perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem
Transcript of perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem
PERBANDINGAN MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL ANTARA INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT
Saiful Abdullah, S.H., M.H.
AbstractThe attendance of the Constitutional Court in line with Indonesia as a state of law that uphold the establishment of a democratic and constitutional life. Democratization and constitutionalism are part of the spirit in the life of nation and state. The attendance of the Constitutional Court is within the framework of creating a democratic government, checks and balances, and as an institution that has the authority to conduct judicial control of the implementation of the State.Keynote : checks and balances, Comparative of constoitutional review model, Constitutional
Court
A. PENDAHULUAN
Keberadaan MK adalah sejalan dengan Indonesia sebagai Negara hukum yang
menjunjung tinggi terwujudnya kehidupan yang demokratis dan konstitusional.
Demokratisasi dan konstitusionalisme adalah merupakan bagian dari semangat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka adanya
perubahan terhadap sistem ketatanegaraan atau konstitusi merupakan suatu keniscayaan.
Salah satunya adalah adanya lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu MK.
Kehadiran lembaga MK ini adalah dalam kerangka menciptakan pemerintahan yang
demokratis, check and balances, dan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
melakukan control yudisial terhadap penyelenggaraan Negara.
Dalam perkembangan gagasan pengujian konstitusional (constitutional review), dalam
berbagai Negara mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat dengan tahapan-tahapan
yang beragam dan berbeda antar satu Negara dengan Negara lainnya. Hal ini tentu saja tidak
terlepas dari politik dalam berbagai Negara tersebut. Ada yang melembagakan fungsi
pengujian konstitusional itu dalam bentuk lembaga yang mandiri bernama Mahkamah
Konstitusi, ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian kepada lembaga yang sudah ada,
65
misalnya Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas dalam menjalankan fungsi
pengujian konstitusional kepada lembaga-lembaga atau badan-badan khusus, misalnya badan
pengadilan yang sudah ada. Disamping itu juga, ada Negara-negara yang tidak dapat
menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali.
Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk
menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional.
Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah
konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang
(judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ
khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang
yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika
sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang,
mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika
menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap
diwajibkan menerapkannya1. George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan
gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah
diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria
mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak
politik berhadapan dengan pemerintah.
Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu
lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini
1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.
66
sering disebut sebagai “The Kelsenian Model2”. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat
sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 –
1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di
dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of
the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the
supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap
norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian
terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori,
meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.3
Pengalaman-pengalaman di berbagai Negara tentu saja memperlihatkan bahwa tradisi
yang mereka ikuti tidak sama dari satu Negara ke Negara lainnya. Tulisan ini bertujuan
mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan model pengujian konstitusional atau judicial review
dalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Negara Amerika Serikat.
B. PEMBAHASAN
1. Beberapa Model Pengujian Konstitusional
Di berbagai Negara sejarah institusi, pengujian konstitusional (constitutional review)
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ada yang melembagakan fungsi pengujian
konstitusional itu secara mandiri dan ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian
konstitusional itu kepada lembaga yang sudah ada yaitu Mahkamah Agung, serta ada pula
yang terkait dengan fungsi badan-badan yang sudah ada. Berbagai macam model pengujian
konstitusional itu menggambarkan bahwa metode dan prosedur dalam pengujian itu banyak
macam dan coraknya.
2 Disebut juga dengan “the centralized sistem of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.3 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109.
67
Kewenangan menguji (constitutional review) dalam pelaksanaannya adalah meliputi
semua produk legislative (legislative act) yang merupakan perangkat hukum yang
mempunyai kedudukan tertinggi dalam setiap sistem politik dibawah UUD. Kewenagan
pengujian konstitusional semacam ini dipusatkan hanya pada satu-satunya lembaga yang
diberi kewenangan khusus sebagai lembaga penafsir konstitusi (the soul and the highest
interpreter of the constitution).
Melihat pada besarnya peran dan fungsi serta kedudukan sistem pengujian
konstitusional dalam sistem ketatanegaraan suatu Negara, maka di beberapa Negara di bentuk
lembaga tersendiri yang bersifat diluar cabang-cabang kekuasaan public yang sudah ada dan
Negara pertama yang melakukan hal itu adalah Austria yang membentuk Mahkamah
Konstitusi (Verfassungsgerichtsshoft) yang keberadaannya tersendiri diluar Mahkamah
Agung. Model pengujian konstitusional Austria ini berbeda dengan model pengujian yang
berkembang di Negara Amerika Serikat. Negara Paman Sam inilah sebenarnya sebagai
Negara pelopor dalam hal pengujian konstitusional di dunia. Di Amerika Serikat yang dilatar
belakangi tradisi hukum “common law” dalam sistem kelembagaannya, model pengujian
konstitusional tidak terpisah dari lembaga Mahkamah Agung atau lazim kita kenal dengan
sebutan “The Guardian of American Constitution”.
