Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu -...

29
73 Enam Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu Kehidupan Ekonomi Orang Mbatakapidu Pada umumnya orang Mbatakapidu merupakan petani lahan kering yang juga sebagai penganyam tikar, penganyam gedek, tenunan (lawu 1 , hinggi 2 dan tiara haringgi 3 ), mengusahakan arang, kayu bakar dan pekerjaan sejenis lainnya. Hasil dari kerajinan tikar, arang dan kayu bakar merupakan sumber pendapatan utama Orang Mbatakapidu terutama untuk memenuhi kebutuhan primer mereka seperti beras, sirih, pinang, kapur, kopi, gula, kebutuhan dapur lainnya dan biaya pendidikan anak. Kegiatan seperti menganyam tikar merupakan kegiatan yang banyak digeluti oleh orang Mbatakapidu lebih tepatnya dilakukan oleh para kaum ibu, bapak dan pemuda-pemudi. Adapun ciri-ciri dari usaha yang mereka geluti seperti (1) bahan baku berupa pohon pandan yang tersedia secara melimpah di kebun maupun di sekitar bataran sungai; (2) kegiatan ini merupakan usaha individu dan kelompok (jika tergabung di dalam PKK yang anggotanya berasal dari berbagai suku namun masih memiliki hubungan kekerabatan; (3) jika ada pesanan khusus dari pelanggan maka akan dikerjakan oleh individu atau anggota yang mendapat kepercayaan untuk menganyam pesanan yang diminta, biasanya dibantu oleh sanak keluarga yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut (hasil dari anyaman inipun akan menjadi sumber pendapatan bersih bagi sang pengrajin), sedangkan jika dikerjakan secara gotong royong oleh anggota PKK maka hasilnya sebagian akan dimasukkan ke dalam kas PKK dan sebagian akan dibagi secara merata pada masing-masing anggota yang terlibat; (4) alat yang 1 Sarung (untuk perempuan) 2 Kain (untuk laki-laki) 3 Selendang

Transcript of Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu -...

Page 1: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

73

Enam

Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu

Kehidupan Ekonomi Orang Mbatakapidu Pada umumnya orang Mbatakapidu merupakan petani lahan

kering yang juga sebagai penganyam tikar, penganyam gedek, tenunan (lawu1, hinggi2 dan tiara haringgi3), mengusahakan arang, kayu bakar dan pekerjaan sejenis lainnya. Hasil dari kerajinan tikar, arang dan kayu bakar merupakan sumber pendapatan utama Orang Mbatakapidu terutama untuk memenuhi kebutuhan primer mereka seperti beras, sirih, pinang, kapur, kopi, gula, kebutuhan dapur lainnya dan biaya pendidikan anak.

Kegiatan seperti menganyam tikar merupakan kegiatan yang banyak digeluti oleh orang Mbatakapidu lebih tepatnya dilakukan oleh para kaum ibu, bapak dan pemuda-pemudi. Adapun ciri-ciri dari usaha yang mereka geluti seperti (1) bahan baku berupa pohon pandan yang tersedia secara melimpah di kebun maupun di sekitar bataran sungai; (2) kegiatan ini merupakan usaha individu dan kelompok (jika tergabung di dalam PKK yang anggotanya berasal dari berbagai suku namun masih memiliki hubungan kekerabatan; (3) jika ada pesanan khusus dari pelanggan maka akan dikerjakan oleh individu atau anggota yang mendapat kepercayaan untuk menganyam pesanan yang diminta, biasanya dibantu oleh sanak keluarga yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut (hasil dari anyaman inipun akan menjadi sumber pendapatan bersih bagi sang pengrajin), sedangkan jika dikerjakan secara gotong royong oleh anggota PKK maka hasilnya sebagian akan dimasukkan ke dalam kas PKK dan sebagian akan dibagi secara merata pada masing-masing anggota yang terlibat; (4) alat yang

1 Sarung (untuk perempuan) 2 Kain (untuk laki-laki) 3 Selendang

Page 2: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

74

digunakan untuk menganyam pun masih sangat sederhana serta bersifat padat karya; (5) kegiatan menganyam sudah dilakukan secara turun-temurun dan (6) pengrajin sangat terampil dan skilled dalam menghasilkan produk dari pandan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011 dan 2014.

Gambar 18 dan 19. Kegiatan Menganyam para Ibu aggota PKK (kiri) dan Ibu Karolina K. Ngguna sedang menganyam tikar yang dipesan dari Jakarta

(kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 20 dan 21. Tikar hasil anyaman para Ibu aggota PKK (kiri) dan salah satu hasil kreasi berupa model tanduk sapi (kanan)

Page 3: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

75

Terkait dengan hal ini, ibu Margaretha Takandjandji4 menyebut:

“Kalau kerajinan tikar sudah masuk home industry. Ada yang ukuran kecil, ada yang ekornya (ujungnya) diberi variasi (khusus yang di jual ke luar daerah). Kalau yang ukuran 1 x 3 m seharga Rp 600.00,-. Ukuran 1,2 x 5 m seharga Rp 800.000,- sedangkan ukuran 1,2 x 10 m seharga Rp. 1.500.000,-. Sekarang sedang dianyam ukuran 1,2 x 15 dan ukuran 1,2 x 20 m karena karena ada permintaan atau pesanan dari Jakarta. Ke depan akan dipesan sampai yang berukuran 30 m. Pesanan yang datang diawali dengan ukuran yang kecil dan sederhana dengan asumsi bahwa kalau langsung dipesan yang berukuran 30 m maka para pengrajin belum terbiasa, sehingga dimulai dari ukuran yang kecil sampai ukuran yang paling besar (30 m). Nantinya tikar ini akan digunakan sebagai carpet untuk peragaan busana. Pemilihan karpet yang berasal dan berbahandasar pandan ini merupakan pesanan dari designer yang melakukan kerja sama dengan pihak kementrian ekonomi kreatif. Selain tikar, ada juga anyaman bantal yang berbahandasar pandan dengan nilai jual Rp 300.000,-. Kelebihan pengrajin di sini adalah cukup hanya dengan melihat sebuah contoh maka para pengrajin akan cepat menangkap dan langsung mulai menganyam sesuai dengan pesanan, sedangkan anyaman yang berbentuk tanduk sapi dihargai dengan Rp 100.000,-”.

Senada dengan penuturan ibu Margaretha Takandjandji, maka Karolina Konda Ngguna5 juga menyebut:

“Kegiatan produktif yang kami lakukan seperti membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya. Tikar yang berukuran 1 x 2 m seharga Rp. 50.000,- ukuran 2 x 4 seharga Rp 300.000,- ukuran 1,2 x 10 m seharga 1.500.000,-. Kalau ukuran paling besar kami buat sesuai dengan kemampuan. Kegiatan ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Kami hidup dari hasil tenun tikar. Pendapatan yang kami terimapun digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti pengeluaran sehari-hari seperti kopi, gula, teh, beras, sirih, pinang dan sisanya untuk biaya pendidikan anak”.

4 Wawancara tanggal 08 Oktober 2014 5 Wawancara tanggal 08 Oktober 2014

Page 4: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

76

Dari penuturan ibu Margaretha Takandjandji dan Karolina Konda Ngguna tergambar bahwa kegitan produktif seperti menganyam pandan sudah masuk dalam industri rumah tangga dan dapat menopang kebutuhan rumah tangga orang Mbatakapidu. Gambaran ini sejalan dengan pandangan Ramachandran (1955) dalam Sosrodihardjo (1987 : 125) yang menyebut industri pedesaan harus diperbaiki, sehingga dapat berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) secara regional dalam hubungannya dengan falsafah seperti gotong-royong (mutual service and neighbourliness).

Staley (1972) dalam Sosrodihardjo (1987 : 126) menyebut industri kecil dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu (1) family system (manufacture of own use); (2) artisan system; (3) putting out or dispered factory system dan (4) factory system. Melihat industri yang ada di desa, maka Sosrodihardjo (1987 : 126) menyebut family system merupakan dasar industri pedesaan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan family adalah keluarga dalam arti batih dan keluarga dalam arti kerabat.

