Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

14
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication e-ISSN 2721-0162 Corresponding author: Abdul Wahid; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 2 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected] ARTIKEL ORISINAL Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif Abdul Wahid a a Pusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan; Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang The use of religious terms such as 'kafir' is seen as a form of radicalism because it discriminates against other groups; both Muslim and non-Muslim groups. Radicalism can encourage intolerant behavior and violence. In political contexts such as elections, mass groups often use these calls to discriminate against other groups that are considered to have different views. This study was conducted to find out how "kafir" are used and how participatory communication as a means of resistance. This study was conducted using a survey method for Muslim and non-Muslim students in Malang City. This study states, the context of "kafir" occurs in different ways. In social relations, kafir is used in a joke. But t is also considered tend to discrimination, especially when associated with conservative organizations and fundamentalist movements. When "kafir" are used discriminatively, respondents have the awareness to reject using the term. Forms of participatory communication are done through informal discussion forums rather than formal spaces. Keywords: kafir, participatory communication, discrimination, radicalism. Penggunaan istilah keagamaan seperti ‘kafir’ dipandang sebagai bentuk radikalisme karena mendiskriminasikan kelompok lain; baik kelompok muslim maupun non-muslim. Radikalisme dapat mendorong perilaku intoleran dan kekerasan.. Dalam konteks politik seperti pemilu, kelompok massa seringkali menggunakan panggilan tersebut untuk mendiskriminasikan kelompok lain yang dianggap memiliki pandangan berbeda. Studi ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana “kafir” digunakan dan bagaimana komunikasi partisipatif sebagai sarana perlawanan. Studi ini dilakukan dengan metode survei pada mahasiswa muslim dan non- muslim di Kota Malang. Studi ini menyebutkan, penggunaan “kafir” digunakan dalam konteks berbeda. Dalam hubungan sosial, penyebutannya lebih dekat dengan konteks bercanda. Kafir juga dipandang melahirkan tindakan diskriminatif terutama ketika dihubungkan dengan organisasi dan gerakan konservatif. Saat “kafir” digunakan secara diskriminatif, responden memiliki kesadaran untuk menolak penggunaannya . Bentuk komunikasi partisipatif dilakukan melalui forum diskusi informal daripada ruang-ruang formal. Kata Kunci: kafir, komunikasi partisipatif, diskriminasi, radikalisme. Radikalisme bukan hanya selalu terkait dengan kekerasan berlatar agama, tetapi juga pada bentuk pemikiran tunggal (homogen) yang menganggap benar keyakinannya sendiri dan menyalahkan kelompok lain (Almakin, 2017; BNPT, 2018). Penyebutan “kafir” pada kelompok lain merupakan bentuk cara pandang tunggal yang dapat mendorong pada tindakan diskriminatif. Dalam konteks politik seperti pemilu, kelompok massa seringkali menggunakan panggilan tersebut untuk mendiskriminasikan kelompok lain yang dianggap

Transcript of Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Page 1: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication e-ISSN 2721-0162

Corresponding author: Abdul Wahid; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 2 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected]

ARTIKEL ORISINAL

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks,

Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Abdul Wahida

aPusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan; Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang

The use of religious terms such as 'kafir' is seen as a form of radicalism because it discriminates

against other groups; both Muslim and non-Muslim groups. Radicalism can encourage intolerant

behavior and violence. In political contexts such as elections, mass groups often use these calls

to discriminate against other groups that are considered to have different views. This study was

conducted to find out how "kafir" are used and how participatory communication as a means of

resistance. This study was conducted using a survey method for Muslim and non-Muslim students

in Malang City. This study states, the context of "kafir" occurs in different ways. In social

relations, kafir is used in a joke. But t is also considered tend to discrimination, especially when

associated with conservative organizations and fundamentalist movements. When "kafir" are

used discriminatively, respondents have the awareness to reject using the term. Forms of

participatory communication are done through informal discussion forums rather than formal

spaces.

Keywords: kafir, participatory communication, discrimination, radicalism.

Penggunaan istilah keagamaan seperti ‘kafir’ dipandang sebagai bentuk radikalisme karena

mendiskriminasikan kelompok lain; baik kelompok muslim maupun non-muslim. Radikalisme

dapat mendorong perilaku intoleran dan kekerasan.. Dalam konteks politik seperti pemilu,

kelompok massa seringkali menggunakan panggilan tersebut untuk mendiskriminasikan

kelompok lain yang dianggap memiliki pandangan berbeda. Studi ini dilakukan untuk

mengetahui bagaimana “kafir” digunakan dan bagaimana komunikasi partisipatif sebagai

sarana perlawanan. Studi ini dilakukan dengan metode survei pada mahasiswa muslim dan non-

muslim di Kota Malang. Studi ini menyebutkan, penggunaan “kafir” digunakan dalam konteks

berbeda. Dalam hubungan sosial, penyebutannya lebih dekat dengan konteks bercanda. Kafir

juga dipandang melahirkan tindakan diskriminatif terutama ketika dihubungkan dengan

organisasi dan gerakan konservatif. Saat “kafir” digunakan secara diskriminatif, responden

memiliki kesadaran untuk menolak penggunaannya . Bentuk komunikasi partisipatif dilakukan

melalui forum diskusi informal daripada ruang-ruang formal.

Kata Kunci: kafir, komunikasi partisipatif, diskriminasi, radikalisme.

Radikalisme bukan hanya selalu terkait dengan kekerasan berlatar agama, tetapi juga

pada bentuk pemikiran tunggal (homogen) yang menganggap benar keyakinannya sendiri

dan menyalahkan kelompok lain (Almakin, 2017; BNPT, 2018). Penyebutan “kafir” pada

kelompok lain merupakan bentuk cara pandang tunggal yang dapat mendorong pada

tindakan diskriminatif. Dalam konteks politik seperti pemilu, kelompok massa seringkali

menggunakan panggilan tersebut untuk mendiskriminasikan kelompok lain yang dianggap

Page 2: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

80

memiliki pandangan berbeda. Ekspresi ini banyak ditemukan dalam konteks Pilkada DKI

Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 lalu.