2. Model Pengujian Konstitusional Indonesia menurut UUD 1945
Pada awal bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, dimulailah babak baru dalam
sistem ketatanegaraan kita Indonesia, salah satunya ditandai dengan lahirnya lembaga baru
dalam sistem kehakiman sebagai lembaga yudisial, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi atau
“Constitutional Court”. Fenomena baru lembaga ini diatur sepenuhnya dalam UUD 1945
amandemen. Keberadaan lembaga MK ini diharapkan tidak hanya sekedar merubah
paradigma struktur ketatanegaraan Indonesia atau sistem pemerintahan, melainkan
diharapkan mampu menjadi lembaga penyeimbang atau lembaga pengawas yang meampu
68
melaksanakan prinsip checks and balances, dan disamping itu bahwa lembaga MK
mempunyai kewenangan mengawasi terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan.
Di Indonesia, pengujian konstitusional ini kemudian dikenal dengan “Judicial Review”.
Peristilahan “judicial review” dapat dibedakan dengan istilah “constitutional review”
atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, “constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh
lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan
kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review” terkait pula
pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan “constitutional review” hanya
menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.
Konsep “constitutional review” itu dapat dilihat sebagai hasil perkembangan gagasan
modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum
(rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan
pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem
‘constitutional review’ itu tercakup 2 (dua) tugas pokok. Pertama, menjamin berfungsinya
sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary).
Dengan kata lain, “constitutional review” dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian rupa sehingga cabang
kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin
dalam konstitusi.
Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan “constitutional
review” berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara.
69
Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri
bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada
lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk
menjalankan fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-
lembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak
menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negara
di dunia memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke
negara yang lain.
Bagi Indonesia kehadiran lembaga MK ini dimulai dan muncul pada saat adanya
perdebatan tentang impeachment yang mengiringi perdebatan pemberhentian Presiden
Abdurrahman Wahid, oleh karena itu maka Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 tentang
pemberhentian Presiden terpisah dengan rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 mengenai
kewenangan MK4.
Adanya perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dalam perspektif UUD
1945 yang ditandai dengan lahirnya lembaga MK, menunjukkan adanya keseriusan
pemerintah dalam melembagakan MK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan
pengujian konstitusional yang sekaligus menjadi lembaga control atau pengawas terhadap
penyelenggaraan Negara atau pemerintahan atau sebagai lembaga yang mengemban prinsip
checks and balances. Asas atau prinsip checks and balances yang melahirkan lembaga MK
dimaksudkan berfungsi untuk menegakkan konstitusionalisme, karena pada satu pihak hukum
harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak menjadi sewenang-wenang), dan pada pihak
lain bahwa kekuasaan merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum, oleh karena hukum
bukanlah merupakan kaidah-kaidah yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan berlaku.
4 Pasal 7 A berbunyi : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum…………..”. dan Pasal 7 B berbunyi : “ bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan meutus pendapat DPR………………..”
70
Disisi lain, bahwa dengan lahirnya lembaga MK menjadi titik balik tumbuh dan
berkembangnya negara hukum modern, yang mengusung prinsip perlindungan segenap
bangsa, mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian atau
ketertiban dunia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur.
Berangkat dari gambaran tersebut diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa
kehadiran lembaga MK menurut UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang
mempunyai kewenangan menguji undang-undang, tetapi juga berfungsi sebagai pengawal
konstitusi, sebagai penafsir konstitusi, sebagai penegak demokrasi, dan sebagai penjaga hak
asasi manusia (HAM). Untuk lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa struktur, fungsi dan
kedudukan lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif UUD
1945, penulis jelaskan pada sub bab pembahasan berikut ini.
3. Fungsi Mahkamah Konstitusi
Gagasan pembentukan lembaga MK adalah tidak lain merupakan dorongan dalam
penyelenggaraan kekuasaan dan system ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik. Menurut
Fatkhurohman, et al. (2004) bahwa paling tidak ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi dan
menjadi pijakan dalam pembentukan lembaga MK, yaitu :
a. Merupakan implikasi dari paham konstitusionalisme
b. Mekanisme check and balances
c. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
d. Prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia5.
Dalam UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, tidak terdapat rumusan tentang fungsi MK, tetapi dalam Penjelasan Umum UU
MK tersebut dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk mewujudkan Negara hukum dan
demokrasi.
5 Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004, hal, 77.
