PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI INTENSIVE CARE UNIT ...
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI INTENSIVE CARE UNIT ...
Universitas Indonesia
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RUMAH SAKIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
KESEHATAN, UNDANG-UNDANG RUMAH SAKIT, DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Louise Ruselis Sitorus
Pembimbing : Wahyu Andrianto
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Abstrak
Pasien di Intensive Care Unit (ICU) merupakan pihak yang membutuhkan pertolongan dengan segera dan berkelanjutan dari pihak tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit. Namun demikian pasien dan/atau keluarga pasien seringkali belum mengetahui hak dan kewajibannya serta hal-hal khusus yang secara yuridis akan membawa akibat hukum yang merugikan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang perlindungan hukum pasien di ICU rumah sakit. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa pelayanan dan perawatan pasien di ruang ICU diperuntukkan bagi pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat, profesi lain yang terkait secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus serta terapi titrasi. Perlindungan hukum terhadap pasien di Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit sangat berkaitan dengan persetujuan tindakan medik di Intensive Care Unit (ICU). Di samping itu perlindungan hukum terhadap pasien dapat terwujud dari dilaksanakannya tanggung jawab hukum rumah sakit pada saat pasien dapat membuktikan kerugian akibat kesalahan tenaga kesehatan di rumah sakit. Perlindungan hukum terhadap pasien sangat ditentukan oleh pelaksanaan hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit berdasarkan Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Rumah Sakit, Undang Undang Perlindungan Konsumen serta peraturan yang khusus mengatur tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010.
Kata Kunci : Perlindungan hukum, Pasien ICU, Rumah Sakit, Tanggung Jawab Rumah Sakit
Abstract The ICU patient at the hospital needed fastly help and also continued from medical staff at hospital. However, the patient and/or his family didn’t know his rights dan obligations and the specific that juridically take the legal consequences. The objective of this thesis is to describes and analyze about law protection to the ICU patient at hospital,. The research method used in this thesis is a normative juridical research. The result of the research is that
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
the legal protection to the ICU patient at hospital based on rights and obligations executed the hospital and patient on The Health Act, The Hospital Act, and the Consumer Protection Act. Beside that, the legal protection can be formulated from hospital liability.
Key words : Legal protection, ICU Patient, Hospital, Hospital Liability.
Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia dirancang memiliki kebutuhan untuk
berhubungan dengan sesamanya sejak ia dilahirkan. Segala keterbatasan, kekurangan, dan
kelemahan yang ada pada manusia menghendaki ia untuk selalu berhubungan dengan orang
lain.
Salah satu keberadaan manusia di mana manusia tersebut membutuhkan sesamanya
sangat dirasakan ketika manusia tersebut dalam keadaan sakit. Kebutuhan yang utama bagi
orang itu adalah kebutuhan akan adanya orang lain yang dapat membantu menyembuhkan
penyakitnya dan sarana yang dipakai untuk membantu proses penyembuhan. Orang yang
dimaksud adalah dokter dan sarana yang dimaksud adalah rumah sakit.
Seorang pasien adalah seorang manusia biasa yang memiliki hak asasi yang salah
satunya, adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula seorang dokter,
juga adalah manusia biasa, dan merupakan bagian dari keseluruhan masyarakat, yang karena
pendidikan yang telah diikutinya, sehingga mendapatkan pengakuan untuk melakukan
pelayanan profesional.
Salah satu tujuan hukum kesehatan adalah melindungi kepentingan pasien, di samping
tujuan lain seperti mengembangkan kualitas profesi tenaga kesehatan. Hal ini bukan berarti
bahwa kepentingan pasien harus selalu diunggulkan, artinya adalah adanya keserasian antara
kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan (misalnya dokter, perawat, dan lain-
lain) dan sarana kesehatan (misalnya rumah sakit).
Berdasarkan hal tersebut, maka bukan berarti pasien harus selalu menjadi pihak yang
diutamakan, namun yang terpenting adalah keseimbangan dan keserasian kepentingan.
Apalagi, keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan,
merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena
itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Tidaklah mengherankan jika pasien sebagai pihak yang membutuhkan, menaruh
kepercayaan kepada kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak, karena adanya
kepercayaan itu, seyogianya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut
standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi.
