Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Fasilitator dalam Pelaksanaan … · 2016. 8. 29. · 2 . lainnya....

42
1 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA FASILITATOR DALAM PERJANJIAN KERJA PNPM MANDIRI PERDESAAN 1. HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM Menurut Sudargo Gautama, perlindungan hukum adalah tindakan negara terhadap warga negara yatiu termasuk keamanan warga negara dan haknya. Perlindungan hukum bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa (preventif) dan untuk menyelesaikan masalah (represif). 1 Dalam Black’s Law Dictionary, menjelaskan perlindungan hukum yaitu: The equal protection of the law of a state in extended to persons within its jurisdictions, within the meaning of the constitutional requirement, when its court are open to them on the same conditions as to others, with like rules of evidence and modes of procedure, for the security of their persons and property, the prevention and redress of wrongs, and the enforcement of contracts; when they are subjected to no restrictions in the acquisition of property, the enjoyment of personal liberty, and the pursuit of happiness, which do not generally affect other; when the are liable to no other or greater burdens and charges than such as are laid upon others; and when no different or greater punishment is enforced againt them for a violation of the laws. State v. Montgomery, 94 Me. 192,47 A.165.” 2 Maksud dari pengertian di atas adalah persamaan akan adanya perlindungan yang sama terhadap hukum suatu negara, diberikan secara meluas kepada seluruh warga negara termasuk hak umum (dalam arti konstitusional). Pengadilan terbuka dalam kondisi atau keadaan yang sama untuk semua warga negara, seperti contohnya, peraturan mengenai peraturan atas barang bukti dan prosedur-prosedur 1 Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, 1983, hlmn., 25. 2 Campbell Black, Henry, M.A, Black’s Law Dictionary, St., Paul Minn West Pusblishing Co., 1968, yang dikutip dalam Skripsi R. Wahyu Mukti, Fakultas Hukum UKSW, 2004.

Transcript of Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Fasilitator dalam Pelaksanaan … · 2016. 8. 29. · 2 . lainnya....

  • 1

    BAB II

    PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA FASILITATOR DALAM

    PERJANJIAN KERJA PNPM MANDIRI PERDESAAN

    1. HAKIKAT PERLINDUNGAN HUKUM

    Menurut Sudargo Gautama, perlindungan hukum adalah tindakan negara

    terhadap warga negara yatiu termasuk keamanan warga negara dan haknya.

    Perlindungan hukum bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa (preventif)

    dan untuk menyelesaikan masalah (represif).1

    Dalam Black’s Law Dictionary, menjelaskan perlindungan hukum yaitu:

    “The equal protection of the law of a state in extended to persons

    within its jurisdictions, within the meaning of the constitutional

    requirement, when its court are open to them on the same conditions

    as to others, with like rules of evidence and modes of procedure, for

    the security of their persons and property, the prevention and redress

    of wrongs, and the enforcement of contracts; when they are subjected

    to no restrictions in the acquisition of property, the enjoyment of

    personal liberty, and the pursuit of happiness, which do not generally

    affect other; when the are liable to no other or greater burdens and

    charges than such as are laid upon others; and when no different or

    greater punishment is enforced againt them for a violation of the laws.

    State v. Montgomery, 94 Me. 192,47 A.165.”2

    Maksud dari pengertian di atas adalah persamaan akan adanya perlindungan

    yang sama terhadap hukum suatu negara, diberikan secara meluas kepada seluruh

    warga negara termasuk hak umum (dalam arti konstitusional). Pengadilan terbuka

    dalam kondisi atau keadaan yang sama untuk semua warga negara, seperti

    contohnya, peraturan mengenai peraturan atas barang bukti dan prosedur-prosedur

    1 Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, 1983, hlmn., 25.

    2 Campbell Black, Henry, M.A, Black’s Law Dictionary, St., Paul Minn West

    Pusblishing Co., 1968, yang dikutip dalam Skripsi R. Wahyu Mukti, Fakultas Hukum UKSW,

    2004.

  • 2

    lainnya. Perlindungan hukum untuk keamanan warga negara dan hak miliknya,

    pencegahan dan perbaikan kesalahan serta mengenai perjanjian kontrak.

    Hal tersebut muncul ketika warga negara menjadi subjek ketidakterbatasan

    dalam kepemilikan/penguasan akan hak milik seseorang dan di saat hak untuk

    menikmati kebebasan pribadi dan mendapatkan kebahagiaan untuk

    mempengaruhi pihak lainnya. Serta ketika beban dan tuntutan dilimpahkan atau

    dikenakan kepada orang lain yang tidak bersalah dan juga ketika tidak adanya

    pembedaan di saat hukuman berat dipaksakan kepada mereka karena adanya

    pelanggaran hukum. Kemudian dijelaskan lebih lanjut:

    “Equal protection of the law means that equal protection and security shall

    be given to all under like circumstances in his life, his liberty and his

    property, and in the pursuit of happiness, and in the exemption from any

    greater burdens and charges than are equally imposed upon all others

    under like circumstances (Sovereign Camp, W.O.W., v. Casodos, D.C.N.M.,

    Supp. 989, 994).”3

    Persamaan akan adanya perlindungan hukum berarti bahwa persamaan

    perlindungan dan keamanan terhadap warga negara harus diberikan kepada semua

    warga negara dalam tiap kondisi dan situasi, dalam mendapatkan kemerdekaan

    dan hak milik mereka dalam mendapatkan kebahagiaan dan pembebasan dari

    segala beban kesalahan dan tuntutan yang dijatuhkan atau dibebankan kepada

    semua dalam kondisi dan situasi yang sama.

    Senyatanya dalam Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

    secara substansial memuat pengakuan terhadap hak asasi manusia, yaitu tidak lain

    mengenai pengakuan dan penjaminan atas hak-hak setiap orang sebagai bentuk

    suatu perlindungan, sebagai yang termuat dalam Pasal 28D yang menyatakan

    3 Ibid.

  • 3

    “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

    hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

    Selanjutnya, dalam bidang ketenagakerjaan, perlindungan hukum terhadap

    tenaga kerja bertujuan untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja

    secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak

    yang lemah. Dengan pengertian, pengusaha atau pemberi pekerjaan wajib

    melaksanakan ketentuan perlindungan sesuai kaidah atau ketentuan peraturan

    perundang-undangan, bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan

    untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta

    perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan

    pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam UUD 1945 disebutkan

    bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

    layak bagi kemanusiaan”, termuat dalam Pasal 27 ayat (2). Selanjutnya Pasal 28D

    ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan

    dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

    Perlindungan pekerja dapat dilakukan dengan jalan memberikan tuntunan,

    maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia,

    perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang

    berlaku dalam lingkungan kerja itu. Perlindungan kerja ini akan mencakup:4

    1. Norma keselamatan kerja, yang meliputi keselamatan kerja yang

    bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja, bahan dan proses

    pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan, serta cara-cara

    melakukan pekerjaan;

    4 Lalu Husni, Pengantar Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, RajaGrafindo

    Persada, Jakarta, 2004, hlmn., 96.

