PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM...

88
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK PANGAN YANG TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL SKRIPSI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Prasyarat Dalam Memperoleh Jenjang Strata Satu (S1) Oleh: Ikhsan Maulana 11140460000091 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM...

Page 1: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK

PANGAN YANG TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

SKRIPSI

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Prasyarat Dalam

Memperoleh Jenjang Strata Satu (S1)

Oleh:

Ikhsan Maulana

11140460000091

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Page 3: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Page 4: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Page 5: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

ABSTRAK

Ikhsan Maulana, NIM 11140460000091, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim

Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

1439 H/2018 M, x + 75 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi

konsumen, khususnya konsumen yang beragama Islam terhadap produk pangan yang tidak

bersertifikat halal.

Metode penelitian penulis adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menggunakan

studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan

yang diatur dalam Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti aturan-aturan

yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan hukum konsumen, yakni Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan

karena isu hukum pada level teori hukum (konsep). Dalam hal ini, konsep yang digunakan

adalah tentang konsep dasar perlindungan konsumen, hak serta kewajiban atas konsumen dan

pelaku usaha, tanggung jawab dan sanksi yang di berikan kepada para pelaku usaha yang

melanggar hak-hak konsumen dan lain-lain.

Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini, dapat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur

sertifikasi halal setidaknya sedikit menguatkan dalam memberikan kepastian hukum jaminan

hukum bagi konsumen muslim terhadap produk pangan terlebih dengan kehadiran UUJPH.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Sertifikasi Halal.

Pembimbing : Drs. Hamid Farihi., M.A

Page 6: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta

alam, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Muslim Terhadap

Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”. Shalawat serta salam

semoga tetap dan akan terus tercurahkan untuk Nabi Muhammad SAW, manusia

pilihan yang pribadinya selalu menjadi tauladan bagi kita semua, kepada

keluarganya, kepada sahabatnya sampai kepada para pengikutnya.

Berakhir sudah masa yang indah ini. Peneliti sangat bersyukur atas

selesainya penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat menyelesaikan program Sarjana (S1) pada Program Studi Hukum Ekonomi

Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat

do’a, dukungan, bimbingan, semangat, dan bantuan dari berbagai pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu penulis mengucapkan

terima kasih setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak A.M. Hasan Ali, MA selaku ketua Program Studi Muamalat,

Bapak Dr. H. Abdurrauf, Lc, MA selaku Sekretaris Program Studi

Hukum Ekonomi Syariah.

3. Bapak Drs. Hamid Farihi., MA selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan bimbingan

dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik.

Page 7: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

vii

4. Seluruh dosen dan karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan

sehingga membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

pelayanan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis yaitu ayahanda Bpk.

Saipudin dan Ibu Rohayah, yang telah mencurahkan segenap kasih

sayangnya, serta tak putus-putusnya memberikan dukungan baik moril

maupun materil dan doa kepada penulis dalam menempuh pendidikan.

Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan, memberikan kehidupan

yang penuh keberkahan dan membalas segala kebaikannya, Aamiin.

7. Kepada teman-teman KKN BERIKATAN 22 yang telah

menyemangati dan memberikan banyak motivasi serta do’a terbaiknya

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada teman-teman Lisensi (Lingkar Studi Ekonomi Syariah) yang

telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Teruntuk sahabat-sahabat penulis di awal menjalani status sebagai

mahasiswa Imam Fahrizal dan Asep Baharuddin teruntuk para pengisi

serta teman-teman sepermainan lain yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, atas segala dukungan, masukan, saran, dan motivasi kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman – teman Jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014 yang

telah mengisi hari-hari di kampus tercinta dengan begitu

menyenangkan.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

banyak membantu dan memberi masukan dan inspirasi bagi penulis,

suatu kebahagiaan telah dipertemukan dan diperkenalkan dengan

kalian semua, terima kasih banyak.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda

kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah

Page 8: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

viii

diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga karya

ini bermanfaat bagi para akademisi, praktisi dan bagi masyarakat pada

umumnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Jakarta, 10 September 2018

Penulis

Ikhsan Maulana

NIM. 11140460000091

Page 9: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ---------------------------------------------------------------------- i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING --------------------------------------- ii

LEMBAR PENGESAHAN -------------------------------------------------------------- iii

LEMBAR PERNYATAAN -------------------------------------------------------------- iv

ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------- v

KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------- vi

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------- ix

DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1

B. Identifikasi Masalah ------------------------------------------------- 6

C. Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 7

D. Manfaat Penelitian --------------------------------------------------- 8

E. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ------------------------------ 10

F. Kerangka Teori dan Konseptual ---------------------------------- 12

G. Metodelogi Penelitian ---------------------------------------------- 14

H. Sistematika Penulisan ---------------------------------------------- 15

BAB I TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen --------------------- 18

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen --------------------- 20

C. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen ----------------------------------------------------------- 21

D. Hak dan Kewajiban Konsumen ----------------------------------- 23

E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ------------------ 24

BAB III TINJAUAN UMUM PANGAN DAN SERTIFIKASI HALAL

A. Pengertian Halal dan Haram dalam Produk Pangan ----------- 26

B. Sertifikasi Halal ----------------------------------------------------- 29

C. Prosedur Sertifikasi Halal ----------------------------------------- 36

D. Kriteria Sistem Jaminan Halal ------------------------------------ 39

ix

Page 10: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

x

E. Peraturan Perundang-undangan Pangan ------------------------- 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk

Legitimasi Kehalalan Produk Pangan di Indonesia ------------ 45

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap

Produk Yang Tidak Bersertifikat Halal -------------------------- 58

C. Tanggung Jawab dan Sanksi Hukum Pelaku Usaha Terhadap

Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ---------------- 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------- 70

B. Saran ------------------------------------------------------------------ 72

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73

Page 11: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

xi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1.1 ........................................................................................ 12

Tabel 3. 1 Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI 2012-2017 ........ .29

Tabel 3.3 Proses Sertifikasi Halal Dalam Bentuk Diagram .......... 38

Page 12: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ---------------------------------------------------------------------- i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING --------------------------------------- ii

LEMBAR PENGESAHAN -------------------------------------------------------------- iii

LEMBAR PERNYATAAN -------------------------------------------------------------- iv

ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------- v

KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------- vi

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------- ix

DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1

B. Identifikasi Masalah ------------------------------------------------- 6

C. Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 7

D. Manfaat Penelitian --------------------------------------------------- 8

E. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ------------------------------ 10

F. Kerangka Teori dan Konseptual ---------------------------------- 12

G. Metodelogi Penelitian ---------------------------------------------- 14

H. Sistematika Penulisan ---------------------------------------------- 15

BAB I TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen --------------------- 18

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen --------------------- 20

C. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen ----------------------------------------------------------- 21

D. Hak dan Kewajiban Konsumen ----------------------------------- 23

E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ------------------ 24

BAB III TINJAUAN UMUM PANGAN DAN SERTIFIKASI HALAL

A. Pengertian Halal dan Haram dalam Produk Pangan ----------- 26

B. Sertifikasi Halal ----------------------------------------------------- 29

C. Prosedur Sertifikasi Halal ----------------------------------------- 36

D. Kriteria Sistem Jaminan Halal ------------------------------------ 39

ix

Page 13: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

x

E. Peraturan Perundang-undangan Pangan ------------------------- 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk

Legitimasi Kehalalan Produk Pangan di Indonesia ------------ 45

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap

Produk Yang Tidak Bersertifikat Halal -------------------------- 58

C. Tanggung Jawab dan Sanksi Hukum Pelaku Usaha Terhadap

Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ---------------- 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------- 70

B. Saran ------------------------------------------------------------------ 72

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73

Page 14: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang dalam menjalankan hubungan manusia padasaat yang

bersamaan tidak dapat melepaskan diri daripengaruh dengan Tuhan-Nya

sebagaimana dijumpai secara maknawidalam norma filosofis negara,

Pancasila. Setiap warga negara RepublikIndonesia dijamin hak

konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasimanusia, hak beragama

dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan

kedudukan dalam hukum, serta hakuntukmemperoleh kehidupan yang

layak termasuk hak untuk mengkonsumsipangandan menggunakan produk

lainnya yang dapat menjamin kualitashidup dan kehidupan manusia.1

Seiring berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi

semakin berkembang termasuk cara pengolahan bahan pangan yang

semakin variatif. Di pasaran dapat ditemukan beragam produk olahan dari

berbagai bahan dasar, baik yang diproduksi pabrik makanan lokal maupun

impor dari perusahaan asing. Bahkan sekarang banyak pembuatan

makanan olahan yang bersifat kompleks dan makanan tersebut dibuat dari

berbagai kandungan yang tidak semuanya jelas kehalalannya.2 Sebagian

masyarakat awam berpandangan bahwa makanan yang sehat dan baik

sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan asupan gizi.3 Padahal semua

1Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, ( Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2006), h., 11

2Rachmad Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan,

2004), h., 74

3Kurniawan Budi sutrisno, Tanggung jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian

Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum perlindungan

Konsumen, (Jurnal Penelitian Universitas Mataram: Vol. 18, No. 1, 2014), h., 90

Page 15: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

2

asupan yang sehat dan baik itu tidak akan menambah kesehatan dan

kebaikan jika tidak dilengkapi dengan faktor halal.4

Pangan halal merupakan pangan yang memenuhi syariat agama

Islam baik dari segi bahan baku, bahan tambahan yang digunakan maupun

cara produksinya sehingga pangan tersebut dapat dikonsumsi oleh orang

Islam tanpa berdosa.5Oleh karenanya pada bahan pangan yang dikonsumsi

tidak boleh terkontaminasi dengan bahan yang meragukan sedikit pun,

apalagi dengan yang haram sehingga menyebabkan produk pangan

menjadi syubhat atau diragukan kehalalannya.6

Salah satu lembaga khusus yang berada di bawah naungan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) berkaitan dengan sertifikasi halal adalah LPPOM-

MUI.7 LPPOM-MUI ini merupakan kepanjangan dari Lembaga

Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.

LPPOM merupakan lembaga yang berperan untuk meneliti, mengkaji,

menganalisa, dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan, obat-

obatan, kosmetika apakah aman untuk dikonsumsi baik dari sisi kesehatan

dan kehalalannya. Sebagai lembaga otonom MUI, LPPOM tidak bekerja

sendiri. Dalam hal pihak yang berwenang yang mengeluarkan sertifikat

halal adalah BPJPH berdasarkan ketentuan UUJPH walaupun saat ini

secara teknis sertifikasi masih dilaksanakan oleh LPPOM-MUI.

Sertifikasi dan labelisasi halal untuk saat ini sifatnya masih suka

rela karena kewajiban untuk berlabel halal akan diserentakan pada tahun

2019 mendatang. Hal ini berpengaruh pada banyaknya produk usaha yang

4Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan

Komoditas Agama, (Malang: Madani , 2009), h., 22

5Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h., 34

6Az Nasution, Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan

Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h., 55

7Amirsyah Tambunan, Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun

1999,Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2014), h., 12

Page 16: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

3

belum bersertifikat halal. Tentu hal ini berpengaruh terhadap kepastian

hukum bagi konsumen Muslim dengan sebagai negara yang mayoritas

umatnya ( 88,10% ) beragama islam.Dengan adanya labelisasi sertifikasi

halal MUI sejatinya memberikan keuntungan bagi produsen. Jika

produknya sudah memiliki sertifikat halal dan mencantumkan label halal

dalam setiap kemasannya, maka akan dapat meningkatkan pendapatan dari

penjualnya. Karena dengan adanya sertifikat label halal MUI akan

memberikan rasa kepercayaan dan keamanan bagi para konsumen

khususnya yang beragama Islam.8

Sejak tahun 2012- Okt 2017 LPPOM-MUI Pusat sudah

mensertifikasi 6065 perusahaan. Berdasarkan sertifikat sudah 7764

sertifikat halal yang yang diterbitkan dan berdasarkan produk sudah ada

259964 produk yang mendapat sertifikat halal. yang melakukan sertifikasi

halal dan baru ada 1516 jumlah sertifikat halal yang dikeluarkan oleh

MUI dari sebanyak 52982 jumlah produk.9

Bersamaan dengan itu, ternyata masih banyak produsen yang

belum mempunyai sertifikat halal dalam produk ataupun perusahaannya ,

sehingga banyak yang mengambil jalan pintas untuk meraih keuntungan

semata. Dalam proses produksi saja banyak sekali para produsen yang

menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya ataupun dalam produknya

mengandung unsur-unsur non halaldalam artian haram seperti borax,

kandungan minyak babi dan lain sebagainya yang bertentangan dengan

syariat Islam. Begitupun dalam proses tahap selanjutnya seringkali pelaku

usaha menghalalkan berbagai cara agar upaya produk pangan mereka laku

di pasaran. Salah satu upaya modus yang mereka lakukan adalah dengan

mencantumkan label halal MUI pada kemasan produknya, tanpa melalui

proses sertifikasi halal dari MUI.10

8Rahmah Maulidia, Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen,

Justitia Islamica, (Vol. 10, No. 2 , Juli-Desember, 2013), h., 8 9 Halalmui.org 10Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Jurnal Syariah Sertifikasi ProdukHalal, Edisi 3, 2015., hlm., 28

Page 17: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

4

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh LPPOM-MUI ,

ternyata banyak sekali produk pangan kemasan berlabel halal ilegal yang

beredar di masyarakat. Ada tiga macam label halal ilegal berdasarkan

survei yang terjadi di masyarakat diantara lain adalah yang Pertama,

produk pangan pada kemasan masih mencantumkan labelisasi halal MUI

padahal masa aktif sertifikasi halal telah habis. Kedua, produk pangan

kemasan yang baru mendapatkan sertifikat halal MUI hanya untuk satu

jenis produk, akan tetapi berdasarkan survei yang ada semua jenis produk

dicantumkan label halal. Ketiga, banyak beredarproduk pangan yang

mencantumkan label halal palsu dalam kemasannya, dengan kata lain

labelisasi yang dilakukan tanpa izin dan belum mendapatkan sertifikasi

halal dari MUI.Dengan beredarnya produk pangan yang mencantumkan

label dan sertifikasi halal ilegal tanpa memenuhi ketentuan perundang-

undangan tentu sangatlah merugikan konsumen.11

Seperti beberapa kasus yang pernah terjadi belakangan ini lain

kasus yang pernah dirilis oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (

BPOM ) pada produk makanan “ bikini” yang menyatakan adanya

pemalsuan label halal pada produk kemasan dan tidak adanya izin edar

pada produk pangan tersebut, sehingga sempat membuat geger masyarakat

dikala itu.12Selain itu pada kasus yang sama BPOM dan LPPOM MUI

mengadakan sebuah pengujian terhadap produk 35 merek dendeng dan

abon sapi, terdiri dari 15 dendeng dan 20 abon sapi. Dalam pengujian

tersebut ternyata menemukan 5 merek dendeng yang positif mengandung

DNA babi, padahal dalam kemasan pangan tersebut secara terang-terangan

mencantumkan label halal. Kasus produk MSG (Monosodium Glutamat)

11LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Umat, No.56/X/2005, hlm. 35 12https://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/08/16475821/kemasan.makanan

.bikini.berlabel.halal.palsu, diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 17:00 WIB.

