PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI TENTANG · PDF fileUndang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang...
Transcript of PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI TENTANG · PDF fileUndang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang...
PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI
NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGAWI TAHUN 2010 - 2030
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI NGAWI,
Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Ngawi dengan
memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras,
seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang
Wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah,
dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi
investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau
dunia usaha;
c. bahwa strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional perlu
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Ngawi Tahun 2010 - 2030.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Kabupaten di Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 41), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3274);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3317);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3470);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49);
9. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3881);
10. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
11. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4169);
12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4377);
13. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
15. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4433);
16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
17. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 132);
18. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkereta-apian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65 );
19. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723 );
20. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
21. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69 );
22. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);
23. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4);
24. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96);
25. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5059);
26. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
149) ;
27. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);
29. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk
Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4489);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4593);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4624);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4663);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4664);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4814);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4859);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan Industri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Pereturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5019);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk Peran serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
48. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang di Daerah;
49. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan;
50. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi
Raperda tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
51. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/PER/M.KOMINFO/2008
tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama
Telekomunikasi;
52. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Persetujuan Substansi dalam Penetapan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
53. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
54. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
55. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Kawasan Industri;
56. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Timur tahun 2005 – 2025
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 Nomor 1);
57. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2006 tentang Pemanfaatan
Ruang pada Kawasan PengendalianKetat Skala Regional di Provinsi Jawa Timur;
58. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2014.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN NGAWI
dan
BUPATI NGAWI
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN NGAWI TAHUN 2010 - 2030.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Kabupaten adalah Kabupaten Ngawi.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Ngawi.
3. Bupati adalah Bupati Ngawi.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Ngawi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang
didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya.
6. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
7. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana
yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki
hubungan fungsional.
8. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
9. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
10. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
11. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
12. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat.
13. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
14. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan pan penetapan rencana tata ruang.
16. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan
rencana tata ruang melalui penyusunan dan program beserta pembiayaannya.
17. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
18. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
19. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disebut RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang
wilayah Kabupaten Ngawi.
20. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
21. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
22. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
23. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
24. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegitaan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
25. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan
sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
26. Kawasan perkotaan wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
27. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman
dan sistem agrobisnis.
28. Kawasan perikanan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan
sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
29. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
melindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian,
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
30. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan
sebagai warisan dunia.
31. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau
lingkungan.
32. Kawasan strategis Daerah adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup Kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau
lingkungan.
33. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk
kepentingan pertahanan.
34. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
35. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
36. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala antar desa.
37. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
38. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
39. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
40. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
41. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat,
korporasi, dan/ atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
42. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
43. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-
hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi
penataan ruang di wilayah kabupaten.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ngawi ini mencakup
tujuan, kebijakan, strategi, struktur dan pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi ruang daratan,
dan ruang udara menurut peraturan perundang-undangan.
(2) Ruang Lingkup dan muatan RTRW mencakup :
a. Visi, Misi dan Azas dan Sasaran Penataan Ruang Wilayah Kabupaten.
b. Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten.
c. Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten;
d. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten;
e. Penetapan kawasan strategis Kabupaten;
f. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten;
g. Ketetentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten;
h. Hak, Kewajiban, Peran masyarakat dan Kelembagaan.
BAB III
VISI, MISI, AZAS DAN SASARAN
PENATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN
Bagian Pertama
Visi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 3
Visi penataan ruang wilayah Kabupaten adalah Terwujudnya Tata Ruang Kabupaten yang dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan bertumpu pada potensi pertanian, industri dan perdagangan
yang maju dan berkelanjutan.
Bagian Kedua
Misi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 4
Misi penataan ruang Kabupaten adalah:
a. mengembangkan tata ruang yang dapat mendukung integrasi usaha dalam rangka optimalisasi
pemberdayaan potensi pertanian, industri dan perdagangan secara berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk struktur ruang dan pola ruang serta kawasan
strategis yang didukung oleh fasilitas, sarana dan prasarana pendukung yang merata di seluruh
wilayah sesuai dengan kebutuhan setiap kawasan.
b. mengembangkan struktur ruang dan pola ruang yang dapat mendukung peningkatan kualitas sumber
daya manusia melalui kemudahan mendapatkan akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang maju
dan berkualitas.
c. mewujudkan pola ruang wilayah yang seimbang antara kawasan lindung dan budidaya sesuai dengan
daya dukung wilayah.
d. mewujudkan tata ruang wilayah yang unggul di bidang agraris.
e. mewujudkan tata ruang wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik yang mendukung
pengembangan agraris.
Bagian Ketiga
Azas Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 5
Azas penataan ruang wilayah Kabupaten adalah:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. perlindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Bagian Keempat
Sasaran Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 6
Sasaran Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, adalah:
a. terkendalinya pembangunan di wilayah, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat
sehingga dapat mendukung pengembangan pertanian wilayah beserta kegiatan industri dan
perdagangan penunjang pertanian;
b. terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budidaya yang mendukung
pengembangan pertanian wilayah beserta kegiatan industri dan perdagangan penunjang pertanian;
c. tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan yang mendukung
pengembangan pertanian wilayah beserta kegiatan industri dan perdagangan penunjang pertanian;
d. terdorongnya minat investasi masyarakat dan dunia usaha yang mendukung pengembangan pertanian
wilayah beserta kegiatan industri dan perdagangan penunjang pertanian; dan
e. terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan yang mendukung
pengembangan pertanian wilayah beserta kegiatan industri dan perdagangan penunjang pertanian.
BAB IV
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 7
Tujuan penataan ruang kabupaten adalah untuk mewujudkan ruang wilayah kabupaten sebagai lumbung
pertanian Jawa – Bali yang didukung oleh industri dan perdagangan.
Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan
dengan kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten.
(2) Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. peningkatan fungsi kawasan perkotaan secara berjenjang dan bertahap sesuai pengembangan
perkotaan secara keseluruhan;
b. pengembangan kegiatan pertanian, industri, perdagangan dan pariwisata yang didukung oleh
sistem jaringan sarana dan prasarana wilayah;
c. penetapan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan;
d. pengembangan sistem agropolitan dan perikanan pada kawasan potensial;
e. peningkatan fungsi wilayah perdesaan melalui pengembangan produk unggulan perdesaan; dan
f. pengoptimalan potensi sumber daya alam secara berkelanjutan untuk menghindari dampak dan
resiko bencana.
Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 9
(1) Untuk mewujudkan kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ditetapkan dengan strategi penataan ruang wilayah kabupaten.
(2) Strategi peningkatan fungsi kawasan perkotaan secara berjenjang dan bertahap sesuai
pengembangan perkotaan secara keseluruhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
a, meliputi:
a. mengembangkan perkotaan utama Kabupaten Ngawi sebagai Pusat Kegiatan Lokal di Perkotaan
Ngawi dengan penetapan kawasan primer, sekunder satu, sekunder dua, sekunder tiga,
perumahan dan persil.
b. mendorong dan mempersiapkan Perkotaan Ngawi sebagai perkotaan yang menunjang
perkembangan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun (Lisiba);
c. mendorong pengembangan Perkotaan Ngrambe sebagai perkotaan dengan fungsi utama
transportasi dan Agropolitan; dan
d. mendorong pengembangan Perkotaan Bringin sebagai perkotaan dengan fungsi utama
Perikanan.
(3) Strategi pengembangan kegiatan pertanian, industri, perdagangan dan pariwisata yang didukung
oleh sistem jaringan sarana dan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf b, meliputi :
a. mengembangkan sistem sarana dan prasarana wilayah secara berhirarki dan merata; dan
b. mengembangkan sistem sarana dan prasarana wilayah yang mendorong interaksi kegiatan antar
wilayah pengembangan, mendorong pemerataan pembangunan, mengembangkan potensi
pariwisata dan memudahkan pergerakan serta distribusi hasil produksi.
(4) Strategi penetapan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf c , meliputi:
a. meningkatkan sarana dan prasarana pertanian untuk meningkatkan nilai produktivitas pertanian;
b. melakukan pemberian insentif pada lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan
berkelanjutan; dan
c. mengendalikan secara ketat kawasan yang telah ditetapkan sebagai pertanian pangan
berkelanjutan.
(5) Strategi pengembangan sistem agropolitan dan perikanan pada kawasan potensial sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 ayat (2) huruf d, meliputi :
a. mengembangkan produk unggulan disertai pengolahan dan perluasan jaringan pemasaran;
b. menetapkan prioritas pengembangan kawasan agropolitan dengan mengarahkan pada
Kecamatan Ngrambe sebagai Kota Tani Utama (KTU) sedangkan untuk Kota Tani (KT) dan
Kawasan Senta Produksi (KSP) adalah desa – desa disekitarnya dan desa – desa di Kecamatan
Sine, Kecamatan Jogorogo dan Kecamatan Kendal;
c. menetapkan prioritas pengembangan kawsasan perikanan dengan mengarahkan pada Kecamatan
Bringin sebagai Kota Perikanan Utama sedangkan untuk Kawasan Senta Produksi (KSP) adalah
desa – desa disekitarnya;
d. meningkatkan kemampuan permodalan melalui kerjasama dengan swasta dan pemerintah; dan
e. mengembangkan sistem informasi dan teknologi pertanian berupa Balai Pengkajian Penerapan
Teknologi Pertanian (BP2TP) di Kecamatan Ngrambe (sebagai Kota Tani Utama).
(6) Strategi penetapan fungsi wilayah perdesaan melalui pengembangan produk unggulan perdesaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e, meliputi :
a. mengembangkan fungsi kawasan perdesaan sesuai potensi wilayah, yakni perdesaan yang
terletak di kawasan pegunungan untuk hutan produksi, perkebunan dan hortikultura, sedangkan
perdesaan di dataran rendah untuk pertanian tanaman pangan;
b. meningkatkan nilai tambah produk pertanian dengan pengolahan hasil;
c. mendorong eksport hasil pertanian unggulan daerah; dan
d. mengembangkan fasilitas sentra produksi pemasaran pada pusat kegiatan ekonomi di
Kecamatan Ngrambe dan Kecamatan Bringin.
(7) Strategi pengoptimalan potensi sumber daya alam secara berkelanjutan untuk menghindari dampak
dan resiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f, meliputi :
a. mengendalikan secara ketat kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung;
b. mengefektifkan pengelolaan kawasan budidaya melalui pendekatan kajian lingkungan hidup
berdasarkan daya dukung dan daya tampung;
c. menghindari pengembangan kawasan yang rawan terhadap bencana alam gunung api, banjir
dan longsor;
d. mengembangkan sistem peringatan dini dari kemungkinan adanya bencana alam;
e. mengembangkan bangunan tahan gempa pada daerah terindikasi rawan gempa; dan
f. menetapkan jalur evakuasi pada setiap kawasan bencana.
BAB V
STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 10
Struktur ruang wilayah diwujudkan berdasarkan rencana sistem pusat pelayanan dan rencana sistem
prasarana wilayah.
Bagian Kedua
Rencana Sistem Pusat Pelayanan
Pasal 11
Rencana sistem pusat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 terdiri atas rencana
pengembangan sistem perdesaan dan rencana pengembangan sistem perkotaan.
Pasal 12
Penetapan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan meliputi 90 (sembilan puluh) kawasan perkotaan
dan 127 (seratus dua puluh tujuh) kawasan perdesaan.
Pasal 13
Rencana pengembangan sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 terdiri atas :
a. pengembangan kawasan perdesaan sesuai potensi masing-masing kawasan yang dihubungkan dengan
pusat kegiatan pada setiap kawasan perdesaan; dan
b. pengembangan pusat desa mulai dari tingkat dusun sampai pusat desa secara berhirarki.
Pasal 14
Rencana pengembangan pusat desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf b, meliputi :
a. pembentukan pusat pelayanan permukiman perdesaan pada tingkat dusun terutama pada permukiman
perdesaan yang berbentuk cluster;
b. pengembangan pusat kawasan perdesaan secara mandiri;
c. pengembangan kawasan perdesaan potensial secara ekonomi melalui desa pusat pertumbuhan; dan
d. meningkatkan interaksi antara pusat kegiatan perdesaan dan perkotaan secara berjenjang.
