PERILAKU ETNIS PAPUA MENGENAI PENYAKIT MALARIA DI...
Transcript of PERILAKU ETNIS PAPUA MENGENAI PENYAKIT MALARIA DI...
1
PERILAKU ETNIS PAPUA MENGENAI PENYAKIT MALARIA
DI KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA
THE BEHAVIOR OF PAPUA ETHNICS ON MALARIA
IN NABIRE REGENCY IN PAPUA PROVINCE
E S T E R
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
2
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : ESTER
Nomor Pokok : P1805211002
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi
perbuatan tersebut.
Makassar, Juli 2013
Yang menyatakan
ESTER
3
PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmat dan anugrahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis
ini.
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari
pengamatan penulis terhadap situasi malaria di kabupaten Nabire yang
hingga saat ini belum tertanggulangi dengan baik terutama pada
masyarakat etnis Papua. Penulis bermaksud menyumbangkan beberapa
konsep pemikiran yang kiranya dapat membantu dalam menyelesaikan
masalah yang ada tentang penyakit malaria sehingga masyarakat
khususnya etnis Papua dapat terbebas dari masalah tersebut.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka penyusunan
tesis ini, yang berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada
waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan
terima kasih kepada Prof.Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH., selaku dekan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Terima kasih tak
terhingga kepada Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc., sebagai ketua komisi
penasihat dan dr. Hasanuddin Ishak, Msc., Ph.D., selaku anggota komisi
penasihat atas bimbingan dan arahan sejak awal hingga tersusunnya tesis
ini. Terima kasih juga Penulis sampaikan kepada Sudirman Natsir, S.Ked.,
MWH., Ph.D., dan Prof. Dr. Drg. H. A. Arsunan Arsin, M.Kes serta Prof.
4
Dr. Hj. Asiah Hamzah, dra, MA., selaku penguji yg telah memberikan
perhatian, bimbingan dan bantuan berupa pemikiran yang tak terduga
dalam proses penyelesaian penelitian penulis. Terima kasih juga Penulis
sampaikan kepada Ketua Program studi Keperawatan Nabire yang telah
memberikan bantuan pemikiran dan meteril serta kepala Bappeda kab
Nabire dan kepala Dinkes Nabire yang telah banyak membantu dalam
rangka pengumpulan data dan informasi..
Suami tercinta Kondo Korani, S.Si., M.Si., dan anak-anakku Rae
Thesalonika Kondo dan Esra Rieman Kondo, yang senantiasa penuh
kasih dan kesabaran memberikan dorongan moril dan materil yang sangat
besar dalam menyelesaikan pendidikan ini. Terimakasih yg tidak terhingga
penulis juga sampaikan kepada kedua orang tua, mertua, dan saudara-
saudaraku yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil
selama menjalani pendidikan. Dan yang terakhir ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah
banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar, Juli 2013
Penulis
5
ABSTRAK
ESTER. Perilaku Etnis papua Mengenai Penyakit Malaria di Kabupaten
Nabire Provinsi Papua Tahun 2013 (dibimbing oleh Ridwan M. Thaha dan
Hasanuddin Ishak).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku etnis Papua
mengenai penyakit Malaria di Kabupaten Nabire. Jenis penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologis, Pengumpulan informasi dilakukan
melalui Wawancara Mendalam dan Observasi Partisipasi Pasif.
Penentuan informan dalam penelitian dilakukan dengan metode
Purpossive sampling. Informan penelitian sebanyak 18 orang terdiri
penderita malaria, tokoh Masyarakat dan petugas kesehatan.
Hasil penelitian: Pemikiran dan perasaan etnis Papua mengenai malaria
sesuai kepercayaan dan pengalaman, menurut informan malaria
disebabkan lingkungan tidak bersih, bermain diluar rumah, cuaca panas,
sering diluar rumah dan tetap bekerja. Referensi etnis papua dalam
pencegahan dan pengobatan malaria dilakukan sesuai petunjuk keluarga,
sedangkan Kepala suku tidak karena pemahaman sehat sakit masyarakat
bukan urusan mereka. Sumber daya dalam penanggulangan malaria
terkendala kurangnya sarana seperti laboratorium serta tenaga
kesehatan yang terbatas, aksesibilitas sarana kesehatan terjangkau tetapi
keterbatasan finansial menghambat pengobatan malaria. Sosial budaya
etnis Papua mengenai malaria lebih ke pengobatan (daun Pepaya, kulit
kayu susu), sementara pencegahan nyaris tidak dilakukan, kebiasaan
berada diluar rumah malam hari beresiko terkena malaria.
Perlu memaksimalkan peran petugas promosi kesehatan dalam
memberikan pemahaman yang benar melalui media dan saluran informasi
sesuai pendidikan dan sosial budaya etnis Papua agar pemahaman
masyarakat lebih baik.
Kata kunci: Perilaku, Etnis Papua, Malaria
6
ABSTRACT
ESTER. The behavior of Papua Ethnics on Malaria in Nabire Regency in
Papua Province in 2013 (Supervised by Ridwan M. Taha and Hasanuddin
Ishak).
Malaria is an infectious disease caused by the parasite Plasmodium genus
which is transmitted by the Anopheles mosquito, the data Nabire district
health office in 2010 there were 22 972 cases (AMI: 176.9 / 00), Year
2011 found 22 331 cases (AMI: 168.7 / 00) this situation puts Nabire in
malaria stratification at the level of "High" with AMI> 50 cases per 1,000
population.
This study aims to describe the behavior of ethnic Papuans Malaria in
Nabire. Qualitative research with a phenomenological approach, gathering
information carried through in-depth interviews and observations Passive
Participation. Determination of the informants in the study conducted by
purposive sampling method. Research informants about 18 people made
up of malaria patients, community leaders and health workers.
The results: Thoughts and feelings of ethnic Papuans regarding
appropriate malaria confidence and experience, according to informants of
malaria caused by the environment is not clean, play outdoors, the hot
weather, often outside the home and keep working. Papua ethnic
references in the prevention and treatment of malaria do as directed
family, while the chiefs do not have a healthy understanding of the pain of
no concern to them. Resources in the prevention of malaria plagued the
lack of facilities such as laboratories and medical personnel are limited,
the accessibility of affordable health facilities but financial constraints
hamper the treatment of malaria. Socio-cultural ethnic Papuans more
about malaria to treatment (papaya leaves, “kayu susu”), while almost no
prevention, habits are outside the house the night at risk of malaria.
Need to maximize the role of health promotion officers in providing a true
understanding through media and information channels corresponding
ethnic and socio-cultural educational Papua to a better understanding of
the community.
Keywords: Behavior, Ethnic Papua, Malaria
7
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ...................................... iii
PRAKATA ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................... vii
DAFTAR TABEL........................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................... 12
C. Tujuan Penelitian ........................................................ 12
D. Manfaat Penelitian ..................................................... 13
8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Malaria ................................... 15
B. Tinjauan Umum tentang Perilaku Kesehatan .............. 29
C. Tinjauan Umum tentang Sosial Budaya Etnis Papua .. 34
D. Kerangka Konseptual................................................... 38
E. Kerangka Pikir ............................................................. 40
F. Defenisi Konseptual..................................................... 41
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ......................................................... 47
B. Gambaran umum lokasi penelitian ........................... 48
C. Informan Penelitian ................................................... 50
D. Teknik Pengumpulan Data ......................................... 51
E. Instrumen Penelitian .................................................. 53
F. Teknik Pengolahan Data/informasi ............................ 54
G. Teknik Analisis dan Penyajian data ........................... 55
H. Tehnik Uji Keabsahan Data ........................................ 56
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian ............................................................... 58
B. Pembahasan .................................................................. 103
C. Keterbatasan Peneliti... ................................................. 123
9
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................... 124
B. Saran ............................................................................ 125
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
10
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Masa inkubasi penyakit malaria................................................... 19
2. Matriks metode pengumpulan data............................................. 53
3. Karakteristik informan Penelitian ................................................ 59
11
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Siklus Hidup Plasmodium ........................................................ 16
2. Wilayah Endemis Malaria di Indonesia Tahun 2011................. 18
12
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel Sintesa Jurnal Hasil Penelitian
2. Pedoman Wawancara
3. Matriks Analisa Data
4. Surat Ijin Penelitian
5. Dokumentasi Penelitian
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Parasit
Genus Plasmodium terdiri dari 4 spesies yaitu Plasmodium vivax,
Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan plasmodium ovale.
Penularan malaria melalui nyamuk anopheles yang telah terinfeksi parasit
malaria. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil,
anemia dan ikterus (Harijanto, 2009). Hingga saat ini malaria masih
menjadi masalah kesehatan yang utama di Indonesia. Penyakit malaria
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada angka kesakitan dan
kematian bayi, anak balita dan ibu hamil serta dapat menyebabkan
penurunan produktivitas kerja.
Prevalensi malaria di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2010 diperoleh dalam bentuk point prevalence.
Point prevalence menunjukan proporsi orang di populasi yang terkena
penyakit pada waktu tertentu. Data malaria dikumpulkan dengan dua cara
yaitu wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan pemeriksaan
darah menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/RDT). Besarnya
sampel untuk pemeriksaan RDT yang merupakan subsampel dari sampel
Kesehatan masyarakat adalah sejumlah 75.192 dan yang dapat dianalisis
adalah 72.105 (95,9%).
14
Dari hasil Riskesdas diperoleh point prevalence malaria adalah
0,6%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi malaria secara
keseluruhan dalam satu tahun karena setiap wilayah dapat mempunyai
masa-masa puncak (pola epidemiologi) kasus yang berbeda-beda.
Spesies parasit malaria yang paling banyak ditemukan adalah
Plasmodium falciparum (86,4%) sedangkan sisanya adalah Plasmodium
vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun data
sebaran parasit per wilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat
diketahui jenis parasit yang dominan per suatu wilayah (Kemenkes RI,
2011).
Menurut karakteristik umur, point prevalence paling tinggi adalah
pada umur 5-9 tahun (0,9%), kemudian pada kelompok umur 1-4 tahun
(0,8%) dan paling rendah pada umur <1 tahun (0,3%). Sedangkan
menurut period prevalence, prevalensi paling tinggi adalah pada kelompok
umur >15 tahun (10,8%), nomor dua paling tinggi pada kelompok umur 1-
4 tahun (10,7%) dan paling rendah tetap pada umur <1 tahun (8,2%). Dari
data diatas tampak kecenderungan kelompok yang berisiko tinggi terkena
malaria bergeser dari usia >15 tahun ke usia 1-4 tahun. Oleh karena itu
perlu intervensi pencegahan malaria pada usia 1-4 tahun, memperkuat
promosi anak dibawah lima tahun tidur dibawah kelambu berinsektisida
serta menyediakan obat malaria yang sesuai dengan umur balita
(Kemenkes RI, 2011).
15
Propinsi Papua merupakan salah satu wilayah yang endemis
Malaria, pada tahun 2010 dilaporkan kasus malaria sebanyak 142.238
kasus (API: 64 per 1000), mengalami peningkatan tahun 2011 sebanyak
129.550 kasus (API: 63 per 1.000). Meskipun laporan tersebut belum
menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena under reporting
namun telah menunjukkan bahwa situasi malaria sungguh menjadi
ancaman serius bagi kesehatan masyarakat (Dinkes Provinsi Papua,
2012).
Kabupaten Nabire dengan kondisi iklimnya yang tidak jauh berbeda
dengan wilayah lainnya di Papua, memiliki iklim tropis yang dipengaruhi
oleh musim hujan dan musim kemarau. Rata-rata curah hujan setiap bulan
383,1 mm3, dengan banyak hari hujan setiap bulan berkisar antara 14-23
hari. suhu udara berkisar antara 26,80C hingga 28,20C. kelembaban udara
di kabuaten Nabire cukup tinggi, yaitu antara 78%-83%, tekanan udara
1.002,3-1.008,0 mb, sedangkan rata-rata kecepatan angin antara 3,5-
4,4% (BPS Kab. Nabire, 2012). Kondisi seperti ini memungkinkan tempat
perindukan nyamuk yang ideal.
Ditemukan pula data di Kabupaten Nabire sesuai dengan Laporan
Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire Tahun 2009 kasus malaria
klinis sebanyak 21.478 kasus (AMI:202,4 per 1000) dan pada tahun 2010
terdapat 22.972 kasus (AMI:176,9 per 1000 ), Tahun 2011 ditemukan
22.331 kasus (AMI: 168,7 per 1000) (Dinkes Kabupaten Nabire, 2012).
Keadaan inilah yang menempatkan daerah Kabupaten Nabire dalam
16
stratifikasi malaria berada pada level “High” dengan AMI >50 kasus per
1.000 penduduk (Harijanto, 2008).
Kondisi ini tentu menjadi salah satu penentu keberhasilan
pencapaian MDG’s yaitu malaria yang harus dicapai Indonesia termasuk
Papua yaitu pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus
malaria menjadi 1 per 1000 penduduk pada tahun 2015. Berdasarkan hal
tersebut, diperlukan upaya yang sangat besar dalam pelaksanaan
program bagi pencapaian target tersebut.
Penanggulangan malaria perlu dilakukan secara komprehensif
dengan upaya promotif, preventif, dan kuratif. Hal ini bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah KLB. Untuk
mencapai hasil yang optimal upaya preventif dan kuratif tersebut harus
dilakukan dengan berkualitas dan terintegrasi dengan program lainnya.
Pada tanggal 25 April 2007 dalam satu sidang World Health
Assemby, seluruh negara anggota WHO menyatakan komitmennya untuk
memberantas malaria sampai titik eliminasi. Oleh karena itu, tanggal
tersebutlah dijadikan tonggak sejarah dan dijadikan tanggal peringatan
Hari Malaria Sedunia. Indonesia sebagai negara anggota WHO telah
melaksanakan komitmen tersebut dengan memperingati Hari Malaria
Sedunia yang dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 6 Mei di Jakarta
dengan tema Indonesia Bebas Malaria dan Bersama Kita Berantas
Malaria (Depkes, 2009).
17
Oleh karena itu untuk mengurangi kasus malaria, pemerintah
membuat rencana pengendalian sejak tahun 2008, yang meliputi kegiatan
sosialisasi dan peningkatan kualitas pengobatan obat anti malaria dengan
ACT (Artemisinin Combination Therapy) diseluruh Indonesia, peningkatan
pemeriksaan laboratorium /mikroskop, dan penemuan pengobatan dan
pencegahan penularan malaria. Selain itu, dilakukan peningkatan
perlindungan penduduk berisiko dan pencegahan penularan malaria
khususnya melalui kegiatan pembagian kelambu berinsektisida (Long
Lasting Insectisidal Net) gratis ke daerah endemis malaria tinggi yang
masih dibantu oleh Global Fund (Depkes RI, 2008).
Disamping itu pula pemerintah melaksanakan upaya yang lebih lagi
dengan penanggulangan penyakit malaria yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dalam hal ini dinas kesehatan, seperti Gebrak malaria
yang merupakan wujud dari pelaksanaan Roll Back Malaria di Indonesia
dan merupakan gerakan nasional untuk mendukung pemberantasan
malaria melalui kemitraan seluruh komponen masyarakat (Pemerintah,
dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan badan-badan
Internasional serta penyandang dana). Pemerintah Daerah diharapkan
dapat meningkatkan anggaran Program malaria, untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat malaria 50% pada tahun 2010, menuju
eliminasi malaria di Papua tahun 2030.
Eliminasi malaria sendiri dicanangkan penerintah dimana
ditargetkan bahwa secara bertahap pada tahun 2030 diharapkan seluruh
18
wilayah di papua sudah mencapai tahap eliminasi malaria. Pelaksanaan
eliminasi didukung dengan pelaksanaan 5 pilar kebijakan utama, yaitu (1)
stop malaria klinis ganti dengan malaria konfirmasi laboratorium, (2) stop
mono terapi (terapi kloroquin) ganti dengan ACT, (3) cegah malaria
dengan kelambu berinsektisida (4) tingkatkan koordinasi dan peran
seluruh institusi yang ada di Papua, dan (5) libatkan keikutsertaan
masyarakat.
Dari upaya-upaya yang telah dilakukan belum memberikan hasil
yang optimal bagi penurunan jumlah kasus malaria. Kasusnya masih saja
tinggi, terutama di daerah-daerah endemik yang sulit diintervensi karena
berbagai permasalahan yang ada. Tingginya kasus malaria di daerah
endemik tentunya dipengaruhi oleh berbagai hal. Berbagai penyebab
tingginya kasus penyakit ini dikaji melalui jurnal antara lain adalah
pengetahuan.
Salah satu indikator yang mengkategorikan suatu daerah termasuk
maju, berkembang atau terbelakang adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human
Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan
hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua Negara di
seluruh dunia. IPM juga mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi
terhadap kualitas hidup. Papua sendiri merupakan provinsi di Indonesia
dengan IPM paling rendah yaitu 65,36 pada tahun 2011, meskipun data
19
kabupaten Nabire yaitu 66,85 tahun 2011 tetapi angka tersebut masih
kurang dibandingkan daerah lain di Indonesia (BPS Kab. Nabire, 2012).
Kurangnya pengetahuan yang merupakan salah satu faktor resiko
malaria, didukung oleh penelitian yang dilakukan James Obol dan kawan-
kawan tahun 2011 mendapatkan bahwa meskipun 85% responden pernah
mendengar tentang malaria di Uganda, namun mayoritas responden
memiliki kesalahpahaman tentang penyebab malaria bahkan beberapa
mengatakan tentang modus transmisi malaria karena makanan dingin,
bermain hujan, cuaca dingin, dan karena makan mangga.
Penelitian oleh A.B Joshi dan M.R. Banjara (2010) di Nepal
didapatkan data 40% responden buta aksara. 86% responden telah
mendengar tentang malaria tetapi hanya 50% menanggapi demam
disertai menggigil sebagai tanda dan gejala malaria. 73% menjawab
bahwa gigitan nyamuk menyebabkan transmisi malaria dan 74%
responden menganggap bahwa malaria adalah penyakit fatal, tetapi
sangat sedikit memiliki pengetahuan bahwa pengobatan malaria
secepatnya dapat menghindari kematian. Lebih dari 50% tidak memiliki
informasi tentang ketersediaan perawatan gratis malaria di Nepal. Masih
16% ditemukan mencari pengobatan tradisional. Kebiasaan tidur luar
ditemukan di hampir seperempat dari penduduk terutama di musim panas
menunjukkan tidak ada pengetahuan tentang pencegahan malaria.
Meskipun praktek penggunaan kelambu lebih tinggi, hanya 4% memiliki
pengetahuan tentang kelambu berinsektisida.
20
Hasil penelitian Hotnida Sitorus dan Labudi P. Ambarita di
Kabupaten Musi Banyuasin (2010) juga memperlihatkan bahwa
Pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang Malaria di desa pagar
Desa masih kurang baik. Perilaku untuk menghindarkan diri dari kontak
dengan nyamuk penularan malaria malam hari sangat kurang terutama
pada saat kegiatan di luar rumah sehingga berisiko untuk tertular penyakit
malaria. Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yohanis
Ganti dan kawan-kawan (2006) di Sumba Barat bahwa Pengetahuan,
tindakan dan persepsi tentang lingkungan sosial budaya, biologik dan fisik
memiliki hubungan dengan kejadian malaria.
Oleh karena itu upaya yang dilakukan dalam penanggulangan
penyakit malaria ini dikaji oleh Abdulelah H Al-Adhroey, dkk. (2010) di
Malaysia menemukan bahwa memberikan pendidikan kesehatan yang
efisien kepada orang-orang yang tinggal di daerah endemis malaria akan
meningkatkan pemahaman mereka tentang pencegahan malaria dalam
upaya eliminasi malaria.
Masyarakat etnis Papua masih sangat terikat pada adat-istiadat
mereka yang telah ada sejak nenek moyang mereka, termasuk
didalamnya ketaatan mereka terhadap para pemimpin mereka dalam hal
ini kepala suku/tetua adat. Karena itu semua aktifitas kehidupan termasuk
larangan-larangan, aturan-aturan yang ada semuanya dilakukan sesuai
dengan petunjuk ketua adat yang jika tidak ditaati menurut keyakinan
mereka maka akan mengakibatkan malapetaka bahkan bisa berakibat
21
kematian (Rumansara, 2003). Sistem kemasyarakatan seperti ini dapat
dijadikan salah satu alternatif dalam menggalang partisipasi masyarakat
dalam upaya penanggulangan malaria seperti hasil penelitian Pamuji
Raharjo (2011) di Kabupaten Kulon, Bahwa keberhasilan program
Pananggulangan malaria didukung oleh tokoh masyarakat yang memiliki
peranan strategis di masyarakat sebagai legitimator, sumber informasi,
penasehat dan motivator.
Kendala yang juga dihadapi dalam penanggulangan malaria adalah
sarana transportasi dan komunikasi yang sulit serta akses pelayanan
kesehatan yang tidak memadai serta sosial ekonomi yang rendah. Di
Kabupaten Nabire Keluarga Pra sejahtara tahun 2010 sebanyak 8.150
kepala keluarga (BPS Kab. Nabire, 2010). Hal ini senada dengan
penelitian Helper S.P. Manalu dkk (2008), bahwa tingkat pendapatan
berpengaruh terhadap kejadian malaria, sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ikrayama Babba dkk (2007) mengatakan bahwa orang
dengan penghasilan <Rp. 1.000.000/bulan akan beresiko untuk terkena
malaria. Penghasilan yang rendah berpengaruh terhadap kebutuhan
hidup, termasuk kebutuhan kesehatan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan konsumsi makanan yang bergizi.
