Perda Kawasan Bandung Utara
Transcript of Perda Kawasan Bandung Utara
Perda Kawasan Bandung Utara, Macan Kertas ? June 15, 2010
Posted by Krisdinar in Sosial.Tags: Cisarua, Lembang, Perda KBU, Puncluttrackback
Jika suatu saat kita punya kesempatan jalan-jalan ke Kawasan Bandung Utara (KBU) semisal
Cisarua, Lembang, Dago, Pakar, atau Punclut akan ada nuansa rasa khawatir jika keindahan
alam yang saat ini terhampar luas musnah oleh desakan bangunan, restoran/cafe, hotel, villa,
perumahan yang semakin pesat perkembangannya. Tentu saja pemanfaatan ruang dan
sumberdaya alam KBU itu telah menimbulkan berbagai permasalahan, selain berakibat pada
penurunan kualitas lingkungan, pesatnya kegiatan pemanfaatan ruang di KBU memicu pula terjadinya berbagai konflik kepentingan antara
kebijakan pemerintah, pengembang (developer) dan masyarakat. Padahal berbagai kebijakan pengendalian dan pemanfaatan ruang di KBU telah
banyak dkeluarkan oleh pemerintah daerah.
Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang KBU antara lain adalah Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982,
yang mengatur kawasan Bandung Utara yang terletak di atas ketinggian 750 m dpl harus dilindungi . Melalui SK Gubernur tersebut diatur proporsi
pemanfaatan lahan di KBU, yakni 25% hutan, 60% pertanian tanaman keras, dan 15% pertanian non tanaman keras yang dapat dikembangkan
sebagai pemukiman. Selanjutnya diterbitkan Instruksi Gubernur Jabar No. 640/SK.1625-Bapp/1982, yang mengatur tentang pemberian izin
pembangunan di KBU.
Namun, sejak diberlakukannya SK gubernur tersebut pendirian gedung untuk berbagai keperluan terus berlanjut, baik yang dilakukan oleh
masyarakat, pengembang maupun pemerintah daerah sendiri bahkan diantaranya tanpa mempertimbangkan kebijakan, lingkungan hidup,
peruntukan dan kepentingan masyarakat KBU. Lebih tidak dimengerti adalah bagaimana mungkin izin lokasi pembangunan yang dikeluarkan
pemda kota/kabupaten masih terus diterbitkan padahal jelas-jelas melanggar aturan yang dikeluarkan Pemda Provinsi Jawa Barat.
Menyikapi kondisi kegiatan pembangunan di KBU yang tak terkendali tersebut, Pemerintah Daerah Jawa Barat menerbitkan Perda Jabar No. 1
Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, disusul penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar No. 21
Tahun 2009 yang memuat petunjuk pelaksanaannya. Namun demikian penerbitan Perda Jabar tersebut tidak menyurutkan proses kegiatan
pembangunan di kawasan KBU. Tentu saja ketidakpatuhan tersebut membuat berbagai kebijakan pengendalian dan pemanfaatan KBU yang
dikeluarkan Pemda Jawa Barat tidak lebih dari hanya sekedar “macan kertas yang lusuh”.
Selain SK Gubernur Pemerintah Kota Bandung telah pula mengeluarkan Perda Kota Bandung No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota (RTRW) Bandung yang kemudian di revisi melalui Perda Kota Bandung No. 3 Tahun 2006. Secara normatif berbagai kebijakan
tataruang yang dikeluarkan oleh Pemda Jabar maupun Pemkot Bandung semestinya dapat menurunkan konflik tataruang yang terjadi. Namun
konflik dan pelanggaran pemanfaatan ruang khususnya di KBU terdapat kecenderungan malah semakin meningkat. Hal ini terjadi karena proses
perubahan perda tentang RTRW Kota Bandung dianggap sebagian masyarakat sangat sarat dengan kepentingan sesaat seperti yang dilansir
oleh Koalisi Masyarakat Bandung Bermatabat (KMBB)
Konflik yang pernah mencuat terkait dengan pemanfaatan lahan dan ruang diantaranya adalah
konflik yang terjadi di kawasan Babakan Siliwangi (baksil), Puncak Ciumbuleuit (punclut), Ranca
bentang, kawasan Boscha dan di berbagai kawasan KBU lainnya. Konflik-konflik yang terjadi
seringkali harus diselesaikan melalui proses pengadilan atau bahkan tidak jelas proses dan status
penyelesaiannya. Konflik-konflik tataruang di KBU terkadang diwarnai berbagai intimidasi dan
provokasi yang melibatkan massa yang dapat mengarah pada terganggunya ketertiban, keamanan dan kenyamanan disekitar kawasan konflik.