Pasal 15
Rencana pengembangan sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, terdiri atas :
a. Rencana hierarki sistem perkotaan; dan
b. Rencana fungsi pelayanan dan pengembangan perkotaan.
Pasal 16
(1) Rencana hierarki sistem perkotaan yang dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, meliputi :
a. penetapan PKL adalah perkotaan Ngawi;
b. penetapan PKLp adalah perkotaan Karangjati, Widodaren dan Ngrambe;
c. penetapan PPK adalah perkotaan Karanganyar, Pitu, Kasreman, Bringin, Padas, Pangkur,
Kwadungan, Geneng, Gerih, Kendal, Jogorogo, Sine, Kedunggalar, Paron dan Mantingan; dan
d. penetapan PPL adalah masing-masing pusat desa.
(2) Rencana fungsi pelayanan dan pengembangan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf b meliputi:
a. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Ngawi, mempunyai wilayah pelayanan dari Pusat Kegiatan Lokal
Promosi (PKLp) Karangjati, Widodaren dan Ngrambe serta melayani wilayah Kecamatan Geneng,
Paron, Kwadungan dan Gerih, dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan dan
ibukota Kabupaten meliputi fasilitas pusat Perindustrian, Pertanian, Perkebunan, Pariwisata,
Perikanan dan Perhubungan;
b. Pusat Kegiatan Lokal promosi (PKLp) Karangjati, mempunyai wilayah pelayanan Kecamatan
Padas, Bringin, Pangkur dan Kasreman, dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan
meliputi fasilitas pusat Perindustrian, Pertanian, Perkebunan, Pariwisata, Perikanan dan
Peternakan;
c. Pusat Kegiatan Lokal promosi (PKLp) Widodaren, mempunyai wilayah pelayanan Kecamatan
Kedunggalar, Pitu, Mantingan dan Karanganyar, dengan fungsi pengembangan sebagai pusat
pelayanan meliputi Perindustrian, Pertanian, Pariwisata, dan Peternakan;
d. Pusat Kegiatan Lokal promosi (PKLp) Ngrambe, mempunyai wilayah pelayanan Kecamatan
Jogorogo, Kendal dan Sine, dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan meliputi
fasilitas pusat Perindustrian, Pertanian, Perkebunan dan Pariwisata; dan
e. Pelayanan Kawasan (PPK), mempunyai wilayah pelayanan desa-desa di dalam wilayah
kecamatan tersebut, dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan kecamatan meliputi
fasilitas kesehatan Puskesmas, Pasar, Perdagangan dan jasa skala kecamatan, pendidikan
SMU/SMK, kantor kecamatan, lapangan olahraga skala kecamatan, dan pusat pemasaran dan
industri pengolahan komoditi unggulan setiap kecamatan.
Bagian Ketiga
Rencana Sistem Prasarana Wilayah
Pasal 17
Rencana sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, terdiri atas :
a. rencana pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi;
b. rencana sistem jaringan prasarana energi;
c. rencana sistem jaringan telekomunikasi;
d. rencana sistem jaringan sumber daya air; dan
e. rencana sistem jaringan prasarana lingkungan.
Paragraf 1
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi
Pasal 18
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 huruf a, adalah sistem jaringan prasarana transportasi darat yang meliputi jaringan jalan dan
jaringan kereta api.
(2) Sistem jaringan transportasi udara di wilayah udara Kabupaten merupakan bagian teritotrial dari
wilayah pertahanan udara Republik Indonesia sehingga tertutup untuk transportasi
Pasal 19
(1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) meliputi sistem jaringan jalan, fungsi
jalan, status jalan, kelas jalan, prasarana terminal penumpang dan barang, serta angkutan massal
perkotaan.
(2) Pengelompokan jalan berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder.
(3) Pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan dibagi kedalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal
dan jalan lingkungan.
(4) Pengelompokan jalan berdasarkan status dapat dibagi menjadi jalan nasional, jalan provinsi, dan
jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa.
(5) Rencana pengembangan prasarana jalan meliputi arahan pengembangan bagi jalan nasional jalan
bebas hambatan, jalan nasional bukan jalan bebas hambatan, jalan provinsi, jalan lintas Kabupaten
dan jalan lingkar.
Pasal 20
(1) Jalan nasional yang dikembangkan sebagai jalan arteri primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), meliputi ruas jalan Mantingan – Batas Kota Ngawi, Jalan Gubernur
Suryo, Jalan PB. Sudirman, Jalan Basuki Rahmat, Jalan Sukowati, Jalan Batas Kota Ngawi – Batas
Kab. Madiun.
(2) Jalan nasional yang dikembangkan sebagai jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada Pasal
19 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), meliputi ruas jalan A. Yani, Jalan Klitik – Banyakan, Jalan Lombok,
Jalan Batas Kota Ngawi – Batas Kab. Magetan. Selain itu juga jalan Padangan – Batas Kab. Ngawi,
Batas Kab. Bojonegoro – Batas Kota Ngawi dan Jalan Raya Padangan.
(3) Jalan kabupaten yang dikembangkan sebagai jalan lokal primer sebagaimana dimaksud pada Pasal
19 ayat (3)dan ayat (4), meliputi :
a. jalan-jalan yang menghubungkan antar kecamatan dan menghubungkan sistem perkotaan;
b. rencana pengembangan jalan lingkar (ring road) utara ngawi;
c. jalan-jalan utama yang menghubungkan antara jalan lingkar (ring road), jalan arteri primer dan
jalan kolektor primer dengan jalan-jalan yang menghubungkan sistem perkotaan;
d. rencana pengembangan jalan lokal primer yang berfungsi sebagai jalan lintas strategis
kabupaten dan jalan penghubung antar kabupaten, meliputi :
1) jalan yang menghubungkan Kabupaten Ngawi dengan Kabupaten Bojonegoro.
2) jalan yang menghubungkan Kabupaten Ngawi dengan Kabupaten Blora.
3) jalan yang menghubungkan Kabupaten Ngawi dengan Kabupaten Grobogan.
4) jalan yang menghubungkan Kabupaten Ngawi dengan Kabupaten Karanganyar.
(4) Rencana pengembangan jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5),
meliputi ruas jalan bebas hambatan Solo – Mantingan - Ngawi dan Ngawi – Kertosono.
(5) Mengendalikan secara ketat pemanfaatan ruang dan kecenderungan perubahan fungsi ruang di
sepanjang jalan arteri primer.
(6) Rencana pengembangan terminal penumpang, meliputi:
a. memperbaiki, meningkatkan pelayanan dan mengembangkan terminal Tipe C, di Ngrambe,
Geneng, Karangjati dan Gendingan;
b. memperbaiki, meningkatkan pelayanan dan mengembangkan terminal barang di Kecamatan
Ngawi, Mantingan dan Karangjati;
c. memelihara dan meningkatkan pelayanan Terminal Kertonegoro Tipe A di tepi jalan lingkar
Kecamatan Ngawi; dan
d. peningkatan infrastruktur pendukung pelayanan terminal yang memadai.
(7) Rencana pengembangan terminal barang, meliputi:
a. memperbaiki, meningkatkan pelayanan dan mengembangkan terminal barang di Kecamatan
Ngawi, Mantingan dan Karangjati;
b. peningkatan infrastruktur pendukung pelayanan terminal yang memadai.
(8) Rencana jaringan trayek angkutan penumpang akan dikembangkan untuk menghubungkan jalur
antar kecamatan dan mendukung akses antar sistem perkotaan.
Pasal 21
(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) meliputi arahan pengembangan jalur perkeretaapian, pengembangan prasarana
perkeretaapian untuk keperluan penyelenggaraan kereta api Regional Antar Kota, terminal barang,
serta konservasi rel mati.
(2) Rencana pengembangan jalur perkeretaapian meliputi arahan pengembangan jalur kereta api ganda,
dan penataan jalur perkeretaapian jalur Barat yaitu Surabaya – Solo yang melewati stasiun Geneng,
Paron dan Walikukun.
(3) Rencana pengembangan prasarana perkeretaapian untuk keperluan penyelenggaraan kereta api
regional antar kota Madiun – Solo melewati Kecamatan Geneng – Paron – Walikukun.
(4) Rencana pengembangan terminal barang di stasiun Paron.
(5) Rencana pengembangan prasarana jalur perkeretaapian berupa penataan jalur yang terdiri dari
tindakan pemasangan jalur ganda, tindakan pemasangan jalur melayang.
Paragraf 2
Rencana Sistem Jaringan Energi
Pasal 22
(1) Rencana sistem jaringan prasarana energi sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 huruf b meliputi
energi listrik dan energi lainnya.
(2) Sumberdaya energi adalah sebagian dari sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
energi dan atau sumber energi alternatis baik secara langsung maupun melalui proses.
(3) Pengembangan sarana untuk energi listrik meliputi :
a. pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Kecamatan Bringin yang
memiliki potensi Sumber Daya Air;
b. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi 500 KV dan Saluran Udara dan
atau Kabel Tegangan Tinggi 150 KV diperlukan untuk menyalurkan energi listrik yang
dibangkitkan oleh pembangkit baru, yang melintas di Kecamatan Mantingan, Widodaren,
Kedunggalar, Paron, Geneng, Padas dan Karangjati; dan
c. mengendalikan secara ketat pemanfaatan ruang dan kecenderungan perubahan fungsi di
sepanjang jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi untuk kegiatan permukiman.
(4) Pengembangan pelayanan energi listrik, meliputi :
a. peningkatan daya energi listrik pada daerah-daerah pusat pertumbuhan dan daerah
pengembangan berupa pembangunan dan penambahan gardu-gardu listrik di Kecamatan
Widodaren, Ngrambe dan Karangjati;
b. penambahan dan perbaikan sistem jaringan listrik pada daerah-daerah yang belum terlayani;
c. meningkatkan dan mengoptimalkan pelayanan listrik sehingga terjadi pemerataan pelayanan
diseluruh wilayah daerah, sehingga dapat diasumsikan bahwa setiap rumah tangga akan
memperoleh layanan jaringan listrik, sehingga tidak ada masyarakat yang belum terlayani;
d. pengembangan energi alternatif dan terbarukan untuk pemerataan pelayanan dan mengurangi
beban energi listrik.
Paragraf 3
Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 23
(1) Sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c adalah perangkat
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) beserta jaringannya yang dikembangkan untuk tujuan
pengambilan keputusan di ranah publik ataupun privat.
(2) Prasarana telekomunikasi yang dikembangan, meliputi :
a. infrastruktur telekomunikasi yang menggunakan jaringan kawat, dan optik;
b. infrastruktur telepon nirkabel, yang menggunakan jaringan radio atau sistem elektromagnetik;
dan
c. jaringan telekomunikasi pada wilayah terpencil dengan menggunakan orbit satelit.
(3) Rencana pengembangan sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus ditingkatkan perkembangannya hingga mencapai pelosok wilayah yang belum terjangkau.
(4) Untuk meningkatkan pelayanan sampai wilayah terpencil, pemerintah memberi dukungan dalam
pengembangan kemudahan sistem jaringan telekomunikasi.
(5) Rencana penyediaan infrastruktur telekomunikasi, berupa tower/menara BTS (Base Transceiver
Station) harus menggunakan prinsip menara bersama/terpadu.
(6) Rencana penataan, pengembangan dan pengoperasian tower/menara bersama dan atau Cell Plan
(Masterplan menara) akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 4
Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 24
(1) Rencana sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d meliputi
rencana sistem jaringan sumber daya air, wilayah sungai termasuk waduk, situ, dan embung,
jaringan irigasi, jaringan air baku untuk air bersih, jaringan air bersih dan sistem pengendalian banjir.
(2) Pengembangan prasarana sumberdaya air untuk air bersih diarahkan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumber air permukaan dan sumber air tanah.
