PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

19
PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN Rizki Amalia dan Nanny Sri Lestari Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas tentang perempuan Jawa dalam novel Purnama Kingkin. Tujuan penelitian ini untuk menemukan gambaran sikap tokoh utama sebagai perempuan Jawa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis deskriptif dengan kajian pustaka dan analisis struktur. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur cerita yang diadaptasi dari tulisan Burhan Nurgiyantoro. Hasil penelitian ini menemukan tiga sikap tokoh utama sebagai perempuan Jawa yang sesuai dengan ungkapan budaya Jawa, yaitu aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’, sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’, dan wani ngalah luhur pungkasane ‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’. Kata Kunci: Bisaa rumangsa; ngalah; Perempuan Jawa; Purnama Kingkin; sareh. Javanese Woman in the novel Purnama Kingkin Abstract This thesis discusses the Javanese women in the novel Purnama Kingkin. The purpose of this study is to find a picture of the main character’s attitude as a Javanese woman. This study uses descriptive analysis research method with a literature review and analysis of structure, using the theory of the story’s structure that adopted from Burhan Nurgiyantoro’s writings. The three main attitude of the main character as a Javanese woman matches the expression of Javanese culture, which are aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘Do not feel that you can, but be the one that can feel’, sareh pakoleh ‘patience (will) succeed’, and wani ngalah luhur pungkasane ‘dare giving in (to be) “high” in the end’. Keywords: Bisaa rumangsa; ngalah; Javanese woman; Purnama Kingkin; sareh. Pendahuluan Salah satu bentuk karya sastra Jawa modern adalah novel. Novel merupakan cerita berbentuk prosa yang memiliki unsur-unsur yang lebih kompleks (Sumardjo dan Saini, 1986: 29). Unsur-unsur yang dimaksud adalah alur, tokoh atau penokohan, latar, tema, dan amanat. Namun, tidak semua unsur-unsur tersebut disajikan secara luas dengan membahas semua unsur secara rinci, mungkin hanya salah satu unsur saja, misalnya tokoh dan penokohannya yang lebih ditonjolkan. Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Transcript of PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Page 1: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Rizki Amalia dan Nanny Sri Lestari

Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak Skripsi ini membahas tentang perempuan Jawa dalam novel Purnama Kingkin. Tujuan penelitian ini untuk menemukan gambaran sikap tokoh utama sebagai perempuan Jawa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis deskriptif dengan kajian pustaka dan analisis struktur. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur cerita yang diadaptasi dari tulisan Burhan Nurgiyantoro. Hasil penelitian ini menemukan tiga sikap tokoh utama sebagai perempuan Jawa yang sesuai dengan ungkapan budaya Jawa, yaitu aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’, sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’, dan wani ngalah luhur pungkasane ‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’. Kata Kunci: Bisaa rumangsa; ngalah; Perempuan Jawa; Purnama Kingkin; sareh.

Javanese Woman in the novel Purnama Kingkin

Abstract This thesis discusses the Javanese women in the novel Purnama Kingkin. The purpose of this study is to find a picture of the main character’s attitude as a Javanese woman. This study uses descriptive analysis research method with a literature review and analysis of structure, using the theory of the story’s structure that adopted from Burhan Nurgiyantoro’s writings. The three main attitude of the main character as a Javanese woman matches the expression of Javanese culture, which are aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘Do not feel that you can, but be the one that can feel’, sareh pakoleh ‘patience (will) succeed’, and wani ngalah luhur pungkasane ‘dare giving in (to be) “high” in the end’. Keywords: Bisaa rumangsa; ngalah; Javanese woman; Purnama Kingkin; sareh. Pendahuluan

Salah satu bentuk karya sastra Jawa modern adalah novel. Novel merupakan cerita

berbentuk prosa yang memiliki unsur-unsur yang lebih kompleks (Sumardjo dan Saini, 1986:

29). Unsur-unsur yang dimaksud adalah alur, tokoh atau penokohan, latar, tema, dan amanat.

Namun, tidak semua unsur-unsur tersebut disajikan secara luas dengan membahas semua

unsur secara rinci, mungkin hanya salah satu unsur saja, misalnya tokoh dan penokohannya

yang lebih ditonjolkan.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 2: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Tokoh penokohan dalam sebuah novel sangat menarik untuk dikaji. Tokoh dan

penokohan adalah salah satu unsur pembangun novel. Dalam sebuah novel tentunya banyak

sekali tokoh-tokoh dengan karakter yang berbeda-beda disajikan sebagai pelaku alur. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa tokoh erat kaitannya dengan alur. Di dalam alur, dapat

diketahui secara fisik maupun psikis dari setiap tokoh yang disajikan.

Novel Purnama Kingkin (PK) merupakan salah satu novel berbahasa Jawa karya

Sunaryata Soemardjo. Setelah sebelumnya menulis novel berjudul Amrike Kembang Kopi

yang menceritakan tentang perjuangan tokoh utama dengan semangat yang teguh untuk

menjadikan keadaan lebih baik.1 Novel ini menceritakan tentang romantika dan dinamika

kehidupan masyarakat yang sering terjadi setiap hari, yang tidak lepas dari dua hal, yaitu

mencintai dan dicintai.

Judul novel Purnama Kingkin, merupakan nyawa dari novel ini. Purnama dalam

bahasa Jawa berarti rembulan utuh ‘bulan purnama’ dan Kingkin berarti sedhih ‘sedih’

(Bausastra Jawa, 2000). Judul novel ini merupakan keindahan yang diucapkan oleh

pengarang, seperti yang ditulis dalam paragraf terakhir, yaitu: “Sorote rembulan purnama

nimbus liwat cendhela kaya-kaya melu sedhih nyekseni katresnan sing biyen nate tuwuh

subur, saiki kepeksa ora bisa manunggal. Purnama Kingkin”.2 Kutipan tersebut menyiratkan

suasana sedih yang mendalam karena cinta yang tidak dapat bersatu. Namun, dibalik

kesedihan itu tersimpan sebuah keindahan karena berhasil mengalahkan keegoisan. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa Purnama Kingkin merupakan perlambang dari sebuah

keindahan dibalik kesedihan. Rangkaian kata-kata indah inilah yang menjadi salah satu dasar

kekuatan sekaligus gambaran tentang novel ini.

Novel Purnama Kingkin menceritakan tentang seorang perempuan Jawa bernama

Asih yang tertutup dalam persoalan cintanya. Ia tidak dapat menggapai keinginannya untuk

bersanding dengan orang yang dicintainya, yaitu Prono. Hal ini karena nilai moral yang

dipegang oleh Asih yakni sebagai saudara yang telah lama diasuh oleh orangtua Prono,

membuat Asih berhutang budi dan merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Prono. Hal

tersebut membuatnya harus merelakan Prono menikah dengan Arini, dan menyimpan

cintanya terhadap Prono.

