Perbandingan Fungsi Otot Levator Ani Pasca Salin
-
Upload
edwin-armawan-spogk -
Category
Documents
-
view
672 -
download
9
description
Transcript of Perbandingan Fungsi Otot Levator Ani Pasca Salin
PERBANDINGAN FUNGSI OTOT LEVATOR ANI ANTARA NULIPARA, PRIMIPARA PASCASALIN PERVAGINAM DAN
PRIMIPARA PASCASALIN SEKSIO SESAREA MENGGUNAKAN PERINEOMETER BIOFEEDBACK MYOMED 932
Carmellia, Benny Hasan Purwara, M. Rizkar Arev Sukarsa,Edwin Armawan, Marina A.M. Moeliono
Bagian Obstetri dan GinekologiFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung
ABSTRAKProses kehamilan dan persalinan terlibat dalam terjadinya disfungsi dasar panggul. Berbagai penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa disfungsi dasar panggul tersebut melibatkan kerusakan jaringan otot, jaringan syaraf, jaringan ikat, termasuk jaringan penyokong pada daerah dasar panggul. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana fungsi otot levator ani yang meliputi kekuatan kontraksi maksimal, kekuatan kontraksi minimal, dan ketahanan otot levator ani antara kelompok nulipara, primipara pascasalin pervaginam dan primipara pascasalin seksio sesarea yang melahirkan di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung dengan menggunakan alat perineometer biofeedback Myomed 932. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-komparatif, lebih dari dua kelompok, dengan rancangan potong silang (cross sectional study). Penelitian dilakukan selama bulan Oktober-November 2009. Dilakukan penelitian terhadap 60 subjek pada kelompok nulipara, primipara pascasalin pervaginam, dan primipara pascasalin seksio sesarea. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai kontraksi maksimal otot levator ani antara kelompok kelompok nulipara dengan kelompok primipara dan tidak terdapat perbedaan yang bemakna antara kelompok primipara pascasalin pervaginam dengan primipara pascasalin seksio sesarea (F= 70,427, p<0,001). Terdapat perbedaan yang bermakna nilai kontraksi minimal otot levator ani antara nulipara dan primipara dan tidak ada perbedaan yang bermakna kontraksi minimal otot levator ani antara kelompok nulipara dan primipara serta tidak ada perbedaan yang bermakna antar kelompok primipara pascasalin pervaginam dan primipara pascasalin seksio sesarea (F= 42,583, P<0,001). Terdapat perbedaan bermakna ketahanan otot levator ani antara kelompok nulipara dengan primipara dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna ketahanan otot levator ani antara kelompok primipara pascasalin pervaginam dengan primipara pascasalin seksio sesarea (X2KW=35,67, P<0,001). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa proses kehamilan itu sendiri dapat mempengaruhi fungsi otot levator ani dan fungsi otot levator ani antara persalinan pervaginam dan persalinan seksio sesarea pada primipara tidak berbeda secara bermakna.
Kata kunci : kontraksi maksimal, kontraksi minimal, ketahanan, levator ani, nulipara, primipara, pascasalin pervaginam, pascasalin seksio sesarea.
1
THE COMPARISON LEVATOR ANI MUSCLE FUNCTION AMONG NULLIPAROUS, PRIMIPAROUS WITH VAGINAL DELIVERY AND
PRIMIPAROUS WTH CAESAREAN SECTION WHICH IS MEASURED BY PERINEOMETER BIOFEEDBACK MYOMED 932
Carmellia, Benny Hasan Purwara, M. Rizkar Arev Sukarsa,Edwin Armawan, Marina A.M. Moeliono
Obstetric and Gynecology DepartmentPadjadjaran Uninversity Faculty of Medicine/ Hasan Sadikin Hospital Bandung
ABSTRACTEpidemiology studies report pregnancy and childbirth lead to the pelvic floor disfunction which is consist of musculature and connective tissue damage and also denervation of the pelvic floor muscle. The aim of this study was to known how the levator ani function, including the maximal contraction, minimal contraction and endurance of levator ani muscle among nulliparous, primiparous with vaginal delivery and primiparous with caesarean section at dr. Hasan Sadikin Hospital using perineometer biofeedback Myomed 932. There was an analythic-comparative study in more than two groups, with a cross sectional method. This study was conducted between Oktober-November 2009. Study has been conducted among 60 subjects which distributed in three groups participants (nulliparous, primiparous with vaginal delivey and primiparous with caesarean delivery). There was a significant difference in maximal contraction of levator ani muscle between nulliparous and primiparous but no significant difference between primiparous with vaginal delivery and primiparous with caesarean section (F=70,427, P<0,001). There was a significant difference in minimal contraction of levator ani muscle between nulliparous and primiparous but also there was no significant difference between primiparous with vaginaldelivery and primiparous with caesarean section (F=42,583, P<0,001). There was a significant difference in endurance of levator ani muscle between nulliparous and primiparous but no significant difference between primiparous with vaginal delivery and primiparous with caesarean section (X2KW=35,67, P<0,001). The conclusion from this study that was the pregnancy it self influence the levator ani function and there was no signifant difference of levator ani function between a different mode of deliveries on primiparous.
