pun masih
banyak orang yang belum mengetahui bagaimana Islam mengatur hal tersebut.
Meski pada kenyataannya mayoritas warga negara Indonesia adalah beragama
Islam. Oleh karena itu, ada baiknya konsep kewarganegaraan Islam dimasukkan
dalam pembahasan ini sebagai bahan perbandingan.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka penulis
merasa perlu melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi
yang berjudul ”PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP
KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006”.
11 Abd. Mu'in Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet ke-2, h. 300.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan pembatasan masalah dan fokus kajian skripsi ini,
penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan
permasalahan merupakan hal yang penting untuk menghindari dari melebar dan
meluasnya obyek kajian, sedang perumusan masalah ditujukan untuk
mengarahkan alur bahasa dan menjawab berbagai permasalahan sebagai suatu
substansi dari skripsi ini.
Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi
permasalahan pada konsep kewarganegaraan menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam.
Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih rinci perumusan masalah
dalam skripsi ini lebih mengkhususkan pada beberapa pembahasan sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep dan aturan hukum mengenai kewarganegaraan menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan dalam hukum Islam ?
2. Apakah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Indonesia telah sesuai dengan ajaran hukum Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dan muatan hukum yang terkandung dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia
dan dalam Islam;
2. Untuk mengetahui pandangan menurut Islam terhadap konsep
kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai aspirasi
penulis kepada Pemerintah dan Lembaga yang berwenang untuk semakin baik
dan adil dalam pelaksanaannya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta
masyarakat pada umumnya, adalah mengetahui bagaimana konsep dan aturan
hukum Indonesia mengenai kewarganegaraan menurut Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas
Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi program studi Jinayah Siyasah
Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif
mengenai konsep kewarganegaraan baik dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 dan dalam hukum Islam.
D. Review Studi Terdahulu
Sejauh penelitian tentang topik yang mengangkat masalah
kewarganegaraan baik mengenai konsep, ketentuan-ketentuan, status maupun
masalah lain yang berkaitan dengan kewarganegaraan, baik yang mengkaji secara
spesifik masalah tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Berikut ini
paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.
Tim ICCE UIN Jakarta, yang berjudul ”Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani (Civic Education)”. Pokok masalah yang dikaji ialah
tinjauan terhadap konsep kewarganegaraan dalam Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958. Temuan pokok dalam masalah ini antara lain asas kewarganegaraan
berdasarkan kelahiran yang mencakup asas ius soli dan ius sanguinis, berdasarkan
perkawinan yang mencakup asas persatuan hukum dan asas persamaan derajat,
karena pengangkatan, karena dikabulkannya permohonan untuk menjadi warga
negara Indonesia, karena pewarganegaraan, karena turut ayah dan atau ibu, dan
karena pernyataan.
Karya Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.E.d., yang berjudul “Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education)”. Didalamnya membahas mengenai
penentuan kewarganegaraan yang meliputi, asas ius sanguinis (law of the blood),
asas ius soli (law of the soil), asas pewarganegaraan (naturalisasi), mengenai
problem kewarganegaraan yang meliputi, bipatride dan apatride (stateless),
mengenai hak dan kewajiban warga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945,
yang meliputi hak-hak warga negara yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1, 2,
3), Pasal 28, 28A,28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J, Pasal 29 ayat
(2), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 34. mengenai kewajiban warga negara yang
tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 30.
Karya A. Ubaidillah.- (et all), yang berjudul “Pendidikan Kewargaan
(civic education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani”. Yang membahas
mengenai unsur-unsur warga negara yang meliputi, asas ius sanguinis, asas ius
soli dan asas naturalisasi, problem kewarganegaraan yang meliputi, problem
apatride dan bipatride, dan membahas sejarah Undang-Undang kewarganegaraan
di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1947, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947, pasal 5 dan 194
Undang-Undang Dasar RIS, persetujuan KMB (1949), perjanjian Soenarjo-Chou
en Lai (1955), Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976, dan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1976.
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia”, yang secara umum membahas asas kewarganegaraan,
problem yang menyangkut masalah kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-
Undang RI Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang RI Nomor 62 Tahun 1958,
perubahan Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 62 Tahun 1958 berdasarkan
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1976, peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1976 (PP Nomor 13 Tahun 1976)
Moh. Kusnardi, S.H., dan Harmaily Ibrahim, S.H., yang berjudul
“Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, secara umum pembahasan dalam
buku ini tidak jauh berbeda dengan pembahasan buku di atas, yakni sejarah
kewarganegaraan sejak proklamasi kemerdekaan dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1976 mengenai perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958.
Dari beberapa kajian yang telah disebutkan di atas, terlihat bahwa semua
hanya membahas mengenai konsep kewarganegaraan Indonesia dan itupun dalam
Undang-Undang yang sudah tidak berlaku lagi pada saat ini. Akan tetapi, belum
terdapat suatu kajian perbandingan yang spesifik mengenai konsep
kewarganegaraan dalam sistem ketatanegaraan Islam dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 yang merupakan perbedaan spesifik dibanding karya tulis
yang telah ada.
Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku
Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum.
Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan dalam
melaksanakan penulisan agar dapat mencapai tujuannya. Dengan adanya patokan
diharapkan dapat membuat penulis dapat lebih mudah dalam melaksanakan
penulisan skripsi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel,
makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan
masalah yang diangkat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan
dengan topik masalah dalam penelitian ini.
3. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara
lain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan buku-buku lain yang
berkaitan dengan bahasan penulisan.
b. Data Sekunder yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu artikel-
artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut
dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan
menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas
hingga menemukan jawaban yang diharapkan.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
"Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memperoleh gambaran yang menyeluruh, skripsi ini ditulis
dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I Berisi Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi
Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Alasan sub-sub
bab tersebut diletakkan pada bab 1 adalah untuk lebih mengetahui alasan
pokok kenapa penulisan ini dilakukan dan mengetahui batasan dan metode
yang dilakukan sehingga maksud dari isi penulisan ini dapat dipahami.
Bab II Tinjauan umum tentang kewarganegaraan, yang dibagi kedalam lima sub
bab, yaitu: Pengertian Warga Negara dalam Hukum Kewarganegaraan
Indonesia, Sejarah Perundang-undangan Tentang Kewarganegaraan
Indonesia, Asas Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006, Syarat Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Bab ini memberikan
penjelasan mengenai pembahasan judul penulisan yang dikupas lebih jauh
mengenai konsep kewarganegaraan yang tercantum didalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, sehingga
memberikan pemahaman mendalam tentang pokok bahasan penulisan ini.
Bab III Membahas mengenai analisis hukum Islam terhadap konsep
kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006, yang dibagi juga kedalam beberapa sub bab, yaitu: Warga Negara
dalam Islam, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan
Berdasarkan Sisi Kelahiran, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas
Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Perkawinan, Syarat Memperoleh
Kewarganegaraan dalam Islam.
Bab IV Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup yang berisi kesimpulan dan
saran. Bertujuan memberikan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya tentang
apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan
saran mengenai isi dari penulisan ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN
E. Warga Negara dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia
Istilah warga negara merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
“citizen” dan istilah Perancis-nya adalah “citoyen”. Secara harfiyah keduanya
berarti warga kota. Hal itu terpengaruh oleh konsep ”polis” pada masa Yunani
Purba. Polis mempunyai warga yang disebut warga polis atau warga kota.
Kemudian istilah ini disempurnakan kedalam bahasa Belanda ”staatsburger” atau
warga negara. Dalam bahasa Indonesia dahulu dikenal pula istilah kaulanegara.
Istilah tersebut diambil dari bahasa Jawa yang dalam peraturan perundang-
undangan Hindia-Belanda mempunyai arti yang serupa dengan ”onderdaan”.12
AS Hikam mendefinisikan bahwa ”Warga negara adalah anggota dari
sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah tersebut merupakan
terjemahan dari citizenship, yang menurutnya istilah itu lebih baik ketimbang
istilah kawula negara. Karena istilah warga negara dipakai jika bentuk
pemerintahan negara itu republik, sedangkan istilah kawula negara dipakai jika
bentuk pemerintahan negara itu kerajaan”.13
12 A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani,
(Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 58.
13 AS Hikam, Pengertian Warga Negara, dalam Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
kewargaaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999), h. 74.
Warga negara merupakan salah satu tiang daripada adanya negara, atau
dalam kata lain merupakan faktor terpenting dalam hal untuk mendukung
terbentuknya suatu negara. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa syarat untuk
mendirikan suatu negara yang merdeka dan berdaulat salah satunya adalah
dengan adanya warga negara disamping dua syarat yang lain, yaitu wilayah dan
pemerintah negara.14
Berdasarkan hubungannya dengan dunia Internasional, maka orang-orang
yang bertempat tinggal di dalam suatu wilayah kekuasaan negara harus dibedakan
antara warga negara dan penduduk, karena setiap warga negara adalah penduduk
dari negara tersebut tetapi tidak setiap penduduk adalah warga negara yang
bersangkutan, dalam hal ini disebut penduduk bukan warga negara atau warga
negara asing.15
Warga negara yaitu mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu
yang ditetapkan oleh peraturan negara sehingga yang bersangkutan dapat
dikatakan sebagai warga negara dan diperkenankan mempunyai tempat tinggal
tetap (domisili). Sedangkan penduduk yang bukan warga negara ialah mereka
yang bertempat tinggal di suatu negara tidak untuk selamanya dan tidak ada
maksud menetap di wilayah negara tersebut.
14 B.P. Paulus, Kewarganegaraan RI di Tinjau dari UUD 1945: Khususnya
Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa, (Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 1983), h. 41.
15 Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, (Jakarta: IND-HILL-
CO, 1995), h. 1.
Dengan kata lain warga negara adalah sekelompok manusia yang ada
dalam kewenangan hukum suatu negara. Warga negara itu sendiri mempunyai
kedudukan yang khusus terhadap negaranya yaitu hubungan hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik diantara keduanya.16
Berbeda dengan warga negara
asing, meski mereka memiliki hak dan kewajiban tetapi dalam bebrapa hal
tidaklah sama dengan warga negara dari negara yang bersangkutan.
Meskipun seseorang mempunyai status sebagai warga negara asing ia
tetap mempunyai hubungan dengan negara yang didatanginya tetapi hanya selama
ia bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.
Warga negara menurut hukum kewarganegaraan Indonesia disebutkan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Bab 1 Pasal 2,
yaitu: “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara”.
1. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Wujud hubungan antara warga negara dengan negara pada umumnya
adalah berupa peranan (role). Peranan pada dasarnya adalah tugas apa yang
dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki, dalam hal ini sebagai warga negara.
16 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(T.tp, CV Sinar Bakti, 1988), h. 291.