Sosrodihardjo (1987 : 126) menyebut industri yang ada di pedesaan merupakan industri yang bersifat labour intensive, di mana modal yang paling utama adalah (1) tenaga kerja dan (2) bahan mentah yang diperoleh berasal dari pekarangan sendiri atau tempat yang berdekatan. Meskipun di sini uang turut menentukan, namun modal uang sangat terbatas jumlahnya. Hal yang menarik dari industri pedesaan seperti labour intensive adalah industri-industri terkumpul dan terpusat di suatu kampung atau dukuh atau bagian dari dukuh dan tidak sampai meliputi satu desa. Contoh terpusatnya industri (anyaman tikar) pedesaan di desa Mbatakapidu terdapat di kampung Uhu Mutung, Manu Rara, Lai Ndatang dan beberapa kampung lainnya.

Lumbung: Antara Ketahanan Pangan dan Kolektivitas

Orang Mbatakapidu merupakan sebuah komunitas lokal yang memiliki tradisi secara turun-temurun dalam hal ketahanan pangan. Inilah yang merupakan warisan para leluhur orang Mbatakapidu pada

Page 5: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

77

masa lampau yang sampai saat ini masih diejawantahkan di sana. Ketahanan pangan yang dimaksud yaitu melalui penyediaan tiga jenis lumbung. Berikut adalah penuturan dari beberapa informan terkait dengan perilaku berladang mereka.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 22 dan 23. Lumbung di hindi (kiri) dan lumbung di atas pohon (kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 24. Bapak Petrus Babu Eha dan lumbung di kebunnya

Terkait dengan hal ini, bapak Umbu Ngguti Nggandung6 menyebut:

6 FGD tanggal 12 September 2014

Page 6: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

78

“Ada 3 macam lumbung pangan yang notabene merupakan warisan para leluhur yaitu lumbung di kebun, pohon dan loteng (hindi). Lumbung di kebun ini meliputi tanaman seperti padi, jagung, luwa, iwi, keladi, singkong, ganyong, pepaya, sukun, labu, pepaya dan sebagainya. Lumbung di pohon meliputi jagung yang dililit di atas pohon, sedangkan lumbung di hindi berupa jagung, sorgum, kacang-kacangan dan padi yang dipersiapkan sebagai bibit (winingu) untuk persiapan masa tanam musim berikutnya. Makna dari ketiga lumbung pangan ini ingin menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut memiliki sumber makanan yang cukup”.

Dari penuturan bapak Umbu Ngguti Nggandung tergambar bahwa eksistensi dari ketiga lumbung pangan ini kurang lebih hanya untuk memenuhi kebutuhan primer atau konsumsi rumah tangga dan persiapan bibit, sehingga secara komprehensif dan detail bapak Alexander Viktor Umbu Retangu7 menyebut:

“Maksud dari 3 lumbung ini bukan hanya ingin menunjukkan bahwa seseorang memiliki atau berkecukupan pangan, tetapi ini berarti kelompok tersebut akan saling membantu pada waktu musim lapar atau dalam istilah modern disebut sebagai usaha bersama atau koperasi kecil atau dalam bahasa adatnya disebut pa anda rukungu parai ruping”. Artinya jika sebuah rumah tangga tidak memiliki jagung atau padi sebagai sumber karbohidrat sehari-hari atau bibit maka akan dibagi kepada rumah tangga tersebut. Dengan kata lain, di sini ada rasa solidaritas yang tinggi. Misalnya si A punya 200 karandi8 dan dia simpan 50 karandi, si B memiliki 50 karandi dan hanya simpan 10 karandi tetapi jika si B kehabisan bibit maka dia akan berkekurangan, tetapi dengan adanya lumbung maka akan menolong pada waktu musim tanam dan akan serempak dalam hal menanam. Karena dalam beberapa dekade ini terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrim mengakibatkan hasil panen orang Mbatakapidu menurun, namun tidak secara signifikan”.

Diperkuat lagi oleh temuan Makambombu (2013 : 9) yang menyebut:

“Program ketahanan pangan yang sementara ini digalakkan juga sebagai upaya untuk mengembalikan model ketahanan

7 Wawancara tanggal 08 Oktober 2014 8 Sebuah satuan yang digunakan untuk menilai jumlah jagung.

Page 7: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

79

pangan yang dilakukan oleh para leluhur mereka pada masa lampau. Pada masa lampau, leluhur mereka mengenal sistem ketahanan pangan melalui penyediaan 3 jenis lumbung pangan yaitu (1) lumbung di rumah,9 lumbung ini berfungsi untuk menyediakan bahan pangan dan bahan bibit untuk keberlanjutan musim tanam tahun berikutnya; (2) lumbung di pohon, yaitu berupa jagung hasil panen yang digantung pada pohon yang memiliki tegakan lurus untuk menghidari dari ancaman dimakan tikus, lumbung ini berfungsi untuk menampung hasil panen yang biasanya dipersiapkan untuk persediaan pangan pada masa-masa kerja kebun, yaitu sebelum musim hujan tiba, seperti pada bulan-bulan September - Oktober dan (3) lumbung di kebun, tidak dalam arti tempat penyimpanan di suatu tempat, tetapi merupakan tanaman pangan yang sengaja tidak dipanen (masih dalam tanah atau tetap di pohonnya) yang dibiarkan begitu saja karena sewaktu-waktu akan dikonsumsi. Jenis tanaman dimaksud seperti, petatas, ganyung, luwa, litangu dan sebagainya”.

Senada dengan penuturan Makambombu, maka Yacob Tanda10 juga menyebut:

“Sejak dari jaman leluhur kami telah dikenal istilah lumbung. Istilah lumbung ini dibagi atas 3 jenis yaitu lumbung di kebun (woka), loteng (hindi) dan pohon (pingi ai). Misalnya kalau jagung panen pada bulan Maret (bisa di muat ke hindi dan pohon), sorgum panen bulan Juli (dimuat ke hindi), ubi kayu panen bulan Agustus dan September (dimuat ke hindi), panen kapas, keladi, iwi bulan Oktober, November dan Desember (kebun). Harus didukung oleh tanaman jangka menengah seperti pisang, sukun, mangga, jeruk. Hal ini dilakukan untuk mendukung ketersediaan pangan (ambil di kebun), di mana langsung petik lalu langsung jual, sehingga tidak masuk rumah lagi. Saat ini masyarakat kami telah lampaui tahapan produksi (sudah terbiasa berproduksi) walau cuman gelondongan. Climate change juga merupakan sebuah hal yang terus diwaspadai oleh seluruh elemen yang ada di Mbatakapidu, Salah satu contoh terjadi pada musim tanam 2013 dan musim panen 2014 di mana banyak masyarakat yang gagal panen. Jika kita hanya meratapi apa yang telah terjadi dan tidak mau belajar dari pengalaman dan mulai

9 Rumah yang dimaksud berupa rumah panggung yang memiliki loteng dan bukan rumah pada umumnya. 10 Wawancara tanggal 09 September 2014

Page 8: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

80

meningkatkan etos kerja yang tinggi maka bukan tidak mungkin masyarakat akan selalu tergantung akan makanan pokok yang dijual di lumbung desa”.

Dari penuturan bapak Alexander Viktor Umbu Retangu, Yacob Tanda dan temuan Makambombu tergambar bahwa orang Mbatakapidu masih menjalankan dan atau mengejawantahkan model tiga lumbung dalam praktek berladang mereka. Makna dari ketiga lumbung ini tidak hanya untuk mendukung ketersediaan pangan, tetapi merupakan cikal bakal koperasi versi orang Sumba. Hal ini sejalan dengan pandangan Bellah (1992 : 18-19) yang menyebut ketika konfusianisme Cina yang menekankan pada faktor efisiensi, harmoni dan mengintegrasikan bagian yang berbeda dari masyarakat dalam usaha produksi berkolaborasi dengan budhisme Jepang maka disini terjadi semacam pergeseran, di mana tidak lagi memperhatikan lagi faktor-faktor di atas, tetapi lebih menekankan pentingnya relasi yang tanpa pamrih untuk kepentingan kolektif.

Di sisi lain, karena faktor climate change mengakibatkan hasil panen orang Mbatakapidu menjadi menurun, sehingga persediaan di lumbung pun menjadi berkurang. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan tanaman panganan lokal menjadi kewajiban bagi masing-masing rumah tangga dalam menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan dari ketiga lumbung ini.

