Perihal Seni dan Teknologi - tby.jogjaprov.go.idtby.jogjaprov.go.id/assets/uploadsck/files/MAJE...

44
VOLUME XI NOMOR 4/2016 Perihal Seni dan Teknologi SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Transcript of Perihal Seni dan Teknologi - tby.jogjaprov.go.idtby.jogjaprov.go.id/assets/uploadsck/files/MAJE...

VOLUME XI NOMOR 4/2016

Perihal Seni dan Teknologi

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Matajendela, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali.Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus dan pemerhati seni budaya.

Diproduksi di YogyakartaKertas kaver: Aster, Isi: Matte PaperHuruf: Adobe Garamond Pro, Helvetica Neue Light, Lato, Leelawadee

Old Machine and Fresh Idea (180 cm x 150 cm). Pencil on canvas, 2016.

Karya: Roby Fathoni

VOLUME XI NOMOR 4/2016

Diterbitkan oleh Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123Telp: (0274) 523512, 561914 Fax: (0274) 580771Email: [email protected]: www.thewindowofyogyakarta.com

Penanggungjawab UmumDrs. Umar Priyono, M.Pd.

Penanggungjawab TeknisDrs. Diah Tutuko Suryandaru

Penanggungjawab DistribusiDian Widowati L., SH

Penanggungjawab AnggaranDra. Siswati

EditorDra. V. Retnaningsih

DesainerAndika Indrayana

FotograferSuprayitno Rudi Subagyo,

Lukito

Penanggungjawab RedaksionalKuss Indarto

SekretariatSuroto, Bejo, Wahyudi,

Juiyus W., Joko Setiawan

RedakturSuwarno Wisetrotomo

Stanislaus YangniSatmoko Budi Santoso

EDITORIAL

Jauh (Dekat), Yang Misterius Sekaligus Intim

JENDELA

Tanah Ruang BahasaRelasi Seni, Teknologi, dan Perkembangan Masyarakat

Lini Masa

Melirik Musik Jazz Melalui Bach

Catatan Kecil Dari Namur

Inovasi dan Tradisi; Ketika Teknologi Berjalan Berdampingan dengan Budaya

Ketika Musik Ganrang Di Makassar Tidak Sakti Lagi

Karya Seni Kriya Publik Sebagai Identitas Kota

SKETSA

Kisah Si Entah (atau Gajah) dari Antah Berantah

Puisi-Puisi

2

4

10

16

20

24

30

32

36

39

4

EDITORIAL

seni dan teknologi. Keduanya sama dan satu – dilakukan masyarakat untuk mendukung kehidupan. Mereka, seni dan teknologi, berdiri di atas nama yang sama, technē. Seni sama dengan kerajinan (craft), keterampilan (skill), dan teknik, atau teknologi. Sosok seniman seperti Leonardo da Vinci – di zaman Renaissance itu membantu kita memberi gambaran bahwa kesemuanya itu berelasi. Da Vinci bisa dikatakan seniman, sekaligus penemu, sekaligus saintis. Di masa selanjutnya, zaman modern mengenal pemisahan itu dengan menarik teknologi pada mesin dan kepentingan produksi. Di situlah seni seringkali menjadi “oposisi”; mengritisi teknologi menjelma mesin yang meringkas hubungan manusia sesungguhnya. Senilah yang peka mengungkap alienasi yang terjadi. Pendek kata, seni kadangkala berdiri sebagai “oposisi” dari teknologi (mesin produksi, sistem kapital, dan sebagainya) yang kerapkali mengalienasi manusia, namun ia juga sekaligus menjadi partner dalam berbagai aspek kehidupan dan perjalanan teknologi itu sendiri, semisal

Pembicaraan soal perubahan bukanlah hal baru. Tema Hari Pangan Sedunia 2016 kembali mengingatkan warga dunia bahwa kini kita berhadapan dengan perubahan besar yang mengharuskan kita berubah juga, “Climate is change, food and agriculture must too.” Perubahan jadi suatu hal yang niscaya dilakukan demi kelangsungan hidup. Sepanjang zaman, perubahan memang telah menjadi tema yang selalu marak dibicarakan, namun alih-alih hanya bicara soal isi, tema, atau jenis-jenis yang ada di dalam perubahan itu, menarik juga menyoal perubahannya itu sendiri.

Lalu apa kaitannya dengan seni dan teknologi? Dua hal tersebut bisa menjadi pengantar kita memasuki dan membicarakan perihal perubahan itu sendiri, tentu saja dalam ranah yang lebih spesifik. Dengan kata lain, perihal perubahan itu sendiri bisa dilihat dalam konteks relasi keduanya yang dari zaman ke zaman selalu menarik untuk diamati, dan lewat keduanya kita bisa melihat bagaimana perubahan itu terjadi dan berpengaruh besar terhadap

Jauh (Dekat), Yang Misterius Sekaligus Intim

pergeseran kemanusiaan itu sendiri; atau dengan istilah yang lebih gigantik, tengah terjadi mutasi – baik teknologi, seni, bahkan juga manusianya. Manusia “terbentuk” dari perkawinan antara seni dan teknologi. Maka kini bisa kita lihat manusia kini yang tengah bermesraan dengan piranti (device), dengan medium yang membuatnya selalu terhubung dengan manusia lain, maupun sebagai dunia virtual itu sendiri. Karena itu, dalam konteks pembahasan seni dan teknologi di sini, seni tidak sebatas dipahami sebagai karya seni, melainkan sebagai aspek hidup manusia yang menyentuh pada ranah kebudayaan, termasuk di dalamnya inovasi dan penciptaan. Berbagai dilematika, kompleksitas, dan kolaborasi yang terjadi di dalam relasi keduanya tak pernah lekang untuk dicermati.

Sepanjang sejarahnya, relasi keduanya, kendati tampak terpisah, secara esensial mereka menyatu. Alih-alih terpisah, keduanya justru saling mengadakan. Merunut mundur ke zaman Yunani, tak ada pemisahan sama sekali antara

5Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Sumber: http://www.kaptest.com

“manusia teknologi”. Singkatnya, teknologi tampaknya ingin “lebih menubuh manusia,” dan ini hanya dapat dilakukan melalui peleburannya dengan seni – demikian sebaliknya, seni mampu menjawab berbagai hal lewat teknologi. Karena itu, teknologi tak lagi perihal produksi, melainkan telah beralih ke reproduksi, “Technology has come increasingly to be seen as a matter of aesthetics or style, as an “aesthetic movement.” Given this “asesthetic” aspect, the concept of technology in high tech might well be thought as a kind of high technē – analogues to, though certainly quite different from, the Green notion of techne.”1

Sebagai pengantar untuk bisa membayangkan bagaimana geraknya seni dan teknologi, papasannya, ketidakmungkinan terpisahkan, dan dilematikanya dari zaman ke zaman, ada tulisan Yoshi yang langsung secara kritis melihat relasi seni dan teknologi. Ia menawarkan semacam pertanyaan retoris untuk kita semua, masih relevankah bicara soal hal yang jelas tidak bisa dipisahkan itu, seni dan teknologi – yang bahkan keduanya selalu hadir di tengah keseharian kita? Kalau masih relevan, lewat mana kita membicarakannya, dan dengan cara apa, lalu bagaimana implikasinya bagi kehidupan kita?

Selanjutnya, secara khusus dalam ranah seni visual ada tulisan yang cukup singkat dari Arham yang menjabarkan secara kronologis kapan dimulainya penggunaan teknologi dalam konteks seni visual (perkembangan seni rupa kontemporer) hingga kini. Di ranah

dalam desain (yang paling kelihatan). Bagaimanapun, seni dan teknologi kini justru saling “bahu membahu” beranjak “memihak” manusia lagi. Teknologi masa kini makin membuat manusia-mesin lebih ramah – seperti menjadi partner lagi bagi manusia.

Maka, kini, tampaknya teknologi itu sendiri tengah mencapai masa “akhir”nya sebagai teknologi dalam pemahaman modern: bukan lagi sebagai mesin yang “dikuasai” dan “dikontrol” manusia demi memenuhi tujuannya, instrumental sifatnya, melainkan telah menjadi “partner,” bahkan semacam “mesin hasrat” – yang bukan mesin pabrik lagi, dan punya daya untuk membentuk berbagai aspek kehidupan manusia itu sendiri (yang paling personal sekalipun). Berbagai teknologi telah mengalami perubahan juga, misalnya dari mesin ke ramah lingkungan, dari mekanik ke organik. Maka, berkaitan dengan perubahan, kita bisa melihat bagaimana seni dan teknologi kini telah melebur dalam bentuk berbagai benda, elemen, piranti, metode dan sebagainya saat ini. Teknologi telah menjelma desain, style yang tak lagi semata-mata fungsi. Ia menjadi lebih personal, individual yang mampu memperhatikan, menjawab kebutuhan, sekaligus menciptakan hasrat, keinginan, “kebutuhan-kebutuhan semu” lainnya; ….. selalu ada hal baru untuk “mendekati manusia,” menjadi “more personal than personal.” Maka tak hanya “ramah lingkungan” yang dituju (seringkali sampai), juga “ramah manusia;” teknologi touchscreen, intraktif, dan berbagai aplikasi yang memunculkan pengalaman “memanusia” – sebagai

musik, ada Asep Hidayat, seorang pemain Cello yang mencoba menguraikan pengaruh komposisi Bach dengan musik Jazz kini. Kemudian, bagaimana ketika seni dan teknologi ditarik ke ranah yang lebih luas, dalam dunia ekonomi saat ini? Tulisan reportase Gustaff mengenai konferensi b. Creative menggambarkan bahwa telah ada kesadaran dan usaha-usaha menghubungkan antara seni sains teknologi dan kehidupan masa kini. Dengan kata lain, telah ada kesadaran untuk membahas lebih spesifik keterkaitan seni dan teknologi di sektor ekonomi kreatif. Masih berkaitan dengan itu, ada Nancy Magried – salah seorang pelopor batik fractal, menggambarkan dilematisnya perkembangan teknologi dalam penciptaan batik – yang notabene selama ini batik identik dengan “tradisi” dan “tradisional.” Di bagian akhir, ada tulisan pendek dari Arhamuddin yang mengkritisi perihal musik ganrang Makassar yang menurutnya punya potensi bertahan, namun telah tergerus oleh logika kapitalisme.

Perkembangan yang pesat dari relasi seni dan teknologi telah melahirkan berbagai jenis pengalaman kemanusiaan yang berbeda. Pada akhirnya, pengalaman atas keduanya mempengaruhi cara kita berbicara mengenai perubahan dan kehidupan. Maka yang mungkin menarik bahwa kita tak lagi mempersoalkan hubungan apa, atau jenis tarik menarik yang bagaimana yang terjadi di antara keduanya (meskipun itu penting tapi tidak mendesak), melainkan bagaimana melihatnya kembali dengan lebih luas berkaitan dengan banyak aspek kehidupan.

Stanislaus Yangni,

redaksi Mata Jendela

1 Lihat R. L. Rutsky. High Technē: Art and Technology from The Machine Aesthetic to the Posthuman. 1999. London: University of Minnesota, hal. 12.

6

Sejauh pembahasan selama ini, relasi keduanya, seni dan teknologi, sudah sering diperbincangkan. Tesis dasarnya mengatakan bahwa sebagai produk kebudayaan, keberadaan seni dan teknologi tidak terpisah, bahkan saling melengkapi. Seni dan teknologi seperti dua sisi mata uang yang sama posisinya, saling terkait, bahkan tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya. Di dalam nalar modern, posisi keduanya, seni dan teknologi sama-sama sebagai produk dari bidang

Tanah, Ruang, Bahasa

Yoshi Fajar Kresno Murti

JENDELA

Relasi Seni, Teknologi, dan Perkembangan Masyarakat

pengetahuan, dan dasar keberadaannya sama-sama sebagai medium yang diperlukan untuk tujuan meningkatkan kenyamanan hidup manusia. Benarkah?

Di dalam keseharian, kita bisa melihat secara langsung hubungan seni dan teknologi telah tidak jelas batas-batasnya. Bahwa di dalam sebuah produk teknologi - bahkan yang dikatakan sebagai produk teknologi paling sederhana pun, pastilah kelihatan sangat berseni. Contohnya

sangat banyak, dari teknologi peralatan rumah tangga, perkakas pertanian, hingga piranti digital, elektronika, mesin bermotor, dan lain sebagainya. Demikian pula sebaliknya, di dalam keseharian sebuah praktik seni pastilah mengandung atau sekurang-kurangnya memerlukan teknik penciptaan yang teknologis wataknya. Proses penciptaan keduanya, praktik seni dan teknologi, sama-sama melalui pergulatan dengan persoalan hidup, diabstraksikan dengan penuh imajinasi, dan dibangun melalui

Dengan cara bagaimana lagi membahas relasi seni dan teknologi di saat keduanya masing-masing telah menjadi satu bidang pengetahuan, terlebih lagi masing-masing telah menjadi bidang profesi(onal)?

~

7Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

proses materialisasi yang terkadang tidak lazim (luar biasa). Dengan tesis pokok ini, pembahasan yang memerkarakan hubungan seni dan teknologi sesungguhnya sudah tidak relevan. Demikian juga, mengaitkan keduanya di dalam perbincangan praktik penciptaan seni maupun teknologi, merupakan hal yang biasa-biasa saja.

Di dalam praktik seni dewasa ini, perkembangan teknologi jelas

mempengaruhinya. Perkembangan teknologi tidak hanya mengubah cara produksi praktik seni. Lebih jauh lagi, perkembangan teknologi juga menjadi medium dari pernyataan (statement) yang mau disampaikan praktik seni. Pemahaman mengenai apa itu seni, apa itu praktik seni, untuk apa praktik seni, dan lain sebagainya, mengalami perluasan dan mendapat tantangan dari perkembangan teknologi yang terus tumbuh di masyarakat. Contoh dari pernyataan ini dapat dilihat

dalam perkembangan praktik seni dewasa ini yang disebut sebagai “seni media baru”. Praktik “seni media baru” merupakan kerja seni yang bergelut dengan produk teknologi sebagai karya seni sekaligus sebagai piranti atau statement praktik seni. Dengan medium produk teknologi, praktik «seni media baru” tidak lagi berwatak satu atau dua atau tiga dimensi, tetapi sudah disebut sebagai empat dimensi, bahkan lima dimensi. Berbagai peristiwa diciptakan dalam

8

bentuk pameran, festival, maupun semacam olimpiade yang secara khusus maupun umum dimaksudkan untuk mewadahi gagasan kolaborasi seni, sains, dan teknologi. Satu hal yang ingin ditekankan kembali melalui uraian ini adalah, bahwa perkembangan teknologi merupakan praktik seni itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, praktik seni merupakan (pendorong) perkembangan teknologi untuk terus memperbarui dirinya sendiri. Hal ini sudah dirayakan dimana-mana melalui berbagai peristiwa.

masing. Pembaruan ini terus dikerjakan seolah-olah berlomba dengan problem ke(tidak)nyamanan hidup manusia kontemporer yang semakin kompleks – yang justru menjadi alasan dasar, mengapa seni dan teknologi (meng)ada. Meski kemudian, di dalam perkembangan selanjutnya,tujuan ontologis keberadaan seni dan teknologi ini berubah makna. Pada akhirnya, seni dan teknologi ada dan terus tumbuh karena bergelut dengan dirinya sendiri (teknik, medium, tema, dan lain sebagainya).

