PERBAIKAN SIFAT TERMAL DAN MEKANIK KOMPOSIT … · perbaikan sifat termal dan mekanik komposit...
Transcript of PERBAIKAN SIFAT TERMAL DAN MEKANIK KOMPOSIT … · perbaikan sifat termal dan mekanik komposit...
PERBAIKAN SIFAT TERMAL DAN MEKANIK KOMPOSIT
POLIASAM LAKTAT-NANOSELULOSA MELALUI
ASETILASI
RESTY DWI ANDINIE
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbaikan Sifat Termal
dan Mekanik Komposit Poliasam Laktat-Nanoselulosa melalui Asetilasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Resty Dwi Andinie NIM G44090048
ABSTRAK
RESTY DWI ANDINIE. Perbaikan Sifat Termal dan Mekanik Komposit
Poliasam Laktat-Nanoselulosa melalui Asetilasi. Dibimbing oleh SUMINAR
SETIATI ACHMADI dan LISMAN SURYANEGARA.
Selulosa mikrofibril (MFC) memiliki serat berukuran nano, bobot molekul
tinggi, dan kristalinitas tinggi sehingga dapat dijadikan penguat serta pengisi
dalam komposit poliasam laktat (PLA). Perbedaan sifat antara PLA yang bersifat
hidrofobik dan MFC yang bersifat hidrofilik menyebabkan rendahnya
kompatibilitas dan dispersibilitas yang dihasilkan sehingga menurunkan sifat
mekanik dan termal komposit PLA. Oleh karena itu, perbaikan sifat termal dan
mekanik dilakukan dengan memodifikasi MFC menjadi MFC-asetat. Derajat
substitusi (DS) MFC-asetat yang diujikan dalam komposit PLA ini ialah 0.2, 0.5,
dan 0.8. Keberhasilan asetilasi dibuktikan dengan spektrofotometer inframerah,
yaitu berkurangnya serapan gugus -OH di sekitar 3300 cm-1
, keberadaan C=O ulur
di sekitar 1770 cm-1
, dan CO asetil di 1235 cm-1
. Kompatibilitas dan
dispersibilitas pada komposit tercapai dengan semakin meningkatnya nilai DS
asetil. Modifikasi MFC-asetat dapat menaikkan sifat termal dan mekanik
komposit PLA, yang terbaik ialah pada DS 0.5 dengan ketahanan panas yang
tinggi, suhu kristalisasi (Tcc), dan suhu leleh (Tm) rendah, berturut-turut 88 °C dan
166 °C. Sifat mekanik yang dihasilkan DS 0.5 menunjukkan regangan maksimum,
kuat tarik, dan modulus elatisitas yang lebih tinggi daripada PLA murni dan
komposit PLA/MFC, berturut-turut sebesar 1.6%, 31.3 MPa, dan 2.7 GPa.
Kata kunci: MFC-asetat, poliasam laktat, selulosa asetat, selulosa mikrofibril
ABSTRACT
RESTY DWI ANDINIE. Improvement of Thermal and Mechanical Properties of
Polylactic Acid-Nanocellulose Composites through Acetylation. Supervised by
SUMINAR SETIATI ACHMADI and LISMAN SURYANEGARA.
Microfibrillated cellulose (MFC) has nano-sized dimension, high molecular
weight, and high crystallinity that can be used as reinforcement and filler in
polylactic acid (PLA) composites. Property differences between hydrophobic PLA
and hydrophilic MFC cause low compatibility and dispersibility will decrease the
thermal and mechanical properties of the PLA composites. Therefore,
improvement of these properties should be done by modifying the MFC to MFC-
acetate. Degree of substitution (DS) of the MFC-acetate tested in the PLA
composites were 0.2, 0.5, and 0.8. The success of acetylation was evidenced by
infrared spectrophotometer: reduced absorption of -OH group at 3300 cm-1
,
existence of C=O stretching at 1770 cm-1
and C-O acetyl at 1235 cm-1
.
Compatibility and dispersibility in the composite was achieved by increasing the
DS of acetyl. The best thermal and mechanical properties was achieved by DS 0.5
with high heat resistance, low crystalization temperature (Tcc), and melting
temperature (Tm), namely 88 °C and 166 °C, respectively. Mechanical properties
of the resulting DS 0.5 showed higher maximum strain, tensile strength, and
modulus of elasticity as compared to the pure PLA and PLA/MFC composite by
1.6%, 31.3 MPa, and 2.7 GPa, respectively.
Keywords: cellulose acetate, microfibrillated cellulose, MFC-acetate, polylactic acid
PERBAIKAN SIFAT TERMAL DAN MEKANIK KOMPOSIT
POLIASAM LAKTAT- NANOSELULOSA MELALUI
ASETILASI
RESTY DWI ANDINIE
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Perbaikan Sifat Termal dan Mekanik Komposit Poliasam Laktat-
Nanoselulosa melalui Asetilasi
Nama : Resty Dwi Andinie
NIM : G44090048
Disetujui oleh
Prof Ir Suminar S Achmadi, PhD
Pembimbing I
Dr Lisman Suryanegara, MAgr
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya karya ilmiah yang berjudul Perbaikan Sifat Termal dan
Mekanik Komposit Nanoselulosa-Poliasam Laktat Melalui Asetilasi berhasil
diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Agustus 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Suminar Setiati Achmadi dan
Bapak Lisman Suryanegara sebagai pembimbing yang telah memberikan
dukungan materal maupun moral, bimbingan, masukan, serta motivasi yang luar
biasa hingga karya tulis ini dapat selesai dengan baik. Penghargaan juga penulis
berikan untuk kedua orang tua, Bapak dan Mamah yang juga telah memberikan
dukungan moral maupun materal serta kasih sayangnya sehingga menjadi
motivasi tersendiri bagi penulis untuk bersemangat dalam menyelesaikan karya
ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah
memberikan Beasiswa Bantuan Mahasiswa selama masa perkuliahan penulis.
Terima kasih juga diungkapkan kepada Kakak, Adik, dan Nenek untuk semangat
dan kasih sayangnya serta terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf di
Bagian Kimia Organik, Departemen Kimia, maupun LIPI yang telah membantu
memperlancar jalannya penelitian. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih untuk
Daniel atas dukungan dan semangatnya serta bantuannya dalam kelancaran
penelitian ini, kepada Restu, Kartika, Yuthiqa, Dilla, Reza, Selvia, Sarah, Karend,
Santi, Ajeng Herpianti, Gina, Nisfiyah, Ichsan, dan Ajeng atas dukungan serta
semangatnya.
