PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA KE...
Transcript of PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA KE...
PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA
KE MASA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Saukatudin
NIM: 1113034000088
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA
KE MASA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Saukatudin
1113034000088
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H /2020 M
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PERGESERAN MAKNA AHL-AL KITAB DARI MASA KE MASA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 07 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr.Eva Nugraha,M.Ag
Fahrizal Mahdi,Lc.MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr.Abd. muqsith,M.Ag
Drs.Ahmad Rifqi Muchtar,MA NIP. 19710607 200501 1 002 NIP. 19690822 199703 1 002
Pembimbing,
Muslih,M.Ag NIP. 19721024 200312 1 002
v
ABSTRAK
Saukatudin 1113034000088
Pergeseran Makna Ahl al-Kitāb dari Masa ke Masa
Tulisan ini pada dasarnya ingin mengungkap perkembangan makna ahl
al-kitāb dari masa ke masa. Dinamika kajian terhadap penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an memang tidak pernah menemukan kebuntuan sejak masa Nabi
Muhammad Saw., hingga saat ini. Pembahasan mengenai sebuah tafsir
memang membutuhkan pembaharuan metode serta pembaharuan lainnya
agar dapat dikembangkan secara terus menerus agar dapat menjawab
persoalan yang hadir di tengah masyarakat. Salah satu masalah yang sering
diungkap oleh al-Qur’an adalah mengenai kata ahl al-kitāb. Secara umum,
ahl al-kitāb diartikan sebagai komunitas Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi,
makna dari ahl al-kitāb tidak hanya berhenti disana. Berbagai penafsiran
mulai dari masa penafsiran klasik (abad pertama hijriah) hingga masa
sekarang ini. Perbedaan penafsiran yang muncul dalam mencoba
memahami makna ahl al-kitāb dikarenakan perbedaan riwayat, aliran
penafsiran, serta metode penafsiran yang digunakan, ada juga yang melihat
hasil penafsiran tersebut secara etnis dan teologis.
Secara garis besar apabila dicermati kembali, pendapat ‘ulama terkait
dengan kata ahl al-kitāb terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, pendapat
yang menyatakan bahwa ahl al-kitāb ditujukan kepada orang-orang Yahudi
dan Nasrani dari keturunan Bani Israel saja. Kedua, pendapat yang
menyatakan bahwa ahl al-kitāb adalah semua orang yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani, baik dari suku bangsa Israel ataupun bukan. Ketiga,
pendapat yang menyatakan bahwa kata ahl al-kitāb mencakup seluruh umat
yang memiliki kitab suci, yang “mirip” dengan kitab suci ataupun pernah
dibawa oleh salah seorang Nabi terdahulu. Metode yang digunakan di
dalam penelitian ini adalah deskriptif-analisis dengan menjabarkan secara
lengkap dan sistematis mengenai penafsiran kata ahl al-kitāb dari masa ke
masa.
Kata kunci: Ahl al-kitāb, al-Qur’an, Penafsiran, Pergerseran, Makna.
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرهحمن الرهحيم
Puji dan syukur ke hadirat Allah Subhānahu wa Ta’āla, yang telah
memberikan petunjuk, taufik, ilmu, dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Salawat teriring salam, semoga
senantiasa terlimpah curahkan kepada kekasih tercinta, teladan termulia,
insan sempurna, Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wa al-Salām, yang telah
menebarkan cahaya iman dan Islam ke Muka Bumi ini, serta menjadi rahmat
bagi seluruh alam semesta. Tak lupa, salawat dan salam semoga
tersampaikan juga kepada keluarga beliau yang suci, sahabat-sahabatnya
yang terpilih, serta para-tabi’in yang istimewa, dan kepada seluruh umatnya.
Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak hidupnya yang mulia, dan
mendapatkan syafaat yang agung darinya, kelak di hari kiamat. Amin Ya
Allah Ya Rabbal ālamīn.
Terselesaikannya skripsi yang berjudul Pergeseran Makna Ahl al- Kitāb
dari Masa ke Masa ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak yang ikut andil, baik secara langsung maupun tidak
langsung, baik secara moril maupun materiil. Maka sepatutnya penulis
mengucapkan syukur, terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha. MAg, selaku ketua program studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, serta Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH, selaku
sekretaris program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
vii
4. Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yakni Bapak Muslih, Lc, M.Ag.
yang senantiasa membimbing, memberi arahan dan masukan kepada penulis
dalam melakukan penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
5. Dosen Penasehat Akademik, yakni Bapak Drs. Harun Rasyid, M.Ag.
yang telah memberikan masukan dan motivasi kepada penulis selama
penulis belajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Seluruh staf jurusan dan fakultas yang turut membantu mengurusi
terkait adminstrasi penulis.
8. Orang tua penulis, yakni Bapak H. Kubra dan Ibu Hj. Mu’minah
yang selalu memberikan dukungan, semangat, memberi nasehat, dan selalu
mendoakan penulis, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
9. Keempat saudara kandung, Raihan, Wildan, Khairatul dan Opah
yang selalu memberi semangat agar saya segera menyelesaikan skripsi guna
mendapatkan gelar sarjana.
10. Serta teman terbaik dalam hidup penulis, yaitu Syufa Nabila yang
selalu mendukung serta menasihati penulis agar selalu kuat dalam menjalani
proses kehidupan yang keras ini.
11. Penulis sampaikan terima kasih kepada sahabat dan teman
seperjuangan, Salman Al-Farisi, Abdurrahman Faris Rasyid, M. Fadel
Eldrid, Ubaidillah, M Fatih Akmal, Ashri Mubayyin, Muhammad
Munawwar, Iqbal Sahid Umar, Nurul Hidayat, Rio Anjasmara, Ismail
Faruqi, Muhammad Hamim, Muhammad Faqih, Sadam Husein serta
keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2013 yang tidak bisa penulis sebutkan
viii
satu persatu namanya.
12. Serta tak lupa pula penulis uncapkan terimakasih kepada Dede Luki,
Iyas, Fikri, Surya, keluarga besar LAPBAS dan HMB Jakarta yang selalu
mendukung penulis selama berjuang di tanah ciputat nah indah ini.
Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terima kasih yang begitu
mendalam dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar
senantiasa segala kebaikannya dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga penelitian ini senantiasa dapat
memberikan wawasan mengenai Qur’an dan bermanfaat bagi semuanya,
khususnya bagi penulis sendiri. Ᾱmīn ya rābb.
Jakarta, 05 Agustus 2020
Hormat Saya,
Penulis
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
Ż zet dengan titik atas ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
x
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
ẓ zet dengan titik bawah ظ
„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Qi ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ
m Em ـ
n En ف
w We ك
h Ha ق
Apostrof ‟ ء
y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal
rangkap. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah ـ
i Kasrah ـ
xi
u Ḍammah ـ
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي ـ
au a dan u ك ـ
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan
dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ى
Ī i dengan topi di atas ىي
Ū u dengan topi di atas ىـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf ؿا dialih aksarakan menjadi huruf „l‟ baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata ةركرضلا tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
xii
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
-Al-jāmi„ah al اجلامعة اإلسالمية
islāmiyyah
Diikuti oleh kata
sifat
waḥdat al-wujūd كحدة الوجودDiikuti oleh kata
benda
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih
aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
seseorang, dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut.
Misalnya: Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū
‘Abdullāh Muhammad Al-Qurṭubī
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama,
untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn
al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
xiii
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan diatas:
Kata Arab Alih Aksara
وزن Wa jâwaznâ وج
Alâ Aṣnâmi‘ م على أصنا
هلون م إنكم قـو Innakum qawmun tajhalûna ت
Hum fīhi wa bâṭilun ل وبط هم فيه
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surah
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
xiv
DAFTAR ISI
COVER ...................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ ix
DAFTAR ISI ......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5
D. Kajian Pustaka ............................................................................... 5
E. Metodologi Penelitian ................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 9
BAB II URGENSI SERTA SEJARAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN
................................................................................................................. 11
A. Definisi Tafsir serta Urgensinya .................................................... 11
B. Sejarah Penafsiran al-Qur’an ....................................................... 13
C. Metodologi Tafsir ........................................................................ 15
1. Metode Tafsir Ijmālī (Global) ................................................. 16
2. Metode Tafsir Tahlīlī (Analitik) ............................................. 17
3. Metode Tafsir Muqāran (Perbandingan atau Komparatif) ..... 18
4. Metode Tafsir Maudhū’i (Tematik) ........................................ 19
BAB III AHL AL-KITĀB DALAM WAWASAN AL-QUR’AN ........ 21
xv
A. Definisi Ahl al-kitāb .................................................................... 21
B. Posisi Ahl al-kitāb: Antara Kafir dan Musyrik ............................ 22
C. Interaksi Sosial kepada Ahl al-kitāb ............................................ 26
BAB IV AHL AL-KITĀB DALAM PANDANGAN ‘ULAMA KLASIK
HINGGA KONTEMPORER ............................................................... 29
A. Sejarah Perkembangan Tafsir ...................................................... 29
1. Tafsir pada Masa Nabi Saw dan Sahabat ................................ 29
2. Tafsir pada Masa Tabi’īn ........................................................ 30
3. Tafsir pada Masa Pengkodifikasian ........................................ 31
B. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer ................................................................................ 33
1. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb Oleh ‘Ulama Klasik/
Mutaqaddimīn (Abad 1-4 Hijriah) .......................................... 33
2. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb oleh ‘Ulama Pertengahan/
Muta’akhkhirīn (Abad 4-12 Hijriah) ...................................... 36
3. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb oleh ‘Ulama Modern/ Kontemporer
(Di Mulai Abad 12 Hijriah) .................................................... 38
C. Ahl al-Kitāb: Maknanya dalam Perspektif ‘Ulama Nusantara .... 43
D. Analisis Pergeseran Makna Ahl al-Kitāb dari Masa ke Masa ..... 45
BAB V PENUTUP ................................................................................. 49
A. Kesimpulan .................................................................................. 49
B. Saran-saran .................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 51
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Analisis Pergeseran Makna Ahl al-Kitab ................................ 46
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu tuntunan pedoman hidup yang dikirimkan oleh Allah
SWT kepada seluruh umat manusia, pembicaraan al-Qur’an terhadap suatu
masalah sangatlah unik. Al-Qur’an tidak tersusun secara sistematis seperti
halnya buku ataupun karya ilmiah yang dibuat oleh manusia. Selain itu, al-
Qur’an juga jarang menyajikan suatu masalah secara terperinci serta
mendetail. Al-Qur’an biasanya berbicara terhadap suatu masalah yang pada
umumnya bersifat global, parsial, dan seringkali menampilkan suatu
masalah hanya dalam prinsip pokok-pokoknya saja.1
Dengan sifat unik yang dimiliki oleh al-Qur’an inilah, kajian terhadap
al-Qur’an tidak pernah kering baik dari para sarjana muslim maupun non-
muslim. Sehingga, al-Qur’an adalah kitab yang menjawab persoalan umat
hingga hari ini meskipun sudah diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu.
Akan tetapi, yang harus menjadi perhatian bahwa al-Qur’an tidak akan
menjadi Ḥudan li al-Nās jika umat Islam tidak mau mengungkap rahasia
yang terdapat dibalik ayat-ayat al-Qur’an tersebut dengan menggunakan
penafsiran. Penafsiran sangat dibutuhkan dalam memahami kandungan al-
Qur’an, banyak sekali metode yang digunakan oleh para mufassir di dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Dalam perkembangannya,
muncul gagasan untuk mengungkap petunjuk al-Qur’an terhadap suatu
masalah tertentu dengan cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari
beberapa surat yang berbicara tentang topik yang sama (tafsir maudhu’î)2,
1 Baca Hafifuddin Ciwadu, Konsep Kufur dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang 1991), 5. 2 Pengertian di atas adalah pengertian terhadap tafsir maudhu’ī atau biasa disebut
dengan tafsir tematik. Tafsir maudhu’ī merupakan metode penafsiran yang terakhir
2
sehingga dapat diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut
menurut petunjuk al-Qur’an.3
Salah satu kajian yang bisa diteliti dengan menggunakan metode tafsir
maudhu’ī tersebut adalah term atau kata ahl al-kitāb. Gambaran umum yang
diperlihatkan oleh al-Qur’an terhadap kata ahl al-kitāb ini hanya merujuk
kepada komunitas kaum Yahudi dan Nasrani. Dua komunitas ini, secara
jelas memiliki kesamaan akidah dengan kaum muslimin. Bahkan, Allah
sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk memberikan
pembenaran terhadap sebagian ajaran Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan
Injil (kitab suci agama Nasrani) serta mengkoreksi sebagian lainnya.4
Jika dilihat dari aspek sejarah dan sosial, hubungan antara umat muslim
dengan ahl al-kitāb sudah terjalin semenjak Nabi Muhammad Saw.,
diangkat menjadi rasul. Akan tetapi, komunikasi baru terjalin secara lebih
dekat semenjak Nabi hijrah ke kota Madinah. Bahkan sejak saat itu, Nabi
Muhammad Saw., juga menggalang persatuan dan perjanjian untuk
mengatur kehidupan antar komunitas agama di Madinah, perjanjian itu
dikenal dengan Piagam Madinah.5
Pada perkembangan selanjutnya, makna serta konsep terkait ahl al-kitāb
semakin meluas, maka tidak heran jika ‘ulama tafsir dan fiqh masih
muncul, akan tetapi penafsiran ini yang banyak digunakan oleh para mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an. Tafsir maudhu’ī hanya membahas ayat-ayat yang memiliki topik
yang sama kemudian mengkompromikan antara ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, serta
mengsingkronkan ayat-ayat yang terlihat bertentangan tanpa adanya pemaksaan terhadap
makna-makna yang sebenarnya kurang tepat. Baca Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: ITQAN Publishing: 2013), 282. 3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 114. 4 Lihat QS. Ali Imran (3): 3; QS. Al Maidah (5): 48; QS. Al-An’am (6): 92, Baca
juga Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb; Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’an
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 18. 5 Untuk lebih lengkap terkait dengan isi dari perjanjian Piagam Madinah tersebut
bisa langsung dilihat dalam Ibnu Hisyam, Al-Sīrah al-Nabawīyah (Kairo: Mushthafā al-
Bāb al-Ḥalabi, 1955), 501-502.