Keyword: maximal contraction, minimal contraction, endurance, levator ani muscle, nulliparous, primiparous, vaginal delivery, caesarean section.
2
PENDAHULUAN
Proses kehamilan dan persalinan terlibat dalam terjadinya disfungsi dasar
panggul. Berbagai penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa disfungsi dasar
panggul tersebut melibatkan kerusakan jaringan otot, jaringan syaraf, jaringan ikat,
termasuk jaringan penyokong pada daerah dasar panggul. Disfungsi dasar panggul yang
dapat terjadi setelah persalinan antara lain inkontinensia urin, prolaps organ panggul,
inkontinensia alvi dan disfungsi seksual.1
Selama dekade terakhir diyakini defek pada dasar panggul berhubungan erat
dengan trauma yang terjadi di dasar panggul pada suatu persalinan pervaginam, namun
sampai saat ini penelitian mengenai hal tersebut masih terus dilakukan. Genadry R
mengatakan faktor yang terlibat dalam terjadinya disfungsi dasar panggul bersifat
multifaktorial dan bergantung pula pada genetik, kondisi fisik dan kondisi lingkungan,
karena pada kenyataannya defek pada otot dasar panggul juga ditemukan pada
perempuan yang tidak mengalami kehamilan dan persalinan.1
Trauma terhadap daerah dasar panggul akibat penurunan kepala janin melalui
jalan lahir pada persalinan pervaginam tidak terjadi pada persalinan dengan seksio
sesarea, sehingga berkembang suatu persepsi di masyarakat bahwa persalinan dengan
seksio sesarea akan melindungi seorang perempuan dari trauma dasar panggul sehingga
terjadi peningkatan permintaan dari masyarakat untuk dilakukan persalinan dengan
seksio sesarea. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Bettes
dkk bahwa di Amerika Serikat pada tahun 2004 pernah terjadi peningkatan insidensi
seksio sesarea paling tinggi yaitu 29,1% dari 1,2 juta persalinan.2 Perdebatan tentang
persalinan seksio sesarea merupakan persalinan yang paling baik untuk seorang
3
perempuan agar terhindar dari disfungsi dasar panggul, sampai saat ini masih terus
diteliti.3
Mengingat hal-hal tersebut di atas maka timbul suatu pemikiran bahwa
pemeriksaan otot dasar panggul pada seorang perempuan yang telah mengalami
persalinan sangat penting untuk dilakukan. Pemeriksaan otot dasar panggul menurut
Pada saat melakukan pemeriksaan otot dasar panggul, secara tidak langsung kita dapat
menilai fungsi otot levator ani yang meliputi: kekuatan kontraksi maksimal otot levator
ani, kontraksi minimal (resting tone) otot levator ani dan ketahanan otot levator ani
(endurance). Otot levator ani mempunyai suatu resting tone yang konstan, memelihara
sfingter uretra dan sfingter ani tetap menutup, menjaga ukuran hiatus urogenital, dan
menyokong organ pelvis secara konstan. Baik otot levator dan komponen yang
membentuk uretra serta sfingter ani memiliki kemampuan untuk berkontraksi cepat
terhadap suatu tekanan (contohnya ketika batuk atau bersin) dalam rangka
mempertahankan kontinensia. Menurunnya resting tone otot levator ani dapat
menyebabkan kelemahan hiatus urogenital, levator plate akan berubah dari posisi
horisontal dan bentuknya akan berubah seperti mangkuk (a bowl like configuration).4
Berdasarkan alasan-alasan diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana fungsi
otot levator ani dipengaruhi oleh suatu kehamilan dan setelah persalinan pertama,
sehingga dalam penelitian ini akan ukur kekuatan kontraksi maksimal, kontraksi
minimal dan ketahanan otot levator ani pada kelompok nulipara, primipara pascasalin
pervaginam, dan primipara pascasalin seksiosesarea. Pengukuran fungsi otot levator ani
ini menggunakan alat perineometer biofeedback myomed 932. Perineometer
biofeedback sampai saat ini merupakan alat standar untuk menilai fungsi otot levator ani
secara kuantitatif. Penelitian ini akan memberikan gambaran kepada para praktisi klinis
4
kebidanan apakah ada perbedaan fungsi otot levator ani antara nulipara dan primipara,
serta apakah ada perbedaan fungsi otot levator ani pada primipara pasca persalinan
pervaginam dan primipara pasca persalinan seksio sesarea.