Terkait dengan hal ini, bapak Bimbu Wohangara11 menyebut:

“Sebenarnya yang harus kita pelajari yaitu cara kerja dalam bidang pertanian. Contoh: dulu jam 04 pagi harus bangun masak air, minum kopi, jam 06 harus makan dan setelah selesai makan harus di kebun. Ini rutinitas yang kita lakukan. Etos kerja dari para anak muda Mbatakapidu semakin hari semakin menurun. Contoh: dengan adanya motor maka anak-anak muda akan cenderung berada di atas motor dari pada harus mencurahkan waktu di kebun. Semangat kerja untuk bertahan hidup semakin tergerus. Dulu ada istilah gerbang hililuwanya. Ada 2 istilah yang terkadung yaitu (1) bagaimana pengalaman atau teladan orang tua kita ulangi

11 Wawancara tanggal 29 September 2014

Page 9: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

81

dan (2) merupakan singkatan dari nama tanaman panganan lokal seperti hilli, iwi, luwa, litangu, ganyong. Sekarang kalau kita tanam jagung atau ubi kayu maka kita tidak tanam lagi tanaman lokal yang lain, sehingga kalau jagung tidak berhasil maka kita tinggal gigit jari. Dulu tanam hilli, iwi, ganyong, ubi kayu dan kalau jagung hasil panennya menurun maka masih ada stok tanaman pangan lokal yang lain. Artinya lumbung selalu tersedia di kebun, sehingga kita tidak lapar. Setiap rumah tangga harus miliki 10 jenis tanaman pangan lokal yang didukung oleh peraturan daerah yang menyerukan bahwa setiap petani harus siapkan tanaman panganan lokal. Kami tidak sajikan makanan yang dibeli di pasar seperti kue, tetapi kami sajikan makanan yang berbahan dasar tanaman pangan lokal seperti cendol, sate ubi dan sebagainya. Ada program dari pemerintah daerah terkait dengan no day without rice (tiada hari tanpa beras). Kendalanya karena rumah kami jauh dari kebun maka kami tidak tanam di kebun, sehingga kami menanamnya di pekarangan rumah. Kami wajib tanam 50 pisang per kepala keluarga. Untuk merubah pola pikir untuk kembali ke semula maka akan cukup berat. Jika pakai sistem paksaan juga kurang pas. Cara yang paling efektif yaitu bagaimana dia kenyang dulu, termasuk kembangkan bermacam pangan lokal, sehingga kalau cuaca lagi ekstrim maka kita dapat mensiasati kelaparan. Sekarang kita harus sadarkan dan yakinkan diri masyarakat lewat perenungan pembangunan seperti: (1) sadar diri bahwa saya miskin; (2) percaya diri bahwa saya mampu; (3) menganggap bantuan dari pihak lain sebagai pelengkap atau perangsang; (4) merasa diri mempunyai modal dasar seperti tenaga, tanah, bibit atau benih dan modal uang sesuai dengan kemampuan”.

Senada dengan penuturan bapak Bimbu Wohangara, maka Kalikit Landjamara12 juga menyebut:

“Kalau mau menghasilkan segala sesuatu maka kita harus kerja keras. Ada petuah nenek moyang yang menyebut amahu rara na parikku (tajak itu adalah emas). Jika ada parikku (tajak), tetapi kita tidak memanfaatkannya maka akan sia-sia. Istrimu adalah tanah. Mengapa demikian? Karena dengan memanfaatkan dan mengolahnya maka kita akan bisa bertahan hidup darinya dengan menghasilkan hasil-hasil bumi. Kita harus keluar air keringat baru kita bisa ‘menikmati’ segala berkat Tuhan. Ketika saya jual hasil usaha

12 Wawancara tanggal 13 September 2014

Page 10: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

82

sendiri maka kita akan lebih menikmatinya. Untuk mendapatkan segala sesuatu maka kita harus kerja keras dan tabah. Dewasa ini kalau kita kurang usaha maka kita akan sengsara, sedangkan yang giat berusaha maka hidupnya akan sejahtera”.

Dari penuturan bapak Bimbu Wohangara dan Kalikit Landjamara tergambar bahwa rendahnya etos kerja generasi muda di Mbatakapidu menjadi sebuah tantangan dalam pembangunan di desa Mbatakapidu. Seharusnya para generasi muda dapat mencurahkan sebagian waktu mereka untuk bekerja membantu orang tua di kebun. Artinya ada alokasi penggunaan waktu yang lebih tepat dari pada mencurahkan waktu mereka untuk berkumpul dengan teman-teman di Waingapu untuk mengkonsumsi minuman keras.

Ada beberapa petuah dari para leluhur yang dapat dijadikan sebagai bahan perenungan oleh generasi muda di Mbatakapidu. Bapak Bimbu Wohangara13 menyebut ada petuah yang mengajarkan namunya na kabbiala punggu ai, parikku butta rumba (ingat parang potong kayu dan tajak cabut rumput) dan namunya na karunggu panni manu, utta uhu wei (ingat jagung untuk makanan ayam dan dedak padi untuk makanan babi)”. Makna dari petuah ini adalah bagaimana orang Mbatakapidu secara sadar dan bertanggungjawab terhadap lahan yang ada agar dimanfaatkan demi menunjang kehidupan yang akan datang dan jika bangun pagi maka babi, ayam dan ternak lainnya harus diberi makan. Sebelum dapat menyediakan jagung, ubi kayu dan sebagainya untuk pakan ternak maka dia harus berusaha di kebun dengan menanam tanaman panganan lokal. inilah petuah yang menunjang pembangunan untuk masa depan anak.

Dari penuturan bapak Umbu Ngguti Nggandung, Alexander Viktor Umbu Retangu, Yacob Tanda, Bimbu Wohangara, Kalikit Landjamara dan temuan Makambombu tergambar bahwa untuk terus mendukung keberlanjutan dari tiga lumbung di desa Mbatakapidu maka orang Mbatakapidu perlu menjunjung tinggi etos kerja, gotong

13 Wawancara tanggal 29 September 2014

Page 11: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

83

royong dan kolektivitas, sehingga dapat menjadi dasar pijak dalam proses pembangunan pedesaan khususnya di Mbatakapidu. Hal ini sejalan dengan temuan Foni (2002) yang menyebut jika merasa sebagai bagian dari komunitas Atoni Pah Meto maka seseorang harus bekerja keras, bersungguh-sungguh, tekun, terbuka, jujur, loyal dan bertanggungjawab.

Sistem Ketahanan Pangan Orang Mbatakapidu

Lumbung yang diusahakan oleh orang Mbatakapidu sejatinya menggambarkan konstruksi bahwa semakin kuatnya kolektivitas yang menggambarkan relasi diantara orang Mbatakapidu, sedangkan ketahanan pangan merupakan trickle down effect dari fondasi tersebut. Sistem ketahanan pangan orang Mbatakapidu dapat digambarkan sebagai berikut:

Sistem ketahanan pangan ini berbeda dengan dengan bangunan ketahanan pangan masyarakat Wunga yang ditemukan oleh Palekahelu

Gambar 25. Sistem Ketahanan Pangan Orang Mbatakapidu

Ketahanan Pangan

Lumbung di Kebun

Ubi Kayu Petatas Iwi Litangu Luwa Ubi Keladi Pisang Pepaya Dan sebagainya

Lumbung di Hindi

Jagung Sorgum Kacang Tanah Kacang Hijau Padi Dan sebagainya

Lumbung di Pohon

Jagung

Nilai Gotong Royong, Relasi Tanpa Pamrih dan Kolektivitas

Page 12: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

84

(2010 : 215) yang menyebut kehidupan yang berkelanjutan ditopang oleh empat pilar seperti produksi pangan sendiri, mengambil dari alam, dagang dan bantuan. Ini tentu masih mengambarkan perilaku orang yang masih tergantung pada pemerintah. Seharusnya masyarakat harus dapat mempertahankan eksistensi dan mengaktualisasikan diri mereka dengan jalan kemandirian yang memanfaatkan pengetahuan lokal tradisional yang dimiliki dan tentunya didasari atas nilai-nilai filosofi yang menopang pembangunan.