Inovasi dan DesainKeterpisahan seni dan teknologi sebagai bidang pengetahuan dan profesi(onal) sesungguhnya hanya terjadi di alam pikiran modern yang telah menjadi pasar (global). Keterpisahan tersebut direproduksi dan digerakkan terus-menerus melalui institusi pendidikan, pasar tenaga kerja, dan industri. Di tengah pasar, seni dan teknologi terus-menerus dituntut untuk memerbarui dirinya sendiri: berkembang, berimprovisasi, dan bereksplorasi kembali di dalam habitus infrastrukturnya masing-

9Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

sebuah kebudayaan (material culture) itu sendiri. Maka, di dalam praktik keseharian, jejak-jejak dari kebudayaan itu masih bisa ditemui dengan biasa saja melalui materialisasinya pada alat-alat pertanian, pertukangan, navigasi, dan alat-alat hidup yang lain-nya, yang seringkali diberi label kata “sederhana”, dan juga “tradisional”. Sesungguhnya secara langsung kita bisa melihat kehadiran nalar seni dan teknologi yang menyatu dengan kebudayaan (sikap atau nilai, kebutuhan, dan cara berpikir) melalui alat-alat tersebut. Teknik, bentuk, fungsi, efektifitas, estetika, bahkan kerumitan yang menyertai proses

teknologi itu hadir. Ia bukan berada di posisi untuk mempertanyakan akar persoalan ke(tidak)nyamanan hidup manusia, bagaimana kok bisa terjadi? Tetapi berada di posisi melihat praktik seni dan teknologi itu sendiri: bagaimana mereka – seni dan teknologi – (supaya) bisa terus hidup dan berinovasi di tengah pasar (global)?

Selalu ada godaan untuk melihat ke masa lalu. Pada suatu masa ketika seni dan teknologi tidak dipisahkan di alam gagasan maupun praktik keseharian. Ketika tubuh, tanah, dan tindakan sehari-hari menjadi satu, dan semua benda, semua material, merupakan

Penggusuran di Bukit Duri. Hilangnya kedaulatan atas tanah sebagai ruang hidup bersama.Sumber: Yoshi Fajar Kresno Murti

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Seni dan teknologi, dua sisi mata uang.Sumber: Yoshi Fajar Kresno Murti

Konteks dasar dari pertumbuhan seni dan teknologi seperti hari ini adalah sebuah dunia yang telah menjadi pasar (global). Di tengah pasar, seni dan teknologi harus terus-menerus melakukan pembaruan sebagai produk material, peristiwa, jaringan, maupun pengetahuan. Hasil pembaruan (produk) tersebut disebut inovasi, sedangkan untuk mengerjakan inovasi dibutuhkan sebuah metode yang disebut desain. Desain merupakan sebuah metode di dalam mewujudkan praktik seni maupun penciptaan teknologi yang inovatif. Melalui kunci desain dan inovasi, praktik seni dan teknologi ditegaskan sebagai bidang yang memproduksi produk (material maupun ide) yang ditawarkan di tengah pasar. Lukisan, performance, video art, display digital, setting tempat, atau apapun produk seni dan teknologi sesungguhnya hasil dari inovasi dan desain yang terus-menerus memperbarui dirinya sendiri.

Secara ontologis, di dalam konteks pasar (global), kehadiran praktik seni dan teknologi di dalam menjawab atau memertanyakan problem ke(tidak)nyamanan hidup manusia, sesungguhnya sudah tidak mempunyai relasi seperti pada awal ketika seni dan

Dalam situasi setiap jengkal tanah adalah

tempat dan setiap gerak adalah waktu,

sesungguhnya seni dan teknologi mampu menjadi

medium yang universal dalam berkomunikasi.

10

desain, produk seni dan teknologi bisa berbeda setiap saat, setiap tempat, meskipun mungkin prinsip guna dan prinsip kerja-nya sama. Orang biasa menyebutnya dengan istilah cuma “ganti tampilan” saja. Dan pergantian tersebut, di dalam konteks sekarang, sangat cepat geraknya.

Produksi dan reproduksi seni maupun teknologi – selain menjadi cermin perubahan masyarakat – mereka juga mempengaruhi perkembangan masyarakat itu sendiri. Sudah jelas, perkembangan (inspirasi) seni dan (penggunaan) teknologi mempengaruhi relasi dan cara berkomunikasi masyarakat yang juga terus berubah, di setiap saat, di setiap tempat. Di ranah yang lain, problem kerusakan lingkungan, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kekerasan semakin rumit di setiap saat, setiap tempat. Problem-problem manusia dan lingkungan sangat luas cakupannya, di setiap sudut dunia, dan saling mempengaruhi. Masalah lingkungan, keadilan, kemiskinan, dan kekerasan, merupakan dasar yang sama dari persoalan di setiap tempat. Dengan demikian, waktu dan tempat, merupakan kategori penting

dari alat-alat “sederhana” tersebut, merupakan kontekstualisasi dengan situasi dan atmosfir alam setempat. Ada citra kebudayaan masyarakatnya yang terpancarkan dan nilai guna yang logis, yang bisa langsung ditangkap sekaligus melalui kehadiran alat-alat tersebut. Satu hal yang ingin disampaikan dari paragraf ini, bukan untuk kembali ke sebuah masa lalu atau ke masa depan, tetapi bahwa memperbincangkan kehadiran seni dan teknologi – secara ontologis maupun praktis – merupakan perbincangan tentang bagaimana sebuah (kebudayaan) masyarakat sedang bergerak.

Ruang, Tanah, dan BahasaProduksi dan reproduksi (produk) seni maupun teknologi hari ini terus menerus dilakukan, misalnya di tempat-tempat seperti laboratorium, studio, galeri, pabrik, showroom, kantor, maupun ruang-ruang khusus lainnya. Dan tentu saja produksi dan reproduksi seni dan teknologi yang juga terjadi di dalam praktik sehari-hari masyarakat dengan sangat beragam.Berkat semangat kata inovasi dan

“...secara ontologis maupun praktis – merupakan perbincangan tentang bagaimana sebuah (kebudayaan)

masyarakat sedang bergerak.“

yang tidak bisa dilepaskan serta menjadi dasar ketika memerbincangkan hubungan seni dan teknologi dengan perkembangan masyarakat, serta problem ke(tidak)nyamanan hidup lingkungan serta manusia. Persoalan waktu dan tempat ini penting sebagai ranah untuk menarik praktik seni dan teknologi mempunyai konteks dan posisi yang jelas di dalam realitas yang dihadapi.

Waktu dan tempat (place) di dalam konteks hari ini telah menjangkau setiap jengkal tanah di muka bumi. Setiap titik di muka bumi selalu terhubung dengan titik yang lain, menjadi tempat tujuan (destinasi). Serentak kita bergerak dari titik ke titik yang lain, waktu dan tempat tercipta. Dalam situasi setiap jengkal tanah adalah tempat dan setiap gerak adalah waktu, sesungguhnya seni dan teknologi mampu menjadi medium yang universal dalam berkomunikasi. Seni sebagai cermin dari fleksibilitas yang adaptif dan teknologi sebagai bentuk dari alat bantu yang memerlukan aturan main. Pergerakan berhenti ketika berkomunikasi. Ketika

11Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

akar-akar bahasa, menggerakkan dan menerbangkannya hingga tercerabut dari tanah dan kebudayaan yang menyangganya. Bahasa seperti ribuan tanda-tanda yang menggantung di udara, dan setiap saat siapapun bisa mengambil serta mempergunakannya. Dalam infrastruktur (ekonomi-politik)-nya, bahasa adalah penguasaan, dan dalam praktik sehari-hari bahasa adalah permainan tanda yang telah lepas dari akar tanahnya.

Dilihat dari kesamaan beberapa hal, perkembangan seni dan teknologi juga sebuah penguasaan dan atau permainan bahasa. Misalnya dapat dilihat dalam beberapa pertanyaan, seperti: Bagaimana mungkin sebuah praktik seni (dan juga teknologi) bisa mempunyai pengakuan kehadirannya tanpa berbahasa Inggris? Contoh pertanyaan yang lain dapat dilihat dalam kasus mobil nasional: Mengapa sebuah produk teknologi yang mempunyai prinsip kerja yang sama dengan yang sudah ada, harus dikaitkan dengan produk bahasa nasional (harus dinamai Mobil Nasional)?

komunikasi hadir, tempat telah menjadi ruang dan waktu telah menjadi tanah. Itulah posisi seni dan teknologi sebagai medium hari ini: menghadirkan komunikasi yang membangun ruang dan mengakarkannya di tanah. Tanah dalam arti yang sebenarnya, maupun dalam pengertian kedaulatan hidup bersama.

Persoalannya, kedaulatan atas tanah sebagai ruang hidup bersama telah hilang. Tanah menjadi komoditas, dan tanah merupakan sumber penguasaan manusia atas mahkluk hidup yang lain, yang telah berlangsung berabad-abad. Bagaimana komunikasi dibangun di atas hilangnya kedaulatan manusia atas tanah? Bagaimana membangun bahasa baru komunikasi antarmanusia tanpa tanah? Mungkinkah?

Sama seperti seni dan teknologi, permasalahan posisi bahasa kita hari ini adalah soal bagaimana bisa bertahan di tengah pasar (global) dan menguasainya. Cara berkomunikasi yang terjadi juga bergerak di dua ranah: pertahanan diri dan penguasaan liyan. Globalisasi telah melucuti

Tepat pada persoalan penguasaan dan permainan bahasa di tengah pasar (global), tantangan (cara) berkomunikasi diletakkan bukan pada penggunaan bahasa. Tetapi pada bagaimana cara kita berbicara melalui tubuh yang merdeka. Tubuh yang merdeka bukanlah tubuh yang hadir dari (ke)manusia(an), tetapi justru dari apa yang dianggap “bukan manusia”. Jika seni dan teknologi di tengah pasar (global) perlu ditarik posisinya membangun ruang dan mengakar pada tanah. Maka, berbahasa hari ini adalah persoalan mencari terus-menerus cara kita berbicara yang berangkat dari “yang bukan manusia”. Seni dan teknologi adalah medium pencarian itu.

Yoshi Fajar Kresno Murti,Arsitek Ugahari, tinggal di Dusun Ngemplak, Sleman Yogyakarta.

Persoalannya, kedaulatan atas tanah sebagai ruang hidup bersama telah hilang. Tanah menjadi komoditas, dan tanah

merupakan sumber penguasaan manusia atas mahkluk hidup yang lain, yang telah berlangsung berabad-abad.

12

Tulisan ini semacam catatan sederhana mengenai perkembangan seni (karya seni dalam konteks seni visual) yang berkelindan dengan teknologi. Sejak kapan irisan keduanya melahirkan “karya visual?” Inovasi jenis apa saja yang terjadi dalam teknologi yang bisa digunakan seni, baik sebagai “medium” maupun sebagai “alat” – yang dieksperimentasi sehingga bisa memunculkan berbagai “bentuk-bentuk” barunya?

***

Istilah “seni digital” mula-mula digunakan untuk menandai praktik seni yang menggunakan

teknologi komputer. Istilah tersebut seringkali digunakan secara berbeda, seperti “seni teknologis” (Steve Dietz), “seni elektronik” (Lev Manovic), “seni internet” (Jon Ippolito), dan “seni media baru”.1 Istilah yang disebut terakhir dianggap memayungi semua jenis praktik seni yang menggunakan peralatan elektronik, teknologi

Lini MasaArham Rahman

komputer, dan alat komunikasi baru.2 Meskipun demikian, istilah seni digital dan media baru masih sering digunakan secara bergantian.

Pada era 60an, seni dan teknologi mulai beririsan serta dibicarakan secara serius. Sherry Hayo3 mencatat dua momen yang menandai irisan itu, Experiment in Art and Technology (E.A.T) di New York dengan “9 Evenings: Theatre and Engineering” pada 1966–yang disebut-sebut sebagai momen awalnya–dan eksperimen maupun pameran yang dihelat Howard Wise Galery, New York.

E.A.T. terbentuk saat Billy Kluver, seorang insinyur dari Bell Laboratories, mulai masuk ke dunia seni. Kluver, bersama sejumlah seniman seperti Robert Rauschenberg, John Cage, Yvonne Rainer untuk menyebut beberapa nama di antaranya, menginisiasi pertunjukan kolaborasi “9 Evenings: Theatre and Engineering”. Peralatan-peralatan teknologi seperti

closed-circuit television (CCTV), proyeksi televisi, dll dikemas untuk kepentingan panggung dan menjadi bagian integral dari pertunjukan. Pada dekade yang sama, Galeri Wise juga punya dukungan yang cukup besar untuk seni berbasis teknologi, terutama seni video.

Seniman mulai bekerja dengan komputer di tahun 70an. Praktik tersebut kemudian dilabeli dengan sebutan “seni komputer”. Penggunaan komputer dalam praktik seni tampaknya turut menggeser cara kerja seni lain, entah yang menggunakan medium tradisional atau yang sudah berbasis teknologi. Pematung, pelukis, seniman video, dll, turut menggunakan teknologi ini sebagai alat bantu. Dengan teknologi digital, kata Paul,4 skala, warna, serta tekstur bisa diciptakan dan dimanipulasi secara instan. Karena alasan itu juga, sulit untuk merumuskan seperti apa bentuk artistik yang ditunjuk oleh istilah “seni komputer”. Ia adalah media yang

13Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

cair. Dalam pengertian

tradisionalnya, seni komputer merujuk pada

karya yang “dibuat maupun dipajang dengan menggunakan komputer.5 Pengertian tersebut seolah mau membangun batasan antara “komputer sebagai medium” dengan “komputer sebagai alat”.

Pada masa yang sama, satelit interaktif pertama mulai diperkenalkan dan bisa dikombinasikan dengan teknologi lain. Seperti yang dicontohkan Paul,6 dengan menggunakan teknologi satelit dan video, seniman mulai bereksperimen dengan performance dan memungkinkan orang untuk menikmati pertunjukan kolaborasi di dua kota berbeda (New York dan San Francisco) secara real-time.Era 80an ditandai dengan masuknya teknologi dalam kehidupan keseharian. Penggunaan komputer semakin meluas dan sudah bisa dimiliki secara personal. Teknologi komputer juga berkembang, dilengkapi dengan piranti lunak yang bisa menciptakan latar imajiner yang seolah-olah nyata (pengalaman simulasi virtual), seperti komputer grafis berefek khusus misalnya. Komputer jenis itu digunakan di dalam film-film blockbuster seperti Jurasic Park dan aneka program televisi. Selain itu, pengembangan game animasi 3D melahirkan bentuk interaktivitas baru bagi para penggunanya, di mana setiap pemain bisa saling terhubung. Sementara dalam ranah fotografi, penemuan Adobe PhotoShop mendorong lahirnya karya-karya digital imaging.

