Perginya Suluh Penerang Umat · Belum sempat airmata umat mengering dengan wa-fatnya Kiai Faqih,...

2
6 MPA 307 / April 2012 Inna lillahi wa inna Ilahi roji’un. Kabar perta- ma duka itu datang dari Pondok Langitan Tuban; KH. Abdullah Faqih telah berpulang kerahmatullah. Suluh penerang umat dari pesisir selatan itu, mening- gal pada tanggal 29 Pebru- ari 2012. Tak hanya Jawa Timur yang kehilangan pe- nyangga kekutan spiritual yang kharismatik itu, tapi juga bangsa Indonesia Figur ulama’ panutan itu, tergolong dalam poros “Kiai Langit”. Bukan lan- taran pondok pesantren- nya berada di desa Langit- an. Namun lebih disebab- kan setiap pertimbangan penting keumatan, kene- garaan dan kebangsaan, selalu didahuluinya de- ngan melakukan ritual iba- dah kepadaNya hingga di- rinya menerima sinyal dari “langit”. Saat negeri ini meng- alamai berbagai krisis, be- liau menggerakkan istigh- atsah dan berbagai amalan keagamaan untuk memohon pertolonganNya. Sebuah tradisi yang sudah mulai jarang dilakukan Kiai akhir-akhir ini. Kalau pun toh ada, reso- nansinya tak sekuat Kiai Abdullah Faqih. Kiai yang namanya cukup berpengaruh, khu- susnya di lingkungan NU itu, wafat dalam usia 80 tahun. Berita kematian- nya pun disambut ucap- an airmata duka jutaan umat di seluruh penjuru tanah air. Presiden RI dan para Menteri, birokrat, pe- jabat publik, tokoh politik, ulama’ dan komponen ma- syarakat lainnya, berbon- dong-bondong menyam- paikan rasa belasungka- wa yang teramat dalam. Ribuan pelayat turut mengantarkan jenazah- nya ke peristirahatan ter- akhir. Namun kepergian- nya, sungguh telah me- nyisakan rasa kehilangan yang besar. Bukan hanya bagi warga NU dan para santri, tapi juga bangsa Indonesia. Laiknya bunyi alarm kematian para ula- ma’. Langit yang tadinya cerah, tiba-tiba berubah mendung. Bagai mendungnya hati umat yang beranjak redup pasca kepergiannya. Kiprahnya membesarkan umat Islam – khususnya Perginya Suluh Penerang Umat Peristiwa kematian Kiai senantiasa menyesakkan duka. Airmata pun bergulir menghantar keberpulangan menemuiNya. Apalagi yang meninggal adalah sosok “Kiai Sepuh”; pelita hidup, pelindung umat, pemersatu bangsa, dan pejuang kebenaran dengan kekuatan kejujurannya dalam menyampaikan setiap informasi kebenaran. KH. Abdullah Faqih

Transcript of Perginya Suluh Penerang Umat · Belum sempat airmata umat mengering dengan wa-fatnya Kiai Faqih,...

Page 1: Perginya Suluh Penerang Umat · Belum sempat airmata umat mengering dengan wa-fatnya Kiai Faqih, disusul kabar kematian KHR. A. Fa-waid As‘ad Syamsul Arifin, pengasuh PP. Salafiiyah

6 MPA 307 / April 2012

Inna lillahi wa innaIlahi roji’un. Kabar perta-ma duka itu datang dariPondok Langitan Tuban;KH. Abdullah Faqih telahberpulang kerahmatullah.Suluh penerang umat daripesisir selatan itu, mening-gal pada tanggal 29 Pebru-ari 2012. Tak hanya JawaTimur yang kehilangan pe-nyangga kekutan spiritualyang kharismatik itu, tapijuga bangsa Indonesia

Figur ulama’ panutanitu, tergolong dalam poros“Kiai Langit”. Bukan lan-taran pondok pesantren-nya berada di desa Langit-an. Namun lebih disebab-kan setiap pertimbanganpenting keumatan, kene-garaan dan kebangsaan,selalu didahuluinya de-ngan melakukan ritual iba-dah kepadaNya hingga di-rinya menerima sinyal dari“langit”.