Setelah dilakukan pengamatan terhadap novel Purnama Kingkin, peneliti melihat satu

permasalahan yang dibungkus dalam cerita cinta. Permasalahan tersebut tentang bagaimana                                                                                                                          1Ami Safitri. Analisis Psikologi Sastra Pada Novel Amrike Kembang Kopi Karya Sunaryata Soemardjo. Universitas Muhammadiyah Purworejo. 5:5 (2014). 2Terjemahan: Sinar bulan purnama yang menembus lewat candela, seakan-akan ikut sedih melihat cinta yang dahulu pernah tumbuh subur, (namun) sekarang terpaksa tidak dapat menyatu. Purnama Kingkin.  

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 3: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

sikap perempuan Jawa yang sesuai dengan ungkapan aja rumangsa bisa, nanging bisaa

rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’, sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’,

dan wani ngalah luhur pungkasane ‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’ yang

dimiliki oleh tokoh utama dalam novel Purnama Kingkin.

Sebelum membahas hal tersebut, terlebih dahulu akan dibahas mengenai struktur

cerita dalam novel Purnama Kingkin. Hal ini dikarenakan Purnama Kingkin merupakan

sebuah karya sastra berupa novel atau fiksi yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun

diantaranya alur, tokoh, latar, tema, dan amanat. Namun, untuk menjawab bagaimana

gambaran sikap tokoh utama yang menjadi permasalahan penelitian ini, peneliti akan

berangkat dari satu unsur yang menonjol, yaitu tokoh dan penokohan, sebab, tokoh

penokohan merupakan unsur yang menggambarkan tentang karakter tokoh baik fisik maupun

psikis.

Sesuai dengan permasalahan yang telah disebutkan, penelitian ini bertujuan untuk

mengdeskripsikan struktur cerita novel yang di dalamnya menyiratkan kehidupan masyarakat

Jawa dalam ungkapan yang sangat spesifik, yakni aja rumangsa bisa, nanging bisaa

rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’, sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’,

dan wani ngalah luhur pungkasane ‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’ yang

dimiliki oleh tokoh utama dalam novel Purnama Kingkin.

Tinjauan Teoritis

Penelitian struktur cerita pada dasarnya berangkat dari pendekatan objektif. Analisis

struktur bertujuan membongkar dan memaparkan secermat dan semendalam mungkin

keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek suatu karya sastra yang secara bersama-

sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 2003: 112). Untuk menentukan unsur-

unsur tersebut digunakan pendekatan intrinsik. Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang

menganalisa struktur karya sastra secara otonom (Teeuw, 2003: 100). Analisis struktur ini

berdasarkan pada tumpuan teks karya sastra itu sendiri, serta hubungan antara unsur di dalam

teks itu.

Menurut Burhan (1995: 37), analisis struktur karya sastra, yang dalam hal ini fiksi,

dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan

hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur-unsur tersebut terdiri dari alur

dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar, tema dan amanat.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 4: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Setelah disimpulkan hasil dari unsur-unsur yang membangun cerita, kemudian

penelitian ini difokuskan pada permasalahan bagaimana sikap perempuan Jawa yang sesuai

dengan ungkapan aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi

bisalah merasa’, sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’, dan wani ngalah luhur pungkasane

‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’ yang dimiliki oleh tokoh utama dalam novel

Purnama Kingkin.

Menurut Parwatri dalam jurnal Makara Volume 8 No. 2 berjudul Sastra Wulang Dari

Abad XIX: Serat Candrarini Suatu Kajian Budaya (2004), menyebutkan bahwa kelima isteri

Arjuna yang menjadi teladan para wanita dilukiskan sangat cantik, menarik, selalu

memperhatikan, memelihara dan merawat rambut, wajah dan badannya dengan berbagai

ramuan dan wewangian, berbusana rapi sesuai dengan tempat dan waktu, bertutur kata halus

dan berperilaku sopan, supel, rendah hati, dan bersahabat. Di samping itu wanita harus setia

dan bakti kepada suami dan mertua, serta harus memiliki berbagai ketrampilan wanita.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis

deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang menggambarkan data yang ada dalam karya

sastra, sedangkan analisis adalah metode yang menguraikan atau membahas data yang ada

dalam karya sastra. Dalam prakteknya metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara

mendeskripsikan fakta-fakta yang disusul dengan tahapan analisis (Nyoman, 2004: 53).

Metode di atas digunakan untuk menganalisis struktur cerita dalam novel. Penelitian

struktural pada dasarnya berangkat dari pendekatan objektif. Analisis struktur cerita bertujuan

membongkar dan memaparkan secermat dan semendalam mungkin keterkaitan dan

keterjalinan semua unsur dan aspek suatu karya sastra yang secara bersama-sama

menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 2003: 112). Untuk menentukan unsur-unsur

tersebut digunakan pendekatan intrinsik. Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang

menganalisa struktur karya sastra secara otonom (Teeuw, 2003: 100). Analisis struktur cerita

ini berdasarkan pada tumpuan teks karya sastra itu sendiri, serta hubungan antara unsur di

dalam teks itu.

Teknik yang digunakan di dalam penelitian ini ialah dengan memeriksa unsur cerita,

seperti alur, tema, amanat, penokohan, dan latar peristiwa. Unsur-unsur tersebut akan disertai

kutipan teks cerita yang mengacu pada tema dan amanat, tokoh, dan latar peristiwa.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 5: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Setelah mendapatkan satu pemahaman yang utuh tentang unsur intrinsik terutama tokoh dan

penokohan, peneliti menemukan adanya suatu gambaran tokoh utama yang seperti pada

umumnya perempuan Jawa, yaitu diam. Karakter diam inilah yang kemudian peneliti

perhatikan bahwa tokoh utama sebagai perempuan jawa memiliki karakter yang dapat

dianalogikan dalam ungkapan aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa

bisa, tetapi bisalah merasa’, sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’, dan wani ngalah luhur

pungkasane ‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’.

Pembahasan dan Hasil Penelitian

1. Asih sebagai tokoh utama

Pada bagian sebelumnya, khususnya pada bagian analisis tokoh dan penokohan, telah

ditentukan tokoh utama dalam novel Purnama Kingkin adalah Asih. Hal ini berdasarkan

keterlibatan Asih dalam membangun Alur. Peristiwa-peristiwa yang menceritakan tentang

Asih antara lain, latar belakang keluarga Asih, kegiatan Asih sebagai bidan, masalah

percintaan Asih dengan Prono dan Andik, keterlibatan Asih dalam perceraian Arini dengan

Prono, dan tentang Asih yang memiliki saudara kembar.

Dalam novel Purnama Kingkin, secara fisik Asih digambarkan sebagai seorang

perempuan yang sederhana dan cantik. Selain itu Asih juga seorang yang lemah lembut, dan

pendiam.