Page 18: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

5

Ajinomoto yang mengandung unsur babi tahun 2001 dan kasus adanya

temuan kandungan unsur babi dalam bumbu yang dipakai restoran Solaria

di Balik papan Plaza Kalimantan Timur pada tahun 2015, menjadi suatu

pengalaman yang buruk bagi konsumen muslim dan menjadi pelajaran

yang cukup mahal bagi para produsen yang ingin berbisnis di Indonesia.

Menurut data melalui majalah Jurnal Halal saja pada tahun 2007

melakukan survei untuk produk-produk pangan yang mencantumkan label

halal tanpa sertifikat halal. Banyak juga produk pangan yang

mencantumkan label halal tetapi belum mendapatkan sertifikat halal, yang

artinya pencantuman label halal hanya berdasarkan inisiatif produsen

semata. Padahal prosedur yang berlaku dalam pemberian izin label halal

ini adalah berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Jika

pencantuman label halal ini tidak ditertibkan, maka akan sangat riskan

bagi konsumen muslim.13 Contoh kasus berdasarkan survei yakni produk

kie kian dan berbagai jenis bakso yang memiliki label halal. Produk

tersebut diproduksi di Jawa Timur dengan nama She Pin.14 Pengetahuan

masyarakat akan makanan halal cukup tinggi namun kesadaran untuk

memverifikasi barang yang terjamin kehalalnya masih lemah. Tentu saja

hal ini harus didukung dengan sistem pengaturan yang dapat memberikan

legitimasi yang kuat.

Oleh karena itu, sertifikat halal menjadi sangat penting artinya bagi

konsumen muslim karena menyangkut prinsip keagamaan dan hak

konsumsen. Sementara terdapat fakta bahwa belum semua produk

makananbersertifikat halal. Dengan demikian, upaya untuk memberikan

perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan

suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya.

Permasalahan ini muncul karena konsumen semakin kritis dan

membutuhkankepastian tentang produk pangan yang dikonsumsikannya

13Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strategi Lintas Ruang dan Generasi,

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010) h., 21

14Majalah Jurnal Halal edisi No. 42 Tahun2007

Page 19: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

6

baik dari sisi legalitasdan kualitas yang baik dan halal. Apalagi dengan

terbukanya perdagangan bebas ASEAN melalui MEA (Masyarakat

Ekonomi Asean), produk-produk olahan pangan dari negara lain akan

beredardengan leluasa di Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan di atas, maka penulis

tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam bagaimana sejarah

pengaturan sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di

pangan Indonesia, bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen

Muslim terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat halal di Indonesia

dan apa tanggung jawab dan sanksi hukum pelaku usaha terhadap produk

pangan yang tidak bersertifikat halal. Oleh karena itu, penulis memilih

judul penulisan hukum ini adalah“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK PANGAN YANG

TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN

PRODUK HALAL”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Sejak tahun 2012- Okt 2017 LPPOM-MUI Pusat sudah mensertifikasi

6065 perusahaan. Berdasarkan sertifikat sudah 7764 sertifikat halal

yang yang diterbitkan dan berdasarkan produk sudah ada 259964

produk yang mendapat sertifikat halal. yang melakukan sertifikasi

halal dan baru ada 1516 jumlah sertifikat halal yang dikeluarkan oleh

MUI dari sebanyak 52982 jumlah produk.

Ada beberapa kewajiban pelaku usaha diantara lain adalah wajib

mencantumkan label halal terhadap produk yang mereka klaim halal

dengan mengajukan permohonan sertifikat halal. Setelah mendapat

sertifikat halal, Pelaku Usaha wajib menjaga kehalalan produk yang

telah memperoleh sertifikat halal. Namun dalam pelaksanaannya ada

beberapa kasus pelaku usaha yang tidak mempunyai sertifikasi halal

Page 20: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

7

tetapi mencantumkan label halal dengan sendirinya sehingga adanya

unsur non halal pada suatu produk sehingga menimbulkan kerugian

bagi konsumen. Dalam penelitian saya akan membahas bagaimana

perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan

yang tidak bersertifikat halal menurut Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

2. Pembatasan

Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-

batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Agar penelitian ini

lebih terarah dan mendalam, maka penulis membatasi permasalahan

penelitian hanya fokus membahas bagaimana perlindungan hukum

bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak

bersertifikat halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah

dikemukakan diatas, maka penulis berkeinginan untuk meneliti,

mempelajari, serta membahas mengenai perlindungan hukum bagi

konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat

halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal. Adapun rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk

Legitimasi Produk Pangan di Indonesia?

b. Apa Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap

Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ?

c. Apa Tanggung Jawab dan Sanksi Pelaku Usaha Terhadap Produk

Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ?

C. Tujuan Penelitian

Page 21: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

8

Tujuan Penelitian Skripsi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan

penulisan secara umum dan penulisan secara khusus. Adapun penjabaran

dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Umum Penelitian

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah memberikan gambaran

umum mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

produk pangan yang tidak bersertifikat halal

2. Tujuan Khusus Penelitian

Tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah memberikan

gambaran mengenai hal-hal berikut:

a. Untuk mengetahui dan mengkaji proses sertifikasi halal bagi suatu

produk

b. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap produk pangan yang

tidak bersertifikat halal

c. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang didapat bagi

konsumen

D. Manfaat Penelitian

Setiap Penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah

yang diteliti. Untuk itu setidaknya mampu meberikan manfaat praktis pada

kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua

segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan

adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat memberikan

manfaat :

a. Manfaat Akademis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam

perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di

lapangan

2) Sebagai wahana untuk ,mengembangkan wacana dan

pemikiran bagi peneliti

Page 22: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

9

3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang

dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian

selanjutnya

b. Manfaat Praktis

1) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat

luas tentang sertifikasi halal sesuai hukum yang berlaku

2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan

wawasan bagi penulis

3) Untuk memberikan informasi terkait sertifikat halal

4) Untuk memberikan wawasan mengenai bagaimana

perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk

pangan yang tidak bersertifikat halal

5) Untuk memberikan informasi mengenai bagaimana pengaturan

sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk

pangan di Indonesia

6) Untuk memberikan informasi mengenai bagaimana

perlindungan hukum terhadap produk pangan yang tidak

bersertifikat halal

7) Untuk memberikan informasi mengenai tanggung jawab dan

sanksi usaha terhadap produk pangan yang tidak bersertifikasi

halal

Page 23: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

10

E. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu

NO Identitas Substansi Perbedaan

1. Hasyim Asy’ari,

Konsentrasi

Perbandingan Madzhab

Fiqih, Fakultas Syariah

dan Hukum. 2011.

Dalam skripsi ini

membahas perihal

kriteria atau persyaratan

dalam pemberian halal

MUI menurut pendapat

Ibn Hazm

Perbedaan dengan

penelitian penulis

adalah lebih fokus

terhadap bagaimana

perlindungan hukum

bagi konsumen Muslim

jika ternyata tidak

bersertifikat halal MUI

dalam suatu produk

pangan

2. Jurnal “ UU JPH

Harapan Symmetric

Information Pada

Produk Halal ”. FKM

UI

Dalam jurnal tersebut

menjelaskan urgensi

bagaimana UU JPH

harus di informasikan

secara luas melalui

sosialisasi dan

pendekatan

kemasyarakat dan

pelaku usaha demi

kepentingan hukum

Penulis hanya fokus

terhadap pencantuman

label dan sertifikasi

halal secara ilegal

salam produknya

menurut peraturan

perundang-undangan

yang berlaku

3 Jurnal “Hakikat

Labelisasi Halal

Terhadap Pelindungan

Konsumen di Indonesia

” Volume 1 issue 2

Fakultas Hukum

Universitas

Hasanuddin Makassar.

Dalam jurnal tersebut

membaahas

sinkronisasi hukum

abtara labelisasi halal

dan Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen

Pada penelitian penulis

yang jadi

permasalahannya ada

bagaimana

perlindungan hukum

bagi konsumen Muslim

terhadap produk

pangan yang tidak

Page 24: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

11

2015 bersertifikat halal

UUPK dan UUJPH

4 Skripsi Fitri Amalia “

Etika Bisnis Islam

Konsep dan

Implementasi Pada

Pelaku Usaha Kecil ”,

Fakultas Ekonomi dan

Bisnis. 2016

Peneliti Membahas

mengenai bagaimana

implementasi etika

bisnis islam terhadap

pelaku usaha kecil.

Perbedaan mendasar

dengan penelitian

penulis adalah penulis

hanya fokus membahas

tentang produk pangan

yang tidak bersertifikat

halal yang marak

terjadi khusunya di

lingkungan UMKM.

5 Jurnal “ Kedudukan

Sertifikasi Halal Dalam

Sistem Hukum

Nasional Sebagai

Upaya Perlindungan

Konsumen Dalam

Hukum Islam ”.

Amwaluna, Vol. 1

No.1 2017, Hal 150-

165. Fakultas Syariah

UNISBA

Jurnal ini berisi

bagaimana kedudukan

sertifikasi halal dalam

sistem hukum nasional

sebagi bentuk

perlindungan hukum

bagi konsumen dan

dikaitkan dengan

hukum Islam.

Penulis fokus terhadap

bagaimana pengaturan

sertifikasi halal,

bagaimana

perlindungan hukum

nya beserta sanksi atau

tanggung jawab

hukum.

6 Jurnal “ Sertifikasi

Halal Sebagai

Penerapan Etika Bisnis

Islami Dalam Upaya

Perlindungan Bagi

Konsumen Muslim ”

Ramlan & Nahrowi.

2014

Dalam penelitian jurnal

tersebut membahas

tentang bagaimana

sertifikasi halal itu

dibentuk sebagai

penerapan etika bisnis

islam bagi konsumen

Muslim di Indonesia

Penulis membahas

penerapan UUPK,

UUJPH, dan UU

pangan yang berkaitan

dengan sertifikasi halal

Page 25: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

12

7. Jurnal “ Jaminan

Sertifikat Produk halal

Sebagai

Salah Satu

Perlindungan Terhadap

Konsumen Menurut

Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan

Konsumen ”. Purwanti

Paju, Vol. 5 No 5 2015.

Dalam jurnal ini,

peneliti membahas

tentang jaminan produk

halal sebagai salah satu

perlindungan hukum

yang dikaitkan dengan

UUPK

Penulis fokus

membahas penerapan

UUPK sebagai sanksi

jika dalam produk

pangan terdapat

pencantuman label

halal palsu yang

dikenakan terhadap

pelaku usaha.

Tabel 1.1

F. Kerangka teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Konsumen

Pengertian Konsumen terdapat berbagi pengertian mengenai

konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara

satu pendapat dengan pendapat satu lainnya. Konsumen sebagai peng-

Indonesiaan istilah asing yaitu consumer. Secara harfiah dalam

kamus-kamus diartikan sebagai “ seseorang atau sesuatu perusahaan

yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu.

b. Perlindungan Konsumen

Peraturan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 dalam Pasal

butir 1 dikatakan bahwa : Perlindungan Konsumen adalah “ segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen”.

2. Kerangka Konseptual

Halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syaria’t

untuk di konsumsi. Terutama dalam hal makanan dan minuman.

Page 26: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

13

a. Sertifikat Halal

Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan

kehalalan sesuatu produk sesuai dengan syariat Islam.

b. Peta Konsep

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

PRODUK PANGAN

TIDAK BERSERTIFIKAT

HALAL

MENURUT UUPK MENURUT UUJPH MENURUT UU

PRODUK PANGAN

SANKSI PELAKU USAHA

INTERPRETASI HASIL

Page 27: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

14

G. Metodelogi Penelitian

1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Normatif. Tipe penelitian adalah penelitian hukum

Normatif dengan pendekatan Yuridis Normatif. Dikatakan demikian

karena dalam penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap

masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau meneliti bahan pustaka.15

2. Pendekatan Masalah

Penelitian normatif yakni suatu penelitian yang meneliti suatu

masalah dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-

undangan yang berlaku.16 Dalam studi hukum, pendekatan yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-

undangan dan pendekatan konseptual pendekatan perundang-

undangan digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang berikatan

dengan pengaturan perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam

hal ini, konsep yang digunakan adalah konsep dasar perlindungan

konsumen, hak serta kewajiban atas konsumen dan pelaku usaha yang

melanggar hak-hak konsumen dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian hukum normatif menitikberatkan studi kepustakaan atau

metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode

dokumentasi (documentary method). Maka data yang dijadikan bahan

15Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta :

Kencana, 2010), h., 11

16Nico Ngani,Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum, (

Jakarta: Pustaka Yustitia, 2012), h., 22

Page 28: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

15

penelitian adalah data sekunder yang meliputi ketiga bahan sebagai

berikut :

a. Bahan hukum primer. Penulis peroleh dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU

Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Poduk Halal, UU Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta undang-

undang lainnya.

b. Bahan hukum sekunder diperoleh Penulis dari Buku-buku terkait

pembahasan hukum perlindungan konsumen, penyelesaian

sengketa konsumen, keterangan, kajian, dan seminar

c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan Penulis sebagai bahan

yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum

sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris,

dan Kamus Hukum.