SUBYEK DAN METODE PENELITIAN
Subjek penelitian adalah nulipara yang dipilih secara random dan primipara antara tiga
sampai empat bulan pascasalin yang melahirkan di bagian Obstetri dan Ginekologi RS
dr. Hasan Sadikin Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Penelitian ini
merupakan penelitian analitik-komparatif, lebih dari dua kelompok, dengan rancangan
menurut waktu yaitu penelitian potong silang (cross-sectional study) yang mengukur
variabel bebas dan variabel tergantung pada waktu yang bersamaan, yaitu dilakukan
penilaian fungsi otot levator ani meliputi kontraksi maksimal, kontraksi minimal
(resting tone) dan ketahanan (endurance) dengan menggunakan perioneometer
biofeedback myomed 932. Sampel dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
nulipara, kelompok primipara pascasalin pervaginam, dan kelompok primipara
pascasalin seksio sesarea. Kelompok kontrol adalah kelompok nulipara. Penentuan
besar sampel dilakukan berdasarkan perhitungan statistik dengan menetapkan taraf
kepercayaan (Confident Interval; CI) 95% dan kekuatan uji (power test) 80%. Karena
data perbedaan kekuatan otot levator ani antara nulipara dan primipara di Indonesia
belum ada, maka diambil asumsi dari penelitian Marshall K dkk. Besar sampel yang
ditetapkan pada penelitian ini adalah 20 orang per kelompok. Analisis statistik yang
digunakan pada penelitian ini adalah: uji X2 (chi-square) digunakan untuk
membandingkan data kategori dari ketiga kelompok, analisis varian (ANOVA)
digunakan untuk membandingkan perbedaan rata-rata lebih dari dua kelompok dan jika
5
hasil bermakna maka dilanjutkan dengan uji rentang Duncan, sedangkan jika data tidak
berdistribusi normal maka digunakan uji Mann-Whitney. Uji X2KW (Kruskal-Wallis)
digunakan untuk membandingkan perbedaan skor atau median dari tiga kelompok
penelitian data tidak berdistribusi normal. Kemaknaan berdasarkan nilai bermakna
apabila p< 0,05 dan sangat bermakna apabila p< 0,01. Analisis data diolah
menggunakan program SPSS for windows versi 13.0.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan terhadap 20 nulipara, serta 40 primipara 3-4 bulan pasca
persalinan yang terdiri dari 20 orang pascasalin pervaginam dan 20 orang pascasalin
seksio sesarea. Karakteristik subjek penelitian menurut umur, tinggi badan, berat badan
dan indeks massa tubuh pada kelompok nulipara, kelompok pascasalin pervaginam dan
pascasalin seksio sesarea dapat dijelaskan pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Menurut Umur, Tinggi Badan, Berat Badan dan Indeks Massa Tubuh Pada Nulipara, Primipara Pascasalin Pervaginam dan Primipara Pascasalin Seksio Sesarea
Karakteristik
Kelompok
Nulipara(n=20)
Pervaginam(n=20)
SC(n=20)
Kemaknaan
Umur (tahun)Rerata (SB)Rentang 20-24 tahun 25-29 tahun ≥ 30 tahun
26,2 (2,31)22 – 306131
25,25 (2,31)20 – 297130
25,55 (2,52)20 – 308111
X2 = 1,502
P= 0,826
Tinggi badan (cm)Rerata (SB)Rentang
154,9 (2,57)152 – 160
155,4 (3,79)152 – 160
154,6 ( 3,016)150 – 160
F = 0,326p= 0,723
6
Berat badan (kg)Rerata (SB)Rentang
