PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN ... ADVOKASI Vol2 no. 1... ·...

download PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN ... ADVOKASI Vol2 no. 1... · Kebijakan... 1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN ... fisik dan kekerasan verbal

If you can't read please download the document

Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN ... ADVOKASI Vol2 no. 1... ·...

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    1

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN

    KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

    I.A. Indah Sukma Angandari Imogena Consultants &Development

    [email protected]

    Abstract: Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual, psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of domestic violence. Key words: Protection, violence and wife

    Pendahuluan

    Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota

    keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang

    bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.

    Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang

    dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap

    orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat

    terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya

    dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul

    mailto:[email protected]

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    2

    ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga

    tersebut.

    Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang

    berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh

    budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai

    budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu

    menyalahkan perempuan.

    Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

    kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di

    dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota

    keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan

    fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan

    didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,

    tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

    Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan,

    maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah

    membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan

    menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka

    semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini1.

    Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah

    tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan

    penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI

    Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan

    1 Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung, hal.63

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    3

    dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

    kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

    Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23

    Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri

    atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan

    perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling

    banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib

    memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman

    kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.

    Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak

    asasi manusia.

    Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT

    Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

    Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai,

    karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan

    diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk

    melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul

    dan bagaimana penanganan yang tepat untuk mencegah dan membebaskan anggota rumah

    tangga, khususnya perempuan dari tindak kekerasan yang terjadi.

    Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es.

    Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :

    1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena

    merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    4

    2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,

    kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi

    bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

    3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

    4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

    5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

    6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

    7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat

    sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,

    maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang

    kekerasan dalam rumah tangga.

    8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan

    yang sangat jelas antara laki laki dan perempuan dimana laki laki mendominasi

    perempuan. Dominasi laki laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap

    asertivitas dan agtresivitas laki laki, yang menyulitkan untuk mendorong

    dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan

    bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anakanaknya , atau

    cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat

    mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).

    9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui

    oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan

    dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu

    mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk

    diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan

    dalam kasus KDRT.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    5

    Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam

    rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari

    kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat,

    sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang

    sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2

    Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang

    suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara

    lain :

    1. Kekerasan Fisik

    Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan

    lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga

    menyebabkan kematian.

    2. Kekerasan Psikis

    Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,

    berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,

    meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya.

    Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin

    tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,

    kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.

    3. Kekerasan Seksual

    2Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Hal.23

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    6

    Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri

    untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan

    tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.

    4. Kekerasan Ekonomi

    Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam

    atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri

    yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan

    ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena

    istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak

    memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali,

    menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk

    meningkatkan karirnya.

    Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat

    untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa

    saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena

    tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban

    untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri

    berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam

    masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga

    yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.

    Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara

    kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang

    memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    7

    dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan

    masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.

    Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja,

    karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi

    sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai

    kegiatan sampingan.3

    Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan

    berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan

    perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi

    menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan

    negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka.

    Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.4

    Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang

    Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak

    yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

    Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

    oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

    harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart.5

    3 Baquandi, 2009, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012 4 Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta.

    5Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press, Inggris, hal.107

    http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    8

    Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

    Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi

    dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi

    manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta

    mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,

    melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara

    keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

    Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga,

    sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

    Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah

    sebagai berikut:

    Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

    Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan titik awal keberhasilan perjuangan

    perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam

    lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri,

    merupakan aib keluarga, tabu untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat.

    Ketidakberdayaan perempuan yang disebabkan adanya keinginan untuk mempertahankan

    posisi diri sebagai perempuan baik-baik dari keluarga yang terhormat, mengakibatkan

    perempuan harus bersikap pasif dan mau menerima perlakuan apapun yang diperolehnya

    demi mempertahankan citra perempuan baik-baik atau keluarga harmonis. Hal-hal

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    9

    demikian ini yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak

    terungkap dan tidak dapat diatasi.

    Penulis berpendapat meskipun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

    Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa

    perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih

    panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat,

    selektif dan limitative. Hal ini sependapat Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh

    Sudarto, apabila menggunakan upaya penal maka penggunaanya sebaiknya dilakukan

    dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu perundang-

    undangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah memperhatikan beberapa

    pertimbangan kebijakan sebagai berikut :

    1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

    2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.

    3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

    4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)6

    Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum

    sebagai kaidah yakni:

    a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

    6 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, hal. 44-48

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    10

    b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

    c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.7

    Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan

    sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah

    dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah

    menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan

    apa yang telah diungkapkan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan

    mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada

    intinya sebagai berikut :

    a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

    b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

    c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.8

    Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari

    tiga tahap kebijakan yaitu :

    7 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.

    8Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 152-153

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    11

    a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan

    perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh

    badan pembuat undang-undang.

    b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat

    penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

    c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana

    secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.9

    Dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum, penulis

    mengutip pendapat Lawrence friedman dalam buku Hukum dan Masyarakat karangan

    Satjipto Raharjo, hukum dilihat sebagai suatu sistem hukum yang utuh, yang terdiri dari 3

    komponen, yaitu:

    a. Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem

    hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.

    b. Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum

    dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.

    c. Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang

    mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara

    keseluruhan.10

    Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan

    menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan

    mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba,

    sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat

    9Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 10 Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    12

    mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas

    dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum

    bukanlah tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang

    bersikap di bawah alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan

    sikap sosial dan nilai-nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan

    normatif dalam perilaku.

    Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga

    berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

    advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan

    perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak

    memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara

    khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan

    hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam

    ketentuan pasal-pasal yang telah termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang

    pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga juga

    berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial,

    relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun

    2004). Sehingga Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya

    pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004).

    Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya

    untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,

    memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan

    perlindungan Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan

    secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    13

    perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah

    tangga, yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU No. 23 Tahun

    2004, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan,

    dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun atau

    denda Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan penjara

    atau denda Rp.5.000.000 (Lima juta rupiah).

    Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam

    memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga,

    diatur secara khusus oleh UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut:

    - Kepolisian

    Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian

    menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada

    korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian

    memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib

    melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah

    perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan

    terhadap pelaku.

    - Advokat

    Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan

    perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai

    hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan

    pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesame penegak

    hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan

    sebagaimana mestinya.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    14

    - Pengadilan

    Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004.

    Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan

    anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.

    Penutup

    Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain

    kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan

    fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang

    mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.

    Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,

    berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan

    rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini,

    apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami

    meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat

    memicu dendam dihati istri. Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan

    dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak

    wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. Kekerasan ekonomi adalah suatu

    tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk

    menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-

    eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian

    suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami

    menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang

    mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh

    penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    15

    Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak

    mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

    lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah

    perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang

    Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis

    sampaikan untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga

    antara lain peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak

    dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan

    kesempatan kerja dan lapangan kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak

    tergantung sepenuhnya kepada suami/laki-laki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan

    yang memberikan perlindungan kepada istri khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor

    23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga lengkap dengan

    peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Memberikan advokasi dan

    pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan pemerintah di dalam

    menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    16

    DAFTAR PUSTAKA

    BUKU

    Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembanqan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

    ____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Baakti, Bandung.

    Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Jakarta.

    Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung.

    Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung.

    Sieghart, Paul, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press

    Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung

    Zainuddin Ali, H., 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

    MAKALAH Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di

    Indonesia Makalah pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta..

    INTERNET

    Baquandi, 2009, Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

    http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012

    http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    17

    STRATEGI PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING MELALUI

    EKOLABELING

    I Wayan Suardana

    Dinas Kehutanan Provinsi Bali

    [email protected]

    Abstract:

    Indonesia is one of country that has not been able to tackle illegal logging. Increasing quantities of illegal logging results in deforestation. Deforestation is a threat to the lives of living things. To overcome this deforestation, we need a sustainable forest management. One form of sustainable forest management is ecolabeling or labeling of forest products is a form of forest inventory activities play an important role in preventing deforestation. Basically, this application is a breakthrough ecolabeling very well in the inventory of forest and prevent deforestation.

    Key words: forest, deforestation, illegal logging and ecolabeling

    Pendahuluan

    Hutan merupakan aset besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meskipun

    Kepulauan Indonesia hanya terdiri sekitar 1% dari seluruh daratan di permukaan bumi,

    cadangan hutan alaminya merupakan yang terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia,

    yang diperkirakan membentang seluas lebih dari 100 juta hektar. Hutan merupakan karunia

    Tuhan yang tak ternilai harganya. Hutan memberikan manfaat besar untuk hidup dan

    kehidupan bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia,

    mailto:[email protected]

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    18

    hutan merupakan sumber kehidupan. Disamping merupakan tempat penyedia makanan,

    penyedia obat-obatan, juga menjadi tempat hidup bagi sebagian besar masyarakat.

    Indonesia mulai memanfatkan hutan pada awal tahun 1970-an, melalui pembangunan

    industri pengolahan kayu. Saat ini, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia,

    dan juga produksi kayu gelondongan, kayu olahan dan bubur kayu untuk produksi kertas.

    Pada tahun 2001, terdapat data statistik yang akurat, produksi kayu menyumbang 1,1 %

    Gross Domestic Product Indonesia dan sekitar US$ 5,1 miliar dari hasil ekspor. Walaupun

    pentingnya industri kayu untuk ekonomi nasional, sektor ini menghadapi ancaman serius

    dari maraknya praktik penebangan liar.11

    Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan

    liar menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Selain itu,

    sekitar 322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan

    diakibatkan penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya

    diperjualbelikan secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan

    Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang

    diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai

    10 juta meter kubik tiap tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter

    kubik.12

    Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas,

    kayu gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor

    11 Felicity Williams, 2004, Asia Pulse Analyst, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.

    12 Ibid.

    http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldlhttp://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    19

    sejumlah 40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi

    mengenai penebangan kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata

    lain, total jumlah penebangan kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di

    dalamnya sekitar 50 juta meter kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan liar.

    Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik

    terhadap pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam

    memproteksi hasil-hasil hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki

    kepedulian terhadap sumber daya hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa

    pula disebut dengan ekolabeling. Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan

    hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk

    lain. Ekolabel membantu konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan

    sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen bahwa

    produk yang diproduksinya ramah lingkungan.

    Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik

    serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya

    diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau

    penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara

    dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel.

    Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia

    Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis

    bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak

    kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya.

    Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    20

    kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh

    masyarakat di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang

    terorganisir.

    Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan

    perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan

    bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara

    tataran lokal, tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English

    Indonesian Dictionary sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang

    atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Blacks Dictionary, illegal artinya

    forbidden by law; unlawsfuls artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log

    dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan dan logging artinya

    menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.13 Dari aspek implikasi semantik

    illegal logging sering diartikan sebagai praktik penebangan liar. Adapun aspek integratif,

    illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan kayu beserta prosesnya secara tidak sah

    atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. Proses tersebut mulai dari

    kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas memanen, hingga pasca pemanenan

    yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan.14

    Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah

    penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian

    kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan

    13 Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua)

    cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72. 14 Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu

    Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang, hal. 128.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    21

    oleh Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini

    tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging

    atau penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri

    kayu yang yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan,

    penghormatan terhadap hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan

    mensuplai bahan baku dan kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi

    berdasarkan tegakan pohon yang ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut

    pandang yang berbeda baik oleh masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah

    pusat.15

    Sebuah penelitian dari World Bank mengestimasikan bahwa dalam 40 tahun

    Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan

    kayu tanpa perhatian (World Bank, 1986). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan

    memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan

    lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar. Hingga 1999 hingga

    2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik

    pertahun. Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang

    ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi

    ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan

    tidak signifikan) yang mencapai 3 juta meter kubik, maka kita mendapatkan pasokan kayu

    sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan

    kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Jika diestimasi seluruh perusahaan

    15 Rully Syumanda, ____, Deforestasi dan Illegal Logging, http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.htmlhttp://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    22

    tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan

    mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan

    mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya.

    Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak

    ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu,

    maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang

    ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju

    deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung

    dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah.

    Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8

    juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas

    produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan

    alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari

    hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figur ini dapat

    dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal.

    Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama

    mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun

    rupiah. Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah

    mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7

    juta meter kubik. Namun ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga

    meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter

    kubik. Dengan figur ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga

    menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    23

    diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap

    tahunnya.

    Dengan kondisi kekurangan bahan baku resmi dimulailah pembalakan besar-

    besaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang

    pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah

    diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang

    tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara

    resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi

    epidemis.

    Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan

    yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah

    besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya

    sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa

    illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus

    menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara

    illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial,

    illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun

    sejak tahun 2001.

    Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan

    lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui

    pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan

    keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu

    memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    24

    illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi

    yang tinggi untuk diselesaikan.

    Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan

    data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada

    tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu

    bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia

    telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di

    Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti

    fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari

    angka-angka resmi tersebut.

    Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,

    mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran

    kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa

    pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum

    menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat

    dihasilkan dari sumberdaya hutan.

    Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya

    sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus

    dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah

    seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya

    bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat

    dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan.

    Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang

    dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    25

    hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi

    pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini

    kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga

    swadaya masyarakat.

    Konstruksi Pemikiran Ekolabeling

    Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua

    terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis

    terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non

    migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang

    cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975

    hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor

    hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah

    memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil

    hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia.16

    Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS

    diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini.

    Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang

    yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku

    di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m.

    Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m.

    Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan

    16 Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://www.google.com/

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    26

    2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum

    termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m.

    Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang

    menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1.

    Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya

    sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya

    untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis

    akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan

    aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan

    diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi.

    Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu

    yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat

    sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in

    Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional

    di pasar global, sebagian besar masih belum memenuhi standar yang ada.17

    Menyimak dari data yang telah disajikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa

    sebenarnya kualitas kayu lapis Indonesia masih berada di bawah negara pengekspor kayu

    lapis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengkajian yang teliti dari negara pengimpor

    mengenai asal-usul dari kayu lapis tersebut. Kayu lapis di Indonesia disinyalir berasal dari

    hutan produksi yang tidak ramah lingkungan, sementara itu isu global yang semakin

    17 Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%, http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    27

    berkembang membawa kecenderungan bagi negara pengimpor untuk membeli kayu dari

    negara yang penghasil yang ramah lingkungan.

    Ekspor kayu kini juga dihadapkan dengan tingginya angka illegal logging. Buruknya

    pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan

    hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam

    Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan

    hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata

    rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di

    samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem

    politik dan ekonomi yang korup. Kekebalan para dalang / mastermind/ aktor intelektual/

    backing/ pemodal/ pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum

    aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan

    menjadi backing bisnis ini. Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar

    (WWF/World Bank, 2005), serta banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal

    ini, punya andil yang cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam

    penanganan kejahatan kehutanan seperti illegal logging.