4. Metode Penulisan

Metode Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh

Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan

karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syariahdan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2017 ”

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah

penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk

memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Penulis menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,

kemudian Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian

Page 29: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

16

Terdahulu, Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual,

Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II: TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN

KONSUMEN

Dalam bab ini akan memaparkan mengenai pengertian

dari hukum konsumen dan dan hukum perlindungan

konsumen, pengertian konsumen dan pelaku usaha, hak

dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha secara

umum dan menurut UUPK, tahap-tahap transaksi

konsumen, lembaga-lembaga yang berperan dalam

perlindungan konsumen di Indonesia, teori tanggung

jawab pelaku usaha berdasarkan UUPK, ketentuan

pidana yang diatur dalam UUPK, dan penyelesaian

sengketa konsumen baik dalam maupun di luar

pengadilan.

BAB III: TINJAUAN UMUM PANGAN DAN DASAR HUKUM

SERTIFIKASI HALAL

Penulis menguraikan tentang beberapa bagian yang

menjelaskan tentang pengertian-pengertian lebih dalam

mengenai konsep halal haram menurut islam, tentang

sertifikasi dan labelisasi halal, fungsi halal haram,

peraturan yang mengatur tentang pencantuman produk

pangan berlabel halal menurut perundang-undangan yang

berlaku dan peran Negara dalam permasalahan sertifikasi

halal di Indonesia

BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERHADAP

PRODUK PANGAN YANG TIDAK

BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG-

Page 30: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

17

UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

Pada bab ini penulis membahas tentang bagaimana

pengaturan sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi

kehalalan produk di Indonesia, apa bentuk perlindungan

hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan

yang tidak bersertifikat halal, apa akibat dan sanksi hukum

pelaku usaha terhadap produk pangan yang tidak

bersertifikat halal.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan

dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan sebagai

jawaban seingkat atas permasalahan yang penulis teliti.

Page 31: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

18

BAB II

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Langkah awal penulis dalam dalam sebuah penelitian pada bab ini

menjelaskan bagaimana definisi ataupun pengertian mengenai

perlindungan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala

upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. Adapun tujuan hukum dalam

perlindungan konsumen adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan,

dan kepastian hukum.1

Maka, dapat diartikan bahwa hukum perlindungan konsumen

adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan

melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan

penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam

kehidupan bermasyarakat.2 Tegasnya hukum perlindungan konsumen

merupakan keseluruhan peraturan perundang-undangan , baik undang-

undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-

putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai kepentingan

konsumen.

Hal ini terkait dengan pasal 64 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang menyebutkan bahwa segala ketentuan peraturan

perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada

pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku

1Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi. Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta:

Roda Inti Media, 2010), h., 23 2N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung

Jawab Produk, (Jakarta : Panta Re, 2005, Cetakan ke-1), h ., 81.

Page 32: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

19

sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan

ketentuan undang-undang.

Dalam perlindungan konsumen di Indonesia.Ada beberapa pihak

yang berperan dalam memainkan perannya. Diantara lain adalah

konsumen, pelaku usaha, pemerintah, serta lembaga-lembaga terkait.

Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK, yang dimaksud dengan konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun

orang lain.

Sedangkan pelaku usaha Dalam Pasal 1 angka 2Undang-Undang

Perlindungan Konsumen disebutkan adalah setiap orang perorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi.

Adapun lembaga perlindungan konsumen diantara lain adalah

Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah

badan yang dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan

konsumen. Lembaga yang berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik

Indonesia ini bertanggung jawab kepada Presiden. Fungsi dari Badan

Perlindungan Konsumen Nasional adalah memberikan saran dan

pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan

perlindungan konsumen di Indonesia.

Sedangkan Badan Penyelesaian Sengketa KonsumenBadan

penyelesaian sengketa konsumen atau disingkat BPSK adalah badan yang

bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan

konsumen. BPSK dibentuk oleh pemerintah di daerah tingkat II

(kabupaten/kota) untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan.

Page 33: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

20

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

1. Asas Perlindungan Konsumen3

Asas Hukum Perlindungan Konsumen dimuat dalam Pasal 2

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang merumuskan bahwa

Perlindungan Konsumen didasari beberapa asas, antara lain adalah

a. Asas manfaat adalah asas yang mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsume dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan adalah asas yang memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah

dalam arti materiil dan spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah asas

yang memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan

kepada konsumen dalam pengguna, pemakaian, dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin

kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan Perlindungan Konsumem ini dirumuskan dalam Pasal 3

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa

tujuan dari perlindungan konsumen adalah:

3Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008) h., 105

Page 34: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

21

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian

konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses

untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.4

C. Pihak -Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen

Dalam perlindungan konsumen di Indonesia. Ada beberapa pihak

yang berperan penting dalam memainkan perannya. Diantara lain

adalah konsumen, pelaku usaha, pemerintah, serta lembaga-lembaga

terkait perlindungan konsumen.

a. Konsumen

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer,

secara harfiah arti kata consumer adalah ( lawan dari produsen )

setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus

Bahasa Inggris-Indonesia yang memberi arti kata consumer

sebagai pemakai atau konsumen. Kamus Besar Bahasa Indonesia (

KBBI ) mendefinisikan konsumen adalah pemakai barang-barang

4Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani,Hukum Tentang Perlindungan

Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008) h., 12

Page 35: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

22

hasil produksi. Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 2 UUPK,

yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.

b. Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi.

c. Pemerintah

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat

(1) Yang dimaksud dengan Pemerintah dalam lingkup

hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah menteri

atau menteri teknis terkait. Di dalam Pasal 1 angka 13 sendiri,

yang dimaksud dengan menteri adalah menteri yang ruang lingkup

tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.

Menteri yang dimaksud adalah menteri perdagangan dalam

hukum perlindungan konsumenpemerintah bertanggung jawab

atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang

menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta

dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Di

samping itu, selain melaksanakan tugas pembinaan, pemerintah

juga melaksanakan tugas pengawasan bersama-sama dengan

masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat.

d. Lembaga-Lembaga Perlindungan Konsumen

1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional

Page 36: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

23

Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang

dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan

konsumen. Lembaga yang berkedudukan di Ibu Kota Negara

Republik Indonesia ini bertanggung jawab kepada Presiden.

Fungsi dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional

adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah

dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di

Indonesia.

2) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Badan penyelesaian sengketa konsumen atau disingkat BPSK

adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan

sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK dibentuk

oleh pemerintah di daerah tingkat II (kabupaten/kota) untuk

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.5

D. Hak dan Kewajiban Konsumen

a. Hak dan Kewajiban Konsumen Perspektif UUPK

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan hak-hak

konsumen sebagai berikut :

1) Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3) Hak atas Informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

4) Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan.

5Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2008,) hal., 30

Page 37: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

24

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

secara diskriminatif.

8) Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan

lainnya.

Selain hak-hak konsumen tersebut, UUPK juga mengatur hak-hak

konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, yakni

tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak sesungguhnya

merupakan antonomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha

dapat dilihat dan merupakan bagian dari hak konsumen. Adapun

kewajiban pelaku usaha diantara lain adalah :

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif.

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku.

E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Berdasarkan UUPK pelaku usaha dilarang melakukan perbuatan

yang sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK, pelaku usaha dilarang

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa, yaitu:

Page 38: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

25

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut.

d. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

f. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

g. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara “halal” yang

dicantumkandalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan

pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku

usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

Page 39: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

26

BAB III

TINJAUAN UMUM PANGAN DAN

SERTIFIKASI HALAL

A. Pengertian Halal dan Haram dalam Produk Pangan

Menurut Ibn Manzhur, halal secara etimologi berasal dari kata “ al-

hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalq). Sedangkan halal secara

terminologi adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at Islam

untuk di konsumsi, terutama dalam hal makanan dan minuman. Allah

SWT melalui firman-Nya menyuruh kita untuk selalu mengonsumsi

pangan yang halal dan thayyib. Perintah tersebut terdapat dalam firman

Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 168 yang berbunyi :

ض حلل رأ ا في الأ طي با ول تتبعوا خطوات يا أيها الناس كلوا مم

الشيأطان إنه لكمأ عدو مبين (١٦٨)

Artinya : “ Wahai sekalian manusia, makanlah dari makanan yang halal

dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagimu”.

Cangkupan “ halal” dalam ayat tersebut meliputi halal dari segi

dzatnya yaitu pangan yang tidak ternasuk yanng diharamkan dan halal dari

segi cara memperolehnya. Sementara itu, yang dimaksud “ thayyib ”

dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah pangan yang dzatnya baik

dan tidak membahayakan badan serta akal manusia.1 Sementara itu,

menurut al-Qurthubi , lafazh thayyib dalam al-Qur’an yang berkaitan

dengan pangan yang dikonsumsi manusia mempunyai tiga arti diantaranya

adalah segala sesuatu yang terasa lezat oleh yang memakannya atau yang

meminumnya.

1Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.

Pertama, h., 16

Page 40: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

27

Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud thayyib dalam ayat

tersebut mencakup semua pengertian yang telah dikemukakan para ulama

tersebut diatas. Sebab, secara lughawi, thayyib itu berarti “ baik, lezat,

menentramkan, paling utama dan sehat”. Oleh karena itu , menurutnya

lebih lanjut, pangan yang thayyib dalam ayat tersebut meliputi makanan

yang tidak kotor dari segi zatnya, tidak rusak (tidak kadaluarsa), dan tidak

tercampur najis, juga, pangan yang mengandung selera dan memakannya,

tetapi tidak membahayakan fisik dan akalnya. Dengan demikian, pangan

tersebut proporsional, aman, dan sehat.2

Dalam kandungan ayat ini telah jelas bahwa orang-orang Muslim

diwajibkan untuk mengkonsumsi makan makanan yang halal dan baik.

Makanan yang baik disini adalah makanan yang diperbolehkan oleh

syariat baik dari segi zat nya, cara memperolehnya, dan cara mengolahnya.

Adapun makanan yang toyyib ( baik)adalah makanan yang baik bagi

kesehatan dan tidak berbahaya bagi dirinya jika di konsumsi.

Sedangkan haram secara terminologi adalah segala sesuatu yang

dilarang oleh syariat Islam untuk di konsumsi, dan apabila di konsumsi

maka akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan situasi tertentu

sehingga diperbolehkan.

Makanan dapat dikatakan halal setidaknya harus memenuhi tiga

kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memeprolehnya, dan halal cara

pengolahannya.

a. Halal zatnya

Makanan halal menurut zatnya adalah makanan yang berasal dari

bahan dasar yang halal untuk di konsumsi, tidak membahayakan

dan baik untuk kesehatan tubuh dan telah ditetapkan kehalalannya

dalam kitab suci al-qur’an dan as-sunnah.

2M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta

: Lentera Hati, 2001 ), Cet. Pertama, Jilid III, h., 24

Page 41: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

28

b. Halal cara memperolehnya

Yaitu makanan yang asal muasalnya diperoleh dengan cara yang

baik dan sah. Makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak sah

dan merugikan orang lain maka status hukumnya haram.

c. Halal cara pengolahannya

Makanan dapat dikatakan halal bisa dilihat dari cara

pengolahannya, selama makanan yang halal diolah dengan

ketentuan syariat dan tidak bertentangan terhadap al-qur’an dan as-

sunnah maka berstatus halal. Karena banyak sekali makanan yang

asal muasalnya berstatus halal tetapi karena pengolahannya yang

tidak benar dan bertentangan dengan syariat dapat menyebabkan

makanan tersebut menjadi haram. Contohnya anggur, buah anggur

halal dikonsumsi, akan tetapi jika buah tersebut diolah menjadi

sebuah minuman keras maka berubah status hukumnya menjadi

haram. Dan contoh lainnya adalah daging sapi. Daging sapi halal

status hukumnya jika dikonsumsi, akan tetapi jika cara

penyembelihan daging tersebut bertentangan dengan syariat maka

status hukumnya menjadi haram.

Dalam firman Allah surat Al-A’raf , ayat 157 yaitu :

توبا ي الذي يجدونه مكأ م سول النبي الأ عنأدهمأ في الذين يتبعون الر

نأجيل يأأمرهمأ بالأمعأروف وينأهاهمأ عن الأمنأكر ويحل لهم راة والأ التوأ

لل غأ رهمأ والأ م عليأهم الأخبائث ويضع عنأهمأ إصأ ي بات ويحر الط

روه ونصروه واتبعوا النور التي كانتأ عليأهمأ فالذين آ منوا به وعز

ئك هم الأمفألحون ﴿ ﴾١٥٧الذي أنأزل معه أول

Artinya: “Orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang

namanya mereka dapat tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada

disisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf

Page 42: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

29

dan melarang mereka mengerjakan yang munkar dan

menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan

bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka

beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka

orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,

menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan

kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang

beruntung ”

B. Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal adalah proses kegiatan pembuatan surat

keterangan halal ( fatwa halal ) atas suatu produk pangan yang dibuat

secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pihak yang berwenang

mengeluarkan fatwa di Indonesia. Sertifikat halal ini merupakan syarat

untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada sebuah produk dari

instansi pemerintah yang berwenang.Sejak tahun 2012- Okt 2017

LPPOM-MUI Pusat sudah mensertifikasi 6065 perusahaan. Berdasarkan

sertifikat sudah 7764 sertifikat halal yang yang diterbitkan dan

berdasarkan produk sudah ada 259964 produk yang mendapat sertifikat

halal. yang melakukan sertifikasi halal dan baru ada 1516 jumlah sertifikat

halal yang dikeluarkan oleh MUI dari sebanyak 52982 jumlah produk. 3

Berikut adalah data tabel Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI

Pusat Periode 2012-2017.