3
memperdebatkannya. Predikat ahl al-kitāb pada historinya ternyata tidak
hanya terbatas kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga mencakup
semua pemeluk agama yang kitab sucinya berasal dari Allah.6
Imam al-Shāfi’ī (w. 204 H) misalnya, dinukil dari kitabnya al-Umm,
dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Atha’ berkata: “Orang Kristen
Arab bukan termasuk ke dalam ahl al-kitāb. Kaum yang disebut ahl al-kitāb
adalah kaum Israel (Bani Israil), yakni orang-orang yang diturunkan kepada
mereka kitab Taurat dan Injil.”7 Berbeda dengan al-Shāfi’ī dalam memaknai
ahl al-kitāb, Al-Thabari ( w. 310 H) di dalam kitab tafsirnya menegaskan
bahwa ahl al-kitāb adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari
keturunan manapun dan siapapun mereka, baik dari keturunan Israel
maupun bukan.8
Selain dua ‘ulama di atas dalam menafsirkan term ahl al-kitāb, ada pula
‘ulama abad pertengahan yaitu al-Syahrastānī (w. 548 H) yang
mengklasifikasikan ahl al-kitāb ke dalam dua golongan. Pertama,
komunitas agama Yahudi dan Nasrani yang digambarkan secara jelas oleh
al-Qur’an bahwa mereka adalah pemilik resmi kitab suci yang muhaqqaq
(sempurna). Oleh sebab itu, dua komunitas ini disebut dengan ahl al-kitāb.
Kedua, komunitas agama yang memiliki kitab suci serupa (shibh) namun
mereka tidak termasuk ke dalam golongan ahl al-kitāb, akan tetapi disebut
sebagai shibh ahl al-kitāb.9
Lebih jauh melangkah, mufassir kontemporer Rashid Ridha (w. 1935 M)
memaknai term ahl al-kitāb dengan makna yang lebih umum serta tidak
6 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb; Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’an, 23. 7 Muhammad bin Idris al-Shāfi’ī, Al-Umm, Vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1973),
173. 8 Ibn Jarir Al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wil Ayy al-Qur’ān, Vol. 3 (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 321. 9 Abī Bakr Ahmad al-Syahrastānī, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dār al-Fikr, t.tt),
209.
4
hanya menunjuk kepada kaum Yahudi dan Nasrani keturunan bangsa Israel
saja, dan mencakup berbagai suku dan bangsa yang lain. ahl al-kitāb
menurutnya, bisa juga mencakup agama seperti Majusi, Shinto, Budha, dan
Hindu.10
Selain ‘ulama tafsir yang sudah disebutkan di atas, tidak luput pula
masuknya penafsiran kata ahl al-kitāb yang ditafsirkan oleh ‘ulama
Nusantara, sehingga mendapatkan seluruh gambaran jelas terkait dengan
makna yang akan didapatkan dan dipahami.
Menarik jika melihat banyak argumetasi yang bersebrangan antara
‘ulama klasik, pertengahan serta ‘ulama kontemporer dalam memahami
serta menafsirkan kata ahl al-kitāb. Perdebatan serta perbedaan pendapat
mengenai term ahl al-kitāb dikalangan ‘ulama dan scholar muslim dari
masa ke masa ini yang kemudian menjadi perhatian penulis melakukan
penelitian terkait perkembangan yang terjadi terhadap makna ahl al-kitāb.
Perbedaan penafsiran terhadap makna ahl al-kitāb tersebut kemudian
menarik perhatian penulis dan menuangkannya ke dalam sebuah karya
ilmiah yang berjudul “PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITĀB DARI
MASA KE MASA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, tersturktur serta lebih
mendalam maka permasalahan di dalam penelitian ini harus dibatasi
variabelnya. Oleh karena itu, penelitian ini hanya dibatasi dengan
“Perkembangan Makna ahl al-kitāb dari Masa ke Masa”. Term ahl al-kitāb
dipilih karena makna ini memiliki cakupan yang cukup luas sehingga
menimbulkan penafsiran dan makna yang berbeda-beda pada setiap
periode.
10 Muhammad Rashid Ridha, Tafsīr al-Manār, Vol. 3 (Beirut: Dār al-Fikr, 1973),
258.
5
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka pokok permasalahan yang
akan diteliti adalah “Bagaimana Perkembangan makna ahl al-kitāb yang
ditawarkan oleh para ‘ulama klasik, pertengahan serta kontemporer?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengungkap penafsiran dan makna ahl al-kitāb yang ditafsirkan
oleh ‘ulama klasik, pertengahan serta kontemporer.
2. Mengungkap pergeseran makna ahl al-kitāb mulai dari abad klasik,
pertengahan hingga kontemporer.
Kemudian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
kepada bidang akademik maupun sosial masyarakat. Kontribusi terhadap
akademis yang dimaksud adalah penelitian terhadap kata ahl al-kitāb ini
menjadi kontributor serta pengembangan makan ahl al-kitāb pada generasi
selanjutnya, serta menjadikannya sebagai referensi, perbandingan serta
tolak ukur untuk penelitian berikutnya, terlebih khusus kepada kajian yang
bertemakan ahl al-kitāb.
Sedangkan manfaat praktisnya, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan serta menambah khazanah bagi kajian terhadap makna ahl al-
kitāb di dalam al-Qur’an. Khususnya kepada jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
masyarakat muslim pada umumnya yang berminat serta menkaji tentang
problematika di atas.
D. Kajian Pustaka
Di dalam mengkaji perkembangan penafsiran terhadap term ahl al-kitāb,
penulis bukanlah orang pertama yang melakukan penelitian tersebut.
Sebelumnya telah banyak para scholar muslim yang melakukan penelitian,
baik di dalam artikel, jurnal ilmiah, makalah, skripsi, thesis, dan disertasi.
6
Oleh sebab itu, untuk melihat lebih jelas posisi penelitian serta
membedakannya dengan kajian yang sudah ada sebelumnya, maka berikut
dapat diterangkan beberapa kajian yang telah dilakukan oleh scholar
muslim yang berkenaan dengan pemahaman terhadap term ahl al-kitāb.
Muhammad Galib M telah menulis buku tentang masalah ini dengan
judul ahl al-kitāb: Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’an11. Sebelum
kemudian diterbitkan menjadi buku, karya ilmiah ini awalnya merupakan
hasil disertasi Muhammad Galib pada program Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di dalam bukunya ini
Muhammad Galib dimulai dengan menjelaskan tentang term-term yang
menunjuk tidak langsung kepada ahl al-kitāb, selain itu juga beliau
melakukan perbandingan antara ahl al-kitāb, kafir, dan musyrik.
Selanjutnya Muhammad Galib menjelaskan tentang sikap dan perilaku ahl
al-kitāb baik terhadap agamanya, sesamanya serta terhadap umat muslim.
Terakhir, ia menjelaskan tentang pandangan al-Qur’an terhadap ahl al-kitāb
serta sikap al-Qur’an terkait dengan interaksi sosial dengan ahl al-kitāb. Di
dalam karya nya ini, tampaknya Galib hanya terfokus terhadap makna ahl
al-kitāb serta bagaimana cara bersikap sosial terhadap ahl al-kitāb. Sedikit
sekali informasi yang berkaitan dengan penafsiran kata ahl al-kitāb yang
dicantumkan di dalam buku ini baik dari ‘ulama klasik sampai ke
kontemporer.
Kajian penafsiran term ahl al-kitāb juga dilakukan oleh Mahmud
Rifaanudin dengan judul Konsep ahl al-kitāb dalam Tafsîr al-Manār Karya
Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Ridha12. Sesuai dengan
judulnya, isi tesis ini berfokus kepada bagaimana Muhammad Abduh dan
11 Diterbitkan oleh IRCiSoD, Yogyakarta, pada tahun 2016. 12 Diterbitkan oleh Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel,
Surabaya, pada tahun 2018.
7
Rashid Ridha memiliki penafsiran tersendiri terhadap makna, konsep,
golongan, serta status ahl al-kitāb.
Sementara itu, Siti Robikah di dalam skripsinya Aplikasi Hermeneutika
Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Pemahaman Ahli Kitab dalam
Al-Qur’an13, fokus penelitian yang dilakukan oleh Siti Robikah adalah
aplikasi hermeneutika double movement yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman dalam rangka memahami makna ahl al-kitāb. Siti Robikah juga
mencoba merelevansikan aplikasi double movement tersebut terhadap
pemaknaan ahl al-kitāb dalam konteks keindonesiaan.
Selanjutnya, Lailatul Fitriani dalam skripsinya yang berjudul Otoritas
Ahl Al-Kitab dalam Perspektif M. Quraish Shihab14. Penelitian di dalam
skripsi ini dimulai dengan definisi, istilah, term, sikap dan interaksi sosial
kepada ahl al-kitāb. Berikutnya, Fitriani menjelaskan bagaimana penafsiran
ayat-ayat ahl al-kitāb yang dipahami oleh M. Quraish Shihab, terakhir ia
mencoba melakukan relevansi penafsiran M. Quraish Shihab tersebut
terhadap ahl al-kitāb pada konteks masa sekarang. Di dalam skripsi ini
sangat jelas Fitriani hanya terfokus kepada salah satu mufassir dan tidak
melakukan perbandingan penafsiran dengan ‘ulama sebelumnya.
Berikutnya yang berkaitan dengan penelitian ahl al-kitāb adalah
Mujiburrahman di dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Ahli Kitab dan
Konteks Politik di Indonesia15. Di dalam karya ilmiahnya tersebut, fokus
Mujiburrahman lebih kepada konteks hukum sosial Indonesia terhadap ahl
al-kitāb seperti pernikahan beda agama dan lain sebagainya, serta berbicara
tentang agama-agama yang diakui oleh Pancasila. Mujiburrahman tidak
13 Diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama Islam
(IAIN), Salatiga, pada tahun 2018. 14 Diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Ampel, Surabaya, pada tahun 2019. 15 Jurnal ini diterbitkan oleh AL-FIKR, Volume 20 Nomer 1 pada tahun 2016.
8
bersinggungan dengan pergeseran makna ahl al-kitāb dari masa ke masa,
akan tetapi ia mengutip pernyataan Nurcholis Madjid sebagai titik acuan
dalam menafsirkan term ahl al-kitāb.
Mohd Faizal Abdul Khir juga berbicara mengenai konsep ahl al-kitāb,
judul jurnal ilmiahnya adalah Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-
Shahrastānî16. Dengan judul yang sama, maka fokus penelitian Abdul Khir
disini adalah terkait dengan konsep ahl al-kitāb yang dikemukakan oleh Ibn
Hizam dan al-Shasrastānî. Pemilihan terhadap dua tokoh ini juga dijelaskan
dengan rinci, bahwa kedua tokoh ini diteliti karena memiliki pemahaman
serta kredibilitas mereka di dalam bidang agama.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Andi Eka Putra dalam jurnalnya
dengan judul Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an menurut Penafsiran
Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid (Sebuah Telaah
Perbandingan)17. Sama seperti yang dilakukan oleh Mohd Faizal Abdul
Khir di atas, melakukan penafsiran menggunakan dua mufassir. Bedanya,
kajian yang dilakukan oleh Andi Eka Putra melakukan telaah perbandingan
(studi komparasi) atas dua mufassir di atas.
Sejauh ini, dalam lingkup pengetahuan penulis, sudah banyak kajian
yang menjelaskan terkait term ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an. Akan tetapi,
kajian-kajian yang sudah ada ini, masih banyak didominasi terkait hukum,
sosial-masyarakat, perilaku dan sikap, serta hal lainnya.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan di dalam menyelesaikan skripsi
ini dilakukan dalam tiga langkah, yaitu: (1) Pendekatan Penelitian, (2)
Metode Pembahasan, (3) Metode Penulisan.
16 Jurnal ini diterbitkan oleh Ushuluddin, pada bulan Januari-Juni, pada tahun 2011. 17 Jurnal ini diterbitkan oleh Al-Dzikra, Volume X No. 1 pada bulan Januari-Juni,
pada tahun 2016.
9
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan pendekatan adalah
metode kepustakaan (library research), yang merupakan literatur-literatur
terkait penafsiran ahl al-kitab dari mufassir klasik hingga kontemporer.
Dalam hal ini, penulis merujuk kepada dua sumber, yakni sumber utama
(primary resource), yakni berupa kitab suci al-Qur’an dan kitab hadis, serta
kitab-kitab tafsir dari masa klasik hingga kontemporer. Sedangkan sumber
kedua atau biasa disebut dengan sumber pendukung (secondary resource)
adalah buku-buku, media cetak, jurnal ilmiah yang berbicara dan
bertemakan tentang ahl al-kitāb serta sumber informasi lainnya.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang digunakan di dalam penulisan penelitian ini
adalah deskriptif-analisis (descriptive analysis). Pendekatan deskriptif-
analisis diharapkan dapat menjelaskan secara jelas dan terperinci serta
objektif apa yang terkait dan apa yang dimaksud oleh teks dengan cara
membahasakannya dengan bahasa penulis. Metode ini bertujuan untuk
memahami makna ahl al-kitāb secara luas.