Setelah komputer dipasarkan secara luas, memasuki era 1990an, giliran internet yang mulai dikonsumsi secara publik. Sejak perambah maya (web browser) ditemukan, istilah Net-art atau internet art mulai digunakan.7 Dari pilihan objek, bentuk, ataupun imajinasi ruangnya sangat berbeda dengan seni rupa arus utama. Jenis seni ini juga mengandaikan hubungan yang lebih interaktif antara karya seni dengan penonton. Internet tidak hanya memungkinkan penonton atau penggunanya untuk mengirim dan menerima informasi, tetapi juga punya kuasa untuk memilih apa yang hendak diakses.8

Praktik seni internet yang cukup menarik dicontohkan oleh Stallabrass adalah “The File Room” karya Antonio Muntadas. Menurut Stallabrass,9 karakter paling fundamental dari seni internet adalah ia selalu berurusan dengan data (virtual). “The File Room” adalah kumpulan arsip/data tentang sensor kebudayaan dan pertama kali diluncurkan pada Mei 1994. Mula-mula, arsip-arsip tersebut dikumpulkan oleh satu tim peneliti, lalu kemudian melibatkan publik. Muntadas membuat situs kolaboratif yang memungkinkan para penggunanya untuk menyumbangkan informasi. Selain ditampilkan secara daring, karya ini juga pernah dipresentasikan secara fisik.

Perbedaan antara seni internet dengan seni yang hadir sebelumnya cukup tampak di sini. Satu hal yang kiranya juga menarik dilihat adalah karya seperti itu bisa direproduksi. Ada usaha

untuk menerabas kuasa pasar. Namun, dalam hal interaktivitasnya, publik atau pengguna yang terlibat masih harus mengikuti kerangka kerja yang ditetapkan oleh seniman.

Seperti seni komputer, istilah seni internet juga merujuk pada bentuk estetika yang spesifik dan afirmasi terhadap ragam teknologi yang baru muncul. Sehingga pada perkembangan selanjutnya, istilah seni media baru lebih banyak digunakan. “Seni media baru” mengandaikan penggunaan teknologi terbaru dalam praktik penciptaan seni. Lagipula, jika ditilik, karakter teknologi terbaru selalu punya kepentingan untuk melengkapi teknologi yang sudah ada sebelumnya. Revolusi digital dan teknologi komunikasi yang kedua di penghujung 90an sampai era 2000an melahirkan teknologi hibrid yang disebut sebagai “teknologi media baru”. Apa karakter teknologi media baru ini?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kiranya kita bisa mengetengahkan gagasan van Dijk. Katanya, teknologi media baru punya tiga karakter pokok; terintegrasi, interaktif, dan menggunakan kode digital.10 Seperti yang ia contohkan, televisi biasa disebut terintegrasi karena kemampuannya untuk mentransmisikan suara, gambar dan teks, tapi tidak interaktif serta tidak menggunakan kode digital. Telepon model lawas itu interaktif, tetapi tidak terintegrasi lantaran hanya mentransmisikan suara dan percakapan serta tidak menggunakan kode digital. Sedang media baru, memiliki tiga karakter pokok itu secara bersamaan

14

menawarkan sesuatu yang lebih, entah secara bentuk, imajinasi ruang, atau model interaktivitasnya. Model seni tersebut kembali ke bentuk presentasi karya yang tradisional–kembali memberhalakan white cube.Kendati tidak dimiliki secara eksklusif, interaktivitas adalah dimensi yang paling menonjol dalam praktik seni berbasis teknologi. Keterlibatan audiens bukan lagi diukur dengan boleh tidaknya sebuah karya disentuh, melainkan sudah menjadi bagian dari estetika karya itu sendiri. Dalam karya Amalia Ulman dan Agan Harahap di Instagram atau kanal Youtube Fluxcup misalnya, komentar pengunjung menjadi bagian dari estetikanya.

Lantas untuk saat ini, bagaimana kita membedakan antara karya seni dengan

Kalau ditilik, prinsip kerja Instagram sebagai medium artistik tidak jauh berbeda dengan praktik yang muncul pada era 1990an. Secara bentuk boleh jadi berbeda, tetapi dalam hal ruang yang digunakan dan model interaktivitas yang ditawarkan sama. Lebih jauh, Instagram (juga beberapa situs daring seperti Artsy dan Saatchi Online) turut digunakan sebagai “galeri genggam” dan sarana untuk berjualan karya.

Sebenarnya ada kecenderungan lain yang muncul, tepatnya pada dekade pertama era 2000an dan masih sering didengung-dengungkan saat ini, disebut post-internet art. Model seni tersebut berupaya menjadi antitesa bagi seni internet yang dipandang terlalu “ortodoks” karena mengandaikan sebuah karya ditampilkan secara daring. Namun demikian, post-internet art justru tampak seperti sebuah langkah mundur dan tidak

seperti yang kini ditemukan dalam wujud smartphone–mampu memuat teks, gambar, video, serta terkoneksi dengan internet atau menggunakan kode digital.

Saat ini, kita tengah hidup dalam masyarakat jejaring (network society). Smartphone memungkinkan kita untuk terhubung setiap saat. Susah untuk lepas dan melawannya nyaris sia-sia. Kita bisa merepresentasikan objek atau menjadikan diri kita sendiri sebagai objek representasi, mengunggahnya di jejaring sosial sembari harap-harap cemas siapa saja yang akan berkomentar atau memberikan “like”. Situasi tersebut turut memberi implikasi pada praktik seni dewasa ini. Instagram misalnya yang kini turut digunakan sebagai medium artistik baru, sebagaimana dipraktikkan Amalia Ulman, Richard Prince, atau Agan Harahap di Indonesia.

Sumber: Dokumentasi Arham Rahman

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

15Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

yang bukan karya seni di Instagram? Saya pikir, yang perlu kita lihat adalah strategi artistik yang digunakan seorang seniman untuk memproduksi karyanya. Lagipula, selalu ada upaya dari seniman untuk melakukan pembedaan di dalam karyanya. Kekhasan metode kerja atau intervensi artistiknya, bukan sekadar bekerja secara automaton dengan teknologi. Ia hanya sarana lain yang bisa dimanfaatkan seorang seniman sebagai medium berkarya.

Arham Rahman, peneliti seni kontemporer di SOAP (Study of Art Practice)

1 Po-Hsien Lin. “A Dream of Digital Art: Beyond the Myth of Contemporary Computer Technology in Visual Arts”. Dalam Visual Arts Research, Vol. 31, No. 1, “Intersections of Technology with Art Education” (2005)., p. 6.

2 Louise Poissant (ed). “New Media Dictionary”. Dalam Leonardo, Vol. 33, No. 2 (2000)., p. 138. Sebagai perbandingan, lihat juga Paul (2002)., p. 471. Seni media baru, menurut Paul, turut menggabungkan dua varian seni yang secara tradisional berbeda, yakni antara seni digital dan seni video. Sebelumnya, ada pemisahan yang cukup tegas antara “seni digital” dengan “seni video” karena perbedaan karakter jenis media teknologi yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Bandingkan Paul, Christine. 2002. “Renderings of Digital Art,” dalam Leonardo, Vol. 35, No. 5, “Tenth Anniversary New York Digital Salon” (2002), p. 471-484.

3 Di penghujung dekade 60an, gebrakan lain sebenarnya muncul. Seperti yang dituliskan Hayo, pada tahun 1969, Association for Computer Machinery Special Interest Group in Computer Graphic and Interactive Technology (ACM-SIGGRAPH) menghelat konferensi pertamanya dengan kepentingan untuk mengembangkan bentuk kolaborasi interdisiplin antara seniman dan ilmuan. Sherry Mayo. “The Prelude to The Millenium: The Backstory of

Digital Aesthetics”. Sources: The Journal of Aesthetic Education, Vol. 42, No. 1 (Spring, 2008), p.101-103. Hal yang sama juga disebutkan Christiane Paul, dengan menambahkan bahwa seni digital lahir dan berkembang juga karena pengaruh gerakan seni yang ada sebelumnya (seperti seni konseptual, Fluxus, dan email art). Paul (2002), p. 472.

4 Paul (2002), p. 472.

5 Po-Hsien Lin (2005), p. 6. 6 Paul (2002), p. 472.

7 Julian Stallabars. “The Aesthetics of Net.Art”. dalam Qui Parle, Vol. 14, No. 1 (2003), p. 49-50.

8 Mayo (2008), p. 106.

9 Stallabrass (2003), p. 59, 61.

10 Jan van Dijk. 2006. “Network Society: Social Aspect of New Media”. Sage Publication: New York. (6-9 & 42-60).

“Interaktivitas adalah dimensi yang paling menonjol dalam praktik seni berbasis teknologi. Keterlibatan audiens bukan lagi diukur dengan boleh tidaknya sebuah karya disentuh, melainkan sudah menjadi bagian dari

estetika karya itu sendiri.”

16

AGRARIS(kebutuhan)

INDUSTRI(permintaan/penawaran)

INFORMASI(keinginan/hasrat)

Renaissance

Pencerahan

ModernRevolusi Industri

(abad 17 - 18 - 19)

Yunani KlasikTechnē: seni = teknologi

~ Seni, kerajinan, teknik, teknologi pengo-

lahan materi, bahan: produksi artistik &

peralatan keseharian

Patung, lukisan era Yunani kuno, klasik

Teknologi Klasik

~seni = teknologi

Modern Technology

~seni x teknologi mesin

Alat-alat tradisional/manual

Pemenuhan kebutuhan skala kecil

(secukupnya)

~

Teknologi Tradisional

Mesin - pabrik - massal

Tujuan produksi, pemenuhan kebutuhan

Fungsional

Instrumental

~

Teknologi Modern

Bagan Singkat Perkembangan dan Perubahan RelasiSeni - Teknologi

1990an - kini

~ “Personalized technology”

High tech

“User friendly”

Teknologi hybrid

“Seni media baru”

Android, jejaring sosial, BBM, Instagram, Youtube, dsb.

NEIL BROWN, DENNIS DEL FAVERO, JEFFREY SHAW AND PETERWEIBEL, Visionarium, 2006, interactive installation Copyright Shanghai eArts

Festival, 2008. Courtesy the artists.Amalia Ulma, Excellence and Perfection, 2014,

performance di Instagram

Agan Harahap, Louhan Berlogo PKI, manipulasi fotografi, 2016 (dalam Facebook)

Untuk sekadar memberi gambaran

atas tulisan Lini Masa, berikut

adalah bagan singkat mengenai

perjalanan kesalingkelindanan

seni dan teknologi; pada titik

mana saja mereka berjumpa, dan

berbagai pergeseran pemahaman

atas hubungan antar keduanya

dari masa ke masa. Kalau di

tulisan Lini Masa itu relasi seni

dan teknologi lebih spesifik

dijelaskan dalam ranah dunia

seni visual, di bagan ini saya

(Stanislaus Yangni, redaksi) akan

mencoba mencatatnya lebih

menyeluruh, yaitu dalam rentang

waktu zaman kuno, klasik hingga

kontemporer, ditambah sekilas

mengenai perubahan tatanan

hidup masyarakat dunia (agraris

yang befokus pada pemenuhan

“kebutuhan” menuju industri di

mana “kebutuhan” (need) bergeser

menjadi “permintaan-penawaran”

(demand), kemudian ke teknologi

komputer, virtual yang menggeser

demand manusia menjadi desire

(hasrat). Dalam bagan ini juga

disertakan beberapa contoh karya

visual yang hadir dari persentuhan

dunia seni dan teknologi.

17Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

Fluxus & Avant Garde New York (1960an)

~ E.A.T

Billy Kluver

Robert Rauschenberg

Nam Jun Paik: seni video, televisi

Seni kinetik

Fluxus & Avant Garde New York (1960an)

~ E.A.T

Billy Kluver

Robert Rauschenberg

Nam Jun Paik: seni video, televisi

Seni kinetik

High-tech:seni <> teknologi

Robot/human automaton

1970an

~ “Seni Komputer” (komputer sebagai

medium & sebagai alat)

Satelit Interaktif

1980an

~ Pengalaman Virtual: 3D

Digital imaging - Adobe Photoshop

Realisme fotografis dalam lukisan

Karya apropriasi (melanjutkan warisan Duchamp)

Jean Tinguely, Homage to New York, 1960

Nam Jun Paik, TV Buddha, 1974.

Barbara Kruger, Untitled, 1982.

Sumber: Jeang Tinguely, Homage ... (http://www.nytimes.com)

Nam Jun Paik, TV Buddha (www.medienkunstnetz.de)

1990an

~ Teknologi internet

“Net-Art”

Antonio Muntadas, The File Room, 1994Dede Eri Supria, Labyrinth, 1987- 1988 (lukisan)

Krisna Murti, 12 Hours in the Life of Agung Rai the Dancer,

Instalasi video, 1993

18

Ketika Bach memberikan akor dominan septim (nama akor yang kita kenal sekarang)

pada salah satu komposisinya untuk ditampilkan pada salah satu konser di Leipzig, telinga masyarakat pada saat itu beserta musisi nya berkomentar “Tuan Bach, apakah anda tidak salah dalam membuat notasi..?” Dengan bijak Bach menjawabnya: “Mungkin anda semua hanya (belum) tidak biasa mendengarnya...” Ketika Bach sudah meninggal, upacara pemakamannya sangat sederhana, salah satu tetua di sana hanya memberikan beberapa patah kata, “Kita kehilangan seorang yang kita cintai dan orang yang saleh, serta pandai bermusik, namun sesungguhnya kita masih membutuhkan guru dan orang pandai lainnya, bukan guru musik ...”

Setelah kira-kira dua ratus tahun setelah kematiannya, Felix Mendelshoon memperkenalkan Matius Passion

karya Bach dengan dobel orkesnya, dan itu menggugah dunia musik kala itu. Pementasan yang dipimpin oleh Mendelshoon berhasil membuat orang terkesima, menyadarkan mereka bahwa Bach memang seorang komposer tertinggi Barok dan sebagai salah satu yang terbesar sepanjang masa.

Siapa sebenarnya Bach? Bach, Johann Sebastian Bach adalah seorang komponis Jerman, organis harpsichordist, pemain biola, juga bekerja untuk paduan suara, orkestra, dan instrumen solo bertaut untaian periode Barok yang membawanya ke kematangannya. Meskipun dia tidak memperkenalkan bentuk-bentuk baru, namun ia memperkaya gaya Jerman yang berlaku dengan teknik kontrapungtual yang kuat, kontrol yang tak tertandingi, organisasi yang harmonis dan motivik, dan adaptasi ritme yang kuat, juga bentuk serta tekstur dengan gaya Jerman sejati. Karya-karya Bach meliputi konserto

Brandenburg, Variasi Goldberg (untuk piano solo), Partitas, The Clavier Well-Tempered (kitabnya untuk pianis), The Art of Fugue, Inggris dan Perancis Suites, Sonata dan Partita untuk Biolin solo, Cello Suites, lebih dari 200 Cantata, dan sejumlah karya organ serupa, termasuk Toccata dan Fugue dalam D kecil dan Passacaglia dan Fugue dalam C minor.

Ada beberapa fitur spesifik yang menarik dari gaya Bach. Notasi garis melodi Barok cenderung untuk menganggap bahwa komponis akan menulis hanya kerangka dasar, dan bahwa pemain akan menghiasi kerangka kerja ini dengan memasukkan improvisasi (ornamentasi) dan dinyatakan telah mengelaborasi. Meskipun pada praktiknya juga bervariasi di sekolah-sekolah musik Eropa. Saat itu Bach dianggap berada di salah satu titik ekstrim, karena notasi sebagian besar atau semua rinciannya, dan melodi garis pada khususnya, dimainkan dengan gerakan

Melirik Musik Jazz Melalui BachAsep Hidayat

19Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

yang sangat cepat sehingga membuat sedikit sekali artis yang mampu melakukan interpolasi. Selain itu, tekstur kontrapungtual Bach cenderung lebih kumulatif dibandingkan dengan Handel dan kebanyakan komponis lain di zamannya. Harmoni Bach ditandai dengan kecenderungan untuk menggunakan referensi tonikalisasi halus singkat ke kunci yang hanya berlangsung selama beberapa beat, khususnya supertonik, yang berguna untuk menambah warna teksturnya. Melodi yang cenderung ornamentik serta improvisasi adalah hal yang sangat menarik dan bisa menjadi model bagi seorang pemain, terutama untuk solis.