Tabel Data 3.1 Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI 2012- 2017

3E-lppommui.org,

Page 43: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

30

Tabel 3. 2 Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI 2012- 2017

TAHUN JUMLAH PERUSAHAAN JUMLAH SH JUMLAH

PRODUK

2012 626 653 19830

2013 913 1092 34634

2014 960 1310 40684

2015 1052 1404 46260

2016 1335 1789 65594

Okt –

2017 1169 1516 52982

TOTAL 6055 7764 259984

Sumber data : lppommui.org

Mengenai sertifikasi halal maka kita juga harus membahas apa itu

produk halal dan bagaimana ketentuannya. Yang dimaksud produk halal

adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan ketentuan

syariat, yaitu :

1. Tidak mengandung babi atau berasal dari babi

2. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan yang halal dan

disembelih menurut tata cara yang ditentukan oleh syari’at Islam.

3. Tidak mengandung khamr dan produk turunannya yang memabukkan

4. Semua tempat yang berkaitan dengan penyimpanan, pengelolaan,

penjualan tidak boleh digunakan untuk barang yang tidak halal.

Penetapan halal tidaknya sebuah produk pangan pada era sekarang

tentu tidak mudah bahkan mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi

dikarenakan banyaknya bahan baku atau dasar pokok produk yang masuk

Page 44: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

31

ke Indonesia berasal dari luar.4 Tetapi ada beberapa hal yang dapat

dilakukan untuk menjamin hak mendapatkan produk pangan yang halal.

Pertama, adanya jaminan undang-undang yang melindungi. Kedua, adanya

transparansi komposisi dan asal-usul serta cara memproduksi sebuah

pangan. Ketiga, yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun

daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa

kehalalannya. Mengenai proses sertifikasi halal dalam hal ini auditor halal

LPPOM-MUI melakukan audit di lapangan yang kemudian dilaporkan

kepada komisi fatwa MUI dalam bentuk laporan hasil audit yang diperoleh

dari hasil penelusuran titik kritis kehalalan sebuah produk pangan. Adapun

macam-macam titik kritis kehalalan baik produk makanan, minuman,

maupun obat-obatan adalah sebagai berikut5:

1. Titik Kritis Kehalalan Produk Makanan

a. Produk daging olahan seperti sosis, patties, bakso, nugget, dan

kornet. Adapun titik kritis kehalalannya terletak pada bahan-

bahan yang digunakan. Misalnya, daging dengan titik kritis

kehalalannya terletak pada sumber hewan dan tata cara

penyembelihannya. Casing atau selongsong yang terbuat dari

protein hewani ( kolagen). Casing digunakan dalam pembuatan

sosis dengan titik kritis kehalalannya terletak pada sumber hewan

yang digunakan sebagai kolagen dan tata cara penyembelihannya.

MDM (mechanically deboning meat) yaitu daging menempel

pada tulang kemudian dihancurkan dengan mesin yang

selanjutnya dipisahkan antara hancuran tulang dengan dagingnya.

MDM biasa digunakan untuk campuran pembuatan nugget.

Adapun titik kritis kehalalannya terletak pada proses

4Muhammad Ibnu Elmi As, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis danKomoditas

Agama, ( Malang: Madani , 2009) h., 22

5LPPOM MUI, Panduan Titik Kritis Bahan Untuk Auditor LPPOM MUI, h,.2

Page 45: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

32

pengumpulan tulang-tulang apakah berasal dari hewan yang halal

dan disembelih sesuai dengan syariat Islam atau tidak ?.

b. Bahan turunan hewan seperti protein, lemak, tulang, kulit,

rambut, darah dan jeroan. Bahan-bahan yang dihasilkan dari

turunan hewan tersebut berada dalam titik kritis kehalalan karena

terkait dengan asal-usul hewan dan proses penyembelihannya.

Oleh karena itu, bahan berikut ini diragukan kehalalannya yaitu :

1) Protein, seperti isolat protein, asam amino, enzim,

albuminod, dan nucleoprotein.

2) Lemak, seperti mono/digleserida, asam lemak, gliserol,

kolesterol, vitamin A, D, E, K, enzim dan MG stearat.

3) Tulang seperti glatin, kalsium steart, trikalsium, fosfat,

hidroksi, apatit.

4) Kulit, seperti glatin, kolagen, elastin, susu : laktosa, whey,

casien, dan caseinat.

5) Rambut : keratin, darah ; isolat plasma darah dalam

pembuatan roti sebagai pengganti putih telur. Dan jeroan :

taurin, enzim, insulin.

c. Produk olahan ikan diantaranya dendeng ikan, pindang ikan,

pengalengan ikan, bakso ikan, kerupuk ikan, dan empek-empek.

Adapun titik kritis kehalalannya tidak terletak pada daging ikan,

tetapi pada bahan lain yang ditambahkan kedalamnya. Misalnya,

dendeng ikan dengan titik kritis kehalalan terletak pada bumbu

penyedap rasa yang digunakan (MSG). Pindang ikan, ikan dalam

kalengan, bakso ikan, kerupuk ikan, dan empek-empek juga

demikian.

d. Permen, titik kehalalannya terletak pada bahan baku yang terdiri

dari gula, dan air yang menggunakan filter karbon aktif. Juga

pada bahan tambahan yang menggunakan falavor, sari buah, susu,

pewarna, pengawet, anti busa, bahan pembentuk gel, bahan

pelapis.

Page 46: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

33

e. Olahan cokelat yang terdiri atas bubuk coklat, cokelat industri,

coklat batang, coklat snack dan dragee. Adapun titik kritis

kehalalannya antara lain terletak pada minyak atau lemak ( nabati

atau hewani ) susu bubuk ( sumbernya), whey, flavor, emulsifier,

dan kacang-kacangan goreng ( minyak yang digunakan ).

f. Biskuit, snack, selai, dan jelly titik kritis kehalalannya terletak

pada keju, whey, minyak goreng, shortening, margarin, flavor,

bumbu dan gelatin. Titik kritis kehalalan shortening dan margarin

terletak pada asal-usul bahannya yang berasal dari tumbuh-

tumbuhan atau hewan. Titik kehalalan bumbu terletak pada bahan

segar yang berasal dari hewan.

g. Mie instan adalah mie yang dibuat dengan proses dehidrasi cepat.

Mie yang sudah masak dan tergelatinasi akan tetap stabil dalam

kemasannya sampai tiba waktunya terhidrasi. Di negara

Indonesia, perkembangan industri instant sangat pesat karena bisa

berfungsi sebagai pengganti bahan pangan utama yaitu beras.

Adapun titik kritis kehalalannya terletak pada semua bahan dan

seaseningnya. Seasening yang digunakan dalam proses

pembuatan mie antara lain MSG, kecap, sambal, dan falavor.

Titik kritis kehalalan MSG terletak pada media dan enzim yang

digunakan. Titik kritis kehalalan kecap terletak pada kaldu tulang

atau flavor yang ditambahkan. Titik kritis kehalalan sambal

terletak pada ekstrak protein yang ditambahkan. Titik kritis

kehalalan flavor terletak pada bahan yang dipergunakan dalam

pembuatannya yang sangat rumit.

2. Titik Kritis Kehalalan Produk Minuman

Adapun titik kritis kehalalan produk minuman terletak pada

bahan dan proses produksinya. Bahan baku yang digunakannya

tidak mengandung alkohol dan bahan-bahan yang membahayakan,

haram atau najis. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh

produk minuman berikut titik kritis kehalalan diantara lain adalah :

Page 47: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

34

a. Air minuman dalam kemasan ( AMDK )

Apabila dilihat dari bahan bakunya berupa air minum, maka

tidak perlu diragukan kehalalannya. Akan tetapi, apabila dilihat

dari proses produksinya maka aspek kehalalannya perlu

dicermati. Produk tersebut diproses melalui pemurnian ( raw

water ), ozonisasi dan seterusnya. Proses pemurnian dilakukan

dengan arang aktif yang berasal dari tumbuhan seperti arang

kelapa dan bisa juga berasal dari tulang hewan seperti tulang

babi. Oleh karena itu, proses pemurnian merupakan titik kritis

kehalalan produk minuman dalam kemasan. Disamping itu titik

kritis kehalalannya juga terletak pada penambahan perasa atau

flavour.

b. Susu

Susu merupakan produk minuman yang dihasilkan dari sekresi

hewan memamah biak. Adapun susu yang biasa dikonsumsi oleh

manusia berasal dari sapi, kambing, kerbau, dan unta. Pada

asalnya, susu itu hukumnya halal. Akan tetapi, perkembangan

teknologi telah menghasilkan susu dan produk olahannya berikut

turunannya yang perlu diwaspadai kehalalannya. Misalnya, susu

formula untuk bayi yang diperkaya dengan DHA ( omega tiga ).

Susu tersebut yang tadinya halal berubah statusnya menjadi

diragukan kehalalannya. Adapun titik kritis kehalalannya terletak

pada penambahan DHA. DHA yang dalam bentuk bubuk

kemudian dilapisi gelatin. Gelatin tersebut bisa berasal dari babi,

sapi, atau ikan. Susu fermentasi juga diragukan kehalalannya

seperti kefir karena mengandung alkohol 0.5-1% koumiss karena

mengandung alkohol 1-2,5% dan yogurt karena diberi bahan

penstabil yang bisa berasal gelatin.

c. Keju

Keju merupakan produk olahan susu yang bernilai ekonomis

tinggi yang diperoleh dengan cara memisahkannya dari whey.

Page 48: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

35

Proses pemisahan tersebut menggunakan rennet yang berfungsi

menggumpalkan sehingga menghasilkan keju. Rennet yang

digunakan berasal dari lambung anak sapi yang akhir-akhir ini

sulit ditemukan. Kemudian dicarikan penggantinya, maka

ditemukanlah porcine pepsin yang diekstrak dari lambung babi.

Ternyata porcine pepsin ini mampu menggumpalkan susu 400

kali lebih tinggi dibandingkan rennet anak sapi. Oleh karena itu,

disinilah letak titik kritis kehalalan keju dan whey sebagai

produk turunan susu.

3. Titik Kritis Kehalalan Obat-Obatan dan Kosmetika

Obat adalah semua zat baik zat kimia sintetik maupun

bahan alami yang dalam dosis layak mampu mempengaruhi organ-

organ tubuh agar berfungsi normal. Pengaruh terhadap organ-organ

tersebut terjadi dalam tahap diagnosa, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan maupun kontrasepsi. Komponen

bahan yang dipergunakan untuk pembuatan obat terdiri atas bahan

aktif obat atau zat berkhasiat dan bahan farmaseutik. Yang dimaksud

bahan aktif obat adalah zat utama yang mempunyai efek mengobati

atau mencegah suatu penyakit seperti antipretik atau obat turun

panas, anti infeksi, anti histamin, dan lain sebagainya.

Sedangkan bahan farmaseutik adalah bahan tambahan yang

bukan obat yang bersama obat dibuat menjadi produk farmasi.

Sumber bahan aktif obat berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan,

mikroba, bahan kimia sintetik dan bagian tubuh manusia. Begitu

juga dengan kosmetika. Bahan aktif obat yang berasal dari tumbuhan

dapat berasal dari sebagian atau keseluruhan bagian tumbuhan, atau

diisolasi dari sebagian atau keseluruhan bagian tumbuhan dengan

cara ekstraksi pelarut atau diproses dengan cara fermentasi.

Kehalalannya ditentukan oleh bahan tambahan atau penolong yang

digunakan dalam penyediaan bahan aktif obat tersebut.

Page 49: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

36

C. Prosedur Sertifikasi Halal

Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM

MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong

Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran

sertifikasi halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Berikut ini

adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses

sertifikasi halal :

1. Memahami persyaratan sertifikasi halal dan mengikuti pelatihan

SJH

Perusahaan harus memahami persyaratan sertifikasi halal yang

tercantum dalam HAS 23000.Selain itu, perusahaan juga harus

mengikuti pelatihan SJH yang diadakan LPPOM MUI, baik berupa

pelatihan reguler maupun pelatihan online (e-training).

2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH)

Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum melakukan

pendaftaran sertifikasi halal, antara lain: penetapan kebijakan halal,

penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH, pelaksanaan

pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit

dan kaji ulang manajemen.

3 Menyiapkan dokumen sertifikasi halal

Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk

sertifikasi halal, antara lain: daftar produk, daftar bahan dan dokumen

bahan, daftar penyembelih (khusus RPH), matriks produk, Manual SJH,

diagram alir proses, daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi

kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan bukti audit internal.

4. Melakukan pendaftaran sertifikasi halal (upload data)

Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara online di sistem

Cerol melalui website www.e-lppommui.org. Perusahaan harus

membaca user manual Cerol terlebih dahulu untuk memahami prosedur

sertifikasi halal Perusahaan harus melakukan upload data sertifikasi

sampai selesai, baru dapat diproses oleh LPPOM MUI.

Page 50: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

37

5. Melakukan monitoring pre audit dan pembayaran akad

sertifikasi

Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan harus

melakukan monitoring pre audit dan pembayaran akad sertifikasi.