Penelitian ini disponsori oleh Kementerian Riset dan Teknologi melalui
LIPI pada Program Kompetitif Material Maju tahun 2013 yang diraih oleh Dr
Lisman Suryanegara, MAgr.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
Resty Dwi Andinie
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
LAMPIRAN 17
PENDAHULUAN 1
METODE 3 Alat dan Bahan 3 Prosedur 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Ciri MFC 6
MFC-asetat 7 Komposit PLA MFC-asetat 8 Sifat Termal 9
Sifat Mekanik 12 SIMPULAN DAN SARAN 13 DAFTAR PUSTAKA 13
2
DAFTAR GAMBAR
1 Unit selobiosa dalam rantai selulosa 1
2 Morfologi serat pulp fiber dan selulosa mikrofibril 2
3 Morfologi MFC dengan perbesaran tertentu 6
4 Film komposit hasil pencampuran 9
5 Perbandingan kurva DSC 11
6 Spesimen uji mekanik 12
DAFTAR TABEL
1 Kadar asetil dan DS MFC-asetat 7
2 Serapan FTIR MFC-asetat dengan beragam DS 8
3 Data analisis sifat termal komposit PLA/MFC-asetat 10
4 Data Sifat mekanik komposit PLA/MFC-asetat 12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Bagan alir kerja 16
2 Penentuan kadar asetil dan DS 17
3 Hasil spektrum dan serapan FTIR 19
4 Data komposisi komposit PLA 21
5 Kurva DSC 21
6 Hasil sifat mekanik komposit 24
1
PENDAHULUAN
Poliasam laktat (PLA) dapat dijadikan sebagai bahan baku plastik karena
sifatnya yang biokompatibel, biodegradabel, dan berkelanjutan serta memiliki
sifat kekakuan dan kekuatan yang tinggi (Ishida et al. 2006). PLA memiliki
keunggulan dengan sifatnya yang menyerupai poliolefin di antaranya ialah
memiliki kekuatan yang sama seperti polistirena dan prosesnya mudah seperti
polipropilena. Oleh karena itu, PLA lebih banyak digunakan dalam industri bila
dibandingkan dengan polimer terbarukan lainnya seperti polihidroksi butirat,
polibutilena suksinat, dan polikaprolakton. Aplikasi PLA murni terbatas karena
kelemahan yang dimilikinya, seperti sifat termalnya yang rendah dengan titik
transisi kaca dan titik leleh PLA berturut-turut 55 oC dan 175
oC, bersifat regas,
dan waktu pengkristalan lambat. PLA dapat dikompositkan dengan polimer
sintetik, tetapi komposit tersebut kurang disukai karena akan menimbulkan
masalah lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pencampuran polimer alami
sebagai penguat untuk mengatasi kelemahan PLA.
Selulosa adalah homopolisakarida linear yang terdiri atas dimer selobiosa
yang tersusun dengan unit ulangan β-1-4-D-glukopiranosa (anhidroglukosa) yang
memberikan kekuatan pada serat (Gambar 1). Ganster dan Fink (2006)
menjadikan serat selulosa sebagai penguat beberapa matriks polimer seperti
polipropilena, polietilena, PLA, elastomer polipropilena termoplastik (TPE), dan
high impact polystyrene (HIPS). Hasilnya menunjukkan bahwa serat selulosa
dapat menaikkan kekuatan dan kekakuan serta sifat termal pada matriks polimer.
Gambar 1 Unit selobiosa dalam rantai selulosa
Seiring dengan perkembangan teknologi, serat biomaterial yang digunakan
saat ini berukuran nano. Bionanomaterial seperti selulosa mikrofibril (MFC)
memiliki sifat fisik dan mekanik yang baik seperti nisbah permukaan:volume serat
selulosa yang lebih besar, modulus elastisitas (MOE) yang tinggi (Siro dan
Plackett 2010), dan kristalinitas yang tinggi (Czaja et al. 2004). Oleh karena itu,
MFC berpotensi untuk dijadikan penguat dan pengisi pada matriks polimer seperti
PLA. MFC merupakan material baru yang dapat dijadikan penguat pada polimer
(Suryanegara et al. 2009) dengan MOE dan kuat tarik yang jauh lebih baik
daripada serat biasa. MFC dapat diperoleh baik dengan cara kimia (Bondeson et
al. 2006), fisik (Takahashi et al. 2005), maupun proses hayati (Pakko et al. 2007).
MFC berasal dari pulp yang diperoleh dengan cara mekanik melalui proses
penyulingan dan penghomogenan sampai ukurannya berskala nano dengan
dimensi kurang dari 100 nm (Gambar 2). Penguatan oleh serat nanoselulosa
n
2
diakui lebih efektif karena interaksi yang dihasilkan membuat jaringan perkolasi
yang dihubungkan oleh ikatan hidrogen (Angles dan Dufresne 2001).
(a) (b)
Gambar 2 Morfologi serat pulp fiber (a), selulosa mikrofibril (b) (Iwatake 2008)
Kelemahan sifat termal dan mekanik PLA dapat diatasi dengan
menambahkan MFC sebagai penguat. Pemanfaatan PLA yang diperkuat dengan
serat tumbuhan telah diaplikasikan di industri otomotif dan elektronik (Mohanty
et al. 2002; Bogoeva et al. 2007). MFC yang ditambahkan pada komposit PLA
mengubah sifat mekanik dan sifat termalnya. Beberapa peneliti seperti Iwatake et
al. (2008), Nakagaito et al. (2009), dan Suryanegara et al. (2009, 2010) telah
menambahkan MFC sebagai penguat di dalam matriks PLA dan dihasilkan
perubahan sifat termal dan mekanik yang lebih baik. MFC juga telah dibuktikan
dapat dijadikan sebagai nucleating agent dengan waktu pengkristalan komposit
yang lebih cepat dibandingkan dengan PLA murni. Namun, MFC bersifat
hidrofilik sehingga sulit terdispersi di dalam matriks PLA yang bersifat hidrofobik
sehingga kompatibilitas antara MFC dan PLA sangat lemah. Penambahan
pemlastis, pengemulsi, dan modifikasi permukaan dilaporkan dapat mengubah
kompatibilitas dalam komposit PLA meskipun dapat menurunkan stabilitas termal
dari komposit PLA (Ljungberg 2002).
Modifikasi permukaan pada serat selulosa dilaporkan dapat mengubah
kompatibilitas antara matriks PLA dan serat selulosa dengan hasil yang lebih baik,
di antaranya dengan esterifikasi, perlakuan alkali, perlakuan oksidasi, dan
sianoetilasi. Ifuku et al. (2007) telah mengompositkan nanoselulosa asetat dan
akrilat sebagai matriks dan menghasilkan nilai DS optimum dengan sifat terbaik.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan modifikasi MFC menjadi
turunannya untuk mengatasi kelemahan antara komposit PLA dan MFC dengan
cara asetilasi parsial. Hasil modifikasi ialah MFC-asetat parsial dengan berbagai
derajat substitusi (DS) yang akan memengaruhi sifat kepolarannya. Derajat
substitusi pada MFC-asetat diragamkan untuk memperoleh hidrofobisitas
maksimum dalam meningkatkan dispersibilitas antara MFC dan PLA guna
memperoleh sifat termal dan mekanik komposit selulosa-PLA yang lebih baik.
3
METODE
Alur kerja penelitian (Lampiran 1) ialah sebagai berikut. MFC dengan kadar
air 75% dimodifikasi menjadi MFC asetat dengan reaksi asetilasi melalui 3
tahapan, yaitu aktivasi, asetilasi, dan purifikasi. Kondisi asetilasi diragamkan
untuk mendapatkan DS yang berbeda. Keberhasilan modifikasi selanjutnya
dievaluasi secara kuantitatif dengan menghitung DS dan secara kualitatif
berdasarkan analisis gugus fungsi. Hasil MFC yang telah dimodifikasi selanjutnya
dikompositkan dengan PLA dengan bantuan pelarut diklorometana. Film
komposit yang dihasilkan kemudian dihomogenkan dengan proses peramasan
(kneading), lalu dikempa panas. Selanjutnya spesimen diujikan sifat termal dan
mekaniknya.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kneader rheumix,
ultra-turrax IKA®
T25 digital, rotor IKA® EUROSTAR, spektrofotometer
inframerah transformasi Fourier (FTIR), kalorimetri pemayaran diferensial (DSC),
mikroskop elektron pemayaran(SEM), dan universal testing machine (UTM).
Bahan yang digunakan ialah resin PLA semikristalin Lacea H-400 dengan
BM 200 000 yang diperoleh dari Mitsui Chemicals Inc. Nanoselulosa yang
digunakan ialah Celish KY-100G yang diproduksi oleh Daicel Chemical
Industries, Ltd, Jepang dengan kandungan 10% serat dalam air.
Prosedur
Kadar Air [AOAC 925.09B (2005)]
Cawan petri yang digunakan untuk penetapan kadar air dimasukkan ke
dalam oven terlebih dahulu selama 2 jam dengan suhu (105±3) oC, kemudian
didinginkan dalam desikator. Setelah itu, cawan petri ditimbang (W1) kemudian
sampel ditimbang ke dalamnya sebanyak ±0.1 g (W2), lalu dimasukkan ke dalam
oven selama 24 jam dengan suhu (105±3) o
C. Setelah 24 jam, cawan dan sampel
dikeluarkan dan didinginkan dalam deksikator kemudian ditimbang (W3) sampai
bobot tetap.
Kadar air = * (
)+
Keterangan: W1 = bobot cawan petri (g)
W2 = bobot sampel (g)
W3 = bobot cawan + sampel hasil pengeringan (g)
Asetilasi Serat MFC dengan DS Beragam (Modifikasi Ifuku et al. 2007)
Selulosa asetat dibuat dengan reaksi esterifikasi. Volume yang berbeda
digunakan untuk menghasilkan DS yang berbeda. DS yang diharapkan ialah 0.2,
0.5, dan 0.8. Sebanyak 27 g MFC (dengan kadar air 75%) dimasukkan ke dalam
4
erlenmeyer 500 mL kemudian ditambahkan aseton untuk mengurangi kandungan
air. Sebanyak 150, 160, dan 170 mL aseton ditambahkan dan diaduk dengan
pengaduk magnetik selama 20 menit, selanjutnya campuran disaring dengan
penyaring vakum. Tahap penghilangan air secara difusi dilakukan dengan
menambahkan asam asetat glasial sebanyak 150, 160, dan 170 mL yang kemudian
diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30 menit dan selanjutnya disaring
kembali dengan penyaring vakum. Tahap berikutnya ialah asetilasi pada serat
MFC. Serat MFC direaksikan dengan anhidrida asetat dengan cara direndam 2, 3,
dan 4 jam dalam volume 120, 140, dan 160 mL untuk memperoleh DS berturut-
turut 0.2, 0.5, dan 0.8. Setelah reaksi, campuran dipurifikasi dengan menggunakan
akuades hingga selulosa asetat memiliki pH netral.
Kadar Asetil dan Derajat Asetilasi (Modifikasi ASTM 1991)
Sebanyak ±1 g MFC-asetat ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer
250 mL kemudian ditambahkan 40 mL etanol 75%. Setelah itu, larutan sampel
dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit dengan suhu 55±3 oC. Larutan
sampel yang telah dipanaskan kemudian ditambahkan 40 mL NaOH 0.5 N secara
teliti menggunakan buret dan kembali dipanaskan selama 15 menit. Larutan
sampel lalu ditutup dengan kertas alumnium dan didiamkan selama 72 jam,
selanjutnya dititrasi dengan HCl 0.5 N dengan menambahkan 1 mL titran lagi
setelah titik akhir titrasi. Titrasi dilakukan dengan indikator fenolftalein:
perubahan warna yang terjadi ialah dari merah muda menjadi tidak berwarna.
Larutan sampel kemudian didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar untuk
menarik NaOH yang berdifusi ke dalam selulosa teregenerasi, selanjutnya dititrasi
dengan NaOH 0.5 N menggunakan indikator fenolftalein dengan perubahan warna
dari tidak berwarna menjadi merah muda. Hal yang sama juga dilakukan pada
pengukuran blangko, tetapi sampel yang digunakan ialah MFC murni. Kadar
asetil selulosa asetat dapat dihitung dari persamaan sebagai berikut:
Keterangan: A = mL NaOH untuk titrasi sampel
B = mL NaOH untuk titrasi blangko
Nb = normalitas NaOH (N)
C = mL HCl untuk titrasi sampel
D = mL HCl untuk titrasi blangko
Na = normalitas HCl (N)
M = kadar air (%) selulosa asetat
W = gram sampel selulosa asetat
5
Pencampuran MFC dengan PLA (Suryanegara et al. 2011)
Residu air yang berada dalam MFC-asetat digantikan berturut-turut dengan
pelarut seperti etanol, aseton, dan diklorometana. MFC-asetat ditimbang sebanyak
5 g bobot kering kemudian dicampurkan ke dalam 600 mL etanol, dan diaduk
dengan pengaduk ultra-turrax selama 15 menit, endapan MFC-asetat disaring
dengan penyaring vakum (diulang 4 kali), kemudian dicampurkan kembali ke
dalam 400 mL aseton. Campuran diaduk selama 15 menit dengan menggunakan
ultra-turrax dan disaring vakum (diulang 3 kali). Terakhir, endapan MFC-asetat
dicampurkan kembali ke dalam 400 mL diklorometana dan diaduk selama 15
menit kemudian disaring vakum (2 kali ulangan). Endapan MFC-asetat dalam
suspensi diklorometana selanjutnya ditambah 45 g pelet PLA yang telah
dilarutkan dalam 400 mL diklorometana. Campuran komposit tersebut diaduk lagi
selama 1 jam, lalu ditebarkan di atas nampan dan dibiarkan menguap pada suhu
ruang dalam lemari asam selama 12 jam. Setelah itu, komposit dikeringkan dalam
oven dengan suhu 50 oC selama 12 jam dan dikering-vakumkan pada suhu 55
oC
selama 24 jam.
Pengamatan Morfologi Permukaan
Morfologi serat MFC diamati menggunakan SEM di Puslitbang Kehutanan,
Gunung Batu, Bogor. Sampel dipreparasi terlebih dahulu dengan mendispersikan
MFC ke dalam air, kemudian serat yang terdispersi diteteskan di atas tube yang
telah diberi perekat. Serat tersebut dikeringkan pada suhu 105 °C selama 24 jam,
lalu dilapisi dengan emas dan diamati di Laboratorium Zoologi LIPI, Cibinong.
Pengujian Sifat Termal
Sifat termal PLA dan kompositnya diuji dengan mengunakan DSC di AKA,
Bogor. Pengukuran DSC dilakukan pada kisaran suhu 27–200 °C dengan bobot
sampel ±5 mg. Sifat-sifat termal, yaitu suhu transisi kaca (Tg), suhu kristalisasi
(Tcc), dan suhu leleh (Tm).
Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik
Sifat mekanik PLA dan kompositnya diuji dengan alat universal testing
machine (UTM) di Laboratorium Biomaterial LIPI, Cibinong. Sampel PLA dan
kompositnya dipotong menjadi beberapa spesimen dengan ukuran panjang 60
mm, lebar 5 mm, dan tebal 1 mm. Informasi tentang sifat mekanik yang diperoleh
dari pengujian ini adalah regangan maksimum (%), kuat tarik (MPa), dan modulus
elastisitas (GPa), yang semua hasilnya ditunjukkan dengan nilai rata-rata dari 3
kali pengukuran.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ciri MFC
MFC memiliki luas permukaan serat yang jauh lebih besar daripada serat
biasa. Ukuran serat MFC dapat diamati pada hasil SEM dengan perbesaran 1000×
dan 5000×. Gambar 3a menunjukkan perbesaran MFC 1000× yang menghasilkan
skala 10 µm sehingga dimungkinkan terdapat serat-serat berdiameter kurang dari
10 µm. Dengan perbesaran 5000× (Gambar 3b) terlihat serat MFC dengan skala 1
µm sehingga dimungkinkan terdapat diameter serat kurang dari 1 µm. SEM dapat
mengukur perbesaran sampai 100 000× sehingga dimungkinkan adanya diameter
serat yang mencapai ukuran nano bila dilihat dengan perbesaran lebih dari 5000×.
Oleh karena itu, MFC dapat dikatakan sebagai serat nanoselulosa yang terdiri atas
ukuran mikro maupun nano. Kekuatan serat sangat dipengaruhi oleh ukuran
diameter serat (Zimmermann et al. 2004): semakin kecil diameter serat, semakin
tinggi nilai kuat tarik dan modulus elastisitas (MOE) yang dihasilkan. MFC yang
digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan serat 10% (b/b) yang
tersuspensi dalam air. Air dalam MFC sangat mengganggu reaksi esterifikasi
sehingga kandungan air MFC harus diminimumkan, yaitu dengan cara fisik
melalui pemerasan. Pemerasan menghasilkan MFC dengan kandungan serat
menjadi 25% (b/b).
(a) (b)
Gambar 3 Morfologi MFC perbesaran 1000× (a), perbesaran 5000× (b)
Secara umum, MFC sebagai penguat pada matriks PLA memiliki
kompatibilitas dan dispersibilitas yang lemah dalam komposit. Hal tersebut
disebabkan oleh adhesi permukaan selulosa yang hidrofilik dan matriks polimer
yang hidrofobik sehingga dapat menghalangi serat nanoselulosa untuk terdispersi
ke dalam matriks polimer (Lu et al. 2008). Material komposit sangat dipengaruhi
oleh kompatibilitas pada fase-fasenya. Kompatibilitas dan dispersibilitas yang
baik dapat terjadi apabila komposit bersifat homogen. Kompatibilitas dalam
komposit polimer menggambarkan kekuatan interaksi yang terjadi di antara rantai
polimer sehingga membentuk campuran homogen atau mendekati homogen.
7
MFC-asetat
Asetilasi selulosa terdiri atas 4 tahap, yaitu aktivasi, asetilasi, hidrolisis, dan
purifikasi. Asetilasi untuk mendapatkan DS rendah dalam percobaan ini melalui 3
tahap, yaitu aktivasi, asetilasi, dan purifikasi. Tahap hidrolisis tidak diperlukan,
demikian pula katalis karena tidak perlu menghasilkan triasetil terlebih dulu
dalam reaksi. Adapun 3 faktor yang dapat memengaruhi kadar asetil dicobakan
dalam penelitian ini, yaitu proses aktivasi, lamanya waktu asetilasi, dan volume
reaktan anhidrida asetat.
Keberhasilan asetilasi dapat diuji secara kuantitatif maupun kualitatif.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menentukan nilai kadar asetil (Lampiran 2)
sehingga didapat nilai derajat substitusi (DS), sedangkan analisis kualitatif
dilakukan dengan melihat keberadaan gugus fungsi asetat menggunakan alat
FTIR. Kondisi reaksi asetilasi diragamkan untuk menghasilkan DS yang beragam
pada MFC-asetat (Tabel 1). Kadar asetil ditentukan melalui reaksi saponifikasi
dalam suasana basa. Reaksi basa NaOH dengan gugus asetil dalam struktur MFC
akan menghasilkan garam karboksilat. Dengan metode titrasi, jumlah gugus asetil
yang terdapat dalam setiap molekul MFC-asetat dapat ditentukan dengan
menganggap semua asetil mengalami deasetilasi atau hidrolisis. Banyaknya gugus
asetil yang terdeasetilasi sebanding dengan selisih antara jumlah basa awal yang
berlebih dan yang tersisa dalam campuran setelah reaksi. Larutan HCl digunakan
untuk menentukan jumlah NaOH yang tersisa dalam reaksi. Volume HCl dibuat
berlebih untuk memastikan tidak ada NaOH yang masih tersisa dalam campuran.
Tabel 1 Kadar asetil dan DS MFC-asetat dengan konsentrasi HCl 0.4513 N dan
NaOH 0.4645 N
Asetilasi pada serat nanoselulosa dapat meningkatkan kompatibilitas serat
nanoselulosa di dalam PLA (Lavoine et al. 2012). Target asetilasi pada serat
nanoselulosa adalah DS rendah, yaitu 0.2, 0.5, dan 0.8 karena menurut Ifuku et al.
(2007), selulosa asetat dengan DS rendah memiliki kekuatan yang baik; masuknya
gugus asetil hanya sedikit mengubah daerah kristalinitas dan ikatan hidrogen yang
ada pada rantai selulosa.
Secara kualitatif, keberhasilan modifikasi MFC-asetat dapat dibuktikan
dengan menguji keberadaan gugus fungsi menggunakan spektrofotometer FTIR.
Pengujian dilakukan pada MFC-asetat DS 0.2, 0.5, dan 0.8 serta MFC tanpa
modifikasi sebagai kontrol. Keberhasilan asetilasi pada MFC dicirikan dengan
munculnya puncak serapan yang khas pada spektrum FTIR (Lampiran 3).
Berdasarkan analisis spektrum (Tabel 2), MFC tanpa modifikasi menunjukkan
puncak serapan selulosa pada umumnya. Sementara itu, MFC termodifikasi asetat
Jenis sampel
Bobot
sampel
(g)
Kadar air
(%)
Volume
HCl (mL)
Volume
NaOH (mL)
Kadar asetil
(%) DS
MFC (blangko) 0.5056 74.17 20.80 0.60 0 0
CA1 0.5058 87.19 20.65 0.65 6.04 0.24
CA2 0.5024 86.83 20.50 0.70 11.84 0.50
CA3 0.5045 88.24 20.50 0.85 18.25 0.84
8
dengan DS 0.2, 0.5, dan 0.8 memiliki puncak serapan yang baru, yaitu C=O ulur
di sekitar 1770 cm-1
dan C-O asetil di sekitar 1238 cm-1
. Bertambahnya puncak
serapan asetilasi ini diikuti dengan menurunnya intensitas serapan -OH pada
MFC-asetat. Penurunan intensitas serapan -OH dan munculnya puncak serapan
gugus asetat yang sangat lemah disebabkan oleh rendahnya nilai DS yang
dianalisis.
Tabel 2 Serapan FTIR MFC-asetat dengan beragam DS
Tipe vibrasi Bilangan gelombang (cm
-1)
DS 0 DS 0.2 DS 0.5 DS 0.8
O-H ulur 3266 3372 3330 3331
C-H ulur 2936 2928 2928 2953
C=O ulur (asetat) - 1770 1772 1774
O-H tekuk 1650 1644 1644 1649
C-H tekuk 1375 1375 1373 1376
C-O asetil (asetat) - 1238 1234 1238
C-O ulur 1053 1061 1063 1061
Komposit PLA MFC-asetat
MFC yang telah dimodifikasi menjadi MFC-asetat selanjutnya dicampur
dengan PLA sebagai matriks. Sebagai kontrol ialah PLA murni dan MFC tanpa
modifikasi. Bahan serat alam seperti MFC dan MFC-asetat yang tersuspensi
dalam air tidak dapat bercampur secara langsung dengan PLA yang larut dalam
diklorometana. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat kepolaran. Oleh
karena itu, air yang masih terdapat dalam MFC perlahan dihilangkan dengan cara
inklusi pelarut. Serat yang akan digunakan pada pembuatan komposit harus
memiliki kadar air <1% untuk mempermudah proses pencampuran dengan
polimer dan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Menurut Nachtigall et al.
(2007), tingkat penyerapan air yang tinggi dari serat alam dan buruknya ikatan
pada matriks polimer yang bersifat hidrofobik dapat mengakibatkan putusnya
ikatan dan menurunnya sifat mekanik komposit. Oleh karena itu, air yang masih
terkandung di dalam MFC terlebih dahulu digantikan dengan etanol, aseton, dan
selanjutnya oleh diklorometana. Hasil pencampuran komposit selanjutnya dibuat
film komposit. Komposisi yang digunakan untuk pembuatan komposit PLA dapat
dilihat pada Lampiran 4. Komposisi serat MFC dan MFC-asetat yang
ditambahkan hanya 10% dari matriks PLA. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga
mutu komposit yang dihasilkan, karena semakin tinggi persentase serat yang
digunakan, semakin mudah material komposit untuk menyerap air yang akan
menurunkan kestabilan dimensi produk.
Film yang dihasilkan oleh PLA murni, PLA/MFC, dan PLA/MFC-asetat
dengan DS 0.2, 0.5, dan 0.8 terlihat berbeda. Perbedaan yang dihasilkan pada film
komposit dapat dilihat secara fisik (Gambar 4). Film PLA murni sebagai kontrol
terlihat transparan, sedangkan film komposit PLA/MFC menunjukkan penyebaran
serat yang tidak merata. Hasil yang ditunjukkan komposit PLA/MFC-asetat
semakin baik dengan bertambahnya nilai DS. DS yang semakin tinggi
9
menunjukkan penyebaran serat yang semakin merata pada permukaan matriks.
Pendispersian yang semakin baik disebabkan gugus OH yang tergantikan dengan
gugus asetil semakin banyak dan sifat hidrofilik MFC semakin berkurang
sehingga komposit tersebut memiliki kompatibilitas yang semakin baik.
Gambar 4 Film komposit hasil pencampuran PLA murni (a), PLA/MFC (DS=0)
(b), PLA/MFC-asetat DS 0.2 (c), PLA/MFC-asetat DS 0.5 (d),
PLA/MFC-asetat DS 0.8 (e)
Peramasan (kneading) merupakan salah satu upaya untuk membuat sampel
lebih homogen. Proses penghomogenan dilakukan pada film komposit dengan
pemanasan tertentu sesuai dengan titik leleh rata-rata sampel, yaitu 180 °C.
Komposit termoplastik dengan campuran serat alam idealnya diproses pada suhu
di bawah 200 °C. Menurut El-Shekeil et al. (2011), suhu memegang peranan yang
sangat penting. Bila suhu yang digunakan terlalu rendah, maka serat alam akan
terdistribusi secara tidak merata di dalam matriks polimer, yang berakibat pada
mutu produk yang rendah. Namun, sebaliknya jika suhu yang digunakan terlalu
tinggi, serat dan polimer akan terdegradasi secara cepat sehingga berakibat pada
turunnya kinerja produk. Hidrofobisitas dan dispersibilitas maksimum terlihat
pada komposit PLA/MFC-asetat dengan DS 0.8 (Gambar 4e).
Sifat Termal
Analisis sifat termal pada bahan polimer digunakan untuk menentukan mutu
bahan. Tanpa data termal, pemrosesan bahan akan sulit dilakukan. Sifat termal
bahan menggambarkan sifat bahan tersebut jika dikenakan perlakuan termal
(dipanaskan/didinginkan). Sifat termal pada PLA dan komposit PLA diamati
menggunakan alat DSC. Suhu sampel dan pembanding pada DSC selalu
dipertahankan tetap. Suhu yang digunakan 27–200 °C dengan dialiri gas nitrogen,
laju alir 50 mL/menit, dan kenaikan suhu yang digunakan 5 °C/menit. PLA amorf
a c b
e d
10
memiliki suhu pemanasan lebih rendah daripada kristalin. Pencirian sifat termal
menggunakan DSC menghasilkan sinyal-sinyal berupa termogram yang
menampilkan informasi seperti suhu transisi kaca (Tg), suhu kristalisasi (Tcc), dan
suhu leleh (Tm).
Suhu transisi kaca biasanya tidak memiliki transisi yang jelas antara daerah
padat dan keadaan lunak, sehingga nilai Tg pada kurva DSC (Lampiran 5)
didapatkan dari nilai onset. Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 3), PLA
murni memiliki Tg tertinggi (49.85 °C). Tambahan serat pada komposit PLA
(PLA/MFC) tidak mengubah suhu Tg menjadi lebih tinggi begitu juga pada
komposit serat termodifikasi (PLA/MFC-asetat). Meskipun pada DS 0.8 suhu Tg
yang dihasilkan cukup tinggi, nilainya tidak melebihi Tg pada PLA murni. Tg yang
rendah mengakibatkan semakin cepatnya suhu luar mendekati suhu Tg-nya dan
material akan berubah dari keadaan yang regas menjadi rubbery. Nilai Tg yang
rendah tersebut kurang baik untuk bidang otomotif.
Tabel 3 Data analisis sifat termal komposit PLA/MFC-asetat
Jenis sampel Suhu (°C)
Tg Tcc Tm
PLA 49.85 100.13 166.95
PLA/MFC 48.36 87.81 166.01
PLA/MFC-asetat DS 0.2 47.56 87.42 166.15
PLA/MFC-asetat DS 0.5 46.30 88.15 166.41
PLA/MFC-asetat DS 0.8 49.74 93.49 166.72
Tg yang dihasilkan oleh komposit memang lebih rendah daripada PLA
murni. Akan tetapi, bila dilihat dari kurva DSC (Gambar 5), komposit PLA
memiliki kurva yang landai saat tercapainya suhu Tg, berbeda dengan PLA murni
yang terlihat curam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa komposit PLA/MFC
dan PLA/MFC-asetat memiliki ketahanan panas yang lebih baik dibandingkan
dengan PLA murni. Kurva yang landai cenderung lebih dapat menahan panas
yang dikenai ketika tercapainya Tg sehingga perubahan dari keadaan polimer ke
keadaan rubbery dapat diminimumkan. Ketahanan panas yang lebih baik dapat
terjadi karena tambahan serat seperti MFC dapat meningkatkan derajat
kristalinitas komposit. PLA/MFC-asetat dengan DS 0.5 memiliki ketahanan panas
yang baik (Gambar 5): nilai Tg tidak terlalu tinggi, tetapi cukup kuat untuk
mempertahankan bentuk terhadap panas yang dikenakan. Ketahanan panas yang
tinggi memungkinkan komposit ini digunakan sebagai polimer dalam komponen
otomotif.
11
Gambar 5 Perbandingan kurva DSC antara PLA, PLA/MFC, dan PLA/MFC
dengan DS 0.2, 0.5, dan 0.8
Transisi yang terjadi pada Tcc dari padat amorf ke padat kristal adalah proses
eksotermik, dan hasilnya dapat dilihat dari puncak pada kurva DSC. Hasil yang
diperoleh dari termogram DSC (Lampiran 5) terangkum pada Tabel 3. Adanya
tambahan serat MFC dan MFC-asetat pada komposit PLA membuat suhu
kristalisasi menurun. Suryanegara et al. (2009) menambahkan MFC sebagai
penguat dan sebagai nucleating agent dengan waktu pengkristalan komposit yang
lebih cepat dibandingkan dengan PLA murni. Berdasarkan hasil yang diperoleh,
peningkatan DS pada MFC-asetat membuat Tcc semakin meningkat, tetapi masih
di bawah nilai Tcc pada PLA murni. PLA/MFC-asetat pada DS 0.2 memiliki suhu
Tcc terendah (87.42 °C), nilai yang dihasilkan tidak berbeda jauh dengan suhu Tcc
yang dihasilkan pada PLA/MFC (87.81 °C) dan PLA/MFC asetat DS 0.5
(88.15 °C). Nilai Tcc yang lebih rendah daripada PLA dan PLA/MFC
mengindikasikan bahwa komposit MFC-asetat juga dapat mempercepat
kristalisasi dan sekaligus bersifat sebagai nucleating agent, bahkan dengan suhu
yang lebih rendah. Suhu yang lebih rendah dan kristalisasi yang lebih cepat sangat
dibutuhkan dalam proses produksi.
Suhu yang terus meningkat akan mencapai suhu leleh (Tm) pada sampel
tersebut dengan proses peleburan di puncak endotermik dalam kurva DSC.
Berdasarkan data pada Tabel 3, nilai Tm pada PLA murni, PLA/MFC, dan
PLA/MFC-asetat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Semua sampel
memiliki Tm sekitar 166–167 C. Nilai Tm yang rendah menyatakan bahwa
penambahan penguat seperti serat dapat mempercepat proses produksi yang
menggunakan komposit PLA.
0 50 100 150 200 250
mW
PLA
PLA/MFC
PLA/MFC DS 0.2
PLA/MFC DS 0.5
PLA/MFC DS 0.8
Suhu (°C)
12
Sifat Mekanik
Sifat mekanik pada komposit PLA dan PLA murni yang dihasilkan diuji
menggunakan UTM yang menghasilkan data kuat tarik, MOE, dan regangan
maksimum. Spesimen yang diujikan dikempa panas terlebih dahulu dan dibentuk
film dengan ukuran panjang 60 mm, lebar 5 mm, dan tebal 1 mm yang dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Spesimen uji mekanik
Regangan maksimum, kuat tarik, dan MOE merupakan hubungan tegangan-
regangan dan termasuk jenis deformasi. Deformasi merupakan perubahan ukuran
yang terjadi saat material diberi gaya. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 4),
sifat mekanik komposit PLA/MFC dan PLA/MFC-asetat lebih baik bila
dibandingkan dengan PLA murni. Hal tersebut dapat terjadi karena tambahan
bahan penguat MFC yang akan menambah kekuatan mekanik suatu komposit.
Suryanegara et al. (2009; 2010) melaporkan bahwa tambahan MFC sebagai
penguat di dalam matriks PLA menghasilkan sifat termal dan mekanik yang lebih
baik daripada PLA murni. Tambahan MFC hasil modifikasi dengan kompatibilitas
yang baik pada matriks PLA menambah kekuatan mekanik komposit yang
dihasilkan. Sifat mekanik ditampilkan dalam hubungan kurva tegangan-regangan
yang dapat dilihat pada Lampiran 6a.
Tabel 4 Data sifat mekanik komposit PLA/MFC-asetat
Kekuatan mekanik yang dihasilkan komposit PLA/MFC-asetat semakin
bertambah dari DS 0.2 sampai DS 0.5 dan menurun pada DS 0.8. Hal tersebut
mengindikasikan terdapat nilai maksimum pada MFC-asetat dalam komposit
PLA, yaitu pada DS 0.5. Penurunan kekuatan mekanik pada DS 0.8 terjadi karena
ikatan hidrogen dan daerah kristalisasi yang terganggu pada struktur MFC akibat
adanya substitusi gugus asetil. Nilai MOE yang semakin meningkat baik pada
komposit PLA/MFC maupun PLA/MFC-asetat membuat sifat getas dari komposit
PLA semakin menurun. Modulus elastisitas yang semakin tinggi juga dapat
Sampel Regangan
maksimum (%)
Kuat tarik
(MPa)
Modulus
elastisitas (GPa)
PLA 1.12 ± 0.16 14.93 ± 0.51 1.69 ± 0.24
PLA/MFC 1.32 ± 0.34 18.56 ± 1.73 2.11 ± 0.16
PLA/CA DS 0.2 1.18 ± 0.28 21.54 ± 0.85 2.25 ± 0.40
PLA/CA DS 0.5 1.55 ± 0.12 31.29 ± 1.36 2.74 ± 0.08
PLA/CA DS 0.8 0.90 ± 0.19 16.31 ± 4.29 2.26 ± 0.32
13
menggambarkan kuat tarik suatu bahan, tetapi tidak selalu memberikan hubungan
yang berbanding lurus. Perbandingan sifat mekanik berbagai sampel yang lebih
jelas dapat dilihat pada Lampiran 6b.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
MFC telah berhasil dimodifikasi menjadi MFC-asetat dengan DS 0.2, 0.5,
dan 0.8. Keberhasilan modifikasi MFC-asetat juga dicirikan dengan munculnya
puncak serapan gugus C=O (1770 cm-1
) dan C-O asetil (1238 cm-1
). Komposit
PLA/MFC-asetat menunjukkan penyebaran pada permukaan matriks yang lebih
baik dibandingkan dengan PLA dan PLA/MFC. DS asetil yang semakin
meningkat memberikan kompatibilitas dan dispersibilitas yang lebih baik pada
komposit. Modifikasi MFC-asetat dengan kompatibilitas yang baik dapat
meningkatkan sifat termal dan mekanik dari komposit PLA. MFC-asetat dengan
DS 0.2, 0.5, dan 0.8 pada komposit memberikan nilai DS maksimum 0.5 yang
dapat menaikkan sifat termal dan mekanik. Asetilasi dengan DS 0.5 memiliki
ketahanan panas komposit yang terbaik, memiliki nilai Tc serta Tm yang rendah,
dan memberikan nilai kekuatan mekanik yang terbaik.
Saran
DS yang optimum akan lebih terlihat jelas apabila rentang DS lebih
dipersempit. Sebaiknya setiap pengujian diulang sedikitnya 3 kali. Pengujian
termal dan mekanik mungkin dapat menghasilkan data yang lebih baik bila
menggunakan analisis yang dapat menampilkan informasi lebih terperinci seperti
data dynamic mechanical analysis dan thermal mechanical analysis.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. AOAC 925.09B:
Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry
International. Maryland (US): AOAC Int.
[ASTM] American Society for Testing and Material. 1991. ASTM D871:
Standard Methods of Testing Cellulose Acetate. Philadelphia (US): ASTM.
Angles MN, Dufresne A. 2001. Plasticized starch/tunicin whiskers nanocomposite
materials 2. Mechanical behavior. Macromolecules. 34(9):2921–2931. doi:
10.1021/ma001555h.
Bogoeva GG, Avella M, Malinconico M, Buzarovska A, Grozdanov A, Gentile G,
Errico ME. 2007. Natural fiber ecomposites. Polym Compos. 28(1):98-107.
doi: 10.1002/pc.20270.
14
Bondeson D, Mathew A, Oksman K. 2006. Optimization of the isolation of
nanocrystals from microcrystalline cellulose by acid hydrolysis. Cellulose.
13(2):171-180. doi: 10.1007/s10570-006-9061-4.
Czaja W, Romanovicz D, Brown RM. 2004. Structural investigations of microbial
cellulose produces in sattionary and agitated culture. Cellulose. 11(3-4):403-
411. doi: 10.1023/B:CELL.0000046412.11983.61.
El-Shekeil YA, Sapuan SM, Zainudin ES, Khalina A. 2011. Optimizing
processing parameters and fiber size for kenaf fiber reinforced thermoplastic
polyurethane composite. Key Eng Mat. 471-472:297-302. doi:
10.4028/www.scientific.net/KEM.471-472.297.
Ganster J, Fink H-P. 2006. Novel cellulose fibre reinforced thermoplastic
materials. Cellulose. 13(3):271-280. doi: 10.1007/s10570-005-9045-9.
Ifuku S, Nogi M, Abe K, Handa K, Nakatsubo F, Yano H. 2007. Surface
modification of bacterial cellulose nanofibers for property enhancement of
optically transparent composites: dependence on acetyl-group DS.
Biomacromolecules. 8(6):1973-1978. doi: 10.1021/bm070113b.
Ishida N, Saitoh S, Ohnishi T, Tokuhiro K, Nagamori E, Kitamoto K, Takahashi
H. 2006. Metabolic engineering of Saccharomyces cerevisiae for efficient
production of pure L-(+)-lactic acid. Appl Biochem Biotechnol. 131(1-
3):795-807. doi: 10.1385/ABAB:131:1:795.
Iwatake A, Nogi M, Yano H. 2008. Cellulose nanofiber-reinforced polylactic acid.
Compos Sci Technol. 68(9):2103-2106. doi: 10.1016/j.carbpol.2010.07.026.
Lavoine N, Desloges I, Dufresne A, Bras J. 2012. Microfibrillated cellulose – Its
barrier properties and applications in cellulosic materials: a review.
Carbohydr Polym. 90(2):735-764. doi: 10.1016/j.carbpol.2012.05.026.
Lu J, Askeland P, and Drzal LT. 2008. Surface modification of microfibrillated
cellulose for epoxy composite applications. Polymer. 49:1285-1296. doi:
10.1016/j.polymer.2008.01.028.
Ljungberg N, Wessle´n B. 2002. The effects of plasticizers on the dynamic
mechanical and thermal properties of poly(lactic acid). J Appl Polym Sci.
86(5):1227-1234.doi:10.1002/app.11077.
Mohanty A, Misra M, Drzal L. 2002. Sustainable bio-composites from renewable
resources: opportunities and challenges in the green materials world. J
Polym Environ. 10(1):19-26. doi:10.1023/a:1021013921916.
Nachtigall PE, Mooney TA, Taylor KA, Yuen MM. 2007. Hearing and auditory
evoked potential methods applied to odontocete cetaceans. Aquatic
Mammals. 33(1):6-13. doi: 10.1578/AM.33.1.2007.6.
Nakagaito AN, Fujimura A, Sakai T, Hama Y, Yano H. 2009. Production of
microfibrillated cellulose (MFC)-reinforced polylactic acid (PLA)
nanocomposites from sheets obtained by a papermaking-like process.
Compos Sci Technol. 69(7-8):1293-1297. doi: 10.1016/j.compscitech.
2009.03.004.
Pakko M, Ankerfors M, Kosonen H, Nykanen A, Ahola S, Osterberg M,
Ruokolainen J, Laine J, Larsson PT, Ikkala O et al. 2007. Enzymatic
hydrolisis combined with mechanical shearing and high-pressure
homogenization for nanoscale cellulose fibrils and strong gels.
Biomacromolecules. 8(6):1934-1941. doi: 10.1021/om061215p.
15
Siro I, Plackett D. 2010. Microfibrillated cellulose and new nanocomposite
materials: a review. Cellulose. 17(3):459-494. doi: 10.1007/s10570-010-
9405-y.
Suryanegara L, Nakagaito AN, Yano H. 2009. The effect of crystallization of
PLA on the thermal and mechanical properties of microfibrillated cellulose-
reinforced PLA composites. Compos Sci Technol. 69(7-8):1187–1192. doi:
10.1016/j.compscitech.2009.02.022.
Suryanegara L, Norio NA, Yano H. 2010. Thermo-mechanical properties of
microfibrillated cellulose-reinforced partially crystallized PLA composites.
Cellulose.17(4):771-778. doi: 10.1007/s10570-010-9419-5.
Suryanegara S, Okumura H, Nakagaito AN, Yano H. 2011. The synergetic effect
of phenylphosphonic acid zinc and microfibrillated cellulose on the
injection molding cycle time of PLA composites. Cellulose. 17(4):771-778.
doi: 10.1007/s10570-011-9515-1.
Takahashi N, Okubo K, Fujii T. 2005. Development of green composite using
microfibrillated cellulose extracted from bamboo. Bamboo J. 22:81-92. doi:
10.2495/HPSM040411.
Zimmermann T, Pohler E, Geiger T. 2004. Cellulose fibrils for polymer
reinforcement. Adv Eng Mat. 6(9):754-761. doi: 10.1002/adem.20040097.
16
Lampiran 1 Bagan alir kerja
Komposit PLA/MFC-
asetat
Pencampuran PLA
Peramasa
n
Film komposit
Hot
DSC UT
M
MFC
MFC-asetat
Asetilas
i
FTIR
Penentu
an DS
SEM
17
Lampiran 2 Penentuan kadar asetil dan DS
Lampiran 2a Kadar air sampel
Sampel Bobot cawan
(g)
Bobot
sampel (g)
Bobot Cawan +
Sampel (g)
Kadar air
(%)
MFC 47.9033 1.0092 48.1640
74.1
7
MFC asetat DS 0.2 21.3321 0.1116 21.3464
87.1
9
MFC asetat DS 0.5 35.1903 0.0676 35.1992
86.8
3
MFC asetat DS 0.8 41.8706 0.3265 41.9090
88.2
4
Contoh perhitungan (kadar air MFC)
* (
)+
* (
)+
Standardisasi HCl
Konsentrasi Boraks
Bobot boraks = 2.8613 g
Lampiran 2b Data konsentrasi HCl
Ulangan Konsentrasi
boraks (N)
Volume HCl (mL) Volume Boraks
(mL)
Konsentrasi
HCl (N) V. awal V. akhir V. terpakai
1 0.3001
0 6.60 6.60 10
0.4547
2 6.60 13.30 6.70 0.4479
Rerata 0.4513
Contoh Perhitungan :
Konsentrasi HCl (Ulangan 1)
V1 × N1 = V2 × N2
10 × 0.3001 = 6.6 × N2
N2 = 0.4547
Konsentrasi asam oksalat
Bobot asam oksalat = 1.9030 g
18
Lampiran 2c Data konsentrasi NaOH
Ulangan Konsentrasi
boraks (N)
Volume NaOH (mL) Volume
A.Oksalat (mL)
Konsentrasi
NaOH (N) V. awal V. akhir V. terpakai
1 0.3019
0.00 6.50 6.50 10.00
0.4645
2 6.50 13.00 6.50 0.4645
Rerata 0.4645
Contoh Perhitungan :
Konsentrasi NaOH (Ulangan 1)
V1 × N1 = V2 × N2
10 × 0.3019 = 6.5 × N2
N2 = 0.4645
Lampiran 2d Data kadar asetil dan DS sampel
Jenis
Sampel
Bobot Sampel
(g)
Kadar
Air (%)
Volume HCl
(mL)
Konsentrasi
HCl (N)
Volume
NaOH (mL)
Konsentrasi
NaOH (N)
Kadar
Asetil (%) DS
Blangko 0.5056 - 20.80
0.4513
0.60
0.4645
- -
CA1 0.5058 87.1864 20.65 0.65 6.04 0.24
CA2 0.5024 86.8343 20.50 0.70 11.84 0.50
CA3 0.5045 88.2389 20.50 0.85 18.25 0.84
Contoh perhitungan:
Kadar asetil CA1 (DS 0.2)
Derajat Substitusi (DS) CA1 (DS 0.2)
19
Lampiran 3 Hasil spektrum dan serapan FTIR
Spektrum FTIR MFC
Spektrum MFC asetat DS 0.2
20
Spektrum FTIR MFC asetat DS 0.5
Spektrum FTIR MFC asetat DS 0.8
21
Lampiran 4 Data komposisi komposit PLA
Sampel Kadar
air (%)
Bobot Serat (g) Bobot PLA
(g)
Bobot
komposit (g) Basah Kering
PLA - - - 50.00 50.0000
PLA/MFC 90,00 52.53 5.2530 45.01 50.2630
PLA/MFC asetat DS 0.2 87.19 40.99 5.2508 45.02 50.2708
PLA/MFC asetat DS 0.5 86.83 39.86 5.2495 45.02 50.2695
PLA/MFC asetat DS 0.8 88.24 44.65 5.2508 45.01 50.2608
Lampiran 5 Kurva DSC
Kurva PLA murni
Suhu (°C)
22
Kurva PLA/MFC
Kurva PLA/MFC asetat DS 0.2
Suhu (°C)
Suhu (°C)
23
Kurva PLA/MFC asetat DS 0.5
Kurva PLA/MFC asetat DS 0.8
Suhu (°C)
Suhu (°C)
24
Lampiran 6 Sifat mekanik komposit
Lampiran 6a Kurva hubungan Tegangan-regangan (stress-strain)
PLA murni PLA/MFC
PLA/MFC asetat DS 0.2 PLA/MFC asetat DS 0.5
25
PLA/MFC asetat DS 0.8
26
Lampiran 6b Diagram batang perbandingan sifat mekanik PLA dan komposit PLA
(a) Kuat tarik
(b) Regangan maksimum
(c) Modulus elastisitas
0
5
10
15
20
25
30
35
PLA H-400 PLA/MFC PLA/CA 1 PLA/CA 2 PLA/CA 3
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
PLA H-400 PLA/MFC PLA/CA 1 PLA/CA 2 PLA/CA 3
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
PLA H-400 PLA/MFC PLA/CA 1 PLA/CA 2 PLA/CA 3
GPa
%
% MPa
27
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 24 Maret 1991 dari Ayah
Andy Wijaya dan Ibu Winny Aminti. Penulis merupakan anak kedua dari 3
bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah di SMA Kornita Bogor pada tahun
2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Program Studi Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Kimia Organik pada tahun 2013. Penulis juga mengikuti
kegiatan praktik lapangan di PT Pradja Pharin (Prafa) dari bulan Juli sampai
Agustus 2012.