    Penebangan liar menjadi isu politik utama tidak hanya di Indonesia tetapi juga di

    beberapa negara importir seperti Jepang dan Inggris. Salah satu perusahaan pengolahan

    kayu terbesar di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), baru-baru ini didesak untuk

    membersihkan praktik penebangan liar setelah sebuah konsumen dari perusahaan besar di

    Jepang memperingatkan bahwa mereka mungkin akan berhenti membeli kayu lapis dari

    perusahaan tersebut. Pada perjanjian awal dengan World Wild Fund for Nature (WWF),

    APP telah memperuntukkan 58.500 hektare dari area konsesinya di Riau untuk area

    konservasi dan berjanji berbuat sebaik mungkin untuk menghentikan penebangan liar di

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    28

    areal mereka. Pada bulan Juni 2003, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang

    melarang impor produksi kayu dari Indonesia yang berasal dari penebangan liar. Larangan

    tersebut akhirnya kini telah dicabut.18

    Buruknya pola penegakan hukum dalam menjerat pelaku illegal logging selama ini,

    semakin mendorong peran CSO yang selama ini memberi perhatian terhadap maraknya

    tindak pidana illegal logging di Indonesia. Perlu adanya pergeseran yang drastis dalam pola

    penanganan tindak pidana illegal logging. Strategi tersebut bisa berupa strategi penanganan

    bersama antara CSO yang selama ini melakukan investigasi di lapangan dan aparat penegak

    hukum yang berwenang. Baik itu dari segi pendekatan hukum, peningkatan kapasitas aparat

    maupun keterlibatan masyarakat/ CSO untuk menjerat mastermind pelaku illegal logging.19

    Berdasarkan hasil analisis organisasi non pemerintah FWI dan GFW, dalam kurun

    waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total

    tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di

    Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan

    sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta

    keuntungan pribadi.

    Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak

    dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan

    hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta

    hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan

    sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang

    18 Ibid. 19 Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/.,

    diakses pada 3 Januari 2012.

    http://www.icel.or.id/

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    29

    sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun

    2010.

    Peningkatan kualitas ekspor kayu, maraknya illegal logging yang berakibat pada

    deforestasi hutan memerlukan suatu manajemen penataan hutan yang profesional.

    Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga

    ekolabel. Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk

    memprakarsai penyusunan definisi Kayu Sah. Melalui serangkaian pertemuan yang alot,

    kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu. Kayu disebut sah jika kebenaran asal

    kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi

    angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan

    memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.

    Persyaratan kayu yang legal sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Ekolabel

    Indonesia merupakan dasar yuridis dari pengusahaan hutan. Kekayaan alam merupakan

    modal pembangunan nasional sehingga perlu digali dan dimanfaatkan secara optimal.

    Penggalian kekayaan tersebut harus dilakukan dengan pengusahaan hutan secara modern di

    seluruh Indonesia. Pengusahaan secara modern ini akan memberikan hasil yang sebesar-

    besarnya apabila dilaksanakan pada wilayah kerja yang cukup luas sehingga merupakan

    proyek produksi dan industri hasil hutan. Pengusahaan hutan tidak hanya menjadi monopoli

    Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negaranya, tetapi keterlibatan pihak swasta juga

    sangat diperlukan.

    Pengusahaan hutan sangat diperlukan untuk membangun perekonomian bangsa dan

    masyarakat. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di hutan ini harus dapat memberikan

    manfaat bagi kemakmuran rakyat dan senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya

    alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    30

    Ekolabeling Sebagai Bentuk Inventarisasi Hutan

    Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsesia Tahun 1945

    menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

    negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari rumusan Pasal ini,

    dapat dilihat bahwa kemakmuran rakyat merupakan tujuan akhir dari penggunaan kekayaan

    alam sedangkan negara berfungsi sebagai pengelola bukan pemilik. Dengan demikian

    negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan ini,

    negara dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola atau perencanaan di bidang kehutanan

    dalam menata manajerial dengan melibatkan badan-badan dunia. Tujuannya adalah untuk

    mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), seperti

    International Tropical Timber Organization Forest Management yang diterapkan pada

    tahun 2003.20

    World Wide Fund for Nature (WWF), telah menyusun target pengelolan hutan

    berkelanjutan untuk seluruh dunia, yang dimulai pada tahun 1995, dan Forest Stewardship

    Council (FSC), suatu badan internasional yang dapat memberikan akreditasi dan memantau

    program sertifikasi, dengan maksud untuk memberikan jaminan kepada pengusahaan

    pengelolaan hutan agar kegiatannya sesuai dengan standar pengelolaan hutan berkelanjutan

    dilakukan oleh lembaga ekolabeling.21

    Kebutuhan akan hasil kayu semakin meningkat karena kayu merupakan sumber

    pemenuhan bagi kebutuhan primer manusia yakni kebutuhan akan perumahan. Pengelolaan

    20 Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan

    Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta, hal. 1. 21 Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan,

    RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 94 dan 98.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    31

    terhadap jumlah dan optimalisasi penggunaan kayu ini perlu dilakukan secara tepat, cepat

    dan terpadu. Oleh sebab itu lembaga-lembaga yang mengatur mengenai hasil hutan berupa

    kayu mulai bermunculan. Salah satu lembaga trersebut adalah lembaga ekolabeling.

    Lembaga ekolabeling ini dibentuk oleh negara-negara Barat atau negar-negara industri yang

    ingin menekan negara-negara yang memiliki hutan tropis agar menghentikan pengambilan

    aset hutan, karena pengambilan aset hutan yang tidak terkendali akan menimbulkan

    kerusakan ekosistem.

    Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan ekolabel adalah untuk

    membantu konsumen membuat suatu pilihan, karena ekolabel memungkinkan adanya

    perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan

    melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu

    produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.

    Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan

    pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem

    sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif

    pasar sebagaimana WTP bagi produk-produk berlabel atau kesempatan untuk

    mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak

    mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk

    sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi

    perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT)

    GATT. (LEI, 1994).22

    Tahun 1997 hingga 1998 produk kayu lapis masih merupakan komoditas andalan.

    Namun mengingat meningkatnya persaingan terhadap produk kayu lapis Indonesia, maka

    22 Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewarta-

    kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    32

    produksi kayu lapis massal (raw plywood) diarahkan pada produk kayu lapis yang sudah

    diproses lebih ke hilir (processed plywood). Persaingan produk kayu-kayu tropis dengan

    kayu non tropis akan semakin ketat, terlebih dengan diberlakukannya ekolabeling yaitu

    penggunaan label terhadap produk yang ramah lingkungan.23 Produk-produk yang dapat

    diterima di pasaran, terutama di pasar internasional adalah produk yang dihasilkan dari

    pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Dengan demikian penerapan ketentuan

    ekolabeling dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu proses yang perlu

    terus dikembangkan.

    Meningkatnya persaingan produk kayu-kayu tropis terhadap kayu non tropis dan

    bahan substitusinya menuntut pengusaha kehutanan untuk mencari peluang-peluang pasar

    yang baru. Untuk itu perusahaan kehutanan harus meningkatkan kualitas, efisiensi,

    diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dalam menghadapi persaingan tersebut. Selain

    kayu lapis, produk pulp dan kertas, produk kayu olahan lanjutan lainnya, hasil hutan non

    kayu seperti gondorukem, lak dan jasa juga menjadi komoditas andalan karena

    menunjukkan permintaan yang meningkat. Oleh karena itu para pengusaha juga harus

    memperhatikan komoditas itu.

    Diingatkan, walaupun boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan dalam

    kesepakatan internasional, tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat dan walikota

    yang tetap memboikot, antara lain di Jermandan Belanda. Oleh karena itu untuk pasaran

    Eropa tahun 1997 hingga 1998 perlu diarahkan pada pasaran negara-negara yang

    masyarakatnya tidak memboikot. Seperti telah diketahui, dalam kesepakatan internasional

    yang telah dicapai dalam sidang International Tropical Timber Organization (ITTO) 1996

    23 Suara Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas

    Andalan,:http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    33

    yang berkaitan dengan ekolabeling dan perdagangan bebas, tindakan-tindakan unilateral

    (sepihak) seperti boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan.

    Permasalahan yang menyangkut perdagangan kayu tropis harus diselesaikan secara

    multilateral, bahkan perlu adanya tindakan-tindakan konkrit yang mendorong peningkatan

    pasaran kayu tropis. Selain itu tidak dibenarkan membedakan perlakuan antara kayu tropis

    dan kayu non tropis (non discriminatory treatment). Untuk hal ini telah diputuskan dalam

    sidang-sidang pendukung Intergovernmental Panel on Forest (IPF) tahun 1996.

    Mengenai pelaksanaan ekolabeling harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing

    negara serta harus disepakati antara negara produsen dan konsumen. Sedangkan target tahun

    2000 yang telah diputuskan dalam sidang ITTO tahun 1992 adalah menyangkut pengelolaan

    hutan secara lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), di mana kriteria dan

    indikator SFM perlu disusun dan dilaksanakan. Ekolabeling sangat penting dan dibutuhkan

    oleh Indonesia. Karena sebagai anggota International Tropic Timber Organization (ITTO)

    yang berkedudukan di Yokohama, Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan ekolabeling

    produk kehutanan mulai tahun 2000.

    Organisasi kayu tropis dunia (ITTO) yang terdiri dari negara produsen dan konsumen

    kayu tropis telah menetapkan pemberlakuan ekolabel mulai tahun 2000. Artinya mulai

    tahun itu seluruh kayu tropis yang diperdagangkan di dunia internasional harus berasal dari

    hutan yang dikelola secara lestari. Selama beberapa waktu ini, telah disusun tolak ukur

    pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan, yaitu apakah hutan dikelola secara

    berkelanjutan, apa dampak pengelolaan tersebut terhadap lingkungan, keanekaragaman

    hayati, erosi sungai dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah apa dampak pengelolaan

    hutan itu terhadap masyarakat sekitar hutan, apakah bermanfaat atau tidak.24

    24 Ibid.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    34

    Tujuan dari pelaksanaan ekolabeling di Indonesia semula memang untuk menjaga

    kelestarian hutan tanaman khususnya tanaman Jati di pulau Jawa yang semakin menipis.

    Dengan pemberlakuan sertifikasi yang persyaratannya sangat ketat, diharapkan pencurian

    kayu Jati di pulau Jawa bisa teratasi. Perhutani sendiri mulai menjadi anggota SmartWood

    sekitar tahun 1990 lalu. Pada awalnya semua kawasan hutan tanaman Perhutani disertifikasi.