Monitoring pre audit disarankan dilakukan setiap hari untuk

mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre audit.

Pembayaran akad sertifikasi dilakukan dengan mengunduh akad di

Cerol, membayar biaya akad dan menandatangani akad, untuk

kemudian melakukan pembayaran di Cerol dan disetujui oleh

Bendahara LPPOM MUI.

6. Pelaksanaan audit

Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah lolos

pre audit dan akad sudah disetujui. Audit dilaksanakan di semua

fasilitas yang berkaitan dengan produk yang disertifikasi.

7. Melakukan monitoring pasca audit

Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan

harus melakukan monitoring pasca audit. Monitoring pasca audit

disarankan dilakukan setiap hari untuk mengetahui adanya

ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian

agar dilakukan perbaikan.

8. Memperoleh Sertifikat halal

Perusahaan dapat mengunduh Sertifikat halal dalam bentuk

softcopy di Cerol. Sertifikat halal yang asli dapat diambil di kantor

LPPOM MUI Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat perusahaan.

Sertifikat halal berlaku selama 2 (dua) tahun.

Page 51: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

38

Tabel 3. 3 Proses Sertifikasi Halal Dalam Bentuk Diagram Alir

Sumber Data : halalmui.org

Secara umum prosedur sertifikasi halal adalah sebagai berikut :

1. Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru,

pengembangan (produk/fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan

pendaftaran secara online. melalui website LPPOM MUI

2. Mengisi data pendaftaran : status sertifikasi

(baru/pengembangan/perpanjangan), data Sertifikat halal, status SJH

(jika ada) dan kelompok produk.

3. Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal

Komponen biaya akad sertifikasi halal mencakup :

Honor audit

Biaya sertifikat halal

Biaya penilaian implementasi SJH

Biaya publikasi majalah Jurnal Halal

*) Biaya tersebut diluar transportasi dan akomodasi yang

ditanggung perusahaan

Page 52: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

39

4. Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran

sesuai dengan status pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan)

dan proses bisnis (industri pengolahan, RPH, restoran, dan industri

jasa), diantaranya : Manual SJH, Diagram alir proses produksi, data

pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang digunakan,

serta data matrix produk.

5. Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, maka tahap

selanjutnya sesuai dengan diagram alir proses sertifikasi halal seperti

diatas yaitu pemeriksaan kecukupan dokumen Penerbitan Sertifikat

Halal.

D. KRITERIA SISTEM JAMINAN HALAL

1. Kebijakan Halal

Manajemen Puncak harus menetapkan Kebijakan Halal dan

mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku

kepentingan (stake holder) perusahaan.

2. Tim Manajemen Halal

Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen

Halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas

kritis serta memiliki tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas.

3. Pelatihan dan Edukasi

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan

pelatihan. Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun

sekali dan pelatihan eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun

sekali.

4. Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang

disertifikasi tidak boleh berasal dari bahan haram atau najis.

Perusahaan harus mempunyai dokumen pendukung untuk semua

bahan yang digunakan, kecuali bahan tidak kritis atau bahan yang

dibeli secara retail.

5. Produk

Page 53: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

40

Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki

kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram

atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.

Merk/nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh

menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan

atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Produk pangan

eceran (retail) dengan merk sama yang beredar di Indonesia harus

didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi, tidak boleh jika hanya

didaftarkan sebagian.

6. Fasilitas Produksi

a. Industri pengolahan: (i) Fasilitas produksi harus menjamin tidak

adanya kontaminasi silang dengan bahan/produk yang

haram/najis; (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan secara

bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan

produk yang tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan

yang berasal dari babi/turunannya, namun harus ada prosedur

yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.

b. Restoran/Katering/Dapur: (i) Dapur hanya dikhususkan untuk

produksi halal; (ii) Fasilitas dan peralatan penyajian hanya

dikhususkan untuk menyajikan produk halal.

c. Rumah Potong Hewan (RPH): (i) Fasilitas RPH hanya

dikhususkan untuk produksi daging hewan halal; (ii) Lokasi

RPH harus terpisah secara nyata dari RPH/peternakan babi; (iii)

Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka

harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal; (iv) Alat

penyembelih harus memenuhi persyaratan.

7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai

pelaksanaan aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang

dapat mempengaruhi status kehalalan produk. Aktivitas kritis dapat

mencakup seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan

Page 54: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

41

datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan

peralatan pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan

produk, transportasi, pemajangan (display), aturan pengunjung,

penentuan menu, pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan

proses bisnis perusahaan (industri pengolahan, RPH,

restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas kritis dapat

dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.

8. Kemampuan Telusur (Traceability)

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk

menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari

bahan yang memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan

diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari

bahan babi/ turunannya).

9. Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk

menangani produk yang tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak dijual

ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan jika terlanjur

dijual maka harus ditarik.

10. Audit Internal

Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit

internal pelaksanaan SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam

bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor halal internal yang

kompeten dan independen. Hasil audit internal disampaikan ke

LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan

sekali.

11. Kaji Ulang Manajemen

Manajemen Puncak atau wakilnya harus melakukan kaji

ulang manajemen minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan

untuk menilai efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan

berkelanjutan.

Page 55: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

42

E. Peraturan Perundang-undangan Pangan

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Ada beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk

pangan di dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan, yaitu dalam

Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 dan 34. Bunyi pasal dan

penjelasan tersebut tertuang pada pasal 30 yaitu :

(2) Setiap orang yang memproduksi atau memasukan kedalam

wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan

wajib mencantumkan label pada, di dalam atau di kemasan pangan.

(3) Label, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) memuat

sekurang-kurangnya keterangan mengenai :

1) Nama produk

2) Daftar bahan yang digunakan

3) Berat bersih atau isi bersih

4) Nama dan alamat pihak yang memproduksi

5) Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa

Penjelasan pada pasal 30 ayat 2 (e) keterangan halal untuk suatu

produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang

mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label

pangan pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang

memproduksi pangan dan atau memasukan pangan ke wilayah

Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang

bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Pasal 34

a. Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa

pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan

agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas

kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau

kepercayaan tersebut.

Penjelasan dalam ketentuan ini merupakan benar tidaknya suatu

pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya

Page 56: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

43

dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, tetapi mencakup

nilai proses pembuatannya juga.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan

Terdapat dalam pasal 3 ayat 2

Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya :

a. Nama produk

b. Daftar bahan yang digunakan

c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan

pangan ke wilayah Indonesia

d. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa

Pasal 10

1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukan pangan yang

dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk memperdagangkan

dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,

bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan

wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.

2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat I,

merupakan bagian yang tidak terpisah dari label.

Pasal 11

1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang

memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas kedalam

wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan

terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang

telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan

berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh

menteri agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran

Page 57: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

44

lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi dibidang

tersebut.

Page 58: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

45

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi

Kehalalan Produk Pangan di Indonesia

1. Pengaturan Dalam Prespektif Hukum Islam

Sebagai topik pembahasan penulis mengenai perlindungan hukum

hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak

bersertifikat halal, maka perlu kita ketahui mengenai pengaturan dalam

prespektif hukum Islam itu sendiri. Islam telah mengatur sedemikian

rupa mengenai batasan-batasan atau larangan segala sesuatu di dalam

sendi kehidupan. Salah satu nya adalah larangan mengkonsumsi pangan

yang tidak halal. Di Indonesia sendiri yang merupakan negara hukum

memiliki acuan dasar atau pedoman berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia ( Selanjutnya disebut UUD 1945 ). Bila

ditinjau dari kedudukan hierarki perundang-undangan yang ada, maka

sampai saat ini UUD 1945 masih merupakan sumber hukum tertinggi

yang menjadi landasan dan acuan bagi pembentukan dan pelaksanaan

ketentuang perundang-undangan lain yang berada di bawahnya.1

Jika kita merujuk pada pada ketentuan pasal 29 UUD 1945,

sebagaimana yang telah diamandemen menjadi pasal 28 (e) yang secara

tegas tidak saja memberikan jaminan kebebasan untuk memilih dan

memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing namun

juga telah memberikan jaminan berupa keamanan untuk melaksanakan

segala bentuk aktivitas keagamaan secara penuh.

Dalam menerjemahkan ketentuan pasal 29 UUD 1945 tersebut,

penulis mengutip apa yang dikemukakan oleh Muchsin tentang pendapat

1Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi

Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, ( Jakarta: Pusat Studi

HukumTata Negara Universitas Indonesia, 2005) h., 45

Page 59: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

46

Hazairin dalam bukunya yang berjudul “ Demokrasi Pancasila ” yang

disebutkan bahwa :2

a. Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku

sesuatu yang bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam,

atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi

umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hindu

bagi orang-orang Hindu di Bali atau kaidah-kaidah Budha bagi

orang-orang Budha.

b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi

yang beragama Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, syariat

Hindu Bali bagi orang Hindu Bali, sekedar menjalankan syariat

tersebut memerlukan pelantaraan kekuasaan Negara.

c. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk

menjalankannya, dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh

setiap pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewajiban

pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu yang dijalankannya

sendiri menurut agamanya masing-masing.

Dari uraian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa UUD

1945 telah memberikan jaminan berupa kebebasan memeluk agama

sesuai kepercayaan masing-masing dan diberikan keamanan serta

perlindungan terhadap segala aktivitas keagamaan sesuai kepercayaan

yang dimilikinya. Hal ini jika dikaitkan dengan pangan halal, maka setiap

Muslim berhak menerima perlindungan terhadap pangan yang masuk

atau beredar di indonesia dengan diberikan jaminan produk yang telah

bersertifikat halal. Agar diberi rasa keamanan terhadap apa yang di

konsumsi oleh setiap umat Islam di Indonesia. Karena sebagaimana yang

kita ketahui, Islam sendiri merupakan agama yang terikat dengan aturan

hukum syariah yang berdasarkan Al-Qur’an dan As- Sunnah. Oleh

karena itu, setiap pemeluknya memiliki hak untuk memperoleh

2Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia ( Surabaya: STIH Ibalm, 2004)

h., 6.

Page 60: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

47

perlindungan hukum dalam pelaksanaan syariat agama Islam dalam

kehidupan sehari-hari termasuk salah satunya adalah dalam aspek pangan

halal.

Selanjutnya Islam memberikan penjelasan mengenai persoalan-

persoalan mana saja yang halal dan mana saja yang haram. Dalam

masalah makanan, misalnya pada dasarnya Islam menghalalkan semua

jenis makanan dan minuman yang baik dan bergizi (ath-thayyibat) dan

mengharamkan semua jenis makanan dan minuman yang menjijikan (al-

khabaits) (al-A’raf [7]:157). Ketentuan tersebut kemudian diperinci lagi

oleh Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:173. Ayat tersebut menjelaskan

secara tegas mengenai empat jenis makanan yang haram dikonsumsi

yaitu bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih untuk selain

Allah. Sementara itu, hanya ada satu jenis minuman yang diharamkan

yaitu khamr seperti dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Maidah [5] : 90.

Diluar itu, haram dikonsumsi seperti binatang buas yang bertaring,

berkuku, tajam, binatang yang hidup di dua alam (darat dan laut),

potongan dari binatang yang masih hidup, dan sebagainya.3

Ketentuan tersebut harus ditaati dan dipedomani oleh setiap

Muslim dalam mengkonsumsi makanan juga obat-obatan dan kosmetika.

Ketaatan terhadapnya tidak hanya terikat dengan masalah hukum saja,

tetapi lebih dari itu. Hal tersebut berkaitan juga dengan masalah

keimanan. Sebab, keimanan kita harus dibuktikan dengan ketaatan

terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya termasuk dalam

hukum yang terkait dengan halal-haramnya makanan. Di dalam surat al-

Ahzab [33] : 36. Allah SWT telah memberi peringatan kepada kita umat

Islam agar tidak mengambil hukum yang lain apabila Allah dan Rasulnya

telah menetapkan suatu hukum. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut

divonis sebagai kafir atau fasiq atau zhalim sesuai dengan jenis dan berat

3KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, Mei, 2014, h., 56

Page 61: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

48

ringannya pelanggaran yang dilakukan (al-Maidah [5] : 44,45,47).

Dengan demikian, ketaatan tersebut terkait dengan masalah akidah. Oleh

karena itu, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak mengetahuinya

apalagi tidak mematuhinya,

Dengan demikian, kita diperintahkan untuk mengkonsumsi pangan

yang halal ( menurut hukum agama), dan bergizi ( menurut ilmu

kesehatan) serta diperoleh dari usaha yang halal.bersamaan dengan itu,

kita juga dilarang mengkonsumsi pangan yang diperoleh dari usaha yang

tidak halal ( pangan yang haram ). Oleh karena itu, pangan yang kita

konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita harus dipastikan

sebagai pangan yang halal. Bukan pangan yang haram. Sebab, apabila

pangan yang dikonsumsi itu adalah pangan yang haram, maka hal itu

akan berpengaruh buruk pada jasmani dan ruhaninya.

Quraish Shihab, seorang ahli tafsir mengutip pendapat Alexis

Carel, pemenang hadiah Nobel kedokteran, yang menyatakan bahwa:

perasaan manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas

makanan yang dikonsumsinya, “Agaknya melalui kata “rijsun”, ayat ini

(al-Maidah [5] : 90) bermaksud menjelaskan salah satu hikmah

pengharaman babi atau apa yang disebutkan karena makanan tersebut

berdampak buruk pada jiwa dan perilaku manusia.4

Rasyid Ridla, seorang ahli tafsir pemikir Islam kata “rijsun” itu

digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang kotor baik secara lahiriah

(hissiyyah) maupun secara maknawiyah (ma’nawiyyah). Arti yang

pertama kita dapatkan dari surat al-An’am [6] : 145, sedangkan arti kotor

secara maknawiah adalah apabila sesuatu itu membahayakan bagi

manusia.5 Atas dasar itu, maka pangan yang diharamkan itu pasti

membahayakan manusia apabila dikonsumsi apabila dikonsumsi seperti

babi, bangkai dan darah.