71
Berdasarkan pada fungsi lembaga MK tersebut, ada beberapa unsur tentang
penegakan konstitusi atau konstitusionalisme yang sangat relevan kaitannya dengan fungsi
MK yang dikemukakan oleh Andrews sebagaimana dikutip oleh Abdul Latif (2007), yaitu :
a. The general goals of society or general acceptance of the same
philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang
pemerintahan) ;
b. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang
Negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara) ;
c. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)6.
Dari pemahaman tersebut, maka fungsi MK dalam system ketatanegaraan Indonesia
dalam perspektif UUD 1945, dapat dilakukan melalui penedekatan dimaksud. Dan hal ini
dapat terwujud manakala fungsi MK sejalan dengan tujuan Negara sebagai cita hukum yang
telah digariskan dalam Pembukaan dan diaktualisasikan ke dalam UUD 1945, sebagai
kesepakatan bersama sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa fungsi MK adalah
untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme dalam system ketatanegaraan
Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme adalah selain pembatasan kekuasaan juga
untuk mengatur hubungan antara warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan
pemerintahan berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai
kedamaian dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah satunya
melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD guna untuk menegakkan
konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada lembaga MK).
6 Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, hal, 128.
72
Disamping fungsi-fungsi sebagaimana tersebut diatas, dalam konteks fungsi MK
untuk mewujudkan Negara hukum demokratis, maka terdapat beberapa fungsi lain sebagai
berikut : Fungsi sebagai penafsir konstitusi, Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia,
Fungsi sebagai pengawal konstitusi, Fungsi sebagai penegak demokrasi.
4. Model Pengujian Konstitusional Negara Amerika Serikat
Tradisi Amerika Serikta sebagai Negara yang mewarisi tradisi hukum common law,
Amerika Serikta tidak memerlukan lembaga tersendiri seperti halnya yang berlaku dalam
Eropa Kontinental, misalnya Indonesia. Di America Serikat fungsi lembaga MK langsung
melekat dan menjadi kewenangan Mahkamah Agung (supreme court) yang disebut dengan
“The Guardian of American Constitution”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan : (a).
bahwa kekuasaan untuk melakukan pengujian konstitusional itu langsung berada dan melekat
pada Mahkamah Agung itu sendiri, oleh karenanya di Amerika Serikat, kewenagan yang
demikian disebut dengan “The Guardian of American Constitution”. (b). bahwa doktrin atau
ajaran dalam pengujian konstitusional yang dikembangkan adalah dilakukan oleh semua
pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan dengan “Pengujian Terdesentralisasi”
atau pengujian yang tersebar dan diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada di
Negara bagian/Mahkamah Agung Federal). Dengan kata lain, bahwa pengujian konstitusional
itu tidak bersifat institusional sebagai perkara khusus yang berdiri sendiri, melainkan
termasuk di dalam perakara umum yang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan
pengadilan yang ada.
Disisi lain, bahwa Negara Amerika Serikat sebagai Negara yang menganut tradisai
Common Law dalam sistem peradilannya tidak membedakan anatara perkara atau sengketa
hukum public dengan perkara atau sengketa hukum privat, sehingga tidak memerlukan
pengadilan khusus untuk menangani perkarara-perkara hukum ketatanegaraan. Sistem ini
73
dapat dikatakan konsisten dalam menerapkan salah satu prinsip unsure Negara hukum (Rule
of Law), yaitu prinsip persamaan di depan hukum.
5. Kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat
Kewenangan Mahkamah Agung termuat dalam Konstitusi Amerika Serikat yang
termuat dalam Pasal III, terdiri dari 3 (tiga) hal, sebagai berikut :
a. Memuat ketentuan dasar bahwa kekuasaan kehakiman berada
dalam sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung, dimana peradilan-peradilannya yang lebih rendah tersebut dapat
dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai dengan kebutuhan dari waktu ke waktu.
b. Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan kehakiman
dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok dari
kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang
meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat
hukum lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut
perundang-undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat pihak
yang diberi kewenanagan berdasarkan konstitusi ini. Adapun perkara dimaksud adalah
sebagai berikut :
1) semua perkara yang melibatkan duta besar, pejabat setingkat menteri, dan pejabat
konsuler (negara lain) ;
2) semua perkara yang menyangkut jurisdiksi di wilayah pantai, laut, dan perkapalan ;
3) semua perselisihan dimana Amerika Serikat menjadi salah satu pihaknya ;
4) semua perselisihan anatara dua atau lebih Negara bagian dengan warga Negara bagian
lain ;
5) perselisihan antara penduduk di Negara bagian yang berbeda, natara penduduk di
Negara bagian yang sama yang menyangkut sengketa tanah di Negara bagian lain,
74
serta antara Negara bagian dengan Negara asing, penduduk atau subyek hukum di
Negara asing.
c. Memuat tentang pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari tindakan berperang
terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan tunduk terhadap
musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi musuh. Dimana tidak
ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana pengkhianatan terhadap
Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam perkara yang sama, atau pengakuan di
pengadilan terbuka. Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas tindak
pidana dimaksud ini diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa dikenakan
selama orang yang bersangkutan masih hidup.