Arini kober nyawang. Batine ngalem. Prasaja lan ayu temenan. Olehe nyawang wiwit sikil nganti rambute. Sampurna banget. (PK, 2014: 6).

Terjemahan:

Arini sempat melihat. Batinnya memuji. Sederhana dan cantik sekali. Ia melihat mulai kaki sampai rambut. Sempurna sekali.

Masakane Bu Bidhan enak lan sedhep. Cocog karo priyayine sing alus rada meneng lan ayu. Ing batin Andik ngelem. (PK, 2014: 27).

Terjemahan:

Masakan Bu Bidan enak dan sedap. Sesuai dengan orangnya yang kalem sedikit pendiam dan cantik. Di hati Andik memuji.

Asih juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang pengertian, tidak banyak

bicara, trampil, rajin, seperti dalam kutipan berikut ini.

Asih sing kalem, pangerten, lan alus bebudene. (PK, 2014: 41).

Terjemahan:

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 6: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Asih yang kalem, pengertian, dan tingkah laku yang lemah lembut.

Dene Asih bocahe ya ayu, kalem, ora akeh omonge nanging prigel marang sakehing penggaweyan, sregep, lumrahe ngono iku klebu kenya sing setya. (PK, 2014: 42).

Terjemahan:

Sedangkan Asih juga anak yang cantik, kalem, tidak banyak bicara tetapi trampil terhadap semua pekerjaan, rajin, umumnya seperti itu tergolong perempuan yang setia.

Selain secara fisik, dalam novel Purnama Kingkin juga menggambarkan latar sosial

yang dimiliki oleh Asih. Asih memiliki latar belakang sebagai orang yang kurang mampu

secara materi. Sejak kecil Asih tidak pernah tahu siapa ayahnya. Setiap hari, ia hanya dirawat

oleh ibu dan neneknya. Kemudian ketika SMA ibu Asih yang tidak dapat membiayai sekolah

Asih, menitipkan Asih kepada saudaranya, yaitu keluarga Prono.

Kelingan jaman cilikane, sing ora nate ketunggon bapake. Sedina-dina mung ibune lan simbahe putri wae. Simbah kakung ya wis seda. Ibune mung bisa ngragadi sekolah tekan SMA, banjur didherekake misanane, wong sing wis dianggep kaya sedulure dhewe, ora liya ya ibune Prono. (PK, 2014: 78).

Terjemahan:

Teringat masa kecilnya, yang tidak pernah tinggal bersama ayahnya. Setiap hari hanya (dengan) ibu dan neneknya saja. Kakeknya sudah meninggal. Ibunya hanya dapat membiayai sekolah sampai SMA, kemudian dititipkan sepupunya, orang yang sudah dianggap seperti saudara sendiri, tidak lain ya ibu Prono.

Setelah lulus SMA, keluarga Prono juga menyekolahkan Asih hingga lulus di AKBID

(Akademi Kebidanan). Sekarang Asih telah menjadi bidan di salah satu Puskesmas di

desanya.

Nalika lulus SMA bapake Mas Prono malah ngutus nerusake kuliah, nganti lulus banjur dadi bidhan desa, senajan isih sukwan. (PK, 20014: 11).

Terjemahan:

Ketika lulus SMA ayah Mas Prono malah menyuruh untuk meneruskan kuliah, sampai lulus kemudian menjadi bidan desa, meskipun masih sukwan.3

Beberapa tahun kemudian, Asih memutuskan untuk pindah tugas di Polindes Tlemang.

Sebagai seorang bidan, meskipun masih muda, Asih dianggap sebagai perempuan yang

memiliki kelebihan daripada ibu-ibu yang ada di desa tersebut.

Apa maneh saiki dheweke senajan umure isih enom, nanging kabeh-kabeh padha ngundang Bu menyang dheweke. Ateges wis dianggep ibu sing nduwe kaluwihan tinimbang ibu-ibu desa kono. (PK, 2014: 30).

                                                                                                                         3Sukwan merupakan kepanjangan dari esuk awan yang berarti pagi siang. Kata ini dalam bahasa Jawa disebut dengan tembung camborantugel yaitu gabungan dua kata yang masing-masing kata hanya diambil sebagian suku katanya. Contoh lain: bangjo dari dua kata yaitu abang dan ijo.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 7: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Terjemahan:

Apalagi sekarang meskipun umurnya masih muda, tetapi semua memanggilnya Bu kepadanya. (hal itu) berarti (ia) sudah dianggap ibu yang memiliki kelebihan daripada ibu-ibu desa tersebut.

Pekerjaannya sebagai bidan menuntut Asih untuk memperhatikan kesehatan

masyarakat di desanya. Asih berusaha untuk mencari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki

oleh desa tempat ia tinggal sekarang dengan tujuan agar ia tahu hal apa saja yang harus

diperbaiki.

Saliyane iku satemene anggone ndolani para ibu-ibu mau ya ana karep liyane, sepisan nambah srawunge, lan sing wigati maneh Asih kepengin ngerti kaya apa kahanan sanitasi lingkungan omahe, pakulinan liyane kaya ngombene, bebuwange, mangan lan njero omahe kaya kamar kanggo turune. Klebu olehe manggonake raja kayane kepriye. Sethithik-sethithik dheweke bisa nyrateni kepiye sikepe para penduduk desa kono. Wis ngerti apa keluwihan lan kekurangane wong desa kono. Paling ora Asih wis duwe bahan saupama dheweke arep ndandani utawa ningkatake kualitas kesehatan. (PK, 2014: 17).

Terjemahan:

Selain itu sebenarnya ada tujuan lain ketika mengunjungi ibu-ibu tadi, pertama menambah keakraban, dan yang terpenting Asih ingin mengerti seperti apa keadaan sanitasi lingkungan rumah, kebiasaan lainnya seperti minum, pembuangan, makan dan dalam rumah seperti kamar untuk tidur,. Termasuk juga dalam menempatkan harta bendanya bagaimana. Sedikit-sedikit ia dapat memperhatikan bagaimana sikap para penduduk desa tersebut. Sudag mengerti kelebihan dan kekurangan orang desa tersebut. Paling tidak Asih sudah mempunyai bahan (jika) seumpama akan memperbaiki atau meningkatkan kualitas kesehatan.

Saiki dheweke kudu mikir bab kahanane ibu-ibu, kesehatane ibu-ibu lan putrane sing ana desane kanti total. (PK, 2014: 30).

Terjemahan:

Sekarang ia harus memikirkan tentang keadaan ibu-ibu, kesehatan ibu-ibu dan putranya yang ada di desanya dengan maksimal.

Selain itu Asih juga dituntut untuk sabar memberikan pengertian dan penjelasan

kepada masyarakat desa Tlemang yang dirasa kurang memperhatikan masalah kesehatan dan

kebersihan lingkungan.