Penulis menyadari bahwa ketimpangan hubungan antara pasien dan dokter inilah yang
membuat kasus hukum kesehatan di Indonesia makin marak dan tidak kunjung usai. Belum
lagi tendensi pemberitaan yang tampak di media massa semakin mengundang keingintahuan
Penulis untuk melakukan penelitian atas masalah ini. Media massa sering menjadikan dokter
atau rumah sakit sebagai kambing hitam yang patut dipersalahkan atas kerugian yang dialami
oleh pasien, Penulis bisa simpulkan dari banyak kasus yang terjadi di Indonesia selalu
menitikberatkan pada “penderitaan” dan “kelemahan” pasien lalu membesar-besarkan
“kelicikan” dan “keuntungan” dokter atau rumah sakit, tanpa mau melihat dengan kaca mata
keadilan, kasus yang sebenarnya terjadi. Apalagi media massa mungkin ditulis atau dibuat
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh wartawan atau pihak lain yang adalah orang
awam dalam bidang ini. Mereka hanya melihat segi keuntungan dan komersialisasi dari berita
saja tanpa mempertimbangkan paradigma apa yang terbentuk di masyarakat akibat
pemberitaan mereka.
Namun tidak dapat disangkal, kenyataan pun menunjukkan bahwa secara sosiologis
pasien lebih rendah kedudukannya (status) daripada kedudukan tenaga kesehatan dalam
pelbagai hubungan hukum. Kedudukan dokter yang lebih tinggi dilandaskan atas kepercayaan
pasien pada kemampuan dan kecakapan dokter. Selanjutnya juga didasarkan pada keawaman
pasien terhadap profesi kedokteran. Ini diperkuat pada kenyataan bahwa timbulnya hubungan
tersebut adalah karena pasien berada dalam suatu posisi yang lemah dan tergantung kepada
dokternya. Sedangkan seorang dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat, yaitu suatu
profesi yang dari padanya banyak diharapkan dapat menghilangkan penyakit pasien. Selain
itu, profesi dokter dikenal sebagai profesi yang luhur di mata masyarakat. Persepsi inilah yang
tertanam dalam masyarakat dan tidak dapat dipersalahkan jika masyarakat sedemikian
berharapnya pada dokter. Pasien dan masyarakat mempunyai kecenderungan untuk lebih
melihat dari sudut hasilnya (outcome), sedangkan seorang dokter hanya bisa berusaha, tetapi
tidak menjamin akan hasilnya, asalkan ia sudah bekerja secara lege artis dan menurut standar
profesi medik yang berlaku.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Tidak hanya dokter atau tenaga kesehatan yang telah memberi citra yang negatif
terhadap dunia hukum kesehatan, pelayanan rumah sakit pun turut memberikan dukungan
yang “membuktikan” bahwa citra hukum kesehatan tercoreng di mata masyarakat.
Permasalahan dalam bidang perumahsakitan bisa menyangkut Rumah Sakitnya sebagai suatu
organisasi (yang diwakili oleh Direkturnya) jika menyangkut bidang-bidang yang berkaitan
dengan policy dan manajemen. Di dalam ruang lingkup tanggung jawab rumah sakit termasuk
juga tindakan dari para karyawan (dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan, dan tenaga
administrasi) bila sampai menimbulkan kerugian kepada pasien.
Ketertarikan Penulis mengangkat penelitian ini juga disebabkan karena menurut
Penulis, dokter maupun rumah sakit dalam melakukan jasa pelayanan kesehatan dapat
disejajarkan dengan pelaku usaha serta pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan
tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun masih dipertanyakan
apakah undang-undang ini mampu mengakomodir pengertian dokter dan rumah sakit sebagai
pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen. Belakangan diketahui oleh Penulis bahwa
undang-undang ini dalam perspektif dunia kedokteran boleh dikatakan ditolak keberadaannya
karena sifatnya yang resultaatsverbintenis, berbeda dengan praktik kedokteran yang bersifat
inspanningsverbintenis.
Hubungan dokter maupun rumah sakit dengan pasien bersifat hubungan kontraktual,
karena dasar hubungan tersebut adalah perjanjian ataupun undang-undang (misalnya yang
mengatur hak dan kewajiban para pihak). Salah satu pelayanan di rumah sakit yaitu adanya
Unit Pelayanan Intensif yang dikenal dengan sebutan Intensive Care Unit (selanjutnya
disingkat ICU). Pasien di ICU merupakan pihak yang membutuhkan pertolongan dengan
segera dan berkelanjutan dari pihak tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit. Namun
demikian pasien dan atau keluarga pasien seringkali belum mengetahui hak dan
kewajibannya serta hal-hal khusus yang secara yuridis dapat membawa akibat hukum yang
merugikan.