    Namun sekitar tahun 1996-1997 dilakukan perubahan kebijakan dari Rainforest Alliance,

    yaitu sertifikasi diberikan pada tingkat KPH akibat tidak konsistennya kinerja antar KPH

    dalam sistem Perhutani. Selain Perhutani, di Jateng juga terdapat 32 pengusaha sekaligus

    eksportir kayu juga menjadi anggota SmartWood. Semula proses kerjasama antara

    pengusaha sekaligus eksportir kayu, Perhutani dan pihak Rainforest Alliance berjalan lancar

    dan saling pengertian. Sehingga pihak Rainforest Alliance juga memberikan kepercayaan

    besar kepada anggotanya untuk mencetak sendiri label SmartWood dengan memberikan

    master label SmartWood kepada para pengusaha bersangkutan. Ini dilakukan mengingat

    terbatasnya jumlah personil Rainforest Alliance yang berada di Indonesia. (Kedaulatan

    Rakyat, 2001-09-20)25

    Lembaga ekolabeling Indonesia berfungsi untuk menilai implementasi prinsip-

    prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari (hutan alam dan hutan produksi) dengan

    pemberian sertifikat ekolabel pada produk hasil hutan untuk menjamin bahwa pengelolaan

    hutan memenuhi standar tertentu. Produk terbuat dari kayu yang berasal dari pengelolaan

    hutan berkelanjutan, dan proses produksi hutan berkelanjutan. Standar pengelolaan hutan

    berkelanjutan merupakan baku mutu yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan untuk

    memperoleh sertifikat ekolabel.

    25 Redaksi,___, Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian Kayu,

    http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    35

    Sertifikat ekolabel di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan

    informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam

    bentuk sertifikat ekolabel yang menunjuk bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari

    konsesi hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Fungsi lembaga ekolabel ini adalah

    menilai penerapan sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan prinsip kelestarian

    lingkungan hidup yang secara langsung dikaitkan dengan nilai tambah pedagang kayu.26

    Sertifikasi adalah suatu proses pembuktian independen bahwa manajemen hutan telah

    mencapai tingkatan yang diisyaratkan oleh suatu standar tertentu. Pada beberapa kasus, bila

    digabungkan dengan suatu rangkaian sertifikasi perlindungan, sertifikasi memungkinkan

    aliran produk dari suatu hutan tertentu yang telah memiliki sertifikat diberi ecolebel.

    Sertifikasi telah berkembang dengan luas sebagai respons terhadap konsensus internasional

    bahwa manajemen hutan lestari merupakan persoalan yang sangat signifikan. Keberhasilan

    sangat tergantung kepada para konsumen, investor dan pihak-pihak lain yang menyediakan

    insentif bagi manajer hutan untuk menerapkan manajemen hutan lestari, dengan memilih

    mebeli produk-produk dari dan menanamkan investasi pada hutan-hutan yang dikelola

    dengan baik. Ada dua faktor penting agar proses sertifikasi dapat dipercaya:

    a. Isi standar sertifikasi harus dipublikasikan untuk masyarakat dan diterima secara luas.

    b. Lembaga sertifikasi (pemberi sertifikasi) harus terbukti independen dan memiliki

    kemampuan untuk menunjukkan bahwa konsumen benar-benar memenuhi standar.27

    26 Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas

    Mulawarman, Samarinda, hal. 28. 27 Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,

    Jakarta, hal. 35.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    36

    Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah

    memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta

    peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah

    mengingkat secara signifikan dari 4 % tahun 1980an menjadi 8,7 % pada pertengahan tahun

    1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak

    langsung terkait dengan berbagai industri perkayuan seperti industri pulp dan paper,

    furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh

    dan lengkap.

    Penerapan sertifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan

    dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembaga-lembaga

    independen penilainya (LEI dan FSC).Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan

    hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya:

    a. memperbaiki efisiensi pemanfaatan sumber daya,

    b. mendorong daya saing (kompetisi) untuk pasokan bahan baku,

    c. melaksanakan rehabilitasi hutan dan mendorong partispasi kelompok-kelompok kepentingan dalam pengelolaan hutan lestari,

    d. menerapkan secara konsiten sertifikasi hutan dan ekolabeling, dan

    e. pemerintah daerah sebagainya menerima proporsi yang lebih besar terhadap pendapatan dan royalti yang dikumpulkan pemerintah.28

    Semua produk kehutanan dari Indonesia yang akan diekspor ke Jepang harus

    mempunyai sertifikat dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Kebijakan ini diambil

    pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Jepang dalam

    rangka memperketat pengawasan terhadap kegiatan penebangan liar dan ekspor-impor

    produk hutan yang akan mulai berlaku pada April tahun depan.

    28 Subarudi,___, Forestry and Wood Industry on The Move,

    http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://puslitsosekhut.web.id/index.php

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    37

    Kebijakan ini diambil Jepang setelah pada pertemuan G8 di Inggris, Pemerintah

    Jepang menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap penebangan liar (illegal logging)

    yang terjadi di Jepang maupun di luar Jepang yang berkaitan dengan ekspor produk kayu ke

    Jepang. Indonesia mengekspor produk-produk yang terkait dengan kehutanan ke Jepang

    berupa kayu dan produk kayu, kertas dan produk kertas, serta pulp dari kayu, yang pada

    tahun 2004 nilainya mencapai USD1,35 milliar.29 Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI)

    menentang penghentian penebangan kayu, karena sulit dipertanggungjawabkan secara

    ekonomi, ekologi dan sosial. Kalau penghentian penebangan kayu diberlakukan, Indonesia

    akan mengalami krisis neraca perdagangan karena harus mengimpor bahan baku kayu,

    sehingga ekspor barang yang berbahan baku kayu Indonesia menurun sekitar US$ 5

    miliar.30

    Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang memegang peranan penting dalam

    mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan inventarisasi hutan. Secara teknis

    inventarisasi kegiatan kehutanan menurut Abubakar M. Lahjie adalah membentuk dasar

    untuk manajemen hutan lestari. Inventarisasi ini merupakan penilaian kuantitas dan kualitas

    sumber daya hutan yang btersedia untuk manajemen. Inventarisasi sumber daya hutan pada

    alam dilakukan untuk menilai sumber daya kayu, hasil hutan nir kayu, seperti perambat,

    buah-buahan, kacang-kacangan, bambu dan satwa liar.