Hak dan kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam Pasal 27
sampai Pasal 34 Undang Undang Dasar 1945. Bebarapa hak warga negara
Indonesia antara lain sebagai berikut :
a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
b. Hak membela negara
c. Hak berpendapat
d. Hak kemerdekaan memeluk agama
e. Hak mendapatkan pengajaran
f. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan Nasional Indonesia
g. Hak ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan sosial
h. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial
Sedangkan kewajiban warga negara Indonesia terhadap negara Indonesia
adalah :
a. Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan
b. Kewajiban membela negara
c. Kewajiban dalam upaya pertahanan negara
Selain itu ditentuakan pula hak dan kewajiban negara terhadap warga
negara. Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya
merupakan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara. Beberapa ketentuan
tersebut, anatara lain sebagai berikut:
a. Hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintah
b. Hak negara untuk dibela
c. Hak negara untuk menguasai bumi, air , dan kekayaan untuk kepentingan
rakyat
d. Kewajiban negara untuk menajamin sistem hukum yang adil
e. Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara
f. Kewajiban negara mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat
g. Kewajiban negara memberi jaminan sosial
h. Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah
Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang
dalam Undang Undang Dasar 1945 mencakup berbagai bidang. Bidang-bidang ini
antara lain bidang politik dan pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan,
ekonomi, dan pertahanan
F. Sejarah Perundang-undangan Tentang Kewarganegaraan Indonesia
Sebelum Indonesia merdeka, penduduknya terbagi ke dalam tiga macam
golongan, yaitu:
1. Golongan Indonesia atau pribumi (yang pada waktu itu oleh kerajaan Belanda
disebut “inlanders”);
2. Golongan Timur Asing;
3. Golongan orang Eropa.17
Setelah Indonesia terbebas dari para penjajah kurang lebih satu tahun
setelah diproklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan
yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946.
Undang-Undang itu mengatur bahwa penduduk negara adalah mereka
yang bertempat tinggal di wilayah kekuasaan negara Indonesia selama satu tahun
berturut-turut. Selanjutnya disebutkan bahwa yang menjadi warga negara
Indonesia pada pokoknya adalah:
1. Penduduk asli dalam daerah Republik Indonesia, termasuk anak-anak dari
penduduk asli itu;
2. Istri seorang warga negara Indonesia;
17 J.S.T. Simorangkir, dkk, Inti Pengetahuan Warga Negara, (Jakarta: Erlangga, 1960),
Cet. 3, h. 34, lihat juga Asis Safioedin, Beberapa Hal tentang Burgerlijk Wet Boek, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1990), Cet. VII, h. 7.
3. Keturunan dari seorang warga negara yang dikawin dengan wanita negara
asing;
4. Anak-anak yang lahir dalam daerah Republik Indonesia yang oleh orang
tuanya tidak diakui dengan cara yang sah;
5. Anak-anak yang lahir dalam daerah Indonesia dan tidak diketahui siapa orang
tuanya;
6. Anak-anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya, yang memiliki
kewarganegaraan Indonesia, meninggal;
7. Orang yang bukan penduduk asli yang paling akhir telah bertempat tinggal di
Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, dan telah berumur 21 tahun atau telah
kawin. Dalam hal ini bila berkeberatan untuk menjadi warga negara
Indonesia, ia boleh menolak dengan keterangan, bahwa ia adalah warga
negara dari negara lain;
8. Masuk menjadi warga negara Indonesia dengan jalan pewarganegaraan
(naturalisasi).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tersebut kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1947 Tentang memperpanjang waktu untuk mengajukan pernyataan berhubung
dengan kewargaan negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948
tentang memperpanjang waktu lagi untuk mengajukan pernyataan berhubung
dengan kewargaan negara Indonesia.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan pada tanggal
27 Desember 1949 telah dicapai suatu persetujuan perihal penentuan warga
negara antara Republik Indonesia dan kerajaan Belanda. Menurut persetujuan itu
yang menjadi warga negara Republik Indonesia adalah:
1. Penduduk “asli” Indonesia yaitu mereka yang dulu termasuk golongan “bumi
Putra”, yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia. Apabila mereka
lahir di luar Indonesia dan bertempat tinggal di negeri Belanda atau di luar
daerah peserta Uni (Indonesia – Belanda), maka mereka berhak memilih
kewarganegaraan Belanda dalam kurun waktu dua tahun setelah tanggal 27
Desember 1949;
2. Orang Indonesia, kaulanegara Belanda, yang bertempat tinggal di suriname
atau antillen (koloni Belanda). Akan tetapi jika mereka lahir di luar kerajaan
Belanda maka berhak memilih kewarganegaraan Belanda dalam kurun waktu
dua tahun setelah tanggal 27 Desember 1949. jika mereka lahir di wilayah
kerajaan Belanda mereka memperoleh kewarganegaraan Belanda, akan tetapi
mereka berhak memilih kewarganegaraan Republik Indonesia dalam kurun
waktu dua tahun setelah tanggal 27 Desember 1949;
3. Orang Cina dan Arab yang lahir di Indonesia atau sedikit-dikitnya bertempat
tinggal enam bulan di wilayah Republik Indonesia, apabila dalam kurun
waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak menolak
kewarganegaraan Indonesia (hak repudiasi = hak menolak
kewarganegaraan);
4. Orang Belanda yang dilahirkan di wilayah Republik Indonesia atau sedikit-
dikitnya bertempat tinggal enambulan di wilayah Republik Indonesia dalam
kurun waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 menyatakan
memilih warga negara Indonesia (hak opsi = hak memilih sesuatu
kewarganegaraan);
5. Orang Asing (kaulanegara Belanda) bukan orang Belanda yang lahir di
Indonesia dan bertempat tinggal di Republik Indonesia apabila dalam kurun
waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak menolak
kewarganegaraan Indonesia.
Singkatnya orang Indonesia tetap menjadi orang Indonesia, mereka
dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Untuk orang Timur Asing
bagi mereka berlaku yang disebut “sistem passif” (tidak berbuat apa-apa), maka
dengan waktu yang ditentukan mereka dengan sendirinya menjadi warga negara
kecuali jika mereka menolak kewarganegaraan itu.
Sedangkan untuk orang Eropa bagi mereka berlaku yang biasa disebut
“sistem aktif”. Maksudnya apabila salah seorang dari mereka hendak jadi warga
negara Indonesia maka dia harus memintanya dengan mengajukan permohonan.
Selanjutnya setelah kurun waktu kurang lebih 12 tahun lahir Undang-
Undang baru tentang kewarganegaraan menggantikan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1946, yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang mulai berlaku
sejak diundangkannya pada tanggal 1 Agustus 1958. Undang-Undang ini
dinyatakan berlaku surut sampai tanggal 27 Desember 1949.
Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang dikatakan sebagai
warga negara Indonesia adalah:
1. Mereka yang telah menjadi warga negara berdasarkan Undang-
Undang/Peraturan/Perjanjian, yang terlebih dahulu berlaku (berlaku surut);
2. Mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan Undang-
Undang tersebut.
Selain warga negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang lebih dahulu telah berlaku, maka seorang dapat menjadi warga negara
Indonesia, jika ia memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Pada waktu lahirnya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan seorang
warga negara Indonesia (misalnya ayahnya adalah WNI);
2. Lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayah itu
pada waktu meninggal dunia adalah warga negara Republik Indonesia;
3. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia selama orang tuanya tidak diketahui;
4. Memperoleh kewarganegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958. Misalnya:
a. Anak asing yang berumur 5 tahun yang dianggkat oleh seorang warga
negara Republik Indonesia apabila pengangkatan itu disahkan oleh
pengadilan negeri;
b. Anak di luar perkawinan dari seorang ibu WNI;
c. Menjadi warga negara karena pewarganegaraan, dan lain-lain.
Dengan demikian seorang dapat dikatakan sebagai orang asing jika ia
tidak memenuhi syarat-syarat sebagai warga negara seperti yang telah
disebutkan.18
Pada perkembangannya Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
khususnya Pasal 18 Undang-Undang tersebut pada tanggal 5 April 1976 Presiden
Republik Indonesia Telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976
tentang perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 ditegaskan
bahwa ”Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
termaksud dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan kartu izin
masuk dan menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan
kepada pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dalam satu tahun setelah orang
itu bertempat tinggal di Indonesia”.
Pasal 17 huruf k Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 memberikan
kewajiban warga negara Republik Indonesia mengajukan pernyataan keinginan
untuk tetap menjadi warga negara Republik Indonesia dalam jangka waktu 5
tahun yang pertama dan selanjutnya untuk tiap 2 tahun sekali, yaitu bagi mereka
yang bertempat tinggal di luar negeri selain untuk menjalankan dinas negara.
18 CST Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000), Cet. Ke-3, Edisi Revisi, h. 220-223.
Pada kenyataannya tidak semua warga negara Republik Indonesia yang
bertempat tinggal di luar negeri dapat memenuhi kewajiban tersebut bukan
dikarenakan lalai melainkan dari suatu keadaan di luar kesalahannya, sehingga
mereka terpaksa tidak menyatakan keinginannya tersebut tepat pada waktunya,
seperti akibat sengketa Irian Barat yang berakibat pada tidak dapat
dilaksanakannya ketentuan Pasal 17 huruf k sama sekali atau sebagian secara
keseluruhan oleh Perwakilan Republik Indonesia, dan akibat kasus-kasus lainnya.
Guna memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh kembali
kewarganegaraan Republik Indonesia, maka dianggap perlu melakukan
perubahan terhadap Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958, karena pasal
tersebut tidak menampung orang-orang di atas.
Berdasarkan alasan diatas maka Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun
1976 menetapkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 diubah
sebagai berikut:
Pasal 18
1. Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termasuk
dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk
dan menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan
kepada pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dalam satu tahun setelah
orang itu bertempat tinggal di Indonesia.
2. Seorang yang bertempat tinggal di luar negeri, yang telah kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k,
karena sebab-sebab yang di luar kesalahannya, sebagai akibat dari keadaan di
negara tempat tinggalnya yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya
kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuantersebut dapat memperoleh
kembali kewarganegaraan Republik Indonesia:
a. Jika ia melaporkan diri dan menyetakan keterangan untuk itu kepada
perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tinggalnya dalam jangka
waktu 1 tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya undang-undang ini;
b. Jika ia melaporkan diri dan menyatakan keterangan untuk itu kepada
perwakilan Republik Indonesia di negara yang terdekat dari tempat
tinggalnya dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya undang-undang
ini.
3. Selain menyatakan keterangan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan
republik Indonesia seperti tersebut dalam ayat (2), orang yang bersangkutan
harus:
a. Menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh untuk menjadi warga
negara Republik Indonesia;
b. Telah menunjukkan kesetiaannya terhadap negara Republik Indonesia.