49,90 (3,58)45 – 57
52,85 (6,34)45 – 64
53,15 (5,75)46 – 70
F= 2,246P= 0,11
IMT (Kg/m2)Rerata (SB)Rentang
20,79 (1,36)18,03 – 26,91
21,90 (2,62)18,73 – 22,83
22,21 (2,09)19,15 – 28,04
F= 2,550P= 0,087
Keterangan: SB= simpangan baku x2= uji chi kuadrat F= analisis varian ANOVA
Dari tabel di atas tampak bahwa sebagian besar naracoba dari kelompok nuli
para adalah perempuan umur 25-29 tahun dengan rerata umur 26,2 ± 2,31, sementara
pada primipara pascasalin pervaginam rentang umur antara 20-29 tahun dengan rerata
25,25 ± 2,31,sementara pada kelompok primipara pascasalin seksio sesarea sebagian
besar adalah perempuan dengan rerata umur 25,55 ± 2,52, dengan rentang umur 20-30
tahun. Berdasarkan uji chi kuadrat maka nilai p yang didapat untuk kelompok umur
adalah 0,862 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara ketiga
kelompok. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok dapat diperbandingkan.
Rerata indeks massa tubuh kelompok nulipara adalah 20,79±1,36 dengan
rentang 18,03–26,91 kg/m2 dan kelompok primipara pascasalin pervaginam 21,90±2,62
dengan rentang 18,73–22,83 kg/m2 serta kelompok pascasalin seksio sesarea adalah
22,21±2,09 dengan rentang 19,15-28,04 berdasarkan uji analisis varian ANOVA
didapatkan nilai p=0,087 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05)
untuk indeks massa tubuh diantara ketiga kelompok. Bila indeks massa tubuh diuraikan
menjadi berat badan dan tinggi badan, kedua faktor tersebut juga ternyata tidak berbeda
secara bermakna (p>0,05) pada ketiga kelompok naracoba sehingga dapat
diperbandingkan.
Selanjutnya dilakukan penilaian fungsi otot levator ani pada ketiga kelompok .
7
Tabel 2 Perbedaan Kontraksi Maksimal dan Kontraksi Minimal (Resting Tone) Otot Levator Ani pada Nulipara, Primipara Pascasalin Pervaginam dan Primipara Pascasalin Seksio Sesarea
Variabel
Kelompok
Nulipara(n=20)
Pervaginam(n=20)
SC(n=20)
Kemaknaan
Kontraksimaksimal(hPa)Rerata (SB)Rentang
39,40 (1,27)37 – 41( a )
30,55 (2,91)24 – 36(b)
32,10 (2,99)27 – 38(b)
F= 70,427P < 0,001
Kontraksi minimal (hPa)Rerata (SB)Rentang
16,65 (0,93)15 – 18( a )
13,05 (1,57)10 – 15( b )
14,05 (1,23)11 – 16( b )
F= 42,583P < 0,001
Keterangan: Harga rerata yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada perbedaan yang bermakna berdasarkan analisa dengan uji rentang Duncan.
Dengan menggunakan uji rentang Duncan maka didapatkan hasil adanya
perbedaan yang bermakna dari nilai kontraksi maksimal yang dapat di capai pada
kelompok nulipara dibandingkan kelompok primipara, yaitu pada kelompok nulipara
memiliki rerata kekuatan kontraksi maksimal 39,40±1,27 hPa dengan rentang antara
37–41 hPa lebih tinggi dibandingkan rerata kontraksi maksimal kelompok primipara
pascasalin seksio sesarea 32,10±2,99 hPa dengan rentang 27–38 hPa dan rerata
kontraksi maksimal kelompok pasca salin primipara pervaginam 13,05±1,57 hPa
dengan rentang 24–36 hPa. Sedangkan diantara kedua kelompok primpara sendiri
didapatkan tidak ada perbedaan kontraksi maksimal yang bermakna.