    29 Redaksi, 2005, Ekolabeling ke Jepang, http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.

    30 Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak Ekonomi, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=indhttp://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    38

    Dalam melakukan inventarisasi hutan perlu mengetahui manfaat yang terdapat dalam

    inventarisasi. Pelaksanaan inventarisasi umumnya berarti pengukuran pohon-pohon

    (walaupun mungkin juga mencakup hasil hutan nir kayu dan aspek-aspek lain, tergantung

    pada informasi yang diperlukan). Suatu sampel pohon diukur dan hasil-hasil pengukuran

    tersebut di diekstrapolasikan atau dijadikan dasar untuk mengestimasi pohon-pohon lainnya

    di hutan tersebut dengan mempertimbangkan tipe dan luas. Pengambilan sampel dari

    proporsi pohon yang cukup besar untuk mewakili seluruh hutan dengan akurat akan

    memerlukan biaya yang mahal. Tergantung pada sasaran inventarisasi mungkin saja untuk

    menghimpun informasi yang sama pentingnya dari sumber-sumber lain seperti informasi

    yang bermanfaat dapat dihimpun dari citra satelit yang ada atau foto udara, perbandingan

    dengan tegakan-tegakan yang serupa yang telah diinventarisasi dan hasil-hasil penelitian

    lainnya.

    Secara teknis kegiatan inventarisasi hutan menjadi tipe-tipe utama inventarisasi adalah

    inventarisasi pra-pemanenan dan inventarisasi pasca-pemanenan (yang dapat bersifat statis

    atau dinamis) dan survei persediaan tegakan. Inventarisasi pra-pemanenan bertujuan untuk

    mengumpulkan informasi mengenai spesies-spesies yang terdapat dihutan, berapa

    jumlahnya dan areal distribusinya serta kisaran ukurannya (ukuran/ kelas/ distribusi).

    Sementara survei persediaan tegakan tujuannya adalah penarikan sampel 100 persen

    terhadap semua pohon yang dapat dipanen dengan melebihi batas diameter tertentu. Survei

    ini dilaksanakan sebelum pemanenan untuk membantu perencaan kegiatan pemanenan.

    Semua pohon komersial dengan ukuran yang dapat dipanen, dipetakan dan diberi label.

    Penutup

    Illegal logging berakibat pada deforestasi hutan. Untuk menanggulangi kerusakan

    hutan akibat illegal logging maka diperlukan suatu manajemen penataan hutan yang

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    39

    profesional. Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui

    suatu lembaga ekolabel. Ekolabeling atau penandaan hasil hutan ini merupakan bentuk

    kegiatan inventarisasi hutan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya

    kerusakan hutan. Kelestarian hutan merupakan tanggung jawab semua pihak karena hutan

    menyangkut hajat hidup orang banyak.

    Penerapan ekolabeling hendaknya diikuti dengan sumber daya manusia yang

    berkualitas. Artinya kegiatan ekolabeling ini bukan hanya sekadar pada tahap ekolabel saja

    namun juga harus disertai dengan pengawasan yang intensif mengenai hasil hutan yang

    sudah diekolabel. Pengawasan ini tentunya memerlukan koordinasi wewenang yang tegas

    agar dalam pelaksanaan tersebut nantinya tidak terjadi wewenang yang tumpang tindih.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    40

    DAFTAR PUSTAKA

    BUKU

    Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas Mulawarman, Samarinda.

    Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

    Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang..

    Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua) cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta.

    Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

    Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta.

    INTERNET

    Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

    Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak Ekonomi, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses pada 3 Januari 2012.

    Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%, http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.

    Felicity Williams, 2004, Asia Pulse Analyst, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.

    Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/., diakses pada 3 Januari 2012.

    Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.

    http://www.google.com/http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hiduphttp://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_formhttp://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldlhttp://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldlhttp://www.icel.or.id/http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    41

    Redaksi, 2005, Ekolabeling ke Jepang, http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.

    Redaksi,___, Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian Kayu, http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.

    Rully Syumanda, ____, Deforestasi dan Illegal Logging, http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.

    Suara Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas Andalan,http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.

    Subarudi,___, Forestry and Wood Industry on The Move, http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.