Memilih Bibit Kehidupan: Jagung Harapan Vs Bisma

Orang Mbatakapidu berpandangan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi hasil panen adalah dalam hal pemilihan bibit jagung. Sejak jaman leluhur sampai saat ini di kalangan orang Mbatakapidu mengenal 2 jenis bibit jagung yaitu jagung lokal yang merupakan bibit hasil pemuliaan sendiri yang dikenal dengan sebutan jagung harapan (wataru monungu) dan bibit jagung bantuan pemerintah yang dikenal dengan sebutan jagung bisma (salah satu dari sekian brand14 jagung bantuan pemerintah yang telah dikemas sedemikian rupa di dalam plastik dan telah dicampur dengan obat-obatan agar tidak dimakan rayap dan serangga sejenis).

Terkait dengan hal ini, bapak Bimbu Wohangara15 menyebut:

“Di sini (Mbatakapidu) kami hanya gunakan bibit lokal, sedangkan di tempat lain banyak gunakan bibit jagung bisma dan sebagainya. Memanga kalau Kalau bibit unggul produksinya (hasil panen) lebih tinggi, tetapi tidak tahan lama (cepat bubuk), tetapi hasil panen dari bibit lokal ini tahan terhadap panas, tahan terhadap kekurangan air, tahan lama dan sebagainya. Bibit lokal di sini disebut dengan istilah jagung harapan (wataru monungu). Kami sudah coba berbagai cara salah satunya dengan campur hasil panen jagung bisma dengan daun jeruk tetapi sama saja atau tetap busuk Biasanya jagung ini (bisma atau hibrida) tidak memiliki rambut di bagian atas ujung tongkol jagung. Jagung yang dihasilkan bisma hanya untuk dijual, sedangkan hasil

14 Merek 15 Wawancara tanggal 12 September 2014

Page 13: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

85

panen dari jagung harapan digunakan sebagai bibit dan sisanya dikonsumsi”.

Senada dengan penuturan bapak Bimbu Wohangara, maka Domu Wulang,16 Karipi Njandji17 dan ibu Bompa Pihu18 juga menyebut:

“Kami selalu gunakan bibit jagung lokal yang dikenal dengan sebutan wataru monungu karena hasilnya tahan lama, sedangkan bibit bantuan pemerintah seperti jagung bisma hasilnya tidak tahan lama (cepat bubuk). Ini kami telah lakukan selama turun temurun. Hasil panen dari jagung bisma biasanya kami jual ke pasar, sedangkan hasil panen dari bibit lokal untuk di simpan sebagai benih di musim tanam yang akan dating dan sisanya kami konsumsi”.

Dari penuturan bapak Bimbu Wohangara, Domu Wulang, Karipi Njandji dan Bompa Pihu tergambar bahwa penggunaan atas sumber daya lokal masih sangat kental bagi orang Mbatakapidu. Sebenarnya bukan masalah tahan lama atau bagusnya komoditas ini, tetapi selebihnya ada hasrat dan kemauan secara komunal untuk mempertahankan nilai-nilai lokal peninggalan leluhur yang hampir tergerus oleh perkembangan jaman.

Rotu : Konsensus Yang Tergadaikan Orang Mbatakapidu merupakan pelaku ekonomi skala kecil yang

mencurahkan sebagian waktunya untuk berternak ayam, babi, kambing, sapi, kuda, kerbau dan ternak lainnya. Terkait dengan perilaku berternak orang Mbatakapidu, peneliti menemukan sebuah model yang sejak turun-temurun dijalankan oleh orang Mbatakapidu yang dikenal dengan sebutan rotu. Berikut adalah penuturan dari beberapa informan terkait dengan perilaku berternak orang Mbatapidu.

16 Wawancara tanggal 12 September 2014 17 Wawancara tanggal 16 September 2014 18 Wawancara tanggal 22 September 2014

Page 14: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

86

Terkait dengan hal ini, bapak Yacob Tanda19 menyebut:

“Rotu merupakan warisan leluhur manusia Sumba. Rotu mengandung makna adanya upaya untuk melestarikan eksistensi dari ternak dengan melawan rasa serakah (greed) untuk menggunakan ternak sebagai obyek dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial seseorang. Rotu akan dapat terjadi ketika ada kesepakatan (konsensus) di dalam komunitas masyarakat, sehingga dapat dikatakan rotu bersifat lokalistik. Artinya ternak akan dibiarkan berkembang sesuai dengan waktu yang telah disepakati, sehingga populasi ternak menjadi terjaga dan bertambah dari segi kuantitas. Inilah yang merupakan titik awal dari keberlanjutan (sustainability). Kalau dalam konteks perikanan (danau dekat laut) ini disebut dengan istilah mihi parotu, di mana kita tidak boleh menangkap ikan dengan sembarangan dan biasanya setelah satu atau 2 tahun baru akan dilakukan penangkapan ikan secara massal oleh penduduk setempat. Hadirnya modernisasi lewat pergeseran peradaban dunia membuat nilai-nilai lokal seperti rotu menjadi luntur dan ditinggalkan oleh orang Mbatakapidu”.

Senada dengan penuturan bapak Yacob Tanda, maka Alexander Viktor Umbu Retangu20 juga menyebut:

“Sistem rotu merupakan peninggalan leluhur yang sangat mendukung keberlanjutan ternak. Misalnya: jika kita memiliki beberapa ekor ternak, meskipun ada urusan kematian sekalipun maka ternak tersebut tidak akan digunakan. Saat ini sudah nilai-nilai sudah mulai bergeser di mana, kuda atau sapi atau kerbau yang masih dalam rahim induknya saja sudah dijual, jagung yang belum siap dipanen maka sudah di petik untuk dikonsumsi dahulu, ayam belum besar maka sudah dipotong atau sudah dijual dan begitu juga dengan ternak lainnya. Inilah sebuah bentuk ketidaktaatan orang Mbatakapidu. Sebenarnya ada petuah yang harus direnungkan yaitu pa mbotu nya limma, pa mbotu nya eti. Artinya aset tidak digunakan secara sembarangan. Ada ketaatan untuk menjaga aset seperti ternak, kecuali kalau sudah tidak produktif atau ternaknya mengalami cacat fisik baru dijual atau dikonsumsi”.

19 Wawancara tanggal 09 September 2014 20 Wawancara tanggal 08 Oktober 2014

Page 15: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

87

Hal ini juga diperkuat oleh penuturan bapak Yohanis Hina Lalu Panda21 dan Karipi Njandji22 yang menyebut:

“Dulu kami memiliki 1 ekor kerbau betina dan kerbau ini kami lepas ditengah-tengah kawanan kuda. Saat itu dengan sistem rotu kerbau tersebut berkembang biak dan mencapai ratusan ekor. Artinya kerbau - kerbau tersebut jarang dijual dan jarang digunakan untuk kepentingan belis maupun adat adat. Kalau mau dipotong untuk dikonsumsi maka masih dipikirkan lagi, kecuali dipotong yang sudah tidak produktif lagi. Inilah prinsip hidup hemat yang diwariskan oleh leluhur. Saat ini hampir tidak ada lagi sistem rotu karena terjadi pergeseran nilai, di mana kebutuhan hidup mengalahkan nilai-nilai yang ada. Contoh: pada tahun 2013 saya terpaksa menjual kuda kepada kepala desa Mbatakapidu karena saya harus memenuhi kebutuhan yang mendesak. Waktu itu kuda masih di padang penggembalaan bersama kawanan ternak lainnya, tetapi saya sudah terima dimuka uangnya karena saya sangat membutuhkan uang. Tahun 90-an pemerintah anjurkan pada kami agar tidk menjual ternak, tetapi yang dijual hanya ternak yang tidak produktif. Ini merupakan sebuah bentuk campur tangan pemerintah untuk menjaga populasi ternak. Ketika dipadukan dengan sistem rotu yang ada maka akan semakin menunjang pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan saat ini, ternak masih di perut sudah di jual dan minta dibayar di muka. Ini tentu menuju pada masyarakat yang konsumtif”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Alexander Viktor Umbu Retangu, Yohanis Hina Lalu Panda dan Karipi Njandji tergambar bahwa rotu merupakan sebuah nilai lokal yang mengajarkan betapa pentingnya menjaga populasi ternak, sehingga tidak mengakibatkan ternak menjadi punah di tanah Mbatakapidu. Kesepakatan atau konsensus di dalam suatu komunitas menjadi salah satu faktor utama untuk menjaga eksistensi ternak. Saat ini nilai-nilai ini hampir punah dan tinggal kenangan karena semakin tergerus oleh jaman. Hegemoni uang melalui kebutuhan dan keinginan serta lemahnya peran kelembagaan adat yang membuat sulitnya menghasilkan sebuah konsensus menjadi faktor pemicu tidak dilaksanakan lagi sistem rotu. 21 FGD tanggal 12 September 2014 22 Wawancara tanggal 16 September 2014

