perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

21
PERBANDINGAN MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL ANTARA INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT Saiful Abdullah, S.H., M.H. Abstract The attendance of the Constitutional Court in line with Indonesia as a state of law that uphold the establishment of a democratic and constitutional life. Democratization and constitutionalism are part of the spirit in the life of nation and state. The attendance of the Constitutional Court is within the framework of creating a democratic government, checks and balances, and as an institution that has the authority to conduct judicial control of the implementation of the State. Keynote : checks and balances, Comparative of constoitutional review model, Constitutional Court A. PENDAHULUAN Keberadaan MK adalah sejalan dengan Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi terwujudnya kehidupan yang demokratis dan konstitusional. Demokratisasi dan konstitusionalisme adalah merupakan bagian dari semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka adanya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan atau konstitusi merupakan suatu keniscayaan. Salah satunya adalah adanya lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu MK. Kehadiran lembaga MK ini adalah dalam kerangka menciptakan pemerintahan yang demokratis, 65

Transcript of perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Page 1: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

PERBANDINGAN MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL ANTARA INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT

Saiful Abdullah, S.H., M.H.

AbstractThe attendance of the Constitutional Court in line with Indonesia as a state of law that uphold the establishment of a democratic and constitutional life. Democratization and constitutionalism are part of the spirit in the life of nation and state. The attendance of the Constitutional Court is within the framework of creating a democratic government, checks and balances, and as an institution that has the authority to conduct judicial control of the implementation of the State.Keynote : checks and balances, Comparative of constoitutional review model, Constitutional

Court

A. PENDAHULUAN

Keberadaan MK adalah sejalan dengan Indonesia sebagai Negara hukum yang

menjunjung tinggi terwujudnya kehidupan yang demokratis dan konstitusional.

Demokratisasi dan konstitusionalisme adalah merupakan bagian dari semangat dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, maka adanya

perubahan terhadap sistem ketatanegaraan atau konstitusi merupakan suatu keniscayaan.

Salah satunya adalah adanya lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan kita yaitu MK.

Kehadiran lembaga MK ini adalah dalam kerangka menciptakan pemerintahan yang

demokratis, check and balances, dan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk

melakukan control yudisial terhadap penyelenggaraan Negara.

Dalam perkembangan gagasan pengujian konstitusional (constitutional review), dalam

berbagai Negara mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat dengan tahapan-tahapan

yang beragam dan berbeda antar satu Negara dengan Negara lainnya. Hal ini tentu saja tidak

terlepas dari politik dalam berbagai Negara tersebut. Ada yang melembagakan fungsi

pengujian konstitusional itu dalam bentuk lembaga yang mandiri bernama Mahkamah

Konstitusi, ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian kepada lembaga yang sudah ada,

65

Page 2: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

misalnya Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas dalam menjalankan fungsi

pengujian konstitusional kepada lembaga-lembaga atau badan-badan khusus, misalnya badan

pengadilan yang sudah ada. Disamping itu juga, ada Negara-negara yang tidak dapat

menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali.

Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat

secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk

menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak

memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional.

Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah

konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang

(judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ

khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang

yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika

sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang,

mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika

menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap

diwajibkan menerapkannya1. George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan

gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah

diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria

mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak

politik berhadapan dengan pemerintah.

Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu

lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi

(Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini

1 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.

66

Page 3: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

sering disebut sebagai “The Kelsenian Model2”. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat

sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 –

1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di

dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of

the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the

supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap

norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian

terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori,

meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.3

Pengalaman-pengalaman di berbagai Negara tentu saja memperlihatkan bahwa tradisi

yang mereka ikuti tidak sama dari satu Negara ke Negara lainnya. Tulisan ini bertujuan

mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan model pengujian konstitusional atau judicial review

dalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Negara Amerika Serikat.

B. PEMBAHASAN

1. Beberapa Model Pengujian Konstitusional

Di berbagai Negara sejarah institusi, pengujian konstitusional (constitutional review)

mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ada yang melembagakan fungsi pengujian

konstitusional itu secara mandiri dan ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian

konstitusional itu kepada lembaga yang sudah ada yaitu Mahkamah Agung, serta ada pula

yang terkait dengan fungsi badan-badan yang sudah ada. Berbagai macam model pengujian

konstitusional itu menggambarkan bahwa metode dan prosedur dalam pengujian itu banyak

macam dan coraknya.