Pasien yang dirawat di ruang ICU yaitu pasien dengan indikasi yang benar dimana
pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim
intensive care, pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan
metode terapi titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinu dan
tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Dalam pelayanan kesehatan prinsip pokok yang senantiasa dipegang teguh oleh tenaga
kesehatan maupun rumah sakit yaitu keselamatan pasien. Bagaimanakah perlindungan hukum
terhadap pasien di ICU berdasarkan Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Rumah
Sakit dan Undang Undang Perlindungan Konsumen, serta bagaimanakah tanggung jawab
hukum rumah sakit terkait dengan pasien di ruang ICU.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang perlindungan hukum terhadap pasien ICU di
rumah sakit, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui lebih jauh tentang pelayanan kesehatan di ruang ICU khususnya
yang menyangkut perlindungan hukum terhadap pasien.
Berdasarkan paparan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien (khususnya pasien ICU) di rumah
sakit berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien (khususnya pasien
ICU) berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menelaah lebih lanjut mengenai tanggung
jawab rumah sakit dan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen atas jasa
pelayanan rumah sakit. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan konsep perlindungan hukum terhadap pasien (khususnya pasien ICU) di
rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah
Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
2. Menjelaskan tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien (khususnya pasien
ICU) berdasarkan Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Pembahasan
3.10 Perlindungan Hukum terhadap Pasien di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit
berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit
Perlindungan hukum terhadap pasien di ICU rumah sakit berdasarkan Undang-
Undang Rumah Sakit tercermin dari pasal-pasal yang di dalam Undang-Undang Rumah Sakit
tercakup pada hak-hak pasien, berikut ini:
Pasal 32 huruf d berisi tentang hak untuk “memperoleh layanan kesehatan yang
bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.”1 Dalam Falsafah
Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit
berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan
berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Maksud dari
hal ini yaitu kesehatan pasien tidak akan bisa diusahakan dengan maksimal oleh dokter jika
tidak memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional.
Pasal 32 huruf e berisi tentang hak untuk “memperoleh layanan yang efektif dan
efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.” Hal ini sesuai dengan
Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah
sakit harus mempunyai ciri multi profesi berdasarkan asas efektivitas, keselamatan, dan
ekonomis.
Pasal 32 huruf j berisi tentang hak “mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan
tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan.”
Pasal 32 huruf k berisi tentang hak “memberikan persetujuan atau menolak atas
tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya” Hak
ini sejalan dengan Indikasi Masuk ICU di mana sebelum pasien dimasukkan ke ICU, pasien
dan/atau keluarganya harus mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai dasar
pertimbangan mengapa pasien harus mendapatkan perawatan di ICU, serta tindakan
kedokteran yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Penjelasan tersebut
1 Indonesia, Undang-Undang Rumah Sakit, Pasal 32 huruf d.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
diberikan oleh Kepala ICU atau dokter yang bertugas. Atas penjelasan tersebut pasien
dan/atau keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan untuk dirawat di ICU.
Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir informed consent.2
Pasal 32 huruf n berisi tentang hak “memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya
selama dalam perawatan di Rumah Sakit.” Dalam Falsafah Pelayanan ICU di Rumah Sakit
Bagian Etika Kedokteran, pelayanan ICU di rumah sakit berdasarkan falsafah dasar "saya
akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal,
memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Ditambah juga dengan falsafah kerja sama multi
disipliner dalam masalah media kompleks, sebab dikat pengembangan tim multidisiplin yang
kuat sangat penting dalam meningkatkan keselamatan pasien. Rumah Sakit sebagai salah satu
penyedia pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi rujukan harus dapat memberikan
pelayanan ICU yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien.