    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=indhttp://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=indhttp://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.htmlhttp://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.htmlhttp://puslitsosekhut.web.id/index.php

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    42

    PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERAN NEGARA DALAM

    PERLINDUNGAN PEKERJA

    I Wayan Gde Wiryawan

    Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar

    [email protected]

    Abstract:

    The existence of Pancasila Industrial Relations in Indonesia, which consists of three parties, namely cedar workers, employers and the government put the governments role as a representative of the State in a strategic position as a regulator in an attempt to create a harmonious industrial relations. Changes in the state system in Indonesia from the centralized system in the New Order into a decentralized system directly affects the political constellation changes, economic, social and democratic culture becomes more focused on optimizing the role of the State to make the protection of workers' rights in addition to the protection of employers in running business. Autonomy that arise as a result of applying the principle of decentralization in the state system in Indonesia has been explicitly set on the delegation of authority for the protection of workers from central to local government should make the role of local governments to protect workers more optimal because local governments have been aware of the situation and working conditions in the region. The existence of local regulations and policies are directed at the protection of workers within the framework of regional autonomy as well as a form of state intervention in industrial relations between employers and workers parties that became the essence of the theory of the welfare state.

    Key words: Pancasila industrial relations, labor protection, regional autonomy

    Pendahuluan

    mailto:[email protected]

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    43

    Pada masa orde baru, hubungan industrial ditandai oleh dominasi negara terhadap

    pekerja yang juga dikenal. dengan "korporatisme eksklusioner negara"31 dengan sistem

    hubungan perburuhan yang bersifat kaku. Dominasi negara dalam konsepsi hubungan

    industrial pada masa orde baru Orde Baru yang memberi perhatian yang sangat besar

    terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasional dilakukan dengan

    pembatasan atau pengekangan kehidupan politik yang demokratis sehingga berimplikasi

    pada pengekangan hak-hak pekerja. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah

    Orde Baru tersebut menjadi efektif ditunjang dengan kebijakan yang menempatkan stabilitas

    nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace.

    Pemerintah orde baru menjadikan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) sebagai

    dasar dalam kebijakan ketenagakerjaan yang pada masa orde baru ditandai oleh kontrol

    yang kuat dari negara terhadap pekerja, intervensi negara yang dominan dalam struktur

    hubungan industrial (tidak melepasnya ke mekanisme pasar) dengan melanggar hak-hak

    dasar dari pekerja adalah fenomena yang mendominasi kebijakan pada masa orde baru yang

    berakibat pada ketiadaan perlindungan terhadap pekerja yang telah diatur secara

    konstitusional.

    Secara konstitusional negara Indonesia mengakui bahwa tiap warga negara

    mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

    kemanusiaan sesuai dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dengan diaturnya perlindungan

    terhadap pekerja secara konstitusional seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk

    setiap kebijakannya yaitu diarahkan dalam rangka perlindungan terhadap pekerja, karena

    31 Vedi R. Hadiz, Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Majalah Prisma No.7, Juli

    1990, hal. 1. Korporatisme Ekslusioner diperkenalkan oleh Alfred Stepan untuk menjelaskan upaya kelompok elite dalam masyarakat untuk meredam dan mengubah bentuk "kelompok-kelompok kelas pekerja yang menonjol" melalui kebijakan yang bersifat koersi. la berbeda dengan "korporatisme inklusioner" yang lebih bercirikan akomodasi dan inkorporasi kelompok-kelompok tersebut oleh negara.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    44

    menurut Hilaire Barnett Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of

    government action. By constituonalisme is meant - in relation to constituons written and

    unwitten conformity with the broad philosophical values within a state.32

    Konsepsi Hubungan Industrial Pancasila yang terdiri dari pihak pengusaha, pekerja

    dan pemerintah telah menempatkan posisi pemerintah untuk memerankan posisi sebagai

    pelindung kepentingan kedua belah pihak dalam sebuah relasi yang mengedepankan prinsip

    simbiosis mutualisme dan saling membutuhkan. Melalui peraturan perundang-undangan

    pemerintah memainkan perannya pada dua kepentingan yang saling berlawanan, dan

    mempertahankan tuntutan masing-masing menjadikan intervensi pemerintah sebagai suatu

    keharusan.

    Adanya internvensi dari pemerintah yang mewakili negara dalam hubungan industrial

    menjadi wujud nyata dari konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut oleh

    Negara Republik Indonesia. Ide dasar dari tipe negara verzorgingsstaat atau welfare

    state tersebut adalah negara menjamin kesejahteraan umum para warganya dengan cara

    menyusun suatu program kesejahteraan sosial (de overheid stelt zich garant voor het

    collectieve sociale welzijn van haar burgers door middel van een programma van sociale

    voorzieningen).33

    Negara kesejahteraan (welfare state) memberikan gambaran bagaimana keadilan dan

    kesejahteraan diwujudkan dalam masyarakat. Secara tidak langsung, fungsi hukum

    diarahkan sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang dalam

    perspektif negara kesejahteraan adalah menciptakan jaminan perlindungan kepada setiap

    32 Hilaire Barmett, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition, Landon, Sydney, hal. 5.

    33 Schuyt & Veen (1986) dalam Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta hal. 19.

  • I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...

    45

    lapisan masyarakat atas pemenuhan kebutuhan masing masing lapisan masyarakat tidak

    terlaksana pada masa orde Baru.

    Berakhirnya Orde Baru dengan lahirnya gerakan reformasi 1998 yang bertujuan

    untuk melakukan perubahan disegala bidang diantaranya dalam sistem pemerintahan daerah

    dan hubungan industrial. Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

    didasarkan pada adanya pengaturan secara konstitusional penyelenggaraan pemerintah

    daerah dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa:

    Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

    Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut asas otonomi daerah

    dalam UUD 1945 berakibat pada terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang

    Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tah