(3) Pemenuhan kebutuhan akan air bersih dan irigasi dilakukan dengan peningkatan jaringan sampai ke
wilayah yang belum terjangkau, sedangkan irigasi dengan peningkatan saluran dari sistem setengah
teknis dan sederhana ditingkatkan menjadi irigasi teknis.
(4) Kebutuhan air irigasi meliputi 363 (Tiga Ratus Enam Puluh Tiga) Daerah Irigasi kewenangan
kabupaten, 33 (Tiga Puluh Tiga) Daerah Irigasi kewenangan provinsi dan 3 (Tiga) Daerah Irigasi
kewenangan pusat.
(5) Pengelolaan air irigasi pada wilayah Kabupaten dibagi menurut unit pelayanan Lokal (UPTD) yaitu
UPTD Dero, Walikukun, Ngrambe, Kedunggalar, Kendal dan Guyung.
(6) Pengembangan waduk, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Waduk Pondok;
b. Waduk Sangiran; dan
c. Waduk Kedungbendo.
(7) Rencana pengelolaan sumberdaya air, meliputi :
a. pembangunan prasarana sumber daya air;
b. semua sumber air baku dari dam, embung, waduk, bendungan serta sungai-sungai klasifikasi I
sampai dengan kalsifikasi IV, yang airnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan
dikembangkan untuk berbagai kepentingan;
c. zona pemanfaatan DAS dilakukan dengan membagi DAS berdasarkan tipologinya;
d. penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan wilayah sungai tersebut
pada zona kawasan lindung tidak diijinkan pemanfaatan sumber daya air untuk fungsi budidaya;
dan
e. kajian kemampuan cadangan air bawah tanah disertai dengan amdal jika akan melakukan
eksplorasi dan eksploitasi.
Paragraf 5
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan
Pasal 25
(1) Rencana sistem jaringan prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e
meliputi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dan Tempat Penampungan Sampah (TPS), kebutuhan
sanitasi dan tempat pengelolaan limbah.
(2) Rencana pengembangan sistem prasarana lingkungan, meliputi :
a. kerjasama lintas wilayah administrasi dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah
sampah terutama di wilayah perkotaan;
b. pengalokasian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sesuai dengan persyaratan teknis diletakkan di
Kecamatan Ngawi, Widodaren, Ngambe dan Karangjati;
c. pengalokasian Tempat Penampungan Sampah (TPS) sesuai dengan persyaratan teknis
diletakkan di pusat kegiatan PPK;
d. pengelolaan sampah dilakukan secara teknologi terpadu yang berbasis ramah lingkungan; dan
e. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan.
(3) Rencana pengembangan sanitasi khusus rumah tangga dibedakan menurut wilayah perkotaan dan
perdesaan, yaitu :
a. pada wilayah perkotaan pengembangan sanitasi diarahkan kepada pemenuhan fasilitas septic
tank pada masing-masing KK; dan
b. pada wilayah perdesaan penanganan limbah khusus rumah tangga dapat dikembangkan fasilitas
sanitasi pada setiap KK serta fasilitas sanitasi umum.
(4) Rencana penanganan limbah industri di Kecamatan Ngawi, Geneng, Pitu dan Karangjati dilaksanakan
melalui pembangunan IPAL yang memenuhi persyaratan teknis baik sistem individu maupun
komunal.
(5) Rencana pengembangan drainase perkotaan dilaksanakan dengan pemenuhan persyaratan teknis
sesuai daya dukung lingkungan.
BAB VI
POLA RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 26
Pola ruang wilayah menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Bagian Kedua
Rencana Pelestarian Kawasan Lindung
Pasal 27
Pola ruang untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam; dan
f. Kawasan lindung geologi.
Pasal 28
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a, terletak pada kawasan hutan di
kaki Gunung Lawu Kecamatan Jogorogo, Ngrambe, Sine dan Kendal dengan luas kurang lebih 3.086 ha;
Pasal 29
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 huruf b, berupa Kawasan resapan air.
(2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak di Kecamatan Jogorogo, Ngrambe
Sine dan Kendal dengan luas kurang lebih 17.628 ha.
Pasal 30
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, terdiri atas :
a. kawasan sempadan sungai;
b. kawasan sekitar danau atau waduk;
c. kawasan sekitar mata air; dan
d. kawasan sempadan irigasi.
(2) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terletak pada seluruh
kecamatan yang dilewati oleh DPS Bengawan Solo dan DPS Kali Madiun termasuk sistem sungai
didalamnya dengan luas sempadan sungai secara keseluruhan kurang lebih 3.830 ha.
(3) Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud pada pasal (1) huruf b, meliputi :
a. Waduk Pondok di Kecamatan Bringin, Waduk Sangiran dan Waduk Kedung Bendo, serta dam
maupun embung yang ada wi wilayah kabupaten; dan
b. luas sempadan waduk kurang lebih 369 Ha.
(4) Kawasan sekitar mata air dengan luas kurang lebih sebagaimana dimaksud pada pasal (1) huruf c,
meliputi :
a. Kecamatan Sine 61 mata air, Kecamatan Ngrambe 44 mata air, Kecamatan Jogorogo 3 mata air,
Kecamatan Kendal 12 mata air, Kecamatan Bringin 1 mata air, Kecamatan Padas 8 mata air,
Kecamatan Paron 2 mata air, Kecamatan Kedunggalar 22 mata air, Kecamatan Widodaren 27
mata air; dan
b. luas keseluruhan untuk sempadan mata air di Kabupaten Ngawi kurang lebih 3.960 ha.
(5) Kawasan sempadan irigasi sebagaimana dimaksud pada pasal (1) huruf d terletak pada seluruh
Jaringan Irigasi di wilayah kabupaten, yang meliputi saluran irigasi primer dan sekunder.
Pasal 31
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d meliputi :
a. obyek Taman Wisata Alam terdapat di Waduk Pondok (Desa Dero Kecamatan Bringin), Taman
Rekreasi dan Pemandian Tawun (Desa Tawun Kecamatan Kasreman), Air Terjun Srambang
(Desa Girimulyo Kecamatan Jogorogo) dan Perkebunan Teh Jamus (Desa Girikerto Kecamatan
Sine);dan
b. perlindungan terhadap Obyek Taman Wisata Alam dilakukan untuk pengembangan pendidikan
dan perlindungan terhadap flora dan fauna tertentu, peningkatan kualitas lingkungan bagi
wilayah sekitarnya serta perlindungan lingkungan dari pencemaran.
(2) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf d dengan luas kurang lebih
1.715 ha, meliputi :
a. kawasan cagar budaya terdapat di Museum Trinil (Desa Kawu Kecamatan Kedunggalar),
Benteng Van Den Bosch (Kelurahan Pelem Kecamatan Ngawi), Kediaman Krt. Radjiman
Wedyadiningrat (Desa Kauman Kecamatan Widodaren), Makam Patih Pringgokusumo (Dusun
Banjar Desa Ngawi Kecamatan Ngawi), Makam PH. Kertonegoro (desa Sine Kecamatan Sine),
Makam Patih Ronggolono (Desa Hargomulyo Kecamatan Ngrambe), Arca banteng (Dusun Reco
Banteng Desa Wonorejo Kecamatan Kedunggalar), Candi Pandem (Dusun Pandem Desa
Krandegan Kecamatan Ngrambe), petilasan Kraton Wirotho (Desa Tanjungsari Kecamatan
Jogorogo);
b. perlindungan terhadap Cagar Budaya dilakukan untuk pengembangan kawasan dengan fungsi
pendidikan dan ilmu pengetahuan;
c. penetapan kawasan yang dilestarikan baik di perkotaan maupun perdesaan disekitar benda
cagar budaya, juga menjadikan benda cagar budaya sebagai orientasi bagi pedoman
pembangunan pada kawasan sekitarnya; dan
d. penerapan insentif bagi bangunan cagar budaya yang dilestarikan dan disinsentif bagi bangunan
yang mengalami perubahan fungsi.
Pasal 32
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, terdiri atas :
a. kawasan rawan longsor; dan
b. kawasan rawan banjir.
(2) Kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Kecamatan Sine (Desa Gendol), Jogorogo (Desa Girimulyo), Ngrambe, Kendal, Karangjati, Padas,
Pitu dan Karanganyar, dimana Kecamatan Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal merupakan
wilayah paling rawan bencana tanah longsor karena kedua wilayah ini berdekatan dengan hutan
gundul dan kritis disamping lokasinya berada di lereng Gunung Lawu; dan
b. wilayah kawasan rawan bencana longsor di Kabupaten Ngawi dengan luas kurang lebih 2.022
ha.
(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berada di sekitar DAS Bengawan
Solo dan DAS Kali Madiun disebabkan oleh semakin berkurangnya kawasan resapan air, dan semakin
rusaknya hutan dan kawasan konservasi di wilayah hulu.
Pasal 33
Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf f, adalah kawasan bencana letusan
Gunung Lawu, meliputi :
a. pegunungan lawu, yaitu Kecamatan Jogorogo, Kendal, Ngrambe, serta Sine; dan
b. kawasan rawan bencana geologi di Kabupaten Ngawi dengan luas kurang lebih 230 ha.
Pasal 34
(1) Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang atau jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, meliputi:
a. Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik meliputi taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur
hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai; dan
b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat meliputi kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan.
(2) Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan perkotaan di wilayah Kabupaten paling sedikit 30 %
dari luas kawasan perkotaan, yang diisi oleh tanaman baik yang tumbuh secara alamiah maupun
yang sengaja di tanam dengan pembagian Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini terdiri dari Ruang Terbuka
Hijau (RTH) publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat; sedangkan distribusi Ruang Terbuka Hijau
(RTH) kawasan perkotaan disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan
memperhatikan rencana struktur dan pola ruang wilayah.
(3) Proporsi RTH kawasan perkotaan di Kabupaten Ngawi adalah kurang lebih 12.142 Ha.
Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya
Pasal 35
Pola ruang untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan hutan produksi;
b. Kawasan peruntukan pertanian;
c. Kawasan peruntukan perkebunan;
d. Kawasan peruntukan perikanan;
e. Kawasan peruntukan pertambangan;
f. Kawasan peruntukan industri;
g. Kawasan peruntukan pariwisata;
h. Kawasan peruntukan permukiman;
i. Kawasan peruntukan lainnya; dan
j. Kawasan pertahanan dan keamanan.
Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi
Pasal 36
Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dengan luas kurang lebih 34.979
Ha yang tersebar di 16 (enam belas) Kecamatan, meliputi Kecamatan Mantingan, Karanganyar, Widodaren,
Kedunggalar, Paron, Pitu, Ngawi, Kasreman, Padas, Bringin, Karangjati, Gerih, Sine, Ngrambe, Jogorogo,
Kendal.
Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 37
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b meliputi: kawasan
pertanian pangan berkelanjutan, tegalan (tanah ladang), lahan kering, dan hortikultura.
(2) Kawasan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak pada bagian
Selatan, Tengah, Timur dan barat dengan luas kurang lebih 41.523 ha.
(3) Kawasan tegalan (tanah ladang) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak di seluruh kecamatan
terutama pada daerah yang kurang mendapatkan air dan mengandalkan air hujan (tadah hujan).
(4) Kawasan lahan kering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak pada beberapa kecamatan di
wilayah bagian Timur dan Utara dengan luas kurang lebih 9.188 ha.
(5) Kawasan holtikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terletak di Kecamatan Kendal, Sine,
Ngrambe dan Jogorogo.
Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Perkebunan
Pasal 38
Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf c dengan luas kurang lebih
10.789 Ha; terletak menyebar di Kecamatan Karangjati, Bringin, Kasreman, Padas, Ngrambe, Sine,
Jogorogo dengan jenis komoditas tembakau, teh, kopi, jahe, cengkeh, coklat, salak.
Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 39
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d, terdiri atas :
a. Perikanan Perairan Umum; dan
b. Budidaaya kolam dan keramba.