3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan di dalam menyelesaikan skripsi ini
mengacu kepada buku Pedoman Akademik tahun 2013/2014 yang
dikeluarkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran serta pemahaman yang terstruktur dan
sistematis terhadap isi dari penelitian ini, maka pembahasan di dalam
skripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika penulisan sebagai
berikut:
10
Bab pertama berisikan pendahuluan yang menjelaskan serta
menguraikan pemikiran di dalam latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian serta
sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan rumusan awal terkait
hasil dari laporan hasil penelitian ini.
Bab kedua berisikan tentang landasan pertama yang memetakan serta
mendeskripsikan tentang pengertian tafsir, sejarah penafsiran al-Qur’an,
hingga sampai kepada ragam metode tafsir. Bab ini penting untuk
dijelaskan, karena terdapat metode penafsiran yang akan menjelaskan
tentang metode tafsir maudhu’ī yang sangat berkaitan dengan hasil
penelitian dari skripsi ini.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan ke bab ketiga yang menjelaskan
tentang ahl al-kitāb secara umum dimulai dari menggambarkan definisi ahl
al-kitāb, polemik dan status ahl al-kitāb antara kafir atau musyrik, serta
interaksi sosial dengan ahl al-kitāb. Bab ketiga ini diharapkan mampu
menjawab persoalan terkait dengan pengertian ahl al-kitāb sampai kepada
perbedaannya dengan term serupa di dalam al-Qur’an.
Bab keempat berisi tentang kerangka penafsiran para ‘ulama klasik,
pertengahan hingga modern/kontemporer terhadap makna ahl al-kitāb.
Kajian di bab ini diawali dengan menjelaskan sejarah perkembangan
penafsiran secara singkat, lalu kemudian mengklasifikasikan penafsiran
kata ahl al-kitāb itu mulai dari ‘ulama klasik, pertengahan hingga
kontemporer. Bahkan hingga penafsiran ‘ulama Nusantara terhadap term
ahl al-kitāb.
Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan diperlukan sebagai jawaban atas masalah pokok yang diajukan.
Sedangkan saran ditulis sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
11
BAB II
URGENSI SERTA SEJARAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Definisi Tafsir serta Urgensinya
Secara bahasa (etomologi), kata tafsīr diperoleh dari kata fassara-
yufassiru-tafsīrān yang biasa diartikan sebagai keterangan atau uraian.1
Sedangkan pengertian tafsir biasa diartikan sebaga menyingkap (al-kasyaf)
dan menjelaskan (al-bayān).2 Kata tafsir sendiri disebutkan di dalam surat
al-Furqān ayat 33:
نك بمٱلق م وأحس ئ ثل إملا جم تونك بميرا ول ي ٣٣ن ت فسم
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya.”
Sedangkan secara istilah (terminologi), seperti yang didefinisikan oleh
al-Zarkasyī, Al-Aṣbahānī, ataupun Abū Hayyān yaitu ilmu yang membahas
terkait cara pengucapan lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk yang ada di
dalamnya, hukum-hukum baik yang berdiri sendiri ataupun yang tersusun,
makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.3
Menurut Lisan al-Arab, tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud
yang sulit dari suatu lafal atau biasa yang disebut kasyf al-mugaththa
(membuka sesuatu yang tertutup). Selain itu, para ‘ulama tafsir juga banyak
yang mencoba mendefinisikan terkait tafsir, diantaranya adalah Tengku
Muhammad Hasbi al-Shiddieqy yang menjelaskan bahwa tafsir merupakan
1 Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 209. 2 Baca Khalid Ibn Utsmān, Qawā’id al-Tafsīr, Vol. 1 (Dār Ibn ‘Affān: t.tth, 1421
H), 25. 3 Manna’ Khalil al-Qaththān, Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2, terj. Halimudin
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), h. 164. Baca juga Muhammad ibn ‘Abdillāh al-Zarkasyī,
al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Jilid. 1 (Dār al-Ma’rifah: Beirut, t.th), h. 13; Jalaluddīn al-
Suyūthī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an, Jilid 2 (Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 382.
12
suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang keadaan-keadaan al-Qur’an
dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat
disanggupi manusia.4
Selain itu, menurut Alī Hasan al-‘Arid, tafsir dimaknai sebagai ilmu
yang membahas tentang cara mengucapkan lafadz al-Qur’an, makna-makna
yang ditunjukkan serta hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
ataupun tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam
keadaan tersusun.5 Definisi tafsir yang dikemukakan oleh Alī Ḥasan al-
‘Ariḍ hampir mirip dengan definisi secara terminologi.
Sedangkan al-Kilby di dalam kitabnya mendefinisikan tafsir syarh
terhadap al-Qur’an, menerangkan maknanya serta menjelaskan apa yang
dikehendaki dengan nash-nya atau dengan isyarat, ataupun dengan
tujuannya.6 Ibn Qayyim al-Jauzi juga menjelaskan bahwa ilmu tafsir adalah
ilmu yang digunakan di dalam menerangkan lafadz atau kata yang kurang
dan tidak jelas agar menjadi jelas.7
Urgensi dari ilmu tafsir ataupun penafsiran al-Qur’an ini sangatlah
penting karena tiga alasan, yaitu:
1. Al-Qur’an diturunkan dalam keadaan yang sangat sempurna,
ringkas dan padat, mengandung semua ilmu pengetahuan baik pengetahuan
agama maupun umum.
2. Adanya kata atau kalimat yang dibuang, karena al-Qur’an
diturunkan dengan kalam yang baligh dan mujmal.
4 Muhammad Hasbi Al-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 2002), 208. 5 Alī Ḥasan al-Ariḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Arkoun (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 3. 6 Manshuri Sirojuddin I dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa,
2005), 87. 7 Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Zādul Masīr fī ‘Ilmi al-Tafsīr (Beirut: Maktab al-Islāmi,
1987), 56.
13
3. Adanya kata atau kalimat yang mengandung majaz, isytirak dan
dilalah iltizam.8
Selain itu, di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang muhkam
(terang dan jelas artinya) serta ayat mutasyabihat (kurang jelas arti dan
maknanya). Oleh sebab itu, urgensi terhadap penafsiran dirasa perlu agar
mendapatkan pemahaman mendalam terhadap ayat yang dimaksud serta
menjawab persoalan zaman yang semakin berkembang.
B. Sejarah Penafsiran al-Qur’an
Untuk memahami isi kandungan yang terdapat di dalam al-Qur’an secara
benar dan tepat, sejarah tentang turunnya al-Qur’an (ilmu asbāb al-nuzūl)
sebagai sesuatu yang penting bagi setiap orang yang ingin mengkaji serta
memahaminya. Al-Qur’an itu sendiri diturunkan dalam dua periode,
pertama; periode Mekkah yaitu pada saat Nabi Muhammad Saw.,
bermukim di Mekkah (610-622 M) sampai pada saat Nabi melakukan
hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode ini, dijelaskan oleh para ‘ulama
tafsir disebut ayat-ayat Makkiyah.9 Kedua, merupakan periode Madinah,
yakni masa dimana Nabi hijrah ke Madinah (622-632 M), ayat-ayat yang
turun di fase ini dinamakan dengan ayat-ayat Madaniyyah.
Karena sejarah turunnya al-Qur’an terbagi menjadi dua periode, tentu hal
ini sangat memudahkan untuk para pengkaji al-Qur’an agar dapat
memahami secara utuh dan jelas petunjuk serta tujuan-tujuan pokok dalam
al-Qur’an. Tercatat bahwa pada masa awal al-Qur’an turun (baik ayat-ayat
Makiyyah maupun Madaniyyah), Nabi Saw., merupakan mubayyin
(pemberi penjelasan), serta menerangkan kepada para sahabatnya tentang
maksud, arti serta kandungan dari isi al-Qur’an tersebut, khususnya
8 Mochammad Asrukin, “Tafsir Al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Pustaka”, t.th, 4. 9 Abdul Rouf, “Al-Qur’an dalam Sejarah (Diskursus Seputar Sejarah Penafsiran al-
Qur’an)”, Jurnal Mumtaz, Vol. 1 No. 1, Tahun 2017, 5.
14
terhadap ayat-ayat yang sulit untuk dipahami. Hal itu, sebagaimana yang
termaktub di dalam firman Allah surat al-Nahl ayat 44:
م ولعلا أنزلنا إمليك ٱلذ مكر لم بمٱلب ي منتم وٱلزبرم و لملنااسم ما ن ز مل إمليهم ٤٤هم ي ت فكارون ت ب ي م“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Namun setelah Nabi Muhammad Saw., wafat, para sahabat banyak
dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang kompleks. Sehingga, pada
masa itu, para sahabat harus memecahkan permasalahan tersebut secara
mandiri. Maka, ijtihad dan penafsiran menjadi sebuah alternatif.10
Sejarah penafsiran al-Qur’an dimulai dari metode menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadis Nabi, atau pendapat para sahabat maupun tabi’īn.
Penafsiran ini berkembang sangat cepat, sehingga disadari atau tidak
bercampurlah antara hadis dan isra’iliyyāt. Selain itu, para sahabat di dalam
menghimpun data, banyak bertanya terkait sejarah Nabi-Nabi dan kisah-
kisah yang tercantum dalam al-Qur’an kepada ahli kitab yang memeluk
agama Islam seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar, hal inilah yang
mencetus lahirnya isra’iliyyāt.11
Kebutuhan akan penafsiran sejatinya mengandung banyak manfaat
dalam mengungkap makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. petunjuk
yang berada di dalam al-Qur’an menjamin kebahagiaan manusia di dunia
sehingga sangat penting mengingat redaksinya yang sangat beragam. Oleh
sebab itu, penting sekali penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada
seseorang atau satu generasi saja. Karena ayat al-Qur’an yang selalu terbuka
untuk diinterpretasikan dan tidak pernah tertutup dalam interpretasi tunggal.
10 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir
dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Jurnal Hermeneutik, Vol. 8 No. 2,
Desember 2014, 209. 11 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik”.
15
Maka, keberagaman interpretasi ini sesuai dan sangat cocok dengan
penafsiran ayat al-Qur’an.12
Realitas sejarah membuktikan bahwa interpretasi khususnya para ‘ulama
dan umumnya umat Islam terhadap kitab sucinya (al-Qur’an) terus
mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman dan
tekhnologi. Jika dilihat sedikit ke belakang, maka adanya perkembangan
penafsiran dari masa klasik hingga kontemporer ini tidak terlepas dari akar
sejarah dimana al-Qur’an yang dipahami oleh generasi Islam awal. Al-
Qur’an dengan corak tafsīr bi al-ma’tsūr inilah yang menjadi landasan awal
munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.
C. Metodologi Tafsir
Secara etimologi kata Metode berasal dari bahasa Yunani yakni
methodos, kata ini terdiri dari meta yang diartikan menuju, melalui,
mengikuti, sesudah; serta kata modos, yang diartikan sebagai jalan,
perjalanan, cara dan arah. Di dalam bahasa Inggris, kata methods sendiri
diartikan sebagai penelitian, metode ilmiah, hipotesa atau uraian ilmiah.13
Di dalam bahasa Arab, Metode diterjemahkan dengan istilah manhaj dan
thariqah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata tersebut berarti sebagai
cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud dan tujuan
atau juga diartikan sebagai sistem cara kerja agar memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang disepakati.14
Kaitannya dengan studi al-Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan
sebagai cara yang teratur, serta terpikir baik-baik dalam rangka mencapai
pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan
12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 16. 13 Supriana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), 302. 14 Nasaruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 54.
16
metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode
menafsirkan al-Qur’an.15 Secara garis besar, metode penafsiran al-Qur’an
dibagi ke dalam empat model metode:
1. Metode Tafsir Ijmālī (Global)
Metode ini merupakan metode dalam menjelaskan ayat al-Qur’an secara
ringkas akan tetapi mencakup bahasa yang populer, mudah dipahami, dan
enak untuk dibaca, serta sistematika penulisan yang mengikuti susunan ayat
di dalam mushaf.16 Secara etimologi metode tafsir ijmālī ini berarti global
atau juga biasa disebut menyeluruh, sehingga dapat didefinisikan bahwa
tafsir ijmālī adalah tafsir ayat al-Qur’an yang dijelaskan masih bersifat
global. Sedangkan menurut al-Farmawi, tafsir ijmālī adalah penafsiran al-
Qur’an berdasarkan urutan ayat dengan suatu urutan yang ringkas dan
dengan bahasa sederhana sehingga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan
baik awam maupun intelek.17
Di dalam metode ini, mufassir juga memasukkan asbāb al-nuzūl ke
dalam penafsiran atau peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat serta
menggunakan hadis ataupun riwayat yang terkait.18 Metode tafsir ini
memiliki beberapa kelebihan serta kekurangannya. Berikut kelebihan
metode tafsir ijmālī: 1). Praktis dan mudah dipahami; 2). Bebas dari
penafsiran isra’illiyāt; 3). Akrab dengan bahasa al-Qur’an. Sedangkan
kekurangannya yaitu: 1). Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial
15 Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an..., 57. 16 Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an..., 13. 17 Abū al-Hayy al-Farmawī, al-Bidayāh fī ‘ala Tafsīr al-maudhū’i (Mesir:
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25. 18 M. Quraish Shihab, dll, Sejarah dan Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013), 173-174.
17
dan tidak utuh, 2). Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang
memadai.19
Berikut contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ijmālī
(global), antara lain: Tafsīr al-Jalālain, al-Tafsīr al-Mukhtashar, Shafwah
al-Bayān li Ma’ani al-Qur’ān, Tafsīr al-Qur’ān, al-Tafsīr al-Wasith.