Berdasarkan pada penjelasan sebagaimana tersebut diatas, berkaitan dengan
perbandingan model-model pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraan antara
Indonesia dengan Negara Amerika Serikat, berikut ini penulis akan menjelaskan hal-hal yang
berhubungan dengan persamaan maupun perbedaan diantara keduanya, sebagai berikut :
NO PERBEDAAN PERSAMAAN
1 Secara hirarki atau struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman berkaitan dengan pengujian konstitusionaldalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Amerika Serikat adalah berbeda. Di Indonesia, lembaga pengujian konstitusional adalah lembaga yang mandiri, terpisah dari lembaga Mahkamah Agung tetapi tetap berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Lembaga ini kemudian dikenal dengan lembaga MK. Sedangkan di Amerika Serikat, lembaga pengujian konstitusional tidak terpisah dari Mahkamah Agung dan kewenangannya melekat di dalamnya (tidak mengenal istilah Mahkamah
Bahwa kedua lembaga tersebut MK dan Mahkamah Agung adalah mempunyai fungsi yang sama yaitu, fungsi pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraannya masing-masing.
75
Konstitusi), hal ini dikarenakan bahwa Amerika Serikat dipengaruhi oleh tradisi hukum Common Law, yang tidak memerlukan lembaga tersendiri tau berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung.
2 Bahwa fungsi pengujian konstitusional bagai Negara Amerika Serikat yang diberikan kepada Mahkamah Agung pada dasarnya tidak tercantum dalam Konstitusi dan amandemen-amandemenya Amerika Serikat. Sedangkan bagi Indonesia adanya lembaga pengujian konstitusional yang diberikan kepada lembaga MK diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang khusus yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Bahwa keberadaan fungsi pengujian konstitusional ini dimaksudkan sebagai lembaga control terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan Negara. Dan hal ini juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan rakyat, serta hak asasi manusia.
C. PENUTUP
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945, maka ada
beberapa hal terkait dengan kewenangan MK sebagai lembaga pengujian konstitusional,
yaitu: menguji undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan undang-undang ; memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; memberi putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum. Sedangkan yang menjadi fungsi dari lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia berdasarkan UUU 1945 adalah sebagai berikut: Bahwa lembaga MK berfungsi
membangun dan mewujudkan Negara hukum Indonesia yang demokratis melalui
pelaksanaan fungsinya untuk menegakkan konstitusi dan konstitusionalisme; Fungsi sebagai
penafsir konstitusi; Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia; Fungsi sebagai pengawal
konstitusi; Fungsi sebagai penegak demokrasi.
76
Sedangkan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan
Amerika Serikat berdasarkan “The Guardian of American Constitution”, adalah: Memuat
ketentuan dasar bahwa kekuasaan kehakiman berada dalam sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan lain dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dimana peradilan-
peradilannya yang lebih rendah tersebut dapat dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai
dengan kebutuhan dari waktu ke waktu; Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan
kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok
dari kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang
meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat hukum
lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut perundang-
undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat pihak yang diberi
kewenanagan berdasarkan konstitusi ini; Memuat tentang pasal-pasal yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari
tindakan berperang terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan
tunduk terhadap musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi musuh.
Dimana tidak ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana pengkhianatan
terhadap Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam perkara yang sama, atau
pengakuan di pengadilan terbuka. Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas
tindak pidana dimaksud ini diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa
dikenakan selama orang yang bersangkutan masih hidup. Adapun Mahkamah Agung dalam
sistem ketatanegaraan Amerika Serikat berfungsi sebagai pengujian materiil terhadap
peraturan perundang-undanga; Fungsi menginterpretasikan konstitusi ini kemudian
berkembang menjadi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007
Ralph C.Chandler, Richard A. Enslen, and Peter G. Renstrom, The Constitutional Law Dictionary, volume 2, dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Bergai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004
Abdul Hakim G.M. “Mahkamah Konstitusi : Perspektif Politik dan Hukum”, Kompas, 24 September 2002.
Abdul Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1973.
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Model – Model Pengujian Konstitusional di berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005
Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi dan Babakan Konstitusi Indonesia, Penerbit Bina Media Perintis, Medan, 2007
Kusnardi et al, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002
78