(2) Perikanan Perairan Umum dengan luas kurang lebih 1.351 ha terletak Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo dan Kali Madiun sengan sistem sungai yang ada di dalamnya; dan
(3) Budidaya Kolam dan keramba dengan luas kurang lebih 23 ha di kecamatan Bringin.
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 40
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, terdiri atas:
a. kawasan batu gunung;
b. kawasan batu gamping;
c. kawasan tanah liat; dan
d. kawasan batu pasir.
(2) Kawasan batu gunung terletak di kecamatan Kendal dan Jogorogo.
(3) Kawasan batu gamping terletak di Kecamatan Pitu, Kasreman dan Bringin.
(4) Kawasan tanah liat terletak di Kecamatan Geneng.
(5) Kawasan batu pasir terletak di Kecamatan Mantingan, Widodaren, Pitu dan Ngawi.
Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 41
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f, terdiri atas :
a. industri besar;
b. industri sedang; dan
c. industri rumah tangga.
(2) Kawasan industri besar diarahkan ke tepi jalan lingkar utara yang meliputi Kecamatan Pitu, Ngawi
dan Kasreman.
(3) Kawasan industri sedang terletak di Kecamatan Ngawi, Geneng dan Karangjati.
(4) Industri rumah tangga dengan luas kurang lebih 1.628 ha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, meliputi :
a. Kripik Tempe terdapat di Desa Karangtengah Kecamatan Ngawi, Desa Gendingan Kecamatan
Widodaren, Desa Tulakan, Kecamatan Sine, Desa Pucangan, Kecamatan Ngrambe, Desa
Purwosari Kecamatan Kwadungan;
b. Genteng terdapat di Desa Pocol Kecamatan Sine, Desa Baderan Kecamatan Geneng, Desa
Kedungharjo Kecamatan Mantingan;
c. Anyaman Bambu terdapat di Desa Sumberejo Desa Gendol Kecamatan Sine, Desa Pangkur
Kecamatan Pangkur, Desa Brubuh, Desa Jaten, Desa Tanjungsari Kecamatan Jogorogo dan Desa
Dero Kecamatan Padas;
d. Anyaman Tas terdapat di Desa Sembung, Desa Brangol, Desa Jatipuro Kecamatan Karangjati,
Desa Kedungprahu, Desa Sukowiyono Kecamatan Padas, Desa Sumberbening Kecamatan
Bringin, Desa Pohkonyal, Desa Padas, Desa Gandri Desa Pangkur;
e. Batik Tulis terdapat di Desa Banyubiru Kecamatan Widodaren;
f. Batu Bata terdapat di Desa Gelung Kecamatan Paron;
g. Parut Kelapa terdapat di Desa Ngalih Kecamatan Paron;
h. Handycraft terdapat di Desa Kedungharjo dan Desa Sidowayah Kecamatan Kedunggalar; dan
i. Supit Dan Sedotan terdapat di Desa Ngawi Kecamatan Ngawi.
Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 42
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf g terdiri atas:
a. kawasan pariwisata budaya;
b. kawasan pariwisata alam; dan
c. kawasan pariwisata buatan.
(2) Kawasan pariwisata budaya dengan luas kurang lebih 1.597 ha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi :
a. Arca Banteng;
b. Candi Pendem;
c. Pertapaan jaka tarub;
d. Petilasan Kraton Wirotho;
e. Makam PH Kertonegoro dan Patih Ronggolono;
f. Makam Patih Pringgokusum;
g. Kediaman Krt. Radjiman Wedyadiningrat;
h. Monumen Suryo;
i. Pesanggrahan Srigati;
j. Musem Trinil; dan
k. Benteng Van Den Bosch.
(3) Kawasan pariwisata alam dengan luas kurang lebih 13 ha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
huruf a, meliputi :
a. Air Terjun Srambang;
b. Gunung Liliran;
c. Waduk Pondok;
d. Bumi Perkemahan Selondo; dan
e. Kebun teh Jamus.
(4) Kawasan pariwisata buatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu Tempat Pemandian
Tawun.
Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Permukiman
Pasal 43
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h, tediri atas :
a. permukiman perdesaan; dan
b. permukiman perkotaan.
(2) Kawasan permukiman perdesaan dengan luas kurang lebih 11.038 ha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi :
a. kawasan permukiman perdesaan yang terletak pada wilayah pegunungan dan dataran tinggi,
kawasan ini terdapat di Kecamatan Jogorogo, Geneng, Karanganyar, Sine, Ngrambe dan Kendal;
b. kawasan permukiman perdesaan yang terletak pada dataran rendah; dan
c. kawasan perdesaan berbentuk kawasan agropolitan, yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang ditunjukkan adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan
sistem permukiman dan sistem agrobisnis, terdapat di Kecamatan Ngrambe dan Paron.
(3) Kawasan permukiman perkotaan dengan luas kurang lebih 6.559 ha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi :
a. permukiman di perkotaan Ngawi yang mendukung ibukota Kabupaten;
b. permukiman perkotaan yang merupakan bagian dari ibukota kecamatan;
c. permukiman perkotaan yang padat;
d. kawasan permukiman baru; dan
e. kawasan permukiman perkotaan yang terdapat bangunan lama/kuno.
Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Lainnya
Pasal 44
(1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf i adalah kawasan
peternakan dan kawasan sektor informal.
(2) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : Kecamatan Sine, Jogorogo,
Kendal, Paron, Mantingan, Ngawi, Kedungggalar, Padas, Widodaren, Ngrambe, Pitu, Padas, Bringin,
Karanganyar, Karangjati, Geneng, Pangkur, Kedunggalar, Kasreman untuk ternak ayam potong, ayam
petelur, kambing, seperti sapi potong dan sapi perah.
(3) Kawasan sektor informal disediakan untuk pedagang kaki lima (PKL) atau usaha kecil guna
menumbuhkan ekonomi masyarakat dengan penempakan pada kawasan budidaya.
Paragraf 10 Kawasan Pertahanan dan Keamanan
Pasal 45
Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf j meliputi, Komando
Distrik Militer beserta jajaran teritorialnya, kawasan Artileri Medan 12 dan tempat-tempat latihan
kemiliteran.
BAB VII
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS DAERAH
Pasal 46
(1) Kawasan yang merupakan kawasan strategis kabupaten meliputi :
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; dan
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. kawasan Agropolitan di Kecamatan Ngrambe; dan
b. kawasan Perikanan di Kecamatan Bringin.
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi kawasan Candi Pendem, Arca Banteng, Musium Trinil dan Benteng Vanden Bosch,
Pesanggrahan Srigati, Monumen Suryo.
(4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi :
a. kawasan Sekitar Lereng Gunung Lawu;
b. kawasan Sekitar Sungai Bengawan Solo; dan
c. kawasan Sekitar Waduk Pondok, Waduk Sangiran dan Waduk Kedung Bendo.
BAB VIII
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 47
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya.
(2) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air dan penagunaan
sumberdaya alam lain.
Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang Wilayah
Paragraf 1
Perumusan Kebijakan Strategis Operasionalisasi
Pasal 48
(1) Penataan ruang sesuai dengan RTRW dilaksanakan secara sinergis dengan Peraturan Daerah lain
yang ada di Daerah.
(2) Penataan ruang dilaksanakan secara menerus dan sinergis antara perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Paragraf 2
Prioritas dan Tahapan Pembangunan
Pasal 49
(1) Prioritas pelaksanaan pembangunan disusun berdasarkan atas kemampuan pembiayaan dan kegiatan
yang mempunyai efek mengganda sesuai arahan umum pembangunan daerah.
(2) Program pembiayaan terdiri dari 4 (empat) tahapan meliputi :
a. program utama;
b. perkiraan pendanaan;
c. sumber pembiayaan; dan
d. instansi pelaksana.
(3) Waktu pelaksanaan dalam 4 (empat) tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
pelaksanaannya masing-masing tahapan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun yang dapat dilakukan
evaluasi sesuai kemampuan daerah.
Paragraf 3
Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 50
Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten meliputi :
a. arahan rencana pemanfaatan struktur ruang; dan
b. arahan pemanfaatan pola ruang wilayah.
Pasal 51
(1) Arahan rencana pemanfaatan struktur ruang, sebagaimana dimaksud pada pasal 50 huruf a, meliputi :
a. arahan pemanfaatan sistem perkotaan;
b. arahan pemanfaatan sistem perdesaan;
c. arahan pemanfaatan sistem transportasi;
d. arahan pemanfaatan sistem jaringan energi;
e. arahan pemanfaatan sistem jaringan telekomunikasi;
f. arahan pemanfaatan sistem jaringan sumber daya air; dan
g. arahan pemanfaatan sistem prasarana pengelolaan lingkungan.
(2) Arahan pemanfaatan sistem perkotaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. pengembangan ibukota kabupaten sebagai PKL, melalui peningkatan akses ke arah pusat;
b. pengembangan perkotaan Ngawi, melalui pengembangan kawasan industri, pengembangan
permukiman, pengembangan jalan kolektor, pembangunan jalan lingkar (ring road);
c. kecamatan Ngawi sebagai PKL yang memberikan pelayanan kepada PKLp dengan fungsi kegiatan
primer, dengan orientasi pelayanan regional, melalui peningkatan sarana-prasarana penunjang
perkotaan;
d. mendorong pembentukan pusat pelayanan yang mendukung pengembangan pertanian dan
kawasan strategis, melalui peningkatan akses ke arah pusat pelayanan ;
e. pengembangan perkotaan Kabupaten Ngawi, melalui pengembangan infrastruktur kawasan;
f. mewujudkan jalan internal provinsi melalui pengembangan jalan tembus, melalui Peningkatan kelas
jalan dari kolektor menjadi arteri dan Peningkatan kualitas jalan;
g. pengembangan perkotaan sebagai pusat pelayanan sosial – ekonomi yang mendukung
pengembangan pertanian dan kawasan strategis, melalui Ngawi sebagai ibukota kabupaten dan
Ngrambe sebagai kota kawasan Agropolitan; dan
h. pemenuhan fasilitas perkotaan dan peningkatan interaksi kawasan yang mendukung
pengembangan pertanian dan kawasan strategis, melalui Penyediaan sarana penunjang.
(3) Arahan pemanfaatan sistem perdesaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. pengembangan kawasan perdesaan berbasis hasil perkebunan di Kecamatan Sine, Kendal,
Ngrambe, Jogorogo dan Padas (Kabupaten Ngawi bagian selatan), melalui Pengembangan pusat
perkebunan dan pasar perkebunan di kecamatan Ngrambe;
b. mendorong pertumbuhan kawasan perdesaan di Kecamatan Ngrambe, melalui promosi hasil produk
pertanian, pengadaan infrastruktur penunjang, berbasis teknologi modern;
c. mendorong eksport hasil pertanian unggulan daerah, melalui pengembangan sentra produksi-
pemasaran pada pusat kegiatan ekonomi di Kecamatan Ngawi; dan
d. pengembangan produk unggulan, pengolahan dan perluasan jaringan di Kecamatan Ngrambe
sebagai Kota Tani Utama dan desa/kecamatan dikawasan sekitarnya sebagai penunjang, melalui
Pengembangan pasar, pengembangan sub terminal agribisnis, dan pengembangan kelembagaan
sistem agribisnis (penyedian agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyedia jasa).
(4) Arahan pemanfaatan sistem transportasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi sistem
jaringan jalan dan kereta api yang mendukung pengembangan pertanian dan kawasan strategis,
dilakukan melalui :
a. pengembangan jalan lintas strategis antar wilayah dan jalan sirip perkotaan;
b. pengembangan jalan bebas hambatan Solo – Mantingan – Ngawi dan Ngawi – Mojokerto;
c. pengembangan dan peningkatan kualitas jalan arteri, jalan kolektor, jalan local, jalan penghubung
desa dan kota serta Jalan Lingkar (ring road);
d. pengembangan terminal, pemeliharaan Terminal Kertonegoro type A, Peningkatan pelayanan
terminal dan Infrastruktur pendukung terminal;
e. pengembangan trayek angkutan penghubung akses antar kecamatan dan penghubung sistem
perkotaan; dan
f. pengembangan sistem transportasi massal & infrastruktur pendukungnya bagi transportasi kereta
api, melalui pengembangan jaringan double track dan pengembangan jalur kereta api regional
antar kota.