Nilai kontraksi minimal setelah dianalisa dengan uji rentang Duncan didapatkan
terdapat perbedaan nilai kontraksi minimal antara kelompok nulipara, rerata kontraksi
8
minimal otot levator ani 16,65±0,93 hPa dengan rentang 15–18 hPa lebih tinggi
daripada rerata kelompok primipara. Sedangkan pada kelompok primipara tidak
terdapat perbedaan yang bermakna. Rerata kontraksi minimal pascasalin seksio sesarea
yaitu 14,05±1,23 hPa dengan rentang 11–16 hPa dan rerata kontraksi minimal
kelompok primipara pascasalin pervaginam yaitu 13,05±1,57 hPa dengan rentang 10–15
hPa.
Tabel 3 Perbedaan Ketahanan (Endurance) Otot Levator Ani pada Nulipara, Primipara Pascasalin Pervaginam dan Primipara Pascasalin Seksio Sesarea
VariabelKelompok
Nulipara(n=20)
Pervaginam(n=20)
SC(n=20)
Kemaknaan
Ketahanan(endurance) (det) Rerata (SB)MedianRentang
7,30 (1,17)77 – 9
3,70 (0,86)33 – 5
4,05 (0,94)43 – 6
X2kw= 35,67P < 0,001
Keterangan: Perbandingan primipara pervaginam dengan primipara SC, ZMW=1,221, p=0,253 Perbandingan primipara pervaginam dengan nulipara, ZMW=5,156, p< 0,001 Perbandingan primipara SC dengan primipara pervaginam,ZMW=5,053, p<0,001
Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata ketahanan (endurance) otot levator ani pada
kelompok nulipara paling tinggi yaitu 7,30±1,17 detik dengan median 7 detik,
sedangkan rerata ketahanan otot levator ani pada kelompok primipara pasca persalinan
seksio sesarea 4,05±0,94 detik dengan median 4 detik dan rerata pada kelompok
primipara pascasalin pervaginam 3,70±0,86 detik dengan median 3 detik. Dengan uji
Mann-Whitney di dapatkan bahwa ketahanan otot levator ani pada kelompok nulipara
lebih tinggi secara bermakna daripada kedua kelompok primipara. Begitu pula setelah di
analisa dengan uji Mann-Whitney rerata ketahanan otot levator ani primipara pascasalin
9
seksio sesarea tidak berbeda secara bermakna dengan rerata ketahanan otot levator ani
primipara pasca persalinan pervaginam dengan p=0,253 (p>0,05).
PEMBAHASAN
Sebagian besar subjek penelitian perempuan berumur antara 25-29 tahun dan
tidak ada gejala inkontinensia urin dan inkontinensia alvi baik pada saat sebelum
kehamilan dan setelah persalinan pada seluruh kelompok primipara begitu pula pada
kelompok nuli para. Dengan analisis uji chi kuadrat pada ketiga kelompok dengan
derajat kepercayaan 95% untuk karakteristik umur ternyata didapatkan hasil yaitu tidak
ada perbedaan yang bermakna dengan p= 0,826 (p> 0,05). Jadi dapat disimpulkan
bahwa semua subjek penelitian berada dalam kurun usia reproduksi sehat. Thomas dkk
melaporkan bahwa kejadian inkontinensia urin pada kelompok usia 20-29 tahun hanya
sekitar 0,1%, gejala inkontinensia stres lebih sering sering terjadi pada wanita umur 45-
54 tahun sementara kejadian inkontinensia urgensi akan meningkat seiring dengan
bertambahnya umur (antara 35-64 tahun).5 C Marijke dkk menggambarkan adanya
penurunan fungsi otot levator ani sejalan dengan bertambahnya usia. Hal ini
berhubungan dengan proses penuaan (aging) yang terjadi secara fisiologis, yaitu massa
otot mulai berkurang perlahan-lahan pada usia 40 tahun dan mengalami penurunan yang
besar setelah umur 60 tahun.6 Garshasbi A dkk mendapatkan frekuensi kejadian
prolaps tk. I pada umur 18-29 21,3% namun dan paling banyak yang tidak mengalami
prolpas yaitu 72,8%.7 Frekuensi kejadian prolaps pada kelompok nulipara hanya 13,5%,
sedangkan pada paritas satu sampai tiga dengan riwayat persalinan pervaginam
didapatkan angka 22,3%. Dilihat masing-masing kelompok dapat digambarkan rata-rata
subjek penelitian memiliki indeks massa tubuh yang normal yaitu 18,5–22,9 kg/m2.