  • 4

    2. Norma kesehatan kerja dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang

    meliputi, pemeliharaan dan mempertinggi kesehatan pekerja,

    dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, dan perawatan

    tenaga kerja yang sakit;

    3. Norma kerja yang meliputi, perlindungan terhadap tenaga kerja yang

    bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti,

    tenaga kerja wanita dan anak, kesusilaan, ibadah menurut agama

    keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban

    sosial kemasyarakatan, dan sebagiannya guna memelihara kegairahan

    dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi, serta

    menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral;

    dan

    4. Kepada tenaga kerja yang mendapatkan kecelakaan dan/atau

    menderita penyakit akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan

    dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan/atau penyakit akibat pekerjaan,

    ahli warisnya berhak mendapat ganti rugi.

    Ruang lingkup perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh menurut

    Undang-Undang Ketenagakerjaan meliputi:5

    1. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding

    dengan pengusaha;

    2. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;

    3. Perlindungan khusus bagi pekerja perempuan, anak, dan penyandang

    cacat; dan

    5 Ibid.

  • 5

    4. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga

    kerja

    Dengan pengertian, memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja

    berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan

    penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan

    aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang

    bersangkutan, termasuk pengakuan yang sama terhadap penyandang cacat. Dan

    mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban

    pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit,

    dan aliran politik.

    Menurut Imam Soepomo dalam Zainal Asikin perlindungan tenaga kerja

    dibagi menjadi 3 macam yaitu:6

    1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

    penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu

    bekerja diluar kehendaknya;

    2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

    jaminan kesehatan kerja dan kebebasan berserikat dan perlindungan

    hak untuk berorganisasi; dan

    3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

    keamanan dan keselamatan kerja.

    Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan

    sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan

    pelanggaran, akan dikenakan sanksi.

    6 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

    hlmn., 96.

  • 6

    Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap

    tenaga kerja diartikan sebagai pengakuan dan jaminan yang diberikan oleh hukum

    dalam satu hubungan industrial yang menekankan kemitraan dan kesamaan

    kepentingan, sehingga dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja

    secara optimal, melindungi hak-hak dan kepentingan pekerja, menjamin

    kesempatan kerja dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, menciptakan

    hubungan kerja yang harmonis, menciptakan ketenangan bekerja dan ketenangan

    berusaha, meningkatkan produktivitas perusahaan, memberikan kepastian hukum

    bagi pekerja dan pada akhirnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang

    sejahtera, adil dan makmur, dan merata baik materiil dan spiritual.

    2. KAIDAH PERJANJIAN KERJA

    Dalam subbab ini, akan diuraikan mengenai kaidah perjanjian kerja, dan

    uraian akan menyangkut, yang pertama adalah tinjauan umum mengenai

    perjanjian kerja, atau biasa disebut dengan kontrak, yang di dalamnya dibahas

    tentang peristilahan dan pengertian tentang kontrak, asas-asas hukum kontrak,

    syarat sahnya kontrak, unsur-unsur kontrak, dan hapusnya suatu kontrak.

    Lalu, pembahasan kedua akan menyangkut tinjauan tentang kontrak yang

    lebih spesifik, yaitu kontrak kerjasama. Siapakah para pihak dalam kontrak

    tersebut, bagaimana pelaksanaannya, apakah yang dimaksud dengan prestasi dan

    wanprestasi, serta tentang ganti kerugian, semuanya akan dikupas di subbab ini.

    2.1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja atau Kontrak

    Seperti telah dinarasikan di atas, bahwa pembahasan akan dilakukan mulai

    dari umum lalu ke bagian yang lebih khusus. Agar pembahasan dan analisis dapat

  • 7

    dengan mudah dipahami, maka Penulis akan menguraikan atau membahas dan

    menganalisa secara detail bagian per bagian. Diantaranya adalah sebagai berikut:

    2.1.1. Peristilahan dan Pengertian

    Istilah kontrak dan perjanjian dalam penggunaannya tidak memiliki

    pengertian yang berbeda, baik dalam teori maupun dalam praktik, sekalipun ada

    pendapat lain yang secara teoritis menyimpulkan bahwa perjanjian itu dinamakan

    juga persetujuan bukan kontrak. Dengan dasar pemikiran bahwa karena dalam

    perjanjian itu terdapat dua pihak yang setuju, sehingga perjanjian dan persetujuan

    memiliki pengertian yang sama, sedangkan kontrak lebih sempit karena ditujukan

    kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.7

    Walaupun demikian, ada pendapat ahli yang tidak membedakan kontrak dan

    perjanjian, dengan dasar pemikiran bahwa pembagian antara hukum kontrak dan

    hukum perjanjian tidak diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), karena dalam BW

    hanya mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-

    undang.8

    Pengertian kontrak berdasarkan Pasal 1313 BW bahwa, ”Suatu perjanjian

    adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

    terhadap satu orang lain atau lebih”. Pengertian ini sangat luas dan tidak

    lengkap, karena kata “perbuatan” mencakup juga perjanjian dalam hukum

    keluarga dan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya tidak lengkap karena kata

    “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”,

    7 Subekti, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika,

    2009, hlmn., 14. 8 Ibid.

  • 8

    maka hanya ditujukan pada kontrak yang sepihak saja, padahal seharusnya juga

    meliputi kontrak dua pihak.9

    Berdasarkan hal tersebut maka pengertian kontrak menurut Penulis adalah

    suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang

    saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

    2.1.2. Asas-Asas Hukum Kontrak

    Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta

    pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol

    apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau

    prinsip dalam konteks operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis serta

    pijakan asas, ibarat manusia yang “buta dan lumpuh”. Terkait dengan pengertian

    “asas” atau “prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut “beginsel” atau

    “principle” (bahasa Inggris) atau dalam bahasa Latin disebut “principium” (yang

    berasal dari dua kata yaitu, “primus” artinya pertama, dan “capere” artinya

    mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti bahwa, hal tersebut

    merupakan sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau

    kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.10

    Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya

    mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum

    merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum,

    yang artinya bahwa posisi asas hukum adalah sebagai meta-norma hukum, yang

    berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian

    9 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 2005, hlmn.,

    18. 10

    Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

    Komersial, Jakarta: Kencana, 2010, hlmn., 21.