(5) Arahan pemanfaatan sistem jaringan energi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi
peningkatan kapasitas listrik yang mendukung pengembangan pertanian dan kawasan strategis, melalui
penambahan dan perbaikan jaringan, peningkatan infrastruktur pendukung, dan pengembangan
sumber listrik baru.
(6) Arahan pemanfaatan sistem jaringan telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
meliputi :
a. pengembangan prasarana penunjang yang mendukung pengembangan pertanian dan kawasan
strategis, melalui penyediaan tower BTS (Base Transceiver Station) secara bersama dan pengadaan
sistem internet, 3G dan GPS; dan
b. peningkatan jumlah dan mutu telekomunikasi yang mendukung pengembangan pertanian dan
kawasan strategis, melalui penerapan teknologi telekomunikasi berbasis teknologi modern dan
pembangunan teknologi telekomunikasi pada wilayah - wilayah pusat pertumbuhan seperti di
Kecamatan Ngawi, Ngrambe, Widodaren dan Karangjati.
(7) Arahan pemanfaatan sistem jaringan sumber daya air, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
meliputi peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan pertanian dan kawasan
strategis, melalui pengembangan waduk, bendung, cek dam, pengelolaan DAS Bengawan Solo dan Kali
Madiun, penanaman pohon pencegah longsor dan perbaikan pintu air.
(8) Arahan pemanfaatan sistem prasarana pengelolaan lingkungan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g, meliputi peningkatan sarana dan prasarana pendukung, melalui pengadaan TPA regional dan
pengadaan TPS skala lokal.
Pasal 52
(1) Arahan pemanfaatan pola ruang wilayah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf b, meliputi :
a. pemanfaatan kawasan lindung; dan
b. pemanfaatan kawasan budidaya.
(2) Arahan pemanfaatan kawasan lindung, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. pemantapan kawasan lindung bernilai strategis dalam penyediaan air, melalui pengembalian fungsi
lindung dengan reboisasi, penanganan secara teknis, pengembangan hutan dan tanaman tegakan
tinggi terutama pada kawasan kaki Gunung Lawu seperti Kendal, Jogorogo, Sine, Ngrambe,
Mantingan;
b. pemantapan kawasan perlindungan setempat, melalui perlindungan setempat sepanjang sungai
dibatasi untuk kepentingan pariwisata dan mengupayakan sungai sebagai latar belakang kawasan
fungsional, pengelolaan DAS Bengawan Solo untuk air baku, waduk dan mata air dibatasi untuk
pariwisata dan menghindari bangunan radius pengamanan kawasan dan mengutamakan vegetasi
yang memberikan perlindungan waduk dan mata air, pemanfaatan sumber air dan waduk untuk
irigasi; dan
c. pemantapan kawasan Cagar Budaya, melalui memelihara nilai dan fungsinya sebagai peninggalan
sejarah, objek penelitian dan pariwisata, serta pelaksanaan kerjasama pengelolaan kawasan.
(3) Arahan pemanfaatan kawasan budidaya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. pengembangan hutan produksi bernilai ekonomi tinggi dengan fungsi lindung, melalui reboisasi
tanaman untuk menahan tanah, pengembangan aneka produk olahan dan mengembangkan hutan
rakyat;
b. pengembangan kawasan pertanian dan pengolahan dihasil produksi berorientasi peningkatan nilai
ekonomi dan ekspor, melalui pengembangan hortikultura untuk eksport, pengembangan breeding
centre, serta pengembangan Industri Perikanan di Kecamatan Ngawi dan Kecamatan Bringin;
c. pengembangan kawasan peruntukan industri, melalui pengembangan kawasan industri di kawasan
potensial yaitu Ngawi, Pitu, Geneng dan Karangjati; dan
d. pengembangan kawasan pariwisata, melalui pengembangan obyek wisata utama yaitu Wisata
Pemandian Tawun, Waduk Pondok, Museum Trinil, Benteng Van Den Bosch, Air Terjun Srambang,
Perkebunan Teh Jamus dan Monumen Suryo, serta mengkaitkan kalender wisata nasional dan
pengadaan kegiatan festival wisata atau gelar seni budaya.
BAB IX
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 53
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten diselenggarakan melalui penetapan
ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perijinan, ketentuan pemberian insentif dan disinsentif,
serta arahan pengenaan sanksi.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(3) Arahan pengendalian pemanfaatan ruang, meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan pengenaan sanksi.
Bagian Kedua
Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
Pasal 54
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (3) huruf a, disusun
sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang, serta berdasarkan rencana rinci tata ruang
untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi disusun sesuai dengan rencana rinci tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan;
c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;
d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi;
e. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi;
f. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air;
g. ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan;
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung;
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budi daya; dan
j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada setiap butir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat
tentang apa yang harus ada, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Pasal 55
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2)
huruf a, meliputi :
a. fungsi kawasan;
b. kawasan lindung; dan
c. kawasan budidaya.
(2) Pengaturan zonasi untuk fungsi kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. boleh dilakukan pengembangan secara terbatas, yakni pada zona yang tidak termasuk dalam
klasifikasi intensitas tinggi tetapi fungsi utama zona harus tetap, dalam arti perubahan hanya
boleh dilakukan sebagian saja, yakni maksimum 25% dari luasan zona yang ditetapkan;
b. dalam pengaturan zona tidak boleh dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya;
dan
c. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang
bertentangan, misalnya permukiman digabung dengan industri polutif.
(3) Pengaturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pembatasan perubahan fungsi lindung tetapi dapat digunakan untuk kepentingan lain selama
masih menunjang fungsi lindung seperti wisata alam, jogging track tepi sungai dengan ditata
secara indah dan menarik;
b. upaya konservasi pada kawasan lindung yang berupa bangunan, dan dapat dilakukan sepanjang
menimbulkan nilai tambah misalnya dengan melakukan revitalisasi, rehabilitas, dan sebagainya;
c. kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan
harus tetap dilindungi sesuai dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau masing-masing, dan tidak boleh
dilakukan alih fungsi; dan
d. kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan terbuka hijau tetapi bukan sebagai bagian dari Ruang
Terbuka Hijau di kawasan perkotaan (misalnya tegalan di tengah kawasan perkotaan) pada
dasarnya boleh dilakukan perubahan fungsi untuk kawasan terbangun dengan catatan komposisi
atau perbandingan antara kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau tidak berubah sesuai
Rencana Detail Tata Ruang Kota masing-masing.
(4) Pengaturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus
mengupayakan untuk :
a. perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan bangunan vertikal sesuai
kondisi masing-masing ibukota kecamatan dengan tetap menjaga harmonisasi intensitas ruang
yang ada;
b. setiap kawasan terbangun yang digunakan untuk kepentingan publik juga harus menyediakan
ruang untuk pejalan kaki dengan tidak mengganggu fungsi jalan;
c. setiap kawasan terbangun untuk berbagai fungsi terutama permukiman padat harus menyediakan
ruang evakuasi bencana sesuai dengan kemungkinan timbulnya bencana yang dapat muncul;
d. penambahan fungsi ruang tertentu (misalnya pada zona permukiman sebagian digunakan untuk
fasilitas umum termasuk ruko) boleh dilakukan sepanjang saling menunjang atau setidaknya tidak
menimbulkan efek negatif bagi zona yang telah ditetapkan;
e. tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah ditetapkan sebagai bagian
dari rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan,
kecuali diikuti ketentuan khusus sesuai dengan kaidah design kawasan, seperti diikuti pemunduran
bangunan, atau melakukan kompensasi tertentu yang disepakati oleh stake holder terkait;
f. setiap lingkungan permukiman yang dikembangkan harus disediakan sarana dan prasarana
lingkungan yang memadai sesuai kebutuhan masing-masing;
g. setiap pusat-pusat kegiatan masyarakat harus dialokasikan kawasan khusus pengembangan sektor
informal;
h. lahan pertanian yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di kawasan
perkotaan harus tetap dilindungi dan tidak dilakukan alih fungsi; dan
i. kawasan yang telah ditetapkan batas ketinggian untuk alat komunikasi dan jaringan pengaman
SUTET tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dalam radius keamanan dimaksud.
Pasal 56
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2) huruf
b, meliputi :
a. pengaturan pada rencana kawasan terbangun dengan fungsi meliputi perumahan, perdagangan-jasa,
industri, dan berbagai peruntukan lainnya di perdesaan dapat dilakukan penambahan fungsi yang
masih saling bersesuaian, tetapi harus ditetapkan besaran dan/atau luasan ruang setiap zona dan
fungsi utama zona tersebut;
b. pengaturan pada kawasan tidak terbangun atau ruang terbuka untuk pertanian yang produktif harus
dilakukan pengamanan khususnya untuk tidak dialihfungsikan non pertanian;
c. pada setiap kawasan perdesaan harus mengefisienkan ruang yang berfungsi untuk pertanian dan
perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun hanya dilakukan secara infitratif pada permukiman
yang ada dan harus menggunakan lahan yang kurang produktif;
d. pengembangan permukiman perdesaan harus menyediakan sarana dan prasarana lingkungan
permukiman yang memadai sesuai kebutuhan masing-masing;
e. pada lahan pertanian yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di kawasan
perdesaan harus tetap dilindungi dan tidak dilakukan alih fungsi;
f. kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau di kawasan perdesaan
(misalnya taman lingkungan permukiman) harus tetap dilindungi sesuai dengan fungsi Ruang Terbuka
Hijau masing-masing, dan tidak boleh dilakukan alih fungsi;
g. pada kawasan lindung yang ada di perdesaan diarahkan untuk tidak dilakukan alih fungsi lindung
tetapi dapat ditambahkan kegiatan lain selama masih menunjang fungsi lindung seperti wisata alam,
penelitian, kegiatan pecinta alam dan yang sejenis;
h. pada kawasan lindung berupa bangunan, harus tetap dilakukan upaya konservasi baik berupa situs,
bangunan bekas peninggalan belanda, bangunan / monumen perjuangan rakyat, dan sebagainya;
i. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada kawasan terbangun di perdesaan (misalnya
pada zona permukiman sebagian digunakan untuk fasilitas umum, termasuk kegiatan industri kecil,
pasar desa dan sebagainya) boleh dilakukan sepanjang saling menunjang atau setidaknya tidak
menimbulkan efek negatif bagi zona yang telah ditetapkan;
j. kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan terbuka hijau produktif di perdesaan pada dasarnya boleh
dilakukan alih fungsi untuk kawasan terbangun secara terbatas dan hanya dilakukan pada lahan yang
produktivitasnya kurang tinggi, dengan catatan komposisi atau perbandingan antara kawasan
terbangun dan ruang terbuka hijau tidak berubah sesuai Rencana Detail Tata Ruang Kawasan
Perdesaan masing-masing;
k. dalam pengaturan zona tidak boleh dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya, sesuai
Rencana Detail Tata Ruang Kawasan perdesaan masing-masing;
l. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang bertentangan,
misalnya sawah atau permukiman digabung dengan gudang pupuk yang memiliki potensi
pencemaran udara;
m. pada kawasan terbangun di perdesaan yang lokasinya terpencar dalam jumlah kecil tidak boleh
melakukan kegiatan pembangunan dengan intensitas tinggi yang tidak serasi dengan kawasan
sekitarnya, misalnya vila harus dialokasikan secara tersendiri;
n. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau produktif di perdesaan tidak boleh
dilakukan alih fungsi lahan;
o. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari lahan pertanian berkelanjutan di kawasan
perdesaan tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan;
p. Pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan untuk keselamatan penerbangan baik terkait
fungsi ruang, intensitas ruang maupun ketinggian bangunan yang telah dietapkan tidak boleh
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan zona masing-masing; dan
q. Pada kawasan yang telah ditetapkan batas ketinggian untuk alat komunikasi dan jaringan pengaman
SUTET tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dalam radius keamanan dimaksud.