2 Disebut juga dengan “the centralized sistem of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.3 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109.

67

Page 4: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Kewenangan menguji (constitutional review) dalam pelaksanaannya adalah meliputi

semua produk legislative (legislative act) yang merupakan perangkat hukum yang

mempunyai kedudukan tertinggi dalam setiap sistem politik dibawah UUD. Kewenagan

pengujian konstitusional semacam ini dipusatkan hanya pada satu-satunya lembaga yang

diberi kewenangan khusus sebagai lembaga penafsir konstitusi (the soul and the highest

interpreter of the constitution).

Melihat pada besarnya peran dan fungsi serta kedudukan sistem pengujian

konstitusional dalam sistem ketatanegaraan suatu Negara, maka di beberapa Negara di bentuk

lembaga tersendiri yang bersifat diluar cabang-cabang kekuasaan public yang sudah ada dan

Negara pertama yang melakukan hal itu adalah Austria yang membentuk Mahkamah

Konstitusi (Verfassungsgerichtsshoft) yang keberadaannya tersendiri diluar Mahkamah

Agung. Model pengujian konstitusional Austria ini berbeda dengan model pengujian yang

berkembang di Negara Amerika Serikat. Negara Paman Sam inilah sebenarnya sebagai

Negara pelopor dalam hal pengujian konstitusional di dunia. Di Amerika Serikat yang dilatar

belakangi tradisi hukum “common law” dalam sistem kelembagaannya, model pengujian

konstitusional tidak terpisah dari lembaga Mahkamah Agung atau lazim kita kenal dengan

sebutan “The Guardian of American Constitution”.

2. Model Pengujian Konstitusional Indonesia menurut UUD 1945

Pada awal bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, dimulailah babak baru dalam

sistem ketatanegaraan kita Indonesia, salah satunya ditandai dengan lahirnya lembaga baru

dalam sistem kehakiman sebagai lembaga yudisial, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi atau

“Constitutional Court”. Fenomena baru lembaga ini diatur sepenuhnya dalam UUD 1945

amandemen. Keberadaan lembaga MK ini diharapkan tidak hanya sekedar merubah

paradigma struktur ketatanegaraan Indonesia atau sistem pemerintahan, melainkan

diharapkan mampu menjadi lembaga penyeimbang atau lembaga pengawas yang meampu

68

Page 5: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

melaksanakan prinsip checks and balances, dan disamping itu bahwa lembaga MK

mempunyai kewenangan mengawasi terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan.

Di Indonesia, pengujian konstitusional ini kemudian dikenal dengan “Judicial Review”.

Peristilahan “judicial review” dapat dibedakan dengan istilah “constitutional review”

atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan.

Pertama, “constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh

lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan

kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review” terkait pula

pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah

Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan “constitutional review” hanya

menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.

Konsep “constitutional review” itu dapat dilihat sebagai hasil perkembangan gagasan

modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum

(rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan

pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem

‘constitutional review’ itu tercakup 2 (dua) tugas pokok. Pertama, menjamin berfungsinya

sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary).

Dengan kata lain, “constitutional review” dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian rupa sehingga cabang

kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan

kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin

dalam konstitusi.

Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan “constitutional

review” berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara.

69

Page 6: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri

bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada

lembaga yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk

menjalankan fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembaga-

lembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula yang tidak

menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali. Pengalaman di berbagai negara

di dunia memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke

negara yang lain.

Bagi Indonesia kehadiran lembaga MK ini dimulai dan muncul pada saat adanya

perdebatan tentang impeachment yang mengiringi perdebatan pemberhentian Presiden

Abdurrahman Wahid, oleh karena itu maka Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 tentang

pemberhentian Presiden terpisah dengan rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 mengenai

kewenangan MK4.

Adanya perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dalam perspektif UUD

1945 yang ditandai dengan lahirnya lembaga MK, menunjukkan adanya keseriusan

pemerintah dalam melembagakan MK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan

pengujian konstitusional yang sekaligus menjadi lembaga control atau pengawas terhadap

penyelenggaraan Negara atau pemerintahan atau sebagai lembaga yang mengemban prinsip

checks and balances. Asas atau prinsip checks and balances yang melahirkan lembaga MK

dimaksudkan berfungsi untuk menegakkan konstitusionalisme, karena pada satu pihak hukum

harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak menjadi sewenang-wenang), dan pada pihak

lain bahwa kekuasaan merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum, oleh karena hukum

bukanlah merupakan kaidah-kaidah yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan berlaku.