Pasal 32 huruf q berisi tentang hak “menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit
apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana.” Isi pasal ini sama dengan Pasal 58 Undang-Undang
Kesehatan, oleh karena itu perlindungan pasiennya juga sama, yaitu hak pasien atas ganti rugi
tersebut tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Pandangan J. Guwandi juga menyatakan bahwa pasien tidak dapat disamakan dengan
konsumen biasa (barang maupun jasa), karena ternyata pasien memiliki hakikat, ciri-ciri,
karakter, dan sifat yang sangat berbeda dengan konsumen yang dikenal dalam dunia dagang
pada umumnya.3
Sebaliknya dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), terlihat sangat tidak memadai pengetahuan maupun penghayatannya
tentang hukum dan etika kedokteran, sampai-sampai terjadi “kekonyolan” dengan
menyamakan pasien sebagai konsumen biasa dan rumah sakit/dokter sebagai produsen
sebagaimana dunia dagang pada umumnya. Menurut J. Guwandi, seharusnya para dokter
mengetahui bahwa hubungan dokter-pasien sangat berbeda hakikatnya dan sifatnya
dibandingkan hubungan produsen-konsumen biasa. Dalam artikel itu disebutkan bahwa
2 Indonesia, Kepmenkes Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit, Lampiran 1, Bagian II B, Indikasi Masuk dan Keluar ICU.
3 J. Guwandi, “Pasien dan UU Perlindungan Konsumen,” Suara Pembaruan, (Desember 1999).
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
“Bahkan dari kalangan hukum dan YLKI sekalipun, hanya sedikit yang mengetahui bahwa
dalam kaitan hubungan hukum dokter-pasien, perjanjian/perikatannya adalah berdasarkan
usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis), sama sekali bukanlah berdasarkan hasil
(resultaatverbintenis). Jadi, objek perjanjian dalam kontrak terapeutik adalah usaha yang
sebaik-baiknya dari dokter, bukanlah sembuh atau tidaknya pasien. Bahkan dengan jelas
Guwandi menyebutkan bahwa jika YLKI memang tidak layak mencampuri urusan hubungan
dokter-pasien jika pola pikir YLKI masih saja berdasarkan resultaatverbintenis. Tuntutan-
tuntutan tersebut bukanlah karena para dokter itu kebal hukum, rasa kesejawatan antar dokter,
melainkan akibat tuntutan itu sendiri yang memang kurang pas.
Guwandi berpendapat bahwa YLKI dan IDI harus ingat bahwa ruang lingkup
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanyalah mencakup
bidang perdagangan dan hal ini disebutkan dengan tegas dalam Bab I (Ketentuan Umum)
Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa “Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.” Salah satu cara membuktikannya yaitu
dengan melihat apakah Menteri Kesehatan termasuk yang tugas dan tanggung jawabnya
dalam bidang perdagangan, sehingga kemudian memasukkan masalah pasien ini ke dalam
cakupan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sampai saat ini, IDI sendiri sepertinya sudah menerima mispersepsi bahwa pasien itu
sama saja dengan konsumen secara umum, jadi Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dapat diberlakukan pada hubungan dokter-pasien. Oleh karena itu, pasien dalam konteks
kontrak terapeutik tidak bisa disamakan dengan konsumen sebagaimana yang dikenal dalam
dunia perdagangan pada umumnya. Pandangan YLKI (dan IDI) yang tercermin dalam suatu
seminar, tanpa disadari telah mengawali sosialisasi suatu mispersepsi bagi hubungan dokter-
pasien (kontrak terapeutik). Undang-Undang Perlindungan Konsumen seharusnya hanya
diberlakukan terhadap konsumen yang dikenal dalam dunia perdagangan saja dan tidak dapat
diterapkan pada pasien yang berbeda sekali dalam hakikat, karakter, dan sifatnya.
Namun menurut Penulis, banyaknya pengecualian yang terdapat dalam ketentuan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengubah pendirian Penulis bahwa Undang-
Undang Perlindungan Konsumen bisa diterapkan di dalam hubungan pasien dengan dokter
maupun pasien dengan rumah sakit.
