PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …
Transcript of PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, …
,
235
"PERKAWINAN ANTAR AGAMA DEWASA INI DI INDONESIA, DITINJAU DARI SEGI
HUKUM ANTAR TATA HUKUM"
_______ Oleh: Ny. Zulfa Djoko Basuki, S.H. ______ _
PENDAHULUAN Perkawinan antar agama semakin
ramai dibicarakan akhir-akhir ini, terutama yang menyangkut perkawinan antara calon mempelai yang beragama Islam dan yang beragama non-Islam, baik antara calon mempelai laki-Iaki Islam dengan calon mempelai wanita non-Islam, maupun antara calon mempelai wanita Islam dengan cajon mempelai laki-Iaki non-Islam.
Sebenarnya perkawinan an tar agarna tersebut tidak hanya terjadi antara calon mempelai Islam dengan non-Islam, tetapi juga terjadi antara calon mempelai yang beragama Hindu dengan yang beragama Budha atau antara calon mempelai yang beragama Kristen dengan Budha, tetapi perkawinan antar agama yang belakangan ini tidak banyak menimbulkan masalah di dalam pelaksanaannya sebagaimana perkawinan an tara calon mempelai Islam dengan non-Islam an tara lain karena:
Pencatatan Perkawinan bagi yang beragarna non-Islam sarna, yaitu di Catatan Sipil (baik un tuk . yang beragama Kristen, Katholik, Budha maupun Hindu). Pengadilan yang berwenang untuk memutus segala sesuatu mengenai masalah perkawinan tersebut adalah sarna yaitu Pengadilan Negeri. Sedangkan Pencatatan Perkawinan bagi yang beragama Islam adalah oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Pengadilan yang berwenang un tuk memutus segala sesuatu mengenai perka-
,
winan tersebut adalah pengadilan Agarna.
Tidak diaturnya masalah perkawinan antar agama ini oleh Undang-undang No. 1/1974 mengenai Perkawinan, lebih mempersulit keadaan, sehingga menimbulkan berbagai pendapat yang saling simpang-siur yang samasekali tidak memecahkan masalah. Ada pendapat yang sarna sekali menentangnya, yang menyatakan hal tersebut bertentangan dengan U ndang-undang No. 1/1974 Pasal 2, karena itu tidak
bisa ditolerir. Tetapi ada pula pendapat yang mentolerir perkawinan antar agama tersebut dengan alasan hal tersebut tidak bisa dihindari sebagai akibat dari negara kita yang Pancasila, di mana diperkenankan hidup dan berkembang berbagai agama secara berdampingan "Daripada mereka Kumpul Kebo".
J alan keluar apa yang harus ditempuh untuk mengatasi kemelut tersebut, sebelum keluarnya peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan antar agama tersebut ?
Apakah Perkawinan Antar Agama ini me.rupakan Perkawinan Campuran atau dengan kata-kata lain, masih tepatkah sekarang ini bila dipergunakan Istilah Perkawinan Campuran Antar Agama dengan adanya pengertian Perkawinan Campuran yang sempit berdasarkan Pasal 57 Undang-undang No.
Juni 1987
,
236
1/1974 ? Peninjauan masalah sekarang ini, di
titikberatkan pada segi Hukum Antar Tata Hukum, baik Hukum Antar Tata Hukum Ekstern maupun Hukum Antar Hukum Intern.
Hukum Antar Tata Hukum Intern ia· lah:
Hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang yang tunduk padasistem hukum yang berbeda di dalam satu negara .
Hukum Antar Tata Hukum Ekstern
ialah :
Hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang yang tunduk pada sistem hukum dari dua negara atau lebih.
Pembahasan
Terjadinya masalah tersebut di at as sebenarnya erat kaitannya dengan sejarah masa lalu, yaitu sebagai akibat berlakunya Pasal 163 jo. 131 IS pada zaman penjajahan Belanda, yang mem
bagi-bagi penduduk di Indonesia dalam berbagai golongan penduduk, di mana untuk masing-masing golongan penduduk tersebut diperlakukan hukum serta peradilan yang berbeda yaitu: untuk golongan Eropa, Tionghoa, Timur Asing lainnya serta golongan yang dipersamakan diperlakukan Kitab U ndang-undang Hukum Perdata (BW) dengan Raad van Justitie sebagai pengadilan sehari-harinya, sedangkan untuk penduduk asli diperlakukan Hukum Adat dengan Landraad sebagai Pengadilan sehari-harinya. Di samping itu untuk sebagian penduduk lainnya diperlakukan hukum Islam yang telah diresepiir oleh hukum adat. Hal ter-
Huhum dan Pembangunan
sebut mengakibatkan di Indonesia terdapat pluralisme hukum di bidang hukum perdata.