Saat negeri ini meng-alamai berbagai krisis, be-liau menggerakkan istigh-atsah dan berbagai amalan keagamaan untuk memohonpertolonganNya. Sebuah tradisi yang sudah mulai jarangdilakukan Kiai akhir-akhir ini. Kalau pun toh ada, reso-

nansinya tak sekuat KiaiAbdullah Faqih.

Kiai yang namanyacukup berpengaruh, khu-susnya di lingkungan NUitu, wafat dalam usia 80tahun. Berita kematian-nya pun disambut ucap-an airmata duka jutaanumat di seluruh penjurutanah air. Presiden RI danpara Menteri, birokrat, pe-jabat publik, tokoh politik,ulama’ dan komponen ma-syarakat lainnya, berbon-dong-bondong menyam-paikan rasa belasungka-wa yang teramat dalam.

Ribuan pelayat turutmengantarkan jenazah-nya ke peristirahatan ter-akhir. Namun kepergian-nya, sungguh telah me-nyisakan rasa kehilanganyang besar. Bukan hanyabagi warga NU dan parasantri, tapi juga bangsaIndonesia. Laiknya bunyialarm kematian para ula-ma’. Langit yang tadinyacerah, tiba-tiba berubah

mendung. Bagai mendungnya hati umat yang beranjakredup pasca kepergiannya.

Kiprahnya membesarkan umat Islam – khususnya

PerginyaSuluh Penerang Umat

Peristiwa kematian Kiai senantiasa menyesakkanduka. Airmata pun bergulir menghantar

keberpulangan menemuiNya. Apalagi yangmeninggal adalah sosok “Kiai Sepuh”; pelita hidup,

pelindung umat, pemersatu bangsa, dan pejuangkebenaran dengan kekuatan kejujurannya dalam

menyampaikan setiap informasi kebenaran.

KH. Abdullah Faqih

Page 2: Perginya Suluh Penerang Umat · Belum sempat airmata umat mengering dengan wa-fatnya Kiai Faqih, disusul kabar kematian KHR. A. Fa-waid As‘ad Syamsul Arifin, pengasuh PP. Salafiiyah

7MPA 307 / April 2012

NU – dan menanamkan pen-tingnya rasa kebangsaankepada para santri, menja-dikannya sebagai sosokKiai yang sangat disegani.Jasa almarhum seakan takturukur, terutama dalammenjaga ideologi, manhajdan keselamatan umat.

Namanya melambungsejak awal reformasi saatdetik-detik menjelang GusDur terpilih sebagai presi-den RI. Itupun setelah adapertemuan “Poros Langit-an”. Pasca pertemuan ini,muncullah istilah Kiai Khosatau Kiai Langit – meski KiaiFaqih sendiri menolakistilah tersebut. Walaupunfatwa-fatwanya dibutuhkandan sosoknya disegani pe-nguasa, tapi Kiai Faqih te-tap menjaga jarak dengankekuasaan.

Dirinya memang dike-nal sebagai sosok yang ja-rang berbicara tentang ja-batan dan harta kekayaan.Dan ciri satu lagi; selalumenghindari publikasi.Yang lebih dipentingkan-nya, adalah kejujuran danmoralitas. Sosok yang karibdengan kesederhanaan ini,juga merupakan figur te-ladan yang cinta damai danmementingkan masyarakat luas.

Kiai Faqih memang tumbuh dari ruang kesederha-naan. Tapi justru kesederhanaan itulah yang lantas meng-antarkan kebesaran pribadinya. Meski tak sedikit tokohnegeri ini yang sowan kepadanya, namun beliau merasacukup dengan tempat tinggal kesederhanaan. Sebuahrumah yang terbuat dari papan berwarna janur kuning,berukuran 7 x 3 meter dengan lantai tegel biasa. Di dalamrumah itu, hanya berisi seperangkat meja kursi kuno danlemari berisi kitab-kitab kuning.