4.13. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Berdasarkan doktrin , tanggung jawab rumah sakit terbagi menjadi:
Doktrin Vicarious Liability
Doktrin Vicarious Liability ini disebut juga sebagai Respondeat Superior atau Let The
Master Answer atau Tanggung Jawab Majikan terhadap Karyawan. Di Indonesia, Tanggung
Jawab Majikan terhadap Karyawan ini diatur dalam Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata yang
berbunyi:
“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”4
Menurut Bahder Johan Nasution, doktrin respondeat superior mengandung makna,
bahwa seorang majikan adalah orang yang berhak untuk memberikan instruksi dan
mengontrol tindakan bawahannya, baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang
digunakan. Di samping itu dengan perkembangan hukum kesehatan dan kecanggihan
teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan
yang dilakukan oleh pegawainya atas perintahnya, termasuk apa yang diperbuat oleh tenaga
medis sepanjang merupakan tugasnya.5 Demikian pula menurut Soerjono Soekanto terlebih
dahulu harus ada hubungan kerja antara atasan dengan bawahan. Kecuali itu sikap tindak
bawahan haruslah dalam ruang lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan
kerja dianggap ada apabila atasan mempunyai hak untuk secara langsung mengawasi dan
mengendalikan aktivitas bawahannya dalam melakukan tugas-tugasnya.6
Tentunya terdapat latar belakang dari diberlakukannya doktrin Vicarious Liability ini,
latar belakang dasar pemikiran yang dimaksud yaitu bahwa tidak akan mungkin atau setidak-
tidaknya sangat sulit untuk memperoleh ganti kerugian dari karyawan tersebut.7 Akan lebih
berhasil jika gugatan diajukan kepada majikannya yang keadaan finansialnya jauh lebih baik
4 Pasal 1367 ayat (3) KUHPer 5 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, cet. X, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005), hlm. 72. 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm. 141. 7 Guwandi, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik, cet. 1, (Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993), hlm. 13-14 sebagaimana dikutip dari Wahyu Andrianto, “Malpraktek Medis di Rumah Sakit, Implikasi Pada Tanggung Jawab Hukum dan Orientasi Bisnis di Rumah Sakit,” (Tesis Magister Universitas Indonesia, Depok, 2005), hlm. 133.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dibandingkan karyawannya. Namun, kelak sang majikan bisa saja menuntut kembali kepada
karyawannya yang menyebabkan kerugian tersebut, mungkin dengan memotong gajinya.8
Oleh karena itu penerapan dari doktrin respondeat superior ini dimaksudkan untuk
adanya jaminan bahwa ganti rugi dibayar pada pasien yang menderita kerugian akibat
tindakan medis dokter, hukum, dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter.9
Berdasarkan doktrin ini maka rumah sakit bertanggungjawab kepada karyawannya.
Permasalahan yang timbul adalah walaupun ada doktrin respondeat superior, tidak mudah
bagi pasien dan keluarganya untuk mengajukan gugatan, karena harus diketahui dulu bagian
mana yang termasuk dalam perjanjian terapeutik dengan dokter dan bagian mana yang
termasuk ke dalam kontrak dengan rumah sakit. Hal ini akan menentukan pihak yang akan
bertanggungjawab, apakah dokter pribadi atau menjadi tanggung jawab rumah sakit. Pasien
akan tidak mudah untuk menentukan posisi dokter/tenaga kesehatan yang bekerja di rumah
sakit. Posisi dokter/tenaga kesehatan bertindak sebagai atasan atau sebagai pembantu, sebagai
bawahan atau bukan bawahan dengan rumah sakit. Jika ternyata dokter/tenaga kesehatan
tersebut bukan sebagai bawahan rumah sakit, maka rumah sakit dapat tidak
bertanggungjawab.
Pasien akan melakukan gugatan kepada rumah sakit, jika pasien mengetahui dan
merasa dirugikan oleh tindakan tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut. Adalah tidak mudah
bagi pasien untuk menyatakan bahwa kerugian itu sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan.
Bisa saja musibah yang menimpa pasien terjadi di luar dugaan tenaga kesehatan. Tenaga
kesehatan telah melakukan upaya sebagaimana mestinya dan semampunya, dan
musibah/kerugian tetap menimpa pasien, maka hal ini tidak termasuk tindakan kelalaian
tenaga kesehatan.