Page 16: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

88

Yuwono (2013 : 3) menyebut perlunya membedakan kebutuhan dan keinginan. Pembedaan ini berkaitan erat dengan konsep kecukupan. Dalam konteks orang Mbatakapidu, sering mereka tidak bisa lagi membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Artinya mereka menganggap keinginan sebagai kebutuhan, sehingga kebutuhannya menjadi tidak terbatas. Contoh: ketika sang anak tidak sekolah sampai tamat SMP atau SMA, namun dia membutuhkan sepeda motor maka ternak yang dimilikinya akan dijual untuk membeli atau kredit motor. Artinya terjadi alokasi sumber daya yang tidak tepat. Seharusnya uang hasil penjualan ternak dipakai untuk biaya sekolah dan bukan untuk tujuan konsumtif. Di sisi lain, munculnya alat transportasi seperti kendaraan bermotor mengakibatkan berkurangnya perhatian alokasi waktu generasi muda untuk menggembalakan ternak. Di mana sebagian besar waktu mereka dicurahkan untuk jalan-jalan di kota Waingapu dan tidak memiliki faedah.

Sosrodihardjo (1987 : 110) menyebut kehadiran uang dalam masyarakat tradisional berdasarkan atas pertukaran jasa membuat nilai tradisional diterapkan dalam situasi yang rasional. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, ketika orang Mbatakapidu diperhadapkan dalam kondisi di mana mereka membutuhkan uang sebagai alat pertukaran yang sah maka salah satu keputusan yang diambil yaitu dengan menjual ternak. Artinya alokasi sumber daya yang dilakukan harus secara tepat, sehingga penggunaannya bukan untuk tujuan konsumtif.

Konsensus guna mempertahankan nilai-nilai lokal juga menjadi sebuah persoalan utama di desa Mbatakapidu. Parsons (1965 : 171) dalam Sosrodihardjo (1987 : 111) menyebut kehadiran lembaga (institution) akan menghasilkan pola-pola normatif yang ditujukan untuk situasi tertentu. Selama kelembagaan adat yang ada di desa Mbatakapidu mampu merangkul semua orang Mbatakapidu untuk mengejewantahkan kembali sistem rotu maka bukan tidak mungkin desa ini akan menjadi desa swasembada ternak.

Page 17: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

89

Antara Rasionalitas dan Optimisasi Kegiatan produktif lainnya yang dilakukan oleh orang

Mbatakapidu yaitu dengan menjadi pedagang. Kegiatan berdagang biasanya dilakukan di pasar maupun dengan membuka kios di rumah. Produk yang di jual pun sangat bervariasi mulai dari rokok, makanan ringan (snack), beras, kopi, gula, teh, telur ayam kampung, buah dan bunga pepaya, tikar, arang, jagung bulir, pisang, ubi kayu, ubi keladi dan sebagainya. Berikut adalah penuturan dari beberapa informan terkait dengan perilaku berdagang mereka.

Ibu Elisabeth Tinggi Nalu23 menyebut :

“Di kios terdapat 1 unit alat penggilingan jagung yang saya beli pada tahun 2009. Saya jual wataru (jagung) dengan harga Rp 5.000,- per kg. Jagung ini saya dapatkan dari hasil penggilingan jagung. Kalau ada yang giling jagung maka hanya akan dipotong jagungnya dan tidak menggunakan uang. Kalau yang digiling 10 kg maka saya hanya potong 1 hingga 1,5 kg saja (musim rimbangu atau paceklik dan hanya untuk sampai bulan Juli), sedangkan kalau musim panen saya potong 2 kg. Saya tidak pernah beli dari orang atau dengan kata lain saya hanya jual jagung yang didapat dari hasil giling. Kemarin saat bulan Mei saya jual 500 kg dan saya dapat Rp 2.500.000,-. Hal ini saya lakukan karena kebiasaan yang terjadi bahwa pada bulan Juli atau Agustus jagung menjadi yubuku (bubuk) atau busuk. Sekarang kalau selama 2 minggu atau 3 minggu saya bisa dapat 20 atau 30 kg jagung. Saya jual rokok seharga Rp 15.000,- dan untungnya Rp 6.000,- per bungkus”.

Dari penuturan ibu Elisabeth Tinggi Nalu tergambar bahwa ada

kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari kegiatan berdagang yang digeluti, sehingga Yuwono (2013 : 4) menyebut keinginan yang sudah menyatu dalam kebutuhan adalah awal dari keserakahan. Keinginan untuk membentuk pola pikir dalam benak seseorang. Pertama, keinginan itu akan diupayakan untuk dipenuhi, bagaimanapun caranya. Semua daya diarahkan untuk memenuhi keinginannya itu. Kedua, upaya untuk memenuhi

23 Wawancara tanggal 25 September 2014

Page 18: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

90

keinginan itu membentuk egoisme dalam dirinya. Ia akan mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan yang lainnya (sosial, kelembagaan dan sebagainya). Ketiga, ketika orang sudah mengedepankan egoisme maka terbentuklah keserakahan (greedy) dalam dirinya. Orang tidak lagi memiliki kepedulian terhadap apapun dan kepentingan dari siapapun. Hal inipun dipertegas oleh Smith (1759: 308 - 310, dalam Skousen 2006 : 46) yang tidak setuju dengan pandangan Mendeville, yang menyatakan bahwa kemajuan ekonomi bisa dicapai melalui keserakahan, ketamakan dan cinta diri tanpa kendali.

Berbeda dengan penuturan ibu Elisabeth Tinggi Nalu, maka Dorce K. Tamar24 menyebut:

“Saya buka usaha kios dengan modal seadanya dan juga bantuan dari simpan pinjam yang diberikan oleh desa. Saya jual beras, rokok, makanan ringan (snack) dan sebagainya. Kalau rokok per bungkus seharga Rp 12.000,- maka saya jual kembali dengan Rp 14.000,- sedangkan kalau harga di pasar seharga Rp 6.000,- maka saya akan jual Rp 7.000,-. Saya tidak terlalu ingin untuk mendapatkan untung banyak. Saya sesuaikan dengan kekuatan ekonomi pembeli. Harga yang saya tetapkan sangat rasional. Orang tua saya dulu mengajarkan bahwa tidak boleh menyusahkan sesama, karena kami semua ini bersaudara atau makanlah secukupnya dan jangan makan melampaui kebutuhan”.

Senada dengan penuturan ibu Dorce K. Tamar, maka Tonda Mbitu25 juga menyebut:

“Saya menjual barang-barang kebutuhan pokok di kios, tetapi harga yang saya tetapkan relatif murah, karena saya tidak mau mengambil keuntungan dengan cara tidak adil. Contoh: kalau rokok Gatra di toko seharga Rp 4.000,- maka saya jual seharga Rp 6.000,-. Hal ini saya sesuaikan dengan daya beli dari orang desa. Motif saya membuka usaha ini bukan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi bagaimana lewat usaha ini mampu memenuhi kebutuhan orang desa. Sejak kecil saya diajarkan oleh orang tua bahwa

24 Wawancara tanggal 22 September 2014 25 FGD tanggal 03 Oktober 2014

Page 19: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

91

mengambil keuntungan di tengah kesusahan orang lain merupakan suatu tindakan yang sangat tercela. Hal inilah yang selalu kami jalankan secara turun temurun di dalam keluarga”.