10
Indeks massa tubuh menjadi hal yang penting karena banyak peneliti melaporkan
hubungan antara peningkatan berat badan atau peningkatan indeks massa tubuh dengan
inkontinensia urin dan prolpas organ pelvis. Dalam analisis multivariat, Brown
melaporkan bahwa prevalensi inkontinensia urin sehari-hari akan meningkat 1,6 kali
setiap kenaikan 5 unit indeks massa tubuh.8 Dwyer dkk juga menemukan bahwa
obesitas (>20% diatas rata-rata berat berdasarkan tinggi badan dan usia) secara
bermakna lebih sering didapatkan pada wanita dengan inkontinensia stres.9
Salah satu penilaian fungsi dari otot dasar panggul yaitu kemampuan untuk
berkontraksi secara sadar (volunter) dengan melakukan kontraksi yang meremas
”squeeeze” yaitu seluruh otot dasar panggul berkontraksi ke bagian tengah dan terjadi
gerakan mengangkat (inward movement)dan bila di lihat dengan MRI selama terjadi
kontraksi, tulang koksigis bergerak secara ventral mendekati simfisis pubis. Melakukan
kontraksi maksimal yaitu melakukan kontraksi volunter dengan usaha maksimal yang
melibatkan serabut otot levator ani sebanyak mungkin (fast twitch). Otot dasar panggul
adalah otot-otot skeletal yang berada di bawah kontrol kesadaran (berkontraksi secara
volunter) sehingga dapat diukur kekuatannya. Kontraksi dari serabut fast-twich levator
ani akan mengangkat organ dalam pelvis dan menutup introitus vagina.10
Dari beberapa penelitian melaporkan sekitar 30% perempuan tidak dapat
melakukan kontraksi otot levator ani dengan benar. Hal ini dikarenakan otot levator ani
jarang dikontraksikan secara sadar (volunter). Kesalahan lain yang paling umum sering
terjadi pada saat pengukuran yaitu belum bisa mengenal otot levator ani dan tidak dapat
mengkontraksikan otot levator ani, tetapi mengkontraksikan otot gluteus, otot aduktor
paha atau otot abdomen. Untuk menilai apakah naracoba sudah dapat
mengkontraksikan otot levator ani dengan benar, dapat di lihat dari grafik yang terlihat
11
pada layar monitor pada alat perineometer biofeedback. Tabel 2 menunjukkan rerata
kontraksi maksimal dari otot levator ani pada nulipara 39,40±1,27 hPa dengan rentang
antara 37–41 hPa lebih tinggi dibandingkan rerata kontraksi maksimal kelompok
primipara pascasalin seksio sesarea 32,10±2,99 hPa dengan rentang 27–38 hPa dan
rerata kontraksi maksimal kelompok primipara pascasalin primipara pervaginam
13,05±1,57 hPa dengan rentang 24–36 hPa. Hasil tersebut di dukung dengan penelitian
Marshal dkk yang melaporkan rerata kontraksi maksimal pada nulipara sekitar
80±2,31hPa lebih tinggi daripada kelompok primipara pascasalin perbaginam 49±1,97
hPa.11 Walaupun rerata kontraksi maksimal otot levator ani pada kelompok primipara
lebih rendah, namun tidak menyebabkan gejala klinis inkontinens urine, dan pada
penelitian tersebut disarankan setelah persalinan pervaginam perlu dilakukan latihan
otot dasar panggul. Demikian juga dilaporkan oleh Small KA dkk yang mengukur
kekuatan kontraksi otot levator ani dengan perineometer namun menggunakan probe
rektal, didapatkan rerata nilai kontraksi maksimal pada nulipara yang hamil aterm lebih
tinggi (137,4±59,8 mmHg) dari keadaan setelah menjalani persalinan pervaginam
(91,5±42,1).12 Hasil penelitian ini sama dengan yang dilaporkan oleh Peschers UM yang
mengukur kekuatan kontraksi otot levator ani dengan perineometer, 6-10 minggu pasca
persalinan pada primipara yaitu kontraksi maksimal antara kelompok persalinan
pervaginam dan persalinan seksio sesarea tidak ada perbedaan bermakna. Hal tersebut
memberikan gambaran bahwa fungsi otot levator ani dalam waktu 10 minggu pasca