Kondisi ini direspon Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas 2019. NU merekomendasikan

untuk mengganti kata ‘kafir’ menjadi muwattinun untuk menyebut non-muslim. Alasannya

adalah penyebutan ‘kafir’ pada kelompok non-muslim mendorong sikap diskriminatif. Label

sebagai ‘kafir’ dianggap menghilangkan hak dasar warga negara untuk mendapatkan

perlindungan rasa aman. Kerap kali, pelabelan kafir ini sebagai awal kemunculan tindak

persekusi dan kekerasan yang mencirikan paham radikal. Beberapa ciri yang bisa dikenali

dari sikap dan paham radikal menurut BNPT adalah: intoleran (tidak mau menghargai

pendapat & keyakinan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang

lain salah), eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan revolusioner

(cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Beberapa penelitian menyebutkan, radikalisme berbasis agama mengalami peningkatan

dari tahun ke tahun (Wahid Institute, 2016; Infid, 2016; Setara Institute, 2012). Meski

beberapa peneliti pada awal reformasi melihat Gerakan kelompok radikal mulai melemah

(Van Bruinessen, 2002; Fealy, 2004), kini kelompok radikal kian menguat (Fadlan, &

Saputra, 2017). Peningkatan ini disebabkan perubahan keadaan sosial politik, terutama

paska orde Baru (Lovita, 2017; Van Bruinessen, 2013). Sedangkan aspek lain yang dianggap

berpengaruh adalah keadaan politik timur tengah (Qodir, 2008), penilaian terhadap

kegagalan modernisme di negara mayoritas Islam (Eliaz, 2008), kemiskinan (Asrori, 2015),

mode Pendidikan ekslusif (Maulana, 2017) dan sikap pemerintah yang tidak kunjung

menyelesaikan persoalan keagamaan (Wahid Institute, 2016). Sedangkan Human Right

Watch (2013) mengatakan, radikalisme tidak lepas dari pengaruh aktor politik lokal, partai

politik, maupun aturan diskriminatif pada minoritas. Secara umum, penyumbang

menguatnya radikalisme adalah politik populisme, streotype terhadap minoritas dan

kecenderungan kelompok mayoritas menuntut privilese atas posisinya sebagai mayoritas

(Jainuri, 2016; Nu.or.id, 2018). Gerakan radikal ini kian mudah menyebar melalui media

sosial dengan terminologi kliktivisme (Akhyar, 2017). Lim (2005) juga menyebut, internet

dijadikan sebagai sarana penyebaran radikalisme karena dianggap sebagai situs pertarungan

politik dan budaya.

Beberapa penelitian tersebut banyak mengulas tentang genealogi radikalisme, cara

kerjanya, serta latar sosial yang menjadikan radikalisme dapat berkembang pesat sampai

sekarang. Tulisan ini berfokus pada bagaimana persepsi masyarakat pada istilah “kafir”

dalam kehidupan sosialnya. Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana radikalisme yang

diekspresikan melalui beberapa istilah seperti ‘bid’ah, sesat, dan kafir’ dan dipahami oleh

masyarakat. Penyebutan istilah ini membawa konsekuensi munculnya dua kelompok biner

sebagai; yang paling benar dan dengan demikian kelompok lain sebagai yang salah. Pada

titik ini, perlu upaya untuk melakukan studi mengenai bagaimana kelompok muslim dan

non-muslim memaknai kafir dalam pengalaman di dunia sosialnya.

Studi ini dilakukan pada mahasiswa di perguruan tinggi Kota Malang melalui metode

survei deskriptif. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 348 mahasiswa

melalui teknik random sampling. Dari jumlah responden tersebut, terdiri dari mahasiswa

muslim (266 responden) dan non-muslim (82 responden). Instrumen yang digunakan dalam

Page 3: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

A. Wahid

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

81

penelitian ini terdiri dari tiga indikator: persepsi pada penggunaan “kafir”, persepsi tindakan

diskriminatif, dan keterlibatan komunikasi partisipatif.

Studi radikalisme di Indonesia

Istilah gerakan islam radikal harus didefininisikan secara hati-hati. Greg Fealy (2004, p. 105)

mencirikan gerakan Islam radikal dengan: pertama upaya menerapkan ajaran Islam literal

berbasis pada Alquran secara tekstual, kedua, gerakan yang menggunakan sikap reaktif

melalui bahasa, gagasan, atau tindak kekerasan fisik pada kelompok yang dianggap berbeda.

Sedangkan Vedi R. Hadiz (2004) melihat istilah tersebut merujuk pada kelompok yang

mengandaikan negara Islam dan penegakan hukum Syariah. Istilah ini juga sering

dipadankan dengan “fundamentalisme”, “militan”, atau secara sederhana pada istilah

“Islamis”. Studi yang dilakukan Martin Van Bruinessen (2002) tentang genealogi islam

radikal di Indonesia pasca-kejatuhan rezim orde baru mengungkapkan bagaimana akar

sejarah gerakan radikalisme di Indonesia. Pada penelitian tersebut disebutkan, selama masa

kepresidenan singkat Abdurrahman Wahid, kelompok radikal itu sering menguasai jalanan.

Bahkan aparat dinilai tidak mampu atau tidak mau untuk menahan karena kekerasan tersebut

dibiayai oleh kelompok kepentingan militer dan sipil, dan digunakan untuk alat perebutan

kekuasaan antara faksi elit yang bersaing. Van Bruinessen menelusuri bahwa radikalisme

pasca-rezim Soeharto dapat ditelusuri ke dua Gerakan politik Islam di tahun 1940-an (Darul

Islam dan Partai Masyumi) dan sejumlah Gerakan Islam jaringan Islam transnasional. Selain

itu, Bruinessen juga melacak transformasi gerakan islam radikal pada kemunculan gerakan

dakwah di kampus pada 1980-an, pemberdayaan Islam di tahun-tahun terakhir rezim

Suharto, serta jalannya politik Islam selama kejatuhan Suharto dan pemilu 1999. Pada

perkembangan selanjutnya, Van Bruinessen (2013) mengidentifikasi mengapa

kecenderungan konservatisme kembali menguat di Indonesia. Van Bruinessen menawarkan

dua penjelasan atas konservatisme ini. Pertama menguatnya arus demokrasi yang dikaitkan

dengan memudarnya Islam Liberal di Indonesia dan kedua akibat menguatnya pengaruh

Timur Tengah di Indonesia. Bahkan gerakan radikalisme tidak hanya mewujud dalam

organisasi gerakan baru, tapi juga telah merasuk pada tubuh ormas Islam yang sudah mapan

seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah.

