PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA...
Transcript of PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA...
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA WIBAWA
MULYA KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
AHMAD BUHORI MUSLIM
NIM: 1110044200023
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H /2014 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
AHMAD BUHORI MUSLIM. NIM: 1110044200023. Perkawinan Di
Bawah Tangan Di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi.
Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1435 H/2014 M. x +70 halaman dan lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menyebabkan
masyarakat desa Wibawa Mulya melakukan perkawinan di bawah tangan dan
dampak apa saja yang dirasakan masyarakat yang tidak melakukan pencatatan
perkawinan. Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan
data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa banyak masyarakat yang melakukan
perkawinan di bawah tangan yang tidak mencatatkan perkwinannya. Dikarenakan
berbagai faktor, salah satunya ketidak pahaman masyakarakat tentang pentingnya
Pencatatan Perkawinan karena kurangnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan.
Padahal dalam Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pasal 2
ayat (2), yang berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”, dan juga telah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 5 mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis
hukum sebagai berikut : Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat, sudah jelas undang-undang
mengharuskan pencatatan perkawinan, namun masih banyak masyarakat yang tidak
melakukan pencatatan dan beranggapan pencatatan perkawinan itu tidak penting
hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Kata Kunci : Perkawinan, bawah tangan, pencatatan, dampak, faktor.
Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d 2012
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, Berkat Ridho-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Besar Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah mendidik
umatnya dengan tarbiyah tentang keimanan, kesabaran, keramah-tamahan, ilmu
pengetahuan serta akhlaqul karimah, dan kita sebagai umatnya yang terus istiqomah
mengikuti ajaran dan sunahnya dalam setiap sendi kehidupan.
Alhamdulillah, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
syarat memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
hidayatullah Jakarta. Dengan kesadaran hati penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, mengingat terbatasnya
pengetahuan dan pengalaman penulis miliki. Namun demikian, Penulis sudah
berusaha keras dengan kemampuan tersebut dan berbagai macam upaya untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan semaksimal mungkin. Tidak sedikit
hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui dalam penulisan skripsi ini. Skripsi ini
tidak mungkin selesai tanpa bantuan orang-orang disekitar Penulis, yang selalu
memberikan masukan, nasehat, bimbingan bahkan dorongan dan semangat sehingga
dapat terselesaikannya skripsi ini dengan lancar dan tepat waktu.
vi
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada
bapak/ ibu, terutama:
1. Ibunda dan Ayahanda (Alm) Tercinta yang selalu memberikan dorongan dan
motivasi baik moril maupun materil, serta yang telah tulus mendoakan setiap
hari dan ikhlas mendidik dari buaian sampai sekarang kepada Penulis.
2. Dr. H. JM. Muslimin, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta
seluruh para Pembantu Dekan Fakultas Syariahdan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Ketua dan
Sekertaris Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyyah yang selalu memberikan
bimbingan, nasehat dan dorongan kepada Penulis dalam menyelesaikan kuliah
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan penuh
tanggung jawab.
4. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu dan membagi ilmunya selama Penulis menyusun skripsi
ini. Dan kesabaran yang penuh dalam memberikan nasehat-nasehat dan
bimbingan kepada Penulis merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan
tersendiri Penulis bisa berada di bawah bimbingan Beliau dalam menyusun
skripsi ini.
5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
segenap Dosen yang telah memberikan sebagian ilmunya, terutama ilmu
vii
Hukum Keluarga secara umumnya dan ilmu Administrasi Keperdataan Islam
secara khusus, dan staf tata usaha FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. K.H Zainal Abiddin S.Ag. selaku Pimpinan Pondok Pesantren AR-RIDWAN
dan Keluarganya, dan tidak lupa pula kepada seluruh pengurus Ikatan
Keluarga Besar Alumni Ar-Ridwan (IKRAR) yang telah memberikan
pengarahan dan motivasi dalam mengerjakan skripsi penulis.
7. Jhoni Hermansyah selaku Sekertaris desa Wibawa Mulya dan staf desa
Wibawa Mulya dan bapak Agus Salim, S.Ag., selaku Kepala KUA
Kecamatan Cibarusah beserta staf KUA Kecamatan Cibarusah yang telah
memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian dan wawancara
serta meluangkan waktu dan memberikan kemudahan bagi Penulis dalam
melaksanakan penelitian guna menyelesaikan tugas skripsi ini.
8. Kakak-kakakku tercinta, mpo Ncop, bang Dani, bang Komal, teh Mumut,
mpo Piyah, bang Fauzan, bang Nurdin, teh Nur, mpo Aas, bang Sodiq, bang
Opik, teh Nurhayati, mpo Nyai, bang Juli. Dan keponakan-keponakan
tercinta, fahe, dede, lulu, fairus, firda, fariza, tazkiya, kenici, salsa. Keluarga
besar Nce haji, mamang, bang Dadang, Ade, dafa, lubis beserta keluarga Ende
Eni dan semua keluarga yang ada di sempu cikarang.
9. Terima kasih sahabat-sahabatku teman kelas Administrasi Keperdataan Islam
angkatan 2010 Syukron selaku ketua kelas, Mirza, Adiguna, Adnan, Lukman,
Rian, Ibnu, Oji, Azhar, Iqbal, Nukin, Khoerun, Nizam, Agung, Agan, Ical,
Akbar, Sasa, Amel, Wiwin, Nita, Dira, Dhea, Syawal, Alifah, Salmi, Dini,
viii
Novita, Ade, Romlah, Dian, Emil, Ika, Fitri, dan juga untuk teman kosan, pak
aji Usman, Sopri, bang Jaki, Rifqi, Maftuh, yang telah memberikan dorongan
semangat dan motivasi Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Untuk orang yang Penulis kagumi Dea Rizqi Amalia yang merupakan
motivasi bagi penulis dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi
ini.
11. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang telah
berbagi ilmu yang tidak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Jakarta, 12 Mei 2014
Ahmad Buhori Musli
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………… i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……………………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………... iii
ABSTRAK …………………………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………..
A. Latar Belakang Masalah ……………………..................
B. Identifikasi Masalah ……………………………………
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ……………….....
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………..........
E. Metode Penelitian ………………………………………
F. Kerangka Teori …………………………………………
G. Riview Studi Terdahulu ……………………………......
H. Sistematika Penulisan …………………………………..
1
1
9
9
11
12
14
15
17
BAB II PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN
PENCATATAN PERKAWINAN ……………………………
A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Tangan Dan
Pencatatan Perkawinan …………………...……………..
B. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ………………….
C. Prosedur Pencatatan Perkawinan ……………………….
D. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Di Bawah Tangan
E. Dampak Perkawinan Di Bawah Tangan Meurut Undang-
19
19
22
29
32
x
Undang Di Indonesia ……………………………….… 34
BAB III PROFIL DESA WIBAWA MULYA ………………………...
A. Sejarah Singkat Desa Wibawa Mulya …………………..
B. Letak Geografis dan Demografi Desa Wibawa Mulya ....
C. Kondisi Sosial Desa Wibawa Mulya ………………...…
38
38
39
42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS …………………….
A. Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang
Perkawinan di Bawah Tangan ……………………….....
B. Wawancara Masyarakat Pelaku Perkawinan di Bawah
Tangan dan Tokoh Masyarakat Desa Wibawa Mulya .....
C. Analisis Penulis …………………….……………...……
50
50
55
59
BAB V PENUTUP ……………………………………………………..
A. Kesimpulan ……………………………………………..
B. Saran-saran …………………………………………..…
66
66
67
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 69
LAMPIRAN - LAMPIRAN ………………………………………………….
1. Surat Bimbingan Skripsi ………………………………..
2. Surat Pengambilan Data Dan Wawancara Untuk Kantor
Urusan Agama Kecamatan Cibarusah …………...……...
3. Surat Pengambilan Data Dan Wawancara Untuk Desa
Wibawa Mulya ………………………………………….
4. Surat Keterangan Observasi Dan Interview Kantor
Urusan Agama Kecamatan Cibarusah ……………...…...
5. Surat Keterangan Observasi Dan Interview Desa
72
72
73
74
75
xi
Wibawa Mulya ………………………………………….
6. Data Jumlah Perkawinan Di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Cibarusah Tahun 2013 ……...……………...
7. Data Jumlah Perkawinan Di Desa Wibawa Mulya Tahun
2013 ……………………………………………………..
8. Pedoman Wawancara …………………………………...
9. Contoh Surat Pernyataan ………………………………..
10. Hasil Wawancara ………………………………………..
76
77
79
80
84
85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain,
Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan
pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan
agar terciptanya keharmonisan dalam berkeluarga dan bermasyarakat serta
keseimbangan antara satu dengan yang lain, Salah satu aturan tersebut ialah
perkawinan. Perkawinan adalah ikatan dua hati, tujuannya yaitu saling membantu
dalam segala aspek hidup dan kehidupan.1
Perkawinan umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang
profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya. Perkawinan sangat dibutuhkan dalam
kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk
mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini, dan perkawinan juga
disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap
makhluk tuhan.2
1 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat, (Jakarta :Pustaka Firdaus
1993), h 199
2 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta
Pustaka Al-Kautsar 1993), h 14
2
Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia,
binatang, maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dari perkawinan. Ini merupakan
sunnatullah (hukum alam) untuk kelangsungan hidup umat manusia,
berkembangbiaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam
semesta. Hukum alam semacam ini dijelaskan dalam firman Allah Swt:3
Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat 49:
“Dan segala sesuatu Allah ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyaat: 49).4
Kita semua mengetahui bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, ada
yang diciptakan sebagai laki-laki dan ada pula yang diciptakan sebagai perempuan.
Al-Qur'an sebagai kitab suci yang diyakini bersumber dari Allah pun menyatakan
demikian. Allah memberitahukan kepada kita bahwa semuanya diciptakan secara
berpasangan.
Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain
akan membantunya mendapatan kekuatan dan membuatnya lebih mampu
mengahadapi tantangan. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh
3Mohammad Asmawi, Nikah “Dalam Perbincangan dan Perbedaan”, (Yogyakarta :
Darussalam 2004), h 18
4Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta :
MAHKOTA 1989), h 862
3
ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau
ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan.
Karena alasan-alasan inilah sehingga manusia kawin, berkeluarga, bahkan
bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat, bahwa berpasangan, manusia
bukan hanya didorong oleh desakan naruli seksual, tetapi lebih daripada itu, ia adalah
dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan.5
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6Allah SWT telah menetapkan
tali pernikahan sebagai sunnah ilahi guna menyemarakan kehidupan alam semesta,
sekaligus menjadikannya sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang maha jelas.
Hal tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Ar-Ruum ayat 21 :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.(Ar-Rum ayat : 21).
5 Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia
2010), Hal 177
6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), Cetakan
Pertama, Hal 7
4
Dari ayat di atas kita bisa mengambil sedikit kesimpulan, bahwa tujuan
perkawinan itu untuk mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman,
terlindungi, rasa dihargai, diperhatikan. perkawinan disunahkan bagi orang yang
membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu menafkahi secara lahir dan batin.7
Memang benar, bagi orang yang berfikir, pasti akan mengetahui bahwa suatu
jalinan hubungan harus dibina atas dasar kasih sayang. Apabila rasa kasih sayang dan
saling mencintai telah terbina maka sepasang suami isteri akan menentukan
kebahagiaan yang sempurna, menemukan kecocokan yang abadi, sehingga tercapai
hidup yang bahagia dan sejahtera. Sesuatu yang didasari rasa cinta menyebabkan
yang kurang menjadi sempurna, yang cacat akan tertutup dan yang jelek terasa
menjadi bagus dan indah.8
Perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik dalam hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara
pada umumnya. Untuk itu diperlukan peran serta dan perhatian serius dari semua
pihak, baik pribadi, masyarakat maupun negara. Selain itu, untuk mendukung
keseriusan tadi, ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan
legalitas hukum adalah adanya pencatatan perkawinan.9
7 Syaikh Muhammad bin Khaasim Algozii, Fathul Qorib Mujib, h 43
8Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta
Pustaka Al-Kautsar 1993), h 20
9Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional”, (Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h 128
5
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang-
undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan.10
Dalam hal pencatatan perkawinan ini, bagi mereka yang menganut agama Islam
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud Undang-Undang No.
32 tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak dan Rujuk.
Apabila perkawinan telah dicatatkan, maka perkawinan mereka telah
dinyatakan sebagai perkawinan yang sah dan harus dilindungi oleh hukum.
Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut “perkawinan di bawah tangan” atau
dalam bahasa fikih disebut az-zawaj al-urfi. Perkawinan di bawah tangan adalah
perkawinan yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah dan tidak terdaftar di
Kantor Urusan Agama (KUA).11
Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam,
Al-Quran dan Alhadits tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan.
Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Komiplsi Hukum
Islam, dan juga jika dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan ini sangat
diperlukan di masyarakat.
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), h 107
11
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen, ( Yogyakarta : Graha Ilmu
2011), h 17
6
Kita melihat suatu kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng,
tidak sedikit terjadi perceraian yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila
perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan disamping itu juga
mendapat akte nikah, maka untuk menyelesaikan kasus itu lebih mudah
mengurusinya,12
Apabila tidak tercatat dan tidak ada akte nikah, maka pengadilan agama sulit
untuk mengurusinya karena perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi. Sekiranya
hal semacam ini dibiarkan, maka banyak orang yang melakukan akad nikah di bawah
tangan sebagai resikonya, apaila terjadi perselisihan tidak dapat diajukan kepada
pengadilan agama, tetapi dapat saja dilakukan secara kekeluargaan, baik sepihak atau
pun kedua belah pihak.
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No 22 tahun 1946 itu menentukan : “Nikah
yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”.13
Lalu
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2, yaitu “Tiap-
tiap perkawinan harus dicatat”.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam pasal 5 : ayat (1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatatkan,
12
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media
2003), h 123
13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
1974), h 71
7
ayat (2) Pencatatan perkawinan tesebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946
jo Undang-Undang No 32. Tahun 1954.
Lalu pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan : ayat (1) Untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Ayat (2). Perkawinan yang dilakukan
di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.14
Disini kita lihat bahwa pegawai pencatatan nikah itu hanya bertugas
mengawasi terlaksananya perkawinan, agar perkawinan itu berlangsung menurut
ketentuan-ketentuan agama Islam. Meskipun perkawinan yang tidak dicatatkan
adalah sah, baik menurut pandangan agama maupun adat istiadat, namun di mata
masyarakat yang mengerti hukum tidak memiliki kekuatan hukum.15
Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang
teguh kepada perspektif fiqih tradisional, menurut pemahaman sebagian masyarakat
bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-
kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan perkawinan di Kantor Urusan
Agama dan tidak perlu surat nikah. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas,
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : CV. Akademika Pressindo
2007), h 114
15
Muhammad Zain dan Muhkhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis “Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu”, (Jakarta Grahacipta 2005), h 38
8
banyak timbul perkawinan di bawah tangan tanpa melibatkan pegawai pencatat nikah
sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan.16
Bahwa dari uraian di atas, perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah
dimata masyarakat yang mengerti hukum, tetapi pada kenyataannya masih saja
hingga saat ini para pelaku perkawinan di bawah tangan masih berlanjut tanpa ada
hentinya dan masih banyak orang-orang yang melakukan perkawinan di bawah
tangan.