Belum sempat airmata umat mengering dengan wa-fatnya Kiai Faqih, disusul kabar kematian KHR. A. Fa-waid As‘ad Syamsul Arifin, pengasuh PP. SalafiiyahSyafi’iyah Sukorejo Situbondo. Suluh penerang umat daripesisir utara ini menghadap Ilahi di usianya yang relatifmasih muda, 44 tahun. Beliau meninggal pada 9 Maretlalu pukul 12.30 Wib di ruang Graha Amerta RSU Dr.Sutomo Surabaya, akibat komplikasi penyakit jantungdan diabet.

Kiai yang lahir di Situbondo pada 17 Nopember 1968itu, merupakan putra kesembilan dari KHR. As‘ad SyamsulArifin dengan Nyai Zubaidah. Kiai Fawaid telah memimpin

Pondok Pesantren dengan20.000 santri putra dan putrisejak usia beliau masih sa-ngat belia. Ketika itu usia-nya masih 22 tahun saat ha-rus menggantikan sangayahanda yang wafat.

Kiai Fawaid berhasilmengelola pesantren yangberdiri sejak tahun 1914 ini,yang berkembang pesat de-ngan perpaduan antara sis-tem salaf dan modern. San-tri yang mondok tak sajadari dalam negeri, tapi adayang dari Malaysia, Singa-pura, dan Brunei Daruss-alam.

Meski demikian, Ka-kak kandung KHR. KholilAs’ad Syamsul Arifin – pe-ngasuh ponpes WalisongoSitubondo – ini selalu ber-penampilan sederhana,disiplin dan teguh dalammemegang prinsip. Almar-hum juga tidak pernah me-lewatkan kebiasaannyamembaca doa-doa yang ter-kumpul dalam buku khusussetiap selesai shalat subuh.Dan tak pernah jauh puladari al-Qur’an meski sedangberkendara dengan mobil.

Kiai yang selalu me-lingkarkan surban di kepa-lanya itu juga mempunyai

jiwa seni yang tinggi. Tidak banyak yang tahu kalau Kiaimuda ini mengoleksi hampir seribu lagu Bang Haji RhomaIrama. Di mobil, alunan lagu-lagu Bang Haji yang syaratdengan pesan-pesan agama setia menemani perjalanandirinya ketika berpergian. Tak ketinggalam pula lagu-laguAl Badar, Grup Gambusnya.

Takdir kematian, memang tak mengenal batas usia.Seperti halnya yang terjadi pada kedua sosok kiai ter-sebut. Kiai Faqih dijemput ajal ketika sudah sepuh, se-mentara Kiai Fawaid meninggal di usianya yang relatifmuda. Meski kematian adalah sebuah keniscayaan, tapimenyaksikan kepergian orang-orang yang kita cintai, kitakagumi dan teladani, selalu menyisakan rasa pedih. Sebablebih mudah bagi kita untuk meninggalkan orang-orangyang kita sayangi ketimbang menyaksikan kepergian or-ang yang kita kasihi.

Kematian Kiai memang senantiasa menyesakkan du-ka. Lantas, akankah muncul tunas baru, kader ulama’ yangsederhana, konsisten terhadap perjuangan moral dankejujuran, cinta perdamaian, dan jauh lebih mementingkanumat daripada sekadar ambil bagian kue kekuasaan? Se-moga! Dedy Kurniawan, Nurkholis/berbagai sumber.

Kiai Fawaid berhasil mengelola pesantren yangberdiri sejak tahun 1914 ini, yang berkembang pesatdengan perpaduan antara sistem salaf dan modern.Santri yang mondok tak saja dari dalam negeri, tapi

ada yang dari Malaysia, Singapura, danBrunei Darussalam.

KHR. A. Fawaid As‘ad Syamsul Arifin