Perbedaan Kecerdasan Emosional pada Siswa Kelas X SMA...
Transcript of Perbedaan Kecerdasan Emosional pada Siswa Kelas X SMA...
i
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA SISWA
KELAS X SMA NEGERI 3 SALATIGA DITINJAU
DARI JENIS KELAMIN
OLEH
STEPHANI DIKA SUSI HARDINI
802012714
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
iii
iv
ii
v
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecerdasan emosional pada siswa
kelas X SMA Negeri 3 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif t-test (uji-t). Partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 125
siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik Sampel Non Probability (non probability sampling). Pengumpulan
data yang dilakukan menggunakan skala kecerdasan emosional, dengan jumlah item 32
butir. Hasil pengujian atas hipotesis penelitian ini menemukan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan kecerdasan emosional ditinjau dari jenis kelamin pada siswa kelas
X SMA Negeri 3 Salatiga dengan nilai signifikansi 0,187 (p > 0,05).
Kata Kunci : Kecerdasan emosional, jenis kelamin.
i
vi
Abstract
The aim of this study is to know the difference of emotional intelligence in term of
gender for the students in Senior High School 3 Salatiga grade 10. This research uses
quantitative t-test method with 125 participant. The data collection technique is use non
probability sampling technique. The data collection was using emotional intelligence
scale with 32 statements. The result of this research explain that there is no difference
that significant of emotional intelligence in term of gender for students in Senior High
School 3 Salatiga grade 10 that the value is 0,187 (p > 0,05).
Keywords : Emotional intelligence, gender
ii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selama abad keduapuluh, sekolah memiliki peran penting dalam kehidupan
remaja. Sekolah menjadi kebutuhan mendasar bagi semua orang, terutama pada zaman
yang semakin mengedepankan pendidikan sebagai tolak ukur. Sekolah dianggap
sebagai rumah kedua untuk mendapatkan pendidikan setelah pendidikan pertama di
dapat melalui rumah dan orang tua. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, dan perbuatan mendidik. Pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, serta masyarakat, bangsa dan
negara. Adapun fungsi yang dilaksanakan sekolah ditujukan untuk mencapai tujuan dari
pendidikan.
Tujuan pendidikan selain untuk mengembangkan kemampuan inteligensi (IQ),
pendidikan juga perlu mengembangkan Emotional Intelligence (EI) siswa. Dalam
proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangatlah diperlukan. Kemampuan inteligensi
(IQ) tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya partisipasi dari emosi terhadap
mata pelajaran yang di sampaikan di sekolah. Goleman (2001) menunjukkan bahwa IQ
memiliki kontribusi 20% sedangkan 80% ditentukan oleh Emotional Intelligence (EI).
Keseimbangan antara IQ dan EI merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah.
Individu dengan IQ tinggi namun karena kurang dapat mengelola emosinya seringkali
2
dalam menentukan dan memecahkan masalah sering mengalami kesulitan dan
menimbulkan konflik dalam dirinya.
Salovey dan Mayer (1997), menyebutkan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan perasaan, mengetahui apa yang
sedang dirasakan oleh diri sendiri, berempati, serta mampu menyesuaikan diri dengan
orang lain. Sementara itu Goleman (2001), menyatakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosional
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam perkembangan pada remaja, dengan
demikian untuk dapat berhubungan dengan orang lain secara baik individu memerlukan
kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi diri dan orang lain secara baik.
Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh
setiap individu. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere,
yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescere mempunyai arti
yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik
(Hurlock, 1999). Perubahan emosi yang terjadi pada remaja menyebabkan remaja pada
umumnya memiliki kondisi yang labil. Masa remaja dikenal dengan masa strom and
stress (badai dan tekanan), yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Perubahan yang terjadi selama masa
remaja menimbulkan keraguan, perasaan tidak mampu dan tidak aman. Keadaan seperti
ini menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang di
hadapinya, dan tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan dari lingkungan. Remaja
3
dituntut untuk mampu mengontrol atau mengendalikan emosinya atau mengendalikan
perasaaan mereka, dalam proses perkembangan menuju kematangan emosi.
Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa remaja yang memiliki kecerdasan emosi
dapat memotivasi dirinya sendiri untuk dapat mengatasi atau menangani tekanan dan
kecemasan, sehingga apabila remaja sedang mengalami masalah tidak akan mengalami
kehancuran, tetapi mampu bangkit kembali dan mencari jalan keluar. Hal tersebut
menjadikan remaja tidak mudah mengeluh dan putus asa karena dapat mencari solusi
yang tepat untuk dapat menyelesaikan permasalahannya. Pernyataan tersebut didukung
oleh penelitian Gottman dan De Claire (2003) yang menyebutkan bahwa individu yang
belajar mengenali dan menguasai emosinya menjadi lebih percaya diri, sekaligus sehat
secara fisik. Individu tersebut juga lebih baik prestasinya. Individu yang memiliki
kecerdasan emosi akan lebih terampil dalam menenangkan diri sendiri bila marah,
dibandingkan individu yang tidak dilatih emosinya.
Berkaitan dengan kecerdasan emosional siswa laki-laki dan perempuan, dapat
dilaporkan melalui hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan guru
bimbingan konseling SMA Negeri 3 Salatiga bahwa siswa laki-laki dan siswi
perempuan memiliki kecerdasan emosional yang berbeda. Siswa laki-laki dan siswi
perempuan mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam hal meningkatkan
kecerdasan emosional. Siswi perempuan pada umumnya mempunyai kesempatan lebih
banyak untuk mempraktekkan beberapa keterampilan antarpribadi daripada siswa laki-
laki, di mana siswi perempuan lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan orang lain.
Ketika mereka sedang sedih atau sedang mengalami masalah pribadi membuat mereka
sulit berkonsentrasi dalam pelajaran atau membuat mereka tidak fokus dalam
mendengarkan penjelasan dari bapak atau ibu guru. Bahkan ketika memotivasi dirinya
4
sendiri siswa laki-laki cenderung suka menyepelekan dan tidak mau berusaha lebih giat
lagi apabila mendapatkan nilai tes yang jelek, namun berbeda dengan siswi perempuan
dimana dalam dirinya sudah tertanam bahwa harus berusaha lebih giat lagi dalam
belajar. Dalam berinteraksi dengan orang lain siswi perempuan cenderung suka
memilih-milih teman, sedangkan siswa laki-laki dapat bergaul atau berinteraksi dengan
siapa saja.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional seorang remaja
seperti pengalaman, usia, jenis kelamin, dan jabatan. Jenis kelamin merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional (Goleman, 2006). Laki-laki
lebih mungkin untuk menunjukkan kemarahannya terhadap orang lain, terutama orang
asing laki-laki, ketika mereka merasa telah ditantang. Laki-laki juga lebih mungkin
untuk menunjukkan kemarahannya. Perbedaan emosional antara laki-laki dan
perempuan yang sering muncul yaitu menyoroti peran sosial dan hubungan dengan
orang lain. Sebagai contoh perempuan lebih mungkin untuk mendiskusikan emosi
dalam hal hubungannya dengan orang lain. Mereka juga lebih mungkin untuk
mengekspresikan rasa takut dan sedih (Santrock, 2014).
Perbedaan jenis kelamin dan kecerdasan emosi pada umumnya telah banyak di
teliti, dan mayoritas telah ditemukan perempuan memiliki kecerdasan emosi yang lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Pada penelitian yang dilakukan oleh Alumran dan
Punamaki (2008) menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan signifikan dengan
kecerdasan emosional pada remaja dan perempuan memiliki level interpersonal
kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini senada
dengan hasil penelitian yang dilakukan Katyal dan Awasthi (2005) yang menunjukkan
bahwa perempuan memiliki kecerdasaan emosional yang lebih tinggi daripada laki-laki.