Seperti yang terjadi dilingkungan desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah
Kabupaten Bekasi, sering ditemukan banyaknya perkawinan yang dilaksanakan tanpa
adanya pencatatan didalamnya, padahal sudah jelas-jelas melanggar undang-undang.
Bila dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan itu
yang tidak menggambarkan adanya kepastian hukum bagi generasi penerus.
Demikian juga Undang-Undang No 1 Tahun 1974 telah merupakan ijma’ para ulama
yang wajib diikuti oleh umat Islam demi menjamin kepastian hukum dan
kemaslahatan umum.17
Berawal dari latar belakang ini, penulis melihat dan mengamati kehidupan
masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi dalam hal
perkawinan diantara mereka masih banyak yang tidak mencatatkan perkawinan, kalau
16
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group 2006), h 47
17
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), h 23
9
tidak disosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan,
maka akan semakin banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin sekali mengadakan penelitian
terhadap perkawinan di bawah tangan, dan hasilnya akan dituangkan dalam skripsi
dengan judul ”PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA WIBAWA
MULYA KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan
yang berkaitan dengan perkawinan di bawah tangan, antara lain:
1. Apakah perkawinan di bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi menjadi kebiasaan?
2. Apakah setiap masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah
Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan?
3. Bagaimanakah bentuk perkawinan di bawah tangan di Desa Wibawa Mulya
Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?
C. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembatasan masalah berisikan uraian tentang cakupan wilayah masalah yang
akan diteliti. Pembatasan masalah dimaksudkan agar masalah lebih terfokus dan
10
spesifik, serta untuk menghindari kemungkinan tumpuk tindih dengan masalah lain di
luar wilayah penelitian.18
Maka dari itu, agar tidak menyimpang dari apa yang di inginkan penulis dan
penelitian tidak terlalu melebar dan terarah, maka penulis membatasi dan menitik
beratkan pada permasalahan, bagaimanakah bentuk Perkawinan di Bawah Tangan di
Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi.
2. Perumusan Masalah
Menurut Undang-Udang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Tiap-tiap
perkawinan harus dicatat”. Kenyataannya di desa Wibawa Mulya masih banyak
orang yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan atau melakukan pernikahan
di bawah tangan, dan itu jelas sudah melanggar undang-undang. Melihat
permasalahan di atas maka penulis memberikan beberapa pertanyaan perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perkawinan di bawah tangan yang di laksanakan oleh
masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?
2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan
Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan?
3. Bagaimana dampak perkawinan di bawah tangan terhadap keluarga?
4. Apa pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan?
18
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2012. (Jakarta : Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) 2012 ). Hal 21
11
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis,
yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perkawinan di bawah tangan yang di
laksanakan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah
Kabupaten Bekasi.
2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa
Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di
bawah tangan.
3. Untuk mengetahui bagaimana dampak perkawinan di bawah tangan terhadap
keluarga.
4. Untuk mengetahui apa pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah
tangan.
2. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyimpulkan beberapa manfaat atau
kegunaan yang dapat diperoleh, diantaranya:
1. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan
perkawinan dalam rumah tangga, dan dimaksud agar masyarakat dapat
12
menyadari bahwa perkawinan di bawah tangan yang selama ini dilakukan
mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya menyangkut
bidang perkawinan.
3. Hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti
selanjutnya.
4. Menambah literature kepustakaan.
E. Metode Penelitian
1. Obyek Penelitian
Dalam obyek penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai dengan judul
dari skripsi penulis diatas, yaitu study kasus di desa Wibawa Mulya Kecamatan
Cibarusah Kabupaten Bekasi. Jadi berdasarkan skripsi ini maka yang diambil lokasi
untuk study kasus adalah desa Wibawa Mulya.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan
data-data yang diperoleh dari hasil penelitian.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan penulis yaitu :
a) Data Primer
13
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat desa
Wibawa Mulya. Data ini meliputi interview dengan beberapa pelaku perkawinan di
bawah tangan, Kepala Desa Wibawa Mulya, kepala KUA Kecamatan Cibarusah,
tokoh masyarakat setempat dan orang-orang yang dianggap berperan dalam
menikahkan para pelaku perkawinan di bawah tangan.
b) Data Skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-
dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiyah, Undang-
Undang Perkawinan, Kopilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya
yang erat kaitannya dengan masalah ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena
tujuan dari penelitian mendapatkan data. Bila dilihat dari sumber datanya, maka
pengumpulan data mengunakan :
a) Observasi
Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan skripsi ini, penulis melakukan
observasi atau pengamatan langsung ke objek peneliti yang dituju untuk mengetahui
kebenaran secara langsung.
14
b) Wawancara
Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap mengenai perkawinan di
bawah tangan, maka penulis melakukan wawancara langsung dengan para nara
sumber yang ada di desa Wibawa Mulya maupun di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Cibarusah.
5. Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh kemudian di analisis. Analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara,
catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan
temuannya dapat diinformaikannya kepada orang lain.
F. Kerangka Teori
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak jaman dulu, sekarang,
dan masa akan datang. Islam memandang perkawinan sebagai ikatan yang kuat
(mitsaqan ghalida) ikatan yang suci, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalakan terjadinya hubungan
badan antara suami isteri.
Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia
akan menimbulkan akibat hukum. Pribadi dan masyarakat menganggap bahwa
perkawinan itu masalah serius, masalah yang sakral, masalah ibadah, dan mempunyai
makna magis, tidak boleh main-main. Selain itu, untuk mendukung keseriusan tadi,
15
ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legislasi hukum
adalah adanya pencatatan perkawinan. Kalau kita telusuri isi kandungan al-Qur’an,
sunnah maupun pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik, secara eksplisit belum
kita dapatkan ketentuan dari hukum pencatatan perkawinan. Situasi, kondisi dan
kebutuhan jaman sudah berubah. Apa yang dahulu tidak penting, sekarang menjadi
penting.
Apa yang dahulu sia-sia, mungkin sekarang menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Kalau jaman dulu pencatatan perkawinan tidak terlalu penting untuk diadakan, ketika
jaman sudah berubah justru pencatatan perkawinan merupakan hal yang penting yang
harus dilakukan.19
Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, ketika
melakukan pernikahan tidak medatangkan pegawai pencatat nikah dan
perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena dari itulah perkawinan di
bawah tangan dilarang oleh undang-undang, bahkan menurut ulama-ulama
kontemporerpun jika disitu terdapat kemudharatan, maka perkawinan tersebut
dianggap tidak sah.
G. Review Study Terdahulu
Review study terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan
dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai.
19
Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional”, (Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hal 127-134
16
Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa yang telah diteliti dan yang belum
diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.
Pertama, judul skripsi tentang “Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan
Cipedak Kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan. Oleh: Nur
Fauzi (Nim : 107044100531) Tahun1432 H/ 2011 M. Pada skripsi tersebut membahas
tentang kesadaran masyarakat tentang hukum pencatatan perkawinan, bahwa
pencatatan perkawinan itu sangat penting, apalagi bagi keluarga. Dan ada
persamaannya dengan yang di singgung oleh penulis, yaitu mengenai pencatatan
perkawinan, studi kasus yang diambil dari skripsi ini adalah Kelurahan Cipedak
Kecamatan Jagakarsa.
Kedua, judul skripsi “Pengaruh dan Implikasi Perkawinan Di Bawah
Tangan Di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Tangerang”. Oleh :
Sahfudin (Nim : 204044103058) Tahun 1429 H/ 2008 M. Pada skripsi ini lebih
menitikberatkan pada pengaruh perkainan di bawah tangan itu sendiri, tidak terfokus
atau menjelaskan ke masalah lainnya.
Ketiga, judul skripsi “Efektivitas Nikah Masal Terhadap Pencegahan
Nikah Di Bawah Tangan (Study Kantor Uruan Agama Kecamatan Kalideres
Jakara Barat)”. Oleh: Afif (Nim : 107044102123) Tahun 1433 H/ 2012 M. Jadi,
dalam skripsi ini bahwa nikah masal itu bisa mencegah terjadinya perkawinan di
17
bawah tangan. Dan tempat yang di ambil oleh penulis adalah Kantor Urusan Agama
kecamatan Kalideres.
Dari tiga skripsi diatas, satu membahas tentang pencatatan perkawinan dan
dua lagi sebenarnya sama-sama membahas tentang perkawinan di bawah tangan,
hanya saja yang membedakan dengan penulis adalah tempat penelitiannya dan
masalahnya saja yang berbeda.
Penulis lebih mempermasalahkan kepada masalah-masalah perkawinan di
bawah tangan di desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi),
mengenai latar belakang, faktor-faktor, dan dampak perkwian di bawah tangan, agar
masyarakat sadar akan pentingnya pencatatan perkawinan dan tidak ada lagi
perkawinan di bawah tangan.
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan ini, yaitu:
BAB I : Berisi tentang PENDAHULUAN yang mencakup latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode dan tekhnik penulisan, tinjauan
pustaka terdahulu dan sistematika penulisan.
BAB II : Berisi tentang TEORI pengertian perkawinan di bawah tangan
dan pencatatan perkawinan, prosedur pencatatan perkawinan,
18
dasar hukumnya dan faktor-faktor terjadinya perkawinan di
bawah tangan serta dampaknya.
BAB III : Gambaran umum tentang Desa Wibawa Mulya Kecamatan
Cibarusah Kabupaten Bekasi yang terdiri dari, sejarah desa,
letak geografis desa, kondisi demografi sosial masyarakatnya.
BAB IV : Berisi tentang hasil penelitian serta analisis penulis.
BAB V : PENUTUP, Meliputi kesimpulan dan saran-saran yang
dikemukakan oleh penulis.
19
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan dan Pencatatan Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan
Perkawinan sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna
melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi
kemanusiaan di muka bumi ini.1 Menurut Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah, dalam
kitab karangannya Al-Mahalli, perkawinan disunahkan bagi orang yang
membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu, pengertian mampu disini adalah
mampu dalam hal lahir bantin untuk menuju ke jenjang perkawinan.2
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk
segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan
penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Karena suatu perkawinan
merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia akan menimbulkan akibat hukum.
Yang tadinya antara seorang laki-laki dan perempuan haram berhubungan badan,
setelah perkawinan menjadi halal.
Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, dan
saat melangsungkan perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah.
1 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta
Pustaka Al-Kautsar 1993), h 14
2 Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah, Al-Mahalli, h 207
20
Menurut Ma‟ruf Amin, forum Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa sengaja memakai istilah
perkawinan di bawah tangan, istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Perkawinan di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah perkawian yang
terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih atau hukum Islam.
Namun, perkawinan ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur dalam Perundang-undangan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan di bawah tangan, yang tidak dicatatkan dipandang tidak
memenuhi ketetntuan peraturan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan
dampak negatif terhadap isteri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak
mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak
tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti
catatan resmi perkawinan yang sah.
Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Ma‟ruf Amin
menegaskan bahwa hukum perkawinan yang awalnya sah memenuhi syarat dan
rukunnya, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian,
haramnya itu datangnya belakangan, perkawinannya sendiri tidak batal, tapi menjadi
berdosa karena ada orang yang terlantarkan, sehingga dia berdosa karena
mengorbankan isteri atau anaknya. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban.3
3 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 147
21
2. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat
negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah yang
melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara
calon suami dan calon isteri.4
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-
undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan, dan
lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan
perkawinan yang di buktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami isteri
mendapat salinannya. Akta nikah atau akta Perkawinan yaitu suatu akta yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu akad
perkawinan berdasarkan laopran Pegawai Pencatat Nikah.
Menurut Ahmad Rofiq dengan dicatatkannya perkawinan seseorang itu sangat
penting, misalnya saja apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka,
atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena
dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang
telah mereka lakukan.
4 Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis “Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu”, (Jakarta : Grahacipta 2005), h 38
22
Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk
menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan
maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang
bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu,
sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika diperlukan, terutama sebagai suatu
alat bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah
suatu perbuatan lain.5
B. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
1. Dasar Hukum Menurut Hukum Islam
Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam,
namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan perkawinan sangat diperlukan.6
Alquran dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan,
akan tetapi dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.7
Apabila kita perhatikan surah al-Baqarah (ayat : 282) mengisyaratkan bahwa adanya
bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya
dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian,
yang dalam perkawinan, menjadi salah satu rukun.
5 K. Wantjik Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia 1978,. h
17
6 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media
2003), h 123
7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), Cetakan
Pertama, h 26
23
Allah berfirman dalam surath al-baqarah ayat 282 :
…..
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…...
Belum ditemukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan mengapa dalam
hal pencatatan perkawinan dan pembuktiannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan
kepada ayat tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan
membuktikannya dengan akta, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya
rumah tangga. Sejalan dengan prinsip :
فاسذ هقذم علي جلب الوصالحدرأ الو
Menolak kemudharata lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan
تصرف الاهام علي الرعيت هنوط بالوصلحت
Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan
dan kemaslahatan.8
8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003), h 121
24
Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, sahabat dan tabi‟in secara
detail tidak ditemukan, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟an, Hadist serta
ijtihad secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan
perkawinan. Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ditemukan di zaman
itu, diantaranya pada zaman Nabi masyarakatnya lebih mengandalkan hafalan atau
ingatan.
Memang pada masa-masa awal Islam pencatatan belum dibutuhkan, selain itu
walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping
saksi syar‟i tentang sebuah perkawinan, dalam hadis diterangkan tentang adanya
tuntunan untuk mempublikasikan pelaksanan perkawinan, melalui resepsi walimah,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ketika mengetahui salah satu sahabatnya,
Abdurrahman ibn „Auf menikah :
قال رسول اللو صلي اللو عليو وسلن أولن ولو بشاة )رواه البخارى و هسلن(
“Selenggarakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih satu ekor
kambing”. (HR. Bukhari dan Muslim).9
Perintah melakukan publikasi perkawinan dimaksudkan agar orang lain
mengetahui adanya perawinan, untuk memperjelas status, serta agar tidak
9 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 149
25
memungkinkan terjadinya penyimpangan.10
Ada kesan perkawinan yang berlangsung
pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda di mana calon
suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah tersebut juga, sehingga alat bukti
perkawinan selain saksi belum dibutuhkan.
Disamping perlunya walimah, maka harus ada pemberian kasih sayang, yaitu
mahar. Mahar atau mas kawin merupakan satu di antara rukun nikah yang harus ada
dan wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
dengan jumlah tergantung kesepakatan kedua mempelai berdasarkan kemampuan
ekonomi laki-laki dan kerelaan pihak perempuan.11
Islam membolehkan mahar untuk menghormati dan memuliakan isteri, namun
bukan berarti mesti dilakukan dengan berlebihan. Islam menekankan kemudahan
mahar, sehingga cukup dalam bentuk sang suami mengajar sang isteri sebuah surah
dari al-Quran atau sebuah hadiah sederhana, atau bahkan memberinya sebuah cincin
sederhana walaupun terbuat dari besi.12
Ketika Rasulullah SAW hendak menikahkan
seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia
bersabda :
10
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 150
11
Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga, (Surabaya :
Mutiara Ilmu 1995), h 73
12
Imam Muhammad Syirazi, Dengan Siapa Kita Menikah?: Panduan Islami dalam Memilih
Jodoh & Membangun Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Zahra 2004), h 48
26
التوس ولو خاتوا هن حذيذ
“Carilah (mahar) sekalipun cincin yang terbuat dari besi”. (Riwayat Al-Bukhari).13
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika masyarakat yang terus
berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur
lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut adanya catatan
akta, surat sebagai bukti autentik.
Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bias hilang dengan
sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar
ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut akta.14
Demikian lah
pendapat menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan mengenai
pembaharuan hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan.
Penulis lebih setuju bila perkawinan itu dicatatkan, dengan demikian salah
satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi, meskipun
secara detail tidak ditemukan di dalam Alquran, Alhadis dan kitab-kitab fikih maupun
fatwa-fatwa ulama. Hal ini mungkin yang mejadi landasan hukum fatwa-fatwa ulama
atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mewajibkan pencatatan.
13
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 158
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI”, (Jakarta : Kencana 2004),
Cetakat ke-3, h 121
27
2. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa fikih tidak membicarakan
pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan Undang-Undang No
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan
sebagai sesuatu hal yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana
pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.
Undang-undang Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan pada suatu
tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya perkawinan. Hal tersebut
diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pasal 2 ayat
(2), yang berbunyi : (2). Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.15
Pada pasal 2 ayat (2) ini, di dalam penjelasannya tidak ada
uraian yang lebih rinci, perbuatan pencatatan itu harus sudah jelas menetukan sahnya
suatu perkawinan. pasal itu menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada
dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif.
Sedangkan soal sahnya perkawinan Undang-undang Perkawinan dengan tegas
menyatakan pada pasal 2 ayat (1), yang berbunyi (1). Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.16
15
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
1974), h 71
16
K. Wantjik Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia 1978), h
17
28
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini berada pada pasal 2 sebagai
kelanjutan dari pasal 1 di dalam Undang-undang Perkawinan, menurut salah satu ayat
kelanjutannya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas
menyangkut berhubungan dengan pencatatan, yakni perkawinan harus sah dan harus
dicatat. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya
sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.
Pola pemikiran demikian menurut penulis termasuk maslahah mursalah, artinya
dengan pencatatan perkawinan akan lebih maslahat.
3. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam Undang-undang Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2), meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun
lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala, namun masyarakat
dianggap sudah tahu karena sudah dimasukan dalam Undang-undang No 52 tahun
2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pengembangan Keluarga (Lembaran
Negara Republik Inonesia tahun 2009). Upaya ini perlu dilakukan sosialisasi oleh
umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik Indonesia.
Dalam masyarakat sudah ada pemahaman fikih Imam Syafi‟i yang sudah
membudaya. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat
dan rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan. Kondisi seperti ini
terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan,
29
kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan.17
Dalam Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan
mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut : pasal 5 ayat (1) Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus
dicatat, ayat (2) Pencatatan perkawinan tetrsebut pada ayat (1) dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undanng-undang No.22
Tahun 1946 jo. Undang-undang No.32 Tahun 1954.
Selajutnya pada pasal 6 dijelaskan: ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam
pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, pasal 6 ayat (2) Perkawinan yang dilakukan
di luar penngawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.18
C. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Secara singkat, apa yang sudah disebutkan dari buku pedoman Kantor Urusan
Agama sudah mudah di cerna oleh masyarakat, maka saya kutip secara keseluruhan
dan singkat tentang prosedur pencatatan perkawinan, yaitu :
17
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006),
Cetakan Pertama, h 27
18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI”, (Jakarta : Kencana 2004),
Cetakat ke-3, h 124
30
a) Persyaratan Umum
1. Calon Pengantin Beragama Islam.
2. Umur minimal berusia 19 tahun tuntuk pria, dan 16 tahum untuk wanita.
3. Ada persetujuan kedua calon pengantin.
4. Tidak ada hubungan saudara yang dilarang agama antara kedua calon
pengantin.
5. Calon pengantin wanita tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain.
6. Duda atau Janda harus sudah habis masa iddahnya.
7. Wali dan saksi harus beragama islam, dan minimal usianya dalaha 19 tahun.
8. Calon pengantin, wali dan saksi sehat akal.
b) Persyaratan Administrasi
1. Foto copy KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang sah.
2. Foto copy KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku.
3. Foto copy Ijazah atau Akte Kelahiran.
4. Foto copy Buku Nikah orang tua, bagi wanita.
5. Pas foto berwarna (Latar biru) ukuran 2x3 = 4 lembar.
6. Surat Keterangan Model N1, N2, N4 ditandatangani Kepala Desa atau
Kelurahan.
7. Surat Persetujuan mempelai (Model N3).
8. Izin Orang Tua (Model N5) jika umur kurang dari 21 tahun.
9. Surat Pernyataan Jejaka/Perawan, bagi calon pengantin berumur 25 tahun ke
atas, bermaterai Rp 6000,-.
10. Surat Rekomendasi Nikah / Numpang Nikah bagi calon pengantin dari luar
wilayah.
11. Izin Pengadilan Agama jika pria berumur kurang dari 19 tahun, dan wanita
kurang dari 16 tahun.
12. Izin Pengadilan Agama bagi yang berpoligami.
13. Rekomendasi Camat untuk pendaftaran kurang 10 hari.
14. Surat Kematian Suami/Isteri bagi Janda/Duda cerai mati dan model N6
ditandatangani Kepala Desa atau Kelurahan.
15. Akta Cerai beserta Salinan Putusan/ Penetapan dari Pengadilan yang
mengeluarkan Akta Cerai.
16. Bukti Imunisasi TT dari Puskesmas.19
c) Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat
19
Wawancara Pribadi dengan bapak Agus Salim Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Cibarusah, (Kamis, 10 April 2014 pukul 10:30). Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah.
31
perkawinan menyelenggarakan pengumuman pemberitahuan kehendak nikah.
Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak
melangsungkann perkawinan.
Adapun menenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut
formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.20
1. Kehendak Nikah diberitahukan oleh Wali atau Calon Pengantin kepada
Kantor Urusan Agama dengan membawa persyaratan yang telah ditentukan.
2. Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah pada Lembar Model NB yang
disediakan Kantor Urusan Agama.
3. Penulisan NB menggunakan tinta hitam, huruf balok.
4. Pendaftaran harus sudah diterima Kantor Urusan Agama sekurang-kurangnya
10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
5. Membayar Biaya Pencatatan Nikah.
d) Pemeriksaan Dan Pembinaan Calon Pengantin
1. Setelah Pendaftaran diterima oleh Kantor Urusan Agama, kedua calon
pengantin dan Wali Nikah, mengikuti Pembinaan dan Kursus Calon
Pengantin.
2. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama melakukan pemeriksaan tentang
ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan keluarga
sakinah dan tatacara ijab qobul.
3. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama dilarang melangsungkan, atau
membantu melangsungkan, atau mencatat atau menyaksikan pernikahan yang
tidak memenuhi persyaratan.
e) Penolakan Kehendak Nikah
1. Kepala Kantor Urusan Agama diharuskan menolak kehendak nikah yang tidak
memenuhi persyaratan.
2. Terhadap penolakan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan
kepada Pengadilan Agama.
20
Amiur Nurddin Dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Samapi KHI”, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group 2004), h 128
32
Disini keberanian para Hakim Peradilan Agama sangat diharapkan untuk
membatalkan perkawinan atau penolakan kehendak nikah yang tidak dicatat itu
apabila diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan kepadanya.21
f) Pelaksanaan Akad Nikah
1. Akad Nikah dilangsungkan dihadapan Penghulu tau Petugas Kantor Urusan
Agama.
2. Jika dilakukan oleh Wali Nikah sendiri.
3. Wali Nikah dapat mewakilkan ijab kepada orang lain yang memenuhi
persyaratan, atau kepada Penghulu.
4. Akad Nikah dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (Balai Nikah).
5. Atas permintaan yang bersangkutan dan mendapat Persetujuan dari Kepala
Kantor Urusan Agama, Akad Nikah dapat dilangsungkan di Luar balai Nikah.
6. Biaya pemanggilan, transportasi, dan akomodasi Penghulu atau Petugas
Kantor Urusan Agama untuk menghindari akad nikah di luar balai nikah
dibebankan kepada yang mengundang.
g) Pencatatan Nikah
1. Pencatatan Nikah dilakukan oleh Penghulu atau Kepala Kantor Urusan agama
setelah nikah dilangsungksn dengan benar, pada Akta Nikah (Register Model
N).
2. Kepada kedua pengantin diberikan Kutipan Akta Nikah berupa Buku Nikah,
(Model NA).
Akta Nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki
manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seoarang suami atau isteri
melakukan suatu tindakan yang menyimpang.22
D. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan di Bawah Tangan
Setiap warga negara hendaknya melaksanakan setiap peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan
untuk kepentingan masyarakat demikian juga dalam hal perkawinan.
21
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group 2006), h 53 22
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), h 116
33
Undang-undang No 1 tahun 1974 tantang Perkawinan tidak mensahkan
perkawinan di bawah tangan, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam
juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik , dengan menuruti perundang-
undangan yang berlaku.23
Masih terdapat di anggota masyarakat yang perkawinannya dilaksanakan
tanpa sepengetahuan Pegawai Pencatat Nikah adakalanya mencukupkan hadirnya
seorang kiyai atau pemuka agama, merasa tanpa kehadiran aparat yang berwenang
dianggap sudah sah, menurut hukum agama Islam pencatatan itu dianggap sah yang
sifatnya administratif saja. Tidak tercatatnya perkawinan tersebut, mungkin karena
mereka tidak mencatatkan perkawinan itu kepada petugas yang berwenang, sekalipun
dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya, atau karena perkawinan itu dianggap
tidak/belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-
undang No 1 tahun 1974. Diantaranya terdapat berbagai alasan yang mendasari
perkawinan di bawah tangan adalah :
1. Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya
persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang terebut melaksanakan
perkawinan di bawah tangan, cukup dihadapan pemuka agama.
2. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam pasal
4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai
23
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : AL-BAYAN 1994),
Cetakat ke-I, h 22
34
Negeri Sipil tidak boleh beristeri lebih dari seorang. Mereka beranggapan
bahwa dengan sulitnya persyaratan untuk poligami, maka terdapat (walaupun
sedikit) pegawai negeri yang melaksanakan perkawinan dengan tidak melalui
prosedur yang sebenarnya.
3. Dikarenakan banyak masyarakat yang masih awam, adanya perasaan takut
untuk berhadapan dengan pejabat Kantor Urusan Agama dan menganggap
mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama.
4. Mahalnya biaya pencatatan perkawinan, karena oknum-oknum tertentu.
5. Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan-keinginan tertentu
yang subjektif. Padahal aturan agama juga sama jelasnya, bahwa Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 berlaku untuk semua masyarakat.24
Sebab-sebab itulah yang menjadi dasar perkawinan di bawah tangan di
samping faktor sosial, budaya, ekonomi, agama dan juga tingkat pendidikan yang
masih rendah.
E. Dampak Perkawinan di Bawah Tangan Meurut Undang-Undang Di
Indonesia
Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan, meski secara agama
dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan
24
Suparman Usman., Perkawinan Antar Agama Dan Problematika Hukum Perkawinan Di
Indonesia, (Serang : Saudara Serang 1995), h 142
35
dianggap tidak sah di mata hukum negara. Akibat hukum perkawinan tersebut adalah
berdampak negatif sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik
secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan, tujuan
pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan
pegawai pencatat nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Namun
ditegaskan, perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.25
Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai isteri sah. Ia tidak berhak
atas nafkah dan warisan dari suami jika dicerai hidup atau ditinggal mati. Selain itu
sang isteri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi
perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Secara sosial sang isteri akan sulit bersosialisasi, karena perempuan yang
melakukan perkawinan di bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah
dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi isteri sampingan
atau simpanan. Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara,
memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status
anak yang dilahirkan sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak yang dilahirkan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
25
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta : INIS 2002), h 149
36
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya
nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara social dan psikologis bagi si
anak dan ibunya. Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut
bukan anak kandungnya, atau bila suami/ayahnya meninggal dunia dalam hal
pembagian harta warisnya oleh pengadilan agama, karena tidak ada bukti bahwa ia itu
isteri dari suami yang meninggal dunia atau ia anak dari ayah yang meninggal
dunia.26
Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan
dari ayahnya. Perkawinan di bawah tangan berdampak menyakitkan dan merugikan,
kecuali jika kemudian perempuan tersebut dapat mengusahakan perkawinan yang
sah. Anak hasil perkawinan di bawah tangan dianggap anak tidak sah, apabila terjadi
perkawinan sah, maka anak dapat diakui. Sedangkan anak yang lahir di dalam
perkawinan di bawah tangan dikatakan anak yang disahkan karena hanya ada
pengakuan dari ayah anak tersebut dan harus disertai putusan pengadilan.
Ada beberapa dampak perkawian di bawah tagan menurut undang-undang yaitu :
1) Perkawinan dianggap tidak sah meski perkawinan dilakukan menurut agama
dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak
sah jika belum dicatat oleh Kantor Uusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
26
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen, (Yogyakarta : Graha Ilmu
2011), h 17
37
2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak
yang dilahirkn di luar perkawinan atau perkawinan tidak tercatat, selain
dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibu atau keluarga ibu.
3) Anak dan ibu nya tidak berhak atas nafkah dan warisan, dan baik isteri
maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak
menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam
perkawinan dibawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang
menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono-gini atau harta bersama.27
27
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 151
38
BAB III
PROFIL DESA WIBAWA MULYA
A. Sejarah Singkat Desa Wibawa Mulya
Pada jaman dahulu, yaitu sebelum tahun 1978 Desa Wibawa Mulya
Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi, masih satu desa dengan desa
Sindangmulya, dan dipimipin oleh seorang Lurah bernama H. Maskudi (alm).
Selanjutnya pada tahun 1978 Desa Sindangmulya di bagi menjadi dua Desa yaitu
Desa Sindangmulya dan Desa Wibawa Mulya yang dipimpin oleh :
1. Lurah Endin memimpin wilayah Desa Sindangmulya
2. Lurah Udin Saepudin memimpin Wilayah Desa Wibawa Mulya.
Pada periode 1983 S/d 1991 di bawah kendali Kepemimipinan Bpk. Lurah
Udin Saepudin Memimpin Desa Wibawa Mulya selama + 6 tahun, dan mulai menata
desa Wibawa Mulya dengan membuat sarana-sarana sosial atau umum secara gotong
royong dengan masyarakat. Bukti dari semua itu maka desa Wibawa Mulya dijadikan
sebagai Desa Percontohan, trand setter dan Icon se Kabupaten Bekasi, dalam bidang
Pertanian. Sebelum masa jabatannya habis beliau meninggal dunia bersama istri
tercintanya di Mekkah ( Tragedi Mina ) dalam rangka menunaikan ibadah Haji.1
1 Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa
Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30).
