Perjalanan Hidup Imam Lapeo
description
Transcript of Perjalanan Hidup Imam Lapeo
Perjalanan Hidup Imam LapeoOleh: Muhammad Ridwan Alimuddin
Judul: Perjalanan Hidup K. H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo” dan Pembangunan Mesjid Nuruttaubah LapeoPenulis: Drs. H. Syarifuddin MuhsinPenerbit: Mesjid Nuruttaubah Lapeo 2010
K. H. Muhammad Thahir “Imam Lapeo”, ulama paling legendaris di jazirah Mandar, Sulawesi Barat. Ironisnya, pustaka yang membahas kehidupan dan ajarannya tak menyamai kebesaran namanya. Hanya ada satu tulisan ber-ISBN (Internasional Serial Book Number) tentang Imam Lapeo, “Ajaran Imam Lapeo”, ditulis Muhammad Yusuf Naim dan Mohammad Natsir Sitonda (Pustaka Refleksi, Makassar 2008). Sayangnya, isi buku tidak begitu banyak menceritakan kehidupan dan ajaran sang ulama. Tebalnya pun hanya 88 halaman. Juga tak ada daftar pustaka bila memang itu riset ilmiah.Tulisan lebih lengkap tentang kehidupan Imam Lapeo disusun oleh cucunya, K. H. Syarifuddin Muhsin. Sekarang ini sebagai imam Mesjid Nuruttaubah Lapeo. Hanya saja, tulisan tersebut tidak tersebar luas. Sebab diperbanyak hanya dalam bentuk fotokopian, dijilid ala kadarnya dengan dua ‘klip’, dan tanpa kulit buku (sampul). Tebalnya 125 halaman ukuran kertas A5 (kertas fotokopian dibagi dua).Buku mulai disusun pada tahun 2003. Versi revisi dikeluarkan pada 2010. Secara umum buku terbagi dua: Perjalanan Hidup H. M. Thahir Imam Lapeo, dan Pembangunan Mesjid Nuruttaubah Lapeo.Bab pertama terdiri atas sepuluh bagian: Asal Usul dan Lingkungan, Penyebaran Keluarganya, Penduduk Pambusuang Mengungsi ke JampuE, Menunaikan Ibadah Haji Pertama Kali Tahun 1856, K. H. Muhammad Thahir Memasuki Lapeo, K. H. Muhammad Thahir Memadukan Istri, Menunaikan Ibadah Haji Kedua Tahun 1900, Mengembangkan Ajaran ke Tappalang, Mamuju dan Sekitarnya, Menginap Terus di Lapeo Mulai Tahun 1937 dan Uraian/Penjelasan Khusus.Bagian kesepuluh mungkin merupakan bagian yang paling digemari, sebab isinya menceritakan banyak kekaramahan sang Imam dan kisah-kisah hidupnya. Tak tanggung-tanggung, sampai 74 kisah. Sebelumnya diceritakan hubungan muamalah Imam Lapeo dengan beberapa pihak mulai pedagang hingga nelayan.Beberapa cerita unik Imam Lapeo antara lain: Menyelamatkan Orang Tenggelam, Melerai Perkelahian di Parabaya, Menghentikan Penyiksaan KNIL, Jadi Perlindungan Arajang Balanipa, Berbicara dengan Orang Mati, Menangkap Ikan di Laut Tanpa Kail, Memendekan Kayu, Menghardik Jenazah, Mengatasi Pendoti-doti, Berjumat pada 3 Tempat pada Waktu Bersamaan, Menebang Kayu dengan Tangisan Bayi, Naik Becak ke Mamuju, Membatalkan Tunangan dengan Anggota Muhammadiyah, Tidak Suka Bunyi-bunyian (musik), dan lain-lain.Cerita-cerita di atas tidak terlalu panjang pembahasannya, ada satu-dua paragraf, ada juga yang sehalaman. Menurut penulis, informasi diperoleh dari keluarga dekat, yakni: St.Rugayyah (isteri pertama); adiknya, Hj. St. Rahmah; anaknya (orangtua penulis), K. H. Muhsin Thahir, Hj. Aisyah Thahir, Hj. Muhsanah Thahir, Hj. Marhumah Thahir, dan beberapa murid Imam Lapeo.Asal UsulNama aslinya Junaihin Namli kemudian menjadi Muhammad Thahir. Menurut riwayat, namanya
berubah ketika Thahir muda menikah dengan St. Rugayyah pada usia 27 tahun. Juga diberi gelar Ambol (asal kata Istambul), oleh cucu dipanggil Kanneq Iyyeq, dan oleh masyarakat umum dipanggil Kanneq Annagguru dan Imam Lapeo.Junaihin lahir di Pambusuang pada tahun 1838. Orangtuanya bernama Muhammad (Kanne Caci), seorang penghafal Al Quran, demikian juga kakeknya, Abdul Karim (Sapparaja, Kanneq Buta). Meskipun lahir di Pambusuang, bila ditarik silsilahnya ke atas, moyang Junaihin berasal dari Allu dan Kandeapi. Adapun ibunya kelahiran Laliko (Campalagian) bernama Ikaji, seorang keturunan bangsawan. Moyangnya seorang Maraqdia Titie.Masa remaja dan dewasa diisi dengan belajar agama Islam. Selain berguru pada ayah dan kakeknya, Junaihin (selanjutkan akan digunakan M.Thahir) mendapat ilmu dari Guru Langgoq di Pambusuang (belajar Bahasa Arab), guru-guru di Pulau Salemo (tentang akhlak), K. H. Al Yafi’i (ayah Prof. H. M. Ali Yafi’i) di Parepare (tentang fiqih dan tafsir), K. H. Kholil di Madura (tasawuf), habib S. H. M. Alwi bin Sahal Jamalullail (tasawuf), S.Hasan Al Yamani (fiqih), dan beberapa guru yang tersebar di Singapura, Malaka (Malaysia), dan Padang (belajar ilmu silat).K. H. Muhammad Thahir memiliki tiga saudari, menikah setidaknya lima kali tapi hanya tiga yang berketurunan, dan memiliki 12 anak. Hampir semua anak K.H. Muhammad Thahir mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang ulama.Mesjid NuruttaubahAikon keagamaan paling terkenal di Mandar adalah Imam Lapeo. Sepertinya hanya mesjid ini di Sulawesi Barat yang rutin didatangi peziarah setiap hari. Menurut pengurus mesjid, saat ini, rata-rata pemasukan ‘celengan’ dari peziarah berkisar 3-5 juta/hari. Setidaknya ada tiga bentuk pemberi uang untuk kotak amal di Mesjid Nuruttaubah, yaitu: yang lewat saja (bila naik kendaraan, mereka akan berhenti sesaat untuk memasukkan uang ke kotak yang diletakkan di depan gerbang halaman mesjid), yang datang berziarah ke makam Imam Lapeo (juga ada kotak amal di dalam), dan kotak amal di dalam mesjid.Masih ada satu, yaitu yang meminta didoakan. Ada yang langsung ke Imam Lapeo (saat ini oleh K. H. Syarifuddin Muhsin), dan kebanyakan ke anak K. H. Muhammad Thahir yang masih hidup, yang tinggal di “boyang kayyang” (rumah besar, milik K. H. Muhammad Thahir, letaknya di seberang jalan), yakni Hj. Marhumah Thahir dan Hj. Muhsanah Thahir.Mesjid Nuruttaubah adalah mesjid pertama di Mandar yang memiliki menara. Menaranya sangat sederhana, seperti roket. Tapi cukup terkenal. Bersama mesjidnya, telah mengalami renovasi beberapa kali sebab mengalami kerusakan (karena gempa) dan lapuk oleh perubahan cuaca. Konon, suatu waktu menara Lapeo pernah hampir tumbang. Tapi berkat kekaramahan Imam Lapeo, menara kembali lurus seperti sedia kala.Dalam buku Imam Lapeo dibahas banyak lika-liku atau suka duka pembangunan mesjid. Diceritakan bagaimana Imam Lapeo harus utang kanan kiri agar bisa membiayai pembangunan. Juga ada kisah para pemberi hutang yang terus menagih. Mungkin karena kualat, para penagih mengalami bencana bila selesai mengambil uang (atau emas) dan Imam Lapeo. Ada yang rumahnya terbakar, ada juga perahunya tenggelam.Disampaikan juga peran tentang Jepang dalam pembangunan mesjid, bantuan pedagang Cina, dan untuk menguatkan struktur menara, digunakan sisa-sisa besi dari pembangunan jembatan Mapilli.K. H. Muhammad Thahir adalah ulama yang tidak mendakwah dalam lisan saja. Dia juga ulama yang konkrit peranannya. Di tengah masa penuh kesulitan (perang, sarana transportasi yang tidak memadai, penduduk pribumi yang belum mengamalkan Islam), K. H. Muhammad Thahir bermukim di banyak kampung di pesisir Sulawesi Barat, hingga ke Bambang Loka. Menurut
hasil pencatatan anak cucunya, setidaknya ada 17 mesjid yang tersebar di pesisir Sulbar yang pembangunannya diprakarsai oleh K. H. Muhammad Thahir. Sepertinya belum ada ulama, tokoh, dan pejabat di Sulbar yang bisa menyamai rekor Imam Lapeo! [.]
