PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN ... ADVOKASI Vol2 no. 1... ·...
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN ... ADVOKASI Vol2 no. 1... ·...
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I.A. Indah Sukma Angandari Imogena Consultants &Development
Abstract: Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual, psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of domestic violence. Key words: Protection, violence and wife
Pendahuluan
Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota
keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang
bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang
dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap
orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat
terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
mailto:[email protected]
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
2
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang
berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh
budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai
budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu
menyalahkan perempuan.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis
kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di
dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota
keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan
fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan
didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan,
maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah
membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan
menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka
semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini1.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
1 Atmasasmita, Romli. 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung, hal.63
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
3
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri
atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling
banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib
memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.
Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak
asasi manusia.
Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai,
karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan
diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk
melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul
dan bagaimana penanganan yang tepat untuk mencegah dan membebaskan anggota rumah
tangga, khususnya perempuan dari tindak kekerasan yang terjadi.
Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es.
Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :
1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena
merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
4
2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat
sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya,
maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga.
8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan
yang sangat jelas antara laki laki dan perempuan dimana laki laki mendominasi
perempuan. Dominasi laki laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap
asertivitas dan agtresivitas laki laki, yang menyulitkan untuk mendorong
dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan
bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anakanaknya , atau
cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat
mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).
9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan
dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu
mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk
diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan
dalam kasus KDRT.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
5
Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam
rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat,
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang
sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2
Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang
suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara
lain :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan
lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga
menyebabkan kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,
berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,
meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya.
Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin
tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain,
kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3. Kekerasan Seksual
2Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Hal.23
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
6
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri
untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam
atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri
yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena
istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak
memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali,
menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.
Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat
untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa
saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena
tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban
untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri
berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam
masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga
yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.
Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara
kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
7
dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan
masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja,
karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi
sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai
kegiatan sampingan.3
Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi
menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan
negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka.
Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.4
Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart.5
3 Baquandi, 2009, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012 4 Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta.
5Paul Sieghart, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press, Inggris, hal.107
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
8
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi
dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi
manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta
mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga,
sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah
sebagai berikut:
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan titik awal keberhasilan perjuangan
perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam
lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri,
merupakan aib keluarga, tabu untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat.
Ketidakberdayaan perempuan yang disebabkan adanya keinginan untuk mempertahankan
posisi diri sebagai perempuan baik-baik dari keluarga yang terhormat, mengakibatkan
perempuan harus bersikap pasif dan mau menerima perlakuan apapun yang diperolehnya
demi mempertahankan citra perempuan baik-baik atau keluarga harmonis. Hal-hal
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
9
demikian ini yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terungkap dan tidak dapat diatasi.
Penulis berpendapat meskipun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa
perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih
panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat,
selektif dan limitative. Hal ini sependapat Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Sudarto, apabila menggunakan upaya penal maka penggunaanya sebaiknya dilakukan
dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu perundang-
undangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah memperhatikan beberapa
pertimbangan kebijakan sebagai berikut :
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)6
Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum
sebagai kaidah yakni:
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
6 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, hal. 44-48
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
10
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.7
Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan
sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah
dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan
apa yang telah diungkapkan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan
mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada
intinya sebagai berikut :
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.8
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari
tiga tahap kebijakan yaitu :
7 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.
8Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 152-153
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
11
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh
badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana
secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.9
Dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum, penulis
mengutip pendapat Lawrence friedman dalam buku Hukum dan Masyarakat karangan
Satjipto Raharjo, hukum dilihat sebagai suatu sistem hukum yang utuh, yang terdiri dari 3
komponen, yaitu:
a. Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem
hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.
b. Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum
dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.
c. Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang
mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara
keseluruhan.10
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan
menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan
mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba,
sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat
9Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 10 Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
12
mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas
dan berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum
bukanlah tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang
bersikap di bawah alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan
sikap sosial dan nilai-nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan
normatif dalam perilaku.
Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga
berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara
khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum, pada setiap tingkat proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam
ketentuan pasal-pasal yang telah termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga juga
berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun
2004). Sehingga Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004).
Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan upaya-upaya sesuai batas kemampuannya
untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,
memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan Korban kekerasan dalam rumah tangga, selain memperoleh perlindungan
secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban juga memperoleh
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
13
perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU No. 23 Tahun
2004, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang dilakukan,
dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun atau
denda Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan penjara
atau denda Rp.5.000.000 (Lima juta rupiah).
Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam
memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga,
diatur secara khusus oleh UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut:
- Kepolisian
Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada
korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian
memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib
melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap pelaku.
- Advokat
Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai
hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan
pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesame penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
14
- Pengadilan
Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004.
Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan
anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.