Ah, wong sing satemene padha mangerteni kepriye olehe kudu nyegah kanthi ndandani lingkungan njaba lan njero omah ben resik, nanging ora nate dileksanakake kanthi taberi. Yen wes ana wabah lagi padha bingung. (PK, 2014: 35).

Terjemahan:

Ah, orang yang sebenarnya sama-sama mengerti bagaimana seharusnya mencegah dengan memperbaiki lingkungan (yang ada) di luar dan di dalam rumah agar bersih, tetapi tidak pernah dilaksanakan dengan rutin. Jika sudah ada wabah baru bingung.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 8: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Dalam novel Purnama Kingkin juga diceritakan bahwa Asih memiliki saudara kembar.

Orangtuanya memisahkan Asih dari saudara kembarnya sejak bayi. Orangtua Asih yang

hidup serba kekurangan tidak mampu membesarkan kedua putrinya. Oleh karena itu,

orangtua Asih memberikan saudara kembar Asih yang bernama Asri kepada sepupu ayahnya

yang sudah bertahun-tahun menikah namun tidak memiliki anak sedangkan Asih sedari kecil

dirawat oleh Ibu dan neneknya. Namun, ketika SMA Asih dititipkan kepada keluarga Prono

hingga sekarang ia menjadi bidan. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut ini.

Oh, Ibu sadurunge njaluk pangapura. Kowe satemene duwe sedulur kembar wadon, nanging jalaran kahanan sing sarwa cumpen banjur ana misanane bapakmu sing olehe krama wis nem taunan nanging durung kagungan putra, kepengin mupu sedulurmu. Bapak lan ibumu kepeksa ngeculake sedulurmu mau dipundhut putra dening misanane bapakmu. (PK, 2014: 90).

Terjemahan:

Oh, ibu sebelumnya meminta maaf. Kamu sebenarnya memiliki saudara kembar putri, tetapi karena keadaan yang serba kekurangan kemudian ada sepupu ayahmu yang sudah menikah enam tahun tetapi belum memiliki anak, ingin mengangkat saudaramu. Bapak dan ibumu terpaksa melepaskan saudaramu tadi diangkat menjadi anak oleh sepupu ayahmu.

2. Karakter Asih sebagai perempuan Jawa

Menurut Parwatri dalam jurnal Makara Volume 8 No. 2 berjudul Sastra Wulang Dari

Abad XIX: Serat Candrarini Suatu Kajian Budaya (2004), menyebutkan bahwa kelima isteri

Arjuna yang menjadi teladan para wanita dilukiskan sangat cantik, menarik, selalu

memperhatikan, memelihara dan merawat rambut, wajah dan badannya dengan berbagai

ramuan dan wewangian, berbusana rapi sesuai dengan tempat dan waktu, bertutur kata halus

dan berperilaku sopan, supel, rendah hati, dan bersahabat. Di samping itu wanita harus setia

dan bakti kepada suami dan mertua, serta harus memiliki berbagai ketrampilan wanita.

Batasan tentang teladan seorang perempuan Jawa, diperoleh sebuah asumsi tentang

gambaran perempuan yang ideal dalam orientasi budaya Jawa, yaitu bertutur kata halus,

penyabar, pasrah, penurut, dan setia.

Dalam novel Purnama Kingkin juga ditemukan gambaran tentang perempuan Jawa

oleh tokoh utama, yaitu Asih. Dalam analisis tokoh dan penokohan, Asih digambarkan

sebagai perempuan Jawa yang memiliki sikap diam (kalem), dapat mengendalikan diri, sabar,

berani mengalah, dan suka menolong. Sikap-sikap ini di dukung dengan latar belakang yang

dimiliki Asih. Asih berasal dari keluarga yang tidak mampu secara materi. Dari SMA, ia

dibesarkan dan disekolahkan oleh orang lain yang masih berstatus keluarga dengannya, yaitu

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 9: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

keluarga Prono, hingga sekarang ia telah menjadi seorang bidan di desanya. Latar

belakangnya tersebut membuat Asih menjadi seorang perempuan yang kuat dan mandiri.

Berikut akan diuraikan gambaran sikap tokoh utama dalam novel Purnama Kingkin,

yaitu bisaa rumangsa ‘bisalah merasa’, sareh ‘sabar’, dan ngalah ‘mengalah’.

2.1 Bisaa Rumangsa‘bisalah merasa’

Dalam kebudayaan Jawa ada sebuah ungkapan, yaitu aja rumangsa bisa, nanging

bisaa rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’. Ungkapan tersebut memiliki

makna bahwa seseorang harus menjadi sosok yang rendah hati, sebaliknya tidak tumbuh

menjadi sosok yang tinggi hati (Siti, 2006).

Sikap bisaa rumangsa adalah sikap di mana seseorang dapat mengerti dan

mengoreksi keadaan atau kemampuan dirinya sendiri sehingga dalam melakukan sesuatu ia

lebih bersikap arif dan bijaksana. Sikap bisaa rumangsa dimiliki oleh Asih, seperti dalam

kutipan berikut ini.

Nanging rasa tresnane asih menyang Prono dipenggak, mung disimpen rapet ana telenge atine. Dheweke rumangsa ora pantes nresnani, kudune wis ngrumangsani begja, jalaran wong tuwane Mas Prono wis kersa ngopeni, mbandhani prasasat wis dianggep kaya putra dhewe. (PK, 2014: 12).

Terjemahan:

Tetapi rasa cinta Asih kepada Prono diakhiri, hanya disimpan rapat di dalam hatinya. Dia merasa tidak pantas mencintai, harusnya sudah merasa beruntung, karena orang tua Mas Prono sudah mau merawat, membiayai bahkan menganggap seperti anak sendiri.

Dalam kutipan diatas, terdapat sebuah kalimat kudune wis ngrumangsani begja

‘seharusnya sudah merasa beruntung’. Kalimat tersebut mengandung arti bahwa ada suatu

kesadaran yang dimiliki oleh tokoh utama, yaitu kesadaran bahwa dirinya telah beruntung.

Keberuntungan yang didapat oleh tokoh utama dijelaskan dalam kalimat selanjutnya, yaitu

jalaran wong tuwane mas Prono wis kersa ngopeni, mbandhani prasasat wis dianggep kaya

putra dhewe ‘karena orang tua Prono sudah mau merawat dan membiayai bahkan sudah

dianggap sebagai anak sendiri’. Kesadaran tersebut menghasilkan sikap tokoh utama untuk

menyimpan rapat perasaan cintanya kepada Prono yang merupakan putra dari orang yang

telah membesarkan dirinya. Sikap sadar inilah yang mengacu kepada sikap bisaa rumangsa.

Sikap bisaa rumangsa juga diperlihatkan oleh Asih dalam kutipan berikut ini.