Dari Bach hingga JazzPada 1962 ada kelompok dengan formasi dua soprano, dua alto, dua tenor dan 2 bass vokal yang dibentuk di Paris, yaitu Ward Swingle, Anne Germann, Jeanette Baucomont dan Jean Cussac, dan Cristiane Legrand (adik komposer Legrand) yang menamakan dirinya kelompok The Swingle Singer. Mereka telah membuat gebrakan yang spektakuler dengan memainkan komposisi-komposisi dari Bach terutama komposisi untuk instrumental yang dinyanyikan secara Acapela dengan jenis swings. Heboh dengan sepak terjangnya,

The swingle singer membuat mereka terkenal di Perancis hingga Eropa, bahkan negeri Paman sam pun mengundangnya. Orentasi dan konsep dari kelompok ini adalah mengimitasi dan mengadopsi suara-suara instrumental semaksimal mungkin ke dalam suara manusia. Teknik menjadi tuntutan yang paling mutlak dan mendesak dalam kelompok

20

malah sangat menarik. Chick Corea dengan kelompoknya dan Stephane Grapelli seorang violinist jazz beserta murid-muridnya, antara lain Didier Lock wood dan Jean Luck Ponti pun tak luput juga memainkan magnet musik Bach. Partita untuk solo biola adalah ilham maupun inspirasi bagi mereka dan musisi lainnya untuk berimprovisasi menuju gerbang Jazz klasik maupun Fushion sesusai dengan bahasa musik yang mereka miliki.

Festival musik Barok selalu rutin di gelar di Kota Leipzig di kota kelahirannya sang komponis besar itu setahun sekali, Pihak Pemda kota Leipzig bekerja sama dengan para artis-artis, mengudang musisi-musisi Dunia untuk tampil merayakan festival musik Barok tersebut, tentunya musik-musik dari karya-karya Bach tidaklah ketinggalan ditampilkan, baik dalam bentuk aslinya maupun dalam versi yang terbaru, mulai dari istilah “Jazz Barouques”, “Rock Beat Barock”, “Rock N Barock “Roll, dan masih banyak lagi kelompok partisan yang memang sangat fanatik dengan musik Bach (Barok) yang mereka terjemahkan dengan bahasa kebebasan. Bahkan ada kelompok musik dari Hungaria beserta koornya membawakan karya agung dari Bach yaitu The Magnificat in D major adalah karya agung untuk melaksanakan ritual dan doa-doa serta pujian kepada PenciptaNYA, dengan versi Jazz, (di dalamnya ada juga irama Blues serta Fushion) kontan setelah dipergelarkan, diprotes dan di cekal oleh pihak berwenang, dengan alasan melecehkan unsur-unsur keagamaan, padahal kelompok tersebut memainkannya dengan cara serius dan religius dengan versi jazznya. Ketika diintrogasi oleh pihak berwajib, ketua kelompoknya berdalih, “Kami pun sedang melakukan

ini. Namun yang lebih menarik untuk disimak dan dianalisa adalah mengapa mereka memilih komposisi-komposisi Bach untuk dijadikan rujukan dalam berolah vokal? Kefasihan yang luar biasa dalam penemuan konrtrapungtal dan kontrol yang motifik dan kecanggihan musik Bach mungkin menjadi salah satu alasan mengapa mereka memilihnya. Dominasi Bass continue pada karakater musik Bach (dan musik Barok pada umumnya) adalah sebuah spirit, selalu menjadi sumber kekayaan intelektual dan inspirasi.

Musik Bach memang selalu menggoda untuk dimainkan dengan berbagai cara bagi para musisi untuk berekpresi seperti Bobby Mc, Ferrin, vokalis super jazzer terkemuka pun tak luput dari godaan musik Bach untuk memainkan dengan suara vocal jazznya yang berduet dengan cellist papan atas dunia Yo Yo Ma dalam Album Hush, dengan memainkan prelude no 1 in C mayor, dimana vokal justru malah berperan menjadi pengiring, partita untuk biola dalam E Mayor juga disuarakan nya dengan khas gaya nya dan dibuat improve jazz, padahal karya ini merupakan karya standar tertinggi untuk seorang pemain biola. Musisi lainnya, John Patitucci adalah seorang Amerika pemenang Grammy ganda jazz bass dan pemain bass listrik, memainkan suita no 1 in G mayor karya Bach, komposisi tersebut aslinya adalah karya untuk solo cello, dia memainkannya dengan instrumen Bass, dalam dua versi, versi pertama dengan Kontra Bass (akustik) dan yang kedua dengan Bass elektrik, tentunya dengan improvisasinya yang sangat berkualitas. Kondisi itu sangatlah menarik untuk disimak betapa janggalnya dan anehnya ketika mendengankan komposisi yang dimainkan dengan instrument Bass, terutama dimainkan dengan Bass elekrik, namun dalam khasanah improvisasi alias nge-jazz justru

ibadah yang sama seperti yang anda lakukan, hanya kami bernyanyi dengan cara yang berbeda.” Dari kasus tersebut bisa dilihat bahwa Jazz sudah masuk ke dalam dunia ritual baik yang religi konservatif maupun religi liberal, semata-mata bukanlah hanya terletak pada masalah etis dan tidak etis, namun itu suatu bukti kuat bahwa memang Jazz merupakan bahasa universal yang terlahir dari universal pula.

Dalam Kasus diatas jazz bisa sangat sulit untuk didefinisikan karena membentang dari waltz Ragtime ke era Fusion tahun 2000-an. Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk menentukan Jazz dari sudut pandang di luar Jazz, seperti menggunakan terminologi sejarah musik Eropa atau musik Afrika, kritikus Jazz Joachim Berendt berpendapat bahwa semua upaya tersebut tidak memuaskan. Salah satu cara untuk mendefinisikan Jazz (“istilah” lebih luas) Berendt mendefinisikan Jazz sebagai bentuk “seni musik yang berasal dari Amerika Serikat melalui konfrontasi orang kulit hitam dengan musik Eropa.” Ia berpendapat bahwa Jazz berbeda dari musik Eropa dalam musik Jazz yang memiliki hubungan spesial dari waktu ke waktu, yang didefinisikan sebagai “ayunan,” sebuah spontanitas dan vitalitas produksi musik di mana improvisasi memainkan peran dan kemerduan serta cara ungkapan cermin individualitas dari musisi jazz. Lain halnya dengan kelompok vokal The Swingle Singer yang sudah beberapa kali berganti formasi, grup yang saat ini berbasis di London, Inggris itu merupakan kelompok Acapela. Karyanya mencakup mulai dari klasik modern untuk musik klasik (Bach, Mozart), sampai musik kontemporer (Luciano Berio, Pascal Zavaro dan Azio Corghi). Pengaturan mereka sering diinformasikan oleh

21Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

harmoni Jazz dan Stylings. Formasi terakhir dari kelompok ini yaitu Pada 2010, kelompok ini terdiri dari penyanyi Joanna Goldsmith-eteson/Sopran/UK, Sara Brimer sopran/US, Clare Wheeler/Alto/UK, Lucy Bailey/alto/UK,Richard Eterson/Tenor/ UK, Christopher Jay/Bariton/UK, Tobias Hug/Bass.German. Kelompok teesebut secara terang-terangan berkampanye musik Bach, tidak hanya pada pementasan “live” namun membuat rekam khusus dari karya-karya Bach dengan Album “Jazz Sebastian Bach” diantaranya Prelude Es Fugue and e minor no 10, Choral De La cantata, Gavotte, Aria, concerto for two violin in D minor, Prelude for Organ, Simfonia

from The Partita no 2, Simfonia dari The Partita No. 2, Variation Golberg, dan masih banyak lagi.

Tidak bisa kita bayangkan, semua itu bukan karya-karya asli seperti kita mendengarkan karya-karya agung (asli) dari Bach, tetapi kita bayangkan dengan nuansa baru bahwa karya-karya itu dimainkan Acapela dengan berimara Jazz dan Swings. Kecanggihan musik Bach selalu akan kita dengar dengan berbagai gaya dan jenis serta berbagai cara memainkannya, yang selalu terus hidup menyuarakan bahasa musik itu sendiri, tepatnya mewakili dari keinginan Bach sendiri yaitu melahirkan pencerahan

dan kebebasan yang hakiki. Semoga untuk tahun-tahun yang akan datang, Jogja dapat mendatangkan kelompok The Swingle Singer, Atau Bobby M, Ferrin, atau juga Chick Corea – salah satu musisi yang disebut di atas bermain Nge-Jazz di hadapan kita dengan menyuarakan Jazz Sebastian Bach-nya. Semoga …

Asep Hidayat Wirayudha, Cellist.

Sumber: http://991.com

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

22

Gustaff H. Iskandar

Catatan Kecil Dari Namur

yang hadir dalam pertemuan ini. Beberapa peserta yang diundang untuk bicara diantaranya adalah Georgia Taglietti (Sónar Festival, Spanyol), Marko Radenković (http://novaiskra.com, Serbia), Dodji Honou (http://afrocentriklab.com/, Senegal), Li Yu (http://crazypulsar.net/, China), dan masih banyak lagi. Saya sendiri diundang untuk ikut menjadi pembicara pada hari pertama bersama Jepchumba (kurator, Kenya) dan Fabrice Hyber (seniman, Perancis). Secara keseluruhan, dalam konferensi ini dunia kreativitas diperbincangkan sebagai komponen yang tak terpisahkan dengan inovasi, serta terintegrasi dengan dunia sains, seni budaya, teknologi, serta berbagai sektor yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.

Secara khusus ajang ini juga memperbincangkan perkembangan

Sebuah konferensi bertajuk b.creative digelar di Namur, sebuah kota kecil yang berjarak

sekitar 63 km dari kota Brussel, Belgia. Kegiatan ini merupakan bagian dari sebuah proyek yang diprakarsai oleh pemerintah Uni Eropa yang bekerjasama dengan lembaga KEA European Affairs dan pemerintah wilayah Wallonia yang beribukota di Namur. Digelar pada 2-3 November 2016, konferensi ini mempertemukan segenap pemangku kepentingan dari dunia kreativitas, mulai dari perwakilan lembaga pemerintah, seniman, desainer, peneliti, dsb. Selama dua hari berturut-turut ajang ini membahas berbagai aspek yang berhubungan dengan perkembangan dunia kreativitas terkini, serta kaitannya dengan pengembangan kebijakan di level Uni Eropa.

Ada sekitar 200 peserta dari 20 negara

ekonomi kreatif dan dunia kewirausahaan kreatif (creative entrepreneurship). Di level dunia, perkembangan ekonomi kreatif dilihat sebagai peluang baru yang dapat merangsang inovasi sekaligus menyokong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Berdasar data yang dihimpun oleh KEA European Affairs misalkan, sampai tahun 2013 perkembangan ekonomi kreatif dikatakan telah berhasil mencipta lebih dari 30 juta lapangan kerja, menghasilkan perputaran uang sebesar 2.25 triliyun dollar, serta mendorong pertumbuhan GDP global sebesar 3%. Perkembangan ini sekurangnya semakin memperlihatkan bagaimana sektor kreativitas semakin memiliki peran yang penting untuk menjawab berbagai tantangan dan kompleksitas persoalan dunia di era kiwari.

Tulisan ini merupakan reportase Konferensi b. yang digelar di Namur, 2-3 November 2016 lalu. Konferensi tersebut diadakan dalam rangka menghubungkan antara kerja kreatif-inovatif dengan dunia sosial dan ekonomi. Di sana, tak jauh berbeda dengan situasi Indonesia saat ini, creative entrepreneurship menjadi bahan pembicaraan yang santer mengingat dunia kini sedang berubah. Ekonomi kreatif yang menjanjikan tidak hanya bisa dilihat di sektor ekonomi melulu, melainkan juga dari sisi kreatifnya. Gustaff, yang merupakan salah seorang yang menghadiri dan menjadi pembicara dalam forum diskusi itu, di tulisannya ini akan memberi gambaran apa saja yang menjadi perbincangan hangat di Namur beberapa pekan lalu.

23Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

yang sama. Kreativitas dan inovasi tak akan memiliki makna bila tidak ada integrasi diantara berbagai pengetahuan dan keterampilan yang ada.

Maka pada sebuah sesi, Marko Radenković memaparkan gagasan untuk terus mempertanyakan terminologi creative entrepreneurship. Menurutnya istilah ini seringnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan permintaan pasar sehingga mempersempit pandangan dan pengetahuan tentang dunia kreativitas. Namun begitu, dalam konteks ini sebetulnya para praktisi di dunia kreatif juga memiliki peluang untuk membentuk dan memproyesikan ide serta pendekatan baru dalam dunia bisnis. Menurutnya, kewirausahaan yang mengedepankan

Namun begitu, perkembangan ini bukannya hadir tanpa kritik. Di level kebijakan, dunia kreativitas masih dipilah ke dalam komponen yang terpecah-pecah. Dunia sains, seni budaya, dan teknologi masih dilihat sebagai elemen yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Padahal sejatinya semua berasal dari sumber yang sama, yaitu kemampuan manusia dalam mengembangkan keterampilan dan pengetahuan, sekaligus memaknai kenyataan yang begitu kompleks dan dinamis. Kreativitas dan inovasi pada intinya adalah potensi yang dimiliki oleh semua orang untuk menjawab berbagai tantangan dan situasi yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Di level ini, baik dunia sains, seni budaya, dan teknologi memiliki kegunaan

inovasi dan kreativitas tidak dapat dijalankan dengan cara yang biasa saja. Dibutuhkan sofistifikasi berfikir yang bukan hanya mendukung pendekatan baru dalam dunia bisnis, tapi juga cara-cara dalam menciptakan nilai dan membentuk makna yang baru.

Saat ini para praktisi di dunia kreatif secara global tengah menghadapi berbagai tantangan dan kompleksitas yang baru. Penduduk dunia yang terus membumbung tinggi, situasi perubahan iklim, perang, krisis ekonomi, serta friksi politik di tingkat lokal sampai internasional adalah beberapa

Sumber: Dokumentasi Gustaff H. Iskandar

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

24

Menurut Jepchumba, di Kenya saat ini masih sulit untuk mendapatkan kondisi ideal untuk mengembangkan potensi kreasi dan inovasi karena kebijakan dan pendekatan pemerintah yang kurang tepat. Namun begitu pada akhirnya komunitas bergerak dan mencari caranya sendiri. Hal ini sejalan dengan pemaparan Jon Stever yang mengembangkan The Office, sebuah komunitas, semacam pusat yang menghubungkan berbagai komunitas inovatif di Kigali, Rwanda (http://theoffice.rw/). Bersama dengan koleganya, ia memanfaatkan The Office sebagai ruang bersama yang mempertemukan para seniman, desainer, peneliti, wirausahawan sosial, serta pemangku kebijakan untuk berinteraksi dan berkolaborasi. Dalam hal ini, Jon Stever percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dan pembaharuan sosial yang sejati hanya dapat terjadi melalui partisipasi komunitas yang inklusif dengan penekanan pada proses yang berkesinambungan daripada sekedar mengejar hasil akhir.