Pada riset yang lain, Zuly Qodir (2008) juga menelusuri perkembangan gerakan radikal

di Indonesia. Gerakan radikalisme tidak lepas dari perkembangan situasi politik di timur

tengah, terutama di Saudi Arabia, Yordania, dan Syiria. Kelompok radikal berusaha

mengembangkan paham khilafah yang sasaran utamanya adalah mengganti sistem

pemerintahan di bawah satu kepemimpinan Islam. Meski ditolak keras di negara-negara

Arab, gerakan radikal justru tumbuh subur di Indonesia. Gerakan radikal ini menurut Qodir

tidak lepas dari adanya institusi pendidikan seperti Institut Pertanian Bogor (IPB). Gerakan

dari kampus ini selanjutnya bertransformasi melalui partai politik PKS dan organisasi HTI.

Meski dengan gerakan berbeda, keduanya berusaha membawa agenda politik untuk

menjadikan Indonesia menjadi negara Islam.

Data di atas menunjukkan gejala menguatnya radikalisme di Indonesia. Menurut laporan

Wahid Institute, kekerasan terhadap kebebasan beragama meningkat disebabkan dua hal:

pertama karena peristiwa politik dan kedua pemerintah yang belum menyelesaikan kasus

Page 4: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

82

kekerasan sebelumnya. Sedangkan hasil studi Ahmad Asrori (2015) menyebutkan, terdapat

tiga faktor yang menjadi penyebab munculnya radikalisme ini, yaitu perkembangan dunia

global, penyebaran paham wahabisme, dan kemiskinan.

Ahmad Nur Fuad (2007, p. 16) berpendapat, gerakan fundamentalisme Islam di

Indonesia kontemporer dilakukan dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya mencoba

mendirikan negara Islam, sedangkan yang lain mencoba menerapkan aturan syariah di level

individu maupun masyarakat di luar kontrol negara. Meski demikian, Fuad mengangap

gerakan ini belum sukses mentranformasikan lanskap politik muslim Indonesia berdasarkan

gagasan ideologi yang mereka yakini. Beberapa studi telah dilakukan sebagai upaya

menelusuri akar radikalisme ini. Anzar Abdullah (2016) telah melakukan studi terhadap

gerakan radikalisme dalam perspektif sejarah Islam. Hasil studi Abdullah menyebutkan,

gerakan radikalisme di Islam telah muncul di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib melalui

pemberontakan Khawarij. Gerakan radikal Khawarij ini dinilai sebagai cikal bakal lahinya

organisasi Islam radikal kontemporer yang sama-sama tidak mengenal kompromi dan

dialog.

Penelusuran tentang gerakan radikalisme lain dilakukan oleh Giora Eliaz (2004), sarjana

lulusan Australian National University melalui buku berjudul Islam in Indonesia,

Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension. Eliaz menyebutkan, gerakan

radikalisme di Indonesia tidak lepas dari konteks global yang melatarinya. Gerakan Islam

modern di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Muhammad Abduh, Jamal Al-Din Al-

Afgani,dan Muhammad Rashid Rida. Riset lain menyebut, radikalisme dianggap sebagai

respon terhadap gagalnya modernisme di negara-negara Islam (Jahroni, 2004, p. 584). Hasil

riset ini juga menyebutkan, karakteristik pelaku radikalisme di antaranya adalah anak muda,

memiliki pemahaman sempit tentang agama, suka menyebarkan pesan yang mengandung

kebencian, menolak kebebasan orang lain, dan mendukung gerakan radikal lain.

Laporan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada 2016

terkait persepsi dan sikap generasi muda terhadap gerakan radikalisme menyebutkan 29,1

persen responden mengatakan radikalisme dilakukan karena pemahaman agama yang tidak

tuntas. Hasil survey INFID 2016 secara umum menjelaskan, generasi muda memiliki

identitas personal melalui internalisasi nilai-nilai agama. Kemudahan akses informasi di

media sosial dianggap mudah memengaruhi sikap dan pandangan generasi muda dalam

beragama.

Beberapa studi menjelaskan mengenai strategi atau taktik serta peran berbagai pihak

dalam upaya mengatasi pemahaman radikal. Studi Ahmad Darmadji (2011) menyebutkan,

tindak kekerasan yang sering ditemui di media massa turut serta menjadi model bagi tindak

kekerasan di generasi muda. Untuk itu, orang tua dapat memerankan sebagai model pertama

yang memberikan penjelasan pada anak untuk berperilaku prososial dan menjauhkan dari

perilaku kekerasan. Perilaku prososial ini diyakini dapat menjadi nilai perlawanan pada

tindak kekerasan. Penelitian Abu Rokhmad (2012) menyebutkan, lembaga pendidikan juga

tidak kebal dari pengaruh ideologi radikal. Hal ini disebabkan karena kurangnya

pengetahuan keagamaan, proses belajar agama tidak dipantau secara langsung oleh lembaga

pendidikan, dan adanya buku ajar yang mendorong siswa membenci agama atau bangsa lain.

Page 5: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

A. Wahid

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

83

Sumber rujukan agama dan pemahaman istilah kafir

Radikalisme selalu dicirikan dengan cara pandang eksklusif yang mewujud pada bahasa

maupun tindak kekerasan. Cara pandang ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana

penggunaan bahasa tersebut dipelajari, dipahami, dan digunakan dalam kehidupan sosial.

Artinya, rujukan dalam memelajari agama merupakan faktor penting untuk melihat

bagaimana kelompok lain ditempatkan. Penelitian ini menyebutkan, mayoritas responden

mendapatkan pemahaman tentang keagamaan dari institusi pendidikan. Sebanyak 35%

respoden mengaku menjadikan institusi pendidikan sebagai ruang utama untuk memelajari

agama. Selain itu, para responden juga mengakui mendapatkan pelajaran keagamaan dari

kegiatan keagamaan lain (17%), tokoh agama (16%), internet (12%), orang tua (14%), media

massa (4%), serta literatur lain (2%). Data ini dapat dipahami bahwa tokoh agama tidak

diihat sebagai otoritas utama yang dirujuk untuk memelajari agama. Bahkan, sebagian

responden hanya memelajari agama dari internet tanpa melakukan pendalaman pada tokoh

agama maupun literatur utama dalam agama.