4. Seorang yang telah menyatakan sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2),
memperoleh kembali kewarganegaraan republik Indonesia dalam waktu 1
tahun setelah melaporkan diri dan menyatakan keterangan serta ternyata
memenuhi syarat-syarat tersebut dalam ayat (3) dan setelah mendapat
keputusan Menteri Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman yang
memberikan kembali kewarganegaraan Republik Indonesia mulai berlaku
pada hari permohonan menyatakan sumpah atau janji setia di hadapan
Perwakilan Republik Indonesia dan berlaku surut hingga hari tanggal
Keputusan Menteri Kehakiman tersebut.19
Berdasarkan keterangan di atas, bahwa Republik Indonesia telah
mengalami banyak perubahan dalam hal perundang-undangan khususnya undang-
undang mengenai kewarganegaraan Indonesia. Sampai saat ini Undang-Undang
yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Indonesia.
Adapun kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 berdasarkan Pasal 2, dinyatakan bahwa yang menjadi warga negara
Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Berdasarkan pernyataan di atas, yang dapat disebut sebagai warga negara
Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli, yaitu orang Indonesia yang
menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri dan orang-orang lain yang disahkan
19 Ibid., h. 229.
dengan undang-undang, misalnya dengan cara mengajukan permohonan untuk
menjadi warga negara Indonesia.20
Adapun perincian mengenai siapa saja yang dapat disebut sebagai warga
negara Indonesia dilihat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
yang menyebutkan, warga negara Indonesia adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga
negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu warga negara Indonesia;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut;
20 Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), Cet. Ke-2, h. 313.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara
Indonesia;
g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
Indonesia;
h. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya
dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas)
tahun atau belum kawin;
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang
ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara
tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Berdasarkan beberapa hal yang telah disebutkan oleh undang-undang
tersebut di atas maka sudah cukup jelas siapa saja yang dapat disebut sebagai
warga negara Indonesia. Dengan demikian secara otomatis siapa saja yang tidak
dan atau belum memenuhi syarat-syarat peraturan kewarganegaraan yang
ditetapkan dalam undang-undang dinamakan bukan warga negara atau orang
asing.
Setelah kita mengetahui siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai
warga negara Indonesia maka untuk selanjutnya kita akan membahas mengenai
asas-asas kewarganegaraan yang digunakan negara Republik Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
C. Asas Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006
Asas kewarganegaraan merupakan pedoman dasar bagi suatu negara untuk
menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara menurut
hukum internasional mempunyai kebebasan untuk menentukan siapa saja yang
menjadi warga negara dan asas kewarganegaraan mana saja21
yang hendak
dipergunakannya.
Adapun asas kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 adalah:
1. Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan sisi kelahiran
Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan sisi kelahiran adalah asas
Ius Sanguinis dan asas Ius Soli. Berikut ini penjelasan mengenai kedua asas
tersebut.
a. Asas Ius Sanguinis (law of the blood)
Asas Ius Sanguinis adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan garis keturunan tanpa perlu mempersoalkan tempat orang
tersebut dilahirkan.22
21 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) Cet. Ke-10, h. 116.
22 A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (PT. Refika Aditama, 2005), Cet.
Ke-4, h. 50.
Hal ini dapat dibuktikan dari sikap negara kita yang pada hakikatnya baru
akan menganggap seorang anak sebagai warga negara Indonesia bila anak
tersebut telah memenuhi persyaratan yang oleh negara dapat dinilai sebagai
seorang anak yang secara sah dan meyakinkan dapat dibuktikan sebagai
keturunan dari ayah dan/atau ibunya yang menjadi warga negara Indonesia.
Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Anak yang ketika dilahirkan masih mempunyai hubungan hukum keluarga
dengan ayah dan/atau ibunya yang menjadi warga negara Indonesia;
2) Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila dari
status perkawinan yang sah dan ayah itu pada waktu meninggal dunia sebagai
warga negara Indonesia;
3) Dalam hal anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah tetapi seorang ayah
tidak mempunyai kewarganegaraan atau negara asal ayah tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut, sedangkan ibunya warga negara
Indonesia, maka anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ibunya;
4) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan salah satu dari
kedua orang tuanya adalah warga negara Indonesia.
Berdasarkan asas Ius Sanguinis yang di anut oleh Negara Republik
Indonesia maka di negara manapun seorang warga negara Indonesia berdomisli
dan melahirkan anaknya, hubungan antara anak yang baru lahir dan negara asal
orang tuanya tersebut tidak terputus dan tetap menjadi warga negara dari negara
asal orang tuanya yakni Indonesia, selama orang tuanya tidak melepaskan
kewarganegaraan dari negara asalnya. Oleh karena itu asas Ius Sanguinis cukup
menguntungkan Negara Republik Indonesia.
Sebagai contoh ilustrasi, seorang ibu berinisial F berkewarganegaraan
Indonesia melahirkan di negara tetangga, Malaysia. Kemudian dia melahirkan
seorang anak di negara itu, oleh karena negara Indonesia menganut asas Ius
Sanguinis maka secara otomatis anak tersebut berkewarganegaraan Indonesia.
Seperti tertera dalam Pasal 4 huruf (b, c, d, e, f, g, h, l dan m)
b. Asas Ius Soli (law of the soil) Terbatas
Ius Soli adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan negara tempat kelahiran tanpa perlu mempersoalkan keturunan darah
orang yang bersangkutan. Asas ini diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.23
Hal ini dapat dibuktikan dari adanya perlakuan terhadap seorang anak atau
setiap anak yang dilahirkan di Indonesia bahwa mereka dianggap sebagai warga
negara Indonesia atas dasar:
1) Tidak jelas status kewarganegaraan kedua orang tuanya;
2) Kedua orang tuanya tidak diketahui;
3) Kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau keberadaannya
tidak diketahui.
23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Indonesia, (revisi) / Lian Nury Sanusi, (Jakarta: PT. Kawan Pustaka, 2006), h.
28.
Asas ini dianut terutama oleh yang disebut negara-negara immigrasi
diantaranya Amerika Serikat, Australia dan Canada yang memperoleh manfaat
dari padanya karena dengan kelahiran anak-anak para immigran di negara
tersebut maka terputuslah hubungan anak yang baru lahir itu dengan negara asal
orang tuanya.
Di Indonesia sendiri asas ini dipakai dengan maksud agar tidak terjadi
apatride/stateless yaitu seseorang berstatus tanpa kewarganegaraan yang secara
yuridis-formal dia bukanlah warga dari negara manapun juga.24
Seperti seseorang
yang tidak mempunyai atau tidak jelas status kewarganegaraannya, tetapi dia
melahirkan anaknya di wilayah negara Republik Indonesia, agar anak tidak
menyandang status tanpa kewarganegaraan seperti kedua orang tuanya, maka
berdasarkan asas Ius Soli tersebut secara otomatis anak itu mendapat
kewarganegaraan Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 4 huruf (i, j dan k).
2. Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan sisi perkawinan
Perkawinan tidak hanya terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang berkewarganegaraan sama tetapi dapat saja terjadi dari para
pihak yang berbeda kewarganegaraan atau biasa disebut juga perkawinan
campuran. Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan
kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi
24 A. Ridwan Halim, Hukum Tata Negara dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), h. 260.
telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara
ekspatriat kaya dan orang Indonesia.25
Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah
seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir
dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran
didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 57: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang
ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal
(Statuta personalia adalah kelompok kaidah yang mengikuti kemana ia pergi).26
Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan
negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).27
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala
keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini
adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
25 Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, Artikel diakses pada
5 Juni 2009 dari http://www.mixedcouple.com.
26 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku
ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995), hal.3.
27 Ibid., hal.80.
demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara
lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis.28
Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum
dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam
keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak
mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini
sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun
1958.29
Dalam Undang-Undang kewarganegaraan yang baru saat ini yaitu
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kewarganegaraan Indonesia mengenal
dua asas yang erat kaitannya dengan masalah perkawinan yaitu asas
kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas, dimana
masing-masing dari kedua asas ini diterapkan kepada setiap orang dewasa dan
diterapkan hanya terbatas pada anak-anak saja.
Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan permasalahan asas
kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda di bawah ini:
a. Asas Kewarganegaraan Tunggal
28 Ibid., hal.81.
29 Ibid., hal.91.
Yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Hal
ini disebutkan dalam pasal 6 yang mengatakan bahwa terhadap anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf (c, d, h, l) dan pasal 5, yaitu:
1) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing;
2) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
3) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai
anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin;
4) anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang
ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara
tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan;
5) anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum
berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh
ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara
Indonesia;
6) anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat
secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Mengakibatkan anak tersebut berkewarganegaraan ganda, namun setelah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak yang dimaksud harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih
tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18
(delapan belas) tahun atau setelah kawin, dengan kata lain bahwa
kewarganegaraan tunggal dalam undang-undang ini ditujukan bagi setiap orang
yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
b. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 4 huruf (c, d, h
dan l) dan Pasal 5 ayat (1 dan 2) anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita
WNI dengan pria WNA maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita
WNA dengan pria WNI, baik perkawinan itu sah atau tidak sama-sama diakui
sebagai warga negara Indonesia.
Akibatnya anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, demikian juga
dengan anak yang lahir di luar wilayah Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga
negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan dan
anak warga negara Indonesia yang belum berusia lima tahun diangkat secara sah
sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan.
Pertimbangan kewarganegaraan ganda terbatas diberikan kepada anak-
anak dengan batasan usia 18 tahun selain karena umur itu merupakan batasan
kedewasaan seorang anak yang diamanatkan Konvensi Anak, juga dimaksudkan
karena sebelum usia itu seorang anak dianggap belum cakap melakukan tindakan
hukum, yang praktis menghindarkan kemungkinan dampak negatif persoalan
hukum yang diakibatkan oleh adanya kewarganegaraan ganda tersebut.30
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, secara umum undang-undang
Kewarganegaraan saat ini menghindari terjadinya status kewarganegaraan ganda
(bipatride), tanpa status kewarganegaraan (apatride), kecuali kewarganegaraan
ganda terbatas yang diberikan kepada anak-anak dari Warga Negara Indonesia
yang dilahirkan di negara-negara berasas ius soli seperti Amerika Serikat atau
anak-anak dari perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan warga negara
lain.
D. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia Memurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006
Dalam Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa yang menjadi
warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Bagi orang-orang bangsa lain yang ingin menjadi warga negara Indonesia
dapat diperoleh melalui pewarganegaraan. Permohonan pewarganegaraan dapat
diajukan oleh yang bersangkutan jika memenuhi syarat-syarat yang telah
disebutkan dalam undang-undang ini (pasal 9), yaitu:
1. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
30 Artikel diakses pada 15 Mei 2008 dari http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0607/25/opini/2823414.html.