Doktrin Corporate Liability
Karena doktrin vicarious liability banyak menimbulkan kerugian bagi pihak pasien, maka di
beberapa negara dikembangkan doktrin Corporate Liability. Doktrin ini menyatakan bahwa
rumah sakit sebagai badan hukum bertanggung jawab terhadap segala peristiwa yang terjadi
8 Ibid. 9 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga
Melakukan Medikal Malpraktek, cet. 1, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 105.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
di belakang dinding rumah sakit (within hospital walls). Rumah sakit bertanggung jawab
terhadap segala tindakan dan kesalahan personalianya selama menjalankan tugas yang
diberikan oleh rumah sakit, meskipun personalia rumah sakit tersebut bukan berstatus sebagai
karyawan rumah sakit. Doktrin vicarious liability titik beratnya adalah pada status dokter yang
bekerja pada rumah sakit, sedangkan doktrin corporate liability titik beratnya pada tanggung
jawab rumah sakit. Dasar pemikiran dari doktrin ini adalah sederhana. Seorang pasien yang
datang ke rumah sakit tidak mengetahui apakah dokter yang dihadapinya tersebut apakah
berstatus sebagai karyawan rumah sakit atau bukan. Pasien hanya berhubungan dengan pihak
rumah sakit yang berkewajiban untuk memastikan kualitas personalianya. Doktrin ini juga
berhubungan dengan tanggung jawab rumah sakit untuk melaksanakan duty of care, yaitu
rumah sakit harus memberikan pelayanan kesehatan yang baik sesuai dengan standar umum
yang berlaku.
Doktrin Central Responsibility
Tangggung jawab rumah sakit sebagai badan hukum (corporate liability) melahirkan doktrin
Central Responsibility (Pertanggung jawaban terpusat pada rumah sakit. Doktrin inilah yang
pada saat ini berlaku di berbagai negara maju dan mulai diterapkan di Indonesia. Dasar
pemikiran dari doktrin of Central Responsibility ini adalah pada hakekatnya pasien datang ke
rumah sakit hanya berhubungan dengan rumah sakit. Sebagai suatu badan hukum, rumah sakit
diidentikkan dengan manusia seutuhnya atau person yang dapat melakukan tindakan hukum
dan mempunyai tanggung jawab hukum. Secara garis besar, rumah sakit bertanggung jawab
terhadap personalia, sarana prasarana dan duty of care. Merupakan suatu hal yang sangat tidak
adil, jika rumag sakit melepaskan tanggung jawabnya terhadap kualitas dokter yang bekerja di
rumah sakit. Dalam doktrin Central Responsibility ini pertanggungjawabannya terpusat yaitu
pada rumah sakit. Apapun status personalia rumah sakit tersebut, rumah sakit tetap
merupakan piak yang pertama kali dimintakan tanggung jawabnya bila ada kesalahan yang
dilakukan personalianya selama menjalankan tugas dan dalam lingkup kewenangan personalia
tersebut. Doktrin inilah yang berlaku dalam Undang-Undang Rumah Sakit.
4.13.1. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Menurut Pasal 58 Undang Undang Kesehatan (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab hukum Rumah
Sakit tidak dibatasi hanya pada kelalaian , namun juga kesengajaan tenaga kesehatan
adalah tanggung jawab rumah sakit. Sesuai dengan konsep tentang perbuatan melawan
hukum, maka kelalaian tenaga kesehatan dan kerugian yang dialami oleh pasien harus ada
hubungan kausal. Dalam hal ini pasien ataupun pihak ketiga yang wajib membuktikan
adanya kelalaian tenaga kesehatan.
Penulis berpendapat bahwa apabila tenaga kesehatan telah melakukan kesengajaan
untuk membawa kerugian bagi pasien, maka hal ini telah melanggar ketentuan pidana
yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa seseorang. Oleh karenanya dalam hal
tenaga kesehatan melakukan tindak pidana, maka ia bertanggung jawab secara pribadi.
Tanggung jawab ini tidak dapat dialihkan kepada rumah sakit sebagaimana doktrin
tanggung jawab terpusat (central liability).
4.13.2. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya Pasien ICU) Berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.10
Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab rumah sakit sebagai badan hukum.
Tanggung jawab hukum rumah sakit khususnya terhadap pasien ICU di rumah sakit sangat
erat kaitannya dengan persetujuan setelah memperoleh informasi yang dikenal dengan
Informed Consent. Bila pasien menolak persetujuan tindakan medik Di ICU, maka penolakan
tersebut tidak akan mengurangi tanggung jawab hukum rumah sakit, karena hubungan pasien
10 Indonesia, Pasal 46 UU RS Undang Undang Rumah Sakit
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dan dokter yang menanganinya di ICU tidak berakhir dengan penolakan tersebut. Sekalipun
pada akhirnya ketiadaan tindakan medik yang ditolak tersebut mengakibatkan kerugian bagi
pasien dan atau keluarganya.