Diagram 1. Rujukan memelajari agama

Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019, N=348

Rujukan memelajari agama yang tidak tepat memungkinkan penggunaan istilah dalam

agama dan praktik yang bias, termasuk penggunaan istilah “kafir”. Pada kehidupan sehari-

hari, responden mengakui memiliki pengalaman dan pemahaman berbeda dalam

menggunakan istilah kafir. Perbedaan ini terdapat pada respon yang didapatkan dari

responden muslim dan non-muslim. Responden muslim mengakui, sebagian besar mereka

pernah mendapat penjelasan dari definisi “kafir” sebelumnya. Sebanyak 92% respoden

muslim mengaku dapat mengerti definisi istilah tersebut setelah membaca dan mendapat

penjelasan dari berbagai sumber. Sedangkan sebanyak 8% responden muslim sisanya

mengaku tidak pernah mendapatkan atau mendengar penjelasan tentang definisi “kafir”.

Peristiwa yang paling banyak dijadikan sebagai rujukan untuk mendapatkan pengertian atau

penjelasan definisi “kafir” tersebut diperoleh dari pelajaran di pendidikan (23%), tokoh

agama (21,8%), pertemuan atau acara keagamaan (17,4%), media sosial dan situs blog

35%

12%17%

2%

4%

14%

16%

Sumber rujukan memelajari agama

Institusi Pendidikan

Internet

Kegiatan Keagamaan

Literatur

Media Massa

Orang Tua

Tokoh Agama

Page 6: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

84

(14,3%), orang tua (11,6%), media massa (9,4%), serta peristiwa lainnya (2,5%). Hal ini

menunjukkan responden mengakui bahwa peristiwa keagamaan (tokoh agama dan ritual

keagamaan) serta institusi pendidikan memiliki peranan yang besar dalam memberikan

pemahaman pada responden dalam mendapatkan penjelasan tentang definisi “kafir” ini.

Selain itu, beberapa sumber lain yang diakui dapat memberikan definisi istilah kafir ini

adalah kitab suci Alquran, buku, diskusi dengan teman, serta literatur dan penelitian ilmiah.

Sentimen “kafir”: latar dan konteks penggunaannya

Beberapa penelitian mengaitkan gerakan keagamaan kontemporer dengan isu radikalisme

dan toleransi (Lovita, 2017; Setara Institute, 2018, Wahid Institute, 2017). Beberapa

penelitian tersebut bahkan menuding radikalisme tumbuh subur pada beberapa kampus

ternama di Indonesia. Penelitian ini berupaya untuk melihat konteks bagaimana penggunaan

kata “kafir”dengan melibatkan mahasiswa kota Malang. Dari data di lapangan disebutkan,

sebagian besar responden mengaku pernah mendengar “kafir” dalam kehidupan sehari-hari.

Sebanyak 89% responden mengaku pernah mendengar “kafir” dan sisanya sebanyak 11%

mengaku tidak pernah mendengar kata tersebut saat berinteraksi dalam kehidupan sosialnya.

Penggunaan kata kafir diakui responden ditemukan pada beberapa latar sosial seperti

kegiatan keagamaan, media sosial, dan media massa. Konteksnya juga berbeda; ada yang

menyebutkan dalam nada bercanda maupun

Pada konteks penggunaannya, penyebutan kafir diakui banyak ditemukan dalam

kegiatan keagamaan. Responden juga mengakui, mereka mendengar penggunaan kata kafir

di media sosial, media massa lain seperti televisi, radio, koran, dan majalah. Sedangkan

berdasarkan nada penggunaannya, mayoritas responden atau sebanyak 75% mengaku

mendengar penggunaan kata kafir dalam konteks bercanda dan sisanya melihat penggunaan

“kafir” tersebut bernada menghina.

Diagram 2. Pengalaman non-muslim dan muslim dipanggil “kafir” oleh kelompok lain

Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019. Non-muslim N=82,

Muslim N=266

Berdasarkan data survei, responden juga pernah memilik pengalaman pernah dipanggil

“kafir” oleh orang lain dalam kehidupan sosialnya. Jika membandingkan antara kelompok

muslim dan non-muslim, terlihat mahasiswa non-muslim memiliki pengalaman dipanggil

75%

25%

Pengalaman pernah dipanggil kafir oleh orang lain

Tidak Pernah

Pernah54%

; 46%

Non-muslim Muslim

Page 7: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

A. Wahid

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

85

sebagai “kafir” lebih banyak daripada kategori responden yang berlatar muslim. Sebanyak

46% responden non-muslim mengaku pernah dipanggil “kafir” sedangkan dari responden

muslim sebanyak 25% memiliki pengalaman yang sama.

Jika melihat konteks panggilan “kafir” yang ditujukan pada responden, terlihat panggilan

tersebut digunakan dalam konteks panggilan yang berbeda. Bagi responden muslim yang

pernah dipanggil “kafir”, sebagian besar mengaku panggilan tersebut terjadi di tempat kerja

atau kampus saat berinteraksi dengan teman sejawatnya. Hal ini diakui oleh 91 persen

responden muslim. Sedangkan latar penggunaan yang lain terjadi pada interaksi di media

sosial (25%), kegiatan atau ritual keagamaan (7%), interaksi dengan tetangga (1%), dan

lainnya sebanyak 4 persen. Dari data sebagaimana yang terlihat pada diagram berikut ini,

memperlihatkan bagaimana interaksi sosial di lingkungan kampus atau tempat kerja masih

menjadi ruang yang sering digunakan untuk mereproduksi panggilan “kafir” pada orang lain.

Berdasarkan nada panggilan “kafir” yang dialami oleh responden muslim, sebagian besar

nada panggilan yang dipersepsikan adalah bercanda. Sebagian besar responden, yaitu

sebanyak 81% mahasiswa mempersepsikan panggilan tersebut dalam konteks bercanda.

Sedangkan sebagian yang lain mengakui panggilan tersebut bernada nasihat keagamaan

(9%) serta ada juga yang mempersepsikan sebagai panggilan yang bernada menghina, yaitu

sebanyak 10 persen.

Jika konteks peristiwa yang dialami oleh mahasiswa muslim yang dipanggil “kafir”

didominasi di ruang kerja atau interaksi antar teman di kampus, konteks peristiwa yang

dialami oleh mahasiswa non-muslim sedikit menyebar dan tidak terpusat pada kampus saja.