“Iiiiiiimam Lapeoooooooo”, Maka Badai Pun RedaOleh: Muhammad Ridwan AlimuddinTulisan berikut, yang sebagian dikutip dari Ensiklopedi Mandar karya Suradi Yasil, sebagai pelengkap atas tulisan di edisi sebelumnya di rubrik Pustaka Mandar, “Perjalanan Hidup Imam Lapeo”. Sebuah ‘review’ atas buku yang ditulis cucu K. H. Muhammad Thahir, yaitu Drs. H. Syarifuddin Muhsin.Ada banyak nelayan Mandar yang percaya, bila terhadang badai di tengah laut, mengingat sang panrita untuk kemudia memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai. Ya, itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo sebagai ulama ber-karamah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di dinding rumah. Dan banyak kasus, foto ukuran kecilnya dijadikan jimat (disimpan di dalam dompet).Latar belakang yang taat beragama yang sangat berpengaruh dalam proses perkambangan jiwa K. H. Muhammad Tahir Imam Lapeo dan mewarnai kehidupannya sejak beliau kanak-kanak. Sebagai seorang anak nelayan ia telah terbiasa dengan arus dan gelombang laut ketika menemani ayahnya mencari ikan. Tidak mengherankan sejak umur 15 tahun beliau telah berani mengikuti pamannya Haji Bukhari ke Padang, Sumatra Barat berdagang lipa’ sa’be (sarung sutra).Di bidang pendidikan, prestasi formalnya tidak menonjol. Dalam mengikuti pendidikan non-formal ia lebih tertarik pada pelajaran-pelajaran agama Islam. Di usia kanak-kanaknya Junahim Namli telah khatam Al Quran beberapa kali melampaui teman-teman sebayanya. Menjelang usia remaja, ia lebih memperdalam bahasa Arab seperti nahwu syaraf di Pambusuang. Lalu dia pergi ke Pulau Salemo (masa itu sangat terkenal sebagai tempat pendidikan pesantren yang melahirkan para ulama di bawah bimbingan ulama besar dari Gresik, Jawa Timur) menimba dan menambah ilmu-ilmu agama Islam. Beberapa tahun ia tinggal disalemo.Kemudian ia pergi ke Padang, Sumatra Barat dan tinggal selama empat tahun menambah ilmu. Sesudah itu melanjutkan perjalanannya ke Mekah menuntut ilmu agama, mendatangi ulama besar memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadits, teologi dan lain-lain. Ia tinggal di Mekah beberapa tahun lamanya.Dalam meluncurkan visi misi dakwah ke daerah Mamuju ia diangkat menjadi Kali ‘Kadi’ Kerajaan Tappalang (sekarang dalam wilaya Kecamatan Tappalang, Kabupaten Mamuju). Putra-putri K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo sebagian besar melanjutkan usaha bapaknya mengabdi untuk kepentingan agama Islam. Salah seorang putrinya yang bernama Hj. Aisyah Tahir, populer dengan panggilan Ummi Aisyah, adalah tokoh wanita Sulawesi Selatan pernah memimpin Muslimat Nahdatul Ulama, yang menjelang akhir hayatnya Ummi Aisyah dikenal sebagai wanita yang memiliki kemampuan metafisik yang lebih.K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam usia 114 tahun, pada hari Selasa 27 Ramadhan 1362 H. Bertepatan tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah kecamatan Campalagian, kabupaten Polewali Mandar). Dimakamkan di halaman mesjid Nur Al-Taubah di Lapeo (mesjid yang di kawasan Mandar dikenal juga dengan
sebutan Masigi Lapeo ‘Mesjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya).K. H Muhammad Thahir Imam Lapeo terkenal juga dengan gelar To Salamaq Imam Lapeo. Dalam bidang tasawuf dan tarekat, K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo mengacu kepada tasawuf dan tarekat Syadziliah.Berikut ini beberape kisah kekeramatan To Salamaq Imam Lapeo yang dipercaya kebenarannya oleh sebagian besar masyarakat Mandar dahulu. Pernah suatu hari K.H Muhammad Thahir Imam Lapeo terjatuh ke laut yang dalam pada malam hari. Waktu itu ia menumpangi sebuah perahu menuju ke daerah Bugis.Perahu tersebut melaju agak cepat, sehingga tidak dpat dengan cepat distop atau dihentikan oleh para awak perahu, sehingga K.H Muhammad Thahir Imam Lapeo tertinggal agak jauh ke belakang. Dalam keadaan seperti itu semestinya harus berenang di tengah laut, tetapi suatu keanehan telah terjadi bahwa beliau hanya berdiri dalam air laut.Air hanya sampai setinggi perutnya saja. Menurut penuturannya kepada para sawi, sewaktu ia sudah sempat naik kembali ke perahu itu, bahwa yang ditempati berdiri adalah sebuah batu besar yang tiba-tiba diinjak sewaktu beliau terjatuh ke bawah. Tetapi menurut para sawi, di tempat tersebut belum pernah ditemukan batu besar.Kawu, seorang tua dari Kelurahan Tinambung, kabupaten Polmas menuturkan bahwa pernah suatu hari kuda peliharaanya hilang. Sudah satu minggu lebih dicari kuda yang hilang itu, belum juga ditemukan. Maka ia menemui K.H Muhammad Thahir Lapeo mohon didoakan agar kuda itu dapat ditemukannya.To Salamaq Imam Lapeo memejamkan lalu mengangkat tangannya sambil berdoa, ia berkata kepada Kawu, bahwa kuda yang dicari sekarang dalam perjalanan pulang kekandangnya. Jawaban tersebut membuat si empunya kuda tercengang, dan segera pamit pulang. Apa yang terjadi? Sesampainya dirumah dai menemukan kudanya benar-benar sudah ada dikandangnya.“ Kuda itu datang sendiri “, kata istri pemilik kuda tersebut.Peristiwa lainnya dituturkan oleh informan bahwa suatu hari K.H Muhammad Thahir Imam Lapeo ingin mambayar hutang karena waktu yang disepakati telah sampai. Hutang tersebut adalah harga bahan-bahan bangunan Mesjid Nur Al- Taubah Lapeo yang dipinjam oleh beliau untuk perluasan bangunan Mesjid. Tetapi sampai pada malam hari To Salamaq Imam Lapeo belum juga mempunyai uang., sementara besoknya hutang itu harus dibayar.Lalu, malam itu juga ia mengajak putranya Muchsin Thahir beserta kusir bendi berangkat ke Majene menemui H.Hasan, pedagang yang memberi utang kepada panitia pembangunan mesjid dengan maksud minta perpanjangan waktu peminjaman. Dalam perjalanan dari Lapeo menuju Majene, semua mesjid yang dilewati disinggahi untuk melaksanakan shalat sunnah, antara lain mesjid-mesjid Karama,Tangnga-Tangnga, dan Tinambung. Dari Tinambung beliau terus ke Limboro dan Lembang-Lembang. Di kedua mesjid itu ia melakukan shalat agak lama.Menjelang subuh hari baru ia putranya meneruskan perjalanan ke Majene. Dalam perjalanan antara Lembang-Lembang dan Tinambung tiba-tiba ia ditahan oleh seseorang yang sama sekali tidak di kenalnya. Orang itu memberikan suatu bungkusan sebagai oleh-oleh kepada To Salamaq Imam Lapeo.Lalu diperintahkannya kepada anaknya(Muchsin Thahir) yang menyertainya malam itu mengambil bungkusan tersebut. Perjalanan ke Majene dilanjutkan. Setelah sampai di rumah H.Hasan di Majene bungkusan tersebut dibuka. Apa isinya? Ternyata, sejumlah uang pas-pas dipakai membayar hutangnya kepada H.Hasan.Dituturkan pula bahwa di Lapeo pernah berjangkit suatu penyakit yang sangat ganas dan berbahaya. Penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan tradisional maupun
medis modern pada saat itu. Menurut informan, saking ganasnya penyakit itu sehingga dalam satu hari diperkirakan 3 sampai 5 orang yang meninggal akibat penyakit tersebut. Keadaan seperti ini sangat meresahkan dan menggelisahkan masyarakat. Rakyat mengadu kepada To Salamaq Imam Lapeo. Mendengar semua pengaduan tersebut K.H Muhammad Thahir sangat prihatin.Di perintahkannya menyiapkan sebuah tempayan berisi air minum. Setelah itu K.H Muhammad Thahir To Salamaq Imam Lapeo memejamkan mata seraya mengangkat tangannya berdoa kepada Allah, kemudian diludahinya air tempayan tersebut tujuh kali. Air yang telah diludahnya itu diminumkan kepada penderita yang terkena penyakit aneh tersebut.Berkat pertolongan Allah swt., mereka yang sempat meminum” air obat ” To Salamaq Imam Lapeo semuanya sembuh, dan penyakit tersebut tidak mengganaskan lagi.Pernah suatu saat, ketika K.H Muhammad Thahir Imam Lapeo sementara memberikan pengajian, tiba-tiba pengajian dihentikan beberapa saat. To Salamaq Imam Lapeo keluar ke teras, lalu menatap ke angkasa raya seraya tangannya dilambai-lambaikan. Setelah itu beliau masuk kembali akan melanjutkan memberikan pelajaran kepada murid-muridnya.Sebelum pengajian dilanjutkan kembali, salah seorang muridnya bertanya tentang apa yang barusan To Salamaq Imam Lapeo kerjakan. Beliau menjawab bahwa dia menolong sebuah perahu yang hampir tenggelam di tengah laut karena serangan badai dan amukan ombak besar. Beberapa hari kemudian, seorang tamu dari Bugis datang ke rumah To Salamaq Imam Lapeo mengucapkan terima kasih.Menurut pengakuannya bahwa perahunya hampir tenggelam beberapa hari yang lalu di sekitar pulau-pulau Pangkajene. Yang menolongnya adalah K.H Muhammad Thahir To Salamaq Imam Lapeo yang tiba-tiba dilihatnya datang berdiri di baguan kepala perahunya. Seketika itu juga ombak menjadi tenang, dan badai pun reda.Pada suatu hari, dengan ditemani beberapa muridnya, K.H Muhammad Thahir Imam Lapeo sedang menuju ke suatu kampung. Mereka berjalan kaki menyusuri pinggir kali menuju ke hulu. Menjelang sore hari mereka berjalan terus. Mereka belum makan siang karena sejak berangkat tadi belumprnah melewati perkampungan penduduk. Di manakah mereka akan makan, sementara lapar haus sudah terasa?Tapi K.H Muhammad Thahir To Salamaq Imam Lapeo mengatakan supaya mereka sabar. Tak berapa lama kemudian,di tempat yang begitu sunyi sepi, tiba-tiba mereka melihat suatu rakit kecil yang sedang hanyut ke hilir. Di atas rakit kecil itu tersedia berbagai jenis makanan seperti nasi,ketan,lauk bersama ayam panggang. Mereka mengambil makanan tersebut dan menikmatinya. Selanjutnya K.H Muhammad Thahir Imam Lapeo bersama pengikutnya/muridnya melanjutkan perjalanan menuju kampung tujuan.
Imam Lapeo Ketika di MandarK.H. Muhammad Shaleh (Imam Lapeo) ketika di Mandar, beliau sering bertukar pikiran dengan K. H. Abddurrahman Ambo Dalle, dan atas petunjuk kiyai yang disebutkan terakhir ini, K.H. Muhammad Shaleh menikah dengan seorang perempuan bugis, yakni Hj. Sitti Salehah (anak H. Lomma).1 Namun tidak lama kemudian keduanya berpisah, dan akhirnya K.H. Muhammad Shaleh menikah lagi dengan Hj. Harah.2 Dari isterinya yang kedua ini, K.H. Muhammad Shaleh memperoleh keturunan.
Menurut sumber yang terpecaya, Syekh Alwi al-Maliki, guru K.H. Muhammad Shaleh di Mekkah yang sangat dikaguminya, memang pernah meramalkan bahwa kelak muridnya ini, bakal jadi punya
keistimewaan, dan salah satu di antaranya menikah sampai tujuh kali. Ramalan sang guru ini, telah terbukti pada diri K.H. Muhammad Shaleh, dan isterinya yang terakhir adalah Hj. Mulia Sule. Dari isterinya ini, lahirlah tujuh keturunan, yakni Drs. H. Thasim, Hj. Nasma, Drs. H. Ilham Shaleh, M.Ag, Nelia, Jirana SE, Dra. Namirah, Drs. Fadlullah, dan Ahrar.
Pusat kegiatan mengajar K.H. Muhammad Shaleh di daerah Mandar pada mulanya adalah di rumahnya dan kemudian berpindah ke Masjid Jami Pambusuang dalam bentuk pengajian lokal yang tidak begitu ramai.
Ketika nama K.H. Muhammad Shaleh menjadi populer dan mendapat kharisma di tengah-tengah masyarakat, maka banyak orang berdatangan di pengajiannya, yang akhirnya murid-muridnya bukan saja berasal dari daerah lokal, tapi justeru banyak pula yang berdatangan dari luar Mandar.
K.H. Muhammad Shaleh dalam berbagai meteri pengajiannya, banyak menyampaikan tentang ajaran tarekat Qadiriyah yang terwariskan olehnya melalui gurunya dan memiliki silsilah sampai ke Syekh Abdul Qadir Jailani.3 Ajaran tarekat yang disampaikan oleh K.H. Muhammad Shaleh merupakan aliran kerohanian yang berkembang secara pesat di daerah Mandar dan sekitarnya, bahkan sampai ke seluruh pelosok tanah air.
Menurut pengakuan H. Ahmad M. Sewang salah seorang murid K.H. Muhammad Shaleh bahwa, gurunya ini adalah seorang sufi besar yang seluruh hidupnya 63 tahun diabdikan untuk belajar dan sisa hidupnya dimanfaatkan untuk mengajar di tanah air, khususnya di mandar. Aktivitas mengajar yang dilakukan K.H. Muhammad Shaleh tidak pernah berhenti sampai wafatnya, yakni pada tanggal 10 April 1977 di Mandar. Sepeniggal beliau, ajaran tarekatnya dan pengaruhnya semakin meluas di tengah-tengah masyarakat, terutama para pengikut tarikatnya.