39
Lalu pada tahun berikutnya dipimpin oleh Bpk. M. Kosim (alm) 1991 S/d
1999, pada masa kepemimpinan beliau, beliau meneruskan berbagai program
pembangunan yang telah dirintis sebelumnya dengan cara gotong-royong/kerja bakti.
beliau juga mengembangkan sektor pertanian dan peternakan. Seiring perkembangan
jaman pada masa kepemimpinan beliau, banyak lahan persawahan yang gagal panen,
ternak banyak yang mati hingga akhirnya desa Wibawa Mulya masuk dalam kategori
Desa IDT, hingga akhirnya pun beliau berhenti karena masa jabatannya habis, dan
seterusnya silih berganti kepemimpinan hingga sekarang.2
B. Letak Geografis dan Demografi Desa Wibawa Mulya
Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi adalah suatu
wilayah desa yang berbatasan dengan desa Sindangmulya. Berdasarkan data
monografi desa, desa Wibawa Mulya memiliki luas wilayah 515 Ha.3 Luas wilayah
desa Wibawa Mulya, menurut jenis tanah sebagian besar adalah tanah darat
diantaranya yaitu :
Tabel Jenis Tanah
No Jenis Tanah Ha
1. Sawah Tadah Hujan 161 Ha
2 Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa
Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30).
3 Data monografi desa wibawa mulya kec. Cibarusah Bekasi tahun 2013.
40
2. Ladang 5 Ha
3. Pemukiman 315 Ha
4. Tanah Kas Desa 13 Ha
5. Lapangan 3 Ha
6. Perkantoran Pemerintahan 1 Ha
7. Makam 2 Ha
8. Situ Cipalahlar 15 Ha
Batas Wilayah Desa
No Letak Batas Desa/Kelurahan Kecamatan
1. Sebelah Utara Desa Sukaragam Kecamatan Serang Baru
2. Sebelah Selatan Desa Sirnajati Kecamatan Cibarusah
3. Sebelah Barat Desa Sindang Mulya Kecamatan Cibarusah
4. Sebelah Timur Desa Sirnajaya Kecamatan Serang Baru
Sedangkan orbitrasi (jarak dari pusat pemerintah desa) terhadap pusat-pusat fasilitas
kota :
No Orbitrasi KM
1. Jarak Ibukota Kecamatan 9 Km
41
2. Jarak Ibukota Kabupaten 56 Km
3. Jarak Ibukota Provinsi 247 Km
Jumlah Penduduk Secara Umum/KK
No. Kependudukan Jumlah Ket
1. Jumlah Penduduk 6.729 Orang
2. Jumlah Kepala Keluarga 1.797 Orang
Jumlah Penduduk menurut kewarganegaraan
No. Kewarganegaraan Jumlah Keterangan
1. WNI Laki-laki 3.457 Orang
2. WNI Perempuan 3.272 Orang
Jumlah Penduduk Menurut Usia
No Usia Jumlah Ket
1. 0-4 Tahun 517 Orang
2. 5-19 Tahun 1251 Orang
42
3. 20-59 Tahun 4.674 Orang
4. 60 Tahun Keatas 287 Orang
Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Ket
1. TK ( Paud ) 123 Orang
2. SD/ Sederajat 900 Orang
3. SMP/ Sederajat 402 Orang
4. SMA/ Sederajat 116 Orang
5. Perguruan Tinggi 18 Orang
6. Buta Huruf - Orang
C. Kondisi Sosial Desa Wibawa Mulya
Kondisi sosial masyarakat Desa Wibawa Mulya masih memegang teguh pada
adat istiadat daerah dengan cirri-ciri budaya sunda yang terlihat masih kental dengan
kegotong-royongan, sabanda sariksa, kesopanan dan budaya-budaya luhur sunda
lainnya. Kondisi sosial inilah yang selalu dijadikan dasar dan modal dalam
43
melakukan setiap proses pembangunan yang senantiasa dijaga, dipelihara dan
dikembangkan.
1. Keadaan Ekonomi
Kondisi ekonomi masyarakat Desa Wibawa Mulya terbagi beberapa bidang,
namun masih rendah, sehingga secara umum masih tergolong masyarakat yang masih
belum sejahtera.
Selain itu pada bidang lain seperti usaha mikro masyarakat masih
memanfaatkan bantuan pinjaman dari bantuan permodalan pemerintah ataupun
bantuan pinjaman permodalan dari pihak-pihak lain.
2. Pola penggunaan tanah
Pola penggunaan tanah yang ada masih sebatas pertanian itupun pada musim
hujan saja, sedangkan pada musim kemarau ada sebagian petani yang mengolah
tanahnya untuk menanam sayur-sayuran dan yang lainya itupun yang dekat dengan
sumber air.
3. Pemilik Ternak
Untuk peternakan di Desa Wibawa Mulya masih jauh atau belum adanya
program bantuan ternak yang sifatnya pemberdayaan masyarakat, walaupun adanya
masyarakat yang memiliki ternak masih bersifat konvensional.
44
4. Sarana Pendidikan
Dari hasil wawancara pribadi dengan sekertaris desa Wibawa Mulya dengan
bapak Jhoni Hermansyah mengenai pendidikan, beliau mengemukakan bahwa
pendidikan didesa ini lumayan sudah bagus, banyak sekali sudah ada sekolah-
sekolah SMP maupun SMK ataupun Madrasah Aliah dan Tsanawiyah.
Akan tetapi ada saja masyarakat yang tidak sekolah, karena salah satu faktor
utama lemahnya pendidikan adalah dikarenakan masyarakat belum sadar dan
mengerti akan pentingnya pendidikan. Mungkin kalau di desa ini alhamdulilah rata-
rata SD, SMP dan SMA pada sekolah kebanyakan, walaupun hanya sebagian kecil
yang tidak sekolah, ujar kata bapak Jony Hermansyah.4
Tabel sarana pendididan desa wibawa mulya
No Sarana Pendidikan Banyak
1. TK / PAUD 5 Unit
2. SD / sederajat 2 Unit
3. SLTP / sederajat 2 Unit
4. SLTA / sederajat 2 Unit
5. Yayasan Pendidikan Islam 3 Unit
6. Pondok Pesantren 1 Unit
4 Wawancara pribadi dengan Bapak Jhoni Hermansyah Sekertaris Desa Wibawa Mulya di
balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 11:30).
45
5. Sarana Ibadah
Mayoritas di desa ini hampir semuanya pemeluk agama islam, hanya 1%
pemeluk agama Kristen, sehingga hampir seluruhnya kegiatan-kegiatan yang
dilakukan masyarakat tersebut lebih mengarah kepada unsur keagamaan, setiap tahun
itu masyarakat di sanah mengadakan kegiatan agama seperti Maulud dan Rajaban,
setiap acara itu selalu dihadiri oleh banyak masyarakat.
Ada juga pengajian-pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, kalau pengajian
bapak-bapak di masjid An-Nur itu setiap malem senin, tapi kebanyakan pengajian
ibu-ibu, hampir setiap minggu nya ada 6 pengajian di desa Wibawa Mulya.5
Jumlah Penduduk menurut Keagamaan
No Agama Jumlah Ket
1. Islam 6.717 Orang
2 Kristen 12 Orang
Prasarana dan peribadatan di desa ini jumlah masjid 4 (Empat) dan jumlah
langgar atau mushola 14 (Empat Belas) bangunan. Kebanyakan masyarakat di desa
ini memahami islam dengan pemahaman kalsik, seperti orang dulu.
5 Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa
Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30).
46
6. Mata Pencaharian
Sebagian besar warga desa Wibawa Mulya adalah petani dan kuli muat batu
bata, pengrajin idustri rumah tangga, dan pengusaha kecil menengah, sedangkan
sisanya yaitu wiraswasta, pedagang, supir angkot, dan lain-lain.
Tabel Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Ket
1. Petani Pemilik tanah 2315 Orang
2. Buruh Tani 36 Orang
3. Pedagang 413 Orang
4. Pengusaha Batu-bata 280 Orang
5. Pengusaha angkutan 72 Orang
6. Karyawan Swasta 415 Orang
7. Wiraswasta 179 Orang
8. Buruh 625 Orang
9. PNS 60 Orang
10. TNI/POLRI 10 Orang
47
11. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 5 Orang
12. Peternak 11 Orang
Melalui tabel diatas kita bisa mengetahui kegiatan ekonomi masyarakat di
desa Wibawa Mulya ini masih sangat lemah, Desa Wibawa mulya ini adalah desa
yang sebagian masyarakatnya rata-rata yang usia 25 tahun keatas itu bekerja petani
dan kuli muat batu bata, dan umur dibawah 25 tahun itu rata-rata kerja dipabrik-
pabrik industry, seperti pabrik-pabrik yang berada didaerah cikarang.
7. Sarana Kebutuhan Sosial Masyarakat
Sarana Kebutuhan masyarakat yang sedang diupayakan pembangunannya
yaitu pembangunan jalan lingkungan ( Jaling ) baik dengan mengandalkan dana
APBD Kab.Bekasi melalui aspirasi Dewan, Musrenbang dan APB Desa.
Sedangkan ditinjau dari sarana angkutannya, dari Desa Wibawa Mulya sudah
ada angkot K35 dari jam 6 pagi hingga jam 3 sore, tetapi mayoritas daerah di
Kecamatan Cibarusah dapat dijangkau dengan ojeg motor. Kondisi lalu lintas di desa
Wibawa Mulya relatif sepi, hanya ramai pada waktu puncak dan pada daerah tertentu
yang memiliki aktivitas ekonomi tinggi seperti Desa Cibarusah Kota dan Sindang
Mulya.
48
Masalah-masalah yang selama ini masih dihadapi atau menjadi kendala bagi
masyarakat Desa Wibawa Mulya secara umum adalah diantaranya sebagai berikut :
- Dengan banyaknya jumlah penduduk dan kurangnya sumber daya
pengetahuan ataupun rendahnya tingkat pendidikan hal tersebut menjadikan
banyak masyarakat desa Wibawa Mulya yang tidak memiliki pekerjaan.
- Masih Lemahnya kualitas Sumber Daya manusia yang ada dikarenakan Faktor
pengetahuan/tingkat pendidikan masyarakat secara keseluruhan.
- Tidak adanya Modal untuk melakukan pengembangan atau pengolahan
terhadap potensi-potensi yang ada.
- Masih kurangnya sarana dan prasarana umum seperti sarana pendidikan,
puskesmas, posyandu ( Sarana Kesehatan ), pasar, sarana air dan MCK yang
layak, sebagai Fasilitas masyarakat, dan walaupun ada sarana tersebut masih
belum memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan jauh dari
tempat tinggal masyarakat sebagian sehingga hal tersebut membuat
masyarakat harus meluangkan waktu yang lama atau mengeluarkan biaya
yang cukup besar untuk mampu mencapai hal tersebut.
- Rusaknya atas sarana prasarana umum (Transportasi, sarana pengairan, sarana
pendidikan, sarana kesehatan dan lain-lain ) yang ada dikarenakan usia dari
sarana prasarana tersebut yang sudah lama sehingga manghambat pada
kemajuan tingkat ekonomi masyarakat. Ditambah dengan lemahnya
pengetahuan terhadap pengembangan kelembagaan masyarakat
49
Sarana dan prasarana yang masih belum ada yaitu pengadaan Sarana Balai
Latihan Kerja dan MCK, juga untuk membantu para petani dalam pengadaan pupuk,
bibit, dan obat-obatan guna meningkatkan hasil panen yang lebih optimal dan
memuaskan.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang Perkawinan di Bawah
Tangan
Apabila memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan
kepercayaannya” dan ayat (2), yaitu “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat”, dapat di
pahami bahwa perkawinan yang sah adalah menurut agama dan undang-undang harus
dicatatkan.
Ahmad Rofiq berpendapat, artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah
dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan,
suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah,
apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat
melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari
perkawinan yang dilangsungkannya.1
1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003), h 110
51
Menurut penulis, Pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat
menentukan diakuinya perkawinan tersebut oleh undang-undang. Bila suatu
perkawinan tidak dicatat, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh undang-
undang, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut, dampaknya
sangat meruginkan bagi isteri dan anaknya.
Abdulkadir Muhammad memberikan keterangan: “Pada saat ini status hukum
seseorang sangalah penting karena dengan pastinya status hukum seseorang maka ia
akan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dengan memiliki status
hukum yang jelas, maka seseorang akan tahu apa yang boleh dilakukan. Dengan
memiliki status hukum yang baru, maka seseorang dapat dengan mudah untuk
melakukan kegiatan sehari-hari tanpa harus melakukan suatu pelanggaran.
Seseorang yang telah menikah dan mencatatkan perkawinannya pada pegawai
pencatat nikah, maka ia mempunya status hukum yang baru. Dengan status hukum
yang baru tersebut maka hak dan kewajibannya pun akan berubah pula atau tidak
sama sekali seperti waktu ia belum menikah”.2
Praktek perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi,
padahal perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan
serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan, dan juga hak anak.
2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Adtya Bakti,
2003), hal. 48
52
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “perkawinan di bawah
tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.
Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan
dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku,
khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2).3
Pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum mengetahui tetang
Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini, khususnya tentang pencatatan perkawinan.
Maka undang-undang ini harus disosialisasikan kepada masyarakat, hal itu
sependapat dengan Zainuddin Ali, penacatatan perkawinan yang tercantum dalam
pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sangat tepat
diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini karena dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka
segala sesuatu yang dilakukan harus lah memerlukan suatu kepastian hukum.4
Dengan mencatatkan perkawinannya berarti ia mempunyai akta perkawinan yang
dapat dijadikan bukti apabila dikemudian hari ia menghadapi masalah yang
3 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 150
4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), h 26
53
berhubungan dengan perkawinan. Akta perkawinan merupakan bukti yang autentik
untuk membuktikan bahwa seseorang itu telah menikah.5
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang ada
di desa Wibawa Mulya, penulis melakukan wawancara dengan ibu Sofiah, menurut
ibu Sofiah perkawinan di bawah tangan itu sama aja seperti halnya perkawinan
lainnya. Ia menuturkan bahwa perkawinan di bawah tangan itu yang membedakan
adalah tidak mendapatkan buku nikah, dan perkawinannya juga sah, karena menurut
agama juga sudah sah. Ketika ada saudara ibu Sofiah menikah, saudaranya tidak
mendapatkan buku nikah, dan ditawarkan oleh bapak amil jika dia ingin mempunyai
buku nikah prosesnya lama dan harus membayar lima ratus ribu rupiah, ia merasakan
terlalu mahal, maka ia tidak mau, lebih baik uangnya digunakan untuk yang lain, dari
pada harus membeli buku nikah, dan ia juga tidak tahu akan pentingnya pencatatan
perkawinan, ujar ibu Sofiah. Karena saudara ibu Sofiah tidak mau, sodaranya
menikah sesuai yang di syariatkan oleh agama Islam saja, dan hanya dihadiri oleh
tokoh masyarakat dan sodara-sodara terdekat saja. 6
Selanjutnya penulis mewawancarai Ibu Ela, ia mengatakan kalau perkawinan
di bawah tangan itu sah-sah saja, dan warga yang melakukan perkawinan di bawah
tangan tidak akan dianggap aneh atau berbeda, dan ketika ada seorang warga yang
5 Ahmad Rofiq, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003),
h 116
6 Wawancara Pribadi dengan Ibu Sofiah, (Selasa, 25 Maret 2014 pukul 16:30), Di depan
rumah ibu Sofiah.