5
Ciarrochi (2001) mengemukakan bahwa remaja perempuan lebih mampu mengenali
emosinya, mengelola emosi, serta mampu menggunakan emosinya untuk membangun
hubungan dengan orang lain daripada remaja laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh
Palmer (2003), pada umumnya kecerdasan emosi perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki dalam hal keterampilan antar pribadinya dan kesadaran diri secara
emosional. Di sisi lain, Chu (2002) mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki tingkat
kecerdasan emosi yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Kemungkinan besar alasan
dari hasil temuan sekarang ini, bahwa kecerdasan emosi berkaitan dengan pengelolaan
emosi dan keterampilan sosial seseorang. Berbeda dengan Aiyappa dan Acharya (2014),
Khaterina dan Garliah (2012), dan Pratama (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan kecerdasan emosional antara laki-laki dan perempuan.
Dari uraian yang telah di paparkan di atas melalui hasil penelitian-penelitian
sebelumnya dikatakan tampak ada perbedaan kecerdasan emosional antara laki-laki dan
perempuan. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka terdapat rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut “apakah ada perbedaan kecerdasan
emosional pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga apabila ditinjau dari jenis
kelamin?”
6
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah ada perbedaan
kecerdasan emosional pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga apabila ditinjau dari
jenis kelamin. Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi kepada SMA
Negeri 3 untuk mengembangkan kecerdasan emosional kepada siswa.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Kecerdasan Emosional
Kata emosi berasal dari Bahasa Latin yaitu movere yang berarti “menggerakkan”
atau “bergerak”. Emosi merupakan suatu dorongan untuk bertindak seketika untuk
mengatasi masalah yang ditanamkan secara berangsur-angsur yang terkait dari
pengalaman waktu ke waktu. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005),
emosi merupakan suatu perasaan jiwa yang kuat (seperti sedih, marah, dan lain-lain).
Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri
sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungannya dengan orang lain.
7
Aspek-aspek kecerdasan emosional
Goleman (2001), menempatkan kecerdasan emosi ke dalam 5 aspek kemampuan
yang terdiri dari; kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, ketrampilan sosial.
a. Kesadaran diri
Mengetahui apa yang individu rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis dan
kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri
Menangani emosi individu sedemikian sehingga berdampak positif pada
pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sangup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi
Menggunakan hasrat individu yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun individu menuju sasaran, membantu dan mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi keagalan dan frustasi.
d. Empati
Merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-
macam orang.
e. Keterampilan Sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan
cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar,
menggunakan keterampilan-keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin,
8
bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan
bekerja dalam tim.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Menurut Goleman (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosional, yaitu :
a. Pengalaman
Kecerdasan emosi dapat meningkat sepanjang hidup manusia. Sepanjang perjalanan
hidup yang normal, kecerdasan emosi cenderung bertambah sementara manusia
belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi-emosi yang menyulitkan,
sehingga semakin cerdas dalam hal emosi dan dalam berhubungan dengan orang
lain.
b. Usia
Siswa yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan siswa yang
lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru.
c. Jenis kelamin
Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan
kecerdasan emosi tetapi rata-rata wanita mungkin dapat lebih tinggi dibandingkan
dengan kaum pria dalam beberapa keterampilan emosi (namun ada juga pria yang
lebih tinggi dibandingkan kebanyakan wanita), walaupun secara statistik terdapat
perbedaan diantara kedua kelompok tersebut.
d. Jabatan
Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin penting keterampilan antar
pribadinya dalam membuatnya menonjol dibanding mereka yang berprestasi biasa-
9
biasa atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi jabatan, maka semakin tingi
kecerdasan emosi yang dimilikinya.
Remaja
Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin yaitu adolescere yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescere mempunyai arti yang
lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Perubahan emosi yang terjadi pada masa remaja menyebabkan remaja pada umumnya
memiliki kondisi yang labil. Masa remaja dikenal sebagai masa strom and stress (badai
dan tekanan), yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik (Hurlock, 1999). Perubahan yang terjadi selama masa remaja
menimbulkan keraguan, perasaan tidak mampu dan tidak aman. Keadaan seperti ini
menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang di
hadapinya, dan tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan dari lingkungan.
