PERBEDAAN STRES KERJA DITINJAU DARI TIPE...
Transcript of PERBEDAAN STRES KERJA DITINJAU DARI TIPE...
PERBEDAAN STRES KERJA DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN
A DAN B SATPAM UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
OLEH
FRANSISKUS ANTONIUS ADITYA PRATAMA
802012701
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
4
PERBEDAAN STRES KERJA DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN A
DAN B SATPAM UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
Fransiskus Antonius Aditya Pratama
Sutarto Wijono
Christina Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
5
Abstrak
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui signifikansi perbedaan stres kerja ditinjau
dari tipe kepribadian A dan B satpam Universitas Kristen Satya Wacana. Hipotesis dalam
penelitian ini diduga ada perbedaan stres kerja ditinjau dari tipe kepribadian A dan B satpam
Universitas Kristen Satya Wacana. Penelitian ini dilakukan di ruang lingkup Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga, yakni kampus utama Universitas Kristen Satya Wacana, SMA Lab Satya
Wacana, kampus STIBA Satya Wacana, dan Asrama Mahasiswa Satya Wacana. Partisipan
merupakan seluruh anggota satpam Universitas Kristen Satya Wacana yang ditempatkan di
empat lokasi tersebut. Adapun banyaknya satpam yang diteliti sebanyak 35 orang. Variabel stres
kerja diukur dengan skala stres kerja yang terdiri dari 50 aitem. Adapun analisis data dilakukan
melalui teknik Independent Sample T Test, dan diperoleh nilai t hitung sebesar 1,073 dengan
taraf signifikansi sebesar 0,291 (p>0,05). Kesimpulan sebagai hasil akhir penelitian ini adalah
tidak ada perbedaan stres kerja yang signifikan ditinjau dari tipe kepribadian A dan B.
Kata kunci : Stres Kerja, Tipe Kepribadian, Satpam
6
Abstract
This research wants to know difference significancy of all security units from Satya
Wacana Christian University work stress from type A behavior and type B behavior. Hypotheses
in the research there’s a difference between Satya Wacana Christian University’s security unit
work stress from type A behavior and type B behavior. The research has been done in the whole
Satya Wacana Christian University field (security pos), such as main campus, Lab High School,
STIBA campus, and the Satya Wacana student hostel. All of security units of Satya Wacana
Christian University are the participants who spotted at the places. There are 35 personnels.
Work stress variable measured by 50 items work stress scale and use Independent Sample T-Test
technically. The value of T-Test is 1.073 and the degree of significancy’s score is 0.291
(p>0.05). The conclusion as the end of this research there’s no difference significancy of all
security units from Satya Wacana Christian University work stress from type A behavior and
type B behavior.
Key words : Work stress, Type of behavior, Security units
7
PENDAHULUAN
Persaingan global seputar dunia pendidikan tampaknya perlu ditelusuri lebih
lanjut. Beberapa perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri berusaha menghadapi
persaingan itu, salah satu-nya dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang memadai. Sejalan dengan ini, Sudarmanta (2000) menjelaskan bahwa lembaga atau
instansi yang bergerak di bidang pendidikan, seharusnya mampu menghadapi persaingan
dalam peningkatan SDM yang berkualitas secara global di dalam dunia pendidikan di
seluruh Indonesia. Karena alasan seperti itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia
tampaknya juga perlu ditingkatkan. Dalam suatu kesempatan, Tjahjono (2003)
menjelaskan bahwa salah satu kualitas perguruan tinggi tercermin dari pelayanan yang
ramah dan cepat. Penjelasan ini merupakan argumen yang cukup tepat bahwa kualitas
suatu perguruan tinggi juga dapat ditinjau dari adanya sumber daya manusia.
Ada beberapa hasil observasi dan wawancara secara informal dengan kepala
Keamanan dan Ketertiban Kampus (Kamtipus) UKSW (dilakukan pada pertengahan
Agustus 2012 di kantor Kamtipus UKSW, kemudian dilakukan kembali hal serupa pada
minggu II Januari 2015 di tempat yang sama). Berdasarkan pengakuan dari beberapa
satpam, pekerjaan seorang satpam dalam hal menyelenggarakan keamanan dan ketertiban
pada lingkup kampus, bukanlah sesuatu yang mudah. Ada berbagai tekanan yang dialami
seorang satpam ketika sedang melaksanakan pekerjaan dan tuntutan kerja yang
dijadwalkan berdasarkan pembagian shift kerja sebagai tugas operasional seorang satpam.
Beberapa orang satpam pun mengaku sering cepat mengantuk dan lelah ketika mendapat
shift malam, merasa tidak nyaman ketika ada mahasiswa yang membangkang, bahkan
ada yang cepat marah, adanya acara yang diselenggarakan mendadak (menurut mereka)
membuat kesiapsiagaan berkurang, adanya kejadian-kejadian yang tidak terduga, seperti
listrik padam, konsleting, parkir penuh, kampus kedatangan tamu, cenderung membuat
pekerjaan dirasa bertambah. Sama halnya ketika terjadi keributan antar mahasiswa,
keramaian akan adanya suatu acara universitas yang sulit untuk dikendalikan, bahkan
perkelahian. Akhirnya, beberapa satpam tersebut cenderung ada yang murung/berdiam
diri, merasa cepat marah, cepat lelah, kesulitan tidur, nafsu makan berkurang, dan ada
juga yang merasa jantung berdebar. Namun berdasarkan apa yang dipaparkan oleh
beberapa satpam tersebut, stres tidak selalu bersifat negatif (distress), terkadang ada
8
kecenderungan bersifat positif (eustress). Beberapa satpam mengaku bahwa ketika
mengalami stres, rasa malas dan berkurangnya gairah kerja kerap dialami, namun ada
juga yang merasakan bahwa stres membuat mereka semakin bersemangat dan bergairah
dalam bekerja atau menuntaskan apa yang menjadi tanggungjawabnya. Jadi yang
sebenarnya dialami satpam UKSW adalah distress, namun karena adanya komunikasi
antar kolega dan keluarga, stres menjadi hal yang wajar dan memicu semangat satpam
tersebut untuk lebih berprestasi dan produktif lagi. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
telah dikemukakan oleh Ivancevich, et. al, (2014) bahwa stres dalam keadaan tertentu
mampu membuat seorang individu lebih optimal dalam menyelesaikan tugas dan
tanggungjawabnya. Itu sebenarnya permasalahan yang kerapkali dihadapi dan dirasakan
oleh satpam kampus UKSW.
Dalam upaya membahas keamanan dan ketertiban ruang lingkup perguruan
tinggi, erat kaitannya dengan karyawan satuan pengamanan atau biasa disebut sebagai
satpam, dan pastinya memiliki job description yang berbeda pula dengan karyawan yang
lainnya. Seorang satpam memiliki tuntutan tugas yang berbeda dengan karyawan atau
pegawai lainnya, meskipun berada di dalam organisasi ataupun instansi yang sama.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, Burhan (1993) menjelaskan bahwa satpam sebagai
salah satu satuan kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/proyek/badan usaha.
Tujuannya adalah untuk melaksanakan pengamanan fisik dalam rangka
menyelenggarakan keamanan swakarsa di lingkungan/kawasan kerjanya. Tugas dan
peranannya adalah sebagai unsur pembantu pimpinan instansi/proyek/badan usaha tempat
ia bertugas dalam menyelenggarakan keamanan dan ketertiban khususnya pengamanan
fisik, dan secara tidak langsung berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia
sebagai upaya untuk menghadapi persaingan global dunia pendidikan seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Ivancevich, et. al, (2014) mengatakan bahwa setiap orang cenderung
menemui stres dalam bekerja, termasuk satpam dalam hal ini. Ketika satpam tidak
mampu mengelola stres, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya penurunan
produktivitas kerja, sehingga berdampak pada terhambatnya proses peningkatan sumber
daya manusia yang dimaksud, apalagi menyangkut keamanan dan ketertiban. Dengan
melihat fenomena dan argumen tersebut, tampaknya satpam penting untuk ditelaah dan
diperhatikan lebih lanjut.