Imam Lapeo, Wali Songonya SulbarDi antara hiruk pikuknya pemberitaan tentang Osama Bin Laden dan Negara Islam Indonesia.
Saya sempatkan menuliskan sosok sufi yang mungkin saja Anda belum mengenalnya.
Dialah “Wali Songo” dari Provinsi Sulawesi Barat. Lahir dengan nama K.H. Muhammad Thahir
atas lebih populer dengan sebutan Imam Lapeo. Nama Lapeo sendiri diambil dari nama kampung
di Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Sekitar 290 Km dari Makassar.
Imam Lapeo : seorang imam di desa lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis. sering memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa Daerah kelahiranku ini dikenal dengan black magic-nya, animisme dan kemusyrikan (dulu, red). Imam Lapeo-lah yang meluruskan jalan sesat mereka.
Imam Lapeo sukses menobatkan mereka, dan inilah yang menjadi salah satu alasan nama masjidnya Mesjid Jami’ At-Taubah Lapeo, kemudian dialihkan namanya mesjid Nuruttaubah Lapeo.
Jika dihubungkan dengan ke-Imam-an seseorang maka kita harus merujuk kepada beberapa kriteria seorang Imam yang saya kutip dari Qitab Hadiqatul afham karya Alwi Bin Hamid Al’Idrus: 1. Berahati rahim 2. Luas ingatannya 3. Sabar atas perintah Allah 4. Sabar atas pengawalan hamba-hamba Allah 5. Sabar atas menyampaikan nasehat-nasehat kepada ahli sembahyang 6. Selalu memperhatikan jalannya daya upaya dalam memperbaiki keadaan orang-orang kampung. 7. Kunjungi orang-orang yang menjauhkan diri dari jam’ah. 8. Ambil hati kepada orang-orang tua. 9. Dekat-dekatan orang-orang yang patut dan terhormat. 10. Mengalah buat hal-hal yang dalamnya ada kemajuan bagi persatuan dan kerukunan umum. 11. Selalu memberikan nasehat-nasehat yang perlu kepada ma’mum-ma’mumnya. (Tri Wahyu Syahputra Palonntogi).
Dalam menyebarkan agama Islam berbagai cara yang ditempuh oleh imam lapoe, dimana ia menarik perhatian masyarakat atau orang disekitarnya dalam mengajarkan agama, secara bartahap beliau mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Beliau mengajak masyarakat sekitar membangun mesjid tetapi dalam kenyataannya tak semudah dibayangkan. Imam Lapeo harus berhadapan dengan maraknya perjudian, ramainya warga Mandar yang masih mabuk-mabukkan dengan minuman kebanggaannya adalah Manyang Pai’. (Tuak).
Masyarakat sendiri secara bertahap menghilangkan kebiasaan yang mereka lakukan. Bukan hanya dengan mengajak masyarakat di sekitarnya membangun mesjid Imam Lapeo juga sering bertamu di rumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga terkadang masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan petunjuk jika ada masalah yang mereka hadapi atau mempunyai keiinginan. Beliau juga terkenal dengan sikap dermawannya sampai-sampai beliau berhutang jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan. Hal ini dituturkan oleh penulis sejarah Imam Al-Lapeo.
Paparan tersebut di atas masihlah sebuah referensi asli dari sahabat saya Tri Wahyu Syahputra Palonntogi. Kemudian, banyak hal-hal yang terjadi pada diri Imam Lapeo semasa hidupnya. Sehingga orang-orang Mandar menyebutnya sebagai Wali Songonya Sulawesi Barat. Berdakwah tanpa kekerasan, kalaupun menemukan yang haram-haram yang dilakukan oleh warga, Imam Lapeo tak harus mengerasinya.
Seandainya beliau masih hidup, mungkin beliau akan geleng-geleng kepala terhadap perilaku-perilaku organisasi keagamaan saat ini yang kadang memaksakan kehendak dan mengambil jalan pintas dengan melakukan kekejaman dan aksi anarkhis.
Dan tentu beliau akan mengobarkan semangat kedamaian di tengah peperangan melawan kemerosotan moral. Beliau akan mendoakan bagaimana anggota DPR kita yang telah sangat jauh melenceng dari amanah. Ada beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Lapeo banyak mengadopsi kelembutan seorang Khalifah Rasulullah yakni Abu Bakar As-Shiddiek.
Apa subtansi sehingga saya tuliskan tentang sosok beliau?. Yah, mungkin saja dapat bermanfaat bagi wakil-wakil kita di Senayan yang semakin hari semakin menunjukkan gambaran dekadensi moral dan hedonisme. Mungkin juga dapat menjadi analisa komparasi terhadap tindak-tanduk pembelokan ketauhidan pada kelompok tertentu, pun dapat menjadi materi renungan terhadap diri kita sendiri.
Selain itu, Indonesia yang jumlah penduduknya semakin membengkak tetapi sudah teramat sulit
menemukan sufi sekelas Imam Lapeo. Indonesia yang dulunya tak seberapa penduduknya tetapi
banyak ulamanya. Sekarang, jumlah penduduk yang semakin banyak tetapi malah ulama
semakin tak banyak. Yang lebih kacau lagi, malah kementerian agama dalam urusan hajinya kok
bisa-bisanya korup.
Padahal pencerahan-pencerahan tentang agama sudah terlalu banyak kita bisa dapatkan bahkan
televisi-televisi di Indoensia memiliki program khusus tentang pendidikan agama. Materi
agama sudah kelewat banyak tetapi yang sering kita jumpai adalah lahirnya agama baru: Agama
Materi.
Mengenal Imam lapeoImam Lapeo atau K.H. Muhammad Thahir adalah ulama
kharismatik di tanah mandar, beliau adalah seorang waliullah
yang harus berhadapan dengan penganut ilmu hitam yang banyak di
daerah itu diawal dakwahnya. seorang imam di desa lapeo yang
sederhana dan menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis.
sering memperlihatkan mukzisat dari sang Kuasa. (www.google.com)
K.H. Muhammad Thahir Imam Lapeo juga dinamai Qadhi Tappalang
(karena beliau pernah menjabatnya mreangkap Imam Lapeo). Selama
kecilnya bernama Junaihin Namli. Digelari juga Ambol (berasal
dari kata Istambul). Kalau oleh para cucunya dipanggil Kanne’
Iyye’ (Bahasa Bugis = Setuju) pada saat penduduk setempat
menyatakan Iyyo (Bahasa Mandar = Setuju). Sebagian juga memanggil
Kanne Anggulu’ (berasa dari kata Annangguru, lidah kekanakan).
Oleh masyarakat Mandar umum menyebut Annanggurrutta. Oleh orang-
orang Bugis Anre’gurutta. Bentuk mukanya lonjong, tubuhnya
jangkung, wana kulitnya coklat-hitam, kurus diperkirakan
tingginya mencapai 180 cm.
Dapat lancar berbahasa melayu (kini menjadi bahasa Indonesia),
Bugis dan Arab.
Pada masa itu langka yang mempunyai kemampuan seperti itu.
Beliau lahir dari pasangan Muhammad kelahiran Pambusuang
pada tahun 1939, dibesarkan dan wafat di sana. Pekerjaan nelayan
dan guru mengaji. Dan Ikaji kelahiran Laliko dan dibesarkan, lalu
pindah ke Pambusuang (Kabupten Polmas) menjadi Bandar perdagangan
ke sa’la (selat malaka), Makassar, Bugis, Jawa, Minangkabau,
Ternate dsb. Alat transportasi kebanyakan perahu sanded dan kuda.
Ada juga yang memakai perahu pinisi (Lete’).
Mata dagangan yang dikeluarkan: sarung sutra dan hasil-hasil
bumi.
Sedang mata dagangan yang dimasukkan berupa barang pecah-
belah, sutera, kain dsb. Juga Pambusuang menjadi pusat pendidikan
Islam di Sulawesi. Kakek beliau bernama Abdul
Karim/Sapparaya/Kanne’ Buta kuburannya di Nugo Desa Bala adalah
penghafal Al Qur’anul karim. Pendidikan yang dikenal pengajian
halaqah (non klas). Yang ada pelajaran ilmu usuluddin
Asy’Ariyah/Muru ridiah, al Qur’an Ilmu Fikhi syafi’iah, Bahasa
Arab, Ilmu Tasauf/Akhlak ajraan Taunta To Salamakari Gowa: Syekh
Yusuf Al Makassari.
Masyarakat Pambusuang memulai membangun masyarakat Madani
(Civil) society) dengan tidak mengangkat Mara’dia Pambususang
yang tersisa adalah Tomabubenna Banua Pua’ Ma’darai dan Imam
Pambusuang Puaji Toa, Haji Nuh.
Pelaksaan Syari’at Islam belum memadai masih berpengaruh
dari ajaran pra Islam/tradisi nenek-moyang (animism), masih
percaya keapda mistrik antara lain kepada kekuatan benda bertuah,
keris, memberik sesaji keapda dewata (saringang) berbuat jinan
(semacam dengan kuda kepang), penyabung ayam, menjudi, perampokan
(Pattolla’), peminum arak, melalaikan sembahyang, puasa, zakat
dan silaturrahmi dan lain-lain. Diperarah oleh belum maksimalnya
mengenai kepastian hukum dan keadilan. Dapat diaktakan masih
berlaku hukum-rimba. Lebih-lebih menyangkut administrasi
pemerintahan sangat tidak beraturan. Beliau lahir th: 1839 pada
masa pemerintahan raja balanipa ke 41: To matindo di Marica apda
masa Belanda berusaha menjejakkan kakinya di Tanah Mandar yang
terbentuk dalam perjanjian Panjang tahun 1862 tanggal 6 Desember
1862 disusul oleh pernyataan pendek tahun 1905.
Beliau dan sama dengan manusia lainnya pada masa mudanya
punya dambaan/obsesi/cita-cita dan pada mulannya mencari tahu
apa-apa yang diperlukana untuk diperbuat. Jiwa Patriotisme,
berani menanggung resiko serta berbagai macam percobaan beliau
telah lakukan.
Melihat kehidupan dan tingkat pendidikan masyarakat beliau
selalu ingin bertemu dan menanggung serta merasakan apa yang
dialaminya, selalu ingin berhubungan, baik di kala senang apalagi
kala susah atau mengalami krisis.
Beliau berkunjung kepada mereka untuk mencari tahu tentang apa
yang mereka alami:
Hai anakku, atau hai cucukku, atau hai adikku, atau hai
saudaraku, apa kabar dengan anda?
Apa anda sehat-sehat sajat?
Mereka berbahagia sebab sudah datang berkunjung ke rumah.
Bagaimana anak-anak, cucu-cucu, bagaimana sekalian
keluargaku? Tetap ada kepentingan berhubungan dengan beliau
karena permasalahan kehidupan dan penghidupan tidak henti-
hentinya ada dibidang: keluarga, ekonomi, sosial, mata-
pencaharian dll.
Beliau rindu kepada mereka dan sebaliknya serta kehendak
memecahkan permasalahan mereka. Pada masa muda sampai tua sangat
senang merantau sampai ke pulau jawa, Sumatera, Semenajung Malaka
dan utamanya di pulau Sulawesi sendiri baik kediaman suku Bugis,
Makassar, Toraja, Massenrempullu dan lain-lain.
Dan yang banyak ditempati beriteraksi ialah masyarakat
bahagian utara propinsi Sulawesi Selatan utamanya bekas Afdeling
Mandar yang kini sedang diperjuangkan untuk menjadi propinsi
Sulawesi barat, lepas dari propinsi Sulawesi Selatan.
Beliau juga berkehendak untuk melawan/mengusir penjajah
Belanda. Beliau berkhawalat selama 40 hari agar mendapat kekuatan
dalam berperang. Dalam bersunyi-sunyi itu beiau didatangi oleh
suara menyatakan:
Permintaanmu dikabulkan, hanya saja permerintahan sebangsamu
tidak berperilaku jujur akan menyengsarakan rakyat bangsamu!