salin sudah mengalami perbaikan. Terjadinya elevasi dari posisi badan perineal yang
selaras dengan terajdinya penurunan di daerah hiatus urogenital dan hiatus levator,
dalam waktu 2 minggu pascasalin sudah kembali normal secara geometri.13 Talasz
menyimpulkan bahwa paritas akan mempengaruhi kemampuan kontraksi otot levator
12
ani secara volunter namun didapatkan paritas tidak mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kekuatan kontraksi minimal (resting tone).14
Dietz HP dkk menyimpulkan bahwa kontraksi minimal otot levator ani (resting
tone) penting dalam menilai kemampuan otot levator ani untuk menyokong organ
pelvis, namun nilai resting tone tersebut tidak mempengaruhi kekuatan kontraksi.
Penilaian resting tone otot levator ani pada penderita prolpas organ panggul seperti pada
keadaan sistokel atau rektokel lebih penting dibandingkan dengan menilai kekuatan
kontraksi otot levator ani.15
Mengenai nilai kontraksi minimum (resting tone) menurut Dietz HP tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara derajat prolaps dengan nilai resting tone
secara palpasi. Sedangkan penelitian mengenai hubungan antara lebarnya hiatus genital
dengan nilai restingtone memiliki nilai yang bermakna. Pada penelitian ini nilai
kontraksi minimal (resting tone) setelah dianalisa dengan uji rentang Duncan
didapatkan terdapat perbedaan nilai kontraksi minimal yang bermakna antara kelompok
nulipara, rerata kontraksi minimal otot levator ani 16,65±0,93 hPa dengan rentang 15–
18 hPa yang lebih tinggi dari rerata kelompok primipara. Hal tersebut menggambarkan
bahwa paritas mempengaruhi kekuatan kontraksi minimal (resting tone).15 Marshall K
dkk dalam penelitiannya menyebutkan rerata resting tone dari kelompok primipara
pascasalin pervaginam (24±0,84 hPa) lebih rendah dari kelompok nulipara (18±1,69
hPa). Penelitian yang dilakukan oleh Small KA dengan perineometer yang
menggunakan probe rektal mendapatkan bahwa rerata resting tone pada nulipara yang
hamil aterm (58,6±21,4 mmHg) lebih tinggi dari keadaan sesudah persalinan
pervaginam (43,6±16,4 mmHg). Hal tersebut mungkin di sebabkan terjadinya
13
perubahan ukuran dari hiatus genital dan hiatus levator setelah persalinan pervaginam
dan untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Ketahanan otot levator ani menahan kontraksi dilakukan oleh serabut otot
levator ani tipe slow twitch maksimal sedapat mungkin dilakukan dinilai sampai 10
detik. Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata ketahanan otot levator ani pada kelompok
nulipara paling tinggi yaitu 7,30±1,17 detik dengan median 7 detik, sedangkan rerata
ketahanan otot levator ani pada kelompok primipara pasca persalinan seksio sesarea
4,05±0,94 detik dengan median 4 detik dan rerata pada kelompok primipara pascasalin
pervaginam 3,70±0,86 detik dengan median 3 detik. Dengan uji Mann-Whitney di
dapatkan bahwa ketahanan otot levator ani pada kelompok nulipara lebih tinggi secara
bermakna daripada kedua kelompok primipara. Begitu pula setelah di analisa dengan uji
Mann-Whitney rerata ketahanan otot levator ani primipara pascasalin seksio sesarea
tidak berbeda secara bermakna dengan rerata ketahanan otot levator ani primipara pasca
persalinan pervaginam dengan p=0,253 (p>0,05). Penelitian Mashall K juga
mendapatkan rerata ketahanan otot lavator ani pada nulipara lebih tinggi (6,7±1,77
detik) dibandingkan dengan rerata ketahanan otot levator ani primipara pascasalin
pervaginam (3±1.05 detik).11 Fungsi dari serabut slow-twitch otot levator ani dianggap
baik bila dapat menahan kontraksi ( dengan adanya penurunan deviasi < 5% dari awal
kontraksi) mencapai lebih dari 10 detik.