9
Alasan yang mendasari bahwa pentingnya untuk meneliti stres kerja satpam
adalah proses pengamanan dan penertiban kampus yang harus tetap dijaga sebagai usaha
untuk meningkatkan kualitas SDM dan bagaimana lingkungan yang aman, tertib, dan asri
dapat dicapai. Bagaimana mungkin usaha tersebut dapat dicapai jikalau keadaan stres
satpam menghambat usaha tersebut, dilihat dari dampak yang ditimbulkan, seperti
dampak pada aspek fisik, psikis, dan sosial. Dalam penelitiannya, Desintarawati (2007)
sudah membuktikan bahwa stres kerja erat kaitannya dan memiliki dampak bagi
kepuasan kerja kepolisian bagian RESERSE dan SABHARA di POLRES Salatiga,
dimana semakin tinggi stres kerja yang dialami, semakin rendah tingkat kepuasan kerja.
Di lain kesempatan Amiranti (2007), dalam penelitiannya mengatakan bahwa semakin
tinggi stres kerja karyawan BPR Bank Pasar Kab. Boyolali, maka semakin rendah
prestasi kerja-nya. Pada dasarnya sebelum melihat dan meninjau ulang beberapa
pengaruh dan dampak stres bagi aspek fisik, psikis dan sosial tersebut, maka tampaknya
perlu diteliti kembali segala hal terkait stres kerja.
Seyle (dalam Munandar, 2001) membedakan antara distress (stres negatif),
bersifat destruktif, dan eustress (stres positif), yang merupakan kekuatan yang positif.
Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Jadi semakin tinggi dorongan
untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan
efisiensinya. Stres yang meningkat sampai titik optimalnya, merupakan stres yang
menyenangkan, dan tidak menutup kemungkinan untuk berujung pada dampak yang
positif. Namun ketika stres itu melewati titik optimalnya, stres berubah menjadi distress,
dimana situasinya saat itu sebagai hal yang mencemaskan dan menghasilkan efek yang
negatif, sehingga penting untuk meneliti mengenai stres kerja. Hitt, et. al, (2006) dalam
penelitiannya, mereka juga mengatakan bahwa stres kerja menimbulkan konsekuensi atau
berdampak pada diri individu atau karyawan dan ruang lingkup organisasi. Konsekuensi
atau dampak stres kerja dalam diri individu mencakup tiga (3) hal, yaitu (a) psikis,
dimana timbulnya kecemasan, depresi, harga diri yang kurang, gangguan tidur, fustasi
dan masalah keluarga, (b) fisiologis, dimana individu mengalami tekanan darah tinggi,
otot tubuh tegang, sakit kepala, masalah pada punggung, sakit jantung, kecenderungan
terkena diabetes, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh, dan (c) perilaku, dimana
penggunaan alkohol dan obat-obatan yang meningkat, merokok berlebihan, adanya
10
perubahan sikap, dan adanya kecenderungan tindak kekerasan. Adanya hal-hal tersebut
mampu mengakibatkan turunnya produktivitas dan performa kerja, sehingga pencapaian
tujuan organisasi tersebut menjadi terhambat. Ketika pencapaian tujuan organisasi
tersebut terhambat, maka akan menurunkan kualitas organisasi itu. Dinamika organisasi
seperti yang terjadi seperti, motivasi karyawan yang menurun, adanya ketidakpuasan
kerja, performa kerja menurun, absensi meningkat, hubungan dengan lingkungan kerja
memburuk, dan meningkatnya perpindahan atau perubahan posisi atau jabatan.
Stres kerja dapat timbul dari dalam dan luar pekerjaan tersebut, di mana hal ini
selaras dengan Tosi (dalam Wijono, 2011) yang mengatakan bahwa ada lima faktor yang
menyebabkan stres dan berhubungan dengan pekerjaan individu, tekanan peran,
kesempatan pelibatan diri dalam tugas (peluang partisipasi), tanggung jawab individu,
dan faktor organisasi, di kelima faktor ini bersumber dari luar indvidu atau dari dalam
pekerjaan (eksternal). Ada pula beberapa faktor yang bersumber dari dalam individu atau
dari luar pekerjaan (internal), antara lain perubahan struktur kehidupan, dukungan sosial,
locus of control, kepribadian tipe A dan B, harga diri, fleksibilitas/kaku, dan kemampuan.
Berbicara mengenai tipe kepribadian yang dikaitkan dengan stres kerja,
tampaknya semakin menarik untuk ditelusuri. Seperti yang dikemukakan oleh Friedman
dan Rosenman (1974) bahwa tipe kepribadian A dan B cenderung berbeda dalam
mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Tipe A
mengalami stres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan sakit jantung koroner
dibandingkan dengan tipe B, seperti yang diungkapkan Matteson dan Ivancevich (1988),
(dalam Korlefura, 2010). Sebagai contohnya, jika harga diri tipe A terancam, cenderung
akan menunjukkan sikap melawan karena tekanan darahnya naik, berbeda halnya dengan
tipe B, yang cenderung mencoba untuk tenang. Hal ini dikatakan oleh Pittner & Houston
(dalam Wijono 2011).
Hal tersebut serupa dengan apa yang dijelaskan oleh Dessler (2005) bahwa tipe A
yang disebut workaholics, lebih erat kaitannya dengan apa yang namanya stres kerja.
Tepat waktu dan berfokus pada target dan prestasi adalah ciri-ciri dari tipe A, dan
kemudian kecenderungannya memicu kepada kesehatan jantung. Akibat yang
ditimbulkan ada tiga (3) aspek, yaitu (a) psikis, yang meliputi adanya kecemasan, depresi,
dan kemarahan, (b) fisiologis, di mana kinerja kardiovaskuler (jantung) menjadi
11
terganggu, dan rasa pusing/sakit kepala, dan (c) sosial, yang mana kecenderungan konflik
sosial yang sulit dihindari. Dengan kata lain, stres kerja yang dialami itu merupakan stres
yang bersifat destruktif (distress).
Dalam penelitiannya, Wijono (2005) mengatakan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara stres kerja dengan tipe kepribadian A dan B di kalangan manager madya
di Jawa Tengah, di mana manager yang memiliki tipe kepribadian A lebih cenderung
mengalami stres dan tekanan, sedangkan tipe B berkebalikan dengan tipe A. Sementara
itu, Iswanto (dalam Sari & Arruum, 2006) membuktikan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara stres kerja manajer bank kepribadian tipe A dengan tipe B, yaitu
manajer tipe A dengan karakter suka akan persaingan, terburu-buru, dan mengejar
prestasi, membuat rentan akan stres dibanding dengan tipe B yang lebih santai dan tenang
ketika stres. Penelitian lain yang membuktikan bahwa adanya pengaruh stres kerja
terhadap prestasi kerja karyawan BPR Bank Pasar di Kabupaten Boyolali, di mana
semakin tinggi stres kerja yang dialami, semakin rendah prestasi kerja yang diraih
(Amiranti, 2007). Adanya perbedaan yang signifikan antara pengaruh tipe kepribadian A
dan B terhadap stres kerja pegawai diklat keagamaan Manado, tipe A positif, sedangkan
B negatif (Giu, 2005). Maksudnya pegawai tipe A positif yakni lebih rentan akan stres,
sedangkan tipe B lebih tenang dan tidak seperti tipe A. Penelitian-penelitian tersebut
nampaknya sudah menjawab perbedaan stres kerja ditinjau dari kepribadian tipe A dan B.
Hal ini berangkat dari logika bahwa adanya perbedaan ciri dan karakter tipe kepribadian
tersebut, maka kecenderungannya berbeda pula stres kerja yang dialami, dan itu sudah
dibuktikan dan dijelaskan dalam penelitian-penelitian yang sudah dijabarkan di atas.
Namun ada beberapa penelitian lainnya yang bertolak belakang dengan
penelitian-penelitian di atas, seperti penelitian yang dilakukan oleh Farial (2011),
membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara stres kerja dengan tipe
kepribadian A dan B perawat. Penelitian tersebut membuktikan bahwa ketika stres, antara
perawat tipe A dan tipe B cenderung tidak ada perbedaan yang signifikan. Korlefura
(2010) dengan penelitiannya menunjukkan sebuah bukti bahwa semangat kerja
perempuan lansia di Ambon, Maluku, tidak ada perbedaan secara signifikan dengan tipe
kepribadian A dan B, di samping itu penelitian ini juga membuktikan bahwa ada
perbedaan semangat kerja antara lansia tipe kepribadian A dan B, di mana tipe A lebih
12
bersemangat dalam kerja namun lebih mudah mengalami stres, berbeda dengan tipe B.