Penutup
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan
fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang
mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina,
berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan
rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini,
apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami
meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat
memicu dendam dihati istri. Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan
dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak
wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. Kekerasan ekonomi adalah suatu
tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk
menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-
eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian
suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami
menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang
mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh
penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
15
Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak
mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis
sampaikan untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
antara lain peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak
dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan
kesempatan kerja dan lapangan kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak
tergantung sepenuhnya kepada suami/laki-laki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan
yang memberikan perlindungan kepada istri khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga lengkap dengan
peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Memberikan advokasi dan
pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan pemerintah di dalam
menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
16
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembanqan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Baakti, Bandung.
Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung.
Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung.
Sieghart, Paul, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung
Zainuddin Ali, H., 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
MAKALAH Romli Atmasasmita, Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di
Indonesia Makalah pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta..
INTERNET
Baquandi, 2009, Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
17
STRATEGI PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING MELALUI
EKOLABELING
I Wayan Suardana
Dinas Kehutanan Provinsi Bali
Abstract:
Indonesia is one of country that has not been able to tackle illegal logging. Increasing quantities of illegal logging results in deforestation. Deforestation is a threat to the lives of living things. To overcome this deforestation, we need a sustainable forest management. One form of sustainable forest management is ecolabeling or labeling of forest products is a form of forest inventory activities play an important role in preventing deforestation. Basically, this application is a breakthrough ecolabeling very well in the inventory of forest and prevent deforestation.
Key words: forest, deforestation, illegal logging and ecolabeling
Pendahuluan
Hutan merupakan aset besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meskipun
Kepulauan Indonesia hanya terdiri sekitar 1% dari seluruh daratan di permukaan bumi,
cadangan hutan alaminya merupakan yang terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia,
yang diperkirakan membentang seluas lebih dari 100 juta hektar. Hutan merupakan karunia
Tuhan yang tak ternilai harganya. Hutan memberikan manfaat besar untuk hidup dan
kehidupan bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia,
mailto:[email protected]
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
18
hutan merupakan sumber kehidupan. Disamping merupakan tempat penyedia makanan,
penyedia obat-obatan, juga menjadi tempat hidup bagi sebagian besar masyarakat.
Indonesia mulai memanfatkan hutan pada awal tahun 1970-an, melalui pembangunan
industri pengolahan kayu. Saat ini, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia,
dan juga produksi kayu gelondongan, kayu olahan dan bubur kayu untuk produksi kertas.
Pada tahun 2001, terdapat data statistik yang akurat, produksi kayu menyumbang 1,1 %
Gross Domestic Product Indonesia dan sekitar US$ 5,1 miliar dari hasil ekspor. Walaupun
pentingnya industri kayu untuk ekonomi nasional, sektor ini menghadapi ancaman serius
dari maraknya praktik penebangan liar.11
Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan
liar menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Selain itu,
sekitar 322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan
diakibatkan penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya
diperjualbelikan secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang
diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai
10 juta meter kubik tiap tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter
kubik.12
Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas,
kayu gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor
11 Felicity Williams, 2004, Asia Pulse Analyst, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.
12 Ibid.
http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldlhttp://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
19
sejumlah 40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi
mengenai penebangan kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata
lain, total jumlah penebangan kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di
dalamnya sekitar 50 juta meter kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan liar.
Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik
terhadap pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam
memproteksi hasil-hasil hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki
kepedulian terhadap sumber daya hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa
pula disebut dengan ekolabeling. Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan
hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk
lain. Ekolabel membantu konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan
sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen bahwa
produk yang diproduksinya ramah lingkungan.
Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik
serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya
diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau
penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara
dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel.
Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia
Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak
kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
20
kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh
masyarakat di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang
terorganisir.
Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan
perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan
bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara
tataran lokal, tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English
Indonesian Dictionary sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang
atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Blacks Dictionary, illegal artinya
forbidden by law; unlawsfuls artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log
dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan dan logging artinya
menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.13 Dari aspek implikasi semantik
illegal logging sering diartikan sebagai praktik penebangan liar. Adapun aspek integratif,
illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan kayu beserta prosesnya secara tidak sah
atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. Proses tersebut mulai dari
kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas memanen, hingga pasca pemanenan
yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan.14
Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah
penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian
kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan
13 Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua)
cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72. 14 Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu
Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang, hal. 128.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
21
oleh Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini
tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging
atau penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri
kayu yang yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan,
penghormatan terhadap hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan
mensuplai bahan baku dan kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi
berdasarkan tegakan pohon yang ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut
pandang yang berbeda baik oleh masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah
pusat.15
Sebuah penelitian dari World Bank mengestimasikan bahwa dalam 40 tahun
Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan
kayu tanpa perhatian (World Bank, 1986). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan
memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan
lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar. Hingga 1999 hingga
2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik
pertahun. Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang
ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi
ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan
tidak signifikan) yang mencapai 3 juta meter kubik, maka kita mendapatkan pasokan kayu
sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan
kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Jika diestimasi seluruh perusahaan
15 Rully Syumanda, ____, Deforestasi dan Illegal Logging, http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.
http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.htmlhttp://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
22
tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan
mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan
mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya.
Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak
ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu,
maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang
ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju
deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung
dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah.