Sebenarnya dengan keluarnya Instruksi Presidium Kabinet Ampera No . 31/U /IN/ 1966, penggolongan-penggolongan penduduk tersebut sudah ha-
•
pus, dengan demikian yang ada hanyalah warganegara atau orang asing. Tetapi hapusnya penggolongan penduduk tersebut tidak berarti hapus pula hukum yang berlaku untuk golongan penduduk tersebut; kenyataannya sampai saat ini pluralisme hukum perdata tersebut masih berlaku. Tidak ada satu hukum perdata yang bisa berlaku untuk seluruh penduduk Indo-
• neSla. Diundangkannya U ndang-undang
No. 1/1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan ~emerintah No. 9/1975, juga
. belum membawa kesatuan yang tuntas dalam hukum perkawinan. Kesatuan yang dicapai hanyalah merupakan kesatuan dalam kebhinekaan terbukti dari bunyi Pasal 2 sebagai berikut:
ayat 1 : Perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
ayat 2 : Setiap perkawinan dicatat menurut Peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hal ini untuk yang beraga11la Islam oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan untuk selain yang beraga11la Islam di Catatan Sipil. (pasal2 P.P . No. 9/1975).
Dari hal-hal tersebut dapat ditafsirkall sebagai beriku t: - Terdapat pluralisme aga11la dan plu-
•
Perkawinal! Antar Agama
ralisme hukum agama dan kepercayaan yang berlaku di Indonesia.
- Sahnya perkawinan di Indonesia adalah sesuai dengan hukum agama/ kepercayaan ; dengan demikian perkawinan di Indonesia adalah perkawinan agama/kepercayaan
_ Terdapat pluralisme dalam hal Pencatatan Perkawinan atau tepatnya tidak ada ' satu instansi pencata t perkawinan yang berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia.
Sebagaimana diketahui U ndang-un-dang No. l / l974, tidak mengatur mengenai Perkawinan Antar Agama. Dengan membaca ketentuan Pasal 2 U ndang-undang No. 1/ 1974 tersebut , maka berarti sejak berlakunya undangundang tersebut pada tanggal 1 Oktober 1975, di Indonesia tidak mungkin lagi terjadi perkawinan antar agama/ kepercayaan , dengan kata-kata lain, tidak ada lagi perkawinan yang teljadi di luar hukum agama dan kepercayaan masing-ma~ing. Seandainya terjadi juga maka perkawinan tersebut adalah tidak sah, karen a bertentangan dengan Pasal2
Demikianlah pendapat sementara orang, terutama kalangan ulama Islam serta sebagian besar Hakim-hakim Pengadilan Agama di Jakarta serta pejabat-pejabat Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama, sehubungan dengan perkawinan an tara calon pengantin yang beragama Islam dengan yang non-Islam yang dapat kami kumpulkan.
Memang sepengetahuan kami, perkawinan antara wanita Islam dengan laki-lakinon-Islam dilarang - haram hukumnya - hal tersebut telah sama-sama kita ketahui. Tetapi bagaimana dengan perkawinan antara laki-
•
237
laki Islam dengan wanita bukan Islam tetapi termasuk ke dalam golongan ahli kitab ? Perkawinanantara laki-laki Islam dengan wanita bukan ahli kitab jelas dilarang, tetapi selama ini yang kita pelajari , seorang laki-laki Islam tidak dilarang untuk menikah dengan wanita ahli kitab seperti wanita Yahudi atau wan ita Nasrani. Bagaimana pendapat yang berkembang sekarang ini? Menurut M. Yunan Nasution, yang dimuat dalam Harian Pelita tanggal 6 November 1986 halaman 12, "Adalah merupakan kesepakatan para ulama, perkawinan antara laki-laki Islam dengan perempuan· Yahudi dan Nasrani dilarang. Alasannya ialah; karena pernikahan yang dibolehkan dalam AI-Quran an tara Muslin1 lakilaki dengan perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah ahli kitab zaman Nabi Muhammad SAW, yang mereka itu masih bertauhid. Namun keadaan mereka sekarang ini sudah berubah, dan mereka itu tidak bisa lagi dikategorikan ahli kitab".