Dalam penelitian lain, yakni penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Arruum (2006)
mengenai stres dan koping perawat kepribadian tipe A dan B di RS Dr. Pirngadi Medan
menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara stres dan koping perawat
kepribadian tipe A dan B, di mana antara perawat tipe A dan tipe B tidak berbeda dalam
mengalami stres kerja. Dari beberapa penelitian yang bertolakbelakang ini, dapat
dicermati kembali alasan mengapa tidak ada perbedaan stres kerja ditinjau dari
kepribadian tipe A dan B, padahal dari penelitian-penelitian di atas sudah dibuktikan
bahwa ada perbedan yang signifikan. Kepribadian tipe A dan B sudah jelas diutarakan
dan ditelaah secara mendetail, di mana terdapat ciri dan karakter yang khas dan berbeda,
kecenderungannya berbeda pula stres kerja-nya, tetapi pertanyaan-nya mengapa
penelitian-penelitian tersebut masih terbukti menolak adanya perbedaan stres kerja
ditinjau dari kepribadian tipe A dan B. Inilah pertanyaan yang harus dijawab dan
penelitian ini berusaha untuk menjawabnya.
Berdasarkan dinamika psikologi dan penelitian sebelumnya seperti yang telah
disebutkan di atas, dan masih ada yang pro dan kontra, tampaknya perlu untuk meneliti
kembali perbedaan stres kerja dengan tipe kepribadian A dan B. Namun nampaknya ada
logika bahwa ada kecenderungan perbedaan stres kerja dengan tipe kepribadian A dan B
yang telah terbukti mempengaruhi prestasi kerja, kinerja. Tipe A, dengan karakter dan
ciri-ciri yang sudah barang tentu berbeda dengan tipe B, berbeda pula stres kerja yang
dialami. Hal ini disebabkan adanya karakter tipe A yang suka akan persaingan, terburu-
buru, dan berfokus pada pencapaian prestasi yang tinggi, memicu kinerja sistem tubuh
atau fisiologis, nampak dari detak jantung cepat, tekanan darah naik, dan cenderung
mengalami ketegangan saraf. Ketika stresor datang dan tekanan dijumpai, tipe A
cenderung lebih stres karena kondisi seperti itu, sedangkan tipe B, yang cenderung santai,
tenang, dan tidak suka terburu-buru, membuat sistem tubuh lebih rileks dan saraf juga
cenderung tidak tegang. Keadaan yang relatif stabil tersebut membuat tipe B berbeda
dengan tipe A dalam hal stres kerja. Adanya sifat yang rentan terhadap stres itu,
cenderung membuat tipe A mengalami ketidakteraturan istirahat, pola makan, dan adanya
perilaku merokok berlebih, bahkan cenderung mengarah pada penggunaan minuman
beralkohol. Akibatnya, gangguan kesehatan kerap dialami, terutama kesehatan jantung.
13
Emosi yang tidak stabil, seperti mudah marah, cenderung sensitif, bahkan kesedihan yang
berlarut, mengakibatkan kinerja jantung tidak stabil pula. Karakter seperti itu membuat
tipe A sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga berdampak pada
kinerja, karena sifatnya yang mudah marah dan tersinggung, suka adanya persaingan
tanpa adanya kritik, dan suka tergesa-gesa tanpa mempedulikan dirinya dan orang lain.
Pada akhirnya, kondisi seperti itu sangat mempengaruhi kinerja individu tipe A, seperti
penurunan produktivitas kerja, prestasi kerja, bahkan motivasi kerja. Hal itu ditunjukkan
dari adanya kecenderungan bolos kerja, terlambat masuk kerja, dan terkadang melalaikan
tugas dan tanggung jawab-nya. Bagaimana dengan satpam? Akhirnya berujung juga pada
prestasi kerja dan kinerja satpam, dan itu juga mengarah pada proses pengamanan dan
penertiban lingkungan perguruan tinggi yang bersangkutan (kampus), tidak menutup
kemungkinan berpengaruh pada proses penyelenggaraan visi dan misi perguruan tinggi
tersebut.
Sekali lagi pertanyaannya adalah apakah ada perbedaan stres kerja ditinjau dari
tipe kepribadian A dan B satpam Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga? Maka dari
itu tampaknya perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan bagaimana perbedaan stres
kerja ditinjau dari tipe kepribadian A dan B satpam Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Stres Kerja
Menurut Chaplin JP dalam Kamus Lengkap Psikologi, stres didefinisikan sebagai
satu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun secara psikologis. Siswanto (2007)
mengatakan bahwa stres adalah akibat dari interaksi (timbal balik) antara rangsangan
lingkungan dan respon individu. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa stres kerja
merupakan sebuah ketidakselarasan antara kemampuan dan keahlian seseorang dan
tuntutan pekerjaan dengan kebutuhannya oleh lingkungan pekerjaan itu. Pernyataan
tersebut dijelaskan oleh French, et, al., 1974 (dalam Wijono 2010, h. 28),“work stress is
a misfit between a person’s skill and abilities and demands of the job misfit in term of
person’s needs supplied by the job environment”. Stres kerja merupakan sebuah kondisi
atau situasi dalam pekerjaan yang menimbulkan respon-respon yang sesuai di setiap
pekerja atau karyawan. Hal ini dikemukakan oleh Jex dan Behr (dalam Spector, 2008, h.
14
285), “a condition or situation at work that requires an adaptive response on the part of
employee”.
Pernyataan yang menjelaskan stres kerja merupakan perasaan yang tidak
seimbang atau cocok antara kemampuan, sumber daya, dan kebutuhan yang dimiliki oleh
seorang individu dengan adanya pekerjaan tersebut. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh
Hitt, et. al. (2006, h. 240) yang menerangkan bahwa “work stress is the feeling that one’s
capabilities, resources, or needs do not match the demands of the job”. Pada suatu
kesempatan, Andre (2008) mengatakan bahwa stres kerja adalah suatu respon fisik dan
emosi yang muncul akibat dari ketidakcocokan antara hal-hal dalam suatu pekerjaan
dengan kemampuan, sumber daya, dan kebutuhan pekerja atau karyawan. Misalnya
karena upah yang dirasa kurang, seorang karyawan mengalami stres karena kebutuhan
keluarga yang makin meningkat.
Satu pernyataan yang merangkum definisi-definisi di atas, stres merupakan suatu
keadaan yang dirasa tidak nyaman dan mengganggu aspek mental seorang individu, dan
kesimpulan yang didapat bahwa stres kerja merupakan suatu perasaan yang tidak
seimbang atau cocok antara kemampuan, sumber daya, dan kebutuhan yang dimiliki oleh
seorang individu dengan adanya pekerjaan tersebut (Hitt, Miller, & Collela, 2006).
Aspek-aspek stres kerja
Davis dan Newstorm (dalam Desintarawati, 2007) mengemukakan adanya tiga (3)
aspek stres kerja, yang meliputi :
a. Aspek fisik : sakit kepala, pusing, gemetaran, diare, nafsu makan yang tidak
terkontrol, sering lelah, susah tidur, sering kencing, pucat dan mudah
berkeringat.
b. Aspek emosional : ingin menangis, sulit berkonsentrasi, kehilangan motivasi,
kecemasan, ketakutan, sedih, depresi, dan ketegangan.
c. Aspek tingkah laku : sering lupa, mudah marah, tidak peduli, sulit mengambil
keputusan, dan adanya penggunaan minuman beralkohol yang berlebihan.
Menurut Gibson et. al. (1996), ada beberapa aspek dalam stres kerja, yaitu :
15
a. Subjektif, dimana hanya individu yang bersangkutan saja yang mampu
merasakan gelisah, lesu, merasa rendah diri, muram, dan tersisih dari
lingkuangan,
b. Perilaku, sebagai akibat dari adanya stres, seperti mudah marah, makan
berlebihan, dan cenderung mengalami kecelakaan kerja,
c. Kognitif, adanya kesulitan dalam berpikir, berkonsentrasi, dan menyelesaikan
suatu masalah,
d. Fisiologis, tekanan darah meningkat, denyut jantung lebih cepat, merupakan
reaksi fisiologis yang terjadi,
e. Keorganisasian, produktivitas kerja yang menurun, absensi kerja yang tidak
menentu (bolos kerja), dan loyalitas menurun.