  • 9

    fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis bagi keberadaan

    norma hukum.11

    Dapat diketahui bahwa, asas merupakan latar belakang dari peraturan

    konkret, karena asas sebagai dasar pemikiran umum dan abstrak yang mendasari

    lahirnya setiap peraturan hukum. Dalam hukum kontrak terdapat beberapa asas-

    asas, yaitu sebagai berikut:12

    a. Asas Konsensualisme

    Asas ini berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Menurut asas ini

    setiap perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Suatu perjanjian

    harus lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua

    pihak mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Kesepakatan tidak

    boleh dengan adanya paksaan, tipuan, kekhilafan, atau ketidaksadaran. Sejak pada

    detik kesepakatan itulah para pihak telah terikat dengan suatu aturan atau

    hukum.13

    Asas ini terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1), yang menjelaskan

    bahwa, “Salah satu syarat perjanjian adalah sepakat antara kedua belah pihak”.

    Pihak-pihak yang sudah sepakat berarti terikat pula pada aturan hukum atau

    undang-undang. Hal ini diatur pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang

    menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

    undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

    Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak yang telah

    membuat perjanjian yang sah secara hukum berarti telah membuat undang-undang

    11

    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlmn., 45. 12

    Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009,

    hlmn., 79. 13

    Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perjanjian dalam Kebutuhan Masyarakat,

    Bandung, PT. Remaja Roskarya, 1995, hlmn., 114-115.

  • 10

    bagi dirinya sendiri. Konsekuensi dari suatu undang-undang adalah para pihak

    terikat dan wajib memenuhi isi dari suatu undang-undang, dan pemenuhannya

    dapat dipaksakan serta memiliki sanksi bagi yang melanggar. Hal ini juga berlaku

    dalam perjanjian, karena perjanjian kedudukannya dianggap sama dengan undang-

    undang.14

    b. Asas Kebebasan Berkontrak

    Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat diartikan bahwa, asas ini

    memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian,

    meliputi sebagai berikut:15

    1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan kontrak atau tidak;

    2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan kontrak;

    3) bebas untuk menentukan isi atau klausul kontrak;

    4) bebas untuk menentukan bentuk kontrak; dan

    5) kebebasan-kebebasan lainnnya yang tidak bertentangan dengan

    peraturan perundang-undangan.

    c. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

    Maksud asas ini adalah setiap orang yang membuat kontrak terikat untuk

    memenuhi kontrak, karena kontrak itu mengandung janji-janji yang harus

    dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya

    undang-undang. Lebih lanjut, walaupun terhadap sesuatu yang tidak diatur dengan

    tegas dinyatakan dalam isi perjanjian, tetapi memiliki kekuatan mengikat seperti

    kebiasaan, kepatuhan, dan kepatutan. Hal ini diatur dalam Pasal 1339

    KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk

    14

    Ibid. 15

    Ibid.

  • 11

    hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala

    sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

    undang-undang”. Selain itu, diatur pula pada Pasal 1347 KUHPerdata,

    menyebutkan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,

    meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.”16

    d. Asas Iktikad Baik

    Asas ini dijelaskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yaitu: “Suatu

    perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Jadi asas ini mengatur niat

    para pihak dalam membuat perjanjian, bahwa segala perjanjian harus dilandasi

    dengan iktikad baik, iktikad baik dalam pelaksanaan isi perjanjian maupun iktikad

    baik dalam arti kejujuran pihak yang membuatnya.17

    e. Asas Keseimbangan

    Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan di dalam disertasinya diberi

    makna dalam dua hal, yaitu pertama, Asas keseimbangan sebagai asas etikal yang

    bermakna suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan

    seimbang”. Makna keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak

    (berdasar pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan). Dalam batasan

    kedua sisi tersebut, keseimbangan dapat diwujudkan.18

    Kedua, asas keseimbangan

    sebagai asas yuridikal artinya asas keseimbangan dapat dipahami asas yang layak

    16

    Ibid. 17

    Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perjanjian dalam Kebutuhan Masyarakat,

    Bandung, PT. Remaja Roskarya, 1995, hlm., 108-113. 18

    Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum

    Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlmn.,

    304-305.

  • 12

    atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam

    hukum kontrak Indonesia.19

    Berdasarkan pernyataan di atas, disimpulkan bahwa, asas keseimbangan

    dapat dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam

    menentukan hak dan kewajibannya dalam perjanjian, sehingga ketidakseimbangan

    posisi akan menimbulkan ketidakadilan.

    2.1.3. Syarat Sahnya Kontrak

    Syarat sahnya kontrak diatur berdasarkan Pasal 1320 BW, yaitu:

    1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

    2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    3) suatu hal tertentu; dan

    4) suatu sebab yang halal.

    Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif, disebabkan kedua

    syarat tersebut mengenai subjek kontrak. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut

    syarat objektif, disebabkan mengenai objeknya kontrak. Kesepakatan para pihak

    merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat

    terjadi dengan berbagai cara, tetapi yang penting adalah adanya penawaran dan

    penerimaan atas penawaran tersebut.20

    Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak

    yang mengandung usul untuk mengadakan kontrak, sedangkan penerimaan

    (aanfarding; acceptatie; acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain

    yang ditawari.21

    19

    Ibid., hlmn., 307. 20

    Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlmn., 160. 21

    Ibid, hlmn., 162.

  • 13

    Kesepakatan yang dicapai dapat mengalami kecacatan atau cacat kehendak

    apabila kesepakatan terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, dan

    penipuan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1321 BW, dan penyalahgunaan

    keadaan yang tidak diatur dalam BW tetapi muncul dalam perkembangan hukum

    kontrak.

    Terdapat beberapa teori terjadinya kesepakatan, antara lain:22

    a. Teori Pengiriman

    Teori ini mengajarkan bahwa, sepakat terjadi pada saat kehendak yang

    dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

    b. Teori Penerimaan

    Teori ini mengajarkan bahwa, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang

    menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.23

    c. Teori Kehendak

    Teori ini menitikberatkan kepada kehendak, sehingga pernyataan yang tidak

    sesuai dengan kehendak tidak mengikat dan karena itu tidak mungkin

    menimbulkan perjanjian. Teori ini tidak dianut secara murni tetapi diperhalus

    untuk memenuhi rasa keadilan, maka teori kehendak ini diperlengkap dengan

    teori bahwa yang menimbulkan bahaya akan adanya salah paham pada pihak lain

    harus menanggung resiko kerugian dari pihak lain.

    Mengenai kecakapan, pada dasarnya semua orang yang sudah dewasa dan

    sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum, sedangkan orang-orang yang tidak

    cakap menurut hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1330 BW, yaitu

    orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

    22

    Ibid. 23

    Ibid, hlmn., 164.

  • 14

    Sedangkan ketentuan mengenai orang-orang perempuan dalam hal-hal yang

    ditetapkan oleh undang-undang adalah orang yang tidak cakap hukum, tetapi

    dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia

    Nomor 3 Tahun 1963, maka orang-orang perempuan tersebut dianggap cakap

    hukum, sehingga dalam hal melakukan perbuatan hukum tidak perlu lagi dengan

    bantuan suaminya.24

    Ketentuan tidak cakap hukum dalam Pasal 1330 BW mengenai semua

    orang-orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-

    perjanjian tertentu, sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap

    hukum, tetapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu.