Selanjutnya dikatakan pula, kawin campuran muslim dan nonmuslim menyulitkan. Akan timbul problem berkepanjangan. Yang jelas, dalam perkawinan antar agama tersebut bila Ayah Islam, sedangkan Ibu nonIslam dan si anak ikut agama Ibu, anak terse but tidak mewaris dari ayahnya.
Bahwa perkawinan antar agama menyulitkan, hal itu dapat kami sepakati. Banyak contoh, perkawinan tersebut walaupun pada mulanya dilakukan dengan "menggebu-gebu", tetapi berakhir dengan perceraian. Sering perkawinan terjadi dengan jalan salah satu pihak masuk ke agama pasangannya
misalnya masuk Islam dengan janji, akan betul-betul menjadi Islam de-
luni 1987
•
238
ngan menjalankan segala syariahnya, untuk mana diadakan upacara "pengIslaman" secara meriah. Atau ada kata sepakat antara kedua calon mempelai "demi menyenangkan hati calon mertua", pura-pura masuk Islam, hanya sekedar untuk upacara Akad Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), dan setelah itu ia kembali ke agama asalnya.
Adakalanya toleransi masih dapat dipertahankan pada tahun-tahun pertama perkawinan, setelah itu keduaduanya mulai ribut ; tetapi kadangkadang keributan tersebut sudah terjadi pada bulan-bulan pertama perkawinan, karena su.ami/istri tidak menempati janji untuk betul-betul menjadi Islam.
Kalau perkawinan tersebut terjadi/ dicatat di Catatan Sipil yaitu bagi perkawinan non-Islam, maka masalahnya tidak ruwet. Bila mereka ingin bercerai, pengadilannya sudah pasti yaitu Pengadilan Negeri. Dengan dilakukannya perkawinan di KUA, maka seyogyanya perceraian akan dilakukan di Pengadilan Agama. Tetapi pada umumnya pihak yang sudah beralih ke agama non-Islam tersebut misalnya menjadi agama Kristen kembali, menolak (mengajukan eksepsi) bila perkara perceraiannya diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan Pengadilan Agarna hanya untuk mereka yang beragarna Islam, sedangkan ia tidak Islam lagi, karena itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri.
Apabila keduanya telah beralih menjadi agama Kristen, maka menurut yurisprudensi, antara lain yang recent, yaitu P,utusan Mahkamah Agung RI No. 1650/Sip/1974 tertanggal 13 November '1979, Pengadilan yang Qerwe-
Hukum dan PembanflUnan
nang mengadili perceraian mereka menurut Pasal 72 HOCI (Huwelijke Ordonnantie voor Christen Indonesiers, Java, Minahasa en Amobina) adalah Pengadilan Negeri, walaupun sebelumnya pasangan tersebut menikah di KUA, Tetapi bagaimana halnya bila hanya salah satu pihak yang berubah menjadi agama Kristen? Menurut yurisprudensi terakhir yang penulis peroleh, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No, 32 K/ AG/1983 tertanggal 22 September 1983, perceraian tetap harus dilakukan di Pengadilan Agama, Eksepsi dari pihak suami, yang menyatakan perceraian harus dimintakan melalui . Pengadilan Negeri yang telah ditolak oleh Pengadilan Agama Cirebon, dikuatkan , dengan pertimbangan se bagai ~e rik u t ,
- ", . , perkara ini termasuk wewenang Pengadilan Agama, karena pernikahan dilakukan di KUA, meskipun sesudahnya pemohon kasasi/tergugat asal memeluk agama lain dari agama Islam (murtad".
Yang amat menarik di sini adalah pertimbangan Pengadilan Agama Cirebon yang dalam menolak eksepsi tergugat tersebut telah mempertimbangkan sebagai berikut:
- " , .. Penggugat dan Tergugat bahwa pada saat akad nikah berstatus Muslim dan Muslimat. Perkawinan telah dilangsungkan berdasarkan Hukum Islam, yang terbukti dari dikeluarkannya Surat Kawin oleh Pegawai Pencatat Nikah .. . dan seterusnya. Hal ini berarti pula Penggugat dan Tergllgat menerima dall mellundukkan diri terhadap hukum Islam, . ,".
J adidi sini dalam pembenaran dalilnya terse but Hakim telah pula mempergunakan /embaga penundukan diri, yang kita kenaI di dalam Hukum Antar Tata Hukum Intern.