Lebih baik membina mereka dalam cara menjalankan misi disitu
air-kali mengalir kearah timur. Beliau perkirakan inilah Lapeo
tempatnya bermuara Lembang Laliko (permukaannya kini hampir tiada
di musim penghujan).
Pada pertengahan abad ke 19 kebetulan banyak orang arab
merantau ke nusantara (mungkin sehubungan dengan terjadinya
perolakan politik mendirikan. Resmi su’idiah atau sebab-sebab
lainnya).
Beliau juga perna ikut berjualan sarung sutra di
Sumatra/Padang. Dengan menggunakan sempoa beliau lancar
berhitung: menjumlah, mengurang, mengalikan dan membagi (menurut
ceritanya sampai beberapa desimal, di bawah satuan). Beliau tidak
pernah duduk di bangku sekolah akan tetapi mampu menghitung
dengan tepat menyangkut luas, volume, lingkaran dsb.
Kalau memakai bahasa sekarang:
Beliau itu mempunyai IQ (Intelektual Quation), EQ (Emosional
Quation) dan SQ (Spritual Quation) yang amat baik.
Karena kemampuannya itu dia diangkat sebagai bendaharawan/
kasir. Pada suatu hari ada seorang menghadap beliau dengan
keluhan sangat susah lantaran dililit utang.
Orang itu meminta kebijaksanaannya untuk membayarkan utang-
utangnya agar kesusahannya hilang. Berdada di negeri seberang
membayarkan utang seorang yang tidak dikenalnya, begitu pula
alamatnya. Mitra kerjanya sangat kecewa karena dianggap suatu
perbuatan yang salah besar, lalu dihentikan tanpa bekal apapun.
Jalan keluar yang dapat ditempuh demi penangguhanannya di padang
yaitu selalu nginap di mesjid, atau tidur di emper mesjid.
Jama’ah saling menanyakan siap gerangan yang selalu di mesjid.
Lalu mereka bertanya : siapa anda ini dan dari mana? Jawabnya:
Junaihin Namli berasal dari pambusuang tanah mandar. Tersiarlah
kabar dari kampong itu bahwa ada orang mandar yang terlantar dan
ingin pulang kampung juga terdengar sampai ketelinga seorang
mandar majene yang lehih dahulu disana dan berkeluarga disanan
bernama pua Bau’. Dengan mendapatkan bantuan darinya dan minta
sumbangan dari masyarakat dapatlah beliau sanggup untuk sewa
kendaraan sampai ke Pambusuang dengan selamat.
Pada kesempatan lain pergi pula kesana dengan tidak lagi
merupakan regu kerja tapi mandiri/bebas. Dalam perjalanannya
selalu mencari guru/ustazd yang dapat memberikan ajaran-ajaran
agama islam terutama yang madzhab Syafi’i. lebih dari itu
mempelajari ilmu-ilmu lain antaranya: ilmu Usuluddin/Tauhid
asy’ariah/Muturidiah, kebatinan, ilmu pencak silat, ilmu
ketabiatan, warid dan lain-lain hingga berumur 17 tahun dan
selanjutnya belajar mengajar dan beramal dengan ikhlas mendapat
ilmu kasbi didapat dengan jalan berusaha dan ilmu ladunni (dapat
dilihat langsung oleh Allah SWT.)
Perjuangan Imam Lapeo.
Dalam perjalanannya selalu mencari guru/ustazd yang dapat
memberikan ajaran-ajaran agama islam terutama yang madzhab
Syafi’i. lebih dari itu mempelajari ilmu-ilmu lain antaranya:
ilmu Usuluddin/Tauhid asy’ariah/Muturidiah, kebatinan, ilmu
pencak silat, ilmu ketabiatan, warid dan lain-lain hingga berumur
17 tahun dan selanjutnya belajar mengajar dan beramal dengan
ikhlas mendapat ilmu kasbi didapat dengan jalan berusaha dan ilmu
ladunni (dapat dilihat langsung oleh Allah SWT.)
Dididik dan dibesarkan dalam kehidupan beragama Islam
bermahzhab Syafi’I Ahlussannati wal jama’ah. Menurut beliau
sendiri dalam pengakuannnya guru-gurunya adalah:
1. Ayahnya sendiri, Muhammad (Penghafal Al-Qur’an)
2. Kakenya, Abdul Karim/Sapparaja/Kanne’ Buta (penghafal Al-Qur;an)
3. Guru Langgo’ di Pambusuang.
4. Guru-guru di pulau Salemo (Pangkep)
5. Guru-guru di Pare-Pare antara lain Al Yafi’I (ayahanda Prof. H.
M. Ali Al Yafi’)
6. Guru-guru di pulau Madura (antara lain K.H. Kholil) dan pulau
Jawa.
7. Guru-guru di Singapura, Malaka dsb.
8. Guru-guru di Padang (Sumatra Barat)
9. Habib Sayyid H.M. Alwi bin Sahal Jamalul Lail
10. Syekh Hasan Al Yamani
11. Dan lain-lain.
Dalam menyebarkan agama islam berbagai cara yang ditempuh
oleh imam lapoe, dimana ia menarik perhatian masyarakat atau
orang disekitarnya dalam mengajarkan agama, secara bartahap
beliau mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut. biasanya beliau mengajak masyarakat sekitar
membangun mesjid namun kadang dalam melaksanakan kegiatan
tersebut terkadang ada masyarakat yang menyelingi dengan bermain
sabung ayam, pula bermain judi, minum minuman keras namun imam
lapeo tidak serta merta melarang mereka berbuat demikian,
masyakarakat sendiri secara bertahap menghilangkan kebiasaan yang
mereka lakukan. Bukan hanya dengan mengajak masyarakat
disekitarnya membangun mesjid imam lapoe juga sering bertamu
dirumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga terkadang
masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan petunjuk
jika ada masalah yang mereka hadapi atau mempunyai keiinginan.
Beliau juga terkenal dengan sikap dermawannya sampai-sampai
beliau berhutang jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan.
Masyarakat yang ada di tanah mandar bukanlah mudah untuk
ditaklukkan hatinya oleh karena itu imam lapeo dikala menjalankan
dakwahnya di wilayah yang ditempati, beliau biasa menikahi
keluarga-keluarga yang berpengaruh terhadap masyarakat yang ada
diwilayah itu itupun atas usulan dari sahabat-sahabat beliau.
a. Memasuki lapeo
Wilayah ini tempo dulu dibawah kekuasaan Mara’dia Titi-e
yang berseberangan dengan wilayah saudaranya yaitu Mara’dia
Tomadio. Kedua kerajaan bersebarangan ini sering terjadi
percekcokan soal wilayah. Maka susatu saat diadakan pembagian
wilayah dengan membentuk parit galian (Kalliang). Setelah
Mara’dia titi-e wafat, tidak pernah lagi beridiri kerajaannya
yang kemudian dilebur ke dalam senteral Balanipa, kemudian
diperintah labgsung oleh Pa’bicara Kenje. Mara’dia Tomadio waktu
itu Denna Ipetti mengkalim bahwa tanah datar ini sampai ke
passauang lesang itu wilayah Tomadio dengan dasar:
1. Hanya 3 kerajaan kecil di balanipa yang punya lahan datar
(tellumpanua yaitu: Tomadio, Mapilli dan Napo)
2. Orang Babatoa dipinggir sungai/laut berbahasa lain/tidak terlalu
sama dengan bahasa mandar, dialeg Tomadio.
Kelemahannya bahwa orang-orang laliko, galung dan sekitarnya
berbahasa mandar jadikan pinggir laut/sungai itu tempat berlabuh,
membuat jangkar dan memancing.
Masyarakat di wilayah ini sudah memeluk agama islam, akan
tetapi secara umum pelaksanaan syari’at islam sengat kurang.
Mereka beribadah sendiri-sendiri menurut kemanuannya dirumah
masing-masing dalam bentuk apa saja. Kejatahatan masih
merajalela: perjudian, mimnuman khamar, penyabungan ayam,
perampokan (patolla’) to jinan, massringang (memberi makan
dewata) tetapi terlihat sudah ada beberapa diantarnya telah
menunaikan ibadah haji. Yang kurang disini adalah pendidikan
islamiah dan pembiasaan pelaksanaan syari’at islam. Masih
terbelakang dalam penghayatan dan penglaman agama islam. Mengutip
istilah yang popular dulu hingga kini “perlu ditobatkan” mungkin
itulah sebabnya dinamai Mesjid Jami’ Attaubah Lapeo, kemudian
dialihkan namanya mesjid Nuruttaubah Lapeo menurut kitab
Hadiqatul afham karya alwi bin hamid Al’Idrus halaman 55.46 imam
ratib layaknya:
1. Barahati rahim
2. Luas ingatannya
3. Sabar atas perintah Allah
4. Sabar atas pengawalan hamba-hamba Allah
5. Sabar atas menyampaikan nasehat-nasehat kepada ahli sembahyang
6. Selalu memperhatikan jalannya daya upaya dalam memperbaiki
keadaan orang-orang kampong.
7. Kunjungi orang-orang yang menjauhkan diri dari jam’ah.
8. Ambil hati kepada orang-orang tua
9. Dekat-dekatan orang-orang yang patut dan terhormat.
10. Mengalah buat hal-hal yang dalamnya ada kemajuan bagi persatuan
dan kerukunan umum
11. Selalu memberikan nasehat-nasehat yang perlu keapda ma’mum-
ma’mumnya.
Menurut H. Pattola ke wilayah ini telah ada pendahulu
menjalankan Da’wah Islamiah bermana guru kollang, mereka menolak
kedatanganya sehingga sang guruh dibunuh.
Ekspedisi berikutnya dipimpin Habib Sayyid Alwi bin Sahal
Jamalul Lail kelahiran Lasem (Jawa Tengah). Beliau telah menikah
di NTB, Manjopai, Pambusuang serta Camplagian. Kebetulan
isterinya, orang Pambusuang, kemanakan H. Junaihin Namli bernama
Hj. Rabi’ah. Sewaktu bertemu menjadi muridnya yang setia. H.
Junaihin Namli berencana untuk terus beranjangsana/berkeliling.
Kebetulan suatu hari rombongan orang-orang pambusuang datal
ke Laliko mengajar agama. Tuan Sayyid beserta rombongan
ditembaki/diberondong dengan senapan oleh anak bangsawan bernama
Daenna Ikaring. Kebetulan H. Junaihin Namli yang sudah diganti
namanya oleh Tuan Sayyid, H. Muhammad Thahir berda di Laliko
melihat Tuan Sayyid jalan cepat-cepat. Beliau bertanya:
Habib Sayyid berlari? Tuan Sayyid menjawab:
Di sana ada orang menembaki dengan senapan. Lalu K.H.M.
Thahir menghadapi mereka itu dengan berkata: anda telah membuat
sia-sia dan konyol serta pengecut, menembaki Habib-Tuan Sayyid
yang tak bersenjata. Bukan lawanmu itu perempuan-perempuan dan
tdak layak. Lebih baik kalau diantara kalian satu orang menhadapi
saya satu persatu bergantian, itulah laki-laki sejati.
Tampillah seorang menghadap beliau. Lalu berkata: silahkan
tusuk saya dengan tombakmu itu sebanyak tujuh kali, seusai itu
giliran saya menusuk engkau sebanyak tujuh kali juga dengan
tombak. Ternyata orang itu tak kuasa melukai (karena bantuan
Allah Subahanahu wa Ta’ala) walau sudah berusaha sekuat tenaganya
sehingga putus asa. Dia itu dengan sangat emosional ingin
membunuh, tapi terhalang.