    Tidak cakap dan tidak berwenang adalah sesuatu yang berbeda, yang

    dimaksud tidak cakap adalah mengenai seluruh kedudukan hukum seseorang,

    sedangkan yang tidak berwenang hanya mengenai beberapa tindakan hukum yang

    tidak dapat dilakukan seseorang. khususnya mengenai ketentuan kedewasaan

    seseorang yang dalam istilah BW adalah kebelumdewasaan, yang adalah orang

    yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.25

    Hal tertentu merupakan objek perjanjian berupa barang dan jasa atau tidak

    berbuat sesuatu. Barang yang dimaksud sebagaimana yang diatur dalam Pasal

    1332-1335 BW, yaitu benda-benda yang telah ada maupun yang akan ada di

    kemudian hari, dan jasa yang dimaksud yaitu keahlian maupun tenaga, sedangkan

    tidak berbuat sesuatu yang dimaksud yaitu bukan barang maupun jasa yang

    diperjanjikan, tetapi prestasi tidak berbuat sesuatu yang diperjanjikan.

    24

    Ibid. 25

    Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlmn., 49.

  • 15

    Suatu sebab yang halal adalah isi perjanjian. Sebagai maksud yang dituju

    oleh para pihak, sedangkan alasan atau sebab seseorang membuat perjanjian itu

    bukan yang dimaksud suatu sebab yang halal. Istilah kata halal bukanlah lawan

    kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah

    bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

    undangan.26

    2.1.4. Unsur-Unsur Kontrak

    Dalam suatu kontrak terdapat 3 (tiga) unsur, yaitu sebagai berikut:27

    a) Unsur Essensialia

    Unsur essensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak,

    karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur essensialia ini, maka tidak ada

    kontrak.

    b) Unsur Naturalia

    Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang,

    sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, maka undang-

    undang yang mengaturnya. Unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu

    dianggap ada dalam kontrak sepanjang tidak diatur lain oleh para pihak.

    c) Unsur Aksidentalia

    Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para

    pihak, jika para pihak memperjanjikannya.

    26

    Ibid. 27

    Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta: PT. Raja Grafindo

    Persada, 2011, hlmn., 381.

  • 16

    2.1.5. Hapusnya Kontrak

    Pada dasarnya perikatan dan kontrak berbeda, tetapi ketentuan mengenai

    hapusnya perikatan dalam BW merupakan ketentuan hapusnya kontrak. Hal ini

    yang diatur dalam Pasal 1381 BW, bahwa:

    “Perikatan-perikatan hapus karena pembayaran, penawaran

    pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,

    pembaharuan utang, perjumpaan utang atau kompensasi,

    pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang

    terutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya suatu syarat

    batal, dan lewatnya waktu.”

    2.2. Tinjauan tentang Kontrak Kerjasama

    Seperti telah Penulis janjikan pada narasi subbab di atas, maka pada subbab

    ini akan dibahas mengenai siapakah yang dimaksud dengan para pihak dalam

    kontrak tersebut, bagaimana pelaksanaannya, apakah prestasi dan wanprestasinya,

    serta ganti kerugian.

    2.2.1. Para Pihak dalam Kontrak

    Pada prinsipnya, para pihak baik perorangan atau badan usaha yang bukan

    badan hukum atau badan hukum dalam kontrak adalah orang atau badan usaha

    yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Para pihak

    dalam bentuk perorangan yang dimaksud adalah orang atau manusia (person), dan

    badan usaha yang bukan badan hukum adalah perusahaan yang bersifat

    perseorangan, didirikan dengan akta notaris atau tidak dengan akta notaris, dan

    menurut prosedur hukum tidak perlu untuk dilakukan pengesahan oleh Menteri

    Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sedangkan badan usaha

  • 17

    yang badan hukum adalah perusahaan yang didirikan dengan akta notaris dan

    menurut hukum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi

    Manusia Republik Indonesia.28

    Menurut Mollengraaff, pengertian perusahaan adalah keseluruhan perbuatan

    yang secara terus menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan

    dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau

    mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.29

    Dengan demikian, orang, badan usaha yang bukan badan hukum, dan badan

    usaha yang badan hukum merupakan subjek hukum. Adapun pengertian subjek

    hukum adalah segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban.30

    Setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang dalam melakukan

    kontrak dapat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri, tetapi dapat

    juga bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan orang lain, bahkan dapat

    bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.31

    Dalam hal bertindak untuk mewakili badan usaha yang bukan badan hukum,

    maka harus berdasarkan pada bentuk badan usaha tersebut, apabila berbentuk

    firma maka semua sekutu berhak mewakili perusahaan, dan apabila badan usaha

    berbentuk perseroan komanditer, maka dalam bertindak perseroan diwakili oleh

    persero pengurusnya atau yang disebut persero aktif (persero complementer),

    sedangkan badan usaha yang badan hukum, perusahaan dalam bertindak diwakili

    oleh direksi.32

    28

    Ibid. 29

    Ibid. 30

    Ibid. 31

    Ibid. 32

    Ibid.

  • 18

    Sedangkan pihak-pihak dalam perjanjian yang menjadi objek penelitian

    Penulis adalah antara Fasilitator dengan Pemerintah.

    PNPM-MP33

    adalah program nasional yang dicanangkan pemerintah yang

    bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di

    wilayah perdesaan di bawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan

    Masyarakat dan Desa (PMD), Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana telah

    diuraikan di atas mengenai pengertian subjek hukum, selain manusia, badan

    hukum juga merupakan subjek hukum sehingga merupakan pendukung hak dan

    kewajiban. Kedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek

    hukum mengandung pengertian, yaitu mempunyai kemampuan untuk

    mengadakan hubungan hukum, dimana hubungan itu akan mempunyai akibat

    hukum yang disebut hak dan kewajiban. Subjek hukum yang berupa badan hukum

    ini mempunyai wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif dan dapat melakukan

    perbuatan hukum yang dilakukan oleh anggota yang ditunjuk. Badan hukum

    mempunyai wewenang melakukan perbuatan-perbuatan hukum atau tindakan-

    tindakan seperti orang biasa34

    , yaitu mengajukan gugatan ke pengadilan, membuat

    perjanjian-perjanjian, dapat dituntut di muka pengadilan, dan lain sebagainya.35

    Ada dua jenis badan hukum, yaitu sebagai berikut:

    1. Badan hukum publik, terdiri dari negara, provinsi, kabupaten, kota

    madya, desa atau kelurahan.