Perubahan masa remaja
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik masih belum selesai pada saat masa puber berakhir, tingkat
kecepatannya berkurang dalam masa remaja dan perubahan-perubahan yang terjadi
sekarang adalah perubahan-perubahan internal, tidak banyak lagi perubahan-
perubahan eksternal. Pertumbuhan fisik dipengaruhi oleh seks dan usia kematangan
sehingga banyak menimbulkan keprihatinan bagi anak laki-laki dan perempuan.
10
b. Perubahan emosional
Perubahan emosi pada remaja adalah sama dengan pola emosi pada masa anak-
anak. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dan dengan cara gerakan
amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara,
atau dengan suara keras mengkritik orang-orang yang menimbulkan amarah. Anak
laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada
akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain melainkan
menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya.
c. Perubahan sosial
Dalam perubahan sosial remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan diri dengan
orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.
Jenis Kelamin
Pengertian Jenis Kelamin
Menurut Badudu dan Zein (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994) jenis
kelamin dapat diartikan sebagai pembedaan atas pria dan wanita, jantan dan betina.
Sementara Squree (dalam Indriasari, 2006) mendefinisikan jenis kelamin sebagai jenis
teori yang membedakan peran pria dan wanita yang mengakibatkan perbedaan
perlakuan antara pria dan wanita dalam masyarakat. Peran tersebut mengacu pada
harapan dan sosial terhadap apa yang harus dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan oleh
seorang individu sebagai pria dan wanita. Peran ini seharusnya menunjukkan bahwa
seorang pria bersifat maskulin dan wanita bersifat feminim. Di samping itu, Lin dan
Ashdown (dalam Indriasari, 2006) menjelaskan bahwa istilah jenis kelamin dipakai
11
untuk pembagian struktur sosial berdasarkan jenis dan juga pada tanda-tanda emosional
dan psikologis yang diharapkan oleh suatu budaya dengan bentuk fisik pria dan wanita.
Perbedaan Kecerdasan Emosional pada Siswa Kelas X SMA Negeri 3 Salatiga
ditinjau dari jenis kelamin
Secara umum kecerdasan emosional sangatlah penting bagi seorang individu
terutama pada laki-laki dan perempuan, karena melalui kecerdasan emosional individu
dapat mengelola emosi. Laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang tidak
sama dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional. Perbedaan emosional antara laki-
laki dan perempuan yang sering muncul yaitu menyoroti peran sosial dan hubungan
dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (2014) bahwa perempuan
lebih mungkin untuk mendiskusikan emosi dalam hal hubungannya dengan orang lain.
Mereka juga lebih mungkin untuk mengekspresikan rasa takut dan sedih. Laki-laki lebih
menunjukkan kemarahannya ketika berhubungan dengan orang lain, terutama ketika
merasa ditantang oleh teman sesama laki-laki.
Walaupun laki-laki sering menunjukkan kemarahannya ketika merasa ditantang,
menurut wawancara dengan salah satu guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 3
Salatiga dalam berinteraksi dengan orang lain laki-laki lebih mudah beradaptasi dengan
cara tidak memilih-milih teman. Namun berbeda dengan perempuan, dimana
perempuan dalam berinteraksi dengan orang lain cenderung memilih-milih teman. Laki-
laki tidak mempunyai motivasi di dalam menggerakkan sesuatu menuju sasaran,
dibandingkan dengan perempuan.
12
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ada perbedaan kecerdasan emosional
ditinjau dari jenis kelamin, namun penulis belum bisa menyimpulkan apakah laki-laki
atau perempuan memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi.