Apa maneh saiki dheweke senajan umure isih enom, nanging kabeh-kabeh padha ngundang Bu menyang dheweke. Ateges wis dianggep ibu sing nduwe kaluwihan tinimbang ibu-ibu desa kono. Gelem ora gelem dheweke kudu asikep diwasa kaya

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 10: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

ibu-ibu sing wis rumah tangga kae. Senajan ta kesenengane ngrungokake lagu-lagu utawa kesenengane tuku wacan majalah lan novel ora bisa diilangake babarpisan. (PK, 2014: 30).

Terjemahan:

Apalagi sekarang meskipun dia masih muda, tetapi semua memanggil Bu kepadanya. Artinya, sudah dianggap ibu yang memiliki kelebihan daripada ibu-ibu desa tersebut. Mau tidak mau dia harus bersikap dewasa seperti ibu-ibu yang sudah berumah tangga. Meskipun kesenangan mendengarkan lagu-lagu atau kesenangan membeli bacaan majalah dan novel tidak dapat dihilangkan sama sekali.

Dalam kutipan di atas, kalimat gelem ora gelem dheweke kudu asikep diwasa ‘mau

tidak mau dia harus bersikap dewasa’ mengandung arti bahwa tindakan itu harus dikerjakan.

Dalam kalimat tersebut menggambarkan bahwa tokoh utama tidak memiliki pilihan, di mana

ia harus mengerjakan sesuatu yaitu asikep diwasa atau bersikap dewasa. Keharusan yang

dimaksud dalam kutipan diatas di dorong dengan adanya panggilan yang melekat dalam

dirinya yaitu Bu yang berarti bahwa tokoh utama oleh masyarakat desa sudah dianggap

sebagai seorang perempuan yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan ibu-ibu desa

tersebut. Dalam kalimat tersebut juga terdapat sebuah kesadaran tokoh utama yang mengacu

pada sikap bisaa rumangsa, di mana tokoh utama harus melakukan sebuah tindakan yang

secara tidak langsung sudah menjadi kewajibannya sebagai bidan yaitu bersikap dewasa.

Bersikap dewasa tersebut ditunjukkan dengan cara mengesampingkan kepentingan

pribadinya dan lebih mementingkan kesehatan masyarakat desa tersebut. Hal ini terlihat

dalam kutipan berikut.

Nanging kepriyea wae kesenengan iki kudu disisihake luwih dhisik, wis ora jamane maneh dheweke asikep kaya nalika isih remaja biyen. Saiki dheweke kudu mikir bab kahanane ibu-ibu, kesehatane ibu-ibu lan putrane sing ana desane kanti total. (PK. 2014: 30).

Terjemahan:

Tetapi bagaimana pun juga kesanangan ini harus disisihkan terlebih dahulu, sudah bukan masanya lagi ia bersikap seperti ketika masih remaja dulu. Sekarang ia harus memikirkan tentang keadaan ibu-ibu, kesehatan ibu-ibu dan putranya yang ada di desa dengan maksimal.

Sikap bisaa rumangsa yang dimiliki oleh tokoh utama dalam kutipan tersebut yaitu

menekankan pada segi tertentu dan mengabaikan segi lainnya. Tokoh utama membedakan hal

mana yang lebih penting dan kurang penting, dengan memusatkan perhatiannya kepada orang

lain daripada kepada dirinya sendiri.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 11: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Selain itu sikap yang menggambarkan tentang tokoh utama yang memiliki sikap bisaa

rumangsa dapat dilihat dalam perilakunya terhadap orang lain, seperti dalam kutipan berikut

ini.

Asih banjur milih bakso sangombene. Dumadakan Asih rumangsa yen Prono wis dadi duweke Arini. Dheweke ngadeg, karepe arep ngalih, ora dadi sameja karo Prono lan Arini. (PK, 2014: 53).

Terjemahan:

Asih kemudian memesan bakso dan minuman. Tiba-tiba Asih dasar bahwa Prono sudah menjadi milik Arini. Ia berdiri, tujuannya ingin pindah, (agar) tidak semeja dengan Prono dan Arini.

Kata rumangsa dalam kalimat yang tercetak tebal berarti sadar. Dalam hal ini tokoh

utama sadar akan status orang lain yaitu Prono yang telah menjadi milik Arini. Sikap sadar

tersebut mempengaruhi tokoh utama dalam melakukan tindakan selanjutnya, yaitu

menghindar atau pindah. Tokoh utama memiliki kepekaan terhadap situasi yang sedang

dihadapinya. Kepekaan tersebut membuat tokoh utama melakukan hal yang dianggap sesuai

untuk mencapai sebuah tujuan yaitu kebaikan bersama. Kebaikan bersama yang dimaksud,

yaitu agar tidak terjadi konflik antara tokoh utama dengan orang lain. Kepekaan inilah yang

mengacu kepada sikap bisaa rumangsa.

Selain itu sikap yang sama juga diperlihatkan oleh Asih dalam kutipan berikut ini.

Penthol bakso ana mangkok sing durung dicampur, disendhok banjur diseleh ana mangkoke Prono. Arini ngerti kahanan iki dadi kaget. Asih banjur ngrumangsani yen tumindake kliru. Ah, kok bodho banget tumindakku. Dheweke pancen wis kulina nalika mangan bakso bareng, penthol sing ana mangkoke diwenehake Prono. “Eh, pangapurane, Mbak.” (PK, 2014: 54).

Terjemahan:

Bakso di amngkok yang belum dicampur, disendok kemudian diletakkan ke dalam mangkok Prono. Arini yang mengerti keadaan tersebut kaget. Asih kemudian menyadari jika tindakannya salah. Ah, kok bodoh sekali tindakanku. Dia memang sudah terbiasa ketika makan bakso bersama, bakso yang ada di mangkok diberikan Prono. “Eh, maaf, Mbak.”

Dalam kalimat tersebut terdapat kata ngrumangsani ‘menyadari’ dalam kalimat yang

tercetak tebal. Kata ngrumangsani dalam kalimat tersebut mengacu kepada kesadaran akan

sebuah kesalahan yang telah dilakukan oleh tokoh utama. Setelah menyadari kesalahannya,

tokoh utama meminta maaf kepada orang yang merasa dirugikan atau tersakiti akibat dari

tindakannya. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa tokoh utama memiliki empati, yaitu

dapat merasakan perasaan atau keadaan orang lain. Sikap empati tersebut juga mengacu

kepada sikap bisaa rumangsa.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 12: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Sikap yang sama juga diperlihatkan dalam kutipan berikut ini.

Baline Prono, Asih sangsaya bingung. Dheweke rumangsa sing dadi sumbere prastawa pisahe Arini lan Prono. Asih banjur kelingan Bulike olehe duka ora karu-karuwan marang dheweke. Mbokmenawa pancen bener ngendikane, yen dheweke wong sing ora ngerti ditulung. Ditulung malah menthung, ngrusak rumah tanggane Prono. (PK, 2014: 164).