    33

    Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua

    Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No: 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang

    Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). 34

    Badan hukum sebagai subjek hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Dalam hal

    ini, badan hukum dianggap sama dengan manusia. Anggapan badan hukum sebagai subjek hukum

    ini didasarkan pada teori yang dikenalkan oleh Von Savigny yang disebut teori fiksi. Oleh karena

    itu, badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum layaknya manusia. 35

    Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006,

    hlm., 29-30.

  • 19

    2. Badan hukum privat, terdiri dari yayasan, perseroan terbatas (PT),

    koperasi, lembaga-lembaga keagamaan (gereja dan wakaf), dan lembaga-

    lembaga sosial.

    Berdasarkan hal tersebut negara atau pemerintah merupakan subjek hukum,

    sehingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Dalam rangka

    pelaksanaan kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan

    (PNPM-MP), pemerintah mengadakan kontrak kerja sama dengan beberapa

    tenaga ahli untuk tujuan terlaksananya program tersebut yang selanjutnya tenaga

    ahli tersebut disebut pekerja fasilitator. Sesuai dengan objek penelitian Penulis,

    Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah merupakan

    penganggungjawab daerah untuk melaksanakan program tersebut, dan sebagai

    kuasa pengguna anggaran. Dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan

    pemerintah adalah membuat kontrak/perjanjian kerja dengan para fasilitator.

    2.2.2. Pelaksanaan Kontrak

    Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang

    telah diperjanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian

    tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah yang disebut sebagai

    prestasi, sedangkan apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak

    melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah

    yang disebut dengan wanprestasi. Pihak yang wanprestasi dalam perjanjian dapat

    dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan, namun pihak yang dituduh

    melakukan wanprestasi tersebut masih dapat melakukan pembelaan-pembelaan

  • 20

    tertentu agar dia dapat terbebas dari pembayaran ganti rugi.36

    Agar lebih

    memahami tentang konsep prestasi dan wanprestasi, maka akan diuraikan sebagai

    berikut:

    a. Prestasi

    Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu

    kontrak. Prestasi pokok tersebut dapat berwujud:37

    a) benda;

    b) tenaga atau keahlian; dan

    c) tidak berbuat sesuatu.

    Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan

    tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya saja,

    sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihak-

    pihak yang “menjual” tenaga atau keahliannya.

    Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain,

    apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan

    benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut sebagaimana dia merawat

    barangnya sendiri. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia

    melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi, apalagi kalau ia lalai

    menyerahkannya.38

    Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini

    terdapat perbedaan, karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat

    diganti oleh orang lain, karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan

    sama. Sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tdak dapat diganti

    36

    Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 367. 37

    Ibid. 38

    Ibid.

  • 21

    oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian

    tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan

    berbeda.39

    Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu, menuntut sikap pasif salah satu pihak

    atau para pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang

    diperjanjikan.

    Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam

    kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan,

    kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus dilakukan

    oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan,

    kepatutan, atau undang-undang, tidak dilakukannya pretasi tersebut berarti telah

    ingkar janji atau disebut wanprestasi.40

    b. Wanprestasi

    Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik dengan disengaja

    maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja, wanprestasi ini dapat terjadi

    karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena

    terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.41

    Wanprestasi dapat berupa:

    1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

    2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;

    3. Terlambat memenuhi prestasi; dan

    4. Melakukan apa yang ada dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

    39

    Ibid. 40

    Ibid. 41

    Ibid.

  • 22

    Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang

    wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang, maka

    bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan

    akibat dari wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari

    tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:42

    - pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi); dan

    - pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).

    Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh

    pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Tuntutan apa

    yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis

    tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu

    dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi tersebut

    juga dibebani biaya perkara.43

    c. Ganti Kerugian

    Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan

    perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III

    KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal 1240 KUHPerdata sampai dengan Pasal

    1252 KUHPerdata. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur

    dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum

    adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah

    menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul

    karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.44

    42

    Ibid. 43

    Ibid. 44

    Ishaq, Op. Cit, hlmn., 52.

  • 23

    Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang

    dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat

    antara kreditur dan debitur. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur

    kepada debitur adalah sebagai berikut:45

    1) kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya

    dan kerugian; dan

    2) keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata),

    ini ditujukan kepada bunga-bunga.

    Yang diartikan dengan biaya-biaya, yaitu ongkos yang telah dikeluarkan

    oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangnya

    harta kekayaaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan

    bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. Penggantian

    biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung

    wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.46

    Di dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian

    yang disebabkan wanprestasi hanya disebutkan dalam bentuk uang, namun dalam

    perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi, bahwa kerugian dapat

    dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi

    immateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditur dalam

    bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian immateriil adalah suatu

    kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit,

    malu, dan lain-lain.47

    45

    Ibid. 46

    Ibid. 47

    Ibid.

  • 24

    3. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FASILITATOR PNPM

    Berdasarkan hasil penelitian Penulis terhadap perjanjian kerja antara

    Fasilitator PNPM dengan Pemerintah, bentuk perjanjian tersebut merupakan

    bentuk perjanjian untuk melakukan suatu jasa tertentu, yang mana satu pihak

    menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai

    suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan

    dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut diserahkan kepada pihak lawan itu, dan

    yang menjadi pihak lawan tersebut merupakan seorang ahli dalam melakukan

    suatu pekerjaan. Bentuk perjanjian tersebut harus sesuai dengan ketentuan

    perjanjian kerja yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13

    Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    3.1 Ketentuan dalam Perjanjian antara Fasilitator PNPM dengan

    Pemerintah

    Umum diketahui, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan

    ketentuan tersebut, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan,

    kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan

    atas hukum.

    Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui

    landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena

    persetujuan, baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas lagi

    dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

  • 25

    1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau

    lebih”. Pasal tersebut secara tegas telah menjelaskan bahwa perjanjian melahirkan

    perikatan. Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan

    bahwa tidak ada suatu perikatan yang berasal dari luar perjanjian dan karena hal-

    hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Perikatan melahirkan hak dan

    kewajiban bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat

    perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara sukarela telah mengikatkan

    diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

    sesuatu. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus

    dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.48

    Secara ringkas Penulis akan menjelaskan isi perjanjian kerja yang berjudul

    “SURAT PERJANJIAN KERJA FASILITATOR TEKNIK KECAMATAN”

    tersebut sebagai berikut:

    1) Pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Berisi tentang penjelasan mengenai

    hubungan hukum antara PIHAK PERTAMA (Kepala Badan Pemberdayaan

    Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah selaku Kuasa Pengguna Anggaran

    pada Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, yang bertindak

    untuk dan atas nama Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pemberdayan

    Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Tengah) dengan PIHAK KEDUA (Pekerja

    Fasilitator, yang bertindak untuk dan atas nama diri sendiri). Pasal ini berisi 2

    (dua) ayat.