54
menikah di bawah tangan atau tidak mendatangkan Pegawai Pencatat Nikah,
mungkin dia itu tidak punya biaya, cukuplah dengan syariat islam perkawinannya
sudah sah, kata ibu Ela.7
Melihat realita dari ibu Sofiah dan ibu Ela ini sangat jelas tidak tahunya
tentang pentingnya pencatatan perkawinan, masalah pencatatan ini jelas tidak dapat
dilepaskan dari kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan mengenai pencatatan
perkawinan tidak akan efektif akibat kurangnya kesadaran dari hukum masyarakat
sendiri.
Menurut Bapak Ahyad selaku RT 05 desa Wibawa Mulya, faktor-faktor yang
menyebabkan ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pencatatan itu karena
rendahnya pendidikan, jadi mereka beranggapan bahwa pencatatan perkawinan itu
tidak terlalu penting dan hanya memakan waktu dan dirasakan sangat mahal diatas
ketentuan Peraturan Pemerintah No . 51 tahun 2001 mengenai Biaya Pencatatan
Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah, dan juga masih kentalnya budaya agama
dan adat sunda yang ada di desa Wibawa Mulya ini, kalau perkawinan sudah
terpenuhi syarat dan rukunnya maka perkawinannya pun sudah dianggap sah.8
Melihat pandangan masyarakat tentang perkawinan di bawah tangan,
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui akan pentingnya pencatatan perkawinan,
7 Wawancara Pribadi dengan Ibu Ela, (Selasa, 25 Maret 2014 pukul 17:00). Di depan rumah
ibu Ela
8 Wawancara pribadi dengan bapak Ahyad RT 05, (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:00). Di
rumah bapak RT Ahyad
55
mereka beranggapan perkawinan di bawah tangan itu sah, tetapi karena tidak
mengetahui sahnya menurut perundang-undangan, ketika ada seorang masyarakat
baik itu tetangganya atau bukan, masyarakat memandang bahwa perkawinan itu
sebagaimana mestinya dan tidak ada yang aneh atau berbeda baik orang yang
melakukan perkawinan di bawah tangan maupun perkawinan yang sah sebagaimana
yang di atur oleh peraturan perundang-undangan. Sebagian besar pola pemikiran
masyarakat desa Wibawa Mulya tentang perkawinan di bawah tangan sama, yaitu
tidak membeda-bedakan perkawinan di bawah tangan dan perkawinan yang sah atau
perkawinan yang dicatatkan.
B. Wawancara Masyarakat Pelaku Perkawinan di Bawah Tangan dan Tokoh
Masyarakat Desa Wibawa Mulya
Perkawinan di bawah tangan terbukti telah merusak sendi-sendi
bermasyarakat karena pada perkawinan di bawah tangan itu biasanya ada sesuatu
yang tidak beres, seperti main-main, dan mudah digunakan sebagai alasan dari
sesuatu yang tidak benar. seperti yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (2), yaitu “Tiap-tiap perkawinan harus
dicatat”. Jadi, perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan
pegawai pencatat nikah, tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di
mata masyarakat yang mengerti hukum .
56
Praktek perkawinan di bawah tangan hingga kini masih saja banyak terjadi,
padahal perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan
serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan dan juga hak anak. Secara social,
pasangan suami isteri pelaku perkawinan di bawah tangan ternyata pada kasus di
masyarakat cenderung sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai isteri
simpanan atau isteri tidak sah.9 demikian lah menurut Asrorun Ni’am Sholeh pada
umumnya ada kesulitan.
Akan tetapi perkawinan di bawah tangan yang seperti itu tidak berlaku untuk
warga desa Wibawa Mulya, bagi masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah
tangan tidak cenderung sulit bersosialisasi dengan tetangga atau masyarakat lainnya,
karna tidak ada orang yang beranggapan yang melakukan perkawinan di bawah
tangan itu sebagai isteri simpanan, tempat persinggahan dan lain-lain. Permasalahan
kenapa mereka melakukan perkawinan di bawah tangan kebanyakan dari mereka
adalah masalah biaya pencatatan perkawinan yang tidak sedikit atau mahal, seperti
disebutkan di depan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis lakukan dengan ibu Iis Suryani sebagai
pelaku perkawinan di bawah tangan, ia menjelaskan ketika perkawinannya sudah
memenuhi syarat dan rukunnnya menurut agama Islam, dikarenakan tidak adanya
biaya dan suaminya hanya pekerja kuli batu-bata yang penghasilannya sedikit, maka
9 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 151
57
tidak dicatatkan perkawinan itu. Perkawinan ibu Iis dilakukan dirumahnya sendiri dan
dinikahkan oleh K.H. Ma’mur Ghazali (alm) hanya mengundang saudara dan tokoh
masyarakat saja. Pandangan mayarakat dapat menerima perkwinan di bawah
tangan.10
Tidak jauh berbeda dengan ibu Holidah, sebagai pelaku perkawinan di bawah
tangan juga, ia menjelaskan ketika perkawinannya dilakukan di rumahnya sendiri,
tidak mencatatkan perkawinannya karena dia tidak tahu sama sekali masalah
perkawinanya, yang mengurus itu semua adalah orang tuanya. Dan dia tidak tahu
akan pentingnya pencatatan perkawinan, bagi dia perkawinan yang dicatatkan atau
tidak dicatatkan sama saja yang terpenting adalah sah menurut agama Islam.11
Peran tokoh masyarakat sangat berperngaruh dalam menekan tingginya
perkawinan di bawah tangan di desa Wibawa Mulya, menurut K.H. M. Emuh (selaku
kiyai dan tokoh masyarakat), tentang perkawinan di bawah tangan yang terjadi di
desa Wibawa Mulya ini karena banyaknya faktor-faktor tertentu, beliau sering
menikahkan orang yang tidak tercatat atau tidak mendatangkan pegawai pencatat
nikah. Terkadang ada orang yang ingin dinikahkan namun tidak mempunyai biaya,
ada yang umurnya belum memenuhi persyaratan Undang-undang, dia sudah ingin
menikah, padahal Undang-undang telah mengatur tentang batasan usia perkawinan,
10
Wawancara Pribadi dengan Ibu Iis Suryani, (Selasa, 25 Maret 2014 pukul 13:20). Di depan
rumah ibu Iis
11
Wawancara Pribadi dengan Ibu Holidah, (Rabu, 26 Maret 2014 pukul 13:00). Di depan
rumah ibu Holidah
58
seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 7 ayat (1) yaitu menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun”.
Kalau ia berpendapat, dari pada mereka harus berbuat zinah, dengan terpaksa
dinikahkan dan mendapat restu dari orang tuanya, walaupun tidak mengadakan
walimah ketika menikah dan asalkan sudah terpenuhi rukun dan syaratnya menurut
agama Islam. Dan ada juga dari pihak orang tua yang meminta kepada beliau ingin
menikahkan anaknya yang sudah hamil duluan, karena faktor pergaulan yang bebas
dan kurangnya pengawasan dari orang tua.12
Menurut bapak H. Hasan dikenal dengan sebutan bapak Amil (orang yang
sering mengurus pendaftaran perkawinan ke Kantor Urusan Agama), perkawinan
sekarang dengan dulu sudah berbeda. Orang-orang yang menikah dulu kebanyakan
dari mereka belum mengetahui sama sekali tentang pentingnya pencatatan
perkawinan, karena rendahnya pendidikan mereka, jadi tidak perduli perkawinannya
itu tercatat atau tidak, yang penting menikah.
Jika sekarang kebanyakan masyarakat yang muda sudah mengetahui akan
pentingnya pencatatan perkawinan, maka mereka mau menikah dengan pencatatan,
12
Wawancara Pribadi dengan bapak K.H M. Emuh, (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 11:00).
Di rumah bapak K.H M. Emuh
59
dan sebagian masyarakat desa Wibawa Mulya ada yang sudah mengetahui akan
pentingnya pencatatan perkawinan, maka melakukan pencatatan.13
Berbeda profesi, berbeda pula pendapat dari para tokoh masyarakat yang ada
di desa Wibawa Mulya ini. Begitu lah perbedaan pendapat yang dikatakan oleh bapak
Jhoni Hermawan selaku sekertaris desa Wibawa Mulya, menurut ia mengapa masih
banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan di desa Wibawa Mulya
ini karena masyarakat sama sekali tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan,
mereka menganggap perkawinan yang mereka lakukan itu sudah sah, apalagi jika
agama sudah mengatakan sah. Dan mereka juga beranggapan tidak penting
dicatatakan. Mengapa mereka beranggapan demikian, karena kurangnya pengetahuan
pendidikan, mayoritas di desa ini bapak-bapak dan ibu-ibu tingkatan sekolahnya
hanya sampai tingkat SD (sekolah dasar), begitulah yang dikatakan bapak Jhoni
Hermawan selaku sekertaris desa Wibawa Mulya.14
C. Analisis Penulis
Pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat menentukan dalam
suatu perkawinan karena penctatan perkawinan merupakan suatu syarat diakui dan
tidaknya perkawinan oleh peraturan perundang-undangan. Bila suatu perkawinan
tidak dicatat, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh peraturan perundang-
13
Wawancara Pribadi dengan bapak M. Hasan, (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 17:00). Di
rumah bapak M. Hasan
14
Wawancara Pribadi dengan bapak Jhoni Hermawan sekertaris desa Wibawa Mulya, (Rabu,
2 April 2014 pukul 09:30). Di balai desa Wibawa Mulya.
60
undangan, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Dengan
demikian, dengan dicatatkannya perkawinan akan memberikan perlindungan hukum
kepada kedua belah pihak dan akan memudahkan pembuktian akan adanya
perkawinan.
Mengenai praktek pelaksanaan perkawinan yang terjadi di desa Wibawa
Mulya, ada sebagian masyarataknya tidak melakukan pencatatan perkawinan
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 2 ayat (2) tentang Pencatatan Perkawinan, yang berbunyi : “Tiap-
tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”,
kebanyakan masyaakat di desa Wibawa Mulya tidak melakukan pencatatan
perkawinan dikarenakan pencatatan bagi mereka tidak penting. Bagi mereka dengan
memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut agama Islam sudah dianggap sah.
Meskipun demikian, di desa Wibawa Mulya tidak terlalu menaruh perhatian
atas adanya pencatatan perkawinan. padahal dengan adanya pencatatan perkawinan
dianggap sah secara hukum menurut perundang-undangan. Dengan adanya
pencatatan dimaksud bagi yang melakukan perkawinan, apabila terjadi suatu sengketa
perkawinan yang tidak bisa diselesaikan secara damai, maka perkawinan bisa putus
dengan jalan perceraian di Pengadilan Agama dengan menunjukan adanya akta nikah
yang telah di catat oleh pegawai pencatat nikah.
61
Namun, hal ini tentu sangatlah jauh jika melihat sudut pandang sebagian besar
di desa Wibawa Mulya terhadap hal tersebut. Bagi sebagian mereka yang ada di desa
Wibawa Mulya, apabila terjadi adanya konflik dalam rumah tangga, cukup dilakukan
secara kekeluargaan tanpa harus di bawa ke Pengadilan Agama.
Dari hasil wawancara dengan bapak M. Hasan (Amil desa wibawa Mulya)
dan bapak Agus Salim (Kepala KUA Kecamatan Cibarusah), penulis
membandingkan angka perkawinan yang terjadi di desa Wibawa Mulya dan di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Cibarusah, berikut tabelnya :
Tabel Perbandingan Data Perkawinan Tahun 2013
No Bulan Perkawinan yang
Tercatat di KUA
Perkawinan yang
Tercatat di Desa
01 Januari 9 12
02 Febuari 5 5
03 Maret 9 11
04 April 13 15
05 Mei 9 9
06 Juni 11 12
07 Juli 10 15
08 Agustus 7 10
09 September 7 9
62
10 Oktober 8 8
11 November 18 20
12 Desember 8 11
Jumlah 114 Perkawinan 137 Perkawinan
Dari tabel diatas, bisa dilihat bahwa angka perkawinan yang tercatat di desa
dan di KUA lebih banyak yang tercatat di desa, jadi masih banyak masyarakat di desa
Wibawa Mulya yang tidak melakukan pencatatan perkawinan. Dan hasil wawancara
penulis dengan tokoh masyarakat di desa Wibawa Mulya mengatakan bahwa banyak
faktor yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan,
diantaranya yaitu :
1. Rendahnya Pendidikan Karena Kesulitan Ekonomi
Alasan ini merupakan alasan yang paling mendasar yang biasa saja
dimaklumi. Atas dasar alasan inilah biasanya masyarakat golongan menengah bawah
yang tidak memiliki harta banyak sehingga tidak sanggup untuk mengurus proses
perkawinan secara resmi dan dicatat melalui pejabat yang berwenang. Bagi mereka
yang terpenting adalah perkawinannya secara syariat agama bisa dilangsungkan, tidak
lagi dianggap sebagai kumpul kebo oleh masyarakat. Mereka berpikiran seperti itu
63
karena kurangnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan, ekonimi yang menengaah
kebawah rata-rata pendidikannya paling tinggi hanya sampai SD (Sekolah Dasar)15
.
2. Karena Pergaulan Bebas
Kurangnya pengawasan dari orang tua menjadikan seorang anak bebas
bergaul dengan siapa saja, kapan saja dan dimana saja, hingga terjadi perbuatan zina
dan mengandung seorang anak di luar perkawinan. Dari pada harus menanggung
malu, maka dengan segera orang tua menikahkan anaknya dan tidak mencatatkan
perkawinan anaknya karena takut aib anaknya diketahui oleh masyarakat.
3. Mahalnya Biaya Pencatatan Perkawinan
Mahalnya biaya pencatatan perkawinan yang terjadi di desa Wibawa Mulya
menjadikan masyarakat enggan untuk mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan
Agama. Adanya oknum-oknum tertentu yang menjadikan pencatata perkawinan
sangat mahal diatas ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2001 tentang Biaya
Pencatatan Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah.
Keterangan diatas merupakan faktor yang paling melekat dimana perkawinan
di desa Wibawa Mulya tidak mengharuskan perkawinan dicatat. Padahal undang-
undang perkawinan menentukan selain harus mengikuti hukum agamanya itu, juga
harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
15
Wawancara Pribadi dengan bapak Soleh Hidayat Kaur Pemerintahan desa Wibawa Mulya,
(Rabu, 2 April 2014 pukul 10:30). Di balai desa Wibawa Mulya.
64
tentang Perkawinan. Untuk kondisi desa Wibawa Mulya, pencatatan perkawinan
belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen, padahal menyangkut banyak
kepentingan.
Adanya faktor-faktor tertentu yang mengaruskan seseorang yang ingin
menikah tidak mencatatkan perkawinannya dan tidak mempunyai kepastian hukum.