Kecenderungan peningkatan pelanggaran terhadap rencana tataruang wilayah yang memicu konflik berkepanjangan di berbagai kawasan
Bandung Utara merupakan indikasi adanya perbedaan pemahaman atau persepsi terhadap kebijakan rencana tataruang baik oleh aparatur
pemerintah, masyarakat maupun pengembang, Perbedaan persepsi dan ketidakpahaman terhadap kebijakan pemanfaatan ruang di KBU bisa jadi
hanya sekedar untuk menutupi kepentingan sesaat bagi segelintir aparat pemda dan pengembang (developer) dengan mempertaruhkan
kepentingan lingkungan hidup. Tentu saja kecurigaan aktvis lingkungan hidup bukan tanpa alasan karena berdasarkan pengalaman ternyata
pembangunan yang dilakukan baik hotel, perumahan mewah atau villa tidak memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat
sekitarnya.
Walhi: Hentikan Proyek Pembangunan di Kawasan Bandung Utara!Sunday, 08 May 2011 00:00
Written by Detik.com
There are no translations available.
Bandung - Walhi Jabar mendesak pemprov Jabar untuk bertindak tegas menghentikan proyek-proyek pembangunan perumahan elit, hotel, objek wisata di Kawasan Bandung Utara (KBU). Merekan pun meminta agar pemerintah membatalkan dan menolak ijin dan rekomendasi baru bagi pengembangan dan pembangunan di kawasan tersebut.
"Pemprov Jabar dan Kabupaten Kota harus segera bertindak tegas menghentikan proyek-proyek pembangunan perumahan elit, hotel, wisata dan yang sedang dijalankan oleh pihak pengembang dan atas namak pribadi/pemilik lahan," ujar Dadan Ramdan, Direktur Walhi dalam rilis yang diterima detikbandung, Minggu (8/5/2011).
Dijelaskan bahwa saat ini ditemukan ada proyek pembangunan fasilitas wisata, hotel, dan perumahan elit di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung, yaitu di Desa Cimenyan, Desa Mekar Saluyu, Desa Ciburial dan Desa Cimenyan. Proyek tersebut telah dilakukan sejak 2010 dan masih berlangsung hingga saat ini.
Dadan mengatakan, proye pembangunan di KBU jelas-jelas telah melanggar aturan tata ruang yang tercantum dalam Perda No 1 tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang di KBU.
"Pada pasal 35 tentang larangan mengatakan, bahwa setiap orang dilarang mendirikan bangunan di KBU tanpa izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, mengubah fungsi pemanfaatan ruang di kawasan lindung, melakukan alih fungsi lahan pertanian beririgasi teknis, dan melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin," ujar Dadan.
Ia menilai izin pembangunan di KBU oleh sejumlah pengembang saat ini tidak dilengkapi dengan dokumen perizinan yang benar.
Berdasarkan pengaduan warga masyarakat setempat, proyek pembangunan yang dijalankan di Kecamatan Cimenyan telah menimbulkan dampak lingkungan hidup terhadap warga sekitar seperti longor, banjir dan kehilangan mata air, konflik sosial dan rusaknya fasilitas sosial. Kasus ini terjadi Kampung Ciosa, Suka Akur, Pasir Soang dan Babakan Cikutra di Desa Mekar Saluyu, Kampung Cihareulang desa Cimenyan, lokasi Jalan Pakar Timur Desa Ciburial.
"Akibat bencana ekologis berdampak pada terancamnya keselamatan warga, rusaknya sarana perumahan warga, rusaknya fasilitas sosial seperti jalan warga dan kerugian-kerugian secara ekonomi pada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan pemerintah terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya harus segera diberikan kepada warga sekitar KBU," katanya.
Mereka pun meminta agar data pemegang dan pemohon ijin dan salinan perijinan pengembang yang berada di KBU dapat disebarluaskan pada publik.