Akses informasi juga merupakan salah satu hal yang akan
mempengaruhi penanggulangan panyakit malaria. Hasil penelitian Anna
Tynan, dkk (2011) mengungkapkan bahwa di Vanuatu, Malaria dianggap
sebagai kondisi serius setelah kemerdekaan tahun 1980, demam yang
22
parah serta gejala lainnya memicu diagnosis malaria oleh individu
sehingga penggunaan pengobatan tradisional menjadi hal yang
biasa/umum: pengalaman pasien akibat penyakit malaria adalah dalam
hal akses ke perawatan kesehatan dan keterlambatan dalam pemberian
pelayanan yang diakibatkan oleh ketersediaan tenaga kesehatan dan
infrastruktur yang sangat terbatas.
Disamping itu hal lain yang juga sangat penting dalam upaya
penanggulangan penyakit malaria adalah budaya. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaruh budaya sangat erat kaitannya
dengan upaya penanggulangan penyakit malaria. diantaranya adalah hasil
penelitian Ningsi,dkk (2010) di Sulawesi Tengah memperlihatkan bahwa
Kepercayaan masyarakat mengenai penyebab malaria, cara pengobatan
dan cara pencegahan malaria masih sangat kuat memegang adat-istiadat
dalam hal penyembuhan dan mempersepsikan suatu penyakit.
Di Papua sendiri terdapat berbagai suku bangsa dengan ragam
kebiasaan dan perilaku, yang merupakan faktor berpengaruh dalam
menunjang keberhasilan partisipasi masyarakat dalam program
pengendalian malaria. Penduduk Papua berasal dari bermacam-macam
suku yang dipimpin oleh kepala suku. Masyarakat setempat umumnya
hidup berkelompok dengan mata pencarian nelayan, bertani dan berburu,
hingga saat ini masih ditemukan gaya hidup nomaden pada masyarakat
primitif.
23
Tingkat pengetahuan dan cara berpikir masyarakat yang sangat
terbatas, begitu juga dengan sarana dan prasarana yang kurang ditambah
lagi dengan ikatan adat istiadat membuat masyarakat sulit berkembang
dalam waktu singkat. Karena itu masyarakat Papua masih hidup dibawah
garis kemiskinan dan keterbelakangan, yang berdampak pada timbulnya
berbagai masalah kesehatan yang cukup kompleks seperti tingginya
angka kematian ibu dan bayi, prevalensi TBC, Malaria, Filaria, Frambusia,
kusta yang tinggi, serta masalah-masalah lainnya yang mengancam
kelangsungan hidup masyarakat di Papua, termasuk HIV-AIDS yang
menjadi KLB akhir-akhir ini (Dumatubun, 2002).
Keadaan ini diperburuk oleh kebiasaan masyarakat etnis Papua
yang berada dihutan berminggu-minggu untuk mencari makanan, yaitu
memangkur pohon sagu, mencari kerang, ikan dan bahan makanan
lainnya; tidak menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh
terutama pada anak-anak, serta kebiasaan berada di luar rumah pada
malam hari (Ricard Mirino, 2009), begitu pula hasil penelitian oleh
Kurniawan,2008 yang menyatakan bahwa salah satu faktor resiko malaria
di Kabupaten Asmat, Papua adalah kebiasaan tidak memakai kelambu
saat tidur pada malam hari. Situasi dan keadaan inilah yang
mengakibatkan malaria hingga saat ini masih sulit untuk diatasi dengan
baik. Hal ini pula yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian
yang berjudul “Perilaku Etnis Papua Mengenai Penyakit Malaria Di
Kabupaten Nabire”
24
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pemikiran dan perasaan mengenai penyakit malaria
pada etnis Papua di Kabupaten Nabire ?
2. Bagaimana acuan atau referensi seseorang mengenai penyakit
malaria pada etnis papua di Kabupaten Nabire?
3. Bagaimana ketersediaan sumber daya mengenai penyakit malaria
pada etnis papua di Kabupaten Nabire?
4. Bagaimana sosio budaya mengenai penyakit malaria pada etnis
papua di Kabupaten Nabire?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran perilaku etnis papua mengenai penyakit
malaria di Kabupaten Nabire.
b. Tujuan Khusus
1. Mendapatkan informasi tentang pemikiran dan perasaan etnis
papua mengenai penyakit malaria di Kabupaten Nabire
25
2. Mendapatkan informasi tentang acuan atau referensi seseorang
pada etnis papua mengenai penyakit malaria di Kabupaten
Nabire
3. Mendapatkan informasi tentang ketersediaan sumber daya pada
etnis papua mengenai penyakit malaria di Kabupaten Nabire
4. Mendapatkan informasi tentang sosio budaya pada etnis papua
mengenai penyakit malaria di Kabupaten Nabire
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini dharapkan menjadi salah satu informasi bagi para
ilmuwan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dimasa yang akan
datang.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi instansi
terkait khususnya Dinas Kesehatan Propinsi Papua dan Kabupaten
Nabire dalam upaya mendukung penanggulangan penyakit malaria.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam
mengembangkan pengetahuan tentang upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit malaria.
26
4. Manfaat Bagi Masyarakat
Dengan adanya penelitian ini dapat membantu masyarakat khususnya
etnis Papua dalam memahami perilaku yang menyebabkan terjadinya
penyakit malaria sehingga mudah untuk dicegah. Selain itu sebagai
informasi tambahan dalam menambah pengetahuan masyarakat
khusunya etnis Papua dalam menanggulangi terjadinya penyakit
malaria.
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Malaria
1. Definisi
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa
obligat intraseluler dari genus plasmodium, penyakit ini secara alami
ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. penyakit malaria ini
dapat menyerang siapa saja terutama penduduk yang tinggal di
daerah dimana tempat tersebut merupakan tempat yang sesuai
dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang (Arsin, A. Arsunan,
2012).
2. Parasitologi
a. Etiologi
Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu
protozoa dari genus Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia
dikenal 4 jenis spesies plasmodium penyebab malaria pada
manusia (Depkes, 2008), yaitu :
1) Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering
menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan
kematian).
2) Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3) Plasmodium malariae, penyebab malaria quartana
28
4) Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini
jarang dijumpai.
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia
adalah P. falciparum dan P.vivax, sedangkan P. malariae
ditemukan di beberapa propinsi antara lain : Lampung, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua. Sedangkan P. ovale pernah juga di
temukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
b. Siklus Hidup
1) Siklus pada Manusia
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah
manusia, sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan
masuk kedalam peredaran darah manusia selama lebih kurang ½
jam. Setelah itu sporozoit akan masuk kedalam sel hati dan
menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati
yang terdiri dari 10.000-30.000 merozoit hati (tergantung
spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang
berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada P.vivax dan P.
ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi
skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut
hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati
selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat,
bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat
menimbulkan relaps (kambuh).
29
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan
masuk ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah.
Didalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari
stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung
spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini di sebut
skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan
merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.
Siklus ini disebut siklus eritrositer (Kurniawan, 2008).
Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang
menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual
(gametosit jantan dan betina ) lihat gambar 1.
2) Siklus pada Nyamuk Anopheles Betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah
penderita yang mengandung gametosit, didalam tubuh nyamuk,
gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot.
Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding
lambung nyamuk.
30
Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium (Depkes, 2008)
Pada dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi
ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit bersifat
infektif dan siap ditularkan kembali ke manusia. Dalam kaitan
dengan siklus hidup plasmodium ini, kita mengenal istilah Masa
inkubasi yaitu rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai
timbulnya gejala, klinis yang ditandai dengan demam. Masa
inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium (lihat Tabel 1).
31
Tabel 1. Masa Inkubasi penyakit Malaria (Depkes, 2008)
Plasmodium Masa Inkubasi (hari)
P. Falciparum 9 – 12 (12)
P. Vivax 12 – 17 (15)
P. Ovale 16 – 18 (17)
P. Malariae 18 – 40 (28)
Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk
sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan
mikroskopik.
3. Epidemiologi
Malaria ditemukan di daerah-daerah, mulai dari 640 lintang utara
(Arch angel, Uni Soviet dahulu) sampai 320 lintang selatan (Cordoba,
Argentina), didaerah 400m bawah permukaan laut (laut Mati), dan
2600m diatas permukaan laut Cochabamba (Bolivia). Diantara batas
lintang dan ketinggian ini, ada daerah-daerah yang bebas malaria,
tergantung dari keadaan dan lingkungannya. Malaria merupakan
penyakit tropis yang endemis. Di Indonesia malaria ditemukan
tersebar luas disemua pulau dengan derajat dan berat infeksi yang
berbeda-beda (Syarif, 2011).
32
Gambar 2. Wilayah Endemis Malaria di Indonesia Tahun
2011 (Kemenkes, 2011)
Penularan malaria tergantung dari adanya tiga faktor utama
yang merupakan dasar epidemiologinya, yaitu : hospes (manusia),
parasit (Plasmodium), dan lingkungan ( fisik, biologis, kimia dan sosial
ekonomi).
Keadaan malaria diberbagai daerah endemis tidak sama.
Derajat endemisitas dapat diukur dengan berbagai cara, seperti angka
limpa (spleen rate), angka parasit (parasite rate), dan angka sporozoit
(sporozoite rate), yang disebut dengan malariometri. Angka limpa
adalah prosentase orang dengan pembesaran limpa pada penduduk
daerah endemis yang diperiksa. Pemeriksaan pembesaran limpa
dilakukan dengan cara Hackett. Daerah disebut hipo endemis bila
angka limpa dibawah 10% pada anak yang berumur 2-9 tahun; meso
33
endemis bila antara 10-50%; hiper endemis bila diatas 50% dan holo
endemis bila melebihi 75%.
Angka parasit ditentukan dengan persentase orang yang
sediaan darahnya positif pada saat tertentu, sedang slide positivity
rate (SPR) adalah persentase sediaan darah yang positif dalam
periode kegiatan penemuan kasus (active case detection). Annual
Parasite Index (API) adalah jumlah sedian darah positif dibandingkan
dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa per tahun dalam permil
(0/00). Berat ringannya infeksi malaria pada suatu masyarakat diukur
dengan densitas parasit (parasite density), yaitu jumlah rata-rata
parasit dalam sediaan darah positif. Sedangkan berat ringannya
infeksi malaria pada seseorang diukur dengan hitung parasit (parasite
count) yaitu jumlah parasit dalam 1 ml darah (Depkes, 2008).
4. Gambaran Klinis Malaria
a. Gejala Malaria
Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya
serangan demam yang intermiten, anemia sekunder dan
splenomegali. Gejala didahului oleh keluhan prodromal berupa,
malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual,
diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung.
Keluhan ini sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan
P.falciparum dan P.malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan
gejala dapat mendadak (Syarif, 2011).
34
Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizon
matang (sporolasi). Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P. Ovale),
pematangan schizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya
setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana (P. Malariae)
pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari.
Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas 3 (tiga) stadium yang
berurutan, yaitu (Depkes, 2005) :
1) Stadium dingin (Cold stage)
Penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat,
nadi cepat dan lemah, sianosis, kulit kering, pucat, kadang
muntah. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam
diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2) Stadium demam (Hot stage)
Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi
cepat dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau
lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran
delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama
dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih.
3) Stadium berkeringat (Sweating stage)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Hal ini
berlangsung 2-4 jam. Meskipun demikian, pada dasarnya
gejala tersebut tidak dapat dijadikan rujukan mutlak, karena
35
dalam kenyataannya gejala sangat bervariasi antar manusia
dan antar Plasmodium.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi
malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik
terutama pada anak-anak dan ibu hamil. Derajat anemia tergantung
pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena
P.falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang
berlebihan. eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival
time) dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi
eritropoesis dalam sumsum tulang (Kurniawan, 2008).
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan
gejala khas malaria kronik. Limpa merupakan organ penting dalam
pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Limpa akan teraba
setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan terjadi
bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat timbunan
pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Syarif, 2011).
Hampir semua kematian akibat penyakit malaria disebabkan
oleh P.falciparum. Pada infeksi P.falciparum dapat menimbulkan
malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi
P.falciprum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi
(Syarif, 2011).
36
b. Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus
ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik
atau tes diagnostik cepat (Depkes, 2008).
a) Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
1) Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau
pegal-pegal;
2) Riwayat berkunjung dan bermalam 1 - 4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria;
3) Riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
4) Riwayat sakit malaria;
5) Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;
6) Riwayat mendapat transfusi darah.
b) Pemeriksaan fisik
1) Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5 0C);
2) Konjungtiva atau telapak tangan pucat;
3) Pembesaran limpa (splenomegali);
4) Pembesaran hati (hepatomegali).
37
c) Diagnosis atas dasar pemeriksaan laboratorium.
1) Dengan mikroskop.
Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah
(SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/ rumah sakit
untuk
menentukan ada tidaknya parasit malaria (positif atau
negatif),
spesies dan stadium plasmodium serta kepadatan parasit :
i. Semi Kuantitatif
(-)=Negatif (tidak ditemukan parasit dalam
100LPB/lapangan pandang besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 -10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 -10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
ii. Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada
sediaan darah tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis
(eritrosit).
2) Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic
Test).
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen
parasit malaria, dengan menggunakan metoda
38
imunokromatografi, dalam bentuk dipstik. Tes ini sangat
bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi
kejadian luar biasa dan di daerah terpencil yang tidak
tersedia fasilitas laboratorium serta untuk survei tertentu. Tes
yang tersedia di pasaran saat ini mengandung:
i. HRP-2 (Histidine rich protein 2) yang diproduksi oleh
trofozoit, skizon dan gametosit muda P. Falciparum;
ii. Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan
aldolase yang diproduksi oleh parasit bentuk aseksual
atau seksual P.falciparum, P.vivax, P.ovale dan
P.malariae.
c. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal
malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di
dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk
mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan
rantai penularan. Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan
dalam keadaan perut kosong karena bersifat mengiritasi lambung.
Oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan
minum obat anti malaria.
39
i. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi.
1) Malaria Falciparum
a) Lini pertama pengobatan malaria falsiparum adalah
seperti yang tertera dibawah ini:
Lini pertama = Artesunat + Amodiakuin +
Primakuin
Primakuin tidak boleh diberikan kepada Ibu hamil, bayi < 1
tahun Penderita defisiensi G6-PD. Pengobatan efektif
apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian
obat,ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh
(sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan parasit stadium
aseksual sejak hari ke-7 Pengobatan tidak efektif apabila
dalam 28 hari setelah pemberian obat :
(1) Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif;
atau
(2) Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual
tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali
(rekrudesensi).
b) Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan, jika
pengobatan lini pertama tidak efektif dimana ditemukan
gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak
berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Lini kedua = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin
40
2) Pengobatan Malaria vivak dan Malaria ovale
a) Lini pertama pengobatan malaria vivaks dan malaria
ovale adalah seperti yang tertera dibawah ini:
Lini pertama = Klorokuin + Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk
pengobatan malaria vivaks dan malaria ovale.
Pemakaian klorokuin bertujuan untuk membunuh parasit
stadium aseksual dan seksual. Pemberian primakuin
selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati,
juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit.
Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke-28
setelah pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai
berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak
ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ke-7.
b) Pengobatan malaria vivak resisten klorokuin
Lini Kedua = Kina + Primakuin
Kombinasi ini digunakan untuk pengobatan malaria vivax
yang resisten terhadapa pengobatan klorokuin.
Pengobatan kasus malaria vivak kambuh sama dengan
regimen sebelumnya, hanya dosis primakuin
ditingkatkan.
41
B. Tinjauan Umum Tentang Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
system pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku
kesehatan diantaranya menurut Becker konsep perilaku sehat ini
merupakan pengembangan dari konsep perilaku yang dikembangkan
Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi tiga domain,
yaitu pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap
kesehatan (health attitude) dan praktek kesehatan (health practice). Hal ini
berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan
individu yang menjadi unit analisis penelitian. Becker mengklasifikasikan
perilaku kesehatan perilaku kesehatan menjadi tiga dimensi (Setiyorini,
2002) :
a. Pengetahuan kesehatan
Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh
terhadap cara-cara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan
tentang penyakit menular, pengetahuan tentang factor-faktor yang
terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang
fasilitas pelayanan kesehatan dan pengetahuan untuk menghindar
penyakit.
b. Sikap terhadap kesehatan
Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan,
42
seperti sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular, sikap
terhadap faktor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan,
sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan sikap untuk
menghindari penyakit.
c. Praktek kesehatan
Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau
aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan
terhadap penyakit menular dan tidak menular, tindakan terhadap
factor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, tindakan
tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan tindakan untuk
menghindari penyakit.
Selain Becker, terdapat pula beberapa definisi lain mengenai
perilaku kesehatan. Menurut Solita, perilaku kesehatan merupakan
“segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya,
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan,
serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan”. Sedangkan
Cals dan Cobb mengemukakan perilaku kesehatan sebagai : “perilaku
untuk mencegah penyakit pada tahap belum menunjukkan gejala
(asymptomatic stage)”. Menurut Skinner perilaku kesehatan (health
behavior) diartikan sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan seprti lingkungan, makanan, minuman dan
43
pelayanan kesehatan. Dengan kata lain perilaku kesehatan adalah semua
aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable)
maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini
mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah
kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan
apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan adalah respons
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-
sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit
(kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan
kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua
aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang diamati (observable) maupun
yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Oleh sebab itu perilaku
kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1) Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh
sebab itu perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang
mencakup perilaku-perilaku (overt dan convert behavior) dalam
mencegah atau menghindari penyakit dan penyebab penyakit atau
masalah atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan
perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku
promotif).
44
2) Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan,
untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah
kesehatannya. Oleh karena itu perilaku ini disebut perilaku pencarian
pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini
mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang atau anaknya
bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh
kesembuhan atau terlepasnya dari masalah kesehatan tersebut.
Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau pelayanaan kesehatan
tradisional (dukun, sinshe atau paranormal), maupun modern atau
profesional (rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya).
Tim kerja dari Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tahun (1984)
menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku karena
adanya 4 alasan pokok, (Notoatmodjo, 2010) yaitu :
a. Pemikiran dan Perasaaan (Thoughts and feeling)
Hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaanseseorang, atau
lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap
obek atau stimulus, merupakan modal awal untuk bertindak atau
berperilaku. Seseorang yang menderita penyakit malaria akan
mencari pengobatan ke puskesmas didasarkan atas pertimbangan
untung rugi, manfaat dan sumber daya atau biaya yang tersedia, dan
sebagainya. Bentuk pikiran dan perasaan ini adalah : pengetahuan
(knowledge), kepercayaan (beliefs), sikap (attitudes) dan nilai (values).
45
b. Acuan atau referensi seseorang (personal references)
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut. Apabila seseorang itu penting bagi kita,
maka apapun yang ia katakan dan lakukan cenderung untuk kita
contoh. Orang penting inilah yang dijadikan sebagai teladan seperti
guru ulama, kepala adat (suku), kepala desa, tokoh masyarakat, dan
lain-lain.
c. Sumber daya yang tersedia (resources)
Termasuk sumber daya disini adalah fasilitas, uang, waktu, tenaga
kerja, pelayanan, keterampilan dan sebagainya. Pengaruh sumber
daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negative.
d. Sosio budaya (culture)
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-
sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola
hidup (way of life) yang disebut kebudayaan. Perilaku yang normal
adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya
kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku paling dasar.
Masing-masing budaya terdiri dari sejumlah sub-budaya yang lebih
menampakkan identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para anggotanya.
46
Sub-budaya mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah
geografis. Pada dasarnya, semua masyarakat manusia memiliki stratifikasi
sosial. Stratifikasi lebih sering ditemukan dalam bentuk kelas sosial,
pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen, yang
tersusun secara hirarkis dan yang para anggotanya menganut nilai, minat,
dan perilaku serupa.
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat alasan seseorang
berperilaku. Oleh sebab itu, perilaku yang sama diantara beberapa orang
dapat berbeda- beda penyebab atau latar belakangnya.
Perilaku yang optimal akan memberi dampak pada status
kesehatan yang optimal juga. Perilaku yang optimal adalah seluruh pola
kekuatan, kebiasaan pribadi atau masyarakat, baik secara sadar ataupun
tidak yang mengarah kepada upaya pribadi atau masyarakat untuk
menolong dirinya sendiri dari masalah kesehatan. Pola
kelakuan/kebiasaan yang berhubungan dengan tindakan promotif,
preventif harus ada pada setiap pribadi atau masyarakat.
C. Tinjauan Umum tentang Sosial Budaya suku-suku di Papua
Setiap kelompok masyarakat yang mendiami muka bumi memiliki
sistem sosial dan sistem budaya yang berbeda. Kebudayaan itu dianggap
sebagai dasar dan pandangan hidup dalam berperilaku. Oleh karena itu
setiap suku memiliki keunikan tersendiri yang merupakan ciri khas
kebudayaan mereka.
47
Perbedaan tersebut terkait dengan kondisi alam dan letak geografis
dari masing-masing wilayah yang didiami oleh kelompok etnis tersebut.
Suku-suku yang mendiami kabupaten Nabire yang merupakan salah satu
kabupaten di Tanah Papua juga mengalami hal yang sama. Suku-suku
tersebut memiliki keunikan tersendiri namun tetap ada beberapa
persamaan didalamnya.
Menurut Jan Boelars, suku-suku yang ada di Tanah Papua terbagi
menjadi 4 zona ekologis, yakni :
a. Zona rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai meliputi daerah
Asmat, Jagai, Awyu, Yigai Citak, Marind Anim, mimika/komoro dan
Waropen
b. Zona dataran tinggi meliputi: suku Dani, Yali Ngalun, Amungme,
Nduga, Damal, Moni, dan Ekari/Mee
c. Zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil: meliputi daerah
Sentani, Nimboran, Ayamaru dan orang Muyu
d. Zona dataran rendah dan pesisir meliputi: Sorong sampai Nabire,
Biak dan Yapen.