Ibu Adriana Dai Ngana26 juga menyebut:

“Saya selama ini berdagang di pasar inpres Matawai. Saya harus bangun jam 04 pagi dan harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki menelesuri hutan agar dapat tiba di kompleks rumah desa untuk dapat bertemu dengan tukang ojek yang dapat membonceng saya ke pasar inpres. Biaya jasa ojek yang harus saya bayar untuk pulang pergi adalah Rp 20.000,-. Barang-barang yang saya jual berupa makanan pokok, mulai dari telur ayam kampung, bunga pepaya, kelapa, sirih dan sebagainya. Telur saya jual 4 butir seharga Rp 10.000,- atau 7 butir seharga Rp 20.000,-. Saat musim hujan yang kami jual walla kadjawa (bunga pepaya). 1 kantung seharga Rp 1.500,- atau Rp 2.000,- sedangkan 3 kantung saya jual dengan harga Rp 5.000,-. Kalau musim hujan 4 kantung saya jual dengan harga Rp 5.000,-. Mengapa demikian? Karena pada musim hujan orang sudah tanam banyak pohon papaya dan pada saat yang sama harga telur naik karena jelang natal dan tahun baru di mana 3 butir saya jual dengan harga Rp 10.000,-. Kalau kelapa saya jual 6 buah seharga Rp 10.000,-, kalau sirih 1 ikat seharga Rp 5.000,-, kadang 3 ikat saya jual dengan harga Rp 10.000,-. Keuntungan yang saya terima pun tidak seberapa karena harus dikurangi dengan jasa ojek. Prinsip berdagang saya adalah bagaimana barang dagangan saya bisa laku dan tidak merugikan pembeli dengan cara menipu. Sejak turun-temurun terutama di dalam keluarga kami selalu diajarkan tentang nilai-nilai kejujuran. Bahwa mengambil keuntungan dari sesama dengan cara menipu itu sangat tabuh, sehingga mempengaruhi saya dalam menentukan harga. Kita akan mendapat kebaikan kalau kita berbuat baik kepada sesama”.

Dari penuturan ibu Dorce K. Tamar, Tonda Mbitu dan Adriana Dai Ngana tergambar bahwa bahwa ada nilai-nilai tertentu yang mengatur perilaku orang Mbatakapidu dalam berdagang seperti tidak mengambil keuntungan dengan cara menipu, kejujuran dan solidaritas.

26 Wawancara tanggal 17 September 2014

Page 20: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

92

Namun, masih ada juga pedagang yang mengedepankan keuntungan dari pada kepentingan orang banyak. Walaupun ia bertindak secara rasional dalam konteks ekonomi, tetapi harus ada unsur etika yang menjadi pertimbangannya, sehingga keputusannya dalam menentukan harga tidak merugikan orang lain.

Sejak jaman dahulu orang Mbatakapidu sangat familiar dengan prinsip hidup hemat. Contoh: dalam hal berdagang, orang Mbatakapidu selalu taat untuk tidak menggunakan uang tersebut sebelum uang itu tiba di rumah, tetapi saat ini nilai-nilai ini semakin luntur, sehingga bapak Umbu Ngguti Nggandung, Yohanis Mbaku Lalu Panda dan Petrus Babu Eha menyebut:27

“Jaman dulu, kalau dapat uang hasil jualan maka pulang di rumah tidak boleh langsung habiskan uang itu, tetapi bawa pulang uang dan tidak boleh satu sen dari uang tersebut keluar. Akan tetapi, terlebih dahulu harus potong ayam dan sembayang baru boleh gunakan uang tersebut. Maksudnya agar uang itu diberkati dan agar uang ini jangan asal keluar. Berbeda dengan saat ini, ketika selesai berdagang di pasar maka uang tersebut akan habis untuk dibelanjakan dan tidak sampai ke rumah lagi, terkadang uang tersebut digunakan untuk membeli minuman keras dan diminum bersama dengan teman-teman mereka di pasar inpres maupun dengan kerabatnya di rumah. Inilah satu bentuk ketidaktaatan orang Mbatakapidu. Nilai-nilai yang yang sudah ada sejak dahulu kala mulai dilupakan dan semakin luntur”.

Dari penuturan Umbu Ngguti Nggandung, Yohanis Mbaku Lalu Panda dan Petrus Babu Eha tergambar bahwa telah terjadi pergeseran nilai yang membuat orang Mbatakapidu menjadi tidak taat. Keinginan telah berubah menjadi kebutuhan, sehingga mereka pun semakin konsumtif.

Dari penuturan ibu Elisabeth Tinggi Nalu, Dorce K. Tamar, Tonda Mbitu, Adriana Dai Ngana, Umbu Ngguti Nggandung, Yohanis Mbaku Lalu Panda dan Petrus Babu Eha tergambar bahwa variasi dari orientasi berdagang dituntun oleh insting ekonomi dan etika, sehingga

27 FGD tanggal 12 September 2014

Page 21: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

93

Yuwono (2013 : i) menyebut optimisasi sebagai kata kunci dari perilaku ekonomi hanya dapat dilakukan dengan memilih dengan tepat satu dari berbagai pilihan berdasarkan kaidah-kaidah yang bernalar, tanpa meninggalkan etika, sehingga setiap keputusan berperilaku ekonomi dapat berjalan secara benar.

Antara Bargaining dan Resiprositas Keadilan bagi masyarakat lokal tradisional tercermin di dalam

sistem moralitas pertukaran, tatanan peringkat pertukaran barang dan jasa dan transaksi berdasarkan resiprositas. Persoalan yang sering menimpa masyarakat lokal tradisional khususnya orang Mbatakapidu adalah terkait dengan bargaining dan resiprositas, sehingga bapak Yacob Tanda28 menyebut:

“Awal tahun 2014 ada seorang pengusaha asal Bali yang datang untuk membeli pisang di orang Mbatakapidu. Pengusaha ini hanya butuh 400 tandan pisang dengan harga yang telah disepakati sebesar Rp 20.000,- untuk 1 tandan pisang. Orang Mbatakapidu mulai mengumpulkan pisang mereka dan ternyata mencapai 800-an tandan. Akhirnya di sini terjadi kelebihan persediaan (over lot). Akibatnya ada banyak pisang yang tidak terjual. Di sini, bergaining penjual (orang Mbatakapidu) menurun, sedangkan bargaining dari pembeli (pengusaha) menjadi kuat. Hal inilah yang menjadi awal mula pengusaha mulai membeli sisa pisang tadi dengan harga yang tidak wajar atau di bawah Rp 20.000,-. Contoh: satu tandan dihargai dengan Rp 6.000,- sampai Rp 10.000,-“.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda tergambar bahwa orang Mbatakapidu berpikir secara rasional di mana kalau jual ke pasar inpres Waingapu maka pasar sudah jenuh karena harus bersaing dengan pisang yang berasal dari Lambanapu, Kiritana dan yang diimpor dari kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah maupun Sumba Barat Daya, sehingga jalan satu-satunya adalah dengan menyerahkan semua sisa pisang kepada pembeli yang berasal dari Bali. Pisang merupakan salah

28 Wawancara tanggal 09 September 2014

Page 22: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

94

satu produk yang cepat rusak dan tidak tahan lama, sehingga posisi tawarnya pun akan semakin rendah. Bargaining inilah yang membuat transaksi berdasarkan resiprositas di desa menjadi tidak seimbang.

Menabung di Tengah Kesederhanaan

Perilaku investasi orang Mbatakapidu berkaitan erat dengan pemahaman untuk men-secure masa depan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang untuk generasi berikutnya.