Berdasarkan data di lapangan, mahasiwa non-muslim mengaku pernah dipanggil “kafir” di

kampus atau tempat kerja sebesar 63 persen saat berinteraksi dengan temannya. Selain itu,

61 persen responden juga mengakui mereka sering pernah dipanggil “kafir” saat berinteraksi

di media sosial dan 18 persen sisanya terjadi saat berinteraksi dengan tetangga.

Berdasarkan pengalaman dari mahasiswa non-muslim tersebut, nada panggilannya

dipersepsikan secara berbeda. Sebanyak 37 persen responden mengaku, mereka

mempersepsikan panggilan tersebut dalam konteks menghina, sebanyak 26 persen

mempersepsikannya sebagai dalam konteks bercanda. Sedangkan sisanya melihatnya

sebagai panggilan biasa tanpa ditujuka untuk menghina dan membercandakan panggilan

“kafir” tersebut untuk mereka. Meski demikian sebagian besar responden mengaku

terganggu saat mereka dipanggil “kafir” dalam berbagai interaksi di dunia sosialnya. Data

survei menyebutkan, sebanyak 55 persen responden non-muslim merasa terganggu saat

dipanggil kafir. Sedangkanya 45% sisanya merasa tidak terganggu dan menganggpnya

sebagai panggilan yang biasa untuk yang lumrah digunakan untuk menyebut mereka sebagai

kelompok yang ada di luar keyakinan agama Islam.

Kelompok non-muslim mengakui, sebutan untuk orang lain yang memiliki keyakinan

berbeda dalam agama mereka juga dinyatakan secara spesifik, terutama dari kelompok

agama Kristen dan Katolik. Sebanyak 27 persen responden menyatakan mereka memiliki

panggilan spesifik pada kelompok lain di luar kepercayaannya. Panggilan ini di antaranya

adalah Bani Ismail, Domba tersesat, infidel, pagan, Non-Kristen, Non-Nasrani, Saudara

sepupu, Saudara terpisah, Domba di luar kandang, dan istilah lain.

Page 8: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

86

Sentimen “kafir” pada ormas

Selain data tentang pengalaman responden pada penggunaan kata “kafir” digunakan dalam

kehidupan sosial mereka, data di survei ini juga mendapatkan persepsi responden terhadap

beberapa organisasi masyarakat dan gerakan yang diasosiasikan dengan Islam pada beberapa

tahun belakangan. Responden ditanya mengenai persepsi mereka pada istilah “kafir” ketika

diasosiasikan dengan beberapa organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU),

Muhammadiyah, FPI, HTI (Ormas yang dilarang pemerintah), dan gerakan 212.

Secara umum, responden menilai bahwa organisasi kemasyarakatan seperti FPI, HTI,

dan gerakan 212 sebagai organisasi atau gerakan yang sering melakukan tindakan

diskriminatif. Sedangkan NU dan Muhammadiyah dipandang sebagai organisasi

kemasyarakatan yang lebih moderat karena sesuai dengan ajaran agama.

Diagram 3. Setimen mahasiswa muslim terhadap istilah “kafir” yang diasosiasikan dengan ormas

Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019

Beberapa Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan gerakan Islam seperti NU,

Muhammadiyah, FPI, HTI (ormas yang telah dilarang pemerintah), dan gerakan 212 sangat

dekat dengan organisasi yang menggunakan label “Islam”. Berdasarkan diagram tersebut

dapat dilihat bahwa mayoritas responden mahasiswa muslim memiliki persepsi bahwa FPI,

212, dan HTI sebagai kelompok atau gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang

diskriminatif, sedangkan mereka menilai NU dan Muhammadiyah sebagai kelompok atau

gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang sesuai dengan ajaran agama. Kelompok atau

gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang dinilai paling diskriminatif adalah FPI

(65,4%), HTI (60,5%), dan 212 (64,6%). Hal ini juga sejalan dengan persepsi mahasiswa

yang melihat penggunaan “kafir” dalam konteks agama hanya dinilai tepat digunakan sesuai

dengan ajaran agama oleh tiga kelompok tersebut dengan persentase antara 12-13 persen.

Sedangkan kelompok yang dinilai paling sesuai dengan ajaran agama adalah NU (61,2%)

dan Muhammadiyah (55,2%). Sebaliknya, terdapat juga mahasiswa yang melihat NU dan

11% 9,3%

65,4%60,5%

64,6%61,2%

55,2%

13% 12% 12,7%

3% 4% 1,5% 2% 2%

24,4%31,2%

20%25,5%

20,3%

0

50

100

150

200

NU Muhammadiyah FPI HTI 212

Sentimen mahasiswa muslim terhadap ormas/gerakan

Diskriminatif Sesuai dengan ajaran agama Tidak pernah Tidak tahu

Page 9: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

A. Wahid

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

87

Muhammadiyah sebagai ormas yang dinilai diskriminatif dalam menggunakan kata “kafir”,

yaitu sebanyak 9,3% (Muhammadiyah) dan 11% (NU).

Diagram 4. Persepsi mahasiswa non-muslim pada ormas yang diasosiasikan dengan istilah “kafir”

Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019

Sejalan dengan hasil survei pada kelompok mahasiswa muslim, persepsi mahasiswa non-

muslim pada organisasi kemasyarakatan tersebut juga sama. Mayoritas responden

mahasiswa non-muslim memiliki persepsi bahwa FPI, 212, dan HTI sebagai kelompok atau

gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang diskriminatif dengan masing-masing

persentase sebesar 63,76% (FPI), 51,62% (HTI), dan 212 sebesar 60,73%. Hal ini juga

sejalan dengan persepsi mahasiswa yang melihat penggunaan “kafir” dalam konteks agama

hanya dinilai tepat digunakan sesuai dengan ajaran agama oleh tiga kelompok tersebut

dengan persentase yang sangat kecil, yaitu FPI (2,4%), HTI (7%), dan 212 (2,4%).

Sedangkan NU dan Muhammadiyah dinilai sebagai kelompok atau gerakan masyarakat

berbasis keagamaan yang sesuai dengan ajaran agama (31,7%; NU dan 29%;

Muhammadiyah) dan sebagian kecil lainnya (12-13%) melihat kedua ormas ini dinilai

sebagai yang diskriminatif.