Hipotesis Penelitian
Menurut penjelasan di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan
yang signifikan kecerdasan emosi pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga apabila
ditinjau dari jenis kelamin”.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kuantitatif komparasi. Fokus dalam penelitian ini bahwa ingin
membedakan antara variabel kecerdasan emosi dan variabel jenis kelamin, dengan
variabel terikatnya adalah kecerdasan emosi dan variabel bebasnya adalah jenis
kelamin.
13
Definisi Operasional
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengenali perasaaan kita sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola
emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain
(Goleman, 2001).
Pada penelitian ini skala yang dipergunakan untuk mengukur kecerdasan emosi
mencakup lima aspek kecerdasan emosional dari Goleman (2001) yaitu :
1. Kesadaran diri
2. Pengaturan diri
3. Motivasi
4. Empati
5. Keterampilan sosial
Jenis Kelamin
Jenis kelamin dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai pria dan wanita.
Untuk mengetahui jenis kelamin dalam penelitian ini datanya dapat diperoleh melalui
informasi yang tertera pada lembar identitas diri di dalam kuesioner.
Partisipan
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Sampel Non Probability
(non probability sampling) yaitu dimana teknik pengambilan sampel yang tidak
memberi peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi
untuk dipilih menjadi sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
14
X SMA Negeri 3 Salatiga, dengan sampel sebanyak 125 siswa. Sehingga teknik non
probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik
sampling jenuh. Sugiyono (2011) teknik sampling jenuh adalah teknik menentukan
sampel bila semua anggota populasi digunakan sampel.
Alat Ukur Penelitian
Data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan satu jenis skala yaitu skala
kecerdasan emosional. Skala ini disusun oleh peneliti berdasarkan komponen menurut
Goleman (2001) yaitu aspek kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati,
keterampilan sosial. Skala ini terdiri dari 50 item yang telah di modifikasi oleh peneliti
yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu 29 item favorable (item yang mendukung
pernyataan) dan 21 item unfavorable (item yang tidak mendukung pernyataan).
Alternatif jawaban untuk setiap item skala kecerdasan emosional yang tersedia, yaitu
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Dapat Menentukan Dengan Pasti (TP), Tidak
Sesuai (TS), serta Sangat Tidak Sesuai (STS). Adapun nilai skala kecerdasan emosional
untukfavorable adalah : nol (0) untuk Sangat Tidak Sesuai (STS), satu (1) untuk Tidak
Sesuai (TS), dua (2) untuk Tidak Dapat Menentukan Dengan Pasti (TP), tiga (3) untuk
Sesuai (S), dan empat (4) untuk Sangat Sesuai (SS). Sebaliknya untuk unfavorable
adalah : empat (4) untuk Sangat Tidak Sesuai (STS), tiga (3) untuk Tidak Sesuai (TS),
dua (2) untuk Tidak Dapat Menentukan Dengan Pasti (TP), satu (1) untuk Sesuai (S),
dan nol (0) untuk Sangat Sesuai (SS).
Kriteria pemilihan item total biasanya digunakan batasan 0,30 namun apabila
jumlah item yang lolos masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan dapat
dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria menjadi 0,25 (Azwar, 2012).
15
Dalam penelitian ini menggunakan batasan 0,25 dikarenakan banyak item yang gugur
jika menggunakan batasan 0,30. Dari hasil uji daya diskriminasi pada skala kecerdasan
emosional dengan jumlah item 50 pada subjek 125 orang di dapatkan hasil 18 item
gugur, jadi jumlah item yang valid adalah 32 item. Pengujian skala reliabilitas alat ukur
menggunakan Alpha Cronbach (Azwar 2012) dengan menggunakan batasan koefisien
korelasi makin mendekati 1 (satu) makin baik.
Dari hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa alat ukur kecerdasan emosional
reliabilitasnya tergolong baik dengan koefisien sebesar 0,885. Dengan demikian skala
kecerdasan emosional memenuhi syarat sebagai alat ukur yang baik.