2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling
singkat 10 tahun tidak berturut-turut;
3. Sehat jasmani dan rohani;
4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
5. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih;
6. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi
berkewarganegaraan ganda;
7. Mempunyai pekerjaan dan/atau penghasilan tetap; dan
8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Dalam Pasal 10 undang-undang ini mengatur prosedur yang harus
ditempuh oleh pemohon kewarganegaraan, antara lain:
1. Permohonan pewarganegaraan diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia di atas kertas bermaterai cukup;
2. Surat permohonan ditujukan kepada Presiden melalui Menteri;
3. Berkas permohonan disampaikan kepada pejabat;
4. Menteri meneruskan permohonan disertai dengan pertimbangan kepada
Presidendalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan
itu diterima;
5. Kepada pemohon ditetapkan biaya pewarganegaraan yang besarnya akan
diatur labih lanjut dalam peraturan pemerintah. (peraturan pemerintah tersebut
belum ditetapkan menurut undang-undang ini peraturan pelaksanaannya harus
ditetapkan paling lambat 6 bulan setelah undang-undang ini berlaku);
6. Presiden punya hak untuk mengabulkan atau menolak permohonan
kewarganegaraan tersebut;
7. Apabila permohonan dikabulkan maka Presiden menetapkan keputusan
Presiden yang ditetapkan paling lambat 3 bulan terhitung sejak permohonan
diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14
hari terhitung sejak keputusan Presiden ditetapkan. Keputusan Presiden
mengenai pengabulan terhadap permohonan pewarganegaraan baru berlaku
efektif terhitung sejak tanggal permohonan mengucapkan sumpah janji setia
yang dilangsungkan paling lambat 3 bulan terhitung sejak putusan Presiden
dikirim kepada pemohon. Adalah kewajiban pejabat memanggil pemohon
untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia;
8. Apabila setelah dipanggil secara tertulis oleh pejabat untuk mengucapkan
sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan ternyata
pemohon tidak hadir tanpa alsan yang sah, keputusan Presiden tersebut batal
demi hukum. Sebaliknya, dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan
sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai
akibat kelalaian pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia dihadapan pejabat lain yang ditunjuk Menteri.
9. Apabila permohonan ditolak maka penolakannya harus disertai alasan dan
diberitahukan oleh Menteri kepda yang bersangkutan paling lambat 3 bulan
terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri.
1. Analisis
Yang menjadi Warga Negara Indonesia sebagai identitas Bangsa
Indonesia Asli sebagaimana dimaksud dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara
Indonesia adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.” Dalam penjelasan
Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia Asli
adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Kemudian ketentuan Pasal 4
menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia
dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan orang
tuanya tidak jelas, hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini sedapat mungkin
mencegah timbulnya keadaan tanpa kewarganegaraan.
Dengan demikian penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
mengenai konsep bangsa Indonesia asli tidak didefinisikan berdasrkan etnis,
melainkan berdasarkan pada hukum bahwa keaslian Warga Negara Indonesia
ditentukan berdasarkan tempat kelahiran dalam wilayah Negara Republik
Indonesia. Tidak peduli etnis Tioghoa, Arab, India dan lain-lain. Semuanya
dianggap Warga Negara Indonesia asli. Konsekuensi yuridisnya semua Warga
Negara Indonesia keturunan yang sudah menikah dan mempunyai keturunan yang
sudah lahir di wilayah Negara Republik Indonesia demi hukum menjadi orang-
orang bangsa Indonesia asli karenanya secara yuridis tidak diperlukan lagi
membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melainkan
cukup menunjukkan akta kelahiran saja.
Namun Undang-Undang Kewarganegaraan ini menganut asas Ius soli
secara terbatas, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan anak-anak tersebut
setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin harus menggunakan hak opsinya yaitu
anak-anak tersebut harus menentukan kewarganegaraannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memberi penegasan
mengenai hak opsi dalam hal penentuan kewarganegaraan seseorang.
BAB III
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP
KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006
E. Warga Negara dalam Islam
Islam adalah agama yang mementingkan kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ajarannya tetap aktual bagi manusia di
segala zaman dan tempat. Islam tidak hanya merupakan rahmat bagi manusia,
tetapi juga bagi alam semesta. Islam memperlakukan manusia secara adil tanpa
membeda-bedakan kebangsaan, warna kulit dan agamanya, seperti ditegaskan
Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 13.
��������� � � ���� ����� ����������� �� ! �"⌧$%&
'(%)�*+,� -.����/��0�1,� �)�20�4 5689�:%;,�
<�=20/,>��0?�� ' @�� -���!"AB�+ ���� C9�� -.���%���+ ' @�� 49�� EFG��
HI"�:�� }٤٩/١٣:ا����ات{
Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Berdasarkan prinsip ini maka Islam membuat berbagai ketentuan yang
mengatur hubungan antar sesama manusia, baik muslim sendiri maupun non-
muslim.31
Negara Islam merupakan negara ideologis, maka kewarganegaraan sistem
politik Islam pertama-tama berdasarkan agama Islam. Meski begitu negara ini
membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di
wilayahnya atau bermigrasi ke dalam wilayahnya. Dengan kata lain bahwa
Negara Islam bukan negara ekstra-teritorial. Hal ini diungkapkan dalam QS. Al-
Anfal (8): 72.
@�� ����;49�� <�2�!�,� <��"�1��J,� <����L�1,�
MN�L��O,2�!���� -.�PQRS��+,� T�U V6W�X�Y C9�� U�;49��,�
<��,��,� <�S�I\]� � �:^�%���*+ -._�`⌫0�
��9�,W����+ cd0� ' U�;49��,� <�2�!�,� -.%�,�
<��"P1���� �! ���%� �� ! .�e☺,W%�,� �� ! g�M(⌧C '(hF�i
<��"P1���� ' V@��,� -.�$�I\]��jMY�� T�U VU�J����
.RX�W���0%/ IM] ���� kl�� 'T� mn-2%; -.����o� .pq,�o�,�
Hr%st� ! � u9��,� ��☺��
@20��☺0% HI"Pv }٨/٧٢:ا����ل{ �
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
31 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), h. 231.
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu
satu sama lain lindung-melindungi, dan (terhadap) orang-orang yang beriman,
tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara
kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”.
Ayat ini meletakkan prinsip dasar lain dari hukum perundang-undangan
Islam, yaitu negara Islam melindungi segenap orang-orang yang berada di tanah
tumpah darah negara Islam atau yang berhijrah ke negara Islam yang
bersangkutan. Mengenai kaum muslim yang berada di luar wilayah negara Islam,
negara tidak akan memberikan perlindungannya. Kaitan antara persaudaraan
Islam tetap ada, tetapi tidak ada tanggung jawab legal bagi perlindungannya. Jika
mereka berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan, maka mereka barulah akan
memperoleh perlindungannya. Jika mereka hanya datang sebagai pelancong atau
tamu serta tidak melepaskan kewarganegaraannya (dari negara non-Islam),
mereka akan dianggap warga negara non-Islam dan tidak berhak atas
perlindungan negara Islam. 32
Walaupun kewarganegaraan sistem politik Islam berdasarkan agama
Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi warga negara lain yang non-
muslim untuk dapat menjadi warga negara Islam dengan adanya suatu perjanjian
dengan pemerintah Islam. Untuk selanjutnya bagi non-muslim tersebut
dinamakan ahl-dzimmah.
32 Sayyid Abul A’la Al-Maududi,, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam Abul A’la
Al-Maududi, Penerjemah Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-IV, h. 208-211
Islam menggolongkan rakyatnya berdasarkan satu prinsip dan satu
ideologi. Dengan demikian di manapun seseorang dilahirkan baik dia itu seorang
muslim atau bukan (non-muslim) tetap berstatus kewarganegaraan Dar al-Islam
selama mereka berhijrah atau menerima ideologi tersebut sebagai prinsip dasar.
Para ulama fiqh membagi kewarganegaraan seseorang kedalam dua
macam kelompok yaitu Muslim dan Non-muslim, sedangkan penduduk Dar al-
Islam terdiri dari Muslim, Ahl al-Dzimmi dan musta’min. Hal tersebut untuk
memudahkan urusan pemerintahan dan pengurusan warganya. Pemisahan ini
adalah karena berbedanya cara hidup orang Islam dengan yang bukan Islam, ada
peraturan yang dikenakan kepada orang Islam tetapi tidak dikenakan pada orang
bukan Islam. Misalnya, umat Islam diwajibkan membayar zakat bila cukup nisab
dan haulnya, sedangkan umat bukan Islam tidak berzakat. Sebab itu bagi warga
negara yang bukan Islam ada beberapa peraturan khusus untuk mereka. Berikut
akan kami berikan sedikit definisi mengenai istilah di atas:
a. Muslim
Istilah Muslim merupakan nama yang diberikan bagi orang yang
menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati
kebenaran agama Islam dalam kaidah, syariah dan akhlak sebagai aturan
hidupnya.
Kata muslim berasal dari bahasa arab, yang berarti “orang yang selamat”.
Ini seakar dengan kata “Islam” yang berarti menyelamatkan. Kedua istilah ini
banyak terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits. Sebagaimana yang tertera dalam
QS. Al-Hajj (22) :78.
Artinya: “ … Dia yang menamakan kamu dengan muslim semenjak masa
lalu. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Saw. menjadi saksi atas kamu dan kamu
menjadi saksi atas sekalian manusia...”.
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu
dengan yang lainnya, Yaitu:
1) Mereka yang menetap di Dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat
untuk mempertahankan Dar al-Islam. Termasuk ke dalam kelompok ini
adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di Dar al-Islam sebagai
musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan
Islam;
2) Muslim yang tinggal menetap di Dar al-Harb dan tidak berkeinginan untuk
berhijrah ke Dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i dan
Ahmad, sama dengan muslim lainnya di Dar al-Islam. Harta benda dan jiwa
mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus
sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai
Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
b. Ahl al-Dzimmi
Kata ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah merupakan bentuk tarkib idhafi
(kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl” secara
bahasa, berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata “dzimmi / dzimmah”,
berarti janji, jaminan dan keamanan33
.
Secara sederhana kata ahl al-dzimmi diartikan orang-orang non-muslim
yang tidak memusuhi Islam. Menurut Yusuf al-Qardhawi ahl dzimmi adalah
orang-orang non-muslim (ahli kitab maupun bukan) yang menjadi warga negara
Islam. Menurut Muhammad Dhiya al-Din al-Rais, yang dimaksud dengan al-
Aqalliyyah al-diniyah adalah non-muslim (ahli kitab maupun bukan).34
Secara
umum ahl dzimmi diartikan mereka yang mendapatkan perlindungan keamanan,
hak hidup dan tempat tinggal di tengah komunitas muslim.