Terkait dengan hal di atas, bapak Bimbu Wohangara29 menyebut:

“Investasi jangka panjang yang kami lakukan adalah dengan menyediakan tanaman umur panjang masing-masing 1000 pohon bagi setiap rumah tangga. Program ini merupakan hasil kesepakatan pemerintah desa yang berasal dari aspirasi masyarakat (akar rumput) yang mewajibkan setiap rumah tangga untuk bermusyawarah bersama anggota keluarga tentang berapa target tanaman yang harus di tanam untuk semua komoditas. Contoh: 25 pohon yang saya targetkan tahun ini maka saya akan membaginya untuk masing-masing bulan. Bagaimana saya mencapai target tersebut? Lebih boleh, kalau kurang maka saya harus evaluasi diri. Harus kontrol berapa yang mati dan berapa yang hidup. Kontrol di pekarangan, sawah, kebun dan sebagainya. Setiap rumah tangga harus buat perencanaan. Setiap rumah tangga harus ada 3 lembar kartu kontrol. Misalnya 1 dibiarkan kosong (arsip), 1 diisi lalu di simpan di rumah dan 1 diisi lalu disimpan di dompet. Maksudnya untuk sekedar mengingatkan. Habis bulan baru diisi jumlah tanaman yang sudah ditanam. Kalau hanya pandiamangu (harap gampang) terus maka kapan dulu baru kita maju? Beli polibek sekian ribu saja sudah berat, tetapi jika pergi ke acara kematian atau peminangan bisa bawa malandja (pembawaan berupa kain atau sarung) yang harganya bisa mencapai jutaan ribu rupiah. Kenapa buat masa depan tidak bisa? Perencanaan ini bukan bersifat umum, tetapi sangat spesifik bagi masing-masing rumah tangga di Mbatakapidu. Ibarat sebuah gerobak maka harus didorong baru dia bisa jalan, kalau tidak didorong maka dia tidak akan jalan. Untuk mensukseskan program ini maka pihak pemerintah desa menghimbau para ketua rukun tetangga untuk memobilisasi masyarakat agar bekerja. Sejauh ini masyarakat selalu kooperatif dan selalu bermitra dengan

29 Wawancara tanggal 13 dan 29 September 2014

Page 23: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

95

pemerintah desa dalam hal pengadaan bibit tanaman. Hampir seluruh kintal rumah maupun kebun penduduk telah dipenuhi dengan tanaman umur panjang”.

Berikut ini adalah catatan kecil yang berhasil dirangkum penulis

dari bapak Bimbu Wohangara, yang nantinya akan dituangkan ke dalam kartu kontrol sesuai dengan tahun yang sedang berjalan (current year). Hal tersebut dirangkum dalam tabel 16.

Tabel 16. Tanaman yang telah Ditanam

Periode Tanaman Jumlah

21 Januari 2013

Gamalina Injuwatu Kamalapau/Mangga Hutan Salak

15 pohon 15 pohon 3 pohon 3 pohon

22 Januari 2013 Cendana 10 pohon 24 Januari 2013 Cendana 10 pohon 25 Januari 2013 Cendana 50 pohon 28 Januari 2013 Cendana 9 pohon 31 Januar 2013 Cendana 3 pohon Sumber: Data sekunder, 2014.

Tabel ini dibuat guna memudahkan dalam hal pencataan pada

kartu kontrol. Adapun kartu kontrol yang dimaksud oleh bapak Bimbu Wohangara yaitu:

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Gambar 26. Bapak Bimbu Wohangara sedang Menunjukkan dan Menjelaskan Kegunaan dari Kartu Kontrol

Page 24: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

96

Kehadiran kartu kontrol ini sangat membantu dalam hal monitoring dan evaluasi, sehingga dalam temuannya Makambombu (2013 : 7 - 8) menyebut:

“Untuk memastikan bahwa tanaman ini benar-benar ditanam dikebun masyarakat maka pemerintah desa membuatkan sebuah kartu kontrol. Kartu ini dapat disebut sebagai sebuah kartu perencanaan rumah tangga yang diintervensi desa kepada masing-masing rumah tangga. Model kartunya berbentuk kartu sensus seperti yang dikembangkan oleh badan pusat statistik (BPS). Kartu ini terdiri dari 7 bagian yang memuat informasi tentang tanaman apa yang sudah ada dikebun dan apa yang akan dilakukan pada periode berikutnya untuk menambah jumlah yang sudah ada. Bagian pertama, berisi tentang aset masyarakat di bidang tanaman umur pendek yang memuat tentang target area yang akan ditanam dengan berbagai tanaman umur pendek dan hasil panennya akan dikonversi ke dalam jumlah rupiah yang dihasilkan dari setiap kilogram hasil panen. Bagian kedua, berisi tentang aset masyarakat dibidang tanaman jangka menengah yang memuat tentang target jumlah pohon yang akan ditanam dan jumlah pohon yang saat ini sudah ada di kebun masyarakat. Bagian ketiga, berisi tentang asset masyarakat di bidang tanaman jangka panjang yang memuat tentang target jumlah pohon yang akan ditanam dan jumlah pohon yang sudah ada saat ini. Bagian keempat, berisi tentang aset masyarakat di bidang peternakan (besar, kecil dan unggas), yang memuat tentang target jumlah ternak yang akan dipelihara dan jumlah yang sudah ada sampai dengan saat ini. Bagian kelima, berisi luasan lahan yang dikelola oleh setiap rumah tangga baik itu yang berisi pekarangan, kebun, sawah, penghijauan, lahan tidur, atau tanah kapling. Bagian keenam, berisi tentang peralatan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengolah lahannya, berisi jenis alat yang dimiliki dan status alat apakah berfungsi atau tidak. Bagian ketujuh adalah berisi tentang identitas kepala rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga. Cara untuk memastikan bahwa setiap rumah tangga mengetahui apa yang dimilikinya maka kartu ini dibuat rangkap tiga. Kartu ini juga dapat dikatakan sebagai instrumen pengawasan internal dan eksternal atas apa yang dimiliki oleh setiap kepala rumah tangga. Rangkap pertama untuk ditempel di depan rumah penduduk yang sewaktu-waktu dapat dilihat ketika ada pengawasan dari pemerintah desa atau dapat dilihat dan dibaca oleh orang lain. Rangkap kedua, untuk disimpan di dompet atau yang mudah untuk dibawa kemana-mana, jika sewaktu-waktu ada pertanyaan

Page 25: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

97

dari pemerintah desa atau orang lain yang bersangkutan dapat membuktikan dengan menunjukkan kartu ini. Rangkap ketiga akan digunakan untuk diperbanyak pada tahun berikutnya jika jumlah aset yang miliki semakin banyak atau bertambah”.

Melihat kondisi orang Mbatakapidu yang sebagian besar masih buta huruf maka bapak Yacob Tanda30 menyebut:

“Penggunaan belum maksimal karena banyak masyarakat yang tidak tahu tulis atau buta huruf. Jadi kita rubah caranya dengan berikan wewenang untuk mengontrol kepada para ketua RT, karena 1 RT hanya beberapa kepala keluarga saja, sehingga memudahkan dalam hal pengontrolan. Ketua RT mengetahui dengan jelas luas kebun, tanaman apa yang ditanam masyarakatnya dan sebagainya. Sekarang kita batasi untuk kontrol tanaman yang punya nilai jual tinggi. Kami menghadapi kendala di dana, sehingga tidak dapat menyadiakan papan informasi untuk diberikan pada masing-masing RT. Kami harus sediakan papan data untuk RT sangat sulit saat ini. Untuk ukuran 8 inchi harganya sudah Rp 100.000,- di mana 1 RT dapat 3 lembar papan data. Ini harus dialokasikan ke setiap RT, karena terlalu banyak item-nya maka masyarakat kewalahan mengisinya. Sekarang tinggal masyarakat lapor di RT dan RT yang menginputnya. Melihat kondisi belum tersedianya papan tersebut maka saat ini kita masih gunakan kartu kontrol yang sederhana. Kalau ini jalan maka bagus karena kita melombakan setiap warga, kalau si A tanam banyak maka akan memicu si B, si C dan sebagainya untuk berlomba dalam hal menanam. Sebagian besar masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya investasi jangka panjang, sehingga mereka telah dan mulai mengambangkan tanaman umur panjang seperti mahoni, gamalina, kaduru, sengon dan sebagainya. Pohon yang telah besar pun tidak sembarang dipotong untuk dijual maupun digunakan untuk membangun rumah. Inilah bentuk ketaatan yang mengarah pada pola hidup hemat dari orang Mbatakapidu”.