Pasal 57
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam pasal
54 ayat (2) huruf c, meliputi :
a. peraturan zonasi untuk jaringan jalan nasional/provinsi/kabupaten; dan
b. peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api.
(2) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan nasional/provinsi/kabupaten meliputi:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional / provinsi/kabupaten dengan tingkat intensitas
menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi sesuai dengan
fungsinya dan ketentuan yang berlaku;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan nasional;
dan
c. penetapan garis sempadan bagunan di sisi jalan nasional / provinsi/kabupaten yang memenuhi
ketentuan ruang pengawasan jalan.
(3) Peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api meliputi :
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat intensitas
menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu
kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian;
c. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta
api di sepanjang jalur kereta api;
d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan
dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.
Pasal 58
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada pasal 54 ayat (2)
huruf d meliputi :
a. keberadaan pembangkit listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar
pembangkit listrik dengan memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain;
b. ketentuan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan
pelanggaran pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. lahan yang berada di bawah jaringan tegangan tinggi tidak boleh ada fungsi bangunan yang langsung
digunakan masyarakat;
d. dalam kondisi di bawah jaringan tinggi terdapat bangunan maka harus disediakan jaringan
pengamanan; dan
e. Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bahan Bakar Elpiji tidak diletakkan di kawasan permukiman dan
disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 59
Arahan pengaturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2)
huruf e disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan menara pemancar
telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktifitas kawasan disekitarnya.
Pasal 60
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 54
ayat (2) huruf f meliputi :
a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian
lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksud untuk pengelolaan badan
air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi rekreasi dan konservasi;
d. penetapan lebar sempadan sungai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas provinsi secara selaras dengan pemanfaatan ruang
di wilayah sungai pada provinsi yang berbatasan dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya
air yang telah ditetapkan.
Pasal 61
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54
ayat (2) huruf g meliputi :
a. arahan pengembangan sistem prasarana lingkungan yang digunakan lintas wilayah secara administratif
dengan kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah sampah
terutama di wilayah perkotaan;
b. pengalokasian Tempat Pemrosesan Akhir sesuai dengan persyaratan teknis;
c. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kaidah teknis dan dengan
konsep 3R (Reuse, Reduce dan Recycle);
d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan; dan
e. penyediaan ruang untuk Tempat Penampungan Sementara dan/atau Tempat Pemrosesan Akhir terpadu
dan / atau tempat pengelolaan limbah cair.
Pasal 62
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2)
huruf h, meliputi :
a. kawasan Hutan Lindung;
b. kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahnya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan pengungsian satwa; dan
g. kawasan ruang terbuka hijau kota.
(2) Peraturan Zonasi Kawasan Hutan Lindung Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan
vegetasi.
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki
kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan
izinnya.
(4) Peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. Ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk
pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi rekreasi dan konservasi;
d. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air; dan
e. Penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Peraturan zonasi untuk kawasan pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d meliputi:
a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata; dan
b. pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.
(6) Peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi:
a. peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana tanah longsor terdiri atas :
1) pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana;
2) penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
3) pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana
dan kepentingan umum.
b. peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana banjir terdiri atas :
1) pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana;
2) penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
3) pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana
dan kepentingan umum.
4) penetapan batas dataran banjir;
5) pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum
dengan kepadatan rendah;
6) ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum
penting lainnya; dan
7) bangunan di kawasan bencana banjir direncanakan menurut konsep living harmony with
flood.
(7) Peraturan zonasi untuk kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
meliputi:
a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. pelestarian flora dan fauna endemik kawasan; dan
c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam.
(8) Peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan;
c. penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan
d. pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud diatas.
Pasal 63
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi Kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat
(2) huruf i, meliputi :
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan permukiman;
h. kawasan peruntukan lainnya; dan
i. kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan.
(2) Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan;
dan
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan;
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; dan
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian kecuali untuk
pembangunan sistem jaringan prasarana utama.
(4) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani perikanan dengan kepadatan rendah;
b. pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan sabuk hijau; dan
c. pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari.
(5) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi:
a. keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat; dan
b. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang
berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah.
(6) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan
teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; dan
b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri.
(7) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
meliputi:
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung
lingkungan;
b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau; dan
c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata.
(8) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
g meliputi:
a. penetapan amplop bangunan;
b. penetapan tema arsitektur bangunan;
c. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan
d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.
(9) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
adalah peraturan zonasi untuk kawasan peternakan, meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk peternakan yang jauh dari permukiman;
b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peternakan; dan
c. meminimalisir semua jenis gangguang lingkungan.
(10) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i meliputi; pemanfaatan ruang secara terbatas dan selektif untuk menjaga fungsi
pertahanan dan keamanan.
Pasal 64
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal
54 ayat (2) j meliputi :
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; dan
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
(2) Arahan peraturan zonasi pada kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi harus ditunjang sarana dan prasarana yang
memadai sehingga menimbulkan minat investasi yang besar;
b. pada setiap bagian dari kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi ini harus diupayakan
untuk mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan
bangunan vertikal sesuai kondisi kawasan masing-masing;
c. pada kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi ini harus dialokasikan ruang atau zona
secara khusus untuk industri, perdagangan – jasa dan jasa wisata perkotaan sehingga secara
keseluruhan menjadi kawasan yang menarik;
d. pada kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi ini hendaknya mengalokasikan kawasan
khusus pengembangan sektor informal pada pusat-pusat kegiatan masyarakat;
e. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau untuk memberikan
kesegaran ditengah kegiatan yang intensitasnya tinggi serta zona tersebut harus tetap
dipertahankan;
f. pada kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi ini boleh diadakan perubahan ruang
pada zona yang bukan zona inti (untuk pergadangan – jasa, dan industri) tetapi harus tetap
mendukung fungsi utama kawasan sebagai penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa
merubah fungsi zona utama yang telah ditetapkan;
g. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada ruang terbuka di kawasan ini boleh
dilakukan sepanjang masih dalam batas ambang penyediaan ruang terbuka (tetapi tidak boleh
untuk RTH kawasan perkotaan);
h. dalam pengaturan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi ini zona yang dinilai penting
tidak boleh dilakukan perubahan fungsi dasarnya;
i. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila didekatnya akan diubah menjadi
fungsi lain yang kemungkinan akan mengganggu (misalnya industri) permukiman harus
disediakan fungsi penyangga sehingga fungsi zona tidak boleh bertentangan secara langsung
pada zona yang berdekatan; dan
j. untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pergerakan maka pada kawasan terbangun tidak
boleh melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah ditetapkan sebagai bagian dari
rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan.
(3) Peraturan zonasi pada kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya terdiri atas kawasan peninggalan sejarah
yakni arca, museum dan benteng. Secara umum kawasan ini harus dilindungi dan salah satu
fungsi yang ditingkatkan adalah untuk penelitian dan wisata budaya. Untuk itu pada radius
tertentu harus dilindungi dari perubahan fungsi yang tidak mendukung keberadaan candi atau
dari kegiatan yang intensitasnya tinggi sehingga menggagu estetika dan fungsi monumental
museum dan benteng;
b. bila sekitar kawasan ini sudah terdapat bangunan misalnya perumahan harus dibatasi
pengembanganya;
c. untuk kepentingan pariwisata boleh ditambahkan fungsi penunjang misalnya shouvenir shop atau
atraksi wisata yang saling menunjang tanpa menghilangkan identitas dan karakter kawasan;
d. pada zona ini tidak boleh dilakukan perubahan dalam bentuk peningkatan kegiatan atau
perubahan ruang disekitarnya yang dimungkinkan dapat mengganggu fungsi dasarnya;
e. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona ini tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang
bertentangan, misalnya perdagangan dan jasa yang tidak terkait museum dan pariwisata; serta
f. pada sekitar zona ini bangunan tidak boleh melebihi ketinggian duapertiga dari museum dan
benteng yang ada.
(4) Arahan pengaturan zonasi pada kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :
a. pada kawasan ini yang termasuk dalam katagori zona inti harus dilindungi dan tidak dilakukan
perubahan yang dapat mengganggu fungsi lindung;
b. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan dan terdapat kerusakan baik
pada zona inti maupun zona penunjang harus dilakukan pengembalian ke rona awal sehingga
kehidupan flora dan fauna dilindungi dapat lestari;
c. untuk menunjang kelestarian dan mencegah kerusakan dalam jangka panjang harus melakukan
percepatan rehabilitasi lahan;
d. pada zona-zona ini boleh melakukan kegiatan pariwisata alam sekaligus menanamkan gerakan
cinta alam;
e. pada kawasan yang didalamnya terdapat zona terkait kemampuan tanahnya untuk peresapan air
maka disarankan untuk pembuatan sumur-sumur resapan;
f. pada kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau fungsi produksi tertentu
(misalnya terdapat komoditas durian, manggis, damar, rotan) boleh dimanfaatkan buah atau
getahnya tetapi tidak boleh mengambil kayu yang mengakibatkan kerusakan fungsi lindung;
g. pada zona ini tidak boleh melakukan alih fungsi lahan yang mengganggu fungsi lindung apalagi
bila didalamnya terdapat kehidupan berbagai satwa maupun tanaman langka yang dilindungi;
serta
h. pada zona inti maupun penunjang bila terlanjur untuk kegiatan budidaya khususnya permukiman
dan budidaya tanaman semusim, tidak boleh dikembangkan lebih lanjut atau dibatasi dan secara
bertahap dialihfungsikan kembali ke zona lindung.
Paragraf 2
Ketentuan Perizinan
Pasal 65
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (3) huruf b adalah perizinan yang
terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.
(2) Setiap usaha dan / atau kegiatan yang membutuhkan perizinan hendaknya mengajukan perizinan dan
mengacu pada perizinan lingkungan.
(3) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT); dan
d. izin mendirikan bangunan.
(4) Izin –izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam peraturan tersendiri.
(5) Kawasan pengendalian ketat (High Control Zone) yang merupakan kawasan yang memerlukan
pengawasan secara khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung,
mencegah dampak negatif, menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi :
a. pemanfaatan ruang di sekitar kawasan perdagangan regional;
b. wilayah aliran sungai, sumber air dan stren kali dengan sempadannya;
c. kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian lingkungan hidup meliputi kawasan
resapan air atau sumber daya air;
d. prasarana transportasi terkait kawasan jaringan jalan, perkeretaapian, area/lingkup kepentingan
pelabuhan, kawasan di sekitar jalan arteri/tol;
e. prasarana wilayah dalam skala regional lainnya seperti area di sekitar jaringan pipa gas, jaringan
SUTET, dan LPA terpadu;
f. kawasan rawan bencana;
g. kawasan lindung prioritas dan pertambangan skala regional; dan
h. kawasan konservasi alami, budaya, yang bersifat unik dan khas.
(6) Ketentuan perijinan untuk kawasan pengendalian ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
meliputi :
a. rekomendasi teknis dari Gubernur;
b. permohonan izin dilaksanakan sebelum pelaksanaan pembangunan fisik;
c. harus dilampiri dengan gambar teknis arsitektural (site plan, denah, tampak, potongan dan
situasi); gambar teknis konstruksi sipil; data pendukung berupa penguasaan tanah, lokasi
bangunan berupa sertifikat hak milik atau bukti perjanjian sewa; dan
d. pemanfaatan ruang yang dimohonkan harus memenuhi syarat zoning yang akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan tersendiri.
Paragraf 3
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 66
(1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf c merupakan perangkat
atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana
tata ruang
(2) Pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf c merupakan perangkat
untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
rencana tata ruang.