Mereka dinamakan dzimmah (yang berarti perjanjian, jaminan dan
keamanan) karena memiliki jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya serta
jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tenteram dibawah
perlindungan Islam. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin
berdasarkan akad dzimmah. Dengan demikian, dzimmah ini memberikan kepada
kaum non-muslim suatu hak yang dimasa sekarang mirip dengan apa yang yang
disebut sebagai kewarganegaraan politis yang diberikan negara kepada rakyatnya.
33 Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 233.
34 Khamami Zadah dan Arif R., Diskursus Politik Islam, (Jakarta: LSIP, 2004), h. 54-55.
Dengan ini pula mereka memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban-
kewajiban semua warga negara.
Akad dzimmah ini adalah akad yang berlaku selama-lamanya,
mengandung ketentuan membiarkan (membolehkan) orang-orang non-muslim
tetap dalam agama mereka disamping hak menikmati perlindungan dan perhatian
jamaah kaum muslimin, dengan syarat ia membayar jizyah serta berpegang pada
hukum-hukum Islam dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan
masalah-masalah agama. Dengan ini, mereka menjadi bagian dari Dar al-Islam.35
a. Musta’min
Secara bahasa kata “musta’min” merupakan bentuk isim fail (pelaku) dari
kata kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana yang berarti aman.
Dengan demikian kata ista’mana mengandung pengertian ”meminta jaminan
keamanan”.
Menurut pengertian ahli fiqh musta’min adalah orang yang memasuki
wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik
ia muslim maupun harbiyun. Menurut Al-Dasuki antara musta’min dengan
mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid adalah orang non-muslim
yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari
pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-
Harb.
35 Yusuf Qhardhawi, Minoritas Non-Muslim di Dalam Masyarakat Islam, Penerjemah
Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1991), Cet. Ke-2, h. 18-20.
Musta’min yang memasuki wilayah Dar al-Islam bisa sebagai utusan
perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagang/invertor, pembawa jizyah atau
orang-orang yang berziarah.36
Ajaran Islam membolehkan Dar al-Islam menerima permohonan non-
muslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan QS. Al-Taubah (9) :6.
@��,� (���+ ��� ! �wx�$�Iyz☺���� ⌧{,>��|}MY�� �-"P1��%/ '(hF�i
�G�☺M~�� �.��⌧$ C9�� �N0N i�M��-��+ �i,�!/�! ' �:��O%& -._� ����� H�-2%; kl ��2☺��y0�
}٩/٦: ا�����{
Artinya: ”Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui.”.
Berdasarkan ayat tersebut, permohonan orang musyrik harbiyun untuk
mendapatkan jaminan keamanan di Dar al-Islam harus dikabulkan. Keamanan ini
meliputi keselamatan diri, harta, transaksi yang dilakukannya bahkan keluarga
mereka juga. Ia tidak hanya dibolehkan menetap di Dar al-Islam tetapi juga
36 Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 236.
melakukan hubungan muamalah dengan umat Islam serta saling menolong.
Dengan jaminan ini mereka tidak dibebankan membayar jizyah.
Jaminan keamanan untuk mereka berlaku sesuai dengan masa yang
ditetapkan dalam perjanjian dengan Dar al-Islam. Mazhab Syafi’i membatasi
masa aman tidak melebihi empat bulan, selama musta’min tersebut bukan musafir
dan utusan politik. Berakhirnya masa aman bagi mereka terkait dengan
berakhirnya kepentingan atau urusan musta’min itu sendiri. Pembatasan masa
aman ini dikhususkan hanya bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak
dikaitkan dengan waktu tertentu.
Menurut Mazhab Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu
dengan sendirinya berakhir setelah melewati masa empat bulan. Sedangkan
keamanan yang dibatasi waktu tertentu berakhir sesuai masanya, selama
perjanjian tersebut tidak dibatalkan.
Mazhab Hanafi dan Syiah Zaidiyah membahas masa aman maksimal
selama setahun. Bila lewat masa setahun, maka si musta’min wajib membayar
jizyah kepada pemerintah Islam, sebagaimana halnya ahl al-zimmi. Sementara
Mazhab Hambali memberi batasan waktu yang lebih luas dan lama, yaitu empat
tahun. Ahmad Ibn Hambal merujuk pendapatnya berdasarkan pada kenyataan
sejarah bahwa para anggota korps diplomatik memperoleh jaminan keamanan
selama tiga hingga empat tahun.37
37 Ibid., h. 237.
Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl
al-dzimmi yang memasuki wilayah Dar al-harb dengan mendapat izin dan
jaminan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka hanya
menetap sementara di tempat tersebut dan kembali ke Dar al-Islam sebelum
izinnya habis. Status yang bersangkutan masih tetap muslim, selama ia tidak
murtad. Bila murtad maka ia menjadi harbiyun.
1. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Setiap orang Islam, baik yang asli (penduduk setempat) atau mendatang
(pendatang, wisatawan, tetamu, pelarian dan lain-lain) mendapat hak asasi yang
sama saja. Orang kaya maupun orang miskin tidak dibeda-bedakan dalam urusan
mendapatkan hak-hak asasi. Yaitu:
1. Kebebasan untuk memiliki rumah, harta dan lain-lain.
2. Kebebasan bekerja dan berbicara.
3. Peluang belajar di dalam dan luar negeri.
4. Melaksanakan dan mengurus hak-hak agama.
5. Kalau dihina akan dilindungi dan penghina itu akan dihukum.
6. Mempertahankan kehormatan diri, harta, keluarga dan lain-lain. Bahkan
dalam jaran Islam seorang yang mati karena mempertahankan dirinya, harga
dirinya, keluarganya dan hartanya itu dianggap mati syahid. Rasulullah
bersabda:
Artinya: “Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka dianggap
syahid, dan siapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya maka dia juga
syahid, siapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya maka dia syahid
dan siapa yang terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka dia juga
syahid”. (Riwayat Abu Daud dan At Tarmizi)
Itulah dia hak-hak asasi umat Islam secara umum dalam Negara Islam.
Mereka dibolehkan, bahkan bebas berorganisasi, beraktivitas, berdagang,
mengumpulkan harta, berjuang, menikmati hiburan, menulis, mengeluarkan
pendapat dengan syarat tidak melanggar syariat Allah dan tidak melanggar hak
asasi orang lain. Juga tidak bertentangan dengan perintah pemimpin bila perintah
itu sesuai dengan ajaran Islam, arahan pemimpin yang tidak syar'i tidak wajib
ditaati.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Hormat dan patuh kepada orang Muslim adalah wajib, baik
perkara itu disukai atau tidak selama tidak diperintahkan perkara maksiat. Apabila
seseorang itu diperintahkan supaya melakukan maksiat maka tidak ada hormat
dan ketaatan”. (Riwayat Al Bukhari)
Adapun hak bagi warga negara bukan Islam (ahl dzimmi), yaitu:
1. Kebebasan memiliki rumah dan harta.
2. Peluang-peluang belajar di dalam dan luar negeri.
3. Kebebasan bekerja dan berbicara dengan syarat tidak melanggar hak asasi
orang lain.
4. Bebas menganut agama apapun. Pemerintah atau umat Islam tidak boleh
memaksa mereka menganut Islam.
Allah berfirman: Artinya: “Tiada paksaan dalam memilih agama”.
5. Berhak untuk menjadi pemimpin atau menteri-menteri di kalangan mereka.
6. Diberi perlindungan bila mereka dihina. Sekalipun yang menghina itu dari
kalangan orang Islam sendiri, pasti dihukum.
7. Berhak mempertahankan harga diri, harta dan keluarga.
Berbeda dengan umat Islam, warga negara bukan Islam tidak dikenakan
zakat, fitrah, sedekah, berkorban dan lain-lain sebagai sumbangan kepada negara
dan masyarakat. Dengan sumbangan tersebut negara akan jadi kuat dan dapat
menguatkan individu-individu terutama orang-orang susah. Maka untuk tujuan
yang sama di samping kepentingan-kepentingan keselamatan dan pengurusan
mereka, Negara Islam menetapkan warganya yang bukan Islam mesti membayar
jizyah atau pajak kepala, tidak ada pajak lainnya. Kadar pajak itu menurut taraf
hidup dan kemampuan masing-masing seperti yang diputuskan oleh hakim atau
ketua negara.38
F. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi
Kelahiran
Dalam Islam status kewarganegaraan seseorang dapat dilihat berdasarkan
dua macam asas, yaitu:
38 Artikel diakses pada 10 Desember 2009 dari
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/690
1. Asas ius sanguinis, Yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan anak
berdasarkan garis keturunan. Dengan kata lain bahwa apabila suami istri
memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, maka status kewarganegaraan
anak-anaknya mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya yang beragama
Islam atau dzimmi. Hal ini berarti meskipun seorang warga negara Islam
melahirkan anaknya di luar wilayah kekuasaan Islam, status kewarganegaraan
anak tetap mengikuti mereka, yakni warga negara Islam Namun bila terjadi
perubahan kewarganegaraan dari Islam menjadi harbi, maka status
kewarganegaraannya tetap tidak berubah. Anak-anak yang belum dewasa
tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan ayahnya murtad, demikian pula
bila salah seorang orang tuanya yang murtad.39
2. Asas ius soli, yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan anak
berdasarkan tempat dia dilahirkan. Dalam Islam mengangkat anak, apalagi
anak yatim baik karena orang tuanya meninggal atau tidak diketahui, yang
tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya,
maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah S.W.T. Hal ini sebagaimana
dikatakan sendiri oleh Rasulullah S.A.W. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu
Daud dan Turmudzi: yang artinya “Saya akan bersama orang yang
menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari
jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya”. Laqith atau anak yang
39 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh
Islam dengan Syariat Agama Lain, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Edisi ke-2, h. 45.
dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi
menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang
dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Dalam kitab Ahkam al-Awlad
fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan
menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim.
Memang sebenarnya konsep kewarganegaraan dalam Islam penulis tidak
menemukan penjelasannya secara eksplisit mengenai asas yang berdasarkan
kelahiran beserta cakupannya. Namun secara tersirat asas tersebut terkandung di
dalam konsep kewarganegaraan Islam sebagaimana telah disebutkan di atas.
G. Tinjauan hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi
Perkawinan
Dalam hukum Islam dikenal tiga macam perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan antara Pria Muslim dengan Wanita Musyrik
Dalam Islam menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tak
boleh diotak-atik. Semua perangkat syariah dikerahkan untuk menjaga
eksistensinya. Bahkan kalau perlu, nyawapun harus direlakan. Dalam ushul fiqh,
term ini disebut hifdz ad-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal
yang sangat dipelihara Islam (ad-daruriyat al-khamsah).