Tibalah giliran beliau untuk menusuk sebanyak tujuh kali
pula. Dalam hatinya tiada terbetik kecuali kematian……….kematian,
dan tiada lagi kehidupan apabila…………..,benar-benar beliau
berkehendak untuk menusuknya. Belaupun memegang tombak-tombak itu
dengan gagah berani. Kalau benar-benar menusuknya kemungkinan
besar akan menemui kematian. Akan tetapi beliau menampakkan rasa
kasih-sayang, tidak berusaha untuk membunuh, berdiri saja. Orang
itu menunggu dengan pasrah apa saja yang akan terjadi. Yang
terjadi adalah ma’afan dan kasih saying beliau. Bergembiralah
hati mereka dan menyatakan tunduk, patuh dan menjadi pengikutnya,
untuk selama-lamanya. Begitu pula yang hadir dan kemudian yang
mendengar berita itu.
Melihat itu Habib Alwi meminta saupaya dialah yang membina
dan mengasuh masyarakat ini yang mengeluarkan dari jurang
kebodohan/kejahian, dari keterbelakangan, keapda pelaksana
syari’at Islam yang sebenar-benarnya. Kalau oleh orang lain, maka
dia itu tidak mampu seperti anda ini. Tinggalah disini karena
memang budanamu kelahiran disini. Banyak family yang perlu
dibimbing ke jalan menuju Allah Ta’ala. Rencanamu untuk
berkenalan itupun dapat anda lakukan, akan tetapi temoat ini jadi
tempat utama bagi anda dan keturunan anda yang akan dating.
Berbahagialah anda disini, saya restui anda do’akan!
Rombongan Habib bersama dengan K.H.M. Thahir naik ke rumah
imam Buttu Puaji Tepu/Pua Lapi’ung untuk melanjutkan program
penyeberan syari’at Islam. Dengan mendapat petunjuk dari Tuan
Sayyid beliau melanjutkan pengajian-pengajian berikutnya.
Adalah seorang kemanakan Pua Lapi’ung bernama Nagayyah binti
Abubakar berusia 15 tahun diusulkan oleh Habib Alwi dan cocok
menjadi isteri K.H. Muhammad Thahir. Pasalnya ayahnya, Abubakar
seorang dermawan dan juga antara keduanya ada hubungan family.
Beliaupun setuju untuk menikah yang pertam kali. Hal tersebut
disampaikan kepada ayah-bundanya di Pambusuang usul/pilihan Habib
Alwi yang diterima baik oleh segenap keluarga melamar Nagayyah
untuk dipersunting oleh K.H. Muhammad Thahir yang sudah berusia
53 tahun. Lamaran tersebut sangat menggembirakan dan diterima
dengan baik, maka berlangsunglah pernikahan tahun 1892.
Sewaktu pernikahan nama Nagayya diganti oleh tuan Sayyid
menjadi Siti Rugayyah. Beliau sementara menginap bersama mertua
di Buttu sambil membina masyarakat Lapeo.
Beliau selama bertahun-tahun menempati 3 kampung yaitu Pambusuang
tempat ayah-bunda, buttu tempat isteri dan Lapeo tempat bertugas
yang masing-masing berjarak 4 kilometer, medannya berat,
pegunungan yang terjal.
Menurut penuturan St. Rugayyah dalam tiap hari beliau bagi:
Sembahyang Maghrib di Pambusuang
Sembahyang Isya di Buttu
Sembahyang Subuh di Lapeo
Setelah berumah tangga selam 5 tahun, lahirlah:
1. Sitti Fatimah yang pernah diperisterikan oleh K.H. Abdi. Hadi
Salam. Punya anak yang wafat beserta ibu waktu dilahirkan.
2. Sitti Hidayat juga pernah diperisterikan oleh K.H. Abdi salam
sempat melahirkan 2 oranganak (keduannya wafat semasa kanak-
kanak)
3. Abd. Hamind wafat sewaktu kanak-kanak.
b. Mengembangkan ajaran ke Tappalang, Mamuju dan sekitarnya.
Dirumah yang sudah dipindahkan tersebut lahirlah:
1. Putera bernama Muhammad Yasin, yang wafat semasa kanak-kanak
2. Tahun 1920 lahir pula K.H Muhsin Thahir.
3. Enam tahun kemudian yakni tahun 1926 lahirlah puteri Hj. Aisyah
Thahir.
4. Tahun 1929 lahir Hj. Muhsanah Thahir.
5. Tahun 1931 Hj. Marhumah Thahir.
Untuk menanggulangi masalah-masalah yang terjadi, beliau
melebarkan sayap ke Utara. Daerah itu sangat minim pelaksanaan
syari’at Islam sambil membendung infiltrasi kristenisasi yang
dilancarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Bimbingan yang diberikan berupa shalat lima waktu,
mengerjakan jenazah, hukum keluarga, jual-beli, iman dan Tauhid,
mendirikan mesjid, hidup bertetangga dan bermasyarakat, hukum-
hukum zakat, infak, sadaqah, haji dll. Melihat itu Mara’dia
Tappalang mengusulkan kepada beliau untuk merangkap jadi Qadhi
Tappalang dan tetap menjadi Imam Lapeo.
Atas usulan rekan-rekan/muridnya supaya mempersunting
puterinya bernama Hamidah (Peranakan India). Usulan tersebut
diterima, sehingga terjadilah pernikahan dengannya. Hidup
berlangsung lama sebab tidak punya keturunan lalu diceraikan.
Wilayah ini sangat sulit medannya, karena banyak rawa-rawa.
Kenderaan yang dipakai adalah perahu sande’. Banyak terlihat
keanehan dalam perjalanan beliau.
Pernah suatu hari perahu yang ditumpanginya terdampar di
kumpulan batu karang, yang kebiasanya hancurlah perahu itu.
Tetapi orang-orang dipantai melihat banyak orang yagn mengangkat
perahu itu sehingga terlepas dari batu-karang itu dan selamat.
Ada juga seorang asal Bantaeng yang bercerita bahwa ayahnya
pernah suatu hari dari pasangkayu berlayar bersama dengan beliau.
Dalam perjalanannya itu beliau membawa beberapa fizt kain
kecil/putih. Mereka berlayar kea rah selatan. Tiba-tiba beiau
minta supaya perahu didaratkan. Mereka pun membuang sauh./jangkar
ternyata didarat ada sesosok mayat yang dikerjakan, pasalnya
ketiadaan kain-kafan. Maka jenazah tersebut lalu dimandikan atas
petunjuk beliau. Begitu pula ditemui penjahat-penjahat yang tak
dapat ditundukkan oleh Mara’di Mamuju.
Hubungan Imam Lapeo terhadap Keluarga dan Masyarakata. Pembinaan Rumah Tangga/Keluarga
Beliau mengutamakan ilmu dan amal. Slogan yang
dikumandangkan dalam rumah yaitu anak-anak diajar bernyanyi:
Apalah arti harta benda,
Ilmu dan amal jadi tanda.
Elong mattutu didendangkan bagi anak-anak yang
dibobok/diantar tidur. Dan kepada anak-anaknya diberi uang yang
banyak bagi yang banyak menghafal Al-Qur’an umpanya surat Yasin,
Al Waqi’ah dan tidak memberikan pujian bagi anaknya yang tidak
mau mengaji. Beliau menyuruh anak dahulu mengaji daripada
sekolah. Mendatangkan guru/ustaz pribadi. Beliau juga menampakan
rasa kasih sayang kepada keluarga dan keturunannya.
b. Hubungan dengan mara’dia/Arung/birokrat.
Sangat akrab dan saling menyayangi.
Beliu hidup selama priode pemerintahan:
1. Tomatindo di Marica
2. Panggandang
3. Tomatindo di Lekopadis
4. Passaleppa (Amana I Bali)
5. Tomilloli (Mandawari)
6. Tokape
7. Tomelloli
8. Tonaung Anjoro (Sanggaria)
9. Tomelloli
10. Tomatindo di Judda
11. H. Andi Baso
12. H. Andi Depu
c. Hubungan Dengan Usahawan/Padagang/Bisnisman
Beliau sering diminta saran dan solusi oleh usahawan ketika
usahawan menghadapi kesulitan. Dan beliau mendoakan mendoakan
mereka dan berpesan untuk bersifat jujur.
d. Hubungan Dengan Petani/Pecocok Tanam
Beliau sering diminta saran dan solusi ketika para petani
serta memberikan petunjuk bila mengalami kesulitan dalam bertani.
Doa restu beliau sangat mereka perlukan dan beberapa kali di Kab.
Pinrang hujan tidak turun dan di doakan oleh beliau makah hujan
pun turun.
e. Hubungan Dengan Nelayan/Pelaut/Petambak Dan Sebagainya.
Apabila nelayan mendapat masalah mereka mendatangi beliau
dan beliau pun memberikan saran dan solusi sehingga memuaskan
mereka, setelah mendapat saran dan solusi dalam melakukan
kegiatan dalam artian melaut mereka sering mendapat nilai tambah
dan bahkan ditengah laut nama Imam Lapeo seringa disebut dan
ketika mendapat marabahaya.
f. Hubungan Dengan Ulama/Ustadz/Orang Arab dan Sebagainya
Beliau sering saling membantu dalam menyebarkan ilmu Islam.
D. Kekaromahan Imam Lapoe
1. Pembangunan Mesjid
Waktu itu sekitar tahun 60an mesjid lapeo sedang dibangun
disamping makam lapeo namun terhambat masalah dana akhirnya tidak
lama kemudian datang beberapa unit truck dari makassar membawa
semen pasir dan beberapa bahan bangunan warga sekitar heran
karena tidak ada satupun dari mereka yang memesan apalagi dana
tidak ada.mereka memutuskan untuk membicarakannya di rumah salah
satu warga di sana,ketika ditanyakan tentang siapa orang
misterius yang memesan bahan bangunan ini,si supir mengatakan
bahwa yg memesan adalah seorang kakek berpakaian serba putih
bersorban dan kebetulan si supir melihat foto imam lapeo yang ada
di lama rumah warga tersebut,dan mengatakan bahwa orang itulah
yang memesan bahan bangunan.
2. Menyelamatkan orang yang tenggelam
Pada suatu sore dikala imam lapeo beristirahat didampingi
murid-muridnya, tiba-tiba beliau meminta digantikan sarungnya
karena basah. Muridnya herang kenapa sarung beliau tiba-tiba
basah sedang tidak turun hujan dan dari manakah air itu?
Beliau menjelaskan bahsa dia baru saja menolong orang yang
tenggelam di laut. Orang yang dimaksud akan datang menemuinya
besok. Ternyata benar ada seseorang yang datan esoknya yang
merasakan pertolongan Imam Lapeo sehingga selamat dari bahaya.
3. Tempat Imam Lapeo Berkhalawat
Narasumber mengetahui ada 2 tampat imam Lapeo berkhalawat
yang di kebun dan sebidang tanah yang terletak di Paccini. Tempat
ini telah didirikan sebuah rumah dan ada kejadian yang diluar
jangkauan manusia yakni penghuni rumah tersebut satu persatu
meninggal dunia. Dan orang-orang pun memberi tanda tempat
Khalawat Imam Lapeo untuk tidak dihuni.
4. Turun Dari Mobil Untuk Sembahyang.
Suatu hari dalam perjalanan menuju Makassar, tiba waktunya
untuk shalat Dzuhur dan beliau menyuruh sopir mobil untuk
berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat, namun sopir mobil
tidak rela menghentikan mobilnya jika sewa mobil tidak dibayar
agar dapat melanjutkan perjalanan ke Makassar. Belia pun
membayarnya dan turun bersama rombongannya untuk menunaikan
shalat Dzhuhur, kemudian mobil tersebut melanjutkan perjalanannya
namun dalam perjalanan mobil tersebut tiba-tiba macet, mobil
tidak bisa jalan, setelah shalat Imam Lapeo beserta rombongan
berencana melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki,
dalam perjalanan mereka bertemu dengan mobil yang mereka tumpangi
dalam keadaan macet, penumpang dalam mobil tesebut berkata inilah
tadi teman kita yang singgah untuk shalat, Imam Lapeo pun naik
diatas mobil tersebut tidak lama kemudian mobil tersebut bisa
jalan dan normal seperti semula.