Tabel 1
Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional
Reliability Statistics
Cronbach’s
Alpha
N of Items
.885 32
Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan uji-t untuk
melihat perbedaan kecerdasan emosional pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga
ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS
(Statistical Packages for Special Science) for windows release 19.0.
16
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Untuk melakukan uji hipotesis dengan menggunakan teknik statistik uji-t
(independent t-test), penulis terlebih dahulu melakukan uji asumsi yang terdiri dari uji
normalitas dan uji homogenitas. Tujuan dilakukannya uji normalitas dan uji
homogenitas adalah sebagai salah satu syarat dilakukannya uji t-test. Uji asumsi
dilakukan dengan menggunakan SPSS 19.0 for windows.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengukur data yang dihasilkan memiliki distribusi
normal atau tidak. Uji normalitas digunakan dengan menggunakan uji One-Sample
Kolmogorov-Smirnov Test. Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap sampel yang
berasal dari SMA Negeri 3 Salatiga di dapat nilai One-Sample Kolmogorov-
Smirnov Test pada siswa laki-laki 0,532 dengan nilai signifikansi yaitu 0,940,
sedangkan nilai One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada siswi perempuan
0,582 dengan nilai signifikansi 0,887. Hal ini dapat disimpulkan bahwa nilai
signifikansi dari keduanya (p > 0,05), maka diartikan bahwa data kedua variabel
berdistribusi normal.
17
Tabel 2
Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Laki-laki Perempuan
N
Normal Parametersa Mean
Std. Deviation
Most Extreme Differences Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
51
86.9412
1.59437E1
.074
.074
-.068
.532
.940
74
90.4054
1.17844E1
.068
.064
-.068
.582
.887
2. Uji Homogenitas
Berdasarkan uji homogenitas diperoleh nilai F pada Levene’s Test adalah sebesar
5,970 dan nilai signifikansi 0,016. Dapat disimpulkan bahwa varian data dari kedua
kelompok tidak homogen, karena mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,016 (p <
0,05). Maka untuk hasil uji hipotesis menggunakan Equal Variances Not Assumed.
Analisis Deskriptif
Dalam penelitian ini tingkat variabel kecerdasan emosional akan dibuat
sebanyak 5 (lima) kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah.
Rumus untuk mencari interval yang digunakan untuk menentukan kategori kecerdasan
18
emosional mempunyai 32 item valid dengan pemberian skor antara 0 sampai 4,
sehingga secara hipotetik pembagian skor tertinggi dan terendah yaitu :
Jumlah skor tertinggi 32 x 4 = 128
Jumlah skor terendah 32 x 0 = 0
Interval = Jumlah skor tertinggi – Jumlah skor terendah
5 (lima) kategori
= 128-0
5
= 128
5
= 25,6
Tabel 3
Kategorisasi Pengukuran Kecerdasan Emosional
Kategori siswa laki-laki (51 siswa)
Interval Ketegori Jumlah Siswa Persentase
< 102,4 - ≤ 128 Sangat tinggi 9 17,6 %
< 76,8 - ≤ 102,4 Tinggi 28 54,8 %
< 51,2 - ≤ 76,8 Sedang 13 24,4 %
< 25,6 - ≤ 51,2 Rendah 1 1,2 %
0 - ≤ 25,6 Sangat rendah 0 0
51 100 %
19
Ketegori siswi perempuan (74 siswi)
Interval Ketegori Jumlah Siswa Persentase
< 102,4 - ≤ 128 Sangat tinggi 14 27 %
< 76,8 - ≤ 102,4 Tinggi 52 66 %
< 51,2 - ≤ 76,8 Sedang 8 7 %
< 25,6 - ≤ 51,2 Rendah 0 0
0 - ≤ 25,6 Sangat rendah 0 0
74 100 %
Berdasarkan tabel 3 bahwa kecerdasan emosional siswa laki-laki terletak pada
kategori tinggi yaitu 54,8 %, sedangkan kecerdasan emosional siswi perempuan terletak
pada kategori tinggi yaitu 66 %.