Keseriusan Islam dalam membentengi umatnya tercermin dari sikap keras
Nabi. Sebagaimana sabdanya. Artinya: Diriwayatkan dari Ibni Abbas r.a. bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda:
��: و,/0 �/.- ا% ر,�ل +�ل: +�ل �*()� ت&��" ا% ر#" �!�س ا�� و
� }ا�!�9رى روا6 {�7+�/�6 دی*- �3َل م
Artinya: “Barangsiapa pindah agama, bunuh saja”40
Barangkali persoalan kawin campur dapat dipahami dari segmen ini. Islam
tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Oleh karena itulah, ia
sama sekali tidak bisa mentolerir perkawinan dengan kaum atheis (orang yang
tidak bertuhan).
Dalam kehidupan sehari-hari tekadang terjadi sebuah perkawinan antara
pria dan wanita yang berlainan agama. Al-quran secara tegas melarang
perkawinan dengan orang musyrik,41
sebagaimana firmannya dalam QS. Al-
Baqarah (2): 221.
5l,� <�2%P��% ��⌧$�Iyz☺���� '(hF�i ���!%� ' H�!s�,�
E����!%�! HI-"�� �� ! :�⌧$�Iyz�!
-2%�,� -.��?X�|y�+ ......... }٢/٢٢١: ا�!>�ة{
Artinya: ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita
musyrikah walapun dia menarik hatimu.....”.
40 Abdul Djalil, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta:
LkiS, 2000), h. 280.
41 M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 195.
Para Fuqaha pun menyatakan, seorang muslim tidak boleh menikahi
wanita musyrikah, baik wanita itu merdeka atapun budak belian,42
ayat tersebut
juga merupakan suatu peringatan agar jangan sampai hal tersebut terjadi dalam
keluarga, terdapat perbedaan akidah antara suami istri.
2. Perkawinan antara Pria Muslim dengan Wanita Ahl Kitab
Dalam Islam ahl kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka
yang percaya dan meyakini kitab-kitab yang diturunkan Allah (Taurat dan Injil)
kepada Nabi-nabi-Nya (Taurat pada Nabi Musa dan Injil pada Nabi Isa).43
Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan campuran ini.
Perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan
wanita ahl kitab. Menurut Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, bahwa
ada dua pendapat tentang pernikahan ini:
a. Pernikahan laki-laki muslim dengan ahli kitab dan ia sebagai penduduk yang
berada dalam lindungan negara Islam (ahl dzimmah), diperbolehkan, pendapat
ini menurut jumhur ulama, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun
Hambali;
42 TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971), h. 77.
43 Abdur Rahman I. Doi, Inilah Syariah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), h.
192.
b. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab dan ahli
dzimmah. Pendapat ini menurut golongan Syi’ah Imamiyah, yang menurut
mereka dinukil dari pendapat Abdullah bin Amru.44
Golongan pertama yaitu jumhur ulama mendasarkan pendapat mereka
pada beberapa dalil:
a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah (5): 5.
.....���0%,� U�;49�� <�20�*+ \�?P����� 66�i -���4�
-.��!��0%,� 66�i -.��� < R���\vM%�/n��,� ���!
�����!%☺���� R���\vM%�/n��,� ���!
U�;49�� <�20�*+ \�?P�����
��! -.����-X%; ...... }٥/٥: ا�)�=3ة{
Artinya: “… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal
bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-
kitab sebelum kamu….”.
b. Diantara sahabat adapula yang pernah melakukan pernikahan ini. Mereka
menikahi wanita ahli kitab yang hidup dalam lingkungan pemerintahan Islam.
Utsman bin Affan menikahi Na’ilah binti al-Gharamidhah, seorang wanita
beragama Nasrani yang kemudian beragama Islam. Hudzifah juga menikahi
wanita Yahudi dari Penduduk Mada’in.
44 Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), Cet. Ke-3, h. 23.
c. Jabir ra. pernah ditanya tentang pernikahan laki-laki muslim dengan wanita
Yahudi dan Nasrani. Ia menjawab: ”Kamipun pernah nikah dengan mereka
pada waktu penaklukan kufah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash.
d. Sabda Rasulullah SAW mengenai orang-orang Majusi: ”Perlakukanlah bagi
mereka sunnah ahli kitab, tanpa harus menikahi wanita-wanita mereka dan
tidak pula memakan sembelihan mereka.45
Sedangkan golongan kedua yaitu Syiah Imamiyah melandaskan
pendapatnya pada beberapa dalil:
a. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) 221. Artinya: “Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman…”
Maksudnya bahwa Allah telah mengharamkan seorang muslim menikahi
wanita musyrikah. Sedangkan wanita ahli kitab termasuk orang kafir. Mereka
menganggap wanita ahli kitab termasuk orang musyrik berdasarkan riwayat dari
Ibnu Umar ra. bahwa ia pernah ditanya tentang hukum menikahi wanita Yahudi
dan Nasrani. Ia menjawab: ”Sesungguhnya Allah mengaharamkan wanita-wanita
musyrik bagi orang-orang mukmin. Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang
lebih besar daripada anggapan seorang wanita (Nasrani) bahwa Tuhannya adalah
Isa, padahal Isa hanya seorang manusia dan hamba Allah”.
45 Ibid., h. 24.
b. golongan ini juga melandaskan firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah (60):
10. Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir”.
Maksudnya bahwa Allah melarang kaum muslimin berpegang kepada
perkawinan dengan wanita-wanita kafir. Sedangkan wanita ahli kitab termasuk
orang-orang kafir. Larangan disini sebagai pengharaman.46
Masjzuk Zuhdi menjelaskan bahwa kebanyakan ulama berpendapat bahwa
pria muslim boleh kawin dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)
berdasarkan firman Allah surat al-Maidah ayat (5). Selain itu berdasarkan Sunnah
Nabi SAW, Nabi pernah menikah dengan ahli kitab Maria al-Qibtiyah (Nasrani).
Demikian pula seorang sahabat Nabi Khuzaifah bin al-Yaman pernah kawin
dengan seorang wanita Yahudi, sedangkan para sahabat tidak ada yang
menentangnya.47
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada sebagian ulama lain yang melarang
antara seorang pria muslim kawin dengan wanita Yahudi dan Nasrani, karena
pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Yahudi dan Nasrani itu mengandung
unsur syirik yang cukup jelas, misalnya kepercayaan Uzair putera Allah bagi
umat Yahudi, ajaran Trinitas dan mengultuskan Nabi Isa AS dan ibunya, Maryam
46 Ibid., h. 25.
47 Masjzuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Mas Agung, 1991), h. 5.
(Maria) bagi umat Nasrani.48
Ibnu Umar mengatakan, bahwa kebolehan menikahi
ahlul kitab adalah rukhsah (dispensasi) karena saat itu jumlah wanita muslimah
relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah wanita jauh
lebih banyak, maka rukhsah itu sudah tidak berlaku lagi. Labih jauh lagi, beliau
berkata, ”Saya tidak pernah melihat syirik yang lebih besar dibanding ucapan
seorang wanita, ’Tuhan saya Isa’”.49
Imam-imam Mazhab yang empat pada prinsipnya mempunyai pandangan
yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikah, sekalipun mereka berkeyakinan
bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini kebenaran Trinitas. Hal terakhir ini adalah
syirik yang nyata. Tetapi karena mereka mempunyai kitab samawi, meraka halal
untuk dinikahi sebagai takhsis50
dari ayat:
.......�%�,� 56�0�L%� u9�� U�"�S%�/��� T�
Ux���!%�/n�� �⌧W�X�Y }٤/١٤١: ا�*@�ء{
Adapun pentakhsisnya adalah ayat:
.......���0%,� U�;49�� <�20�*+ \�?P����� 66�i -���4�
48 Ibid., h. 4.
49 Abdul Djalil, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, h. 282.
50 A. Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1972), h. 11.
-.��!��0%,� 66�i -.��� < R���\vM%�/n��,� ���!
�����!%☺���� R���\vM%�/n��,� ���!
U�;49�� <�20�*+ \�?P�����
��! -.����-X%; ..... }٥/٥ :ا�)�=3ة{ Islam memberi kesempatan kepada laki-laki muslim untuk mengawini
perempuan ahli kitab, oleh karena adanya titik pertemuan antara ajaran-ajaran
agama mereka dengan ajaran Islam. Hal ini terjadi oleh karena berasal dari satu
sumber yaitu wahyu Allah, baik Yahudi, Nasrani maupun Islam mengajarkan
kepada Allah, kepada akhirat, kepada kitab-kitab Allah, kepada malaikat dan
Rasul.51
Yusuf Qardhawi berpendapat, kebolehan nikah dengan kitabiyah tidak
mutlak tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus dipenuhi:
a. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi;
b. Wanita kitabiyah yang mukhshonah (memelihara kehormatan diri dari
perbuatan zina);
c. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau
peperangan dengan kaum muslimin;
d. Dibalik pernikahan itu tidak akan terjadi “fitnah”, yaitu mafsadah dan
kemuharatan.52
51 Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh “ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-
Araby, 1969), Juz 4, h. 75.
Menurut Sayyid Sabiq, menikah dengan wanita ahl kitab meskipun jaiz
tetapi makruh, karena suami tidak terjamin untuk tidak terkena “fitnah” agama
istrinya.53
3. Perkawinan antara Pria Non-Muslim dengan Wanita Muslimah
Terhadap masalah ini para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah
tidak halal kawin dengan laki-laki yang bukan muslim, baik dia musyrik maupun
ahl kitab. Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10.
��������� U�;49�� <�=2�!�,� �%&�� .RB,�9;��
R����!%☺���� �.O"e|�L! ��0J2�P%?�!��%/ < u9�� .��p�+ ���V��☺����� < @��%/ ��0J2☺}y☺�� ��,��!%! 5⌧%/
��0J20P1-"% T�c�� >�mS������ < 5l ��0J 66�i -.��� 5l,� -.0J
@2���%� ���i� .... }�*��((٦٠/١٠ :ا�{ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu perempuan-
perempuan mukmin yang berhijrah hendaklah mereka kamu uji terlebih dahulu.
Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa
mereka itu benar-benar beriman. Maka jenganlah mereka kembali kepada orang-
orang kafir. Mereka ini (perempuan-perempuan mukmin) tidak halal bagi laki-
laki kafir. Dan laki-laki kafirpun tidak halal bagi mereka...”.
Larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan non-muslim
termasuk pria ahli kitab diisyaratkan oleh al-Quran. Dipahami dari QS. Al-
Baqarah (2): 221 di atas, hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria
muslim dengan wanita ahli kitab dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya.
52 Yusuf Al-Qardhawi, Huda al-Islam Fatawa Mu’asiroh, (Kairo: Dar Afaq al-Gai,
1978), h. 414.
53 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1959), h. 101.
Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat
tersebut akan menegaskannya.54
Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat tersebut
menunjukkan kepada keharaman perkawinan seorang laki-laki musyrik dengan
wanita muslimah. Yang dimaksud dengan musyrik disini adalah setiap orang kafir
yang tidak beragama Islam yang mencakup golongan Wassani, Yahudi, Nasrani
dan orang yang murtad.55
Islam melarang perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki non
muslim itu dengan pertimbangan keselamatan agama perempuan yang beragama
Islam, jangan sampai dia murtad karena pengaruh suaminya. Demikian pula anak-
anak yang diperoleh dari perkawinan itu akan lebih tertarik kepada keyakinan
hidup atau agama ayah yang non muslim itu.
Pertimbangan lain dari pelarangan tersebut adalah bahwa ditangan
suamilah kekuasaan terhadap istri dan bagi istrinya wajib taat kepada suami,
berarti pula taat kepada perintahnya yang baik (dalam pengertian maksud dari
kekuasaan suami terhadap istri) Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa (4):
141. Artinya: “.....Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang
kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
54 M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 19.
55 Ali Al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir al-Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Makkah: tpp,
tt), h. 89.
Terlepas tentang boleh atau tidaknya melaksanakan perkawinan campuran
beda agama tersebut di atas, bagi umat Islam yang terpenting adalah menjaga
kelestarian iman karena hal itu merupakan prinsip utama yang wajib dilakukan.
Oleh sebab itu menerapkan sikap kehati-hatian adalah lebih baik.
Adapun dalam Islam, asas kewarganegaraan berdasarkan sisi kelahiran
hanya menganut asas kewarganegaraan tunggal. Baik terhadap suami istri yang
melakukan nikah campur maupun terhadap anak yang dihasilkan dari orang tua
yang melakukan nikah campur tersebut.
Oleh karena Islam menganut asas kewarganegaraan tunggal, maka ikatan
perkawinan tidak merubah status kewarganegaraan seorang istri maupun seorang
suami. Seorang muslim atau dzimmi yang menikahi seorang perempuan harbi di
Darul Harbi, sang istri tidak mengikuti status kewarganegaraan suaminya yang
muslim atau dzimmi. Kecuali si istri pindah ke Darul Islam. Jika dia mengikuti
suaminya ke Darul Islam, karena ikatan perkawinan tersebut, si istri menjadi
seorang dzimmiah.
Seorang musta’min yang menikah di Darul Islam dengan wanita dzimmi,
dia tidak menjadi dzimmi, dan si istri tidak menjadi harbiah karena perkawinan
itu, kecuali si musta’min ingin menetap di Darul Islam. Suami istri berstatus
dzimmi jika berhijrah ke Darul Islam.
Seorang perempuan harbi yang memeluk Islam karena pernikahan dengan
seorang muslim, maka status kewarganegaraan perempuan itu adalah Islam tanpa
dia harus berhijrah ke Darul Islam. Pernikahan saja tidak mengubah status
kewarganegaraan seseorang. Syarat masuknya seseorang menjadi warga negara
Islam adalah memeluk Islam dan bersedia mengikuti ketentuan syariatnya.56
Bila seorang suami beralih kewarganegaraan karena perpindahan, tidak
mempengaruhi status kewarganegaraan si istri. Seorang dzimmi yang berhijrah ke
Darul Harbi, beralih menjadi seorang harbi. Bila si istri tidak menyertainya, dia
tetap berstatus seorang dzimmi. Seorang muslim yang murtad menjadi seorang
harbi, namun jika istrinya tidak ikut murtad, tidak mempengaruhi status
kewarganegaraannya.
Mengenai status kewarganegaraan anak-anak yang belum dewasa
(mumayyiz) dan orang gila, mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Apabila
suami istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, status kewarganegaraan
anak-anaknya tadi mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya. Apabila yang
memeluk Islam adalah si ibu, menurut Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad
berpendapat, anak-anak mengikuti kewarganegaraan si ibu, namum Imam Malik
berpendapat tetap mengikuti kewarganegaraan sang ayah.
Anak-anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya,
jika ada perubahan status dari yang rendah ke yang tinggi. Menurut syariat Islam,
kewarganegaraan Islam adalah yang tinggi seperti sabda Nabi SAW.57
Artinya:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya”.
56 Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat
Agama Lain, h. 44.
Namun bila perubahan kewarganegaraan dari Islam menjadi harbi, maka
status kewarganegaraannya tetap tidak berubah. Anak-anak yang belum dewasa
tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan ayahnya murtad, demikian pula bila
salah seorang orang tuanya yang murtad.
Inilah prinsip umum mengenai kewarganegaraan dalam Islam. Prinsip ini
kemudian menjadi prinsip yang berlaku secara Internasional. Seseorang yang
menetap di suatu negara, secara naturalisasi beralih kewarganegaraan ke negara
tempat dia bermukim. Status ini bisa berubah bila dia pindah bermukim ke negara
lain dan menetap pula di negara baru itu. Status kewarganegaraan si istri dan
anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan ayah merupakan prinsip yang berlaku
umum.58
H. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan dalam Islam
Islam merupakan sistem pemikiran dan sekaligus sistem tindakan, dan
karena Islam juga bertujuan untuk menciptakan suatu negara berdasarkan
ideologinya, maka Islam mengamanatkan dua jenis kewarganegaraan yaitu kaum
muslim dan kaum dzimmi. Karena keterusterangan dan kejujuran yang timbul
dari intisari dan jiwa Islam, maka gagasan kewarganegaraan ganda dalam struktur
politiknya dapat dijelaskan dengan terang tanpa menimbulkan kebingungan.
57 Ibid., h. 45.
58 Ibid., h. 46.
Sehubungan dengan kewarganegaraan muslim, al-Quran menyatakan dalam surat
al-Anfal (8): 72.
@�� ����;49�� <�2�!�,� <��"�1��J,� <����L�1,�
MN�L��O,2�!���� -.�PQRS��+,� T�U V6W�X�Y C9�� U�;49��,�
<��,��,� <�S�I\]� � �:^�%���*+ -._�`⌫0�
��9�,W����+ cd0� ' U�;49��,� <�2�!�,� -.%�,�
<��"P1���� �! ���%� �� ! .�e☺,W%�,� �� ! g�M(⌧C '(hF�i
<��"P1���� ' V@��,� -.�$�I\]��jMY�� T�U VU�J����
.RX�W���0%/ IM] ���� kl�� 'T� mn-2%; -.����o� .pq,�o�,�
Hr%st� ! � u9��,� ��☺�� @20��☺0% HI"Pv }٨/٧٢ :ا����ل{ �
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu
satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman,
tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara
kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Jelas bahwa menurut ayat di atas, ada dua persyaratan dasar
kewarganegaraan sebagaimana ditetapkan oleh al-Quran, yaitu:
1. Ia hendaknya seorang muslim atau non-muslim (dzimmi) yang telah berjanji
tunduk kepada sistem Islam yang umum;
2. Ia hendaknya berdiam di Dar al-Islam baik secara de facto maupun de jure,
seperti ia berdiam di luar tanah negerinya untuk tujuan sementara, misalnya
berdagang atau menuntut ilmu. Namun tempat tinggalnya yang asal dan
terakhir di dalam Dar al-Islam.
Inilah syarat-syarat untuk menjadi warga negara Islam yang dalam istilah
dimasa sekarang dinamakan kewarganegaraan. Syarat pokok adalah Islam dan
melakukan baiat secara sungguh-sungguh. Yaitu menerima pemerintahan negara
dan sistemnya tanpa berusaha melakukan pemberontakan dan pembangkangan
terhadapnya.59
1. Analisis
Dalam Islam yang menjadi warga negara pertama-tama adalah
berdasarkan orang-orang yang beragama Islam, meski begitu negara ini
membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di
wilayahnya atau bermigrasi ke dalam wilayahnya. Dengan kata lain bahwa
Negara Islam bukan negara ekstra-teritorial seperti diungkapkan dalam QS. Al-
Anfal (8): 72. Dan orang-orang warga negara lain yang non-muslim yang
59 Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam, h. 119.
melakukan suatu perjanjian dengan pemerintah Islam. Untuk selanjutnya bagi
warga negara non-muslim tersebut dinamakan ahl dzimmah.
Dengan kata lain, di manapun seseorang dilahirkan baik dia itu seorang
muslim atau bukan (non-muslim), tetap berstatus kewarganegaraan dar al-Islam
selama mereka berhijrah atau menerima ideologi tersebut sebagai prinsip dasar.
Mengenai asas kewarganegaraan dalam Islam terhadap asas
kewarganegaraan yang berdasarkan asas kelahiran dan asas perkawinan beserta
cakupannya secara tersirat kedua asas tersebut terkandung di dalam konsep
kewarganegaraan Islam. Asas kewarganegaraan berdasarkan sisi kelahiran yaitu:
1. Asas Ius Sanguinis, hal ini berdasarkan bahwa dalam Islam apabila seorang
suami dan/atau istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, maka status
kewarganegaraan anak-anaknya mengikuti status kewarganegaraan orang tua
yang beragama Islam atau dzimmi;
2. Asas Ius Soli, dalam Islam mengangkat anak apalagi anak yatim yang
tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya,
maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah S.W.T. “Laqith” atau anak yang
dipungut di jalan yang orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, sama
dengan anak yatim. Namun Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa anak seperti
itu lebih patut dinamakan ibnu sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk
memeliharanya. Dalam kitab al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa syariat
Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim,
kecuali di negara non-muslim.
Asas kewarganegaraan berdasarkan sisi perkawinan, dalam Islam hanya
mengenal asas kewarganegaraan tunggal, asas ini berlaku baik terhadap semua
orang yang telah dewasa maupun anak-anak yang dihasilkan dari orang tua yang
melakukan pernikahan campuran.
Mengenai status kewarganegaraan anak-anak yang belum dewasa
(mumayyiz) dan orang gila, mengikuti status kewearganegaraan orang tuanya.
Namun apabila perkawinan terjadi antara seorang muslim dengan seorang non-
muslim menurut mayoritas pendapat ulama empat mazhab, anak tersebut
mengikuti kewarganegaraan orang tuanya yang beragama Islam. Begitupun bagi
anak-anak yang belum dewasa tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan/atau
ayahnya murtad. Terhadap pernikahan seorang dzimmi dengan seorang harbi,
status kewarganegaraan anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan orang tuanya
yang dzimmi yakni yang berkewarganegaraan Islam.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas, penulis menarik suatu
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa konsep kewarganegaraan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006, dinyatakan bahwa yang menjadi warga
negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
yang tidak diterapkan berdasarkan etnis manapun dan orang-
orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara;
2. Sedangkan konsep kewarganegaraan dalam Islam
menyebutkan yang menjadi warga negara adalah orang-orang
Islam yang tinggal di wilayah atau bermigrasi ke dalam wilayah
kekuasaan negara Islam dan non-Islam yang melakukan
perjanjian dengan negara Islam untuk menjadi bagian dari
negara Islam;
3. Asas yang terkandung di dalam undang-undang
kewarganegaraan Indonesia adalah asas yang berdasarkan sisi
kelahiran yaitu Asas Ius Sanguinis (law of the blood) yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis
keturunan, tanpa perlu mempersoalkan tempat orang tersebut
dilahirkan dan Asas Ius Soli (law of the soil) Terbatas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara
tempat kelahiran, tanpa perlu mempersoalkan keturunan darah
orang yang bersangkutan. Sedangkan asas yang berdasarkan
sisi perkawinan yaitu Asas Kewarganegaraan Tunggal yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang yang
telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin dan
Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang diberlakukan
terbatas bagi anak-anak yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun atau belum kawin.