Dari aspek-aspek yang sudah dijelaskan di atas, tampaknya aspek-aspek stres
kerja yang diungkapkan oleh Gibson, et. al. (1996) yang dipakai dalam penelitian ini.
Alasan yang mendasari adalah aspek-aspek stres kerja yang diungkapkan itu dirasa cukup
mendasari, signifikan dan representatif untuk menggambarkan apa yang namanya stres
kerja satpam.
Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja
Vandeveer dan Menefee (2006) mengatakan bahwa ada lima (5) faktor yang dapat
menyebabkan stres kerja, yaitu :
a. Persepsi : sebuah persepsi seorang pegawai mempengaruhi stres kerja. Suatu
kondisi atau situasi diintepretasikan oleh pegawai tersebut, apakah itu
membuatnya stres atau tidak,
b. Locus of Control : pegawai yang memiliki internal locus of control cenderung
mampu mengendalikan keadaan yang membuatnya stres, namun sebaliknya,
pegawai yang memiliki external locus of control cenderung dipengaruhi oleh
keadaan yang membuatnya stres, sehingga tidak menutup kemungkinan
mengalami stres kerja,
c. Pengalaman kerja : semakin banyak pengalaman kerja yang dimiliki, maka
seorang pegawai akan semakin berkurang kecenderungan stres kerja,
16
d. Dukungan sosial : adanya dukungan dan relasi dengan teman, keluarga, dan
komunitas lainnya akan membantu seorang pegawai memecahkan masalah yang
membuatnya stres,
e. Kepribadian tipe A dan tipe B : tipe kepribadian A yang ditandai dengan adanya
hasrat akan persaingan dan melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru. Hal
ini menyebabkan rentan akan resiko terkena stroke dan gangguan kinerja jantung,
sedangkan tipe kepribadian B ditandai dengan kondisi atau sifat yang
berkebalikan.
Tipe Kepribadian A dan B
Sebelum melangkah lebih dalam mengenai definisi kepribadian tipe A dan B.
Attkinson et. al. (1987: 258) mendefinisikan kepribadian sebagai pola pikiran, emosi dan
perilaku yang berbeda dan karakteristik yang menentukan gaya personal inidividu dan
mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan. Sullivan (dalam Suryabrata, 1995,
h.260) menyatakan kepribadian merupakan pola yang relatif dari situasi hubungan antara
pesan yang ditandai kehidupan manusia, kepribadian ini tidak dapat dipisahkan dari
situasi hubungan individu dengan orang lain. Menurutnya tingkah laku yang bersifat
sosial juga dapat dianggap sebagai kepribadian. Harrington (2013, h.175) menerangkan
bahwa kepribadian merupakan keseluruhan dari segala bentuk sifat, emosi, dan perilaku.
Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai kepribadian, merupakan suatu hal yang
kompleks dari segi emosi, pikiran, tingkah laku, di mana akan tampak ketika berinteraksi
dengan lingkungan.
Ada suatu pernyataan yang menjelaskan bahwa tipe kepribadian A merupakan
sebuah aksi dari emosi yang rumit dimana dapat dicermati dari beberapa orang yang
secara radikal memiliki penyakit kronis, ambisi untuk berprestasi, memiliki sedikit
waktu, karena waktunya dihabiskan untuk mengejar prestasi, menolak atau tidak terima
akan adanya suatu hal yang mengancam dirinya, termasuk orang lain. Pernyataan tersebut
diperkenalkan dan ditelaah oleh Friedman & Rosenman. Tipe kepribadian A
didefinisikan Friedman dan Rosenman (dalam Friedman, 1974 h.67), ”an action-emotion
complex that can be observed in any person who is aggressively involved in a chronic,
incessant strunggle to achieve more and more in less and less time, and if required to do
17
so, against the opposing efforts of other things or other person”. Mereka menyimpulkan
bahwa orang yang mempunyai kepribadian tipe A sangat kompetitif dan berorientasi
pada pencapaian, merasa waktu selalu mendesak, sulit untuk bersantai dan menjadi tidak
sabar dan marah jika berhadapan dengan keterlambatan atau dengan orang yang
dipandang tidak kompeten. Walaupun tampak dari luar tipe A sebagai orang yang
percaya diri, namun mereka cenderung mempunyai perasaan keraguan diri yang terus-
menerus dan itu memaksa mereka untuk mencapai lebih banyak dan lebih banyak lagi
dalam waktu yang lebih cepat. Tipe kepribadian B memiliki sifat dan ciri yang
berkebalikan dengan tipe A.
Schultz dan Schultz (2006) menjelaskan bahwa tipe kepribadian A merupakan
individu yang erat kaitannya dengan penyakit jantung, mudah marah, dan cenderung
terburu-buru. Tipe B merupakan individu yang sedikit stres dibanding dengan tipe A
dalam kondisi yang sama. Sementara itu Slamet (1994) mengungkapkan bahwa tipe B
lebih rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah, dan berbicara lebih
tenang.
Serupa dengan yang diungkapkan Hitt, et. al. (2006, p. 251), individu tipe A
memiliki kecenderungan suka akan persaingan, lebih agresif, dan adanya ketidaksabaran,
sedangkan tipe B merupakan individu yang memiliki karakter berkebalikan dengan tipe
A, yaitu tidak suka akan adanya persaingan, cenderung sabar, dan tidak agresif.
Nelson dan Quick (2003, p.228) mengemukakan pula mengenai penjelasan tipe A
yaitu suatu karakteristik perilaku dan kepribadian yang rumit yaitu adanya daya
persaingan, ketepatan pada waktu, status sosial yang perlu dicapai, agresi, dan
pencapaian prestasi yang tinggi, ”a complex of personality and behavioral
characteristics, including competitiveness, time urgency, social status insecurity,
aggression, hostility, and a quest for achievements”. Tipe B tidak seperti tipe A, di mana
tipe ini lebih bebas dan merasa santai dalam beraktivitas dan mengerjakan sesuatu. Tipe
A dengan ciri-ciri demikian menyebabkan kecenderungan terganggunya kesehatan,
khususnya jantung.
Dari beberapa penjelasan mengenai tipe kepribadian A dan B di atas, terdapat
beberapa kesamaan dan perbedaan dalam menyimpulkan karakter-karakter tipe A dan B,
akhirnya dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian A merupakan sebuah tipe
18
kepribadian seorang individu dimana sangat berorientasi pada ambisi untuk mendapatkan
prestasi yang menurutnya tinggi, sehingga waktu yang ia miliki sangat padat dan jarang
memiliki waktu luang (sibuk). Keadaan yang menekan atau bertolak belakang dengannya
cenderung ia tolak dan lawan, bahkan ketika ada orang lain yang membuatnya tertekan,
ia akan menolak keberadaan orang itu. Suatu hal ia kerjakan dengan tergesa-gesa dan
berbicara dengan suara yang sangat lantang dan keras. Tipe kepribadian B merupakan
tipe kepribadian dimana seseorang memiliki karakter yang rileks/santai, sabar, pelan
dalam berbicara, tidak terburu-buru dalam mengerjakan suatu hal, dan memiliki banyak
waktu luang.
Ciri – Ciri Tipe Kepribadian A dan B
Friedman dan Rosenman (dalam Wijono, 2010) menyebutkan individu yang
mempunyai kepribadian tipe A dan B mempunyai ciri-ciri seperti berikut :
Tipe A Tipe B
Kompetitif Rileks
Berorientasi pada prestasi Tidak menyukai kesulitan
Agresif Jarang marah
Cepat/tangkas Menggunakan banyak waktunya untuk
kegiatan-kegiatan yang disenangi
Mudah stress Tidak mudah stress
Tidak sabar Tidak mudah iri
Mudah gelisah Bekerja terus menerus
Selalu siap siaga Jarang kekurangan waktu
Berbicara dengan semangat
(explosive)
Bergerak dan berbicara pelan
Sumber : Diadaptasi dari Friedman, M. & Rosenman, R. H. (1974. Type A Behavior and Your Heart,
New York : Knopf.