Meramu merupakan kegiatan pangan yang terpenting bagi hampir
seluruh suku-suku Papua, di daerah pesisir sagu merupakan sumber
pangan sehari-hari sehingga kegiatan meramu sagu merupakan hal yang
penting bagi mereka. Hutan sagu biasanya terletak jauh dari pemukiman
48
sehingga mereka harus berjalan kaki bahkan menggunakan perahu untuk
mencapainya.
Selain meramu sagu, menangkap ikan/nelayan juga merupakan
pekerjaan pokok bagi masyarakat pesisir, pekerjaan ini biasanya
dilakukan oleh laki-laki namun kaum perempuan dapat turut dalam
pekerjaan ini karena tuntutan ekonomi. Menangkap ikan dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dalam rumah setiap hari, terkecuali ada rencana
untuk pesta atau upacara tertentu mereka harus menangkap ikan dalam
jumlah yang lebih banyak maka untuk rencana tersebut mereka bermalam
di pos-pos tertentu untuk beberapa hari lamanya.
Berburu dan pasang jerat juga merupakan mata pencaharin pokok
suku-suku di daerah pegunungan. Biasanya kegiatan ini dilakukan
bersama-sama selama berhari-hari dan hasinya akan dibagi secara
merata. Disamping itu bercocok tanam dan memelihara ternak juga
dilakukan mereka untuk persediaan pangan keluarga.
Sistem kekerabatan suku-suku Papua sebagian besar berdasarkan
garis patrilinear yang memperhitungkan keluarga menurut garis keturunan
laki-laki. Menurut Kamma (1982) hubungan saudara laki-laki ibu
memerankan peran penting dalam kehidupan anak-anak mereka,
biasanya saudara laki-laki ibu (om) memainkan peran dalam upacara
inisiasi yang merupakan upacara penting dalam kehidupan suku-suku
tersebut.
49
Hampir semua suku-suku Papua dalam setiap peristiwa kehidupan
ditandai dengan upacara adat (inisiasi) seperti tusuk telinga, gunting
rambut, melubangi hidung, pernikahan dan lain-lain. Pelaksanaan ritual
adat ini diselenggarkan dengan melibatkan seluruh warga kampung, pada
suku-suku pesisir mereka biasanya melakukan tarian adat (semacam
dansa) yang dilakukan selama semalaman.
Setiap suku di Papua memiliki sistem kepemimpinannya sendiri.
Pemerintahan lokal tradisional dijalankan oleh lebih dari seorang
pemimpin dalam bidang masing-masing atau atau berada pada satu
tangan dengan beberapa pembagian fungsi yang bersumber dari menjaga
keseimbangan sosial kelompok dengan menjalankan keadilan bagi
warganya (Griapon, AL. 2010).
Mansoben (dalam Koentjaraningrat dkk, 1994), menyusun tipologi
sistem kepemimpinan lokal di Irian Jaya ke dalam tipe “pria berwibawa”,
tipe “raja”, “kepala klen” dan “campuran” dari ketiga tipe tersebut.
Pandangan ini berlawanan dengan Sahlins (dalam Griapon, 2010) bahwa
penduduk daerah keudayaan Melanesia, termasuk “Irian” hanya mengenal
tipe kepemimpinan pria berwibawa atau The big man, sebaliknya tipe
kepemimpinan raja dianut oleh penduduk Polynesia. Perbedaan utama
kedua sistem kepemimpinan itu terletak pada cara memperoleh
kekuasaan. Pria berwibawa memperolehnya melalui usaha keras,
sedangkan kepemimpinan tipe raja diperoleh melalui pewarisan.
50
D. Kerangka Konseptual
Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor
eksternal) dengan respons (faktor internal) dalam subjek atau orang yang
berperilaku tersebut. Dalam bidang kesehatan ada 3 teori yang sering
menjadi acuan dalam penelitian-penelitian kesehatan masyarakat. Teori
tersebut adalah teori Lawrence Green, teori WHO dan teori Snehandu B.
Karr (Bagan 1).
Bagan 1. Kerangka Teori (Sumber : Notoatmojo, 2010)
Teori WHO • Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) • Acuan atau referensi seseorang (personnal references) • Sumber daya yang tersedia (resources) • Sosio budaya (culture)
Teori Lawrence Green • Faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap) • Faktor pemungkin (ketersedian, kenyamanan dan pelatihan • Faktor penguat (peraturan dan pengawasan)
Determinan Perilaku
Teori Snehandu B. Karr • Niat (intention) • Dukungan (social support) • Terjangkaunya informasi (accessibility of information) • Kebebasan pribadi (personnal autonomy) • Situasi yang memungkinkan (action situation)
51
Teori Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari
tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi
oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku.
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan
oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari
orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu,
ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku petugas terhadap kesehatan
juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Teori WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang
itu berperilaku tertentu adalah karena adanya alasan seseorang untuk
berperilaku. Oleh sebab itu, perilaku yang sama di antara beberapa
orang dapat disebabkan oleh sebab atau latar belakang yang
berbeda-beda, baik dari culture, resources, personnal references,
maupun karena thoughts and feeling yang berbeda.
Teori Snehandu B. Kar mencoba menganalisis perilaku
kesehatan dengan bertitik-tolak bahwa perilaku itu fungsi dari niat
orang terhadap objek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari
masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang
kesehatan, kebebasan dari indivindu untuk mengambil
keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia
berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/tidak bertindak.
52
E. Kerangka Pikir
Kerangka pikir yang diuraikan dan sintesa beberapa penelitian
maka dibuatlah kerangka pikir sebagai berikut.
sumber: Teori WHO (1984) dalam Notoatmodjo, 2010.
Pemikiran dan perasaan a. Pengetahuan tentang penyebab, cara
penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit malaria
b. Sikap terhadap penyakit malaria
Acuan atau referensi seseorang
a. Siapa yg menjadi panutan dalam
perilaku pengobatan
b. Siapa yg menjadi panutan dalam
perilaku pencegahan
c. Bentuk dukungan sosial keluarga
d. Bentuk dukungan sosial masyarakat
Sumber daya yang tersedia
a. Ketersediaan sumber daya fisik
b. Ketersediaan sumber daya non fisik
c. Media informasi dan edukasi
d. Pemanfaatan fasilitas kesehatan
e. Bentuk pelayanan oleh tenaga
kesehatan
Sosio budaya
a. Kepercayaan dan keyakinan ttg penyakit
malaria
b. Perilaku bersosialisasi pada malam hari
c. Cara pengobatan tradiisonal
d. Cara pencegahan tradisional
Data AMI (Annual Malariae Incedence) Kab, Nabire Tahun 2007 : 202,3
Tahun 2008 : 154,7
Tahun 2009 : 202,4
Tahun 2010 : 176,9
Tahun 2011 : 168,7
53
F. Definisi Konseptual
1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)
Pemikiran dan perasaan adalah sesuatu yang dimiliki oleh setiap
individu dapat berupa pengetahuan, kepercayaan, sikap dan nilai-nilai.
hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan
pertimbangan-pertimbangan oribadi terhadap objek dan stimulus,
merupakan modal awal untuk bertindak atau berperilaku. Seorang etnis
Papua dalam merespon keadaan dirinya dan keluarga serta orang
disekitarnya jika menderita penyakit malaria didasarkan pada
pertimbangan :
a. Pengetahuan tentang penyebab, cara penularan, pengobatan dan
pencegahan penyakit malaria.
Penyakit malaria disebabkan oleh parasit plasmodium, yang
mengakibatkan demam, menggigil serta gejala yang lain yang
dibuktikan dengan hasil positif melalui pemeriksaan
laboratorium/RDT, ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles.
Pengobatan yang diberikan kepada penderita malaria baik
secara modern berupa obat-obatan yang diperoleh melalui petugas
kesehatan, maupun pengobatan tradisional yang sering
digunanakan untuk penyembuhan penyakit malaria.
Pencegahan penyakit malaria berupa segala upaya yang
dilakukan dalam menghindari penyakit malaria baik yang
54
dianjurkan oleh petugas kesehatan maupun cara-cara tradisional
yang mungkin dilakukan.
b. Sikap terhadap penyakit malaria
Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana
seseorang bereaksi dengan stimulus yang diterimanya. hal
tersebut menunjukkan bahwa sikap berbeda dengan pengetahuan,
karena memberikan kesiapan yang menunjukkan aspek positif
atau negatif yang berorientasi kepada hal-hal yang bersifat umum.
Pengalaman menghadapi suatu objek yang dijumpai dalam waktu
berulang-ulang dapat menjadi stimulus dalam membantuk
keyakinan seseorang terhadap objek.
Sikap seseorang etnis Papua terhadap penyakit malaria
dipengaruhi oleh pengalaman sendiri atau orang lain yang berada
disekitarnya. termasuk dalam upaya pencarian pengobatan serta
upaya pencegahan. Sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan
seseorang, karena mungkin saja dia tahu tetapi belum sampai
tahap tindakan karena berbagai pertimbangan lain.
2. Acuan atau referensi seseorang (personal references)
Acuan atau referensi seseorang adalah orang yang dianggap
penting dalam hidup kita dan dijadikan sebagai panutan dalam
kehidupan, seperti guru, kepala suku, tokoh masyarakat dan lain-lain.
Misalkan seorang etnis Papua jika menderita penyakit malaria maka ia
55
akan mencari pengobatan ke tempat tertentu karena mengikuti ketua
adatnya.
Dukungan sosial adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa
materi, emosi, dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang
memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara atau orang yang
dicintai oleh individu yang bersangkutan. bantuan dan pertolongan ini
diberikan dengan tujuan agar individu yang mengalami masalah
merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan discintai.
a. Panutan dalam perilaku pengobatan dan pencegahan penyakit
malaria
Panutan dalam perilaku pengobatan dan pencegahan penyakit
malaria oleh etnis papua yang dimaksdu adalah seseorang yang
dijadikan panutan oleh etnis papua ketika dalam keadaan sakit
malaria untuk memperoleh pengobatan sehingga sembuh atau
teratasi masalah kesehatannya.
b. Bentuk dukungan sosial keluarga
Dukungan sosial keluarga (orang yang terdekat dengan penderita)
yang dimaksud adalah segala bentuk dukungan baik bersifat
informasi, motivasi, kepercayaan diri dan bentuk dukungan lainnya
yang diberikan oleh orang yang terdekat (orangtua, saudara,
suami/istri) agar semakin memiliki perilaku positif dalam upaya
penanggulangan penyakit malaria.
56
c. Bentuk dukungan sosial masyarakat
Dukungan sosial tokoh masyarakat (kepala suku, tokoh agama,
dan lain-lain) yang dimaksud adalah segala bentuk dukungan baik
bersifat informasi, motivasi, kepercayaan diri dan bentuk dukungan
lainnya yang diberikan oleh tokoh masyarakat kepada penderita
malaria agar semakin memiliki perilaku positif dalam upaya
penanggulangan penyakit malaria.
3. Sumber daya yang tersedia (resources)
Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu
unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya tidak selalu bersifat fisik,
tetapi juga non-fisik (intangible). Yang termasuk sumber daya disini
adalah fasilitas, uang, waktu, tenaga kerja, pelayanan, keterampilan
dan sebagainya.
a. Ketersediaan sumber daya fisik dan non fisik
Ketersediaan sumber daya fisik dan non fisik yang dimaksud
adalah sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat atau penderita
malaria khususnya dalam upaya penanggulangan penyakit malaria
berupa uang, waktu dan keterampilan.
b. Media informasi dan edukasi
Media informasi dan edukasi yang dimaksud adalah segala bentuk
media yang digunakan untuk memberikan informasi dan edukasi
kepada masyarakat khususnya penderita malaria tentang upaya
penanggulangan penyakit malaria.
57
c. Pemanfaatan fasilitas kesehatan
Pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dimaksud adalah sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan yang digunakan oleh
masyarakat khususnya penderita malaria pada etnis papua dalam
pencarian kesembuhan berupa puskesmas, pustu, polindes, rumah
sakit, dokter praktek dan lain-lain.
d. Bentuk pelayanan oleh tenaga kesehatan
Pelayanan oleh tenaga kesehatan yang dimaksud adalah bentuk
pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada
masyarakat khususnya penderita malaria berupa pelayanan di
fasilitas kesehatan, rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah, dan
kegiatan lain dalam upaya penanggulangan penyakit malaria.
4. Sosio budaya (culture)
Sosio budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi yang memberi corak pengalaman individu-individu
masyarakat. Sosio budaya juga sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya perilaku seseorang. hal ini dapat dilihat dari perilakutiap
etinis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang masing-masing
etnis mempunyai budaya dan khas.
a. Kepercayaan dan keyakinan tentang penyakit malaria
Kepercayaan dan keyakinan tentang penyakit malaria yang
dimaksud adalah suatu sikap yang ditunjukkan menurut etnis
58
Papua yang menyumpulkan bahwa apa yang mereka yakini itu
adalah benar tentang penyakit malaria baik itu pengenalan akan
penyakit malaria, penyebab, pengobatan bahkan pencegahannya.
b. Perilaku bersosialisasi pada malam hari
Perilaku bersosialisasi pada malam hari yang dimaksud adalah
pergaulan/aktivitas/interaksi yang dilakukan etnis Papua yang
bersifat formal maupun non formal seperti kekeluargaan (antar
teman, sahabat) atau kelompok-kelompok sosial yang ada dalam
masyarakat yang dilakukan di luar ruangan/alam terbuka pada
malam.
c. Cara pengobatan tradisional
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan atau
perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan,
yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat etnis Papua dalam
mengatasi penyakit malaria.
d. Cara pencegahan tradisional
Pencegahan tradisional yang dimaksud adalah semua tindakan
yang diambil terlebih dahulu sebelum terjadinya penyakit malaria
pada etnis malaria atau tindakan yang ditujukan untuk mencegah,
menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit malaria
pada etnis papua dengan menerapkan sejumlah intervensi yang
telah dibuktikan efektif secara tradisional oleh etnis papua termasuk
pula kearifan lokal budaya setempat.
59
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu suatu
proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi
yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. (Bogdan &
Biklen, S. (1992: 21-22), dalam Sugiyono, 2012) mengemukakan bahwa
metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang
diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian
yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat
diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi
tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut
pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik..
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenemonologis.
Sebuah kegiatan penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu untuk
memehami satu fenomena sosial pada suatu lokasi. Bungin (2010)
menyatakan bahwa yang disebut kasus adalah fenomena khusus yang
hadir dalam suatu konteks yang dibatasi, meski batas - batas antara
fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus dapat berupa
individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas atau bahkan
bangsa.
60
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Nabire dari tanggal 11
Maret sampai tanggal 16 April 2013. Kabupaten Nabire merupakan
wilayah endemis malaria dengan data kesakitan malaria yang tinggi dan
didukung oleh karakteristik wilayah yang ideal bagi perkembangan vektor
malaria. Selain itu faktor lain adalah rendahnya IPM yang berada dibawah
angka nasional begitu pula dengan jumlah keluarga Pra sejahtra yang
cukup signifikan yang kurang mendukung dalam upaya eliminasi malaria
di tanah Papua tahun 2030.
Kabupaten Nabire dengan ibukota Nabire adalah salah satu
kabupaten yang ada di Provinsi Papua. Kabupaten ini merupakan wilayah
pemekaran dari Kabupaten Paniai yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang No.22 Tahun 1999 tertanggal 28 Desember 1999. Secara
geografis Kabupaten Nabire terletak pada 134,35’- 138,02’ Bujur Timur
dan 20,25’ – 24,25’ Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Nabire
adalah 11.120,60 km2, dengan batas wilayah:
a. Sebelah utara berbatasan dengan perairan laut Kabupaten Yapen
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Waropen
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten
Paniai
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Teluk Wandama dan
Kabupaten Kaimana Provinsi papua Barat
61
Letaknya yang berada tepat di cekukan teluk cendrawasih
menempatkan daerah ini menjadi gerbang masuk daerah-daerah atau
kabupaten-kabupaten di pegunungan tengah seperti Dogiyai, Deiyai,
Paniai, Intan Jaya dan Mulia serta kabupaten yang lain. Hal inilah yang
menjadikan perekonomian dan pergerakan penduduk di kabupaten Nabire
sangat dinamis.
Data badan Pusat statistik kabupaten Nabire, jumlah penduduk
kabupaten Nabire tahun 2012 adalah 132.348 jiwa, yang tersebar di 13
distrik dan 33 kampung mulai dari pesisir hingga ke pedalaman (distrik
Nabire, Makimi, Teluk Kimi, Napan, Wapoga, Yaur, Teluk Umar, Yaro,
Wanggar, Uwapa Siriwo, Menou dan Dipa), namun persebaran ini tidak
merata, penduduk lebih terkonsentrasi di ibukota kabupaten yaitu Nabire.
Dari segi sosial budaya, Nabire termasuk daerah dengan tingkat
heterogenitas etnis yang tinggi. Selain penduduk asli Papua yang
memang wilayahnya berada di Kabupaten Nabire seperti suku Yerisyam,
suku Umar, Ondura, Hegure, Goni, Mora, Woa, Hitaha, Burate/Wate, Mee
dan suku Auye. Juga suku asli papua yang berasal dari luar kabupaten
Nabire seperti Biak, Serui, Sentani, Sorong, Wandamen, Dani, Moni dan
masih banyak lagi. Suku bangsa lain dari luar Papua yang hampir seluruh
suku yang ada di Indonesia bisa ditemui di daerah ini. Selain keberagaan
suku, keberagaman agama dan keyakinan juga ditemui di tempat ini,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa daerah ini merupakan miniatur
Indonesia.
62
Suku-suku ini tinggal hidup dan membaur dengan masyarakat lain,
bahkan hidup berkelompok dengan suku-suku sesamanya. Meskipun
mereka sudah tidak tinggal di kampung mereka tetapi banyak kebiasaan
dan perilaku mereka masih tetap mereka praktekkan dalam kehidupan
mereka, seperti upacara-upacara adat yakni pernikahan, penyelesaian
masalah-masalah dalam keluarga, dan perlakuan adat yang lain.
C. Informan Penelitian
Informan merupakan seseorang sebagai sumber informasi yang
dapat membantu peneliti untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan perilaku etnis Papua terhadap penyakit malaria dan mampu
berbahasa Indonesia dengan baik serta bersedia menjadi partisipan.
Adapun tehnik pengambilan informan dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara purposive sampling. Menurut Lincoln and Guba (Sugiyono,
2012) ciri-ciri khusus sampel purposive adalah
1. Emergent sampling design/sementara; penentuan sampel dilakukan saat
peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung.
2. Serial selection of sample units/menggelinding seperti bola salju (Snow ball);
berdasarkan data dan atau informasi yang diperoleh dari sampel
sebelumnya, peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang
dipertimbangkan akan memberikan data yang lebih lengkap.
3. Continuous adjustment or ‘focusing’ of the sample/disesuaikan dengan
kebutuhan; unit sampel yang dipilih makin lama makin terarah sejalan
dengan makin terarahnya fokus penelitian.
63
4. Selection to the point of redundancy/dipilih sampai jenuh; data telah jenuh,
ditambah sampel lagi tidak memberikan informasi yang baru.
Adapun informan dalam penelitian ini adalah:
1. Penderita Malaria
Penderita malaria diambil sebagai informan penelitian karena dianggap
mampu memberikan informasi berdasarkan pengalamannya selama
menderita malaria.
Kriteria inklusi :
a. Menderita malaria dengan hasil pemeriksaan laboratorium (DDR atau
RDT) dari puskesmas
b. Penderita berasal dari suku etnis Papua yang berdomisili di kabupaten
Nabire
2. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan lebih mengetahui bentuk pelayanan yang diberikan
kepada penderita malaria.
Kriteria inklusi :
a. Petugas puskesmas bidang Promkes
b. Kepala puskesmas
3. Tokoh Masyarakat
Tokoh masyarakat yang jadi panutan oleh masyarakat etnis Papua dan
memiliki pengetahuan lokal tentang budaya lokal.
Kriteria inklusi :
a. Berasal dari suku Etnis Papua
b. Orang yang menjadi panutan dalam kelompok etnis Papua
64
D. Teknik Pengumpulan Data
Upaya untuk mendapatkan data penelitian yang objektif dilapangan,
maka diperlukan pengumpulan data yaitu :
1. Data Primer
a. Observasi berupa pengamatan langsung terhadap berbagai aktivitas
subjek pada lokasi penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.
b. Wawancara mendalam (Indepth Interview) dengan menggunakan
pedoman wawancara.
2. Data Sekunder
Berupa data atau informasi yang diperoleh dari dinas Kesehatan
Kabupaten Nabire dan data–data lainnya yang berhubungan dengan
penelitian .
Tabel 2 : Matriks Metode Pengumpulan Data
No. Dimensi Informan Indikator Metode
Wawancara mendalam
Obs. TD
1 Pemikiran dan Perasaan
Penderita Malaria Tokoh masy
Pengetahuan ttg penyebab, cara penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit malaria
√ √ √
Sikap terhadap penyakit malaria
√ √ √
2. Referensi dari seseorang
Penderita malaria Petugas kesehatan
Siapa yg menjadi panutan dalam perilaku pengobatan
√ √ √
Siapa yg menjadi panutan dalam perilaku pencegahan
√ √ √
Bentuk dukungan sosial keluarga
√ √ √
65
Bentuk dukungan sosial masyarakat
√ √ √
3. Sumber Daya Penderita malaria Tokoh masy Petugas kesehatan
Ketersediaan sumber daya fisik
√ √ √
Ketersediaan sumber daya non fisik
√ √ √
Media informasi dan edukasi]
√ √ √
Pemanfaatan fasilitas kesehatan
√ √ √
Bentuk pelayanan oleh tenaga kesehatan
√ √ √
4. Budaya Penderita malaria Tokoh masy Petugas kesehatan
Kepercayaan dan keyakinan ttg penyakit malaria
√ √ √
Perilaku bersosialisasi pada malam hari
√ √ √
Cara pengobatan tradiisonal
√ √ √
Cara pencegahan tradisional
√ √ √
Sumber : Data primer tahun 2013 Keterangan : Obs : Observasi; TD : Telaah Dokumen
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang dilengkapi dengan
alat bantu penelitian, seperti alat perekam wawancara, pedoman
wawancara, pedoman observasi/daftar checklist dan catatan lapangan
(field note).