Persepsi, tindakan, dan komunikasi partisipatif

Sub-bab ini berisi tentang bagaimana penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sosialnya.

Penyebutan “kafir” pada kelompok lain dapat mengarah pada tindakan diskriminatif karena

secara tidak langsung dapat meminggirkan kelompok lain. Survei ini melibatkan dua

kelompok yaitu muslim dan non-muslim dalam pengalamannya menggunakan istilah kafir

yang ditujukan pada kelompok lain. Survei ini melihat bagaimana persepsi mereka saat

disebut kafir, bagaimana tindakan merespon panggilan tersebut, dan sikap aktif atau

partisipasi mereka pada tindakan selanjutnya. Aspek persepsi ditujukan pada kelompok

mahasiswa ketika diasosiasikan dengan panggilan “kafir”. Pada aspek tindakan, responden

diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang mengarah pada perlakuan kelompok responden

pada kelompok lain. Kelompok mahasiswa muslim diberkan pertanyaan yang mengarah

12% 13,4%

76,8%

62%

73%

31,7% 29%

2,4%7%

2,4%4,8% 3,6%1%

2%

1%

51,2% 53,6%

19,5%

28%23%

0

10

20

30

40

50

60

70

NU Muhammadiyah FPI HTI 212

persepsi mahasiswa non-muslim pada ormas/gerakan

Diskriminatif Sesuai dengan ajaran agama Tidak pernah Tidak tahu

Page 10: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

88

pada kemungkinan tindakan yang akan mereka lakukan saat berhadapan dengan kelompok

non-muslim atau minoritas lain. Sedangkan pada kelompok responden non-muslim diajukan

pertanyaan yang mengandaikan mereka bertindak terhadap kelompok muslim. Pada aspek

komunikasi partisipatif, item pertanyaan yang diajukan pada responden menyangkut

kebersediaan mereka terlibat aktif dalam melawan tindakan diskriminatif. Item pertanyaan

yang diajukan pada kelompok muslim dan non-muslim pada aspek komunikasi partisipatif

ini berlaku sama. Hal ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat pertisipasi

responden dalam merespon atau melawan tindakan diskriminatif jika terjadi pada

lingkungan mereka. Selanjutnya, masing-masing pertanyaan diberikan skor berdasarkan

tingkat persetujuan yang diberikan oleh responden pada masing-masing kategori. Melalui

skala likert, pertanyaan akan diberikan skor dengan rentang 1-5. Beberapa pertanyaan yang

bersifat favorable dan unfavorabel diagregasikan terlebih dahulu sebelum dihitung skor yang

diperoleh pada masing-masing item pertanyaan.

Persepsi mahasiswa muslim dan non-muslim pada penggunaan “kafir”

Penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sehari-hari dapat mengarah pada peminggiran

kelompok minoritas. Pada bagian ini, semakin masyarakat mendukung penggunan atau

penyebutan “kafir” dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan masyarakat memiliki

persepsi yang negatif. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk peminggiran pada kelompok

lain yang dianggap berbeda dalam konteks sosial. Sebaliknya, semakin masyarakat tidak

mendukung atau menolak penggunaan kata “kafir” pada kelompok lain mengartikan

masyarakat memiliki persepsi positif. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk kesadaran

masyarakat pada pentingnya menjaga asas persamaan pada kelompok minoritas dalam

kehidupan sosial.

Dari hasil analisa, diperoleh gambaran bahwa mahasiswa muslim di Kota Malang masih

cenderung menolak penggunaan atau penyebutan “kafir” dalam kehidupan mereka sehari-

hari. Hal ini ditunjukkan melalui data bahwa sebanyak 91% mahasiswa muslim memiliki

persepsi positif dan hanya 9% yang memiliki persepsi negatif. Hal ini dapat diartikan bahwa

mayoritas responden tidak menggunakan panggilan tersebut secara diskriminatif pada

kelompok lain.

Tidak jauh berbeda dengan data yang diperoleh dari kelompok muslim, persepsi

penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sehari-hari bagi kelompok non-muslim juga

memiliki kecenderungan yang sama. Mayoritas responden memiliki persepsi positif, yaitu

sebanyak 89% responden. Sedangkan sebagian kecil responden lainnya tampak memiliki

persepsi negatif, yaitu sebanyak 11%. Hal ini menunjukkan, mayoritas responden non-

muslim tidak mendukung penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sehari-hari karena

dianggap tidak tepat digunakan dan dapat mengarah pada tindakan diskriminatif.

“Kafir” dan tindakan diskriminatif

Selanjutnya, penggunaan kata “kafir” yang dinyatakan pada orang lain juga seringkali dilihat

sebagai bentuk tindakan diskriminatif. Responden diberikan pertanyaan yang mengarah

pada beberapa bentuk tindakan diskriminatif pada kelompok lain yang memiliki keyakinan

berbeda. data survey menunjukkan skor diskriminasi mahasiswa muslim berada pada

Page 11: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

A. Wahid

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

89

kategori rendah. Mayoritas responden, yaitu 79% menyatakan menghindari penggunaan

istilah kafir untuk merendahkan orang lain. Sedangkan 21% sisanya berada pada kategori

sedang yang menggunakannya dalam konteks bercanda dengan teman. Hal ini menunjukkan,

mayoritas mahasiswa muslim memperlakukan kelompok non-muslim tidak diskriminatif.

Pada bagian lain, tindakan diskriminasi juga ditanyakan pada kelompok non-muslim.

Responden yang memiliki latar non-muslim disajikan pertanyaan yang memberikan

gambaran tentang kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh kelompok non-muslim pada

muslim. Berikut dinamika hasil penelitian pada aspek tindakan diskriminatif yang dilakukan

oleh kelompok non-muslim terhadap muslim. Berdasarkan hasil survey, diskriminasi pada

kelompok mahasiswa non-muslim sebanyak 87% berada pada kategori rendah. Sedangkan

13% sisanya berada pada kategori sedang. Hal ini mengartikan bahwa mahasiswa non-

muslim bersikap toleran pada kelompok lain di luar keyakinannya.