5. Gema Teriakannya Di Telinga Pencuri.
Suatu hari ada seseorang memasuki kebunnya di Galung Lampu,
berencana untuk mencuri buah-buahan yang didalamnya yakni
memanjat pohon kelapa. Tiba-tiba terdengar teriakan Imam Lapeo,
sementara beliau tidak ada dikebun, orang tersebut lari
sekencangnya suara tersebut masih terdengar : To bibo….to bibo…
to bibo. Dia pun tidak bisa tidur dengan mendengar suart tersebut
hingga dia pun mendatangi beliau dan menjelaskan apa yang telah
terjadi dan memohon maaf kepada beliau juga meminta agar diobati.
Orang tersebut dioabati dan sudah merasa tenang.
6. Pernah Diberkati Jadi Professor
Seorang Professor bercerita:
Dia berasal dari Sindereng 8 bersaudara dia merupakan anak
bungsu. Ayahnya meninggal sewaktu masih kecil. Pada suatu hari
ibunya mendatangi seorang ulama tentang anak-anaknya apakah ada
bayangan kebaikan, sebab peninggalan ayahnya hanya sebidan tanah
yang tidak terlalu luas. Ulama itupun menyarankan untuk
mendatangi Imam Lapeo yang ada di Mandar. Katanya ambillah
sebahagian kemampuanmu untuk dapat mendatanginya. Diapun kerjakan
sebagiamana saran ulama tadi.
Sewaktu bertemu Imam Lapeo memperhatikan kedelapan anak-anak
itu lalu menunjuk bahwa anak bungsu ini nanti akan sukses,
peliaharalah dia dengan baik dan saya doakan.
Ternyata dia sekarang jadi dosen di IAIN Alauddin Makassar.
E. Wafatnya Imam Lapeo
Menjelang kematiannya, Imam lapeo berpesan supaya disediakan
batang pisang sebelah menyebelah (pihak kanan dan pihak kiri)
sebagai tempat bersandar saya bicara dengan mungkar-nakir. Pagi
pada hari selasa beliau wafat dan besok siang barulah dimakamkan.
Penulis pada waktu itu berumur 8 tahun menyaksikan.
Awan mendung dan tangisan para pelayat mayat beiau tambah
lama semakin kecil. Jasadnya disemayamkan di rumah di mandikan di
Mesjid Lapeo.
Menurut mahyuddin sewaktu di usung, jenazah sangat ringan
seakan-akan tidak ada kecuali kain, merekapun masygul. Ketika
disuapi dengan tanah pada bagian kepala mereka menyaksikan jasad
didalam kain kafan. Setelah menyuapi terdengar di telinga mereka
suara batuk.
Pesan yang paling dia utamakan kepada masyarakat lapeo
adalah selalu berkata jujur, dan pesan lainnya adalah melaksakan
shalat dan ibadah lainnya.
F. Pandangan Masyarakat Terhadap Imam Lapeo K.H. Muhammad thahir
Menurut Masyarakat yang sempat kami wawancarai bahwa sanya
imam lapeo merupakan tokoh agama yang terkenal dengan
kekaromahannya, biasanya masyarakat banyak dating mengunjungi
makamnya jika mempunyai hajatan namun dalam berdoa mereka meminta
kepada Allah S.W.T. dan beliau mengatakan bahwa banyaknya dana
merupakan sumbangan dari beliu sampai sekarang. (dikarenakan
banyak pengunjung yang memasukkan uang ke kotak amal berkisar
sebanyak Rp 3.000.000,-/ harinya).
BAB IIIRANGKUMAN
1. Imam Lapeo lahir di pambusuang pada tahun 1939, ayahnya bernama
Muhammad penghafal Al-Qur’an yang sehari-hari sebagai Nelayan
tradisional penangkap ikan terbang orang pambusuang. Ibunya
bernama Ikaji kelahiran laliko lapeo.
2. Mendapat pendidikan dari ortunya dan lingkungannya bernuansa
keagamaan. Merantau ke Pare-pare antara lain: dari alyafi’,
ayahanda Prof. Dr. H.M. ali Alyafi’ Ulama di Salemo, Ulama di
pulau Jawa, Madura, Sumatra, Semenanjung Malaka, Singgpura dll.
3. Beliau senang berkunjung ke rumah-rumah penduduk dari berbagai
etnis, tingkatan, profesi bahkan menjadi intim dengan para
perantau misalnya Arab, India, Cina dll. Menghabiskan waktu dan
tenaga untuk penegakan syariat islam berdasarkan doktrin Aswaja
mendukung inpiltrasi/kritenisasi/westernisasi.
4. Beliau datang ke Lapeo pada tahun 1982 setelah pendahulunya
menjadi korban pembunuhan karena tidak diterima masyarakat.
Sayyid Alwi bin Abdullah Bin Sahal Jamalal kelahiran Lasen 1823
datang ke Lapeo mengajarkan pelaksanaan syariat islam nyaris
jadi korban pembunuhan. Beliau datang melindungi habib, atas
saran habib beliau melanjutkan penyebaran agama dan mengajak
penduduk bertobat kepada Allah, mesjid yang dibangun tahun 1909
dinamai masjid Attaubah yang kemudian menjadi mesjid Nurut Taubah
Lapeo.
5. Beliau melebarkan sayap ke utara diangkat menjadi kadhi
tappalang dan memprakarsai pembangunan 17 mesjid khsus di kab.
Mamuju.
6. Membantu umat dalam memecahkan maslaah keluarga, pendidikan,
mata pencaharian, bimbingan pelaksanaan fardu a’in dan kitayah.
7. Lapeo menjadi sentral pendidikan dan dakwah pada masa penjajahan
Belanda, pendudukan Jepang, Pemerintahan NICA, dan pemerintahan
NKRI. Pada awal pengangkatan guru agama di Kab. Polman lebih
separuh cetakan dari Lapeo.
8. Mendirikan pengajian-pengajian metode khalak dan campuran dengan
klasik (sekolahan) yang hingga kini aktif dalam membina intaq dan
iptek.
9. Ajaran yang duanut dan diamalkan berdasarkan Al – Qur’an dan
Hadist, ima, dan Qiyas.
- Bidang Aqidah dianut ajaran Abu Hasan Al-Asy-Ariy Maturidy
- Bidang Fiqhi Asy-Syafiah
- Bidang Akhlak/moral Tasawuf Amaliah menjalankan tarikat Al –
Muhammadiyah dan Tarikat As-Syadiliyah
10. Meninggalkan murid-murid atau keturunan yang tangguh dalam
bidang agama dan kehidupan antara lain yang menonjol:
A. K.H. Nadjamuddin Thahir (1919-1999) Ulama mantan ketua
pengadilan Agama Walang Soppeng dan menjabat sebagai imam mesjid
nurut Taubah Lapeo.
B. K.H. Muhsin Thahir (1920-1994) ulama mantan ketua pengadilan
agama Kab. Polmas, imam mesjid jami polewali pembawa tuntunan
pembentukan kab. Polmas ke pusat tahun 1959.
C. Hj. Aisya Thahir (1926-1987) mantan ketua muslimat NU propinsi
Sulsel, anggota DPRD GR Propinsi Sulsel, pensiun guru agama.
Pendiri panti Asuhan Nahdiyat Makassar dan pendiri Nahdiyah.
D. K.H. Abdul Mutthalib Thahir (1930-1080) mantan dekan fakultas
tabiyah IAIN Cabang Palu.
IMAM LAPEO PEMBAHARU ISLAM DI MANDAR
K.H. M. TAHIR yang kondang dengan panggilan Imam Lapeo, lahir di Tinambung pada thn 1838. Beliau adalah ulama besar dan penyebar Islam yang tak kenal menyerah dalam menanamkan prinsip-prinsip Tauhid, Akhlak dan keilmuan Islam di Tanah Mandar yang sekarang menjadi Provinsi Sulbar.
Berbagai cara dan upaya telah dilakukannya untuk menyampaikan dan mewujudkan
risalah dan nilai-nilai Islam yang benar kepada ummat Islam di Mandar, yang sudah ter-Isalamkan sejak abad ke 15 di jaman Ammara’diang Kakanna I Pattang Daetta Tommuane oleh usaha Ulama Abdul Rachman Kamaluddin bergelar Tosalama di Binuang.
Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering di reduksi dan dibumbui drngan hal-hal yang berbau Supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di dua tempat sekaligus ; menaklukkan para tukang Doti, bahkan intelektual sekelas Emha Ainun Najib meyakininya, namun kebesarannya sebagai seorang pembaharu ( reformis ) Islam dan sosial tidak diragukan lagi.
Sejatinya memang dalam diri beliau terdapat pasangan karakter berupa kategori-kategori yang tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Bisa dibilang beliau adalah seorang NU sekaligus Muhammadiyah, modern juga tradisional, rasioanl serta irasional, intelek sekaligus spiritual.
Imam Lapeo adalah sebuah teks yang bisa dibaca dengan pendekatan Positivistis ataupun Naturalis. Cerita tentang beliau adalah sesuatu yang obyektiv sekaligus subyektiv, yang dari sudut pandang post modernism adalah sesuatu yang sah-sah saja.
Walaupun Imam Lapeo tak pernah menyebut dirinya sebagai pembaharu ( modernis ), tetapi kwalitas pribadi dan perjuangan beliau menumjukkan ciri seorang Pembaharu. Hal ini bisa dilacak secara historis dan sosial budaya. Dengan tidak mengecilkan arti penting dakwah tradisionil yang dicirikan dengan pendekatan Tasawwuf yang notabene juga dilakukan oleh Imam Lapeo. Disini penulis mencoba mengangkat fakta yang terabaikan selama ini, bahwa Islam di Mandar tidak pernah lepas dari dinamika dan dialektika pemahaman dan pemikiran Islam di Nusantara.
Proses terbentuknya faham keIslaman Imam Lapeo tak dapat dipisahkan dari sejarah pengembaraan dan perjalanannya ke Sumatera terutama Minangkabau, Timur-tengah dan Makkah untuk berdagang dan menuntut Ilmu.
Kita tahu bahwa sejak abad ke 13, di Mekkah dan seluruh kawasan Timur-tengah telah bertiup angin perubahan dan pembaharuan Islam yang dibawa oleh Ibnu Taimyah yang kemudian dimantapkan oleh Muhammad Bin Abd Al- Wahhab di Jazirah Arabia di abad ke 18. Inti ajaran kedua ulama ini, yaitu Tauhid yang benar, membuka pintu Ijtihad dan menentang Bid’ah. Selanjutnya semangat pembaharuan ini diteruskan oleh Trio Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada abad – abad berikutnya. Di Indonesia faham ini disebarkan mula-mula oleh kaum Paderi dan tertanam kuat di Sumatra Barat. Di Pulau Jawa oleh gerakan Muhammadiyah.
Sebagai seorang yang peka dan haus akan Ilmu Keagamaan, tentu saja Imam Lapeo dalam pengembaraannya telah bersentuhan dan dipengaruhi oleh paham-paham dan pemikiran kaum pembaharu. Namaun yang memantapkan niat Imam Lapeo untuk melakukan pembaruan sosial dan keagamaan adalah pertemuannya dengan seorang Ulama besar dari Yaman, yaitu Sayyid Alwi Jalaluddin Bin Sahal. Dari ulama yang kemudian menjadi gurunya itu, Imam Lapeo memperoleh motivasi untuk memberantas kejahilan, penyimpangan pelaksanaan dan pemahaman agama serta menggalakkan pelaksanaan agama yang benar dalam masyarakat, khususnya di Mandar. ( M. Yusuf Naim, M. Natsir. 2005 ).