66
F. Teknik Pengolahan Data/Informasi
Teknik pengolahan data dilakukan secara manual dengan tahapan :
1. Mengumpulkan data dari hasil wawancara dengan menggunakan alat
bantu perekam data berupa tape recorder, kamera digital dan alat tulis.
2. Untuk data yang diperoleh dengan wawancara (data emik) selanjutnya
diklasifikasikan menurut dimensi penelitian dan dibuat dalam bentuk
matriks.
3. Dengan memahami matriks data hasil pernyataan informasi selanjutnya
dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok dan penting, dicari tema dan
polanya kemudian dinyatakan sebagai reduksi atau kesimpulan
4. Kesimpulan kemudian dikaji kembali menjadi konsep emik atau konsep
berdasarkan pernyataan informan dan sesuai dengan dimensi penelitian.
5. Konsep emik yang telah diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan teori
yang sudah ada yang terkait dengan dimensi penelitian menurut
pandangan peneliti (konsep etik).
6. Selanjutnya dibangun sebuah hubungan yang logis antara dua konsep
yang diebut sebagai preposisi.
G. Teknik Analisa dan Penyajian Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mengikuti petunjuk Milles dan Huberman (Sugiyono, 2010) yakni dilakukan
melalui tiga alur sebagai berikut:
67
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Data yang diperolah dari lapangan jumlahnya cukup banyak, kompleks
dan rumit. Oleh karena itu, Peneliti perlu merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang pokok, penting dan
mencari tema serta pola. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan.
2. Penyajian Data (Data Display)
Menyajikan data yang telah dianalisis pada alur pertama dan kemudian
disajikan dalam bentuk uraian singkat (teks naratif). Dengan penyajian
data ini, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi,
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami
tersebut.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (Conclusion Drawing/verificatioan)
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-
bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.
68
H. Teknik Uji Keabsahan Data
Untuk menentukan tingkat kebenaran data kualitatif penelitian maka
dilaksanakan pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan teknik
triangulasi data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang
telah dikumpulkan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data penelitian.
Metode triangulasi yang dimanfaatkan melalui triangulasi sumber
dan triangulasi teknik. Menurut Mathinson (Sugiyono, 2012) nilai dari
teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah untuk mengetahui
data yang diperoleh convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi.
Pengumpulan data dengan menggunakan teknik trianggulasi sumber,
dengan cara mengumulkan data dari penderita malaria, tokoh
adat/masyarakat dan petugas kesehatan, sedangkan trianggulasi
teknik/metode, dilakukan dengan menggabungkan teknik/metode
pangumpulan data melalui teknik wawancara mendalam, observasi dan
dokumentasi.
69
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Nabire yang berlangsung
mulai tanggal 11 Maret sampai tanggal 16 April 2013. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk mengetahui
perilaku etnis Papua mengenai penyakit malaria.
Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui wawancara
mendalam, dan observasi. Hasil pengumpulan data penelitian diolah
dalam bentuk catatan lapangan yang kemudian digolongkan dengan
kategorisasi jawaban sampai dengan menentukan secara pasti informan
yang diteliti. Analisis data penelitian mengikuti petunjuk Milles dan
Huberman yang mencakup sebuah proses terdiri dari data emik, etik dan
kesimpulan.
Informan yang terlibat dalam penelitian ini adalah orang–orang
yang dianggap layak dan mengetahui perilaku etnis Papua mengenai
penyakit malaria, yaitu 9 orang penderita malaria, 6 orang petugas
kesehatan dan 3 orang tokoh masyarakat. Dengan demikian maka jumlah
informan dalam peneliti ini adalah 18 orang. Adapun karakteristik informan
yang terlibat dalam penelitian ini, sebagai berikut :
70
Tabel 3 : Karakteristik Informan Penelitian
No. Kode Informan
Umur (Tahun)
Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
1. AT 25 Perempuan SMA IRT
2. HK 28 Laki – Laki SMA Petani
3. LG 26 Perempuan SD IRT
4. TM 19 Laki – Laki SMK Pelajar
5. MT 49 Perempuan Tidak Sekolah IRT
6. EW 41 Laki – Laki Tidak Sekolah Kepala Suku
7. LM 25 Perempuan SMA IRT
8. WR 56 Perempuan SD Kader Posyandu
9. AM 48 Laki – Laki S1 PNS (Tokoh adat)
10. KM 39 Perempuan S1 PNS (staf PKM )
11. NA 35 Perempuan S1 PNS (staf PKM )
12. OR 45 Laki – Laki DIII PNS (staf PKM )
13. MS 30 Perempuan SPK PNS (staf PKM )
14. MS 59 Perempuan SD Kader Posyandu
15. PM 43 Laki – Laki S1 PNS (Tokoh adat)
16. RE 23 Laki – Laki SMA Petani
17. PD 62 Laki – Laki Tidak Sekolah Petani
18. YN 21 Perempuan SD IRT
Sumber : Data Primer, 2013
Adapun hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara
mendalam dan observasi, yaitu :
71
1. Pemikiran dan Perasaan
Hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada
penderita malaria, petugas kesehatan dan masyarakat di
Kabupaten Nabire tentang pengetahuan informan mengenai
malaria, tanda dan gejala fisik, penyebab, penularan, cara
pencegahan dan cara pengobatan malaria, akan diuraikan
sebagai berikut:
1) Pemahaman tentang Malaria
Dari wawancara yang dilakukan diperoleh hasil yang
bervariasi dalam masyarakat dalam menerangkan faktor-faktor
penyebab penyakit malaria seperti; lingkungan yang tidak
bersih, bermain di luar rumah atau karena cuaca yang panas,
serta sering berada di luar rumah dan tetap bekerja. Dari
pernyataan informan terlihat bahwa informan tidak dapat
menyebutkan secara tepat penyebab langsung penyakit
malaria.
Seperti yang disampaikan oleh informan EW, bahwa
malaria merupakan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh
berikut :
“sa1 juga su2 pernah kena malaria itu karna tongpu3 rumah tra4 bersih jadinya sa kena malaria. Menurut saya Malaria itu berbahaya” (EW, 41 tahun)
1 Kata ganti “saya”
2 Kata ganti “sudah”
3 Kata ganti “saya punya”
4 Kata ganti “tidak”
72
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan MT,
bahwa malaria itu merupakan penyakit yang muncul karena
masalah kesehatan lingkungan yang tidak dipelihara oleh
masyarakat. Informan juga memahami bahwa malaria pada
anak terjadi karena kurangnya perhatian dari orang tua
sehingga anak cenderung bermain di luar rumah, berikut
kutipan wawancara dengan informan :
“Malaria itu karena masalah lingkungan, mungkin kesehatan dorang5 yang tidak terpelihara. Biasa itu anak malaria juga karena bapa mama trada6 perhatian, dong7 tra atur dongpu anak, jadi anak – anak main terus di luar rumah” (MT, 49 tahun)
Hal ini didukung oleh ungkapan kader posyandu yang
berasal dari Suku pesisir (Napan), menurut informan WR,
malaria merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian kepada penderitanya, baik pada anak kecil, maupun
pada orang dewasa yang disebabkan oleh perilaku masyarakat
yang tidak menjaga kebersihan lingkungannya, berikut hasil
wawancaranya :
“Malaria itu berbahaya, ada yang sampai meninggal disini. Ada yang anak dan segala macam itu karena dorang tra bersih lingkungannya jadi kena malaria sampai meninggal itu karena malaria“ (WR, 56 tahun)
5 Kata ganti “mereka”
6 Kata ganti “tidak ada”
7 Kata ganti “mereka”
73
Berbeda hal-nya yang dipahami oleh informan TM,
bahwa malaria itu penyakit yang disebabkan apabila seseorang
biasa terpapar panas matahari, banyak aktivitas (banyak jalan,
banyak kerja, bantu orang tua). Sebagaimana kutipan
wawancara berikut :
“Sa itu kena malaria tulang, itu penyakit karena biasa kena panas matahari, saya banyak jalan, saya banyak kerja, saya harus bantu mama kerja” (TM, 19 tahun)
2) Tanda dan Gejala Fisik Malaria
Pemahaman terkait tanda dan gejala fisik malaria yang
diketahui informan pada dasarnya berdasarkan pengalaman
yang mereka alami sendiri maupun yang mereka lihat
disekelilingnya. Menurut informan EW, tanda dan gejala klinis
yang dialami berdasarkan pengalamannya yang pernah
menderita malaria, yaitu demam, loyo. Informan juga
menegaskan bahwa orang yang menderita malaria susah
melakukan pekerjaan karena akibat dari penyakit malaria,
sebagaimana kutipan wawancara berikut :
“Demam, loyo kalau kena malaria. Jadi orang kalau kena malaria itu jadi tra bisa kerja karena merasa loyo terus badan”
(EW, 41 tahun)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan LG,
seorang ibu rumah tangga yang memiliki anak berusia 1,8
tahun pernah menderita malaria mix (tropika dan tersiana).
74
Menurut informan gejala anak yang menderita malaria itu
badan terasa panas, batuk dan terdapat luka pada lidah
penderitanya, sebagaimana kutipan wawancara berikut :
“ saya puanak itu waktu dia kena malaria, diapu badan panas, ada batuk, diapu lidah luka“ (LG, 26 tahun)
Hal ini juga didukung oleh penuturan informan MS
sebagai kader posyandu Sanoba. Menurut penuturan informan,
dengan melihat gejala yang dialami seseorang, MS sudah bisa
mengetahui bahwa seseorang itu menderita malaria. Adapun
gejala penyakit malaria yang diketahui informan, yaitu sakit
perut, muntah-muntah, sakit kepala. Informan juga
mengungkapkan bahwa gejala malaria ini timbul pada anak
apabila anak minum susu yang kotor dan buang air besar
sembarangan, beikut hasil wawancara dengan informan :
“saya dengan melihat gejala itu pada orang saya sudah bisa tahu itu malaria, kalau orangnya sering perut sakit, muntah - muntah, dan kepala sakit. Anak kecil itu biasa dapat gejala itu karena minum susunya kotor, buang air besar sembarangan” (MS, 30 tahun)
Adapun penuturan informan TM seseorang siswa SMK
yang pernah menderita malaria tulang mengungkapkan bahwa
gejala yang dialaminya pada saat menderita malaria, yaitu
tulang terasa sakit dan mengalami kurang darah, berikut hasil
wawancaranya :
75
“waktu saya kena malaria sapu tulang terasa sakit semua,
sa juga kurang darah”
(TM, 19 tahun)
Hal ini juga didukung oleh ungkapan informan YN yang
pernah menderita malaria tersiana, menurutnya gejala malaria
yang dialami yaitu kepala terasa berat, pusing – pusing, badan
panas, menggigil. Informan juga mengungkapkan bahwa
apabila dia merasa gejala tersebut dia langsung mengkonsumsi
obat – obatan yang dia beli sendiri, yaitu neuralgin dan dexa.
Berikut hasil wawancaranya :
“saya pu kepala berat, ada rasa pusing-pusing, sa badan
panas dan dingin lagi, menggigil, sakit kepala berat sa biasa
beli obat neuralgin sama dexa baru keluarkan keringat, kalau
sa su keringat sa rasa enak.”
(YN, 21 tahun)
Hal yang sama juga dialami oleh informan HK yang
pernah menderita malaria falsiparum, gejala yang dirasakan
pada saat menderita malaria,yaitu merasa panas, menggigil,
dan kepala sakit. Berdasarkan gejala yang dialami itu maka
informan sudah menduga bahwa dia menderita malaria
sehingga dia akan mencari pengobatan tradisional supaya
penyakitnya tidak bertambah parah. Berikut hasil
wawancaranya :
“kitong8 kalau su rasa panas dingin apalagi menggigil, kepala
sakit, kitong su tahu itu pasti malaria. Biasa kitong cari sudah
8 Kata ganti “kami”
76
obat kampung seperti daun pepaya untuk minum supaya itu
sakit tidak tambah parah”
(KM, 39 tahun)
Berdasarakan hasil wawancara dengan beberapa
informan di atas dapat diketahui bahwa gejala malaria yang
dirasakan oleh informan hampir sama pada semua jenis
malaria, yaitu sakit kepala, badan panas, sakit perut, menggigil
dan muntah-muntah.
3) Penyebab Malaria
Pemahaman informan menganai penyebab malaria pada
dasarnya mereka menganggap bahwa seseorang akan
menderita malaria disebabkan oleh lingkungan yang kotor.
Informan mengetahui bahwa lingkungan yang kotor identik
dengan lalat yang banyak dan hinggap pada makanan yang
dapat membawa bibit penyakit malaria. Hal ini menunjukkan
informan belum mengetahui secara teoritis bahwa malaria
disebabkan oleh parasit malaria yang termasuk suatu protozoa
dari genus Plasmodium. Berikut hasil wawancaranya :
“Malaria itu dapat kena kita kalau lingkungan kita itu kotor, banyak sampah jadinya banyak lalat di rumah singgah dimakanan terus kita makan, jadi kita kena malaria” (RE, 23 tahun)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala suku Dani
di Kampung Sanoba Atas, bahwa masyarakat yang ada di
lingkungannya itu termasuk lingkungan yang kotor. Disamping
77
itu, kurangnya perhatian orang tua kepada anak mereka dalam
menjaga kebersihan diri termasuk cuci tangan sebelum makan.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya malaria di lingkungan
setempat. Berikut hasil wawancaranya :
“Disini itu lingkungan kotor di dalam rumah masyarakat, anak–anak juga orang tua tidak diperhatikan, tidak cuci tangan kalau makan jadi tangan kotor, akhirnya mereka sakit. Jadi itu disini sering ditemukan malaria” (EW, 41 tahun)
Hal ini dipertegas oleh Kepala Puskesmas Sanoba yang
mengungkapkan bahwa pada dasarnya penyebab utama
malaria di wilayah kerja berawal dari perilaku masyarakat yang
tidak menyadari pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Kebiasaan masyarakat membuang sampah di halaman rumah,
pantai, atau ke kolam yang dapat menjadi tempat berkembang
biak nyamuk. Berikut hasil wawancara informan :
“Kotoran dong buang di halaman sebagian dong buang
dipante, kalau sampah kadang mereka bakar kadang ada
kolam, nyamuknya berkembang disitu, jadi perilakunya
kurang menyadari pentingnya hidup bersih dan sehat”
(OR, 45 tahun)
Dari hasil wawancara dengan informan dapat diketahui
bahwa masyarakat pada dasarnya memahami malaria sebagai
penyakit yang timbul karena faktor lingkungan yang tidak
bersih. Masyarakat belum mengetahui secara jelas bahwa
penyebab malaria adalah parasit plasmodium yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles. Pemahaman yang salah
78
mengenai penyebab malaria akan berpengaruh terhadap
perilaku pencegahan yang akan dilakukan.
4) Penularan Malaria
Pemahaman masyarakat tentang penularan malaria
pada dasarnya masih sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari
hasil wawancara dengan beberapa informan yang sebagian
besar tidak mengetahui bahwa malaria ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Informan menganggap malaria merupakan
penyakit yang dapat terjadi ketika seseorang lelah bekerja.
Berikut kutipan hasil wawancara dengan informan :
“orang kena malaria itu kalau terlalu cape kerja, kena panas terlalu, jadi sakit kepala, panas dan mengigil” (MT, 49 tahun)
Hal yang berbeda dipahami oleh informan HK bahwa
malaria itu penyakit yang ditularkan dan paling banyak
ditemukan ketika musim buah rambutan. Informan memahami
bahwa konsumsi buah rambutan dapat menyebabkan
seseorang menderita malaria. berikut kutipan wawancara
dengan informan :
“sekarang disini lagi ada musim rambutan, jadi banyak anak-anak kena malaria karna dong terlalu banyak makan rambutan. Dong hanya makan rambutan saja akhirnya sakit perut dan kena malaria. ” (HK, 28 tahun)
Namun, berbeda hal-nya dengan informan RE yang
sudah mengetahui bahwa penularan malaria melalui gigitan
79
nyamuk karena kondisi lingkungan yang tidak bersih sehingga
nyamuk berkembang biak. Berikut kutipan wawancara dengan
informan :
“kalau kitong nyamuk gigit itu kitong bisa malaria. makanya lingkungan itu harus dijaga supaya bersih karena kalau kotor disitu nyamuk suka tinggal ” (RE, 23 tahun)
5) Cara Pencegahan Malaria
Jika kita meninjau kembali pemahaman informan bahwa
malaria disebabkan oleh lingkungan yang kotor, maka cara
pencegahan yang dilakukan masyarakat terkait dengan
penyakit malaria lebih difokuskan juga dengan upaya menjaga
kebersihan sebagaimana yang diungkapan informan HK bahwa
nyamuk akan berkembang biak pada tempat yang kotor
sehingga masyarakat harus menjaga agar lingkungannya tetap
bersih dengan membakar sampah yang ada, berikut hasil
wawancara dengan informan :
“Perlindungannya supaya kita sehat, tidak kena malaria,
semuanya itu sehat, artinya bersih, kita berusaha bagaimana
supaya tetap sehat, yang penting lingkungannya saja, kalau
lingkungannya kotor nyamuk itu dia harus di tempat kotor
dulu baru dia berkembang. Jadi kalau ada tempat kotor
berarti mudah sekali berkembang. Jadi itu sampah perlu
dibakar ka atau di timbun.”
(HK, 28 tahun)
80
Berbeda hal-nya yang diungkapka oleh informan AT
bahwa dalam melakukan pencegahan malaria yang dapat
dilakukan salah satunya itu dengan menggunakan kelambu
pada saat tidur untuk menghindari gigitan nyamuk, berikut
kutipan wawancaranya :
“torang harus dalam kelambu terutama anak-anak ini tidur
dalam kelambu supaya dorang tra digigit nyamuk”
(AT, 25 tahun)
Menurut informan KM sebagai petugas kesehatan di
Puskesmas mengungkapkan bahwa salah satu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan masyarakat agar tidak
terkena malaria, yaitu membakar sabut kelapa dan
menggunakan kelambu, berikut hasil wawancaranya :
“biasa dorang kalau susore, ada bakar-bakar sabut kelapa ka sampah ka, trus dong tidur dalam kelambu”
(KM, 39 tahun)
Namun, hasil wawancara dengan kepala Puskesmas
setempat mengungkapkan bahwa kendala utama dalam
melakukan upaya pencegahan malaria karena kesadaran
masyarakat yang masih kurang dalam menjaga kebersihan
lingkungan. Pada dasarnya masyarakat sudah sadar untuk
melakukan pengobatan pada saat sakit, namu kesadaran
dalam melakukan pencegahan agar terhindar dari malaria
masih sangat kurang. Disamping itu, persoalan ekonomi juga
81
masih menjadi penghambat dalam melakukan pencegahan
karena masyarakat terkadang menolak untuk membeli kelambu
mengingat masih banyak kebutuhan yang lebih penting untuk
dipenuhi seperti untuk biaya makan dan biaya sekolah anak,
sehingga masyarakat menganggap membeli kelambu tidak
termasuk kebutuhan yang penting, berikut kutipan
wawancaranya :
“Untuk pencegahannya yang susah, kesadaran mereka untuk berobat ada, tetapi kesadaran itu untuk sementara dia sakit saja, hanya yg sekarang mereka bagaimana mereka mencegah diri supaya dong tidak sakit malaria. Persoalan ekonomi mencegah malaria, untuk membeli kelambu sj dia tidak mau, karena itu tdk penting, lebih penting untuk makan dan anak sekolah, cari ikan dilaut untuk beli beras untuk makan, kalau beli kelambu rasa rugi”
(OR, 45 tahun)
Kepala puskesmas juga menegaskan bahwa program
pencegahan malaria yang ada di Puskesmas hanya fogging9.
Namun, dalam mengimplementasikan program ini sangat terkait
dengan dana yang tersedia. Jadi, apabila dana untuk fogging
tidak tersedia maka program itu tidak akan berjalan, berikut
hasil wawancaranya :
“Program pencegahan untuk PKM kedepan hanya fogging,
tapi tergantung dana yang keluar. Kalau tidak ada dana bisa
jadi tidak jalan”
(OR, 45 tahun)
9 Fogging adalah salah satu pemberantasan nyamuk dengan cara penyemprotan asap
(pengasapan)
82
Hal ini dipertegas oleh ungkapkan informan MS sebagai
kader posyandu, bahwa fogging sama sekali belum pernah
dilaksanakan di wilayahnya. Jadi, informan ini sangat berharap
agar pihak puskesmas dan pemerintah dapat melakukan
fogging secara rutin untuk mengurangi kejadian malaria yang
masih tinggi di lingkungannya, berikut hasil wawancaranya :
“tra pernah ada penyemprotan disini. jadi torang mau dorang di rumah sakit atau puskesmas ada turun kemari semprot torang pu rumah-rumah disini, kan disini ada banyak yang kena malaria”
(MS, 59 tahun)
6) Cara Pengobatan Malaria
Hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa
pada dasarnya informan dalam melakukan pengobatan malaria
terkadang menggunakan pengobatan modern dengan
berkunjung ke rumah sakit dan puskesmas. Namun, terdapat
juga beberapa masyarakat yang lebih memilih menggunakan
pengobatan tradisional dalam mengobati malaria yang
dideritanya.