Kelemahan dari penelitian ini adalah laserasi perineum merupakan variabel
perancu yang tidak dapat dinilai, sehingga tidah dapat dinilai bagaimana laserasi
perineum mempengaruhi nilai pengukuran fungsi otot levator ani. Penelitian ini
sebaiknya di lakukan dengan metode cohort dengan jumlah sampel yang lebih banyak
dan menggunakan alat pengukuran lebih dari satu macam, sehingga selain untuk menilai
14
fungsi juga dapat diketahui perubahan anatomi yang terjadi, sehubungan dengan
perubahan fungsi otot dasar panggul sehingga akan mendapatkan gambaran yang lebih
baik mengenai perubahan fungsi otot dasar panggul dalam kaitannya dengan kehamilan
dan persalinan. Sehubungan dengan sampel penelitian, peneliti hanya dapat
mengumpulkan sampel persalinan seksio sesarea yang telah mengalami trial of labor
karena kesulitan dalam mendapatkan persalinan seksio sesarea yang elektif. Pada
penelitian ini menggunakan metode cross sectional mengingat keterbatasan waktu yang
tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Genadry R. A urogynecologist’s view of the pelvic floor effect of vaginal delivery/cesarean section for the urologist. Current Urology Report. 2006; 7: 376-83.
2. Nygaard I. Should women be offered elective cesarean section in the hope of preserving pelvic floor function? Int Urogynecol J. 2005; 16: 253-54.
3. Lal M. Prevention of urinary and anal incontinence: role of elective cesarean delivery. Curr Opin Obstet Gynecol. 2003; 15: 439-48.
4. Snooks SJ, Barners PR, Swash M, et al. Damage to the innervation of the pelvic floor musculature in chronic constipation. Gastroenterology. 1985; 89: 977-81.
5. Thomas TM, Egan M, Walgrove A. The prevalence of double incontinence. Community Med. 1984; 46: 595-60.
6. C Marijke, Hove S, L. Anellis, et.al. Pelvic floor muscle functionin ageneral female population in relation with age and parity and the relation between voluntary and involuntary contractions of the pelvic floor musculature. Int Urogynecol J. 2009; 19: 809-824.
7. Garshasbi A, Zadeh SF, Falah N. The status of pelvic supporting organs in a population of iranian women 18-68 years of age and possible related factors. Ir Med. 2006; 9: 124-8.
8. Brown S, Lumley J. Maternal health after childbirth: result of an Australian population based survey. Br J Obstet Gynaecol. 1998; 105: 156-61.
15
9. Steers D, Zorn BH. Urinary incontinence. In: Resnick MI, Older RA, Diagnosis of genitourinary disease. Edisi ke-2. New York: Theime. 1997.p. 517-28.
10. Goh V, Halligan S, Kaplan G, Healy JC, et.al. Dynamic MR imaging of the pelvic floor in asymptomatic subjects. Am j Roentgenol. 2000; 174: 661-5.
11. Marshall K, Walsh DM, Baxter GD. The effect of a first vaginal delivery on the integrity of the pelvic floor musculature. Clin Rehabil. 2002; 16: 795-9.
12. Isherwood PJ, Rane A. Comparative assessment of pelvic floor strength using a perineometer and digital examination. Br J Obstet Gynecol. 2000; 107: 1007-11.
13. Peschers UM, Schaer GN, deLancey JO, Schuessler B. Levator ani function before and after childbirth. Br J Obstet Gynecol. 1997; 104: 1004-8.
14. Talasz H, Himmer G, Marth E. Evaluation of pelvic floor muscle function in a random group of adult women in Austria. Int Urogynecol J. 2007: 19: 131-35.
15. Dietz HP, Shek KL. The quantification of levator muscle resting tone by digital assessment. 2008; 19: 1489-93.
16