4 Pasal 7 A berbunyi : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum…………..”. dan Pasal 7 B berbunyi : “ bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan meutus pendapat DPR………………..”

70

Page 7: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Disisi lain, bahwa dengan lahirnya lembaga MK menjadi titik balik tumbuh dan

berkembangnya negara hukum modern, yang mengusung prinsip perlindungan segenap

bangsa, mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian atau

ketertiban dunia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur.

Berangkat dari gambaran tersebut diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa

kehadiran lembaga MK menurut UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang

mempunyai kewenangan menguji undang-undang, tetapi juga berfungsi sebagai pengawal

konstitusi, sebagai penafsir konstitusi, sebagai penegak demokrasi, dan sebagai penjaga hak

asasi manusia (HAM). Untuk lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa struktur, fungsi dan

kedudukan lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif UUD

1945, penulis jelaskan pada sub bab pembahasan berikut ini.

3. Fungsi Mahkamah Konstitusi

Gagasan pembentukan lembaga MK adalah tidak lain merupakan dorongan dalam

penyelenggaraan kekuasaan dan system ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik. Menurut

Fatkhurohman, et al. (2004) bahwa paling tidak ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi dan

menjadi pijakan dalam pembentukan lembaga MK, yaitu :

a. Merupakan implikasi dari paham konstitusionalisme

b. Mekanisme check and balances

c. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan

d. Prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia5.

Dalam UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, tidak terdapat rumusan tentang fungsi MK, tetapi dalam Penjelasan Umum UU

MK tersebut dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk mewujudkan Negara hukum dan

demokrasi.

5 Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004, hal, 77.

71

Page 8: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Berdasarkan pada fungsi lembaga MK tersebut, ada beberapa unsur tentang

penegakan konstitusi atau konstitusionalisme yang sangat relevan kaitannya dengan fungsi

MK yang dikemukakan oleh Andrews sebagaimana dikutip oleh Abdul Latif (2007), yaitu :

a. The general goals of society or general acceptance of the same

philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang

pemerintahan) ;

b. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang

Negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara) ;

c. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk

institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)6.

Dari pemahaman tersebut, maka fungsi MK dalam system ketatanegaraan Indonesia

dalam perspektif UUD 1945, dapat dilakukan melalui penedekatan dimaksud. Dan hal ini

dapat terwujud manakala fungsi MK sejalan dengan tujuan Negara sebagai cita hukum yang

telah digariskan dalam Pembukaan dan diaktualisasikan ke dalam UUD 1945, sebagai

kesepakatan bersama sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa fungsi MK adalah

untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme dalam system ketatanegaraan

Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme adalah selain pembatasan kekuasaan juga

untuk mengatur hubungan antara warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan

pemerintahan berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai

kedamaian dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah satunya

melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD guna untuk menegakkan

konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada lembaga MK).

6 Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, hal, 128.

72

Page 9: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Disamping fungsi-fungsi sebagaimana tersebut diatas, dalam konteks fungsi MK

untuk mewujudkan Negara hukum demokratis, maka terdapat beberapa fungsi lain sebagai

berikut : Fungsi sebagai penafsir konstitusi, Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia,

Fungsi sebagai pengawal konstitusi, Fungsi sebagai penegak demokrasi.

4. Model Pengujian Konstitusional Negara Amerika Serikat

Tradisi Amerika Serikta sebagai Negara yang mewarisi tradisi hukum common law,

Amerika Serikta tidak memerlukan lembaga tersendiri seperti halnya yang berlaku dalam

Eropa Kontinental, misalnya Indonesia. Di America Serikat fungsi lembaga MK langsung

melekat dan menjadi kewenangan Mahkamah Agung (supreme court) yang disebut dengan

“The Guardian of American Constitution”. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan : (a).

bahwa kekuasaan untuk melakukan pengujian konstitusional itu langsung berada dan melekat

pada Mahkamah Agung itu sendiri, oleh karenanya di Amerika Serikat, kewenagan yang

demikian disebut dengan “The Guardian of American Constitution”. (b). bahwa doktrin atau

ajaran dalam pengujian konstitusional yang dikembangkan adalah dilakukan oleh semua

pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan dengan “Pengujian Terdesentralisasi”

atau pengujian yang tersebar dan diperiksa di pengadilan biasa (Pengadilan yang ada di

Negara bagian/Mahkamah Agung Federal). Dengan kata lain, bahwa pengujian konstitusional

itu tidak bersifat institusional sebagai perkara khusus yang berdiri sendiri, melainkan

termasuk di dalam perakara umum yang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan

pengadilan yang ada.