Hubungan Stres Kerja dengan Tipe Kepribadian A dan B
Matteson dan Ivancevich (1988) dalam penelitiannya membuktikan bahwa
tipe A cenderung mengalami stres kerja yang tinggi dan berhubungan dengan sakit
jantung koroner dibanding dengan tipe B. Adanya perbedaan cara mengatasi stres
kerja antara tipe A dan tipe B juga dikemukakan oleh Pittner dan Houston (1980), di
19
mana jika harga diri tipa A terancam, cenderung akan menunjukkan sikap melawan,
karena tekanan darahnya naik dan sifatnya yang mudah marah dan agresif .
Matthews (dalam Schultz, 1994) sudah menjelaskan bahwa tipe A lebih
menyukai adanya persaingan dalam pencapaian prestasi kerja dan kepuasan kerja dan
juga menyukai adanya tantangan. Namun hal-hal demikian jika tidak tercapai akan
cenderung menimbulkan ketidaknyamanan seperti perasaan mudah menyerah dan
frustasi. Keadaan seperti itu akhirnya berdampak pada (a) psikis, seperti gangguan
kecemasan emosi, dan frustasi, (b) fisiologis, meliputi gangguan tidur, fungsi alat
tubuh, bahkan penurunan kesehatan, dan (c) sosial, di mana hubungan interpersonal
dengan teman dan keluarga terganggu, seperti yang dijelaskan oleh Koller et al.
(dalam Spector, 2008).
Dalam penelitiannya, Wijono (2005) mengatakan bahwa ada pengaruh dan
hubungan yang signifikan antara stres kerja dengan tipe kepribadian A dan B di
kalangan manager madya di Jawa Tengah. Setelah itu Iswanto (2001, dalam Sari &
Arruum (2006)) membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara stres kerja
manajer bank kepribadian tipe A dengan tipe B. Meika (2005), dalam penelitiannya
pula, mengatakan pula bahwa stres kerja mampu mempengaruhi kinerja perawat RS
Puri Asih Salatiga. Penelitian lain yang membuktikan bahwa adanya pengaruh stres
kerja terhadap prestasi kerja karyawan BPR Bank Pasar di Kabupaten Boyolali, di
mana semakin tinggi stres kerja yang dialami, semakin rendah prestasi kerja yang
diraih (Amiranti, 2007). Adanya perbedaan yang signifikan antara pengaruh tipe
kepribadian A dan B terhadap stres kerja pegawai diklat keagamaan Manado, tipe A
positif sedangkan tipe B negatif (Giu, 2005).
Namun ada beberapa penelitian lainnya yang bertolak belakang dengan
penelitian-penelitian di atas, seperti penelitian yang dilakukan oleh Farial (2011),
membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara stres kerja dengan
tipe kepribadian A dan B perawat. Korlefura (2010) dengan penelitiannya
menunjukkan sebuah bukti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara stres
kerja dengan tipe kepribadian A dan B perempuan lansia di Ambon. Dalam penelitian
lain, yakni penelitian yang dilakukan oleh Sari & Arruum (2006) mengenai stres dan
koping perawat kepribadian tipe A dan B di RS Dr. Pirngadi Medan menjelaskan
20
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara stres dan koping perawat
kepribadian tipe A dan B.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka semakin jelas bahwa ada
hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian A dan B dengan stres kerja.
Hubungannya dapat dilihat dari respon-respon yang muncul akibat adanya stres.
Misalnya ciri tipe A yang melakukan segala sesuatu dengan tergesa-gesa dan
berbicara dengan suara keras dan lantang akan memicu detak jantung yang semakin
cepat, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya gangguan kerja jantung.
Maka semakin besar pula kemungkinan terkena penyakit jantung (Gibson, et. al.,
2009). Di sisi lain, suka akan adanya persaingan, sifat yang mudah marah dan
cenderung agresif juga menimbulkan kerenggangan hubungan sosial, baik dengan
keluarga maupun teman kerja karena berfokus hanya pada pekerjaan dengan suatu
ambisi untuk pencapaian prestasi, sehingga semakin sedikit pula waktu luang yang
dimiliki. Pencapaian prestasi yang tidak mampu diraih akan mengakibatkan depresi
bahkan frustasi, terlihat dari pemakaian obat-obatan dan alkohol yang meningkat,
merokok berlebihan, yang dipicu dengan adanya gangguan tidur, kecemasan, dan
turunnya rasa menghargai diri sendiri (Matteson, et. al., 2014). Akibatnya dalam
ruang lingkup organisasi atau lingkungan kerja, individu itu cenderung mengalami
penurunan performa kerja karena kepuasan dan motivasi kerja yang juga menurun,
terlihat dari tingkat kehadiran atau absensi yang menurun, baik karena membolos
ataupun sakit, produktivitas kerja menurun, dan semakin sering konflik dengan teman
kerja bahkan organisasi tempat bekerja.
Berbeda dengan tipe A, tipe B yang santai atau rileks, sabar, tidak suka akan
persaingan, pelan dalam berbicara dan mengerjakan segala sesuatu,dan banyak waktu
luang, cenderung tidak akan mengalami gangguan psikis maupun fisiologis (stres),
sehingga perilaku dalam organisasi yang terjadi lebih terkendali. Kerja jantung lebih
stabil, hubungan dengan lingkungan kerja dan keluarga tetap terjaga, dan minimnya
kemungkinan penggunaan alkohol dan obat-obatan sehingga produktivitas kerja juga
tetap terjaga (Gibson, et. al., 2009).
21
Hipotesis Penelitian
Dari riset-riset tersebut di-logika-kan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
tipe kepribadian A dan B dengan stres kerja. Maka dari itu hipotesis empirik yang
dapat disimpulkan adalah :
Ada perbedaan yang signifikan stres kerja ditinjau dari tipe kepribadian A dan B
satpam UKSW Salatiga,
sedangkan hipotesis statistik yang disimpulkan adalah sebagai berikut :
Ho : Tidak ada perbedaan yang signifikan stres kerja ditinjau dari tipe
kepribadian A dan B satpam UKSW Salatiga
Ha : Ada perbedaan yang signifikan stres kerja ditinjau dari tipe
kepribadian A dan B satpam UKSW.
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stres kerja satpam
perguruan tinggi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ditinjau dari tipe
kepribadian A dan B. Subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 35 orang,
dengan kriteria sampel adalah individu yang bekerja sebagai satpam kampus UKSW
Salatiga.
Dalam penelitian ini, sampel diambil menggunakan teknik Nonprobability
Sampling, yaitu teknik Sampling Jenuh (sensus), dimana menggunakan semua
anggota populasi sebagai sampel (Sugiyono, 2005). Hal ini dilakukan karena jumlah
populasi relative kecil, yaitu 35. Seperti yang diungkapkan Azwar (2003), sampel
merupakan bagian dari populasi yang tentu saja harus memiliki ciri-ciri populasi
tersebut. Ciri-ciri sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bekerja sebagai satpam,
b. Terdaftar sebagai satpam,
c. Merupakan satpam perguruan tinggi, dan
d. Mengenakan seragam satpam dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya.
22
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode
angket, di mana hal ini bertujuan untuk mendapatkan data kuantitatif dengan
menggunakan alat ukur skala psikologi. Alasan yang mendasari bahwa penggunaan
angket mampu mengungkap hal-hal yang sifatnya tertekan, keinginan-keinginan,
prasangka-prasangka atau semacamnya, dan perbuatan di masa lalu (Hadi, 1989).
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode
try out terpakai yang juga digunakan sekaligus untuk penelitian, seperti yang
dikemukakan Hadi (dalam Korlefura, 2010). Tujuan dari metode ini untuk menguji
validitas dan reliabilitas angket pengukuran sehingga hasil yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan. Angket merupakan rangkaian daftar pertanyaan yang harus
dijawab oleh partisipan dengan asumsi yang dijelaskan Hadi (1991), yakni sebagai
berikut :
a. Subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri
b. Apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat
dipercaya
c. Interpretasi subyek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan adalah sama
dengan apa yang dimaksudkan peneliti.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dua (2)
variabel, yakni stres kerja dan tipe kepribadian A dan B. Surat pengantar penelitian
dan permohonan izin terlebih dulu dilakukan sebelum pengambilan data.
Pengambilan data dalam bentuk penyebaran kuesioner (angket) diberikan kepada
seluruh satpam kampus UKSW, sesuai dengan kriteria subyek penelitian. Pemberian
angket tersebut dilakukan untuk mendapatkan jawaban dari subyek penelitian sebagai
data penelitian. Setelah semua data yang terkumpul, maka semua data itu akan
diproses dan dianalisis dengan menggunakan program atau software SPSS 16.