4M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, ( Jakarta : Lentera Hati, Jilid III, h., 316 5Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Juz VII, h., 87-88

Page 62: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

49

Berkaitan dengan dua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa pernyataan mengenai tafsir ayat tersebut mengisyaratkan segala

bentuk pengaturan perihal adanya makanan yang diharamkan dalam

agama Islam pada dasarnya merupakan sebuah bentuk perlindungan

terhadap jasmani dan ruhani nya seseorang. Karena, tanpa disadari

perasaan manusia itu tergantung oleh kualitas dan kuantitas makanan

yang dikonsumsinya. Jika kita mengonsumsi makanan yang halal dan

thayyib, maka kualitas perasaan manusia akan lebih baik. Begitupun

sebaliknya jika seseorang mengonsumsi makanan yang haram maka akan

berpengaruh terhadap perasaannya.

Bahkan berdasarkan berbagai referensi yang penulis dapat, jika

bicara mengenai masalah medis, mengonsumsi daging babi itu juga akan

menimbulkan berbagai macam penyakit. Berbagai penelitian yang

dilakukan oleh para ahli menunjukan ada beberapa penyakit akibat

mengonsumsi daging babi diantara lain seperti mandul, asma, rematik,

lemahnya daya ingat dan menimbulkan kerontokan rambut. Lebih dari

itu, hasil-hasil studi mutakhir menunjukan bahwa daging babi itu sukar

sekali dicerna karena serabut urat-uratnya penuh dengan sel-sel lemak

yang jumlahnya melebihi sel-sel lemak yang terdapat pada daging

kerbau, kambing dan unta. Jaringan serabut lemak tersebut merintangi

pekerjaan enzim di lambung sehingga enzim tidak mudah mencerna

bahan-bahan tersebut. Akibatnya, sangat melelahkan lambung,

mempersulit pencernaan dan pada akhirnya membuat perut terasa berat

dan menyebabkan muntah dan mencret.

Disamping itu, dalam babi juga terdapat berbagai macam parasit

dan kuman penyakit. Adapun parasit yang terdapat didalam babi antara

lain: fasciolepsis buski, round worms, hook worms, paragonium ( cacing

paru-paru ), clonorchis sinensis, giganthorinchus, meta strongylus apri,

swine erysipelas, taenia solium (cacing pita), trichinila spiralis (cacing

spiral) dan achitosoma japanicom. Berbagai kuman penyakit-pun dapat

ditularkan oleh babi seperti penyakit TBC, cacar, scabies, fusiformas N,

Page 63: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

50

salmonella cholera suis, balntidium choli, brucellosis dan taxoplasma

gondi.6

Berdasarkan uraian tersebut penulis dapat menyimpulkam

bahwasannya pangan yang diharamkan dalam aturan ajaran agama Islam

itu tidak serta merta haram secara hukum saja, tetapi berbahaya juga bagi

manusia jika mengkonsumsinya baik secara jasmani maupun ruhani.

Sebaliknya pangan yang halal itu akan memberi manfaat bagi manusia

yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan

hidup ini kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan

pangan yang halal dan menjauhi pangan yang haram. Agar dapat

melaksanakan perintah Rasul tersebut dengan baik, tentu kita harus

mengetahui dan membedakan mana yang dan mana yang halal.

Sementara itu dalam “Panduan Sertifikat Halal” yang dikeluarkan

oleh Departemen Agama, dijelaskan bahwa produk yang halal

adalahproduk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat

Islam, antara lain (Departemen Agama RI, 2008, 2):

a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-

bahan yang berasal dari organ mansia, darah, dan kotoran;

c. Semua bahan yang bersal dari hewan yang disembelih menurut tata

cara syariat Islam;

d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,

tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk

babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan

untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terdahulu harus

dibersihkan dengan tata cara syariat Islam; dan

e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

6Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.

Pertama, h., 16

Page 64: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

51

Maka, secara umum makanan dan minuman yang haram terdiri dari

binatang, tumbuh-tumbuhan sebagai berikut:

a. Binatang: bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih dengan

nama selain Allah. Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya

menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh

tertanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk

berhala kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa

disembelih. Binatang yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri

manusia. Binatang dan burung buas yang bertaring dan memiliki

cakar, binatang-binatang yang oleh ajaran Islam diperintahkan

membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing galak, dan burung

elang dan sejenisnya, binatang-binatang yang dilarang

membunuhnya seperti semut, lebah, burung hudhud, belatuk, hewan

yang hidup di dua jenis alam seperti kodok, penyu dan buaya.

b. Tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, dan buah-buahan boleh dimakan

kecuali yang mendatangkan bahaya atau memabukan baik secara

langsung maupun melalui proses. Maka semua jenis tumbuh-

tumbuhan yang mengandung racun atau yang memabukan haram

dimakan.

c. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang

memabukan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda

najis, baik sedikit maupun banyak.

Berdasarkan pemaparan tersebut, secara umum penulis dapat

menyimpulkan bahwa Islam memiliki aturan dan rambu-rambu

mengenai apa yang halal dan baik (thayyib) untuk di konsumsi oleh

manusia. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui apa saja yang

dibolehkan dan diharamkan menurut syariat Islam dalam

mengkonsumsi pangan baik berupa makanan, minuman, obat-obatan,

kosmetik dan sejenis lainnya demi kebaikan jasmani dan ruhani.

Page 65: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

52

2. Pengaturan Sertifikasi Halal dalam Perspektif Hukum Nasional

Mengenai pengaturan sertifikasi halal dalam perspektif hukum

Nasional, penulis melihat penataan peraturan sertifikasi halal di

Indonesia terhadap makanan baru dimulai pada tahun 1967 yaitu

dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang

Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Di dalamnya diatur

tentang berbagai hal peternakan hewan termasuk pengaturan

penyembelihan dan penanganan hewan yang akan di konsumsi

manusia. Akan tetapi, dalam undang-undang tersebut berikut

penjelasannya sama sekali tidak disinggung masalah kehalalan pangan.

Setelah sembilan tahun kemudian baru lahirlah Peraturan Menteri

Kesehatan RI NO. 280/Menkes/Per/XII/76 tentang “Ketentuan

Peredaran dan Penandaan Makanan yang Berasal dari Babi”.

Permenkes tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya

kerancuan antara produk yang mengandung babi dengan produk lainnya

yang tidak mengandung babi. Nampaknya, Permenkes tersebut

mengikuti pendapat yang berkembang di masyarakat yang tidak

menginginkan label halal, tetapi menginginkan “label haram” sebagai

langkah preventif agar tidak mengonsumsi pangan yang haram. Untuk

keperluan tersebut maka diberikanlah peringatan dengan cara

“menandai label” pangan yang haram. 7

Dengan demikian, penulis melihat bahwa Permenkes tersebut

memberikan kepastian hukum bagi konsumen Muslim dari

mengonsumsi produk yang diharamkan seperti babi. Inilah peraturan

yang pertama kali dibuat yang mengatur pangan halal. Di dalam sebuah

produk pangan yang berasal dari babi harus mencantumkan tulisan “

7KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, Mei, 2014, h., 15

Page 66: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

53

MENGANDUNG BABI ” pada labelnya dengan huruf yang berwarna

merah. Disamping itu, harus pula disertakan gambar babi dalam kotak

persegi yang berwarna merah.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

permenkes tersebut sangat memberikan ketegasan serta keseriusan

terhadap segala bentuk produk yang masuk di Indonesia jika berasal

dari bahan babi maka wajib mencantumkan label atau tulisan yang

berisi mengandung daging babi dengan tegas. Hal ini bertujuan agar

konsumen yang buta huruf pun dapat mengetahuinya sehingga dapat

terselamatkan dari produk haram tersebut. Apabila produsen melanggar

ketentuan tersebut, maka produknya dilarang beredar di Indonesia dan

pihak yang berwenang akan manarik produk tersebut dari pasar dan

nomor registrasinya dapat dicabut juga.

Dua tahun setelah itu, pada tahun 1978 lahirlah Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang “label dan periklanan

makanan”. Didalamnya antara lain disebutkan bahwa bila dalam

komposisi makanan terdapat bahan penyusun yang berasal dari babi,

harus mengikuti Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang Ketentuan

Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan

Berasal dari Babi.

Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa peraturan ini

semakin memperkokoh perlindungan hukum bagi konsumen Muslim

dari mengkonsumsi pangan yang haram. Selanjutnya pada tahun 1985

ditandatanganilah Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri

Agama Republik Indonesia No. 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985/ dan No.

68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label

Makanan. Di dalamnya juga dijelaskan pengertian makanan halal dan

makanan yang mencakup semua jenis makanan yang tidak mengandung

unsur atau bahan yang terlarang atau diolah dan diproses menurut

syariat Islam

Page 67: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

54

Selanjutnya di dalam pasal 2 ditegaskan bahwa produsen yang

mencantumkan label halal pada makanan di produknya bertanggung

jawab atas kehalalan makanan tersebut bagi konsumen Muslim. Agar

tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut ada bagian

pengawas lapangan oleh pihak yang berwenang. Pihak yang dimaksud

saat itu adalah Tim Penilai Pendaftaran Makanan pada Departemen

Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan

(Dirjen POM) dengan unsur dari Departemen Agama.

Pada tahun 1989 terbitlah Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang pemotongan babi dan penanganan

daging babi dan hasil ikutannya. SK tersebut dimaksudkan untuk

mencegah penggunaan daging babi dan hasil ikutannya dalam produk

makanan atau campuran makanan. Selanjutnya pada tahun 1991

terbitlah Instruksi Presiden RI No. 2/1991 tentang Peningkatan

Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Predaran Makanan Olahan.

Didalamnya terdapat lima instruksi Presiden kepada menteri-menteri

terkait. Di dalam butir pertama disebutkan bahwa pembinaan dan

pengawasan produksi dan pengedaran makanan olahan dilakukan oleh

Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, dan

Menteri Perdagangan dibawah koordinasi Menko Kesra. Kemudian

dalam butir ketiga ditegaskan bahwa sebagai implementasi dari butir

pertama tersebut instansi-instansi terkait membuat peraturan-peraturan

sesuai dengan kewenangannya masing-masing.8

Dari uraian tersebut penulis menyimpulkan bahwa SK yang

dikeluarkan oleh Menteri Pertanian berfungsi untuk mencegah

penggunaan daging babi dalam produk makanan atau campuran

makanan. Selanjutnya mengenai terbitnya Instruksi Presiden RI No.

2/1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan

Predaran Makanan Olahan bertujuan untuk penugasan berupa

8Lihat, butir ketiga Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 1991 tentang Pemotongan Babi

dan penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya.

Page 68: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

55

pembinaan dan pengawasan produksi serta membuat peraturan-

peraturan terkait peredaran makanan olahan sesuai dengan

kewenangannya masing-masing pada setiap instansi-instansi terkait.

Pada tahun 1992 keluarlah Surat Keputusan Menteri Pertanian

No. 745/Kpts/TN. 240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan

Pemasukan Daging dari Luar Negeri. Dari SK tersebut penulis melihat

didalamnya berisi penegasan mengenai pemasukan daging dari luar

negeri harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan

menurut syariat Islam dan dibuktikan dalam “sertifikat halal” dari

negara asal. Selanjutnya diatur agar daging tersebut tidak boleh

dicampur dalam satu wadah dengan daging yang tidak mempunyai

Sertifikat Halal. Dengan demikian, SK Menteri Pertanian ini khusus

mengatur impor daging dari daging luar negeri yang kehalalannya

sangat ditentukan dari proses penyembelihan dan pengirimannya.

Empat tahun kemudian, terbitlah berturut-turut dua keputusan

Menteri Kesehatan sebagai pelaksana lebih lanjut dari Undang-Undang

Kesehatan yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

82/Menkes/SK/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label

Makanan dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

924/Menkes/SK/VIII/1996 dengan Peraturan Pelaksanaanya. Di dalam

rinciannya diuraikan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan

Sertifikat Halal sebagai berikut :

a. Kriteria makanan dan minuman

b. Tata cara pemotongan hewan

c. Tata cara penyimpanan bahan

d. Persoalan teknis yang dengan pengolahan dan proses produksi

pangan sampai menjadi bahan jadi (pangan olahan).

Setelah terbit keputusan Menteri Kesehatan RI No.

82/Menkes/SK/1996. Ditahun yang sama juga pada tanggal 4

November 1996 lahirlah Undang-Undang Pangan yaitu Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1996. Di dalamnya disebutkan antara lain

Page 69: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

56

bahwa keterangan tentang halal merupakan bagian integral dari label,

tetapi di dalam penjelasannya tersebut terkesan dianulir kembali.

Dengan demikian, labelisasi halal yang tadinya wajib menjadi tidak

wajib atau bersifat suka rela.9

Dari uraian tersebut penulis memberikan kesimpulan bahwa

setelah terbitnya keputusan Menteri Kesehatan RI No.

82/Menkes/SK/1996 lebih memperinci mengenai pengaturan sertifikat

halal berupa pencantuman tulisan halal pada label makanan. Di dalam

peraturan tersebut juga mengatur hal-hal mengenai kriteria makanan

dan minuman, tata cara pemotongan hewan, tata cara penyimpanan

bahan, dan persoalan teknis yang berkaitan dengan pengolahan dan

proses produksi pangan. Mengenai Undang-Undang Pangan yang lahir

tepat di tahun yang sama mengubah aturan yang tadinya mewajibkan

mencantumkan label halal menjadi tidak wajib atau suka rela. Hal ini

diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang

Label dan Iklan Pangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-

Undang Pangan di dalam penjelasan pada pasal 11 ayat 1 dinyatakan “

pencantuman label halal pada dasarnya bersifat suka rela”.