Philippe Kern dari KEA European Affairs mengungkapkan kalau saat ini sektor kebudayaan dan kreativitas menyediakan sumber daya insani yang penting untuk menghadapi berbagai tantangan dan persoalan global. Sekarang ini, upaya untuk mengembangkan potensi kreatif dan inovatif bukan hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan lingkungan. Untuk itu, tidak mengherankan bila pemerintah di Uni Eropa menaruh

perlu dilakukan secara refektif dan hati-hati. Saat ini tidak dapat dipungkiri bila pemanfaatan sains, seni budaya dan teknologi juga banyak didominasi oleh kepentingan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pasar. Alih-alih membuka cakrawala pemahaman baru yang lebih luas dan mendalam, pendekatan yang terlalu pragmatis dapat mempersempit ruang gerak proses eksplorasi bagi pencarian kemungkinan baru dalam pemanfaatan sains, seni budaya dan teknologi. Salah satu ekses yang paling terasa adalah terciptanya sekat-sekat artifisial yang memisahkan penggunaan sains, seni budaya dan teknologi dengan realitas keseharian. Dalam hal ini sains, seni budaya dan teknologi bisa jadi sekedar barang konsumsi yang mengalienasi.

Di awal perbincangan, Jepchumba menyatakan bahwa dalam hal pengembangan inovasi dan kreativitas sebaiknya pemerintah tidak perlu banyak ikut campur. Lembaga pemerintah dalam hal ini sebetulnya hanya perlu menyediakan sarana dan prasarana yang layak serta kebijakan yang mampu mengenali, melindungi, sekaligus memenuhi hak serta kebutuhan dasar warga. Saat kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya dapat terpenuhi dengan baik, warga sebetulnya dapat mengembangkan potensi kreatif dan inovatifnya secara sehat. Di sisi lain, agar dapat berpartisipasi dalam hal pengembangan potensi kreasi dan inovasi, warga juga membutuhkan akses terhadap informasi dan pengetahuan, selain berbagai fasilitas dan teknologi yang dapat mendukung proses penciptaan dan pembaharuan.

persoalan yang mewarnai keseharian saat ini. Dalam pemaparannya, Areti Markopoulou dari Institute for Advanced Architecture Barcelona menyatakan bahwa situasi ini sangat terasa dalam kehidupan kota. Ada banyak orang berlomba-lomba untuk mencipta visi dan utopia baru bagi kota masa depan. Salah satu yang mengemuka adalah konsep tentang smart city atau kota cerdas. Areti menyatakan bahwasanya istilah smart city ini agak menyesatkan karena pada intinya tak ada kota yang bodoh atau pintar.

Dalam pandangannya, saat ini kota-kota di dunia harus bisa mengantisipasi dan beradaptasi dengan situasi perubahan. Untuk itu setiap kota harus mampu membentuk masyarakat yang cerdas dan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru. Sayangnya sejauh ini dalam banyak kasus proses pembangunan yang terjadi di kota masih menggunakan cara-cara lama yang usang. Karena itu, proses pertumbuhan dan pembangunan di kota besar sejauh ini malah mencipta kesenjangan dan segregasi di banyak bidang. Untuk mengantisipasi dan mengadaptasi perubahan, perkembangan kota perlu menyediakan ruang dan ekosistem yang memungkinkan potensi kreasi dan inovasi tumbuh dengan sehat. Dalam hal ini, ruang dan ekosistem yang dimaksud juga membutuhkan integrasi sains, seni budaya dan teknologi.

Namun begitu, upaya untuk mendorong proses integrasi antara sains, seni budaya dan teknologi juga

25Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

yang lebih baik. Sebagai penutup konferensi, penyelenggara meluncurkan kompetisi bertajuk b.creative challenge yang bertujuan untuk mendukung para seniman, desainer dan creative entrepreneur untuk mencipta pembaharuan dan perubahan sosial. Pada saat yang sama, diluncurkan juga platform kolaborasi digital di laman http://www.creativetracks.org/. Melalui platform ini, kolaborasi lintas disiplin dan budaya diharapkan dapat terus tumbuh secara berkelanjutan.

Gustaff H. Iskandar, Seniman & pengelola Common Room Networks Foundation

dapat memberi sumbangan yang diharapkan serta menghindari efek yang tidak diperlukan. Selanjutnya, Michel Magnier dari Direktorat Pendidikan dan Budaya Uni Eropa menyampaikan bahwa saat ini dunia dilanda berbagai bentuk krisis. Untuk itu dia berharap bahwa potensi kreatif dapat mencipta pendekatan alternatif untuk menghadapi krisis.

Dalam sambutan penutupnya, Michel Magnier menyatakan bahwa dalam bahasa China istilah krisis sering juga disebut sebagai wēijī (危機). Secara sederhana maknanya kurang lebih ada dua, yaitu bahaya dan peluang. Dalam hal pemanfaatan potensi kreatif dan inovatif, dia berharap krisis yang ada saat ini dapat diubah menjadi peluang untuk mencipta pendekatan baru demi membangun kondisi

perhatian khusus bagi pengembangan di sektor kreatif. Integrasi antara sains, seni budaya, teknologi dan bisnis adalah formulasi yang penting bagi proses penciptaan dan inovasi. Kerjasama dan kolaborasi lintas disiplin telah menjadi motor penggerak perubahan dan pembaharuan di tingkat lokal dan global. Di akhir konferensi, perwakilan peserta diminta untuk memberi usulan dan rekomendasi. Salah satunya adalah Yvette Jones dari http://www.visitingarts.org.uk/ yang menyampaikan bahwa dukungan yang berkesinambungan untuk sektor kreatif perlu terus dilakukan. Namun begitu, dukungan ini harus relevan dengan berbagai tantangan dan situasi yang ada. Untuk itu perlu ada strategi yang cermat agar dukungan yang disiapkan

Creative Industry Landscape in IndonesiaCreative Industry Classification

Creative Industry

1

Advertising AntiquesArchitecture

Crafts

Computer Service & Software

Design

Fashion

Interactive GameMusicPerformance Art

Publishing & Printing

Research & Development

Video, Film & Photography

Television & Radio

Source: Departemen Perdagangan RI 2008

23

1

1

1

111

1

1

1

1

1

26

Nancy Margried

Inovasi dan Tradisi;Ketika Teknologi Berdampingan dengan Budaya

Sebagian orang berpendapat bahwa pengembangan dan pelestarian budaya berseberangan dengan

inovasi teknologi. Budaya di Indonesia seringkali terbatas pada tradisi yang sudah diwariskan puluhan atau ratusan tahun, dan anggapan bahwa budaya tersebut adalah sesuatu yang statis dan harus dijaga tetap sama hingga seterusnya adalah anggapan yang wajar di masyarakat Indonesia.

Budaya atau culture sendiri memliki banyak pengertian, dilihat dari berbagai sudut pandang, kajian atau disiplin ilmu. Dalam buku Cultural Inteligence for Leaders dikatakan bahwa “Culture is dynamic and thus complex. Culture is fluid rather than static, which means that culture changes all the time, every day, in subtle and tangible ways.” Dari ungkapan ini dapat dilihat pengertian bahwa budaya adalah sesuatu yang dinamis dan kompleks. Budaya itu adalah sesuatu yang cair dan bukan statis, sehingga budaya tersebut berubah setiap saat dengan cara yang samar dan tidak dapat disentuh.

Terciptanya Batik Fractal merupakan gambaran atas ungkapan di atas.Para pencipta Batik Fractal melihat batik bukan sebagai benda atau selembar kain tekstil.Namun, lebih sebagai keterampilan, cara berkomunikasi dan ekspresi jiwa.Bagi pencipta Batik Fractal, secara visual motif batik adalah seperangkat kode matematis yang dapat direkayasa, terlepas dari aturan dan maknanya.Dan bagi para pencipta Batik Fractal, merekayasa kode matematis tersebut menggunakan teknologi adalah konsekuensi logis dari berkembangnya inovasi teknologi yang kita rasakan sekarang sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari.

Teknologi dalam Batik FractalBatik Fractal lahir dari sebuah riset multidisiplin yang melibatkan bidang ilmu sains, seni dan teknologi.Diawali dengan menciptakan karya ilmiah dengan judul “Batik Fractal; From Traditional Art to Modern Complexity”, para pencipta Batik Fractal kemudian menyertakan versi

alpha perangkat lunak yang dibuat untuk merekayasa dan membuat kode-kode berdasarkan rumus matematika Fractal dan menggunakan algoritma L-System. Seperangkat kode ini menjadi input ke dalam perangkat lunak, dan perangkat lunak ini akan membangkitkan (generating) berbagai bentuk gambar. Perangkat lunak yang bersifat dan memiliki variabel parametrik ini membuat gambar yang menyerupai motif batik. Di sinilah teknologi berperan yaitu untuk mempercepat proses pembangkitan gambar-gambar tadi.

Dengan cara ini, algoritma fractal yang menjadi input dalam perangkat lunak (yang kami sebut dengan softwarejBatik) akan menjadi bentuk lain dari motif atau gambar batik tersebut. Sebagai kode, tentunya algoritma fractal ini akan berbentuk digital, sehingga memudahkan untuk dibagi, disimpan, diproduksi ulang, diproduksi dengan cara lain, dan yang paling penting dapat direkayasa ulang menjadi bentuk-bentuk baru. Matematika yang berada

27Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

dalam ranah sains yang didorong dengan pemanfaatan teknologi digital, pada titik ini mampu memperkaya budaya tradisi yaitu meningkatkan efisiensi dalam penciptaan motif batik.

Teknologi sebagai SolusiDalam konteks budaya tradisi, kehadiran teknologi seringkali dianggap tabu, mengganggu, merusak, mengancam bahkan menghancurkan budaya itu sendiri.Sementara dari pengertian awal kita tadi, budaya adalah sesuatu yang cair, dinamis dan berkembang.Batik telah hadir sejak kira-kira 400 tahun yang lalu di Indonesia.Batik sendiri bukanlah sebuah budaya materi yang bisa berwujud nyata.Batik merupakan budaya non-materi, yang merupakan

nilai, filosofi, keterampilan dan juga merupakan industri kerajinan.Keseluruhan budaya batik ini masih tetap hidup hingga saat ini karena dikembangkan, diturunkan dari generasi ke generasi dan memberikan penghidupan kepada para pelakunya.Namun, teknologi digital belum pernah menjadi salah satu unsur pengembang sebelumnya.

Ketika tim Batik Fractal menciptakan teknologi digital ini, para penciptanya melihat betapa sentuhan teknologi dapat memecahkan salah satu masalah yang ada dalam pengembangan dunia batik, yaitu penciptaan motif-motif baru dan penyimpanan data. Seperti kita ketahui bahwa jutaan motif batik yang ada di Indonesia yang dibuat sejak ratusan tahun lalu oleh

para pembatik merupakan warisan tak ternilai dan merupakan sumber inspirasi bagi ciptaan variasi motif-motif baru untuk masa kini dan masa depan. Namun penyimpanan data motif bersama dengan makna filosofi yang ada di dalamnya masih dilakukan secara manual, baik menyimpan gambar-gambarnya di atas kertas yang tidak tahan lama dan lekas rusak, atau mengajarkannya secara langsung melalui budaya verbal dari generasi ke generasi. Kedua cara tersebut tidak dapat diandalkan kemampuannya untuk bisa menyimpan data budaya.Sementara itu, penciptaan motif-motif baru yang biasanya didasarkan

Sumber: Dokumentasi Nancy Margried

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

28

dan terinspirasi dari motif-motif yang lama, menjadi terbatas karena sumber inspirasi tersebut sebagian besar sudah tidak dapat diakses lagi.Di sinilah teknologi menjadi solusi bagi masalah yang sangat umum ditemukan dalam dunia batik ini.

Penciptaan teknologi software untuk menciptakan dan menyimpan motif baru secara parametrik dan generatif adalah satu dari banyak cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah dalam tradisi budaya batik.Dalam kasus penciptaan software jBatik dan inovasi Batik Fractal, penyimpanan data dimulai ketika para perajin mulai menciptakan motif-motif baru saat ini. Dengan cara itu, apa yang mereka ingat dan mereka ciptakan dapat terekam dalam basis data ciptaan mereka. Dengan bantuan software jBatik mereka dapat menciptakan motif-motif baru dengan sangat efisien dengan jumlah tak terbatas.

Batik akan Punah karena Teknologi?Tak jarang sebagai pencipta Batik Fractal, pertanyaan yang kerap muncul apakah teknologi akan menggantikan peran pembatik dalam menciptakan batik. Apakah teknologi yang kami ciptakan akan menghilangkan lapangan pekerjaan para pembatik? Apakah inovasi kami lantas akan membuat semua batik akan diproduksi secara massal seperti dalam pabrik?

Ketakutan-ketakutan di atas sangat wajar bagi para perajin batik. Sebagai perajin yang mengandalkan keahlian dan keterampilan dalam bidang kerajinan, tergantikan oleh teknologi adalah sebuah mimpi buruk yang tidak hanya akan menghilangkan mata pencaharian, namun juga warisan nilai luhur dari generasi ke generasi yang berkembang luas di tengah komunitas perajin akan punah karena terhambat oleh hadirnya teknologi. Karena itulah

hadirnya teknologi dan inovasi Batik Fractal ini di awal mula munculnya dulu telah menghadirkan kontroversi.

Sebelum diluncurkan ke hadapan publik, pencipta Batik Fractal berkonsultasi dengan banyak pihak dari berbagai kalangan, yaitu pembatik, ahli motif tradisional, matematikawan, pebisnis, periset dan desainer. Konsultasi ini dilakukan untuk membentuk fondasi dalam menghubungkan sains, seni dan teknologi sebagai dasar dari penciptaan Batik Fractal dan software jBatik. Bangunan berpikir ini disusun dengan sangat hati-hati mengingat komponen nilai yang terkandung dalam batik sangat kental dan tidak cukup dimaknai dari segi logika saja sebagaimana halnya dalam memahami sains dan teknologi.

Salah satu orang yang paling yang sempat memberikan masukan penting dalam menciptakan Batik Fractal adalah Iwan Tirta (alm).Bapak Iwan Tirta saat itu menolak keras terhadap rencana penciptaan teknologi dan inovasi Batik Fractal. Beliau tidak dapat membayangkan batik sebagai budaya yang harus dijaga kelestariannya akan diintervensi oleh teknologi. Dan beliau melarang dengan sangat keras untuk menciptakan batik berteknologi

Wahyu Tumurun IndigoSumber: Dokumentasi Nancy Margried

Training di BandungSumber: Dokumentasi Nancy Margried

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

29Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

budaya menjadi pendorong yang kuat.Saat ini Software jBatik sudah digunakan oleh lebih dari 2000 perajin dari seluruh dunia dan kesemua perajin ini dilatih satu per satu untuk menggunakan software ini.

Salah satu kisah sukses yang sangat inspiratif dating dari seorang perajin muda asal Solo.Sebagaimana layaknya seorang pembatik, pemuda ini berasal dari keluarga pembatik.Dia ada generasi ke empat pembatik di keluarganya, mulai dari kakek buyut hingga ayahnya

menimbulkan kontroversi, reaksi yang didapat juga terpolar. Sebagian orang sangat setuju terhadap inovasi ini dan sebagian lagi sangat menentang.