Ada dua (2) angket yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
23
1. Kuesioner Stres Kerja
Angket stres kerja yang digunakan dalam penelitian ini dengan
menggunakan skala stres kerja yang diadaptasi dari aspek-aspek stres kerja yang
dikemukakan Gibson, dkk (1996). Skala ini pernah digunakan oleh Rasimin
(dalam Patricia, 2006), Patricia (2006), dan Salakory (2007), dan sudah
memenuhi pengujian reliabilitas dan validitas. Rancangan skala stres kerja yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Blue Print Stres Kerja
No. Aspek Indikator Nomer Aitem Total
Favorable Unfavorable
1.
2.
3.
4.
5.
Subyektif
Perilaku
Kognitif
Fisiologis
Keorganisasian
Mudah merasa gelisah,
lelah, marah, muram,
dan rendah diri
Makan tidak teratur,
merokok berlebihan,
penggunaan alkohol,
dan kecerobohan
Bingung, terlalu sensitif
pada kritik, susah
berkonsentrasi, dan sulit
mengambil keputusan
Jantung berdebar, mulut
kering, sakit kepala,
perut sakit/mual, dan
mudah terkena penyakit
Terlambat masuk kerja,
bolos, menyendiri, tidak
disiplin, dan merasa
tidak puas
5
(1, 2, 3, 4,
5)
5
(6, 7, 8*,
9, 10)
5
(11, 12,
13, 14,
15*)
5
(16, 17,
18, 19,
20*)
5
(21, 22,
23, 24,
25*)
5
(26, 27, 28,
29, 30)
5
(31, 32, 33,
34, 35)
5
(36, 37, 38,
39*, 40)
5
(41, 42, 43,
44, 45)
5
(46*, 47, 48,
49, 50)
10
10
10
10
10
Jumlah 25 25 50
Keterangan : * adalah aitem gugur
24
2. Kuesioner Tipe Kepribadian A dan B
Adapun angket tipe kepribadian yang dimaksud menggunakan angket tipe
kepribadian A dan B yang diadaptasi dari skala Bortner yang pernah digunakan
oleh Luthans (dalam Korlefura, 2010), di mana merupakan skala self report yang
terdiri dari 14 butir pernyataan. Skala Bortner ini pernah digunakan oleh Darwin
(dalam Patricia, 2006), Daisy (1992), Hadi (1995), Aristia (2010), dan Korlefura
(2010). Skala ini ringkas, mudah dan telah beberapa kali dilakukan pengujian
reliabilitas dan validitas.
Rancangan angket tipe kepribadian A dan B berdasarkan ciri-ciri-nya,
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2
Kerangka Angket Tipe Kepribadian A dan B
Tipe Kepribadian A Tipe Kepribadian B Skor N = 35
Mean
1. Kompetitif
2. Berorientasi pada prestasi
3. Agresif
4. Cepat/tangkas
5. Mudah stres
6. Tidak sabar
7. Mudah gelisah
8. Selalu siap siaga
9. Berbicara dengan
semangat (explosive)
1. Rileks
2. Tidak menyukai kesulitan
3. Jarang marah
4. Menggunakan banyak waktunya
untuk kegiatan-kegiatan yang
disenangi
5. Tidak mudah stres
6. Tidak mudah iri
7. Bekerja terus menerus
8. Jarang kekurangan waktu
9. Bergerak dan berbicara pelan
Total
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
A. Stres Kerja
Skala Stres Kerja dalam penelitian ini terdapat total 50 aitem, di mana 25 aitem
favorable dan 25 aitem unfavorable. Aitem valid yang diperoleh sebanyak 44 aitem
dan aitem gugur sebanyak 6 aitem, dengan skor aitem favorable dan unfavorable 1
sampai 4. Aitem-aitem gugur tersebut memiliki skor corrected item-total correlation
25
< 0,30 (Azwar, 2013), sehingga diperoleh koefisien alpha (Cronbach’s Alpha)
sebesar 0,931. Setelah itu dilakukan pengujian kembali dan diperoleh koefisien alpha
sebesar 0,937. Jadi skala stres kerja dapat dikatakan reliabel.
Adapun penghitungan skor tertinggi dan terendah adalah sebagai berikut :
Skor Tertinggi : 4 x 44 = 176
Skor Terendah : 1 x 44 = 44
Dari analisis deskriptif skala stres kerja, maka dapat dihitung interval atau rentang
dengan kategori Sangat Tinggi, Tinggi, Rendah, dan Sangat Rendah. Rumus yang
digunakan untuk menghitung keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut :
I = 33
Dari penghitungan di atas maka diperoleh interval di bawah ini :
Sangat Tinggi : 143 ≤ x ≤ 176
Tinggi : 110 ≤ x ≤ 143
Rendah : 77 ≤ x ≤ 110
Sangat Rendah : 44 ≤ x ≤ 77
dengan x adalah jumlah skor total masing-masing partisipan.
B. Tipe Kepribadian A dan B
Skala Tipe Kepribadian menurut Bortner memiliki 14 aitem sahih, dengan skor
masing-masing aitem 1 sampai 5. Perhitungan yang diperoleh untuk skor tertinggi
adalah 5 x 14 (aitem sahih) = 70, sedangkan skor terendah adalah 1 x 14 (aitem sahih)
= 14. Berdasarkan perhitungan skor tersebut dapat dibuat interval sebagai berikut :
=
= 28
26
Dari penghitungan tersebut maka diperoleh kategori di bawah ini :
Tipe Kepribadian A = 43 ≤ x ≤ 70
Tipe Kepribadian B = 14 ≤ x ≤ 42
Tabel 3
Persentase Tipe Kepribadian
Kategori N Persentase
Tipe Kepribadian A 13 37.14
Tipe Kepribadian B 22 62.86
Total 35 100.00
Tabel 4
Tabel Stres Kerja dan Tipe Kepribadian
Stres Kerja
Tipe Kepribadian
Total Tipe A % Tipe B %
Sangat Rendah 0 0 2 9.09 2
Rendah 8 61.54 16 72.73 24
Tinggi 5 38.46 4 18.18 9
Sangat Tinggi 0 0 0 0 0
Total 13 100 22 100 35
2. Uji Normalitas
Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah uji reliabilitas dan validitas adalah uji
asumsi, yaitu uji normalitas, di mana dalam penelitian ini menggunakan uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov, seperti yang tertera di bawah ini :
27
Tabel 5
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Stres Kerja
N 35
Normal Parametersa Mean 89.54
Std. Deviation 15.988
Most Extreme
Differences
Absolute .149
Positive .089
Negative -.149
Kolmogorov-Smirnov Z .884
Asymp. Sig. (2-tailed) .415
a. Test distribution is Normal.
Dari tabel di atas telah menunjukkan bahwa besarnya koefisien Kolmogorov-
Smirnov adalah 0,884 dengan signifikansi sebesar 0,415. Besarnya signifikansi
tersebut > 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi data skala stres
kerja adalah normal.
3. Uji Homogenitas
Uji homogenitas diperlukan sebagai asumsi yang berlaku nantinya pada tahap
pengujian uji beda (t-test). Maksud dari uji homogenitas ini adalah untuk
membuktikan ada atau tidak kesamaan varian dari semua data yang digunakan. Uji
homogenitas tampak pada tabel di bawah ini :
Tabel 6
Test of Homogeneity of Variances
Stres Kerja
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1.763 7 21 .148
Dari tabel tersebut diperoleh nilai F sebesar 1,763 dengan signifikansi 0,148
(p>0,05). Hal itu membuktikan bahwa data dari dua kelompok tipe kepribadian
28
memiliki varian yang sama, sehingga asumsi yang akan digunakan dalam proses uji –
t adalah equal variances assumed.