Uji Hipotesis
Melihat hasil uji homogenitas sehingga dapat disimpulkan bahwa data dari
kedua kelompok tidak homogen, maka uji-t dilakukan dengan menggunakan Equal
Variances not Assumed. Dari tabel perhitungan SPSS dapat dilihat bahwa nilai t pada
Equal Variances not Assumed adalah -1,329 dengan signifikansi sebesar 0,187 (p >
0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kecerdasan
emosional pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin.
20
Tabel 4
t-test
Group Statistics
Jenis Kelamin
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Laki-laki
Perempuan
51
74
86.9412
90.4054
15.94918
11.56745
2.23333
1.34469
Independent Samples Test
Levene’s Test
for Equality
of Variances
t-test for Equality of Means
F
Sig.
T
Df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Differece
Std. Error
Differences
Equal variances
assumed
Equal variances
not assumed
5.970
.016 -1.408
-1.329
123
85.158
.162
.187
-3.46423
-3.46423
2.46073
2.60691
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang perbedaan kecerdasan emosional pada
siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin, didapatkan hasil
perhitungan Independent Samples Test sebesar -1,329 dengan signifikansi 0,187 (p >
0,05). Karena nilai signifikansi > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
21
perbedaan kecerdasan emosional pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Salatiga ditinjau
dari jenis kelamin.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Aiyappa dan Acharya (2014), Khaterina dan Garliah (2012), dan Pratama (2010)
yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan emosional antara laki-laki dan
perempuan.
Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional individu, salah satu diantaranya adalah faktor lingkungan
keluarga. Sangatlah penting di dalam lingkungan keluarga orang tua mengajarkan emosi
kepada anak, karena merupakan salah satu usaha pencegahan awal terjadinya
kemerosotan kecerdasan emosional. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan sosial
yang paling dekat dan merupakan sekolah pertama bagi anak dimana anak dapat
berinteraksi, maka dari peran orang tua sangatlah penting dalam memberikan
pengajaran emosi. Salah satu dari faktor dalam lingkungan keluarga yang sangat
dominan bagi pengembangan kepribadian anak adalah pola asuh orang tua. Berbagai
penelitian membuktikan adanya kaitan erat antara emosional dengan pola asuh orang
tua. Pola asuh orang tua memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan
kecerdasan emosional pada remaja. Kegagalan pola asuh orang tua sering kali menjadi
faktor penyebab terjadinya gangguan pada perkembangan kecerdasan emosional anak.
Ketetapan orang tua dalam menerapkan pola asuh memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap emosional anak. Kesalahan orang tua dalam menerapkan pola asuh dapat
mengakibatkan anak bertindak seenak hati, tidak mampu mengendalikan diri, pola
hidup bebas bahkan nyaris tanpa aturan, dan akibat buruk lainnya (Asyik dkk, 2015).
22
Melalui pola asuh orang tua yang berkualitas anak akan mampu mengemban
tugas-tugas perkembangan dengan baik sehingga fisik, psikis, dan sosialnya dapat
berkembang secara optimal. Pada jaman dahulu orang tua dituntut untuk mendidik dan
memberi perlakuan kepada anak sesuai dengan jenis kelamin, namun pada
kenyataannya sangat berbanding terbalik pada jaman modern sekarang ini orang tua
memberi perlakuan kepada anak perempuan dan anak laki-laki secara adil. Hal ini dapat
memberikan nilai yang sejajar bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. Anak laki-
laki diberi aturan yang sama dengan anak perempuan, sehingga anak laki-laki dapat
menghadapi kegagalan dan frustasi serta mampu menangani emosinya dengan baik
ketika berhubungan dengan orang lain. Anak laki-laki juga harus bisa peka terhadap
kata hati serta sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran,
sehingga mampu melakukan pengaturan terhadap dirinya secara baik. Anak laki-laki
sebaiknya diberi tanggung jawab dalam mengerjakan tugas rumah tangga, sehingga
tidak berkembang menjadi anak yang sulit diatur dan menjadi anak yang tidak
mempunyai perasaan empati yaitu dengan belajar memahami orang lain. Sebaliknya
anak perempuan memiliki kepercayaan diri yang sama besar dengan anak laki-laki,
karena dapat memungkinkan anak perempuan mempunyai keberanian untuk
berkompetisi.