2. Metode Tafsir Tahlīlī (Analitik)
Metode tafsir ini juga biasa disebut dengan metode analisis, yaitu suatu
metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an
dengan berbagai seginya, urutan ayat dan surat di dalam al-Qur’an mushaf
Ustmani dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya,
hubungan ayat satu dengan yang lainnya, asbāb al-nuzūl, hadis-hadis Nabi
Saw., yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan tersebut, serta pendapat
para sahabat dan ‘ulama lainnya.20
Di dalam melakukan penafsiran menggunakan metode ini, mufassir
fokus kepada semua aspek yang terkandung pada ayat yang ditafsirkannya,
dengan tujuan agar menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian
ayat.21
Metode ini biasanya banyak digunakan oleh ‘ulama periode klasik dan
pertengahan. Contoh kitab yang menggunakan metode tahlīlī ini
diantaranya adalah al-Jāmi’ li al-Ahkām al-Qur’ān, Jāmi’ al-Bayān ‘an
Takwīl Ayyi al-Qur’ān, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm, Al-Mīzān fī Tafsīr al-
Qur’ān.22
19 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”, Jurnal al-Afkar, Vol. 3 No. 1, Januari 2019, 250. 20 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), 94. 21 Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2013), 173. 22 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 380.
18
3. Metode Tafsir Muqāran (Perbandingan atau Komparatif)
Secara etimologis kata muqāran merupakan bentuk ism al-fa’il dari kata
qarana, yang maknanya adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapat
dipahami bahwa tafsir muqāran berarti tafsir perbandingan. Sedangkan dari
sisi terminologis tafsir muqāran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-
Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat
dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pendapat antara ‘ulama tafsir dengan
menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang
dibandingkan.23
Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa metode muqāran ini
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu; 1). Perbandingan ayat al-Qur’an
dengan ayat yang lain; 2). Perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis; 3).
Perbandingan penafsiran antara mufassir satu dengan yang lainnya; 4).
Perbandingan teks al-Qur’an dengan teks-teks kitab samawi lainnya.
Sama dengan metode penafsiran yang lainnya, metode muqāran ini juga
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu, a). Memberikan
wawasan yang luas; b). Membuka diri untuk bersikap toleran; c). Dapat
mengetahui berbagai penafsiran; d). Membuat mufassir lebih berhati-hati.
Sedangkan kekurangannya yaitu, a). Tidak cocok untuk pembaca awam; b).
Kurang tepat di dalam memecahkan masalah kontemporer, c).
Menimbulkan kesan pengulangan pendapat mufassir.24
Contoh kitab tafsir yang lahir menggunakan metode ini diantaranya
adalah Durrat al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl, Al-Burhān fī Tajwih
Mutasyabih al-Qur’ān.25
23 al-Farmawī, al-Bidayāh fī ‘ala Tafsīr al-maudhū’i..., 45. 24 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”..., 251. 25 Amin Suma, Ulumul Qur’an..., 390.
19
4. Metode Tafsir Maudhū’i (Tematik)
Kata Maudhū’i ini dinisbahkan kepada kata al-mawdhū’i yang artinya
adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara
semantik. Jadi tafsir maudhū’i adalah tafsir ayat al-Qur’an yang
berdasarkan kepada tema atau topik tertentu. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, lalu dikaji secara mendalam serta tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata dan lain sebagainya.26
Tafsir ayat al-Qur’an menggunakan metode ini memiliki dua bentuk.
Pertama, menafsirkan satu surat dalam al-Qur’an secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta
menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan yang utuh. Kedua, menafsirkan dengan cara
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat dan surat al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-
ayat tersebut untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara utuh dan
menyeluruh dari masalah yang dibahas.27
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini, ada beberapa
langkah yang harus dilewati oleh para mufassir, diantaranya yaitu: a).
Menghimpun ayat-ayat yang terkait dengan judul, sesuai dengan kronologi
urutan turunnya ayat tersebut. Langkah ini diperlukan guna mengetahui
kemungkinan adanya ayat al-Qur’an yang mansukh; b). Menelusuri latar
belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah dihimpun; c). Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
26 al-Farmawī, al-Bidayāh fī ‘ala Tafsīr al-maudhū’i..., 52. 27 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”..., 252.
20
terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan; d). Mengkaji
pemahaman ayat-ayat dari penafsiran berbagai aliran, para mufassir, baik
klasik maupun kontemporer; e). Mengkaji semua ayat secara tuntas dan
seksama menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah tafsir serta
didukung oleh fakta-fakta sejarah.28
Adapun kelebihan metode ini adalah dapat menjawab semua persoalan
masyarakat sesuai dengan kondisinya, praktis dan sistematis, sangat
dinamis serta menafsirkan ayat al-Qur’an dengan lebih utuh. Sedangkan
kekurangannya adalah memenggal ayat al-Qur’an serta membatasi
pemahaman ayat.29 Contoh kitab tafsir yang lahir dari metode ini
diantaranya adalah Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Nahwa Tafsīr al-Maudhū’i
li Suwar al-Qur’ān al-Karīm, al-Futūhāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr al-
Maudhū’i li al-āyāt al-Qur’āniyyah.30
28 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”. 29 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”. 30 Amin Suma, Ulumul Qur’an..., 394.
21
BAB III
AHL AL-KITĀB DALAM WAWASAN AL-QUR’AN
A. Definisi Ahl al-kitāb
Untuk mendapatkan definisi yang jelas mengenai ahl al-kitāb dan
pengungkapannya menurut wawasan al-Qur’an, perlu dijelaskan secara
epistimologi kata dari ahl al-kitāb tersebut. Ahl al-kitāb terdiri dari dua suku
kata, yaitu ahl dan Kitāb. Kata ahl itu sendiri sudah terserap ke dalam
bahasa Indonesia yang bermakna beberapa pengertian, yakni: 1). Orang
yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu (pengetahuan); 2). Kaum,
keluarga, sanak-saudara serta orang-orang di dalam suatu golongan.1
Ahl di dalam bahasa Arab terdiri atas huruf alif, hā dan lā m yang secara
literal mengandung pengertian ramah, senang, atau suka.2 Kata ini juga bisa
diartikan sebagai orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu.3
Kata Ahl kemudian digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang
memiliki hubungan yang sangat dekat. Contohnya adalah ahl al-Rajul, yaitu
orang yang mempersatukan mereka, baik karena ada hubungan nasab,
agama, serta hal-hal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis, serta
komunitas.4 Bahkan, kata ahl juga digunakan menunjuk hubungan yang
didasarkan atas ikatan agama, seperti ungkapan ahl al-Islām untuk
menunjuk penganut agama Islam.
1 Baca Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 11. 2 Louis Ma’lūf, Al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lā m (Dār al-Syurūq, 1986), 20. 3 G. Vadjda, “Ahl al-Kitab”, dalam Ensiklopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1960),
257. 4 Untuk penjelasan yang lebih rinci, baca Ibrahīm al-Abyā rī, Al-Maw’ūsah al-
Qur’āniyah (Kairo: Mu’assasah Sijl al-Arab, 1984), 32.
22
Kata ahl yang terdapat di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 125
kali.5 Kata ahl tersebut penggunaannya ditemukan sangat bervariasi.
Misalnya kata ahl yang menunjuk kepada suatu kelompok tertentu, seperti
ahl al-bayt (QS. Al-Aḥzā b [33]: 33), selain itu menunjuk kepada suatu
penduduk (QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 45, menunjuk kepada keluarga (QS. Hūd
[11]: 40), serta menunjuk kepada pemilik ajaran tertentu (QS. Al-Baqarah
[2]: 105).6
Sedangkan kata al-Kitāb berarti menghimpun sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Menurut istilah kata al-kitāb diartikan sebagai tulisan, karena
tulisan itu sendiri rangkaian dari beberapa huruf. Termaksud juga firman
Allah yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya disebut al-kitāb karena
ia merupakan himpunan dari beberapa lafadz.7
Kata al-kitāb di dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 319 kali, dengan
pengertian yang bervariasi, yaitu tulisan, kitab, ketentuan serta kewajiban.8
Dengan demikian, ahl al-kitāb bisa diartikan kepada suatu kominitas atau
kelompok pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan oleh
Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya.
B. Posisi Ahl al-kitāb: Antara Kafir dan Musyrik
Pembahasan mengenai kata ahl al-kitāb memang tidak akan pernah habis
untuk diperdebatkan, salah satunya mengenai posisi ahl al-kitāb ini sendiri.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang keimanan
sebagian ahl al-kitāb ini kepada Allah, seperti yang dijelaskan dalam surat
Ali Imrān ayat 199.
5 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bā qī, Al-Mu’jam Mufahras li Alfādz al-Qur’ān al-
Karīm (Beirut: Dā r al-Fikr, 1987), 95-97. 6 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb: Makna dan Cakupannya dalam Al-Qur’an
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 41. 7 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb..., 42. 8 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb.
23
شعين لل ل وإن من أهل ٱلكتب لمن ي ؤمن بٱلل وما أنزل إل يكم وما أنزل إليهم خ سريع ٱلساب ن ايت ٱلل ث رون ب يشت أولئك لم أجرهم عند ربم إن ٱلل ١٩٩ا قليلا
“Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan
kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak
menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya.”
Ada pula yang mendustainya, seperti yang digambarkan di dalam surat
al-Mā ’idah ayat 68.
نجيل وما أنزل إليكم م هل ٱلكتب لستم على شيء حت تقيموا ٱلت ورىة وٱل بكم ن ر قل يهم ما أنزل إليك من ربك وليزيدن كثي ن فرين ر وكف ا ن طغي ا م س على ٱلقوم ٱلك
ا فل ت
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun
hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan
kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih
hati terhadap orang-orang yang kafir itu”.
Uraian terkait kaitan antara ahl al-kitāb dalam posisi dan status apakah
mereka kafir atau musyrik menjadi perlu untuk dibahas. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kedudukan komunitas
tersebut, terutama dalam pandangan ‘ulama-ulama Islam.
Jika kita telusuri, mayoritas ‘ulama berpendapat bahwa ahl al-kitāb
termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir. Seperti yang telah
diinfokan oleh al-Qur’an, seperti yang digambarkan dalam surat al-
Bayyinah [98]: 1.
تي هم ٱلب ينة ل يك ١ن ٱلذين كفروا من أهل ٱلكتب وٱلمشركين منفكين حت ت
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata.”
Selain argumentasi al-Qur’an di atas, batasan dan pengertian juga
diberikan secara umum oleh para ‘ulama. Bahwa ahl al-kitāb adalah orang-
24
orang yang mengingkari dan menolak kenabian Muhammad Saw., dan
ajaran-ajaran yang dibawanya.9 Hal senada juga diungkapkan oleh al-
Ghazali yang menyatakan bahwa kekafiran terlihat di dalam keyakinan ahl
al-kitāb karena terdapat sikap mendustakan Nabi Muhammad Saw. tentang
hal yang disampaikannya. Menurut al-Ghazali, orang Yahudi dan Nasrani
adalah kafir karena mendustakan Nabi Saw.10
Selain kata kafir yang melekat kepada ahl al-kitāb, Perdebatan mengenai
mereka termasuk ke dalam kelompok musyrik juga terjadi. Karena di dalam
posisi ini, ada perbedaan yang mendalam antara kafir dan musyrik. Al-
Thabathaba’i mengatakan, term syirik terbagi ke dalam dua jenis, yaitu:
syirikzahir dan syirik khafi. Pembagian term syirik ini berdasarkan kepada
tingkat kejelasan terhadap perilaku syirik itu sendiri.11
Syirik zhahir adalah mereka yang menganggap Tuhan itu berbilang,
menjadikan patung dan berhala sebagai sesembahan, sedangkan syirik khafi
adalah perilaku ahl al-kitāb yang mengingkari kenabian, terutama karena
menganggap Isa al-Masih sebagai anak Tuhan.12
Berhubung al-Qur’an sendiri tidak mengungkapkan secara jelas tentang
kemusyrikan ahl al-kitāb, maka wajar para ‘ulama berselisih pendapat
tentang posisi ahl al-kitāb sebagai kelompok musyrik atau tidak. Sebagian
‘ulama ada yang berpendapat mereka musyrik, tetapi mayoritas ‘ulama
mengatakan bahwa kata musyrik mencakup juga orang-orang kafir dari
kalangan ahl al-kitāb. Pendapat yang terakhir dipahami oleh Fahr al-Dīn al-
9 Nasrullah, “Ahli Kitab dalam Perdebatan: Kajian Survei Beberapa Literaratur
Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Syahadah, Volume III, No. 2, Oktober 2015, 74. 10 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
162. 11 Muhammad Ḥusein al-Thabathaba’i, al-Mīzā n fī Tafsīr al-Qur’ā n (Beirut:
Muassasah al-‘Alami li al-Matbbu’ā h, 1983), Jilid II, 202. 12 Muhammad Ḥusein al-Thabathaba’i, al-Mīzā n fī Tafsīr al-Qur’ā n.