4. Analisis Data (Uji –t)
Tahap selanjutnya adalah uji beda (t-test), di mana tahap ini bertujuan untuk
menguji perbedaan rata-rata stres kerja tipe kepribadian A dan B, seperti yang
digambarkan pada tabel di bawah ini :
Tabel 7
Ringkasan Uji -t
Asumsi Rata-rata (mean) t-test for Equality of Means
Tipe A
(n = 13)
Tipe B
(n = 22)
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference
Equal variances
assumed
93.31 87.32 1.073 33 .291 5.990
Tabel di atas menunjukkan bahwa taraf signifikansi pengaruh rata-rata tipe
kepribadian A (mean tipe A) dengan n = 13 sebesar 93,31, sedangkan tipe
kepribadian B (mean tipe B) dengan n = 22 sebesar 87,32. Adanya perbedaan taraf
signifikansi tersebut diperoleh selisih atau perbedaan rata-rata (mean difference)
sebesar 5,99 dan dari hasil uji beda (t-test) diperoleh t hitung sebesar 1,073 dengan
signifikansi sebesar 0,291 (p>0.05), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan stres kerja ditinjau dari tipe kepribadian A dan B, dalam
hal ini hipotesa ditolak.
Pembahasan
Jika melihat kembali rata-rata perbandingan stres kerja antara tipe kepribadian A
dan B, tampak jelas bahwa ada rata-rata perbedaan antara stres kerja tipe kepribadian A
dan stres kerja tipe kepribadian B. Hal itu telah dibuktikan melalui proses penghitungan
uji t (t-test), di mana terdapat perbedaan rata-rata (mean differences) sebesar 5,99.
Performa tersebut tampak dari rata-rata stres kerja tipe kepribadian A sebesar 93,31 dan
tipe B sebesar 87,32. Namun karena taraf signifikansi diperoleh sebesar 0,291 (p>0,05),
29
maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan stres kerja ditinjau dari
tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B.
Argumen untuk menjelaskan hal tersebut bahwa baik tipe kerpibadian A dan tipe
kepribadian B tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap stres kerja. Artinya
adalah antara individu tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B memiliki
kecenderungan yang sama ketika mengalami stres kerja.
Adapun alasan yang mendasari pernyataan di atas bahwa sebenarnya bukan hanya
tipe kepribadian yang menjadi faktor dalam stres kerja. Ada beberapa kemungkinan
mengapa tidak ada perbedaan stres kerja yang signifikan ditinjau dari tipe kepribadian A
dan B. Pertama, setiap karyawan memiliki karakteristik kepribadian yang hampir
cenderung mendekati karakteristik kepribadian B, sehingga stres kerja yang terjadi
cenderung rendah, terlihat dari skor total skala tipe kerpibadian. Kedua, adanya nilai-nilai
budaya Jawa, yang memberikan pengaruh terhadap karakteristik tipe A, di mana istilah
mawas diri sangat penting dalam bekerja dan menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari.
Konsep ini memiliki arti bahwa masalah, cobaan, dan godaan bukan untuk dihindari
ataupun dicegah, namun seyogyanya diimbangi dengan sikap sabar, rila, nrima, temen,
dan budiluhur agar keselarasan dan ketenangan batin dapat terjaga sehingga keteraturan
irama kehidupan dapat dirasakan. Begitu pula dengan stres kerja yang cenderung dialami
oleh semua pekerja. persepsi terhadap stres kerja bukan sebagai hal yang patut dihindari,
tetapi harus dijalani dan diselesaikan dengan hati (sikap batin) yang tulus dan sabar
(Suhardi, 2012), sehingga karakteristik tipe A menjadi condong ke karakteristik tipe B.
Ketiga, Vandeveer & Menefee (2006) menyebutkan selain faktor tipe kepribadian, ada
empat (4) faktor lainnya yang dapat menyebabkan stres kerja. Faktor pertama, persepsi
terhadap suatu stimulus atau keadaan yang menekan, apakah dirasa membuat stres atau
tidak. Beberapa satpam menjelaskan bahwa stres kerja sudah pasti ada dan harus
dihadapi, namun bagaimana pribadi diri sendiri menyikapi hal itu, sehingga pada
kenyataannya satpam menganggap stres kerja bukanlah penghalang untuk bekerja dan
terus berkarya. Faktor kedua adalah locus of control, di mana individu yang memiliki
internal locus of control cenderung mampu mengendalikan stres, sedangkan external
locus of control sebaliknya. Faktor ketiga yaitu pengalaman kerja, semakin banyak
pengalaman kerja yang dimiliki, maka kecenderungan stres cenderung semakin rendah.
30
Keempat, seiiring dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ivancevich, et. al. (2014), ada
beberapa stressor individu, yakni The Underload-Overload Continuum, di mana stres
yang dialami satpam UKSW merupakan stres yang optimal, di mana efek yang terjadi
adalah adanya motivasi dan energi tinggi, persepsi tajam, dan tenang, seperti yang
ditunjukkan oleh gambar di bawah ini :
Gambar 1
The Underload-Overload Continum
Sumber : Ivancevich, J. M., Konopaske, R., Matteson, M. T. (2014). Organizational
Behavioral and Management. Tenth Edition. New York : McGraw-Hill, 237.
Kemudian tidak adanya role conflict (konflik peran), dengan kata lain tugas dan tanggung
jawab yang harus diselesaikan jelas dan dapat dipahami dan harapan yang diinginkan
dapat tercapai. Misalnya tidak ada tekanan untuk bekerja bersama dengan orang yang
dianggap tidak cocok. Setelah itu tidak terdapat role ambiguity (ambiguitas peran), di
mana sebagian besar satpam paham akan hak dan kewajibannya sebagai satpam kampus
UKSW.
Dari 35 satpam, rata-rata memilliki lebih dari 12 tahun bekerja sebagai satpam di
UKSW, dan beberapa satpam tersebut merasa sudah terbiasa dengan apa yang namanya
stres kerja. Faktor keempat adalah dukungan sosial. Adanya suasana kekeluargaan yang
dirasa nyaman dan harmonis membuat para satpam saling memahami satu sama lain,
ketika ada satpam yang sedang dirundung masalah, satpam lainnya berusaha untuk
31
memberi dukungan emosional, sehingga hubungan yang baik tetap terjaga dan membantu
mengurangi stres.
Pada akhirnya penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Farial (2011), yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
stres kerja dengan tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B perawat, di mana perolehan
nilai t sebesar -1,510 dengan signifikansi sebesar 0,135 (p>0,05). Penelitian yang telah
dilakukan oleh Sari & Arrum (2006) pun membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan stres kerja dan koping perawat tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B RS
Dr. Pirngadi Medan, di mana dalam penelitian tersebut diperoleh nilai t sebesar 1,846
dengan signifikansi sebesar 0,068 (p>0,05). Korlefura (2010) dalam penelitiannya juga
memberi bukti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara semangat kerja dengan
tipe kepribadian A dan tipe kepribadian B lansia di Ambon. Penelitian tersebut terdapat
nilai t sebesar 1,984 dengan signifikansi sebesar 0,051.
Rata-rata satpam UKSW memiliki stres kerja rendah. Jika ditinjau dari tipe
kepribadian, satpam dengan tipe kepribadian A ada 5 satpam yang memiliki stres kerja
tinggi (38,46%) dan 8 satpam yang memiliki stres kerja rendah (61,54). Satpam dengan
tipe kepribadian B ada 4 orang yang memiliki stres kerja tinggi (18,18%), 16 orang
memiliki stres kerja rendah (72,72%), dan 2 orang yang memiliki stres kerja sangat
rendah (9,09%).
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang sudah diuraikan di atas, maka
kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil uji –t di mana terdapat t hitung sebesar 1,073 dengan taraf
signifikansi 0,291 (p>0,05), maka dapat ditunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan stres kerja ditinjau dari tipe kepribadian A dan B satpam UKSW Salatiga.
2. Rata-rata stres kerja satpam UKSW tergolong rendah, seperti yang telah
digambarkan di atas, bahwa skor stres kerja sebagian besar satpam tipe kepribadian A
sebesar 93,31 (61,54% berada di interval rendah, dan 38,46% pada interval tinggi)
dan tipe kepribadian B sebesar 87,32 (18,18% berada di interval tinggi, 72,23 pada
32
interval rendah, dan 9,09% di interval sangat rendah), berada pada rentang rendah,
yaitu di antara skor 77 sampai 110 (77≤x≤110).
Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Saran bagi satpam UKSW
Melihat stres kerja satpam UKSW yang rendah, diharapkan hubungan
sosial antar sesama satpam UKSW dapat terjalin semakin baik. Adanya waktu dan
kesempatan dapat diberikan sebagai usaha untuk sharing atau diskusi mengenai
cara-cara mengatasi tekanan atau stress, sehingga stres negatif dapat dikelola
menjadi stres positif. Dukungan keluarga juga diharapkan dapat terjaga agar
satpam mampu berkomunikasi secara terbuka sehingga mampu mengurangi
tekanan atau meredam stres kerja yang dialami.
b. Saran bagi kampus UKSW
Adanya paham Creative Minority sebagai bagian dari visi dan misi
kampus UKSW diharapkan mampu menjaga kesejahteraan satpam sehingga
produktivitas kerja satpam dapat semakin baik dan cita-cita menumbuhkan
pegawai yang berkualitas atau satpam yang Creative Minority dapat tercapai. Ada
baiknya pula jika setiap anggota satpam diberi kesempatan untuk menghadapi
stres kerja melalui tugas-tugas riil yang lebih menantang, agar kemampuan
satpam UKSW dalam menghadapi stres kerja semakin baik dan membuat satpam
tersebut semakin terlatih.
c. Saran bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan semakin baik dalam melakukan
penelitian yang akan dilakukan di dalam ruang lingkup UKSW, khususnya bagi
satpam UKSW. Melihat penelitian ini masih ada variabel lain yang berkaitan
dengan stres kerja, dan tampaknya semakin menarik untuk ditelaah lebih lanjut,
diharapkan penelitian yang akan datang dapat lebih baik lagi dan mampu
menjawab berbagai permasalahan yang ada.
33
Daftar Pustaka
Agung. (2008, Juni). Stres kerja. Artikel. Diunduh pada 17 Maret 2013 from
http://agungpia.multiply.com/
Andre, Rae. (2008). Organizational behavior : An introduction to your life in
organizations. New Jersey : Pearson Education, Inc, 152-155.
Amiranti, R. D. (2007). Hubungan stres kerja dengan prestasi kerja karyawan PD BPR
Bank Pasar Kabupaten Boyolali. Skripsi. Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Satya Wacana.
Aristia, Avriana. (2010). Perbedaan prokrastinasi akademik antara tipe A dan tipe B.
Skripsi. Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Azwar, S. (2013). Penyusunan skala psikologi. Cetakan III. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
, S. (2003). Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Burhan, H. W. (1993). Security guide book : pembinaan satpam di Indonesia. Jakarta :
Mabes Polri, 4-16.
Chaplin, C. P. (1993). Dictionary of psychology. In Kartono, K. (Eds.). Kamus lengkap
psikologi. Second edition. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Desintarawati, Ni Wayan Ratna. (2007). Hubungan antara stres kerja dengan kepuasan
kerja anggota kepolisian badan RESERSE dan SABHARA di POLRES Salatiga.
Skripsi. Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Dessler, Gary. (2005). Human resource management. Tenth edition. New Jersey : Pearson
Education Inc.
Fajri, M. C. (2008, November). Antisipasi stres kerja. Psikologi Plus (5), 64-68.
Farial, Lisa. (2011, November). Perbedaan stres kerja ditinjau dari tipe kepribadian A dan
B pada perawat. Jurnal Universitas Guna Darma. Diunduh pada 8 Maret 2014
from http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/14494/perbedaan-stres-kerja-
ditinjau-dari-tipe-kepribadian-a-dan-b-pada-perawat-.html/
Friedman, M. (1974). Type A behavior and your heart. New York : Alfred A. Knopf, Inc.
Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., Donnelly Jr, J. H., Konopaske, R. (2009). Organization :
behavior, structure, processes. Thirteenth Edition. New York : McGraw-Hill, 197-
224.
Gibson, J. L., Ivancevich. J. M., Donnelly Jr, J. H. (1996). Organization : behavior,
structure, process. In Adiarni, Nunuk (Eds). Organisasi : perilaku, struktur,
proses. Jilid 1 Edisi VIII. Jakarta : Binarupa Aksara, 335-385.
34
Giu, Andi. R. (2005). Pengaruh desain organisasi dan tipe kepribadian terhadap stres kerja
pegawai pada balai diklat keagamaan Manado. Jurnal Unsrat. Diunduh pada 4
Februari 2014 ,from http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/view/2077
Hadi, S. (1989). Statistik. Jilid 3. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
UGM.
Harrington, Rick. (2013). Stress, health, and well-being : thriving in the 21st century.
International Edition. Victoria : Wadsworth Cengage Learning.
Hitt, M. A., Miller, C. C., & Colella, A. (2006). Organizational behavior : A strategic
approach. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Ivancevich, J. M., Konopaske, R., & Matteson, M. T. (2014). Organizational Behavioral
and Management. Tenth Edition. New York : McGraw-Hill, 231-264.
Korlefura, C. (2010). Semangat kerja perempuan lanjut usia yang masih bekerja di pasar
kota Ambon ditinjau dari tipe kepribadian A dan B. Skripsi. Salatiga : Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Kreitner, R & Kinicki, A. (2004). Organizational behavior. Sixth Edition. New York : The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Meika. (2007). Hubungan stres kerja dengan kinerja perawat RSU Puri Asih Salatiga.
Skripsi. Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
Notohamidjojo, O. (2011). Kreativitas yang bertanggungjawab. Salatiga : Universitas
Kristen Satya Wacana, 2, 135-136.
Nelson, Debra L. & Quick, James Campbell. (2003). Organizational behavior :
foundations, realities, and challenges. Fourth Edition. Ohio : Thomson South
Western.
Patricia, C. W. R. (2006). Hubungan stres kerja dengan prestasi kerja karyawan PT Sugico
Graha Balikpapan. Skripsi. Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Satya
Wacana.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.
Kep.275/Men/1989 dan No. Pol. : Kep/04/V/1989.1989. Pengaturan jam kerja,
shift dan jam istirahat serta pembinaan tenaga kerja satuan pengaman (satpam).
Diakses di google.com
Salakory, Jefry. (2007). Perbedaan tingkat stres antara anggota POLRI fungsi RESERSE
dengan SABHARA di POLDA Maluku. Skripsi. Salatiga : Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana.
35
Sari, Dwi. R. & Arruum, Diah. (2006). Stres dan koping perawat kepribadian tipe A dan
kepribadian tipe B di ruang rawat inap RSU Dr. Pirngadi Medan. Jurnal
Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, 1, 10-16.
Schultz, Duane. P. & Schultz, Sydney Ellen. (1994). Psychology and work today : An
introduction to industrial and organizational psychology. Sixth Edition. New York
: Macmillan Publishing Company.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental : konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta
: Penerbit Andi.
Spector, P. E. (2008). Industrial and organizational psychology. Fifth Edition. New Jersey
: John Wiley & Sons, Inc, 285-286.
Sudarmanta, J. (2000). Tantangan & permasalahan pendidikan di Indonesia memasuki
milenium ketiga. In A. Atmadi, dkk (Eds). Transformasi Pendidikan di Era
Milenium Ketiga, 3-6. Yogyakarta : Kanisius.
Sugiyono. (2005). Statistika untuk penelitian. Cetakan ke-7. Bandung : CV Alfabeta.
Suhardi. (2012). Nilai-nilai tradisi lisan dalam budaya Jawa. Jurnal Budaya, Sastra, dan
Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Diunduh pada 23 Maret
2015 ,from http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/763
Tarwaka, dkk. (2004). Ergonomi untuk keselamatan, kesehatan kerja dan produktivitas.
Surakarta : Uniba Press.
Tjahjono, Heru. K. (2003). Budaya organisasional & balanced scorecard ; dimensi teori
dan praktik. Yogyakarta : Unit penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Vandeveer, R. C, & Menefee, M. L. (2006). Human behavior in organization. New Jersey :
Pearson Education, Inc.
Wijono, S. (2005). Pengaruh tipe kepribadian A, locus of control internal, peran, dan iklim
organisasi terhadap stres kerja dan prestasi kerja (Studi pada manager madya di
Jawa Tengah. Disertasi. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
, S. (2010). Kepuasan & stres Kerja. Salatiga : Widya Sari Press.
, S. (2012). Psikologi industri & organisasi : dalam suatu bidang gerak psikologi
sumber daya manusia. Cetakan ke-2. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.
, S. (2006, Desember). Pengaruh kepribadian tipe A dan peran terhadap stres kerja
manajer madya. Insan, 3, 188-197.