Batik Fractal KiniSejak 2008 ketika diperkenalkannya Batik Fractal ke tengah publik, komitmen untuk memberdayakan para perajin dengan menggunakan teknologi telah menjadi komitmen bagi penciptanya. Keyakinan bahwa teknologi dapat bersanding dengan

berdasarkan kekuatiran itu.Saat itu para pencipta Batik Fractal merasa bingung dan tersudut.Motivasi untuk melakukan sinergi terhadap seni tradisional, sains dan teknologi mendapat tentangan dari seseorang yang dianggap sebagai figur ternama dalam dunia batik. Dengan kejadian itu, tim Batik Fractal kemudian melihat dan menelaah lebih jauh, dan berkonsultasi kepada lebih banyak pihak sehubungan dengan peluncuran inovasi ini. Namun seperti layaknya semua inovasi yang pasti akan

30

memiliki basis data pribadi yang dapat diakses oleh generasi-generasi pembatik dalam keluarganya di masa depan. Pembatik masa depan adalah pembatik yang melek teknologi, namun tetap melestarikan tradisi budaya dan dengan luwes menggabungkan keduanya melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan.

Dalam salah satu kunjungan penulis ke British Museum terdapat sebuah panel yang bertuliskan “TRADITION AND INNOVATION”. Ketika membaca tulisan bagaimana kata “tradition” terletak berdampingan dengan kata “innovation”, penulis merasakan bahwa tradisi dan inovasi adalah hal yang telah berdampingan sejak dulu, dan tidak ada alasan mengapa tradisi dan inovasi harus berhenti bersinergi di zaman ini. Oleh karena itu, kembali pada pengertian budaya sebagai seperangkat nilai yang dianut oleh sekelompok orang dan nilai tersebut bersifat dinamis, pada akhirnya

dan menciptakan motif-motif baru berdasarkan motif-motif lama. Dengan mudah juga dia dapat menyimpan karya-karyanya dan sehingga dapat diakses kembali dan dapat diproduksi ulang dengan mudah di masa depan.

Inovasi sebagai BudayaKisah pembatik muda dari Solo itu adalah kisah sukses yang merupakan contoh ideal yang menjadi visi yang menjadi nyata bagi pencipta Batik Fractal. Pencipta Batik Fractal membayangkan bahwa di masa depan, semua pembatik akan memiliki kemampuan teknologi yang tinggi dan dapat dengan alami menggunakan teknologi digital dalam penciptaan karya tradisional. Di mana canting dan komputer adalah dua alat kerja yang berdampingan dengan selaras, di mana motif-motif yang didesain di komputer dapat diejawantahkan dalam kehalusan batik tulis dan keindahan batik cap. Di mana tiap pembatik kemudian

adalah pembatik yang memegang usaha keluarga dari generasi ke generasi.Pemuda ini adalah generasi masa kini, mengecap pendidikan perguruan tinggi dan sangat akrab dengan teknologi.Namun dia merasa batik bukanlah dunianya.Batik adalah seni dari masa lalu yang tidak sesuai dengan kepribadiannya sebagai seorang pemuda yang memiliki kemampuan teknologi.Hingga akhirnya pemuda ini bertemu dengan software jBatik.

Beliau menghubungi tim Batik Fractal dan mengungkapkan keinginannya untuk belajar software untuk mengembangkan batik yang sesuai dengan kepribadiannya. Sebagai pembatik generasi ke empat di keluarganya, pemuda ini bertanggung jawab terhadap bisnis keluarga dan tetap ingin membawa sentuhan motif-motif tradisional yang diwariskan kepadanya ke dalam karya-karya batiknya sekarang.Lalu dia menggunakan software jBatik

British MuseumSumber: Nancy Margried

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Sumber: Dokumentasi Nancy Margried

31Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

kita akan kembali melihat bahwa inovasipun adalah sebuah budaya. Karena inovasi adalah juga seperangkat nilai yang dianut dan dikembangkan oleh sekelompok orang yaitu awalnya seorang atau sekelompok inovator yang kemudian menyebar luas di masyarakat.

Sebagai bangsa yang sarat tradisi, Indonesia tidak bisa terus menerus menolak untuk melihat bahwa inovasi sudah ada sejak dahulu kala di tengah

masyarakat kita.Inovasi tersebut sudah membantu dan menjadi salah satu unsur untuk memajukan bangsa.Dan sudah saatnya inovasi tersebut kita jadikan nilai-nilai yang kita anut bersama.Sehingga inovasi baik dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sebagainya dapat dengan luwes bersinergi dengan tradisi kita yang kaya. Dan di masa depan, generasi muda Indonesia sudah tidak lagi mengkotak-kotakkan yang baru dan yang lama, dan

tidak lagi merasa sungkan atau bahkan takut melihat tradisi dari kaca mata sains dan teknologi. Sudah saatnya inovasi kita anggap sebagai budaya.Inovasi sebagai budaya Indonesia yang harus dikembangkan dan diwariskan kepada generasi penerus bangsa.

Nancy Margried, salah satu pencipta Batik Fractal yang tengah bermukim di London, Inggris.

32

“Siapa yang mampu mengalahkan saya?” pertanyaan ini sering diteriakkan oleh para “jagoan” untuk menunjukkan keperkasaan yang ia miliki kepada lawannya. Jika “jagoan” itu adalah kapitalisme, hal di atas relevan digunakan untuk menjelaskan kuatnya pengaruh ideologi tersebut saat ini, seakan tak ada lagi yang mampu menaklukkannya. Dalam artian, kapitalisme berada di mana-mana dan efeknya tidak hanya dilihat secara kasat mata. Karena itu, hal yang abstrak sekelas pikiran pun ternyata telah terpengaruh oleh keperkasaannya.

Kapitalisme merasuk ke segala sendi kehidupan manusia. Sejatinya, agama, seni, ilmu pengetahuan dan filsafat semuanya larut dalam pusaran kapitalisme. Dalam kondisi seperti ini, hal apa lagi yang tidak dikapitalisasi? Mungkin salah satunya adalah kesenian. Para pemikir mazhab Frankfurt seperti Benjamin dan Adorno mengakui bahwa kapitalisme menyebabkan seni mengalami kemunduran.

Adorno, yang menelusuri sistem

kerja kapitalisme dan pengaruhnya di dalam musik, berpendapat bahwa musik di bawah kapitalisme cenderung berkompromi dengan selera pasar. Kenyataan ini dia saksikan dalam praktek industri budaya di Amerika Serikat, di mana dalam penciptaannya, musik sengaja dibuat dengan pengulangan-pengulangan pola saja, baik itu menyangkut masalah ritme, melodi, dan progresi akord serta ada kecenderungan memasukkan potongan musik klasik Eropa ke dalam musik pop sehingga mudah dicerna namun mudah juga dilupakan. Artinya, musik ini semu dan tentunya hanya menciptakan penikmat yang semu pula karena tidak menuntut kemampuan khusus untuk mencernanya.

Sebagai perbandingan, Adorno melihat musik yang diciptakan oleh Arnold Schoenberg mampu melakukan perlawanan terhadap dominasi kapitalisme. Musiknya masih mewarisi tradisi musik klasik di Jerman yang mengutamakan aturan komposisi musik dalam penciptaan. Komposer (pembuat musik) tidak seenaknya saja

membuat karya apalagi menyesuaikan dengan selera pasar sesuka hatinya. Dalam musik tersebut, Adorno melihat komposer dan musiknya terhindar dari praktek saling mengeksploitasi, demikian penjelasannya dalam bukunya, Aesthetic Theory. Kondisi ini juga sekaligus membuatnya terhindar dari dominasi kapitalis. Sedikit gambaran mengenai musik Arnold Schounberg. Sebelumnya dijelaskan bahwa musik ini masih mewarisi aturan komposisi musik klasik di Jerman. Dalam menciptakan musik, Schounberg memposisikan dua belas nada dalam piano pada kedudukan yang sama. Artinya, kedua belas nada tersebut digunakan dalam satu karya musik. Sedangkan satu nada dimainkan dan tidak dapat diulangi sebelum sebelas nada lainnya juga dimainkan. Para musikolog menamakannya “musik atonal”.

Kondisi ini tidak memungkinkan bagi seorang komposer untuk menciptakan musik sesuai selera pasar dengan ciri khasnya yang sederhana dan cenderung

Arhamuddin Ali

Ketika Musik Ganrang di Makassar Tidak Sakti Lagi

33Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

diulang-ulang. Di samping itu, musik ini tentunya mengajak penikmatnya untuk kompeten dalam menikmati musik. Mengapa? Karena posisi kenyamanan mendengar musik model romantik yang harmonis sesuai pakem mayor dan minor tidak bisa dijumpai lagi pada karya musik macam ini.

Pandangan Adorno mengenai kondisi musik di bawah kapitalisme ini sangat kritis. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa pandangannya terhadap musik atonal Schounberg juga mengandung romantisme budaya. Penyebabnya adalah latar belakangnya sebagai orang Jerman. Tetapi, hal tersebut tidak menjadi permasalahan utama dalam tulisan ini. Masalah utamanya justru ketika menarik konsep berpikir Adorno ini untuk melihat kondisi sosial budaya musik di Sulawesi Selatan, khususnya dalam kesenian musik ganrang (gendang) di Makassar.

Musik ganrang di Makassar merupakan musik daerah yang keberadaannya saat ini masih mudah ditemukan. Setiap acara pernikahan, accera’ kalompoang dan beberapa ritus masyarakat lainnya masih menghadirkan kesenian ini. Bentuknya menyajikan dua buah ganrang atau lebih, pui’-pui’, gong, parappasa’ dan kancing. Selain itu ada pembagian yang disebut ganrang pa’balle di mana di dalamnya terdiri dari tunrung pa’ balle, tunrung rua, tunrung pakkanjara’ langkara’, tunrung pakkanjara’ dan pakkarena yang mengkombinasikan antara tunrung dan tumbu’, antara lain tumbu’ tunrung rinci,tumbu’ se’re, tumbu’ rua, tumbu’ tallu dan tunrung pakkarena yang terbagi lagi menjadi tunrung tallu dan tumbu’ pangalakkang.

Aturan bermain ganrang menganjurkan setiap pola saling terkait dan tidak boleh dipertukarkan. Artinya, ada kaidah-kaidah tertentu yang harus dilakukan ketika memainkan musik ini, misalnya dalam ganrang pa’ balle di mana pola musik dimainkan secara berurutan sebagaimana urutan yang telah dituliskan di atas. Begitu juga ketika ingin memainkan ganrang, terlebih dahulu dimainkan ganrang pa’balle yang biasanya dilakukan oleh para anrong guru. Setelah itu barulah permainan ganrang bisa dilaksanakan.

Secara musikal sulit untuk mencermati musik ganrang ini. Jika tidak memiliki kemampuan musikal, tentunya penikmat dibuat pusing untuk menentukan pola, irama dan biramanya. Gaya musik semacam ini tentunya sulit diterima oleh pendengar awam yang hanya menganggap musik sebagai hiburan semata. Apalagi ketika ingin memasukkannya ke dalam komposisi musik pop. Dipastikan bahwa musik pop tidak mampu mengikuti sistem musikal ganrang karena tidak mengenal sistem birama layaknya birama dalam musik pop.

Idealnya, musik ganrang bisa dijadikan sebagai senjata melawan pengaruh kapitalisme di dalam musik. Melalui kerumitan musikalnya, kecenderungan musik yang sesuai dengan selera pasar dapat diatasi. Artinya musik ganrang menawarkan alternatif musik perlawanan terhadap gaya musik di bawah kapitalis. Namun kenyataannya, musik ganrang justru ikut terjerumus ke dalam arus pasar. Sehingga, pola-pola musiknya yang rumit bisa menjadi sederhana ditangan kapitalis.

Hal ini tercermin di beberapa peristiwa musik di Makassar. Salah satunya dalam lagu pop Tulolona Sulawesi yang diaransemen oleh seorang musisi Sulawesi Selatan dan juga dinyanyikan oleh salah satu penyanyi ternama di daerah ini. Dalam musiknya terdengar potongan idiom musik ganrang yang dimasukkan sebagai bagian pembuka lagu. Selain itu, musik ganrang juga kerap kali dimainkan di beberapa acara pemerintahan, perusahaan dan lainnya. Pada kegiatan semacam ini, pola yang umum dimainkan bisanya hanya pakkanjara, tunrung rua dan pakkanjara’ langkara’ atau beberapa pola saja yang disajikan dengan kemasan sederhana dalam aspek durasi. Namun, durasi yang di sini bukan durasi berdasar dari aturan musik, tetapi durasi yang ditentukan oleh event organizer.

Kondisi itu menyebabkan penyajian musik ganrang tidak sesuai lagi dengan maksud komposisinya. Potongan pola seenaknya saja digunakan sesuai dengan permintaan pasar dan selera komposer atau pun pemainnya. Padahal komposisi musik ganrang merupakan salah satu komposisi jenius dan memiliki daya sebagai alternatif melawan gaya musik di bawah kapitalisme. Namun, hal itu hanya tinggal harapan. Musik ganrang saat ini tidak sakti lagi. Keberadaannya ikut terjerumus ke dalam kuatnya arus kapitalisme.

Arhamuddin Ali,

alumni Pascasarjana ISI Yogyakarta, alumni

Pendidikan Sendratasik - Fakultas Seni dan

Desain UNM.

34

Citra kuat dan reputasi yang baik dari sebuah kota pada dewasa ini diyakini oleh banyak pemimpinnya dapat menarik perhatian banyak orang, investor, turis, pendatang, professional, dan pelajar untuk datang. Mereka datang tidak sekedar untuk berkunjung melainkan juga berbisnis, belajar, berwisata dan beragam kegiatan lainnya. Sama halnya dengan manusia atau organisasi, mempunyai reputasi yang positif adalah kelebihan dari sebuah tempat, dalam hal ini kota. Kota yang beridentitas kuat, berkarakter dan unik dapat menjadi asset yang kompetitif dalam meningkatkan daya saing dalam bidang yang lebih luas. Saat ini kita melihat tiap negara dan kota-kota di dunia berusaha keras menjadikan dirinya sebagai tempat yang atraktif untuk didatangi, baik sebagai tempat wisata, belajar maupun berinvestasi. Semuanya berujung pada keuntungan atau manfaat yang akan didapatkan oleh warga kota bersangkutan. Dapat dikatakan

bahwa perencanaan yang jelas dalam menetapkan identitas sebuah kota oleh para pemegang kekuasaan, akan membuat warga kota merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kota tersebut dan menjadi sumber kebanggaan bersama.

Identitas sebuah kota mengacu pada gambaran nyata seperti apa sebuah kota itu. Hal itu berkaitan dengan atribut-atribut unik darinya dan nilai nilai yang mampu menjelaskan karakter khusus yang ada. Sebuah karakter yang membedakan dengan tempat lain, biasanya terkait dengan keunikan fisik, budaya dan sejarah kota yang bersifat satu-satunya, langka, berbeda dan jarang. Perlu untuk diingat bahwa ciri khas dan nilai dari sebuah kota itu juga biasanya mengacu pada lingkungan natural dan keunikan fisik yang ada seperti iklim, lansekap termasuk di dalamnya budaya lokal, seni, tradisi, peninggalan bersejarah, bahasa, kuliner, bangunan atau arsitektur dan lainnya

(www.globalrealestateexperts.org). Pada tulisan ini, seni, utamanya seni kriya menjadi esensial sebagai alat yang membedakan sebuah kota dengan yang lain, khususnya kota Yogyakarta.