25
Rā zī, bahwa kata musyrik mencakup juga orang-orang kafir dari kalangan
ahl al-kitāb.13
Argumentasi al-Rāzī tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam
surat al-Taubah [9]: 30-31. Berbeda dengan al-Rā zī yang menyatakan
bahwa ahl al-kitāb termasuk ke dalam kelompok kafir dan musyrik, Rasyīd
Ridhā menilai hal sebaliknya. Menurutnya, pengertian musyrik yang paling
jelas di dalam al-Qur’an adalah orang-orang musyrik Arab yang tidak
memiliki kitab suci atau “semacam” kitab suci (shibh). Oleh karena itu,
mereka disebut dengan “ummiyyun”, yakni orang-orang yang belum pernah
mengenal kitab suci yang berasal dari Allah.14
Pendapat Rasyīd Ridhā ini didasarkan kepada fiirman Allah seperti surat
al-Baqarah [2]: 105; al-Bayyinah [98]: 1; al-Ḥajj [22]:17; yang
menyebutkan bahwa istilah al-musyrikūn berdampingan dengan ahl al-
kitāb atau kelompok Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shā bi’īn. Argumentasi
al-Qur’an di dalam surat al-Taubah [9]: 31 menyatakan bahwa kaum ahl al-
kitāb memiliki sifat kemusyrikan karena menjadikan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan, menurut Rasyīd Ridhā hal ini tidak menjadikan ahl al-kitāb
sebagai kelompok musyrik.15
Selain Rasyīd Ridhā , Sayyid Quṭb juga memberikan pendapat bahwa
ahl al-kitāb dari kalangan Yahudi dan Nasrani merupakan orang-orang
musyrik. Menurutnya, orang–orang Yahudi dan Nasrani hampir sama
dengan orang musyrik Arab yang mempercayai mitos-mitos serta
menganggap Allah memiliki anak. Menurut Sayyid Quṭb, orang musyrik
Arab pada awalnya sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
menganggap dan menjadikan malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah,
13 Fahr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr, 1985), Jilid IV, 59. 14 Muhammad Rasyīd Ridhā , Tafsīr al-Manā r (Kairo: Dār al-Manār, 1947), Jilid
II, 349. 15 Rasyīd Ridhā , Tafsīr al-Manār.
26
serta membuat patung-patung untuk disembah dan diberi nama-nama
seperti latta, uzza dan manat, dengan tujuan agar lebih mendekatkan diri
kepada Allah.16
Demikianlah penjelasan terkait status ahl al-kitāb menurut para ‘ulama.
Dari uraian di atas dapat dicermati bahwa secara garis besar pendapat para
‘ulama terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, pendapat yang
menyatakan bahwa ahl al-kitāb masuk ke dalam kelompok kafir dan
musyrik. Kedua, pendapat yang menganggap bahwa ahl al-kitāb tidak
termasuk ke dalam kelompok kafir dan musyrik.
C. Interaksi Sosial kepada Ahl al-kitāb
Di dalam interaksi sosial, agama Islam tidak pernah
mendeskriminalisasikan seseorang ataupun kelompok karena agamanya.
Hal ini dijelaskan di dalam al-Qur’an surat Mumtahanah ayat 8-9.
تلوكم ف هىكم ٱلل عن ٱلذين ل ي ق رجو ل ي ن ن ت ب روهم وت قسطوا كم من ديركم أ ٱلدين ول يا ي ن ٨إليهم إن ٱلل يب ٱلمقسطين ت لوكم ف إن عن ٱلذين ق ن هىكم ٱلل ٱلدين وأخرجوكم م
م فأولئك هم ٱلظل م ديركم وظهروا على إخراجكم أن ت ولوه ٩مون ومن ي ت ول“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil [9]. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Ayat di atas, bisa dipahami bahwa al-Qur’an tidak menjadikan
perbedaan latar belakang agama sebagai alasan untuk tidak berinteraksi
sosial, menjalin hubungan kerja sama, apalagi sampai mengambil sikap
16 Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Zhilal al-Qur’ān (Dār al-‘Arabiyah, t.tt), Jilid V, 209.
27
tidak bersahabat.17 Ini artinya, Islam tidak menjadikan perbedaan agama
sebagai alasan untuk tidak menjalin interaksi sosial. Namun, pembahasan
mengenai interaksi sosial dengan ahl al-kitāb perlu diuraikan, karena
terdapat ketentuan khusus dari al-Qur’an.
Begitupun di dalam bermuamalah, kaum Muslimin tidak dilarang untuk
bertransaksi dengan ahl al-kitāb selama tidak masuk ke dalam konsep riba
dan barang yang diperjual belikan bukanlah barang-barang haram. Di dalam
fiqh muamalah seperti jual beli, ada tiga syarat yang harus terpenuhi agar
aspek jual beli terlaksanakan, yaitu penjual dan pembeli, mabi’ dan tsaman
serta akad ijab qabul.18 Maka demikian, penjual dan pembeli itu tidak harus
sama-sama Muslim.
Begitupun dalam hal pinjam meminjam, tidak terdapat ketentuan yang
mengharuskan sama-sama Muslim. Karena di dalam syarat untuk pihak
yang meminjamkan adalah orang yang perkataannya diakui secara syar’i,
yakni orang baligh dan berakal. Serta tidak sah pinjam meminjam bagi anak
kecil dan orang gila.19 Selain masalah mualamah di atas, ada hal penting
yang membahas hubungan ahl al-kitāb dengan kaum Muslimin yang
bersinggungan dengan akidah. Pertama, berkaitan dengan menikahi
perempuan-perempuan ahl al-kitāb. Kedua, Hukum memakan sembelihan
ahl al-kitāb.
17 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb..., 255. 18 Khatib al-Sharbini, al-Iqnā fī Ḥal Alfāzd Abī Shujā’, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 2004), Jilid 2, 11. 19 Utsmān bin Aḥmad al-Najdi, Hidāyat al-Rāghib li Sharh ‘Umdat al-Thālib
(Beirut: Muasassah al-Risālah, 2007), 424.
28
29
BAB IV
AHL AL-KITĀB DALAM PANDANGAN ‘ULAMA KLASIK
HINGGA KONTEMPORER
A. Sejarah Perkembangan Tafsir
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan kalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah
dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
kontemporer sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi
menjadi beberapa periode, yaitu:
1. Tafsir pada Masa Nabi Saw dan Sahabat
Pada masa ini, belum terdapat penafsiran secara tertulis dan secara
umum penafsiran ketika itu tersebar secara lisan. Sebagai seorang rasul,
Nabi Muhammad berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan)
terhadap wahyu yang diturunkan Allah melalui Jibril kepadanya. Beliau
menjelaskan kepada para sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur’an,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami.1
Setelah Nabi wafat, para sahabat berada di dalam masalah yang berbeda
pada saat Nabi Saw., masih hidup, sehingga membutuhkan penafsiran baru
agar dapat menjawab persoalan masalah tersebut.
Al-Shābuni menerangkan bahwa para sahabat pada dasarnya telah
memahami al-Qur’an baik dari mufradat maupun tarkibnya. Hal ini didasari
atas pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab sebagai bahasa inti al-
Qur’an.2 Penafsiran para sahabat terhadap al-Qur’an hanya merujuk pada
1 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), 71. 2 Muhammad Alī al-Shābuni, al-Tibyān fī Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kuttub
al-Ilmiyah, 1997), 339.
30
inti kandungan al-Qur’an. Mereka adalah orang yang mengetahui secara
langsung bagaimana al-Qur’an diturunkan, sebab apa al-Qur’an serta
peristiwa apa yang melatarbelakangi al-Qur’an diturunkan.
Metode penafsiran pada metode ini yang umum digunakan adalah, 1).
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya; 2).
Bertendensi pada uraian Rasulullah Saw. (hadis); 3). Apabila para sahabat
tidak menemukan penjelasan ayat al-Qur’an dan hadis oleh sebab itu
sahabat melakukan ijtihad.3
2. Tafsir pada Masa Tabi’īn
Pada periode ini, menurut al-Shabuni menyebut bahwa pada masa tabi’īn
jumlah mufassir sangatlah banyak, lebih banyak dari pada masa sahabat.
Munculnya para mufassir dikalangan tabi’īn erat kaitannya dengan
berakhirnya periode sahabat yang menjadi guru-guru para tabi’īn. Mufassir
dikalangan tabi’īn banyak yang menyebar ke berbagai daerah kekuasaan
Islam serta menjadi guru tafsir di daerah mereka.4
Beberapa ‘ulama mengatakan bahwa periode ini bersamaan dengan
usaha khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azīz (w. 101 H) dalam melakukan
pengkodifikasian hadis. Manna al-Qaththān menjelaskan perkembangan
tafsir pada masa ini lebih berkembang pesat daripada masa sahabat.
Munculnya aliran penafsiran, penafsiran yang mengutip isrā’iliyyat
merupakan bagian dari perkembangan terhadap penafsiran.5
Sedangkan ciri-ciri yang terdapat pada penafsiran pada periode ini
adalah, 1). Banyak tafsir yang di dalamnya terdapat isrā’iliyyat dan
3 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir
dari Abad Pertama sampai Abad Ketiga Hijriyah, Jurnal Hermeneutik, Vol. 8 No. 2,
Desember 2014, 215. 4 Muhammad Alī al-Shābuni, al-Tibyān fī Ulūm al-Qur’ān..., 341. 5 Manna’ Khalil al-Qaththān, Mabāhis fī Ulūm al-Qur’ān (Riyādh: Mansyurāt al-
Asr al-Hadīs, 1994), 234.
31
nashrāniyyāt, disebabkan banyaknya ahl al-kitāb yang masuk Islam dan
ikut mewarnai kehidupan para mufassir; 2). Penafsiran diambil dari sistem
periwayatan dan talaqqī, tapi bukan secara global, sebab para tabi’in hanya
mengambil riwayat dari guru-gurunya sedaerah saja; 3). Asal mula
perselisihan antar madzhab juga mulai tampak, serta menyebabkan
penafsiran tidak bisa obyektifkarena bertendensi pada kepentingan
madzhabnya; 4). Perbedaan pendapat antar tabi’īn juga sudah menyebar.6
Periode ini juga sudah muncul pemalsuan-pemalsuan data tafsir, yang
sebabkan oleh fanatisme terhadap madzhab, aliran politik, serta adanya
semangat musuh-musuh Islam, yaitu kaum Zindiq yang mencoba masuk
Islam hanya karena ingin merusaknya dari dalam.7
Tafsir yang hadir dari kalangan tabi’īn masih menjadi perdebatan bagi
kalangan ‘ulama. Mayoritas ‘ulama berpendapat bahwa tafsir dari tabi’īn
wajib dijadikan rujukan, sedangkan ‘ulama yang lain berpendapat bahwa
tidak wajib menjadikan tafsir tabi’īn sebagai rujukan dengan alasan para
tabi’īn tidak mendengar langsung tafsir dari Nabi seperti halnya sahabat,
serta masih diragukannya sifat ‘adl dari para tabi’īn.8
3. Tafsir pada Masa Pengkodifikasian
Pada masa ini kitab-kitab tafsir penyusunannya mulai secara khusus dan
berdiri sendiri. Tafsir mulai dibukukan menjadi kitab tafsir pada akhir masa
pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah. Pada masa awal
dibukukannya penulisan tafsir dimulai dengan mengumpulkan hadis-hadis
tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mufassir menyusun
tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan
6 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik..., 219. 7 Muhammad Ḥusain al-Zahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1994), 38. 8 Tim Forum Karya Ilmiah Raden (TFKIR), Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah,
dan Tafsir Kalamullah (Kediri: Lirboyo Press, 2000), 210.
32
ayat tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir masih bagian dari
kitab hadis.9
Pada periode beirikutnya, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-
kitab hadis. Tafsir mulai ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib
mushaf.10
Proses kodifikasi tafsir ini dilalui dalam beberapa fase, 1). Tafsir diambil
dengan cara periwayatan. Sahabat meriwayatkan dari Nabi, tabi’īn
meriwayatkan dari sahabat, atau meriwayatkan satu sama lain diantara
mereka; 2). Dimulainya budaya penulisan hadis, bab tafsir masuk dalam
salah satu dari bab-bab hadis; 3). Antara hadis dan tafsir terpisah antara satu
dengan yang lainnya. Tafsir mulai ditulis dan diurutkan sesuai urutan
mushaf.11
Pada abad kedua hijriyah muncul berbagai madzhab tafsir, baik berupa
corak akidah maupun fiqh. Sedangkan pada abad ketiga hijriyah telah
banyak ‘ulama yang menyusun kitab tafsir, diantaranya adalah tafsir
karangan Aḥmad ibn Farḥ Ibn Jibrīl al-Baghdādi, Ali ibn Musa ibn Yazid
al-Qarni dan lain sebagainya. Sedangkan tafsir yang paling fenomenal pada
masa ini adalah tafsir karangan al-Thabari dengan menggunakan metode
tafsīr bi al-ma’tsūr.12
Dari mulai sinilah, banyak sekali muncul kitab-kitab tafsir yang
berkembang. Perkembangan ini disebabkan adanya keperluan serta
tantangan kaum Muslimin di dalam menjawab persoalan yang hadir disetiap
zamannya, sehingga penafsiran terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an
dibutuhkan. Pada perkembangan berikutnya, banyak sekali kitab tafsir yang
9 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik..., 221. 10 al-Qaththān, Mabāhis fī Ulūm al-Qur’ān..., 340-341. 11 al-Zahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn..., 65. 12 al-Zahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn..., 67.
33
hadir dengan berbagai latar belakang (aliran), corak, serta metode hingga
masa sekarang.
B. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer
Penafsiran kata ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an ditemukan beragam
ditafsirkan oleh para ‘ulama mulai dari masa klasik hingga kontemporer.
Untuk itu, pada sub bab ini penjelasan serta penafsiran terhadap kata ahl al-
kitāb dari masa ke masa akan dipaparkan secara terstruktur serta objektif.
1. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb Oleh ‘Ulama Klasik/
Mutaqaddimīn (Abad 1-4 Hijriah)
Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Nabi Saw.,
dan para sahabat, kata ahl al-kitāb selalu menunjuk kepada komunitas
Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas itu, al-Qur’an tidak
menyebutnya sebagai ahl al-kitāb, contohnya seperti kelompok Majusi.