Partisipasi melawan diskriminasi

Pada data yang didapatkan di lapangan, terlihat persepsi dan tindakan responden pada

penggunaan kata “kafir” yang diskriminatif tidak ditemukan tinggi. Artinya, mahasiswa di

Kota Malang sangat toleran dalam menempatkan kelompok lain di luar keyakinannya. Meski

ditemukan juga sebagian responden yang menggunakan panggilan “kafir” pada kelompok

lain, tapi nada penggunaannya dalam konteks bercanda dan dilakukan pada teman yang

sudah dikenal.

Namun demikian, praktik intoleransi di masyarakat tidak bisa dibaca secara terpisah.

Beberapa praktik kekerasan yang berlatar agama masih banyak ditemukan di ruang-ruang

komunikasi; baik pada interaksi di dunia sosial maupun termediasi melalui media sosial. Hal

ini ditunjukkan dengan data yang dilarsir oleh Setara Institute pada 2018 lalu yang

menempatkan peringkat kota toleran di Indonesia.

Selain itu, data di lapangan juga menyebutkan bahwa beberapa organisasi masyarakat

dan gerakan yang diasosiasikan dengan gerakan keagamaan dinilai diskriminatif. Salah satu

bentuk diskriminasi yang dilihat responden adalah penggunaan kata “kafir” untuk

mendelegitimasi kelompok lain. Kelompok organisasi dan gerakan keagamaan ini adalah

FPI, HTI (organisasi yang kini dilarang pemerintah), dan 212. Mayoritas responden, baik

dari kelompok muslim maupun non-muslim melihat ketiganya sebagai organisasi yang

dinilai diskriminatif dalam menggunakan panggilan “kafir” pada kelompok lain di luar

keyakinannya.

Pada titik ini, praktik kekerasan dalam bentuknya yang sederhana dilakukan melalui

bahasa verbal seperti panggilan “kafir” tentu harus direspon secara aktif oleh masyarakat.

Komunikasi tidak hanya dilakukan dengan perspektif linier yang memandang

disampaikannya pesan dari satu aktor pada aktor yang lain. Tapi proses pemaknaan dalam

komunikasi juga harus diberikan ruang lebar untuk memberikan kebebasan pada komunikan

(audience, pendengar, kelompok penerima pesan) dalam memberikan makna. Pemberian

ruang pada komunikan untuk memaknai pesan yang sampai pada mereka menjadi penting,

terutama sebagai bentuk partisipasi warga negara untuk memberikan perspektif yang

berbeda pada konten yang memiliki tafsir tunggal, seperti halnya panggilan “kafir” yang

bersifat diskriminatif.

Page 12: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

90

Pada survei ini, responden juga diberikan pertanyaan mengenai kemungkinan

keterlibatan mereka dalam tindakan-tindakan komunikatif yang diskriminatif. Tingkat

keterlibatan dalam komunikasi partisipatif mengartikan bahwa responden memiliki

kesadaran untuk memberikan arti secara aktif pada praktik-praktik komunikasi yang

diskriminatif. Pada bagian partisipasi ini, beberapa indikator akan ditanyakan pada

responden yaitu pada aspek: keterlibatan aktif di di media sosial (berupa update status,

berkomentar/balas komentar, dsb) dengan tujuan membela seseorang/sekelompok orang

yang dilabeli kafir, argumentasi dengan dengan pihak yang melabeli orang/kelompok

dengan sebutan kafir, nasihat tentang dampak buruk dari menggunakan istilah kafir dalam

kehidupan sosial, diskusi secara informal, Pendapat langsung di depan publik mengenai

ketidaksepakatan terhadap penggunaan istilah 'kafir' dalam kehidupan bersosial dan media

sosial, serta keterlibatan dalam mediasi.

Berdasarkan data di lapangan, tingkat kebersediaan responden dalam komunikasi

partisipatif untuk melawan tindakan diskriminatif terlihat serupa antara responden muslim

dan non-muslim. Pada responden muslim, mayoritas terlihat masih belum mau melibatkan

diri secara langsung pada beberapa tindakan komunikatif yang bertujuan untuk melawan

diskriminasi. Hal ini terlihat sebagaimana pada diagram di bawah ini yang menyebutkan

bahwa responden muslim mayoritas memiliki tingkat partisipasi sedang, yakni sebesar 75%.

Hanya 24% responden muslim yang mengaku akan melibatkan diri secara aktif dalam

tindakan-tindakan komunikatif yang dinilai mendiskriminasikan kelompok minoritas dan

kelompok lain. Sedangkan 1% sisanya berada di posisi rendah atau mereka tidak mau

berpartisipasi secara aktif pada peristiwa-peristiwa diskriminatif.

Pada kelompok responden non-muslim, data yang didapatkan di lapangan juga sama

seperti yang ditemukan pada kelompok responden non-muslim. Sebanyak 75% responden

non-muslim berada pada kategori sedang, 24% berada pada kategori tinggi, dan 1% sisanya

mengaku tidak ingin terlibat dalam bentuk-bentuk komunikasi aktif untuk menolak gagasan

diskriminatif dan radikal. Dua data tersebut menunjukkan, mayoritas responden, baik

muslim maupun non-muslim seakan-akan memilih menghindari konflik dan tidak terlibat

pada urusan orang lain.

Secara lebih detil, dinamika mahasiswa yang mengaku terlibat dalam beberapa tindakan

komunikatif dapat dilihat sebagaimana pada diagram di bawah ini. Pada aspek keterlibatan

responden dalam hal membicarakan/berdiskusi secara non-formal, mendapatkan persetujuan

tinggi baik dari responden kelompok muslim (61%) maupun non muslim (57%). Mereka

mengaku mau terlibat secara aktif untuk berdiskusi secara non-formal terhadap dampak

buruk dari penggunaan istilah 'kafir' dalam kehidupan sosial. Keterlibatan dalam diskusi

informal tampak lebih tinggi daripada aspek yang lain seperti komentar di media sosial,

beradu argumen, menasehati orang lain secara langsung, pendapat terbuka di ruang publik,

dan melakukan mediasi. Bahkan, keterlibatan responden dalam proses mediasi antar

kelompok yang berkonflik mendapatkan persetujuan yang sangat rendah, hanya 11% pada

kelompok muslim dan 13% pada kelompok non-muslim.