Terjemahan:

Setelah Prono pulang, Asih semakin bingung. Ia merasa menjadi penyebab peristiwa pisahnya Arini dengan Prono. Asih kemudian teringat Bulik (tante) ketika marah-marah kepada dirinya. Mungkin memang benar apa yang dikatakannya, jika Asih (adalah) orang yang tidak mengerti ditolong. Ditulung malah menthung,4 merusak rumah tangga Prono.

Kalimat yang tercetak tebal menggambarkan bahwa tokoh utama menyadari tentang

kesalahan yang telah dilakukannya, dalam hal ini yaitu telah menjadi penyebab pisahnya

Arini dengan Prono. Perasaan bersalahnya diperkuat dengan ungkapan bahasa Jawa yaitu

ditulung malah menthung. Ungkapan tersebut berarti bahwa seseorang yang telah ditolong

malah menyusahkan atau membuat menderita orang yang sudah menolong (S. Padmosoekatja,

1958: 54). Ungkapan ini tergambar dalam kutipan di atas yaitu Asih yang telah ditolong oleh

orang tua Prono, kemudian karena kesalahannya ia malah menyebabkan rusaknya rumah

tangga Prono. Penilaian terhadap kesalahan yang telah ia perbuat mengacu kepada sikap

bisaa rumangsa.

Sikap bisaa rumangsa ‘bisalah merasa’ dalam novel Purnama Kingkin digambarkan

oleh tokoh utama dengan sikap memiliki kesadaran atau kepekaan terhadap situasi yang

dihadapi, memiliki empati yaitu dapat merasakan perasaan atau keadaan orang lain, lebih

menekankan terhadap kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi, dan dapat

menilai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk menciptakan atau

mencapai tujuan bersama yaitu suasana damai dan tentram.

2.2 Sareh‘sabar’

Peristiwa selanjutnya yang dialami tokoh utama mengacu kepada sikap sareh ‘sabar’.

Dalam bahasa Jawa terdapat ungkapan yaitu sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’. Sareh

dalam kamus bahasa Jawa berarti sabar ‘sabar’, ora kesusu ‘tidak terburu-buru’ atau ora

cepak nepsune ‘tidak pendek nafsunya’. Pakoleh dalam kamus bahasa Jawa berarti mapan

banget ‘tepat sekali’, cocog (pantes) ‘cocok (pantas)’, kepenak ‘bahagia’.5 Dari pengertian

                                                                                                                         4 Ditulung malah menthung merupakan ungkapan bahasa Jawa yang berarti orang yang sudah ditolong pada akhirnya malah membuat orang yang menolong menjadi susah, (Padmosoekotjo, 1958: 54). 5Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2000. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 555.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 13: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

tersebut dapat disimpulkan bahwa sareh pakoleh berarti orang yang sabar akan memperoleh

apa yang menjadi keinginannya.

Dalam novel Purnama Kingkin tokoh utama menghadapi permasalahan-permasalahan

yang terjadi dalam kehidupannya. Pertama, yakni tokoh utama yang sejak SMA dititipakan

kepada saudaranya, terlihat dalam kutipan berikut ini.

Saploke kelas siji SMA, ibune wis ora kuwat ngragadi, banjur didherekake marang keluargane Mas prono, supaya Asih bisa nerusake sekolahe nganti tutug SMA. Nalika lulus SMA bapake Mas Prono malah ngutus nerusake kuliah, nganti lulus banjur dadi bidhan desa, senajan isih sukwan. (PK, 20014: 11).

Terjemahan:

Ketika kelas satu SMA, ibunya sudah tidak mampu membiayai, kemudian dititipkan kepada keluarga Mas Prono, agar Asih dapat meneruskan sekolahnya hingga lulus SMA. Ketika lulus SMA, ayah Prono malah menyuruh untuk meneruskan kuliah, sampai lulus kemdian menjadi bidan desa meskipun masih sukwan (esuk awan = pagi siang).

Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa tokoh utama memiliki latar sosial dari

keluarga yang kurang mampu. Ketidakmampuan orang tua Asih secara materi, membuat Asih

dititipkan kepada saudaranya, yaitu keluarga Prono. Bukan hal yang mudah bagi tokoh utama

tinggal bersama orang lain. Kesabaran yang dimiliki oleh tokoh utama tergambar dalam

usahanya untuk bertahan. Seperti dalam kutipan berikut ini

Saliyane iku Asih uga sregep banget anggone melu rewang-rewang bot repote jroning omahe ibune Prono. Olehe melu tandang gawe ora wigah-wigih, kala-kala ya melu menyang sawah lan ngopeni panenan rambutan barang. (PK, 2014: 78).

Terjemahan:

Selain itu, Asih juga rajin sekali dalam membantu pekerjaan rumah ibu Prono. dalam melakukan pekerjaan tidak pilah-pilih, terkadang juga ikut ke sawah dan merawat kebun rambutan juga.

Sikap bertahan oleh tokoh utama dalam kutipan di atas digambarkan dengan

pengabdian kepada keluarga Prono sejak SMA hingga sekarang menjadi bidan. Setiap hari

Asih rajin membantu orang tua Prono di rumah. Kesabaran ditunjukkan dengan cara mampu

menerima keadaan. Hal tersebut membuat tokoh utama memiliki pribadi yang kuat dan

tangguh. Ketangguhan tersebut menghasilkan pakoleh, yaitu sekarang Asih menjadi seorang

bidan desa yang mandiri.

Permasalahan keduanya, yakni Asih yang sedari kecil tidak mengetahui ayahnya.

Sampai sekarang keberadaan ayahnya tidak jelas.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 14: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Asih banjur ngangen-angen awake dhewe. Nganti saiki durung nate tepung sapa bapake. Wiwit cilik mung ketunggon ibu lan simbahe wae. Bola-bali takon nanging nganti saprene mung diwangsuli yen bapake saiki ing Kalimantan.(PK, 2014: 68).

Terjemahan:

Asih kemudian mengingat-ingat dirinya sendiri. Sampai sekarang ia belum pernah kenal siapa ayahnya. Sejak kecil hanya bersama ibu dan neneknya saja. Berkali-kali bertanya tetapi samap sekarang hanya dijawab bahwa ayahnya sekarang ada di Kalimantan.

Dalam kutipan di atas diceritakan bahwa Asih hidup tanpa dirawat oleh ayahnya.

Dalam kalimat yang tercetak tebal, ada kata bola-bali takon. Kata ini menggambarkan

perilaku yang sering kali dilakukan. Dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa Asih

sering bertanya di mana ayahnya berada. Perilaku ini menunjukkan bahwa tokoh utama

memiliki sikap tidak mudah putus asa. Sikap tidak mudah putus asa inilah yang mengacu

kepada sikap sabar yang dimiliki oleh tokoh utama.