Namun demikian penulis berpendapat, apabila ternyata di kemudian hari terdapat
indikasi adanya pemaksaan kehendak dokter untuk melakukan tindakan medik tertentu
terhadap tubuh pasien di ICU, walaupun dokter berniat baik untuk menyelamatkan nyawa
pasien berakibat nya dokter dapat dituntut karena melakukan tindak pidana. Bila terjadi hal
yang demikian, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (1) e dan f, Undang Undang Rumah Sakit,
rumah sakit berhak untuk menggugat tenaga kesehatan tersebut, karena rumah sakit telah
dirugikan nama baiknya dan mempunyai hak atas perlindungan hukum.
Bila ditinjau dari beberapa doktrin tanggung jawab yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penulis berpendapat bahwa tanggung jawab hukum rumah sakit merupakan tanggung jawab
hukum terpusat atau central liability. Doktrin ini saya pilih karena saat ini rumah sakit telah
banyak mempekerjakan tenaga kesehatan tidak dengan sistem hubungan buruh-majikan,
tetapi hubungan kemitraan, dimana terjadi sistem bagi hasil sehingga tanggung jawab hukum
rumah sakit tidak ditentukan oleh hubungan kerja rumah sakit dengan tenaga kesehatan.
Tanggung jawab rumah sakit adalah berdasarkan adanya hubungan kontraktual dengan pasien
dalam pelayanan kesehatan. Oleh karenanya para pihak wajib mentaati hak dan kewajiban
yang telah ditentukan oleh mereka sendiri.
Tanggung jawab rumah sakit juga berkaitan dengan hak dan kewajiban semua pihak yang
berkaitan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan peraturan perundangan
sebagaimana disebutkan diatas.
4.13.3. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Pasien (Khususnya Pasien
ICU) Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Rumah sakit sebagai pelaku usaha, bertanggung jawab terhadap pasien. Tanggung jawab
tersebut berdasarkan adanya hubungan kontraktual. Hak dan kewajiban rumah sakit sebagai
pelaku usaha dan pasien sebagai konsumen, telah diatur secara jelas dalam Undang Undang
Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap hak-hak pasien merupakan tanggung jawab
rumah sakit untuk memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Pemaksaan kehendak dokter terhadap pasien untuk melakukan tindakan medik tertentu
terhadap tubuh pasien tersebut, walaupun dokter berniat baik untuk menyelamatkan nyawa
pasien, akan dapat berakibat dituntutnya dokter atas tuduhan malpraktik.11
11 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, cet. 6, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2011), hlm. 100.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Penutup
5.1 Kesimpulan
1. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum, rumah sakit merupakan subjek hukum
yang memiliki hak dan kewajiban yang saat ini telah diatur. Oleh karenanya rumah
sakit dapat melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajibannya, sehingga pada
akhirnya rumah sakit dapat menuntut (menggugat) dan dapat dituntut (digugat).
2. Hubungan rumah sakit dengan pasien ICU adalah hubungan kontraktual. Dalam
hubungan kontraktual tersebut diatur juga tentang adanya informed consent. Sekalipun
pasien ICU ada dalam keadaan kritis, namun phak rumah sakit (melalui dokternya)
mempunyai kewajiban memberikan informasi tentang tindakan medik yang akan
diambil terhadap pasien ICU, kemudian atas dasar itu pasien ICU atau keluarganya
diberikan kebebasan untuk memilih apakah ia menolak ataukan memberikan
persetujuannya. Adanya informed consent dan kebebasan pihak pasien untuk
memberikan atau menolak ini sebagai wujud perlindungan hukum terhadap pasien
ICU.
Baik Undang-Undang Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang
Rumah Sakit, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah dengan cukup
memperhatikan kepentingan pasien ICU sebagai konsumen dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Perhatian tersebut diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan
yang berisi hak dan kewajiban pasien yang disertai sanksi secara tegas.
5. 2. Saran
1. Perlindungan hukum terhadap pasien di rumah sakit tidak terlepas dari peran
pemerintah sebagai pengawas dan pembina rumah sakit. Untuk peristiwa-peristiwa yang
muncul dalam media massa, selayaknya pemerintah lebih peka terhadap
penyelenggaraan rumah sakit yang menyimpang dari ketentuan perundangan yang
berlaku.
2. Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap pasien hanya sebatas hubungan
kontraktual yaitu berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sedangkan
untuk penyelenggaraan rumah sakit, pihak pasien tidak atau kurang memahami dan
menyadari akan adanya pengaturan tersebut.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
3. Tanggung jawab hukum rumah sakit yang tepat bagi rumah sakit adalah tanggung
jawab Central Responsibility, karena doktrin inilah yang sesuai dengan apa yang diatur
dalam Undang-Undang Rumah Sakit.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku:
Achadiat M. Chrisdiono, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cet. 2. Jakarta: PT. Grafikatama Jaya, 1991.
Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, cet. 6, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2011.
Djojosugito, M.A., Etika Profesi Administrator Rumah Sakit Mimeo, Kuliah Magister
Manajemen Rumah Sakit UGM, 1997.
Dewi, Alexandra Indriyanti. Etika dan Hukum Kesehatan, cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2008.
Guwandi, J. Dokter, Pasien, dan Hukum, cet. 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.
__________, Hospital Law, cet. 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2005.
___________, Hukum Medik (Medical Law), cet. 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
___________, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Medik, cet. X. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993.
____________, Informed Consent, cet.1, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2004.
Hanafiyah M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, cet.1, Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009.
Hasdam, Sofyan. Etika Kedokteran Hukum Kesehatan, cet. 1. Jakarta: Selayar Semesta, 2009.
Isfandyarie, Anny, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter, cet. ke 6, Buku I,
Jakarta : Prestasi Pustka, 2011.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Koeswadji, Hermien Hadiati. Hukum untuk Perumahsakitan, cet. 1. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002.
Kristiyanti, Celine Tri Siwi , Hukum Perlindungan Konsumen, cet.ke 3, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011
Kurnia, Titon Slamet. Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, cet.
1. Bandung: PT. Alumni, 2007.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum [Gezondheidszorg En Recht]. Diterjemahkan
oleh P.A.F. Lamintang. Bandung: Binacipta, 1991.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, cet. 2. Yogyakarta: Liberty,
2005.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, ed. 1, cet. 6. Jakarta:
Rajawali Press, 2010.
Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 4. Jakarta: Diadit
Media, 2011.
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika & Hukum Kesehatan, cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
Praptianingsih, Sri. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di
Rumah Sakit, cet. 2. Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. 1, Jakarta, Grasindo, 2000.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet. 2. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2010.
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, cet. 1,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Soedarmono S., et.al., Reformasi Perumahsakitan Indonesia, Jakarta : Bagian Penyusunan
Program Dan Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI – WHO), 2000.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), cet. 1. Jakarta:
IND-HILL-CO, 1989.
Soekanto, Soerjono dan Herkutanto. Pengantar Hukum Kesehatan, ed. 1, cet. 1, Bandung: CV
Remadja Karya, 1987.
Soekanto, Soerjono, Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien., cet. 1. Bandung: CV.
Mandar Maju, 1990
________________, Kontrak Terapeutik Antara Pasien Dengan Tenaga Medis, cet.1, Jakarta
: Media Hospital, 1987.
.Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, cet.1, Bandung : Mandar Maju, 2001.
Trisnantoro, Laksono, Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah
Sakit, cet. 4, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2009.
Yustina, Endang Wahyati, Mengenal Hukum Rumah Sakit, cet.1, Jakarta : Keni Media, 2012.
Yadav Hematrom, Hospital Managenent, Kuala Lumpur : University Malaya Press, 2006.
Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet.3, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Wiradharma, Danny, Penuntun Kuliah: Etika Profesi Medis, cet. X, Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2005.
2. Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009,
TLN No. 5063.
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42
Tahun 1999, TLN No. 3821.
Indonesia. Undang-Undang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun
2004, TLN No. 4431.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Indonesia. Undang-Undang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009, LN No. 153 Tahun 2009,
TLN No. 5072.
Indonesia. Undang-Undang Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009, LN No. 112 Tahun
2009, TLN No. 5038.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.Subekti
dan Tjiptosudibio, Jakarta: Pradjna Paramita, 2008.
Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778//MENKES/SK/IXII2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit.
Pengaruh Hukum..., Louise Ruselis Sitorus, FH UI, 2013