Karya seni kriya publik di YogyakartaSebagai kota budaya, pelajar, Indonesia mini dan destinasi wisata, kota Yogyakarta dipenuhi oleh kekayaan ragam adat istiadat yang kental dengan nuansa budaya. Yogyakarta dilihat sebagai kota yang unik, karena ditengah arus modernisasi dan gempuran globalisasi, masih cukup banyak ditemui sisi-sisi kota yang memegang tradisi secara luwes, selaras dengan perubahan jaman. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan kraton beserta perangkat tradisinya yang masih terjaga sampai saat ini. Salah satu hasil karya tradisi luhur yang sampai sekarang mengakar dalam nafas kehidupan kota Yogyakarta

Alvi Lufiani

Karya Seni Kriya Publik Sebagai Identitas Kota

35Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

adalah karya-karya seni kriya yang sudah mewujud dan bertransformasi dalam beragam rupa. Seni kriya yang ada di kota seni ini tidak hanya yang berupa karya kriya konvensional berukuran kecil dan berfungsi praktis, namun juga berukuran besar dan amat kontemporer. Karya kriya kontemporer berskala besar inilah yang akhirnya menjadi salah satu penciri identitas kota Yogyakarta, utamanya yang ada di ruang publik.

Ada beberapa syarat untuk dapat menjadikan sebuah karya itu layak menjadi sebuah karya seni publik atau karya seni yang ditempatkan pada ruang publik. Syarat tersebut diantaranya adalah harus kuat, bermaterial aman, tahan terhadap cuaca, terkoneksi dengan lingkungan dan atau masyarakat sekitar, serta tidak ahistoris dengan kondisi dan situasi yang ada.

Permasalahan yang ada adalah memetakan karya seni kriya publik seperti apa yang kiranya tepat dan seiring dengan nafas Yogyakarta yang berkarakter khas tersebut. Para penentu kebijakan kota tentunya tidak serta merta dapat mengadopsi karya seni kriya publik yang ada di kota atau bahkan negara lain. Semenarik apapun karya seni kriya publik tersebut, harus mempunyai koneksi dengan masyarakat sekitar, dalam hal ini masyarakat Yogyakarta. Untuk itu perlu dipikirkan bentuk dan visualisasi karya seni kriya publik yang nantinya paling banyak memberikan dampak positif bagi banyak orang.

Salah satu bentuk karya seni kriya publik yang paling tepat adalah

karya seni kriya bernafaskan budaya Yogyakarta sebagai representasi identitas kota. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Yogyakarta unik karena penduduknya berasal dari berbagai suku yang ada di Indonesia. Ditambah lagi predikat sebagai kota pelajar dari berbagai bangsa yang amat mempengaruhi nafas kota. Pelajar dan mahasiswa yang berjiwa muda dan dinamis menambah kesemarakan kota yang selalu bergairah. Adanya kampus seni tertua yang mencetak seniman akademisi tak ayal membuat Yogyakarta mempunyai sikap kritis dalam hal penciptaan seni. Sikap dan sifat kritis itu yang membuat karya seni kriya publik yang ada harus dapat merepresentasikan tradisi Yogyakarta tersebut.

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai seni kriya publik ada baiknya menelaah lebih dulu apa yang dimaksud dengan seni kriya untuk mendapatkan pemahaman yang jelas. Istilah seni kriya menurut S.P. Gustami dalam katalog Pameran Besar Seni Kriya UNDAGI tahun 2016 berarti hasil karya seni buatan para kriyawan, baik kriyawan akademik maupun otodidak. Jasper en Mas Pirngadie, masih dalam tulisan S.P Gustami menyebut seni kriya Indonesia sebagai Kunstnijverheid in Nederland Indië. Kunstnijverheid sendiri artinya seni kerajinan, adapun Wagner dan Roufaer mengatakan secara lugas seni kriya Indonesia dengan istilah Kunst, yang artinya seni. Dari sini terlihat bagaimana para pakar seni rupa Eropa Barat tersebut mengapresiasi seni kriya Indonesia dari perspektif mereka. Utamanya sudut pandang orang Eropa yang takjub dengan tingginya craftmanship para

kriyawan Indonesia, yang terepresentasi pada karya-karyanya. Tidak hanya indah dipandang mata, karya seni kriya juga merupakan produk kearifan seni budaya bangsa yang mampu menggugah rasa estetik audiensnya, sekaligus menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya (2016). Karya seni kriyapun memiliki fungsional praktis dan estetis yang membuatnya luwes beradaptasi dalam pengaplikasiannya.

Salah satu contoh karya seni kriya publik yang cukup berhasil dalam merepresentasikan kota Yogyakarta adalah karya seniman Samuel Indratma dengan karya Aksara Jawa. Sedikit tentang Samuel, ia adalah salah seorang pioneer seniman yang beraktivitas di jalan atau biasa dikenal dengan art street, seperti mural. Samuel turut mendirikan Apotik Komik yang aktif mempercantik dinding kota dengan mural yang artistik dan menghibur. Pada karya Aksara Jawa, ia membuat serangkaian aksara Jawa atau Hanacaraka bertuliskan Malioboro yang ditempatkan di titik nol kilometer ujung jalan Malioboro menuju arah kraton. Karya tersebut tidak hanya sekedar sebagai hiasan melainkan juga berfungsi sebagai devider atau pembatas jalan antar trotoar dan jalan. Aksara Jawa kental dengan muatan seni kriya, lepas dari pemakaian Hanacaraka yang merupakan salah satu ciri kebudayaan Jawa. Karya ini sekaligus memuat keprihatinan sang seniman melihat keberadaan huruf Jawa yang semakin tergerus zaman. Banyak anak muda yang tidak mengenalnya dan hanya mempelajarinya di sekolah. Sama sekali tidak ada minat yang besar dari golongan muda untuk melestarikan aksara Jawa tersebut

36

agar tetap eksis dan dipahami oleh generasi penerus. Dimensi kriya lain yang ada pada karya Aksara Jawa juga terlihat dari pengerjaan yang detail dan memakan waktu,sebagai salah satu penanda karya seni kriya. Ditambah lagi dengan pernyataan Samuel bahwa sebuah karya seni publik haruslah dapat menunjukkan ciri atau identitas sebuah kota dan harus dapat melestarikan nilai-nilai kearifan lokal. Di saat setiap jengkal wajah kota yang kian disesaki oleh serbuan iklan dan jargon pemerintah, karya seni publik diharapkan dapat memanusiakan kembali wajah kota agar kota bisa menjadi hidup dan menjadi milik semua warga. Berikut adalah karya Samuel Indratma yang memiliki muatan seni kriya.

Ada satu lagi karya yang menggelitik dan mampu menggugah ingatan masyarakat, khususnya pendatang akan ciri khas Yogyakarta begitu melihatnya. Karya tersebut termasuk di dalam karya seni ruang publik menyambut Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XXIX tahun 2012. Adalah perupa senior dan terkemuka Nasirun yang menciptakan sebuah karya berjudul Becakku Tak Berhenti Lama, sedikit plesetan dari lagu lama anak-anak Keretaku tak Berhenti Lama ciptaan AT. Mahmud. Uniknya, karya becak dari Nasirun ini menggunakan medium becak asli dan dapat digerakkan. Becakku Tak Berhenti Lama merupakan karya seni publik yang mempunyai dimensi kriya amat kental karena tanpa diperhatikan secara seksamapun orang dapat melihat torehan ornamen dan figur wayang pada dudukan dan dinding becak. Karya becak Nasirun memuat banyak cerita dan pesan yang tersurat bahwa

becak adalah salah satu alat transportasi yang amat populer dan dicintai warga maupun pendatang di Yogyakarta. Becak seperti halnya kendaraan tradisional maupun modern lainnya mampu menjadi medium penyampaian pesan tentang identitas kota. Sebuah identitas yang terungkap melalui gambar atau dekorasi yang ada sekaligus sebagai penanda benda budaya kreasi para pendahulu. Sang pembuat, Nasirun sendiri mengatakan bahwa dimatanya, becak bukan sekedar alat transportasi sederhana tanpa teknologi. Ia ingin orang melihat becak sebagai benda hasil budaya yang mempesona, dan seperti halnya karya seni lainnya, dapat menjadi media menampilkan

keindahan sebuah kota, yang membuat orang bangga ketika menaikinya. Dibawah ini adalah foto karya Nasirun yang ditempatkan di ruang publik Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengkubuwana selaku Gubernur DIY, sewaktu membuka perayaan FKY tersebut turut mengatakan pendapatnya tentang karya seni publik yang ada. Sultan berpendapat bahwa karya seni publik

Karya seni Aksara Jawa kreasi Samuel Indratma. Karya ini mampu menunjukkan identitas kota Yogyakarta sekaligus sebagai pengingat mulai lunturnya sebuah tradisi.Sumber: http://trianafd.blogspot.co.id

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

37Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

yang disuguhkan bagi masyarakat di ruang publik Yogyakarta seyogyanya tidak hanya indah namun juga terkorelasi dengan warga kota. Sebuah karya seni yang terkonsep dengan baik akan mampu melakukan dialog dengan audiensnya, bahkan membantu menyelesaikan aneka konflik dan perbedaan yang ada. Ditengarai bahwa penurunan moralitas bangsa yang terjadi hari ini adalah karena para elit kurang menghargai dan kurang terasah kepekaannya akan karya seni di ruang

publik. Mengapa ruang publik? Karena disitulah segenap lapisan masyarakat dapat berinteraksi secara bebas dengan karya tersebut. Seni publik bersifat demokratis, dari, untuk dan oleh rakyat. Oleh karena itu perlu kepekaan mendalam dari para seniman untuk dapat menjadikannya tidak sekedar karya seni namun juga penanda kota, warisan bersejarah dan medium penyampai pesan.

PenutupTerbukti bahwa identitas kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota seni dan budaya dapat terepresentasikan melalui karya seni kriya publik yang ada. Karya seni kriya publik tersebut

tentu saja yang memiliki korelasi kuat dengan ruh atau jiwa kota Yogyakarta. Alasan lain mengapa dimensi kriya menjadi penting pada karya seni rupa ruang publik, karena pada kriyalah nilai-nilai tradisi dari Yogyakarta yang kuat dapat tergambarkan dengan baik dan proporsional. Di sisi lain, Yogyakarta yang berkembang menjadi kota yang dinamis diharapkan tidak akan melupakan akar tradisi tersebut sebagai upaya preservasi budaya dan identitas kota. Karya seni kriya publik di kota Yogyakarta juga mampu berbicara mengenai perkembangan seni kriya itu sendiri, yang merekam perubahan jaman dan mengadaptasinya secara luwes melalui penciptaan karya seni kriya publik yang kritis dan tajam merespons keadaan.

Referensi A. Bell, Daniel and Avner de-Shalit. 2011. The Spirit of Cities: Why The Identity of A City Matters in A Global Age. Princeton. Princeton University Press.

Gustami, S.P. (2016). Seni Kriya Heritage. Katalog Pameran Besar Seni Kriya UNDAGI. Jogja Gallery, 29 – 4 September 2016.

Aksara Jawa Samuel Indratma, diperoleh melaui situs internet http://trianafd.blogspot.co.id. Diunduh pada tanggal 13 Agustus 2016.

Building A Strong City Identity, diperoleh melalui situs internet www.globalrealestateexperts.org. Diunduh pada tanggal 24 September 2016.

Jelajah Seni Instalasi FKY 2012, diperoleh melalui situs internet http://www.kompasiana.com/jendelachonie/jelajah-seni-instalasi-fky. Diunduh pada tanggal 23 September 2016.

Becakku Tak Berhenti Lama, karya seni publik perupa Nasirun yang berdimensikriya.Sumber: http://www.kompasiana.com/jendelachonie/jelajah-seni-instalasi-fky

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

38

“Kakek, maukah kau menceritakan padaku tentang kehidupan manusia di bumi?” Seorang anak kecil bertanya kepada orang tua di sebelahnya yang sedang memandang ke atas langit. Orang tua itu tersenyum, lalu mengusap kepala cucunya.

Angin berhembus, membawa debu-debu merah menjelajahi malam yang tak pernah selesai. Benda-benda berkelip beterbangan di angkasa dengan kecepatan luar biasa. Dari balik masker oksigen, kakeknya menjawab, “Baiklah, akan kuceritakan kepadamu sebuah kisah yang kerap diceritakan kakekku dulu.”

Anak kecil itu menjadi begitu bersemangat. Matanya berbinar-binar, mengalahkan jutaan kristal yang menyelubungi planet kecil ini. Kemudian dilihatnya sang kakek menunjuk sebuah bulatan yang tinggal separuh saja di langit.

“Itulah bumi. Mereka hancur dimakan rayap. Rayap yang bermutasi karena radiasi nuklir.” Kakek itu membetulkan selang oksigennya, kemudian

menceritakan kisah yang kutulis ini.

***

Di suatu antah berantah pada masa yang tak tertulis, hiduplah tiga orang buta. Dalam kebutaannya, mereka menyadari bahwa ada sesosok entah yang begitu besar wujudnya tinggal bersama mereka, hidup berdampingan dengan mereka. Suatu hari mereka mencoba untuk mengenali, menamai, dan menggambarkan sosok entah itu. Ambisi mereka begitu besar untuk bisa mengenali yang tak mampu mereka jangkau, bahkan dalam kebutaan.

Tiap orang buta itu akhirnya berkonsolidasi, mencoba mencari kesepakatan untuk bisa menjelaskan pengalaman mereka bersentuhan dengan yang entah. Suatu hari mereka membagi undian dengan daun lontar. Setelah mendapatkan nomor urut, mereka menjalin kesepakatan untuk mendekati sosok itu secara bergantian.

Tibalah hari bersejarah itu. Setelah selesai sarapan pagi, orang buta pertama mencoba merabai sosok entah.

Orang buta pertama berdiri di tempat yang mereka sepakati. Tempat yang diyakini menjadi persinggahan si entah sebelum jam makan siang. Si buta pertama berjalan mendekat, berdiri dan mengangkat tangannya mencari-cari. Ia menyentuh permukaan yang licin, keras seperti batu, dan lancip pada ujungnya. Buru-buru setelah meyakini pengalaman perjumpaan ini, orang buta pertama kembali ke dalam kawanannya. Setelah berhasil menjelaskan pada kawan-kawan yang lain, orang buta pertama menamai apa yang dialaminya itu sebagai Gading.

Pada jam yang sama di hari berikutnya, orang buta yang kedua mendekati sosok itu. Ia berdiri tepat di tempat yang sama dengan orang buta pertama pada hari sebelumnya. Seperti yang sudah diperkirakan, sosok entah itu kemudian datang mendekat. Orang buta yang kedua itu mengarahkan tangannya ke depan. Dalam jangkauannya ia merabai sosok itu, dan mendapati perasaan yang lain, berbeda dengan yang dijelaskan kawan buta yang pertama. Ia mendapati sosok itu seperti pohon, keras tapi tak seperti batu. Tidak licin dan halus,

TA Kusno

Kisah Si Entah (atau Gajah) dari Antah Berantah

SKETSA

Cerpen

39Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

tapi keras mengapal. Ia mendapati jumlah benda ini empat, jumlah yang sama seperti kedua tangan dan kedua kakinya. Kemudian ia kembali kedalam kerumunannya, dijelaskannyalah pengalaman itu, lalu ia menamai sosok yang dialaminya itu sebagai Kaki.