Disisi lain, bahwa Negara Amerika Serikat sebagai Negara yang menganut tradisai

Common Law dalam sistem peradilannya tidak membedakan anatara perkara atau sengketa

hukum public dengan perkara atau sengketa hukum privat, sehingga tidak memerlukan

pengadilan khusus untuk menangani perkarara-perkara hukum ketatanegaraan. Sistem ini

73

Page 10: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

dapat dikatakan konsisten dalam menerapkan salah satu prinsip unsure Negara hukum (Rule

of Law), yaitu prinsip persamaan di depan hukum.

5. Kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat

Kewenangan Mahkamah Agung termuat dalam Konstitusi Amerika Serikat yang

termuat dalam Pasal III, terdiri dari 3 (tiga) hal, sebagai berikut :

a. Memuat ketentuan dasar bahwa kekuasaan kehakiman berada

dalam sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain dibawah kekuasaan

Mahkamah Agung, dimana peradilan-peradilannya yang lebih rendah tersebut dapat

dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai dengan kebutuhan dari waktu ke waktu.

b. Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan kehakiman

dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok dari

kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang

meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat

hukum lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut

perundang-undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat pihak

yang diberi kewenanagan berdasarkan konstitusi ini. Adapun perkara dimaksud adalah

sebagai berikut :

1) semua perkara yang melibatkan duta besar, pejabat setingkat menteri, dan pejabat

konsuler (negara lain) ;

2) semua perkara yang menyangkut jurisdiksi di wilayah pantai, laut, dan perkapalan ;

3) semua perselisihan dimana Amerika Serikat menjadi salah satu pihaknya ;

4) semua perselisihan anatara dua atau lebih Negara bagian dengan warga Negara bagian

lain ;

5) perselisihan antara penduduk di Negara bagian yang berbeda, natara penduduk di

Negara bagian yang sama yang menyangkut sengketa tanah di Negara bagian lain,

74

Page 11: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

serta antara Negara bagian dengan Negara asing, penduduk atau subyek hukum di

Negara asing.

c. Memuat tentang pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari tindakan berperang

terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan tunduk terhadap

musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi musuh. Dimana tidak

ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana pengkhianatan terhadap

Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam perkara yang sama, atau pengakuan di

pengadilan terbuka. Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas tindak

pidana dimaksud ini diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa dikenakan

selama orang yang bersangkutan masih hidup.

Berdasarkan pada penjelasan sebagaimana tersebut diatas, berkaitan dengan

perbandingan model-model pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraan antara

Indonesia dengan Negara Amerika Serikat, berikut ini penulis akan menjelaskan hal-hal yang

berhubungan dengan persamaan maupun perbedaan diantara keduanya, sebagai berikut :

NO PERBEDAAN PERSAMAAN

1 Secara hirarki atau struktur kelembagaan kekuasaan kehakiman berkaitan dengan pengujian konstitusionaldalam sistem ketatanegaraan antara Indonesia dengan Amerika Serikat adalah berbeda. Di Indonesia, lembaga pengujian konstitusional adalah lembaga yang mandiri, terpisah dari lembaga Mahkamah Agung tetapi tetap berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Lembaga ini kemudian dikenal dengan lembaga MK. Sedangkan di Amerika Serikat, lembaga pengujian konstitusional tidak terpisah dari Mahkamah Agung dan kewenangannya melekat di dalamnya (tidak mengenal istilah Mahkamah

Bahwa kedua lembaga tersebut MK dan Mahkamah Agung adalah mempunyai fungsi yang sama yaitu, fungsi pengujian konstitusional dalam sistem ketatanegaraannya masing-masing.

75

Page 12: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Konstitusi), hal ini dikarenakan bahwa Amerika Serikat dipengaruhi oleh tradisi hukum Common Law, yang tidak memerlukan lembaga tersendiri tau berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung.