Dari wawancara dengan informan AM sebagai tokoh
adat di masyarakat Napan (pesisir) mengungkapkan bahwa
cara pengobatan malaria yang dapat dilakukan, yaitu ke rumah
sakit atau Puskesmas. Karena informan menganggap bahwa
penyakit malaria merupakan penyakit yang sangat berbahaya
83
bagi penderitanya jadi harus diobati oleh dokter atau tenaga
kesehatan, berikut hasil wawancaranya :
“biasa tong kerumah sakit ambil obat malaria. Karna malaria itu kan sangat berbahaya jadi tong ambil obat ke rumah sakit atau ke puskesmas saja” (AM, 48 tahun)
Bebeda hal-nya dengan informan RE yang pernah
Menderita malaria tersiana, pengobatan yang dilakukannya
pada saat menderita malaria lebih memilih berobat secara
tradisional dengan menggunakan kulit kayus susu yang direbus
kemudian meminum airnya. Informan memahami bahwa
pengobatan tradisional ini dapat mengobati malaria yang
dideritanya.
“Biasa kitong pake kulit kayu susu, diapu pohon besar, yang diambil diapu kulit saja, direbus,baru di minum” RE, 23 tahun)
Berbeda hal-nya dengan informan berikut yang
menggunakan daun pepaya sebagai pengobatan tradisional
malaria, berikut hasil wawancaranya :
“Biasa sa ada rebus daun pepaya, lalu diapu air dimimun
kalau ada yang kena malaria”
(MT, 49 tahun)
Hal ini dipertegas dengan hasil wawancara pada kader
posyandu setempat yang juga mengungkapkan bahwa
masyarakat setempat lebih banyak memilih pengobatan
84
tradisional kalau ada anggota keluarganya yang menderita
malaria. Masyarakat setempat mempunyai kepercayaan bahwa
segala yang terasa “pahit” itu dapat digunakan sebagai obat
malaria. Adapun pengobatan tradisonal yang dilakukan, yaitu
menggunakan kayu susu, daun sambilito, dan daun papaya.
Berikut hasil wawancara :
Kayu susu, orang - orang kampung dorang itu minum kulit kayu susu, daun sambiloto, kayu susu itu pohon besar, kayu susu ambil diapu kulit rebus, lalu minum diapu air, diapu rasa pahit, pahit itu yg bikin obat malaria, ada jg yg pake daun pepaya.
(WR, 56 tahun)
Namun, terdapat juga informan yang lebih memilih
melakukan pengobatan dengan membeli obat warung karena
informan tidak terbiasa melakukan pengobatan di Puskesmas.
Informan TM juga mengungkapkan bahwa selain menggunakan
obat–obatan yang dibelinya sendiri, informan juga
menggunakan pengobatan tradisional yang diketahui dari
keluarganya. Adapun obat tradisional yang digunakan, yaitu
daun pepaya yang dicampur dengan daun petatas. Berikut
kutipan wawancaranya :
“beli obat sendiri, biasa dikompres, kalau dong sakit tidak biasa dong bawa ke puskesmas, biasa dirumah cerita dengan kaka dong pake daun pepaya, mama dorang biasa makan, biasa kitong orang mee masukkan ke barapen10.
10
Barapen atau sering dikenal dengan bakar batu merupakan proses memasak makanan dengan menggunakan batu yang telah dipanaskan dahulu (batu yang telah di bakar).
85
campur dengan daun petatas11, daun pepaya, kalau campur diapu rasa pahit hilang.
(TM, 19 tahun)
Terdapat pula informan yang mengungkapkan bahwa
penderita malaria biasa menggunakan obat tradisional berupa
daun yang mereka sebut “daun gatal”. Daun ini digunakan
dengan cara ditempelkan pada kulit, lalu akan menimbulkan
efek berupa ruam pada kulit sehingga akan terasa panas dan
pedis. informan percaya bahwa obat yang terasa panas dan
pedis dapat mengurangi rasa sakit akibat malaria. Berikut
kutipan hasil wawancaranya :
“kitong orang mee12 kalau sakit ada pake daun gatal, semua sakit itu obatnya itu, tempel atau pukul dia baru ada rasa gatal dan benjol – benjol sedikit dan ada rasa panas, pedis. kalau su rasa itu, tongpu sakit hilang”
(MT, 49 tahun)
Selain itu terdapat pula informan yang mengungkapkan
bahwa penderita malaria biasa menggunakan cara pengobatan
tradisional berupa sayatan pada kulit dimana sakit tersebut
berasal untuk mengeluarkan darah yang kotor yang menjadi
penyebab sakit. informan percaya bahwa sayatan tersebut
untuk mengeluarkan darah kotor akibat malaria sehingga dapat
menyembuhkan penyakitnya. Berikut kutipan hasil
wawancaranya :
11
Daun ubi jalar 12
Salah satu suku Pedalaman Papua dari pengunungan tengah
86
“kitong orang mee juga kalau ada sakit kepala dorang belah kasi keluar darah itu sudah sembuh itu...diapu cairan keluar, darah kotor, dorang biasa pake silet ka...atau dong pake tulang kasuari13, kasi runcing baru belah dia pu tempat sakit dong bilang darah kotor itu sudah yang bikin dong sakit”
(HK, 28 tahun)
Hasil wawancara dengan petugas puskesmas juga
diperoleh informasi bahwa masyarakat terkadang masih
menggunakan pengobatan tradisional apabila terdapat anak
yang menderita malaria. Masyarakat percaya bahwa anak yang
mengalami gejala panas, apabila dibungkus daun keladi dapat
mengobati penyakit anak. Berikut kutipan wawancaranya :
“dorang biasa bilang itu anak-anak kecil, kalau panas dong ada pake daun keladi yang besar, biasa dong kasi masuk anak dalam kain baru dong bungkus daun keladi baru mereka biasa bawa-bawa dalam noken14...sering begitu dong bikin”
(KM, 39 tahun)
Sikap Terhadap Penyakit Malaria
Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa masyarakat
Papua merasa sadar bahwa upaya pencegahan malaria penting
dilakukan. Namun, belum ada upaya yang dilakukan masyarakat
untuk mencegah malaria. Masyarakat cenderung mengharapkan
bantuan dari pemerintah dalam hal ini Puskesmas agar
melakukan upaya – upaya pencegahan malaria, seperti fogging
13
Jenis burung yang ada di Papua 14
Noken adalah tas tradisional orang-orang dari beragam suku di Papua yang terbuat dari benang atau jalinanserat kulit kayu berbentuk seperti jaring-jaring
87
(pengasapan), sebagaimana yang diungkapkan oleh informan
berikut :
Kitong sudah bilang ke puskesmas supaya dong datang semprot kitong pu rumah-rumah ini, disini sering ada yang kena malaria (MS, 59 tahun)
Informasi yang sama dapat juga diperoleh dari informan MT
yang mengungkapkan bahwa pencegahan malaria dilakukan
dengan menggunakan kelambu apabila ada pembagian dari
pemerintah. Namun, apabila tidak ada pembagian dari
pemerintah, masyarakat tidak ada niat untuk membeli. Berikut
kutipan informan dibawah ini :
Kalau ada kelambu tong tetap pake, tapi kalau tra ada bagaimana tong mau pake, dong di puskesmas ada bagi tapi dong bilang hanya untuk anak kecil dorang dan ibu-ibu hamil saja yang dong kasi. (MT, 49 tahun)
Sikap masyarakat Papua dalam melakukan pengobatan
malaria, mereka telah sadar untuk melakukan pengobatan di
Puskesmas dan masyarakat bersedia untuk diambil darahnya
dalam melakukan pemeriksaan malaria. berikut kutipan
wawancara dengan informan :
Dong di puskesmas kalau tong ada datang berobat malaria biasa dong ada suruh ambil darah dulu untuk DDR15, baru dong kasi tong obat (RE, 23 tahun)
15
DDR (Drike Drupple) adalah Pemeriksaan apusan darah tebal untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif)
88
Hal ini dipertegas dari hasil wawancara dengan petugas
kesehatan di Puskesmas. Menurut informan, kesadaran
masyarakat akan menggunakan kelambu apabila ada pembagian
dari pemerintah. Akan tetapi, program pemerintah lebih
mengutamakan penggunaan kelambu untuk anak – anak dan ibu
hamil. Berikut kutipan wawancara dengan informan :
Masyarakat disini kalau ada kelambu tetap mereka pake, tapi masih banyak yang belum punya kelambu, dinas kesehatan kemarin itu ada pembagian kelambu tapi diprioritaskan untuk ibu hamil dan balita saja, disini juga masyarakat yang datang ke puskesmas berobat jika pemeriksaan lab mereka bersedia untuk diambil darahnya. (MS, 30 tahun)
2. Referensi Dari Seseorang
a. Panutan dalam melakukan perilaku pencegahan dan pengobatan
penyakit malaria
Setiap individu terkadang memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggap jadi panutan
dalam kehidupannya. Begitu pula dalam pengambilan keputusan
untuk melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit malaria,
biasanya dilakukan sesuai dengan petunjuk dari orang yang
dianggap penting terutama dari keluarga. Hasil wawancara
dengan informan AT, seorang ibu rumah tangga yang pernah
menderita malaria falsiparum, mengungkapkan bahwa
pengobatan malaria yang dilakukan karena petunjuk keluarga,
berikut kutipan hasil wawancaranya :
89
“waktu saya dulu kena malaria , mama ada suruh minum obat daun pepaya yang mama rebus dan saya minum.............” (AT, 25 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan LG,
sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai seorang anak
berusia 1,8 tahun pernah menderita malaria mix (tropika +
tersiana) mengungkapkan bahwa pada saat anaknya menderita
malaria pengobatan yang dilakukan berdasarkan pengalaman
keluarga yang pernah malaria. Keluarga informan lebih memilih
menggunakan pengobatan tradisional ketika sakit malaria
dibandingkan harus berobat ke rumah sakit atau puskesmas. Hal
ini sudah menjadi tradisi yang turun temurun dari keluarga
mereka terdahulu, berikut hasil wawancara dengan informan :
“ Kalau saya ada keluarga yang kena malaria itu kitong biasa kasi minum obat kampung yang kitong buat sendiri seperti rebusan daun pepaya atau kulit kayu susu. Lebih bagus minum obat itu kata orang tua yang dulu – dulu daripada ke puskesmas” (LG, 26 tahun)
Berbeda hal-nya dengan informan RE, seorang nelayan
yang pernah menderita malaria tersiana, mengungkapkan bahwa
pengobatan malaria yang dilakukan berdasarkan dari
pengalaman tetangga atau masyarakat sekitarnya yang pernah
menderita malaria, berikut kutipan hasil wawancara dengan
informan :
“saya ada liat disini sapu tetangga yang pernah malaria, dia ada pake obat begitu seperti daun pepaya rebus atau
90
kulit kayu susu, jadi sa juga ada ikut dorang saja,tong ikut saja apa yang dong suruh kita minum obat ini minum obat itu kalau malaria” (RE, 23 tahun) Terdapat pula informan yang melakukan pengobatan
malaria berdasarkan informasi yang mereka peroleh dari kader
posyandu, seperti informan YN seorang ibu rumah tangga yang
pernah menderita malaria tersiana, mengungkapkan bahwa
pengobatan malaria yang dilakukannya berdasarkan informasi
yang diperoleh dari kader ketika informan datang ke posyandu
untuk menimbang anaknya, berikut kutipan hasil wawancara
dengan informan :
“biasa saya datang ke posyandu bawa sapu anak timbang saya ada dengar – dengar dari kader kalau malaria minum obat seperti rebusan kulit kayu susu ini, jadi waktu saya malaria saya coba minum” (YN, 21 tahun) Hal ini dipertegas dengan hasil wawancara kader
posyandu di wilayah pesisir mengungkapkan bahwa pada saat
ibu–ibu datang ke posyandu kader memang terkadang
memberikan informasi tentang pengobatan malaria baik secara
tradisional maupun pengobatan ke puskesmas. Namun, kader
juga menyadari bahwa pengetahuan mereka tentang malaria
masih sangat kurang hanya berdasarkan pengalaman saja
sehingga kader sangat menyayangkan belum adanya upaya
tenaga kesehatan memberikan informasi yang lebih jelas dan
91
terperinci tentang malaria kepada masyarakat setempat, berikut
hasil wawancara informan :
“biasa ibu-ibu kita beri tahu kalau malaria minum obat ini atau datang ke puskesmas periksa kalau ada sakit kepala, kita suruh ke puskesmas berobat. Kita kan tidak tau banyak tentang malaria jadi suruh datang ke petugas di puskesmas. Itu juga petugas tidak pernah beri informasi malaria itu apa, gejalanya apa, obatnya apa, jadi masyarakat tidak tau kalau dia ada sakit begitu” (WR, 56 tahun)
Hasil wawancara dengan salah satu petugas Puskesmas
Sanoba juga menegaskan bahwa program penyuluhan tentang
malaria sebenarnya sudah ada di puskesmas, namun terkadang
tidak dilaksanakan karena keterbatasan petugas sehingga
beberapa program tidak berjalan. Informan juga menegaskan
bahwa penanggung jawab promosi kesehatan di Puskesmas
Sanoba seorang ahli gizi yang memiliki tugas dan tanggung
jawab ganda selain sebagai pemegang program promkes juga
bertugas dalam pelayanan gizi di puskesmas, berikut hasil
wawancara informan :
“sebenarnya program penyuluhan malaria kalau di puskesmas itu sudah ada sejak lama cuma itu kadang tidak berjalan sesuai yang diprogramkan. Disini kan kita kurang petugas ada yang harus pegang 2 program jadi itu biasa tidak berjalan efektif. Petugas promkes saja di sini orang gizi jadi ganda perannya, dia yang memberikan pelayanan gizi dia juga yang mau turun penyuluhan, jadi biasa tidak ada penyuluhan dilakukan karena banyak sekali kerjaan kalau sudah di puskesmas” (OR, 45 tahun)
92
b. Bentuk dukungan sosial keluarga
Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan atau
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga
juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan
anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan
jika diperlukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk
dukungan keluarga lebih diutamakan pada saat keluarga
menderita malaria berupa penyediaan obat – obatan tradisional,
berikut kutipan wawancara dengan informan :
“sa pu mama yang buatkan saya obat waktu saya kena malaria, dia carikan saya kulit kayu susu sama daun papaya dia rebus baru saya minum itu obat” (HK, 28 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan TM
seorang siswa kelas 2 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang
menderita malaria tersiana +3. Informan mengungkapkan bentuk
dukungan keluarga yang diberikan kepadanya pada saat sakit
malaria berupa anjuran untuk minum obat, baik obat tradisional
maupun obat yang diberikan dari rumah sakit/puskesmas.
Informan juga mengungkapkan bahwa anggota keluarga yang
paling berperan pada saat sakit adalah ibu, yang selalu
mengingatkan minum obat dan membuatkan obat tradisional,
berikut kutipan wawancara dengan informan :
93
“mama yang selalu kasi ingat saya untuk minum obat, selalu dia bilang jang saya lupa minum obat. Biasa mama ada bikin untuk saya juga obat kampungseperti daun pepaya rebus, kalau saya tidak ambil obat puskesmas saya biasa minum obat kampung yang mama bikin” (TM, 19 tahun) Adapun pula informan yang mengungkapkan bentuk
dukungan yang diberikan keluarga (suami) pada saat sakit
malaria adalah mengantar informan berobat ke
puskesmas/rumah sakit, sebagaimana yang diungkapkan oleh
informan YN seorang ibu rumah tangga yang pernah menderita
malaria, berikut kutipan wawancaranya :
“kalau saya malaria biasa sa pu paitua16 ada antar saya ambil obat ke puskesmas karna jauh puskesmasnya jadi biasa saya pake ojek kesana kalau pake ojek bayar mahal tapi cepat” (YN, 21 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan AT yang
tinggal di wilayah pegunungan. Informan mengungkapkan bahwa
keluarga yang paling berperan pada saat dia sakit malaria
adalah suami dan anaknya. Adapun bentuk dukungan yang
diberikan oleh mereka adalah menemani/mengantar informan ke
puskesmas karena jarak tempat tinggal yang jauh, berikut
kutipan wawancara dengan informan :
“ ……yang biasa temani saya ke puskesmas berobat itu paitua atau biasa juga saya pu anak yang antar kalau paitua ada kerja“ (AT, 25 tahun)
16
Kata ganti untuk “suami”
94
Bentuk dukungan yang diberikan keluarga dapat pula
berupa dukungan materi, seperti yang diungkapkan oleh
informan LG seorang ibu yang mempunyai anak berusia 1,8
tahun menderita malaria mix (tropika + tersiana), bentuk
dukungan yang diberikan oleh suaminya pada saat anaknya
sakit adalah memberikan biaya pengobatan, berikut kutipan
wawancara dengan informan :
“kalau anak saya kena malaria paitua biasa ada kasi uang untuk pergi bawa sa pu anak berobat ke puskesmas” (LG, 26 tahun) Berdasarakan hasil wawancara dengan informan
diperoleh informasi bahwa pada dasarnya keluarga memberikan
dukungan kepada anggota keluarga lain yang menderita malaria
baik dukungan materi maupun non-materi. Dukungan yang
diberikan keluarga kepada penderita malaria sangat
berkontribusi dalam hal pengobatan dan penyembuhan
penderita.
c. Bentuk dukungan sosial tokoh masyarakat
Dukungan sosial tidak hanya dapat diperoleh dari
keluarga, akan tetapi dapat juga diperoleh dari tokoh masyarakat
setempat. Hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa
dukungan sosial yang diberikan tokoh masyarakat dalam hal ini
95
kader posyandu dirasakan sangat membantu bagi penderita
malaria. Adapun bentuk dukungan yang diberikan oleh kader
posyandu kepada penderita malaria adalah informasi tentang
obat malaria, terutama pengobatan secara tradisional. Berikut
kutipan wawancara dengan informan :
“itu kader posyandu biasa kasi tahu kalau ada sakit minum obat ini, ada suruh rebus daun pepaya baru minum diapu air, kalau saya malaria saya coba minum itu, bagus memang saya rasa” (LG, 26 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan PD
bahwa dukungan yang diberikan oleh kader hanya sebatas
anjuran untuk berobat ke puskesmas, berikut kutipan wawancara
dengan informan :
“kader cuma suruh pergi berobat ke puskesmas kalau ada sakit malaria supaya tidak tambah parah sakit katanya begitu saja” (PD, 62 tahun) Hal ini didukung pula dengan hasil wawancara kader
posyandu di wilayah pesisir yang mengungkapkan bahwa kader
terkadang memberikan informasi tentang obat malaria kalau ada
ibu yang bertanya. Ini menunjukkan bahwa kader masih bersifat
pasif dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Informan
juga menegaskan bahwa infromasi yang disampaikan kepada
masyarakat masih sangat terbatas, hal ini disebabkan tidak
adanya partisipasi petugas puskesmas dalam memberikan
96
informasi kepada masyarakat, berikut kutipan wawancara
dengan informan :
“biasa memang kita kasi tau kalau ada ibu – ibu yang bertanya apa itu obatnya malaria yang biasa diminum, Kita bilang kalau malaria minum obat ini biasa kitong buat dari daun pepaya atau rebusan kulit kayu susu, atau ke puskesmas berobat. Kita cuma sampaikan begitu saja karena petugas juga dari puskesmas tidak pernah kasi tau kita tentang malaria itu apa”
(MS, 59 tahun)
Adapun bentuk dukungan kepala suku dari hasil penelitian
ini diperoleh informasi bahwa kepala suku tidak berpartisipasi
dalam memberikan infromasi kepada masyarakat tentang
kesehatan khususnya penyakit malaria, sebagaimana
wawancara dengan informan HK seorang petani yang berasal
dari wilayah pegunungan mengungkapkan bahwa kepala suku
tidak pernah memberikan informasi tentang malaria. Informan
juga menuturkan bahwa kepala suku hanya berpartisipasi dalam
hal pemerintahan saja, dan penyelesaian masalah-masalah adat
misalnya penyelesaian masalah tentang sengketa hak ulayat.
Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“tidak pernah itu kepala suku ada kasi tau kita kalau tong malaria, Dorang itu hanya urus masalah adat dan pemerintahan saja” (HK, 28 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan LM
seorang ibu rumah tangga tinggal di wilayah pesisir yang
97
anaknya menderita malaria pada saat berusia 1 minggu, menurut
informan kepala suku tidak berpartisipasi kalau ada masyarakat
setempat yang menderita malaria, masyarakat sendiri yang aktif
untuk mencari pengobatan, berikut kutipan wawancaranya :
“kepala suku tidak urus kalau ada yang malaria atau apa, paling kita sendiri yang pergi berobat” (LM, 25 tahun) Informasi yang sama diperoleh dari hasil wawancara
dengan kepala suku Dani di Kampung Sanoba Atas, menurut
informan kepala suku berperan dalam hal pemerintahan wilayah
setempat, adapun masalah kesehatan diserahkan kepada pihak
puskesmas untuk mengatasinya. Berikut kutipan wawancara
dengan informan :
“kalau masalah kesehatan itu kita serahkan sama yang ahlinya saja pegawai di puskesmas kita kan tidak tau kalau permasalahan itu, kalau masalah pemerintahan kita yang pegang karena kan itu bagian dari tugas. Tapi itu kalau masalah kebersihan lingkungan tetap kita sampaikan untuk bersihkan lingkungannya karena itu masyarakat kalau tidak disampaikan biasa malas juga kerja” (EW, 41 tahun)
3. Sumber Daya
a. Ketersediaan Sumber Daya Fisik
Ketersediaan sumber daya fisik yang dimaksud dalam
penelitian ini mencakup ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan tenaga kesehatan. Dari hasil wawancara yang
98
telah dilakukan dengan informan diperoleh informasi bahwa
fasilitas kesehatan (puskesmas) yang ada di Kabupaten Nabire
dari segi aksesibilitas pada dasarnya mudah dijangkau oleh
masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan
berikut ini :
“puskesmasnya disini dekat kita cuma naik motor sebentar sudah sampai di puskesmas” (RE, 23 tahun)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan YN yang
tinggal di wilayah pesisir, bahwa akses ke Puskesmas sangat
mudah dijangkau sehingga hal itu bukan menjadi hambatan
bagi masyarakat setempat untuk memanfaatkan fasilitas
kesehatan yang tersedia, berikut hasil wawancara informan :
“dekat di sini kalau mau ke puskesmas berobat jadi itu masyarakat sini banyak yang ke puskesmas berobat karena dekat dari sini” (YN, 21 tahun)
Selain fasilitas kesehatan berupa Puskesmas, fasilitas
kesehatan lainnya yang dapat diakses oleh masyarakat adalah
klinik kesehatan berupa dokter praktik. Dari hasil wawancara
dengan informan NA diperoleh informasi bahwa masyarakat
setempat selain memanfaatkan sarana dan prasarana di
Puskesmas, masyarakat juga berobat ke dokter praktik yang
ada di Kabupaten Nabire, berikut kutipan wawancara dengan
informan :
99
“masyarakat di sini itu selain datang berobat ke puskesmas sini, mereka juga biasa berobat ke dokter praktek”
(NA, 35 tahun)
Hasil wawancara dengan beberapa informan di atas
diperoleh informasi bahwa ketersediaan fasilitas kesehatan di
Kabupaten Nabire pada dasarnya sudah cukup memadai dan
sangat mudah untuk diakses oleh masyarakat. Namun,
permasalahan lain yang masih ditemukan adalah keterbatasan
sumber daya dalam hal ini tenaga kesehatan. Dari hasil
wawancara dengan Kepala Puskesmas Sanoba
mengungkapkan bahwa tenaga kesehatan yang ada di
Puskesmas masih sangat kurang, hal ini dapat dilihat dari tidak
adanya tenaga Laboratorium dan beberapa tenaga kesehatan
memegang dua program agar semua program dapat berjalan.
Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“kita di sini kekurangan tenaga sebenarnya, itu saja petugas laboratorium tidak ada disini jadi kita pakai tenaga perawat saja. Itu tadi saya bilang masih kurang tenaga malahan ada pegawai disini yang pegang dua program misalnya dia di imunisasi dia juga di penyuluhan karena kalau tidak begitu program tidak bisa jalan”
(OR, 45 tahun)
Selain keterbatasan jumlah tenaga kesehatan,
permasalahan lainnya yang masih dirasakan adalah sarana
dan prasana laboratorium yang masih minim sehingga dalam
pemeriksaan malaria masih menggunakan hasil pemeriksaan
100
malaria klinis. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
ketersediaan alat seperti mikroskop yang tidak ada, memang
RDT menjadi pilihan untuk melakukan pemeriksaan
malaria,namun ketersediaannya tidak selalu ada. berikut hasil
wawancara dengan petugas laboratorium di Puskesmas
Sanoba :
“itu masalah disini masih banyak peralatan laboratorium yang tidak tersedia, tidak ada mikroskop bagaimana kita mau DDR, ada RDT17 dari dinas tapi kadang kita minta mereka bilang habis, bulan Januari kemarin saja stok RDT kita habis jadi pemeriksaan malaria secara klinis saja. (MS, 30 tahun)
b. Ketersediaan Sumber Daya Non Fisik
Sumber daya non fisik yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat
atau penderita malaria khususnya dalam upaya
penanggulangan dan pengobatan penyakit malaria berupa
uang, waktu dan keterampilan. Dari hasil wawancara dengan
informan LM seorang ibu rumah tangga yang tinggal di wilayah
pesisir mengungkapkan bahwa keterbatasan sumber daya non
fisik yang dirasakan terkait dengan keterbatasan biaya
transportasi ketika akan mengakses fasilitas kesehatan, berikut
kutipan wawancara dengan informan :
17
Rapid Diagnostik Test (RDT) adalah pemeriksaan darah untuk konfirmasi malaria (+/-)
101
“biasa kitong ke puskesmas kalau ada uang, karna bayar ojek mahal, ada taksi, tapi lebih cepat kalau pake ojek saja” (LM, 25 tahun)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan MT
seorang ibu rumah tangga yang tinggal di wilayah pegunungan,
mengakui bahwa hambatan yang dirasakan ketika akan
berobat ke Puskesmas adalah keterbatasan biaya transportasi.
Jarak ke Puskesmas yang harus dijangkau dengan kendaraan
membuat ibu rumah tangga ini harus memanfaatkan ojek untuk
sampai ke Puskesmas, berikut kutipan wawancara dengan
informan :
“kalau mau ke puskesmas itu tong biasa pake motor pinjam di tetangga, kadang kalau trada yang antar terpaksa naik ojek saja”
(MT, 49 tahun)
Adapun hasil wawancara dengan informan LG,
mengungkapkan bahwa keterbatasan biaya untuk berobat ke
Puskesmas membuat informan ini terkadang tidak
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Informan juga
menegaskan bahwa secara umum pengobatan di Puskesmas
itu gratis, namun untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
pasien harus membayar. Berikut kutipan wawancara dengan
informan :
“biasa tidak ada uang kalau datang berobat ke puskesmas. Kalau ambil obat tidak bayar. Cuma itu
102
kalau mau DDR/RDT harus bayar kadang tidak ada uang jadi tidak ke puskesmas saja” (LG, 26 tahun) Hasil wawancara dengan petugas laboratorium
Puskesmas Karang Tumaritis juga mengungkapkan bahwa
pengobatan yang ada di Puskesmas diberikan secara gratis
kepada masyarakat. Namun, ketika masyarakat akan
mengakses layanan di laboratorium akan dikenakan
pembayaran karena peralatan laboratorium yang masih
terbatas sehingga petugas harus membeli peralatan
laboratorium untuk dapat melakukan pemeriksaan. Berikut
kutipan wawancara dengan informan :
“pengobatan di puskesmas ini gratis kepada masyarakat. Hanya saja kalau mau periksa di lab untuk DDR mereka harus bayar karena itu tadi masih kurang bahan di lab, kadang reagent18 harus kita beli sendiri”
(MS, 30 tahun)
c. Media Informasi dan Edukasi
Media informasi dan edukasi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah segala bentuk media yang digunakan
untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat
khususnya penderita malaria tentang upaya penanggulangan
penyakit malaria. Dari hasil wawancara dengan informan
diperoleh informasi bahwa penyuluhan tentang malaria belum
dilakukan oleh petugas kesehatan. Berikut penuturan informan
18
suatu zat yang berperan dalam suatu reaksi kimia
103
WR sebagai kader posyandu, mengungkapkan bahwa petugas
kesehatan tidak pernah memberikan informasi tentang malaria
baik pada saat pelaksanaan posyandu maupun pada saat ada
kegiatan di Puskesmas.
“tidak pernah ada informasi tentang malaria jadi masyarakat kurang paham bagaimana itu malaria. Petugas kalau datang posyandu paling imunisasi tidak pernah ada penyuluhan tentang malaria. begitu juga kalau ada pertemuan di puskesmas tidak pernah di sampaikan tentang malaria” (WR, 56 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan EW
sebagai kepala suku mengakui bahwa informasi tentang
malaria tidak pernah diperoleh dari petugas kesehatan.
Informan juga menegaskan bahwa tidak adanya informasi
tentang malaria berdampak pada upaya penganggulangan
malaria yang akan dilakukan masyarakat. Berikut penuturan
informan :
“tidak pernah itu petugas kesehatan memberikan informasi tentang malaria sama masyarakat jadi bagaimana masyarakat tahu cara menanggulangi malaria kalau informasi tentang malaria tidak pernah mereka dapat, pengetahuan masyarakat disini kan masih rendah” (EW, 41 tahun) Berbeda hal-nya dengan penuturan KM sebagai petugas
kesehatan yang ada di Puskesmas Karang Tumaritis,
mengungkapkan bahwa program penyuluhan malaria di
Puskesmas telah ada sejak lama. Namun, dalam
104
implementasinya terkadang tidak berjalan. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan tenaga penyuluh di puskesmas, berikut
penuturan informan :
“sebenarnya kalau di program itu ada penyuluhan tapi untuk malaria hanya saja terkadang itu tidak dilaksanakan karena kita disini kekurangan tenaga penyuluh jadi tidak berjalan lancar itu penyuluhan malaria” (KM, 39 tahun) Hal ini juga diakui oleh Kepala Puskesmas Sanoba
bahwa penyuluhan tentang malaria memang tidak berjalan
lancar karena keterbatasan dana untuk kegiatan penyuluhan.
Informan juag menegaskan bahwa tidak ada Promosi
Kesehatan Malaria di Puskesmas oleh karena tidak adanya
pemegang program maka tidak ada yang dapat mengotrol
pelaksanaannya. Berikut kutipan wawancara dengan informan
“Di puskesmas sini memang tidak ada tenaga Promkes jadi penyuluhan tentang malaria itu memang tidak berjalan karena itu tidak ada yang kontrol, itu juga kita disini kekurangan dana untuk kegiatan penyuluhan jadi hanya beberapa penyuluhan yang berjalan di sini” (OR, 45 tahun)
d. Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan
Pemanfaatan sarana dan prasana oleh masyarakat
khususnya penderita malaria dalam pencarian pengobatan,
baik di Puskesmas, rumah sakit, dokter praktek maupun di
fasilitas lainnya. Pada dasarnya masyarakat di Kabupaten
Nabire telah memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia
105
meskipun masih terdapat beberapa masyarakat yang tetap
menggunakan pengobatan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari
hasil wawancara dengan informan LG yang mengungkapkan
bahwa pengobatan yang dilakukan ketika ada anggota keluarga
yang menderita malaria adalah berobat ke Puskesmas,
meskipun informan terkadang juga memanfaatkan pengobatan
tradisional. Berikut penuturan informan :
“kalau ada keluarga saya yang malaria saya ke puskesmas berobat tapi biasa juga minum obat kampung kalau tidak parah sakitnya” (LG, 26 tahun) Hal yang sama juga diutarakan oleh informan MT yang
tinggal di wilayah pegunungan, bahwa pencarian pengobatan
yang dilakukan ketika sakit dengan pelayanan kesehatan yang
tersedia di puskesmas. Informan juga menegaskan bahwa
keluarganya terkadang memanfaatkan fasilitas lainnya yang
tersedia di Kabupaten Nabire, seperti dokter praktik. Berikut
hasil wawancara dengan informan :
“berobat ke puskesmas kalau sakit biasa juga keluarga saya berobat ke dokter praktek kalau tidak sempat ke puskesmas” (MT, 49 tahun) Pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh masyarakat diakui
juga oleh informan PM sebagai tokoh adat. Menurut informan
masyarakat setempat pada dasarnya sudah memiliki kesadaran
untuk berobat ke pelayanan kesehatan. Hal ini didukung juga
106
dengan adanya pelayanan gratis bagi masyarakat sehingga
masyarakat tidak terbebani dengan biaya pengobatan ketika
berobat ke Puskesmas. Berikut hasil wawancara dengan
informan :
“masyarakat di sini sudah sadar kalau sakit itu berobat ke puskesmas apalagi di pusksemas itu kan gratis tra bayar kalau berobat jadi dong tidak perlu menyediakan biaya yang banyak kalau mau ke puskesmas” (PM, 43 tahun)
Hal ini didukung juga dengan penuturan petugas
kesehatan yang ada di Puskesmas Sanoba, menurut informan
masyarakat yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sanoba
sebagian besar telah memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada di Puskesmas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
kunjungan dari beberapa pelayanan yang ada di Puskesmas
setiap tahunnya mengalami peningkatan. Informan juga
menegaskan bahwa masyarakat setempat pada dasarnya
sudah sadar untuk berobat ke fasilitas kesehatan, namun
kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan
penyakit masih sangat minim terutama dalam penanggulangan
penyakit malaria. Berikut hasil wawancara dengan informan :
“sebagian besar masyarakat di wilayah kerja puskesmas sini telah memanfaatkan pelayanan yang ada disini tiap tahun itu jumlah kunjungan misalnya di pemeriksaan ibu hamil terus mengalami peningkatan. Masyarakat disini sebenarnya sudah sadar untuk berobat ke sini cuma itu saja kesadaran mereka untuk mencegah penyakit itu yang masih kurang terutama malaria mereka tidak
107
melakukan pencegahan apa – apa jadi masih sering terkena malaria” (KM, 39 tahun)
e. Bentuk Pelayanan oleh Tenaga Kesehatan
Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang
ada di Puskesmas kepada masyarakat khususnya penderita
malaria berupa pelayanan di fasilitas kesehatan, rawat jalan,
rawat inap, kunjungan rumah, dan kegiatan lain dalam upaya
penanggulangan penyakit malaria. Dari hasil wawancara
dengan informan diperoleh informasi bahwa bentuk pelayanan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan berfokus pada
pelayanan kuratif adapun pelayanan preventif dan promotif
masih jarang diberikan kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dari penuturan informan LM seorang ibu rumah tangga tangga
yang tinggal di wilayah pesisir mengungkapkan bahwa bentuk
pelayanan yang diterima ketika mengakses layanan di
puskesmas adalah pelayanan pengobatan. Informan juga
menuturkan bahwa tidak ada pemberian informasi dari petugas
tentang malaria. Berikut hasil wawancara dengan informan :
“kalau torang ke puskesmas itu paling dong ada kasi obat saja. Kalau diberi tahu tentang apa itu malaria tra pernah dorang kasi tau” (LM, 25 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan YN yang
pernah menderita malaria. Informan menuturkan bentuk
108
pelayanan yang dia dapat di Puskesmas pada saat menderita
malaria berupa pengobatan dan pemeriksaan di laboratorium.
Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“waktu saya kena malaria dulu saya di DDR dulu baru dong kasi obat” (YN, 21 tahun) Penuturan informan di atas dipertegas dengan hasil
wawancara Kepala Puskesmas Sanoba yang memaparkan
bahwa bentuk pelayanan di Puskesmas yang dapat diakses
masyarakat beruapa pengobatan rawat jalan dan pemeriksaan
diagnosa malaria baik secara klinis maupun pemeriksaan RDT.
Informan juga mengakui bahwa pelayanan preventif dan
promotif pada dasarnya tersusun dalam program namun belum
terimplementasi secara keseluruhan karena beberapa
hambatan diantara keterbatasan dana dan tenaga kesehatan.
Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“bentuk pelayanan yang kami berikan kepada masyarakat cenderung ke pengobatan saja. Kalau penyuluhan memang kami masih belum bisa laksanakan secara keseluruhan karena masih terbatas dana itu kita juga kekurangan tenaga. Tapi kalau diagnosa malaria dapat masyarakat peroleh di sini. Kita biasa pakai diagnose klinis tapi biasa juga pakai pemeriksaan laboratorium kalau tersedia RDT karena biasa juga tidak ada RDT dari dinas” (OR, 45 tahun)
109
4. Sosio Budaya
a. Kepercayaan dan keyakinan suku tentang penyakit malaria
Kepercayaan dan keyakinan tentang penyakit malaria
merupakan suatu sikap yang diyakini dan ditunjukkan etnis
Papua terkait dengan penyakit malaria. Hasil wawancara
dengan informan menunjukkan bahwa kepercayaan dan
keyakinan etnis Papua masih kental dengan budaya setempat.
Menurut informan EW sebagai kepala suku Dani di Kampung
Sanoba Atas mengungkapkan bahwa masyarakat
mempersepsikan pada musim rambutan orang akan rentan
terkena malaria karena konsumsi rambutan yang berlebihan.
Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“Masyarakat disini itu kalau musim rambutan gampang itu kena malaria karna mereka makan terlalu banyak rambutan jadi dong sakit perut dan gampang kena malaria.” (EW, 41 tahun) Bahkan petugas kesehatan yang ada di Puskesmas juga
mempersepsikan hal yang sama, bahwa penderita malaria akan
meningkatkan ketika musim buah (rambutan). Berikut kutipan
wawancara dengan informan :
“Sekarang ini musim rambutan dan banyak anak-anak yang sakit malaria datang kemari berobat, anak-anak dorang kalau makan rambutan terlalu banyak jadi dong kena mencret jadi gampang kena malaria” (AM, 48 tahun)
110
Adapun budaya etnis papua terkait dengan pengobatan
malaria, masyarakat meyakini bahwa semua yang berasa “pahit”
merupakan obat malaria. Dari hasil wawancara dengan informan
MS mengungkapkan bahwa masyarakat terkadang
menggunakan obat tradisional dalam pengobatan malaria,
seperti daun papaya, daun sambiloto dan kulit kayu susu. Berikut
kutipan wawancara dengan informan :
“Obat yang dong bawa ada seperti buah penutupnya ada biji didalam untuk tindis testa19, diapu daun kan pahit to. Kulit kayu susu, orang-orang kampung dong ada minum diapu air rebusan, juga dong ada pake daun sambiloto atau yang dong bilang disini daun belakang babiji20, kalau kayu susu itu diapu pohon besar, yang diambil diapu kulit saja, rebus dan diapu air yang diminum, rasanya pahit, tapi pahit itu yang bikin dia jadi obat untuk malaria, dong juga ada pake rebusan daun pepaya.” (MS, 59 tahun) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan AT
berdasarkan pengalamannya yang pernah menderita malaria
falsiparum (+). Menurut informan pengobatan yang dilakukannya
dulu pada saat menderita malaria dengan meminum obat
tradisional berupa daun pepaya yang direbus. Berikut kutipan
wawancara dengan informan :
“dorang sakit malaria dulu minum daun pepaya yang direbus baru diminum bagus itu kalau orang malaria” (AT, 25 tahun)
19
dahi 20
Tanaman obat yang dikenal dengan nama “meniran”
111
Suatu hal yang menarik juga ditemukan dari hasil
wawancara dengan informan, yaitu adanya kepercayaan pada
masyarakat setempat bahwa orang yang sakit harus
mengeluarkan keringat agar panas yang dirasakan dapat keluar
sehingga masyarakat akan tetap melakukan rutinitasnya sebagai
petani dan nelayan agar dapat mengeluarkan keringat.
Keyakinan masyarakat ini sangat berdampak terhadap upaya
pengobatan yang akan dilakukan . Berikut kutipan wawancara
dengan informan :
“Pada saat dorang sakit harus bisa keluarkan keringat supaya diapu panas ada keluar. Jadi dorang tetap kerja” (HK, 28 tahun)
b. Perilaku Bersosialisasi pada Malam Hari
Perilaku bersosialisasi pada malam hari yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pergaulan atau aktivitas yang
dilakukan masyarakat di luar ruangan/alam terbuka pada malam.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya budaya
setempat yang memiliki kebiasan melakukan acara – acara pada
malam hari, seperti acara pernikahan, dll dapat menjadi salah
satu faktor risiko terkena malaria mengingat aktivitas nyamuk
Anopheles menggigit pada malam hari. Sebagaimana hasil
wawancara dengan informan AM sebagai tokoh adat masyarakat
Napan mengungkapkan bahwa masyarakat bisanya
mengadakan acara – acara pada malam hari karena pada pagi
112
dan siang hari masyarakat bekerja sehingga susah untuk
mengumpulkannya. Berikut kutipan wawancara dengan
informan:
“masyarakat di sini biasanya bikin acara kalau malam hari karena kalau siang dong sibuk semua kerja jadi tidak bisa datang di acara” (AM, 48 tahun) Di samping itu masyarakat juga memiliki kebiasaan
berkumpul pada malam hari sambil menonton beramai – ramai,
mengingat hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki
Televisi sehingga mereka cenderung berkumpul di suatu rumah
untuk menonton. Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“dorang biasa nonton sama-sama di kios, dorang tidak ada TV di rumah jadi dong pergi nonton di rumah tetangga kalau malam” (TM, 19 tahun)
c. Cara pencegahan dan pengobatan penyakit malaria secara
tradisional berdasarkan budaya setempat
Hasil wawancara dengan informan di peroleh informasi
bahwa secara umum masyarakat belum melakukan upaya
pencegahan terhadap penyakit malaria. Hal ini dapat dilihat dari
penuturan LM sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak
menderita malaria mengakui bahwa tidak ada upaya
pencegahan yang dilakukan agar tidak tertular malaria. Informan
juga menegaskan bahwa keterbatasan biaya untuk membeli
113
kelabu menjadi penghambat untuk melakukan pengobatan.
Berikut kutipan wawancara dengan informan :
“sa tra dapat kelambu waktu dong ada bagi, jadi tong tidur begitu saja, kalau beli sa trada uang untuk beli jadi.....” (LM, 25 tahun) Hal yang sama juga dituturkan oleh informan AT yang
sering menderita penyakit malaria, mereka hanya mengenal cara
pencegahan dari gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk
bakar, namun penggunaanya tidak setiap hari hanya digunakan
jika merasa ada banyak nyamuk, cara lain seperti obat nyamu
semprot dan obat nyamuk oles (lotion) tidak mereka kenali dan
gunakan. Berikut hasil wawancaranya:
“kitong biasa pake obat nyamuk yang dibakar saja kalau ada nyamuk, kalau yang lain tong tra biasa pake.” (AT, 25 tahun)
Hal ini didukung hasil wawancara dengan petugas di
Puskesmas. Informan mengungkapkan bahwa kesadaran
masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan masih sangat
kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya upaya masyarakat
untuk menggunakan kelambu sebagai salahsatu cara
pencegahan. Menurut informan ini disebabkan karena tidak
adanya niat dari masyarakat untuk membeli kelambu karena
mereka menganggap ha itu bukan sesuatu hal yang penting.