4. Asas kewarganegaraan dalam Islam tidak jauh berbeda, sama-
sama menganut asas yang berdasarkan sisi kelahiran dan sisi
perkawinan. Asas berdasarkan sisi kelahiran mencakup asas ius
sanguinis dan asas ius soli. Namun asas berdasarkan sisi
perkawinan hanya mencakup asas kewarganegaraan tunggal
saja. Asas ini diterapkan baik bagi orang-orang yang telah
dewasa maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari hasil
perkawinan campuran, mereka hanya mengikuti status
kewarganegaraan orang tuanya yang beragama Islam atau
yang menyandang status kewarganegaraan Dzimmi.
B. Saran
Warga negara merupakan faktor penting dalam sebuah
negara, karena mereka sebagai penentu maju atau tidaknya
sebuah negara. Oleh karenanya penulis berharap kepada
pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang agar segala hal
ihwal yang berhubungan dengan warga negara baik berupa hak
dan kewajiban haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, sehingga tidak terjadi persoalan yang berakibat
buruk bagi rakyat Indonesia, dalam hal ini mengenai status
kewarganegaraan bagi mereka yang melakukan nikah campur
beda negara serta anak keturunan mereka dan mereka yang
bertempat tinggal di luar negeri sementara untuk berbagai
macam hal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi),
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, Cet ke-3.
Al-Humaidy, Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz, Kawin Campur dalam Syari’at Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, Cet. Ke-3.
Al-Maududi, Sayyid Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam Abul A’la
Al-Maududi, Penerjemah Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-IV.
Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam, Penerjemah
Firman Harianto, Solo: CV Pustaka Mantiq, 1995.
Al-Shabuni, Ali, Rawai al-Bayan Tafsir al-Ayat al-Ahkam min al-Quran, Makkah:
tpp, tt.
AS. Hikam, Mohammad, dkk, Fiqh Kewarganegaraan, Intervensi Agama-Negara
Terhadap Masyarakat Sipil, Yogyakarta: CV Adipura, 2000.
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqh Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1971.
______________ Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat
Agama Lain, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Edisi ke-2.
Azed, Abdul Bari, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta: IND-HILL-
CO, 1995.
Basyir, A. Azhar, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung: Al-
Ma’arif, 1972.
Busro, Abu Bakar dan Busroh, Abu Daud, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Djalil, Abdul, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, Yogyakarta:
LkiS, 2000.
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I,
Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995.
Halim, A. Ridwan, Hukum Tata Negara dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988.
Hallet, Nuning, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, Artikel diakses
dari 9 200Juni5 pada com.mixedcouple.www://http
I. Doi, Abdur Rahman, Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
Jaziri, Al-, Kitab al-Fiqh “ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats
al-Araby, 1969, Juz 4.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989, Cet ke- 8.
Kansil, CST dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000, Cet. Ke-3, Edisi Revisi.
Kansil, CST dan Christine S.T. Kansil, Buku Pendidikan Kewarganegaraan di
Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke- 2
Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
T.tp, CV Sinar Bakti, 1988.
Pasha, Mustafa Kamal, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jogjakarta:
Citra Karsa Mandiri, 2002.
Paulus, B.P., Kewarganegaraan RI di Tinjau dari UUD 1945: Khususnya
Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita,
1983.
Phartiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003,
Cet. Ke-2.
Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004, Cet. Ke-10.
Qardhawi, Yusuf, Minoritas Non-Muslim di Dalam Masyarakat Islam, Penerjemah
Muhammad Baqir, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1991, Cet. Ke-2.
Rudy, T. May, Hukum Internasional I, Bandung: PT. Refika Aditama, 2002.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1959.
Salim, Abd. Mu'in, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, Cet ke-2.
Sanusi, Lian Nury, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Indonesia, Jakarta: PT. Kawan Pustaka, 2006.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-quran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Simorangkir, J.S.T., dkk, Inti Pengetahuan Warga Negara, Jakarta: Erlangga, 1960,
Cet. 3.
Soeriadinata, Soependri, Sendi Pokok Tata Negara Indonesia, Jakarta: CV. Karya
Indah, 1974.
Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, 2005, Cet.
Ke-4.
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, 1999.
Tim Redaksi Pustaka Pergaulan, UUD 1945, Naskah Asli dan Perubahannya,
Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2004, Cet ke-3.
Ubaidillah, A., dkk, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat
Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Wahjono, Padmo, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985, Cet. Ke-2.
Zadah, Khamami dan Arif R., Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004.
Zuhdi, Masjzuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Mas Agung, 1991.
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2006
TENTANG
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan
dengan warga negara.
3. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui
permohonan.
4. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
5. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu yang
ditunjuk oleh Menteri untuk menangani masalah
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
6. Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
7. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik
Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Konsulat Republik
Indonesia, atau Perutusan Tetap Republik Indonesia.
Pasal 2
Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara.
Pasal 3
Kewarganegaraan Republik Indonesia hanya dapat diperoleh
berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
BAB II
WARGA NEGARA INDONESIA
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah:
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah
menjadi Warga Negara Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan
ibu Warga Negara Indonesia;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
Warga Negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum
anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak
diketahui keberadaannya;
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan
permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia.
Pasal 5
1. Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang
sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin
diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
2. Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun
diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga
Negara Indonesia.
Pasal 6
1. Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf
h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan
ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin
anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
2. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan
kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat
3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin.
Pasal 7
Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan
sebagai orang asing.
BAB III
SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK
INDONESIA
Pasal 8
Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui
pewarganegaraan.
Pasal 9
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh puluh) tahun tidak
berturut-turut;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia,
tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Pasal 10
1. Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh
pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas
bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri.
2. Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat.
Pasal 11
Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan
diterima.
Pasal 12
1. Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya.
2. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
1. Presiden mengabulkan atau menolak permohonan
pewarganegaraan.
2. Pengabulan permohonan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
3. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada
pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
Keputusan Presiden ditetapkan.
4. Penolakan permohonan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan dan diberitahukan
oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri.
Pasal 14
1. Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan
pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal
pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
2. Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden
dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
3. Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu
yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan
yang sah, Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum.
4. Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai
akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk
Menteri.
Pasal 15
1. Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilakukan di hadapan Pejabat.
2. Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat berita
acara pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan janji
setia.
3. Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia, Pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berita
acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia kepada
Menteri.
Pasal 16
Sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) adalah:
Yang mengucapkan sumpah, lafal sumpahnya sebagai berikut:
Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah melepaskan
seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk,
dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila,
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan
menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya
sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.
Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya sebagai berikut:
Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan
asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-
sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara
kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan
ikhlas.
Pasal 17
Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia,
pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian
atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah
atau pernyataan janji setia.
Pasal 18
1. Salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita acara
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) menjadi bukti sah
Kewarganegaraan Republik Indonesia seseorang yang
memperoleh kewarganegaraan.
2. Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 19
1. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga
Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga
negara di hadapan Pejabat.
2. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-
turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut,
kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
3. Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh
kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan
pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 20
Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia
atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi
Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah
memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
Pasal 21
1. Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia.
2. Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang
diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai
anak oleh Warga Negara Indonesia memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB IV
KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 23
Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang
bersangkutan:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan
untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar
negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik
Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan
dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga
Negara Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara
asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda
kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas
namanya; atau
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia
selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas
negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak
menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara
Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan
setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara
Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal
Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan
secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang
bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Pasal 24
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d tidak
berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara
lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.
Pasal 25
1. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang
ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan
anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
2. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang
ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan
anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
3. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena
memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus
perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap
anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin.
4. Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 26
1. Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki
warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai
akibat perkawinan tersebut.
2. Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan
warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya,
kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai
akibat perkawinan tersebut.
3. Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi
Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan
mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan
atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.
4. Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga)
tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Pasal 27
Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat
perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status
kewarganegaraan dari istri atau suami.
Pasal 28
Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan
palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai
orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal
kewarganegaraannya.
Pasal 29
Menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB V
SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH KEMBALI KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 31
Seseorang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur
pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 18 dan Pasal 22.
Pasal 32
1. Warga Negara Indonesia yang kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf i,
Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1) dan ayat
2. 2) dapat memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan mengajukan permohonan tertulis kepada
Menteri tanpa melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 sampai dengan Pasal 17.
3. Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia,
permohonan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
4. Permohonan untuk memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat diajukan oleh perempuan atau laki-laki
yang kehilangan kewarganegaraannya akibat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) sejak
putusnya perkawinan.
5. Kepala Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah menerima
permohonan.
Pasal 33
Persetujuan atau penolakan permohonan memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan paling lambat 3 (tiga)
bulan oleh Menteri atau Pejabat terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan.
Pasal 34
Menteri mengumumkan nama orang yang memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
1. Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini
sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk
memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 37
1. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu,
termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau
dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat
atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia atau memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat)
tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
2. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan keterangan
palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau
dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 38
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dilakukan korporasi, pengenaan pidana dijatuhkan kepada
korporasi dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi.
2. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
dicabut izin usahanya.
3. Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
1. Permohonan pewarganegaraan, pernyataan untuk tetap menjadi
Warga Negara Indonesia, atau permohonan memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah diajukan kepada
Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dan telah diproses
tetapi belum selesai, tetap diselesaikan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
2. Apabila permohonan atau pernyataaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah diproses tetapi belum selesai pada saat
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan,
permohonan atau pernyataan tersebut diselesaikan menurut
ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 40
Permohonan pewarganegaraan, pernyataan untuk tetap menjadi
Warga Negara Indonesia, atau permohonan memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah diajukan kepada
Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dan belum diproses,
diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 41
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf
d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini
diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada
Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling
lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 42
Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah
negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak
melaporkan diri kepada Perwakilan Republik Indonesia dan telah
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia sebelum Undang-
Undang ini diundangkan dapat memperoleh kembali
kewarganegaraannya dengan mendaftarkan diri di Perwakilan
Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan
Peraturan Menteri yang harus ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1958 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3077)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang
Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 45
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 46
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
HAMID AWALUDIN
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63