Namun, Nabi Saw., menyuruh agar umat Islam agar memperlakukan
komunitas Majusi seperti halnya ahl al-kitāb.13
Selanjutnya, pada masa tabi’īn, kata ahl al-kitāb mengalami
perkembangan. Abū al-Āliyah (w. 39 H) misalnya yang mengatakan bahwa
komunitas shabi’in termasuk ke dalam kelompok ahl al-kitāb karena
membaca kitab suci Zabur.14 Bahkan sebagian ‘ulama Salaf mengatakan
bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang diduga sebagai kitab suci
13 Berkaitan dengan riwayat Imam Mālik yang menyebutkan bahwa Nabi Saw.,
bersabda “Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti ahl al-kitāb. Baca uraian
“Kata Pengantar” Nurcholis Madjid dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF
(ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001), Xxx. 14 Ibn Jarīr al-Thabari, Tafsīr al-Thabari (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954),
Jilid I, 320.
34
samawi, maka komunitas itu masuk ke dalam pengertian ahl al-kitāb,sama
seperti orang-orang Majusi.15
Senada dengan pendapat ‘ulama Salaf di atas, Imam Abū Ḥanifah (w.
150 H), ‘ulama Hanafiyyah dan sebagian Hanabilah, mengatakan bahwa
siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi, ataupun salah satu kitab
yang pernah diturunkan Allah maka ia termasuk ahl al-kitāb sehingga tidak
hanya terbatas kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja.16
Berbeda dengan pendapat Abū al-Āliyah dan Abū Ḥanifah, Imam al-
Shāfi’ī (w. 204 H) di dalam kitab al-Umm, menerima sebuah riwayat yang
disebutkan, bahwa Atha’ (tabi’īn), berkata: “Orang Kristen Arab bukan
termasuk ahli kitab. Komunitas yang disebut ahli kitab adalah kaum Israel
(Bani Israel), yakni orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab
Taurat dan Injil”. Adapun orang lain (selain dari Bani Israel) yang
memeluk agama Yahudi dan Nasrani.
Disini Imam al-Shāfi’ī memahami bahwa ahl al-kitāb merupakan
sebagai komunitas Bani Israel, serta tidak meletakkannya sebagai pengikut
agama yang diajarkan oleh Nabi Musa A.S. dan Isa A.S.17 Definisi ini
didukung oleh ayat al-Qur’an yang menjelaskan, bahwa Nabi Isa A.S.
merupakan Rasul khusus untuk Bani Israel (QS. Al-Shaff [61]: 6).
ءيل إ ما ب ي يديه من ا ل ق ول ٱلله إليكم مصد ن رس وإذ قال عيسى ٱبن مري يبن إسرا ب ٱلت ه ر ت من ب عدي ٱ ل رسو ورىة ومبش
ف لمها جاءهم بٱلب ي ي
ذا سحرسهۥ أحد نت قالوا ه
٦مبي “Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya)
15 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawdhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 367 16 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., 367. 17 Sam’ani Sya’roni, “Perdebatan Seputar Ahl Al-Kitab”, Jurnal Religia, Volume
13, No. 1, April 2010, 75.
35
seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)". Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang
nyata".
Ayat ini juga menjelaskan terbatasnya ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa
As., hingga datangnya Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, ahl al-kitāb
dalam pemahaman al-Shāfi’ī sebagai sebuah komunitas etnis (suku), bukan
sebagai komunitas agama.18
Pendapat yang diutarakan oleh Imam al-Shāfi’ī ini ternyata sedikit
berbeda dengan ‘ulama Shāfi’iyyah serta mayoritas ‘ulama Hanabilah.
Kedua ‘ulama ini berpendapat bahwa ahl al-kitāb menunjuk kepada
komunitas Yahudi dan Nasrani.19 ‘Ulama Shāfi’iyyah menggolongkan
komunitas Yahudi dan Nasrani menjadi tiga jenis golongan, pertama,
golongan yang masuk ke dalam agama Yahudi dan Nasrani sebelum agama
tersebut mengalami perubahan seperti orang-orang Romawi; kedua,
golongan yang masuk agama Yahudi dan Nasrani setelah mengalami
perubahan; ketiga, golongan yang tidak diketahui kapan mereka masuk
agama Yahudi dan Nasrani (sebelum atau sesudah mengalami perubahan).
Sedangkan menurut Badran, kelompok yang dikhitāb oleh al-Qur’an
sebagai ahl al-kitāb adalah bangsa Israel dan bangsa lainnya masuk ke
dalam agama Yahudi dan Nasrani, sebelum kedua agama tersebut
mengalami perubahan ditangan pemeluknya.20
Demikian pendapat para ‘ulama klasik terkait kata ahl al-kitāb. Ragam
penafsiran yang hadir dalam merumusukan serta memahami kata ahl al-
18 Nasrullah, “Ahli Kitab dalam Perdebatan: Kajian Survei Beberapa Literatur
Tafsir Al-Qur’an”, Jurnal Syahadah, Volume III. No 2, Oktober 2015, 70. 19 Badrān Abū al-Aynayn Badrān, Al-Alāqāh al-Ijtimā’iyyah bayna al-Muslimīn wa
ghair al-Muslimīn fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa al-Yahūdiyyah wa al-Nashraniyyah wa
al-Qānūn (Beirut: Dār al-Nahdah, 1984), 41. 20 Badrān Abū al-Aynayn Badrān, Al-Alāqāh al-Ijtimā’iyyah.
36
kitāb tersebut dalam rangka menggali makna yang pas agar menemukan
pemahaman yang sesuai dengan masanya.
2. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb oleh ‘Ulama Pertengahan/
Muta’akhkhirīn (Abad 4-12 Hijriah)
Selain ‘ulama klasik di atas, ternyata pada periode ini cukup banyak
ditemukan ‘ulama tafsir yang merumuskan kata ahl al-kitāb.
Berkembangnya zaman, serta semakin meluasnya pergerakan Islam di masa
ini, memaksa ‘ulama tafsir merumuskan kembali penafsiran kitab suci al-
Qur’an khususnya terkait dengan kata ahl al-kitāb.
Pada masa ini, terdapat al-Thabarī (w. 310 H) yang mencoba
merumuskan makna ahl al-kitāb. Menurutnya, ahl al-kitāb adalah pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan manapun dan siapapun, baik dari
keturunan langsung bangsa Israel maupun bukan dari bangsa Israel.21
Penafsiran yang diterangkan oleh al-Thabarī ini sebenarnya hampir mirip
dengan yang dikemukakan oleh Abū Hanifah.
Selanjutnya terdapat Ibn Ḥazm al-Zāhirī (w. 456 H), Ibn Hazm mencoba
memperluas konsep ahl al-kitāb. Baginya, ahl al-kitāb tidak hanya
menunjuk komunitas Yahudi dan Nasrani saja, akan tetapi termasuk juga
golongan Majusi. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-An’ām [6]:
156.
ا أنزل ٱلكتب على طائفت ي فلي ل من ق بلنا وإن كنها عن دراستهم أن ت قولوا إنه ١٥٦غ“(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa
kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan
sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”
Ayat ini memang menjelaskan bahwa ahl al-kitāb hanya terdiri dari dua
golongan yaitu Yahudi dan Nasrani. Menurut ayat tersebut, komunitas lain
21 Ibn Jarīr al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1992), Jilid III, 321.
37
tentu tidak termasuk ke dalamnya. Namun begitu, ayat ini tentu tidak bisa
dijadikan landasan untuk membatasi kata ahl al-kitāb kepada komunitas
Yahudi dan Nasrani saja.22
Bagi Ibn Ḥazm, ahl al-kitāb adalah menunjuk kepada sekumplan
manusia yang memiliki kitab yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi
tertentu, sebagai sumber ajaran agama dan tuntunan kehidupan. Masuknya
kelompok Majusi ke dalam ahl al-kitāb bagi Ibn Ḥazm bukan tanpa alasan,
selain bersandar kepada hadis Nabi, ia juga menjelaskan bahwa kelompok
Majusi ditunjuk sebagai ahl al-kitāb karena kepercayaan mereka terhadap
kenabian Zaradasht.23 Oleh sebab itu, Ibn Ḥazm mengklasifikasikan kata
ahl al-kitāb tidak hanya menunjuk kepada kelompok Yahudi dan Nasrani
saja, akan tetapi juga Majusi.
Berikutnya ada al-Syahrastānī (w. 548 H) yang memberikan definisi
tentang ahl al-kitāb. Baginya ahl al-kitāb adalah kelompok-kelompok yang
berada diluar agama dan syariat Islam. mereka adalah sekumpulan
kelompok yang memiliki syariat, hukum-hukum, batasan serta Nabi.24 Dari
definisi di atas, maka menurut al-Syahrastānī terdapat dua ciri utama ahl al-
kitāb. Pertama, memiliki syariat, hukum, batasan serta Nabi; kedua, ahl al-
kitāb adalah kelompok yang keluar dari ajaran Islam.
Al-Syahrastānī mengklasifikasikan ahl al-kitāb ke dalam dua golongan.
Pertama, komunitas Yahudi dan Nasrani yang digambarkan secara jelas
oleh al-Qur’an bahwa mereka adalah pemilik resmi kitab suci yang
muhaqqaq (sempurna). Kedua, komunitas agama yang memiliki kitab suci
serupa (shibh), namun mereka tidak termasuk ke dalam golongan ahl al-
22 Mohd Faizal Abdul Khir, “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-
Shahrastānī”, Jurnal Ushuluddin, Volume 33, Januari-Juni 2011, 28. 23 Ibn Hazm, Al-Fashl al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Nihal, ed. Muhammad Ibrāhīm
(Beirut: Dār al-Jayl, 1996), Jilid I, 139. 24 Al-Syahrastānī Muhammad bin ‘Abd. Al-Karīm, Agama dan Ideologi, terj.
Muhammad Ramzi Omar (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006), 150.
38
kitāb akan tetapi disebut sebagai shibh ahl al-kitāb, seperti Majusi dan
Manawi.25
Perbedaan terhadap dua klasifikasi di atas tersebut berdasarkan kepada
dua aspek, 1. Ahl al-kitāb memiliki kitab yang hakiki dan mirip dengan
suḥuf (kitab Zabur) Ibrāhīm A.S, seperti Taurat dan Injil; 2. Komunitas
kedua, seperti pemeluk agama Majusi dan Manawi hanya memiliki kitab
yang serupa/mirip dengan kitab suci.26 Oleh sebab itu al-Syahrastānī,
membagi golongan ahl al-kitāb (komunitas yang memiliki kitab yang
hakiki), dan shibh ahl al-kitāb (komunitas yang memiliki kitab yang mirip
dengan kitab hakiki).
3. Penafsiran Kata Ahl al-kitāb oleh ‘Ulama Modern/
Kontemporer (Di Mulai Abad 12 Hijriah)
Penafsiran serta konsep mengenai ahl al-kitāb ternyata tidak hanya
berhenti pada ‘ulama klasik dan pertengahan saja. Banyak ‘ulama dari
periode modern/kontemporer yang menjelaskan terkait konsep serta makna
dari ahl al-kitāb.
Penafsiran terhadap kata ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an, dimulai dari
seorang ‘ulama tafsir ternama pada abad 20. Dia adalah Muhammad
‘Abduh (w. 1905 M/ 1326 H) dan Muhammad Rasyīd Ridhā (w. 1935
M/1356 H) di dalam karya momuntental mereka yaitu Tafsīr al-Manār.
Meskipun coraknpemikiran keislaman ‘Abduh dan Rasyīd Ridhā itu
tertuang di dalam tafsīr al-Manār, akan tetapi tidak semua hal bisa
ditafsirkan dengan definisi yang sama. Salah satunya mengenai kata ahl al-
kitāb itu sendiri.
25 Al-Syahrastānī Muhammad bin ‘Abd. Al-Karīm, Agama dan Ideologi..., 150 26 Al-Syahrastānī Muhammad bin ‘Abd. Al-Karīm, Agama dan Ideologi.
39
Menurut ‘Abduh, ahl al-kitāb mencakup penganut komunitas Yahudi,
Nasrani dan Shābi’īn.27 Hal ini didasarkan firman Allah dalam surat al-
Baqarah [2]: 62.
ر ب ى إنه ٱلهذين ءامنوا وٱلهذين هادوا وٱلنهص ي وم ٱلخر وعمل ي من ءامن بٱلله وٱل وٱلصهل زنون ا ف لهم أجرهم عند ربم ول خوف ع ح ص ٦٢ليهم ول هم ي
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ayat di atas dengan jelas mengatakan, bahwa komunitas shābi’īn, di
samping Yahudi dan Nasrani benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir serta melakukan amal shaleh, akan mendapatkan pahala disisi Allah.
Pendapat yang dikemukakan oleh ‘Abduh sejalan dengan pendapat seorang
tabi’īn yaitu Abū al-‘Āliyah. Dengan begitu, bagi ‘Abduh komunitas
Majusi Manawi, tidak termasuk ke dalam ahl al-kitāb.28
Berdeda dengan ‘Abduh, Rasyīd Ridhā di dalam tafsīr al-Manār
menjelaskan secara rinci terkait dengan kriteria ahl al-kitāb. Di dalam tafsīr
al-Manār Rasyīd Ridhā melakukan penafsiran terhadap surat Alī ‘Imrān
[3]: 19.