Disamping itu, mereka juga cenderung mengharapkan bantuan
dari pemerintah. Berikut kutipan wawancara dengan informan :
114
“pencegahan malaria itu susah di masyarakat karena mereka tidak sadar kalau itu penting. Contohnya saja kalau di suruh beli kelambu, mereka tidak beli itu karena dia pikir itu tidak penting. Itu juga masyarakat disini selalunya mengharapkan bantuan dari pemerintah jadi kalau tidak ada bantuan mereka tidak bisa.” (KM, 39 tahun)
B. PEMBAHASAN
1. Pemikiran dan Perasaan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pada
dasarnya informan memiliki pemahaman tentang malaria sesuai
dengan kepercayaan dan pengalaman yang mereka miliki. Informan
tidak dapat menyebutkan secara tepat penyebab langsung dan cara
penularan malaria namun Informan menganggap bahwa malaria
merupakan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh permasalahan
lingkungan yang tidak bersih dan perilaku masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut tema pemahaman informan yang tidak
berubah terkait pernyataan informan disebabkan karena program-
program yang selama ini dilaksanakan pemerintah tidak menyentuh
pengetahuan masyarakat etnis Papua, dari kenyataan yang selama ini
terjadi program pemerintah yang dilaksanakan hanya bertumpu pada
pengobatan saja.
Berdasarkan teori segitiga epidemiologi penyakit malaria
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu host, agent dan environment. Oleh
karena itu, agar tidak timbul kejadian malaria maka diperlukan
115
lingkungan yang tidak mendukung perkembangbiakan nyamuk
sebagai vektor penyebab malaria dan perilaku menghindari
/mengurangi kontak dengan vektor (nyamuk Anopheles).
Perilaku masyarakat terhadap malaria umumnya berdasarkan
pengalaman. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat
mengenai malaria yang umumnya berdasarkan gejala yang mereka
alami ketika menderita malaria.
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan
kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap
stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini
dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap)
maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini,
perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk
pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya
menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta
tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo,
2003).
Pada dasarnya pemahaman masyarakat tentang malaria masih
sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
menunjukkan pemahaman masyarakat mengenai penularan malaria
masih sangat terbatas, hanya sebagian kecil masyarakat yang
116
mengetahui bahwa penularan penyakit malaria melalui gigitan
nyamuk. Pengetahauan masyarakat tentang kesehatan terutama
malaria yang masih sangat minim ini sangat berpengaruh terhadap
cara masyarakat dalam menyikapi masalah kesehatan khususnya
malaria, sehingga masih belum sesuai dengan yang diharapkan.
Sebagian masyarakat belum mengetahui tempat-tempat perindukan
dari malaria, bahkan masyarakat pun belum mengetahui waktu atau
jamnya nyamuk Anopheles menggigit. Sehingga masyarakat tidak
melakukan tindakan yang dapat mencegah malaria.
Sebagaimana hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas
Sanoba pada penelitian ini diperoleh informasi bahwa kesadaran
masyarakat dalam melakukan pencegahan malaria menjadi suatu
hambatan utama untuk menanggulangi malaria. Kurangnya kesadaran
masyarakat melakukan pencegahan malaria disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan malaria yang mereka miliki. Hasil penelitian
Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah kemungkinan
risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang
berpengetahuan baik, hal ini sejalan dengan penelitian James Obol
dkk (2011) bahwa masih ada masyarakat di Uganda yang memiliki
kesalahpahaman dalam menyebutkan penyebab dan modus
penularan malaria, sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam
upaya pananggulangan malaria.
117
Menurut Notoatmojo (2005) pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku
melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap
yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long
lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat menganai malaria
diperlukan peran serta petugas kesehatan dalam memberikan
penyuluhan karena dalam kenyataannya masyarakat lebih
mendengarkan informasi yang diberikan oleh orang yag berkompeten
dalam kesehatan. Peran petugas kesehatan sangat menentukan
dalam memutus mata rantai siklus hidup nyamuk Anopheles sp. Salah
satu bentuk intervensi petugas kesehatan, yaitu memberikan
penyuluhan kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk
penyebab malaria. penyuluhan kesehatan masyarakat bertujuan agar
masyarakat menyadari mengenai masalah penanggulangan dan
pemberantasan malaria sehingga mengubah pola perilaku untuk hidup
sehat dan bersih (Sitorus H, 2006).
Temuan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa upaya
pencegahan malaria yang dilakukan masyarakat masih sangat kurang
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Berakit, Riau dan Jawa
Tengah yang merupakan salah satu daerah hiperendemik malaria.
Masyarakat di daerah tersebut tidak melakukan tindaka pencegahan
118
terhadap kemungkinan tertular malaria, karena menganggap bahwa
malaria bukan merupakan penyakit menular dan tidak berbahaya, dan
merupakan penyakit biasa karena dalam kehidupan sehari-hari
penderita malaria masih tetap bekerja (Kasnodihardjo, 1997).
Selama ini upaya yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi
masalah penyakit menular, masih banyak berorientasi pada
penyembuhan penyakit. Upaya ini masih kurang efektif karena banyak
mengeluarkan biaya. Sedangkan upaya yang lebih efektif dalam
mengatasi masalah kesehatan dengan memelihara dan meningkatkan
kesehatan dengan berperilaku hidup sehat. Namun, hal ini ternyata
belum disadari dan dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat
(Kusumawati, 2004).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah
memiliki kesadaran yang sudah cukup tinggi untuk melakukan
pengobatan terhadap penyakit malaria yang dideritanya. Hal ini dapat
dilihat dari pencarian pengobatan yang dilakukan masyarakat, baik
secara tradisional maupun modern. Pencarian pengobatan yang
dilakukan oleh masyarakat tidak lepas dari pengetahuan yang mereka
miliki tentang malaria.
Masalah yang menjadi kekhawatiran adalah walaupun mereka
tahu bahwa pengobatan malaria adalah dengan menggunakan obat –
obatan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Namun, tidak adanya
kontrol minum obat yang dilakukan memungkinkan mereka melakukan
119
pengobatan dengan cara yang tidak benar. Sehingga dikhawatirkan,
cara pengobatan yang tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian obat
ini akan dapat menimbulkan resistensi terhadap pengobatan malaria.
Penelitian yang pernah dilakukan di Nabire tahun 1995 oleh Baird JK,
dkk menemukan bahwa pengobatan dengan Klorokuin tidak lagi
menjadi terapi yang efektif untuk malaria falciparum atau vivax di
sepanjang pantai utara Irian Jaya, Indonesia.
Disamping itu masih banyak masyarakat yang menggunakan
pengobatan tradisional yang mereka percayai dapat menyembuhkan
malaria. Bahkan terkadang juga masyarakat tidak melakukan upaya
apapun untuk mengobati penyakit yang dideritanya karena mereka
menganggap hal itu tidak berbahaya selama mereka masih bisa
melakukan pekerjaan sehari – sehari.
Menurut Notoatmodjo (1993), persepsi terhadap keadaan sakit
menyebabkan masyarakat tidak bertindak atau tidak melakukan
kegiatan apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi jika sakit,
perilaku yang dilakukan adalah justru juga tetap tidak bertindak oleh
karena kondisi yang demikian tidak menganggu kegiatan atau kerja
mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa
bertindak apa-apapun simptom yang dideritanya akan lenyap dengan
sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-
tugas lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya.
Atau perilaku yang dilakukan adalah melakukan tindakan pengobatan
120
sendiri dengan salah satu alasan yaitu kepercayaan pada diri sendiri
dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha-
usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan.
Menurut Notoatmodjo, perilaku lain juga dapat terjadi yaitu
masyarakat mencari pengobatan dengan membeli obat-obat di
warung-warung obat dan sejenisnya. Pilihan terhadap pengobatan ke
fasilitas-fasilitas kesehatan modern dan dokter hanyalah pilihan
terakhir dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian Capah,
2008 menyebutkan bahwa masyarakat mencari pengobatan bila
penyakit sudah semakin parah sehingga dapat menjadi sumber
penularanyang potensial bagi orang lain disekitarnya.
2. Referensi Seseorang
Perilaku masyarakat dalam melakukan pencegahan dan
pengobatan malaria juga dipengaruhi oleh referensi seseorang yang
dijadikan panutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa keputusan masyarakat dalam melakukan
pencegahan dan pengobatan malaria dilakukan sesuai dengan
petunjuk dari orang yang dianggap penting terutama dari keluarga .
Dari pemahaman tersebut tema panutan dalam berperilaku bagi
etnis Papua dalam penanggulangan malaria masih mengandalkan
keluarga sebagai orang yang terdekat, sementara dari pihak kepala
suku tidak didapatkan dengan maksimal karena adanya pemahaman
dalam etnis mereka bahwa kepala suku hanya mengurus masalah
121
yang berkaitan dengan adat dan pemerintahan bukan masalah sehat
dan sakit.
Peranan keluarga amat penting, pihak keluarga yang penuh
pengertian dan kooperatif dengan pihak perawatan dan memberikan
dorongan moril penuh kepada penderita, akan banyak membantu
dalam penatalaksanaan pengobatan malaria. Dalam banyak hal,
ternyata respon penderita terhadap pengobatan banyak sedikitnya
ditentukan oleh faktor keluarga dan lainnya dalam memberikan reaksi
terhadap penyakit yang dideritanya. Dalam pengalaman praktek
sering kali dijumpai sikap negativistik (penolakan) dari pihak keluarga.
Mungkin karena ketidaktahuan (ignorancy) ataupun kepercayaan
tradisional tentang penyebab dan pengobatan malaria, maka dokter
seringkali kehilangan peluang yang baik (momentum) untuk
melakukan tindakan ini.
Selaras dengan pendapat Cohen (1984), dengan tipe
mekanisme dukungan emosionalnya dimana dengan memberikan
dukungan emosional dapat memberikan parasaan bahwa kita dicintai
oleh orang lain sehingga tidak ada merasa rendah diri maupun stress
sehingga dukungan tersebut dapat mengembangkan hubungan
personal yang relatif. Sedangkan menurut pendapat Friedman (1998)
dukungan emosional adalah keluarga sebagai sebuah tempat yang
aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu
penguasaan terhadap emosi.
122
Hasil penelitian yang dilakukan Imran (2003) menunjukkan
bahwa dukungan finansial dari keluarga sangatlah penting bagi
penderita malaria yang menjalani pengobatan karena pendapatan
keluarga yang kurang menyebabkan penderita tidak dapat mengakses
layanan di fasilitas kesehatan. Sejalan dengan penelitian Ikrayama
Babba (2005) di Jayapura yang menyatakan bahwa penghasilan
keluarga <Rp.1.006.000 tiap bulan akan beresiko untuk terkena
malaria 3,26 kali dibanding yang berpenghasilan lebih setiap
bulannya, hal ini karena berpengaruh terhadap kebutuhan hidup
termasuk kebutuhan kesehatan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan konsumsi makanan bergizi.
Disamping dukungan – dukungan yang diperoleh dari keluarga,
upaya pencegahan dan pengobatan malaria tidak lepas juga dari
adanya dukungan tokoh masyarakat, baik kader posyandu maupun
tokoh adat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial
tokoh masyarakat mengenai penyakit malaria masih sangat kurang.
Penuturan salah satu informan (LM) mengaku bahwa informasi
tentang malaria tidak pernah didapatkan dari tokoh adat. Hanya
beberapa informan yang memperoleh informasi tentang malaria dari
kader posyandu. Tidak adanya dukungan sosial tokoh masyarakat
terlihat baik di daerah pesisir maupun di daerah pegunungan. Padahal
jika saja peran tokoh masyarakat ini dimaksimalkan maka tentunya
akan memberikan dampak terhadap perilaku penanggulangan
123
malaria karena tokoh masyarakat merupakan figur yang seringkali
sangat mudah mempengaruhi masyarakat sekitarnya.
Adanya dukungan sosial masyarakat dapat memberikan
kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari
bagaimana dukungan sosial memengaruhi kejadian dan efek dari
stres. Lieberman (1992) dalam Lubis AJ, mengemukakan bahwa
secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan
munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres. Apabila
kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat
memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut
dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress pada
penderita malaria.
Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon
individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu
sendiri, memengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan
begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan
stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat
memodifikasi efek itu.
3. Sumber Daya
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketersediaan sarana
dan prasarana kesehatan merupakan faktor pendukung bagi
masyarakat untuk melakukan pengobatan malaria di fasilitas
kesehatan.
124
Menurut Soekidjo (2003) untuk mewujudkan sikap menjadi
suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan, diantaranya adanya fasilitas atau sarana dan faktor
pendukung (support) dari pihak lain. Hal ini sejalan dengan penelitian
Anderson dalam Ridwan (1994) yang menyatakan bahwa makin
banyak sarana kesehatan dan tenaga kesehatan di suatu daerah
makin kecil jarak jangkauan masyarakat terhadap suatu pelayanan
kesehatan makin sedikit pula ongkos dan waktu yang diperlukan
sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat meningkat.
Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara khusus
dalam hubungannya dengan kejadian malaria adalah belum
tersedianya sarana laboratorium dan tenaganya untuk menunjang
penegakan diagnosis dan pengobatan yang tepat. Meskipun dari segi
aksesibilitas sarana kesehatan mudah untuk dijangkau namun yang
menjadi kendala adalah keterbatasan finansial masyarakat ketika
akan mengakses layanan. Hal ini diperparah dengan kebiasaan
masyarakat yang mencari pengobatan ketika keadaan sudah
parah/berat serta kebiasaan masyarakat menggunakan pengobatan
secara tradisional menjadi penghambat dalam pelaksanaan
pengobatan malaria.
Penelitian Davy C.P, dkk (2010) mengungkapkan bahwa
meskipun fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia dapat dijangkau
125
namun ditemukan bahwa pengobatan tradisional masih menjadi
pilihan yang umum bagi masyarakat PNG dalam mengobati malaria.
Kendala lain yang dihadapi dalam menanggulangi malaria di
kabupatena Nabire adalah pelayanan di puskesmas yang lebih
berfokus pada pelayanan kuratif sehingga masyarakat cenderung
tidak melakukan upaya – upaya pencegahan (preventif). Disamping
itu, penemuan dan pengobatan kasus baik secara aktif maupun pasif
masih belum berjalan baik. Penderita yang tidak diobati atau diobati
tetapi tidak sesuai standar terapi akan menjadi sumber penularan.
Sistim pencatatan dan pelaporan juga belum berjalan baik,
terutama untuk puskesmas yang jauh dari kabupaten. Semua hal ini
membuat pelaksanaan program pemberantasan malaria menjadi tidak
efektif serta sulit dilakukan evaluasi. Hal ini sesuai dengan konsep dari
H.L Blum, bahwa ada 4(empat) faktor yang berperan dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, termasuk timbulnya
penyakit menular (malaria), yaitu faktor lingkungan yang paling besar
pengaruhnya, kemudian perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan,
dan yang terkecil pengaruhnya adalah faktor keturunan.
Selain ketersediaan sarana dan prasana kesehatan, faktor lain
yang menjadi pendukung masyarakat untuk melakukan pencegahan
dan pengobatan malaria adalah ketersediaan biaya, waktu dan
keterampilan masyarakat. Dari hasil wawancara dengan informan
126
diperoleh informasi bahwa keterbatasan biaya menjadi faktor
penghambat masyarakat ketika akan mengakses layanan.
Suchman mengemukakan bahwa masyarakat kelas sosial
bawah lebih susah untuk mengakses layanan kesehatan karena
keterbatasan penghasilan. Sedikit sekali lapisan masyarakat
menengah ke bawah yang menggunakan fasilitas pelayanan medis
sedangkan 3 - 4 kali di antara masyarakat atas memanfaatkannya
(Lumenta, 1989). Disamping itu, anggota masyarakat sosial bawah
memperoleh kurang informasi dan pengetahuan mengenai kesakitan
dan pengobatan. Mereka tidak mau menerima kesakitan yang diderita
dan ketergantungan terhadap dokter, mereka tidak mau menerima
fakta bahwa mereka sakit dan bergantung kepada pelayanan dokter
dari pada warga kelas sosial atas (Smet, 1994).
Temuan penelitian ini diperoleh informasi bahwa petugas
kesehatan tidak memberikan informasi tentang malaria kepada
masyarakat sehingga pengetahuan masyarakat masih sangat minim.
Oleh karena itu, pengetahuan masyarakat tentang malaria perlu
ditingkatkan dengan cara memberikan penyuluhan oleh petugas
kesehatan karena dalam kenyataannya masyarakat lebih
mendengarkan informasi yang diberikan oleh orang yag berkompeten
dalam kesehatan. Peran petugas kesehatan sangat menentukan
dalam memutus mata rantai siklus hidup nyamuk Anopheles sp. Salah
satu bentuk intervensi petugas kesehatan yaitu memberikan
127
penyuluhan kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk
penyebab malaria. penyuluhan kesehatan masyarakat bertujuan agar
masyarakat menyadari mengenai masalah penanggulangan dan
pemberantasan malaria sehingga mengubah pola perilaku untuk hidup
sehat dan bersih.
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate
impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan
pengetahuan. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media
massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, termasuk
peyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan pengetahuan seseorang. Semakin banyak seseorang
menerima informasi mengenai suatu penyakit maka pengetahuannya
mengenai penyakit tersebut pun akan meningkat sehingga praktik juga
akan lebih baik.
Pengetahuan dan sikap masyarakat tentang penyakit malaria
berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam program
pencegahan penyakit malaria. Keberhasilan pengembangan
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program pencegahan
malaria terkait dengan ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas
yang digunakan dalam program pencegahan malaria, khususnya
dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan (Indah, 2009).
128
Berkaitan dengan pencegahan malaria, peran individu sebagai
anggota masyarakat sangat ditentukan oleh kesadaran masing-
masing, namun kesadaran itu bisa didorong oleh rangsangan dari luar
dirinya antara lain dengan penyuluhan, karena kadangkala mereka
tidak berbuat apa-apa karena memang tidak tahu, sehingga perlu
peningkatan pengetahuan melalui penyuluhan khusus tentang malaria
supaya masyarakat yang dimulai dari individu bisa ikut berperan serta
dalam upaya penanggulangan malaria (Sukowati, 2003).
Salah satu upaya pencegahan malaria adalah melalui
peningkatan pengetahuan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan.
Ceramah dengan cara bertatap muka kepada penduduk merupakan
penyuluhan yang tepat guna untuk daerah endemis malaria seperti di
kabupaten Nabire. Penyuluhan yang dilakukan dengan tatap muka,
diskusi dengan alat bantu media tentang malaria dapat dilakukan
secara mudah dan praktis, dibandingkan dengan menggunakan film
atau video, serta dapat dilakukan secara interpersonal maupun
kelompok.Berhasilnya suatu penyuluhan yang diadakan dalam
pelaksanaan program pencegahan malaria terkait dengan
ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas yang digunakan, materi
yang diberikan juga disesuaikan dengan kebudayaan setempat.
Selain itu dukungan dari tokoh–tokoh masyakat dalam pendampingan
penyuluhan pada saat di lapangan sangat diperlukan.
129
4. Sosial Budaya
Kebudayaan terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat
dan kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu
berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat
manusia. Kebudayaan atau pola hidup, masyarakat di sini merupakan
kombinasi dari semua yang telah disebutkan sebelumnya. Perilaku
normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan den selanjutnya
kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.
Berkaitan dengan penyakit, maka di masyarakat terdapat
perbedaan dalam meresponi interaksi terhadap penyakit. Masyarakat
memiliki pandangan yang beraneka ragam mengenai konsep sehat-
sakit (Notoatmodjo, 1993).
Berdasarkan hasil penelitian ini, tema budaya yang diyakini dan
dilakukan oleh etnis Papua dalam penanggulangan malaria juga lebih
banyak ke pengobatan dengan menggunakan tanaman yang ada
disekitarnya, sementara perubahan dalam hal perilaku pencegahan
nyaris tidak dilakukan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan dan
keyakinan etnis Papua masih kental dengan budaya setempat.
Sebagaimana dengan wawancara mendalam salah satu informan
yang memahami bahwa seseorang akan rentan menderita malaria
pada saat musim rambutan.
130
Kepercayaan merupakan bagian komponen kognisi sikap,
kepercayaan ini berkembang dari adanya persepsi yang dipengaruhi
oleh pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan, faktor
pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur
terhadap apa yang dilihat sedangkan faktor pengetahuan dan
cakrawala memberikan arti terhadap obyek.
Menurut Soejoeti (1995) bahwa persepsi masyarakat tentang
sehat sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur sosial budaya.
Perbedaan persepsi antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah
yang menimbulkan masalah dalam melaksanakan program
kesehatan. Menurut Depkes RI (2003) bahwa faktor yang sangat
penting adalah pandangan masyarakat terhadap penyakit malaria
sebagai suatu kebutuhan untuk diatasi, upaya untuk menyehatkan
lingkungan akan dilaksanakan oleh masyarakat .
Persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit berbeda dengan
konsep kita tentang sehat-sakit, begitu pula dengan kelompok-
kelompok masyarakat lainnya. Persepsi sehat-sakit erat hubungannya
dengan perilaku pencarian pengobatan. Apabila persepsi sehat-sakit
masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas
masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas
kesehatan yang diberikan, identik dengan itu pencarian
pengobatanpun lebih berorientasi kepada aspek sosial budaya
masyarakat dari pada hal-hal yang dianggapnya masih asing.
131
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit,
dan tidak merasakan sakit sudah barang tentu tidak akan bertindak
apa – apa terhadap penyakitnya tatpi apabila mereka terkena penyakit
dan juga merasakan sakit maka baru akan timbul berbagai macam
perilaku atau usaha. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan
tugas – tugas lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati
sakitnya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa kesehatan belum
merupakan prioritas dalam hidup dan kehidupannya.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan
menunjukkan bahwa tindakan untuk mengobati sendiri lebih banyak
dilakukan oleh masyarakat karena mereka percaya pada diri sendiri
dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman – pengalaman
dan usaha – usaha untuk pengobatan sendiri sudah mendatangkan
kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan medis
tidak diperlukan lagi.