Pada tahun 2003, meskipun pemerintah hanya memberikan jatah tebang sebesar 6,8
juta meter kubik namun Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa kapasitas
produksi industri kehutanan mencapai 73 juta meter kubik. Sedangkan kemampuan hutan
alam hanya mencapai 22 juta meter kubik pertahun dengan perincian 7 juta meter kubik dari
hutan alam dan 15 juta meter kubik dari hutan tanaman industri. Dengan figur ini dapat
dipastikan bahwa 36,4 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah illegal.
Angka ini sekali lagi menggambarkan laju deforestasi di Indonesia pada tahun yang sama
mencapai 1,825 juta hektar pertahun dengan kerugian nominal mencapai 43,680 trilyun
rupiah. Pada tahun 2006, sebagian besar hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan sudah
mulai mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga pasokan bahan baku mencapai 46,7
juta meter kubik. Namun ini pun belum mampu memenuhi kebutuhan industri yang juga
meningkat, akibat peningkatan produksi industri pulp, yang mencapai 96,19 juta meter
kubik. Dengan figur ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga
menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
23
diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap
tahunnya.
Dengan kondisi kekurangan bahan baku resmi dimulailah pembalakan besar-
besaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang
pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah
diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang
tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara
resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi
epidemis.
Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan
yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah
besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya
sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa
illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus
menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara
illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial,
illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun
sejak tahun 2001.
Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan
lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui
pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan
keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu
memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
24
illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi
yang tinggi untuk diselesaikan.
Fenomena illegal logging ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan
data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai contoh, pada
tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu
bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia
telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di
Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti
fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari
angka-angka resmi tersebut.
Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,
mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran
kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa
pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum
menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat
dihasilkan dari sumberdaya hutan.
Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya
sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus
dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah
seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya
bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat
dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan.
Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang
dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
25
hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi
pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini
kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga
swadaya masyarakat.
Konstruksi Pemikiran Ekolabeling
Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua
terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis
terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non
migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang
cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975
hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor
hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah
memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil
hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia.16
Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS
diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini.
Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang
yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku
di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m.
Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m.
Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan
16 Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
http://www.google.com/
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
26
2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum
termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m.
Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang
menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1.
Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya
sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya
untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis
akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan
aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan
diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi.
Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu
yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat
sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in
Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional
di pasar global, sebagian besar masih belum memenuhi standar yang ada.17
Menyimak dari data yang telah disajikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa
sebenarnya kualitas kayu lapis Indonesia masih berada di bawah negara pengekspor kayu
lapis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengkajian yang teliti dari negara pengimpor
mengenai asal-usul dari kayu lapis tersebut. Kayu lapis di Indonesia disinyalir berasal dari
hutan produksi yang tidak ramah lingkungan, sementara itu isu global yang semakin
17 Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%, http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.
http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
27
berkembang membawa kecenderungan bagi negara pengimpor untuk membeli kayu dari
negara yang penghasil yang ramah lingkungan.
Ekspor kayu kini juga dihadapkan dengan tingginya angka illegal logging. Buruknya
pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan
hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam
Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan
hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata
rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di
samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem
politik dan ekonomi yang korup. Kekebalan para dalang / mastermind/ aktor intelektual/
backing/ pemodal/ pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum
aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan
menjadi backing bisnis ini. Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar
(WWF/World Bank, 2005), serta banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal
ini, punya andil yang cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam
penanganan kejahatan kehutanan seperti illegal logging.
Penebangan liar menjadi isu politik utama tidak hanya di Indonesia tetapi juga di
beberapa negara importir seperti Jepang dan Inggris. Salah satu perusahaan pengolahan
kayu terbesar di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), baru-baru ini didesak untuk
membersihkan praktik penebangan liar setelah sebuah konsumen dari perusahaan besar di
Jepang memperingatkan bahwa mereka mungkin akan berhenti membeli kayu lapis dari
perusahaan tersebut. Pada perjanjian awal dengan World Wild Fund for Nature (WWF),
APP telah memperuntukkan 58.500 hektare dari area konsesinya di Riau untuk area
konservasi dan berjanji berbuat sebaik mungkin untuk menghentikan penebangan liar di
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
28
areal mereka. Pada bulan Juni 2003, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang
melarang impor produksi kayu dari Indonesia yang berasal dari penebangan liar. Larangan
tersebut akhirnya kini telah dicabut.18
Buruknya pola penegakan hukum dalam menjerat pelaku illegal logging selama ini,
semakin mendorong peran CSO yang selama ini memberi perhatian terhadap maraknya
tindak pidana illegal logging di Indonesia. Perlu adanya pergeseran yang drastis dalam pola
penanganan tindak pidana illegal logging. Strategi tersebut bisa berupa strategi penanganan
bersama antara CSO yang selama ini melakukan investigasi di lapangan dan aparat penegak
hukum yang berwenang. Baik itu dari segi pendekatan hukum, peningkatan kapasitas aparat
maupun keterlibatan masyarakat/ CSO untuk menjerat mastermind pelaku illegal logging.19
Berdasarkan hasil analisis organisasi non pemerintah FWI dan GFW, dalam kurun
waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total
tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di
Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan
sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta
keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak
dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan
hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta
hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan
sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang
18 Ibid. 19 Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/.,
diakses pada 3 Januari 2012.
http://www.icel.or.id/
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
29
sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun
2010.