Masalah ketiga yang dialami Asih, yaitu kabar tentang saudara kembarnya, seperti

dalam kutipan berikut ini. Dari masih bayi, ternyata Asih dipisah dengan saudara kembarnya

oleh orang tuanya. Orang tua Asih yang hidup serba kekurangan, membuatnya terpaksa

memberikan saudara kembarnya kepada saudaranya yang selama enam tahun menikah tidak

memiliki anak.

Kowe satemene duwe sedulur kembar wadon, nanging jalaran kahanan sing sarwa cumpen banjur ana misanane Bapakmu sing olehe krama wis nem tahunan nanging durung kagungan putra, kepengin mupu sedulurmu. Bapak lan ibumu kepeksa ngeculake sedulurmu mau dipundhut putra dening misanane bapakmu. (PK, 2014: 90).

Terjemahan:

Kamu sebenarnya memiliki saudara kembar putri, tetapi karena keadaan yang serba kekurangan kemudian ada sepupu ayahmu yang sudah menikah enam tahun tetapi belum memiliki anak, ingin mengangkat saudaramu. Bapak dan ibumu terpaksa melepaskan saudaramu tadi diangkat menjadi anak oleh sepupu ayahmu.

Dalam kutipan tersebut menceritakan bahwa sejak bayi, Asih dipisahkan dengan

saudara kembarnya oleh orang tuanya. Orang tua Asih yang hidup serba kekurangan,

membuatnya terpaksa memberikan saudara kembarnya kepada saudaranya. Setelah

mengetahui tentang saudara kembarnya, Asih berusaha untuk dapat bertemu dengan saudara

kembarnya tersebut.

Sajoge Asih ngerti yen duwe sedulur kembar dheweke banjur mikir kepriye carane tansah bisa ketemu. Aja maneh kok ketemu, lha, papan dununge ana ngendi dheweke ya ora mangerteni. (PK, 2014: 93).

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 15: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Terjemahan:

Setelah Asih mengetahui jika ia memiliki saudara kembar, kemudian ia memikirkan bagaimana caranya agar dapat bertemu. Jangankan bertemu, tempat tinggalnya ada dimana dia tidak mengetahui.

“Kula kepengin sanget kepanggih sedherek kula, Bu. Mila kula suwun Ibu kersa paring pitedah lan mangestoni.” (PK, 2014: 173).

Terjemahan:

“Saya ingin sekali bertemu dengan saudara saya, Bu. Maka saya minta ibu mau memberitahu dan merestui.”

Dalam kutipan tersebut juga digambarkan bahwa Asih tidak putus asa untuk mencari

saudara kembarnya. Ia berusaha dengan cara bertanya kepada ibunya tempat tinggal saudara

kembarnya. Sikap tidak putus asa yang mengacu kepada sikap sabar tersebut memperoleh

hasil yaitu Asih bertemu dengan saudara kembarnya.

Ketiga permasalahan tersebut tidak membuat tokoh utama berpikir negatif. Meskipun

permasalahan yang dihadapinya sungguh berat, ia tetap berusaha untuk tetap optimis dan

tidak putus asa. Sikap tidak putus asa tersebut menggambakan sikap sareh yang akhirnya

meghasilkan sebuh hasil yang diinginkan. Kesabaran yang dimiliki tokoh utama juga terlihat

dalam kutipan berikut ini.

Acara resepsi pernikahane Arini wis mungkur. Asih teka bebarengan karo Andik lan Asri. Asih teka kanthi niyat ekhlasing atine. Mbokmenawa mengko sawayah-wayah ing kana nemoni kahanan sing ora gawe kepenak atine, bakal ditampa kanthi lega lila lan jembaring ati. Gejolak emosine wis cuwer. Paribasan wong sing wis nate luput ora bakal suwala senajan mengko ana sing nyenyenges.(PK, 2014: 182).

Terjemahan:

Acara resepsi pernikahan Arini sudah tiba. Asih datang bersama Andik dan Asri. Asih datang dengan niat yang ikhlas dari hati. Jika nanti sewaktu-waktu di sana menemui keadaan yang membuat tidak enak hati, akan diterima dengan ikhlas reladan lapang dada. Gejolak hatinya sudah mencair. Peribahasanya orang yang telah melakukan salah tidak akan melawan meskipun nanti ada yang nyenyenges (=menghina).

Dalam kutipan di atas disebutkan bahwa wong sing wis nate luput ora bakal suwala

senajan mengko ana sing nyenyenges ‘orang yang sudah pernah salah tidak akan menolak

meskipun anti ada yang mencemooh’, artinya tokoh utama diceritakan telah melakukan

kesalahan. Maka jika nantinya akanada seseorang mencemooh dia karena keselahannya

tersebut, ia tidak akan melawan atau menolak cemoohan tersebut. Untuk menghadapi hal

tersebut, tokoh utama berusaha menerima keadaan yang mungkin terjadi. Sikap menerima

inilah yang mengacu kepada sikap sareh. Dalam kutipan diatas secara implisit disebutkan

dengan kata lega lila lan jembaring ati yang berarti rela ikhlas dan lapang dada atau sabar.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 16: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Dari peristiwa-peristiwa yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap

sabar yang dimiliki oleh tokoh utama dalam novel Purnama Kingkin digambarkan dengan

sikap menerima, bertahan, dan tidak putus asa dalam menghadapi permasalahan-permasalah

yang ada dalam kehidupan.

4.2.3 Wani Ngalah ‘berani mengalah’

Dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan ungkapan wani ngalah luhur wekasane.

Ungkapan ini terbentuk dari kata-kata wani ‘berani’, ngalah ‘mengalah’, luhur ‘tinggi’, dan

wekasane ‘pada akhirnya/ kelak’, sehingga arti keseluruhannya adalah berani mengalah untuk

kabaikan bersama (Soesilo, 2003). Dalam novel Purnama Kingkin tokoh utama digambarkan

sebagai sosok perempuan yang memiliki sikap wani ngalah seperti dalam kutipan berikut ini.

Asih kelingan Prono lan Arini, sing wis suwe ora ketemu. Saumpama jujur ngono, ing atine Asih isih ana simpenan katresnan marang Prono. Nanging dheweke kudu mbuwang pangrasa iku mau sing adoh, jalaran Prono katone wis tresna marang Arini, lan wong tuwane uga wis mangestoni sesambungane. Tujune Asih banjur dipanggonake ana Polindes. Baka sethithik Asih bisa nglalekake Prono. (PK, 2014: 79).

Terjemahan:

Asih teringat Prono dan Arini, yang sudah lama tidak bertemu. Jujur saja, di dalam hatinya Asih masih menyimpan cintanya kepada Prono. tetapi dia harus membuang perasaan itu yang jauh, karena Prono sepertinya cinta kepada Arini, dan orang tua Prono juga sudah merestui hubungannya. Kebetulan Asih kemudian ditempatkan di Polindes. Sedikit demi sedikit Asih dapat melupakan Prono.