    2) Pasal 2 tentang Hubungan Kerja dan Jangka Waktu Ikatan Kerja. Pasal

    yang di dalamnya terdapat 7 (tujuh) ayat ini mengatur mengenai:

    48

    Ibid., hlmn., 56.

  • 26

    a. Pemberian tugas dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA sesuai

    dengan bidang dan keahliannya sebagaimana dimaksud dalam Kerangka Acuan

    atau Terms of Reference (TOR), dan PIHAK KEDUA menjabarkannya dalam

    Rencana Kerja (RK), serta untuk bertindak sebagai Fasilitator Teknik Kecamatan

    Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (FT PNPM-MP)

    di lokasi tugas, yang ditetapkan dalam Surat Perintah Tugas (SPT) oleh PIHAK

    PERTAMA;

    b. Perpanjangan dan pemersingkat perjanjian kerja tersebut;

    c. Dimana lokasi PIHAK KEDUA wajib tinggal, termasuk perubahannya;

    d. Kewajiban bagi PIHAK KEDUA untuk tidak diperkenankan mengadakan

    ikatan kerja dengan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan

    e. Kewajiban bagi PIHAK KEDUA untuk bekerja penuh waktu, dengan jumlah

    waktu kerja minimal 8 jam per hari dan 6 hari per minggu.

    3) Pasal 3 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab. Pasal yang di dalamnya

    terdapat 9 (sembilan) ayat ini mengatur mengenai:

    a. PIHAK KEDUA harus mengikuti dan melaksanakan: Kerangka Acuan atau

    Terms of Reference (TOR), Pedoman Umum (Pedum), Petunjuk Pelaksanaan

    (Juklak), Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM-MP termasuk Kode Etik

    Fasilitator dan Konsultan PNPM-MP, Standar Operasional Prosedur (SOP),

    dokumen-dokumen rujukan lain, surat perintah atau bentuk surat lainnya yang

    diterbitkan oleh atau dari PIHAK KEDUA;

    b. PIHAK KEDUA harus melaksanakan tugas dengan segala kemampuan,

    keahlian, dan pengalaman yang dimilikinya;

  • 27

    c. Kewajiban PIHAK KEDUA untuk menyusun laporan khusus atau tugas

    perbantuan, dan tidak diperkenankan untuk menyerahkan tugas-tugas tersebut

    kepada pihak lain;

    d. PIHAK KEDUA menanggung segala tanggung jawab atas segala tugas-tugas

    yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA; serta

    e. Tugas-tugas teknis lain yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA.

    4) Pasal 4 tentang Balas Jasa dan Cara Pembayarannya. Pasal yang di

    dalamnya terdapat 7 (tujuh) ayat ini mengatur mengenai:

    a. PIHAK KEDUA akan menerima imbalan balas jasa berupa honorarium dan

    tunjangan operasional secara lumpsum49

    untuk perumahan, komunikasi, dan

    operasional kantor. Selain itu, PIHAK KEDUA juga mendapatkan tunjangan

    biaya transportasi lokasi sesuai dengan kategori lokasi yang telah ditetapkan.

    PIHAK KEDUA juga mendapatkan tunjangan asuransi kecelakaan dan kesehatan

    selama masa kontrak. PIHAK KEDUA juga mendapatkan perjalanan dinas dan

    OSA untuk menghadiri rapat koordinasi setiap bulan. Dan biaya perjalanan dinas

    pun akan didapatkan PIHAK KEDUA. Sedangkan tunjangan hari raya dan

    tunjangan kompensasi cuti, tidak diperoleh PIHAK KEDUA;

    b. Honorarium dan tunjangan akan dibayarkan pada setiap tanggal 1-10 (satu

    sampai sepuluh) awal bulan berikutnya, dengan catatan tidak adanya

    keterlambatan PIHAK KEDUA dalam penyusunan laporan dan pengiriman

    seluruh data pendukung bulan sebelumnya;50

    49

    Kecuali pada bulan pertama bertugas dan bulan terakhir penugasan, maka besaran

    honorarium akan diperhitungkan sesuai dengan jumlah hari bertugas. 50

    Tetapi dalam pelaksanaannya, justru pemerintah sendiri yang terlambat memberikan

    upah. Padahal, menurut Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja yang karena

    kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda

    sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja.

  • 28

    c. Pembayaran honorarium dan tunjangan operasional dilakukan secara langsung

    oleh PIHAK PERTAMA ke rekening individu masing-masing;

    d. Pajak Penghasilan PIHAK KEDUA dan/atau pajak-pajak lain akan ditanggung

    dan dibayar sendiri oleh PIHAK KEDUA;51

    dan

    e. Cuti kerja berhak didapatkan oleh PIHAK KEDUA dengan ketentuan: 1). Cuti

    tahunan sebanyak 12 (dua belas) hari kerja setelah PIHAK KEDUA bekerja

    selama12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; 2). Cuti bersama yang

    ditetapkan oleh pemerintah pusat yang diberikan kepada yang sudah mempunyai

    hak cuti tahunan. Cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan; dan 3). Cuti

    melahirkan selama maksimal 3 (tiga) bulan berturut-turut.

    5) Pasal 5 tentang Penyelesaian Perselisihan. Jika terjadi perselisihan antara

    kedua belah pihak, pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah. Apabila

    dengan cara musyawarah tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak akan

    menyelesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta.52

    Apabila masih tidak dapat diselesaikan, maka kedua belah pihak akan

    menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri Provinsi Jawa Tengah. Menurut Pasal

    136 UU Ketenagakerjaan, jika terdapat perselisihan hubungan kerja, maka akan

    diselesaikan melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

    6) Pasal 6 tentang Pemutusan Perjanjian Kerja53 atau Hubungan Kerja.

    PIHAK PERTAMA wajib memberitahukan kepada PIHAK KEDUA selambat-

    51

    Menurut Pasal 88 ayat (3) huruf k UU Ketenagakerjaan, upah untuk penghitungan

    pajak penghasilan adalah hak yang diperoleh pekerja guna memenuhi penghidupan yang layak

    bagi kemanusiaan, dan hak ini ditetapkan pemerintah untuk melindungi pekerja. 52

    Rezim arbitrase tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan. 53

    Dalam Perjanjian Kerja antara Fasilitator dengan Pemerintah ini, tidak terdapat

    klausul mengenai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Lihat Pasal 61 huruf b UU

    Ketenagakerjaan.