م وما ٱخت لف ٱ سل د ما جاءهم ٱلعلم لهذين أوتوا ٱلكتب إله من ب ع إنه ٱلدين عند ٱلله ٱلن هم ومن ا ب ي سريع ٱلساب ايت ٱلله فإنه يكفر ب ب غي ١٩ ٱلله
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
27 Muhammad ‘Abduh, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm Juz ‘Ammā (Kairo: Dār wa
Mathābi’ al-Sya’b, t.tt), 101. 28 Muhammad ‘Abduh, Tafsīr al-Qur’ān..., 102-103.
40
Menurut Rasyīd Ridhā ayat ini menjelaskan bahwa ahl al-kitāb bukan
menunjuk khusus kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja, akan tetapi
menunjuk kepada makna yang lebih umum, bisa mencakup pada komunitas
lain (Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya).29 Rasyīd Ridhā juga
mengemukakan beberapa kriteria ahl al-kitāb, yaitu, diutusnya seorang
Rasul, dan memiliki kitab suci.
Selanjutnya terdapat Jamal al-Dīn al-Qāsimī (w. 1914 M/1335 H) yang
pendapatnya hampir mirip dengan pendapat al-Shāfi’ī, hanya saja al-Qāsimī
memasukkan etnis selain bangsa Israel ke dalam cakupan makna ahl al-
kitāb. Al-Qāsimī menyatakan:
“Yang dimaksud dengan ahl al-kitāb adalah komunitas Yahudi dan Nasrani
(dari Bani Israel) dan etnis lain (selain Bani Israel) yang masuk ke dalam
agama mereka sebelum Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi Nabi dan
Rasul di atas bumi ini. Adapun orang yang masuk ke ddalam agama tersebut
setelah hadirnya Nabi Muhammad Saw. yakni orang-orang Arab Nasrani
dari Bani Tighlab serta sembelihannya tidak halal untuk dimakan.”30
Dari keterangannya di dalam Tafsīr Al-Qāsimī, ia membagi ahl al-kitāb
menjadi dua kelompok. Pertama, ahl al-kitāb adalah komunitas Yahudi dan
Nasrani (keturunan Bani Israel) dan komunitas etnis lainnya (selain
keturunan Bani Israel) yang sudah menganut agama itu sebelum Nabi
Muhammad Saw., diutus menjadi seorang Nabi/ Rasul. Kedua, yang
dianggap sebagai ahl al-kitāb setelah Nabi Muhammad Saw., diangkat
sebagai Nabi dan Rasul adalah komunitas Arab Nasrani dari Bani Tighlab,
akan tetapi makanan yang mereka sembelih tidaklah halal.
Berikutnya, Sayyid Qutbh(w. 1966 M/1387 H) dan Muhammad Ḥusein
al-Thabathaba’i (w. 1981 M/1402 H). Kedua mufassir ini menyatakan
bahwa penggunaan kata ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an hanya merujuk
29 Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār (Kairo: Dār al-Manār, 1947), Jilid
III, 258. 30 Muhammad Jamal al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimī (Kairo: Isa al-Babi al-
Halabi, 1958), Jilid 4, 1863.
41
kepada komunitas Yahudi dan Nasrani, bahkan lebih jauh Sayyid Qutbh
menambahkan bahwa ahl al-kitāb itu orang-orang yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani dari dulu sampai sekarang, dari masa kapan pun dan
dari suku bangsa manapun.31 Pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid
Qutbh ini juga dipegang oleh M. Quraish Shihab, hal ini didasarkan kepada
istilah ahl al-kitāb yang hanya terbatas pada dua komunitas Yahudi dan
Nasrani sebagai golongan yang ada di Arab pada masa itu.32
Terakhir terdapat pendapat Muhammad Arkoun (w. 2010 M/1331 H)
yang juga ikut berpartisipasi di dalam menafsirkan kata ahl al-kitāb.
Arkoun mencoba memberikan pandangan yang segar mengenai ahl al-kitāb
serta memunculkan polemik, ketika mencetuskan gagasan Masyarakat
Kitab. Menurut Arkoun, ahl al-kitāb selama ini dianggap dengan orang-
orang yang tersesat dan dipakai untuk menguatkan keunikan serta otentitas
wahyu yang baru. Citra baru mengenai wahyu tersebut memberikan kesan
bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani melakukan perubahan pada naskah
dan penyelewengan maknanya.33
Untuk menemukan konsep ahl al-kitāb yang pas, Arkoun menggunakan
pendekatan dekonstruksi (pembongkaran) atas konsep lama yang sering
dipahami secara sempit oleh para mufassir al-Qur’an terdahulu. Lebih lanjut
Arkoun menjelaskan:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang harus dihadapi Muhammad
Saw. di Mekkah dan Madinah. Mereka disebut dalam al-Qur’an sebagai
polemik wahyu yang lebih awal, orang-orang beriman yang dikasihi Allah
31 Sayyid Qutbh, Tafsīr fī Zhilal al-Qur’ān (Dār al-‘Arabiyah, t.th), Jilid I, h. 135;
Muhammad Ḥusien al-Thabathaba’i, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-
‘Alami al-Matbu’āh, 1983), Jilid III, 306-307. 32 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., 368. 33 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an menurut Penafsiran
Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid (Sebuah telaah perbandingan), Jurnal Al-
Dzikra, Volume X, No. 1, Januari-Juni 2016, 56.
42
sama dengan orang-orang muslim, yang telah menerima wahyu yang baru.
Ibrahim bukan Yahudi atau Nasrani melainkan muslim murni, seorang
beriman yang sepenuhnya mengabdi kepada Allah. Perspektif sejarah
spiritual ini, atau sejarah penyelamatan, sangat jelas dalam al-Qur’an, dan
merupakan dimensi penting dalam teologi modern tentang wahyu.”34
Pendekatan dekonstruksi yang ditawarkan oleh Arkoun memang sangat
kontroversial. Karena ia memang membongkar habis istilah ahl al-kitāb
dengan istilah yang baru yaitu, Masyarakat Kitab. Bagi Arkoun, selama ini
umat Islam kebanyakan memahami konsep ahl al-kitāb sebatas kepada
komunitas Yahudi dan Nasrani saja. Bahkan ada juga yang menambahkan
komunitas Majusi dan Shābi’īn.
Bahasa ahl al-kitāb yang berada di dalam al-Qur’an, menurut Arkoun
menunjuk kepada komunitas yang berkitab di luar Islam. Namun
sayangnya, istilah tersebut sudah menjadi kenyataan umum dikalangan
umat Islam bahwa komunitas Yahudi dan Nasrani saja yang pantas
digolongkan ahl al-kitāb.35
Menurut Arkoun, istilah Masyarakat Arab lebih tepat karena
mengandung makna dan klasifikasi yang lebih luas, yaitu seluruh komunitas
masyarakat yang memiliki kitab, terlepas bagaimana kemudian kitab suci
mereka dipahami sebagai sesuatu yang menyimpang.36
Pandangan Arkoun terkait Masyarakat Kitab tersebut telah membawa
pada tafsiran baru mengenai konsep ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an.
Arkoun juga menganjurkan, dalam memahami realitas kemajemukan
masyarakat perlu adanya pendekatan dan pemahaman baru terhadap agama
itu sendiri.
34 Muhammad Arkoun, “Pemikiran Tentang Wahyu: Dari Ahlul Kitab hingga
Masyarakat Kitab”, Jurnal Ulumul Qur’an, Volume IV, No. 2, Tahun 1999, 46. 35 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an.., 60-61. 36 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an.
43
C. Ahl al-Kitāb: Maknanya dalam Perspektif ‘Ulama Nusantara
Di atas sudah banyak diterangkan mengenai argumentasi penafsiran
‘ulama mulai dari klasik, pertengahan ataupun kontemporer mengenai kata
ahl al-kitāb. Banyak sekali ditemukan perbedaan penafsiran mengenai kata
tersebut. Selain ketiga periode ‘ulama di atas, dalam menafsirkan kata ahl
al-kitāb, skripsi ini juga menawarkan konsep ‘ulama nusantara mengenai
kata tersebut. Perspektif ini tentunya sangat penting untuk dipaparkan agar
adanya sudut pandang lain terkait kata ahl al-kitāb dalam konteks
keindonesian.
Nurcholis Madjid, ‘ulama atau scholar Muslim Indonesia pada masa
kontemporer yang juga menawarkan konsep serta makna kata ahl al-kitāb.
Nurcholis Madjid memang ikut larut dalam perdebatan terhadap dua
pandangan mengenai kata ahl al-kitāb, yaitu pandangan yang mengatakan
bahwa Yahudi dan Nasrani adalah golongan ahl al-kitāb seperti yang
digambarkan di dalam al-Qur’an. Sedangkan pendapat yang lain, ingin
menunjukan adanya semangat al-Qur’an yang prulalis dalam memandang
komunitas (agama) yang lain, selain Yahudi dan Nasrani, seperti Majusi,
Shābi’īn, Budha, Hindu, dan Kong Hucu.37
Terkait dengan ayat-ayat simpatik terhadap ahl al-kitāb, menurut
Nurcholis Madjid, masih ada di kalangan ‘ulama tafsir yang menganggap
mereka itu bukan lagi ahl al-kitāb, melainkan sudah Muslim. Akan tetapi
ada juga yang beranggapan bahwa mereka tetap mengingkari karasulan
Muhammad Saw. dan kitab suci al-Qur’an.38 Berikut pernyataan Nurcholis
Madjid:
“Karena di dalam ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman
kepada Rasulullah Saw. meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari
37 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an..., 49. 38 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah (Paramadina: Jakarta, 1995), 77.
44
kemudian (sebagaimana agama-agama mereka) maka mereka secara
langsung ataupun tidak termasuk mereka yang “menentang” Nabi, jadi
bukan golongan Muslim. Namun, karena sikap mereka yang positif kepada
Nabi dan kaum Muslimin, maka perlakuan kepada mereka oleh kaum
Muslimin juga dipesan untuk bersikap positif dan adil, yaitu selama mereka
tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum Muslimin itu. Oleh
karena itu, meskipun al-Qur’an melarang kaum Muslimin untuk berselisih
dan berdebat dengan ahli kitab, khususnya berkenaan dengan masalah
agama, namun terhadap yang zalim dari kalangan mereka, kaum Muslimin
dibenarkan untuk membalas hal serupa. Ini wajar, dan sesuai dengan prinsip
universal pergaulan antar sesama manusia.”39
Pernyataan dari N. Madjid di atas, menggambarkan sikap sosial yang
ingin ditunjukkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau sikap ahl al-
kitāb adil dan positif kepada kaum Muslimin, maka dilarang untuk
berselisih dan berdebat, bahkan kaum Muslimin diperintahkan untuk
bersikap yang sama. Akan tetapi, jika sikap ahl al-kitāb itu zalim, maka
diperbolehkan untuk membalas hal yang setimpal pula.
Keterangan di atas juga mempertegas bahwa ahl al-kitāb juga
mendapatkan perilaku positif dan simpatik dalam al-Qur’an, dan tidak harus
dimaknai secara sempit. Bagi N. Madjid, ahl al-kitāb tidak hanya mencakup
mereka yang telah menerima seruan Nabi Muhammad Saw. tetapi juga
mencakup semua ahl al-kitāb yang memiliki sikap dan perilaku
sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an.40
Nurcholis Madjid di dalam argumentasinya mengenai ahl al-kitāb sangat
menyetujui penafsiran yang dikemukakan oleh Rasyīd Ridhā41, bahwa ahl
al-kitāb tidak hanya tertuju kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja,
akan tetapi juga meliputi Majusi, Shābi’īn, Hindu, Budha, serta Kong
39 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban. 40 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an..., 52. 41 Terdapat penjelasan mengenai ahl al-kitāb dalam perspektif Muhammad Rasyīd
Ridhā di dalam skripsi ini.
45
Hucu.42 Lebih jauh, memang pandangan Nurcholis Madjid terhadap ahl al-
kitāb ini sangat dipengaruhi oleh Rasyīd Ridhā.
Selain Nurcholis Madjid, terdapat Muhammad Qurasih Shihab salah satu
‘ulama kontemporer Indonesia yang juga ikut dalam meramaikan
penafsiran kata ahl al-kitāb. Qurasih shihab mengemukakan
kecendrungannya dalam memahami ahl al-kitāb sebagai semua penganut
agama Yahudi dan Nasrani, kapan pun, dimana pun, serta dari keturunan
siapapun mereka.43 Pendapatnya ini berdasarkan kepada penggunaan al-
Qur’an terhadap istilah tersebut terbatas kepada kedua komunitas (Yahudi
dan Nasrani).
Demikianlah pendapat ‘ulama Nusantara mengenai kata ahl al-kitāb.
Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa kata ahl al-kitāb di dalam al-
Qur’an tersebut menggambarkan semua komunitas agama termasuk selain
Yahudi dan Nasrani. Sedangkan bagi Qurasih Shihab, makna itu hanya
tertuju kepada keturunan Yahudi dan Nasrani kapan pun, dimana pun serta
keturunan siapapun mereka. Hal ini karena Nurcholis Madjid banyak
mengutip pendapat dari Rasyīd Ridhā, sedangkan Quraish Shihab bertahan
pada argumentasi yang didukung oleh firman Allah surat al-An’ām ayat 156
yang artinya, “(Kami turunkan al-Qur’an itu) agar kamu (tidak
mengatakan), bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja
sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang
mereka baca”.
D. Analisis Pergeseran Makna Ahl al-Kitāb dari Masa ke Masa
Setelah mendapatkan penjelasan serta penafsiran mengenai makna ahl
al-kitāb dari berbagai ‘ulama klasik hingga kontemporer, dapatlah diketahui
bahwa terdapat pergeseran makna serta berbagai macam pengertian yang
42 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban..., 81. 43 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an.