Pada hari berikutnya di jam yang sama, tibalah giliran orang buta yang terakhir. Ia berdiri di tempat yang sama pula seperti kawan-kawan lain, ketika merabai sosok entah itu. Setelah ia mendengar sosok itu hadir dan berdiri tepat di depannya, ia mulai menjulurkan tangan dan menyentuh si entah. Ia merasakan sesuatu yang bergerak-gerak, sedikit basah, berbulu pada bagian ujungnya, beraroma tak sedap, dan anehnya, tak sebesar apa yang dikatakan kawannya di hari yang lalu. Tidak pula empat, melainkan hanya satu. Tidak keras dan tidak pula licin, tidak seperti pohon dan tidak seperti batu. Ia lalu pulang dan menceritakan pengalamannya, ia menamai apa yang dipegangnya itu Ekor.

Kemudian tiga orang buta ini berdiskusi satu sama lain, mencoba merumuskan perbedaan dan menggambarkan sosok entah ini dalam kebutaan mereka. Mereka hampir saja saling membunuh untuk menjaga keyakinan mereka atas gambaran Sang Gading, Sang Kaki, maupun Sang Ekor yang mereka bela. Setelah perdebatan yang sengit, akhirnya mereka menyepakati bahwa sosok ini melulu berubah bentuk dari hari ke hari.

Esoknya setelah bangun tidur, mereka terus diburu rasa tak puas. Maka untuk makin meyakinkan rasa ingin tahu dan hasrat mereka untuk mengenali yang entah ini, mereka bersepakat untuk merabainya secara bersamaan. Mereka sebegitu gila untuk bisa mengetahui, mengenali, dan merumuskan gambaran

atas sosok yang mereka yakini selalu hidup berdampingan bersama mereka.

Esoknya mereka berdiri berjejer, dan menunggu sosok itu hadir. Begitu mereka rasai kehadirannya, mulailah mereka merabainya. Ternyata, sosok itu tidak berubah bentuk. Mereka tiba-tiba dihinggapi rasa malu yang luar biasa. Tiba-tiba mereka kembali merasa tidak tahu, kembali menyadari kebutaannya. Orang-orang buta itu tersadar bahwa si entah dalam pengalaman mereka yang berbeda kemarin tak lain adalah sosok yang sama, namun teramat besar, melampaui jangkauan tangan mereka. Mereka hanya meraba bagian yang berbeda.

Akhirnya sepulang dari mengalami entah, mereka bersepakat merumuskan pengalaman mereka. Dinamainyalah sosok entah sebagai Gajah. Gajah dalam kebutaan mereka, adalah Gajah yang terdiri dari Sang Gading, Sang Kaki yang berjumlah empat, dan Sang Ekor. Mereka menyadari kebutaan ini tak akan bisa melukiskan entah, atau yang mereka sebut Gajah secara utuh. Mereka hanya bisa menerka bentuk berdasarkan pengalaman singkat dan jangkauan tangan kecil mereka. Lalu bersepakatlah para orang buta untuk memahat kayu dalam kebutaan mereka, dan mewariskan ketidaktahuan ini pada orang-orang buta yang lain, supaya bisa melengkapi gambaran imajinasi mereka atas entah yang telah disepakati bernama Gajah. Gajah yang senantiasa tak akan pernah bisa mereka gambarkan utuh, apalagi dalam kebutaan yang niscaya.

Beberapa ratus tahun berlalu. Informasi tentang gambaran Gajah diwariskan turun temurun melalui pahatan kayu. Orang-orang buta yang hidup setelahnya masih terus mencoba melengkapi gambaran-gambaran atas Gajah. Kali ini ia tak sekedar Gading,

empat Kaki, dan Ekor. Waktu telah mengenalkan mereka pada Telinga, Belalai, dan Kepala. Namun kayu pahatan yang menyimpan pengetahuan Gajah itu kian melapuk dimakan jaman. Bekas pahatan itu mengempuk dan perlahan berubah bentuk. Akhirnya kepala suku memutuskan untuk menyimpannya di tempat yang aman. Supaya kerusakan kayu itu tak semakin parah, maka ia menyimpannya ditempat yang tinggi, hangat, steril, dan begitu aman. Akhirnya pada suatu malam, demi menjaga pahatan kayu warisan leluhur, ia mengambil sebuah keputusan penting yang merubah sejarah. Ia mengumumkan pada seluruh kampung agar berhenti memahat kayu itu, tak lagi melengkapi informasi tentang Gajah pada pahatan yang renta. Ia tak ingin merusaknya. Maksud kepala suku sebetulnya baik, semata-mata agar pengetahuan atas Gajah tetap bisa diwariskan. Namun diam-diam, kepala suku tak menyadari bahwa keputusannya ini menanggung resiko besar, yaitu matinya perkembangan pengetahuan atas Gajah.

Pada suatu generasi yang sudah lupa akan kebutaanya, orang dalam kampung itu jadi terlampau percaya diri atas Gajah yang hidup bersama mereka. Mereka merasa sudah mengenal Gajah. Bahkan mereka kini telah siap untuk menukar nyawa, atas keyakinan mereka tentang Gajah yang telah dituliskan nenek moyang. Mereka tak lagi memperbaharui pengetahuan mereka tentang Gajah. Gajah menjadi sebegitu sakral dengan Gading, empat Kaki, Ekor, Telinga, Kepala dan Belalai. Gajah yang dalam deskripsi terasa begitu presisi, seperti yang terukir pada pahatan lapuk.

Pernah suatu ketika ada seorang pengelana buta mendapati bahwa Gajah mengeluarkan kotoran yang berbau busuk. Pengelana ini menamai kotoran

40

itu dengan Tahi Gajah. Para buta penjaga tradisi yang mendengar cerita itu naik pitam sepuncak-puncaknya. Mereka tak ingin percaya bahwa Gajah mengeluarkan kotoran. Mereka telah lupa dengan kebutaannya, dan tak mau lagi menerima gambaran lain yang mungkin untuk melengkapi pengetahuan mereka atas Gajah. Diburulah si pengelana itu, dan dipenggal kepalanya. Sementara itu di tempat yang tinggi, pahatan informasi atas Gajah malah makin membusuk dan tetap termakan rayap, karena tak terjamah sinar matahari.

Tak berselang lama, desa itu kedatangan pengembara buta lainnya. Pengembara itu bercerita bahwa di kampungnya juga ada sosok entah yang mirip. Mereka menamainya Mammoth. Lagi-lagi para buta yang telah lupa dengan kebutaanya tak terima. Mereka menggantung pengembara yang bertukar cerita itu dalam bara amarah. Mereka merasa bahwa suku merekalah yang menemukan Gajah, yang diyakini hanya ada satudi dunia ini.

Dalam kebutaan, gambaran Gajah telah menjadi sebegitu kuat, sampai-

sampai mengingkari Gajah itu sendiri. Orang-orang siap bertempur dan mati demi menjaga imajinasi mereka atas yang entah, yang telah mereka sebut sebagai Gajah, atau yang disebut suku sebelah sebagai Mammoth. Sementara di seberang sungai tak berpangkal, ada suku yang menamainya Tapir, tanpa ada satupun orang pernah melihatnya.

Gajah menjadi begitu ada, setelah mereka mewariskan gambarannya lewat bahasa, mantra, pemujaan-pemujaan, dan pahatan kayu yang kian melapuk. Para orang buta telah menjadi sebegitu percaya diri dengan wawasan mereka atas Gajah. Sementara itu di pinggir kali, sang Gajah telah lama mati diterkam buaya. Tubuhnya yang tercabik telah habis dirubung jutaan semut dan burung gagak. Gajah dalam kematiannya telah menjadi Semut, Gagak, dan Buaya. Zat-zat yang ada pada Gajah juga telah dihisap tanah dan memberi makan akar-akar yang meranggas. Akhirnya semua orang dalam suku itu mati dalam perang nuklir yang kudus, untuk membela imajinasi mereka atas Gajah yang tunggal.

Pada keesokan pagi yang tak disadari, zat-zatsi entah yang telah lama bersemayam dalam tanah diam-diam tumbuh menjadi Pohon. Merekahlah ia dalam ketiadaan.

Timoteus Anggawan Kusno, merupakan seorang seniman yang bekerja secara lintas disiplin dengan beragam teknik. Ia menyelesaikan studi Ilmu sosial & Politik di Universitas Gadjah Mada, kemudian melanjutkan program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma. Pada 2014, ia menjadi seniman pilihan untuk mengembangkan tema artistik Festival Film Dokumenter. Pada 2015, terpilih sebagai seniman residensi di ARCUS Project, Jepang. Kemudian 2016 ini menjadi seniman terpilih untuk program Kerjasama yangdiselenggarakan ASIALINK di Artback NT, Australia & Cemeti Arthouse, Indonesia. (www.takusno.com)

Rithika Merchant, Danse Macabre, 2014 Sumber: http://disinfo.com/2015/05/rithika-merchant-mosaics-myths/

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

41Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

Puisi-PuisiBudhi Wiryawan

MEMBACA RUMAH

rumah tak hanya kubus yang berisi meja, otak, dan almari tapi ia tempat menaruh seutas roh yang di dalamnya berisi cinta, merah dan kematian

panjang keberadaanku bagi rumah, lebar dan tinggi menyentuh plafon setulus harapanku kueratkan pada tali-tali waktu yang sudah mengubah tubuhnya coklat tua tapi ia rumah milik hati bukan seonggok batu kali

rumah adalah peta dengan skala yang terbaca sebagai catatan sipil biasa

(2016)

SEBILAH PISAU

cinta itu sebilah mata pisau melukai jika gagal memaknai aku ingin memastikannya, ia tumpul di ujung hingga punggung dalamnya terbaca aku pastikan lagi tak ada teriak luka yang mencacah-cacah pada kedalaman daging dan ruang-ruang hati yang tersembunyi

sebab sakit adalah metabolisme yang berjalan dalam hitungan detik, namun setelahnya kering, itu butuh waktu yang tak terbilang hingga membekas dalam ingatan kusam

simpanlah pisau-pisau itu di tempat yang tak terjangkau oleh pita-pita dendam sampai akhirnya genangan ingatan itu terkubur di makam-makam kesejukan, yang selalu diziarahi setiap kali malam menaburi jam waktu dengan bunga-bunga yang wangi : pertanda cinta itu harus dipelihara

(2016)

STACATO

mengawinimu dengan kegelisahan yang membiru sama halnya dengan memulai keberangkatan karena pagimu adalah laut surut, saat perahuku baru saja menciumi bibir pasir

kekasih, rela kau tunggu dalam sayu mata manik yang menempel di korneamu isyarat pasrah luruh dalam kesetiaan purba meski aku tetaplah lelaki berkaki satu

setiap kabar yang dibawa burung laut adalah nasyid yang kau lantunkan saban waktu saat Tuhan berjaga di sisi ranjangmu luar biasa kau untuk sebuah potret yang sederhana

kekasih, musim telah menggantikan berulang daun, memecahkan beruas ranting dalam terang gelap cahaya di kamar

namun kau tetap melanjutkan perjalanan ini meski nafas dan darahku tersengal di ujung mulut, tapi cinta selamanya adalah bunga

(2012)

BYPASS

(jangan lukai jantungku malam-malam oleh hasutan dan gertak salam)

Sebab ada yang tak pernah sampai suara kaki dan lekuk pintu kamar hanya di ujung meja belum sampai mendekap bajuku belum sampai mengusap dadaku antara darah malam-malam dan kiriman pesan cinta sama degup dan iramanya susah mau dikemanakan, ditanya apa, enggan ini cinta dibangun dari seribu kesungguhan, sungguh bukan ratap tangis, dan hasutan yang meneror-neror pintu-pintu kamar menjebol katup vena meluka bilik yang terlanjur setia menyimpan sepotong cinta (2014)

42

DI GELAP SENJAMU

ijinkan aku masuk di gelap senjamu menerima semua syarat tentang sepi ketiadaan, dan jawaban yang tertunda atas seluruh desak dari nafas dan nafsu

ijinkan aku menggambar kegelapanmu dengan gores garis yang kuayunkan di tubuh batin dan lekuk kalbumu yang tak pernah berhenti menjerit

(2016)

KATA-KATA ITU TERKUNCI Jika kau lupa tak berlakukan malam sebagaimana malam punya drama dan misteri kau cukup memeluk puisi saat dingin juga rasa rindu yang menusuk-nusuk bantal tidurmu ingin hutang itu dikenang, karena cinta itu masih tersimpan di garis-garis motif selimut pink yang manja jika kau lupa menyapanya tiga kali dalam sehari

Menidurkan cerita yang lambat dan lupa menaruh kata penghubung sama halnya dengan meniadakan paragraf yang kau susun berbulan-bulan lamanya hanya untuk melarung sesal yang sempat menjadi kekal, lantaran kau lupa menaruh satu kata pengunci : kau! kutahu kebiasaan menghibur diri tanpa sebab,  itu hanyalah pengalihan atas ketakutanmu  untuk mengatakan: aku -belum berani berterus terang

(tersimpan di laci penyesalan, seperti rupa dari sebuah ketakutan)

(2014)

AIRMATA TOMAT

Airmata tangis airmata darah tumpah di lengan bajumu yang putih kau seperti bendera kau seperti penari kau seperti prajurit tapi kau tak lagi punya selera Kau saos bagi seluruh kebaikan di saat perjamuan makan di atas meja panjang kau menjadi sahabat untuk sebuah sebab dari sebuah kebaikan airmata Daging-daging tomat yang mampir di selat malam itu ikhwal soal cinta yang tercabik-cabik oleh pisau syahwat mengiris hati, melukai perasaan (2014)

SENJA YANG TAK CONGKAK

aku senja yang tak pernah congkak setelah kuboyong matahari di rumah lelap gelaplah seluruh isi alam aku adalah sinyal bagi kehidupan kedua jika kubilang lagi : aku ya, senja bermata elang kutahu ke mana kau sembunyi di balik bulan yang minder malu menatap wajahnya sendiri lupa tak berdandan atau lupa tak bersisir waktu Yogya, 2013

Budhi WiryawanLahir di Bantul Yogyakarta. Karya-karya sastranya (puisi, cerpen, geguritan,esai) selain diterbitkan lewat buku, juga dimuat di beberapa media cetak daerah dan

nasional. Buku puisi tunggalnya “ Sripah” terbit tahun 2009. Buku kumpulan puisi lainnya “Suluk Mataram (50 penyair membaca Yogya, 2012) ”Menyisir Senja” (5

penyair , 2013) “Spring Fiesta” (penyair 9 negara, 2013). “Bersepeda ke Bulan, Antologi Puisi Hari Puisi Indopos, 2013, cetakan pertama Juni 2014) “Lintang Panjer

Wengi di Langit Yogya “ (90 penyair Yogya, 2014) “Pengantin Langit“ (Antologi Puisi Menolak Terorisme, 2014) “Parangtritis” (55 penyair, 2014), “Jalan Remang

Kesaksian, (LPSK, 40 penyair, 2015).

43Volume XI Nomor 4/2016 | matajendela

44