  • 29

    lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya dalam hal PHK. PIHAK PERTAMA dapat

    membatalkan secara sepihak Perjanjian Kerja dengan PIHAK KEDUA apabila:54

    a. PIHAK KEDUA meninggal dunia;

    b. PIHAK KEDUA atas permintaan sendiri memutuskan hubungan kerja;

    c. PIHAK KEDUA menderita sakit tetap yang berakibat tidak mungkin

    melaksanakan pekerjaan;

    d. PIHAK KEDUA mangkir selama 10 (sepuluh) hari kerja berturut-turut atau 20

    (dua puluh) hari kerja dalam satu tahun;

    e. PIHAK KEDUA tidak memenuhi pelaksanaan tugas yang telah disahkan oleh

    atasan;

    f. PIHAK KEDUA tidak memenuhi standar nilai evaluasi kinerja reguler;

    g. Adanya kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan batalnya dan/atau

    berkurangnya kemampuan dana dan/atau terganggunya pelaksanaan PNPM-MP;

    h. PIHAK KEDUA tidak menunjukkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan

    tanggung jawabnya;

    i. PIHAK KEDUA dinyatakan pernah dan terbukti melakukan pelanggaran Kode

    Etik Fasilitator; dan

    j. PIHAK KEDUA melakukan pelanggaran Kode Etik Fasilitator atau menjalani

    pemeriksaan Kepolisian sebagai tersangka akibat dari penyimpangan, kelalaian,

    atau tindakan kejahatan, serta pelanggaran hukum terkait PNPM-MP atau lainnya.

    PIHAK KEDUA dapat mengajukan surat pemutusan perjanjian kerja

    secara sepihak dalam hal: Apabila PIHAK PERTAMA tidak melakukan

    kewajiban balas jasa, serta tidak memberikan dukungan administrasi yang

    54

    Pada dasarnya, sesuai dengan Pasal 55 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja tidak

    dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

  • 30

    diperlukan PIHAK KEDUA, dan PIHAK KEDUA telah melakukan klarifikasi

    dengan PIHAK PERTAMA secara tertulis.

    7) Pasal 7 tentang Berakhirnya Hubungan Kerja. Dengan berakhirnya

    hubungan kerja, maka:

    a. PIHAK KEDUA tidak akan mendapatkan uang pesangon55

    dan status

    kepegawaian dari PIHAK PERTAMA; dan

    b. PIHAK KEDUA wajib menyerahkan seluruh tugas, wewenang, dan tanggung

    jawabnya kepada PIHAK PERTAMA atau pihak lain yang ditunjuknya.

    8) Pasal 8 soal adanya Lampiran, dan

    9) Pasal 9 Penutup.

    Jika disimak secara teliti, suatu Perjanjian Kerja seharusnya menurut Pasal

    56 UU Ketenagakerjaan dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak

    tertentu, tetapi dalam Perjanjian Kerja antara Fasilitator PNPM dengan

    Pemerintah klausul yang menyatakan ketentuan mengenai waktu tersebut tidak

    ada.

    3.2. Pelaksanaan Perjanjian antara Fasilitator PNPM dengan Pemerintah

    Jika melihat adanya keterlambatan pembayaran gaji oleh Pihak Pertama

    tersebut, pada hakikatnya telah terjadi cidera janji atau wanprestasi. Menurut

    pendapat M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan wanprestasi dalam suatu

    perjanjian adalah, “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau

    dilakukan tidak menurut selayaknya.”56

    55

    Menurut Pasal 88 ayat (3) huruf j UU Ketenagakerjaan, uang pesangon adalah hak

    yang diperoleh pekerja guna memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan hak ini

    ditetapkan pemerintah untuk melindungi pekerja. 56

    Dalam Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 368.

  • 31

    Kata “tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak“ apabila dihubungkan

    dengan kewajibannya merupakan perbuatan melanggar hukum, Pihak Pertama

    sebagian atau secara keseluruhan tidak menepati ataupun berbuat sesuatu yang

    tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam keadaan

    normal, perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimanamestinya tanpa gangguan

    ataupun halangan, tetapi pada waktu tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para

    pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat

    dilaksanakan dengan baik. Faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdul

    Kadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor, yaitu faktor dari luar dan

    faktor dari dalam diri para pihak. Faktor dari luar menurut Abdul Kadir

    Muhammad adalah, “peristiwa yang diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga

    akan terjadi ketika perjanjian dibuat”. Sedangkan faktor dari dalam manusia/para

    pihak merupakan, “kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan

    tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian pihak itu sendiri, dan

    para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya

    tersebut.”57

    Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak dalam perjanjian ini harus

    dinyatakan terlebih secara resmi, yaitu dengan memperingatkan kepada pihak

    yang lalai bahwa Pihak Kedua menghendaki pemenuhan prestasi oleh Pihak

    Pertama. Menurut undang-undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis,

    namun sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu pula dapat dilakukan

    secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi

    prestasinya terhadap perjanjian mereka perbuat.58

    57

    Ibid. 58

    Ibid., hlmn., 369.

  • 32

    Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh

    pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyatan lalai oleh J. Satrio, memperinci

    pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk, yaitu: Berbentuk surat perintah

    atau akta lain yang sejenis.59

    Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri, apabila dalam surat perjanjian

    telah ditetapkan ketentuan debitur dianggap bersalah jika satu kali saja dia

    melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong

    Pihak Pertama untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus

    juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka

    waktu yang panjang. Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa

    teguran kelalaian, dengan sendirinya Pihak Pertama sudah dapat dinyatakan lalai,

    bila ia tidak menempati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimanamestinya.

    Jika teguran kelalaian sudah dilakukan, barulah menyusul peringatan

    (aanmaning) dan bisa juga disebut dengan “somasi”. Dalam somasi inilah Pihak

    Kedua (Fasilitator) menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada

    Pihak Pertama (Pemerintah). Jadi, dengan adanya pernyataan lalai yang diberikan

    oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, maka menyebabkan Pihak Kedua dalam

    keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut.

    Pernyataan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah

    sangat besar, baik bagi kepentingan Pihak Pertama maupun Pihak Kedua. Dalam

    perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan

    kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila Pihak Pertama tidak

    menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian.

    59

    Ibid.

  • 33

    Dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan

    bahwa, “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang

    tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan

    umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”. Pasal tersebut

    menjelaskan 2 (dua) jenis perjanjian, yaitu:

    1) Perjanjian yang dikenal dengan suatu nama khusus, yaitu perjanjian yang

    diatur secara khusus di dalam undang-undang dan diberi nama resmi di

    dalam undang-undang, atau disebut juga dengan perjanjian khusus. Yang

    termasuk perjanjian khusus ialah:

    a) Perjanjian jual beli,

    b) Perjanjian tukar menukar,

    c) Perjanjian sewa menyewa,

    d) Perjanjian untuk melakukan pekerjaan,

    e) Perjanjian persekutuan,

    f) Perjanjian perkumpulan,

    g) Perjanjian hibah,

    h) Perjanjian penitipan barang,

    i) Perjanjian pinjam pakai,

    j) Perjanjian pinjam meminjam,

    k) Perjanjian bunga tetap atau bunga abadi,

    l) Perjanjian untung-untungan,

    m) Perjanjian pemberian kuasa,

    n) Perjanjian penanggungan, dan

    o) Perjanjian perdamaian.