Bila tidak tercatat maka tidak dapat diselesaikan urusannya ke Pengadilan Agama.
Karena perkawinan tidak dicatatkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka
dampaknya pun dirasakan oleh masyarkat.
Penulis menyimpulkan hasil wawancara pelaku perkawinan di bawah tangan
tentang dampak yang dirasakan oleh masyarakat, diantaranya yaitu ;
1. Tidak mempunyai akta kelahiran bagi anak.
2. Tidak bisa membuat Kartu Keluarga (KK) karena tidak adanya akta nikah.
3. Tidak mendapatkan harta waris bagi isteri dan anak jika suami telah
meninggal atau ditinggal cerai.
Untuk dampak waris hanya sebagian kecil saja masyarakat desa Wibawa
Mulya yang meraskan dampaknya, karena mengenai waris biasanya diselesaikan
secara kekeluargaan, baik dari pihak keluarga suami maupun dari pihak keluarga
isteri, tanpa harus ke Pengadilan Agama.
Sesungguhnya setiap orang pasti ingin mempunyai keluarga yang harmonis
dan kekal dan perkawinannya tercatat, itulah keinginan dari setiap orang yang ingin
65
melanjutkan hidupnya kejenjang perkawinan. Sesungguhnya dalam perkawinan
mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik dari segi ibadah, sosial dan
masyarakat, sehingga ikatan perkawinan menjadi lebih kuat, dan tidak menimbulkan
ketidakjelasan hukum yang mengaturnya.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini maka penulis memaparkan
kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya sebagai
berikut:
1. Perkawinan di bawah tangan yang terjadi di desa Wibawa Mulya adalah
perkawinan yang sah menurut agama Islam, hanya saja perkawinannya yang
dilakukan masyarakat tidak mendatangkan pegawai pencatat nikah dan pasti
perkawinannya itu tidak di catatkan. Jadi, perkawinan di bawah tangan yang
terjadi di desa Wibawa Mulya bukan perkawinan sirri, perkawinannya adalah
sah, ada saksinya ada walinya, ada calon pengantinnya dan ada maharnya,
semuanya memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut agama Islam.
2. Yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya melakukan
perkawinan di bawah tangan adalah karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang hukum, rendahnya pendidikan mereka, dan juga mahalnya
biaya pencatatan perkawinan. dan dari pemerintahan desa juga belum ada
sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.
67
3. Dampak yang terjadi, ialah anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan
warisan, dan tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak dan tidak bisa
membuat kartu keluarga (KK).
4. Pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan yang terjadi di
desa Wibawa Mulya dianggap biasa saja seperti perkawinan pada umumnya,
dan menganggap perkawinan tersebut tidak aneh atau berbeda.
B. Saran-saran
Dalam hal menanggulangi terjadinya perkawinan di bawah tangan maka
penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Karena kurang tahunya masyarakat tentang pentingnya pencatatan
perkawinan maka pemerintah desa, dari pihak Kantor Urusan Agama dan
para tokoh masyarakat perlu mensosialisasikan tentang pentingnya
pencatatan perkawinan melalui seminar-seminar yang diselenggarakan di
balai desa atau di Kantor Urusan Agama dan juga melalui acara-acara
yang diselenggarakan Kementrian Agama dan juga instansi yang berada di
bawahya, sehingga pencatatan perkawinan bisa lebih disosialisasikan lagi,
agar masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
2. Kurangnya sosialisasi tentang hukum kepada masyarakat, maka
pemerintah desa dan para tokoh masyarakat perlu meningkatkan
sosialsisasinya kepada masyarakat melalui pengajian, khotbah jumat, dan
ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya, agar masyarakat tahu betul
68
bahwa pentingnya pencatatan perkawinan dan berapa biaya perkawinan
menurut undang-undang, agar tidak ada orang yang beranggapan
pencatatan perawinan itu mahal, dan mahalnya itu karena oknum-oknum
tertentu.
3. Bagi masyarakat harusnya peduli dengan status perkawinan, karena hal ini
berdampak bagi keberlangsungan kehidupan juga anak cucunya dengan
merasakan betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki akta
nikah sebagai bukti yang otentik dalam setiap urusan.
4. Alangkah baiknya pola pemikiran masyarakat dirubah mengenai
pemahaman tentang perbedaan antara perkawinan yang dicatatkan di
Kantor Urusan Agama dan mana yang tidak dicatatkan, karena pencatatan
perkawinan sangat penting.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : CV. Akademika
Pressindo 2007.
Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan (Analisis Perbandingan Antar
Mazhab). Jakarta : PT. Prima Heza Lestari.
Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat. Jakarta :Pustaka
Firdaus 1993.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta :SinarGrafika 2006.
Al-gozii, Syekh Muhammad bin Khaasim, Fathul Qorib Mujib.
Al-Maliki, Muhammad bin Alwi, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga. Surabaya :
Mutiara Ilmu 1995.
Al-Musnad, Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman, Perkawinan Dan Masalahnya.
Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993.
Asmawi, Mohammad, Nikah (Dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta :
Darussalam 2004.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya. Jakarta :
MAHKOTA 1989.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta : Prenada
Media 2003.
Humairah, Syekh Imam Al-Qoyubi, Al-Mahalli
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group 2006.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen. Yogyakarta : Graha
Ilmu 2011.
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan. Bandung : AL-BAYAN 1994.
70
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata di Indonesia. Bandung : PT. Citra Adtya
Bakti, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, .
Jakarta : INIS 2002.
Pedoman Penulisan Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2012. Jakarta : Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM) 2012.
Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
2006.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta :Ghalia Indonesia 1976.
Shihab, M. Quraish, Islam Mazhab Indonesia (Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial).
Jakarta : TERAJU 2002.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga. Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008.
Sopyan, Yayan, Islam-Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional). Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Syirazi, Imam Muhammad, Dengan Siapa Kita Menikah?: Panduan Islami dalam
Memilih Jodoh & Membangun Keluarga Sakinah. Jakarta: Pustaka Zahra
2004.
Tarigan, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai
KHI). Jakarta : Kencana 2004.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia 1974.
Usman, Suparman, Perkawinan Antar Agama Dan Problematika Hukum Perkawinan
Di Indonesia. Serang : Saudara Serang 1995.
71
Yanggo, Huzaimah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor : Ghalia
Indonesia 2010.
Zain, Muhammad dan Muhkhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis
“Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu”,
(Jakarta Grahacipta 2005).
72
73
74
75
76
77
78
79
80
PEDOMAN WAWANCARA
Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
1. Kapan KUA Kecamatan Cibarusah Berdiri?
2. Selain Mengurusi perkawinan, pelayanan apa saja yang dilakukan KUA
kepada masyarakat?
3. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
khususnya yang ada di Kecamatan Cibarusah?
4. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak?
5. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam
dan hukum positif?
6. Menurut bapak, jika dilihat dari berbagai kasus yang terjadi, apa yang
melatarbelakangi adanya perkawinan di bawah tangan?
7. Berapa biaya pencatatan perkawinan?
8. Apakah dari pihak KUA pernah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat
tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
9. Apakah ada solusi yang diberikaan KUA bagi anak yang memiliki orang tua
yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah?
10. Apakah KUA memiliki kebijakan sendiri dalam mengatasi problematika
tersebut?
81
Wawancara Sekertaris Desa Wibawa Mulya
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan?
2. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak?
3. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam
dan hukum positif?
4. Mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan,
faktor-faktor apa yang melatarbelakangi mereka sehingga melakukan
perkawinan di bawah tangan?
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
6. Pernahkah dari pihak desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
7. Apakah ada solusi yang diberikaan pihak desa bagi anak yang memiliki orang
tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah?
82
Wawancara Masyarakat dan Tokoh Masyarakat
1. Bagaimana pendapat anda mengenai perkawinan di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak?
2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam
dan hukum positif?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
4. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
83
Wawancara Pelaku Perkawinan di Bawah Tangan
1. Pada usia berapakah anda menikah?
2. Sudah berapa lama anda menikah?
3. Di mana anda melakukan perkawinan?
4. Siapa saja saksi yang menghdiri perkawinan anda?
5. Apakah anda tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya?
6. Apakah perkawinan anda tercatat dan mempunyai akta nikah?
7. Apa yang menyebabkan anda melakukan perkawinan di bawah tangan?
8. Apakah anda tahu perkawinan yang anda lakukan itu tidak diakui oleh
negara?
9. Setahu anda apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya pencatatan
perkawinan di daerah sini?
10. Apakah Anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
11. Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang anda
lakukan?
12. Apa dampak yang anda rasakan dari perkawinan anda?
84
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Dengan ini saya memberikan pernyataan, bahwa saya telah di wawancarai sebagai
nara sumber untuk memenuhi atau melengkapi data yang dibutuhkan penulis, saya
telah memberikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan seperti
yang telah saya alami dan ketahui kepada saudara :
Nama : Ahmad Buhori Muslim
NIM : 1110044200023
Jurusan/Konsentrasi : SAS/AKI
Fakultas : Syariah dan Hukum
Universitas : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Wawancara ini di lakukan pada :
Hari/Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Demikian surat pernyataan ini, sebagai bukti yang bersangkutan benar-benar telah
mewawancarai saya.
Bekasi, , , 2014
(………………………….)
85
HASIL WAWANCARA
Nama : Agus Salim, S.Ag.
Jabatan : Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah
Tempat : Kantor Urusan Agma Kecamatan Cibarusah
Waktu : 10 April 2014
Pukul : 10:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Kapan KUA kecamatan cibarusah Berdiri?
Kantor Urusan Agama berdisi sejak tahun 1930, sebelum kemerdekaan KUA di
kecamatan cibarusah sudah ada, dan kalau dulu dari beberapa kecamatan
menikahkannya ke KAU Cibarusah.
2. Selain Mengurusi perkawinan, pelayanan apa saja yang dilakukan KUA
kepada masyarakat?
Selain mengurusi perkawinan, Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah juga
mengurusi tentang zakat, wakaf, ibadah social, dan manasiq haji. Tapi banyak
dikalangan masyarakat yang beranggapan bahwa Kantor Urusan Agama itu hanya
mengurusi perkawinan saja.
3. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
khususnya yang ada di kecamatan cibarusah?
Perkawinan di bawah tangan itu sama halnya dengan perkawinan yang normal, ada
saksinya, walinya, dan maharnya juga ada. Bedanya perkwinan itu tidak dicatatkan
saja,.
86
4. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak?
Menurut saya perkawinan di bawah tangan itu sah, karena sudah memenuhi rukun
dan syaratnya menurut hukum Islam.
5. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Menurut hukum Islam sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya, kalau menurut
hukum positif perkawinan itu tidak sah, karena tidak di catatkan dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, sesuai yang di atur oleh Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 2 bahwa “setiap perkawinan harus dicatatkan”.
6. Menurut bapak, jika dilihat dari berbagai kasus yang terjadi, apa yang
melatarbelakangi adanya perkawinan di bawah tangan?
Banyaknya faktor-faktor menjadikan masyarakat tidak melakukan perkawinan di
bawah tangan, pendidikan yang rendah menjadikan kurangnya pengetahuan
masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan, pergaulan bebas menjadikan
anak hamil di luar nikah, dan orng tua yang menikahkan anaknya di bawah umur.
7. Berapa biaya pencatatan perkawinan?
Biaya pencatatan perkawinan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No . 51 tahun
2001 mengenai Biaya Pencatatan Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah. Dan
pencatatan perkawinannya dilakukan di KUA, bukan di luar KUA.
8. Apakah dari pihak KUA pernah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat
tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
87
Sebenarnya tidak dari pihak KUA yang langsung terjun kemasyarakat dan
mensosialisasikan langsung, karena terbatasnya pegawai yang berada di KUA,
setiap hari rabu kita mengadakan rapat Triminggon sekecamatan bahkan se-
Kabupaten Bekasi. Dan bekerja sama dengan para kepala desa untuk
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang masalah-masalah yang ada di KUA,
terutama masalah pentingnya setiap perkawinan untuk dicatatkan.
9. Apakah ada solusi yang diberikaan KUA bagi anak yang memiliki orang tua
yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah?
Solusi dari KUA sendiri adalah melakukan isbat nikah ke Pengadilan Agama,
penetapan perkawinannya ditetapkan melakui isbat nikah. Apabila pengadilan
sudah memberikan surat keterangan tentang dikabulkannya isbat nikah, maka dari
pihak KUA bisa membuatkan Akta Nikah.
10. Apakah KUA memiliki kebijakan sendiri dalam mengatasi problematika
tersebut?
Kami dari pihak KUA sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena tidak ada
peraturan yang tegas bagi siapa yang melakukan perkawinan di bawah tangan
atau tidak melakukan pencatatan perkawinan. dari saya pribadi sebagai kepala
KUA Kecamatan Cibarusah berharap ada peraturan yang tegas tentang hal ini.
Paling tidak ada sanksi bagi yang melakukan perkawinan di bawah tangan dan
yang tidak melakukan pencatatan perkawinan, agar setiap orang yang melakukan
perkawinan memiliki bukti yang otentik dan mempunyai kekuatan hukum.
88
HASIL WAWANCARA
Nama : Jhoni Hermansyah
Jabatan : Sekertaris Desa Wibawa Mulya
Tempat : Balai Desa Wibawa Mulya
Waktu : 02 April 2014
Pukul : 90:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan?
Perkawinan di bawah tangan itu menurut saya hampir sama seperti perkawinan
normal lainnya, bedanya dia tidak dicatatkan saja. Memang setiap orang
mengharapkan perkawinannya itu di catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA),
tapi karna ada beberapa faktor-faktor yang menjadikan ada orang-orang yang
melakukan perkawinan di bawah tangan.
2. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak?
Menurut saya pribadi sah-sah saja perkawinan tersebut.
3. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Kalau menurut hukum agama yang sudah memenuhi rukun dan syarat itu sah, tapi
kan ada juga perkawinan yang diam-diam dan tanpa dihadiri wali juga, nah yang
seperti itu tidak sah. Kalo menurut undang-undang negara atau hukum positif pasti
tidak sah dan tidak diakui perkwinan tersebut.
89
4. Mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah
tangan, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi mereka sehingga
melakukan perkawinan di bawah tangan?
Mengapa masih banyak yang melakukan perkawinan di bawah tangan di desa
wibawa mulya ini, yak arena keterpaksaan. Karna faktor-faktor tertentu, contohnya
saja faktor usia dan karna hamil di luar nikah. Faktor usia terkadang itu kesalahan
dari orang tua juga, anaknya yang belum berusia di bawah 16 tahun saja sudah
dinikahkan oleh orang tuanya. Lalu faktor tentang hamil diluar nikah, ini karena
pergaulan dari anak-anak remaja zaman sekarang, yang pacarannya kelewatan
hingga anak orang hamil, kan mau gamau anak yang menghamilinya harus
bertanggung jawab dan harus di nikahkan segera.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Masyarakat sama sekali tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, karna
mereka fikir perkawinan yang mereka lakukan itu sudah sah, apalagi kalo agama
sudah mengatakan sah. Dan mereka juga beranggapan tidak penting dicatatakan
atau tidak. Mengapa mereka beranggapan demikian, karena kurangnya
pengetahuan pendidikan dan kurang nya SDM (sumber daya manusia), mayoritas
didesa ini bapak-bapak dan ibu-ibu itu tingkatan sekolahnya hanya sampai tingkat
SD (sekolah dasar).
6. Pernahkah dari pihak desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
90
Bekerja sama dengan KUA dalam mensosialisasikan masalah perkawinan atau
tentang pentingnya pencatatan perkawina sama sekali belum pernah, tapi dari
pihak desa secara bertahap sudah mensosialisasikan dengan cara memberitahukan
bapak-bapak dan ibu-ibu di pengajian saja, selebihnya belum ada.
7. Apakah ada solusi yang diberikaan pihak desa bagi anak yang memiliki
orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah?
Solusi untuk mengatasi permasalahan banyaknya perkawinan di bawah tangan,
yaitu setiap tahun ada bantuan dari pemerintah, bagi warga yang tidak mampu
yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di bawah tangan, lalu kita adakan
isbat nikah ke Pengadilan Agama. Ya walaupun tidak banyak dan hanya beberapa
kepala keluarga saja.
91
HASIL WAWANCARA
Nama : Soleh Hidayat
Jabatan : Kaur Pemerintahan Desa Wibawa Mulya
Tempat : Balai Desa Wibawa Mulya
Waktu : 02 April 2014
Pukul : 10:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak?
Perkawinan di bawah tangan menurut saya pribadi sah-sah saja, itu kan sama saja
seperti perkawinan pada umumnya.
2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Menurut hukum Islam kalau terpenuhi rukun dan syaratnya maka sah, menurut
undang-undang tidak sah perkawinan itu, karena tidak dicatatkan. Yang
membedakan perkawinan di bawah tangan dan perkawinan pada umumnya adalah
masalah di pencatatannya saja.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Menurut pengamatan saya masyarakat di desa Wibawa Mulya melakukan
perkawinan di bawah tangan karena banyak yang tidak tahu tentang pentingnya
pencatatan perkawinan, dan terkadang saya mendengar langsung alasan kenapa
92
perkawinannya tidak di catatkan, kebanyakan mereka mengaku tidak sanggup
membayar biaya pencatatan perkawinan karena diminta dari pihak KUA diatas
lima ratus ribu rupiah.
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Menurut undang-undang ya hanya tiga puluh ribu rupiah, sebenarnya yang
membuat perkawinan itu mahal menurut saya karena kebanyakan masyarakat
meminta pencatatan perkawinannya di jam luar kerja para aparat KUA dan disuruh
dating kerumahnya. Belum uang transportnya, uang khutbah nikahnya, uang
ceramahnya dan sampai doa juga dari pihak KUA. Jadi wajar lah kalau dari pihak
KUA memberikan patokan harga seperti itu. Kecuali, masyarakat melakukan
pencatatan perkawinan di jam kerja aparat KUA dan di KUA itu sendiri
melakukan akad nikahnya, lalu dari pihak KUA memberkan patokan harga yang
tidak sedikit. Nah kalo yang seperti itu menurut saya yang tidak boleh.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Hanya sebagian masyarakat saja yang tahu tentang pentingnya pencatatan
perkawina, hanya orang-orang yang tingkan pendidikannya tinggi saja,
kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak di desa ini pendidikannya hanya sampai SD,
tapi kalau anak muda sekarang sudah sampai SMA atau SMK karena sekarang
sudah ada Sekolah SMK di desa ini, tapi jarang yang sampai kuliah.
93
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Pandangan masyarakat mengenai perkawinan di bawah tangan tidak ada bedanya,
masyarakat sini memandang bahwa perkawinan tersebut sah menurut agama dan
sudah memenuhi rukun dan syaratnya. Masyarakat juga sudah pahan dan dianggap
biasa kalau ada orang yang menikah dan tidak mendatangkan pegawai pencatatn
nikah atau tidak dicatatkan, perkawinan tersebut tidak ada bedanya seoerti
perkawinan pada umumnya.
94
HASIL WAWANCARA
Nama : K.H M. Emuh
Jabatan : Kiyai / Tokoh Masyarakat
Tempat : Di Rumah K.H M. Emuh
Waktu : Minggu, 30 Maret 2014
Pukul : 11:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
Menurut bapak sah atau tidak?
Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang sah, perkawinan yang wajar dan
normal, hanya karna tidak di catatkan, istilah namanya menjadi “di bawah tangan”.
2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Menurut hukum Islam ya sudah pasti sah, karena sudah terpenuhi syarat dan
rukunnya, menurut hukum positif bukannya tidak sah perkawinannya tetapi
perkawinannya tidak diakui, dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Faktor yang paling sering itu biasanya karena biaya pencatatannya mahal,
pergaulan bebas dari anak-anak muda, sampai ada yang hamil di luar nikah dan
faktor ekonomi. Ada orang tua yang meminta saya untuk menikahkan anaknya
yang masih relatif muda dan usia mereka belum mencapai 16 tahun tapi mereka
95
sangat ingin menikah karena sudah berpacaran cukup lama, orang tuanya pun
menyetujuinya, dari pada mereka berbuat zinah lebih baik saya nikahkan, yang
terpenting terpenuhi syarat dan rukunnya.
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Biaya pencatatan perkawinan dari dulu sampai sekarang itu tetap Rp; 30.000 ribu
menurut undang-undang, akan tetapi ada saja oknum-oknum tertentu yang
menjadikan biaya pencatatan perkawinan sangat mahal.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Hanya sebagian beberapa masyarakat saja yang tahu akan pentingnya pencatatan
perkawinan, karena rendahnya pendidikan yang menjadikan masyarakat banyak
yang tidak tahu.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Masyarakat memandangnya biasa saja, tidak ada hal yang aneh atau membedakan,
mungkin karena tidak tahu mana yang namanya perkawinan di bawah tangan atau
bukan. Bagi mereka perkawinan itu sama saja, yang terpenting sah menurut agama
Islam.
96
HASIL WAWANCARA
Nama : Ahyad
Jabatan : RT 05 Desa Wibawa Mulya
Tempat : Di Rumah Bapak RT Ahyad
Waktu : Minggu, 30 Maret 2014
Pukul : 09:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak?
Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang tidak di catatkan yang tidak
mempunyai buku nikah, menurut saya pribadi perkawinan itu sah karna.
2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Kalau menurut hukum Islam perkawian di bawah tangan itu sah, karena syarat dan
rukunnya sudah terpenuhi, tapi kalau menuhuk hukum positif perkawinan itu tidak
sah, orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai akte
nikah.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Faktor-faktor yang paling sering terjadi di desa Wibawa Mulya yaitu karna tidak
punya biaya, pergaulan bebas menjadikan seseorang hamil diluar nikah dan mau
tidak mau harus dinikahkan, dan perkawinan yang masih di bawah umur 16 tahun.
97
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Menurut undang-undang biaya pencatatan perkawinan itu Cuma Rp; 30.000 ribu
rupiah.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Kebanyakan masyarakat tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan,
jadi mereka beranggapan bahwa penatatan perkawinan itu tidak terlalu penting dan
hanya memakan waktu dan dirasakan sangat mahal.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Pandangan masyarakat di sini biasa saja tidak ada yang berbeda, paling kalau ada
orang yang hamil di luar nikah, biasanya sering di bicarakan oleh masyarakat. Tapi
kalo kelama-lamaan sudah terbiasa, dan tidak sering dibicarakan oleh masyarakat.
98
HASIL WAWANCARA
Nama : M. Hasan
Jabatan : Penghulu (Amil) Desa Wibawa Mulya
Tempat : Di Rumah Bapak M. Hasan
Waktu : Minggu, 30 Maret 2014
Pukul : 17:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan?
Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang tidak di catatkan, dan menurut
saya kurang efektif.
2. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak?
Perkaawinan di bawah tangan itu sah-sah saja, karena sudah memenuhi syarat dan
rukunnya.
3. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Kalau dari hukum Islam memandang perkawinan di bawah tangan itu sah, asalkan
sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adanya calon pengantin, adanya wali,
adanya saksi dan mahar jadi bisa dikatakan sah. Kalau menurut hukum positif
perkawinan tersebut tidak sah dan tidak mendapatkan kekuatan hukum dan juga
tidak diakui oleh negara sebagai perkawinan yang benar karena tidak dicatatkan.
99
4. Mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah
tangan, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi mereka sehingga
melakukan perkawinan di bawah tangan?
Banyak faktor-faktor yang menjadikan orang melakukan perkawinan di bawah
tangan, tetapi kebanyakan di desa wibawa mulya ini karena pergaulan bebas,
hamil duluan sebelum menikah dan juga ketidaktahuan orang tuanya menikahkan
anaknya dan tidak di catatkan
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Kalau dulu di desa Wibawa Mulya kebanyakan masyarakatnya tidak tahu tentang
pentingnya pencatatan perkawinan, tetapi sekarang masyarakat sudah banyak yang
tahu, walaupun ada beberapa yang tidak tahu.
6. Pernahkah dari pihak desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam
mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Secara garis besar mengatasnamakan desa belum pernah mengadakan kerja sama
dalam mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan, tapi saya pribadi sekalu
penghulu atau amil, sering memberitahukan tentang pentingnya pencatatan
perkawinan kepada setiap orang yang ingin menikah, dan tidak semua yang saya
beri tahu kepada masyarakat, masyarakat mau mendengarkan, terkadang ada juga
yang mengabaikan.
100
7. Apakah ada solusi yang diberikaan pihak desa bagi anak yang memiliki
orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah?
Bagi orang tua yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di bawah tangan,
maka harus mengajukan isbat nikah kepada Pengadilan Agama, tanpa harus
mengulang lagi pernikahannya.
101
HASIL WAWANCARA
Nama : Ela Nurlela
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Rumah Ibu Ela Nurlela
Waktu : Selasa, 25 Maret 2014
Pukul : 17:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat ibu mengenai perkawinan di bawah tangan, Menurut
ibu perkawina itu sah atau tidak?
Perkawinan di bawah tangan menurut saya pribadi sah-sah saja, karena kan
perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat sesuai ketentuan agama
Islam.
2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Kalau menurut hukum islam jelas itu sudah sah, syarat dan rukun sudah terpenuhi,
tapi menurut undang-undang perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut
negara kita, setahu saya kalau undang-undang itu kan mengahruskan perkwinan itu
dicatatkan.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Didesa Wibawa Mulya ini banyak sekali faktor-faktor kenapa masyarakat banyak
yang menikah tidak dicatatkan, tapi yang paling sering yaitu masalah biaya
102
pencatatan perkawinannya yang sangat mahal, rata-rata diatas Rp; 500.000ribu,
ditambah lagi kondisi ekonomi yang rendah. Dan faktor pergaulan bebas anak-
anak mudah jaman sekarang, baru kelas 1 SMA saja sudah ada yang hamil,
umurnya masih muda tapi mau tidak mau harus dinikahkan oleh orang tuanya, tapi
tidak dicatatkan. Kebanyakan faktor-faktor itu yang menyebabkan masyarakat
tidak melakukan pencatatan perkaawinannya.
4. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya kurang tahu kalau menurut undang-undang berapa, biasanya warga di sini
kalau mau menikah dan dicatatkan itu bisa lima ratur ribu keatas biayanya.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Mungkin sekitar 40% saja masyarakat yang tahu tentang pentingnya pencatatan
perkawinan, ya karena faktor pendidikan yang rendah.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan atau peerkawinan yang
tidak dicatatkan itu dianggapnya biasa aja tidak ada hal yang aneh. Biasanya
orang-orang tau kalau pernikahannya itu tidak mendatangkan pegawai pencatat
nikah atau tidak mendatangkan amil dari KUA, biasanya dia tidak mempunyai
biaya, dan masyarakat sudah biasa meliah kasus perkawinan yang seperti itu.
103
104
HASIL WAWANCARA
Nama : Encop Sofiah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Rumah Ibu Sofiah
Waktu : Selasa, 25 Maret 2014
Pukul : 16:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat ibu mengenai perkawinann di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak?
Menurut saya perkawinan di bawah tangan itu sama saja dengan perkawina
normal lainnya, yang membedakan itu mendapat buku nikah dan tidak mendapat
buku nikah.
2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Kalau menurut hukum Islam perkwinan di bawah tangan itu sah karna rukun dan
syaratnya sudah terpenuhi, tapi kalau menurut negara tidak sah karna tidak
dicatatkan dan tidak mendapatkan akte nikah.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Yang paling sering saya dengar di desa ini yaitu masalah biaya pencatatan
perkawinannya yang sangat mahal, saudara saya saja ditawarkan ketika mau
menikah, kalau mau perkawinannya di catatkan harus membayar enam ratus ribu
105
rupiah. Dulu ketika saya meniha tidak semahal itu dan prosesnya juga ga sulit,
kalau sekarang dipersulit, kalau mau cepet harus bayar lebih mahal lagi.
4. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya kurang tahu berapa harga pencatatan perkawinan menurut undang-undang,
setahu saya kalau sekarang ini mau menikah dan perkawinannya itu mau
dicatatkan, minimal kita harus membayar lima ratus ribu rupiah.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Kebanyakan masyarakat tidak tahu, masyarakat menganggap bahwa pencatatan
perkawinan itu tidak terlalu penting hanya memakan waktu dan biaya yang tidak
sedikit.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Pandangan masyarakat kepada orang yang melakukan perkawinan tidak dicatatkan
itu biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda, sama hal nya kebanyakan pernikahan
lainnya.
106
107
HASIL WAWANCARA
Nama : Jajuli
Pekerjaan : Wiraswasta
Tempat : Di Depan Ruko
Waktu : Rabu, 26 Maret 2014
Pukul : 16:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak?
Menurut saya pribadi sah-sah saja, bedanya kan dicatatkan dan tidak dicatatkannya
saja.
2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Menurut hukum Islam sah asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya ketika
pernikahan dilakukan, tetapi kalau menurut hukum setahu saya tidak sah. Undang-
undangnya nomor berapanya saya kurang tahu, tapi yang pastinya kalau menurut
negara tidak sah.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Karena saya orang pendatang di desa ini, kurang begitu paham. Tapi dengar-
dengar dari tetangga kebanyakan masalah biayanya mahal, dari pihak KUA
memberikan harga rata-rata diatas lima ratus ribu.
108
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya kurang tahu kalau biaya asli pencatatan perkawinan menurut undang-undang.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Spertinya masyarakat di desa ini kebanyakan tidak tahu tentang pentingnya
pencatatan perkwinan.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Pandangan masyarakat biasa-biasa saja, seperti perkawinan lain pada umumnya.
Masyarakat sebenarnya tidak tahu istilah “perkawinan di bawah tangan” itu, tahu
nya perkawinan itu sah menurut agama. Yang terpenting terpenuhi syarat dan
rukunnya.
109
110
HASIL WAWANCARA
Nama : Nurhayati
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Ruko
Waktu : Rabu, 26 Maret 2014
Pukul : 14:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat ibu mengenai perkawinan di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak?
Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang tidak mendaftarkan waktu
pernikahannya di KUA, jadi menurut saya perkawinan di bawah tangan itu sah,
beda nya didaftarkan di KUA dan tidaknya saja.
2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Menurut hukum Islam sah, yang terpenting syarat dan rukunnya ada ketika
melaksanakan pernikahan. Menurut hukum di negara ini sepertinya tidak sah, lebih
jelasnya kuarang tahu juga saya kalau menurut negara.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Masyarakat desa sini banyak yang tidak mencatatkan di KUA kebanyakan masalah
biaya sama pergaulan bebas anak muda jaman sekarang. Masalah biaya biasanya
dari piahk KUAnya yang memberi harga mahal untuk akta nikahnya, pergaulan
111
bebas anak-anak sekolah yang pacarannya kelewatan sampai-sampai hamil
perempuannya, yam au gam au orang tuany menikahkan anaknya itu, nah biasanya
tidak mendaftarkan ke KUA, langsung saja hanya mengundang kiyai dan para
tokoh masyarakat saja.
4. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Kurang tahu juga saya biaya pencatatan perkawinan menurut undang-undang.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Sepertinya untuk masyarakat di desa ini tidak terlalu mementingkan pencatatan
perkawinan, kebanyakan beranggapan hanya memakan waktu dan biaya yang
tidak sedikit.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Pandangan masyarakat di desa ini biasa-biasa saja, layaknya perkawinan biasanya.
Dan karena seringnya anak-anak muda yang hamil duluan, jadi kalau ada anak
muda yang hamil duluan dan langsung dinikahkan oleh orang tuanya itu juga
sudah menjadi hal yang biasa, sudah tidak aneh lagi kalau denger-denger ada anak
mudah yang hamil duluan baru dinikahkan. Walaupun tujuanya menutupi aibnya,
tapi tetap saja semua orang sudah tahu.
112
113
HASIL WAWANCARA
Nama : Taufik Hidayat
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Tempat : Di Depan Masjid
Waktu : Kamis, 27 Maret 2014
Pukul : 11:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak?
Pekawinan di bawah tangan itu kan yang tidak mencatatkannya pada KUA, tapi
sah menurut agama, menurut saya juga sah-sah saja perkawian tersebut.
2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif?
Kalau menurut hukum Islam sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya. Menurut
negara sepertinya tidak sah, karena nantinya kalau punya anak tidak bisa membuat
akta kelahiran dan tidak bisa membuat kartu keluarga.
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan
di bawah tangan?
Kebanyakan dari masyarakat desa Wibawa Mulya ini karena faktor pergaulan
bebas si biasanya, anak muda yang hamil duluan sebeum nikah, dan kalau sudah
ketahuan mau tidak mau dinikahkan oleh orang tuanya, tapi kebanyakan tidak
114
dicatatkan. Dan juga masalah mahalnya biaya membuat akta nikah atau buku
nikahnya, dari pihak KUAnya mahal.
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Kalau biaya menurut undang-undang saya kurang tahu, tapi kalalu dari pihak KUA
rata-rata biayanya lebih dari lima ratus ribu rupiah.
5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
Kebanyakan masyarakat tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan,
hanya sebagian masyarakat saja yang tahu. Mungkin tang pendidikannya tinggi,
minimal sampai SMA, kebanyakan ibu-ibu atau bapak-bapak disini hanya sampai
SD pendidikannya.
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan
perkawinan di bawah tangan?
Pandangan masyarakat biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda apabila
perkawinannya tidak dicatatkan, mungkin karena faktor pengetahuan yang kurang.
115
116
HASIL WAWANCARA
Nama : Holidah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Rumah Ibu Holidah
Waktu : Rabu, 26 Maret 2014
Pukul : 13:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Pada usia berapakah ibu menikah?
Saya menikah pada usia 21 tahun.
2. Sudah berapa lama ibu menikah?
Kira-kira sudah 9 tahun saya menikah.
3. Dimana ibu melakukan pernikahan?
Saya melakukan perkawinan di rumah sendiri.
4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu?
Yang menjadi saksi kakak pertama saya dan adiknya ibu saya dan yang hadir
ketika itu dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pak RT RW dan bpk K.H Emuh.
5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya?
Setahu saya KUA itu untuk mendaftarkan calon-calon pengantin, orang yang ingin
menikah ke KUA. Untuk fungsi yang lain, saya belum tahu.
6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah?
Perkawinan saya tidak di catatkan di KUA dan tidak mempunyai akta nikah.
117
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan atau
tidak mencatatkan perkawinan ibu?
Karena biayanya yang sangat mahal, ketika saya mau mendaftarkan perkawinan
saya dan disuruh membayar enam ratus ribu, saya pikir buat apa cuma buku nikah
saja harganya sampai semahal itu, sedangkan pekerjaan suami saya hanya seorang
kuli muat batu-bata, jadinya saya tidak mencatatkan perkawinan saya di KUA.
8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara?
Saya tidak tahu untuk diakui atau tidaknya, setahu saya menurut agama sudah sah.
9. Setahu ibu apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini?
Belum pernah ada sosialisasi dari pihak KUA maupun dari pihak desa tentang
pentingnya pencatatan perkawinan, lagi pula kalau ada penyuluhan pasti saya juga
akan bertanya kepada pihak KUA kenapa biaya pencatatan perkawinan atau ingin
mempunyai akta nikah sangat mahal.
10. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Kalau menurut undang-undang kurang tahu, yang saya tahu biaya pencatatan
perkawinan itu di atas lima ratus ribu rupiah.
11. Bagaimana pandangan masyarakat sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan?
118
Pandangan masyarakat terhadap perkawinan yang saya lakukan biasa-biasa saja,
tidak ada masyarakat yang beranggapan berbeda atau aneh, karena setahu
masyarakat perkawinan yang saya lakukan juga sah-sah saja, yang penting syarat
dan rukunnya sudah terpenuhi, begitu si kalau menurut agama.
12. Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan?
Saya tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak saya dan tidak bisa membuat
kartu keluarga karena tidak ada akta nikah. Pernah dari pihak desa menawarkan
membuat akta kelahiran untuk anak saya dan membuat kartu keluarga, tapi lagi-
lagi yang berbicara uang, saya harus membayar dengan uang yang tidak sedikit,
jadi saya tidak mau.
119
120
HASIL WAWANCARA
Nama : Iis Suryani
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Rumah Iis
Waktu : Selasa, 25 Maret 2014
Pukul : 13:20 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Pada usia berapakah ibu menikah?
Saya menikah pada usia 20 tahun.
2. Sudah berapa lama ibu menikah?
Saya menikah sudah 10 tahun.
3. Dimana ibu melakukan pernikahan?
Ketika itu saya melakukan perkawinan di rumah saya sendiri.
4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu?
Banyak dari tokoh-tokoh masysrakat dan yang menjadi saksi adalah kakak
kandung ibu saya dan adik kandung ibu saya.
5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa
fungsingnya?
Yang saya tahu mengenai KUA itu tempat mendaftarkan calon pengantin
yang ingin menikah, fungsi selain itu saya kurang tahu.
6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah?
121
Perkawinan saya tidak di catatkan oleh pihak KUA dan tidak mempunyai akta
nikah atau buku nikah.
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan?
Karena biaya untuk mencatatkan di KUA sangat mahal, dulu saya disuruh
membayar lima ratus ribu rupiah, saya tidak mempunyai biaya lagi sedangkan
suami saya hanya kuli muat batu-bata, dari pada membayar untuk buku nikah
lebih baik uangnya saya gunakan untuk hal lain.
8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh
negara?
Pernah dengar dulu, kalau perkawinannya tidak dicatatkan maka tidak diakui
oleh negara, tapi saya tidak pedulu karena menurut saya sah walaupun tidak
dicatatkan di KUA. Asalkan memenuhi rukun dan syaratnya menurut agama.
9. Setahu ibu apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini?
Sama sekali belum ada sosialisasi dari pihak KUA maupu dari desa.
10. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya kurang tahu berapa biaya pencatatan menurut undang-undang.
11. Bagaimana pandangan masyarakat sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan?
122
Pandangan masyarakat biasa saja, perkawinan saya sama seperti perkawinan
orang-orang.
12. Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Dampak yang saya rasakan tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak
saya.
123
124
HASIL WAWANCARA
Nama : Nemah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Rumah Ibu Nemah
Waktu : Selasa, 25 Maret 2014
Pukul : 14:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Pada usia berapakah ibu menikah?
Saya menikah pada usia 16 tahun.
2. Sudah berapa lama ibu menikah?
Kurang lebih sudah 14 tahun saya menikah.
3. Dimana ibu melakukan pernikahan?
Saya melakukan pernikahan di rumah saya sendiri.
4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu?
Paman saya dan kakak saya sendiri.
5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya?
Setahu saya KUA itu kalo ada orang yang mau menikah ya kesitu. selain fungsi
yang lain saya kurang tahu.
6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah?
Saya tidak mempunyai akta nikah atau buku nikah.
125
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan?
Karena waktu dulu saya masih kecil dan belum tahu apa-apa, saya di jodohkan
oleh orang tua saya.
8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara?
Setahu saya perkawinan yang saya lakukan sah, karena sudah memenuhi syarat
dan rukunnya, menurut agama Islam kalau sudah terpenuhi syarat dan rukunnya,
ya perkawinannya sah. Kalau menurut negara tidak tahu diakui atau tidaknya.
9. Setahu ibu apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini?
Semenjak saya berkeluarga belum pernah ada sosialisasi tentang perkawinan atau
masalah pencatatan perkawinan.
10. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya tidak tahu berapa biaya pencatatan menurut undang-undang. Kalau menuru
orang-orang KUA saya tahu nya mahal.
11. Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan?
Pandangan masyarakat biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda atau aneh ketika
saya menikah, ya karna setahu saya perkawinan saya sah-sah saja seperti
perkawinan lainnya, bedanya hanya tidak dicatatkan saja.
126
12. Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Untuk dampak yang saya rasakan yaitu tidak bisa membuat akta kelahiran untuk
anak saya dan tidak bisa membuat kartu keluarga (KK)
127
128
HASIL WAWANCARA
Nama : Sapitri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat : Di Depan Rumah Ibu Sapitri
Waktu : Kamis, 27 Maret 2014
Pukul : 10:30 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Pada usia berapakah ibu menikah?
Saya menikah pada usia 17 tahun. Karena saya tidak sekolah sampai SMA, dan
bekerja membantu orang tua saya di lio, jadi saya di jodohkan dengan kampung
sebelah.
2. Sudah berapa lama ibu menikah?
Saya menikah kurang lebih sudah 15 tahun.
3. Dimana ibu melakukan pernikahan?
Saya menikah dirumah saya sendiri.
4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu?
Yang menjadi saksi pak RT dan sodara saya, dan yang hadir ketika pernikahan
saya banyak dari tokoh masyarakat.
5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya?
Iya saya tahu KUA itu tempat untuk mendaftarkan calon pengantin, atau orang
yang mau menikah, harus ke KUA. Untuk fungsi KUA selain tempat untuk calon
pengantin saya kurang tahu.
129
6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah?
Perkawinan saya tidak mempunyai akta nikah, ketika saya menikah tidak di
catatkan oleh orang dari pihak KUA.
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan?
Karena biayanya mahal, sebenarnya saya sebelum menikah sudah datang ke KUA,
tapi setelah saya menanyakan biaya administrasinya ternyata sangat mahal,
akhirnya saya dan suami saya memutuskan untuk tidak mencatatkan perkawinan,
dari pada saya harus membayar hanya untuk akta nikah, leih baik saya gunakan
uang nya untuk hal lain.
8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara?
Saya kurang tahu untuk diakui atau tidak nya perkawinan saya. Yang tepenting
perkawinan saya sah menurut agama.
9. Setahu ibu apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini?
Belum pernah sama sekali ada penyuluhan di desa ini, kalau misalnya ada
penyuluhan tentang pentingnya pencatatan perkawinan, mungkin saya juga
mencatatkan perkawinan saya dan akan menanyakan mengapa biaya pencatatan
perkawinannya itu mahal.
10. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya tidak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-undang.
130
11. Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan?
Lingkungan sekitar mengenai perkawinan saya biasa-biasa saja tidak ada hal yang
berbeda atau aneh dimata masyarakat, karna menurut saya perkawinan yang saya
lakukan juga sudah sah dan memenuhi rukun dan syarat sesuai ketentuan agama.
12. Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Untuk dampak yang saya rasakan, awalnya si saya agak kesulitan membuat akta
kelahiran untuk anak saya dan membuat kartu keluarga. Tetapi, ada pihak dari
desa yang menawarkan saya membuat akta kelahiran dankartu keluarga dengan
cara lain, ya walaupun ujung-ujungnya duit yang bicara dan lumayan mahal untuk
membayarnya, jadi saya mempunyai akta kelahiran anak saya.
131
132
HASIL WAWANCARA
Nama : Enap Napsiah
Pekerjaan : Karyawan
Tempat : Di Depan Rumah Ibu Enap
Waktu : Kamis, 27 Maret 2014
Pukul : 16:00 WIB
………………………………………………………………………………………….
1. Pada usia berapakah ibu menikah?
Saya menikah pada usia 20 tahun.
2. Sudah berapa lama ibu menikah?
Sekitar sembilan tahun lamanya saya menikah.
3. Dimana ibu melakukan pernikahan?
Saya melakukan perkawinan di rumah saya sendiri.
4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu?
Yang menjadi saksi ketika pernikahan saya yaitu mamang saya dan pak RT, dan
dari tokoh masyarakat lainnnya juga datang.
5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya?
Kantor Urusan Agama setahu saya tempat buat orang yang mau menikah.
6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah?
Tidak, perkawinan saya tidak di catatkan oleh pihak KUA dan saya tidak
mempunyai akta nikah.
133
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan?
Ketika saya mau melangsungkan perkawinan, saya tidak datang ke KUA, karena
biaya pencatatannya mahal, memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.
8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara?
Saya tidak tahu diakui atau tidak nya oleh negara, kalau saya tahu biaya menurut
undang-undang pasti saya juga protes kepada pihak KUA, kenapa biaya penatatan
perkawinan bisa semahal itu.
9. Setahu ibu apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini?
Dari pihak desa atau pun dari pihak KUA belum pernah mengadakan sosialisasi
kepada masyarakat sinih. Jadi saya tidak tahu tentang pentingnya pencatatan
perkawinan.
10. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang?
Saya tidak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-undang. ka
11. Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan?
Biaasa saja, tidak ada hal yang aneh ketika perkawinan saya berlangsung. Ya
mungkin karena emang perkawinan saya sah, sah menurut agama, jadi masyarakat
juga terlihatnya biasa aja layaknya perkawinan lain.
134
12. Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Untuk dampak yang saya rasakan untuk sekarang ini saya tidak bisa membaut akta
kelahiran untuk anak saya, dan tidak punya kartu keluarga. Bisa sebenarnya saya
membuat kata kelahiran anak saya dan membuat kartu keluarga, tetapi lagi-lagi
uang yang berbisara, karena kondisi ekonomi saya tidak seberapa jadi saya malas
untuk membuat dengan uang yang tidak sedikit.
135