Bila kita mempelajari lebih menda-
•
-
•
lam putusan Mahkamah Agung No. ini dapat pula ditafsirkan bahwa Mah-32 K/ AG/ 1983 tertanggal 22 Septem- kamah Agung telah menerima pertimber 1983 ini, sebenarnya keputusan bangan Pengadilan Agama Cirebon daini sejalan dengan Putusan Mahkamah lam keputusan a quo yang memperAgung No. 1650/Sip/1974 tertanggal gunakan lembaga penundukan diri ter-13 November 1979. Sebagaimana ter- hadap hukum Islam. Dengan demikian lihat di atas, pada putusan tahun dapatkah hal ini diartikan pula, sejak 1979, Mahkamah Agung dengan te- yurisprudensi 1983 ini, bila pernikahrang-terangan menyebut sebagai pem- an telah dilangsungkan di KUA, bila benaran dalilnya Pasal 72 HOC I (yaitu akan terjadi perceraian tetap Pengadilayat pertamanya ,pen-) yang menya- an Agama yang berwenang meskipun takan bila kedua mempelai setelah keduanya telah menjadi agama Krisperkawinan beralih menjadi Nasrani, ten, dengan alasan pada saat menik<lh maka terhadapnya berlaku ketentuan keduanya telah menundukkan diri paHOC!. Dengandemikian Pengadilan da hukum Islam? Menurut hemat kami yang berwenang adalah Pengadilan Ne- bila hal ini diterapkan, ini adalah sejageri. putusan Mahkamah Agung tahun Ian dengan apa yang berlaku bila suatu 1983 ini memang sam a sekali tidak perkawinan terjadi/ dicatat di Catatan menyebut-nyebut ketentuan HOCI ini. Sipil, tanpa memperhatikan apakah Tetapi bila kita membaca ayat kedua mereka itu pada saat perkawinan dua(2) dari Pasal 72 HOCI ini maka di duanya non-Islam, atau salah satu pisana diatur: bila hanya satu pihak bak Islam, atau dua-duanya Islam, yang menjadi Nasrani, maka Hukum yang penting dengan mereka mencaPerkawinan yang lama, tetap berlaku; tatkan perkawinannya di Catatan Sipil kecuali sesuai dengan Pasal 73 HOCI, mereka telah dianggap "menundukkan apabila kedua suami-istri tersebut de- diri pada Hukum Perdata Barat (BW)", ngan menjadi Nasraninya salah se- karena itu Pengadilan yang berwenang orang. meminta diputus oleh Pengadil- bila akan diajukan perceraian dan sebaan Negeri, bahwa perkawinan mereka gainya tetap Pengadilan Negeri dan untuk selanjutnya tunduk pada HOC!. tidak mungkin berubah menjadi weweDengan demikian barulah yang berwe- nang Pengadilan Agama. nang dalam hal ini Pengadilan Negeri. Terlepas dari fakta-fakta tersebut di Di dalam kasus tahun 1983 ini, tidak atas, faktanya dalam kehidupan sehariterbukti suami-istri -tersebut pernah hari perkawinan antar agama tersebut
•
}11inta kepada Pengadilan Negeri agar masih sering terjadi, baik antara laki-perkawinan mereka setelah murtadnya laki Islam dengan wanita non-Islam sang suami, untuk selanjutnya diatur atau antara wanita Islam dengan laki HOC!. Jadi dengan demikian yang laki non-Islam, tanpa mempertimbangberwenang untuk mengadili perceraian kan misalnya dari segi hukum waris, tersebut adalah tetap Pengadilan Aga- yaitu anak-anak yang bukan Islam tima. dak mewaris dari ayahnya yang Islam
Dengan tidak disebutnya ketentuan dan sebagainya, karena sering warisan Pasal 72 HOCI ini pada putusan Mah- tersebut tidak dibagi menurut hukum kamah Agung RI No. 32 K/ AG/ 1983 Islam tetapi berdasarkan hukum ad at,
,
Juni 1987
240 •
tanpa memperhatikan agarna yang dianut sang anak.