Dalam kutipan di atas digambarkan bahwa tokoh utama merelakan untuk melepas

daripada memperjuangkan perasaannya. Hal ini bukan berarti tokoh utama putus asa dan

kalah, namun lebih kepada sikap rela melepas atau membiarkan sesuatu terjadi dengan tujuan

untuk menghindari konflik. Sikap mengalah yang dimiliki oleh tokoh utama bukan berarti

sebagai pihak yang bersalah. Sebaliknya, tokoh utama mampu mengendalikan nafsunya

sehingga dapat mengendalikan keinginannya. Sikap inilah yang mengacu kepada konsep

wani ngalah.

Selain itu sikap mengalah yang dimiliki Asih juga ditujukan kepada saudara

kembarnya yang akhirnya menikah dengan lelaki yang dahulu juga mencintainya, yaitu

Andik. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Sakawit Asih rumangsa seneng banget, jalaran bisa ketemu adhine sing pisah wiwit cilik. Bareng saiki, ketemu adhine wis ditresnane wong sing nate kandha tresna marang dheweke. (PK, 2014: 186).

Terjemahan:

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 17: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Awalnya Asih merasa senang sekali, karena dapat bertemu adiknya yang terpisah sejak kecil. sekarang malah, bertemu adiknya yang telah dicintai (oleh) orang yang pernah mengatakan cinta kepadanya.

Asri adhiku, kowe begja banget oleh Andik. Ana rasa iri, ana rasa meri sing ngiris atine. Nanging uga ana rasa kamulyan, dene Andik oleh sedulur kembare, Asri. Dheweke sing dianggep mbakyune, kudune ya ngalah. Ngalah ing samubarange. Ngalah katresnane, ngalah ing sakabehe. Dheweke banjur mupus. Kepriye wae Asri isih darah daginge dhewe. (PK, 2014: 185).

Terjemahan:

Asri adikku, kamu beruntung sekali mendapatkan Andik. Ada rasa iri yang mengiris hatinya. Tetapi juga merasa beruntung, ketika Andik mendapatkan saudara kembarnya, Asri. dia yang dianggap kakaknya, seharusnya mengalah. Mengalah dalam segala hal. Mengalah cintanya, mengalah semuanya. Dia kemudian mengakhiri. Bagaimana pun Asri masih darah dagingnya.

Dalam kutipan di atas secara implisit disebutkan bahwa tokoh utama berusaha untuk

mengalah. Sikap megalah yang dilakukan oleh tokoh utama yaitu mengalah kepada

saudaranya dengan merelakan laki-laki yang ia cintai menikah dengan saudaranya. Sebagai

seorang kakak, tokoh utama berusaha mengesampingkan keinginannya untuk kebahagian

orang lain, yaitu adiknya sendiri. Sikap tersebut mengacu kepada sikap wani ngalah luhur

pungkasane. Luhur dalam konteks ini adalah tokoh utama dalam kehidupannya mendapatkan

kehidupan yang harmonis dengan saudaranya.

Sikap wani ngalah dalam novel Purnama Kingkin digambarkan oleh tokoh utama

dengan sikap merelakan sesuatu untuk orang lain, dan mengesampingkan keinginannya untuk

orang lain demi mencapai kehidupan yang harmonis serta menghindari suatu konflik.

Kesimpulan Di dalam analisis tokoh dan penokohan dalam novel Purnama Kingkin, Asih sebagai

tokoh utama memiliki karakter yang cukup kuat. Asih sebagai tokoh utama digambarkan

sebagai perempuan Jawa yang memiliki sikap yang sesuai dengan tiga ungkapan bahasa Jawa

yaitu aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’,

sareh pakoleh ‘sabar (akan) berhasil’, dan wani ngalah luhur pungkasane ‘berani mengalah

(akan) baik pada akhirnya’.

Pada novel Purnama Kingkin, sikap bisaa rumangsa atau bisalah merasa, yang dalam

ungkapan bahasa Jawa berbunyi aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa

bisa, tetapi bisalah merasa’ digambarkan oleh tokoh utama dengan dengan berbagai sikap.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 18: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Sikap bisaa rumangsa digambarkan oleh tokoh utama berupa kesadaran atau kepekaan yang

dimilikinya terhadap situasi yang dihadapi. Kemudian tokoh utama juga memiliki empati

yaitu dapat merasakan perasaan atau keadaan orang lain. Selain itu, tokoh utama memiliki

sikap lebih menekankan terhadap kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi, serta

dapat menilai kesalahan-kesalah yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk menciptakan atau

mencapai tujuan bersama yaitu suasana damai dan tentram. Sikap-sikap tersebutlah yang

mengacu kepada sikap yang sesuai dengan ungkapan bahasa Jawa, yaitu aja rumangsa bisa,

nanging bisaa rumangsa ‘jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa’.

Sikap sareh atau sabar yang dalam ungkapan Jawa berbunyi sareh pakoleh ‘sabar

(akan) berhasil’, digambarakan dengan sikap dapat menerima, bertahan, dan tidak putus asa

dalam menghadapi permasalahan-permasalah yang ada dalam kehidupan.

Sikap wani ngalah dalam ungkapan bahasa Jawa berbunyi wani ngalah luhur

pungkasane ‘berani mengalah (akan) “tinggi” pada akhirnya’, digambarkan dengan sikap

berani merelakan sesuatu dengan mengesampingkan keinginannya untuk orang lain agar

tercapai sebuah kehidupan yang harmonis. Hal ini diperlihatkan oleh tokoh utama dengan

merelakan orang yang ia cintai bersanding dengan adiknya sendiri. sikap tersebut mengacu

kepada sikap wani ngalah ‘berani mengalah’.

Daftar Referensi

Buku

Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Jakob Soemardjo & Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Luxemburg, Mieke Bal, & Willem G. Weststeijn. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Melani Budianta. 2002. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan

Tinggi. Magelang: Indonesia Tera.

Nyoman Kutha Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015

Page 19: PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL PURNAMA KINGKIN

Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia.

S. Padmosoekatja. 1958. Ngengrengan Kasusastran Djawa I. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.

Siti Hardiyanti Rukmana. 2006. Butir-butir Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Purna Bakti

Pertiwi.

Soesilo. 2003. 80 Piwulang Ungkapan Orang Jawa. Jakarta: Yusula.

Suwardi Afendi Widayat. 2005. Diktat: Sejarah Sastra Jawa. Universitas Negeri Yogyakarta.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene & Warren Austin. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:

Djambatan.

Jurnal:

Ami Safitri. Analisis Psikologi Sastra pada Novel Amrike Kembang Kopi karya Sunaryata

Soemardjo. Universitas Muhammadiyah Purworejo.5:5 (2014).

Parwatri Wahjono. Sastra Wulang Dari Abad XIX: Serat Candrarini Suatu Kajian Budaya.

Makara. 8:2 (2004)

Kamus:

Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2000. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta:

Kanisius.

Perempuan jawa..., Rizki Amalia, FIB UI, 2015