  • 34

    2) Perjanjian tidak bernama (innominat contract), yaitu perjanjian yang tidak

    diatur dalam undang-undang tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian

    ini tidak terbatas dan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak.

    Contohnya adalah:

    a) Perjanjian kerjasama,

    b) Perjanjian pemasaran, dan

    c) Perjanjian pengolahan.

    Berdasarkan sifatnya secara mendasar, Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata membedakan perjanjian menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu sebagai berikut:60

    1) Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah

    terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian,

    2) Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi

    barangnya harus diserahkan, dan

    3) Perjanjian formal adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi

    undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut dibuat oleh pejabat umum

    Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah.

    Menurut Subekti, dalam hal perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan,

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakannya menjadi 3 (tiga) macam,

    yaitu:61

    a) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yang mana suatu pihak

    menghendaki dari pihak-lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk

    mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah,

    sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama

    60

    Ibid. 61

    Subekti, Op. Cit., hlmn., 57.

  • 35

    sekali terserah kepada pihak-lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah

    seorang ahli dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu dan biasanya ia juga

    sudah memasang tarif untuk jasanya. Contohnya, hubungan antara dokter

    dan pasien;

    b) Perjanjian Kerja/Perburuhan dimana yang dimaksudkan dengan jenis ini

    adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” yang

    ditandai dengan adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan, dan

    adanya “hubungan diperatas” (bahasa Belanda “dienstverhouding”), yaitu

    suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak

    memberikan perintah yang harus ditaati oleh yang lainnya; dan

    c) Perjanjian Pemborongan Pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang

    (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang

    memborong pekerjaan), dimana pihak yang pertama menghendaki suatu

    hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu

    jumlah uang sebagai harga pemborongan.

    Perjanjian kerja ialah suatu perjanjian dimana seseorang mengikatkan diri

    untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai

    dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama. Prinsip yang

    menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang

    (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja dibawah perintah

    dengan menerima upah. Jadi, bila seseorang telah mengikatkan diri dalam suatu

    perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja dibawah

  • 36

    perintah orang lain. Hal ini yang disebut ahli hukum sebagai “hubungan

    diperatas”.62

    Menurut Manullang, tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat bentuk

    dan isi perjanjian, karena dijamin dengan “asas kebebasan berkontrak”, yakni

    suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat

    kontrak (perjanjian) yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak

    bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas

    kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab

    Undang-Undang Hukum Perdata, dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335,

    dan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.63

    Perjanjian kerja antara fasilitator PNPM dengan pemerintah seharusnya

    mengacu dan/atau tunduk kepada KUHPerdata sebagai lex generalis, dan pula

    tunduk kepada UU Ketenagakerjaan sebagai lex spesialis dari KUHPerdata. Tidak

    boleh ada peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, hukum

    mengatakan demikian. Jadi, dengan kata lain perjanjian kerja tersebut harus

    masuk dan tunduk pada KUHPerdata dan UU Ketenagakerjaan.

    Secara normatif, perjanjian kerja bentuk tertulis64

    menjamin kepastian hak

    dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat

    membantu proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak

    perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara

    tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena

    62

    Ibid. 63

    Dalam Ahmadi Miru, Op. Cit., hlmn., 370. 64

    Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat (1)

    Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

  • 37

    kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara

    lisan.

    Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-

    kurangnya memuat:

    a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan;

    b) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

    c) Jabatan atau jenis pekerjaan;

    d) Tempat pekerjaan;

    e) Besarnya upah dan cara pembayarannya;

    f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

    pekerja/buruh;

    g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

    h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

    i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

    Berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus-menerus) dan jenis suatu

    pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan

    kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja yang dibagi menjadi 2 (dua)

    macam, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja

    Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).65

    Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

    Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan perjanjian

    65

    Perjanjian kerja jenis ini tidak Penulis bahas dalam skripsi Penulis.

  • 38

    kerja tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk

    mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.

    Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara

    tertulis sesuai dengan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

    tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau

    menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian

    kerja.

    Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pemberi

    kerja dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak

    boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang

    berlaku.66

    Yang dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan

    dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan

    perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas

    maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau

    perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.

    Sesuai ketentuan Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Nomor

    13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan perjanjian kerja waktu

    tertentu harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

    (a) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu,

    (b) Harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia,

    (c) Tidak boleh ada masa percobaan,

    66

    Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

    2003 tentang Ketenagakerjaan.

  • 39

    (d) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau

    kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dan

    (e) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

    Sedangkan apa yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap67

    adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi

    waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan

    atau pekerjaan yang bukan musiman. Adapun yang dimaksud dengan pekerjaan

    yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak bergantung pada cuaca atau

    suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-

    menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari

    suatu proses produksi, tetapi bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan

    karena adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan

    musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi objek

    perjanjian kerja waktu tertentu.

    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

    Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

    Waktu Tertentu membedakan perjanjian kerja waktu tertentu menjadi 4 (empat)

    bagian, yaitu:

    a. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau

    sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, yang

    dimaksud adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas

    selesainya suatu pekerjaan tertentu dan dibuat untuk waktu paling lama 3

    (tiga) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan

    67

    Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  • 40

    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004

    tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam hal

    perjanjian kerja waktu tertentu dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan

    tertentu namun karena kondisi tertentu, pekerjaan tersebut belum dapat

    diselesaikan, maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja waktu

    tertentu yang dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga

    puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama masa tenggang

    waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, tidak boleh ada hubungan kerja antara

    pekerja/buruh dan pengusaha, sesuai dengan Pasal 3 ayat (7) Keputusan

    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004

    tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

    b. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman,

    yang dimaksud adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada

    musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan

    pada musim tertentu, sesuai ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga

    Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan

    Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pekerjaan-pekerjaan yang

    harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat

    dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan

    musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan

    pekerjaan tambahan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang

    bersifat musiman ini tidak dapat dilakukan pembaharuan.68

    68

    Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

    Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

  • 41

    c. Perjanjian kerja waktu tertentu yang berhubungan dengan produk baru.

    Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang

    berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan

    yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu

    tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat

    dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat

    diperpanjang satu kali paling lama 1 (satu) tahun tetapi tidak dapat

    dilakukan pembaharuan. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan

    yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi

    pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar

    pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.69

    d. Perjanjian kerja harian lepas, perjanjian ini mengenai pekerjaan-pekerjaan

    tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta

    upah didasarkan pada kehadiran, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1)

    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

    Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

    Waktu Tertentu. Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan

    bahwa pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai

    pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan

    berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah

    menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang sesuai dengan ketentuan

    Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

    69

    Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

    Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

  • 42

    Transmigrasi Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan

    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.