(3) Pemberian insentif dapat berbentuk :
a. pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham terutama yang
mendukung keberlangsungan dan peningkatan kegiatan pertanian serta pengembangan
kawasan strategis kabupaten;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur terutama yang mendukung keberlangsungan dan
peningkatan kegiatan pertanian serta pengembangan kawasan strategis kabupaten;
c. kemudahan prosedur perizinan terutama yang mendukung keberlangsungan dan peningkatan
kegiatan pertanian serta pengembangan kawasan strategis kabupaten; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah terutama
pada kegiatan yang mendukung keberlangsungan dan peningkatan kegiatan pertanian serta
pengembangan kawasan strategis kabupaten.
(4) Pemberian disinsentif dapat berbentuk pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi,
dan penalti terutama pada kegiatan yang tidak mendukung keberlangsungan dan peningkatan
kegiatan pertanian serta pengembangan kawasan strategis kabupaten.
Paragraf 4
Arahan Pengenaan Sanksi
Pasal 67
Dalam proses penataan ruang Kabupaten, pemerintah dan masyarakat wajib berlaku tertib sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (3) huruf d merupakan tindakan
penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang dan peraturan zonasi.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan
ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang
berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(4) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin
maupun yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi adminstratif atau sanksi pidana dan/atau sanksi
pidana denda sesuai ketentuan perundang-undangan.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, PERAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN
Pasal 69
Hak setiap orang dalam penataan ruang meliputi :
a. mengetahui rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci di kabupaten;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Pasal 70
Kewajiban setiap orang dalam pemanfaatan ruang, meliputi :
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 71
(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang, selain dari Lembaran Daerah masyarakat dapat mengetahui
rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengumuman atau penyebarluasan oleh
Pemerintah Daerah.
(2) Kewajiban untuk menyediakan media pengumuman atau penyebarluasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui penempelan/pemasangan peta rencana tata ruang yang
bersangkutan pada tempat-tempat umum dan juga pada media massa, serta melalui pembangunan
sistem informasi tata ruang.
Pasal 72
(1) Dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang,
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang terkandung didalamnya,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan
dilaksanakan atas dasar pemilikan, penguasaan, atau pemberian hak tertentu berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang
pada masyarakat setempat.
Pasal 73
(1). Hak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status semula yang
dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
diselenggarakan dengan cara musyawarah antara pihak yang berkepentingan.
(2). Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah kabupaten, masyarakat wajib berperan dalam memelihara kualitas
ruang dan mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pasal 75
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan
penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun temurun dapat
diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi
dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan
seimbang.
Pasal 76
Dalam pemanfaatan ruang kabupaten, peran masyarakat dapat berbentuk :
a. pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan peraturan perundang-
undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku;
b. bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
dan kawasan yang mencakup lebih dari satu wilayah daerah/kota di daerah;
c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rtrw dan rencana tata ruang kawasan yang
meliputi lebih dari satu wilayah;
d. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan rtrw daerah yang telah ditetapkan; dan
e. bantuan teknik dan pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan/atau kegiatan menjaga, memelihara,
serta meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 77
(1) Tata cara peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Pemerintah Kabupaten.
Pasal 78
Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peran masyarakat dapat berbentuk :
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang kawasan dimaksud; dan
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang.
Pasal 79
Peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
disampaikan secara lisan atau tertulis kepada Bupati dan pejabat yang ditunjuk.
Pasal 80
(1) Koordinasi penataan ruang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
Kabupaten.
(2) Tugas dan fungsi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten meliputi :
a. merumuskan kebijaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah dan
daerah serta keserasian antar sektor;
c. memanfaatkan segenap sumber daya yang tersedia secara optimal untuk mencapai hasil
pembangunan secara maksimal;
d. mengarahkan dan mengantisipasi pemanfaatan ruang untuk pelaksanaan pembangunan yang
bersifat dinamis; dan
e. mengendalikan fungsi pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber
daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa.
(3) Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) setidaknya bersidang 3 (tiga) bulan sekali
membahas tentang tentang hal-hal prinsip dan pembentukan alternatif kebijaksanaan serta cara
pemecahan masalah untuk diputuskan oleh Bupati.
(4) Susunan keanggotaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) meliputi penanggung
jawab, ketua, sekretaris dan anggota ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati.
(5) Dalam rangka mendayagunakan cara kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) maka
dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang dan Kelompok Kerja Pengendalian Pemanfaatan
Ruang.
(6) Struktur organisasi, tugas dan kewenangan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
Daerah ditetapkan oleh Keputusan Bupati Ngawi.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 81
(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksudpada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporanatau keterangan yang berkenaan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang
penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana
dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain
f. serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan
g. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam
bidang penataan ruang.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan
penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat
penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan
kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 82
(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf b, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 84
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 85
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf d, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 86
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 87
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85
dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 88
(4) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82,
Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak
pidana.
(5) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan hukum acara pidana.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 89
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi Tahun 2010 – 2030, memiliki jangka waktu
20 (dua puluh) Tahun semenjak tahun 2010 sampai dengan tahun 2030.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi Tahun 2010 – 2030 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilengkapi dengan Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi
Tahun 2010 - 2030 dan album peta dengan skala 1 : 50.000.
(3) Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ngawi Tahun 2010 - 2030 dan album
peta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Pasal 90
RTRW digunakan sebagai pedoman bagi :
a. pembangunan Daerah;
b. penyusunan RPJP dan RPJMD;
c. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah daerah;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan wilayah daerah serta
keserasian antar sektor;
e. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau masyarakat; dan
f. penataan ruang wilayah daerah yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perijinan lokasi
pembangunan.
Pasal 91
(1) Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menghasilkan
rekomendasi berupa:
a. rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; atau
b. rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
(3) Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/perubahan batas wilayah kabupaten yang
ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih dari
1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 92
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan
penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan peraturan daerah ini.
(2) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, maka semua rencana terkait pemanfaatan ruang dan
sektoral tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten.
Pasal 93
Pelaksanaan Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 94
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Ngawi.
Ditetapkan di Ngawi
pada tanggal 14 Juni 2011
BUPATI NGAWI,
Ir. H. BUDI SULISTIYONO
Diundangkan di Ngawi
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN NGAWI,
H. MAS AGOES NIRBITO MOENASI WASONO, SH, M.Si
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGAWI TAHUN 2010 NOMOR 10
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI
NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGAWI TAHUN 2010 - 2030
I. UMUM
Sesuai dengan amanat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan pedoman untuk penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang daerah; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; mewujudkan
keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi; dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
Untuk mengantisipasi dinamika pembangunan daerah, perlu dilakukan upaya perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih baik agar seluruh pikiran dan sumber
daya dapat diarahkan secara berhasil guna dan berdaya guna. Salah satu hal penting yang dibutuhkan
untuk mencapai maksud tersebut adalah peningkatan keterpaduan dan keserasian pembangunan di
segala bidang pembangunan, yang secara spasial dirumuskan dalam RTRW.
Penggunaan sumber daya alam dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan
sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, memperkuat struktur ekonomi yang memberikan efek pengganda yang maksimum terhadap
pengembangan industri pengolahan dan jasa dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup serta keanekaragaman hayati guna mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, RTRW merupakan matra spasial dalam pembangunan daerah
yang mencakup pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup
dapat dilakukan secara aman, tertib, efektif, dan efisien.
RTRW memadukan dan menyerasikan tata guna tanah, tata guna udara, tata guna air, dan tata guna
sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta
ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi dan disusun melalui pendekatan
wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Untuk itu, penyusunan
RTRW ini didasarkan pada upaya untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah kabupaten yang
diterjemahkan dalam kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah
kabupaten. Struktur ruang wilayah kabupaten mencakup sistem pusat perkotaan, dan sistem jaringan
prasarana wilyah. Pola ruang wilayah kabupaten mencakup kawasan lindung dan kawasan budi daya
Selain itu, juga menetapkan kawasan strategis kabupaten; arahan pemanfaatan ruang yang merupakan
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; serta arahan pengendalian pemanfaatan ruang
yang terdiri atas indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, dan
arahan sanksi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
mengembangkan tata ruang yang dapat mendukung integrasi usaha mengandung
pengertian suatu usaha harus sesuai dengan potensi dan daya dukung lahan dan
berdasarkan arahan pemanfaatan ruang
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cekup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Wilayah udara Kabupaten Ngawi merupakan wilayah teritorial dari pertahanan udara Lanud
Iswahyudi sehingga tertutup untuk penerbangan komersial.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengembangan sistem prasarana telekomunikasi ditingkatan hingga pelosok yang belum
terjangkau guna mendorong percepatan pertumbuhan wilayah terpencil
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
pengelolaan sampah yang bersumber dari luar wilayah kabupaten akan dilakukan
kerjasama pengelolaan sampah antar Kabupaten atau Kota yang akan diatur lebih
lanjut dalan nota kesepakatan antar wilayah
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 10
LAMPIRAN I : RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI
NOMOR : 10 TAHUN 2011
TANGGAL : 14 JUNI 2011
PETA RENCANA STRUKTUR RUANG
SUMBER : PETA RBI, BAKOSURTANAL TAHUN 2002
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGAWI
TAHUN 2010 - 2030
PETA RENCANA STRUKTUR RUANG
WILAYAH KABUPATEN
PPK
NO. PETA : 4
LAMPIRAN II : RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI
NOMOR : 10 TAHUN 2011
TANGGAL : 14 JUNI 2011
PETA RENCANA POLA RUANG
RENCANA TATA RUANG WILAAH KABUPATEN NGAWI
TAHUN 2010 - 2030
PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH
KABUPATEN
SUMBER : PETA RBI, BAKOSURTANAL TAHUN 2002
NO. PETA : 16
LAMPIRAN III : RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI
NOMOR : 10 TAHUN 2011
TANGGAL : 14 JUNI 2011
PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Kawasan Perikanan di Kabupaten Ngawi akan terkonsentrasi di wilayah Waduk Pondok yaitu di Kecamatan Bringin dengan rencana penyediaan
infrastruktur yang memadai baik lembaga penyuluhan, lembaga pengkajian, seperti LIPPI, infrastruktur yang mendukung seperti jalan dan
kelembagaan kelompok pembudidaya perikanan, lembaga perbankan dan koperasi perikanan serta
pasar ikan.
Kecamatan Ngrambe sebagai kawasan agropolitan
dengan fungsi Kota Tani Utama dimana sector
holtikulturan dan perkebunan sebagai komoditas
unggulan
Kecamatan Kedunggalar, Kecamatan Sine dan desa-
desa disekitar Kecamatan Ngrambe dan Paron
berfungsi sebagai Kota Tani dan Kawasan Sentra
Produksi
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGAWI
TAHUN 2010 - 2030
PETA RENCANA PENETAPAN KAWASAN
STRATEGIS KABUPATEN
SUMBER : RBI, BAKOSURTANAL TAHUN 2002
NO. PETA : 17
LAMPIRAN IV : RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI
NOMOR : 10 TAHUN 2011
TANGGAL : 14 JUNI 2011
INDIKASI PROGRAM UTAMA
NO RENCANA KEBIJAKAN KEBUTUHAN
PENGEMBANGAN PROGRAM UTAMA
SUMBER PEMBIAYAAN
INSTANSI
PELAKSANA
TAHAPAN
I II III IV
A. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten
1 Sistem
Perdesaan
Pengembangan kawasan perdesaan
Pengembangan kawasan perdesaan berbasis hasil perkebunan di Kecamatan Sine, Kendal, Ngrambe, Jogorogo dan Padas.(Kabupaten Ngawi bagian selatan)
Pengembangan pusat perkebunan dan pasar perkebunan di kecamatan Ngrambe
APBD Kab Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan.
√
√
Pengembangan kawasan Agropolitan
Mendorong pertumbuhan kawasan perdesaan di Kecamatan Ngrambe
Promosi hasil produk pertanian
Pengadaan infrastruktur penunjang,
berbasis teknologi modern
APBD Kab Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Bina Marga, Dinas Koperasi, Perindustrian dan perdagangan.