2 Bahwa fungsi pengujian konstitusional bagai Negara Amerika Serikat yang diberikan kepada Mahkamah Agung pada dasarnya tidak tercantum dalam Konstitusi dan amandemen-amandemenya Amerika Serikat. Sedangkan bagi Indonesia adanya lembaga pengujian konstitusional yang diberikan kepada lembaga MK diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang khusus yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Bahwa keberadaan fungsi pengujian konstitusional ini dimaksudkan sebagai lembaga control terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan Negara. Dan hal ini juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan rakyat, serta hak asasi manusia.

C. PENUTUP

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945, maka ada

beberapa hal terkait dengan kewenangan MK sebagai lembaga pengujian konstitusional,

yaitu: menguji undang-undang terhadap UUD; memutus sengketa kewenangan lembaga

Negara yang kewenangannya diberikan undang-undang ; memutus pembubaran partai politik;

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; memberi putusan atas pendapat DPR

mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran

hukum. Sedangkan yang menjadi fungsi dari lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia berdasarkan UUU 1945 adalah sebagai berikut: Bahwa lembaga MK berfungsi

membangun dan mewujudkan Negara hukum Indonesia yang demokratis melalui

pelaksanaan fungsinya untuk menegakkan konstitusi dan konstitusionalisme; Fungsi sebagai

penafsir konstitusi; Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia; Fungsi sebagai pengawal

konstitusi; Fungsi sebagai penegak demokrasi.

76

Page 13: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

Sedangkan kewenangan konstitusional Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan

Amerika Serikat berdasarkan “The Guardian of American Constitution”, adalah: Memuat

ketentuan dasar bahwa kekuasaan kehakiman berada dalam sebuah Mahkamah Agung dan

badan-badan peradilan lain dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dimana peradilan-

peradilannya yang lebih rendah tersebut dapat dibentuk dan dibubarkan oleh Kongres sesuai

dengan kebutuhan dari waktu ke waktu; Memuat ketentuan mengenai jurisdiksi kekuasaan

kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Amerika. Pasal III bagian 2, bahwa ketentuan pokok

dari kekuasaan kehakiman adalah bahwa kekuasaan kehakiman memiliki jurisdiksi yang

meliputi semua perkara, (yang menyangkut pelaksanaan) dalam hukum dan perangkat hukum

lainnya, perkara yang timbul dari Konstitusi ini, perakara yang menyangkut perundang-

undangan Amerika Serikat, serta traktat yang telah atau akan dibuat pihak yang diberi

kewenanagan berdasarkan konstitusi ini; Memuat tentang pasal-pasal yang dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara, yang terdiri dari

tindakan berperang terhadap Amerika Serikat termasuk Negara-negara bagiannya, tindakan

tunduk terhadap musuh Amerika serikat, memberikan bantuan dan kenyamanan bagi musuh.

Dimana tidak ada seorang pun yang dapat dikenakan tuduhan tindak pidana pengkhianatan

terhadap Negara ini tanpa adanya kesaksian dua saksi dalam perkara yang sama, atau

pengakuan di pengadilan terbuka. Sementara dalam kewenangan menyatakan hukuman atas

tindak pidana dimaksud ini diberikan kepada Kongres, yang hukumannya hanya bisa

dikenakan selama orang yang bersangkutan masih hidup. Adapun Mahkamah Agung dalam

sistem ketatanegaraan Amerika Serikat berfungsi sebagai pengujian materiil terhadap

peraturan perundang-undanga; Fungsi menginterpretasikan konstitusi ini kemudian

berkembang menjadi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga

Negara yang kewenangannya diberikan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat.

77

Page 14: perbandingan model pengujian konstitusional dalam sistem

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007

Ralph C.Chandler, Richard A. Enslen, and Peter G. Renstrom, The Constitutional Law Dictionary, volume 2, dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Bergai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005

Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004

Abdul Hakim G.M. “Mahkamah Konstitusi : Perspektif Politik dan Hukum”, Kompas, 24 September 2002.

Abdul Mukti Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1973.

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993.

Jimly Asshiddiqie, Model – Model Pengujian Konstitusional di berbagai Negara, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005

Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi dan Babakan Konstitusi Indonesia, Penerbit Bina Media Perintis, Medan, 2007

Kusnardi et al, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar

Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002

78