Dengan bekal ilmu dan wawasan keIslaman yang didapatkannya selama di rantau, Imam Lapeo kemudian melaksanakan dakwah Islam di Mandar dengan mempraktekkan metode2 perjuangan kaum pembaharu : Struktural maupun Kultural.
Pada level Struktural yang dilakukan Imam Lapeo adalah dengan keterlibatannya dalam mempertankan Kemerdekaan bangsa, dan bergabung dengan Organisasi KRIS Muda ( Kebaktian Rahasia Islam Muda ) bersama Andi Depu, RA daud, AR. Tamma dll. Beliau turut berjuang menentang kesewenang-wenangan Nica Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dan mengancam kedaulatan bangsa dan agama.
Perjuangan Imam Lapeo dalam menentang penjajahan dan kesewenang-wenangan, adalah tipikal kaum pembaharu. Ibnu Taimiyah dengan menggelorakan semangat Amal Ma’ruf Nahi Mungkar, menentang penjajah Moghul. Jamaluddin Al Afgani mengmbil inspirasi dari ayat ALLAH :" Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum hinggah mereka mengubah diri mereka sendiri ", berusaha mempersatukan ummat Islam dalam satu ke Khalifahan untuk melawan dominasi dan eksploitasi Barat.
Pada level Kultural Keagamaan, Imam Lapeo telah mendrikan lembaga pendidikan Pesantren yang bernama Pesantren Addiniyah Al Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah di thn 1920 an di desa Lapeo, Campalagian. Pesantren yang didirikan Imam Lapeom pada saat itu merupakan bentuk pesantren Modernm. Dalam arti sistim penddidikannya bersifat Madrasah yang mengajarkan, selain pendidikan Agama, juga pendidikan Umum.
Pesantren yang didirikan Imam Lapeo ini, juga menggunakan Sistim Klasikal, yaitu cara pendidikan yang berjenjang dan senantiasa mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan. Bentuk ini disebut sebagai Pendidikan Pesantren Modern. ( M. Yusuf Naim, M. Natsir. 2005 ).
Dari kedua gerakan yang telah dilakukan Imam Lapeo itu ; Struktural dan Kultural, dapat disimpulkan, bahwa beliau adalah salah satu eksponen pembaharu Sosial Keagamaan di Tanah Air. Namun dalam upaya pembaharuannya itu, beliau tetap menghargai Budaya dan Adat Istiadat Mandar. Hal itu ditunjukkan kesediaan beliau untuk menghadiri dan berceramah pada upacara-upacara atau pesta-pesta Adat, seperti Perkawinan, Kematian, pesta Panen dll. Dan juga beliau adalah tetaplah seorang Sufi yang mempraktekkan selain aspek Esoteris Islam, Juga aspek Eksoteris Islam yang mengacu pada paham dan praktek agama secara umum. Dengan kata lain Imam Lapeo di masanya telah melaksanakan apa yang kini populer " Dakwah Kultural ".Salam.
ISLAMISASI DI MANDAR
Awalnya, daerah-daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Mandar) hampir saja menganut agama Kristen (kepercayaan yang dibawa orang-orang Portugis ke daerah yang dikunjunginya). Namun akhirnya proses Kristenisasi atas penduduk pribumi gagal. Ada beberapa faktor penyebabnya.
Antonio de Paiva, pedagang Portugis, meninggalkan Malaka pada 1542 menuju Sulawesi untuk berdagang kayu cendana di “Durate” yang terletak antara Toli-toli dan Dampleas, di barat laut Sulawesi. Dalam pelayarannya menuju tempat tersebut, Paiva singgah berlabuh di Siang (antara Barru dengan Maros saat ini). Ketika berlayar pulang, dia singgah lagi di Siang dan terpaksa tinggal sementara waktu karena jatuh sakit, serta menjadi tamu raja selama beberapa bulan. Pada 1544, Paiva kembali datang ke Suppa’ (masuk wilayah Pinrang tapi lebih dekat ke kota Pare-pare) dan Siang.
Setelah melalui perdebatan teologis, penguasa Suppa’ dan Siang akhirnya minta dibaptis (dikristenkan). Saat Paiva kembali ke Malaka, dia membawa serta empat pemuda yang akan dibawa ke Goa (India) untuk dididik pada sebuah sekolah Jesuit. Juga ikut serta utusan dari penguasa Siang dan Suppa untuk menemui Gubernur Malaka, agar ke daerah mereka diutus pendeta.
Saat peristiwa di atas terjadi, Siang mempunyai daerah kekuasaan sampai ke Mandar dan Teluk Kaili.
Nampaknya, masa depan hubungan Portugis atau proses kristenisasi di wilayah ini akan berjalan mulus, sampai ketika seorang perwira Portugis membawa lari putri penguasa Suppa’. Untuk menghindari kemarahan orang setempat, armada Portugis terpaksa meninggalkan Suppa’. Sampai pada tahun 1559, tak ada orang Portugis yang berani datang ke Suppa’.
Di atas adalah salah satu faktor proses kegagalan kristenisasi di Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Faktor lain adalah adanya persaingan mendapat pengaruh bangsawan setempat, antara orang Portugis dengan pedagang Arab (penyebar Islam), kekurangsigapan penguasa Malaka (ketika masih dikuasai Portugis) mengirimkan pendeta yang diminta penguasa pribumi, faktor politik (Kerajaan Goa berhasil menundukkan sekutu Portugis di Sulawesi, dalam hal ini Siang, Suppa, Alitta, Sawitto, dan Bacukiki’), pandangan terhadap kepercayaan pribdumi, dan penerapan strategi dalam menyebarkan agama.
Selama paruh kedua abad ke-16, persaingan Kristen dan Islam di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) tampak masih belum memperlihatkan pemenang. Penyebar Islam pertama yang dikenal adalah Abdul Makmur, seorang penyiar Islam dari Minangkabau tiba di Sulawesi Selatan untuk pertama kalinya pada 1575. Dia terhambat dalam menyebarkan Islam sebab kebudayaan masyarakat setempat banyak yang bertentangan dengan Islam, seperti makan daging babi, hati rusa mentah, dan minum tuak. Dia kemudian pindah ke Kutai, dan lebih berhasil di sana.
Tapi, pada tahun 1600, Abdul Makmur, yang lebih dikenal dengan gelar Dato’ ri Bandang, kembali ke Makassar bersama dua rekannya, Sulaiman (Dato’ ri Patimang) dan Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro) yang juga orang Minangkabau. Ketiganya belajar agama di Aceh dan datang atas perintah Sultan Johor.
Penyebaran Islam di Makassar mendapat tantangan penguasa setempat, mereka pun menuju Luwu’. Mereka menuju Luwu’ sebab mereka mengetahui budaya setempat, yang menganggap keturunan raja-raja berasal dari Luwu’ (mitos to manurung). Ketiganya berhasil mengislamkan penguasa Luwu’ pada 1605, pada gilirannya akan memudahkan mereka melakukan proses islamisasi kerajaan-kerajaan lain.
Setelah itu, mereka kembali ke Makassar, hingga delapan bulan kemudian berhasil mengislamkan Karaeng Matoaya dengan mengambil gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Sultan ini kemudian mendorong kemenakan sekaligus muridnya, raja Goa I Manga’rangi Daeng Manra’bia yang masih berusia muda untuk memeluk Islam dan kemudian berganti nama menjadi Sultan Alauddin. Pada 9 November 1607, shalat jamaah pertama berlangsung di Masjid Tallo’, yang baru selesai dibangun.
Penguasa Goa dan Tallo’ merasa bahwa setelah masuk Islam, peluang untuk menjadi pemimpin di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) semakin terbuka lebar. Kerajaan-kerajaan sekutu mereka diajak serta masuk Islam. Bila ajakan ditolak, maka kerajaan kembar tersebut akan melancarkan perang yang kemudian lebih populer disebut Musu’ Sallang (Perang Islam) oleh orang Bugis.
Kemudian pada 1608, Goa-Tallo berhasil menaklukkan Bacukiki’, Suppa’, Sawitto, dan Mandar. Kemudian pada tahun 1609, Sidenreng dan Soppeng dikuasai, menyusul Wajo’ satu tahun kemudian. Dengan menyerahnya Bone pada 1611, seluruh Sulawesi Selatan (kecuali Toraja) dan Sulawesi Barat secara resmi memeluk agam Islam.
Pada gilirannya, aspek-aspek syariat kemudian diintegrasikan ke dalam rangkaian hukum dan norma adat. Di setiap kerajaan dan kedatuan dibangun masjid dan ditunjuk pejabat qadi (kali), imam (imang), serta khatib (katte’), yang biasanya dari bangsawan. Agama Islam terus berkembang dan aliran sufi mulai diperkenalkan.
Masuknya Islam di Mandar
Sampai saat ini, pustaka atau referensi yang membahas khusus sejarah masuknya Islam di Mandar belum ada. Namun bila menghubungkan beberapa pustaka yang didalamnya sempat membahas tentang sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan, misalnya buku Manusia Bugis karya Christian Pelras (Nalar, 2006), Mengenal Mandar Sekilas Lintas karya Andi Syaiful Sinrang (Rewata Tio, 1994), dan buku Ensiklopedi Sejarah dan Budaya Mandar karya Suradi Yasil (2005), penjelasan yang lebih mendalam bisa ditemukan.
Misalnya asumsi yang dikemukakan oleh Andi Syaiful Sinrang. I Salarang Tomatindo di Agamana Maradia Pamboang, ayah dari Tomatindo di Puasana Maradia Mamuju, pada tahun 1608 menjalin hubungan persahabatan dengan Aji Makota Sultan Kutai VI (1545-1610), yang dibuktikan dengan adanya syair: “tenna diandi ada’na // nama’ anna’ jambatang // anna silosa // Kute anna Pamboang” (Andaikata ada jalan // akan kubuat jembatan // agar tersambung // Kutai dengan Pamboang. Dan yang paling terkenal, syair lagu “Tengga-tenggang Lopi”, yang didalamnya mensiratkan orang Mandar tidak mau makan babi yang dihidangkan bangsawan di Kutai. Kesimpulannya, Islam telah masuk di Mandar sebelum tahun 1608.
Sebagai wilayah yang mendapat pengaruh atau kekuasaan kerajaan di selatan (awalnya Kerajaan Siang untuk kemudian Kerajaan Goa), agama Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad ke-16. Penyebar Islam di Mandar yang diketahui antara lain, Syekh Abdul Mannan Tosalamaq Disalabose, Sayid Al Adiy, Abdurrahim Kamaluddin, Kapuang Jawa dan Sayid Zakariah. Belum diketahui hubungan mereka di atas dengan tiga penyebar Islam dari Minangkabau yang mengislamkan Kerajaan Luwu’ dan Kerajaan Goa, apakah sebagai kolega, sebagai guru-murid, ataukah kedatangan ulama-ulama di Mandar atas perintah kerajaan-kerajaan Islam besar, misalnya Johor, Goa, atau Ternate.
Pionir penyebar Islam di Mandar
Salah satu penyebar Islam di atas, Sayid Al Adiy, menjadikan Lambanang sebagai pusat penyebaran Islam di Mandar. Yang mana, saat ini masih bisa kita lihat situs masjid tertua di Mandar, Masjid Lambanang. Desa Lambanang terletak di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Beberapa puluh meter di atas permukaan laut, tepatnya di balik bukit “Buttu Lambanang”, yaitu perbukitan di utara Pambusuang. Arah masuk jalannya terdapat di Desa Galung Tulu ke arah kanan bila datang dari Polewali (dari kota Polewali kira-kira 40km).