√
2 Sistem
Perkotaan
Pengembangan orde perkotaan
Pengembangan ibukota kabupaten sebagai PKL
Peningkatan akses ke arah pusat
APBN, APBD Provinsi, APBD Kab
Departemen PU, dinas Bina Marga Provinsi, Dinas Pu Bina Marga Kabupaten Ngawi.
√ √
Pengembangan perkotaan utama sebagai PKL, PKLp dan PKK
Pengembangan perkotaan Ngawi
Pengembangan kawasan industri
Pengembangan permukiman
Pengembangan jalan kolektor
Pembangunan jalan lingkar (ring road)
APBN, APBD Provinsi, APBD Kab
Departemen Perhubungan, Dishub Provinsi, Dis Hubpar Kabupaten , Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pu Ciptakarya.
√ √ √ √
Hirarki (besaran) perkotaan
Kecamatan Ngawi sebagai PKL yang memberikan pelayanan kepada PKLp dengan fungsi kegiatan primer, dengan orientasi pelayanan regional
Peningkatan sarana-prasarana penunjang perkotaan
APBN, APBD Provinsi, APBD Kab
Departemen PU, Dishub dan Dinas Binamarga Provinsi, Dinas PU Ciptakarya, Dinas PU Binamarga Kabupaten Ngawi
√
Sistem & fungsi perwilayahan
Mendorong pembentukan pusat pelayanan
Peningkatan akses ke arah pusat Pelayanan
APBD Kab Dinas Pu Binamarga, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perhubungan Kabupaten
√ √
Fasilitas perkotaan
Pengembangan perkotaan Kabupaten Ngawi
Pengembangan infrastruktur kawasan
APBD Kab Dinas PU Binamarga, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perhubungan Kabupaten
√
NO RENCANA KEBIJAKAN KEBUTUHAN
PENGEMBANGAN PROGRAM UTAMA
SUMBER PEMBIAYAAN
INSTANSI
PELAKSANA
TAHAPAN
I II III IV
Prasarana wilayah
Mewujudkan jalan internal provinsi melalui pengembangan jalan tembus
Peningkatan jalan dari kolektor menjadi arteri
Peningkatan kualitas jalan
APBN, APBD Provinsi, APBD Kab
Dinas PU, Dishub dan Dinas Binamarga Provinsi, Dinas PU Binamarga, Dinas Perhubungan, dan BPN Kab.
√
√
B. Penetapan Fungsi Kawasan Perdesaan dan Kawasan Perkotaan
1 Penetapan Fungsi Kawasan Perdesaan
Pengembangan produk unggulan
Mendorong eksport hasil pertanian unggulan daerah
Pengembangan sentra produksi-pemasaran pada pusat kegiatan ekonomi di Kecamatan Ngawi
APBD Kab Din. pertanian, perke-bunan Propinsi, Din. pertanian & Kehutanan Kabupaten.
√
Pengembangan sistem agropolitan
Pengembangan produk unggulan, pengolahan dan perluasan jaringan di kec : Kecamatan Ngrambe sebagai Kota Tani Utama dan desa/kecamatan dikawasan sekitarnya sebagai penunjang
Pengembangan pasar
Pengembangan sub terminal agribisnis
Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedian agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyedia jasa).
APBD Kab
Din. pertanian &
Kehutanan, Dinas PU Ciptakarya, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan,
√ √ √ √
2 Penetapan Fungsi Kawasan Perkotaan
Pelayanan sosial ekonomi
Pengembangan perkotaan sebagai pusat pelayanan sosial – ekonomi
Ngawi sebagai ibukota kabupaten
Ngrambe sbg kota kawasan Agropolitan
APBN, APBD Provinsi, APBD Kab
Dinas PU, DKP, Dept Perhub, Pelindo, Perhutani, Kemtr Neg LH, Menpera, BPN, Dept Perindag, Bappenas, Dinas Binamarga Prov, DKP Prov, Din Perhub Prov, Dianas Permukiman Prov, BPN Provinsi, Dinas Perindag Prov, Bappeprov, Dinas PU Binamarga Kab, Din. Peternakan dan kesehatan hewan, Dinas
Perikanan & Kelautan Kab, Dinas perhubungan Kab, Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab, Dinas Pu Ciptakarya Kab, BPN Kab, Dinas Koperasi,Industri dan Perdagangan Kab, Bappekab, Dinas Pertanian & Kehutanan Kab.
√ √
NO RENCANA KEBIJAKAN KEBUTUHAN
PENGEMBANGAN PROGRAM UTAMA
SUMBER PEMBIAYAAN
INSTANSI
PELAKSANA
TAHAPAN
I II III IV
Pengembangan perkotaan IKK
Pemenuhan fasilitas perkotaan dan peningkatan interaksi kawasan
Penyediaan sarana penunjang
APBD Kab Dinas PU Ciptakarya Kab, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab, Dinas Perhubungan Kab.
√ √
C. Pengembangan Prasarana Wilayah
1 Transportasi Jalan Raya
Pengembangan jalan
Pengembangan jalan penghubung dan jalan tembus/sirip antar wilayah
Jalan tol Solo - Mantingan –Ngawi dan Ngaw- Kertosono
Jalan kolektor menjadi arteri
Jalan penghubung desa dan kota
Jalan Lingkar (ring road) di Kecamatan Ngawi
Peningkatan kualitas jalan
APBN, APBD Prov, APBD Kab.
Dept PU, Dinas Binamarga Prov, Dinas PU Binamarga Kab, BPN Kab, Bappekab, Dinas
Pu Ciptakarya, Dinas Perhubungan
√ √ √ √
Pengembangan infrastruktur pendukung
Pengembangan terminal
Pembangunan Terminal Kertonegoro type A
Peningkatan pelayanan terminal
Infrastruktur pendukung terminal
APBN, APBD Prov, APBD Kab.
Dinas Binamarga Kab, BPN Kab, Bappekab, Dinas Pu Ciptakarya, Dinas Perhubungan.
√ √
2 Transportasi Kereta Api
Transportasi massal
Pengembangan sistem transportasi massal & infrastruktur pendukungnya
Pengembangan jaringan double track
Pengembangan jalur KA komuter
BUMN PT KAI, Dinas Perhubungan
√ √
3 Prasarana Telekomunikasi
Optimalisasi pelayanan
Pengembangan prasarana penunjang
Penyediaan tower BTS (Base Transceiver Station) secara bersama
Pengadaan sistem internet, 3G dan GPS
Swasta
Swasta
√ √ √ √
Peningkatan jumlah dan mutu telekomunikasi
Penerapan teknologi telekomunikasi berbasis teknologi modern
Pembangunan teknologi telekomunikasi pada wilayah - wilayah pusat pertumbuhan seperti di Kecamatan Ngawi, Paron, Mantingan dan Karangjati.
Swasta Swasta √
√
√
4 Prasarana Pengairan
Optimalisasi pelayanan
Peningkatan sarana dan prasarana pendukung
Pengembangan waduk, bendung, cek dam, pengelolaan DAS Bengawan Solo dan Kali Madiun
Penanaman pohon pencegah longsor
APBD Kab Dinas Pengairan √ √ √ √
NO RENCANA KEBIJAKAN KEBUTUHAN
PENGEMBANGAN PROGRAM UTAMA
SUMBER PEMBIAYAAN
INSTANSI
PELAKSANA
TAHAPAN
I II III IV
Pembangunan dan perbaikan pintu air
5 Prasarana Energi/ Listrik
Optimalisasi pelayanan
Peningkatan kapasitas listrik
Penambahan dan perbaikan jaringan
Peningkatan infrastruktur pendukung
Pengembangan sumber listrik (PLTA baru)
BUMN PLN
√ √
6 Prasarana Lingkungan
Optimalisasi tingkat penanganan
Peningkatan sarana dan prasarana pendukung
Pengadaan TPA regional
Pengadaan TPS skala lokal (per sswp)
APBD Prov, APBD - Kab,
Dinas Permukiman Prop, Dinas PU Ciptakarya.
√ √
D. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten
1 Kawasan Lindung Pemantapan Kawasan Lindung
Pemantapan kawasan lindung bernilai strategis dalam penyediaan air
Pengembalian fungsi lindung dgn reboisasi
Penanganan secara teknis
Pengembangan hutan dan tanaman tegakan tinggi terutama pada kawasan kaki Gunung Lawu seperti Kendal, Jogorogo, Sine, Ngrambe, Mantingan dan Bringin.
APBN, APBD Kab. Perhutani
UPT Kementrian Kehuanan, Perhutani, Bapeda, BPN Kab, Dinas peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Perikanan dan Kelautan.
√ √ √
Pemantapan kawasan perlindungan setempat
Perlindungan setempat sepanjang sungai dibatasi untuk kepentingan pariwisata dan mengupayakan sungai sebagai latar belakang kawasan fungsional;
APBN, APBD Kab. Perhutani
UPT Kementrian Kehuanan, Perhutani, Bapedda, BPN Kab, Dinas PU Pengairan Kab.
√
√
√
Pengelolaan DAS Bengawan Solo untuk air baku
APBN, APBD Kab. Perhutani
UPT Kementrian Kehuanan, Perhutani, Bapedda, BPN Kab, Dinas PU Pengairan Kab.
√
√
√
Waduk dan mata air dibatasi untuk pariwisata dan menghindari bangunan radius pengamanan kawasan dan mengutamakan vegetasi yang memberikan perlindungan waduk dan mata air;
APBN, APBD Kab., Perhutani
UPT Kementrian Kehuanan, Perhutani, Bapedda, BPN Kab, Dinas PU
Pengairan Kab.
√
√
√
Pemanfaatan sumber air dan waduk untuk irigasi
APBN, APBD Kab., Perhutani
UPT Kementrian Kehuanan, Perhutani, Bapedda, BPN Kab, Dinas Pengairan.
√
√
√
NO RENCANA KEBIJAKAN KEBUTUHAN
PENGEMBANGAN PROGRAM UTAMA
SUMBER PEMBIAYAAN
INSTANSI
PELAKSANA
TAHAPAN
I II III IV
Pemantapan kawasan Cagar Budaya
Memelihara nilai dan fungsinya sebagai peninggalan sejarah, objek penelitian dan pariwisata
Pelaksanaan kerjasama pengelolaan kawasan
APBN, APBD Kab., Perhutani
UPT Kementrian Kehuanan, Perhutani, Bapedda, BPN Kab, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
√ √ √
2 Kawasan budaya Pengembangan Kawasan Budidaya
Pengembangan hutan produksi bernilai ekonomi tinggi dengan fungsi lindung
Reboisasi tanaman untuk menahan tanah
Pengembangan aneka produk olahan
Mengembangkan hutan rakyat
APBN, APBD Kab. Perhutani
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan, Bapedda, BPN Kab, Dinas Perhubungan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Perikanan dan
Kelautan.
√ √ √
Pengembangan kawasan pertanian dan pengolahan dihasil produksi berorientasi peningkatan nilai ekonomi dan ekspor
Pengembangan hortikultura untuk eksport
Pengembangan breeding centre
Pengembangan Industri Perikanan di Kecamatan Ngawi dan Kecamatan Bringin.
APBN, APBD Kab., swasta
Din. pertanian, per-kebunan & Kahutanan, Dinas PU Pengairan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Perikanan dan Kelautan.
√
√
√
√
Pengembangan kawasan peruntukan industri
Pengembangan kawasan industri di kawasan potensial yaitu Mantingan industri pengeolahan kayu jati, Ngawi industri pengolahan kedelai.
APBN, APBD Prv dan APBD Kab
Disperindag Prov, Dis Koperasi, Industri dan Perdagangan Kab
√ √
Pengembangan kawasan pariwisata
Mengembangkan obyek wisata utama yaitu Wisata Pemandian Tawun, Waduk Pondok, Museum Trinil, Benteng Van Den Bosch, Air Terjun Srambang, Perkebunan Teh Jamus dan Monumen Suryo.
Mengkaitkan kalender wisata nasional
Pengadaan kegiatan festival wisata atau gelar seni budaya
APBD Kab Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Koperasi, Perdagangan dan perindustrian Kab.
√