Page 13: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

A. Wahid

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

91

Penutup

Mahasiwa muslim dan non-muslim sama-sama memiliki pengalaman pernah dipanggil dan

memanggil orang lain “kafir”. Nada panggilan tersebut dimaknai sebagai bentuk bercanda

dan bukan diskriminatif. Responden muslim dan non-muslim sama-sama memaknai “kafir”

dalam kategori positif. Persepsi positif ini menandakan mahasiswa tidak memiliki tendensi

untuk mendiskriminasikan kelompok lain di luar keyakinannya. Indeks diskriminasi pada

kelompok muslim dan non-muslim di Kota Malang berada pada kategori rendah. Semakin

rendah indeks diskriminasi menandakan tingginya tingkat toleransi antar penganut

keyakinan, termasuk dalam memahami kata “kafir” dalam kehidupan sosialnya. Tingkat

keterlibatan mahasiswa muslim dan non-muslim dalam komunikasi partisipatif berada pada

kategori sedang dan sebagian lainnya tinggi. Hal ini menandakan kelompok keyakinan

masih belum sepenuhnya memiliki kesadaran tinggi untuk terlibat dalam menangani kasus-

kasus diskriminatif, terutama dalam bentuk verbal panggilan “kafir” Faktor yang paling

dominan dalam komunikasi partisipatif mahasiswa adalah pada aspek keterlibatan di forum

informal. Meski tingkat toleransi di mahasiswa Kota Malang dinyatakan tinggi, hal ini perlu

ditindaklanjuti melalui riset lain yang menekankan pada partisipasi komunitas mendorong

terbentuknya simpul-simpul komunitas yang terhubung satu sama lain. Keterhubungan

komunitas ini menjadikan basis komunikasi partisipatif menjadi kuat dan dapat menjadi

modal penting dalam menangkal bentuk tindakan diskriminatif dan radikal. Model

komunikasi partisipatif harus diarahkan pada bentuk-bentuk komunikasi informal yang

berada di lingkungan mahasiswa. Kajian tentang penggunaan teknologi yang berbasis pada

kesadaran pengguna juga dapat dikaji lebih jauh untuk menumbuhkan kesadaran partisipasi

warga negara secara lebih aktif tidak hanya di dunia sosialnya, tapi juga di dunia sosial yang

termediasi teknologi.

Daftar pustaka

Abdullah, A. (2016). Gerakan radikalisme dalam Islam: Perspektif historis. Addin. 10 (1): 1-28.

Ahyar, M. (2017). Islamic Clicktivism: Internet, Democracy and Contemporary Islamist Activism in

Surakarta. Studia Islamika, Vol. 24, No. 3, 2017

Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara historis dan antropisitas. Kalam: Jurnal Studi

Agama dan Pemikiran Islam. 9 (2): 253-268.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). n.d. Strategi menghadapi paham radikalisme

terorisme – ISIS. URL http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-

Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf. Diakses tanggal 24 Juni 2017.

Damayanti, N. P., Thayibi, I., Gardhiani, L. A., & Limy, I. (2003). Radikalisme agama sebagai salah

satu bentuk perilaku menyimpang: Studi kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi

Indonesia. 3 (1): 43-57.

Eliaz, G. (2008). Islam in Indonesia, modernism, radicalism, and the Middle East dimension. Studia

Islamika Volume 15, Number 3, 2008

Fadlan, M.N, & Saputra, R.E. (2017). Document: Islam, Radicalism, Democracy, and Global

Trends in Southeast Asia. Studia Islamika, Vol. 24, No. 3, 2017

Fealy, G. (2004). ISLAMIC RADICALISM IN INDONESIA: The Faltering Revival? Southeast

Asian Affairs, 104-121. Retrieved May 29, 2020, from www.jstor.org/stable/27913255

Fuad, A. N. (2007). Interrelasi fundamentalisme dan orientasi ideologi gerakan Islam kontemporer.

ISLAMICA. 2 (1): 16-26.

Page 14: Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...

Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif

Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92

92

Hadiz, V.R. (2004). COMMENTARY: Towards a Sociological Understanding of Islamic Radicalism

in Indonesia. Journal of Contemporary Asia Vol. 38, No. 4, November 2008, pp. 638–647

Hadiz, V.R., (2008). Towards a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia.

Journal of Contemporary Asia 38, 638–647. DOI:10.1080/00472330802311795

Hilmy, M. (2015). Radikalisme agama dan politik demokrasi di Indonesia pasca-orde baru. MIQOT.

XXXIX (2): 407-425.

INFID. Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan,

Laporan Survey 6 Kota (Agustus-Oktober 2016)

Jainuri, A. (2016). Radikalisme dan Terorisme: Akar ideologi dan tuntutan Aksi. Malang: Intrans

Publishing

Lestari, S., (2016). Anak-anak muda Indonesia makin radikal? - BBC Indonesia [WWW Document].

URL

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_ana

k_muda. Diakses tanggal 19 Juni 2017.

Lim, M. (2005). (Rep.) (Alagappa M., Ed.). East-West Center. Retrieved May 29, 2020, from

www.jstor.org/stable/resrep06514

Lindlof, T.R., & Taylor, B.C., (2002). Qualitative Communication Research Methods. California:

Sage Publication

Lovita, L. (2017). Radikalisme Agama di Indonesia: Urgensi Negara Hadir dan Kebijakan Publik

yang Efektif. Jakarta: INFID

Maulana, D. (2017). Document: Exclusivism of Religion Teachers, Intolerance and Radicalism in

Indonesian Public Schools. Studia Islamika, Vol. 24, No. 2, 2017

Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda

Miles, M.B., Huberman, A.M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods

Sourcebook. California: Sage Publication.

Noor, J. (2011). Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, & karya ilmiah. Jakarta: Prenadamedia

Grup.

Qodir, Z. (2008). Gerakan Salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia. Islamica, Vol. 3 No. 1,

September 2008

Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam dan upaya deradikalisasi paham radikal. Walisongo. 20 (1):

79-114.

Stith, C.R., (2010). Radical Islam in East Africa. Ann. Am. Acad. Pol. Soc. Sci. 632, 55–66.

DOI:10.1177/0002716210378676

Van Bruinessen, M. (2002). Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia. South East

Asia Research, 10(2), 117-154. Retrieved May 29, 2020, from www.jstor.org/stable/43818511

Van Bruinessen, M. (2013). Contemporary Development in Indonesian Islam, Explaining the

“Conservative Turn”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Wahid Institute. (2016). Year End Report of Religious Freedom in Indonesia. published in the

collaboration of The Wahid Institute and Canada