46
muncul. Pergeseran makna ini dihasilkan akibat adanya perbedaan di dalam
memahami teks al-Qur’an terkait ahl al-kitāb tersebut.
Untuk menyajikan penganalisaan yang memadai, maka perlu dibuatnya
tabel pendukung agar memudahkan melihat perkembangan dari masa klasik
ke kontemporer. Berikut ini hasil pergeseran makna ahl al-kitāb serta
relevansinya dengan karateristik tafsir.
Tabel 4.1
Analisis Pergeseran Makna Ahl al-Kitab
No Klasik Pertengahan Kontemporer
Tah
un/P
erio
de
Mulai Tahun 650 M
(29 H/30 H) hingga
400 H
Mulai Tahun 400
H/ 401 H hingga
1214 H
Mulai tahun 1801 M
(1216 H/ 1217 H)
47
Met
ode/
Pen
dek
atan
1. Pendekatan
Linguistik
2. Pendekatan
berbasis Logika
3. Pendekatan
Berbasis Tasawuf
4. Pendekatan
Berbasis Tradisi
1. Pendekatan
Linguistik
2. Pendekatan
Teologis
3. Pendekatan
Falsafi dan Ilmi
4. Pendekatan
Sufistik
1. Pendekatan
Ilmiah
2. Pendekatan
Semantik
3. Pendekatan
Hermeneutik
4. Pendekatan Ilmu-
ilmu sosial
5. Pendekatan yang
bersifat mengarah
kepada
kebebasan
penulis
6. Pendekatan
Pluralisme
Agama
Kar
akte
rist
ik T
afsi
r
1. Bersumber dari
kutipan-kutipan
yang shahih
2. Menggunakan
ijtihad yang
didasarkan kepada
kaidah-kaidah
penafsiran yang
benar.
3.Pemaksaan
Gagasan
Eksternal Al-
Qur’an
4.Bersifat
Ideologis
5.Bersifat Repetitif
6.Bersifat Parsial
1. Bersifat
Kontekstual
2. Mengacu Kepada
Spirit Agama
3. Menggunakan
pendekatan
historis,
sosiologis
48
Rel
asi
Pada periode ini ahl
al-kitāb masih
dimaknai dengan
kaum Yahudi dan
Nasrani saja.
Meskipun terdapat
perselisihan
pendapat, akan tetapi
banyak penafsiran
‘ulama klasik ini
yang menjelaskan
bahwa ahl al-kitāb
ini tertuju kepada
komunitas Yahudi
dan Nasrani
Pada periode ini
makna ahl al-kitāb
lebih diperluas
maknanya. Bahkan
terdapat salah satu
‘ulama yang
mengklasifikasikan
makna ahl al-kitāb
ke dalam dua
golongan, yaitu
komunitas yang
memiliki kitab suci
yang muhaqqaq
dan komunitas
yang memiliki
kitab yang serupa
Makna ahl al-kitāb
pada masa ini
mengalami banyak
pergeseran. Bahkan
terdapat seorang
pemikir
kontemporer yang
membongkar ulang
makna ahl al-kitāb
tersebut dan
menggantinya
dengan nama
masyarakat kitab.
Dari tabel di atas menunjukan bahwa pergeseran terhadap makna ahl al-
kitāb ini telah terjadi baik menurut ‘ulama klasik, pertengahan dan
kontemporer. Perbedaan ini dapat dilihat karena adanya perbedaan
karakteristik tafsir yang berada dimasing-masing periode. Perbedaan
semakin jelas terlihat jika menilai dari karakteristik serta pendekatan tafsir
yang digunakan oleh para ‘ulama pada periode masing-masing. Dan yang
lebih penting adalah hasil penafsiran yang didapatkan membentuk pola nya
tersendiri, pada masa klasik lebih cenderung kepada pencarian makna
asal/asli, sedangkan kontemporer lebih kepada membongkar makna asli
agar mendapatkan penafsiran yang tepat dan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan saat ini.
49
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagian akhir ini merupakan kesimpulan dari semua pembahasan
penelitian berdasarkan pokok masalah yang dikemas di dalam pembatasan
dan rumusan masalah di dalam Bab pertama. Kesimpulan dari penelitian ini
menegaskan beberapa hal, diantaranya adalah:
Pertama, penafsiran terhadap kata ahl al-kitāb dari periode ke periode
mengalami perkembangan penafsiran. Meskipun perdebatan juga terjadi
pada setiap zamannya. Misalnya mufassir periode klasik tidak menemukan
kata sepakat terkait makna ahl al-kitāb, begitupun masa pertengahan
bahkan sampai kepada mufassir kontemporer.
Kedua, perkembangan terhadap penafsiran itu sendiri diakibatkan karena
semakin berkembangnya ilmu tafsir. Bahkan lebih jauh, penafsiran setelah
masa sahabat banyak didominasi oleh aliran pemikiran, pengaruh madzhab,
dan serta lingkungan sosial yang mengakibatkan antara daerah satu dengan
yang lainnya berbeda dalam memahami konteks ayat tersebut.
Ketiga, jika dilihat dari historisnya, penafsiran kata ahl al-kitāb pada
masa klasik menunjuk kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja,
kemudian pada masa pertengahan mulai terjadi perluasan makna bahwa ahl
al-kitāb bukan hanya terpaku kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja,
akan tetapi termasuk juga komunitas Majusi. Bahkan pada masa ini sampai
kepada pengklasifikasian ahl al-kitāb yang dijelaskan oleh al-Syahrastānī.
Sedangkan pada masa kontemporer/ modern, penafsiran menjadi lebih luas,
bahkan sampai menimbulkan kontroversi. Ahl al-kitāb pada masa ini
dimaknai lebih luas, Rasyīd Ridhā misalnya memaknai kata ahl al-kitāb
bukan hanya mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shābi’īn seperti yang
50
dijelaskan oleh al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa makna ini mencakup
makna yang lebih umum, yaitu mencakup komunitas lain seperti (Hindu,
Budha, Khong Hucu, dan lainnya). Meskipun terdapat pula penafsiran yang
mengutip pendapat ‘ulama terdahulu.
Keempat, ahl al-kitāb dalam konteks ‘ulama Nusantara tidak terlalu
berbeda jauh dengan penafsiran yang sudah ada sebelumnya. Nurcholis
Madjid misalnya sangat setuju dengan pendapat Rasyīd Ridhā mengenai
konsep ahl al-kitāb, sedangkan M. Quraish Shihab lebih condong kepada
penafsiran Sayyid Quṭb meskipun tidak mengakuinya secara eksplisit.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Kaum Muslimin diharapkan untuk memahami, ikut andil, serta terus
menggali pemikiran para ‘ulama tafsir (mufassir), khususnya ayat-ayat
yang bersinggungan dengan sosial-masyarakat, hubungan antar komunitas
(agama, suku, ras dan etnis) agar dapat menambah wawasan, kajian serta
ikut meramaikan penelitian terkait al-Qur’an dan sunnah agar dapat
diterapkan di dalam kehidupan.
2. Karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, sehingga penulis
berharap adanya kajian lanjutan mengenai tema ahl al-kitāb.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Tafsī r al-Qur’ān al-Karīm Juz ‘Ammā. Kairo: Dār wa
Mathābi’ al-Sya’b, t.tt.
Al-Abyārī , Ibrahīm. Al-Maw’ūsah al-Qur’āniyah. Kairo: Mu’assasah Sijl
al-Arab, 1984.
Arkoun, Muhammad. “Pemikiran Tentang Wahyu: Dari Ahlul Kitab hingga
Masyarakat Kitab”. Jurnal Ulumul Qur’an. Volume IV, No. 2. Tahun
1999.
Anwar, Rosihan. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Al-Ariḍ, Alī Ḥasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. terj. Ahmad Arkoun.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Asrukin, Mochammad. “Tafsir Al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Pustaka”, t.th.
Azra, Azyumardi (ed.). Sejarah & Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2013.
Al-Bāqī , Muhammad Fu’ad ‘Abd. Al-Mu’jam Mufahras li Alfādz al-
Qur’ān al-Karī m. Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Badrān, Badrān Abū al-Aynayn. Al-Alāqāh al-Ijtimā’iyyah bayna al-
Muslimī n wa ghair al-Muslimī n fī al-Sharī ’ah al-Islāmiyyah wa al-
Yahūdiyyah wa al-Nashraniyyah wa al-Qānūn. Beirut: Dār al-
Nahḍah, 1984.
Baidan, Nasaruddin. Metode Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Ciwadu, Hafifuddin. Konsep Kufur dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian
Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang
1991.
Al-Farmawī , Abū al-Ḥayy. al-Bidayāh fī ‘ala Tafsīr al-maudhū’i. Mesir:
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.
Galib, Muhammad M. Ahl al-kitāb; Makna dan Cakupannya dalam al-
Qur’an. Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.
Ḥazm, Ibn. Al-Fashl al-Milal wa al-Ahwā’ wa al-Nihal. ed. Muhammad
Ibrāhī m. Beirut: Dār al-Jayl, 1996.
52
Hidayat, Komaruddin(ed.). Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta:
Gramedia, 2001.
Hisyam, Ibnu. Al-Sīrah al-Nabawī yah. Kairo: Mushthafā al-Bāb al-Ḥalabi,
1955.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta: ITQAN Publishing:
2013.
al-Jauzi, Ibnu al-Qayyim. Zādul Masīr fī ‘Ilmi al-Tafsīr. Beirut: Maktab al-
Islāmi, 1987.
Al-Karī m, Al-Syahrastānī Muhammad bin ‘Abd. Agama dan Ideologi. terj.
Muhammad Ramzi Omar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2006.
Karman, M. dan Supriana. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi
Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika, 2002.
Khir, Mohd Faizal Abdul. “Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Ḥazm dan al-
Shahrastānī ”. Jurnal Ushuluddin. Volume 33. Januari-Juni 2011.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia, 2004.
Masyhuri. “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah
Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”. Jurnal
Hermeneutik. Vol. 8 No. 2. Desember 2014.
Ma’lūf, Louis. Al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām. Dār al-Syurūq, 1986.
Madjid, Nurcholis. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Paramadina: Jakarta, 1995.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1994.
Al-Najdi, Utsmān bin Ahmad. Hidāyat al-Rāghib li Sharh ‘Umdat al-
Thālib. Beirut: Muasassah al-Risālah, 2007.
Nasrullah. “Ahli Kitab dalam Perdebatan: Kajian Survei Beberapa
Literaratur Tafsir al-Qur’an”. Jurnal Syahadah. Volume III, No. 2.
Oktober 2015.
Putra, Andi Eka. “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an menurut
Penafsiran Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid (Sebuah telaah
53
perbandingan). Jurnal Al-Dzikra. Volume X, No. 1. Januari-Juni
2016.
Al-Qāsimī , Muhammad Jamal al-Dī n. Tafsīr al-Qāsimī . Kairo: Isa al-Babi
al-Halabi, 1958.
Al-Qaththān, Manna’ Khalil. Mabāhis fī Ulūm al-Qur’ān. Riyādh:
Mansyurāt al-Asr al-Hadī s, 1994.
Al-Qaththān, Manna’ Khalil. Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2. terj.
Halimudin. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
Qutbh, Sayyid. Tafsīr fī Zhilal al-Qur’ān. Dār al-‘Arabiyah, t.tt.
al-Rāzī , Fahr al-Dī n. Tafsīr al-Kabīr. Beirut: Dār al-Fikr, 1985.
Ridha, Muḥammad Rashid. Tafsīr al-Manār. Beirut: Dār al-Fikr, 1973.
Rouf, Abdul. “Al-Qur’an dalam Sejarah (Diskursus Seputar Sejarah
Penafsiran al-Qur’an)”. Jurnal Mumtaz. Vol. 1 No. 1. Tahun 2017.
Al-Shābuni, Muhammad Alī . al-Tibyān fī Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-
Kuttub al-Ilmiyah, 1997.
Al-Shāfi’ī , Muḥammad bin Idris. Al-Umm. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1973.
al-Sharbini, Khatib. al-Iqnā fī Ḥal Alfāzd Abī Shujā’. Beirut: Dār ak-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2004.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, M. Quraish dll. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2013.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawdhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2002.
Sirojuddin, Manshuri I. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Angkasa, 2005.
Suanrsa, Sasa. “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”. Jurnal al-Afkar. Vol. 3 No. 1. Januari 2019.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
54
al-Suyūthī , Jalaluddīn. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’an. Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1995.
al-Syahrastānī , Abī Bakr Ahmad. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dār al-Fikr,
t.tt.
Sya’roni, Sam’ani. “Perdebatan Seputar Ahl Al-Kitab”. Jurnal Religia.
Volume 13, No. 1. April 2010.
Al-Thabari, Ibn Jarir. Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wil Ayy al-Qur’ān. Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
Al-Thabari, Ibn Jarir. Tafsīr al-Thabari. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi,
1954.
Al-Thabathaba’i, Muhammad Ḥusein. al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān. Beirut:
Muassasah al-‘Alami li al-Matbbu’āh, 1983.
Tim Forum Karya Ilmiah Raden (TFKIR). Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu,
Sejarah, dan Tafsir Kalamullah. Kediri: Lirboyo Press, 2000.
Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Utsmān, Khalid Ibn. Qawā’id al-Tafsīr. Dār Ibn ‘Affān: t.tth, 1421 H.
Vadjda, G. “Ahl al-Kitab”. dalam Ensiklopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill,
1960.
Al-Zahabi, Muhammad Ḥusain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo:
Maktabah Wahbah, 1994.
Al-Zarkasyī , Muhammad ibn ‘Abdillāh. al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Dār
al-Ma’rifah: Beirut, t.th.