Sebagaimana diuraikan di atas, bila •
diikuti ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 1/1974 secara konsekuen, maka perkawinan antar agama tidak boleh terjadi. Tetapi bagaimana bila calon mempelai tersebut tetap ngotot ingin menikah dengan tetap mempertahankan agama masing-masing dengan alasan itu adalah "hak asasi" mereka? J alan ke luar apa yang dapat ditempuh? Apakah dapat ditolerir mereka menikah dua kali, sesuai dengan hukum agama masing-masing? Yaitu sekali di KUA, dan setelah itu di gereja. Yang mana di antara kedua perkawinan ter sebut yang dianggap sah? Apakah kedua-duanya? Hal ini tentu tidak mungkin. Kalau menikah secara hukum Islam dahulu, yaitu di KUA, kemudian menikah lagi di gereja, maka menurut hukum Islam ia sudah mui-tad dan perkawinan pertamanya sudah bubar. Dari sudut pencatatan, apa jadinya bila terjadi dua kali pencatatan? Yang jelas statistik angka perkawinan akan membengkak tanpa didukung kenyataan sebenarnya. Lalu bagaimana bila terjadi keretakan/ketidakcocokan dan kedua-duanya ingin bercerai? Apa harus dimohonkan perceraian melalui kedua instansi tersebut ?
Dari berbagai pendapat yang berhasil kami kumpulkan, baik dari kalangan teoretisi maupun dari kalangan praktisi seperti pengacara-pengacara, Hakim Senior pada Pengadilan Negeri pada waktu kami mengadakan penelitian mengenai hal yang sama pada tahun 1983, pada umumnyaberpendapat yang sah adalah perkawinan yang . pertama. J adi bila menikah dua kali, yaitti yang pertama di KUA dan yang
Hukum dan Pembanllunan
kedua di gereja, maka yang sah adalah pernikahan yang dilakukan di KU A.
Pada akhir-akhir ini ada pula pendapat yang menurut hemat kami kurang tepat, yaitu karena perkawinan telah terjadi di dua instansi yaitu di KUA dan Gereja , di mana masing-masing dicatat di Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk serta Catatan Sipil, maka perceraian harus dimintakan pula pada baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Kalau kedua-duanya membawa hasil yang sarna, yaitu sarna-sarna dikabulkan atau tidak dikabulkannya perceraian, tidak masalah. Tetapi bagaimana kalau di Pengadilan Agama perceraian dikabulkan, yang berarti secara hukum Islam sudah bercerai , tetapi di Pengadilan Negeri tidak diperkenankan perceraian? Karena merasa sudah bercerai secara Islam di KUA, maka yang beragama Islam tersebut menikah lagi dengan laki/perempuan lain. Apa terhadapnya dapat dituntut bigami, karena perceraian di Pengadilan Negeri belum putus? Bukankah perceraian telah terjadi sesuai dengan hukum agamanya sejalan dengan maksud Pasal 2 Undang-undang No. 1/1974?
Untuk menghindari hal-hal tersebut di atas yaitu adanya dualisll1e pencatatan dan dualisme Badan Pengadilan yang berwenang terhadap kedua mempelai yang sam a dapat diusulkan halhal sebagai beriku t:
1. Menikah di KUA yang berarti dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, setelah itu menikah lagi di gereja tanpa dicatat di Catatan Sipil atau sebaliknya, pertama menikah di Gereja dengan dicatat oleh Catatan Sipil, setelah itu menikah secara Islam di bawah
•
•
pel'llQwinan Antar Agama
tallgan. Dengan demikian ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 1/ 1974 terpenuhi, dan hanya ada satu kali pencatatan berarti hanya ada Satu Buku Nikah yaitu dari KUA atau dari Catatan Sipil. Dengan demikian bila timbul keretakan/ketidakcocokan dan ingin bercerai, hanya ada satu pengadilan yang berwenang, yaitu Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Kesulitan memang tetap ada bila pasangan tersebut ingin bercerai di KUA , sedangkan salah satu pihak adalah non-Islam, yang untuk pemecahannya telah kami kemukakan dalam bagian terdahulu.
2. Jalan ke luar lain yang dapat ditem puh untuk menghindari dualisme pencatatan ini adalah melalui penafsiran Pasal 66 U ndang-U ndang No. 1/1974 secara a contrario yaitu sepanjang tidak diatur oleh Undangundang No. 1/ 1974, maka ketentuan-ketentuan sebelumnya seperti GHR (regeling op de gemengde huwelijken S.1898 No. 158) , HOCI , masih tetap berlaku. Di dalam GHR ada ketentuan yaitu Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan: Perbedaan agama, bangsa atau keturunan tidak menjadi penghalang untuk terjadinya suatu perkawinan. Kemudian Pasal 2 GHR pada pokoknya me nyatakan, dalam suatu perkawinan campuran maka si istri mengikuti status dari suami baik secara hukum perdata maupun secara hukum publik. ,
Dalam hal ini bila pernikahan tersebut adalah antara calon mempelai wanita beragama Islam dan calon mempelai laki-laki beragama non-Is· lam, maka perkawinan dapat dilang-
241
sungkan dan dicatat di Catatan Sipil dengan terlebih dahulu mohon izin kepada Pengadilan Negeri, setelah adanya penolakan dari KUA. Hal ini sampai tulisan ini dibuat masih bisa dilakukan oleh Catatan Sipil, terutama untuk wilayah DKI Jakarta.
Tetapi bagaimana halny~ bila yang beragama Islam itu adalah calon mem pelai laki-Iaki dan yang non-Islam adalah calon mempelai wanita? Bila diikuti ketentuan Pasal 2 GHR tersebut , maka pernikahan seyogyanya dilakukan di KUA. Tetapi nyatanya KUA tidak akan mungkin menikahkan keduanya, bila calon mempelai wanita bukan beragama Islam, apalagi ditambah dengan berbagai fatwa seperti diuraikan di muka oleh para ulama Islam. Begitu pula Catatan Sipil teru tama di Jakarta sekarang ini sej ak Agustus 1986 tidak lagi mau melakukan pencatatan perkawinan terhadap perkawinan an tara laki-Iaki Islam dengan wan ita non-Islam. Demikianlah dikemukakan oleh salah seorang pejabat Catatan Sipil DKI mewakili Kepala Kantor Catatan Sipil DKI yang dimuat dalam Harian Berita Buana tanggal 13 September 1986. Pernyataan tersebut belakangan diperkuat pula oleh Pernyataan Kcpala Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta , yang dimuat dalam Harian Kompas tanggal 4 Juni 1987. Penjelasan terakhir ini dikaitkan dcngan perkawinan antara Aktor Djamal Mirdad dan Aktris Lidya Kandouw, di mana untuk dapat berlangsungnya pernikahan mereka karcna berbeda agama (Djamal Mirdad - Islam, Lydia- Kristen), telah dimintakan izin melalui. Pengadilan N egeri Jakarta Selatan. Tidak jelas bagi kami, dasar hukum bagi Hakim dalam memberikan izin terhadap perkawinan tersebut.
funi 1987
242
Apabila pendapat Kepala Kantor Catatan Sipil DKI tersebut diikuti, apakah hal ini tidak berarti akan menambah semakin banyaknya pasangan "kumpul kebo" di Indonesia, terutama di wilayah DKI Jakarta? Mereka sebenarnya ingin menikah secara baikbaik tetapi menemui jalan buntu.
Menurut hemat kami, sebenarnya Catatan Sipil tidak boleh terlalu kaku dalarn hal ini. Kalau U ndang-undang No. 1/1974 tidak mengaturnya, maka sejalan dengan yang berlaku untuk wanita Islam yang akan menikah dengan pria non-Islam, dapat diperlakukan Pasal 2 GHR jo. Pasal 7 ayat 2 GHR melalui Pasal 66 Undang-undang No. 1/1974, yaitu dengan izin Pengadilan Negeri Perkawinan dapat dicatat di Catatan Sipil, maka mengapa Catatan Sipil dengan melalui Pasal 66 U ndangundang No. 1/1974 juga, tidak dapat melakukan pencatatan perkawinan terhadap pasangan mempelai laki-Iaki Islam dengan wanita non-Islam? Bukan· kah untuk ini dapat pula diperlakukan Pasal 75 HOCI yaitu penundukan diri kepada hukum perdata Barat yang berlaku untuk calon mempelai wanita yap.g non-Islam. Apakah untuk ini diperlukan pula izin pengadilan atau tidak bukan masalah. Bukankah bila kita melihat yurisprudensi di muk'a yaitu putusan Mahkamah Agung No. 1650 K/Sip/1974 tertanggal 13 November 1979 dipergunakan ketentuan dalam HOC I yaitu Pasal 72 HOCI ayat 1 dan dalam putusan Mahkamah Agung No. 32 K/AG/1983 dapat pula disimpulkan telah dipakai lembaga penundukan diri ini yaitu dalam hal ini kepada hukum Islam. J adi dalam kasus tersebut, Catatan Sipil dapat meIakukan pencatatan pencatatan yaitu
•
HUkum dan Pembangunan
dengan syarat pada saat melakukan perkawinan calon mempelai laki-laki menyatakan menundukkan diri terhadap hukum yang berlaku bagi calon mempelai wanita. Sebagaimana diketahui , Pasal 75 HOCI ini memberi kesempatan kepada laki-Iaki non-Nasrani pada saat dilangsungkannya perkawinan dengan wanita Nasrani untuk menundukkan diri kepada hukum Nasrani tanpa harus menjadi Nasrani. Hal ini tentu saja terlepas dari maksud semula pembentuk undang-undang lama itu untuk "mengeloni" hukum Nasrani, guna mencegah wanita Eropa tunduk pada hukum perkawinan Islam yang poligami, bila menikah dengan
• laki-Iaki pribumi, sebagai akibat berla-kunya Pasal 2 GHR (Perkawinan tunduk pada hukum suami).