Terlepas dari masalah buta huruf, ternyata orang Mbatakapidu tetap memiliki kesadaran untuk men-secure masa depan mereka, sehingga bapak Alexander Viktor Umbu Retangu31 menyebut: 30 Wawancara tanggal 27 September 2014

Page 26: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

98

“Dalam hal investasi jangka panjang, orang Mbatakapidu sudah memulainya dari sejak jaman dulu kala. Contoh: salah satu warga seperti Umbu Kopa rihi yang berdomisili di Landa (arah menuju ke daerah Watu Mamoha) yang menanam 70.000 pohon umur panjang seperti mahoni, gamalina (jati putih) dan sebagainya di lahannya. Inilah nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur untuk dapat dijadikan sebagai bekal jangka panjang bagi masa depan kami orang Mbatakapidu”.

Dari penuturan bapak Bimbu Wohangara, Yacob Tanda, Alexander Viktor Umbu Retangu dan temuan Makambombu tergambar bahwa ada upaya secara komunal dari orang Mbatakapidu untuk berpikir tentang investasi jangka panjang. Upaya ini didukung dengan penggunaan kartu kontrol yang diadopsi dari sebuah lembaga pemerintah dan berhasil memicu kesadaran semua orang Mbatakapidu untuk mulai menanam berbagai jenis tanaman sejak dini.

Selain investasi jangka panjang, investasi jangka pendek pun telah menjadi perhatian utama orang Mbatakapidu tepatnya dalam men-secure pendidikan anak, sehingga ibu Bomba Pihu32 menyebut:

“Kami para orang tua menyadari bahwa kami hanya lulusan sekolah dasar, sehingga kami mulai menyadari akan pentingnya pendidikan demi masa depan anak. Untuk mendukung masa depan anak lewat jenjang pendidikan maka masing-masing anggota (11 orang) dari kelompok rinjungu pahammu mulai memikirkan untuk mengumpulkan 1 ekor ayam betina agar saat dia bertelur maka telurnya akan dijual dan uangnya akan dimasukkan ke dalam buku rekening untuk biaya pendidikan anak. Seluruh telur ayam dijual dan uangnya akan dibagi secara merata kepada setiap anak. Saya yang biasanya menjual telur-telur ke pasar. Dari pada mengabiskan aset untuk kepentingan adat maka ada baiknya kami memikirkan masa depan anak. Karena melihat efektifnya usaha kami ini, kelompok lainnya pun mulai meniru dan melakukan hal yang sama. Walaupun hasilnya tidak terlalu besar, tetapi kami tetap percaya dan terus bekerja keras untuk mengumpulkan sebongkah harapan bagi masa depan anak kami. Inilah sebuah petuah dari para

31 Wawancara tanggal 08 Oktober 2014 32 Wawancara tanggal 22 September 2014

Page 27: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

99

leluhur yang mengajarkan pada kami bagaimana bekerja keras demi mengejar suatu tujuan”.

Senada dengan hal di atas, ibu Karolina Konda Ngguna dan Margaretha Takandjandji33 menyebut:

“Waktu itu kami bersepakat untuk masing-masing anggota kelompok menyiapkan 1 ekor ayam betina agar nantinya telur ayam dapat dijual untuk dilokasikan sebagai tabungan. Uang yang didapat akan dibagi secara adil untuk masing-masing anggota. Jika dalam kegiatan PKK, pada setiap bulan kami lakukan arisan tabungan anak dengan setoran Rp 25.000,- ke atas (sesuai dengan kemampuan). Sekarang tabungan anak saya sudah mencapai Rp 11.000.000,- di bank. Tabungan itu akan diblokir hingga anak lulus dari SMA. Jika arisan anak maka pertama-tama kita harus membuka rekening dan ada kesepakatan bahwa per bulan masukkan Rp 25.000,- per orang dengan perincian yang Rp 20.000,- masuk ke rekening, sedangkan sisanya yang Rp 5.000,- akan diberikan kepada penerima lot tersebut. Kami ada 40 orang, jadi 40 x Rp 5000,- = Rp 200.000,- yang akan dibagi untuk dua orang penerima lot masing-masing mendapat Rp 100.000,- sedangkan setiap bulan harus disetor ke bank Rp 20.000,- untuk masing-masing anak. Dengan adanya arisan ini pun akan menahan diri kami dalam menggunakan uang untuk hal-hal yang cenderung konsumtif. Sebaliknya, kami akan lebih bekerja keras untuk menghasilkan uang dan berhemat”.

Dari penuturan ibu Bomba Pihu, Karolina Konda Ngguna dan Margaretha Takandjandji tergambar bahwa ada upaya yang dimulai dengan hal-hal yang sederhana untuk mendukung investasi jangka pendek. Memulai sesuatu dari hal yang kecil tidak serta merta membuat orang Mbatakapidu putus asa, namun membuat mereka semakin optimis dan tekun untuk bekerja keras.

Sedangkan dari penuturan Bimbu Wohangara, Yacob Tanda, Alexander Viktor Umbu Retangu, ibu Bomba Pihu, Karolina Konda Ngguna, Margaretha Takandjandji dan temuan Makambombu

33 Wawancara tanggal 08 Oktober 2014

Page 28: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

100

tergambar bahwa Semangat kerja keras dan pola hidup hemat membingkai perilaku investasi yang dilakukan oleh orang Mbatakapidu, yang dibangun dalam semangat kebersamaan (solidaritas) pada konteks pembangunan pedesaan. Perilaku orang Mbatakapidu mencerminkan masyarakat kapitalis yang oleh Weber (2007) memiliki ciri pekerja keras, berinvestasi untuk masa depan dan hidup hemat. Akan tetapi, temuan Weber mengarah pada semangat kerja keras yang bersifat individual, sedangkan temuan ini mengarah pada semangat kerja keras yang bersifat komunal. Oleh karena itu, temuan ini sejalan dengan temuan Sugianto (2011) yang menyebut semangat kerja keras, investasi dan hidup hemat dikalangan masyarakat Mondo dilakukan dengan semangat komunal dalam konteks pembangunan yang bersifat sosial.

Kesimpulan Kegiatan berladang yang diejawantahkan melalui konsep tiga

lumbung tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan semata-mata, melainkan membentuk sebuah usaha bersama yang mencerminkan koperasi, menunjukkan solidaritas, relasi tanpa pamrih dan mendahulukan kepentingan kolektif. Persoalan utama yang ditemukan adalah masih rendahnya etos kerja para generasi muda untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) dari ketiga konsep lumbung dan pengaruh perubahan iklim (climate change) menjadi salah satu faktor pemicu orang Mbatakapidu tidak mendapatkan hasil panen yang sesuai dengan harapan dan lumbung pun menjadi tidak terisi, karena sudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Sistem rotu sebagai salah satu nilai-nilai lokal untuk menjaga keberlanjutan ternak semakin tergerus dan menghilang eksistensinya di Mbatakapidu. Hal ini terjadi karena tidak adanya kelembagaan adat yang terstruktur secara organisatoris yang mengakibatkan sangat sulitnya menghasilkan kesepakatan (konsensus) di tengah masyarakat. Di sisi lain, masih adanya sifat serakah (greed), perilaku konsumtif,

Page 29: Perilaku Ekonomi Orang Mbatakapidu - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12751/7/T2_092013003_BAB VI... · membuat anyaman dari pandan, taplak meja dan sebagainya.

101

adanya demonstration effect, hegemoni uang dan sulitnya membedakan antara keinginan dan kebutuhan, yang menjadi tantangan bagi pengejewantahan sistem rotu di desa Mbatakapidu.

Kegiatan berdagang orang Mbatakapidu dituntun oleh nilai-nilai yang mengedepankan kejujuran, berjiwa sosial dan tidak mengambil keuntungan di tengah ketidakberdayaan orang lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada pedagang yang hanya mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan etika. Tantangan yang muncul yaitu ketika saat ini nilai ketaatan yang semakin menipis di kalangan orang Mbatakapidu dalam menggunakan uang yang di dapat dari hasil berdagang.

Pola investasi orang Mbatakapidu menunjukkan betapa pentingnya memanfaatkan sumberdaya yang tersedia seperti tanaman umur panjang, hidup hemat dan semangat kerja keras untuk mendukung investasi jangka pendek maupun jangka panjang. Kedua macam investasi ini dilakukan atas dasar nilai kesederhanaan. Di balik kesederhanaan inilah yang membuat orang Mbatakapidu tetap optimis untuk men-secure masa depan anak.