Tak jauh dari masjid tersebut terdapat makam Sayid Al Adiy, yang bergelar Annangguru Ga’de. Dia keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.
Dalam Lontara Balanipa, Abdurrahim Kamaluddin atau “Tosalamaq Dibinuang” pertama kali mendarat di Galetto, Tammangalle (situs pelabuhan kuno di Mandar yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Lambanang). Bangsawan pertama yang diislamkan oleh Abdurrahim Kamaluddin adalah Kanne Cunang “Mara’dia” Pallis, kemudian Kakanna I Pattang Daetta Tommuane, Raja Balanipa ke-4. Daetta Tommuane adalah putra Todijalloq, “Mara’dia” Balanipa yang ke-3, ibunya dari Napo Balanipa. Kawin dengan sepupunya Daetta Towaine, putri Tomepayung, “Mara’dia” Balanipa yang ke-2. Naik tahta 1615. Pada masanya mulai diadakan atau dibentuk lembaga “Mara’dianna Saraq” (Raja di Bidang Syara/Agama’), disebut Kali ‘Kadi’.
Ucapannya yang sangat terkenal dalam lontar Mandar dan banyak dihafal oleh orang Balanipa: Naiyya maraqdia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na mandandang mata dimamatanna daung ayu, diamalimbonganna rura, diamadinginna litaq, diajarianna banne tau, diatepuanna agama (Adapun seorang raja, tidak dibenarkan tidur lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku tangan di waktu siang hari. Ia wajib selalu memperhatikan akan kesuburan tanah dan tanam-tanaman, berlimpah ruahnya hasil tambak dan perikanan, damai dan amannya negeri/kerajaan, berkembangbiaknya manusia/penduduk dan mantap teguhnya agama).
Beliau merupakan perintis berdirinya semacam pesantren yang disebut muking ‘mukim’ yang pertama, tempat mendidik empat puluh orang kader pemimpin agama di Kerajaan Balanipa. Tempat muking itu di Tangnga-Tangnga (sekarang dalam wilayah Desa Tangnga-Tangnga, Kec. Tinambung, Kab. Polman). Di Tangnga-Tangnga juga didirikan masjid pertama di Kerajaan Balanipa menjadi Masjid Kerajaan Balanipa.
Penyebaran Islam dan cerita gaib
Waktu ke waktu, penyebaran Islam di Mandar berkembang pesat dan cepat. Fenomena ini cukup mengherankan, sebab tidak butuh waktu lama untuk menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Mandar. Awalnya, penyebar Islam hanya menitikberatkan perhatian dalam hal pemberlakuan syariat, menekankan tata cara peribadatan dan perayaan ritual Islam yang benar, seperti penyunatan, perkawinan, dan penguburan. Dalam hal larangan mengkonsumsi daging babi dan berzina sangat dilarang, tetapi larangan lain seperti minum tuak dan opium, meminjamkan uang riba, berjudi, dan mempersembahkan sajian ke tempat keramat dan memuja benda pusaka agaknya tidak terlalu ditegakkan.
Salah satu strategi penyebaran Islam di Mandar adalah memperlihatkan dan atau menceritakan hal-hal gaib bagi orang-orang yang meragukan kemampuan penyebar Islam. Itulah sebabnya, hampir semua penyebar Islam di awal-awal penyebaran (hingga tahun 60-an) adalah orang-orang berbasis tarekat.
Misalnya kisah Syekh Al Ma’ruf, salah satu murid To Salamaq di Binuang, yang diragukan pendapatnya tentang arah kiblat di masjid yang dia bangun. Dia lalu melubangi dinding pengimaman masjid sebelah barat. Para pemrotes disilakan datang ke dinding pengimaman dan mengintip melalui lubang dinding. Semuanya melihat Ka’bah di Mekkah. Rakyat di Binuang dan sekitarnya makin bertambah hormat kepadanya. Sejak itu masyarakat memberikan gelar Saiyyeq Losa ‘Sayid Tembis’. Maksudnya, Orang yang Terhormat, yang pandangannya tembis, dapat melihat hal-hal dan benda-benda yang jauh.
Lain lagi kisah Syekh Syarif Ali, penyebar agama Islam yang datang dari Mekkah. Konon meninggalkan Mekkah bersama saudaranya, Syekh Syarif Husain melalui laut, dengan mengendarai selembar tikar sembahyangnya. Kemudinya tongkat besi panjang dua meter. Ada tujuh tongkat yang berganti-ganti dijadikan kemudi. Perjalanan ditempuh tujuh hari tujuh malam. Saat tiba di Mandar, dia memilih Lakkaqding Somba (Kec. Sendana, Kab. Majene), membangun sebuah masjid di sana dan kawin dengan Manaq. Mempunyai keturunan tiga orang anak: Syekh Haedar tinggal di Lakkading Somba, Syekh Muhammad tinggal di Luaor Pamboang, dan Syekh Ahmad yang tinggal di Salaparang.
Ulama paling terkenal di Mandar saat sekarang adalah Tosalamaq Imam Lapeo (biasa disingkat “Imam Lapeo” saja). Nama aslinya K. H. Muhammad Tahir. Dia seorang ulama sufi. Diperkirakan lahir tahun 1838 di Pambusuang (Kec. Balanipa, Kab. Polman). Di masa kanak-kanak bernama Junaihim Namli. Wafat usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah.
Ada satu kisah kekeramatan Imam Lapeo yang dipercaya kebenarannya. Suatu saat, Imam Lapeo sementara memberikan pengajian, tiba-tiba pengajian dihentikan beberapa saat. Ia keluar ke teras, menatap ke angkasa raya seraya tangannya dilambai-lambaikan. Setelah itu masuk kembali untuk melanjutkan pelajaran kepada murid-muridnya. Sebelum pengajian dilanjutkan kembali, salah seorang muridnya bertanya tentang apa yang barusan To Salamaq Imam Lapeo kerjakan. Dijawab, dia menolong sebuah perahu yang hampir tenggelam di tengah laut karena serangan badai dan amukan ombak besar. Beberapa hari kemudian, seorang tamu dari Bugis datang ke rumah To Salamaq Imam Lapeo mengucapkan terima kasih. Menurut pengakuannya, perahunya hampir tenggelam beberapa hari yang lalu di sekitar pulau-pulau Pangkajene. Yang menolongnya adalah K.H. Muhammad Tahir To Salamaq Imam Lapeo yang tiba-tiba dilihatnya datang berdiri di bagian kepala perahunya. Seketika itu juga ombak menjadi tenang, dan badai pun reda.
Terakhir, ulama penyebar Islam yang diyakini ke-karamah-annya adalah K. H. Muhammad Saleh. Dikenal sebagai salah seorang pionir ulama yang membawa, mengajarkan, dan
mengembangkan Tarekat Qadiriyah di Mandar. Beliau lahir pada tahun 1913 di Pambusuang. Usia 15 tahun menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu tarekat. Sewaktu bekerja di Mamuju, tepatnya di saat membaca khutbah di salah satu masjid di Tappalang, K. H. Muhammad Saleh dikirimi ilmu hitam. Namun berkat kekaramahannya, ilmu sihir yang berwujud cahaya bola api tidak mengenai dirinya. Belakangan, penyihir yang melakukannya meminta maaf. Masih di Tappalang, juga pernah K. H. Muhammad Saleh hendak diracun dengan ilmu hitam. Nasi yang dihidangkan kepadanya berubah wujud menjadi ulat dan ular. Tapi itu tak mempan untuk mencelakai dirinya.
Ditilik dari sejarah pengaruh agama-agama samawi yang masuk ke Sulawesi Barat, tampaknya agama Kristen lebih dulu daripada agama Islam. Agama Kristen dibawa oleh orang-orang Portugis (belakangan Belanda, Jerman dan beberapa negara Eropa), sedangkan agama Islam oleh orang Arab, Melayu, dan Jawa. Oleh banyak faktor, khususnya pemahaman terhadap budaya setempat, pengaruh Kristen tidak begitu mendalam (sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Utara).
Strategi Islamisasi oleh penyebar Islam menjadikan kaum bangsawan sebagai kelompok yang harus pertama kali diislamkan yang pada gilirannya memudahkan mengajak rakyatnya memeluk Islam. Strategi lain adalah ajaran Islam tidak secara frontal diterapkan, khususnya dalam beberapa praktek ritual. Peninggalan animisme yang masih bisa ditolerir disesuaikan dengan praktek Islam. Ini menjadikan kaum pribumi bisa menerima dengan baik. Belum lagi penggunaan ilmu gaib untuk membuktikan kekuatan seorang penyebar Islam.
Karamah Imam LapeoPeran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan karamah kesufian yang ada pada dirinya. Karamah berupa keluarbiasaan yang dimiliki oleh Imam Lapeo. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan beberapa karamah yang dimilikinya.1
Tangannya Kebal terhadap Api
Diceritakan bahwa selama belajar di hadapan Sayyid Alwi al-Maliki, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta terhadap gurunya dalam berbagai perjalanan.
Saat sang guru Sayyid Alwi al-Maliki bersama muridnya Imam Lapeo melakukan perjalanan antara Mekkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka singgah isterahat dan berkemah di jalanan. Ketika itu, Imam Lapeo didapati oleh gurunya mengisap rokok. Sang Guru langsung mengambil rokok tersebut dari tangannya, dan rokok yang sementara terbakar itu ditekankan ke telapak tangan muridnya. Dalam keadaan demikian, Imam Lapeo tidak merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya sampai semuanya selesai.
Menaklukkan Gumpalan Sinar Api
Pengalaman pertama Imam Lapeo ketika baru saja berada di Mandar, adalah penduduk setempat mencoba mengujinya, melalukan semacam permainan berbahaya. Waktu itu, Imam Lapeo sedang khutbah di atas mimbar mimbar pada hari Jumat, dan bersamaan dengan itu pula muncul suatu gumpalan api yang sangat tajam cahanya.
Gumpalan api yang pada mulanya laksana sebutir telur yang sinarnya sangat tajam itu, tiba-tiba menjadi besar dan bergerak dari depan dengan kencangnya menuju ke hadapan Imam Lapeo. Pada saat menentukan, dan sejengkal lagi gumpalan api itu mengenai mukanya, Imam Lapeo hanya bergerak dengan isyarat matanya, dan akhirnya gumpalan api itu menyingkir dari hadapannya, seterusnya mengenai tembok di belakang mimbar, dan hancurlah tembok mesjid tersebut berantakan rata dengan tanah.
Menundukkan Ular
Suatu saat Imam Lapeo diundang mengahadiri pesta walimah di Tapalang daerah Mamuju. Ketika resepsi makan dimulai, tiba-tiba muncul ular-ular dipiringnya yang ingin digunakannya untuk makan. Ular-ular tersebut, tiada lain dari orang tertentu yang konon kabarnya ingin mempermalukan Imam Lapeo di tengah pesta.
Imam Lapeo sebagai ulama sufi yang tawadhu’, hanya menyaksikan ular-ular itu meliuk-liukkan badannya, sampai akhirnya jumlah ular bertambah banyak dan meloncat-loncat. Walhasil, hanya dengan mengancam ular-ular itu dengan memberi isyarat, maka dengan seketika ular-ular tadi hilang dengan sendirinya.
Kuburannya Banyak Diziarahi Orang
Ada suatu kaedah dalam kewalian dan kesufian yang menyatakan bahwa seorang waliyullah apabila nampak karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya, maka akan nampak pula keramat pada waktu sesudah matinya.2 Seorang sufi, apabila dikunjungi orang pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak orang sesudahnya matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo dimana kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat-saat sebelum pem-berangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah.