Perbaikan kualitas pada proses kiln tegel keramik kode ge .../Perbaikan... · metode six sigma...
Transcript of Perbaikan kualitas pada proses kiln tegel keramik kode ge .../Perbaikan... · metode six sigma...
IV - 1
Perbaikan kualitas pada proses kiln tegel keramik kode ge dengan metode six sigma dmaic
(studi kasus PT. Ikad Tangerang)
Febiyanto S I 0302029
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa ini semakin banyak istilah-istilah quality improvement muncul
dikarenakan persaingan telah menuntut semua organisasi dan perusahaan untuk
semakin inovatif dalam memenuhi keinginan pelanggan. Setiap perusahaan
menggunakan strategi untuk membuat segala yang dihasilkan lebih baik dari segi
kualitas maupun biaya, sehingga dapat bersaing dengan perusahaan pesaing
lainnya dalam kompetisi pasar yang semakin ketat ini. Dengan semakin ketatnya
persaingan, semakin ketat dan tinggi juga persyaratan yang diinginkan konsumen.
Semakin banyak defect yang dihasilkan dari proses yang dikelola, semakin mudah
pelanggan beralih ke perusahaan lain. Hal ini pula yang dirasakan PT. IKAD yang
memproduksi tegel keramik dimana persaingan menuntut untuk selalu melakukan
perbaikan berkesinambungan.
Saat ini, produksi tegel keramik yang dilakukan di PT. IKAD khususnya
di Departemen Plant 3 dirasakan masih kurang optimal. Perusahaan yang
berkedudukan di Jalan Raya Pasar Kemis KM. 5,8 Tangerang ini cenderung
mengalami penurunan kualitas dan kuantitas produk tegel keramik. Bagian kiln
merupakan salah satu bagian paling vital dan merupakan proses akhir dalam
menentukan hasil akhir produk tegel keramik tersebut paling disoroti karena
penurunan kualitas produk tersebut. Proses kiln terdiri dari 3 fase utama, yaitu
fase preheating, firing, serta cooling. Kurang optimalnya ketiga fase proses dalam
kiln tersebut mendominasi terjadinya kecenderungan penurunan kualitas tegel
keramik. Berdasarkan penggambaran tersebut, perlu dilakukan analisis pada
bagian kiln untuk memperbaiki kualitas prosesnya untuk dianalisis dan diperbaiki
kualitas prosesnya secara lebih mendalam.
IV - 2
Pada Critical to Quality (CTQ) seperti permukaan tegel keramik masih
terlihat dominan peranannya dalam penurunan kualitas produk. Critical to Quality
(CTQ) itu sendiri memiliki pengertian yaitu karakteristik kualitas yang penting
untuk diperhatikan (Gasperz, 2002)
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan pada penelitian sebelumnya di
Departemen Plant 3 PT. IKAD Tangerang, khususnya di bagian kiln, sering
diterima keluhan kualitas produk dan masih banyak terdapat produk cacat yang
dihasilkan untuk produk tegel keramik kode GE. Adapun objek tegel keramik
yang diambil yaitu kode GE merupakan produk PT. IKAD yang setiap hari
diproduksi secara massal dikarenakan banyaknya permintaan dari pelanggan.
Tegel keramik kode GE yang berwarna putih dan berukuran 30 cm x 30 cm ini
hanya dihasilkan di Departemen Plant 3 dan merupakan produk massal yang
paling banyak dikeluhkan pelanggan.
Perusahaan juga mengalami kerugian penjualan akibat adanya produk
cacat yang nantinya harus disortir dan tidak dapat di rework. Masalah lainnya
yang telah diidentifikasi pada penelitian sebelumnya yaitu komunikasi yang
terjadi diantara para staff dan operator yang masih dirasakan kurang, sehingga
menyebabkan minimnya informasi yang terlibat dalam proses yang dilakukan
perusahaan (Febiyanto, 2005).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada kerja praktek bulan
Agustus 2005 diketahui bahwa pada bagian kiln terlihat penyebab dominan
kecacatan permukaan tegel keramik antara lain melenting, pecahan tile, tumpuk
masih mendominasi prosentase kecacatan yang menandakan bahwa masih
dominannya permukaaan tegel keramik sebagai karakteristik kualitas yang kritis.
Fenomena-fenomena yang terjadi tersebut setelah dianalisa disebabkan oleh
adanya beberapa proses yang tidak seimbang di tiap-tiap bagian, lingkungan
pabrik yang kotor, tidak adanya pengawasan yang ketat untuk komponen-
komponen yang tidak memenuhi spesifikasi, banyaknya sisa-sisa dan peralatan
rusak yang berserakan di segala tempat di pabrik. Selain itu, operator
mengerjakan pekerjaan tidak berdasarkan standar kerja tertentu dan hanya berdiri
menunggu sesuatu untuk dikerjakan dimana semuanya itu menunjukkan
IV - 3
ketidakefisiensian kinerja, pemborosan atas sumber daya, baik sumber daya
manusia, waktu kerja, serta material proses produksi yang digunakan.
Selain itu, pecahnya konsentrasi perusahaan ke dalam dua hal yaitu pada
satu sisi perusahaan disibukkan dengan permasalahan yang terjadi dimana
perusahaan konsentrasi kepada beberapa karakteristik kualitas dan tidak fokus
kepada Critical to Quality (CTQ), sehingga menyebabkan kegagalan terjadi pada
output tegel keramik di bagian kiln. Namun pada sisi lain perusahaan harus terus
melaksanakan produksinya. Secara tidak langsung, kondisi ini akan berpengaruh
terhadap pelanggan yang pada akhirnya berimbas kepada ketidakpuasan terhadap
produk PT. IKAD.
Berdasarkan penggambaran permasalahan di Departemen Plant 3
khususnya pada bagian kiln, maka perusahaan membutuhkan suatu usaha
perbaikan menyeluruh, baik dari segi manajerial maupun proses atau teknis
melalui pendekatan konsep Six Sigma dimana konsep ini memiliki sistematika
yang jelas dalam memperbaiki proses yang terjadi.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan yang diambil dalam
penelitian ini yaitu :
1. Apa Critical to Quality (CTQ) prioritas pada tegel keramik kode GE di bagian
kiln?
2. Bagaimana level sigma, stabilitas serta kapabilitas proses CTQ terseleksi?
3. Faktor-faktor apa saja yang secara signifikan menyebabkan terjadinya
kecacatan CTQ prioritas di bagian kiln?
4. Apa saja kegagalan yang sering terjadi serta akibatnya pada proses produksi
tegel keramik di bagian kiln?
5. Bagaimana memperbaiki dan mengendalikan kualitas proses tegel keramik di
bagian kiln?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari Penelitian yang dilakukan di Departemen Plant 3 PT. IKAD
Tangerang ialah:
IV - 4
1. Mengidentifikasi Critical to Quality (CTQ) prioritas pada tegel keramik kode
GE di bagian kiln.
2. Mengukur level sigma, stabilitas serta kapabilitas proses CTQ prioritas di
bagian kiln.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan menyebabkan terjadinya
kecacatan CTQ prioritas di bagian kiln.
4. Menganalisa kegagalan yang sering terjadi serta akibatnya pada proses
produksi tegel keramik di bagian kiln.
5. Memberikan usulan perbaikan dan pengendalian kualitas proses tegel keramik
di bagian kiln.
1.4 BATASAN MASALAH
Agar sasaran dalam studi lapangan ini tercapai dan terfokus, maka
diperlukan batasan-batasan permasalahan sebagai berikut :
1. Data diambil dari bagian kiln Departemen Plant 3 PT. IKAD pada bulan
Januari 2006 hingga bulan Februari 2006.
2. Responden wawancara dan pengisian kuesioner hanya melibatkan karyawan di
shift 1.
3. Usulan yang diberikan kepada perusahaan tidak memperhitungkan biaya.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dengan adanya penelitian ini antara
lain:
1. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memperbaiki proses kiln dalam
memproduksi tegel keramik di Departemen Plant 3.
2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan kepada Departemen Plant 3
dalam menganalisa dan mengevaluasi proses produksinya.
3. Memperbaiki kualitas proses Critical to Quality (CTQ) prioritas di bagian kiln
Departemen Plant 3.
4. Hasil penelitian dapat memandu perusahaan khususnya di bagian kiln
Departemen Plant 3 dalam penggunaan prosedur standar operasional (SOP)
untuk proses perawatan mesin kiln.
IV - 5
5. Mencegah bagian kiln Departemen Plant 3 agar tidak mengulangi kesalahan
yang sama pada proses dengan adanya standar baku yang didokumentasikan.
1.6 ASUMSI PENELITIAN
Adapun asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut:
1. Operator bekerja dalam kondisi normal.
2. Mesin yang digunakan untuk berproduksi di Departemen Plant 3 bekerja
dalam kondisi normal.
3. Taraf signifikansi yang digunakan untuk pengujian validitas dan realibilitas
yaitu sebesar 5%.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan laporan penelitian tugas akhir ini disusun secara sistematis agar
memberikan kemudahan dalam membaca dan memahami hasil penelitian dari
tugas akhir ini. Adapun sistematika penulisannya disusun sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, batasan masalah yang berfungsi untuk membatasi laporan agar
tidak terlalu luas dan menentukan secara spesifik area pembahasan yang akan
dilakukan, manfaat penelitian, asumsi yang digunakan, serta sistematika penulisan
yang berisi urutan penulisan tiap bab secara sistematis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab kedua ini memuat teori-teori yang menunjang dalam pengolahan data
yaitu diantaranya konsep kualitas, konsep Six Sigma, beserta tools yang
digunakan sebagai acuan penelitian baik dari buku teks, artikel, jurnal, maupun
sumber-sumber literatur lainnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ketiga ini berisi langkah-langkah penyelesaian masalah secara umum
(gambaran terstruktur tahap demi tahap proses penyelesaian masalah yang
digambarkan dalam bentuk flowchart ).
IV - 6
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab keempat ini berisi tahap-tahap pembahasan mengenai proses
pengumpulan data dan pengolahannya yang dilakukan melalui pengunaan tools
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL
Bab kelima ini berisi analisa dan interpretasi secara keseluruhan dari hasil
pengumpulan dan pengolahan data yang telah dilakukan disertai usulan-usulan
perbaikan dan pengendalian kualitas proses.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab keenam ini berisi kesimpulan hasil dari pengolahan data dan
analisanya serta saran-saran yang diperlukan untuk penelitian selanjutnya demi
mendapatkan solusi dan hasil yang lebih baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas konsep-konsep penelitian yang dilakukan. Bagian
pertama bab ini berisi gambaran umum produk yaitu tegel keramik, terutama
berkaitan dengan proses produksi, serta karakteristik kualitas tegel keramik di
Departemen Plant 3 PT. IKAD. Bagian kedua, ketiga, dan keempat membahas
tentang konsep kualitas serta metodologi Six Sigma yang digunakan, selanjutnya
pada bagian kelima merupakan penjelasan tentang tools Six Sigma yang
digunakan dalam penelitian.
2.1 GAMBARAN UMUM PRODUK
Gambaran umum produk tegel keramik seperti proses produksi dan
karakteristik kualitasnya akan dijelaskan secara garis besarnya di bawah ini.
2.1.1 Proses Produksi Tegel Keramik
Proses produksi pembuatan tegel keramik terdiri dari berbagai macam
proses, antara lain proses milling, dimana proses ini dilakukan untuk
menghaluskan bahan baku untuk bahan body maupun bahan glasir, serta dengan
menambahkan air yang telah ditentukan jumlahnya sehingga diperoleh spesifikasi
IV - 7
yang diinginkan. Selain itu proses mixing (pencampuran) serta spray drying juga
dilakukan untuk pembuatan powder. Setelah powder terbentuk dilakukan proses
pressing dan drying sehingga dihasilkan green tile. Green tile yang dihasilkan
pada proses single firing langsung masuk ke tahapan glazing. Pada proses glasing
ini green tile melalui proses pelapisan engobe, glazing dan proses printing.
Sementara untuk proses double firing, green tile yang dihasilkan dari proses
drying terlebih dahulu dibakar di kiln pertama sehingga terbentuk biskuit
kemudian baru masuk ke proses engobe, glazing, printing lalu kemudian baru
masuk ke proses pembakaran di kiln kedua. Green tile yang telah melalui proses
pembakaran kemudian masuk ke sortir untuk proses packaging (Sumber
dokumentasi PT. IKAD, 2005).
A. Proses Pressing
Proses pressing merupakan proses pembentukan body dari keramik dari
powder. Di Departemen Plant 3 pengepresan menggunakan dua mesin press
Nassetty VIS 1500. Sebelum proses pressing dilakukan proses pembentukan
powder terlebih dahulu. Pembentukan powder untuk Departemen Plant 3
langsung dikirim dengan konveyor dari bagian Body Preparation (BP). Powder
yang telah terbentuk kemudian disimpan kedalam silo penyimpanan dan
kemudian dikirim ke silo-silo kecil yang ada di mesin press.
B. Proses Drying
Proses drying merupakan proses berikutnya setelah green tile dihasilkan
oleh proses pressing. Proses drying sendiri bertujuan untuk menghilangkan kadar
air dalam green tile sampai kadar air tertentu yang telah ditetapkan oleh bagian
QA. Kadar air dan green tile harus dikurangi karena memiliki pengaruh signifikan
terhadap proses glazing. Sebagai contoh kadar air yang terlalu berlebih akan
menyebabkan rusaknya lapisan glazing karena pada waktu proses pembakaran
dalam kiln akan menyebabkan air menguap dan akan merusak lapisan glazing.
C. Proses Engobe
Proses pelapisan engobe bertujuan untuk menahan uap air dari body dan
juga sebagai penutup warna body sebelum dilakukan printing. Sebelum diberi
IV - 8
lapisan engobe, tile terlebih dahulu di spray dengan air untuk menurunkan suhu.
Ada beberapa aplikasi pelapisan engobe yaitu Campana, Disco, Jetspray.
D. Proses Glazir
Pelapisan glazir dilakukan setelah green tile dilapisi engobe dimana
aplikasinya sama dengan proses pelapisan engobe. Glazir adalah lapisan diatas
engobe yang berfungsi memberi warna dasar, memberi keindahan pada keramik
karena glazir memberi warna mengkilap pada lapisan atas keramik selain itu juga
keramik menjadi tahan terhadap cairan ataupun gas dan dapat memberi daya tahan
tinggi terhadap keramik. Jika proses pelapisannya menggunakan aplikasi
campana maka sisa glazir yang ada di bagian depan tile harus dibersihkan agar
tidak mengotori roller kiln.
E. Proses Printing
Proses printing adalah proses pembentukan motif dari green tile. Pada
proses pemberian motif ini terdapat beberapa jenis aplikasi yang digunakan oleh
perusahaan, antara lain :
1. Flat Screen
Flat screen digunakan untuk model keramik yang flat dan emboss. Metode
yang digunakan pada aplikasi ini ialah step by step. Kelemahan metode ini adalah
apabila kecepatan belt tinggi maka dapat terjadi benturan antar keramik yang
mengakibatkan defect sompel, selain itu harus sering dibersihkan karena apabila
digunakan cukup lama, pori-pori screen bisa tertutup sehingga gambar yang
dihasilkan warnanya botak. Selain itu, flat screen juga tidak tahan lama karena
mudah aus dan boros tinta.
2. Rotary Printing
Alat ini digunakan secara otomatis dan hasil yang cukup baik, namun
harganya mahal untuk roller printingnya. Rotary printing dapat dengan mudah
dibersihkan secara manual.
3. Rotocolor
Rotocolor juga berbentuk silinder. Alat ini bisa digunakan secara manual
dan otomatis. Mekanisme kerjanya tinta dialirkan dengan pompa dan mixer
IV - 9
aplikasi ke rotocolor dan ditampung oleh blade. Posisi blade tidak boleh kendor
karena dapat menyebabkan warna belang. Rotocolor tidak perlu dibersihkan
secara manual karena sudah dibersihkan secara otomatis. Aplikasi ini baik untuk
keramik datar dan ukuran besar.
F. Proses Kiln (Pembakaran)
Kiln atau tungku adalah suatu alat untuk membakar tile (tegel keramik).
Proses kiln adalah proses pembakaran keramik mentah menjadi padat, kedap air,
dan higienis. Proses pembuatan keramik terakhir yaitu pada proses pembakaran
didalam kiln. Dalam pembuatan Tile (keramik) ada beberapa proses yang umum
dilakukan dalam proses pembakaran yaitu :
1. Proses Pembakaran
Proses pembakaran tegel keramik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
jenis :
a. Single firing
Yaitu proses pembakaran keramik dengan satu kali pembakaran.
Umumnya, jenis pembakaran ini digunakan untuk menghasilkan keramik
lantai karena dengan single firing, keramik yang dihasilkan memiliki bending
strength yang relatif lebih tinggi. Dengan bending strength yang tinggi
keramik lantai diharapkan akan mampu untuk menahan beban yang cukup
berat. Single Firing biasanya untuk lantai (Floor tile) dimana antara Body dan
Glaze dibakar dan matang secara bersamaan.
b. Double firing
Yaitu proses pembakaran keramik dengan dua kali pembakaran.
Umumnya jenis pembakaran ini untuk memproduksi keramik dinding karena
dengan double firing, keramik yang dihasilkan akan memiliki permukaan
yang relatif lebih mengkilap dan biasanya lebih tahan gores daripada produk
yang dibakar dengan satu kali pembakaran (Single Firing). Double Firing
biasanya digunakan untuk membuat keramik dinding (Wall Tile) dan melalui
dua tahap pembakaran yaitu :
a. Pembakaran pembentukan Biscuit (Green Tile yang telah dibakar)
b. Glost Firing : pada proses ini Biscuit yang telah dilengkapi dengan
Glaze dibakar untuk mendapatkan hasil yang baik
IV - 10
c. Third Firing
Third Firing biasanya digunakan untuk tile yang berdekorasi,
ditempelkan pada permukaan Glaze matang dengan desain tertentu
kemudian di proses bakar.
2. Jenis Kiln
Ada beberapa jenis kiln dalam pembuatan tile (tegel) yang biasanya
digunakan, antara lain:
1. Roller Kiln
Menggunakan Roll Ceramic, yaitu tile diletakkan diatas Roll Ceramic
yang berputar dengan putaran cepat, lambat dan hasil bisa diketahui
setelah + 40 menit.
2. Tunnel Kiln
Menggunakan lory yang masuk kedalam terowongan, tile yang
tersusun di dalam lory masuk kedalam terowongan kiln, keluar dari Tunnel
bisa 24 jam untuk mendapatkan hasilnya.
Di PT. IKAD banyak digunakan jenis Roller kiln, kiln ini bisa dibuat
panjang dan pendek sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengendalian proses
pembakaran untuk memperoleh hasil bakar yang sempurna diperlukan beberapa
instrumen pengukuran seperti:
· Isapan dalam Kiln
· Tekanan di Firing
· Tekanan angin dan Gas di Burner
Faktor lain yang juga mempengaruhi Firing adalah Cycle (kecepatan) bakar
ditentukan berdasarkan jenis barang, kepadatan susunan, tebal barang dan
penampang kiln itu sendiri.
3. Fase Fembakaran Keramik
a. Preheating
Di Zona ini bahan (tile dan glasir) pada proses ini akan hilangnya air
Hidrokopis dan air Hidrat (air kristal) terjadi pada temperatur 350 – 8000
IV - 11
C, tahapan proses Pre-Heating yang tak sempurna akan mempengaruhi
proses bakar pada temperatur yang lebih tinggi.
Ø Dehidrasi fisis : Proses untuk menghilangkan kadar air. Proses ini
berjalan pada suhu antara 200oC sampai dengan 300o C
Ø Dehidrasi kimia : Proses ini untuk menghilangkan zat zat karbon dan
organic yang tidak bersenyawa dengan body keramik. Proses ini
berjalan pada suhu 500oC sampai dengan 800oC.
b. Firing
Di Proses ini oksida – oksida akan mengalami perubahan susunan
atom-atom solid menjadi cair dengan cara melebur sehingga bahan
keramik tersebut benar – benar matang dan menjadi padat karena tertutup
bahan gelas. Terdapat 2 phase penting dalam proses firing ini, antara lain
sebagai berikut:
1. Centring awal
Proses pembakaran firing awal yang berjalan pada suhu antara
1000oC-1100oC.
2. Centring point
Proses pembakaran point puncak, berjalan pada suhu antara
1150oC - 1170oC.
c. Direct Colling
Yaitu pendinginan secara langsung dengan system injeksi atau
penyemprotan udara. Proses ini berjalan pada suhu 600oC - 720oC.
d. Slow Colling
Pendinginan dengan system membuang sisa gas pembakaran. Proses ini
berjalan pada suhui 550 oC.-500oC.
e. Final Colling
Pendinginan akhir sebelum keramik keluar dari kiln. Proses ini
menggunakan blower ataupun fan.
4. Struktur Bagian Kiln
Struktur Bagian dalam kiln dapat dijelaskan sebagai berikut:
IV - 12
a) Terdiri dari dinding dan atap mempunyai susunan batu (insulating brick)
yang berbeda-beda ketahanan panasnya. Temperatur lebih tinggi sisi luar
yang langsung mengenainya.
b) Pada tiap modul di Zone Firing terdapat susunan lubang Burner
- Lubang Burner bagian atas kiri 2 buah dan kanan 2 buah
- Lubang Burner bagian bawah kiri 2 buah dan kanan 2 buah
- Pada tiap modul di Zone Pre-Heating hanya sisi bawah saja
c) Pada tiap-tiap Modul dipasang sekat atas dan bawah untuk kestabilan
temperatur, tinggi sekat mempunyai ukuran yang berbeda karena tiap
modul mempunyai temperatur yg berbeda-beda, adapun waktu penyetelan
temperatur bisa stabil sesuai dengan settingnya.
2.1.2 Karakteristik Kualitas Tegel Keramik
Tegel Keramik memiliki karakteristik kualitas yang digunakan untuk
mengetahui kualitas tegel keramik tersebut. Beberapa karakteristik penting
diantaranya adalah sebagai berikut:
A. Ukuran Tegel Keramik
Merupakan batasan-batasan standar yang terdapat pada dimensi ukuran
tegel keramik yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa penyimpangan kualitas
penting yang masuk ke dalam karakteristik kualitas ini, yaitu sebagai berikut:
1. Kesikuan dan Kelurusan Tepi
Ukuran kesikuan pada tepi tegel keramik dan kelurusan tepi tegel keramik
yang menyimpang dari standar atau di luar range yang ditetapkan.
2. Melenting
Cacat ini terjadi dikarenakan penyimpangan ukuran permukaan yang terlalu
cembung atau terlalu cekung. Alat yang digunakan untuk mengukur
kemelentingan tegel disebut mesin planar yang terdapat pada bagian inspeksi
kiln.
3. Oversize
IV - 13
Cacat ini terjadi dikarenakan ukuran tegel keramik yang terlalu besar dari
ukuran yang dikehendaki.
4. Penyimpangan Tebal
Penyimpangan ukuran tebal pada tegel keramik yang tidak sesuai atau di luar
range standar.
5. Puntiran Sudut
Penyimpangan salah satu sudut tegel keramik terhadap ke-3 sudut tegel yang
lain yang diletakkan dalam satu bidang datar.
6. Goyang
Cacat yang terjadi dimana permukaan tegel keramik terlihat goyang apabila
disinari oleh cahaya lampu yang telah disediakan.
7. Retak Cooling / preheating
Cacat ini terjadi dimana suhu dalam mesin kiln yang digunakan terlalu panas,
sehingga pada saat tile masuk tidak dapat beradaptasi pada suhu tersebut.
B. Permukaan Tegel Keramik
Merupakan batasan-batasan standar yang terdapat pada dimensi
permukaan tegel keramik yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa penyimpangan
kualitas penting yang masuk ke dalam karakteristik ini, antara lain:
1. Sompel
Cacat ini diketahui karena sebagian kecil tegel keramik hilang yang dapat
terjadi pada bagian sisi, sudut/bawah tegel.
2. Laminasi
Cacat press yang berbentuk lapisan-lapisan pada tegel keramik, biasanya
bunyi tegel keramik tidak nyaring pada saat diuji.
3. Crowling
Masalah permukaan yang terjadi di bagian glasir dengan terdapatnya
permukaan yang tidak lurus.
4. Lubang Kawah
Cacat pada permukaan glaze oleh adanya lekukan kawah walaupun
permukaan tidak berlubang dan halus.
5. Bintik – bintik
IV - 14
Cacat ini terjadi dikarenakan adanya noda-noda kecil pada permukaan tegel.
6. Pinhole
Cacat yang terjadi adanya lubang kecil pada permukaan tegel keramik dengan
ukuran maksimal, sebesar jarum jahit pakaian.
7. Kotoran Tile
Cacat pada permukaan tegel keramik yang disebabkan jatuhnya kotoran ke
permukaan keramik.
8. Pecahan Tile
Cacat ini terjadi dikarenakan adanya pecahan tile yang menempel pada
permukaan kiln.
9. Numpuk
Cacat pada permukaan oleh tegel yang saling bertumpuk. Permukaan engobe
atau body tegel akan tampak jelas.
10. Gores
Cacat pada permukaan dimana permukaan tegel keramik mengalami goresan
yang menyerupai sekumpulan benang yang halus.
C. Sifat Fisik Tegel Keramik
Merupakan sifat-sifat fisis yang terdapat pada tegel keramik. Terdapat
beberapa karakteristik pada sifat fisik ini, antara lain sebagai berikut:
1. Bending Strength
Kekuatan tegel keramik dari setiap cm 2 dalam menahan beban berat dan
tekanan baik secara vertikal maupun secara horizontal
2. Ketahanan Gesek
Ketahanan terhadap keausan tegel keramik oleh gesekan benda lain.
3. Kekerasan Permukaan
Kemampuan kekerasan permukaan tegel keramik menurut skala kekerasan
Mohs
4. Ketahanan Thermal
IV - 15
Ketahanan yang ditunjukkan apabila suatu produk tahan terhadap perubahan
suhu.
5. Peresapan Air
Jumlah air yang dapat diserap oleh suatu tegel keramik pada kondisi-kondisi
tertentu.
D. Sifat – Sifat Kimia Tegel Keramik
Merupakan sifat-sifat kimiawi yang terdapat pada tegel keramik. Terdapat
beberapa karakteristik pada sifat fisik ini, antara lain sebagai berikut:
1. Daya Tahan Terhadap Asam dan Basa
Kemampuan permukaan tegel keramik untuk menahan aksi kimiawi dari
senyawa asam ataupun basa
2. Daya Tahan Terhadap Bahan Kimia Rumah Tangga
Kemampuan permukaan tegel keramik untuk menahan aksi kimiawi dari
bahan-bahan kimia rumah tangga.
3. Daya Tahan Terhadap Penetrasi Zat Warna
Kemampuan permukaan tegel keramik untuk menahan aksi kimiawi dari zat-
zat warna.
2.2 KONSEP KUALITAS
Beberapa pengertian dasar dari konsep kualitas seperti pengertian dasar
kualitas, definisi perbaikan kualitas dan sistem pengendalian kualitas akan
dijelaskan secara lengkap di bawah ini.
2.2.1 Pengertian Dasar Kualitas
Kualitas merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup penting
saat ini. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari
yang konvensional sampai yang lebih strategik. Beberapa pakar dalam bidang
kualitas mendefinisikan kualitas sebagai berikut:
1. Crosby (1979), kualitas adalah sesuai dengan apa yang disyaratkan atau sesuai
spesifikasi.
IV - 16
2. Gasperz (2002), kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari
suatu produk seperti: performansi (performance), keandalan (reliability),
mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics), dan sebagainya.
3. Juran (1974), kualitas adalah cocok atau sesuai untuk digunakan.
4. Garvin (1984), delapan atribut yang digunakan untuk mendefinisikan kualitas
adalah performansi (performance), keistimewaan produk (features),
kehandalan (reliability), kesesuaian (conformance), keawetan (durability),
kegunaan (serviceability), estetika (aesthetics), dan kualitas yang
dipersepsikan (perceived quality).
Selanjutnya, perusahaan yang sedang berkompetisi dalam pasar global
harus memberikan perhatian serius pada definisi strategi, yang menyatakan bahwa
kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan
pelanggan (meeting the needs of customers). Berdasarkan definisi rentang kualitas
baik yang konvensional maupun yang lebih strategik, kita boleh menyatakan
bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok berikut:
1. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan
langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan
dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.
2. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan atau
kerusakan.
Berdasarkan pengertian dasar tentang kualitas di atas, tampak bahwa
kualitas selalu berfokus pada pelanggan (customer focused quality). Dengan
demikian produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk
memenuhi keinginan pelanggan. Karena kualitas mengacu kepada segala sesuatu
yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan baru dapat
dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat
dimanfaatkan dengan baik, serta diproduksi dan dihasilkan dengan cara yang baik
dan benar (Gaspersz, 2002). Berdasarkan sifat manusia yang tidak pernah puas,
maka kualitas harus terus ditingkatkan untuk dapat memenuhi kepuasan
konsumen.
2.2.2 Definisi Perbaikan kualitas
IV - 17
Peningkatan atau perbaikan kualitas adalah tindakan-tindakan yang
diambil guna meningkatkan nilai produk melalui peningkatan efektivitas dan
efisiensi dari proses dan aktivitas yang tidak pernah berakhir dan mengupayakan
untuk menurunkan variasi proses dari produk yang tidak memenuhi spesifikasi
(Mitra, 1998). Proses peningkatan atau perbaikan kualitas memerlukan komitmen
untuk perbaikan yang melibatkan secara seimbang antara aspek manusia dan
aspek teknik/teknologi. Pengertian peningkatan sistem manajemen kualitas lebih
menekankan pada aspek peningkatan proses industri dengan menggunakan data
kualitas yang dikumpulkan dan diinterpretasikan dengan menggunakan tools
analisis-termasuk teknik-teknik statistika, bukan sekadar penggunaan tools
statistika yang selama ini telah salah diinterpretasikan oleh banyak orang yang
berkecimpung di luar bidang teknik dan manajemen industri.
Dalam konteks pembahasan tentang analisis data untuk peningkatan
proses dengan menggunakan teknik-teknik statistika, terminologi kualitas
didefinisikan sebagai konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan
variasi karakteristik kualitas dari suatu produk (barang atau jasa) yang dihasilkan,
agar memenuhi kebutuhan yang telah dispesifikasikan, guna meningkatkan
kepuasan pelanggan internal maupun eksternal. Dengan demikian pengertian
kualitas dalam konteks peningkatan proses adalah bagaimana baiknya kualitas
suatu produk itu memenuhi spesifikasi dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian
desain dan pengembangan dari suatu perusahaan.
Tenner dan DeToro (1992) mengemukakan suatu model perbaikan
proses yang terdiri dari enam langkah yang disajikan dalam Gambar 2.1 berikut:
IV - 18
Sumber : Gasperz, 2002
Gambar 2.1 Model Perbaikan Proses
Langkah 1: Mendefinisikan Masalah dalam Konteks Proses
Model perbaikan proses dimulai dari penetapan atau spesifikasi sistem
mana yang terlibat, agar usaha-usaha dapat terfokus pada proses bukan pada
output.
Langkah 2: Identifikasi dan Dokumentasi Proses
Diagram alir (flowchart) merupakan alat yang umum dipergunakan untuk
mendeskripsikan proses. Pembuatan diagram alir (flowchart) dari proses akan
memungkinkan kita untuk melakukan empat aktivitas perbaikan berikut :
· Mengidentifikasi partisipan dalam proses
· Mengamati partisipan yang mana berfungsi sebagai apa dan sejauh mana
peran / fungsionalnya dalam proses
IV - 19
· Mengidentifikasi inefisiensi, pemborosan dan langkah-langkah redundant
(berlebihan atau tidak perlu) dalam proses
· Menawarkan suatu kerangka kerja untuk mendifinisikan pengukuran
perbaikan proses.
Proses yang diidentifikasi harus didokumentasikan secara baik agar dapat
dipergunakan sebagai bahan informasi yang berguna dalam perbaikan proses
secara terus menerus.
Langkah 3: Mengukur Performansi
Pengukuran performansi dimaksudkan untuk dapat mengkuantifikasikan
baik atau jelek suatu sistem sedang berjalan atau beroperasi. Pada dasarnya
perngukuran performansi dapat dilakukan pada tiga tingkat yaitu proses, output
dan outcome. Ukuran-ukuran proses mendefinisikan aktivitas, variabel, dan
operasi dari proses kerja itu sendiri. Ukuran-ukuran output mendefinisikan fitur
spesifik, nilai-nilai dan atribut dari setiap produk yang dapat diuji dari dua sisi
yaitu sisi pelanggan dan sisi kapabilitas proses.
Langkah 4: Memahami Mengapa Suatu Masalah dalam Konteks Proses Terjadi
Ketiadaaan data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu
system berjalan seperti itu sehingga performansinya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi antara
performansi yang diharapkan (sasaran) dan performansi aktual (hasil kenyataan).
Untuk memahami mengapa suatu masalah terjadi dan agar langkah ke arah
perbaikan proses efektif dan efisien, kita dapat mengajukan pertanyaan dasar
berikut :
· Apa yang menjadi area utama (masalah utama) dalam proses itu?
· Apa yang menjadi akar penyebab dari masalah dalam proses itu?
· Apa yang merupakan sumber variasi dari proses itu?
Kaoru Ishikawa, seorang pakar kualitas berkebangsaan Jepang
menyatakan bahwa pertanda pertama dari masalah adalah gejala (symptoms),
bukan penyebab (causes). Karena itu perlu dipahami apa yang disebut sebagai
gejala (symptoms), penyebab (causes) dan akar penyebab (root causes). Bertanya
lima kali (atau lebih) akan mengarahkan kita untuk sampai pada akar penyebab
IV - 20
masalah, sehingga tindakan yang sesuai pada akar penyebab masalah yang
ditemukan itu akan menghilangkan masalah.
Langkah 5: Mengembangkan dan Menguji Ide-ide
Empat langkah diatas membangun kerangka dasar untuk memahami
dimensi kritis dari proses, dengan jalan mengidentifikasi proses kunci, mengukur
bagaimana baik atau jelek proses itu beroperasi dan memahami mengapa proses
itu beroperasi dengan caranya sendiri sehingga menimbulkan masalah. Keempat
langkah itu membantu kita mengidentifikasi penyebab-penyebab masalah utama.
Pengembangan ide-ide untuk perbaikan proses dimulai pada langkah kelima. Ide-
ide untuk perbaikan proses ditujukan langsung pada akar penyebab masalah.
Dengan demikian langkah 5 ini berusaha untuk mengembangkan dan menguji ide-
ide untuk perbaikan proses sebelum ide-ide terpilih itu diimplementasikan.
Langkah 6: Implementasi Solusi dan Evaluasi
Langkah keenam dalam model perbaikan proses ini dimulai dengan
perencanaan dan implementasi perbaikan-perbaikan yang diidentifikasi dan diuji
dalam langkah 5. Langkah 6 melanjutkan untuk mengukur dan mengevaluasi
efektivitas dari proses yang diperbaiki itu.
2.2.3 Sistem Pengendalian Kualitas
Secara tradisional, para pembuat produk (manufacturers) biasanya
melakukan inspeksi terhadap produk setelah produk itu selesai dibuat dengan
jalan menyortir produk yang baik dari yang jelek, kemudian mengerjakan ulang
bagian-bagian produk yang cacat itu. Dengan demikian, pengertian tradisional
tentang konsep pengendalian kualitas hanya berfokus pada aktivitas inspeksi
untuk mencegah lolosnya produk-produk cacat ke tangan pelanggan. Kegiatan
inspeksi ini dipandang sia-sia, karena tidak memberikan kontribusi kepada
peningkatan kualitas (quality improvement). Selanjutnya menurut Mitra (1998),
pengendalian kualitas secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem yang
digunakan untuk mencapai tingkatan kualitas yang diinginkan dari sebuah produk
atau jasa.
Salah satu ciri dari sistem pengendalian kualitas modern adalah bahwa di
dalamnya terdapat aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan
IV - 21
kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja.
Kualitas melalui inspeksi saja tidak cukup dan hal itu terlalu mahal. Meskipun
tetap menjadi persyaratan untuk melakukan beberapa inspeksi singkat terhadap
produk akhir, tetapi usaha pengendalian kualitas dari perusahaan seharusnya lebih
difokuskan pada tindakan pencegahan sebelum terjadinya kerusakan dengan jalan
melaksanakan aktivitas secara baik dan benar pada waktu pertama kali mulai
melaksanakan suatu aktivitas. Dengan melaksanakan prinsip ini, usaha
peningkatan kualitas akan mampu mengurangi ongkos produksi.
2.3 KONSEP DASAR SIX SIGMA
Beberapa konsep dasar yang seringkali digunakan dalam penerapan melalui
pendekatan Six Sigma akan dijelaskan berikut ini.
2.3.1 Sejarah Six Sigma
Six Sigma dimulai oleh Motorola ditahun 1980-an dimotori oleh salah
seorang engineer disana bernama Bill Smith atas dukungan penuh CEO-nya Bob
Galvin. Motorola menggunakan statistics tools diramu dengan ilmu manajemen
menggunakan financial metrics (yaitu Return on Investment, ROI) sebagai salah
satu metrics/alat ukur dari quality improvement process. Dalam
perkembangannya, 6σ bukan hanya sebuah metrics, namun telah berkembang
menjadi sebuah metodologi dan bahkan strategi bisnis.
Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. Mikel Harry dan
Richard Schroeder yang lebih lanjut membuat metode ini mendapat sambutan luas
dari petinggi Motorola dan perusahaan lain. Dalam perjalanan waktu, General
Electric (GE) mempopulerkan Six Sigma sebagai suatu trend dan membuat
perusahaan lain serta orang-orang berlomba-lomba mencari tahu apa itu Six Sigma
serta mencoba mengimplementasikannya di tempat kerja masing-masing. Dalam
hal ini, peran CEO (waktu itu) Jack Welch boleh dibilang sangat penting
mengingat dia orang yang menjadikan Six Sigma sebagai tulang punggung semua
proses di GE. Dari segi waktu, bisa dikatakan Six Sigma adalah hasil evolusi
terakhir dari quality improvement yang berkembang sejak tahun 1940-an.
2.3.2 Definisi Six Sigma
IV - 22
Greg Brue (2002) mendiskripsikan Six Sigma sebagai:
a) Konsep statistik untuk mengukur sebuah proses dimana tingkat kegagalannya
sebesar 3,4 kali kemungkinan dari 1 juta kegiatan yang sama;
b) Filsafat manajemen yang memfokuskan diri pada pembatasan kegagalan
melalui praktek yang mengutamakan pemahaman, pengukuran, serta
penyempurnaan proses.
Breyfogle (1999) mendefinisikan konsep ini sebagai sebuah metodologi
terstruktur yang mengusung pendekatan manajemen terintegrasi serta penggunaan
alat-alat kualitas untuk mengukur, memperbaiki proses dan mengurangi variasi
proses. dimana hanya terdapat 3,4 kecacatan yang dihasilkan dari setiap satu juta
kesempatan terjadinya kecacatan.
Ingle & Roe (2001) merumuskan Six Sigma sebagai pendekatan yang
melibatkan pengukuran dan penyempurnaan kapabilitas proses manajerial untuk
menghasilkan barang/jasa yang terbebas dari cacat.
Perusahaan Motorola mendefinisikan Six Sigma sebagai suatu metode atau
teknik pengendalian dan perbaikan kualitas secara dramatik yang merupakan
terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas.
Manggala (2005) mendefinisikan Six Sigma sebagai metode yang
memiliki sistematika yang jelas dalam memecahkan suatu permasalahan serta
memiliki prioritas terhadap “Pelanggan” dan “Pengukuran” sehingga dapat
menciptakan suatu pendekatan yang konsisten. Prinsip yang digunakan dalam
pendekatan konsep Six Sigma seperti mendefinisikan nilai dari sudut pandang
konsumen, memperhatikan dan mengutamakan pelanggan, menghilangkan variasi
pada proses, keterlibatan pihak manajemen dan karyawan, perbaikan
berkesinambungan sehingga tujuan peningkatan kualitas yang diinginkan
perusahaan dapat tercapai.
Sementara itu, Urdhwareshe (2000) mendefinisikan Six Sigma sebagai
sebuah pendekatan yang sangat tertib, yang digunakan untuk membatasi
penyimpangan dalam proses operasional, sehingga cacat produk menjadi kurang
dari 3,4 bagi 1 juta proses, barang, atau jasa tertentu.
Rumusan-rumusan tersebut mengarah pada pemahaman yang sama yaitu
Six Sigma merupakan falsafah manajemen yang praktis, komprehensif dan
IV - 23
fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis
melalui teknik pengendalian dan perbaikan kualitas secara dramatik dimana
proses hanya memiliki kemungkinan cacat (defects opportunity) sebanyak 3.4
buah dalam satu juta kesempatan. Six Sigma mengandung unsur-unsur
pemahaman, pengukuran, dan penyempurnaan yang berkesinambungan terhadap
perbaikan proses kegiatan demi kepuasan pelanggan, sehingga kemungkinan
terjadinya penyimpangan dapat ditekan sekecil-kecilnya.
2.3.3 Konsep Six Sigma Motorola
Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai
sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan atau jasa)
diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3.4
kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99.99966%
dari apa yang diharapkan pelanggan ada di produk tersebut. Semakin tinggi target
sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik, sehingga 6-sigma
otomatis lebih baik daripada 4-sigma dan seterusnya. Six Sigma dapat dipandang
sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan
pada kemampuan proses (process capability) (Gaspersz, 2002). Terdapat 6 aspek
kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six Sigma, yaitu: (1)
identifikasi pelanggan, (2) identifikasi produk, (3) identifikasi kebutuhan, (4)
identifikasi proses, (5) hindari kesalahan yang berakibat pemborosan pada proses,
serta (6) tingkatkan kemampuan proses menuju target sigma (Gaspersz, 2002).
Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six Sigma
process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean) setiap
CTQ individual dari proses industri terhadap nilai spesifikasi target (T) sebesar ±
1.5 sigma, sehingga akan menghasilkan 3.4 DPMO. Nilai pergeseran 1.5-sigma
ini diperoleh dari hasil penelitian Motorola atas proses dan sistem industri,
dimana menurut hasil penelitian bahwa sebagus-bagusnya suatu proses industri
(khususnya mass production) tidak akan 100 persen berada pada satu titik nilai
target tapi akan ada pergeseran sebesar rata-rata 1.5 sigma dari nilai tersebut
(Breyfogle III, 1999). Adapun Konsep Six Sigma Motorola dengan Pergeseran
1.5-sigma disajikan pada Gambar 2.2 berikut ini:
IV - 24
Sumber : Gasperz, 2002
Gambar 2.2 Konsep Six Sigma Motorola dengan Pergeseran 1.5-sigma
Perlu diketahui bahwa konsep Six Sigma Motorola dengan pergeseran nilai
rata-rata sebesar 1.5 sigma berbeda dengan konsep Six Sigma dalam distribusi
normal yang umum dipakai selama ini yang tidak mengizinkan pergeseran dalam
nilai rata rata dari proses (Gaspersz, 2002). Perbedaan ini ditunjukkan dalam
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan True 6-sigma dan Motorola 6-sigma
True 6-sigma process Motorola 6-sigma process
Batas Spesifikasi
Persentase yang memenuhi spesifikasi
DPMO Batas
Spesifikasi Persentase yang
memenuhi spesifikasi DPMO
± 1-sigma 68.27% 317300 ± 1-sigma 30.8538% 691462
± 2-sigma 95.45% 45500 ± 2-sigma 69.1462% 308538
± 3-sigma 99.73% 2700 ± 3-sigma 93.3193% 66.807
± 4-sigma 99.9937% 63 ± 4-sigma 99.3790% 6210
± 5-sigma 99.999943% 0.57 ± 5-sigma 99.9767% 233
± 6-sigma 99.9999998% 0.002 ± 6-sigma 99.99966% 3.4
Sumber : Gasperz, 2002
Hasil-hasil dari peningkatan kualitas dramatik yang diukur berdasarkan
persentase antara COPQ (Cost of Poor Quality) terhadap penjualan ditunjukkan
dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Pengaruh Pencapaian Sigma Terhadap DPMO dan COPQ
IV - 25
COPQ (Cost of Poor Quality)
Tingkat Pencapaian Sigma DPMO COPQ
1-Sigma 691462 (sangat tidak kompetitif) Tidak dapat dihitung
2-Sigma 308538 (rata-rata industri Indonesia) Tidak dapat dihitung
3-Sigma 66.807 25-40% dari penjualan
4-Sigma 6210 (rata-rata industri USA) 15-25% dari penjualan
5-Sigma 233 5-15% dari penjualan
6-Sigma 3.4 (industri kelas dunia) < 1% dari penjualan
Setiap penjualan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10% dari penjualan
Sumber : Gasperz, 2002
2.3.4 Metodologi Six Sigma
Secara umum Six Sigma memiliki 2 metodologi yang sering digunakan.
Ke-2 metodologi Six Sigma tersebut yaitu Define-Measure-Analyze-Improve-
Control (DMAIC) serta Design for Six Sigma (DFSS) to Define-Measure-
Analyze-Design-Verify (DMADV) (Banuelas and Anthony, 2003) dimana masing-
masing metodologi memiliki pengertian yang berbeda namun memiliki tujuan
yang sama yang akan dijelaskan sebagai berikut.
A. Six Sigma DMAIC
Metodologi Six Sigma DMAIC lebih memberi penekanan pada penemuan
kesalahan pada proses atau produk yang ada kemudian secara strategis
mengadakan perbaikan terhadap kesalahan tersebut menuju target Six Sigma.
Urutan fase kegiatan yang dilakukan pada metodologi ini yaitu:
Ø DEFINE
Pertama, manajemen perusahaan yaitu pimpinan-pimpinan perusahaan
(selanjutnya hanya disebut manajemen) yang ingin mencoba Six Sigma harus
mengidentifikasi dan mendefinisikan secara jelas permasalahan yang dihadapi.
Tidak menutup kemungkinan, manajemen harus memetakan proses kegiatan guna
memahami dan melokalisir masalah. Pada tahap ini terlebih dulu manajemen
harus memahami proses internal perusahaan yang sangat potensial mempengaruhi
mutu output (disebut critical to quality / CTQ).
Ø MEASURE
IV - 26
Tahap measure dilakukan untuk memvalidasi permasalahan, mengukur
permasalahan dari data yang ada.
Ø ANALYZE
Pada tahap ini manajemen berupaya memahami mengapa terjadi
penyimpangan dan mencari faktor-faktor yang paling mempengaruhi proses.
Setelah itu lalu mendata dan menganalisa hasil pengukuran performansi serta
menemukan sumber-sumber variasi penyebab permasalahan yang dominan
mengakibatkan penyimpangan.
Ø IMPROVE
Pada tahap improve, manajemen menetapkan dan mengimplementasikan
rencana tindakan perbaikan atau peningkatan yang ada dalam setiap proyek Six
Sigma untuk menghilangkan akar-akar penyebab dan mencegah berulang kembali.
Pada tahap pengembangan rencana tindakan (improve) ini, menurut Gaspersz
(2002), dapat dilakukan menggunakan metode 5W-2H.
Ø CONTROL
Pada tahap terakhir ini, manajemen harus mempertahankan perubahan-
perubahan yang telah dilakukan dalam rangka melestarikan hasil yang senantiasa
memuaskan pelanggan. Secara berkala manajemen tetap wajib membuktikan
kebenaran sambil memantau proses kegiatan yang sudah disempurnakan melalui
alat-alat ukur dan metode yang telah ditentukan sebelumnya untuk menilai
kapabilitas perusahaan.
B. DFSS to DMADV
Pada metodologi DFSS to DMADV program Six Sigma lebih ditekankan
pada merancang atau mendesain proses atau produk yang baru untuk
menggantikan proses atau produk sebelumnya. Hal ini biasanya dilakukan pada 2
kondisi, yaitu (1) ketika perusahaan sudah menembus level 5-sigma ke atas. Hal
ini dikarenakan pada umumnya perbaikan pada proses sangat sedikit sekali
memberikan dampak keuntungan secara finansial, sehingga memerlukan
terobosan baru dalam pengembangan proses ataupun produk, serta (2) ketika
produk yang dihasilkan sudah tidak kompetitif sama sekali di pasaran, sehingga
diperlukan produk baru yang inovatif.
IV - 27
Secara fase kegiatan (Define-Measure-Analyze-Design-Verify), hanya
terjadi perbedaan mencolok pada 2 fase terakhir, yaitu fase Design dan fase
Verify. Pada fase Design, inti kegiatan ditekankan pada pengembangan model
desain baru secara efektif dan efisien untuk proses dan atau produk yang akan
dihasilkan. Sedangkan fase Verify bertujuan sebagai verifikasi terhadap desain
yang telah dibuat apakah desain tersebut sudah sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan pasar (http://www.isixsigma.com/).
2.3.5 Istilah-Istilah Dalam Konsep Six Sigma
Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep Six Sigma Motorola yang
menjadi pendekatan ilmu dalam penelitian ini, maka perlu dipahami beberapa
istilah penting yang berlaku dan berkaitan dengan metode Six Sigma itu sendiri.
A. Data
Secara umum ada 2 tipe data:
1. Variable Data: disebut juga measurement atau continuous data. Data variabel
merupakan sebuah karakteristik pengukuran dari sebuah produk atau jasa
(Summers, 2000). Seperti namanya data ini adalah biasanya hasil
pengukuran/perhitungan, merupakan data yang kontinyu dari suatu range
tertentu. Contoh:
• Nilai Rupiah per satu US$ sepanjang tahun.
• Hasil pengukuran tinggi badan pada 1000 orang murid.
• Laju kecepatan fluida dalam pipa distribusi minyak.
2. Attribute Data: Sebuah karakteristik yang seringkali diasosiasikan dengan
sebuah produk atau jasa (Summers, 2000). Ciri khas dari data jenis ini adalah
tidak dilakukan pengukuran dan bersifat tidak kontinyu. Contoh:
• Jenis kelamin (pria/wanita).
• Jumlah kecelakaan per hari.
• Hasil ujian (lulus /tidak lulus).
• Jenis-jenis warna mobil (merah, hijau, hitam, dll).
Terdapat beberapa metode dalam hal pengumpulan data, diantaranya
melalui :
1. Kuesioner
IV - 28
Dalam penelitian survei, kuesioner merupakan alat untuk mengumpulkan
data. Analisa data kuantitatif didasarkan pada hasil kuesioner tersebut. Sebuah
kuesioner yang baik adalah kuesioner yang mengandung pertanyaan-pertanyaan,
yang diajukan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang lain
dari responden. Pertanyaan-pertanyaan kuesioner harus jelas dan mudah
dimengerti untuk mengurangi kesalahan interpretasi responden dalam pengisian
kuesioner.
2. Wawancara
Wawancara merupakan metode penggalian informasi yang sifatnya lebih
fokus dan mendalam.
B. Critical-to-Quality (CTQ)
Atribut-atribut atau karakteristik kualitas yang sangat penting untuk
diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan
pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-praktek
yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan (Gaspersz, 2002).
C. Defects
Defects atau kecacatan merupakan suatu kegagalan untuk memberikan apa
yang diinginkan oleh pelanggan. Dalam Six Sigma, defects merupakan segala
sesuatu yang paling ingin dihilangkan dan dihindari (Gaspersz, 2002).
D. Defects Per Million Opportunities (DPMO)
DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas
Six Sigma yang menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. Target dari
pengendalian kualitas Six Sigma Motorola adalah sebesar 3.4 DPMO, yang
seharusnya tidak diinterpretesikan sebagai 3.4 unit output yang cacat dari sejuta
unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai berikut: dalam satu
unit produk tunggal, terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu CTQ
(kesempatan tidak memenuhi keinginan pelanggan) adalah hanya 3.4 bagian dari
satu juta bagian produk tersebut (Gaspersz, 2002).
IV - 29
Penghitungan DPMO pada suatu produk untuk setiap kondisi
dimungkinkan berbeda-beda. Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung
DPMO suatu produk sesuai dengan beberapa kondisi adalah sebagai berikut:
a. Untuk produk dengan data atribut
DPMO = 1000000 * potensial CTQ * diperiksaunit jumlah
cacatunit jumlah . . . . . . . . (2.1)
b. Untuk produk data variabel memakai 2 batas spesifikasi (USL dan LSL)
DPMO = [P{z ≥ (USL - X ) / S} * 106] + [P{z ≤ (LSL - X ) / S} * 106]
untuk, USL : Upper Spesification Limit (batas spesifikasi atas)
LSL : Lower Spesification Limit (batas spesifikasi bawah)
X : nilai rata-rata proses
S : standar deviasi proses
c. Untuk produk data variabel memakai 1 batas spesifikasi (USL atau LSL)
DPMO = [P{z ≥ (USL - X ) / S} * 106]
DPMO = [P{z ≤ (LSL - X ) / S} * 106]
E. Variation (Variasi)
Variasi merupakan apa yang pelanggan lihat dan rasakan dalam proses
transaksi antara pemasok dan pelanggan tersebut. Atau dapat juga disebutkan
bahwa variasi adalah penyimpangan atau perbedaan antara keinginan atau
ekspektasi pelanggan dengan produk yang ada. Semakin kecil variasi akan
semakin diharapkan baik oleh pemasok (perusahaan) maupun oleh pelanggan
karena menunjukkan konsistensi dalam kualitas (Gaspersz, 2002).
Pada umumnya dikenal dua sumber atau penyebab timbulnya variasi, yang
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Variasi penyebab-khusus (special-causes variation) adalah kejadian-kejadian
di luar sistem yang mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus
dapat bersumber dari faktor-faktor: manusia, material, lingkungan, dan lain-
lain. Penyebab khusus ini memiliki pola-pola non acak (non random patterns)
sehingga dapat diidentifikasi / ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif
dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehinga
menimbulkan variasi.
IV - 30
2. Variasi penyebab-umum (common-causes variation) adalah faktor-faktor di
dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya
variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga
sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes).
Karena penyebab umum ini selalu melekat pada sistem, untuk
menghilangkannya kita harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan
hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak
manajemenlah yang mengendalikan sistem itu.
Suatu proses yang hanya mempunyai variasi penyebab umum (common-
causes variation) yang mempengaruhi outcomes merupakan proses yang stabil
karena penyebab sistem yang mempengaruhi variasi biasanya relatif stabil
sepanjang waktu. Variasi penyebab umum dapat diperkirakan dalam batas-batas
pengendalian yang ditetapkan dengan menggunakan peta-peta kontrol. Sedangkan
apabila variasi penyebab khusus terjadi dalam proses, proses itu akan menjadi
tidak stabil. Upaya-upaya menghilangkan variasi penyebab khusus akan
membawa proses ke dalam pengendalian proses menggunakan peta-peta kontrol
statistika. Adanya proses yang tidak stabil biasanya ditimbulkan oleh special-
causes variation. Sedangkan untuk common-causes variation biasanya sering
mengakibatkan terjadinya ketidakmampuan proses yang dapat dilihat dari nilai
kapabilitas proses yang rendah.
F. Tim Six Sigma
Brue (2002) mencatat pihak-pihak yang harus bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan Six Sigma di dalam perusahaan. Pihak-pihak tersebut meliputi:
v Executive leaders
Pimpinan puncak perusahaan yang komit untuk mewujudkan Six Sigma,
memulai dan memasyarakatkannya di seluruh bagian, divisi, departemen dan
cabang-cabang perusahaan.
v Champions
Yaitu orang-orang yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan
proyek Six Sigma. Mereka merupakan pendukung utama yang berjuang demi
IV - 31
terbentuknya black belts dan berupaya meniadakan berbagai rintangan/hambatan
baik yang bersifat fungsional, finansial, ataupun pribadi agar black belts berfungsi
sebagaimana mestinya. Bisa dikatakan Champions menyatu dengan proses
pelaksanaan proyek, para anggotanya berasal dari kalangan direktur dan manajer,
bertanggung jawab terhadap aktivitas proyek sehari-hari, wajib melaporkan
perkembangan hasil kepada executive leaders sembari mendukung tim pelaksana.
Sedangkan tugas-tugas lainnya meliputi memilih calon-calon anggota black belt,
mengidentifikasi wilayah kerja proyek, menegaskan sasaran yang dikehendaki,
menjamin terlaksananya proyek sesuai dengan jadwal, dan memastikan bahwa tim
pelaksana telah memahami maksud/tujuan proyek.
v Master Black Belt
Orang-orang yang bertindak sebagai pelatih, penasehat (mentor) dan
pemandu. Master black belt adalah orang-orang yang sangat menguasai alat-alat
dan taktik Six Sigma, dan merupakan sumber daya yang secara teknis sangat
berharga. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kemampuannya pada
penyempurnaan proses. Aspek-aspek kunci dari peranan master black belt terletak
pada kepiawaiannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tanpa mengambil
alih proyek/tugas/pekerjaan.
v Black Belts
Dipandang sebagai tulang punggung budaya dan pusat keberhasilan Six
Sigma, mengingat mereka adalah orang-orang yang memimpin proyek perbaikan
kinerja perusahaan, dilatih untuk menemukan masalah, penyebab beserta
penyelesaiannya, bertugas mengubah teori ke dalam tindakan, wajib memilah-
milah data, opini dengan fakta, dan secara kuantitatif menunjukkan faktor-faktor
potensial yang menimbulkan masalah produktivitas serta profitabilitas,
bertanggung jawab mewujudnyatakan Six Sigma. Mereka wajib memenuhi syarat-
syarat seperti: memiliki disiplin pribadi; cakap memimpin; menguasai
ketrampilan teknis tertentu; mengenal prinsip-prinsip statistika; mampu
berkomunikasi dengan jelas; mempunyai motivasi kerja yang memadai.
v Green Belts
Adalah orang-orang yang membantu black belts di wilayah fungsionalnya.
Pada umumnya green belts bertugas: secara paruh waktu di bidang yang terbatas;
IV - 32
mengaplikasikan alat-alat Six Sigma untuk menguji dan menyelesaikan problema-
problema kronis, mengumpulkan / menganalisis data, dan melaksanakan
percobaan-percobaan serta menanamkan budaya Six Sigma dari atas ke bawah.
Secara umum, Six Sigma menganut sistem organisasi top-down, dimana
peraturan, pelaksanaan dan keberhasilan proyek Six Sigma ditentukan oleh
pimpinan perusahaan. Susunan personel Six Sigma ditunjukkan dengan bentuk
piramid terbalik seperti pada Gambar 2.3. Posisi segitiga terbalik menunjukkan
implikasi kuat sebagai cara Six Sigma meresap ke dalam organisasi.
Sumber : Harry & Schroeder, 2000
Gambar 2.3 Hierarki Personil Six Sigma
2.3.6 Manfaat Six Sigma
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan Six Sigma
ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:
A. Dana
Dana berhubungan dengan biaya dan penghasilan yang didapatkan
perusahaan. Penyimpangan-penyimpangan dalam proses aktivitas perusahaan
yang dipandang “wajar” rawan menimbulkan biaya dan pengorbanan untuk:
pengerjaan ulang; bertambahnya cycle times & delays, yaitu waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan dari awal hingga akhir termasuk saat-
saat penantian (waiting time); berkurangnya laba perusahaan sebagai akibat
IV - 33
ketidakpuasan pelanggan; sirnanya peluang bisnis karena hilangnya keunggulan
bersaing; total cost of poor quality (COPQ), yaitu timbulnya biaya-biaya ekstra
karena output yang dihasilkan kurang memenuhi persyaratan seperti biaya
pemeriksaan ulang, perbaikan, penggandaan tugas, penggantian produk,
membayar ganti rugi, melayani keluhan, hilangnya pelanggan, rusaknya reputasi,
dll. Six Sigma membatasi terjadinya COPQ.
B. Kualitas
Merupakan tujuan utama penggunaan Six Sigma mengingat mutu
mengandung keunggulankeunggulan sebagai: pembangkit hasrat kerja karyawan;
unsur yang menanamkan sikap dan kebiasaan yang positif; pencipta gagasan di
pasar dan masyarakat; pemikat investor. Six Sigma bukan sekedar kualitas,
melainkan jenjang kualitas yang hampir sempurna (tingkat akurasinya 99,9997%).
C. Kepuasan Pelanggan
Adalah perasaan senang/gembira/bahagia/lega atau sebaliknya yang ada
pada diri pelanggan setelah membandingkannya dengan yang diharapkannya.
Harapan pelanggan terhadap kinerja barang/jasa yang akan dibeli bermula dari
harga jual produk, pengorbanan waktu, energi dan psikis ditambah berbagai
promosi yang diterimanya baik oleh aktivitas perusahaan maupun dari
pengalaman orang lain yang dikenalnya. Apabila:
- Persepsi atas kinerja barang/jasa yang dibeli melebihi harapannya, pelanggan
merasa sangat puas/kagum.
- Persepsi atas kinerja barang/jasa yang dibeli sama dengan harapannya,
pelanggan merasa puas
- Persepsi atas kinerja barang/jasa yang dibeli di bawah harapannya, pelanggan
merasa tidak puas dan kecewa.
Pelanggan terdiri dari: konsumen/pemakai akhir, yaitu orang-
orang/perusahaan/organisasi yang menggunakan sendiri barang dan jasa yang
telah dibeli, dan penyalur, yaitu orang-orang/perusahaan yang membeli barang
dan jasa untuk dijual lagi. Six Sigma membantu perusahaan untuk senantiasa
menyempurnakan kinerja proses, barang dan jasa yang dihasilkan, agar persepsi
pelanggan sama dengan harapannya.
D. Dampaknya bagi Karyawan
IV - 34
Jika manajemen perusahaan komit/bersepakat melaksanakan Six Sigma
guna menyempurnakan proses, memenuhi harapan pelanggan, menghemat biaya,
dll, maka dapat dipastikan bahwa para karyawan akan terdorong untuk menopang
sepenuhnya. Six Sigma meningkatkan moral kerja dan kebanggaan karyawan.
Walaupun tidak semua karyawan harus terlibat langsung pada kegiatan Six Sigma,
namun setiap individu mendapatkan peluang untuk berkontribusi secara signifikan
mengingat peranan tiap-tiap anggota organisasi untuk menyediakan/menopang
input yang diperlukan dalam proses tertentu.
E. Pertumbuhan Bisnis
Jika manajemen berhasil mewujudkan Six Sigma sehingga mampu
memenuhi harapan pelanggan secara efektif, dan kepuasan mereka bertambah-
tambah, pada gilirannya penghasilan perusahaan akan meningkat; akibatnya
tersedia dana yang memadai untuk mengembangkan perusahaan.
F. Keunggulan Kompetitif
Six Sigma menjanjikan kepada perusahaan-perusahaan pengguna untuk
memperoleh keunggulan bersaing antara lain melalui: penghematan biaya
operasional yang memungkinkan penetapan harga jual produk lebih bersaing;
memenuhi harapan dan kepuasan pelanggan secara efektif dan efisien;
memperoleh reputasi di bidang kualitas; mengembangkan budaya dan kebanggaan
berdedikasi pada pelanggan. Ada beberapa bukti bahwa perusahaan-perusahaan
yang telah melaksanakan Six Sigma memperoleh hasil seperti:
· General Electric (GE) mendapat tambahan laba $2 milyar dalam tahun
1999 saja.
· Motorola berhasil menghemat $15 milyar dalam 10 tahun pertama
pelaksanaannya.
· Allied Sigma menghemat $1,5 milyar.
2.4 TOOLS SIX SIGMA
Seperti kebanyakan penemuan sistem besar lainnya, Six Sigma bukanlah
sesuatu yang “baru sama sekali”. Dan sekalipun beberapa tema Six Sigma berasal
IV - 35
dari terobosan-terobosan yang cukup baru dalam pemikiran manajemen, tapi
fondasi dari tema-tema lainnya ada pada akal sehat (creative thinking). Hal ini
terlihat dari perspektif “Alat” yang digunakan pun merupakan sesuatu yang sangat
universal/umum sekali. Suatu implementasi atau program Six Sigma yang satu
dengan yang lain tidak harus menggunakan alat bantu yang sama persis.
Dikarenakan alat bantu tersebut sifatnya membantu, maka penggunannya
harus sesuai dengan keperluan yang dibutuhkan. Perlu dipahami penekanan
impelementasi atau program Six Sigma lebih berorientasi pada konsep dasar Six
Sigma bukan pada alat bantu yang digunakan. Beberapa alat bantu pendukung
yang sering digunakan dalam implementasi Six Sigma akan dijabarkan secara
lebih detil di bawah ini:
2.4.1 Analisis Gap
Analisis Gap adalah sebuah analisis yang menunjukkan hubungan antara
kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Contoh ini sangat luwes dan memberi
kemungkinan bagi sebuah perusahaan untuk menyadari bagaimana pentingnya
setiap karakteristik kualitas bagi para pelanggannya serta bagaimana mengadakan
perubahan menuju harapan dan kepuasan pelanggan. Analisis Gap terdiri dari
beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Customer requirements adalah daftar kebutuhan pelanggan yang dicari melalui
wawancara dan survey (voice of customer)
b. Customer importance adalah tingkat kepentingan pelanggan, merupakan rata-
rata pendapat responden yang dinyatakan dalam skala 1–5, dimana angka 5
menyatakan kebutuhan yang paling penting.
c. Customer satisfaction adalah tingkat kepuasan kualitas produk perusahaan
sebelum dilakukan peningkatan, menurut pendapat pelanggan yang dinyatakan
dalam skala 1–5, dimana angka 5 menyatakan konsumen sangat puas terhadap
kualitas produk saat ini.
2.4.2 Analisis Tingkat Kepentingan dan Kinerja
Analisis Tingkat Kepentingan - Kinerja (Importance-Performance
Analysis) digunakan untuk mengetahui atribut-atribut pelayanan jasa apa saja
IV - 36
yang dianggap penting atau tidak penting dan yang berkinerja baik atau tidak baik
oleh konsumen, dimana konsumen diminta memberikan penilaian terhadap
atribut-atribut pelayanan jasa yang dianggap penting atau tidak penting dan yang
berkinerja baik atau tidak baik dengan memberikan skor pada atribut-atribut
pelayanan jasa yang dimiliki oleh perusahaan (Supranto, 2001). Berdasarkan hasil
penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja, maka akan dihasilkan
suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan
tingkat pelaksanaannya oleh perusahaan yang disajikan pada Gambar 2.4.
Sumber : J. Supranto, (2001)
Gambar 2.4 Diagram Kartesius Tingkat Kepentingan dan Kinerja
Keterangan :
Kuadran A → Menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi
kepuasan pelanggan, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap
sangat penting, namun pihak manajemen belum melaksanakannya
sesuai keinginan pelanggan. Sehingga mengecewakan / tidak puas.
Kuadran B → Menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan
perusahaan, untuk itu wajib dipertahankannya. Dianggap sangat
penting dan sangat memuaskan.
Kuadran C→ Menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya
bagi pelanggan, pelaksanaannya oleh perusahaan biasa-biasa saja.
Dianggap kurang penting dan kurang memuaskan.
Kepentingan
Y
Pelaksanaan (Kinerja/ Kepuasan) 0
Prioritas Utama Pertahankan Prestasi
Prioritas Rendah Berlebihan
Kuadran A Kuadran B
Kuadran C Kuadran D
X
IV - 37
Kuadran D→ Menunjukkan faktor yang mempengaruhi pelanggan kurang
penting, akan tetapi pelaksanaannya berlebihan. Dianggap kurang
penting tetapi sangat memuaskan.
2.4.3 Diagram IPO (Input – Proses – Output)
IPO adalah diagram sederhana untuk melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi proses kita, serta apa output dan target yang kita inginkan dari
proses tersebut. Gambar 2.5 adalah sebuah contoh sederhana penggunaan IPO.
Sumber : Manggala (2005)
Gambar 2.5 Diagram Input-Proses-Output (IPO)
Dalam Perkembangannya, diagram IPO dikembangkan menjadi diagram
SIPOC dimana diagram ini merupakan alat bantu (tool) yang berfungsi untuk
mengidentifikasi keseluruhan aliran proses secara mendetil beserta hubungan
diantara aktifitas-aktifitas yang ada dalam aliran proses tersebut. Nama SIPOC
sendiri merupakan akronim dari lima elemen utama dalam sistem kualitas, yaitu:
· Suppliers, merupakan orang atau kelompok orang yang memberikan informasi
kunci, material atau sumber daya lain kepada proses. Jika suatu proses terdiri
dari beberapa sub proses, maka sub proses sebelumnya dapat dianggap sebagai
pemasok internal (internal suppliers)
· Inputs, adalah segala sesuatu yang diberikan oleh suppliers kepada proses.
· Processes, merupakan sekumpulan langkah yang mentransformasi dan secara
ideal menambah nilai kepada input (proses transformasi nilai tambah kepada
input). Suatu proses biasanya terdiri dari beberapa sub proses.
· Outputs, merupakan produk (barang dan atau jasa) dari suatu proses. Dalam
industri manufaktur output dapat berupa barang setengah jadi maupun barang
jadi serta informasi-informasi kunci dari proses.
PROSES INPUT OUTPUT
IV - 38
· Customers, merupaka orang atau sekelompok orang, atau sub proses yang
menerima output. Jika suatu proses terdiri dari beberapa sub proses, maka sub
proses sesudahnya dapat dianggap sebagai pelanggan internal (internal
customers).
Adapun skema contoh untuk diagram Suppliers – Input – Proses – Output
– Customers (SIPOC) akan disajikan dalam Gambar 2.6 di bawah ini:
Sumber : Gaspersz, 2002
Gambar 2.6 Skema Contoh Diagram SIPOC
Sering, kebutuhan atau persyaratan kunci Inputs dan Outputs ditambahkan
kedalam SIPOC, sehingga menjadi SIRPORC (Suppliers-Input Requirements-
Processes-Output Requirements-Customers). Persyaratan Inputs harus berkaitan
langsung dengan kebutuhan proses dan persyaratan Outputs harus berkaitan
langsung dengan kebutuhan pelanggan (Gaspersz, 2002). Adapun skema diagram
SIRPORC ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut ini:
Sumber : Gaspersz, 2002
Gambar 2.7 Skema Diagram SIRPORC
Model diagram SIRPORC dapat diterapkan pada keseluruhan proses yang
terkait termasuk sekuens (urutan) proses dan interaksinya dalam proyek Six
Sigma. Sebagai modifikasi, identifikasi langkah-langkah aktivitas beserta
Suppliers Inputs Processes Outputs Customers
Press Glazing Kiln Packing
kondisi dan syarat
didefinisikan
Requirements Requirements
Outputs Inputs Suppliers Processes
(Activities) Customers
IV - 39
deskripsinya dalam suatu proses yang terkait dapat menggunakan diagam alir
proses (process flowchart).
2.4.4 Peta Kendali Proses
Peta kendali proses digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya variasi
tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus
(special-causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum
(common-causes variation) yang menyebabkan ketidakstabilan pada proses (Juran
& Gryna, 1993). Pada dasarnya semua proses menampilkan variasi, namun pihak
manajemen harus mampu mengendalikan proses dengan cara menghilangkan
variasi penyebab-khusus dari proses tersebut, sehingga variasi yang melekat pada
proses hanya disebabkan oleh variasi penyebab-umum. Pada dasarnya peta
kendali proses digunakan untuk:
a. Menentukan apakah proses berada dalam pengendalian statistik (dalam
kondisi stabil) atau tidak.
b. Memantau proses terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil
secara statistikal dan hanya mengandung variasi penyebab-umum.
c. Membantu dalam penentuan kemampuan proses (process capability).
Unsur-unsur yang seharusnya ada dalam suatu peta kendali proses antara
lain:
a. Garis tengah (Central Line) yang biasa dinotasikan sebagai CL.
b. Sepasang batas kendali (Control Limits) di mana satu batas kendali
ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kendali atas
(Upper Control Limit), biasa dinotasikan sebagai UCL, dan yang lain
ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kendali
bawah (Lower Control Limit), biasa dinotasikan sebagai LCL.
c. Tebaran (plot) dari data nilai-nilai karakteristik kualitas yang
menggambarkan keadaan dari proses. Jika semua nilai yang ditebarkan
pada peta itu berada di dalam batas-batas kendali tanpa memperlihatkan
kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dianggap berada
dalam keadaan stabil atau terkendali secara statistikal. Namun, jika nilai-
nilai yang ditebarkan pada peta tersebut jatuh atau berada di luar batas-
IV - 40
batas kendali atau memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses
yang berlangsung dianggap di luar kendali secara statistikal sehingga perlu
diambil tindakan korektif untuk memperbaiki proses yang ada.
Definisi lain peta kontrol yang dipaparkan Dale (1994), dimana ia
menyatakan bahwa peta kontrol ialah sebuah teknik yang baik untuk pemecahan
masalah dalam menghasilkan peningkatan kualitas. Secara umum jenis peta
kendali proses ada 2 macam, yaitu peta kendali variabel dan peta kendali atribut.
Yang membedakan kedua jenis peta kendali ini adalah jenis data yang digunakan.
Peta kendali variabel menggunakan data variabel yang diperoleh dari suatu jenis
pengukuran. Sedangkan peta kendali atribut menggunakan data atribut yang
menggambarkan ukuran jumlah (biasanya kecacatan). Untuk selanjutnya akan
dipaparkan lebih jelas tentang jenis-jenis peta kendali baik peta kendali atribut
maupun variabel.
Control chart pada umumnya terdiri dari garis tengah dan control limit
pada plus-minus tiga standar deviasi, seperti ditunjukkan diatas. Lebih spesifik
lagi, control chart dibagi dalam 6 zone, yang akan memudahkan kita dalam
melihat apakah ada “kelainan” dalam proses kita. Aturan umum dalam
menentukan suatu proses di luar control adalah:
Ø Ada titik yang berada di atas garis UCL (upper control limit) atau di bawah
LCL (lower control limit).
Ø Dua atau tiga titik secara berurutan ada di zone A.
Ø Empat atau lima titik secara berurutan ada di zone B.
Ø Delapan atau lebih titik secara berurutan berada di atas garis tengah atau di
bawah garis tengah
Ø Delapan atau lebih titik menunjukkan trend naik atau turun
Ø Tigabelas titik secara berurutan ada di zone C hanya pada satu sisi (hanya pada
C atas maupun C bawah saja).
Ø Menunjukkan kecenderungan data seperti gergaji (naik turun secara drastis).
Berbagai peta-peta kontrol dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan
seperti ditunjukkan melalui diagram alir penggunaan peta-peta kontrol dalam
Gambar 2.8.
IV - 41
Sumber: Gaspersz, 2001
Gambar 2.8 Diagram Alir Penggunaan Peta-Peta Kontrol
A. Peta Kendali Variabel
Peta kendali variabel ini biasanya merupakan data hasil
pengukuran/perhitungan, merupakan data yang kontinyu dari suatu range tertentu.
Peta kendali yang termasuk peta kendali variabel antara lain:
1. Peta Kendali x dan R
Peta kendali x dan R digunakan untuk memantau proses yang
diukur berdasarkan data variabel. Peta kendali x digunakan untuk
memantau perubahan suatu sebaran atau distribusi suatu variabel dalam
hal lokasinya (pemusatannya). Peta kendali R digunakan untuk memantau
perubahan dalam hal penyebaran selisih antar ukuran contoh.
2. Peta Kendali x dan S
YA
YA YA YA
Tentukan Karakteristik Kualitas Sesuai
Keinginan Pelanggan
Apakah Data Atribut Berbentuk Proporsi
Atau Persentase ?
Apakah Data Atribut Berbentuk Banyaknya
Ketidaksesuaian ?
Apakah
Data Variabel ?
Apakah Proses Homogen atau Proses Batch Seperti Industri
Kimia, dll ?
Apakah
Ukuran Contoh Konstan ?
Apakah
Ukuran Contoh Konstan ?
Gunakan Peta Kontrol Individual : X-MR
Gunakan Peta
Kontrol X-Bar, R
Gunakan Peta Kontrol p atau np
Gunakan Peta
Kontrol p
Gunakan Peta Kontrol c atau u
Gunakan Peta
Kontrol u
TIDAK
TIDAK
TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA
IV - 42
Peta kendali x dan S hampir sama dengan peta kendali x dan R dan
akan berbeda jika digunakan untuk data dengan ukuran contoh (subgrup)
yang berjumlah lebih dari 10, jika kuran dari 10 ukuran contoh maka hasil
perhitungannya akan sama dengan ketika menggunakan peta kendali
x dan R.
B. Peta Kendali Atribut
Peta kendali atribut ini biasanya tidak dilakukan pengukuran dan bersifat
tidak kontinyu. Peta kendali yang termasuk atribut antara lain:
1. Peta Kendali p
Peta kendali p digunakan untuk mengukur proporsi cacat (tidak
memenuhi syarat spesifikasi yang ditetapkan) dengan menggunakan data
atribut..
Langkah-langkah pembuatan peta kendali p :
a. Menentukan ukuran contoh / subgrup yang cukup besar (n >30)
b. Mengumpulkan banyaknya subgrup (k) sedikitnya 20-25 subgrup
c. Menghitung untuk setiap subgrup nilai proporsi unit yang cacat, yaitu
subgroupukuran
cacatjumlahp
__
= . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.2)
d. Menghitung rata-rata dari p yaitu p-bar atau dapat dihitung melalui rumus:
ksitotalinspe
totalcacatp = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.3)
e. Menghitung batas kendali untuk peta kendali p :
UCL = n
ppp
)1(3
-+ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.4)
LCL = n
ppp
)1(3
-- . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.5)
f. Plot proporsi unit cacat dan amati apakah data tersebut berada dalam
pengendalian atau tidak.
Proses dipandang terkendali bila nilai p dari sample berada diantara
kedua batas kendali. Untuk diagram p diperlukan ukuran yang cukup besar
IV - 43
sehingga diperoleh peluang tinggi untuk menemukan keadaan di luar kendali
bila memang perubahan tertentu dalam p telah terjadi.
2. Peta Kendali - np
Peta kendali -np digunakan untuk mengukur jumlah unit cacat. Peta
kendali np dapat digunakan apabila ukuran contoh (n) adalah konstan dan
proporsi unit cacat relatif kecil.
3. Peta Kendali C
Peta kendali C digunakan untuk memantau jumlah cacat yang timbul
dari produk yang dihasilkan, bukan jumlah produk yang cacat. Peta
kendali ini tidak hanya digunakan untuk jumlah cacat dalam produk, tetapi
dapat digunakan untuk pengukuran yang menggunakan sebaran Poisson
sebagai peubahnya.
4. Peta Kendali U
Peta kendali U relative tidak berbeda dengan peta kendali C dalam
hal sama-sama menggunakan sifat dari sebaran Poisson. Perbedaannya
hanyalah terdapat pada peta kendali U spesifikasi tempat atau waktu yang
dipergunakan tidak harus sama. Tetapi yang membedakan dengan peta
kendali C adalah besarnya unit inspeksi yang perlu diidentifikasi.
2.4.5 Kapabilitas Proses
Kapabilitas proses adalah kemampuan proses untuk memproduksi atau
menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi atau kebutuhan yang diinginkan.
Kapabilitas proses merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan
proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang ditetapkan
oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan maupun
standar tertentu yang juga mengacu pada kepuasan pelanggan (Gaspersz, 2002).
Analisis kapabilitas adalah proses 2 tahap yang menyangkut:
1) Membawa proses ke dalam keadaan dari kontrol statistik untuk periode yang
masuk akal.
2) Membandingkan kinerja proses jangka panjang kepada persyaratan
manajemen atau perekayasa.
IV - 44
Penentuan kapabilitas proses untuk data atribut yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berkaitan
dengan jumlah kerusakan atau defect. Pada pengukuran kapabilitas proses,
terdapat dua jenis penghitungan yaitu kapabilitas proses yang digunakan untuk
mengukur tingkat kapablitas proses sigma berdasarkan output kecacatan proses
yang dihasilkan (Cp) serta indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk
mengukur kemampuan proses bersaing secara kompetitif di pasar global
berdasarkan batas-batas level sigma (Cpk).
Untuk mengukur tingkat kapabilitas proses, menurut Forrest (1999) secara
mudah didapatkan dari rata-rata proporsi atau tingkat dari produk yang tidak
sesuai. AIAG (1995) juga menyatakan bahwa jika diinginkan, dapat pula diartikan
sebagai proporsi produk yang sesuai dari spesifikasi yaitu:
Kapabilitas proses Cp = 1-p . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.6)
dimana :
p = Central line (CL) atau rata-rata proporsi
Semakin kecil central line atau rata-rata proporsi, maka kapabilitas proses
semakin baik.
Pengukuran indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur
kemampuan proses bersaing secara kompetitif berdasarkan batas level sigma (Cpk)
yang dapat dilakukan dengan cara mengkonversikan level sigma ke dalam indeks
kapabilitas proses (Mc Fadden, 1993). Penentuan indeks kapabilitas proses untuk
data atribut menggunakan pendekatan Motorola yang memungkinkan pergeseran
rata-rata proses sebesar s5,1± disajikan pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Kapabilitas Proses Sigma Terpusat dan Pergeseran Proses s5,1±
Proses Terpusat Pergeseran proses s5,1±
Level Sigma Cpk DPMO Level Sigma Cpk DPMO
3 1 2700 3 0,5 66.803
4 1,33 63 4 0,833 6.200
5 1,67 0.57 5 1,167 233
6 2 0.002 6 1,5 3,4 Sumber : Mc Fadden, 1993
Dimana dengan kriteria (Rule of Thumb) untuk indeks kapabilitas proses
(Mc Fadden, 1993) yaitu sebagai berikut:
IV - 45
Ø Cpk ≥ 1,5; maka proses dianggap mampu dan kompetitif
Ø Cpk antara 0,5 – 1,49; maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu
upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target yang diinginkan.
Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik dalam
melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.
Ø Cpk < 0,5; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk
bersaing di pasar global.
Dalam hubungan antara stabilitas dengan kapabilitas proses, terdapat
empat hasil kombinasi identifikasi, yang secara lengkap disajikan pada Tabel 2.4
sebagai berikut.
Tabel 2.4 Identifikasi Hasil Stabilitas dan Kapabilitas Suatu Proses
Status Proses
Stabilitas (Stability)
Kemampuan (Capability)
Kondisi proses Analisis
Tidak Tidak
· Keadaan proses diluar pengendalian
· Proses akan menghasilkan produk cacat terus menerus
Sistem industri berada dalam kondisi paling buruk
Ya Tidak
· Keadaan proses berada di dalam pengendalian
· Proses masih menghasilkan produk cacat
Sistem industri berada dalam status antara menuju peningkatan kualitas global
Ya Ya
· Keadaan proses berada di dalam pengendalian
· Proses tidak /sangat sedikit sekali menghasilkan produk cacat (zero defect)
Sistem industri berada dalam kondisi yang paling baik, merupakan target dari Six Sigma
Tidak Ya
· Proses berada di luar pengendalian
· Proses menimbulkan masalah kualitas secara sporadis
Sistem industri tidak dapat diperkirakan (unpredictable) dan tidak diinginkan (undesirable) oleh manajemen industri
Sumber: Buku Pedoman Implementasi Program Six Sigma karya Vincent Gasperz, hal 203.
2.4.6 Root Cause Analysis
IV - 46
Root Cause Analysis (RCA) adalah metode analisis terstruktur yang
mengidentifikasi akar penyebab (root causes) untuk suatu output yang tidak
memenuhi spesifikasi atau cacat (undesired product). Tujuan Root Cause Analysis
adalah mengidentifikasi akar penyebab secara detil sehingga kecacatan atau
permasalahan pada suatu produk dapat dihilangkan dan ditekan seminimal
mungkin (NASA, 2003). Akar penyebab (root cause) sendiri merupakan suatu
faktor (peristiwa, kondisi, organisasi, dll) yang baik secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan terjadinya kecacatan atau permasalahan (NASA, 2003).
Identifikasi terhadap akar penyebab dapat dilakukan melalui langkah-langkah
berikut:
a. Mendefinisikan secara detil permasalahan yang akan dianalisis
Langkah awal yang dilakukan dalam menganalisa Root Cause Analysis
(RCA) adalah dengan mendefinisikan permasalahan yang akan dianalisis
secara detil, sehingga jelas dalam identifikasi selanjutnya.
b. Pengumpulan data
Pengumpulan data bertujuan untuk mengidentifikasi fakta-fakta yang
terjadi di sekitar permasalahan. Adapun beberapa pertanyaan yang dapat
diajukan untuk mengidentifikasi fakta-fakta tersebut adalah
· Kapankah permasalahan atau output cacat terjadi?
· Dimanakah hal tersebut terjadi?
· Bagaimanakah kondisi yang ada sebelum permasalahan terjadi?
· Tindakan pengendalian apa saja yang seharusnya dapat mencegah
terjadinya permasalahan tetapi tidak dilakukan?
· Apa saja yang menjadi penyebab potensial dari permasalahan yang
terjadi?
· Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
permasalahan yang serupa di kemudian hari?
c. Membuat diagram faktor penyebab (causal factor tree)
Langkah ini berisi paparan detil secara visual dari data yang telah
dikumpulkan pada langkah sebalumnya. Ada banyak tool yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi langkah ini, seperti diagram sebab akibat,
fault tree analysis, barrier analysis dan lain-lain. Pemilihan tool yang tepat
IV - 47
sesuai permasalahan yang terjadi akan menghasilkan suatu analisis dan usulan
solusi yang tepat dan akurat.
d. Membuat usulan solusi untuk menghilangkan, meminimalkan atau
memodifikasi permasalahan yang terjadi
Tujuan secara keseluruhan dari suatu kegiatan pengendalian kualitas
adalah untuk meningkatkan kualitas itu sendiri, ini berarti bahwa penyebab
rendahnya kualitas tersebut harus segera diidentifikasi dan diperbaiki. Lebih jauh
lagi, penyebab kecacatan yang dominan harus segera diisolasi dan dihilangkan.
Sebuah tool yang sangat berguna untuk dapat mengidentifikasi, memaparkan, dan
memperbaiki penyebab kecacatan yang mungkin dari berbagai observasi yang
dilakukan adalah diagram sebab akibat. Tool ini juga sering disebut sebagai
diagram Ishikawa, karena ditemukan oleh Dr. Kaoru Ishikawa dari Universitas
Tokyo pada tahun 1943. Nama lain dari diagram ini adalah diagram tulang ikan
yang merujuk pada bentuk struktur yang ditampilkan.
Adapun secara umum, langkah-langkah yang diperlukan untuk membuat
diagram sebab akibat adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi karakteristik kualitas atau ukuran performansi untuk
hubungan sebab dan akibat.
b. Gunakan brainstorming yang terstruktur dan orang-orang yang
berpengalaman dan berpengetahuan luas untuk menentukan variabel kelas
umum yang menyebabkan kasus tersebut terjadi (mengidentifikasi tulang
besar).
c. Cari lebih lanjut faktor yang lebih terperinci dari variabel kelas umum yang
telah diidentifikasi tersebut (mengidentifikasi tulang kecil)
Dari data diatas, kemudian digambar menjadi diagram sebab akibat untuk
selanjutnya dicari penyebab-penyebab utama dari setiap tulang kecil yang sudah
teridentifikasi. Contoh bentuk umum diagram sebab akibat ditunjukkan pada
Gambar 2.9 berikut ini.
IV - 48
Gambar 2.9 Bentuk Umum Diagram Sebab Akibat
2.4.7 Failure Modes and Effect Analysis (FMEA)
Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) ialah suatu prosedur
terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin modus
kegagalan. FMEA menilai resiko-resiko yang berhubungan dengan potensi
kegagalan (failure) dan menyediakan dasar yang baik untuk pengklasifikasian
karakteristik (Pyzdek, 2001). Menurut Stamatis (1995), FMEA adalah sebuah
metode teknis yang digunakan untuk mendefinisikan, mengidentifikasi dan
menghilangkan potensial kegagalan, masalah, kesalahan dan sebagainya dari
suatu sistem, desain, proses dan pelayanan sebelum sampai kepada pelanggan
akhir.
Penggunaan FMEA pada awalnya adalah dalam industrial safety ataupun
reliability maintenance, namun belakangan banyak dipakai dalam berbagai
proses. Dari hasil FMEA, prioritas perbaikan akan diberikan pada komponen yang
memiliki tingkat prioritas (RPN) paling tinggi (Manggala, 2005). Beberapa
istilah/elemen yang terdapat dalam penggunaan Failure Modes and Effect
Analysis (FMEA):
1. Component: komponen dari sistem/alat yang kita analisis
2. Failure Mode: modus kegagalan yang sering terjadi
3. Failure Effect: akibat yang ditimbulkan jika komponen tersebut gagal seperti
disebutkan dalam failure mode
IV - 49
4. Severity: kuantifikasi seberapa serius kondisi yang diakibatkan jika terjadi
kegagalan yang akibatnya disebutkan dalam Failure Effect. Severity ini dibuat
dalam 5 level (1,2,3,4,5) yang menunjukkan akibat yang tidak berpengaruh (1)
sampai sangat serius (5)
5. Causes: apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan pada komponen
6. Occurrence: tingkat kemungkinan terjadinya kegagalan. Ditunjukkan dalam 5
level (1,2,3,4,5) dari yang hampir tidak pernah terjadi (1) sampai yang paling
mungkin terjadi/sulit dihindari (5)
7. Detection: menunjukkan tingkat kemungkinan lolosnya penyebab kegagalan
dari kontrol yang sudah kita pasang. Levelnya juga dari 1-5, dimana angka 1
menunjukkan kemungkinan untuk lewat dari kontrol/pasti terdeteksi sangat
kecil, dan 5 menunjukkan kemungkinan untuk lolos dari kontrol kita/tidak
terdeteksi adalah sangat besar
8. RPN: risk priority number, adalah hasil perkalian bobot dari severity,
occurance dan detection
. . . . . . . (2.7)
Hasilnya dapat kita gunakan untuk menentukan komponen dan failure
mode yang paling menjadi prioritas kita. Untuk analisis FMEA yang lengkap, juga
perlu mencantumkan action serta rencana yang dilakukan untuk menghindari atau
menghilangkan kegagalan, serta perubahan nilai SEVERITY (S), OCCURRENCE
(O), dan DETECTION (D) jika memang terjadi perubahan setelah kita merancang
suatu rencana.
2.4.8 Formulir 5W-2H
Rencana-rencana tindakan yang baik dapat dituangkan ke dalam formulir
5W-2H dengan urutan-urutan: What – When – Where – Who – Why – How – How
Much. Penjelasan mengenai metode 5W-2H secara terperinci disajikan dalam
bentuk Tabel 2.5 sebagai berikut:
RPN = BOBOT (S) X BOBOT (O) X BOBOT (D)
IV - 50
Tabel 2.5 Metode 5W-2H
Jenis 5W-2H Deskripsi Tindakan
Tujuan Utama
What
(Apa)
o Apa yang menjadi target utama dari perbaikan/peningkatan kualitas?
Alasan Kegunaan
Why
(Mengapa)
o Dimana rencana tindakan itu diperlukan? o Penjelasan tentang kegunaan dari rencana tindakan
yang dilakukan.
Merumuskan target sesuai dengan kebutuhan pelanggan
Lokasi Where
(Di mana) o Di mana rencana tindakan itu akan dilaksanakan? o Apakah aktivitas itu harus dikerjakan di sana?
Sekuens
(urutan)
When
(Bilamana)
o Bilamana aktivitas rencana tindakan itu akan terbaik untuk dilaksanakan?
o Apakah aktivitas itu dapat dikerjakan kemudian?
Orang Who
(Siapa)
o Siapa yang akan mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?
o Apakah ada orang lain yang dapat mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?
o Mengapa harus orang itu yang ditunjuk untuk mengerjakan aktivitas itu?
Mengubah sekuens (urutan) aktivitas atau mengkombinasikan aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan bersama.
Metode How
(Bagaimana)
o Bagaimana mengerjakan aktivitas rencana tindakan itu?
o Apakah metode yang digunakan sekarang, merupakan metode terbaik?
o Apakah ada cara lain yang lebih mudah?
Menyederhanakan aktivitas-aktivitas rencana tindakan yang ada.
Biaya How much
(Berapa)
o Berapa biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan aktivitas rencana tindakan itu?
o Apakah akan memberikan dampak positif pada pendapatan dan biaya (meningkatkan efektivitas dan efisiensi), setelah malaksanakan rencana tindakan itu?
Memilih rencana yang paling efektif dan efisien.
Sumber : Gaspersz, 2002
2.4.9 Tabel Action Planning for Failure Modes
Tabel Action Planning for Failure Modes ini berfungsi sebagai penentu
tindakan yang tepat sebagai solusi untuk modus-modus kegagalan yang memiliki
nilai resiko tertinggi (Stamatis, 1995). Pada tabel Action Planning for Failure
Modes untuk setiap design action/potensial solution dapat dibuat control design
validation berupa dokumen atau laporan untuk memvalidasi tiap solusi yang telah
dilaksanakan sehingga dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah
dilakukan dengan baik. Adapun Action Planning for Failure Modes biasanya
ditabelkan pada Tabel 2.6 sebagai berikut.
IV - 51
Tabel 2.6 Action Planning for Failure Modes
Rank Failure
Modes
Actionable
Cause
Design Action /
Potensial Solutions Design Validation
Peringkat tertinggi
dalam tabel FMEA
Modus kegagalan
yang terjadi
Penyebab yang
dapat dianalisa
Solusi-solusi
yang dapat dilakukan
Validasinya, berupa control dari action
Sumber : Stamatis, 1995
2.4.10 Run Chart
Run chart adalah penggambaran karakteristik kualitas sebagai fungsi dari
waktu. Gambar tersebut tidak merangkum berbagai informasi, tetapi memberikan
berbagai ide dari kecenderungan secara umum dan tingkat variabilitas proses. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 2.10.
DATA
Sumber : Mitra, 1993 WAKTU
Gambar 2.10 Run Chart
2.5 Penelitian Implementasi Six Sigma
Beberapa penelitian sebelumnya juga terkait dengan aplikasi metode Six
Sigma untuk menyelesaikan permasalahan dan integrasi metode Six Sigma dengan
metode yang lain. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dipaparkan sebagai
berikut :
IV - 52
- Salurante (2002) dalam penelitiannya memaparkan metode Six Sigma DMAIC
untuk menyelesaikan kasus pada lini produksi di PT.LG Philips Displays
Indonesia. Penelitian ini belum menganalisa secara mendalam modus
kegagalan yang terjadi dan belum terlihat perbaikan manajerial pada tahap
improve
- Kurniawan (2003) memaparkan Six Sigma sebagai alat pengendalian kualitas
di PT. Djuifa International Foods. Penelitian ini belum menganalisa perbaikan
teknis dan hanya sebatas perbaikan manajerial.
- Budiman (2004) mengimplementasikan metodologi Six Sigma DMAIC untuk
menurunkan jenis cacat benang di PT. Grand Textile Industri. Penelitian ini
belum menganalisa secara mendalam modus kegagalan yang terjadi dan
belum memasukkan unsur pelanggan di dalamnya.
- Saputra (2004) mendeskripsikan implementasi Six Sigma di GE Lighting
Indonesia.
- Agung (2004) mengimplementasikan pengendalian kualitas Six Sigma dengan
menggunakan metode DMAIC pada lini produksi final D serta lini top cabinet
dan CD-changer departemen audio PT. Sharp Yasonta Indonesia. Penelitian
ini belum terlihat perbaikan secara konkrit pada tahap improve.
- Agus (2004) mengusulkan program peningkatan kualitas Six Sigma dengan
metode define, measure, analyze, improve, control (DMAIC) terhadap proses
produksi lemari es di PT. Sharp Yasonta Indonesia.
- Amri (2005) menganalisa stabilitas dan kapabilitas proses Six Sigma dengan
metode define, measure, analyze, improve, control (DMAIC) terhadap proses
spinning benang katun di PT. Primissima. Penelitian ini belum menganalisa
secara mendalam modus kegagalan yang terjadi dan perbaikan serta
pengendalian yang dilakukan masih sebatas wacana.
- Ani (2006) merancang perbaikan kualitas sliver combing pada proses drawing
dengan metode Six Sigma DMAIC di PT. ADETEX. Penelitian ini
menggunakan data variabel. Penelitian ini belum menganalisa secara
mendalam pemetaan proses yang ada dan analisis gap yang digunakan tidak
dimanfaatkan dengan optimal serta tidak digunakannya analisis kuadran dalam
menentukan CTQ yang didapatkan dari analisis gap.
IV - 53
Tabel 2.7 memaparkan posisi penelitian ini dengan keberadaan penelitian-
penelitian sebelumnya yang terkait dengan implementasi Six Sigma DMAIC di
perusahaan.
Tabel 2.7 Posisi Penelitian
Tahapan Jenis Penelitian
DMAIC Penulis (Tahun)
Manufaktur Jasa Kuantitatif Kualitatif
Salurante (2002) Ö Ö
Kurniawan (2003) Ö Ö
Budiman (2004) Ö Ö
Saputra (2004) Ö Ö Ö
Agung (2004) Ö Ö
Agus (2004) Ö Ö
Amri (2005) Ö Ö
Ani (2006) Ö Ö
Penelitian ini (2006) Ö Ö Ö
Jenis penelitian yang dilakukan di PT. IKAD ini yaitu kuantitatif (Critical
to Quality (CTQ) prioritas tegel keramik, faktor-faktor apa saja yang secara
signifikan mempengaruhi terjadinya kecacatan di bagian kiln, serta bagaimana
memperbaiki dan mengendalikan kualitas proses tegel keramik di bagian kiln
yang ditinjau dari segi manajerial dan teknisnya) dan kualitatif (stabilitas,
kapabilitas proses, dan level sigma CTQ terseleksi, modus kegagalan yang terjadi
serta akibatnya pada proses produksi tegel keramik di bagian kiln). Penelitian ini
menganalisa prioritas Critical to Quality (CTQ) tegel keramik dan kegagalan
yang terjadi pada CTQ tersebut yang selanjutnya disertai dengan usulan solusi
perbaikan dan pengendalian proses.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
IV - 54
Bab ini membahas mengenai metode yang digunakan dalam penelitian
untuk pemecahan masalah dimana setiap pembahasan diuraikan dalam bentuk
tahapan yang terstruktur. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
3.1 IDENTIFIKASI AWAL PENELITIAN
Pada tahap ini dilakukan identifikasi awal penelitian melalui penguraian
dalam bentuk langkah-langkah yang sistematis seperti latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, perumusan tujuan penelitian, serta tinjauan
pustaka yang dilakukan untuk mendapatkan informasi terhadap studi lapangan
yang dilakukan.
3.1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah pada penelitian ini dilakukan pada dua hal utama,
yaitu identifikasi pada tempat penelitian beserta permasalahan yang terjadi serta
penentuan tema penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang telah
diidentifikasi sebelumnya.
Pada langkah awal ini dilakukan identifikasi masalah yang terjadi di PT.
IKAD Tangerang. Identifikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui permasalahan
apa yang sebenarnya terjadi di perusahaan. Pemilihan tempat penelitian ini
didasarkan pada kenyataan bahwa pabrik tegel keramik merupakan kebutuhan
yang cukup penting dewasa ini. Dengan teknologi dalam bidang ini yang hampir
stagnan, maka sistem perbaikan manajemen kualitas sangat diperlukan agar
perusahaan terus survive dalam persaingan pasar. Hal lainnya yang mendorong
dilakukannya penelitian di tempat ini ialah bahwa perusahaan masih belum dapat
memenuhi slogan yang dianut perusahaan itu sendiri, yaitu ”Utamakan Mutu dan
Pelanggan”. Hal ini diperkuat dengan kenyataan dari identifikasi awal penelitian
di departemen plant 3 PT. IKAD, dimana terjadi penurunan yang cukup signifikan
pada beberapa karakteristik kualitas yang penting untuk diperhatikan (Critical to
Quality (CTQ)) pada bagian kiln yang masih bermasalah.
Latar Belakang Masalah
Perumusan Masalah
IV - 55
Gambar 3.1. Tahapan Penelitian
3.1.2 Perumusan Masalah
Penetapan Tujuan Penelitian
Tinjauan Pustaka
Kesimpulan dan Saran
Pendefinisian CTQ Prioritas
Pengukuran Level Sigma
Pengukuran Kapabilitas Proses
Usulan Rencana Perbaikan
Analisis Pengaruh Potensial Kegagalan Sumber-Sumber Variasi
Penelusuran Akar Penyebab Masalah
Pemetaan Proses
Identifikasi Awal Penelitian
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Analisa dan Interpretasi Hasil
Kesimpulan dan Saran
Metode D-M-A-I-C
Improve & Control
Analyze
Measure
Define
Analisa dan Interpretasi Hasil
Pengukuran Stabilitas Proses
Identifikasi Kebutuhan Pelanggan
Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 1
Pengumpulan Data CTQ Prioritas
Usulan Pengendalian Kualitas Proses
Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 2
IV - 56
Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini diambil berdasarkan
kondisi yang terjadi pada departemen Plant 3 PT. IKAD. Rumusan masalah disini
ingin memperjelas apa Critical to Quality (CTQ) prioritas tegel keramik,
bagaimanakah stabilitas, kapabilitas proses, serta level sigma CTQ prioritas, apa
saja kegagalan yang sering terjadi serta akibatnya pada proses produksi tegel
keramik di bagian kiln, faktor-faktor apa saja yang secara signifikan
mempengaruhi terjadinya kecacatan di bagian kiln, serta bagaimana memperbaiki
dan mengendalikan kualitas proses tegel keramik di bagian kiln.
3.1.3 Penetapan Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan penjabaran dari perumusan masalah. Tujuan
penelitian juga merupakan output yang ingin dicapai atau dilakukan dalam sebuah
penelitian. Pada penelitian ini, tujuan difokuskan pada langkah-langkah yang
dilakukan untuk dapat menjawab perumusan masalah, yaitu untuk mengetahui
karakteristik yang penting bagi kualitas (CTQ) prioritas tegel keramik,
menganalisa stabilitas proses, kapabilitas proses dan level sigma CTQ prioritas
serta mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan menyebabkan
terjadinya kecacatan CTQ prioritas di bagian kiln, menganalisa modus kegagalan
yang terjadi berikut akibatnya pada proses produksi, serta memberikan usulan
perbaikan dan pengendalian proses terhadap masalah yang ditemukan.
3.1.4 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang dilakukan meliputi gambaran umum produk tegel
keramik, pengertian perbaikan kualitas, sistem pengendalian kualitas, konsep
dasar Six Sigma, penelitian-penelitian Six Sigma sebelumnya, dan lain-lain.
Tinjauan pustaka mempunyai fungsi yang sangat penting karena dapat digunakan
sebagai panduan untuk mendapatkan informasi terhadap studi lapangan yang
dilakukan. Studi literatur juga dilakukan dengan tujuan agar diperoleh gambaran
yang jelas pada masalah yang dibahas dalam penelitian ini, melalui informasi-
informasi yang berupa referensi, arsip perusahaan, laporan penelitian, buku
pedoman Six Sigma, informasi melalui situs internet mengenai konsep Six Sigma
IV - 57
dan jurnal-jurnal serta artikel-artikel terkait yang berhubungan dengan topik yang
diambil.
3.2 PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pada tahap ini dilakukan tahap pengumpulan dan pengolahan data. Jenis
data yang digunakan dalam pengumpulan data pada umumnya terdiri dari data
primer dan data sekunder, dimana metode pencarian data-data tersebut dipaparkan
sebagai berikut:
1. Data Primer
a. Wawancara (interview) dan Brainstorming
Pengumpulan data diperoleh secara langsung, dengan jalan melakukan
wawancara dan brainstorming. Tipe wawancara studi kasus yang digunakan
adalah open-ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci
yang berfungsi sebagai informan tentang fakta suatu peristiwa disamping opini
mengenai peristiwa yang ada. Pada penelitian ini wawancara dilakukan kepada
staf dan karyawan perusahaan untuk mengetahui proses produksi yang terjadi
serta masalah-masalah yang dihadapi. Adapun untuk daftar pertanyaan pada
proses wawancara disajikan pada Lampiran 8.
b. Kuesioner
Kuesioner yaitu metoda pengumpulan data dengan jalan melakukan
penyebaran angket kuesioner terhadap responden pada plant 3 khususnya pada
bagian kiln yang mengetahui secara jelas proses yang terjadi dimana hasilnya
akan digunakan dalam penentuan CTQ.
Daftar responden wawancara dan kuesioner selanjutnya disajikan pada
Tabel 3.1 berikut ini.
Tabel 3.1 Responden Wawancara dan Kuesioner
NO. RESPONDEN JUMLAH (Orang)
1 Koordinator Kiln 1
2 Kepala Departemen Plant 3 1
3 Kepala Bagian Kiln Plant 3 1
4 Kepala Regu Kiln Plant 3 1
5 Kepala Maintenance Plant 3 1
6 Karyawan exit kiln 6
IV - 58
Total 11
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data-data yang diperoleh secara tidak langsung.
Data ini diperoleh dari data historis perusahaan, studi literatur, penelitian
kepustakaan, dokumen-dokumen maupun dari arsip yang berhubungan dengan
penelitian yang diambil. Adapun data yang diambil ialah data laporan kualitas
bulan Januari 2006 dan Februari 2006 juga data-data yang berhubungan dengan
perusahaan tempat penelitian.
Adapun data-data perusahaan yang digunakan dalam penelitian ini
selanjutnya disajikan pada Tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2 Data-Data Perusahaan
No. Jenis Data Data Yang Diperoleh Tujuan Data
1 Tingkat kepuasan konsumen Mengetahui Tingkat kepuasan konsumen
2 Tingkat kepentingan kualitas Mengetahui Rating kepentingan kualitas
3 Data Karakteristik Kualitas Menentukan CTQ prioritas
4
Konsumen
Langsung
(exit kiln)
Suara Pelanggan Internal Mengetahui Suara Konsumen
5 Frekuensi Kecacatan Produk Mengetahui jumlah kecacatan produk
6 Pengukuran
Permukaan Tegel Keramik Mengetahui jumlah kecacatan Permukaan
Tegel Keramik
7 Mesin Waktu Perawatan Kembali Mengetahui kapan waktu perawatan
kembali
8 Bahan Baku Data bahan baku Data bahan baku yang Digunakan
9 Supplier Wilayah atau Daerah Supplier Salah satu elemen dalam pemetaan proses
dengan diagram SIRPORC
Setelah metode pengumpulan data dilakukan, selanjutnya dilakukan
pengolahan data meliputi kelima tahapan DMAIC meliputi tahap pendefinisian
(Define), pengukuran (Measure), analisis (Analyze), perbaikan (Improve) serta
pengendalian (Control).
3.2.1 TAHAP PENDEFINISIAN (DEFINE)
IV - 59
Pada tahap pendefinisian (Define) ini dilakukan pemetaan proses,
identifikasi kebutuhan pelanggan, perancangan dan penyebaran kuesioner serta
pendefinisian Critical to Quality (CTQ) prioritas.
A. Pemetaan Proses
Pemetaan proses bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi proses
produksi tegel keramik secara umum. Hal ini sangat penting mengingat penelitian
ini sangat erat kaitannya dengan proses produksi yang berlangsung, khususnya di
bagian kiln. Untuk mengidentifikasi tahapan ini, dilakukan wawancara dan
brainstorming terhadap para responden pada Tabel 3.1 diatas. Untuk
interpretasinya digunakan tool diagram alir (Flow Chart) dan diagram SIRPORC
(Suppliers-Input Requirements-Processes-Output Requirements-Customers).
B. Identifikasi Kebutuhan Pelanggan
Pelanggan yang disurvei merupakan pelanggan internal dimana di
dalamnya terdapat pelanggan langsung dan tidak langsung. Khusus pada
penelitian ini yang disurvei hanya pelanggan langsung yaitu pelanggan setelah
bagian kiln, dalam hal ini bagian exit kiln. Identifikasi kebutuhan pelanggan
bertujuan untuk mengetahui data karakteristik kualitas tegel keramik yang sering
diperhatikan pelanggan langsung di bagian exit kiln. Disebut pelanggan langsung
karena pada proses ini secara langsung menggunakan produk tegel keramik
tersebut. Pada penelitian ini pelanggan yang disurvey hanya difokuskan pada
pelanggan langsung yaitu pada bagian exit kiln serta kepala-kepala produksi pada
bagian kiln yang dianggap lebih mengetahui secara teknis karakteristik serta
kecacatan tegel keramik sehingga hasil wawancara dan kuesioner lebih valid.
Data dalam penelitian ini berasal dari hasil kuesioner dan wawancara
dengan pihak perusahaan, studi atas data historis berupa inspection report serta
observasi di lantai produksi. Responden wawancara dan kuesioner pada bagian
kiln Departemen Plant 3 dapat dilihat pada Tabel 3.1.
C. Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 1
Kuesioner pertama ini digunakan untuk mencari tingkat kepentingan dan
tingkat kepuasan pelanggan terhadap karakteristik kebutuhan yang telah
IV - 60
teridentifikasi. Responden dari kuesioner ini berjumlah 11 orang yang terdiri dari
para pimpinan dan karyawan bagian exit kiln yang mengerti secara detil proses
serta karakteristik kebutuhan tegel keramik tersebut. Berdasarkan identifikasi,
terdapat 5 pimpinan yang terdiri dari koordinator kiln, kepala departemen, kepala
bagian kiln, kepala regu kiln dan kepala maintenance dan 6 karyawan bagian exit
kiln departemen plant 3 yang memenuhi kriteria diatas.
Penyebaran kuesioner dilakukan melalui 2 tahap yaitu tahap pertama
untuk mendapatkan rating kepentingan dan tahap kedua untuk mendapatkan rating
kepuasan yang secara langsung dilakukan dengan mendatangi ke-11 karyawan
yang menjadi responden, agar persepsi yang dikemukakan dalam kuesioner sesuai
dengan persepsi yang diterima oleh responden. Dengan hal ini, maka diharapkan
hasil kuesioner menjadi lebih akurat. Bentuk kuesioner dan hasil pengumpulan
kuesioner akan disajikan dalam Lampiran 3 dan 4.
D. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Pengujian Validitas dan Reliabilitas dilakukan untuk mengetahui
kevalidan dan keandalan data yang terkumpul pada kuesioner di Lampiran 4.
Pengujian dilakukan menggunakan software SPSS versi 13.0.
Uji validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur
apa yang ingin diukur. Adapun rumus matematisnya adalah sebagai berikut:
( ) ( )( )[ ] ( )[ ]2222 YYnXXn
YXXYnr
S-SS-S
SS-S= ………………………….. (3.1)
dimana:
r : angka korelasi
n : jumlah responden
X : skor pertanyaan no.1
Y : skor total
Suatu pertanyaan dianggap valid jika nilai korelasi berada diatas angka kritis (α =
0,05 berdasarkan R tabel).
Uji reliabilitas adalah suatu angka indeks yang menunjukkan konsitensi
suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Teknik pengukuran
IV - 61
reliabilitas yang digunakan adalah teknik Cronbach’s Alpha. Teknik ini mencari
reliabilitas alat ukur dengan skor nilai berupa rentangan antara beberapa nilai.
Rumus yang digunakan adalah:
÷÷ø
öççè
æ S-÷
øö
çèæ
-=
2
2
11 11 t
b
kk
rss
………………………….. (3.2)
dimana:
r11 : reliabilitas alat ukur
k : banyaknya butir pertanyaan
σ2t : variansi total
Σσ2b : jumlah variansi butir
Rumus varian yang digunakan adalah:
( )
nnX
X2
2 SS
=s ………………………….. (3.3)
n : jumlah sample
X : nilai skor yang dipilih
Reliabilitas dicapai jika nilai r11 lebih besar dari angka kritis (α = 0,05
berdasarkan R tabel).
Adapun untuk hasil pengujian validitas dan reliabilitas serta Tabel R akan
disajikan dalam Lampiran 5 dan 6.
E. Pendefinisian CTQ Prioritas
Pengolahan data responden hasil wawancara dan kuesioner menggunakan
tool analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap yang bertujuan untuk
mengetahui karakteristik kualitas Critical to Quality (CTQ) yang akan difokuskan
untuk pembahasan lebih lanjut. Pendefinisian CTQ prioritas ini dimaksudkan agar
penelitian dapat lebih fokus dalam perbaikan proses pada CTQ prioritas.
Langkah-langkah penentuan CTQ prioritas menggunakan analisis tingkat
kepentingan - kinerja dan gap adalah sebagai berikut:
a. Penentuan customer requirements
IV - 62
Langkah awal ini menggambarkan karakteristik kebutuhan pelanggan
yang telah ditransformasi berdasarkan CTQ di exit kiln pada kuesioner
b. Penentuan customer importance
Langkah kedua ini dihitung dari nilai rata-rata dari hasil kuesioner pada
bagian tingkat kepentingan.
c. Penentuan customer satisfaction
Langkah ketiga ini dihitung dari nilai rata-rata dari hasil kuesioner pada
bagian tingkat kepuasan.
d. Penentuan kuadran kepentingan - kepuasan
Penggunaan Analisis Gap dapat dipadukan dengan menganalisis tingkat
kepentingan dan pelaksanaan agar dapat diketahui dimana tingkat kepentingan
pelanggan dan kepuasannya yang digambarkan ke dalam diagram kartesius.
Analisis tingkat kepentingan dan pelaksanaan (kinerja/kepuasan) dapat
dikelompokkan ke dalam 4 kuadran yang disajikan pada Gambar 2.4
e. Penentuan selisih nilai customer importance dengan customer satisfaction
Setelah penentuan kuadran kepentingan - kepuasan dilakukan, selanjutnya
dihitung selisih nilai customer importance dengan customer satisfaction yang
terdapat dalam kuadran A yang menjadi prioritas utama.
f. Penentuan CTQ prioritas
Penentuan CTQ prioritas didasarkan pada selisih terbesar antara customer
importance dan customer satisfaction untuk CTQ yang berada pada kuadran
A. Hasil dari langkah inilah yang untuk selanjutnya akan dibahas lebih
mendalam.
3.2.2 TAHAP PENGUKURAN (MEASURE)
Pada tahap pengukuran (measure) dilakukan pengukuran level sigma yang
dilakukan dengan mengkonversikan hasil jumlah kecacatan dalam Defect per
Million Opportunities (DPMO) ke dalam level sigma. Data yang digunakan ialah
data atribut sampling kecacatan CTQ prioritas pada proses kiln pada bulan Januari
dan Februari 2006. Pada tahap ini dilakukan pula pengukuran kapabilitas proses
dengan menggunakan indeks kapabilitas yaitu apabila proses yang telah diukur
kapabilitasnya selanjutnya dikonversikan ke dalam tabel konversi level sigma
IV - 63
dimana selanjutnya akan diketahui apakah proses dapat dikatakan baik dan
mampu serta sebaliknya dengan menggunakan rule of thumb. Aktivitas pada tahap
ini dijabarkan secara detil sebagai berikut:
A. Pengumpulan Data CTQ Prioritas
pengukuran CTQ yang diprioritaskan terdapat dalam bagian ini. Data yang
dikumpulkan merupakan jenis data sekunder dimana data diambil setelah
karyawan QA (Quality Assurance) melakukan sampling. Data ini akan digunakan
dalam penghitungan level sigma, stabilitas, serta kapabilitas proses.
B. Pengukuran Level Sigma
Salah satu parameter kunci keberhasilan penerapan konsep Six Sigma
dapat dilihat dari hasil perhitungan level sigma pada output proses yang
merupakan ukuran pencapaian target menuju tingkat kegagalan nol (zero defect)
dimana semakin tinggi level sigma akan membuat tingkat kecacatan yang
diproduksi per satu juta kesempatan (DPMO) semakin rendah, sehingga produk
tersebut akan semakin memenuhi ekspektasi dari pelanggan.
Langkah-langkah dalam mengukur level sigma ialah sebagai berikut :
1. Menghitung jumlah kecacatan tiap unit produk
Defect per Unit = UD
......................................(3.4)
Dimana : D = Unit yang cacat
U = Unit yang diinspeksi
2. Menghitung total peluang kecacatan
Total Opportunities = U x OP ......................................(3.5)
Dimana : U = Unit yang diinspeksi
OP = Opportunities
g. Menghitung Jumlah kecacatan tiap peluang kecacatan
Defect Per Opportunities (DPO) = TOP
D ......................................(3.6)
h. Mengukur Jumlah kecacatan tiap satu juta peluang terjadinya kecacatan
Rumus DPMO terdapat pada persamaan (2.1).
IV - 64
i. Mengukur level sigma yang dilakukan dengan mengkonversikan tingkat
kecacatan yang diproduksi per satu juta kesempatan (DPMO) yang dapat
dilihat pada tabel di Lampiran 7.
Perhitungan level sigma ini menggunakan konsep dari Six Sigma Motorola
dimana pada prosesnya mengijinkan bergesernya nilai target rata-rata (mean)
setiap CTQ individual dari proses sebesar ± 1.5 sigma.
C. Pengukuran Stabilitas Proses
Pada bagian ini dilakukan stabilitas proses dimana proses ini
menggambarkan kondisi proses untuk menghasilkan suatu produk yang nilainya
stabil (tidak mudah berubah) dari waktu ke waktu. Tahap ini dilakukan untuk
mengetahui apakah suatu proses telah stabil dimana stabilitas ini merupakan
syarat untuk perhitungan kapabilitas proses.
Tool yang digunakan untuk mengidentifikasi stabilitas proses adalah
menggunakan peta kendali proses. Penelitian ini menggunakan peta kendali p
dimana peta ini digunakan untuk mengukur proporsi jumlah unit cacat. Peta
kendali p dapat digunakan apabila ukuran contoh (n) adalah konstan. Langkah-
langkah pembuatan peta kendali p :
1. Menentukan ukuran contoh / subgrup yang cukup besar (n >30)
2. Mengumpulkan banyaknya subgrup (k) sedikitnya 20-25 subgrup
3. Menghitung proporsi total cacat (p) untuk setiap subgrup
4. Menghitung rata-rata dari p yaitu p
5. Menghitung batas kendali untuk peta kendali p :
Rumus dalam penghitungan UCL mengacu pada persamaan (2.4).
Rumus dalam penghitungan LCL mengacu pada persamaan (2.5).
6. Plot data dari setiap subgrup yang diperiksa dan amati apakah data
tersebut berada dalam pengendalian atau tidak.
D. Pengukuran Kapabilitas Proses
Kapabilitas proses merupakan parameter Six Sigma yang dilihat dari sudut
pandang proses itu sendiri. Kapabilitas proses menunjukkan kemampuan dari
IV - 65
proses untuk dapat memenuhi spesifikasi yang diinginkan, baik spesifikasi target
maupun batas-batas toleransi. Pada pengukuran kapabilitas proses data atribut,
terdapat dua jenis penghitungan yaitu kapabilitas proses yang digunakan untuk
mengukur tingkat kemampuan proses berdasarkan output rata-rata kecacatan
proses yang dihasilkan (Cp) serta indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk
mengukur kemampuan proses bersaing secara kompetitif di pasar global
berdasarkan batas-batas level sigma (Cpk).
Adapun langkah-langkah dalam mengukur kapabilitas proses ialah sebagai
berikut:
1. Mengukur Kapabilitas proses output rata-rata proses Cp
Penelitian ini menggunakan data atribut dengan menggunakan Kapabilitas
proses output rata-rata proses Cp berikut: Rumus dalam pengukuran Kapabilitas proses (Cp) terdapat pada
persamaan (2.6).
2. Mengukur Indeks Kapabilitas proses Cpk
Indeks kapabilitas proses dilakukan dengan cara mengkonversi level
sigma yang didapatkan dari tahap pengukuran level sigma sebelumnya dengan
cara interpolasi dari Tabel 3.3 berikut ini:
Tabel 3.3 Konversi Level Sigma, Indeks Kapabilitas Proses dan DPMO
Pergeseran Proses s5,1± Level Sigma
Cpk DPMO
3 0,5 66.803
4 0,833 6.200
5 1,167 233
6 1,5 3,4
Sumber : Mc Fadden, 1993
Perlu diketahui pula bahwa pengukuran kapabilitas proses hanya dapat
dilakukan apabila proses berada dalam kondisi yang terkendali pada tahap
stabilitas proses. Jika proses sudah stabil, maka pengukuran kemampuan proses
IV - 66
dapat dilakukan, namun jika proses belum stabil maka proses harus distabilkan
terlebih dahulu dengan membuang data yang keluar batas spesifikasi.
3.2.3 TAHAP ANALISIS (ANALYZE)
Pada tahap Analisis (Analyze) ini dilakukan analisis akar penyebab
masalah serta menganalisis pengaruh potensial kegagalan sumber-sumber variasi
penyebab permasalahan dengan menganalisa Failure Modes Effect Analysis
(FMEA) dimana data didapatkan dari hasil kuesioner terhadap pihak karyawan
perusahaan.
A. Penelusuran Akar Penyebab Masalah
Pada tahap ini akan dianalisis dan ditelusuri akar variasi penyebab
masalah yang menyebabkan penyimpangan pada proses produksi dimana fokus
Six Sigma ialah mengurangi variasi karena setiap individu atau organisasi yang
menjadi pelanggan perusahaan akan ‘merasakan’ variasi itu, bukan merasakan
rata-rata. Analisis akar penyebab permasalahan dalam penelitian ini ialah dengan
Root Cause Analysis (RCA) menggunakan alat bantu kualitas Fishbone Diagram
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan Permasalahan
2. Mengumpulkan data dan informasi dimana pada penelitian ini menggunakan
metode observasi langsung, wawancara, serta brainstorming dengan pihak
perusahaan.
3. Menyeleksi penyebab yang mengganggu kualitas proses dimana dalam
penelitian ini akan menggunakan tool diagram Fishbone dengan 6M yaitu
Manpower-Manusia, Method-Metode, Measurement-Pengukuran, Matetrial-
Bahan baku, Machine-Mesin, dan Mother nature-Lingkungan
4. Spesifik dalam menentukan permasalahan dan penyebabnya
5. Mengidentifikasi apa saja yang menjadi penyebab yang mengakibatkan defect
terseleksi
6. Menganalisa secara detil keseluruhan hasil dari diagram Fishbone yang telah
diidentifikasi.
IV - 67
B. Perancangan dan Penyebaran Kuesioner 2
Kuesioner kedua ini digunakan untuk mencari nilai Severity, Occurence,
dan Detection yang akan digunakan pada tahap Failure Modes and Effect Analyze
(FMEA). FMEA dalam penelitian ini membahas khusus pada bagian mesin dan
peralatan dikarenakan FMEA (Failure Modes and Effect Analysis) lebih optimal
apabila diterapkan pada permasalahan hardware, seperti mesin dan peralatan.
Responden dari kuesioner ini berjumlah 11 orang, terdiri dari para pimpinan dan
karyawan bagian exit kiln yang mengerti secara detil proses produksi tegel
keramik tersebut dimana dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner secara
langsung dengan mendatangi responden, agar persepsi yang dikemukakan dalam
kuesioner sesuai dengan persepsi yang diterima oleh responden. Adapun bentuk
kuesioner dan hasil pengumpulan kuesioner akan disajikan dalam Lampiran 8
bagian 2.
C. Analisis Pengaruh Potensial Kegagalan Sumber-Sumber Variasi
Pada tahap ini akan dilakukan analisis dan perhitungan secara detil setiap
sumber variasi penyebab masalah dan menentukan prioritas penanganan
perbaikan permasalahan yang disebabkan oleh faktor penyebab yang telah
diidentifikasi sebelumnya dengan menggunakan tools Failure Modes Effect
Analysis (FMEA).
Rumus dalam penghitungan Failure Modes Effect Analysis (FMEA)
terdapat pada persamaan (2.7).
Nilai severity, occurrence dan detection diperoleh berdasarkan hasil
kuesioner dengan koordinator kiln, kepala departemen, kepala bagian kiln, kepala
regu kiln serta kepala maintenance yang memahami karakteristik tegel keramik
lebih mendalam. Adapun hasil wawancara tersebut disajikan dalam Lampiran 8.
Langkah-langkah dalam penggunaan tools Failure Modes Effect Analysis
(FMEA) untuk mendapatkan nilai RPN (Risk Priority Number) tertinggi menurut
Stamatis (1995) yaitu sebagai berikut:
1. Identifikasi Sistem (System’s Function)
IV - 68
Tahap awal dalam menganalisa Failure Modes Effect Analysis (FMEA)
ialah dengan mengidentifikasi sistemnya terlebih dahulu.
2. Identifikasi Kegagalan Potensial (Potential Failure Mode)
Langkah selanjutnya mengidentifikasi masalah-masalah atau kegagalan
potensial yang menyebabkan sistem tidak memenuhi atau tidak mencapai
fungsi utamanya.
3. Identifikasi Akibat Kegagalan (Potential Effect Of Failure)
Pada langkah ketiga ini dilakukan analisis akibat atau dampak yang timbul
pada masing-masing masalah kegagalan yang telah diidentifikasi pada
potential failure mode.
4. Analisis Tingkat Keseriusan Kegagalan (Severity Of Effect)
Langkah selanjutnya dilakukan analisis seberapa besar dampak yang
ditimbulkan oleh kegagalan-kegagalan yang muncul pada sistem.
5. Identifikasi Sebab-Sebab Kegagalan (Potential Causes Of Failure)
Pada tahap ini dilakukan identifikasi sebab-sebab apa saja yang
menyebabkan kegagalan pada mesin kiln, misalnya dengan menggunakan tool
Fishbone diagram.
6. Analisis Frekuensi Kegagalan (Occurrence)
Langkah keenam ini dilakukan analisis terhadap seberapa sering
kegagalan (occurrence) terjadi.
7. Metode Deteksi Kegagalan (Detection Method)
Pada tahap ini dilakukan identifikasi metode untuk mendeteksi kegagalan
(failure mode) sistem mencapai performansinya.
8. Analisis Tingkat Pendeteksian (Detection)
Pada langkah kedelapan ini dilakukan analisis tingkat keyakinan dan
kesulitan metode deteksi. Analisis dilakukan terhadap semua metode deteksi
yang telah dirumuskan pada detection method.
9. Penghitungan Risk Priority Number (RPN)
Pada tahap ini dilakukan perhitungan risk priority number (RPN) untuk
mengidentifikasi failure mode yang perlu diprioritaskan untuk dianalisis dan
ditindaklanjuti, karena dianggap menjadi sumber kegagalan utama sistem.
IV - 69
Penghitungan RPN yaitu dengan cara mengalikan tingkat severity dengan
tingkat occurrance dan dengan tingkat detection.
3.2.4 TAHAP PERBAIKAN (IMPROVE) DAN PENGENDALIAN
(CONTROL)
Pada tahap ini diberikan usulan perbaikan dan pengendalian yang
didapatkan dari interpretasi hasil. Tahap perbaikan dilakukan untuk segi
manajerial dan teknis berdasarkan hasil yang didapatkan pada tahap sebelumnya.
Tahap pengendalian dilakukan agar proses selalu dapat berjalan dalam kondisi
yang baik, dan menjamin bahwa perbaikan yang ada dijalankan sehingga cacat
serta kegagalan pada proses kiln tidak terulang kembali.
A. Usulan Perbaikan (Improve)
Usulan perbaikan diberikan kepada nilai RPN (Risk Priority Number)
terbesar yang didapatkan dari FMEA (Failure Modes Effect Analysis) serta
kepada CTQ prioritas. Rencana-rencana tindakan perbaikan perlu dibuat suatu
rencana tindakan yang disusun dalam suatu tabel dengan menggunakan metoda
5W+2H, dimana dijelaskan tujuan utama (What), alasan perbaikan (Why), tempat
perbaikan (Where), waktu pelaksanaan (When), orang yang mengerjakan (Who),
dan metoda yang dipakai (How), namun analisa How much tidak dilakukan
mengingat penelitian ini tidak memperhitungkan biaya.
Dari hasil analisa sumber-sumber variasi penyebab masalah melalui
metode FMEA (Failure Modes Effect Analysis) pada tahap sebelumnya, maka
pertama akan diberikan usulan perbaikan untuk nilai RPN (Risk Priority Number)
tertinggi. Proyek peningkatan kualitas Six Sigma dilakukan dengan melakukan
tindakan perbaikan terhadap proses dan komunikasinya yang dilakukan secara
menyeluruh. Usulan perbaikan berikutnya berkaitan sangat erat terhadap hasil
langkah penentuan Critical to Quality (CTQ). Selain itu juga dilakukan Action
Planning for Failure Modes yang menyangkut usulan rencana perbaikan pada
proses yang secara umum bertujuan untuk menghilangkan sumber variasi khusus
(special-causes variation) serta meminimalkan sumber variasi umum (common-
causes variation) agar mampu meningkatkan pengendalian dan kapabilitas proses
menuju tingkat kinerja 6 sigma (zero defect).
IV - 70
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka perbaikan pada suatu
karakteristik teknis tertentu akan dapat berdampak positif pada peningkatan
kualitas karakteristik teknis lainnya serta dapat mengakomodasi keinginan
pelanggan di beberapa aspek kebutuhan. Usulan perbaikan diberikan jika dalam
hasil pengukuran pengendalian dan kapabilitas prosesnya mempunyai
permasalahan pada proses yang berkaitan erat dengan kualitas produk.
B. Usulan Pengendalian (Control)
Usulan pengendalian diberikan untuk RPN (Risk Priority Number)
terbesar yang didapatkan dari FMEA (Failure Modes Effect Analysis) serta untuk
CTQ prioritas. Usulan pengendalian yang diberikan lebih dititikberatkan pada
pengendalian terhadap kualitas prosesnya dalam pencapaian tingkat 6 sigma.
Usulan pengendalian juga harus melihat usulan perbaikan sebelumnya agar proses
selalu dapat berjalan dalam kondisi yang baik, dan menjamin bahwa perbaikan
yang ada dijalankan sehingga cacat serta kegagalan di tempat yang sama tidak
terulang kembali sehingga target pencapaian menuju zero defect diharapkan dapat
tercapai.
3.3 ANALISA DAN INTERPRETASI HASIL
Pada tahap ini dilakukan analisa dan interpretasi hasil dari penelitian yang
dilakukan. Bagian ini terdiri dari analisa dan interpretasi hasil terhadap kelima
tahap dalam Six Sigma DMAIC yaitu tahap Define, Measure, Analyze, Improve
dan Control. Secara jelas akan dianalisa CTQ prioritas yang didapatkan,
pengukuran stabilitas, kapabilitas proses dan level sigma, menganalisa penyebab
kecacatan dan menganalisa tabel FMEA (Failure Modes Effect Analysis), serta
menganalisa usulan perbaikan dan pengendalian proses yang diberikan kepada
perusahaan. Pada tahap ini dapat diketahui dan dianalisis apakah perusahaan
mampu dalam menjalankan prosesnya, pada tingkat sigma berapa perusahaan
berproduksi, apakah sebelumnya telah dilakukan upaya-upaya perbaikan,
semuanya akan dianalisis pada tahap ini.
3.4 KESIMPULAN DAN SARAN
IV - 71
Tahap ini merupakan tahapan terakhir dari penelitian yang di dalamnya
berisi kesimpulan penelitian yang dikemukakan dari hasil analisa penelitian dan
pemecahan persoalan serta saran-saran perbaikan yang dikemukakan dari hasil
analisa penelitian yang dilengkapi juga dengan saran-saran perbaikan untuk
penelitian serupa yang mungkin akan dilakukan di masa mendatang.
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini membahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data secara
lengkap dari tahapan Six Sigma yang digunakan yaitu dari tahapan pendefinisian,
pengukuran, analisa, serta perbaikan dan pengendalian (DMAIC). Langkah-
langkah dan tahapan pengumpulan dan pengolahan data beserta hasilnya
selanjutnya disajikan berikut ini.
4.1 TAHAP PENDEFINISIAN (DEFINE)
Pada tahap pendefinisian (Define) ini dilakukan pemetaan proses,
identifikasi kebutuhan pelanggan, perancangan dan penyebaran kuesioner serta
pendefinisian Critical to Quality (CTQ) prioritas.
4.1.1 PEMETAAN PROSES
Pemetaan proses disajikan dalam suatu aliran proses keseluruhan
perusahaan yang disajikan pada Lampiran 1 dimana garis putus-putus berwarna
hitam menunjukkan aliran proses inti Departemen Plant 3. Selanjutnya
digambarkan pula proses di Departemen Plant 3 dengan menggunakan diagram
Suppliers - Input Requirements - Process - Output Requirements - Customers
(SIRPORC) yang berisi keterangan proses produksi tegel keramik, meliputi
supplier (pemasok) bahan baku yaitu pemasok clay beserta filsfat dan Afal, Input
Requirements (persyaratan spesifikasi masukan) bahan baku yang akan digunakan
dalam pembuatan tegel keramik, proses produksi pembuatan tegel keramik kode
GE serta Output Requirements (persyaratan spesifikasi keluaran) dari tegel
keramik kode GE serta Customers (pelanggan) langsung dari tegel keramik
IV - 72
Feeding Kiln Kiln Exit Kiln
tersebut. Proses lebih detil dari tegel keramik tersebut dapat dilihat pada diagram
pemetaan lengkap yang dijabarkan pada Lampiran 2. Pembahasan khusus pada
penelitian ini dititikberatkan pada bagian kiln yang diberi garis titik-titik dalam
diagram SIRPORC tersebut.
Proses pembakaran tegel keramik pada mesin kiln yang telah difokuskan
sebelumnya melalui garis putus-putus berwarna merah dari diagram SIRPORC
pada Lampiran 2, selanjutnya digambarkan ke dalam diagram alir proses
pembakaran kiln yang menggambarkan aliran dari proses feeding kiln yang
menggambarkan kiln loading, proses di kiln yang menggambarkan aliran proses
dari A hingga G hingga proses menuju ke exit kiln dimana menggambarkan aliran
kiln unloading. Untuk lebih jelasnya, diagram alir proses pembakaran kiln beserta
penjelasannya tiap proses digambarkan pada Gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4.1 Diagram Alir Proses Pembakaran Kiln di Departemen Plant 3
Ket : A è Pengeringan dengan udara panas, yaitu perlakuan terhadap tegel
dengan mengeringkannya dengan udara panas awal kiln
B è Pre Heating, yaitu tahapan awal pembakaran tegel untuk
menghilangkan kadar air dan zat-zat karbon dan organik yang
tidak bersenyawa dengan body keramik
C è Firing, yaitu proses utama pembakaran tegel keramik dengan
suhu yang telah ditentukan
D è Direct atau Fast Cooling, yaitu proses pendinginan secara
langsung dengan system injeksi atau penyemprotan udara
E è Indirect Cooling, yaitu proses pendinginan tegel keramik secara
tidak langsung (alami)
IV - 73
F è Slow Cooling, yaitu proses pendinginan dengan sistem
membuang sisa gas pembakaran yang dilakukan secara perlahan
dan menyeluruh
G è Final Cooling, yaitu proses pendinginan akhir sebelum keramik
keluar dari kiln. Proses ini menggunakan blower ataupun fan.
Diagram alir proses pembakaran kiln di atas menggunakan sistem single
firing (pembakaran tunggal), dimana pembakaran tegel yang dilakukan di mesin
kiln hanya melalui satu kali proses pembakaran. Aliran Proses produksi di
Departemen Plant 3 dengan menggunakan metode single firing ditampilkan pada
Gambar 4.2 berikut ini:
Gambar 4.2 Aliran Proses Produksi Green Tile Single Firing
4.1.2 IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PELANGGAN
Identifikasi kebutuhan pelanggan dilakukan untuk mengetahui apa saja
kebutuhan pelanggan langsung exit kiln yang telah teridentifikasi sebelumnya
dengan melakukan wawancara secara langsung dengan bagian Quality Assurance
(QA). Pelanggan yang disurvey hanya difokuskan pada pelanggan langsung yaitu
pada bagian exit kiln, karena bagian ini lebih mengetahui secara teknis
karakteristik serta kecacatan tegel keramik. Berdasarkan hasil keterangan dari
laporan kualitas yang diperoleh dari bagian Quality Assurance (QA), terdapat 4
karakteristik tegel keramik yang digunakan untuk mengetahui kualitasnya yaitu
ukuran tegel keramik, permukaan tegel keramik, sifat fisik tegel keramik dan
sifat-sifat kimia dari tegel keramik.
Body Preparation
Glase Preparation
Drying Firing Packaging Press Glasir
IV - 74
Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan bagian exit kiln sebagai
pelanggan internal untuk Departemen Plant 3, terdapat 9 jenis Critical to Quality
(CTQ) yang paling diperhatikan, yaitu:
a) Kotoran kiln
Cacat pada permukaan tegel keramik yang disebabkan jatuhnya kotoran ke
permukaan keramik
b) Pecahan tile
Cacat ini terjadi dikarenakan adanya pecahan tile yang menempel pada
permukaan kiln.
c) Melenting
Cacat ini terjadi dikarenakan penyimpangan ukuran permukaan yang terlalu
cembung atau terlalu cekung. Alat yang digunakan biasanya disebut mesin
planar yang terdapat pada bagian inspeksi kiln.
d) Sompel sesudah kiln
Cacat ini diketahui karena sebagian kecil tegel keramik hilang yang terjadi
pada bagian sisi, sudut/bawah.
e) Oversize
Cacat ini terjadi dikarenakan ukuran tegel keramik yang terlalu besar dari
ukuran yang dikehendaki.
f) Goyang
Cacat yang terjadi dimana permukaan tegel keramik terlihat goyang apabila
disinari oleh cahaya lampu yang telah disediakan.
g) Numpuk
Cacat pada permukaan oleh tegel yang saling bertumpuk. Permukaan engobe
atau body akan tampak jelas.
h) Gores
Cacat pada permukaan dimana permukaan tegel keramik mengalami goresan
yang menyerupai sekumpulan benang yang halus.
i) Retakan cooling atau preheating
Cacat ini terjadi dimana suhu pada mesin kiln yang digunakan terlalu panas,
sehingga pada saat tile masuk tidak dapat beradaptasi pada suhu tersebut.
IV - 75
Tabel 4.1 di bawah ini menyajikan kebutuhan pelanggan yang didapatkan
dari hasil wawancara karakteristik kualitas di atas dengan para responden.
Tabel 4.1 Customer Requirements untuk setiap CTQ
CTQ Customer Requirements Kotoran kiln Bebas Kotoran Kiln Pecahan tile Tidak Terdapat Pecahan tile Melenting Tidak Melenting
Sompel sesudah kiln Tidak Terdapat Sompel Oversize Tidak Oversize Goyang Permukaan Tidak Goyang Numpuk Tidak Terdapat Cacat Tumpuk
Gores Bebas Gores Retakan cooling atau preheating Keramik Tidak Retak
4.1.3 PERANCANGAN DAN PENYEBARAN KUESIONER 1
Berdasarkan identifikasi kebutuhan pelanggan sebelumnya, diketahui
terdapat sembilan karakteristik kritis kualitas (CTQ). Langkah selanjutnya adalah
merancang kuesioner awal yang digunakan untuk mencari tingkat kepentingan
(customer importance) dan tingkat kepuasan (customer satisfaction) pelanggan
terhadap karakteristik kebutuhan pelanggan (customer requirements) yang telah
teridentifikasi. Responden dari kuesioner ini berjumlah 11 orang yang terdiri dari
para pimpinan dan karyawan bagian exit kiln. Berdasarkan identifikasi pada
peneltian kerja praktek sebelumnya, terdapat 5 pimpinan yang terdiri dari
koordinator kiln, kepala departemen, kepala bagian kiln, kepala regu kiln dan
kepala maintenance dan 6 karyawan bagian exit kiln departemen plant 3 yang
memenuhi kriteria diatas. Adapun kuesioner awal ini terdapat pada Lampiran 3.
4.1.4 UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS KUISIONER
Setelah dilakukan perancangan dan penyebaran kuesioner, langkah
selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap hasil kuesioner untuk tingkat
kepentingan (customer importance) dan tingkat kepuasan (customer satisfaction)
IV - 76
pelanggan terhadap karakteristik kebutuhan pelanggan (customer requirements).
Adapun uji yang digunakan adalah uji validitas dan reliabilitas. Pengujian
dilakukan menggunakan software SPSS versi 13.0 yang terdapat pada lampiran 5
dan tabel pembanding hasil SPSS yaitu Tabel R yang terdapat pada lampiran 6.
Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa hasil kuisioner valid dan
reliable.
4.1.5 PENDEFINISIAN CTQ PRIORITAS
Pendefinisian Critical To Quality (CTQ) prioritas selanjutnya dilakukan
dengan analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap. Dari 9 CTQ kebutuhan
pelanggan internal yang telah teridentifikasi, selanjutnya dilakukan penyebaran
kuesioner untuk mengetahui nilai rata-rata tingkat kepentingannya yaitu customer
importance dengan nilai rata-rata tingkat kepuasan pelaksanaan proses yaitu
customer satisfaction terhadap kesembilan CTQ tegel keramik yang sebelumnya
telah didefinisikan dimana selanjutnya akan dilakukan analisis gap antara
keduanya.
Kuesioner melibatkan total 11 orang yang terdiri dari koordinator kiln,
kepala departemen, kepala bagian, kepala regu, kepala maintenance, serta 6 orang
karyawan exit kiln sebagai pelanggan langsung di Departemen Plant 3 yang
mengetahui proses produksi secara detil dan CTQ tegel keramik kode GE
tersebut. Setelah dilakukan penyebaran kuesioner, tahap uji validitas dan uji
reliabilitas dilakukan pada penelitian ini untuk mengetahui kevalidan dan
keandalan hasil kuesioner yang diberikan. Adapun hasil pengujian keduanya
dilakukan dengan menggunakan Software SPSS versi 13.0 dan tabel pembanding
hasil SPSS yaitu Tabel R disajikan dalam Lampiran 5 dan 6.
Selanjutnya hasil kuesioner diolah dengan analisis gap. Analisis gap
dilakukan untuk mendapatkan nilai gap. Nilai gap adalah selisih antara nilai rata-
rata tingkat kepentingannya yaitu customer importance dengan nilai rata-rata
tingkat kepuasan pelaksanaan proses yaitu customer satisfaction. Nilai customer
importance dan customer satisfaction didapatkan dari rata-rata hasil kuesioner.
Tahapan pembuatan analisis gap sampai dengan pemilihan CTQ kunci yang akan
diteliti lebih mendalam diuraikan sebagai berikut:
IV - 77
a. Penentuan Customer Requirements
Pada bahasan sebelumnya terdapat kebutuhan untuk 9 CTQ tegel keramik
yang diperhatikan oleh bagian exit kiln sebagai pelanggan langsung.
Selanjutnya kesembilan CTQ tersebut dijadikan customer requirements yang
disajikan dalam Tabel 4.1 sebelumnya.
b. Penentuan Customer Importance
Customer importance (tingkat kepentingan pengguna) merupakan nilai
rata-rata rating kepentingan menurut responden kuesioner dari masing-masing
CTQ tegel keramik (customer requirements) yang disajikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Customer importance untuk Setiap CTQ
Customer Requirements Customer Importance
(Rata-rata)
Bebas Kotoran Kiln 3,27 Tidak Terdapat Pecahan Tile 3,55 Tidak Melenting 4,18 Tidak Terdapat Sompel 3,64 Tidak Oversize 4,27 Permukaan Tidak Goyang 4,18 Tidak Terdapat Cacat Tumpuk 3,64 Bebas Gores 3,73 Keramik Tidak Retak 4,00
Contoh perhitungan manual:
Tidak Melenting = 11
45444533554 ++++++++++ =
1146
= 4,18
Adapun untuk rating kepentingan (Customer importance) disajikan dalam
skala likert berikut ini:
1 : Sangat Tidak Penting
2 : Tidak Penting
3 : Cukup Penting
4 : Penting
5 : Sangat Penting
IV - 78
Data lengkap yang berisi Rekap hasil kuesioner untuk mencari rata-rata
customer importance akan disajikan pada Lampiran 4.
c. Penentuan Customer Satisfaction
Customer satisfaction disini merupakan nilai rata-rata dari rating kepuasan
pelaksanaan proses responden terhadap hasil produksi tegel keramik yang
diproduksi mesin kiln selama ini, yang disajikan dalam Tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 4.3 Customer Satisfaction produk untuk setiap CTQ
Customer Requirements Customer Satisfaction
(Rata-rata)
Bebas Kotoran Kiln 3,09
Tidak Terdapat Pecahan Tile 3,00
Tidak Melenting 2,45
Tidak Terdapat Sompel 2,45
Tidak Oversize 3,09
Permukaan Tidak Goyang 3,36
Tidak Terdapat Cacat Tumpuk 3,00
Bebas Gores 3,64
Keramik Tidak Retak 3,73
Contoh perhitungan manual:
Tidak Melenting = 11
24222313143 ++++++++++ =
1127
= 2,45
Adapun untuk rating kepentingan (customer satisfaction) disajikan dalam
skala likert berikut ini:
1 : Sangat Tidak Puas
2 : Tidak Puas
3 : Cukup Puas
4 : Puas
5 : Sangat Puas
Data lengkap yang berisi rekap hasil kuesioner untuk mencari rata-rata
customer satisfaction akan disajikan pada Lampiran 4.
d. Penentuan CTQ kunci
IV - 79
Penentuan CTQ kunci didasarkan pada hasil dari pembuatan analisis
gap dimana didapatkan dari selisih nilai rata-rata customer importance dengan
customer satisfaction. Selanjutnya penghitungan selisih nilai customer
importance dan customer satisfaction disajikan dalam Tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4 Selisih Customer Importance dan Customer Satisfaction
No Customer Requirements Customer Importance
(Rata-rata) Customer Satisfaction
(Rata-rata) Selisih (Gap)
Kuadran
1 Bebas Kotoran Kiln 3,27 3,09 0,18 B 2 Tidak Terdapat Pecahan Tile 3,55 3,00 0,55 B 3 Tidak Melenting 4,18 2,45 1,73 A 4 Tidak Terdapat Sompel 3,64 2,45 1,19 A 5 Tidak Oversize 4,27 3,09 1,18 B 6 Permukaan Tidak Goyang 4,18 3,36 0,82 B 7 Tidak Terdapat Cacat Tumpuk 3,64 3,00 0,64 B 8 Bebas Gores 3,73 3,64 0,09 B 9 Keramik Tidak Retak 4,00 3,73 0,27 B
Selanjutnya customer requirements akan dikelompokkan ke dalam
kuadran diagram kartesius berdasarkan titik nilai dari customer importance
dan customer satisfaction yang disajikan pada Gambar 4.3 berikut ini:
A B
1 2 4 5
C DCu
sto
mer
Imp
orta
nce
Customer Satisfaction
3
12
5
4
6
7
8
9
4
5
3
1
2
IV - 80
Gambar 4.3 Diagram Kartesius Customer importance – Satisfaction
Dari Gambar 4.3 diatas didapatkan dua buah CTQ yang terdapat dalam
kuadran A yaitu titik 3 dan 4. Selanjutnya perhitungan selisih (gap) antara
customer importance dengan customer satisfaction dilakukan pada kedua titik
tersebut dan diambil selisih nilai yang terbesar dimana didapatkan CTQ tidak
melenting (3) yang memiliki selisih 1,73 (terbesar). Selanjutnya pembahasan
akan menitikberatkan pada CTQ tersebut, yaitu Melenting.
4.2 TAHAP PENGUKURAN (MEASURE)
Pada tahap pengukuran (measure) dilakukan pengumpulan data CTQ
prioritas untuk selanjutnya dilakukan pengukuran level sigma, stabilitas proses
dan kapabilitas proses.
4.2.1 PENGUMPULAN DATA CTQ PRIORITAS
Dari tahap define diketahui bahwa CTQ prioritas ialah melenting. Maka
dari itu data melenting selanjutnya digunakan dalam perhitungan selanjutnya.
Proses pengumpulan data dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari
hingga Februari 2006. Data diambil 2 bulan agar dapat diketahui kondisi proses di
PT. IKAD yang selanjutnya akan digunakan untuk tindakan penanganan yang
terbaik pada periode tersebut. Data yang diambil dan direkap merupakan data
kualitas tegel keramik yang melenting berjenis data atribut dimana selanjutnya
data ini akan digunakan dalam pengukuran level sigma, stabilitas dan kapabilitas
proses. Pengambilan data sampling dilakukan secara sekunder, karena data
didapat berdasarkan hasil pengukuran kualitas yang telah dilakukan oleh bagian
Quality Assurance (QA). Rekap data sampel kecacatan melenting di bagian kiln
pada bulan Januari dan Februari 2006 disajikan pada Tabel 4.5 dan 4.6 berikut ini:
Tabel 4.5 Rekap Data Sampel Kecacatan Melenting (1-31 Januari 2006)
PENGAMATAN ( Tanggal )
SAMPEL ( Keping )
CACAT MELENTING ( Keping )
2 1200 22 3 1200 79 4 1200 37
IV - 81
5 1200 33 6 1200 69 7 1200 17 8 1200 31 9 1200 29
10 1200 18 11 1200 117 12 1200 17 13 1200 26 14 1200 16 15 1200 11 16 1200 15 17 1200 19 18 1200 16 19 1200 10 20 1200 11 21 1200 25 22 1200 12 23 1200 93 24 1200 58 25 1200 10 26 1200 9 27 1200 13 28 1200 24 29 1200 15 30 1200 31 31 1200 36
Jumlah 36000 919 Sumber : Bagian QA PT. IKAD
Tabel 4.6 Rekap Data Sampel Kecacatan Melenting (1-28 Februari 2006)
PENGAMATAN ( Tanggal )
SAMPEL ( Keping )
CACAT MELENTING ( Keping )
1 1200 41 2 1200 39 3 1200 26 4 1200 22 5 1200 126 6 1200 52 7 1200 33 8 1200 95 9 1200 29
10 1200 26 11 1200 21 12 1200 28
IV - 82
13 1200 80 14 1200 25 15 1200 13 16 1200 144 17 1200 210 18 1200 28 19 1200 31 20 1200 37 21 1200 68 22 1200 34 23 1200 40 24 1200 24 25 1200 12 26 1200 7 27 1200 50 28 1200 29
Jumlah 33600 1370 Sumber : Bagian QA PT. IKAD
4.2.2 PENGUKURAN LEVEL SIGMA
Level sigma pada cacat kiln melenting produk tegel keramik kode GE yang
didasarkan pada data bulan Januari 2006 dan Februari 2006 ialah sebagai berikut.
A. Level Sigma Bulan Januari 2006
Unit yang diinspeksi (U) : 36000
Unit yang cacat (D) : 919
Opportunities (OP) : 1
Defect Per Unit (DPU) : UD
: 36000
919
: 0,025527
Total Opportunities (TOP) : U x OP
: 36000 x 1
: 36000
Defect Per Opportunities (DPO) : TOP
D
: 36000
919
IV - 83
: 0,025527
Defects Per Million Opportunities (DPMO) : DPO x 1000000
: 0,025527 x 1000000
: 25527
Level Sigma : 3,46
Tabel konversi dari DPMO ke level sigma dapat dilihat pada Lampiran 7.
B. Level Sigma Bulan Februari 2006
Unit yang diinspeksi (U) : 33600
Unit yang cacat (D) : 1370
Opportunities (OP) : 1
Defect Per Unit (DPU) : UD
: 1370 : 33600
: 0,040773
Total Opportunities (TOP) : U x OP
: 33600 x 1
: 33600
Defect Per Opportunities (DPO) : TOP
D
: 336001370
: 0,040773
Defects Per Million Opportunities (DPMO) : DPO x 1000000
: 0,040773 x 1000000
: 40773
Level Sigma : 3,24
Tabel konversi dari DPMO ke level sigma dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.2.3 PENGUKURAN STABILITAS PROSES
Stabilitas proses dilakukan sebagai syarat dalam pengukuran kapabilitas
IV - 84
proses. Stabilitas proses dilakukan dengan alat statistik control chart untuk
mengetahui apakah secara statistik proses berada dalam batas-batas kendali atau
tidak. Apabila sudah terkendali, maka pengukuran kapabilitas proses baru dapat
dilakukan. Data yang digunakan untuk mengukur stabilitas proses tegel keramik
diambil dari Tabel 4.5 dan Tabel 4.6. Adapun penghitungannya sendiri adalah
sebagai berikut:
A. Perhitungan Peta Kendali p Bulan Januari 2006
v Penentuan garis pusat CL (Center Line)
p = gn
p
.å
p = 36000
919 = 0,0255
Maka p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar
0,0255.
v Penentuan Upper Control Limit
UCL = n
ppp
)1(3
-+
= 0392,00,013650255,01200
)0255.01(0255,030255,0 =+=
-+
Maka UCL yang merupakan limit batas atas dari rata-rata banyak subgroup
yaitu sebesar 0392,0 .
v Penentuan Lower Control Limit
LCL = n
ppp
)1(3
--
= 0119,00,013650255,01200
)0255.01(0255,030255,0 =-=
--
Maka LCL yang merupakan limit batas bawah dari rata-rata banyak
subgroup yaitu sebesar 0,0119.
IV - 85
Untuk lebih lengkapnya, perhitungan dengan menggunakan peta kendali
p berupa rekap data CL, UCL, dan LCL untuk cacat melenting dapat dilihat
dalam Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7 Rekap Data CL, UCL, dan LCL untuk Bulan Januari 2006
Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi UCL LCL CL
1 2 1200 22 0.0183 0.0392 0.0119 0.0255
2 3 1200 79 0.0658 0.0392 0.0119 0.0255
3 4 1200 37 0.0308 0.0392 0.0119 0.0255
4 5 1200 33 0.0275 0.0392 0.0119 0.0255
5 6 1200 69 0.0575 0.0392 0.0119 0.0255
6 7 1200 17 0.0141 0.0392 0.0119 0.0255
7 8 1200 31 0.0258 0.0392 0.0119 0.0255
8 9 1200 29 0.0241 0.0392 0.0119 0.0255
9 10 1200 18 0.015 0.0392 0.0119 0.0255
10 11 1200 117 0.0975 0.0392 0.0119 0.0255
11 12 1200 17 0.0141 0.0392 0.0119 0.0255
12 13 1200 26 0.0216 0.0392 0.0119 0.0255
13 14 1200 16 0.0133 0.0392 0.0119 0.0255
14 15 1200 11 0.0091 0.0392 0.0119 0.0255
15 16 1200 15 0.0125 0.0392 0.0119 0.0255
16 17 1200 19 0.0158 0.0392 0.0119 0.0255
17 18 1200 16 0.0133 0.0392 0.0119 0.0255
18 19 1200 10 0.0083 0.0392 0.0119 0.0255
19 20 1200 11 0.0091 0.0392 0.0119 0.0255
20 21 1200 25 0.0208 0.0392 0.0119 0.0255
21 22 1200 12 0.01 0.0392 0.0119 0.0255
22 23 1200 93 0.0775 0.0392 0.0119 0.0255
23 24 1200 58 0.0483 0.0392 0.0119 0.0255
24 25 1200 10 0.0083 0.0392 0.0119 0.0255
25 26 1200 9 0.0075 0.0392 0.0119 0.0255
26 27 1200 13 0.0108 0.0392 0.0119 0.0255
27 28 1200 24 0.02 0.0392 0.0119 0.0255
IV - 86
28 29 1200 15 0.0125 0.0392 0.0119 0.0255
29 30 1200 31 0.0258 0.0392 0.0119 0.0255
30 31 1200 36 0.03 0.0392 0.0119 0.0255
Jumlah 36000 919
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut
diplot ke dalam peta kendali proses yang disajikan pada Gambar 4.4 berikut di
bawah ini.
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30Obs e rv a s i ke -
Pro
pors
i
Proporsi UCL LCL CL
Gambar 4.4 Peta Kendali P Cacat Melenting Bulan Januari 2006
Pada gambar di atas terlihat bahwa pada data observasi ke 2, 5, 10, 14, 18,
19, 21, 22, 23, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas. Oleh karena itu kita eliminasi
data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru revisi 1 yang
ditampilkan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Rekap Data Revisi 1 CL, UCL, dan LCL untuk Cacat Melenting
Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi UCL LCL CL
1 2 1200 22 0.0183 0.0318 0.0077 0.0198
2 5 1200 37 0.0308 0.0318 0.0077 0.0198
3 7 1200 33 0.0275 0.0318 0.0077 0.0198
4 8 1200 17 0.0141 0.0318 0.0077 0.0198
5 9 1200 31 0.0258 0.0318 0.0077 0.0198
6 10 1200 29 0.0241 0.0318 0.0077 0.0198
7 12 1200 18 0.015 0.0318 0.0077 0.0198
8 13 1200 17 0.0141 0.0318 0.0077 0.0198
9 14 1200 26 0.0216 0.0318 0.0077 0.0198
IV - 87
10 16 1200 16 0.0133 0.0318 0.0077 0.0198
11 17 1200 15 0.0125 0.0318 0.0077 0.0198
12 18 1200 19 0.0158 0.0318 0.0077 0.0198
13 21 1200 16 0.0133 0.0318 0.0077 0.0198
14 27 1200 25 0.0208 0.0318 0.0077 0.0198
15 28 1200 24 0.02 0.0318 0.0077 0.0198
16 29 1200 15 0.0125 0.0318 0.0077 0.0198
17 30 1200 31 0.0258 0.0318 0.0077 0.0198
18 31 1200 36 0.03 0.0318 0.0077 0.0198
Jumlah 21600 427
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut
diplot ke dalam peta kendali proses revisi yang disajikan pada Gambar 4.5 di
bawah ini.
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18Obs e rv a s i ke -
Prop
orsi
Proporsi UCL LCL CL
Gambar 4.5 Peta Kendali P Revisi 1 Cacat Melenting
Setelah dibuat plot grafik seperti pada Gambar 4.5 terlihat bahwa data
telah berada dalam kondisi yang stabil sehingga untuk selanjutnya dapat dihitung
kapabilitas prosesnya.
B. Perhitungan Peta Kendali p Bulan Februari 2006
v Penentuan garis pusat CL (Center Line)
p = gn
p
.å
p = 336001370
= 0,0408
p garis pusat rata-rata banyak subgroup yaitu sebesar 0,0408.
IV - 88
v Penentuan batas atas UCL (Upper Control Limit)
UCL = n
ppp
)1(3
-+
= 0579,00,01710408,01200
)0408.01(0408,030408,0 =+=
-+
Maka UCL yang merupakan limit batas atas dari rata-rata banyak subgroup
yaitu sebesar 69,4810.
v Penentuan batas bawah LCL (Lower Control Limit)
LCL = n
ppp
)1(3
--
= 0236,00,01710408,01200
)0408.01(0408,030408,0 =-=
--
Maka LCL yang merupakan limit batas bawah dari rata-rata banyak
subgroup yaitu sebesar 28,3761.
Untuk lebih lengkapnya, perhitungan dengan menggunakan peta kendali
p berupa rekap data CL, UCL, dan LCL untuk cacat melenting dapat dilihat
dalam Tabel 4.9 berikut ini.
Tabel 4.9 Rekap Data CL, UCL, dan LCL untuk Bulan Februari 2006
Observasi ke- Pengamatan
(Tanggal) Sampel
(Keping) Total Cacat
(Keping) Proporsi UCL LCL CL
1 1 1200 41 0.0342 0.0579 0.0236 0.0408
2 2 1200 39 0.0325 0.0579 0.0236 0.0408
3 3 1200 26 0.0217 0.0579 0.0236 0.0408
4 4 1200 22 0.0183 0.0579 0.0236 0.0408
5 5 1200 126 0.1050 0.0579 0.0236 0.0408
6 6 1200 52 0.0433 0.0579 0.0236 0.0408
7 7 1200 33 0.0275 0.0579 0.0236 0.0408
8 8 1200 95 0.0792 0.0579 0.0236 0.0408
9 9 1200 29 0.0242 0.0579 0.0236 0.0408
10 10 1200 26 0.0217 0.0579 0.0236 0.0408
11 11 1200 21 0.0175 0.0579 0.0236 0.0408
IV - 89
12 12 1200 28 0.0233 0.0579 0.0236 0.0408
13 13 1200 80 0.0667 0.0579 0.0236 0.0408
14 14 1200 25 0.0208 0.0579 0.0236 0.0408
15 15 1200 13 0.0108 0.0579 0.0236 0.0408
16 16 1200 144 0.1200 0.0579 0.0236 0.0408
17 17 1200 210 0.1750 0.0579 0.0236 0.0408
18 18 1200 28 0.0233 0.0579 0.0236 0.0408
19 19 1200 31 0.0258 0.0579 0.0236 0.0408
20 20 1200 37 0.0308 0.0579 0.0236 0.0408
21 21 1200 68 0.0567 0.0579 0.0236 0.0408
22 22 1200 34 0.0283 0.0579 0.0236 0.0408
23 23 1200 40 0.0333 0.0579 0.0236 0.0408
24 24 1200 24 0.0200 0.0579 0.0236 0.0408
25 25 1200 12 0.0100 0.0579 0.0236 0.0408
26 26 1200 7 0.0058 0.0579 0.0236 0.0408
27 27 1200 50 0.0417 0.0579 0.0236 0.0408
28 28 1200 29 0.0242 0.0579 0.0236 0.0408
Jumlah 33600 1370
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut
diplot ke dalam peta kendali proses yang disajikan pada Gambar 4.6 di bawah ini.
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28Obs e rv a s i ke -
Proporsi UCL LCL CL
Gambar 4.6 Peta Kendali P Cacat Melenting Bulan Februari 2006
Pada gambar di atas terlihat bahwa pada data ke 3, 4, 5, 8, 10, 11, 13, 14,
15, 16, 17, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas. Oleh karena itu kita eliminasi
data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru revisi 1 yang
ditampilkan pada Tabel 4.10.
IV - 90
Tabel 4.10 Rekap Data Revisi 1 CL, UCL, dan LCL untuk Cacat Melenting
Observasi ke-
Pengamatan (Tanggal)
Sampel (Keping)
Total Cacat (Keping)
Proporsi UCL LCL CL
1 1 1200 41 0.0342 0.0473 0.0168 0.0321
2 2 1200 39 0.0325 0.0473 0.0168 0.0321
3 6 1200 52 0.0433 0.0473 0.0168 0.0321
4 7 1200 33 0.0275 0.0473 0.0168 0.0321
5 9 1200 29 0.0242 0.0473 0.0168 0.0321
6 12 1200 28 0.0233 0.0473 0.0168 0.0321
7 18 1200 28 0.0233 0.0473 0.0168 0.0321
8 19 1200 31 0.0258 0.0473 0.0168 0.0321
9 20 1200 37 0.0308 0.0473 0.0168 0.0321
10 21 1200 68 0.0567 0.0473 0.0168 0.0321
11 22 1200 34 0.0283 0.0473 0.0168 0.0321
12 23 1200 40 0.0333 0.0473 0.0168 0.0321
13 27 1200 50 0.0417 0.0473 0.0168 0.0321
14 28 1200 29 0.0242 0.0473 0.0168 0.0321
Jumlah 16800 539
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut
diplot ke dalam peta kendali proses revisi yang disajikan pada Gambar 4.7 di
bawah ini.
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14Ob s e rv a s i ke -
Proporsi UCL LCL CL
Gambar 4.7 Peta Kendali P Revisi 1 Cacat Melenting
IV - 91
Setelah dilakukan revisi, ternyata masih jelas terlihat pada Gambar 4.7
bahwa pada data ke 10 masih keluar dari garis batas atas. Oleh karena itu kita
eliminasi kembali data tersebut agar proses stabil sehingga didapatkan data baru
revisi 2 yang ditampilkan pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Rekap Data Revisi 2 CL, UCL, dan LCL untuk Cacat Melenting
Observasi ke- Pengamatan
(Tanggal) Sampel
(Keping) Total Cacat
(Keping) Proporsi UCL LCL CL
1 1 1200 41 0.0342 0.0450 0.0154 0.0302
2 2 1200 39 0.0325 0.0450 0.0154 0.0302
3 6 1200 52 0.0433 0.0450 0.0154 0.0302
4 7 1200 33 0.0275 0.0450 0.0154 0.0302
5 9 1200 29 0.0242 0.0450 0.0154 0.0302
6 12 1200 28 0.0233 0.0450 0.0154 0.0302
7 18 1200 28 0.0233 0.0450 0.0154 0.0302
8 19 1200 31 0.0258 0.0450 0.0154 0.0302
9 20 1200 37 0.0308 0.0450 0.0154 0.0302
10 22 1200 34 0.0283 0.0450 0.0154 0.0302
11 23 1200 40 0.0333 0.0450 0.0154 0.0302
12 27 1200 50 0.0417 0.0450 0.0154 0.0302
13 28 1200 29 0.0242 0.0450 0.0154 0.0302
Jumlah 15600 471
Selanjutnya data pengukuran serta batas-batas kendali proses tersebut
diplot ke dalam peta kendali proses revisi yang disajikan pada Gambar 4.8 di
bawah ini.
IV - 92
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
0.04
0.045
0.05
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13Obs e rv a s i k e -
Proporsi UCL LCL CL
Gambar 4.8 Peta Kendali P Revisi 2 Cacat Melenting
Setelah dibuat plot grafik revisi 2 seperti pada Gambar 4.8 di atas terlihat
bahwa data telah berada dalam kondisi yang stabil, sehingga untuk selanjutnya
dapat dihitung kapabilitas prosesnya.
4.2.4 PENGUKURAN KAPABILITAS PROSES
Pada pengukuran kapabilitas proses data atribut, terdapat dua jenis
penghitungan yaitu kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur tingkat
kapablitas proses sigma berdasarkan output kecacatan proses yang dihasilkan (Cp)
serta indeks kapabilitas proses yang digunakan untuk mengukur kemampuan
proses bersaing secara kompetitif di pasar global berdasarkan batas-batas level
sigma (Cpk).
Penentuan indeks kapabilitas proses untuk data atribut menggunakan
pendekatan Motorola yang memungkinkan pergeseran rata-rata proses sebesar
s5,1± yang disajikan pada Tabel 4.12 berikut.
Tabel 4.12 Tabel Konversi Level Sigma
Pergeseran Proses s5,1± Level Sigma
Cpk DPMO 3 0,5 66.803 4 0,833 6.200 5 1,167 233 6 1,5 3,4
Sumber : Mc Fadden, 1993
IV - 93
Semakin kecil central line, maka kapabilitas proses semakin baik. Dengan
menggunakan control chart p dan setelah data direvisi sehingga proses dinyatakan
terkendali pada tahapan stabilitas proses, maka dapat dilakukan perhitungan
kapabilitas proses.
1. Perhitungan Kapabilitas Proses Bulan Januari 2006
Kapabilitas Proses untuk Proses kiln pada tegel keramik untuk bulan Januari
2006 adalah:
Central line (CL) atau rata-rata proporsi (p) = 0,0255
Kapabilitas proses (Cp) = 1 – p
= 1 – 0,0255
Cp = 0,9745
Sehingga untuk penghitungan kapabilitas proses Cp didapatkan nilai Cp
sebesar:
Cp = 0,9745
Selanjutnya Cpk didapatkan dari hasil interpolasi Tabel 4.12 konversi level
sigma dengan mengacu kepada level sigma bulan Januari 2006 sebesar 3,46.
34346,3
--
= 5.0833,0
5.0
--x
146.0
= 333,0
5.0-x
x = (0,46 x 0,333) + 0.5
x = 0,65318
Sehingga didapatkan nilai Cpk = 0,65318
2. Perhitungan Kapabilitas Proses Bulan Februari 2006
Kapabilitas Proses untuk Proses kiln pada tegel keramik untuk bulan Februari
2006 adalah:
Central line (CL) atau rata-rata proporsi (p) = 0,0408
Kapabilitas proses (Cp) = 1 – p
= 1 – 0,0408
Cp = 0,9592
IV - 94
Sehingga untuk penghitungan kapabilitas proses Cp didapatkan nilai Cp
sebesar:
Cp = 0,9592
Selanjutnya Cpk didapatkan dari hasil interpolasi Tabel 4.12 konversi level
sigma dengan mengacu kepada level sigma bulan Februari 2006 sebesar 3,24.
34324,3
--
= 5.0833,0
5.0
--x
124,0
= 333,0
5.0-x
x = (0,24 x 0.333) + 0.5
x = 0,57992
Sehingga didapatkan nilai Cpk = 0,57992
4.3 TAHAP ANALISIS (ANALYZE)
Pada tahap Analisis (Analyze) ini dilakukan analisis akar penyebab
masalah serta menganalisis pengaruh potensial kegagalan sumber-sumber variasi
penyebab permasalahan dengan menganalisa Failure Modes Effect Analysis
(FMEA).
4.3.1 PENELUSURAN AKAR PENYEBAB MASALAH
Penelusuran terhadap sumber-sumber variasi penyebab masalah dilakukan
dengan metode Root Cause Analysis (RCA). Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
7. Mendefinisikan Permasalahan
Jenis permasalahan yang ingin dianalisis untuk diketahui penyebabnya
diambil sesuai dengan hasil CTQ prioritas yang telah terseleksi, yaitu melenting.
Tingginya angka melenting pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya kualitas
tegel keramik secara keseluruhan. melenting merupakan jenis kecacatan yang
menggambarkan adanya permukaan tidak rata pada tegel keramik dengan
menggunakan alat ukur mesin planarity.
8. Mengumpulkan data dan informasi Melenting
IV - 95
Pengumpulan data serta informasi yang berkaitan dengan permasalahan
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan mengamati keadaan langsung di
lapangan, membaca dokumen atau arsip yang tercatat, membaca textbook yang
terkait serta melakukan wawancara terstruktur dan brainstorming dengan kepala
departemen, kepala bagian, kepala regu, kepala maintenance serta para karyawan
di Departemen Plant 3 PT. IKAD untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan
akurat. Adapun tujuan pengumpulan data dan informasi ini sendiri adalah untuk
menelusuri fakta-fakta yang ada. Setelah mengetahui penyebab yang paling
utama, maka perlu diadakan tindakan penanggulangan. Rencana perbaikan
optimal bisa diperoleh dengan menganalisis akar penyebab permasalahan dimana
dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan Root Cause Analysis (RCA)
menggunakan alat bantu kualitas Fishbone Diagram.
9. Menyeleksi penyebab Melenting
Penyeleksian penyebab pada penelitian ini akan menggunakan tool
Fishbone Diagram dengan 6M yaitu Manpower-Manusia, Method-Metode,
Measurement-Pengukuran, Material-Bahan baku, Machine-Mesin, dan Mother
nature-Lingkungan yang disajikan secara jelas pada Gambar 4.9.
10. Spesifik dalam menentukan permasalahan dan penyebabnya
Permasalahan disini diambil hanya pada bagian kiln Departemen Plant 3
dimana pada bagian ini memiliki pengaruh yang besar terhadap proses lainnya.
Penyebab-penyebab kecacatan untuk CTQ prioritas akan digambarkan ke dalam
diagram Fishbone.
11. Mengidentifikasi penyebab yang mengakibatkan defect CTQ prioritas
Identifikasi dilakukan untuk mencari penyebab yang mengakibatkan defect
melenting dimana nantinya akan digambarkan ke dalam diagram Fishbone yang
disajikan secara jelas pada Gambar 4.9.
12. Menganalisa secara detil keseluruhan hasil dari diagram fishbone
Hasil yang didapatkan akan dianalisa berdasarkan penyebabnya pada
tahap analisa.
IV - 96
MELENTING
LINGKUNGAN MESIN DAN PERALATAN
PENGUKURAN
MATERIAL METODE TENAGA KERJA
Jenis Glasir
Panel Kiln Burner nozzle
Suhu dan kelembaban
Panel gas
Gearbox
Debu sisa Clay
Kotoran
Kurang motivasi
Lapisan Alumina
Kadar air
Pengaturan di panel gas
Gambar 4.9 Diagram Sebab Akibat CTQ Melenting
Salah setting mesin kiln
Pengaturan suhu
Training kurang
Alat ukur suhu rusak Manual Actuator
Roller Kiln
Kurang teliti
IV - 97
4.3.2 PERANCANGAN DAN PENYEBARAN KUESIONER 2
Berdasarkan diagram sebab akibat pada Gambar 4.9 di atas, diketahui
terdapat penyebab-penyebab terjadinya kecacatan CTQ prioritas tegel keramik
yaitu melenting. Langkah selanjutnya adalah merancang kuesioner kedua yang
terdapat pada Lampiran 8 bertujuan untuk mengetahui tingkat Severity,
Occurence, dan Detection dari faktor penyebab kegagalan mesin dan peralatan
yang akan digunakan pada tahap analisis pengaruh potensial kegagalan sumber-
sumber variasi dengan menggunakan tool Failure Modes and Effect Analyze
(FMEA). FMEA dalam penelitian ini membahas khusus pada bagian mesin dan
peralatan yang sebelumnya telah diketahui dalam diagram sebab akibat pada
Gambar 4.9.
4.3.3 ANALISIS PENGARUH POTENSIAL KEGAGALAN SUMBER-
SUMBER VARIASI
Pada tahap ini dilakukan analisis pengaruh potensial kegagalan sumber-
sumber variasi dengan menggunakan salah satu tool Six Sigma yaitu FMEA
(Failure Modes and Effect Analysis) dengan melakukan brainstorming dan
wawancara dengan para responden. Hasil wawancara disajikan dalam Lampiran 8.
Selanjutnya diperoleh perbaikan dan peningkatan kualitas yang secara jelas
terangkum dalam FMEA. Untuk selanjutnya, FMEA digunakan sebagai dasar
untuk menetapkan urutan prioritas alternatif solusi yang ditawarkan.
Pada mode FMEA, setiap masalah akan diberi bobot dengan cara
mengklasifikasikan secara kualitatif berdasarkan severity (S), occurance (O), dan
detection (D) kemudian ditentukan nilai Risk Priority Number atau RPNnya.
Adapun langkah-langkah dalam pembuatan FMEA ialah sebagai berikut:
Ø Identifikasi Sistem (System’s Function)
Mesin Kiln adalah mesin yang digunakan untuk membakar keramik
biskuit (green tile) menjadi keramik jadi (ceramic tile).
Ø Identifikasi Kegagalan Potensial (Potential Failure Mode)
Pada tahap ini diidentifikasi masalah-masalah potensial yang
menyebabkan mesin kiln tidak memenuhi atau tidak mencapai fungsi utama
IV - 98
sebagai alat pembakar tegel keramik dengan baik sehingga menyebabkan tegel
keramik melenting. Masalah-masalah tersebut antara lain :
1. Panel kiln tidak berfungsi
Suatu keadaan yang terjadi di panel kiln dimana semua proses di mesin
kiln akan terhenti
2. Panel gas tidak berfungsi
Suatu keadaan yang terjadi dimana pasokan gas tidak memadai untuk
membakar tegel keramik
3. Gearbox failure
Suatu keadaan yang terjadi dimana gearbox terjadi kerusakan yang
menyebabkan mesin kiln overleaping
4. Burner nozzle bermasalah
Suatu keadaan yang terjadi dimana tegel keramik tidak terbakar secara
sempurna dimana burner hanya membakar pada bagian tertentu
5. Actuator macet
Suatu keadaan yang terjadi dimana actuator macet sehingga temperatur di
dalam mesin kiln turun
6. Roller Kiln macet dan kendor
Suatu keadaan yang terjadi dimana tegel keramik tidak berjalan baik di
dalam mesin kiln dan berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang
ditentukan
Ø Identifikasi Akibat Kegagalan (Potential Effect Of Failure)
Pada tahap ini dianalisis akibat atau dampak yang timbul pada masing-
masing masalah kegagalan yang telah diidentifikasi pada potential failure mode.
Akibat atau dampak yang timbul pada masing-masing masalah kegagalan tersebut
akan disajikan dalam Tabel 4.13 berikut:
IV - 99
Tabel 4.13 Potential Effect of Failure
Potential Failure Mode Potential Effect of Failure Panel kiln tidak berfungsi Semua proses di mesin kiln akan terhenti
Panel gas tidak berfungsi Pasokan gas tidak memadai untuk membakar tegel keramik
Gearbox failure Mesin kiln overleaping
Burner nozzle bermasalah 1. Tegel keramik tidak terbakar secara sempurna 2. Burner hanya membakar pada bagian tertentu
Actuator macet Temperatur di mesin kiln turun
Roller Kiln macet dan kendor
1. Tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln
2. Tegel keramik berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan
Ø Analisis Tingkat Keseriusan Kegagalan (Severity Of Effect)
Pada tahap ini dianalisis seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh
kegagalan-kegagalan yang muncul pada mesin kiln sehingga menyebabkan
melenting. Efek kegagalan dianalisis berdasarkan dampak terhadap konsumen.
Skala severity yang digunakan adalah skala 1 hingga 5 dengan perincian pada
Tabel 4.14 sebagai berikut :
Tabel 4.14 Skala Severity
Skala Keterangan
1 2 3 4 5
Tidak berpengaruh Tidak terlalu serius
Cukup serius Serius
Sangat Serius
Sumber : Manggala, 2005
Cara menganalisis severity failure mode yaitu dengan terlebih dahulu
menganalisis severity masing-masing akibat (effect) dari tiap-tiap potential failure
mode. Selanjutnya, severity tertinggi dari setiap effect of failure akan dipilih
menjadi severity dari failure mode. Severity kegagalan mesin kiln hingga
menyebabkan melenting akan ditampilkan pada Tabel 4.15 berikut ini :
IV - 100
Tabel 4.15 Severity Failure Mode
Potential Effect of Failure S Potential Failure Mode S Keterangan
Semua proses di mesin kiln akan terhenti 4 Panel kiln tidak berfungsi 4
Panel kiln tidak berfungsi akan menyebabkan semua proses di mesin kiln akan terhenti
Pasokan gas tidak memadai untuk membakar tegel keramik 4 Panel gas tidak berfungsi 4
Panel gas yang tidak berfungsi akan menyebabkan pembakaran tegel keramik akan terhambat
Mesin kiln overleaping 2 Gearbox failure 2
Kasus untuk gearbox failure/rusak pernah terjadi namun pengaruhnya terhadap proses pembakaran tidak terlalu serius karena petugas akan langsung membetulkan komponen yang rusak ex : overleaping tegel bertumpuk akan segera diatasi petugas
Tegel keramik tidak terbakar secara sempurna 5
Burner hanya membakar pada bagian tertentu
5
Burner nozzle bermasalah 5
Severity Burner nozzle bermasalah adalah 5. Severity bersifat ekstrim karena bila Burner nozzle bermasalah dapat mengakibatkan tegel keramik tidak terbakar secara sempurna dan hanya membakar pada bagian tertentu saja
Temperatur di mesin kiln turun 4 Actuator macet 4
Aktuator macet akan menyebabkan temperatur di mesin kiln turun dimana hal tersebut akan menyebabkan tegel keramik yang dihasilkan menjadi melenting dikarenakan tidak stabilnya temperatur
Tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln
4
Tegel keramik berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan
3
Roller Kiln macet dan kendor 4
Roller kiln macet dan kendor akan menyebabkan tegel keramik tidak berjalan baik di dalam mesin kiln juga akan berjalan dengan kecepatan dibawah standar yang ditentukan
IV - 101
Ø Identifikasi Sebab-Sebab Kegagalan (Potential Causes Of Failure)
Pada tahap ini dilakukan identifikasi sebab-sebab apa saja yang menyebabkan kegagalan melenting pada mesin kiln. Diperlukan
identifikasi yang lengkap agar dapat terungkap akar masalah (root cause) dari kegagalan dengan menggunakan fishbone diagram.
Selanjutnya, sebab-sebab potensial dari mesin kiln dengan menggunakan fishbone diagram akan disajikan pada Gambar 4.10 berikut ini.
Gambar 4.10 Diagram Sebab Akibat Kegagalan Mesin Kiln CTQ Melenting
MELENTING
ACTUATOR BURNER NOZZLE
GEARBOX PANEL KILN PANEL GAS
Kurang pelumas
Roller kurang diberi pelumas
Jarang diperiksa dan dibersihkan
Komponen kotor
Ring gas error
Gigi Aus dan rontok
Bantalan roller robek dan melar
Sensor kiln error
Komponen panel kiln kotor
Tekanan gas turun dari PLN
Penempatan roller kurang tepat
ROLLER KILN
Pembukaan damper blower terlalu kecil
Komponen putus / rusak
Fotocel tidak berfungsi
Flame Detection error
Damper angin pembakaran terlalu besar
Damper blower tertutup
IV - 102
Berdasarkan bagan fishbone diagram, rincian sebab-sebab kegagalan kiln
disajikan pada Tabel 4.16 sebagai berikut:
Tabel 4.16 Potential Cause(s) of Failure
Potential Failure Mode Potential Cause(s) of Failure
Panel kiln tidak berfungsi ü Sensor kiln error ü Komponen panel kiln kotor ü Pembukaan damper blower terlalu kecil
Panel gas tidak berfungsi ü Tekanan gas turun dari PLN ü Ring gas error
Gearbox failure ü Gigi Aus dan rontok ü Kurang pelumas ü Fotocel tidak berfungsi
Burner nozzle bermasalah ü Damper angin pembakaran terlalu besar dan
damper blower sering tertutup ü Flame Detection error
Actuator macet ü Komponen kotor ü Komponen putus / rusak
Roller Kiln macet dan kendor
ü Roller kurang diberi pelumas ü Bantalan roller robek dan melar ü Penempatan roller kurang tepat ü Jarang diperiksa dan dibersihkan
Ø Analisis Frekuensi Kegagalan (Occurance)
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap seberapa sering kegagalan
terjadi. Skala occurance yang digunakan yaitu 1 hingga 5, dengan perincian yang
lengkap pada Tabel 4.17 berikut ini:
Tabel 4.17 Skala Occurance
Skala Keterangan
1 2 3 4 5
Sangat Jarang Terjadi Jarang Terjadi
Kadang-Kadang Terjadi Sering Terjadi
Sangat Sering Terjadi
Sumber : Manggala, 2005
Cara menganalisis frekuensi kegagalan (failure mode occurance) yaitu
dengan menganalisis potential causes of failure dari setiap failure mode.
Occurance terbesar (yang paling sering terjadi) dari potential cause of failure
akan dipilih menjadi occurance dari failure mode. Analisis frekuensi kegagalan
dari setiap potential cause of failure selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.18
berikut ini :
IV - 103
Tabel 4.18 Occurance Failure Mode
Potential causes of failure O Failure Mode O Keterangan
ü Sensor kiln error 2
ü Komponen panel kiln kotor 3
ü Pembukaan damper blower terlalu kecil
3
Panel kiln tidak berfungsi 3
Panel kiln tidak berfungsi sebagaimana mestinya apabila komponen panel kiln yang kotor dan apabila pembukaan awal damper terlalu kecil, yaitu mencapai skala 3. Hal tersebut di atas harus diperhatikan juga walaupun hanya kadang-kadang saja terjadinya.
ü Tekanan gas turun dari PLN 4
ü Ring gas error 3
Panel gas tidak berfungsi 4
Panel gas tidak berfungsi sebagaimana mestinya apabila satu dari ke-2 potential cause of failure terjadi. Sebab hal yang paling sering terjadi sehingga panel kiln tidak berfungsi adalah tekanan gas yang turun dari Perusahaan Listrik negara (PLN) dimana diberi skala 4 dan apabila ring gas error, diberi skala 3. Bila panel gas tidak berfungsi maka mesin kiln tidak akan mampu memenuhi performansinya. Karena occurance tertinggi yang menyebabkan panel kiln tidak berfungsi memiliki nilai 4, maka occurance panel kiln tidak berfungsi adalah 4.
ü Gigi Aus dan rontok 2
ü Kurang pelumas 2
ü Fotocel tidak berfungsi 2
Gearbox failure 2
Gearbox failure apabila gigi aus dan rontok, kurangnya pelumas dan fotocel yang tiddak berfungsi. Occurance dari ketiganya adalah kadang-kadang terjadi (2).
ü Damper angin pembakaran terlalu besar dan damper blower sering tertutup
4
ü Flame Detection error 4
Burner nozzle bermasalah 4
Penyebab yang paling sering terjadi sehingga burner nozzle bermasalah adalah damper angin pembakaran terlalu besar dan damper blower yang tertutup (4) serta flame detection yang seringkali error (4). Bila burner nozzle bermasalah maka kiln tidak akan mampu membakar secara sempurna. Karena occurance tertinggi yang menyebabkan burner nozzle sama-sama memiliki nilai 4, maka occurance burner nozzle bermasalah adalah 4.
ü Komponen kotor 2
ü Komponen putus / rusak 3
Actuator macet 3
Frekuensi komponen kotor adalah jarang terjadi (2), dan komponen yang putus ataupun rusak adalah kadang-kadang terjadi (3). Occurance untuk aktuator macet sebesar 3 (diambil dari occurance tertinggi yaitu occurance komponen putus / rusak).
ü Roller kurang diberi pelumas 2
ü Bantalan roller robek dan melar
3
ü Penempatan roller kurang tepat 4
ü Jarang diperiksa dan dibersihkan
3
Roller Kiln macet dan kendor 4
Roller Kiln macet dan kendor bila roller kurang diberi pelumas yang jarang terjadi (2), bantalan roller robek dan melar dan jarangnya roller kiln diperiksa dan dibersihkan yang kadang-kadang terjadi (3) serta penempatan roller yang kurang tepat pada mesin kiln yang seringkali terjadi (4). Occurance untuk roller kiln macet dan kendor sebesar 4 (diambil dari occurance tertinggi yaitu occurance penempatan roller kurang tepat).
IV - 104
Ø Metode Deteksi Kegagalan (Detection Method)
Pada tahap ini dilakukan identifikasi metode untuk mendeteksi kegagalan
(failure mode) mesin kiln mencapai performansi. Terdapat gejala-gejala yang
mengidentifikasi kegagalan mesin kiln. Dari gejala yang muncul tersebut, dapat
diduga komponen yang mengalami kegagalan. Pada umumnya konsumen
langsung pada bagian exit kiln yang merasakan gejala–gejala tersebut. Untuk
membuktikan gejala tersebut, maka diperlukan metode pendeteksian komponen.
Tabel berikut akan menjelaskan mengenai gejala dan metode pendeteksian
potential failure mode. Identifikasi gejala-gejala dan metode untuk mendeteksi
kegagalan tersebut akan disajikan dalam Tabel 4.19 berikut:
Tabel 4.19 Detection Method
Potential Failure Mode Symptoms Detection Method
Panel kiln tidak berfungsi ü Mesin kiln stop tanpa sebab yang
jelas ü Alarm dan sensor mati
1. Metode visual untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error. 2. Metode visual untuk mengidentifikasi panel kiln yang kotor.
Panel gas tidak berfungsi
ü Gas yang diatur terlalu besar keluarnya
ü Tegl keramik yang dibakar kurang sempurna
1. Metode visual untuk mengidentifikasi langsung ke panel gas 2. Dapat digunakan alat pendeteksi panas api (thermocouple) di dalam kiln
Gearbox failure
ü Jalan tegel di rol menjadi naik turun
ü Gigi Jalan atau berhenti ü Putaran roll berhenti
Dapat dilihat secara visual di dalam tunnel pembakaran, apakah keramik bertumpuk di dalamnya
Burner nozzle bermasalah
ü Temperatur tinggi / rendah ü Pembakaran tidak bagus /
sempurna ü Ketidakseimbangan antara angin
dan gas
Dapat dilihat secara langsung, kalau percikan api berwarna biru berarti burner nozzle berjalan baik
Actuator macet ü Gas akan turun
1. Dapat dilihat dari thermoregulator apakah gas naik, kalau tidak naik berarti ada masalah 2. Dapat digunakan alat pendeteksi panas pembakaran (thermocouple) di dalam kiln
Roller Kiln macet dan kendor
ü Jalan tegel di roll menjadi sedikit tersendat bahkan berhenti sama sekali
ü Keramik jalan dengan tidak baik dengan kecepatan yang kurang dari standar
1. Dapat dilihat dari kecepatan putaran roll, apabila putarannya seimbang dan tidak tersendat, berarti roller kiln baik 2. Metode visual untuk mengidentifikasi roller kiln yang kotor dan kendor
IV - 105
Ø Analisis Tingkat Pendeteksian (Detection)
Pada tahap ini dilakukan analisis tingkat keyakinan dan kesulitan metode
deteksi. Analisis dilakukan terhadap semua metode deteksi yang telah dirumuskan
pada detection method. Skala deteksi yang digunakan adalah dari 1 hingga 5,
dengan perincian lebih lengkap pada Tabel 4.20 sebagai berikut :
Tabel 4.20 Skala Detection
Skala Keterangan
1 2 3 4 5
Pasti Terdeteksi Kemungkinan Besar Terdeteksi
Mungkin Terdeteksi Kemungkinan Kecil Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Sumber : Manggala, 2005
Cara mendeteksi failure mode yang terjadi yaitu dengan menganalisis
semua metode yang telah dirumuskan pada detection method. Semakin kita tidak
yakin terhadap metode yang ada, maka semakin besar rating detection, karena
semakin kita harus waspada. Semakin sulit cara pendeteksian maka rating
detection juga semakin tinggi. Tingkat deteksi dengan rating tertinggi menjadi
rating detection failure mode. Analisis lengkap mengenai tingkat pendeteksian
ditampilkan pada Tabel 4.21 berikut :
Tabel 4.21 Detection Rating
Detection Method D Potential Failure Mode D Keterangan
Metode visual untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error.
3
Metode visual untuk mengidentifikasi panel kiln yang kotor.
3
Panel kiln tidak berfungsi 3
Untuk mendeteksi panel kiln tidak berfungsi, dilakukan metode visual untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error serta panel kiln yang kotor. Untuk mengidentifikasi alarm dan sensor kiln yang error serta panel kiln yang kotor dibutuhkan analisis, sehingga rating deteksinya adalah 3. Tingkat deteksi panel kiln tidak berfungsi diambil untuk metode yang tersulit dari semua rating metode deteksi yang telah teridentifikasi yaitu 3.
Metode visual untuk mengidentifikasi langsung ke panel gas
3 Panel gas tidak berfungsi 3
Untuk mendeteksi panel gas tidak berfungsi, dilakukan metode visual untuk mengidentifikasi langsung ke panel gas dan apabila metode ini dilakukan, kemungkinan langsung terdeteksi (3), selain itu dapat digunakan alat pendeteksi panas api
IV - 106
Dapat digunakan alat pendeteksi panas api (thermocouple) di dalam kiln
1
(thermocouple) di dalam kiln yang pasti terdeteksi (1). Tingkat deteksi menggunakan alat pendeteksi panas api (thermocouple) di dalam kiln diambil untuk metode yang tersulit dari semua rating metode deteksi yang telah teridentifikasi yaitu 3.
Dapat dilihat secara visual di dalam tunnel pembakaran, apakah keramik bertumpuk di dalamnya
3 Gearbox failure 3
Untuk mendeteksi gearbox failure, dilakukan metode visual di dalam tunnel pembakaran, apakah keramik bertumpuk di dalamnya dan apabila metode ini dilakukan, kemungkinan langsung terdeteksi (3)
Dapat dilihat secara visual, apabila percikan api berwarna biru berarti burner nozzle berjalan baik
3 Burner nozzle bermasalah 3
Untuk mendeteksi burner nozzle bermasalah, dilakukan metode visual di dalam tunnel pembakaran, apabila percikan api berwarna biru berarti burner nozzle berjalan baik dan apabila metode ini dilakukan, kemungkinan langsung terdeteksi (3)
Dapat dilihat dari thermoregulator apakah gas naik, kalau tidak naik berarti ada masalah
1
Dapat digunakan alat pendeteksi panas pembakaran (thermocouple) di dalam kiln
1
Actuator macet 1
Untuk mendeteksi actuator macet, dilakukan metode visual dengan melihat dari thermoregulator apakah gas naik, kalau tidak naik berarti ada masalah juga dapat digunakan alat pendeteksi panas pembakaran (thermocouple) di dalam kiln dan apabila metode ini dilakukan, pasti langsung terdeteksi (2)
Dapat dilihat dari kecepatan putaran rol, apabila putarannya seimbang dan tidak tersendat, berarti roller kiln baik
2
Metode visual untuk mengidentifikasi roller kiln yang kotor dan kendor
2
Roller Kiln macet dan kendor 2
Kedua metode baik untuk mengidentifikasikancepatan putaran rol ataupun roller kiln yang kotor dan kendor dilakukan secara visual, dan dibutuhkan analisis untuk menjudge kerusakan tersebut., sehingga rating detection adalah 2. Karena keduanya memiliki tingkat detection yang sama, maka kegagalan roller kiln macet dan kendor memiliki tingkat deteksi 2.
Ø Penghitungan Risk Priority Number (RPN)
Pada tahap ini dilakukan perhitungan risk priority number (RPN) untuk
mengidentifikasi failure mode yang perlu diprioritaskan untuk dianalisis dan
ditindaklanjuti, karena dianggap menjadi sumber kegagalan utama mesin kiln.
Penghitungan RPN yaitu dengan cara mengalikan tingkat severity dengan tingkat
occurance dan dengan tingkat detection. Perhitungan selengkapnya ditampilkan
pada Tabel 4.22 berikut:
IV - 107
Tabel 4.22 Risk Priority Number
Potential Failure Mode S O D RPN Prioritas
Panel kiln tidak berfungsi 4 3 3 36 3 Panel gas tidak berfungsi 4 4 3 48 2 Gearbox failure 2 2 3 12 6 Burner nozzle bermasalah 5 4 3 60 1 Actuator macet 4 3 1 12 5 Roller Kiln macet dan kendor 4 4 2 32 4
Contoh perhitungan manual RPN :
Failure mode adalah Burner nozzle bermasalah, dengan:
ü Severity = 5
ü Occurrence = 4
ü Detection = 3
Maka RPN Burner nozzle bermasalah = 5 x 4 x 3 = 60
Pada Gambar 4.11 akan disajikan mesin burner nozzle yang digunakan
dalam pembakaran tegel keramik dalam mesin kiln.
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.11 Mesin burner nozzle
Keterangan Gambar:
1. Flame trap
2. Air-gas inlet
3. Air Pressure inlet
4. Gas pressure inlet
5. Ignition electrode
6. Flame detection
7. Gas hose
8. Air hose
9. Nozzle
10. Burner head
I - 108
4.4 TAHAP PERBAIKAN (IMPROVE) DAN PENGENDALIAN
(CONTROL)
Pada tahap ini diberikan usulan perbaikan dan pengendalian yang
didapatkan dari interpretasi hasil. Usulan perbaikan dibagi ke dalam 2, yaitu
perbaikan manajerial dan teknis. Usulan perbaikan akan dititberatkan pada
perbaikan CTQ kunci yang didapatkan dari hasil analisis tingkat kepentingan -
kinerja dan gap yaitu melenting serta perbaikan RPN tertinggi yaitu burner nozzle
yang bermasalah. Usulan control diberikan untuk mengendalikan perbaikan yang
dilakukan pada tahap improve agar dapat meminimasi kegagalan yang potensial
terjadi pada kualitas proses yang berkaitan erat dengan output produk, sehingga
tegel keramik yang diproduksi dapat optimal serta sesuai dengan standar yang
telah ditentukan perusahaan.
4.4.1. Perbaikan Manajerial
Perbaikan manajerial merupakan perbaikan yang melibatkan manajerial
perusahaan dalam upaya melakukan perbaikan. Perbaikan ini dilakukan ke dalam
2 tahap, antara lain sebagai berikut:
A. Perbaikan Struktur Tim Organisasi
Susunan / struktur organisasi di Departemen Plant 3 beserta bagian lain
yang mendukungnya secara sederhana disajikan pada Gambar 4.12 sebagai
berikut:
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.12 Struktur Organisasi Departemen Plant 3 PT. IKAD
I - 109
Gambar 4.12 di atas menunjukkan struktur organisasi di Departemen Plant
3 PT. IKAD dimana bagian Quality Assurance (QA) dan koordinator kiln sebagai
bagian yang terpisah membantu Departemen Plant 3 serta Kepala Departemen
Plant 3 saling memberikan feedback memberikan informasi seputar kondisi dan
kebutuhan proses produksi. Selanjutnya, Kepala Departemen Plant 3 membawahi
dan memberi instruksi kepada kepala maintenance, kepala bagian kiln, kepala
regu kiln, serta para karyawan yang bertugas sebagai pelaksana proses produksi
(operator) di lapangan.
Pada suatu proyek Six Sigma, sekelompok tim Six Sigma harus
dipersiapkan dalam pelaksanaan proyek ini. Rencana pembentukan dilakukan
mengingat tim Six Sigma sangat penting peranannya dalam menyelesaikan suatu
proyek Six Sigma dan selain itu di Departemen Plant 3, bagian yang mengawasi
dan mengevaluasi kualitas yaitu Quality Assurance (QA), tidak hanya mengawasi
bagian kiln, namun seluruh bagian proses dan seluruh departemen di PT. IKAD
sehingga permasalahan yang kritis sering ditangani terlambat sehingga
menyebabkan kualitas tegel keramik tidak optimal. Selain itu tim Six Sigma
tersebut juga dapat memberikan pelatihan, pengarahan (training) dan informasi
tambahan kepada operator tentang pencegahan kegagalan proses serta melakukan
pengawasan dan pengontrolan secara rutin terhadap operator yang bekerja serta
kualitas produk yang dihasilkannya dalam usaha perusahaan menuju target zero
defect. Operator yang mengerti pentingnya proses kiln akan memberikan perhatian
penuh terhadap proses tersebut. Hal ini sangat penting karena proses pembakaran
merupakan proses vital dalam menentukan output tegel keramik yang berkualitas.
Untuk pembentukan struktur tim baru, harus pula dipertimbangkan
sinkronisasinya dengan staff atau karyawan lainnya sehingga hubungan yang
optimal akan terbentuk. Adapun untuk struktur tim sebelum dilakukan
implementasi usulan diwakili oleh garis putus berwarna merah. Usulan
pembentukan susunan atau struktur tim Six Sigma selanjutnya disajikan pada
Gambar 4.13 berikut ini:
I - 110
Keterangan :
Direct Report
Indirect Report
Gambar 4.13 Usulan Struktur Team Six Sigma Pada Departemen Plant 3
Adapun tugas dan wewenang Team Six Sigma yang dibentuk pada Gambar
4.13 di atas ialah sebagai berikut:
v Executive Leadership komit untuk mewujudkan Six Sigma, memulai dan
memasyarakatkannya di seluruh bagian, divisi, departemen dan cabang-cabang
perusahaan. Tugas ini dapat diambil oleh Pimpinan puncak PT. IKAD sebagai
pemegang kendali tertinggi perusahaan.
I - 111
v Champions merupakan pendukung utama yang berjuang demi terbentuknya
Black Belts dan berupaya meniadakan berbagai rintangan/hambatan baik yang
bersifat fungsional, finansial, ataupun pribadi agar Black Belts berfungsi
sebagaimana mestinya. Bisa dikatakan Champions menyatu dengan proses
pelaksanaan proyek, para anggotanya berasal dari kalangan direktur dan
manajer, bertanggung jawab terhadap aktivitas proyek sehari-hari, wajib
melaporkan perkembangan hasil kepada executive leaders sembari mendukung
tim pelaksana. Tugas ini dapat diambil oleh para manajer PT. IKAD seperti
contohnya PCM (Plant Coordinate Manager) dan SCM (Sistem Coordinate
Manager) sebagai pemegang kendali proyek.
v Master Black Belt bertindak sebagai pelatih, penasehat (mentor) dan pemandu.
Master Black Belt adalah orang-orang yang sangat menguasai alat-alat dan
taktik Six Sigma, memusatkan seluruh perhatian dan kemampuannya pada
penyempurnaan proses. Kunci peranan master black belt terletak pada
kepiawaiannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tanpa mengambil
alih proyek/tugas/pekerjaan.
v Black Belts sebagai tulang punggung budaya dan pusat keberhasilan Six
Sigma, mengingat mereka adalah orang-orang yang memimpin proyek
perbaikan kinerja perusahaan, dilatih untuk menemukan masalah, penyebab
beserta penyelesaiannya, bertugas mengubah teori ke dalam tindakan, wajib
memilah-milah data, opini dengan fakta, dan secara kuantitatif menunjukkan
faktor-faktor potensial yang menimbulkan masalah produktivitas serta
profitabilitas, bertanggung jawab mewujudnyatakan Six Sigma.
v Green Belts membantu Black belts di wilayah fungsionalnya. Pada umumnya
Green belts bertugas mengaplikasikan alat-alat Six Sigma untuk menguji dan
menyelesaikan problema-problema kronis, mengumpulkan dan menganalisis
data.
I - 112
B. Perbaikan dengan Metode 5W - 2H
Perbaikan yang konkrit perlu dilakukan oleh manajerial perusahaan agar
kegagalan tersebut dapat diminimasi. Untuk memperbaiki kegagalan-kegagalan
tersebut perlu diketahui apa yang menjadi target utama dari perbaikan kualitas
tersebut, alasan kegunaaan rencana perbaikan tersebut, lokasi aktivitas, urutan
aktivitas, orang dan metode perbaikannya. Adapun metode yang digunakan adalah
metode 5W-2H dan untuk aspek “How much” tidak dilakukan karena dalam
penelitian ini tidak memperhitungkan biaya.
Perbaikan terhadap kegagalan Burner nozzle dapat dilakukan dengan
merencanakan tindakan-tindakan guna mencapai tujuan utama dengan berbagai
metode perbaikan yang secara jelas disajikan dalam Tabel 4.23 berikut ini:
Tabel 4.23 Perbaikan Kualitas Tegel Keramik
5W-1H TINDAKAN
Tujuan Utama
What (Apa)
1. Memberikan prioritas perbaikan proses. 2. Melihat kemungkinan pergantian sistem pembakaran agar proses
dapat lebih dapat maksimal dan menghasilkan lebih sedikit kecacatan 3. Mengusulkan pembuatan grafik temperatur harian proses pembakaran
yang dapat digunakan sebagai indikator perbaikan pada mesin kiln, khususnya burner nozzle
4. Kegiatan overhaul mesin kiln dilakukan secara berkala. 5. Memberi form evaluasi pengawasan dan panduan standar operasional
perawatan mesin kiln kepada operator serta kondisi mesin kiln dan menekankan bahwa proses kiln sangat penting dalam menghasilkan tegel keramik yang berkualitas tinggi.
Alasan Kegunaan
Why (Mengapa)
1. Mesin yang dirawat secara berkala akan menghasilkan kinerja yang optimal dimana apabila kinerja mesin optimal, maka diharapkan kualitas yang diinginkan akan tercapai selain itu perawatan juga perlu agar kerusakan mesin dapat dideteksi sedini mungkin.
2. Prioritas perbaikan dilakukan agar dapat fokus dalam penyelesaian masalah sehingga kecacatan yang terjadi dapat diminimasi.
3. Peremajaan part, khususnya burner nozzle dapat menjadi solusi pembakaran tegel yang sempurna, sehingga kecacatan dapat dihindari.
4. Operator yang mengerti pentingnya proses kiln akan memberikan perhatian penuh terhadap proses tersebut. Hal ini sangat penting karena proses pembakaran merupakan proses vital dalam menentukan output tegel keramik yang berkualitas.
5. Panduan standar yang diberikan akan sangat berguna sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan oleh operator.
Lokasi Where
(Dimana) Rencana perbaikan ini dilakukan di Departemen Plant 3 khususnya pada proses kiln
I - 113
Urutan When
(Bilamana)
1. Aktivitas dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan metode Six Sigma DMAIC
2. Rencana tindakan ini akan dilaksanakan secepatnya, setelah mengetahui dan menemukan faktor-faktor penyebab kegagalan akibat tegel keramik yang melenting.
Orang Who
(Siapa)
Rencana tindakan perbaikan dapat dilakukan dengan membentuk tim Six Sigma dengan dipimpin oleh seorang Black Belt. Rencana pembentukan dilakukan mengingat bagian Quality Assurance (QA) tidak hanya mengawasi bagian kiln, namun seluruh bagian proses dan seluruh departemen di PT. IKAD sehingga permasalahn yang kritis sering ditangani terlambat sehingga menyebabkan kualitas tegel keramik tidak optimal.
Metode How
(Bagaimana)
1. Mengusulkan prioritas perbaikan proses kiln dan sistem proses, misal sistem pembakaran yang digunakan perusahaan
2. Membuat schedule pelaksanaan overhaul mesin kiln terhadap mesin kiln secara berkala, ingat slogan doing right for the first time.
3. Secara rutin mengisi form pemeriksaan atau report kondisi mesin kiln dan membuat laporan bulanan evaluasi pengawasan rencana perbaikan kiln sehingga jumlah kecacatan dapat dikendalikan.
4. Memperbaiki prosedur proses yang kurang baik dalam pelaksanaanya.
5. Menerapkan usulan perbaikan tersebut.
4.4.2 Perbaikan Teknis
Perbaikan teknis merupakan perbaikan yang melibatkan segi teknis dalam
upaya melakukan perbaikan. Perbaikan dalam penelitian ini dilakukan ke dalam 2
tahapan usulan perbaikan, antara lain sebagai berikut:
A. Usulan Perbaikan (Improve) Burner nozzle
Berdasarkan analisis FMEA, didapatkan penyebab-penyebab kegagalan yang
menyebabkan keramik melenting. Berdasarkan nilai Risk Priority Number (RPN)
tertinggi, penyebab kegagalan tersebut adalah burner nozzle yang bermasalah.
Penyebab kegagalan tersebut memberikan kontribusi terbesar yang menyebabkan
keramik melenting.
Metode 5W-2H pada Tabel 4.23 di atas menjelaskan rencana perbaikan
agar kegagalan dapat diminimasi. Adapun perbaikan secara konkrit dijelaskan
dengan tahap-tahap improvement sebagai berikut:
I - 114
Feeding Kiln Kiln Exit Kiln
1. Mengusulkan perbaikan proses kiln
Usulan perbaikan proses kiln ini dilakukan pada proses dan sistem
pembakaran yang digunakan dan dianggap penting dalam menentukan kualitas
akhir tegel keramik.
Ø Penentuan prioritas penanganan perbaikan pada setiap permasalahan
Tim pelaksana perbaikan harus menentukan prioritas penanganan
perbaikan. Prioritas penanganan tersebut disajikan pada Gambar 4.14
berikut ini:
Ket : B è Pre Heating
C è Firing
D è Direct atau Fast Cooling
Gambar 4.14 Prioritas Penanganan Perbaikan Proses Kiln
Gambar 4.16 di atas menunjukkan garis putus-putus berwarna merah
pada tahap kiln dimana prioritas proyek penanganan perbaikan proses kiln
dilakukan pada fase B, C, dan D. Hal ini dilakukan karena berdasarkan
brainstorming dengan para responden, ketiga tahap itulah yang paling
kritis dan sering terjadi masalah.
Ø Usulan perbaikan sistem pembakaran
Sistem pembakaran tegel keramik yang digunakan oleh Departemen
Plant 3 PT. IKAD saat ini ialah dengan menggunakan single burner
membakar tegel dengan nozzle tunggal. Sistem pembakaran yang
digunakan sebelum perbaikan yaitu single Burner selanjutnya disajikan
pada Gambar 4.15 berikut ini.
Sistem sebelum perbaikan :
Prioritas Proyek
I - 115
Sumber : www.sirnet.it/ipeg.htm
Gambar 4.15 Sistem Single Burner
Sistem Single burner ini beroperasi dengan menggunakan saluran
pembakaran tunggal dimana jumlah saluran yang terdapat di dalam mesin
berjumlah satu saluran. Saluran ini mengeluarkan percikan api yang
didapatkan dari tekanan udara dan gas yang dimasukkan ke dalamnya dan
tercampur. Tekanan gas dan udara bisa diatur sedemikian rupa untuk
mengatur besar kecilnya percikan api. Selanjutnya percikan api keluar
melalui saluran pembakaran tunggal tersebut.
Setelah dievaluasi lebih lanjut dan melihat berbagai referensi,
diketemukan bahwa sistem twin burner ternyata lebih baik daripada sistem
single burner dalam membakar tegel keramik, dimana dapat dilihat dari
terdapatnya dua buah nozzle yang berguna untuk membakar secara
menyeluruh. Selanjutnya usulan perbaikan terhadap sistem pembakaran
disajikan pada Gambar 4.16 berikut ini:
I - 116
Usulan perbaikan sistem :
Sumber : www.sirnet.it/ipeg.htm
Gambar 4.16 Sistem Twin Burner
Pada intinya sistem twin burner ini memiliki sistem kerja yang
hampir sama dengan sistem single burner namun perbedaanya terletak
saluran pembakarannya dimana pada sistem twin burner ini beroperasi
dengan menggunakan saluran pembakaran ganda dimana jumlah saluran
yang terdapat di dalam mesin berjumlah dua saluran, yaitu kanan dan kiri.
Saluran ini mengeluarkan percikan api yang didapatkan dari tekanan udara
dan gas yang dimasukkan ke dalamnya dan tercampur. Tekanan gas dan
udara bisa diatur sedemikian rupa untuk mengatur besar kecilnya percikan
api. Selanjutnya percikan api keluar melalui kedua saluran pembakaran
ganda tersebut.
2. Pembuatan jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln.
Perawatan dan pengawasan secara detail terhadap mesin kiln secara
berkala, yaitu setiap minggu, setiap bulan, setiap 3 bulan, setiap 6 bulan serta
overhaul (Perbaikan secara total dan menyeluruh) yang dilakukan setahun sekali
dimana mesin diharapkan akan menghasilkan kinerja yang optimal karena apabila
kinerja mesin optimal, maka diharapkan kualitas yang diinginkan akan tercapai.
I - 117
Selain itu, perawatan juga perlu agar memperpanjang umur mesin. Usulan yang
dapat dilakukan yaitu dengan membuat tabel schedule overhaul mesin kiln yang
dilakukan disajikan pada Tabel 2.24 berikut:
Tabel 4.24 Tabel Schedule Overhaul Mesin Kiln
Hari / Tanggal Jam Kepala
Pelaksana
Petugas
Penanggung Jawab Keterangan
07.00 – 08.00 Operator 1
15.00 – 16.00 Operator 2
23.00 – 00.00
Kepala
Maintenance Operator 3
07.00 – 08.00 Operator 1
15.00 – 16.00 Operator 2
23.00 – 00.00
Kepala
Maintenance Operator 3
07.00 – 08.00 Operator 1
15.00 – 16.00 Operator 2
23.00 – 00.00
Kepala
Maintenance Operator 3
Jadwal tersebut di atas dirancang berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut:
ü Perusahaan biasanya hanya melakukan perawatan apabila terdapat masalah
pada mesin dimana untuk overhaul dilakukan setahun sekali, padahal untuk
overhaul disarankan oleh produsen mesin dilakukan setahun 2 kali. Pada
penelitian ini dilakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya
masalah.
ü Perawatan dilakukan pada 3 shift secara berurutan, yaitu pada pukul:
- 07.00 – 08.00, biasanya para pekerja shift I masuk pada jam tersebut,
sehingga perawatan dapat secara langsung dilakukan setelah masuk kerja.
- 15.00 – 16.00, biasanya para pekerja shift II masuk pada jam tersebut,
sehingga perawatan dapat secara langsung dilakukan setelah masuk kerja.
- 23.00 – 00.00, biasanya para pekerja shift III masuk pada jam tersebut,
sehingga perawatan dapat secara langsung dilakukan setelah masuk kerja.
Adapun untuk dokumentasi report hasil pengawasan kondisi mesin kiln
yaitu kondisi pada fase preheating, firing, serta cooling dilaporkan dan dicatat tiap
I - 118
bulannya. Untuk lebih jelasnya form report kondisi mesin kiln disajikan pada
Gambar 4.17 di bawah ini:
REPORT KONDISI MESIN KILN
DEPARTEMEN PLANT 3 PT. IKAD
Bulan / Tahun : Kondisi Mesin Kiln Paraf Mengetahui
Hari /
Tanggal Jam
Kepala
Pengawasan Pre
Heating Firing
Fast
Cooling
Keterangan
Kondisi Mesin Kiln Koord
kiln
Kabag
kiln
Ka.
Mtc
07.00 – 08.00
15.00 – 16.00
23.00 – 00.00
Kepala regu
kiln
07.00 – 08.00
15.00 – 16.00
23.00 – 00.00
Kepala regu
kiln
07.00 – 08.00
15.00 – 16.00
23.00 – 00.00
Kepala regu
kiln
Keterangan : - Hasil selama satu bulan dilaporkan kepada Kepala Departemen Plant 3 PT. IKAD. - Kondisi ketiga bagian mesin kiln diberi tanda check (v) apabila baik dan minus (-) apabila bermasalah
Tangerang,
Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.17 Form Report Kondisi Mesin Kiln
Form di atas diparaf kedua staff internal selaku pelaksana dan koordinator
kiln. Laporan bulanan divalidasi oleh kepala departemen selaku pemimpin
tertinggi dalam departemen.
Selanjutnya secara rutin para staff produksi mengevaluasi hasil rencana
kerja tersebut di atas secara berkala sesuai jadwal yang telah direncanakan
I - 119
sebelumnya dengan mengisi form evaluasi perbaikan proses kiln pada kolom
aktual dan membuat laporan bulanannya sehingga jumlah kecacatan dapat
dikendalikan. Indikator Improvement didapatkan dari hasil waktu penyelesaian
dari actual dengan plan. Kolom keterangan dapat diisi dengan permasalahan yang
terjadi pada proses produksi di bagian kiln. Adapun Form evaluasi pengawasan
rencana perbaikan proses kiln disajikan pada Gambar 4.18 berikut ini.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
PLAN
ACTUAL
6
5
9
8
10
11
7
4
3
KETERANGAN
FORM EVALUASI PENGAWASAN RENCANA PERBAIKAN KILN DEPARTEMEN PLANT 3
NO. PEKERJAAN RENCANA PERBAIKANORANG
1
2
Bulan X
Mengetahui,
Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.18 Form Evaluasi Pengawasan Rencana Perbaikan Proses Kiln
Form di atas selanjutnya diparaf oleh kepala Departemen Plant 3 selaku
Leader teratas di Plant 3 yang memvalidasi form. Hal tersebut dapat dilihat dari
struktur organisasi di Departemen Plant 3, bahwa wewenang tertinggi berada di
tangan kepala departemen.
I - 120
3. Pendokumentasian Proses Perawatan Mesin Kiln
Rambu-rambu proses yang jelas sangat diperlukan dalam melaksanakan
perbaikan proses ini. Oleh karena itu, dibuat prosedur pelaksanaan perawatan
mesin kiln yang saat ini dilaksanakan di Departemen Plant 3 PT. IKAD, disajikan
pada Gambar 4.19 berikut ini.
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.19 Prosedur Pelaksanaan Perawatan Mesin Kiln PT. IKAD
Selanjutnya akan digambarkan usulan prosedur pelaksanaan perawatan
overhaul mesin kiln yang diwakili oleh garis putus-putus berwarna merah dimana
pada prosedur usulan ini menitikberatkan pada komunikasi diantara para staff dan
sosialisasi yang terjadi antara para staff dan karyawan yang disajikan pada
Gambar 4.20 berikut ini.
I - 121
Gambar 4.20 Usulan Prosedur Pelaksanaan Perawatan Mesin Kiln
B. Usulan Perbaikan (Improve) Keseluruhan
Usulan perbaikan ini difokuskan kepada CTQ kunci yang sebelumnya
terpilih yaitu melenting. Usulan perbaikan yang diusulkan diantaranya melakukan
action planning for failure modes terhadap sebab-sebab terjadinya kegagalan
melenting, serta mendokumentasikan proses operasional.
I - 122
1. Melakukan Action Planning for Failure Modes
Data modus kegagalan yang telah dibuat sebelumnya melalui failure
modes and effect analysis (FMEA) dijadikan dasar dalam pembuatan tabel usulan
Action Planning for Failure Modes yang selanjutnya disajikan pada Tabel 4.25
berikut ini.
Tabel 4.25 Action Planning for Failure Modes
Rank Failure
Modes
Actionable
Cause
Design Action /
Potensial Solutions
ü Damper angin pembakaran terlalu besar dan Damper blower tertutup
Damper angin pembakaran disetting agar tidak terlalu besar
1 Burner nozzle
bermasalah ü Flame Detection error
Mensetting flame detection secara berkala
ü Tekanan gas turun dari PLN Mengganti tenaga listrik dengan genset 2
Panel gas
tidak berfungsi ü Ring gas error
Mensetting ring gas secara berkala
ü Sensor kiln error Mensetting sensor kiln secara berkala
ü Komponen panel kiln kotor Pembersihan secara rutin 3 Panel kiln
tidak berfungsi ü Pembukaan damper blower
terlalu kecil Mensetting damper blower secara berkala
ü Roller kurang diberi pelumas Memberi pelumas secara berkala apabila roller agak macet
ü Bantalan roller robek dan melar
Mengganti dengan bantalan roller yang baru dan berkualitas
ü Penempatan roller kurang tepat
Mengecek dan menempatkan kembali roller dengan tepat
4 Roller Kiln
macet dan kendor
ü Jarang diperiksa dan dibersihkan
Roller kiln secara rutin diperiksa dan dibersihkan
ü Komponen kotor Pembersihan komponen yang kotor secara rutin 5 Actuator macet
ü Komponen putus / rusak Penggantian salah satu komponen yang putus dan rusak
ü Gigi Aus dan rontok Penggantian dan peningkatan kualitas gigi yang sudah aus dan rontok
ü Kurang pelumas Dapat biberi pelumas apabila dilihat kurang
6 Gearbox failure
ü Fotocel tidak berfungsi Pengecekan Fotocel tiap periode
I - 123
2. Usulan Proses Standar Operasional (SOP) Perawatan maintenance kiln
Prosedur perawatan maintenance kiln standar yang dilakukan perusahaan
agar proses kiln berjalan lancar dan produk yang dihasilkan tidak melenting
didokumentasikan pada Standar Operasional Procedures (SOP) Maintenance
Kiln Departemen Plant 3 PT. IKAD yang disajikan pada Gambar 4.21 berikut ini.
Sumber : PT. IKAD
Gambar 4.21 Dokumentasi Aliran Informasi SOP Maintenance Kiln
Departemen Plant 3 PT. IKAD
Dari Gambar 4.21 diatas dapat dilihat kurang dan tidak terdapatnya
pengawasan dan perawatan terhadap komponen mesin kiln yang didapatkan
sebelumnya pada usulan Action Planning for Failure Modes dalam Tabel 4.25,
seperti burner nozzle, roller kiln, gearbox, dan actuator, sehingga dapat diusulkan
prosedur standar operasional yang baru.
I - 124
Adapun usulan dokumentasi aliran informasi Standard Operational
Procedures (SOP) maintenance kiln berdasarkan informasi tambahan yang
didapatkan dari tahap pengolahan FMEA selanjutnya disajikan pada Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Usulan Dokumentasi Aliran Informasi SOP Maintenance Kiln
I - 125
Garis-garis putus berwarna merah pada Gambar 4.22 di atas menunjukan
usulan perbaikan yang dilakukan pada pendokumentasian aliran informasi SOP
maintenance kiln. Hal ini dilakukan untuk mencegah kegagalan yang sama pada
mesin kiln terulang kembali.
4.4.3. Usulan Pengendalian (Control) Burner nozzle
Pada tahap ini dipaparkan usulan dalam upaya mengendalikan perbaikan-
perbaikan yang telah dibuat pada tahap improve agar permasalahan burner nozzle
yang bermasalah dapat diminimasi dan tidak terulang kembali di masa yang akan
datang.
1. Pembuatan report control temperatur proses pembakaran
Indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat dari temperatur pembakaran
yang ada. Data dapat diambil secara rutin dari pengawasan temperatur melalui
thermocouple oleh operator kiln dari ketiga fase pembakaran yaitu fase
preheating, kiln, dan cooling dan masing-masing dibuat grafiknya. Report control
temperatur yang dibuat oleh PT. IKAD tiap fase, yaitu fase preheating, kiln, dan
cooling akan dilakukan penyederhanaan dengan menjadikan satu form grafik
report yang akan disajikan pada Gambar 4.26.
A. Report Control Preheating
Pada fase ini idealnya grafik yang dihasilkan dari data tersebut stabil pada
temperatur 500oC-800oC, karena apabila turun atau naik dari interval
temperatur yang ideal tersebut berarti kinerja kiln pada tahap pembakaran awal
bermasalah, khususnya burner nozzle kurang optimal. Report harian
temperatur preheating secara rutin harus diparaf oleh kepala bagian kiln selaku
Leader pada bagian kiln di Departemen Plant 3. Report temperatur preheating
harian disajikan pada Gambar 4.23 berikut ini.
I - 126
REPORT TEMPERATUR PREHEATING DEPARTEMEN PLANT 3
TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
JAM TEMPERATUR 1 7502 8003 8004 8005 8006 8007 8008 8009 800
10 80011 80012 80013 80014 80015 80016 80017 85018 85019 80020 85021 85022 90023 90024 900
GRAFIK REPORT PREHEATING PLANT 3TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
650
700
750
800
850
900
950
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
WAKTU (JAM)
TE
MP
ER
AT
UR
Mengetahui,
Kepala bagian Kiln Koordinator Kiln
Gambar 4.23 Report Temperatur Preheating Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh koordinator kiln selaku
pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang
memvalidasi form.
B. Report Control Firing
Indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat dari temperatur pembakaran yang
ada. Data dapat diambil dari pengawasan secara rutin oleh operator kiln
mengenai temperatur firing yang ada dan dibuat grafik, dimana idealnya grafik
yang dihasilkan dari data tersebut diharapkan temperatur berada dalam interval
1150oC - 1170oC, karena apabila turun atau naik dari interval temperatur yang
ideal tersebut berarti kinerja kiln pada tahap pembakaran, khususnya kinerja
burner nozzle kurang optimal. Report harian temperatur firing secara rutin
harus diparaf oleh kepala bagian kiln selaku Leader pada bagian kiln. Report
temperatur firing harian disajikan pada Gambar 4.24.
I - 127
REPORT TEMPERATUR FIRING DEPARTEMEN PLANT 3
TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
JAM TEMPERATUR 1 11002 11503 11554 11505 11606 11507 11508 11509 1155
10 115511 115012 115013 117014 117015 115516 116017 115018 115019 115020 115021 116522 115023 115024 1150
GRAFIK REPORT FIRING PLANT 3TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
1060
1080
1100
1120
1140
1160
1180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
WAKTU (JAM)
TEM
PER
ATU
R
Mengetahui,
Kepala bagian Kiln Koordinator Kiln
Gambar 4.24 Report Temperatur Firing Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh koordinator kiln selaku
pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang
memvalidasi form.
C. Report Control Cooling
Pada tahap pendinginan ini, indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat dari
temperatur yang dihasilkannya. Data dapat diambil dari pengawasan secara
rutin oleh operator kiln mengenai temperatur pada fase cooling yang ada dan
dibuat grafik, dimana idealnya grafik yang dihasilkan, temperatur berada
dalam interval 1150oC - 1170oC, karena apabila turun atau naik dari interval
temperatur yang ideal tersebut berarti kinerja kiln, khususnya burner nozzle
kurang optimal. Report harian temperatur pada fase cooling secara rutin harus
I - 128
diparaf oleh kepala bagian kiln selaku Leader pada bagian kiln. Report
temperatur fase cooling harian disajikan pada Gambar 4.25.
REPORT TEMPERATUR COOLING DEPARTEMEN PLANT 3
TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
JAM TEMPERATUR 1 6002 6203 6504 6505 6006 6007 6008 6009 600
10 60011 60012 60013 55014 60015 50016 50017 50018 50019 50020 55021 50022 50023 55024 500
GRAFIK REPORT COOLING PLANT 3TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
0
100
200
300
400
500
600
700
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
WAKTU (JAM)
TE
MP
ER
AT
UR
Mengetahui,
Kepala bagian Kiln Koordinator Kiln
Gambar 4.25 Report Temperatur Cooling Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh koordinator kiln selaku
pengawas khusus pada bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang
memvalidasi form.
D. Report Control Integrasi Fase Pembakaran
Indikator kinerja burner nozzle dapat dilihat keseluruhan dengan melihat
report control integrasi fase pembakaran. Data dapat diambil dari ketiga fase
pembakaran di atas, yaitu fase preheating, firing, dan cooling. Data temperatur
ketiga fase tersebut selanjutnya dibuat grafik, dimana idealnya grafik yang
dihasilkan dari data tersebut diharapkan naik pada fase preheating, stagnan
I - 129
pada fase firing, dan turun pada fase cooling atau pendinginan, karena apabila
terjadi grafik yang jauh dari pola tersebut, berarti kinerja kiln, khususnya
burner nozzle kurang optimal. Report control integrasi ketiga fase pembakaran
harian disajikan pada Gambar 4.26.
REPORT TEMPERATUR KILN DEPARTEMEN PLANT 3
TANGGAL 11 NOVEMBER 2006
Jam1 750 1100 6002 800 1150 6203 800 1155 6504 800 1150 6505 800 1160 6006 800 1150 6007 800 1150 6008 800 1150 6009 800 1155 60010 800 1155 60011 800 1150 60012 800 1150 60013 800 1170 55014 800 1170 60015 800 1155 50016 800 1160 50017 850 1150 50018 850 1150 50019 800 1150 50020 850 1150 55021 850 1165 50022 900 1150 50023 900 1150 55024 900 1150 500
TEMPERATUR
GRAFIK REPORT INTEGRASI PROSES UTAMA KILN P3 TGL11/11/2006
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1 5 9 13 17 21 1 5 9 13 17 21 1 5 9 13 17 21
Waktu (Jam)
TE
MP
ER
AT
UR
Mengetahui,
Kepala bagian Kiln Koordinator Kiln
Gambar 4.26 Report Temperatur Integrasi Ketiga Fase Pembakaran Harian
Form di atas selanjutnya diparaf kembali oleh kepala bagian kiln selaku
leader pada bagian kiln serta koordinator kiln selaku pengawas khusus pada
bagian kiln dan memegang kendali semua mesin kiln yang memvalidasi form.
I - 130
Selanjutnya dibuat form control perkembangan kondisi burner nozzle tiap
bulannya untuk evaluasi pengendalian kondisi burner nozzle sehingga kondisi
burner nozzle dapat selalu dipantau dan diambil langkah-langkah perbaikan yang
terangkum dalam tahap perbaikan (improve) di atas. Adapun form lanjutan untuk
control perkembangan burner nozzle tiap periodenya beserta keterangan
seperlunya ditampilkan pada Gambar 4.27.
Gambar 4.27 Perkembangan Kondisi Burner Nozle
Gambar 4.27 diatas setiap minggunya dapat dilihat kondisi burner nozzle
agar apabila terjadi kondisi yang buruk, dapat langsung dilakukan pencegahan
dini sehingga kondisi burner nozzle selalu optimal. Form ini harus selalu diparaf
validasinya oleh koordinator kiln dan kepala maintenance dan selanjutnya diparaf
oleh Kepala Departemen Plant 3.
PERKEMBANGAN KONDISI BURNER NOZZLE DEPARTEMEN PLANT 3 PT. IKAD
Bulan :
Tahun :
Kondisi Komponen Burner nozzle
Kondisi Burner nozzle Paraf Validasi Periode
(Minggu) Damper angin
Damper Blower
Flame Detection
Normal Buruk Keterangan Koordinator
Kiln Kepala
Mtc 1
2
3
4
5
6
.
.
n Keterangan : - Komponen Burner nozzle yang diberi tanda check (v) apabila Kondisi normal / baik dan minus (-) apabila bermasalah - Kondisi Burner nozzle keseluruhan diberi tanda check (x) pada kolom normal atau buruk Tangerang,
Kepala Departemen Plant 3
I - 131
4.4.4. Usulan Pengendalian (Control) Keseluruhan
Tahap control ini juga untuk mengetahui apakah hasil dari solusi
permasalahan menghasilkan proses baru yang stabil yang tentunya dapat
dilakukan dengan melakukan verifikasi terhadap hasil perbaikan. Verifikasi yang
dilakukan adalah verifikasi terhadap perubahan atau penurunan proporsi cacat,
verifikasi peningkatan kapabilitas proses dan verifikasi peningkatan level Sigma.
Adapun pengendalian yang dilakukan sebagai berikut:
1. Mengimplementasikan pengendalian proses statistik secara langsung
Implementasi pengendalian proses statistik secara langsung dapat
dilakukan dengan tools sederhana Run Chart. Gambar 4.28 menunjukkan tingkat
defect. Gambar tersebut tidak merangkum bebagai informasi, tetapi memberikan
berbagai ide dari kecenderungan secara umum dan tingkat variabilitas proses.
Gambar 4.28 Run Chart Tingkat Defect
2. Melakukan verifikasi terhadap hasil perbaikan proses dengan secara rutin
melakukan verifikasi penurunan DPMO tiap periode dan mengukur hasil
pencapaian proses setiap periode waktu tertentu serta mengontrol dan
memonitor hasil-hasilnya oleh tim proyek Six Sigma sehingga target kinerja
tingkat sigma yang diinginkan bisa tercapai dan sesuai dengan target waktu
yang telah dibuat dengan form pencapaian target kinerja dari critical to quality
(CTQ) yang disajikan pada Gambar 4.29 berikut.
Perbaikan proses
Jum
lah
Def
ect M
elen
ting
Periode Waktu
I - 132
PENCAPAIAN TARGET KINERJA DARI CRITICAL TO QUALITY (CTQ) MELENTING
SELAMA MASA PROYEK SIX SIGMA
PERIODE
(BULAN)
TARGET
SIGMA
TARGET
DPMO
AKTUAL
DPMO
PERSENTASE PENCAPAIAN
TARGET (%)
KETERANGAN HASIL
PENCAPAIAN
0 25.527 - - -
1 3,50 22.750 40.773 20,78 % Staff dan Operator masih
belum kompak serta mesin kiln
masih sering down 2 3,75 12.224 - - - 3 4,00 6.210 - - - 4 4,25 2980 - - - 5 4,50 1350 - - - 6 4,75 577 - - - 7 5,00 233 - - - 8 5,10 159 - - - 9 5,20 108 - - -
10 5,30 72 - - - 11 5,40 48 - - - 12 5,50 32 - - - 13 5,60 21 - - - 14 5,70 13 - - - 15 5,80 9 - - - 16 5,90 5 - - - 17 5,99 4 - - - 18 6,00 3 - - -
Keterangan : Persentase pencapaian target DPMO dihitung, sebagai berikut : Pencapaian target = 100 % - {(Aktual-Target) / Target } X 100 % Pencapaian target untuk periode ke-1 = 100 % - {(40.773 - 22.750) / 22.750} x 100 % = 100 % - 79,22 % = 20,78 %
Mengetahui,
Kepala Departemen Plant 3
Gambar 4.29 Form Pencapaian Target Kinerja Dari Critical To Quality Melenting
Laporan perkembangan pencapaian target kinerja CTQ melenting di atas
selalu dievaluasi tiap periodenya. Form laporan ini selanjutnya divalidasi oleh
kepala Departemen Plant 3, dimana beliau memiliki wewenang tertinggi di
Departemen Plant 3.
I - 133
3. Pembuatan Design control validation
Pembuatan design control validation dilakukan untuk memvalidasi tiap
solusi yang telah dilaksanakan pada Action Planning for Failure Modes sehingga
dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah dilakukan dengan baik. control
validation dapat dibuat berupa dokumen atau laporan untuk memvalidasi tiap
solusi yang telah dilaksanakan. Adapun design Control Validation biasanya
ditabelkan pada Tabel 4.26 sebagai berikut.
Tabel 4.26 Design Control Validation
Rank Failure Modes Actionable Cause Design Action /
Potensial Solutions
Design Control
Validation
ü Damper angin pembakaran terlalu besar dan Damper blower tertutup
Damper angin pembakaran disetting agar tidak terlalu besar
1 Burner nozzle
bermasalah ü Flame Detection error
Mensetting flame detection secara berkala
Melakukan Pengawasan selama penyetingan untuk memastikan operator telah mengerti
ü Tekanan gas turun dari PLN Mengganti tenaga listrik dengan genset 2
Panel gas
tidak berfungsi ü Ring gas error
Mensetting ring gas secara berkala
Dokumentasi SOP yang standar
ü Sensor kiln error Mensetting sensor kiln secara berkala
ü Komponen panel kiln kotor Pembersihan secara rutin 3 Panel kiln
tidak berfungsi ü Pembukaan damper blower
terlalu kecil Mensetting damper blower secara berkala
Dokumentasi SOP yang standar
ü Roller kurang diberi pelumas Memberi pelumas secara berkala apabila roller agak macet
ü Bantalan roller robek dan melar
Mengganti dengan bantalan roller yang baru dan berkualitas
ü Penempatan roller kurang tepat
Mengecek dan menempatkan kembali roller dengan tepat
4 Roller Kiln
macet dan kendor
ü Jarang diperiksa dan dibersihkan
Roller kiln secara rutin diperiksa dan dibersihkan
Laporan maintenance Roller kiln secara berkala
ü Komponen kotor Pembersihan komponen yang kotor secara rutin
5 Actuator macet
ü Komponen putus / rusak Penggantian dan peningkatan kualitas salah satu komponen yang putus dan rusak
Penawasan ketat terhadap actuator yang potensial macet
ü Gigi Aus dan rontok Penggantian dan peningkatan kualitas gigi yang sudah aus dan rontok
ü Kurang pelumas Dapat biberi pelumas apabila dilihat kurang
6 Gearbox failure
ü Fotocel tidak berfungsi Pengecekan Fotocel tiap periode
Pengawasan operasional secara berkala
I - 134
4. Pendokumentasian Proses Perawatan maintenance kiln
Prosedur standar dari tahap improve di atas harus selalu dikontrol dan
dievaluasi. Validasi oleh kepala departermen dan koordinator kiln diberikan tiap
kali dilakukan evaluasi permasalahan seputar SOP maintenance kiln. Adapun
Prosedur standar yang dijadikan pedoman proses maintenance kiln beserta
checklist tiap kali satu proses dilakukan dan kolom masalah yang berisi
permasalahan yang dihadapi. Adapun form evaluasi permasalahan SOP
maintenance kiln disajikan pada Gambar 4.30 berikut ini.
Gambar 4.30 Form Evaluasi Permasalahan SOP Maintenance Kiln
FORM EVALUASI PERMASALAHAN SOP MAINTENACE KILN DEPARTEMEN PLANT 3 PT.IKAD
NO PROSES STANDARD CHECK MASALAH
Turunkan Temperatur , Burner matikan, tutup Valve Burner, Turunkan set Temperatur sampai dengan 8000C
Cabut Roll (ganti Apabila bantalannya robek atau melar) dari Pre-Heating, Firing & Cooling ganti yang aus bersihkan,pasang dan beri kapas
Pembersihan Roller Kiln
Pelumasan Roller Kiln
Setting penempatan Roller Kiln
Check damper angin dan bersihkan
Check Tegangan V. Belt
Pelumasan Pillow Block Chimney Fan
Pelumasan Pillow Block Combustion Fan
Pelumasan Pillow Block Suction Fan
Pelumasan Pillow Block Rapid Cooling
Pelumasan Pillow Block Cooling Fan
Pelumasan Pillow Block As Transmission
Pelumasan Gearbox (ganti apabila aus atau rontok)
Check skat atas bawah Firing & Cooling
Check dan bersihkan damper blower Bersihkan Burner yg operasi dari Pre-Heating dan Firing buka dari tutupnya
Setting Sensor Kiln dan Flame Detection
Bersihkan Actuator dan ganti apabila putus atau rusak
Check Pipa Rapid Cooling, ganti yg bengkok dan patah Setting Ring Gas dan Ganti Bearing TR4 yang macet dari Pre-Heating s/d cooling
Bersihkan dalam + komponen panel kiln
Bersihkan pipa Cooling Exit yang tersumbat
1 Proses Perawatan dan Perbaikan Kiln
Start Pemanasan Tangerang,
Kepala Departemen P3 Koordinator Kiln
I - 135
5. Mempertahankan atau menstabilkan proses dengan cara menghilangkan
variasi penyebab khusus yang berhubungan dengan faktor manusia, peralatan,
material, lingkungan yang dianggap merugikan. Hal ini dapat dilakukan
dengan membuat diagram fishbone, dimana tools ini dapat selalu diperbaharui
untuk variasi-variasi penyebab terjadinya kemelentingan. Para pekerja harus
selalu berupaya untuk meminasi variasi penyebab khusus tersebut, karena
penyebab ini berpotensial dapat dikurangi, sehingga kita dapat selalu
mempertahankan atau menstabilkan proses tersebut. Adapun stabilisasi proses
dapat pula dilakukan dengan meminimasi variasi penyebab terjadinya
kemelentingan, sehingga akar-akar penyebab terjadinya kemelentingan dapat
ditekan dan faktor-faktornya dapat pula diminimasi dengan adanya perbaikan-
perbaikan terus menerus dalam perusahaan khususnya pada bagian kiln.
BAB V
ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL
Bab ini berisi mengenai analisa dan interpretasi hasil dari penelitian. Bab
ini diharapkan dapat memenuhi tujuan penelitian yang berpedoman pada konsep
DMAIC dari metode Six Sigma yang digunakan, yaitu tahapan pendefinisian
(Define), pengukuran (Measure), analisa (Analyze), serta usulan perbaikan
(Improve) dan pengendalian (Control) yang akan dijelaskan pada sub bab - sub
bab dibawah ini.
5.1 ANALISIS TAHAP DEFINE
Pada langkah analisis awal ini dilakukan untuk tahap Define dimana
dilakukan analisis tingkat kepentingan - kinerja dan gap yang digunakan untuk
mendapatkan CTQ prioritas.
5.1.1 ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN – KINERJA DAN GAP
Tingkat kepentingan - kinerja dan gap digunakan untuk mendefinisikan
Critical To Quality (CTQ) prioritas yang didapatkan dari gap nilai customer
I - 136
importance dengan customer satisfaction yang dirangkum urutannya dalam Tabel
5.1 di bawah ini.
Tabel 5.1 Urutan Selisih Nilai dan Letak Kuadran Customer
Importance dengan Customer Satisfaction
CTQ Customer Importance
(Rata-rata) Customer Satisfaction
(Rata-rata) Selisih (Gap)
Kuadran
Melenting 4,18 2,45 1,73 A
Sompel sesudah kiln 3,64 2,45 1,19 A
Oversize 4,27 3,09 1,18 B
Goyang 4,18 3,36 0,82 B
Numpuk 3,64 3,00 0,64 B
Pecahan tile 3,55 3,00 0,55 B
Retakan cooling atau preheating
4,00 3,73 0,27 B
Kotoran kiln 3,27 3,09 0,18 B
Gores 3,73 3,64 0,09 B
Adapun Tabel 5.1 di atas menunjukkan rata-rata nilai dan selisih nilai
customer importance dengan customer satisfaction serta letak kuadran untuk
setiap CTQ yang telah diurutkan dari yang paling besar hingga yang paling kecil.
CTQ teratas yaitu melenting memiliki nilai sebesar 4,18. Nilai tersebut berarti
bahwa pelanggan, dalam hal ini pelanggan internal Departemen Plant 3, yaitu
karyawan bagian exit kiln berpendapat bahwa tegel keramik yang tidak melenting
ialah penting untuk dipenuhi oleh departemen Plant 3. Sedangkan, untuk
customer satisfaction didapatkan nilai sebesar 2,45. Nilai tersebut berarti bahwa
pelanggan, dalam hal ini pelanggan internal, yaitu karyawan bagian exit kiln tidak
puas akan hasil dari tegel keramik melenting yang diproduksi oleh departemen
Plant 3. Tabel 5.1 diatas menunjukkan pula bahwa melenting memiliki selisih
terbesar dan terletak di kuadran A, yaitu kuadran yang kritis untuk diperbaiki.
CTQ ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi namun mempunyai kualitas
yang rendah sehingga pelanggan internal exit kiln merasa tidak puas terhadap
tegel keramik yang dihasilkan.
Perhitungan customer importance menunjukkan bahwa CTQ melenting
memiliki nilai tertinggi. Hal ini berarti bahwa CTQ melenting dinilai paling
penting oleh pelanggan internal exit kiln dalam hubungannya untuk memenuhi
I - 137
kebutuhan akan tegel keramik yang berkualitas. Di sisi lain, melalui nilai
customer satisfaction, pelanggan merasa cukup puas terhadap kualitas CTQ
melenting yang dihasilkan Departemen Plant 3 tersebut.
Perbandingan customer importance dan customer satisfaction kebutuhan
customer pada setiap CTQ tegel keramik seperti contoh di atas, menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan urutan CTQ kunci prioritas. Secara logika,
prinsip Six Sigma menganjurkan perusahaan agar lebih memfokuskan perbaikan
pada CTQ yang mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi bagi customer,
namun kurang dapat memberikan kepuasan pada customer tersebut. Hal tersebut
dapat diakomodasi dengan cara mencari selisih atau gap antara customer
importance dengan customer satisfaction untuk setiap CTQ. Semakin besar
selisihnya, maka perbedaan customer importance dan customer satisfaction yang
diberikan CTQ tersebut kepada customer menjadi semakin besar, yang artinya
CTQ tersebut semakin perlu diperhatikan dan diperbaiki kualitasnya.
A B
1 2 4 5
C D
Customer Satisfaction
Cus
tom
er Im
port
ance
Melenting
4
5
3
1
2
Gambar 5.1 Diagram Kartesius Customer Importance – Satisfaction
Untuk CTQ Prioritas
Pada Gambar 5.1 di atas yang merupakan penggambaran ringkas dari
Gambar 4.3 sebelumnya, dapat dilihat untuk tingkat kepentingan - kinerja
didapatkan pada kuadran A terdapat titik melenting, yang selanjutnya menjadi
CTQ prioritas yang dijadikan fokus perbaikan. Dengan demikian, CTQ melenting
perlu mendapat perhatian serius oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD dan pada
I - 138
penelitian ini diprioritaskan untuk dibahas secara mendetail. Selanjutnya, analisis
terhadap level sigma, stabilitas, kapabilitas proses, akar penyebab masalah, serta
kegagalan yang sering terjadi ditekankan pada CTQ melenting.
5.2 ANALISIS TAHAP MEASURE
Pada analisis tahap pengukuran (measure) dilakukan analisis mendalam
mengenai level sigma, stabilitas proses dan kapabilitas proses.
5.2.1 ANALISIS LEVEL SIGMA
Berdasarkan perhitungan level sigma yang telah dilakukan, didapatkan
keluaran proses pada tegel keramik kode GE untuk tiap periode yang berbeda
yaitu level sigma pada cacat melenting produk tegel keramik kode GE yang
didasarkan pada data bulan Januari 2006 dan Februari 2006 dimana untuk
perbandingannya tiap level disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini.
Perbandingan DPMO dan Level Sigma
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
1 2 3 4 5 6
Level Sigma (Sigma)
DP
MO
(U
nit
) DPMO dan Level Sigma
DPMO dan Level Sigma BulanJanuari 2006
DPMO dan Level Sigma BulanFebruari 2006
Gambar 5.2 Perbandingan Nilai DPMO dan Level Sigma Perusahaan
Gambar 5.2 di atas menggambarkan level sigma pada bulan Januari 2006
berada pada nilai sebesar 25527 DPMO atau level kinerja 3,46 sigma yang
diwakili oleh batang berwarna ungu. Hal ini memiliki pengertian bahwa dari
sejuta kesempatan atau kejadian yang ada akan terdapat 25527 kemungkinan
bahwa produk yang dihasilkan adalah cacat, dalam hal ini menyimpang dari
I - 139
standar kemelentingan tegel keramik. Artinya dilihat secara hasil dari tegel
keramik tersebut yaitu 97,4473% memenuhi kriteria standar spesifikasi
kemelentingan yang ditetapkan perusahaan. Untuk level sigma pada bulan
Februari 2006 berada berada pada nilai sebesar 40773 DPMO atau level kinerja
3,24 sigma yang diwakili oleh batang berwarna kuning. Hal ini memiliki
pengertian bahwa dari sejuta kesempatan atau kejadian yang ada akan terdapat
40773 kemungkinan bahwa produk yang dihasilkan adalah cacat, dalam hal ini
menyimpang dari standar kemelentingan tegel keramik. Artinya dilihat secara
hasil dari tegel keramik tersebut yaitu 95,9227% memenuhi kriteria standar
spesifikasi kemelentingan yang ditetapkan perusahaan.
Dilihat dari Gambar 5.2, DPMO untuk bulan Januari 2006 menuju
Februari 2006 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu sekitar 15246
kemungkinan bahwa produk yang dihasilkan adalah cacat atau apabila dikonversi
ke dalam level sigma yaitu turun sebesar 0,22 sigma. Dapat dianalisis pula DPMO
untuk bulan Januari 2006 (yang diwakili oleh batang merah) menuju bulan
Februari 2006 (yang diwakili oleh batang kuning), mengalami peningkatan
DPMO sebesar 62,6 % dari 25527 kecacatan menjadi 40773 kecacatan. Hal ini
disebabkan oleh berbagai variasi, baik variasi umum maupun khusus, dimana
akan dianalisa pada penelusuran akar penyebab masalah. Pada intinya, dengan
nilai level sigma sekitar 3 (tiga) perusahaan dapat dikategorikan sebagai
perusahaan rata-rata di Indonesia. Apabila dilihat dari fakta-fakta di atas, dapat
disimpulkan bahwa Departemen Plant 3 jauh lebih mementingkan hasil (product
oriented) daripada proses (process oriented) dengan tidak terlalu mementingkan
proses dari produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dibuktikan dimana Departemen
Plant 3 masih mentolerir puluhan ribu kesalahan atau kecacatan, padahal dalam
prinsip Six Sigma, hanya memperbolehkan kesalahan 3 hingga 4 buah kesalahan
dari satu juta kesempatan proses.
5.2.2 ANALISIS STABILITAS PROSES
Analisis terhadap stabilitas proses dilakukan pada tiap periode pengukuran
dimana stabilitas proses dihitung sebagai persyaratan untuk pengukuran
kapabilitas proses selanjutnya. Berdasarkan perhitungan stabilitas yang telah
I - 140
dilakukan dengan menggunakan peta kontrol p, didapatkan stabilitas proses pada
tegel keramik kode GE yang berbeda untuk tiap periode yang telah diukur.
0
0 .02
0 .04
0 .06
0 .08
0 .1
0 .12
Ob s e rva s i ke -
Proporsi UCL LCL CL
3 201915116 27262522 23 24
Gambar 5.3 Data Menyimpang Awal Bulan Januari 2006
Untuk stabilitas proses yang menggunakan tool peta kendali proses bulan
Januari 2006 dari gambar 5.3 di atas didapatkan bahwa data kurang stabil (tidak
dalam kondisi terkendali) yang dapat dilihat dari proses ke - 2, 5, 10, 14, 18, 19,
21, 22, 23, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas atas sebesar 0392,0 dan garis
batas bawah sebesar 0,0119 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup
CL yaitu sebesar 0,0255. Data-data yang tidak stabil tersebut disebabkan oleh
variasi khusus dimana selanjutnya data yang keluar batas tersebut dibuang
sehingga proses berada di dalam kendali secara statistik serta stabil dengan garis
batas atas sebesar 0,0318 dan garis batas bawah sebesar 0,0077 dengan p atau
garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0198.
I - 141
0
0 .02
0 .04
0 .06
0 .08
0 .1
0 .12
0 .14
0 .16
0 .18
0 .2
Ob s e rv as i ke -
Proporsi UCL LCL CL
3 10854 262524171615141311
Gambar 5.4 Data Menyimpang Awal Bulan Februari 2006
Dari Gambar 5.4 di atas untuk stabilitas proses yang menggunakan tool
peta kendali proses bulan Februari 2006, didapatkan bahwa data kurang stabil
(tidak dalam kondisi terkendali) yang dapat dilihat dari proses ke - 3, 4, 5, 8, 10,
11, 13, 14, 15, 16, 17, 24, 25 dan 26 keluar dari garis batas atas sebesar 0,0579
dan garis batas bawah sebesar 0,0236 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak
subgroup CL yaitu sebesar 0,0408. Data-data yang tidak stabil tersebut
disebabkan oleh variasi khusus dimana agar proses stabil kita eliminasi data
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil tindakan terhadap perbaikan
proses pembuatan produk tegel keramik, sehingga didapatkan data baru revisi 1
dan setelah dilakukan revisi, ternyata masih jelas terlihat bahwa pada data ke 10
masih keluar dari garis batas atas sebesar 0,0473 dan garis batas bawah sebesar
0,0168 dengan p atau garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar
0,0321. Oleh karena itu kita buang kembali data tersebut agar proses stabil
sehingga didapatkan data baru revisi 2 yang pada akhirnya terlihat bahwa data
telah berada dalam kondisi yang stabil dan terkendali secara statistik dengan garis
batas atas sebesar 0,0450 dan garis batas bawah sebesar 0,0154 dengan p atau
garis pusat rata-rata banyak subgroup CL yaitu sebesar 0,0302, sehingga
selanjutnya dapat dihitung kapabilitas prosesnya.
Untuk kenyataan yang terdapat di lapangan, dapat dilakukan perbaikan
proses dengan cara mencari faktor penyebab khusus yang mempengaruhi
ketidakstabilan proses, seperti yang telah didapatkan bahwa terdapat faktor-faktor
I - 142
penyebab seperti dari tenaga kerja seperti kurangnya motivasi dan kurang telitinya
para karyawan, dari faktor material seperti campuran material, kadar air yang
masih belum optimal, serta dari lingkungan seperti lingkungan yang kotor, suhu
dan kelembaban serta debu dan kotoran sehingga mempengaruhi ketidakstabilan
tersebut.
5.2.3 ANALISIS KAPABILITAS PROSES
Analisis kapabilitas proses dilakukan pada tegel keramik kode GE yang
diproduksi oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD. Adapun rangkuman hasil
pengukuran kapabilitas proses untuk tegel keramik kode GE untuk tiap periode
pengamatan besera rata-ratanya ditampilkan pada Tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Rangkuman hasil kapabilitas proses
Periode
Pengamatan Cp Keterangan Cpk Keterangan
Januari 2006 0,9745 Proses mampu 0,65318 Proses cukup mampu
Februari 2006 0,9592 Proses mampu 0,57992 Proses cukup mampu
Rata-rata 0,9668 Proses mampu 0,61655 Proses cukup mampu
Berdasarkan hasil kapabilitas proses dan indeksnya sesuai tabel 5.2 di atas,
dapat diketahui bahwa proses produksi tegel keramik kode GE dengan CTQ
melenting untuk bulan Januari 2006 memiliki kapabilitas proses yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 0,9745 yang berarti proses tersebut masih mampu untuk
memproduksi tegel keramik berdasarkan output kecacatan proses yang dihasilkan
yang dapat diinterpretasikan bahwa dari sejuta kesempatan yang ada akan terdapat
25527 kesempatan bahwa proses produksi tidak mampu menghasilkan keluaran
yang baik yang diinginkan oleh pelanggan langsung yaitu exit kiln. Selanjutnya,
untuk nilai indeks kapabilitas prosesnya dapat dikatakan bahwa proses cukup
mampu. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai Cpk untuk bulan Januari 2006 sebesar
0,65318 yang dapat diartikan bahwa proses cukup mampu namun perlu upaya-
upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.
Berdasarkan hasil kapabilitas proses dan indeksnya sesuai tabel 5.2 di atas,
dapat diketahui bahwa proses produksi tegel keramik kode GE dengan CTQ
I - 143
melenting untuk bulan Februari 2006 memiliki kapabilitas proses yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 0,9592 yang dapat diinterpretasikan bahwa proses tersebut
masih mampu untuk memproduksi tegel keramik berdasarkan output kecacatan
proses yang berarti bahwa dari sejuta kesempatan yang ada akan terdapat 40773
kesempatan bahwa proses produksi tidak mampu menghasilkan keluaran yang
baik yang diinginkan oleh pelanggan langsung yaitu exit kiln. Selanjutnya, untuk
nilai indeks kapabilitas prosesnya dapat dikatakan bahwa proses cukup mampu.
Hal ini dapat dibuktikan dari nilai Cpk untuk bulan Februari 2006 sebesar 0,57992
yang dapat diartikan bahwa proses cukup mampu namun perlu upaya-upaya giat
untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. Perusahaan yang berada di
level ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan
kualitas Six Sigma.
Ket : : Cpk Bulan Januari 2006
: Cpk Bulan Februari 2006
Gambar 5.5 Letak Indeks Kapabilitas Proses dengan Kriteria
Gambar 5.5 di atas memberikan gambaran mengenai posisi perusahaan,
yang diwakilkan oleh warna biru untuk bulan Januari 2006 dan warna merah
untuk bulan Februari 2006 dibandingkan dengan nilai minimum dan maksimum
dari nilai Cpk. Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik
dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma. Selain itu, dengan
indeks sebesar 0,65318 untuk bulan Januari 2006 dan untuk bulan Februari 2006
sebesar 0,57992, dapat disimpulkan bahwa proses dianggap cukup mampu, namun
perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target yang diinginkan.
Perusahaan yang berada di level ini memiliki kesempatan terbaik dalam
melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma yang dapat dilihat dari
kriteria (Rule of Thumb) untuk indeks kapabilitas proses (Mc Fadden, 1993).
0,57992
1,5 0,5 0,65318
Cpk
I - 144
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa perusahaan dikategorikan berada pada
tingkat rata-rata industri di Indonesia.
5.3 ANALISIS TAHAP ANALYZE
Pada tahap analyze ini dilakukan Analisis penelusuran secara mendalam
dari akar penyebab masalah serta menganalisis FMEA (Failure Modes and Effect
Analysis).
5.3.1 ANALISIS PENELUSURAN AKAR PENYEBAB MASALAH
Analisis penelusuran akar penyebab masalah ditekankan pada penyebab
tegel keramik yang melenting yang sebelumnya telah disajikan pada Gambar 4.9,
yang selanjutnya dirangkum pada Tabel 5.3 di bawah ini. Pembahasan selanjutnya
dikategorikan menurut penyebab utama, yang dalam diagram Fishbone
digambarkan dalam tulang besar yang kemudian secara lebih lengkap dibahas
untuk tiap penyebab khusus yang dalam diagram Fishbone digambarkan dalam
tulang kecil.
Tabel 5.3 Rangkuman Diagram Sebab Akibat
SEBAB AKIBAT
Tulang Besar Tulang Kecil
Metode v Pengaturan suhu v Salah setting mesin kiln v Pengaturan di panel gas
Tenaga Kerja v Kurang teliti v Training kurang v Kurang motivasi
Material v Kadar air v Lapisan Alumina v Jenis glasir
Melenting
Pengukuran v Alat ukur suhu rusak
I - 145
Lingkungan v Debu sisa clay v Kotoran v Suhu dan kelembaban
Mesin dan Peralatan
v Panel kiln v Burner Nozzle v Panel gas v Actuator v Roller kiln v Gearbox
A. Metode
Metode atau proses merupakan salah satu faktor penting dalam
menentukan hasil akhir produk tegel keramik yang dapat dikategorikan sebagai
jenis sumber variasi umum karena sifatnya yang melekat pada sistem kiln.
Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor metode
atau proses, yaitu sebagai berikut:
v Pengaturan Suhu
Pengaturan suhu yang kurang sesuai memiliki peranan dalam
membuat tegel keramik menjadi melenting, Karen suhu yang terlalu tinggi
atau rendah dapat menyebabkan tegel keramik melenting ke atas atau ke
bawah.
v Salah Setting Mesin Kiln
Kesalahan dalam menyetting mesin kiln dapat menyebabkan mesin
kiln tidak dapat bekerja dengan semestinya, dan apabila setting awal sudah
salah, maka tegel keramik yang melenting potensial terjadi.
v Pengaturan di Panel Gas
Pengaturan panel gas yang kurang cermat dapat membuat gas yang
keluar dari saluran tidak baik, sehingga pada akhirnya menyebabkan gas
yang tercampur dengan angin dan api tidak optimal yang bisa
menyebabkan pembakaran kurang sempurna. Pembakaran yang kurang
sempurna tersebut akan menyebabkan tegel keramik melenting.
I - 146
B. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
kualitas akhir produk tegel keramik. Perannya sebagai operator yang berada di
luar proses namun ikut mempengaruhi kualitas dapat dikategorikan sebagai
sumber variasi penyebab khusus. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting
yang disebabkan oleh faktor tenaga kerja, yaitu sebagai berikut:
v Kurang Teliti
Kurang telitinya operator dalam bekerja, seperti dalam menyetting
mesin dan peralatan kiln dan lalai dalam memberikan bahan-bahan tertentu
yang potensial dalam menyebabkan tegel keramik melenting.
v Training Kurang
Training yang kurang dapat menyebabkan karyawan lalai dalam
menjalankan tugasnya dengan baik, karenanya training sangat penting
untuk diberikan oleh perusahaan agar karyawan terlatih dan berkembang
dalam bekerja.
v Kurang Motivasi
Jika motivasi karyawan sedang dalam kondisi yang kurang optimal,
dapat berakibat menurunnya produktivitas yang secara tidak langsung akan
menyebabkan turunnya kualitas tegel keramik termasuk pada karakteristik
melenting.
C. Material
Material merupakan bahan baku mentah dalam pembuatan tegel keramik.
Material merupakan penyebab khusus Karena berasal dari luar proses kiln, namun
dapat mengganggu keseluruhan proses kiln, sehingga berpengaruh terhadap
kualitas tegel keramik yang dihasilkan oleh Departemen Plant 3 PT. IKAD.
Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor material,
yaitu sebagai berikut:
v Kadar Air
I - 147
Air sebagai bahan baku pencampur glasir sangat mempengaruhi
proses pembakaran, dimana apabila air yang dicampur terlalu banyak atau
sedikit, maka akan menyebabkan terjadinya kemelentingan.
v Lapisan Alumina
Lapisan Alumina yang berfungsi agar jalnnya tegel keramik pada
roller berjalan dengan lancar memiliki peranan yang penting pula dalam
menyebabkan melentingnya tegel keramik. Apabila pemakaian yang
terlalu banyak atau sedikit, berpotensial menyebabkan tegel keramik
melenting.
v Jenis Glasir
Jenis glasir sebagai bahan pelapis atas tegel keramik sangat
mempengaruhi proses pembakaran yang dilakukan, dimana apabila jenis
glasir yang digunakan berbeda untuk campuran bahan lain, maka
potensial akan menyebabkan terjadinya kemelentingan.
D. Pengukuran
Faktor pengukuran merupkan jenis sumber variasi yang bersifat umum,
karena hampir selalu menyertai proses dan melekat pula pada proses, karena
pengukuran terhadap kualitas tegel keramik merupakan salah satu bagian dari
proses. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor
pengukuran, yaitu sebagai berikut:
v Alat Ukur Suhu Rusak
Rusaknya alat ukur suhu sangat mempengaruhi dalam menyebabkan
terjadinya kecacacatan pada tegel keramik terutama melenting. Hal ini
disebabkan karena rusaknya alat pandu untuk mengetahui suhu atau
temperatur mesin kiln, sehingga operator kemungkinan tidak tahu apakah
suhu dalam tungku pembakaran tinggi atau rendah.
E. Lingkungan
I - 148
Faktor lingkungan merupakan salah satu dari penyebab tegel keramik
melenting yang merupakan salah satu sumber variasi yang bersifat khusus.
Adapun beberapa penyebab CTQ melenting yang disebabkan oleh faktor
lingkungan, yaitu sebagai berikut:
v Debu Sisa Clay
Rusaknya alat ukur suhu sangat mempengaruhi dalam menyebabkan
terjadinya kecacacatan pada tegel keramik terutama melenting. Hal ini
disebabkan karena rusaknya alat pandu untuk mengetahui suhu atau
temperatur mesin kiln, sehingga kemungkinan operator tidak tahu apakah
suhu dalam tungku pembakaran tinggi atau rendah.
v Kotoran
Kotoran yang dimaksud disini yaitu berupa debu kotoran hasil mesin
press yang beterbangan di dalam gedung Departemen Plant 3 PT. IKAD
yang kemungkinan besar menempel di keramik yang dapat
mempengaruhi tegel keramik.
v Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban pada tempat dilakukannya pembakaran sangat
berpengaruh terhadap kondisi tegel. Jika suhu terlalu rendah akan
menyebabkan tegel keramik melenting ke bawah dan apabila suhu terlalu
tinggi akan menyebabkan tegel keramik melenting ke atas.
F. Mesin dan Peralatan
Faktor mesin dan peralatan merupakan salah satu dari penyebab tegel
keramik melenting yang merupakan sumber variasi yang bersifat umum yang
secara langsung dapat mempengaruhi kualitas tegel keramik dikarenakan faktor
ini melekat langsung pada proses. Adapun beberapa penyebab CTQ melenting
yang disebabkan oleh faktor mesin dan peralatan, yaitu sebagai berikut:
v Panel Kiln
Panel kiln sebagai pengatur mesin kiln dalam menjalankan fungsinya
sebagai pembakar tegel merupakan salah satu mesin yang penting. Panel
kiln yang tidak berfungsi akan menyebabkan semua proses di mesin kiln
I - 149
akan terhenti yang pada akhirnya suhu akan menjadi tinggi atau rendah
sehingga dapat menyebabkan melentingnya tegel keramik.
v Burner Nozzle
Burner nozzle ialah saluran yang berfungsi sebagai alat pembakar
tegel keramik. Komponen ini memiliki peranan penting dalam
menentukan ukuran output akhir tegel keramik, khususnya kemelentingan
tegel keramik. Burner nozzle yang bermasalah dapat mengakibatkan tegel
keramik tidak terbakar secara sempurna dan hanya membakar pada
bagian tertentu saja sehingga dapat menyebabkan tegel keramik
melenting ke atas atau ke bawah.
v Panel Gas
Panel gas memiliki fungsi untuk mengatur gas yang keluar masuk
saluran pembakaran. Panel gas yang tidak berfungsi akan menyebabkan
pembakaran tegel keramik akan terhambat yang pada akhirnya dapat
menyebabkan tegel keramik melenting.
v Actuator
Actuator yang berfungsi untuk mengatur tinggi rendahnya gas yang
masuk dan keluar serta melakukan kontak dengan thermoregulator yang
mengatur tinggi rendahnya temperatur. Actuator yang macet akan
menyebabkan temperatur di mesin kiln turun dimana hal tersebut akan
menyebabkan tegel keramik yang dihasilkan menjadi melenting
dikarenakan tidak stabilnya temperatur.
v Roller Kiln
Roller kiln yang berfungsi sebagai alas berjalan tegel keramik apabila
macet dan kendor akan menyebabkan tegel keramik tidak berjalan baik di
dalam mesin kiln juga akan berjalan dengan kecepatan dibawah standar
yang ditentukan sehingga tegel keramik kemungkinan mendapatkan panas
yang berbeda sehingga dapat menyebabkan tegel keramik melenting.
I - 150
v Gearbox
Gearbox yang berfungsi sebagai pereduksi putaran cepat menjadi
lambat memiliki hubungan terhadap roller kiln dimana apabila rusak, akan
terjadi overleaping dimana tegel akan bertumpuk yang dapat menyebakan
tegel keramik melenting di dalam mesin kiln.
5.3.2 ANALISIS PENGARUH POTENSIAL KEGAGALAN SUMBER-
SUMBER VARIASI
Pengaruh potensial kegagalan sumber-sumber variasi dianalisa
menggunakan tool FMEA berdasarkan faktor mesin dan peralataan yang
didapatkan dari Fishbone Diagram. Menurut Manggala (2005), penggunaan tool
FMEA akan optimal apabila digunakan dalam menganalisis penyebab dari faktor
hardware, dalam penelitian ini yaitu faktor mesin dan peralatan. Penggunaan
FMEA bertujuan untuk mencari akar penyebab permasalahan berdasarkan ketiga
komponen yang mempengaruhi yaitu Severity, Occurence, dan Detection yang
selanjutnya digunakan untuk mencari nilai Risk Priority Number (RPN).
Berdasarkan perhitungan Risk Priority Number (RPN) dalam tabel 5.4,
kegagalan mesin kiln mencapai fungsi utama karena burner nozzle bermasalah
yang menyebabkan temperatur menjadi tinggi atau rendah, pembakaran tidak
sempurna. Kegagalan ini memiliki RPN tertinggi dibandingkan jenis kegagalan
yang lain, sehingga pencegahan kegagalan lebih diutamakan untuk burner nozzle
yang bermasalah. Urutan risk priority number tertinggi hingga terendah
selanjutnya disajikan dalam Tabel 5.4 berikut ini.
Tabel 5.4 Urutan Risk Priority Number Tertinggi Hingga Terendah
Potential Failure Mode S O D RPN Prioritas
Burner nozzle bermasalah 5 4 3 60 1
Panel Gas tidak berfungsi 4 4 3 48 2
Panel Kiln tidak berfungsi 4 3 3 36 3
Roller Kiln macet dan kendor 4 4 2 32 4
Actuator Macet 4 3 1 12 5
I - 151
Gearbox Failure 2 2 3 12 6
Tabel 5.4 di atas menggambarkan nilai dari burner nozzle bermasalah yang
menjadi prioritas perbaikan pada tahap improve selanjutnya. Burner nozzle yang
bermasalah yang memiliki nilai severity 5 yang artinya bahwa burner nozzle yang
bermasalah tersebut sangat serius pengaruhnya terhadap kemelentingan yang
terjadi pada tegel keramik. Nilai occurence sebesar 4 memiliki pengertian bahwa
frekuensi burner nozzle yang bermasalah ialah sering terjadi dalam pelaksanaan
proses produksi tegel keramik tersebut. Sedangkan untuk nilai detection yang
sebesar 3 berarti kemungkinan burner nozzle yang bermasalah tersebut terdeteksi
oleh operator. Selanjutnya nilai Risk Priority Number merupakan hasil dari
perkalian dari ketiganya yaitu severity, occurence dan detection dimana
disapatkan nilai sebesar 60 dan memiliki prioritas tertinggi untuk dilakukan
perbaikan. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip Six Sigma yang
memprioritaskan sesuatu berdasarkan tingkat frekuensi dan kekritisan suatu
masalah.
5.4 ANALISIS TAHAP IMPROVE DAN CONTROL
Tahap improve yang dilakukan mencakup 2 segi, yaitu dari segi manajerial
dan teknis. Pada tahap ini dilakukan analisis untuk perbaikan (improve) dari segi
manajerial dan teknis untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Analisis dilakukan untuk usulan perbaikan (improve) untuk burner nozzle yang
bermasalah serta perbaikan (improve) secara keseluruhan. Perbaikan manajerial
merupakan perbaikan yang melibatkan segi manajemen perusahaan dalam upaya
melakukan perbaikan. Biasanya perbaikan teknis mengikuti rencana dari
perbaikan manajerial. Pada tahap control dilakukan analisis untuk usulan
pengendalian (control) untuk burner nozzle yang bermasalah serta control secara
keseluruhan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
5.4.1 Usulan Perbaikan (Improve) Burner Nozzle
I - 152
Pada usulan perbaikan (improve) untuk burner nozzle dengan
menggunakan metode 5W-2H pada perbaikan (improve) dari segi manajerial akan
menganalisis perbaikan (improve) dari segi teknis untuk proses kiln itu sendiri,
yaitu prioritas proyek serta sistem pembakarannya, serta akan dianalisis pula
jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln yang berupa jadwal overhaul mesin kiln,
report kondisi mesin kiln, serta form evaluasi pengawasan rencana perbaikan kiln.
Untuk yang terakhir akan dianalisis pendokumentasian proses perawatan mesin
kiln, yaitu usulan perbaikan prosedur pelaksanaan perawatan mesin kiln.
A. Analisis usulan perbaikan proses kiln
Usulan perbaikan proses kiln ini dilakukan pada proses dan sistem
pembakaran yang digunakan dan dianggap penting dalam menentukan kualitas
akhir tegel keramik dimana prioritas proyek penanganan perbaikan proses kiln
dilakukan pada fase preheating, yaitu fase awal pembakaran dimana tegel keramik
yang masuk akan beradaptasi terlebih dahulu dengan suhu yang tidak terlalu
tinggi. Firing yang dievaluasi yaitu keadaan suhu pembakaran. Untuk fase cooling
akan dilihat pula suhu pendinginan tegel yang menuju keluar dari mesin kiln.
Selain itu, sistem pembakaran tegel keramik yang digunakan oleh Departemen
Plant 3 PT. IKAD saat ini ialah dengan menggunakan single burner membakar
tegel dengan nozzle tunggal. Setelah dievaluasi lebih lanjut dan melihat berbagai
referensi termasuk dari manual book mesin kiln, diketemukan bahwa sistem twin
burner ternyata lebih baik daripada sistem single burner dalam membakar tegel
keramik agar output yang dihasilkan dapat meminimasi cacat melenting, dimana
dapat dilihat dari terdapatnya dua buah nozzle yang berguna untuk membakar
tegel secara menyeluruh. Pada intinya sistem twin burner ini memiliki sistem
kerja yang hampir sama dengan sistem single burner namun perbedaan
terbesarnya terletak pada saluran pembakarannya dimana pada sistem twin burner
beroperasi dengan menggunakan saluran pembakaran ganda yaitu jumlah saluran
yang terdapat di dalam burner berjumlah dua saluran, yaitu pada bagian kanan
dan kiri dengan bagian depan burner tidak memiliki saluran (buntu). Kedua
saluran ini berfungsi mengeluarkan percikan api yang didapatkan dari campuran
tekanan udara dan gas yang dimasukkan ke dalam burner tersebut. Tekanan gas
dan udara dapat diatur sedemikian rupa untuk mengatur besar kecilnya percikan
I - 153
api yang menyembur keluar. Selanjutnya percikan api keluar melalui kedua
saluran tersebut sehingga hasil pembakaran akan menyeluruh dan optimal.
B. Analisis jadwal pelaksanaan overhaul mesin kiln
Tindakan perawatan dan pengawasan secara detail terhadap mesin kiln
secara berkala, yaitu setiap minggu, setiap bulan, setiap 3 bulan, setiap 6 bulan
serta overhaul (perbaikan secara total dan menyeluruh) yang dilakukan setahun
sekali diharapkan akan menghasilkan kinerja yang optimal karena apabila kinerja
mesin optimal, maka kualitas yang diinginkan akan tercapai. Selain itu, perawatan
juga perlu agar memperpanjang umur mesin. Departemen Plant 3 biasanya hanya
melakukan perawatan hanya apabila terdapat masalah yang kritis dan untuk
jadwal overhaul, mereka memundurkan jadwal menjadi setahun sekali dengan
alasan bahwa apabila 6 bulan sekali (sesuai panduan produsen mesin) hanya akan
menambah biaya yang tidak perlu. Hal ini sangat tidak sesuai dengan prinsip Six
Sigma yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, dan bukan
berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja (Mitra, 1998). Usulan
untuk tabel schedule overhaul mesin kiln yang disajikan sebelumnya pada Tabel
4.24 dapat dianalisis untuk kolom hari/tanggal akan diisi oleh operator hari dan
tanggal pelaksanaan begitu pula dengan kolom jam yang sudah berisi jadwal tetap
pelaksanaan overhaul. Untuk kolom kepala pelaksana diisi kepala maintenance
dan untuk petugas penanggung jawab diisikan operator 1, 2, dan 3. untuk kolom
keterangan dapat diisi informasi tambahan dari hasil overhaul mesin kiln.
Adapun untuk dokumentasi report hasil pengawasan kondisi mesin kiln
yaitu kondisi pada fase preheating, firing, serta cooling dilaporkan dan dicatat tiap
bulannya. Usulan form report kondisi mesin kiln pada Gambar 4.17 terdapat 10
kolom dimana pada kolom pertama yaitu hari/tanggal akan diisi oleh operator hari
dan tanggal untuk report kondisi mesin kiln begitu pula dengan kolom jam yang
sudah berisi jam tetap untuk melihat kondisi mesin kiln. Kolom ketiga yaitu
kepala pengawasan akan diisi kepala regu kiln yang bertugas memandu operator
dalam memberikan report kondisi mesin kiln. Untuk kolom ke - 4, 5, dan 6 akan
diisikan kondisi mesin kiln yang terdiri dari fase preheating, firing, dan fast
cooling. Untuk kolom ke - 7 akan diisi keterangan kondisi mesin kiln serta
I - 154
terakhir kolom 8, 9, dan 10 yang berisi paraf mengetahui oleh ketiga staff
perusahaan yaitu koordinator kiln, kepala bagian kiln, serta kepala maintenance.
Untuk pelaporannya akan diserahkan sebulan sekali kepada kepala Departemen
Plant 3 PT. IKAD. Selanjutnya secara rutin para staff produksi mengevaluasi hasil
rencana kerja tersebut di atas secara berkala sesuai jadwal yang telah
direncanakan sebelumnya yang sebelumnya telah disajikan pada Gambar 4.18.
Form evaluasi pada kolom pekerjaan diisikan kegiatan yang dilakukan dalam
perbaikan kiln yang dilakukan, kolom orang diisi jumlah orang yang bertugas
dalam perbaikan tersebut, untuk kolom rencana perbaikan diisikan untuk plan-nya
berapa lama waktu yang direncanakan dan untuk kolom aktual diisi untuk waktu
yang sebenarnya digunakan dalam perbaikan kiln. Indikator Improvement
didapatkan dari hasil waktu penyelesaian dari actual dengan plan. Kolom
keterangan dapat diisi dengan permasalahan yang terjadi pada proses produksi di
bagian kiln. Form di atas selanjutnya diparaf oleh kepala Departemen Plant 3
selaku leader teratas di Plant 3 yang memvalidasi form. Penentuan kepala
Departemen Plant 3 tersebut dapat dilihat dari struktur organisasi di Departemen
Plant 3, bahwa wewenang tertinggi dalam suatu departemen berada di tangan
kepala departemen.
C. Pendokumentasian Proses Perawatan Mesin Kiln
Usulan pembuatan prosedur pelaksanaan perawatan mesin kiln yang
diwakili oleh garis putus-putus berwarna merah pada Gambar 4.20
menitikberatkan pada komunikasi diantara para staff dan sosialisasi yang terjadi
antara para staff dan karyawan. Prosedur sebelum perbaikan tidak terdapat
sosialisasi antara staff dan tidak adanya report kondisi dan laporan perbaikan,
sehingga rambu-rambu pelaksanaan perawatan mesin kiln masih kurang mewakili
atau samar serta kurang konkrit. Diharapkan setelah dilakukan pendokumentasian
proses perawatan mesin kiln, proses perawatan yang dilakukan akan menjadi lebih
optimal.
5.4.2 Analisis Usulan Perbaikan (Improve) Keseluruhan
I - 155
Usulan perbaikan keseluruhan yang dimaksud ialah keseluruhan penyebab
CTQ melenting, karena tidak hanya burner nozzle yang bermasalah saja yang
menyebabkan terjadinya melenting, tapi karena kelima sebab lainnya dari faktor
mesin dan peralatan yang sebelumnya telah didapatkan dari fishbone diagram.
Analisis usulan perbaikan yang diusulkan diantaranya melakukan action planning
for failure modes terhadap sebab-sebab terjadinya kegagalan melenting, serta
mendokumentasikan proses operasional.
A. Melakukan Action Planning for Failure Modes
Penggunaan action planning for failure modes ini berfungsi untuk
menentukan tindakan (action) yang tepat sebagai solusi untuk modus-modus
kegagalan yang memiliki nilai resiko tertinggi. Data modus kegagalan yang
digunakan adalah hasil dari failure modes and effect analysis (FMEA)
sebelumnya. Dimana modus-modus kegagalan yang harus diberi perhatian ekstra
adalah modus-modus kegagalan yang memiliki urutan nilai RPN tertinggi. Pada
tabel action planning for failure modes untuk kolom actionable cause diberikan
penyebab terjadinya failure modes dan untuk setiap actionable cause dibuat juga
design validation berupa dokumen atau laporan untuk memvalidasi tiap solusi
yang telah dilaksanakan sehingga dapat dipastikan bahwa implementasi solusi
telah dilakukan dengan baik.
B. Usulan Proses Standar Operasional (SOP) Perawatan maintenance kiln
Analisis pendokumentasian SOP maintenance Kiln Departemen Plant 3
PT. IKAD akan menitikberatkan pada pengawasan dan perawatan terhadap
komponen mesin kiln yang kurang optimal seperti burner nozzle, roller kiln,
gearbox, dan actuator, sehingga diusulkan SOP yang baru. Adapun usulan
dokumentasi aliran informasi SOP maintenance kiln berdasarkan informasi
tambahan yang didapatkan dari tahap pengolahan FMEA. Usulan ini dilakukan
untuk melakukan tindakan atau proses yang benar sedari awal dan mencegah
kegagalan yang sama pada mesin kiln terulang kembali. Usulan inipun sangat
sesuai dengan prinsip Six Sigma yang menganjurkan “Doing Right for the first
time “ (Gasperz, 2005)
I - 156
5.4.3 Analisis Usulan Pengendalian (Control) Burner Nozzle
Pada tahap ini dipaparkan analisis dalam upaya mengendalikan perbaikan-
perbaikan yang telah dibuat pada tahap improve agar permasalahan burner nozzle
yang bermasalah dapat diminimasi dan tidak terulang kembali di masa yang akan
datang. Analisis ini dilakukan untuk pembuatan report control temperatur proses
pembakaran yang bertujuan untuk mengetahui kinerja burner nozzle yang dapat
dilihat dari temperatur pembakaran yang ada. Report masing masing fase beserta
integrasinya dalam proses kiln merupakan rancangan dalam memudahkan
operator kiln dalam mengevaluasi kerja harian mereka, apakah mesin kiln untuk
tiap fasenya telah berjalan sesuai kendali. Report harian temperatur untuk tiap
fase tersebut secara rutin harus diparaf oleh koordinator kiln selaku pengawas kiln
dan memegang kendali semua mesin kiln untuk seluruh departemen serta pada
akhirnya diparaf pula oleh kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi
di Departemen Plant 3 yang memvalidasi Form tersebut.
Selanjutnya dibuat form control perkembangan kondisi burner nozzle tiap
bulannya untuk evaluasi pengendalian kondisi burner nozzle sehingga kondisi
burner nozzle dapat selalu dipantau dan diambil langkah-langkah perbaikan yang
terangkum dalam tahap perbaikan (improve). Pada kolom kondisi komponen
burner nozzle diisi kondisi ketiga komponen yang menyebabkan burner nozzle
bermasalah yaitu damper angin, damper blower, serta flame detection. Untuk
kondisi burner nozzle secara keseluruhan (normal atau buruk) diisi ke dalam
kolom kondisi burner nozzle. Form ini harus selalu diparaf validasinya oleh
koordinator kiln selaku pemegang kendali mesin kiln seluruh departemen dan
kepala maintenance selaku kepala perbaikan mesin dan selanjutnya diparaf oleh
Kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Plant 3.
5.4.4 Analisis Usulan Pengendalian (Control) Keseluruhan
Pada tahap ini dipaparkan analisis keseluruhan dalam upaya
mengendalikan perbaikan-perbaikan yang telah dibuat pada tahap improve agar
permasalahan utama yaitu tegel keramik yang melenting dapat diminimasi dan
tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
A. Mengimplementasikan pengendalian proses statistik secara langsung
I - 157
Run Chart yang digunakan ini berfungsi untuk pengendalian
kecenderungan proses secara umum. Walaupun tidak merangkum bebagai
informasi, tetapi run chart ini memberikan berbagai ide dari kecenderungan
secara umum dari tingkat variabilitas proses. Dapat dilihat dari Gambar 4.28
bahwa perbaikan proses pada periode waktu tertentu akan menurunkan jumlah
defect melenting. Penggunaan tool ini diperlukan sebagai control dan evaluasi
hasil perbaikan (improve) yang telah kita capai dalam periode waktu tertentu.
B. Verifikasi hasil perbaikan proses
Verifikasi terhadap hasil perbaikan proses setiap periode waktu tertentu serta
mengontrol dan memonitor hasil-hasilnya oleh tim proyek Six Sigma bertujuan
untuk mencapai target kinerja tingkat sigma yang diinginkan yang dapat diisi
pada kolom target sigma, target DPMO, aktual DPMO, presentase pencapaian
target, serta keterangan hasil pencapaiannya yang dievaluasi tiap periodenya.
Form ini harus selalu dicatat dan dilaporkan hasilnya. Hal tersebut penting
untuk dilakukan agar perusahaan mengetahui perkembangan pencapaian target
kinerja CTQ tiap periodenya. Form ini selanjutnya divalidasi oleh Kepala
Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Plant 3.
C. Pembuatan Design control validation
Design control validation bertujuan untuk memvalidasi tiap solusi yang
telah dilaksanakan pada action planning for failure modes sebelumnya, sehingga
dapat dipastikan bahwa implementasi solusi telah dilakukan dengan baik. Kolom
design control validation yang diisikan berupa pengawasan, dokumentasi, dan
laporan pengawasan yang telah dibuat sebelumnya.
D. Pendokumentasian Proses Perawatan maintenance kiln
Form evaluasi permasalahan seputar SOP maintenance kiln berisi 5 kolom
dimana untuk kolom proses diisikan proses yang dilakukan. Untuk kolom
standard diisikan prosedur baku yang sebelumnya telah dibuat. Untuk kolom
check diberikan checklist apabila prosedur telah dilaksanakan dengan baik dan
I - 158
yang terakhir kolom masalah yang berisi permasalahan yang dihadapi. Form
evaluasi ini harus selalu diparaf validasinya oleh koordinator kiln selaku
pemegang kendali mesin kiln seluruh departemen dan selanjutnya diparaf oleh
Kepala Departemen Plant 3 selaku pemimpin tertinggi di Plant 3.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian akhir dari keseluruhan susunan isi tugas akhir
ini yang membahas kesimpulan akhir yang diperoleh serta saran-saran untuk
pengembangan penelitian lebih lanjut.
6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. IKAD Tangerang,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik kualitas kritis (CTQ) prioritas adalah melenting.
2. Level sigma bulan Januari 2006 sebesar 3,46 sigma, rata-rata proses kurang
stabil namun cukup mampu dengan nilai Cp 0,9745 serta Cpk sebesar 0,65318.
Level sigma bulan Februari 2006 sebesar 3,24 sigma, rata-rata proses kurang
stabil namun cukup mampu dengan nilai Cp 0,9592 serta Cpk sebesar 0,57992.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan melenting berasal dari faktor metode atau
proses (Method), faktor tenaga kerja (Man), faktor material (Material), faktor
pengukuran (Measurement), faktor lingkungan (Mother-Nature), serta faktor
mesin dan peralatan (Machine).
4. Kegagalan yang didapatkan dari faktor mesin dan peralatan (Machine) ialah
panel kiln yang tidak berfungsi, burner nozzle yang bermasalah, panel gas
yang bermasalah, actuator yang macet, roller kiln yang macet dan kendor
serta mesin gearbox yang rusak.
5. Usulan perbaikan (improve) dilakukan melalui 2 aspek, yaitu perbaikan
manajerial dan teknis. Usulan improve dilihat dari aspek manajerial dilakukan
dengan pertama membentuk struktur organisasi Six Sigma usulan untuk
Departemen Plant 3 PT. IKAD, kedua dengan merancang rencana perbaikan
I - 159
proses dengan metode 5W-1H. Untuk aspek teknisnya dilakukan dengan
pertama mengusulkan improve untuk burner nozzle dengan menentukan
prioritas proyek perbaikan proses kiln, perbaikan sistem pembakaran dengan
menggunakan sistem twin burner, pembuatan jadwal pelaksanaan overhaul
mesin kiln, report kondisi, evaluasi serta mendokumentasikan proses
perawatannya. Kedua, mengusulkan perbaikan (improve) secara keseluruhan
yaitu dengan action planning for failure modes serta mengusulkan SOP
maintenance mesin kiln.
6. Usulan pengendalian (control) diberikan untuk RPN tertinggi yaitu burner
nozzle yang bermasalah dengan membuat report control temperatur proses
pembakaran dalam bentuk form meliputi tiap fase proses kiln serta form untuk
perkembangan kondisi burner nozzle. Untuk control keseluruhan khususnya
CTQ melenting, dilakukan dengan mengimplementasikan pengendalian proses
statistik secara langsung, melakukan verifikasi terhadap hasil perbaikan proses
secara rutin dengan merancang form pencapaian target kinerja dari CTQ
melenting serta dibuat pula design control validation, selanjutnya merancang
form evaluasi SOP maintenance kiln yang telah dibuat sebelumnya serta
dilakukan penstabilan dan mempertahankan proses.
6.2 SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. IKAD Tangerang,
saran yang dapat diberikan yaitu:
1. Perusahaan sebaiknya menerapkan Six Sigma ini secara kontinu sebagai
bentuk peningkatan kualitas yang terus menerus dan berkesinambungan.
2. Melengkapi pemasangan SOP di masing-masing stasiun kerja, terutama pada
pemasangan komponen mesin kiln yang sulit untuk di mengerti oleh operator.
3. Mengevaluasi sistem pengukuran yang diterapkan oleh PT. IKAD serta
perlunya bagian khusus untuk sistem pengukuran tersebut.
4. Untuk penelitian selanjutnya dapat dianalisis lebih mendalam mengenai
kesembilan CTQ selain melenting beserta faktor penyebabnya. Dilakukan pula
evaluasi sebelum dan setelah implementasi Six Sigma di perusahaan sehingga
dapat diketahui pengaruhnya.
I - 160
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Sahrial. Skripsi: Analisis Stabilitas dan Kapabilitas Proses Spinning Benang Katun dengan Metode Six Sigma (Studi Kasus PT. Primissima. Surakarta: Jurusan Teknik Industri UNS, tidak dipublikasikan, 2005.
Ariani, D.W. Pengendalian Kualitas Statistik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta,
2004 Banuelas, Ricardo and Jiju Antony. “Six Sigma or Design for Six Sigma?”. The
TQM Magazine 16 (2004), Page 250-263.
Breyfogle, Forest W., Implementing Six Sigma Smarter Solutions Using Statistical Methods. New York: John Wiley & Sons Inc, 1999.
DH, Stamatis. Failure Mode and Effect Analysis FMEA From Theory to
Execution. Wisconsin: ASQC Quality Press, 1995. Gasperz, Vincent., Total Quality Management. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005. Harry, Mikel and Richard Schroeder. Six Sigma: The Breakthrough Management
Strategy Revolutionizing the Worlds Top Corporations. New York: Random House Inc, 2000.
Http://www.elsmar.com/., diakses pada tahun 2006 Http://www.isixsigma.com/., diakses pada tahun 2006 Http://www.sirnet.it/ipeg.htm., diakses pada tahun 2006 Imai, Masaaki. Kaizen(Ky’zen):The Key to Japan’s Competitive Success. New
York: Random House, Inc, 1986. Kurniawan, Indra. Analisis Implementasi Konsep Six Sigma Motorola’s Sebagai
Alat Pengendalian Kualitas Produk: Jurusan Ekonomi UNS, tidak dipublikasikan, 2004.
Manggala, D., “Mengenal Six Sigma Secara Sederhana”. http://www.beranda.net,
2005. Mitra, Amitava, Introduction to Quality Control. New Jersey: Prentice Hall, 1998. Mc Fadden, F.R., “Six Sigma Quality”. Quality Progress, June 1993, Page. 37-42.
I - 161
NASA. Root Cause Analysis Overview. NASA, 2003. Pande, Peter S. The Six Sigma Way. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2000. Pyzdek, The Six Sigma HandBook. Jakarta: PT. Salemba emban Patria, 2002. S, Febiyanto., Kerja Praktek. Analisis Proses Produksi dan Pengendalian Defect
Dalam Upaya Pengoptimalan Produksi Tegel Keramik Kode GE di Plant 3 PT. IKAD., Surakarta: Jurusan Teknik Industri UNS, tidak dipublikasikan, 2005.
Sugiono, Sugiharto. “Six Sigma, Perangkat Manajerial Perusahaan pada Era
Ekonomi Baru(Sebuah Pendekatan Konseptual Terhadap Studi Literatur)”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 6, No. 1, Maret 2004. Hal. 27 - 33
Supranto, J., Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa
Pasar. Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Wheat, Barbara. Leaning Into Six Sigma. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP),
2003.