Temuan penelitian ini mengenai pengobatan tradisional yang
digunakan oleh masyarakat adalah semua yang berasa “pahit”
dianggap sebagai obat malaria, seperti daun pepaya, kulit kayu susu,
dll. Hal yang menarik juga ditemukan di wilayah pedalaman, dimana
disana ada kebiasan masyarakat yang melakukan pengobatan
dengan menyayat kulit bagian yang sakit seperti jika sakit kepala
maka mereka akan menyayat kulit kepala mereka untuk
mengeluarkan darah yang mereka anggap darah kotor penyebab
132
penyakit sehingga rasa sakit kepala yang dirasakannya akan sembuh,
ini biasa disebut dengan “pengalihan rasa sakit”. Hal ini menunjukkan
bahwa pengobatan tradisional merupakan bagian dari tindakan
masyarakat. Pengobatan tradisional yang merupakan kebudayaan
setempat lebih diterima oleh masyarakat dari pada pengobatan dari
petugas kesehatan.
Permasalahan lainnya yang menjadi faktor penyebab masih
tingginya kejadian malaria di Kabupaten Nabire adalah adanya
kebiasaan masyarakat mengadakan kegiatan atau acara pada malam
hari. Menurut penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Ikrayama
Babba (2005) tentang faktor resiko malaria di Jayapura, masyarakat
dengan kebiasaan beraktifitas di luar rumah pada malam hari
mempunyai risiko tertular malaria 5,54 kali dibandingkan masyarakat
yang tidak memiliki kebiasaan beraktifitas di luar rumah malam hari.
Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut
malam, dimana vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan
masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan
menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat
kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Friaraiyatini, 2006).
Hasil penelitian ini juga diperoleh informasi bahwa kesadaran
masyarakat untuk melakukan pencegahan masih sangat kurang.
133
Hanya sebagian besar masyarakat yang menggunakan kelambu
sebagai upaya pencegahan malaria. Kesadaran masyarakat yang
masih minim ini didukung pula dengan keterbatasan biaya (finansial)
masyarakat untuk membeli kelambu.
Besarnya persentase pemakaian kelambu (dengan dan tanpa
insektisida) nasional adalah 26,1 persen dengan kisaran menurut
provinsi dari 0,8 persen di Bali sampai 84,6 persen di Sulawesi Barat.
Persentase pemakaian kelambu berinsektisida di seluruh Indonesia
adalah 12,9 persen dengan kisaran menurut provinsi dari 0,6 persen
di Sulawesi Selatan sampai 66,1 persen di Papua Barat (Riskesdas,
2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Jeppri Kurniawan (2008)
menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan menggunakan
kelambu dengan kejadian malaria. Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan penelitian Koen Peeters Grietens dkk (2011) yang
menyatakan bahwa penduduk di Vietnam yang menggunakan
kelambu berinsektisida Hammocks (LLIHs) secara teratur baik siang
maupun malam hari dapat mengatasi malaria secara efektif.
134
C. KETERBATASAN PENELITI
Pada penelitian ini ditemukan beberapa keterbatasan peneliti di
lapangan, diantaranya yakni keterbatasan waktu penelitian yang
menjadikan informasi yang diperoleh masih belum dapat dimaksimalkan.
Beberapa informan yang berasal dari daerah pedalaman tidak memahami
bahasa Indonesia dengan baik sehingga peneliti kesulitan dalam
mendapatkan beberapa informasi. Disamping itu peneliti belum
sepenuhnya memahami dengan baik metode penelitian yang digunakan.
135
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya maka disimpulkan bahwa beberapa determinan yang
dianggap membentuk perilaku masyarakat etnis Papua mengenai
penyakit malaria adalah sebagai berikut :
1. Konsep pemikiran dan perasaan etnis papua berupa pengetahuan
mengenai penyakit malaria masih rendah oleh karena informan belum
memahami secara benar tentang faktor penyebab, gejala klinis, cara
penularan dan upaya pencegahan serta pengobatan, kondisi ini
berpengaruh terhadap cara masyarakat dalam menyikapi penyakit
malaria.
2. Konsep referensi personal yakni dukungan anggota keluarga terdekat
telah dilakukan walaupun belum maksimal terutama pada mereka yang
telah menderita penyakit malaria. Dukungan yang maksimal tidak
diperoleh dari kepala suku sebagai orang penting dalam lingkungan
budaya dan organisasi etnis papua, karena kepala suku beranggapan
malaria bukan merupakan tanggungjawabnya.
3. Ketersediaan sumber daya dan sarana dalam penanggulangan
penyakit malaria di Kabupaten Nabire belum berjalan optimal walaupun
aksesibilitas mudah dan terjangkau oleh masyarakat.
136
4. Pelayanan ke masyarakat oleh puskesmas lebih berfokus pada
pelayanan kuratif sehingga upaya pencegahan termasuk malaria
belum terfokus dengan baik.
5. Konsep budaya yang menghambat pengendalian dan pencegahan
penyakit malaria tidak ditemukan, adanya pemberian pengobatan
tradisional sebagai upaya pertolongan pertama terhadap penyakit
malaria yang dilakukan masyarakat berdasarkan kebiasaan yang
dilakukan dalam masyarakatnya secara turun temurun, karena itu
pengobatan modern dilakukan jika penyakit sudah bertambah parah.
E. SARAN
Dengan kesimpulan yang diuraikan diatas maka beberapa
saran diajukan demi tercapainya upaya pengendalian dan
pemberantasan penyakit malaria di kabupaten Nabire khususnya dan
Papua pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Memaksimalkan peran petugas kesehatan khususnya petugas
promosi kesehatan dalam memberikan pemahaman yang benar
melalui berbagai media dan saluran informasi disesuaikan dengan
pendidikan masyarakat dan sosial budaya etnis Papua agar
pemahaman masyarakat mengenai malaria menjadi lebih baik.
2. Dinas kesehatan kabupaten Nabire perlu mengevaluasi kembali
program-program pengendalian dan pemberantasan penyakit
malaria yang telah dilaksanakan terutama program-program upaya
137
pencegahan. Perlu pula dilakukan analisa kebutuhan tenaga
kesehatan di puskesmas sehingga tugas-tugas yang ada
disesuaikan dengan kompetensi tenaga yang dibutuhkan, Serta
melengkapi kekurangan yang ada dipuskesmas terutama
laboratorium dan tenaga laboratorium agar dalam penegakan
diagnosis tidak lagi berdasarkan gejala saja (malaria klinis).
3. Maksimalisasi peran tokoh masyarakat yang ada terutama kepala-
kepala suku dalam mendukung upaya penanggulangan malaria
dengan memberikan pengetahuan yang memadai sehingga
partisipasi mereka dapat memberikan daya ungkit yang bermakna
dalam upaya eliminasi malaria di tanah Papua.
4. Dinas kesehatan kabupaten Nabire dapat melakukan kerjasama
dengan institusi pendidikan guna meneliti tentang tanaman obat
yang selama ini digunakan oleh masyarakat etnis Papua dalam
mengobati malaria, kandungan yang dimiliki apakah benar memiliki
khasiat untuk mengobati malaria sehingga dapat ditemukan
alternatif lain yang sudah dikenali masyarakat etnis Papua dalam
mengobati penyakit tersebut.
5. Perlunya memaksimalkan media oleh petugas kesehatan di
puskesmas dengan memperbanyak media seperti poster, leaflet,
brosur dan jenis media lainnya yang menarik minat masyarakat
agar lebih memahami tentang penyakit malaria.
138
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Cetakan 1, Jakarta, Kompas Media Nusantara, p 228-248.
Akal, Yohanis Ganti, dan Wahyuni, Chatarina Umbul. 2006. Pengetahuan,
Tindakan dan Persepsi Masyarakat tentang kejadian malaria dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 3. No 1 Juli 2006: 35-48. http://www.journal.lib.unair. ac.id/index. php/JKL/article/view/733/733. Diakses tanggal 12 Januari 2013.
Al-Adhroey, Abdulelah H, Nor, Zurainee M., Al-M Mekhlafi, Hesham and
Mahmud, Rohela. 2010. Opportunities and obstacles to the elimination of malaria from Peninsular Malaysia: knowledge, attitudes and practices on malaria among aboriginal and rural communities. http://www.malariajournal.com/content/9/1/137. Diakses tanggal 12 Januari 2013
Anderson, 1994. Fungsional Attributes of Biodiversity in landuse
System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable land Use. CAB International. Oxon.
Arsin, A. Arsunan. 2012. Malaria di Indonesia Tinjauan aspek
epidemiologis. Masagena Press : Makassar
Babba, Ikrayama. 2005. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian malaria (studi kasus di wilayah kerja puskesmas Hamadi Kota Jayapura). http://eprints.undip.ac.id/17758/1/IKRAYAMA_BABBA.pdf. Diakses tanggal 30 Januari 2013.
Baird JK, Wiady I, Fryauff DJ, Sutanihardja MA, Leksana B, Widjaya
H, Kysdarmanto, Subianto B.1995. In vivo resistance to
chloroquine by Plasmodium vivax and Plasmodium falciparum
at Nabire, Irian Jaya, Indonesia. http://www. ncbi.nlm.nih.
gov/pubmed/?term= Baird%2+ reseaech+in+Nabire, diakses tanggal
14 Mei 2013.
Bart, Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
BPS Kabupaten Nabire. 2012. Kabupaten Nabire Dalam Angka.
139
Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Rajawali Pres: Jakarta
Dasril. 2005. Model Pengendalian Penyakit Malaria Melalui
Pendekatan Epidemiologi di Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan Tahun 2005. Tesis Program Pasca Sarjana. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat USU, Medan
Davy, CP., Sicuri,E.,Ome,M.,at all. 2010. Seeking treatment for
symptomatic malaria in Papua New Guinea. http://www.Malaria
journal . com/content/9/1/268 diakses tanggal 8 Mei 2013
Depkes RI, 2005. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia. Ditjen PPM & PL, Jakarta.
Depkes. 2009. Bersama Kita Berantas Malaria. http://www. depkes.go.id
/index.php/berita/press-release/1055-bersama-%20kita-berantas-malaria.pdf. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013
Depkes.2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
http://www.pppl.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013 Dinkes Kabupaten Nabire. 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Nabire. Dinkes Provinsi Papua. 2012. Profil Kesehatan Porivinsi Papua. Dumatubun A.E. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua
Dalam Perspektif Antropologi Kesehatan. sumber : http://www.
papuaweb.org/ uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/04.pdf. Diakses
tanggal 30 Januari 2013.
Friaraiyatini, Keman, S., Yudhastuti R. 2006. Pengaruh Lingkungan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Malaria di Kab. Barito Selatan Propinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2, No.2 Januari 2006: hal 121-128.
Getas, I Wayan dan Zaetun, Siti. 2012. Faktor Resiko Penularan
Penyakit Malaria Di Sekitar Laguna Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara. http://www.lpsdimataram.com. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013
Griapon, A. Leonard. 2010. Lembaga Musyawarah Adat: 10 Tahun
Terakhir dari 30 Tahun Awal Pemerintahan Propinsi di Tanah Papua. ARIKA Publisher. Jayapura.
140
Grietens KP, Xuan XN, Ribera J, at all. 2012. Social determinants of
long lasting insecticidal hammock use among the Ra-glai
ethnic minority in Vietnam:
implications for forest malaria control.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term =Social+ Determinants+
of+Long- Lasting+ Insecticidal+ Hammock- Use+ Among+ Ra-Glai+
Ethnic+ Minorities+ in+ Vietnam% 3A+ Implications+ of+Forest+
Malaria+Control, diakses tanggal 23 mei 2013.
Hamzah, Azizah. 2006. Kaedah Kualitatif Dalam Penyelidikan Sosiobudaya.http://portalfsss.um.edu.my/portal/uploadFolder/pdf/KAEDAH%20KUALITATIF%20DALAM%20PENYELIDIKAN%20SOSIO%20BUDAYA%20%28Azizah%29.pdf. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013
Handayani, Lina. 2008. Faktor Risiko Penularan Malaria Vivak. Berita
Kedokteran Masyarakat Vol. 24, No. 1, Maret 2008, Hal 38 – 43 Harijanto, P.N, Nugroho, Agung dan Gunawan, Carta A,. 2009. Malaria :
dari molekuler ke klinis. Ed.2. EGC : Jakarta
Hlongwana, K. W., Mabaso, M. L.H, Kunene, S., Govender, D. and Maharaj, R. 2009. Community knowledge, attitudes and practices
(KAP) on malaria in Swaziland: A country earmarked for malaria
elimination. http://www. malariajournal.eom/content/8/1/29. Diakses
tanggal 12 Januari 2013
Imran A., 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Masyarakat Dalam Upaya Pemberantasan Penyakit Malaria di Kota Sabang prop NAD, Pasca sarjana IKM UI. http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=77656&lokasi=lokal, diakses tanggal 5 Mei 2013.
Indah M,.2009. Hubungan Akses dan Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan pada Masyarakat dengan Mortalitas Akibat Malaria di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. http://grey.litbang.depkes.go.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-res-2009-indahmarga-3184 diakses tanggal 13 Mei 2013.
Joshi, A.B, and Banjara, M.R. 2008. Malaria related knowledge,
practices and behaviour of people in Nepal. http: //www. ncbi. nlm. nih. gou /pubmed /18399316. Diakses tanggal 12 Januari 2013.
141
Kasnodiharjo. 1997. Persepsi serta Sikap dan Perilaku Penduduk
Terhdap Hutan Magrove dalamkaitannya dengan transmisi
malaria di daerah lampung selatan. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia. 25: 93-95.
Kemenkes RI. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia. http://www. depkes. go .id. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013
Kementerian Kesehatan RI , Direktorat PPBB, Ditjen PP dan PL. 2011.
Buku saku menuju eliminasi malaria. Koentjaraningrat, dkk., 1994. Membangun Masyarakat Mejemuk Irian
Jaya. Penerbit Djambatan. Jakarta. Kurniawan, Jeppry. 2008. Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan
Perilaku Penduduk Terhadap Kejadian Malaria Di Kabupaten Asmat. http://eprints.undip.ac.id/17976/1/Jeppry_Kurniawan.pdf. Diakses pada tanggal 3 Januari 2013
Lieberman. 1992. Pharmaceutical Dosage Form, vol 1. Marcell Dekker,
inc. New York. Lim, S., Yasuoka, J., Poudel, K.C., Poli, Nguon, C., and Jimba, M. . 2012.
Promoting community knowledge and action for malaria control in rural Cambodia: potential contributions of Village Malaria Workers. http://www.biomedcentral.com/1756-0500/5/405 Diakses tanggal 12 Januari 2013
Lubis AJ,. 2006. Dukungan Sosial Terhadap Pasian Gagal Ginjal
Terminal Yang Melakukan Therapi Hemodialisa. http://repository. usu.ac.id/bitstream/ 123456789/1920/1/06010311.pdf diakses tanggal 24 Mei 2013.
Ma’ruf, Arista. 2012. Gambaran Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit
Malaria Di Desa Tunggulo Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo. http:// ejurnal.fikk.ung.ac.id. Diakses pada tanggal 3 Januari 2013
Maleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja
Rosdakarya : Bandung Manalu, H. S. P. dan Sukowati, S. 2011. Pengetahuan, Sikap dan
perilaku masyarakat terhadap Malaria di kota Batam. http://www.ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/article/view/104. Diakses tanggal 12 Januari 2013
142
Mardiana dan Siti Sapardiyah Santoso. 2004. Peran Serta Masyarakat
Dalam Upaya Penanggulangan Malaria di Desa Buaran dan Desa Geneng, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Media penelitian dan pengembangan kesehatan. Volume XIV No. 1 hal 15-21.
Mirino, Riechard R. B., 2009. Studi faktor lingkungan rumah dan
perilaku masyarakat Yang berhubungan dengan kejadian malaria di kecamatan Agats kabupaten Asmat Papua. http://eprints.undip. ac. id/ 8929/I/Riechard_R_Abstract.pdf. Diakses tanggal 30 Januari 2013.
Ndoen, Ermi ML. Faktor-faktor lingkungan dan model eko-
epidemiologi malaria di Indonesia. http://www.irgscorg/files/abslunchseminareNdoen phd. pdf. Diakese tanggal 12 Januari 2013.
Ningsi, Erlan, A., dan Puryadi. 2011. Aspek Sosial Budaya Masyarakat
Berkaitan Dengan Kejadian Malaria Didesa Sidoan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/. Diakses pada tanggal 3 Januari 2013
Notoatmodjo Soekidjo. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan
Ilmu perilaku Kesehatan. Depok: Program Studi IKM kekhususan pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta:PT. Rineka Cipta. Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya.
PT Rineka Cipta: Jakarta. Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. PT Rineka Cipta :
Jakarta Nurjanah. 2010. Teori-Teori Tentang Prilaku Manusia.
http://nurjanah.staff.unri.ac.id/files/2012/03/2.-Teori-Manusia.pdf. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013
Obol, J., Lagoro, K.D., and Garimoi, O.C. 2011. Knowledge and
Misconceptions about Malaria among Pregnant Women in a Post-Conflict Internally Displaced Persons’ Camps in Gulu District, Northern Uganda.
143
http://www.hindawi.com/journals/mrt/2011/107987. Diakses tanggal 12 Januari 2013.
Pell, C.,Straus, L., Andrew, E.V.W., Menaca, A., and Kolam, R. 2011.
Social and Cultural Factors Affecting Uptake of Interventions for Malaria in Pregnancy in Africa: A Systematic Review of the Qualitative Research. http://www. ncbi. nlm. nih. gou/ pubmed/21799859. Diakses tanggal 12 Januari 2013.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Rubianti, I., Wibowo, T.A., dan Solikha. 2009. Faktor-faktor Resiko
Malaria di wilayah kerja Puskesmas Paruga Kota Bima Nusa Tenggara Barat. http://www.journal. uad.ac.id/index.php /KesMas/article /view/545/pdf. Diakses tanggal 11 Januari 2013.
Rumbiak, Helmin. 2006. Analisis manajemen lingkungan terhadap
kejadian malaria di kecamatan Biak Timur kabupaten Biak - Numfor Papua. http://eprints.undip.ac.id/15616/pdf. Diakses tanggal 30 Januari 2013.
Salan, R. 1988. Perilaku Kesehatan, Perilaku Kesakitan dan Peranan
Sakit (Suatu Introduksi). Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran, No. 51 halaman 31-34
Santoso, SS dan Kasnodihardjo. 1991. Suatu Tinjauan Aspek Sosial
Budaya Dalam Kaitannya Dengan Penularan dan Penanggulangan Malaria. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan No. 19 (4) halaman 42-50.
Saputro, G., Hadi, U. Kesumawati dan Koesharto, F.X. 2010. Perilaku
nyamuk Anopheles Punctulatus dan kaitannya dengan Epidemiologi malaria di Desa Dulanpokpok Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Hemera Zoa, Indonesian Journal of Vaterinary Science and Medicine. Vol. II No. 1. Desember 2010; hal 25-33.
Setiyorini, Ana. 2002. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/12083443.pdf. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013
Shinta dan Sukowati, S. 2005. Pengetahuan Sikap dan Perilaku Tokoh
Masyarakat tentang malaria di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Media Litbang Kesehatan Vol XV no.1 Tahun 2005.
144
http://ejounal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1141/485. Diakses tanggal 12 Januari 2013
Sitorus, H dan Labudi P. A. 2006. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Masyarakat Desa Pagar Desa Terhadap Malaria (Pemukiman Suku Anak Dalam) Kabupaten Musi Banyuasin. http://ejournal.litbang.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013
Soejoeti, S.Z. 1995. Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria
Hubungannya Dengan Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan. Media Vol V. No. 2 Tahun 1995
. Sudarti, dkk. 1988. Persepsi Masyarakat tentang Sehat dan Sakit dan
Posyandu. Depok : Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-7.
Alfabeta: Jakarta Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Alfabeta : Jakarta. Sukowati, S., Sapardiyah, S., Lestari EW., 2003. Pengetahuan Sikap dan
Perilaku (PSP) Tentang Malaria di Daerah Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.2 No.1 April 2003. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/view/2388, diakses tanggal 14 Mei 2013.
Syarif, Ahmad. 2011. Strategi komunikasi malaria center Halmahera
selatan dalam mengkampanyekan Program gebrak malaria.
http:// repository. unhas.ac. id/bitstream/ handle/ 123456789/ 230/
Skripsi%20 Lengkap%20-%20Strategi% 20Komunikasi%
20Malaria%20Center% 20 Halmahera% 20 Selatan% 20dalam % 20
Mengkampanyekan %20 Prog.pdf?sequence=7. Diakses tanggal 12
Desember 2012.
Capah, T. 2008. Kajian Perencanaan Manajemen Lingkungan Dalam Program Pengendalian Malaria di Kabupaten Asmat. Tesis, Universitas Diponegoro.
Tynan, A., Atkinson, J., Toaliu, H., et al. 2011. community participation
for malaria elimination in Tafea Province, Vanuatu:part II. Social ang cultural aspects of treatment -seeking behavior. http ://www. malariajournal. com/ content /01/1/204. diakses tanggal 5 Januari 2013
145
Zaluchu, F. dan Arma A.J.A. 2008. Studi Kualitatif Sosio-Psikologi
Masyarakat Terhadap Penyakit Malaria di Daerah Endemis Malaria (Studi Kasus di Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias). http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 21045/1/ikm-jun2008-12%20%2812%29.PDF. Diakses pada tanggal 10 Januari 2013