Peningkatan kualitas ekspor kayu, maraknya illegal logging yang berakibat pada
deforestasi hutan memerlukan suatu manajemen penataan hutan yang profesional.
Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga
ekolabel. Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk
memprakarsai penyusunan definisi Kayu Sah. Melalui serangkaian pertemuan yang alot,
kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu. Kayu disebut sah jika kebenaran asal
kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi
angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan
memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.
Persyaratan kayu yang legal sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Ekolabel
Indonesia merupakan dasar yuridis dari pengusahaan hutan. Kekayaan alam merupakan
modal pembangunan nasional sehingga perlu digali dan dimanfaatkan secara optimal.
Penggalian kekayaan tersebut harus dilakukan dengan pengusahaan hutan secara modern di
seluruh Indonesia. Pengusahaan secara modern ini akan memberikan hasil yang sebesar-
besarnya apabila dilaksanakan pada wilayah kerja yang cukup luas sehingga merupakan
proyek produksi dan industri hasil hutan. Pengusahaan hutan tidak hanya menjadi monopoli
Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negaranya, tetapi keterlibatan pihak swasta juga
sangat diperlukan.
Pengusahaan hutan sangat diperlukan untuk membangun perekonomian bangsa dan
masyarakat. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di hutan ini harus dapat memberikan
manfaat bagi kemakmuran rakyat dan senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya
alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
30
Ekolabeling Sebagai Bentuk Inventarisasi Hutan
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari rumusan Pasal ini,
dapat dilihat bahwa kemakmuran rakyat merupakan tujuan akhir dari penggunaan kekayaan
alam sedangkan negara berfungsi sebagai pengelola bukan pemilik. Dengan demikian
negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan ini,
negara dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola atau perencanaan di bidang kehutanan
dalam menata manajerial dengan melibatkan badan-badan dunia. Tujuannya adalah untuk
mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), seperti
International Tropical Timber Organization Forest Management yang diterapkan pada
tahun 2003.20
World Wide Fund for Nature (WWF), telah menyusun target pengelolan hutan
berkelanjutan untuk seluruh dunia, yang dimulai pada tahun 1995, dan Forest Stewardship
Council (FSC), suatu badan internasional yang dapat memberikan akreditasi dan memantau
program sertifikasi, dengan maksud untuk memberikan jaminan kepada pengusahaan
pengelolaan hutan agar kegiatannya sesuai dengan standar pengelolaan hutan berkelanjutan
dilakukan oleh lembaga ekolabeling.21
Kebutuhan akan hasil kayu semakin meningkat karena kayu merupakan sumber
pemenuhan bagi kebutuhan primer manusia yakni kebutuhan akan perumahan. Pengelolaan
20 Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan
Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta, hal. 1. 21 Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 94 dan 98.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
31
terhadap jumlah dan optimalisasi penggunaan kayu ini perlu dilakukan secara tepat, cepat
dan terpadu. Oleh sebab itu lembaga-lembaga yang mengatur mengenai hasil hutan berupa
kayu mulai bermunculan. Salah satu lembaga trersebut adalah lembaga ekolabeling.
Lembaga ekolabeling ini dibentuk oleh negara-negara Barat atau negar-negara industri yang
ingin menekan negara-negara yang memiliki hutan tropis agar menghentikan pengambilan
aset hutan, karena pengambilan aset hutan yang tidak terkendali akan menimbulkan
kerusakan ekosistem.
Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan ekolabel adalah untuk
membantu konsumen membuat suatu pilihan, karena ekolabel memungkinkan adanya
perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan
melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu
produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.
Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan
pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem
sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif
pasar sebagaimana WTP bagi produk-produk berlabel atau kesempatan untuk
mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak
mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk
sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi
perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT)
GATT. (LEI, 1994).22
Tahun 1997 hingga 1998 produk kayu lapis masih merupakan komoditas andalan.
Namun mengingat meningkatnya persaingan terhadap produk kayu lapis Indonesia, maka
22 Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewarta-
kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
32
produksi kayu lapis massal (raw plywood) diarahkan pada produk kayu lapis yang sudah
diproses lebih ke hilir (processed plywood). Persaingan produk kayu-kayu tropis dengan
kayu non tropis akan semakin ketat, terlebih dengan diberlakukannya ekolabeling yaitu
penggunaan label terhadap produk yang ramah lingkungan.23 Produk-produk yang dapat
diterima di pasaran, terutama di pasar internasional adalah produk yang dihasilkan dari
pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Dengan demikian penerapan ketentuan
ekolabeling dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu proses yang perlu
terus dikembangkan.
Meningkatnya persaingan produk kayu-kayu tropis terhadap kayu non tropis dan
bahan substitusinya menuntut pengusaha kehutanan untuk mencari peluang-peluang pasar
yang baru. Untuk itu perusahaan kehutanan harus meningkatkan kualitas, efisiensi,
diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dalam menghadapi persaingan tersebut. Selain
kayu lapis, produk pulp dan kertas, produk kayu olahan lanjutan lainnya, hasil hutan non
kayu seperti gondorukem, lak dan jasa juga menjadi komoditas andalan karena
menunjukkan permintaan yang meningkat. Oleh karena itu para pengusaha juga harus
memperhatikan komoditas itu.
Diingatkan, walaupun boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan dalam
kesepakatan internasional, tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat dan walikota
yang tetap memboikot, antara lain di Jermandan Belanda. Oleh karena itu untuk pasaran
Eropa tahun 1997 hingga 1998 perlu diarahkan pada pasaran negara-negara yang
masyarakatnya tidak memboikot. Seperti telah diketahui, dalam kesepakatan internasional
yang telah dicapai dalam sidang International Tropical Timber Organization (ITTO) 1996
23 Suara Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas
Andalan,:http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
33
yang berkaitan dengan ekolabeling dan perdagangan bebas, tindakan-tindakan unilateral
(sepihak) seperti boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan.
Permasalahan yang menyangkut perdagangan kayu tropis harus diselesaikan secara
multilateral, bahkan perlu adanya tindakan-tindakan konkrit yang mendorong peningkatan
pasaran kayu tropis. Selain itu tidak dibenarkan membedakan perlakuan antara kayu tropis
dan kayu non tropis (non discriminatory treatment). Untuk hal ini telah diputuskan dalam
sidang-sidang pendukung Intergovernmental Panel on Forest (IPF) tahun 1996.
Mengenai pelaksanaan ekolabeling harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing
negara serta harus disepakati antara negara produsen dan konsumen. Sedangkan target tahun
2000 yang telah diputuskan dalam sidang ITTO tahun 1992 adalah menyangkut pengelolaan
hutan secara lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), di mana kriteria dan
indikator SFM perlu disusun dan dilaksanakan. Ekolabeling sangat penting dan dibutuhkan
oleh Indonesia. Karena sebagai anggota International Tropic Timber Organization (ITTO)
yang berkedudukan di Yokohama, Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan ekolabeling
produk kehutanan mulai tahun 2000.
Organisasi kayu tropis dunia (ITTO) yang terdiri dari negara produsen dan konsumen
kayu tropis telah menetapkan pemberlakuan ekolabel mulai tahun 2000. Artinya mulai
tahun itu seluruh kayu tropis yang diperdagangkan di dunia internasional harus berasal dari
hutan yang dikelola secara lestari. Selama beberapa waktu ini, telah disusun tolak ukur
pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan, yaitu apakah hutan dikelola secara
berkelanjutan, apa dampak pengelolaan tersebut terhadap lingkungan, keanekaragaman
hayati, erosi sungai dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah apa dampak pengelolaan
hutan itu terhadap masyarakat sekitar hutan, apakah bermanfaat atau tidak.24
24 Ibid.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
34
Tujuan dari pelaksanaan ekolabeling di Indonesia semula memang untuk menjaga
kelestarian hutan tanaman khususnya tanaman Jati di pulau Jawa yang semakin menipis.
Dengan pemberlakuan sertifikasi yang persyaratannya sangat ketat, diharapkan pencurian
kayu Jati di pulau Jawa bisa teratasi. Perhutani sendiri mulai menjadi anggota SmartWood
sekitar tahun 1990 lalu. Pada awalnya semua kawasan hutan tanaman Perhutani disertifikasi.
Namun sekitar tahun 1996-1997 dilakukan perubahan kebijakan dari Rainforest Alliance,
yaitu sertifikasi diberikan pada tingkat KPH akibat tidak konsistennya kinerja antar KPH
dalam sistem Perhutani. Selain Perhutani, di Jateng juga terdapat 32 pengusaha sekaligus
eksportir kayu juga menjadi anggota SmartWood. Semula proses kerjasama antara
pengusaha sekaligus eksportir kayu, Perhutani dan pihak Rainforest Alliance berjalan lancar
dan saling pengertian. Sehingga pihak Rainforest Alliance juga memberikan kepercayaan
besar kepada anggotanya untuk mencetak sendiri label SmartWood dengan memberikan
master label SmartWood kepada para pengusaha bersangkutan. Ini dilakukan mengingat
terbatasnya jumlah personil Rainforest Alliance yang berada di Indonesia. (Kedaulatan
Rakyat, 2001-09-20)25
Lembaga ekolabeling Indonesia berfungsi untuk menilai implementasi prinsip-
prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari (hutan alam dan hutan produksi) dengan
pemberian sertifikat ekolabel pada produk hasil hutan untuk menjamin bahwa pengelolaan
hutan memenuhi standar tertentu. Produk terbuat dari kayu yang berasal dari pengelolaan
hutan berkelanjutan, dan proses produksi hutan berkelanjutan. Standar pengelolaan hutan
berkelanjutan merupakan baku mutu yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan untuk
memperoleh sertifikat ekolabel.
25 Redaksi,___, Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian Kayu,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
35
Sertifikat ekolabel di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan
informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam
bentuk sertifikat ekolabel yang menunjuk bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari
konsesi hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Fungsi lembaga ekolabel ini adalah
menilai penerapan sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan prinsip kelestarian
lingkungan hidup yang secara langsung dikaitkan dengan nilai tambah pedagang kayu.26
Sertifikasi adalah suatu proses pembuktian independen bahwa manajemen hutan telah
mencapai tingkatan yang diisyaratkan oleh suatu standar tertentu. Pada beberapa kasus, bila
digabungkan dengan suatu rangkaian sertifikasi perlindungan, sertifikasi memungkinkan
aliran produk dari suatu hutan tertentu yang telah memiliki sertifikat diberi ecolebel.
Sertifikasi telah berkembang dengan luas sebagai respons terhadap konsensus internasional
bahwa manajemen hutan lestari merupakan persoalan yang sangat signifikan. Keberhasilan
sangat tergantung kepada para konsumen, investor dan pihak-pihak lain yang menyediakan
insentif bagi manajer hutan untuk menerapkan manajemen hutan lestari, dengan memilih
mebeli produk-produk dari dan menanamkan investasi pada hutan-hutan yang dikelola
dengan baik. Ada dua faktor penting agar proses sertifikasi dapat dipercaya:
a. Isi standar sertifikasi harus dipublikasikan untuk masyarakat dan diterima secara luas.
b. Lembaga sertifikasi (pemberi sertifikasi) harus terbukti independen dan memiliki
kemampuan untuk menunjukkan bahwa konsumen benar-benar memenuhi standar.27
26 Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas
Mulawarman, Samarinda, hal. 28. 27 Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 35.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
36
Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah
memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta
peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah
mengingkat secara signifikan dari 4 % tahun 1980an menjadi 8,7 % pada pertengahan tahun
1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak
langsung terkait dengan berbagai industri perkayuan seperti industri pulp dan paper,
furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh
dan lengkap.
Penerapan sertifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan
dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembaga-lembaga
independen penilainya (LEI dan FSC).Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan
hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya:
a. memperbaiki efisiensi pemanfaatan sumber daya,
b. mendorong daya saing (kompetisi) untuk pasokan bahan baku,
c. melaksanakan rehabilitasi hutan dan mendorong partispasi kelompok-kelompok kepentingan dalam pengelolaan hutan lestari,
d. menerapkan secara konsiten sertifikasi hutan dan ekolabeling, dan
e. pemerintah daerah sebagainya menerima proporsi yang lebih besar terhadap pendapatan dan royalti yang dikumpulkan pemerintah.28
Semua produk kehutanan dari Indonesia yang akan diekspor ke Jepang harus
mempunyai sertifikat dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Kebijakan ini diambil
pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Jepang dalam
rangka memperketat pengawasan terhadap kegiatan penebangan liar dan ekspor-impor
produk hutan yang akan mulai berlaku pada April tahun depan.
28 Subarudi,___, Forestry and Wood Industry on The Move,
http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.
http://puslitsosekhut.web.id/index.php
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
37
Kebijakan ini diambil Jepang setelah pada pertemuan G8 di Inggris, Pemerintah
Jepang menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap penebangan liar (illegal logging)
yang terjadi di Jepang maupun di luar Jepang yang berkaitan dengan ekspor produk kayu ke
Jepang. Indonesia mengekspor produk-produk yang terkait dengan kehutanan ke Jepang
berupa kayu dan produk kayu, kertas dan produk kertas, serta pulp dari kayu, yang pada
tahun 2004 nilainya mencapai USD1,35 milliar.29 Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI)
menentang penghentian penebangan kayu, karena sulit dipertanggungjawabkan secara
ekonomi, ekologi dan sosial. Kalau penghentian penebangan kayu diberlakukan, Indonesia
akan mengalami krisis neraca perdagangan karena harus mengimpor bahan baku kayu,
sehingga ekspor barang yang berbahan baku kayu Indonesia menurun sekitar US$ 5
miliar.30
Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang memegang peranan penting dalam
mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan inventarisasi hutan. Secara teknis
inventarisasi kegiatan kehutanan menurut Abubakar M. Lahjie adalah membentuk dasar
untuk manajemen hutan lestari. Inventarisasi ini merupakan penilaian kuantitas dan kualitas
sumber daya hutan yang btersedia untuk manajemen. Inventarisasi sumber daya hutan pada
alam dilakukan untuk menilai sumber daya kayu, hasil hutan nir kayu, seperti perambat,
buah-buahan, kacang-kacangan, bambu dan satwa liar.
29 Redaksi, 2005, Ekolabeling ke Jepang, http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.
30 Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak Ekonomi, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses pada 3 Januari 2012.
http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=indhttp://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
38
Dalam melakukan inventarisasi hutan perlu mengetahui manfaat yang terdapat dalam
inventarisasi. Pelaksanaan inventarisasi umumnya berarti pengukuran pohon-pohon
(walaupun mungkin juga mencakup hasil hutan nir kayu dan aspek-aspek lain, tergantung
pada informasi yang diperlukan). Suatu sampel pohon diukur dan hasil-hasil pengukuran
tersebut di diekstrapolasikan atau dijadikan dasar untuk mengestimasi pohon-pohon lainnya
di hutan tersebut dengan mempertimbangkan tipe dan luas. Pengambilan sampel dari
proporsi pohon yang cukup besar untuk mewakili seluruh hutan dengan akurat akan
memerlukan biaya yang mahal. Tergantung pada sasaran inventarisasi mungkin saja untuk
menghimpun informasi yang sama pentingnya dari sumber-sumber lain seperti informasi
yang bermanfaat dapat dihimpun dari citra satelit yang ada atau foto udara, perbandingan
dengan tegakan-tegakan yang serupa yang telah diinventarisasi dan hasil-hasil penelitian
lainnya.
Secara teknis kegiatan inventarisasi hutan menjadi tipe-tipe utama inventarisasi adalah
inventarisasi pra-pemanenan dan inventarisasi pasca-pemanenan (yang dapat bersifat statis
atau dinamis) dan survei persediaan tegakan. Inventarisasi pra-pemanenan bertujuan untuk
mengumpulkan informasi mengenai spesies-spesies yang terdapat dihutan, berapa
jumlahnya dan areal distribusinya serta kisaran ukurannya (ukuran/ kelas/ distribusi).
Sementara survei persediaan tegakan tujuannya adalah penarikan sampel 100 persen
terhadap semua pohon yang dapat dipanen dengan melebihi batas diameter tertentu. Survei
ini dilaksanakan sebelum pemanenan untuk membantu perencaan kegiatan pemanenan.
Semua pohon komersial dengan ukuran yang dapat dipanen, dipetakan dan diberi label.
Penutup
Illegal logging berakibat pada deforestasi hutan. Untuk menanggulangi kerusakan
hutan akibat illegal logging maka diperlukan suatu manajemen penataan hutan yang
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
39
profesional. Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui
suatu lembaga ekolabel. Ekolabeling atau penandaan hasil hutan ini merupakan bentuk
kegiatan inventarisasi hutan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya
kerusakan hutan. Kelestarian hutan merupakan tanggung jawab semua pihak karena hutan
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Penerapan ekolabeling hendaknya diikuti dengan sumber daya manusia yang
berkualitas. Artinya kegiatan ekolabeling ini bukan hanya sekadar pada tahap ekolabel saja
namun juga harus disertai dengan pengawasan yang intensif mengenai hasil hutan yang
sudah diekolabel. Pengawasan ini tentunya memerlukan koordinasi wewenang yang tegas
agar dalam pelaksanaan tersebut nantinya tidak terjadi wewenang yang tumpang tindih.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
40
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekofoerestri Dalam Panduan Hutan Lestari, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Bambang Pamulardi, 1995, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang..
Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua) cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta.
INTERNET
Amiluddin dan Isang Gonarsyah, _____, Analisis Ekonometrika Keragamanan Pasar Kayu Lapis Indonesia dan Dampak Kemungkinan Diberlakukannya Liberalisasi Perdagangan, http://www.google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Drajad H Wibowo, 2003, Larangan Penebangan Kayu di Jawa Timbulkan Gejolak Ekonomi, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hidup, diakses pada 3 Januari 2012.
Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%, http://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_form=, diakses pada 3 Januari 2012.
Felicity Williams, 2004, Asia Pulse Analyst, http://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldl, diakses pada 3 Januari 2012.
Icel, 2006, Konferensi Nasional Pemberantasan Illegal Logging, http://www.icel.or.id/., diakses pada 3 Januari 2012.
Muhlasin, 2008, Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.
http://www.google.com/http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&rubrik=Lingkungan+Hiduphttp://bataviase.co.id/bataviase/search/?search_block_formhttp://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldlhttp://www.addthis.com/landing/?to=ffext&utm_source=el&utm_medium=link&utm_content=ATTool_orig&utm_campaign=AT_tooldlhttp://www.icel.or.id/http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
41
Redaksi, 2005, Ekolabeling ke Jepang, http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.
Redaksi,___, Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian Kayu, http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012.
Rully Syumanda, ____, Deforestasi dan Illegal Logging, http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.html, diakses pada 3 Januari 2012.
Suara Pembaruan, 2009, Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas Andalan,http://google.com, diakses pada 3 Januari 2012.
Subarudi,___, Forestry and Wood Industry on The Move, http://puslitsosekhut.web.id/index.php, diakses pada 3 Januari 2012.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
http://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=indhttp://www.fkkm.org/Warta/index2.php?terbitan=noe&action=detail8&page=13#top&lang=indhttp://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130http://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.htmlhttp://rullysyumanda.org/natural-resources/forest/moratorium-logging-a-forest-conversion/54-deforestasi-dan-illegal-logging.htmlhttp://puslitsosekhut.web.id/index.php
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
42
PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERAN NEGARA DALAM
PERLINDUNGAN PEKERJA
I Wayan Gde Wiryawan
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstract:
The existence of Pancasila Industrial Relations in Indonesia, which consists of three parties, namely cedar workers, employers and the government put the governments role as a representative of the State in a strategic position as a regulator in an attempt to create a harmonious industrial relations. Changes in the state system in Indonesia from the centralized system in the New Order into a decentralized system directly affects the political constellation changes, economic, social and democratic culture becomes more focused on optimizing the role of the State to make the protection of workers' rights in addition to the protection of employers in running business. Autonomy that arise as a result of applying the principle of decentralization in the state system in Indonesia has been explicitly set on the delegation of authority for the protection of workers from central to local government should make the role of local governments to protect workers more optimal because local governments have been aware of the situation and working conditions in the region. The existence of local regulations and policies are directed at the protection of workers within the framework of regional autonomy as well as a form of state intervention in industrial relations between employers and workers parties that became the essence of the theory of the welfare state.