Tetapi meskipun seperti itu di dalam Undang-Undang tersebut

disertakan sanksi bagi pihak yang melanggar berupa dengan sanksi

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak

Rp. 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Sanksi tersebut

dikenakan kepada siapa saja yang memberikan pernyataan atau

keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label pada sebuah produk.

Di samping denda dan sanksi kurungan juga terdapat sanksi

administratif yang diantara lain meliputi : a). Peringatan secara

tertulis;, b). Larangan pengedaran sementara waktu dan penarikan

produk pangan dari peredaran; c). Pemusnahan produk pangan jika

membahayakan kesehatan dan jiwa manusia d). Penghentia produk

9Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.

Pertama, h., 25

Page 70: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

57

sementara waktu; e). Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.0000,-

dan f). Pencabutan izin usaha.

Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8

Tahun 1999 juga mengatur mengenai persoalan halal yang senada

dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Persoalan tersebut berkaitan

erat dengan hak dan kewajiban konsumen dan produsen. Konsumen

berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dalam

mengonsumsi pangan. Ia juga berhak untuk mendapatkan informasi

yang benar, jelas, dan jujur tentang pangan yang dikonsumsinya.

Pengaturan tentang sertifikasi halaldalam memberikan

perlindungankonsumen Muslim juga terdapat pada Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Undangundangini mengatur hak dan kewajibanpelaku usaha yang

tertuang dalam pasal 23sampai dengan pasal 27. Dalam pasal 26 pelaku

usaha yang memproduksi produkdari bahan yang berasal dari bahan

yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalampasal 18 dan pasal 20

dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.

Berdasarkan uraian diatas Regulasi tentang sertifikasi halal yang

terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH, telah memberikan

kejelasan perlindungan bagi konsumen khususnya konsumen muslim.

Peredaran produkproduk pangan yang tidak bersertifikat halal dan tidak

berlabel halal tidak lagi bisa beredar di Indonesia baik yang di produksi

di dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri.

Mengenai lembaga yang bertanggung jawab sebagai pelaksana

pemeriksaan pangan halal, dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Agama

Nomor 519 disebutkan: “Menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai

lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang

dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia”. Dalam pasal tersebut

tertera jelas bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapatkan

kepercayaan dari pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab

Page 71: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

58

dalam pemeriksaan pangan halal. Penunjukan MUI sebagai lembaga

pelaksana pemeriksa pangan, pada dasarnya mengukuhkan Lembaga

Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama

Indonesia, disingkat menjadi LPPOM MUI, sebagai lembaga yang

resmi menangani permasalahan pemeriksaan pangan halal.

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap Produk

Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal

Seiring dengan majunya perkembangan teknologi pangan di

Indonesia serta pemberlakuan UUJPH akan dilaksanakan di tahun 2019.

Maka salah satu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen Muslim

terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat halal pada saat ini

adalah dengan melihat daftar bahan yang digunakan (engredients),

nomor izin edar bagi panganolahan, tanggal kode produksi, namadan

alamat pihak yangmemproduksi atau mengimpor. Hal ini dilakukan

untuk mengantisipasi terhadap produk pangan yang tidak jelas

kehalalannya. Para konsumen khususnya yang beragama Islam harus

lebih hati-hati, karena banyak bahan baku dan bahan tambahan yang

digunakan untuk memproduksi suatu makanan olahan. Untuk menjamin

agar produk pangan (makanan dan minuman) aman dari pengaruh

teknologi maka konsumen dihimbau untuk meneliti dan menilai produk

yang akan dikonsumsi nya secara detail dan seksama melalaui

ketentuan tersebut.

Pada dasarnya keberadaan jaminan produk pangan halal

berangkat dari informasi yang benar, jelas, dan lengkap baik secara

kuantitatif maupun kualitas dari produk pangan yang mereka konsumsi.

Pencantuman label halal sebagai konsekuensi sebuah produk yang

bersertifikat halal akan mengembalikan hak-hak konsumen untuk

menyeleksidan mengkonsumsi jenis makanan yang mereka hendak

konsumsi. Oleh karena itu pencantuman label harus terbuka dan jelas

terlihat, sehingga menunjukkan adanya itikad baik dari pelaku usaha

Page 72: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

59

untuk mengembalikan hak-hak konsumen.Karena selain untuk

menjamin aspek kesehatan, juga bahkan yang sangat penting adalah

sebagai bentuk pemberian jaminan perlindungan dan kepuasan

masyarakat.

Di dalam undang-undang Nomor 18 Tahun 2012tentang Pangan

terdapat beberapa pasalyang terkait dengan kehalalan produkpangan

yaitu pasal 97 ayat (1), (2) dan (3).Adapun bunyi pasal tersebut adalah

sebagaiberikut :Pasal 97

(1) Setiap orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri

untukdiperdagangkan wajib mencantumkanlabel di dalam dan/atau

pada KemasanPangan

(2) Setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib

mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan pada

saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau

dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat

paling sedikit keterangan mengenai :

a. Nama produk;

b. Daftar bahan yang digunakan;

c. Berat bersih dan isi bersih;

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;

e. Halal bagi yang dipersyaratkan;

f. Tanggal dan kode produksi;

g. Tanggal,bulan dan tahun kadaluarsa;

h. Nomor izin edar bagi Pangan Olahan

Dengan uraian diatas menurut penulis dalam pasal 97 sudah

jelas bahwa seorang pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan

label halal guna melindungi hak-hak seorang Muslim. Akan tetapi label

halal yang berasal dari sertifikasi halal belum di wajibkan, tetapi

dipersyaratkan. Pelaku usaha pun harus bertanggungjawab penuh

Page 73: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

60

terhadap pencantuman label halal tersebut yang merupakan satu

kesatuan dengan kemasannya. Pengaturan tentang kehalalan produk

juga diatur di dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan yaitu di pasal 10 dan pasal 11. Dalam penjelasan pasal 10,

bahwa pencantuman keterangan halal atau tulisan pada label pangan

merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau

memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan huruf Latin,

harus digunakan bersamaan dengan dalam bahasa Indonesia dan huruf

latin.

Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti

yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat

yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal

(haram). Kebenaran suatu pernyataan pada label pangan tidak hanya

dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan

bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses

produksinya juga.10

Pada penjelasan pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa

pencantuman tulisanhalal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun

setiap orang yang memproduksi dan atau masukkan pangan ke dalam

wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan nya sebagai

produk yang halal,sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan

halal pada label produknya. Jadi menurut penulis dalam ketentuan pasal

11 ini pencantuman tulisan halal masih bersifat sukarela akan tetapi

akan menjadi wajib mencantumkan label halal jika pelaku usaha

menyatakan bahwa produknya adalah produk halal.

Didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga

berpengaruh dan memberi perlindungan terhadap konsumen Muslim

dalam mengonsumsi pangan halal. Hal tersebut dimuat pada pasal 2

termuat asas dari perlindungan konsumen yang berbunyi “Perlindungan

10Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap

Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan

Konsumen, Jurnal Penelitian UNRAM, vol.18, No. 1, Februari, 2014, h., 16

Page 74: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

61

konsumen berasaskanmanfaat, keadilan, keseimbangan, keamanandan

keselamatan konsumen serta kepastianhukum”.

Menurut penulis disini terlihat konsumen mendapatkan

perlindungan hukum. Di Pasal 4 mengatur hak-hak konsumen dan pasal

5 mengatur khusus tentang kewajiban konsumen.Berdasarkan dua pasal

di atas (pasal 4 dan Pasal 5), sudah jelas bahwa konsumen berhak

mendapatkan yang benar, jelas, jujur dan mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa dan berkewajiban membaca dan mengikuti

petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang

dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

Jadi berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis pelaku usaha

wajib memberikan informasi yang benar terhadap produk nya agar bisa

menjamin kepuasan konsumen dan tidak merugikan konsumen jika ada

beberapa bahan-bahan yang berbahaya atau di haramkan. Dengan

ketentuan ini konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas produk

pangan yang beredar di Indonesia.

Pengaturan mengenai sertifikasi halal dalam memberikan

perlindungan konsumen muslim juga terdapat pada Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Di dalam

undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha yang

tertuang dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27. Dalam pasal 26

pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari

bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 dan

pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.

Perlindungan hukum terhadap konsumen tidak hanya menyangkut

kehalalan produk saja, di dalam Undang-Undang ini juga memberikan

pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi produk dari

bahan berasal dari bahan yang diharamkan dengan kewajiban

mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan

produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat,

Page 75: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

62

dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari produk.

Dari uraian tersebut penulis menyimpulkan bahwa UUJPH

tersebut lebih mempertegas terkait kepastain hukum dan jaminan

terhadap produk pangan halal di Indonesia. Mengingat pada peraturan

tersebut mengecualikan atau melarang pelaku usaha yang mengajukan

permohonan sertifikat halal jika bahan yang terdapat dalam produk nya

berasal dari bahan-bahan yang diharamkan. Tidak hanya itu bagi pelaku

usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan maka

harus memberikan keterangan yang jelas bahwa produk tersebut tidak

halal. Oleh karena itu, Untuk menjamin ketersediaan produk halal,

ditetapkan bahan baku produk yangdinyatakan halal, baik bahan yang

berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba,maupun bahan

yang dihasilkan melalui proses kimiawi, biologi, atau proses rekayasa

genetik. Disamping itu ditentukan JPH yang merupakan rangkaian

kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang mencakup:penyediaan

bahan, pengolahan, penyimpanan,pengemasan, pendistribusian,

penjualan, dan penyajian produk.

Dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2014 TentangJaminan Produk Halal juga diatur tentangasas-asas

penyelenggaraan jaminan produkhalal (JPH), yaitu;

1. Asas perlindungan adalah bahwa dalammenyelenggarakan JPH

bertujuanmelindungi masyarakat muslim.

2. Asas keadilan, bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga

negara.

3. Asas kepastian hukum, adalah bahwapenyelenggaraan JPH

bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu

produk yangdibuktikan dengan sertifikasi halal.

4. Asas akuntabilitas dan transparansiadalah bahwa kegiatan

penyelenggaraan JPH harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

Page 76: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

63

masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Asas efektivitas dan efisiensi adalah bahwa penyelenggaraan JPH

digunakan dengan tepat dalam orientasi tepat guna dan berdaya

guna sertameminimalisasi penggunaan sumber daya yang

dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau

terjangkau.11

Seperti yang kita ketahui bahwa pengaturan produk halal di

Indonesia saat ini mengandung tiga norma sekaligus, yaitu: (1) sukarela

(voluntary); (2) wajib (mandatory) bagi produk hewan; dan (3) wajib jika

dipersyaratkan (mandatory if recommended). Padahal perlindungan

terhadap hak-hak konsumen harus dipahami bukanlah sebagai sikap anti

terhadap produsen,namun merupakan apresiasi terhadap hak-hak

konsumen secara universal. Disamping juga konsumen memiliki hak

personal defenses.12

Ketentuan tentang norma pengaturan sertifikasi dan labelisasi

produk halal dalam UU JPH juga diatur dalam Pasal 4, yaitu produk yang

diperdagangkan wajib bersertifikat halal. Sebagaimana Pasal 4

menyebutkan, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di

wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”Berdasarkan rumusan Pasal 4

UU JPH tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan sertifikasi dan

labelisasi produk halal mengandung norma mandatory, karena setiap

produk yang diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa dengan

adanya UUJPH telah memberikan kepastian hukum sehingga memberikan

bentuk perlindungan bagi konsumen Muslim terhadap peredaran pangan

yang tidak bersertifikathalal dan tidak berlabel halal. Peredaran pangan

11Tambunan, Amirsyah, Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999, Jurnal

Halal, No. 101, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2013. h., 12

12Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap

Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.

Pertama, h., 34

Page 77: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

64

yang tidak bersertifikathalal dan tidak berlabel halalpuntidak lagi

bisaberedar di Indonesia baik yang di produksidi dalam negeri maupun

yang berasal dariluar negeri.

C. Tanggung Jawab dan Sanksi Hukum Pelaku Usaha Terhadap Produk

Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal

Sebagaimana yang kita ketahui seiring dengan banyaknya pelaku

usaha yang tidak memiliki sertifikat halal dalam memasarkan produk

pangan nya sudah jelas akan merugikan kita sebagai umat Islam. Karena

dengan tidak memiliki sertifikat halal tentunya belum memberikan

jaminan penuh bahwa produk tersebut halal. Apalgi di era teknologi serba

canggih seperti sekarang ini segala sesuatu nya bisa dilakukan dengan

mudah. Di dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang

Perlindungan Konsumen disitu diuraikan mengenai hak dan kewajiban

seorang pelaku usaha. Diantara kewajibannya adalah “ Memberikan

informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,perbaikan

dan pemeliharaan dan memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau

dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian ”

Menurut penulis dalam uraian pasal tersebut telah memberikan

jaminan kepastian hukum bahwa pelaku usaha di wajibkan untuk

memberikan informasi secara jujur terhadap produk nya yg di pasarkan

dimasyarakat dan apabila barang atau produk yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian dalam arti melakukan pembohongan maka akan

dikenakan kompensasi atau ganti rugi.

Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal juga

mengatur mengenai hak dan kewajiban seorang pelaku usaha dalam

menyelenggarakan Jaminan Produk Halal yang pelaksanaannya dilakukan

olehBadan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Jaminan

mengenai produk halal dilakukan sesuai asas

Page 78: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

65

perlindungan,keadilan,kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,

efektivitas dan efisiensi,serta profesionalitas.

Menurut penulis adanya UUJPH ini akan lebih memberi jaminan

kepada konsumen Muslim terhadap produk-produk yang masuk ke

Indonesia baik produk dari luar maupun dalam sehingga lebih

memperketat pelaku usaha dan memberikan perlindungan kepada

konsumen Muslim secara tegas. Karena dengan hadirnya UUJPH ini

mewajibkan pelaku usaha untuk bersertifikat halal.13

Adapun sanksi bagi pelaku atas produk pangan yang tidak

bersertifikat halal menurut ketentuan perundangan-undangan diantara lain

adalah :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

Di dalam UUPK sendiri sanksi dibagi menjadi dua. Yg pertama sanksi

administratif dan yang kedua sanksi pidana. Perbuatan yang

diancamkan sanksi administratif antara lain adalah pelanggaran

kewajiban pemberian ganti rugi kepada konsumen, pelanggaran

tanggung jawab atas iklan yang menimbulkan kerugian konsumen, dan

pelanggaran penyediaan garansi baik untuk barang maupun untuk jasa.

Sanksi administratif ini dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen, dan dapat mencapai jumlah Rp. 200.000.000,00

(dua ratus juta

rupiah).

Selain sanksi administrasi, terhadap pelanggaran pelaku usaha

juga dapat dikenakan ancaman pidana.Terdapat perbedaan ancaman

pidana untuk perbuatan- perbuatan pelaku usaha yang merugikan

konsumen. Hal ini dapat terlihat dalam :

a. Ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

13Asri Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap Produk Pangan

Yang Tidak Bersertifikat Halal, Jurnal IUS, No. 2 Vol. IV, 2016. h., 18

Page 79: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

66

dapat dikenakan terhadap pelanggaran- pelanggaran Pasal 8, Pasal

9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,

huruf b, huruf c, huruf e, dan dan ayat (2), dan Pasal 18.

b. Ancaman pidana penjara paing lama 2 (dua) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dapat

dikenakan terhadap 64 pelanggaran- pelanggaran Pasal 11, Pasal

12, Pasal 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1)

huruf d dan huruf f.

c. Ancaman pidana yang berlaku (dalam KUHP) untuk pelanggaran-

pelaggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,

atau kematian. Undang-undang Pangan Bab X Ketentuan Pidana,

Pasal 58 huruf h, i dan j disebutkan: “Barangsiapa: (huruf h)

memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia

pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan

label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 atau Pasal 31; (huruf

i) memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan

atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui,

dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2); (huruf j) memberikan

pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label

bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut

persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.

360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).”Pasal

berikutnya, Pasal 59 huruf e disebutkan “Barangsiapa tidak

memuat keterangan yang wajib dicantumkan pada label,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) meskipun telah

diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling

Page 80: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

67

banyak Rp. 480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta

rupiah).”

d. Sedangakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti

ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

“halal” yang dicantumkan dalam label, berupa pidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling

banyak Rp. 2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).

2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 TentangPangan

Melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 TentangPangan.

Di dalam Pasal 97 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang

memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib

mencantumkanlabel di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan,

selanjutnya di ayat ayat (2)disebutkan setiap orang yang mengimpor

pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam

dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Pada ayat (3) diatur tentang

pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak

jangan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit

keterangan mengenai: nama produk,daftar bahan yang digunakan,

berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi

atau mengimpor halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode

produksi, tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa, nomor izin edar bagi

pangan olahan dan asal usul bahan pangan tertentu.

Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut tersebut

dimaksudkan untuk melindungi masyarakat khususnya yang beragama

Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal

(haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak

hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau

bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan tetapi harus

Page 81: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

68

pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.Ketentuan pidana

dalam UU pangan terkait label diatur dalam Pasal 143 dan Pasal 144.

Pasal 143 mengatur bahwa “setiap orang yang dengansengaja

menghapus, mencabut, menutup,mengganti label, melabel kembali

dan/ataumenukar tanggal, dan Tahun kadaluarsapangan yang

diedarkan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 99 dipidanadengan

pidana penjara paling lama 2(dua) Tahun atau denda paling banyak

Rp. 4.000.000.000,00 (Empat MilyarRupiah)”.

Selanjutnya pada Pasal 144 mengatur bahwa “Setiap orang

dengan sengaja memberikan keterangan atau persyaratan yang tidak

benar atau menyesatkan pada label sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 100 ayat (2) di Pidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) Tahun atau denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (Enam

Milyar Rupiah)”.

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban bagi pelaku

usaha yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana yang

tercantum pada Pasal 25 UUJPH maka dikenai sanksi administratif

berupa peringatan tertulis, denda administratif atau pencabutan

sertifikat halal. Dan juga bagi pelaku usaha yang tidak melakukan

kewajiban dalammemproduksi produk dari bahan yang berasal dari

barang yang diharamkan sesuai Pasal 26 dikenakan sanksi

administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis atau denda

administratif. Selain ketentuan berupa denda yang bersifat

administratif di UU JPH ini jugamengatur ketentuan pidana bagi

pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 56 yaitu “ Pelaku usaha

yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh

sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun atau

pidana denda paling banyak paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua

Page 82: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

69

Milyar rupiah)”. Untukmenjamin kerahasiaan formula yang diajukan

oleh pelaku usaha yang melakukan mengajukan sertifikasi halal di

atur dalam Pasal 43 UU JPH, “ Setiap orang yang terlibat dalam

penyelenggaraan proses JPH wajib menjagakerahasiaan formula

yang tercantumdalam informasi yang diserahkan olehpelaku usaha”.

Apabila melanggar maka pelaku dipidana penjara paling lama 2

(dua)Tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua

Milyar rupiah).

Dari uraian diatas menurut penulis dengan kehadiran UUJPH

memberikan peraturan yang tegas terhadap pelaku usaha jika pelaku

usaha melanggar ketentuan-kentuan terkait jaminan produk halal.

Dalam ketentuan UUJPH juga menyebutkan jika pelaku usaha tidak

menjaga kehalalan produk nya maka akan dikenakan sanksi baik sanki

pidana ataupun denda administratif. Ketentuan tersebut akan berlaku

pada tahun 2019 nanti sehingga para konsumen Muslim mempunyai

perlindungan jika seorang pelaku usaha melanggar dari ketentuan-

ketentuan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Page 83: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

70

BAB V

PENUTUP

Analisis mengenai perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap

produk pangan yang tidak bersertifikat halal merupakan rasa keingintahuan

penulis dalam mengetahui bagaimana pengaturan dalam bentuk perlindungan

hukum bagi konsumen yang beragama Islam jika pelaku usaha tidak memiliki

sertifikat halal dan tanggung jawab dan sanksi hukum jika tidak memiliki

sertifikat halal. Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta

pembahasannya baik yang berdasarkan teori maupun data-data yang penulis

dapatkan selama mengadakan penelitian, sebagai sebuah karya ilmiah, maka

penulis menarik kesimpulan dan saransebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Sejarah pengaturan sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan

produk pangan di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1967 yaitu

dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang

Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan dilanjutkan

sembilan tahun kemudian munculnya Peraturan Menteri Kesehatan RI

N0. 280/Menkes/Per/XII/76 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan

Makanan yang Berasal dari Babi hingga lahirnya Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pengaturan sertifikasi halal

dalam bentuk Undang-Undangdari mulai diterbitkannya UU Pangan, UU

Perlindungan Konsumen, dan UU Jaminan Produk Halal ini merupakan

bentuk payung hukum yang diberikan kepada masyarakat dalam

mengonsumsi pangan halal di Indonesia.

2. Salah satu bentukperlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap

produk pangan yang tidak bersertifikat halal pada saat ini adalah dengan

melihat daftar bahan yang digunakan (engredients), nomor izin edar bagi

panganolahan, tanggal kode produksi, namadan alamat pihak

Page 84: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

71

yangmemproduksi atau mengimpor. Hal ini perlu diperhatikan konsumen

sebagai bentuk antisipasi ketidakjelasan kehalalan dalam sebuah produk.

3. Seorang pelaku usaha atau produsen yang telah mendapatkan sertifikat

halal dari BPJPH, maka pelaku usaha tersebut memiliki tanggung jawab

untuk menjaga kehalalan produknya. Jika suatu saat terbukti merubah

formula atau inkonsisten di dalam penerapan bahan-bahan (engredients)

sehingga merubah status kehalalan dalam produk tersebut, maka pelaku

usaha akan dikenakan sanksi. Sebagaimana yang tercantum di dalam

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang tidak menjaga

kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,

00 (dua Milyar rupiah).

4. Hadirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal No. 33 Tahun 2014

sejatinya bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan,

keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat

yang mengonsumsi dan menggunakan produk pangan di Indonesia.

5. Penerapan sertifikasi halal yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia

saat ini melalui UU Jaminan Produk Halal masih bersifat voluntary

(sukarela), sebab terdapat ketentuan dalam UU Jaminan Produk Halal

yaitu Pasal 67 yang menyebutkan bahwa kewajiban sertifikasi halal akan

sepenuhnya berlaku menjadi mandatory (wajib) setelah 5 tahun sejak UU

Jaminan Produk Halal diundangkan yaitu pada tahun 2019.

6. Saat mulai pemberlakuan UU Jaminan Produk halal tahun 2019 nanti

maka peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih

rendah seperti UU pangan dan lainnya. Sebagaimana berlaku asas Lex

superior derogat legi inferior.

7. Meski UU Jaminan Produk halal sudah disahkan 4 tahun yang lalu,

namun belum terbitnya PP sebagai pelaksana Undang-Undang sehingga

Page 85: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

72

berimbas kepada tidak berfungsi nya secara efektif Badan Penyelenggara

Jaminan Produk Halal (BPJPH) di Indonesia.

B. SARAN

1. Meningkatkan pengawasan secara aktif dari pemerintah dengan bekerja

sama dengan seluruh instansi terkait guna memberikan perlindungan

konsumen. Kerjasama juga harus melibatkan Pemerintah Daerah dan

seluruh elemen masyarakat mengingat luasnya daerah peredaran produk-

produk di wilayah Indonesia.

2. Pemerintah harus melakukan sosialisasi dan edukasi terkait sertifikasi

halal secara masif. Hal ini diperlukan mengingat wajib sertifikasi

(mandatory) menurut ketentuan UUJPH.

3. Penulis memberikan saran bahwa harus adanya Lembaga Pemeriksa Halal

dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI, karena syarat

terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki auditor halal yang telah

disertifikasi oleh MUI

4. Penulis memberikan saran untuk segara mengeluarkan Peraturan

Pemerintah terkait Jaminan Produk Halal (JPH) karena peraturan

pemerintah (PP) kareana itu sejatinya menjadi bentuk komitmen

pemerintah tentang jaminan produk halal bagi masyarakat. Dengan adanya

peraturan pemerintah juga kelak semua produk makanan, minuman dan

obat-obatan wajib mendapatkan sertifikasi halal dari pemerintah. Dengan

demikian, masyarakat terjaga dan terhindar dari produk-produk non

halal.Ketiga, jika peraturan ini tak segera dibuat dan disahkan, maka akan

menghambat tumbuhnya industri halal di tanah air. Di sisi lain, seolah

membiarkan produk-produk asing membanjiri pasar dalam negeri yang

tentu saja masih produk-produk tersebut juga belum jelas kehalalannya.

Oleh karena itu harus disegerakan PP terkait Jaminan Produk Halal guna

menjalankan secara efektif UUJPH itu sendiri.

Page 86: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

73

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2006.

Sadar, Muhammad. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta:

Akademia, 2012.

Widjaya, Gunawan, dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008.

Soekanto, Soerjono danSri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. Cet. 10. Jakarta: Grafindo Persada, 2007.

Widjajati, Erna dan Yessy Kusumadewi. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta:

Roda Inti Media, 2010.

Ngani, Nico. Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum. Jakarta:

Pustaka Yustitia, 2012.

Rahardjo, Satjipto. Teori Hukum Strategi Lintas Ruang dan Generasi.

Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Halim Barkatullah, Abdul. Hukum Perlindungan Konsumen, Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran. Bandung: Nusa Media, 2008

Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi atas Fatwa Halal MUI

Terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, Jakarta: Gaung

Persada, 2013

Nasution, Az. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada

Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Page 87: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

74

Sutaman Yodo, Ahmadi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2007.

Siwi Kristiyanti, Celina Tri.Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

Nawawi, Ismail. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Refka Cita media, 2012.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda.Politik Hukum Indonesia.Jakarta: YLBHI, 1988.

Pelu, Muhammad Ibnu Elmi As.Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan

Komoditas Agama, Malang: Madani , 2009.

N. H. T., Siahaan.Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung

Jawab Produk, Jakarta: Panta Re, 2005..

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi

Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, Jilid III, 2001.

Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.

Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar. Juz VII.

Usman, Rachmad. Hukum Ekonomi dalam Dinamika. Jakarta: Djambatan, 2004

Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: 2004.

Jurnal

Kurniawan, Budi sutrisno Et All.Tanggung jawab Pelaku Usaha Terhadap

Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif

Page 88: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

75

Hukum per-lindungan Konsumen. Jurnal Penelitian Universitas Mataram,

Vol. 18, No. 1, (Februari 2014).

LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Umat. No.56/X/2005.

Tambunan, Amirsyah.Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999,

Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2014.

Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam. Jurnal Syariah Sertifikasi ProdukHalal.

Edisi 3, Fakultas Hukum : Universitas Indonesia, 2015.

KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk

Pangan. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 14, No. 2, Mei, 2014.

Asri Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap Produk

Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal. Jurnal IUS, No. 2 Vol. IV, 2016.

Maulidia, Rahmah. Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen,

Justitia Islamica. Vol. 10, No. 2 , Juli-Desember, 2013.

LPPOM MUI, Panduan Titik Kritis Bahan Untuk Auditor, 2011.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

Internet

https://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/08/16475821/kemasan.makanan.bi

kini.berlabel.halal.palsu. Jakarta: Agustus-2016.