Yang penting sekarang ini, ada jalan ke luar. Walaupun menurut hukum agama masing-masing perkawinan tersebut tidak sah (sebagaimana juga perkawinan antara wanita Islam dengan non-Islam yang bisa dilakukan dan dicatat di Catatan Sipil), tetapi menurut hukum Negara, perkawinan tersebut adalah sah. Anak-anak yang dilahirkan adalah anak sah yang mempu
nyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, bukan hanya dengan ibu, seperti halnya anak tidak sah. Hal yang sama seyogyanya berlaku pula untuk perkawinan antar agama yang terjadi baik antara warga negara Indonesia dengan orang asing maupun antara sesama warga negara asing yang dilakukan di Indonesia. Hanya untuk mereka yang terakhir ini dengan memperhatikan pula ketentuan-ketentuan lain baik dalam Undang-undang No. 1/1974 an tara lain Pasal 57 dan seterusnya serta ketentuan-ketentuan da-
Perkawinan Antar Aiama
lam Pasal 16 AB mengenai status personal yaitu syarat materiil yang harus dipenuhi oleh masing-masing caIon mempelai yang berbeda kewarganegaraannya itu , yaitp sesuai dengan hukum nasional mereka misalnya mengenai batas umur untuk menikah, izin kawin dan sebagainya. Begitu pula harus diperhatikan Pasal 18 AB, mengenai syarat formal, yaitu mengenai tata cara dilangsungkannya perkawinan harus sesuai dengan hukum di mana perkawinan dilangsungkan
Kesimpulan dan Saran
Dengan melihat fakta-fakta di atas dapat diambil kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka
243 .
sebagai berikut:
1. Adanya U ndang-undang yang mengatur mengenai Perkawinan Antar Agama ini sudah mendesak.
2. Sebelum keluarnya undang-undang tersebut, untuk menjaga kesimpang-
. siuran dalam pelaksanaan perkawinan antar agama tersebut, seyogyanya Mahkamah Agung atau Departemen Kehakiman mengeluarkan petunjuk kepada Kantor Catatan Sipil untuk tetap dapat mencatat perkawinan-perkawinan antar agarna baik yang dilakukan an tara caIon mempelai wan ita Islam dengan non-Islam maupun sebaliknya antara laki-laki Islam dengan wanita non-Islam.
Bahan-bahan Pokok Penyuluhan Hukum, BPHN, Departemen Kehakiman Pusat Penyuluhan Hukum Tahun 1983.
Gautama, S. , Hukum Antar Golongan, (Jakarta: PT. Penerbit Balai Buku Ikhtiar, eet. 3/ 1971 ).
Harian Berita Buana tangga113 September 1986. Harian Kompas tangga14 Juni 1987. Harian Pelita tangga11 November 1986. Ibid., Penganlar Hukum Perdata Internasional, (Jakarta: Penerbit Bina Cipta, Mei, 1977) . Segi-segi Hukum Antar Tata Hukum pada Keputusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Mahkamah Agung di Indonesia sejak tahun 1966 (Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 31/U/IN/1966; hingga sekarang), Laporan Penelitian, FHUI, Jakarta 1983 .
Wantjik Saleh, K., Himpunan Peraturan Undang-undang ten tang Perkawinan , (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru - van Hoeve - Cet. kedua, 1954).
Zulfa Djoko Basuki, Komentar Putusan Hakim, Hukum dan Pembangunan, Th. ke-IV, Januari 1984.
• •
•
•
• •
Juni 1987 •
•