Key words: Pancasila industrial relations, labor protection, regional autonomy
Pendahuluan
mailto:[email protected]
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
43
Pada masa orde baru, hubungan industrial ditandai oleh dominasi negara terhadap
pekerja yang juga dikenal. dengan "korporatisme eksklusioner negara"31 dengan sistem
hubungan perburuhan yang bersifat kaku. Dominasi negara dalam konsepsi hubungan
industrial pada masa orde baru Orde Baru yang memberi perhatian yang sangat besar
terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasional dilakukan dengan
pembatasan atau pengekangan kehidupan politik yang demokratis sehingga berimplikasi
pada pengekangan hak-hak pekerja. Kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah
Orde Baru tersebut menjadi efektif ditunjang dengan kebijakan yang menempatkan stabilitas
nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace.
Pemerintah orde baru menjadikan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) sebagai
dasar dalam kebijakan ketenagakerjaan yang pada masa orde baru ditandai oleh kontrol
yang kuat dari negara terhadap pekerja, intervensi negara yang dominan dalam struktur
hubungan industrial (tidak melepasnya ke mekanisme pasar) dengan melanggar hak-hak
dasar dari pekerja adalah fenomena yang mendominasi kebijakan pada masa orde baru yang
berakibat pada ketiadaan perlindungan terhadap pekerja yang telah diatur secara
konstitusional.
Secara konstitusional negara Indonesia mengakui bahwa tiap warga negara
mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sesuai dengan pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dengan diaturnya perlindungan
terhadap pekerja secara konstitusional seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah untuk
setiap kebijakannya yaitu diarahkan dalam rangka perlindungan terhadap pekerja, karena
31 Vedi R. Hadiz, Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru, Majalah Prisma No.7, Juli
1990, hal. 1. Korporatisme Ekslusioner diperkenalkan oleh Alfred Stepan untuk menjelaskan upaya kelompok elite dalam masyarakat untuk meredam dan mengubah bentuk "kelompok-kelompok kelas pekerja yang menonjol" melalui kebijakan yang bersifat koersi. la berbeda dengan "korporatisme inklusioner" yang lebih bercirikan akomodasi dan inkorporasi kelompok-kelompok tersebut oleh negara.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
44
menurut Hilaire Barnett Coustutionalisme is the doctrine which governs the legitimacy of
government action. By constituonalisme is meant - in relation to constituons written and
unwitten conformity with the broad philosophical values within a state.32
Konsepsi Hubungan Industrial Pancasila yang terdiri dari pihak pengusaha, pekerja
dan pemerintah telah menempatkan posisi pemerintah untuk memerankan posisi sebagai
pelindung kepentingan kedua belah pihak dalam sebuah relasi yang mengedepankan prinsip
simbiosis mutualisme dan saling membutuhkan. Melalui peraturan perundang-undangan
pemerintah memainkan perannya pada dua kepentingan yang saling berlawanan, dan
mempertahankan tuntutan masing-masing menjadikan intervensi pemerintah sebagai suatu
keharusan.
Adanya internvensi dari pemerintah yang mewakili negara dalam hubungan industrial
menjadi wujud nyata dari konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang dianut oleh
Negara Republik Indonesia. Ide dasar dari tipe negara verzorgingsstaat atau welfare
state tersebut adalah negara menjamin kesejahteraan umum para warganya dengan cara
menyusun suatu program kesejahteraan sosial (de overheid stelt zich garant voor het
collectieve sociale welzijn van haar burgers door middel van een programma van sociale
voorzieningen).33
Negara kesejahteraan (welfare state) memberikan gambaran bagaimana keadilan dan
kesejahteraan diwujudkan dalam masyarakat. Secara tidak langsung, fungsi hukum
diarahkan sebagai alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang dalam
perspektif negara kesejahteraan adalah menciptakan jaminan perlindungan kepada setiap
32 Hilaire Barmett, 2000, Constituonal & Administrative Law, fourth edition, Landon, Sydney, hal. 5.
33 Schuyt & Veen (1986) dalam Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta hal. 19.
-
I N. Ngr Suwarnatha. Kebijakan...
45
lapisan masyarakat atas pemenuhan kebutuhan masing masing lapisan masyarakat tidak
terlaksana pada masa orde Baru.
Berakhirnya Orde Baru dengan lahirnya gerakan reformasi 1998 yang bertujuan
untuk melakukan perubahan disegala bidang diantaranya dalam sistem pemerintahan daerah
dan hubungan industrial. Reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
didasarkan pada adanya pengaturan secara konstitusional penyelenggaraan pemerintah
daerah dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur bahwa:
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut asas otonomi daerah
dalam UUD 1945 berakibat pada terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tah