23
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Tidak ada perbedaan kecerdasan emosional pada siswa kelas X SMA Negeri 3
Salatiga apabila ditinjau dari jenis kelamin.
2. Dalam penelitian ini kecerdasan emosional sebagian besar siswa laki-laki (54,8%)
kelas X ada pada kategori tinggi, demikian juga sebagian besar siswi perempuan
(66%) ada pada kategori tinggi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka peneliti memberikan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi siswa
Hendaknya siswa dapat mengenali perasaannya sendiri, serta mampu mengontrol
emosinya dengan baik dan dalam hubungannya dengan orang lain khususnya
dengan teman lawan jenisnya tanpa memandang perbedaan jenis kelamin.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Agar penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan
menggunakan variabel yang berbeda, misalnya dengan faktor kecerdasan emosional
yang lainnya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Aiyappa, S., Balakrishna Acharya, Y. T., (2014). Gender differences in emotional
intelligence of adolescents. International journal of scientific research. 3, 2277-
8179.
Asyik, F. M., Ismanto, A. Y., Babakal, A. (2015). Hubungan pola asuh orang tua
dengan kecerdasan emosional pada anak usia remaja di kelurahan soasio kota
tidore kepulauan. ejournal keperawatan. 3, diakses pada tanggal 2 Mei 2015.
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badudu, J. S; Zain, Moch, Sutan.(1994). Kamus besar bahasa Indonesia edisi 1. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Chu, J. (2002). Boys development. Reader’s digest, pp. 94-95.
Ciarrochi, J., Chan, A. Y. C., Bajgar, J. (2001). Measuring emotional intelligence in
adolescents. Personality and individual differences. 31, 1105-1119.
Goleman, D. (1997). Emotional intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
---------------. (2001). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Alih Bahasa:
Widodo, A. T. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
---------------. (2006). Emotional intelligence mengapa EI lebih penting daripada IQ.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, J & De Claire. (2003). Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki
keceerdasan emosi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (ed.5). Jakarta: Erlangga.
Indriasari, (2006). Perbedaan motivasi pegawai ditinjau dari jenis kelamin. Skripsi.
Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (tidak
diterbitkan).
Katyal, S., & Awasthi, E. (2005). Gender differences in emotional intelligence among
adolescents of chandigarh. J. Hum. Ecol, 17(2), 153-155.
25
Khaterina & Garliah, L. (2012). Perbedaan kecerdasan emosi pada pria dan wanita yang
mempelajari dan yang tidak mempelajari alat music piano. Jurnal Psikologi , I
(1), 17-20.
Mu’ tadin, Z. (2002). Mengenal kecerdasan emosional remaja. http://www.e-
psikologi.com. diakses pada tanggal 11 Februari 2009.
Palmer, B. R., Macocha, R., Gignac, G., Stough, C. (2003). Examining the factor
structure of the bar-on emotional quotient inventory with an Australian general
population sample. Personality and individual differences, 35, 1191-1210.
Pratama, A. Y. (2010). Hubungan kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja
awal pendukung Persija (the jak mania). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah.
Punamaki, R. L., Alumran, J. I. A. (2008). Relationship between gender, age, academic,
achievement, emotional intelligence, and coping styles in bahraini adolescents.
Individual differences research, 6(2), 104-119.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus besar bahasa
indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Santrock, J. B. (2003). Adolescence: perkembangan masa remaja (ed.6). Jakarta:
Erlangga.
--------------------. (2014). Psikologi pendidikan edisi 5. Jakarta: Salemba Humanika.
Salovey, P., Mayer, J. D. (1997). What is emotional intelligence?. New York: Basic
Books.
Sugiyono.(2011). Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta.