PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM - repository.uinjkt.ac.id · yang meliputi Pengertian, fungsi dan...

70
PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM AGAMA HINDU (STUDI KASUS PADA PURA RADITYA DHARMA CIBINONG BOGOR) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S. ThI) Oleh : Deden Ruhyadi Anwar NIM : 101032121613 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010

Transcript of PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM - repository.uinjkt.ac.id · yang meliputi Pengertian, fungsi dan...

PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM

AGAMA HINDU (STUDI KASUS PADA PURA

RADITYA DHARMA CIBINONG BOGOR)

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S. ThI)

Oleh :

Deden Ruhyadi Anwar NIM : 101032121613

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1431 H/2010

PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM AGAMA HINDU

(STUDI KASUS PADA PURA RADITYA DHARMA CIBINONG BOGOR)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi Syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh.

Deden Ruchyadi Anwar NIM : 101032121613

Di Bawah Bimbingan

Drs. Roswen Djafar,MA.

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010

KATA PENGANTAR

Puja seiring syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

mengatur semua hambanya, membimbingnya, sekaligus menetapkan

ketentuan hidup yang harus dilalui oleh kita sebagai makhlauk CiptaanNya.

Hanyalah Dia yang dengan kekuasaanya senantiasa memberikan berbagai

nikmat kepada insan semua. Semoga kenikmatan Iman, Islam, dan Ihsan

selalu tersimpan dalam diri kita sebagai cerminan manusia yang bertaqwa.

Shalawat seiring Salam semoga selalu tercurah keharibaan Junjungan

alam Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarga yang sangat

menjaga dan mencintai beliau semasa hidupnya maupun sampai akhir

hidupnya, para sahabat yang selalu konsisten di jalan dakwah juga kita

sebagai umatnya semoga bisa meneladani kepribadian Rasulullah

Muhammad SAW dalam kehidupan ini .

Penulis menyadari bahwa skripsi ini terselesaikan bukan semata-mata

dari diri pribadi penulis, namun berkat pertolongan Allah Swt dan bantuan

dari semua pihak yang turut andil dalam memberikan do’a, moril, materiil

serta keikhlasan dalam membimbing penulis. Oleh karenanya penulis ingin

kiranya menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada ayahanda

tercinta bapak serta Ibunda yang telah mengasuh, menyayangi, serta

i

memperkenalkan nilai Islam kepada anak-anaknya yang telah tulus ikhlas

memberikan do’a nya kepada Penulis (Semoga Allah menyayangi keduanya)

Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA, selaku Dekan Fakultas

Ushhuluddin.

2. M. Nuh Hasan, MA, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama

3. Maulana, MA, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama

4. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, MA, selaku PUDEK I yang telah

memberikan kebijaksanaan kepada penulis untuk menyelasaikan

skripsi ini.

5. Bapak Drs. H. Roswen Djafar selaku pembimbing, yang telah

meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan

kemudahan dalam menyelasaikan skripsi ini.

6. Para dosen Fakultas Ushuluddin terutama jurusan Perbandingan

Agama,

7. I Nyoman Susila. S. Ag. M. Si. Selaku Pemangku di Pura Raditya

Dharma Cibinong yang telah membantu proses kelancaran dalam

memperoleh data-data yang diperlukan

ii

iii

8. Orang Tuaku tercinta, Bpk. Ujang Anwar, S. Ag, dan Ibu Nursiah

serta adik-adikku, Dessy Nursiana Anwar, SE, Ferdi Purnama

Anwar yang telah memberikan dukungan baik moril maupun

materil serta semangat kepada penulis.

9. Teman-temanku semua angkatan tahun 2001 Jurusan

Perbandingan Agama kau semua adalah teman terbaikku.

10. Sahabat-sahabatku, Uus badruzaman, Iman firmansyah, Ali Imron

dan Unday yang selalu ada dikala duka maupun duka.

11. Terimakasih kepada Tuti Shofiah, A. Md (Shofi), Bay Aji Yusuf

(Bang Ubs), Rita Nurseha dan Dede Hapit, yang telah memberikan

dukungan dan membantu demi trerselesaikannya skripsi ini

12. Teman-temanku di perumahan Bumi Jagakarta Pertiwi dan di

General Auto.

13. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis

hingga skripsi ini dapat terselesaikan

Ciputat, 04 September 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................. 5

C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 6

D. Metode Penelitian ................................................................................... 6

E. Sistematika Penulisan.............................................................................. 7

BAB II PEMANGKU DAN PURA RADITYA DHARMA CIBINONG

BOGOR

A. Pemangku ................................................................................................ 9

1. Pengertian dan Syarat Menjadi Calon Pemangku ...................... 9

2. Kehidupan Seorang Pemangku ...................................................... 13

a. Tempat tinggal................................................................................ 13

b. Penghasilan seorang Pemangku.................................................. 15

3. Wewenang Seorang Pemangku....................................................... 16

B. Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor............................. 19

1. Pengertian, Fungsi dan pengelompokkan Pura........................... 19

iv

2. Sej arah Berdirinya Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor......... 24

3. Struktur Kepengurusan Pada Pura Raditya Dharma Cibinong ... 26

4. Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor... 28

5. Kegiatan Keagamaan dan Sosial di Pura Raditya Dharma ........... 29

6. Kegiatan Sanggar Tari Bali di Pura Raditya Dharma .................... 33

BAB III PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM MEMBIMBING UMAT

HINDU

A. Memimpin Umat Untuk Mencapai Kebahagiaan Lahir Batin ........... 37

1. Pemangku Sebagai Guru Rohani Membimbing Umat Hindu...... 37

2. Pemangku Sebagai Tempat Bertanya Mengadu Umat Hindu..... 42

B. Melakukan Pemujaan dan Upacara ........................................................ 42

1. Mencari hari-hari yang baik............................................................... 47

2. Memimpin upacara-upacara Keagamaan....................................... 47

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 53

B. Saran– saran................................................................................................ 54

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56

v

vi

LAMPIRAN

A. Wawancara di Pura Radiya Dhara Cibinong Bogor

B. Foto Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para pemuka agama seperti Kyai dalam agama Islam, Pendeta

dalam agama Kristen, Bhikkhu dalam agama Budha, maupun Pemangku

dalam agama Hindu, sepak terjang maupun keberadaannya sangat

sentral sekali terhadap setiap umatnya, karena peranannya yang sangat

penting terhadap kehidupan agamanya terlebih dalam hal pelaksanaan

ibadah atau ritual keagamaan yang bersifat sakral dan suci. Seakan tak

dapat di pungkiri lagi, tanpa keberadaannya, di tengah-tengah umat bisa

jadi kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral tersebut tidak akan dapat

berjalan sebagaimana mestinya. Agama Hindu yang ajaran dan

pelaksanaan ibadahnya lebih banyak berupa upacara-upacara

persembahan, tak terkecuali sangat membutuhkan keberadaan seorang

rohaniawan untuk membantu pelaksanaan ritual-ritual tersebut.

Rohaniwan dalam agama Hindu yang bertugas secara langsung

mengantarkan suatu upacara di kenal dengan berbagai nama. Di lihat

dari tingkat penyuciannya umumnya hanya di bedakan atas dua

golongan yaitu rohaniwan yang tergolong Dvijati dengan sebutan

2

Pandita. Dan rohaniwan yang tergolong Ekajati dengan sebutan

Pemangku. 1 Pemangku adalah seorang yang telah mencapai kesucian

diri lahir batin melalui proses ritual, Pemangku digolongkan sebagai

orang yang mempunyai kedudukan mulia di dalam masyarakat Hindu.

Tugas dan kewajiban seorang Pemangku setiap harinya adalah dalam

hubungan dengan pembinaan kehidupan beragama, pemangku bertugas

untuk menuntun umat dalam menciptakan ketertiban dan kehidmatan

pelaksanaan upacara di pura tempatnya bertugas, serta mengatur

persembahyangan, maupun mengatur sajen yang akan di persembahkan.

Di luar kegiatan upacara di pura, Pemangku bertugas untuk menjaga dan

memelihara kelestarian dan kesuian pura. 2

Pemangku adalah seorang yang sangat dihormati dan dipatuhi

oleh umatnya, karena kedudukannya yang tinggi di dalam masyarakat

Hindu. Selain itu juga karena Pemangku merupakan sebagai sesepuh

bagi masyarakat Hindu yang selalu memberikan pelayanan membantu

melaksanakan upacara-upacara keagamaan serta menuntun dan

1 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya: PARAMITA, 1999), cet. I, h. 162 2 Ibid., h. 172

3

membimbing umat dalam mengajarkan ajaran agama maupun dalam

pelaksanaan dharma dalam kehidupan sehari-hari.

Pemangku juga diharuskan menjaga kebersihan (lahiriah) dan

kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan dan sudah

selayaknya mempunyai perlengkapan pemujaan seperti sebuah dulang

yang diatasnya ada genta, tempat dupa, pasepan, sangku, sesirat, dan

daun lalang, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan canting dan

bunga. Sebuah kekasang, dan sebuah ganitri. 3

Adapun kewajiban yang diberikan kepada seorang Pemangku untuk

membantu dan membimbing umatnya dalam melaksanakan ajaran

agama Hindu adalah yaitu memimpin umat dalam hidupnya untuk

mencapai kebahagiaan lahir batin. Juga dalam hal memimpin berbagai

macam upacara dan menentukan tingkat upacara yang berhubungan

dengan Panca Yadnya, nganteb upacara-upacara pada kahyangan yang

di amongnya, dapat ngeloka para sraya sampai dengan madudus alit,

sesuai dengan tingkat pawitenannya dan juga atas panugrahan sulinggih.

Dan waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan

rambut wenang agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala

3 Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com pada 16 Juli 2010

4

dengan destar juga menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan

nganteb/masehe serta memohon tirta kehadapan Ida Sang Hyang

Widhi dan bhatara bhatari yang malinggih atau yang di istanakan di

pura tersebut termasuk upacara yajna membayar kaul dan lain-lain. 4

Sarana yang digunakan oleh Pemangku dalam melaksanakan

kegiatannya adalah di Pura. Karena Pura sebagai pusat kegiatan

keagamaan umat Hindu yang dianggap tempat suci dan sakral. Selain

digunakan sebagai tempat ibadah, Pura juga bisa digunakan dalam

kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan Hindu seperti kegiatan

belajar-mengajar, mahasaba, belajar menari, kegiatan sosial

kemasyarakatan dan lain-lainnya.

Di dalam Pustaka Tutur Kasuskman di jelaskan secara gamblang

bahwa Pemangku adalah perwujudan Sanghyang Dharma. Pemangku

menjadi panutan umat Hindu karena kebenaran telah menjiwai dirinya.

Nilai kebenaran (Dharma) pada diri seorang Pemangku sangat meresap di

hati umat Hindu sehingga apa yang dikatakan dan ditetapkan oleh

Pemangku maka dijadikannya perkataan dan ketetapannya itu sebagai

pegangan hidup yang tidak boleh dilanggar. Dengan demikian peran

4 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya: PARAMITA, 1998), cet. I, h. 170

5

Pemangku menjadi sentral dari pada tata keagamaan dan juga dalam

aktivitas agama Hindu. Seorang Pemangku merupakan panutan umat

Hindu. Ia bertanggungjawab penuh terhadap kegiatan yang dilakukan di

pura, membimbing dan memimpin umat menuju ke arah yang lebih baik

dalam sikap dan perbuatan, juga memberi wawasan pencerahan bagi

umat merupakan bagian dari salah satu tugasnya. 5

Di daerah yang tidak jauh dari Penulis di ketahui ada sebuah Pura

yang besar , yang jaraknya kurang lebih 15 KM dari tempat tinggal

Penulis yang bernama Pura Raditya Dharma. Dan penulis mencoba

menelitinya dari berbagai sudut dan akan di tuangkan dalam skripsi ini.

Oleh karena alasan-alasan tersebut di atas, sehingga membuat penulis

tertarik untuk membahas tentang Pemangku yang lebih khususnya lagi

adalah mengenai “ Peran Sentral Pemangku Dalam Agama Hindu”

(Studi kasus Pada Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulisan skripsi ini, penulis membatasinya pada ”Peran

Pemangku dalam Membimbing dan Melakukan Upacara atau

5 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila, Pemangku pada Pura Raditya

Dharma Cibinong Bogor

6

Pemujaan” Secara umum skripsi ini akan membahas tentang

wewenang seorang Pemangku sebagai orang suci di dalam agama

Hindu. Adapun rumusan secara khususnya yaitu, apa saja peranan

Pemangku dalam agama Hindu ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan yang

dianggap penting. Secara umum, tujuan penelitian ini untuk

mendapatkan informasi yang benar tentang Pemangku dan peran

sentralnya di Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor.

Adapun tujuan secara khusus dari penelitian skripsi ini yaitu,

untuk memenuhi syarat menjadi Sarjana (SI) di Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat.

D. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Field Research

(penelitian lapangan) terhadap pihak-pihak yang berkompeten dengan

masalah yang sedang diteliti di Kelurahan Cikaret, Kecamatan

Cibinong, Kabupaten Bogor. Ditambah dengan literatur yang

menunjang sebagai pelengkap dalam penulisan (secoundary-sources).

7

Dengan metode penelitian tersebut di atas diharapkan mendapat data-

data sehingga penelitian ini dapat ditemukan kesimpulan yang tepat

dan objektif. Sedangkan pengumpulan data yang dipakai adalah Library

Research (penelitian pustaka) dengan cara mencari dan mengumpulkan

tulisan-tulisan mengenai Pemangku meliputi wewenangnya dan

tentang peranan Pemangku dalam kehidupan keagamaan umat Hindu

baik sumber primer maupun sumber skunder .

Adapun teknik penulisan yang kami gunakan dalam penulisan

skripsi ini merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi UIN

“Syarif Hidayatullah” (Jakarta : UIN Press, 2002)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan sub-sub sebagai

berikut : Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan tentang Pemangku, Pengertian dan syarat

menjadi calon Pemangku, Kehidupan seorang Pemangku, Wewenang

seorang Pemangku, Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

8

yang meliputi Pengertian, fungsi dan pengelompokkan Pura, sejarah

berdirinya, Struktur kepengurusan pada Pura Raditya Dharma

Cibinong, kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma, kegiatan

keagamaan, dan kegiatan sanggar tari Bali di Pura Raditya Dharma.

Bab III merupakan inti dari skripsi ini yaitu tentang peran sentral

Pemangku dalam membimbing umat Hindu yang terdiri dari :

Pemangku sebagai guru rohani membimbing umat hindu , Pemangku

sebagai tempat bertanya dan mengadu umat hindu, melakukan

pemujaan yang meliputi; mencari hari-hari yang baik, memimpin

upacara keagamaan.

Bab IV adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-

saran. masukan bagi masyarakat secara umum dan khususnya bagi

penulis sendiri. Terakhir adalah daftar pustaka dan lampiran-lampiran

yang merupakan referensi dalam penulisan skripsi ini.

9

BAB II

PEMANGKU DAN PURA RADITYA DHARMA CIBINONG BOGOR

A. Pemangku

1. Pengertian dan syarat menjadi seorang Pemangku

Pemangku adalah orang yang bertugas memimpin dan

membimbing umat hindu dalam urusan keagamaan. Seperti

memimpin sembahyang, maupun upacara keagamaan. Dalam

tingkatannya, seorang Pemangku atau Pinandita berada di bawah

seorang Pandita. Adapun syarat menjadi seorang Pemangku adalah :

1. Laki-laki, diutamakan yang sudah menikah

2. Umur sudah dewasa

3. Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, dan Indonesia.

4. Memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran-ajaran

agama (filsafat, etika, dan Rituil)

5. Sehat lahir batin, ingatan tidak terganggu , tidak cedangga (cacat

tubuh) serta berbudi luhur

10

6. Berperilaku baik. Artinya tidak pernah tersangkut dengan

tindak pidana ringan dan berat yang surat keterangannya di

keluarkan dari kepolisian 1

Secara formal terutama yang menyangkut prosedur

administrasi Parisada Hindu Dharma menetapkan syarat-syarat bagi

calon Pemangku hampir sama dengan calon Pandita/Sulinggih.

Kecuali yang menyangkut hubungan dengan Nabe. Oleh karena

seorang Pemangku dalam poses penyuciannya tidak memerlukan

seorang Nabe seperti pada padiksaan seorang Sulinggih. Dalam

aspek mental spiritual, seorang calon Pemangku juga sangat

diperhatikan. Tindakan dan perilaku Pemangku yang tidak terpuji,

tidak hanya mencemari dirinya sendiri tetapi di pandang akan

menodai lingkungannya. Bilamana seorang Pemangku yang di

resmikan melalui acara pawitenan, berbuat yang menyalahi aturan, ia

wajib mengulang lagi melaksanakan upacara penyucian diri.

Yan hana pamanku widhi tammpak tali cuntaka dadi pamanku Wnan

malih mapa rayasciita kadi nguni apakarania, wan dadi pamanku

widhimalih.Yan nora wankara Phalania Tan mahyun batara Mahyan Rin

kahyanan.

1 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila, pada tanggal 13 Juli 2010

11

( Lontar kusuma Dewa).

Artinya: Bilamana ada Pemangku yang pernah diikat (karena suatu

kesalahan) dipandang cuntaka, wajib melaksanakan upacara

prayascita seperti upacaranya semula (dengan demikian) ia berhak

untuk menjadi Pemangku. Bila tidak demikian akibatnya tidak

berkenan bhatara turun di kahyangan. Dalam prakteknya di

masyarakat pemilihan calon Pemangku di tentukan oleh umat

pengempon pura yang bersangkutan. Prosedur penetapannya

maupun pemilihan calon itu sendiri dilakukan dengan berbagai cara

sesuai dengan tradisi setempat. 2

Ada beberapa cara yang telah umum dilakukan dalam

pemilihan pemangku/pinandita antara lain:

1) Melalui Nyanjan

Cara ini ditempuh dengan bantuan seorang mediator yang

mampu menghubungkan diri dengan dunia ghaib, kemudian

menerima petunjuk-petunjuknya secara langsung. Siapa yang akan di

pilih untuk menjadi Pemangku di pura tersebut. Penyampaian

petunjuk oleh mediator tersebut sering di lakukan dalam keadaan

2 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya: Paramita, 1998), cet. I, h. 174

12

instan. Pada akhirnya apakah petunjuk yang disampaikan oleh sang

mediator itu dapat diterima atau tidak oleh umat yang mendukung

pura tersebut. Sepenuhnya kembali kepada umat itu sendiri.

2) Melalui keturunan

Cara ini tidak melalui prosedur yang berbelit-belit. Oleh karena

ini telah diterima secara tradisi, bilamana seorang pemangku yang

tua, dan sudah tidak dapat lagi melaksanakan tugasnya, secara

otomatis akan digantikan oleh keturunannya dalam hal ini adalah

anaknya. Melalui cara ini proses kaderisasi umumnya berlaku secara

alami, dan dipersiapkan dengan baik. Oleh karena itu telah di sadari

pada saatnya nanti sang anak akan menerima tongkat estapet dari

orang tuanya untuk melanjutkan tugasnya sebagai Pemangku di pura

yang bersangkutan.

3) Melalui pemilihan

Cara ini sering dilakukan bilamana cara-cara lain tidak berhasil

di laksanakan. Dan juga yang memang melaksanakan secara tradisi

sehingga akan berlanjut untuk waktu yang berikutnya. Dalam proses

pemilihan penentuan syarat-syaratnya di samping yang telah di

tentukan secara umum sering masih ditambahi dengan syarat-syarat

13

yang di tetapkan secara khusus oleh umat yang bersangkutan.

Betapapun juga tugas seorang rohaniwan apakah yang tergolong

ekajati (Pemangku) lebih-lebih yang tergolong Dvijati (Pandita) adalah cukup

berat. Oleh karena itu pula timbal baliknya yaitu berupa perhatian dan

penghargaan dari masyarakat umat itu sendiri juga patut di berikan

sewajarnya agar rohaniwan yang dipercayakan dalam tugas-tugas

keagamaan dapat melakanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan

pesanannya dan dapat berperan sebagai tokoh panutan. 3

2. Kehidupan Seorang Pemangku

Kehidupan seorang Pemangku di luar dari peranannya sebagai

guru lokal adalah seperti halnya seorang hinduwan biasa yang

melakukan kegiatan keseharian dengan wajar. Pemangku juga

berkeluarga dan mempunyai isteri dan anak seperti halnya

kebanyakan orang.

a) Tempat Tinggal

Seorang Pemangku kebanyakan tinggal di rumah pribadi

walaupun ada Pemangku yang tinggal di Pura. Pemangku I

3 Ibid., h. 176-177

14

Nyoman Susila dalam hal ini Pemangku di Pura Raditya Dharma

Cibinong ini tinggal di rumah pribadi yang tempatnya

berdampingan dengan Pura Raditya Dharma itu sendiri. Rumah

yang di tempati I Nyoman Susila sudah di buatkan oleh Batalyon

yang berada di Cibinong ini agar Pemangku dapat menetap persis

berdekatan dengan pura. Ini sangat memudahkan Pemangku jika

tinggal dekat dengan Pura maka koordinasi pelaksanaan

keagamaan akan lebih mudah. Sebagai contoh, jika ada kematian

maka dapat segera ditangani lebih cepat, ketimbang jika Pemangku

tinggal jauh dari pura. Pasalnya jika Pemangku tinggal sangat jauh

dari pura di khawatirkan kegiatan keagamaan akan mengalami

gangguan. Karena di samping seorang Pemangku sebagai tokoh

agama yang di taati, ia pun sekaligus sebagai pemimpin dalam

setiap ritual-rituil yang di adakan di pura seperti sembahyang tiga

kali sehari dan lain sebagainya. 4

Namun jika dilihat secara umum yang tinggal di rumah

pribadi adalah Pemangku yang sudah menikah atau berkeluarga,

karena bagaimanapun juga ia harus bertanggungjawab atas

kelangsungan hidup keluarganya. Lebih lanjut seorang Pemangku

4 Ibid., h.177

15

membutuhkan tempat tinggal yang nyaman agar kegiatan yang

mereka kerjakan dapat berdampak baik bagi umat Hindu itu

sendiri.

b) Penghasilan seorang Pemangku

Pemangku selain tugasnya melayani umat dalam

membimbing dan menjadi pemimpin umat hindu, Pemangku juga

ada yang bekerja sebagai pegawai (negeri/swasta). I Nyoman Susila

Pemangku di Pura Raditya Dharma bekerja sebagai Pegawai Negeri

di Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Hindu yang bertempat di Lapangan Banteng Barat,

Jakarta Pusat. Di tambah ia merangkap sebagai Dosen Sekolah

Tinggi Agama Hindu (STAH) di Rawamangun Jakarta. Ia pun

untuk beberapa kali waktu selalu mengisi mimbar agama Hindu di

TVRI dan RCTI jika pihak televisi membutuhkan penceramah dari

kalangan Pemuka agama umat Hindu. Dengan demikian

penghasilan yang di dapat seorang Pemangku dalam hal ini I

Nyoman Susila sudah sangat mencukupi kebutuhannya. Hal ini

dapat di lihat dengan hasil yang di dapat perbulannya sebagai

Pegawai Departemen agama RI, di tambah dengan Dana yang di

berikan oleh umat Hindu dalam pemberiannya kepada Pemangku.

16

Hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang sudah tidak lagi

memikirkan harta dunia, maka ia akan konsen dan terasa lebih

tenang di dalam dirinya sehingga akan berdampak baik di dalam

peribadatannya, khususnya dalam memimpin dan membimbing

umat Hindu dalam setiap kegiatan keagamaannya.

3. Wewenang Seorang Pemangku

Seorang Pemangku atau yang biasa disebut dengan Pinandita

di beri wewenang sama seperti halnya dengan seorang Pandita seperti

memimpin dan melaksanakan upacara kematian. Acara kematian pun

tidak semua daerah sama tatacara pelaksanaanya. Pemangkulah yang

biasanya mengetahui tata cara yang harus di lakukan. Sesuai dengan

keputusan Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama

Hindu bahwa seorang Sulinggih, Pandita/Pemangku berwenang

dalam menyelesaikan segala upacara Panca Yajna yang dilaksanakan

oleh umat Hindu. Kewenangan ini tidak terbatas pada upacara yang

bersifat rutin maupun persembahan, melainkan juga termasuk

penyelesaian upacara yang bermakna mengesahkan seperti upacara

17

perkawinan, upacara pengangkatan anak, upacara penyumpahan dan

sejenisnya. 5

Selain itu juga wewenang Pemangku tidak terbatas sampai di

situ saja, bahkan memberikan Dharma wacana juga bisa dilakukan

oleh seorang Pemangku, mengingat seorang Pandita di Kabupaten

Bogor ini seperti yang dituturkan oleh I Nyoman Susila hanya

berjumlah 1 (satu) orang di daerah yang cukup jauh yaitu daerah

Cilendek Bogor yang berjarak kurang lebih 20 Kilo meter dari kota

Cibinong 6

Secara umum semua jenis Pemangku dengan berbagai

sebutannya memiliki batas wewenang yang jauh lebih kecil

dibandingkkan dengan Pandita dalam hal mengantarkan Yajna.

Dalam keputusan seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek

agaam Hindu batas kewenangan seorang Pemangku dijabarkan lebih

lanjut adalah sebagai berikut :

Nganteb upakara upacara pada kahyangan yang di amongnya.

Dapat ngeloka para sraya sampa dengan modudus alit sesuai dengan

tingkat pawitenannya dan juga atas peanugrahan sulinggih waktu

5 I Gusti Made Ngurah, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, ( Surabaya: Paramta, 1999), Cet I h. 167 6 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila, tanggal 13 Juli 2010

18

melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih dandanan rambut

wenag agotra, berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan

Destar

Dalam hubungannya dengan Panca Yajna batas kewenangan

tersebut di rinci sebagai berikut :

1) Menyelesaikan upacara puja wali piodalan sampai tingkat

piodalan pada pura yang bersangkutan

2) Apabila Pemangku menyelesaikan upacara di luar pura yang di

amongnya atau upacara/upakara. Upacara yajna itu

dilangsungkan di luar pura atau jenis upacara. upakara yajna

tersebut bersifat rutin seperi puja wali maka Pemangku boleh

menyelesaikan dengan nganteb serta mempergunakan tirta

sulinggih selengkapnya

Karena demikian besarnya wewenang seorang Pemangku

dalam aktifitasnya, maka ia harus benar-benar menjadikan dirinya

seorang yang mampu menguasai segala hal yang berkaitan dengan

upacara Yadnya dan kemampuan penguasaan terhadap kitab suci.

Selain itu Pemangku juga harus berwibawa dan menjaga perilaku

agar umat memandang dirinya sebagai Pemangku yang di percayai

dapat membimbing kerohanian dan memimpin dalam segala upacara

19

Yadnya, sehingga umat sering memanggilnya untuk membimbing dan

memimpin sebagai guru loka.

B. Gambaran Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

1. Pengertian, fungsi , dan Pengelompokkan Pura

Sebelum dijabarkan lebih lanjut tentang historis berdirinya pura

Raditya Dharma ini penulis akan terlebih dahulu memberikan sedikit

pengetahuan tentang definisi dari pura.

Dalam kamus bahasa Kawi istilah pura di artikan sebagai :

kubu, benteng, istana, kerajaan, kota atau puri. 7

Pura berarti candi kecil yang banyak terdapat di daerah Bali.

Ada banyak jenis pura. Seperti pura Desa, Pura Dalem, pura Subak,

Pura Dewa-dewa hutan, pura Gua, dan Pura Beji; memiliki

pekarangan yang dikelilingi sebuah tembok dengan sebuah pintu

gerbang dan terbagi atas dua atau tiga petak. 8

Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian

peninggalan purbakala kini di jawa) merupakan simbol dari kosmos

7 Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, h. 213 8 M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2002), Cet ke.II, h. 915

20

atau alam sorga. (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh DR.

Soekmono pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakn

bahwa candi bukanlah sebagai makam , maka terbukalah sebuah

perspekif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang

semestinya (sebagai tempat pemujaan /pura) Secara sinkronis candi

tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang

sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di

luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan

Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru

selama ini yang memandang bahwa candi di jawa atau pura di Bali

adalah tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali

adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang

kini umum di sebut Padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau

tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat di lihat dari bentuk

struktur relief, gambar dan ornamen dari sebuah pura atau candi.

Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua

gambar, relief atau hiasannya menggambarkan makhluk-makhluk

sorga , seperti arca-arca dewata wahana devata, dan pohon-pohon

sorga (parijata dan lain-lain) juga makhluk-makhluk suci seperti

21

Vidadhara-Vidyadhari dan kinara kinari, yakni seniman sorga dan lain-

lain. 9

Pura ialah bangunan suci tempat beribadah bagi umat Hindu,

dan ditinjau dari sejarah dan perkembangannya serta status dan

fungsinya secara garis besar Pura itu di bedakan menjadi 2 bagian.

Yaitu:

1. Pura sebagai penyongsong umum yaitu tempat sembahyang

untuk memuliakan dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi

Wasa.

2. Pura sebagai penyongsong khusus yaitu tempat suci untuk

memuliakan dan memuja arwah suci. 10

Pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa

dalam segala Prabhawa Nya dan atma Sidha Devata (roh suci leluhur)

Selain istilah Pura untuk tempat suci atau tempat pemujaan di

pergunakan juga istilah kahyangan atau Parhayangan. 11

9 Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com pada 16 Juli 2010 10 Ketut Subandi, Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (Denpasar : CV Kayumas) 1983), h.1 11 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya: Paramita, 1999), cet. I, h. 177

22

Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Uiva

dan uakti dan kekuatan/prinsip dasar dan segala manifestasi atau

wujud Nya dari elemen hakikat yang pokok, pathivi sampai kepada

Uaktinya. Wujud Konkrit materi (Sang Hyang Uiva merupakan sthana

Sang Hyang Vidhi hendaknya seseorang melakukan perenungan dan

memujaNya. 12

Sedangkan fungsi pura adalah sebagai tempat pemujaan

Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawanya dan roh suci Sidha

Dewata (roh suci leluhur) dengan sarana upakara yajna sebagai

perwujudan dari tri marga. 13

Berdasarkan karakterisasi fungsinya pura digolongkan

menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Pura kahyangan jagat

Yaitu pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala

prabhawa-Nya seperti pura sad kahyangan dan pura jagat lainnya.

b. Pura kahyangan Desa (teritorial)

Yaitu pura yang di sungsung oleh desa adat , contonya seperti

pura kahyangan tiga.

12 Ibid. www.goole.com 13 Ibid., h. 178

23

c. Pura Swagina (pura fungsional)

Yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina

(kekayaannya) yang mempunyai propesi sama dalam sistem mata

pencaharian hidup seperti pura subak, pura melanting dan lain

sejenisnya. Dalam tingkatan hirarkis dari pura itu kita mengenal pura

ulun carik, pura masceti , pura ulun Sewi dan pura ulun Danu.

Apabila Petani basah mempunyai ikatan pemujaan seperti tersebut di

atas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan

yang disebut pura alas angker, alas harum, alas rasmini dan lain

sebagainya. Berdagang merupakan salah satu sistem mata pencaharian

hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura

yang disebut melanting. Umumnya pura Melanting didirikan di

dalam pasar yang di puja oleh para pedagang dalam lingkungan

pasar tersebut.

d. Pura kawitan

Pura ini sering juga disebut padharman yang merupakan

bentuk perkembangan yang lebih luas dari pura milik warga atau

pura klen . Dengan demikian maka pura kawitan adalah tempat

pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga

atyau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat

24

yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang

merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini

mempunyai tempat pemujaan yang di sebut pura dadya sehingga

mereka disebut tunggal dadya. Di kenal juga pura yang

penyungsungnya di tentukan oleh ikatan wit atau leluhur garis

kelahiran (genalogis) seperti sanggah, Merajan, pura ibu, pura panti,

pura dadya, pura padharman, dan sejenisnya. 14

2. Sejarah Berdirinya Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Adapun sejarah berdirinya Pura Raditya Dharma ini adalah,

Pura Raditya Dharma yang terletak di Komplek DIT BEKANG Rt 01

Rw 05 No.10 ini dirintis sejak tahun 1983 atas dasar Surat Perintah

dari kesatuan Batalyon ini bahwa Batalyon menginginkan komplek ini

menjadi komplek pancasila sehingga dalam kawasan ini terdapat

Pura, gereja, Wihara, Masjid. Dan memang jika di lihat, sekarang ini

di areal wilayah komplek betul-betul di anggap menjadi komplek

Pancasila. Jika sore kita dapat melihat umat hindu datang ke pura,

masjid ramai dengan orang yang ingin menunaikan shalat, warga

sangat rukun, ini menjadi pemandangan yang positif bagi kerukunan

14 Ibid.,h. 179

25

beragama, sangat luar biasa. maka atas dasar itulah Batalyon ini

mengeluarkan surat perintah pada tahun 1984 yang silam agar bisa

berdiri Pura . Dan berdirilah Pura Raditya Dharma ini.

Pada Bulan Agustus tepatnya pada tahun 1984 baru bisa

peletakkan batu pertama untuk pembangunan Pura, yang ketika itu

umat Hindu baru berjumlah 40 KK. Lambat laun seiring

bertambahnya pengikut Hindu di daerah ini yang datang dari daerah

lain, maka ada keinginan pengurus untuk memperluas sarana

peribadatan. Maka disepakatilah renovasi sebagai jalan yang paling

mungkin untuk dilakukan. Pura ini sudah mengalami 3 (tiga) kali

renovasi. Alasan renovasi ini muncul karena ketika itu di wilayah ini

sudah terdapat lebih dari 40 KK. Dan akhirnya pada tahun 1986 di

lakukanlah renovasi karena umat hindu sudah banyak yang pindah

dari berbagai daerah seperti Citayam, Bojong gede, dan daerah sekitar

Cibinong, karena pada waktu itu terdengar kabar bahwa pusat

pemerintahan Bogor akan di alihkan ke daerah Cibinong. Maka

semakin banyaklah umat Hindu yang pindah ke daerah ini. Dan

untuk daerah Kabupaten Bogor yang terdata sudah ada 125 KK pada

waktu itu. Kemudian di renovasi kembali dan itu tidak bertahan lama.

26

Akhirnya pada tahun 2001 direnovasi kembali untuk yang

ketiga kalinya dengan menggunakan pasir meleleh. Pasir meleleh

adalah pasir laut yang di campur dengan semen yang di tata rapi

seperti pura-pura yang ada di Bali. Dan tampaklah pura ini begitu

megah karena sudah diperlebar dan di perluas ke kiri dan ke

kanannya, yang luas keseluruhannya mencapai 1.300 M. Pura ini di

bangun diatas lahan negara. Dan sampai hari ini yang menyokong

Pura Raditya Dharma di daerah Cibinong sudah mencapai 200 KK . 15

3. Struktur Kepengurusan Pada Pura Raditya Dharma Cibinong

Dalam kepengurusan Pura, umat Hindu biasa menyebutnya

dengan nama pengempon. Yang dimaksud dengan pengempon pura

dalam hal ini adalah kelompok umat yang bertanggung jawab

terhadap pemeliharaan pura baik secara fisik atau non fisik dari pura

tersebut.

15 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila, tanggal 13 Juli 2010

27

Adapun Bagan strukturnya seperti berikut ini :

KETUA WAKIL KETUA

SEKRETARIS BENDAHARA

KETUA SUKADUKA HINDU DHARMA KAB.BOGOR

PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA

SIE. KEAGAMAAN

SIE. KEPENDIDIKAN

SIE, KEPEMUDAAN

28

4. Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Kegiatan Pemangku di Pura Raditya Dharma ini seperti

diungkapkan oleh Pemangku I Nyoman Susila bahwa cukup banyak.

Oleh karena itu di bagi tugas dalam setiap kegiatannya. Jumlah

Pemangku di Pura ini seluruhnya berjumlah 6 (enam) orang. Namun

satu-satunya Pemangku yang tinggalnya bersebelahan dengan Pura

Raditya Dharma ini adalah I Nyoman Susila. Kegiatan beliau selain

sebagai Pemangku di Pura Raditya Dharma ia juga menjabat sebagai

Pegawai Tetap Departemen Agama RI sebagai Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Hindu di Jakarta Pusat. Di samping sebagai

Pegawai DEPAG, beliau juga duduk di Lembaga Keagamaan

Majelis Agama Hindu sebagai Sekretaris Majelis Agama Hindu yang

di sebut Parisada Hindu Dharma Kabupaten Bogor. Mengingat hal

tersebut di atas maka Pemangku di Pura ini silih bergantian

membimbing umat dan pada akhirnya bisa di harapkan memberikan

nuansa positif dan ketenangan batin seraya bisa bersembahyang

dengan damai dan tenteram yang di bimbing oleh seorang Pemangku.

Dan inilah yang diharapkan oleh umat hindu itu sendiri jika beribadah

di Pura Raditya Dharma ini.

29

5. Kegiatan Keagamaan dan Sosial di Pura Raditya Dharma

Pemangku yang ada di Pura Raditya Dharma ini menjadi

pimpinan dalam melaksanakan upacara yadnya yang dilaksanakan di

Pura ini. Karena pura Raditya Dharma ini adalah pura yang besar,

maka kegiatan keagamaan yang dilakukan cukup beragam. Dari

memimpin sembahyang pada pagi hari, siang, dan sore hari aktifitas

inipun berlanjut karena di Pura ini ada sekolah keagamaan umat

Hindu atau STAH ( Sekolah Tinggi Agama Hindu) Dharma

Nusantara Rawamangun Jakarta yang membuka cabang di sebelah

Pura ini. Adapun kegiatan sosial yang dilakukan umat hindu di

Kecamatan Cibinong ini melakukan dana punya ke Panti Asuhan,

maupun kerjabakti sosial ke masyarakat sekitar pura. 16

Dalam agama Hindu kegiatan dana punya adalah upaya positif

untuk memberikan bantuan atau sumbangan berupa material atau

sejenisnya kepada para umat Hindu yang membutuhkannya. Salah

satunya di lakukan di Panti Asuhan. Oleh karena di tempat itu ada

banyak umat yang di asuh, di bina, di tuntun oleh para pengelolanya

untuk bisa melanjutkan hidupnya termasuk juga kegiatan belajar

agama Hindu. Panti asuhan adalah salah satu bentuk atau wadah 16 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila pada tanggal 13 Juli 2010

30

untuk membina umat Hindu menuju peningkatan kualitas diri. Hal ini

juga menjadi bagian bentuk kepedulian para umat hindu dalam hal ini

para pemuda Hindu. Model lainnya selain dari pada Panti Asuhan,

bisa saja berupa yayasan yang di upayakan oleh umat Hindu untuk

menampung para generasi muda yang yatim, yatim piatu, anak yang

cacat, anak yang terlantar, anak yang miskin, orangtua jompo, orang

yang lemah fisiknya dan sebagainya. Bila para umat Hindu memiliki

kepedulian terhadap kegiatan ini berarti adanya nilai kemanusiaan ,

nilai prihatin, serta kesusuilaan bagi umat hindu itu sendiri. Jadi

perannya di sini adalah turut membantu dari pendidikan, bantuan

ceramah agama Hindu, bantuan dana, serta bantuannya yang bernilai

sangat positif. 17

Adapun kegiatan sosial yang lain yang dilakukan umat Hindu

adalah melakukan kerja Bakti di Pura. Kerja bhakti di Pura merupakan

kegiatan cinta dan peduli terhadap suasana, kondisi, serta keberadaan

suatu pura. Wujud kecintaan umat Hindu terhadap tempat sucinya

dapat dilakukan dengan melakukan kerja Bhakti, melakukan

kebersihan, melakukan perbaikan, melakukan penanaman bunga dan

perindang lainnya untuk menghijaukan lingkungan Pura. Adapun

17 Ketut Subagiasta, Siksa dan Jnana, (Surabaya: Paramita: 2006), h. 123

31

kegiatan sosial yang lain adalah membantu masyarakat yang tertimpa

bencana alam gempa bumi, bencana banjir, bencana gunung meletus,

bencana tanah longsor, bencana angin ribut, bencana tabrakan kereta

api/mobil dan yang sejenis lainnya. Upaya memberikan pertolongan

kepada khalayak umum adalah perilaku susila dan terpuji bagi

semua insan di dunia ini. Wujud bantuan sosial kepada masyarakat

yang tertimpa bencana dapat di lakukan dengan cara memberikan

bantuan berupa pakaian, makanan, uang, bantuan tenaga, bantuan

ide atau pemikiran positif untuk memberikan solusi terbaik terhadap

masalah yang dihadapinya. Semua jenis kegiatan itu selain bernilai

relawan, bernilai persembahan atau yajna, bahwa hal itu adalah

perilaku susila atau Subhakarma. Kebaikan itu akan mendatangkan

kebaikan juga bagi pelakunya. Tidak ada salahnya umat Hindu

berlaku baik kepada insan manusia di dunia ini, yang pada akhirnya

juga dapat berpahala kebaikan. Umat Hindu meyakini bahwa

berbuat kebaikan maka akan mendatangkan karma kebaikan. Hal ini

telah di ajarkan dalam ajaran Yajna, Kharmapala, ajaran susila, ajaran

sradda, ajaran bhakti, serta ajaran suci lainnya dalam agama Hindu. 18

18 Ibid., h. 125

32

Selain itu juga yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan di

Pura Raditya Dharma ini melakukan Pasraman Brahmacarya. Pasraman

Brahmacarya artinya menggalang kelompok belajar dalam masyarakat

Hindu untuk di tuntun menuju peningkatan kualitas belajar agama

Hindu serta materi lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan,

seni , dan teknologi. Kegiatan ini adalah sebagai bentuk dari umat

Hindu untuk selalu belajar dan berguru untuk menambah wawasan

dan ilmu pengetahuan. 19

Dalam penerapan sistem belajar pada pasraman Brahmacarya

ini maka wajib ada penuntun suci berupa Dang Acarya atau guru

kerohanian, yang memiliki tugas spiritual atau tugas kesucian, guna

menuntun mendampingi, mengawasi, memberikan keteladanan, serta

panutan lainnya secara teori maupun praktis. Sistem ini memerlukan

tempat khusus sebagai tempat tetap untuk melakukan kegiatan

belajar dan Praktek keagamaan Hindu. Jadi tempat khusus itu berupa

Ashram atau Pasraman, sejenis padepokan. Dalam masyarakat Hindu

di Bali lebih populer dengan istilah serka Pasantian. Jadi ashram ini

adalah secara khusus sebagai tempat belajar bagi umat Hindu tanpa

memandang usia dan kedudukan sosialnya. Jika di Bali ada banyak 19 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila pada tanggal 13 Juli 2010

33

dilihat keberadaan ashram belakangan ini juga kalau di Jawa hal ini

sudah dikenal baik oleh masyarakat Hindu. 20

4. Kegiatan Sanggar Tari Bali di Pura Raditya Dharma

Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal

identik dengan kehidupan religi masyarakatnya sehingga mempunyai

kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya dapat

mengekspersikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka

banyak muncul kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu

atau sebagai pelengkap pemujaan tersebut. Upacara di pura-pura

(tempat suci) tidak lepas dari seni suara, karawitan, seni lukis, seni

rupa dan sastra. Candi-candi dan pura-pura di bangun sedemikian

rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari

pengamat Hindu di Bali. Pregina (penari) dalam semangat ngayah

(bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud

Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan yang Maha Esa)

20 Ketut Subagiasta, Siksa dan Jnana, (Surabaya: Paramita: 2006), h. 122

34

bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu

dengan sumber seni itu sendiri. 21

Tari Bali diciptakan penciptanya berdasarkan insting atau

naluri dalam berkesenian . Apakah dengan meniru gerakan manusia ,

air, pohon, dan sebagainya, sehingga terangkum dalam gerakan yang

mempunyai nilai seni. Pada masyarakat berkebudayaan tinggi serta

menjunjung nilai-nilai religius agraris dan mistis seperti da Bali,

gerakan tari disertai aksen-aksen tertentu yang berkekuatan ghaib. Di

sertai banten-banten dan mantra-mantra tertentu untuk mengundang

kekuatan sekala dan niskala., sehingga mendukung dan menjunjung

kesakralan tarian tersebut. Sakral atau tidaknya tarian atau

pertunjukkan seni dapat diukur dengan beberapa kategori umum ,

yaitu tari sakral atau pertunjukkan seni sakral tidak pernah diupah

atau di sewa untuk pertunjukkan hiburan atau komersial.

Yang Menarik dari Pura Raditya Dharma ini adalah adanya

Sanggar Tari Bali. Kegiatan ini ada karena merupakan bagian dari

pengamalan ajaran agama. Karena memuji Tuhan tidak hanya melalui

pujian-pujian atau melalui sembahyang saja, namun juga bisa melalui

seni lagu-lagu kekiduan namanya, juga melalui gerakan dalam sebuah 21 Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet, artikel diakset dari www.google.com pada 18 Juli 2010

35

tarian. Adapun kegunaan di bentuknya sanggar tari Bali, tari Bali ini

juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan umat

Hindu, dan sering di pentaskan dalam acara tersebut. Sanggar Tari

Bali ini dinaungi oleh Yayasan Umat Hindu yang ada di Cibinong,

dan saat ini di ketua oleh Bapak I Nyoman Tatat. Sedangkan pelatih

dari Tari Bali yang ada di Pura Raditya Dharma adalah Wayan

Arnawa beserta Istri, sedangkan pelatih penabuhnya adalah I Gede

Dharmayasa. Sedangkan pembinanya I Nyoman Susila sendiri, selaku

pemangku di Pura Raditya Dharma ini. Dalam kegiatan Sanggar tari

Bali ini tidak hanya diikuti oleh umat Hindu saja tetapi diikuti oleh

umat lain di luar umat Hindu. Karena dalam agama Hindu dikenal

adanya Tritakarana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya,

hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia

dengan sesama. Dalam hal ini hubungan manusia dengan sesamanya

yaitu menjaga kerukunan dengan semua orang. Maka melalui

kegiatan tari bali inilah kiranya dapat mempererat tali kerukunan

antar umat beragama. Selain dari pada itu tari Bali di nilai sangat unik

dan di sebut sebagai tarian warisan bangsa karena selain nilai

budayanya yang sangat kental, juga merupakan tari yang sudah

sangat populer bukan hanya di daerah asalnya yaitu Bali, tetapi juga

36

sudah merupakan bagian dari budaya Indonesia. Atas dasar itulah

banyak sekali yang belajar tari Bali ini dari kalangan dan umat yang

beragam di Sanggar Tari Bali Pura Raditya Dharma 22

22 Wawancara pribadi dengan I Nyoman Susila pada tanggal 13 Juli 2010

37

BAB III

PERAN SENTRAL PEMANGKU DALAM MEMBIMBING UMAT HINDU

A. Memimpin Umat Untuk Mencapai Kebahagiaan Lahir Batin

1. Pemangku Sebagai Guru Rohani Membimbing Umat Hindu

Sudah menjadi kewajiban seorang pemangku atau pinandita

untuk membimbing umat untuk meningkatkan kesucian diri. Karena

bagi umat seorang pemangku memegang peranan yang sangat

penting dan bersifat penentu di dalam setiap keagamaan. Umat

melihat bahwa pemangku setiap hari mengadakan sembahyang,

memuja kebesaran sang Hyang Widhi memohon keselamatan dan

kesejahteraan untuk masyarakat, maka umat mempunyai keyakinan

penuh masalah kesucian itu. Para Pemangku merupakan ujung

tombak dalam membina umat Hindu. Karena itu perlu diberikan

bimbingan dari segi kesucian dan bekal dari segi kemampuan dalam

melaksanakan tugas. Untuk mewujudkan hal tersebut sangat

tergantung sekali kepada faktor mental orang tersebut. Dapat

disimpulkan bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup namun ada

yang lebih penting dari semuanya itu yaitu realisasi pengamalan

hidup dalam masyarakat sikap kita terhadap sesama, dan selalu ingat

38

kepada Sang Yang Widhi dirasa merupakan pegangan hidup kesucian

untuk mencapai kebahagiaan baik lahir maupun batin.

Berkenaan dengan Seorang Pemangku adalah sebagai guru

rohani umat Hindu, ada beberapa kepercayaan-kepercayaan yang

terpenting dalam agama Hindu yang di ajarkan oleh seorang

Pemangku terhadap umatnya seperti karma, dan penjelmaan roh 1

1) Karma.

Undang-undang balasan dalam bahasa sansekerta adalah

karma. Dan tidak seorangpun yang mengelak daripadanya. Di dalam

kitab Yoga Vasistha ada terdapat tulisan “ Di dalam alam ini tidak ada

suatu tempat, tidak ada gunung, langit, lautan, dan taman-taman

indah yang menjadikan seseorang dapat melindungi dirinya dari

balasan amalannya, baik yang baik ataupun yang buruk. Menurut

undang-undang keadilan yang tegas, semua pekerjaan pilihan

manusia yang memberi kesan pada orang lain baik yang baik

ataupun yang jahat, haruslah menerima balasan pahala atau siksa.

Susunan alam ini adalah susunan ketuhanan yang tegak di atas dasar

keadilan semata-mata. Keadilan alam memerlukan balasan bagi tiap-

tiap perbuatan Di dalam alam ini terdapat sejenis peraturan yang

1 Ahmad Shalaby, Agama-agama Besar di India, (Jakarta: Bumi aksara: 1998), h. 40

39

tidak membiarkan perbuatan manusia baik perbuatan itu kecil atau

besar, terjadi tanpa perhitungan. Sesudah dihitung tiap-tiap orang

akan menerima balasannya menurut perbuatannya dan balasan itu

terjadi pada masa hidup. 2

Karma artinya amal perbuatan. Dan bila di dunia ini banyak

ber dosa dan banyak melanggar hukum –hukum karma maka ia akan

lahir kembali sebagai manusia yang rendah derajatnya. Bahkan

mungkin sebagai binatang yang hina. Sebaliknya bila mana hidupnya

yang lampau berlaku baik sesuai dengan hukum-hukum karma maka

ia akan lahir kembali sebagai makhluk yang lebih tinggi derajatnya .

Dan apabila dalam hidupnya berturut-turut mengumpulkan karma

yang baik . Sehingga tiap kali ia lahir kembali sebagai manusia yang

sempurna dan tidak perlu kembali ke dunia lagi ia masuk dalam

alam mokhsa sebab hidup di dunia ini adalah penderitaan (sengsara=

samsara) 3

Radhakrishnan menyebut karma sebagai azas yang mengatur

dunia ciptaan. Karma adalah hukum sebab akibat . “ ada hukum moral

, rohani dan hukum yang bersifat lahiriah. Bila kita menelantarkan

2 Ibid., h. 41 3 Moh. Rifa’I, Perbandingan Agama , (Jakarta: CV Jaya Murni, 1965), Cet ke II, h. 85

40

aturan tentang kesehatan, kita kan merusak kesehatan kita, tetapi bila

kita menelantarkan aturan moral, kita menghancurkan hidup kita

yang lebih tinggi.

Karena itu hukum karma tidaklah berada diluar diri manusia.

Hakimnya berada dari dalam diri kita sendiri. Kita sendirilah yang

menentukan kelahiran kita, hidup kita, dan nasib kita. Buah karma

(Karmapala) bukan merupakan berkah atau kutukan Tuhan, tetapi

semata-mata merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri. Jalannya

karma adalah secara menyeluruh tanpa perasaan , adil, tiada kejam,

maupun welas asih. 4

Kepercayaan kepada hukum karma atau karmapala ,

membuat umat Hindu menjadi tabah dan tetap optimis menghadapi

masa depan. Bagi umat Hindu memang selalu tersedia kesempatan

untuk memperbaiki diri. Yang terpenting adalah tumbuhnya

kesadaran dan adanya usaha. Seperti nasabah yang sadar, bersedia

hidup prihatin selama melunasi hutang-hutangnya di Bank, demikian

pula umat Hindu yang sadar , mengetahui penderitaan yang di

alaminya sekarang adalah “ bayaran “ atas karma buruknya di masa

4 Raka Santeri, Tuhan dan Berhala, (Denpasar :Yayasan Dharma Narada, 2000), Cet ke I, h. 65

41

lalu. Ini di sebut prarabdha karma. Yaitu karma yang sedang di bayar

atau dinikmati akibatnya. Tidak ada cara untuk menghindar.

Menyadari hal ini Dia akan tetap tegar , tetap berusaha berbuat baik

ditengah-tengah penderitaan , karena perbuatan baik yang kita

lakukan sekarang adalah tabungan hidup masa depan yang bahagia.

2) Penjelmaan roh

Agama Hindu mengajarkan bahwa orang yang mati itu

untuk sementara waktu rohnya masuk ke syurga atau ke neraka .

Kemudian roh itu lahir kembali (Reinkarnasi) ke bumi dalam wujud

yang lain. Wujud itu bergantung kepada karmanya. 5

Roh berpindah dengan badan astral atau suksma sarira, atau

linga-deha. Badan astral ini terjadi dari 19 tattwa atau prinsif yaitu : 5

organ penggerak , 5 organ pengetahuan, 5 prjna, pikiran , kecerdasan,

Citta (bawah sadar) dan ahamkara atau keakuan(ego). Badan halus ini

membawa segala jenis samskara atau kesan serta waaan atau

kecenderungan-kecenderungan dari roh pribadi. Bila buah dari

karma-karma baik telah dihabiskan, ia menggabungkan dirinya

dengan badan fisik yang baru dan berinkanasi pasa tempat bumi ini.

Yang perilakunya sudah baik mencapai kelahiran yang baik dan yang 5 Moh. Rifa’I, Perbandingan Agama, (Jakarta : CV Jaya Murni, 1965), Cet ke II, h. 85-86

42

perilakunya jahat ditarik ke dalam kandungan yang penuh dosa atau

kelahiran yang lebh rendah. 6

2. Pemangku Sebagai Tempat Bertanya Mengadu Umat Hindu

Sudah sepatutnya seorang menjadi panutan umat Hindu.

Pemangku sering kali menjadi tempat bertanya umat. Pemangku

berkewajiban memberikan arahan kepada umat Hindu apabila

mengalami kebingungan dalam menjalani roda kehidupannya karena

dirudung masalah yang tak kunjung tak dapat terselesaikan. Sehingga

umat tidak ragu mengambil sebuah keputusan yang berlandaskan

ajaran agama sesuai dengan apa yang di ajarkan kitab weda.

B. Melakukan Pemujaan dan Upacara

Melakukan pemujaan maksudnya adalah seorang pemangku

memimpin dalam hal penyelesaian Yadnya yaitu memimpin berbagai

macam upacara dan menentukan tingkat upacara yang berhubungan

dengan permintaan umat antara lain yaitu hari raya di Pura, Pitra yadnya

(berkaitan dengan penyelesaian upacara orang yang meninggal) seperti

ngaben, atma wedana dan lain sebagainya. Juga pemujaan yang berkaitan 6 Yayasan Sanatana Darmasrama Intisari ajaran Hindu, (Surabaya: Paramita: 1997) h.86

43

dengan upacara perkawinan. Hal ini begitu sangat diperlukan karena

peran sentral seorang pemangku dalam melaksanakan tugasnya.

Perayaan besar Hindu yang dilakukan dengan disertai

pemujaan merupakan alat regenerasi spiritual yang penting dalam agama

Hindu. Dalam kalender Hindu, hari hari dalam seminggu di percaya di

atur oleh Dewa. Seperti hari minggu diatur oleh Surya (Ravi) dan di sebut

dengan ravivar ,senin disebut somavar dan di atur oleh bulan soma selasa

atau (mangavar) diatur oleh mars (mangal) Rabu di atur oleh Mercuri (budh),

sehinga bernama budhfar, kamis diatur oleh jupiter (Brhraspati) jum’at atau

sukravar diatur oleh venus(sukra) dan Sabtu diatur oleh Saturnus(sani) dan

disebut Sanivar. Perayaan dalam agama Hindu selalu dihubungkan

dengan dewa dewi dalam agama Hindu. Melalui perayaan yang disertai

dengan pemujaan ini, hindu mengukuhkan kepercayaan mereka dalam

agama, budaya dan warisan spiritual yang telah ada selama ribuan tahun 7

Mengapa umat Hindu sering sekali melakukan pemujaan

kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan sebuah wujud patung karena

Patung merupakan lambang eksternal Tuhan untuk dipuja 8 Ia

7 Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita:2006), h. 324 8 Sri Svami Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu, (Denpasar:: Paramita : 2002), h. 154

44

merupakan bantuan pencarian spiritualnya. Tak mungkin bagi semua

orang untuk memusatkan pikirannya pada yang mutlak. Suatu bentuk

konkrit sangat diperlukan bagi kebanyakan orang untuk melakukan

konsentrasi. Untuk melihat Tuhan ada di mana-mana dan belajar

merasakan kehadiran Nya, sangat sulit bagi orang-orang biasa. Pemujaan

patung merupakan cara pemujaan termudah bagi orang-orang modern.

Oleh karena itu meditasi atau konsentrasi tidak mungkin dilakukan tanpa

bantuan simbol itu. 9

Diantara pemujaan dan upacara yang di pimpin oleh pemangku

ialah upacara kuningan, ngaben dan lain segalanya.

a. Upacara Kuningan

Upacara hari raya kuningan jatuh pada hari Sabtu Kliwon

Wuku Kuningan, yaitu setiap 6 bulan sekali atau 210 hari sekali,

sepuluh hari setelah hari Raya Galungan, yaitu hari kembalinya sang

Hyang Widhi diiringkan para Dewa dan pitar. Dimana umat

menghaturkan bakti memohon kesentosaan dan panjang umur, serta

perlindungan tuntunan lahir batin selalu. Upacara hari raya kuningan

harus sudah selesai sebelum tengah hari.

9 Ibid.,154-155

45

Hari raya Kuningan berasal dari kata “kuning”, yang dapat

diberikan arti selain warna adalah “Amertha” (air suci). Pandangan

lain mengatakan bahwa kuningan berasal dari kata “Keuningan”, yang

mengandung arti “Kepradnyanan” (Kebijaksanaan dan kepintaran).

Dengan denimikan makna dan tujuan dari pelaksanaan hari suci

kuningan adalah pada hari itu segenap umat Hindu memohon

Amertha, berupa keprasnyanan (kebijaksanaan atau kepintaran)

kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan manisfestasinya sebagai Sang

Hyang Mahadewa yang disertai para leluhur (Dewara-dewati).10

Persiapan-persiapan yang dilakukan seorang Pemangku adalah

mulai dari asuci laksana, berbusana, nata perangkat upakara atau

upacar di Pura dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut telah tertuang

dalam kitab Kusuma Dewa dan Gegelaran Pemangku, langkah

persiapan yang dimaksid adalah:

1. Persiapan dirumah, sebelum berangkat ke Pura

a. Mandi besar.

b. Gosok gigi.

c. Membersihkan mulut.

d. Mencuci muka.

10 G, Pudja, Pengantar agama Hindu II Sraddha (Mayasari : Jakarta ) h. 76-77

46

e. Berpakaian.

f. Memakai kampuh.

g. Nyaluk kacawa.

2. Sampai di Pura.

a. Sampai di candi, Bentar/Gelung Agung dengan angungkab

Dwara.

b. Memuja Padmasana, menghaturkan sembah tanpa bunga.

c. Nyampat.

d. Nginsahin jun taneg.

e. Ngisinin jun taneg.

f. Ngalap Lawa.

g. Makena ceniga.

h. Menaruh bebanten/sasaji dipelinggih-pelinggih.

i. Menaruh toya anyar pada Palinggih.

j. Menaruh dupa pada Pelinggih dan Banten

k. Mekebat tikar (menggelar tikar).11

11 I Ketut Jingga, Upadeca Tentang Ajaraj agama Hindu, (Singaraja : Parasida Yayasan Hindu Dharma Sarathi) h. 61

47

1. Mencari hari-hari yang baik

Dalam melaksanakan upacara yadnya, umat Hindu biasanya

berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang Pemangku. Karena

melaksanakan upacara yadnya umat tidak boleh sembarangan dalam

melaksanakannya termasuk menentukan hari yang baik dalam

melaksanakannya. Oleh karena itu peran Pemangku dalam hal

menentukan hari yang baik dalam kegiatan keagamaan harus

diutamakan. Karena Pemangku mampu membaca perhitungan hari

dan bulan dalam hitungan Jawa dan Hindu.

2. Memimpin Upacara-upacara Keagamaan

Sesungguhnya penyelenggaraan upacara Dewa-Yadnya sudah

tidak asing lagi bagi umat Hindu, tetapi mungkin masih ada yang

belum memahami arti dan tujuan dari upacara tersebut. Demikian

pula sesajen-sesajennya kebanyakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan

yang telah berlaku atau ingatan orang tua, tanpa berpegang pada

suatu sumber tertulis. Hal-hal tersebut sering menyebabkan

penambahan sesajen / banten yang tidak menentu baik mengenai jenis

dan jumlahnya. Penambahan sesajen berarti pula penambahan bahan

atau upacara yang dipergunakan. Yang lebih menyedihkan lagi ialah

48

sering terjadi tanggapan yang negatif terhadap penyelenggaraan

upacara terutama mengenai sesajen yang di pergunakan. 12

Perlu dipahami betul oleh umat Hindu bahwa upacara telah di

atur menjadi 3 tingkatan yang di sebut nista (kecil), Madia (sedang)

dan utama (besar) yang bertujuan agar dapat di sesuaikan dengan:

1) Desa.

Desa adalah tempat upacara diselenggarakan, misalnya di

perumahan kahyangan –desa, khayangan jagad, di Bali ataupun di

luar Bali.

2) Kala.

Kala adalah waktu zaman, atau kapan upacara

diselenggarakan.

3) Patta.

Patta adalah keadaan ekonomi (kemampuan) kedudukan sosial

dan situasi lingkungan.

Berkenaan dengan Patta, atau kemampuan, Sudah menjadi

kebiasaan yang di lakukan oleh umat Hindu sebelum umat hendak

melaksanakan suatu upacara Yadnya biasanya mereka terlebih

12 I G Mas Putri, Upacara Dewa Yadnya, h.1

49

dahulu memanggil seorang pemangku agar berkenan hadir ke

tempat tinggalnya. Maksud umat memanggil seorang Pemangku

adalah untuk melihat keadaan umat tersebut dari berbagai aspek,

terutama keadaan ekonominya. Lalu barulah Pemangku dengan

bijaksana dan atas beberapa pertimbangan dapat menentukan tingkat

upacara yang akan di persembahkan dalam upacara Yadnya itu. Dan

lebih diutamakan seharusnya umat tidak menutup-nutupi keadaannya

saat akan di nilai oleh pemangku untuk menentukan besar kecilnya

upacara yang akan di buat agar upacara yang akan di lakukan nanti

benar-benar upacara yang baik dan sesuai dengan keinginan

Pemangku. Upacara yang dilakukan umat Hindu, baik upacara yang

besar (agung) yang dihadiri oleh orang banyak dan biasanya

dilakukan di tempat yang terbuka maupun yang kecil (sederhana)

tidak boleh sembarangan dalam menyelesaikannya. Oleh karena itu

dibutuhkan seseorang yang pintar dan ahli dalam menafsirkan kitab

suci Weda. Umat Hindu mempercayakan kepada seorang pemangku

yang dianggap mampu memimpin upacara Yadnya yang akan

dilaksanakan oleh umat itu sendiri.

Jikalau Pandita berhalangan hadir maka peran tersebut

diambil alih oleh Pemangku. Dalam memimpin sebuah upacara

50

Pemangku biasanya menggunakan Dipa atau padamaran. Dipa atau

Padamaran adalah lampu yang memakai minyak kelapa dengan

bentuk tertentu yang selalu menyertai Pemangku memimpin upacara

Yajna. Dalam buku Veda Parikrama disebutkan Dhupa lambang Akasa

Tattva dan dipa lambang Sakti Tattya Hal ini dimaksudkan bhakti

umat untuk mencapai akasa simbolis Sthana Hyang widhi. Sedangkan

Dipa sebagai sakti tattya sebagai simbol kekuatan suci pemangku umat

memantapkan bhakti umat kepada Hyang widhi 13

Tujuan dari penggunaan Dipa oleh Pemangku adalah untuk

memantapkan pemujaan umat agar sampai pada alam Sang Hyang

Widhi Wasa. Dengan sarana Dipa itulah Pemangku menuntun umat

untuk mendapatkan penerangan suci dari Hyang Widhi. Penerangan

suci dari Hyang Widhi merupakan salah satu tujuan umat melakukan

pemujaan. Dalam kitab Isa Upanisad 18 ada istilah Agni Naya yang

artinya Agni sebagai penuntun. Dalam mantra Isa Upanisad tersebut

dinyatakan dalam do’a semoga Hyang Widhi dengan sinar sucinya

(Agni) menuntun umat pada jalan kebenaran. Semoga semua tingkah

laku menuju pada pemujaan Sang Hyang Widhi yang Maha bijaksana

dan terlepas dari perilaku yang tercela. Sebelum upacara di mulai 13 Wiana I Ketut, Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu, Paramitha (Surabaya; 2001), h. 74

51

dhupa dan dipa (lampu) harus di hidupkan dan di mantrai dengan

mantra

Mantra : Om.Am. Dhupa-dipa astraya namah

Artinya : Om Sujud kepada (Am), dhupa (dan) dipa,astra (itu).

Penjelasan dari mantra tersebut adalah dupa atau wangi-wangian

yang dipakai dalam upacara danu ntuk menyelesaikan upacara. Baik

Dhupa maupun Dipa kedua-duanya mempunyai arti simbolis yang

berarti dhupa (sarwa alam) dan dipa (bulan sabit) atau dengan istilah

lain terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensifkan dengan

mempergunakan Dhupa dan dipa itu. 14

Untuk menajamkan makna pemujaan pada Hyang Widhi ini

umat awam (walaka) tidaklah semudah teorinya. Karena itu

Pemangku pemimpin upacara setelah mengucapkan mantra atau

puja selalu mengambil dhupa dan dipa. Hal ini mengandung makna

Pemangkulah yang mempunyai kewajiban untuk mendekatkan umat

pada Hyang Widhi terus menerus dan berulang-ulang. Dalam hal

inilah umat dan pemangku harus memiliki niat yang sama untuk

membangun kesucian diri secara terus-menerus. Upaya ini akan dapat

14 G. Pudja., Weda Parikrama, Lembaga penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda ( Jakarta: h. 112.

52

menghilangkan kabut kegelapan hati yang menutupi sinar suci atman

mencapai sinar suci Brahman. Umat hindu di India selalu menyalakan

dipa yang berbentuk lilin dan dhupa seperti umat Hindu di Indonesia

dalam pemujaannya. Hal ini juga mempunyai makna yang sama

dengan apa yang ada di Indonesia. 15

Pemangku untuk memimpin suatu upacara harus berpegang

teguh pada ajaran kitab suci Weda karerna seorang Pemangku akan

selalu memberikan petunjuk dari segi pelaksanaanya baik itu

menyangkut upacaranya maupun ketika acara prosesinya. Bimbingan

dan petunjuk dari seorang Pemangku harus ditaati. Oleh karena itu

seorang pemangku harus pandai dan paham betul tentang ajaran

Weda.

15 Ibid., h. 75

53

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam bagian ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan yang

dapat diambil oleh penulis, serta saran-saran yang berkaitan dengan

masalah yang di temui dalam penelitian ini. Adapun kesimpulan yang

Penulis peroleh tentang skripsi yang berjudul Peran Sentral Pemangku

Dalam Agama Hindu. (Studi Kasus Pada Pura Raditya Dharma Cibinong

Bogor) adalah sebagai berikut :

1. Pemangku adalah orang yang bertugas memimpin dan

membimbing umat hindu dalam urusan keagamaan. Seperti

memimpin sembahyang, maupun upacara keagamaan. Dalam

tingkatannya, seorang Pemangku atau pinandita berada di bawah

seorang pandita.

2. Seorang Pemangku yang berada di bawah Pandita, ia harus

benar-benar menjadikan dirinya seorang yang mampu menguasai

segala hal yang berkaitan dengan upacara Yadnya dan

kemampuan penguasaan terhadap kitab suci. Selain itu

Pemangku juga harus berwibawa dan menjaga perilaku agar umat

54

memandang dirinya sebagai pemangku yang dipercayai dapat

membimbing kerohanian dan memimpin dalam segala upacara

Yadnya, sehingga umat sering memanggilnya untuk membimbing

dan memimpin sebagai guru loka.

3. Peran sentral Pemangku dalam kehidupan keagamaan umat

Hindu adalah memimpin dan bertugas melayani umat Hindu

dalam segala hal yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan

seperti memberikan ajaran agama berdasarkan kitab weda yaitu

melalui ceramah agama, memimpin upacara-upacara keagaman,

dan lain sebagainya yang sifatnya dapat membimbing umat

Hindu ke arah yang lebih baik dalam mendekatkan diri ke Sang

Yang Widhi.

B. Saran – Saran .

Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak sekali kekurangan

disana sini, baik dari segi materi ataupun teknis penyajian. Adapun

saran-saran yang dapat penulis sampaikan setelah meneliti dan

mempelajari berbagai hal dalam penyajian skripsi ini adalah, tulisan

mengenai ajaran hindu atau mengenai agama dan kepercayaan

55

manapun, teramat penting sehingga penulis menyarankan agar para

peneliti-peneliti yang lain dapat mencari pengetahuan seobjektif

mungkin agar tulisan maupun penelitian yang dihasilkan berguna bagi

masyarakat, dan dapat menjadi wawasan dalam memperluas

pengetahuan bagi yang ingin mendalaminya lebih khusus untuk umat

Hindu, dan masyarakat pada umumnya. Semoga skripsi ini bermanfaat

dan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang berguna kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Dagun, M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2002, Cet ke.II. Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya : PARAMITA, 1998, Cet. I Dhavamony Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta : Kanisius,1995 G, Pudja, Pengantar agama Hindu II Sraddha, Mayasari : Jakarta, 1984 Hooykaas, C, Religion in Bali, Insitute of religion Iconografi State University, Leiden, 1973 I G Mas Putri, Upacara Dewa Yadnya. I B Mantra, Bali di Persimpangan jalan, Denpasar : Nusa data indo Budaya, 1995 I Ketut, Wiana. , Makna upacara Yajna dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramita , 2001. I Ketut Jingga, Upadeca Tentang Ajaraj agama Hindu, Singaraja : Parasida Yayasan

Hindu Dharma Sarathi. ________________, Kasta Dalam Hindu, Yayasan Dharma Narada, Denpasar: 2005, Cet. Ke-4 Pandit, Bansi., Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita:2006) Perspektif Hindu dalam Tari Bali dan Tari Pendet, artikel diakset dari www.google.com Pudja , Weda., Parikrama, Lembaga penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Weda, Jakarta : 1984

56

57

Pura Simbolis Kesucian dan Keagungan Tuhan, artikel di akset dari www.google.com Rifa’I, Moch., Perbandingan Agama , Jakarta: CV Jaya Murni, 1965, Cet ke II.

Santeri, Raka., Tuhan dan Berhala, Denpasar : Yayasan Dharma Narada, 2000, Cet ke I.

Shalaby, Ahmad., Agama-agama Besar di India, Jakarta: Bumi aksara, 1998) Smith, Houston Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, Cet ke-5 Sri Svami Silvananda, Hari Raya dan puasa dalam agama Hindu, Denpasar: Paramita, 2002 Subandi, Ketut Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (Denpasar : CV Kayumas, 1983 Wawancara dengan Pemangku Pada Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia, h. 213 Yayasan Sanatana Darmaasmara, Intisari ajaran Hindu, Surabaya: Paramita: 1997.

HASIL WAWANCARA

Nara Sumber : I Nyoman Susila, S.Ag., M.S.i

Jabatan : Pemangku/Pinandita

Tempat : Komplek DIT BEKANG RT 01RW 05 NO .10

Pura Raditya Dharma Cibinong Bogor

Tanggal Wawancara : 13 Juli 2010

P : Siapa nama bapak?

J : I Nyoman Susila

P : Apa fungsi pura bagi umat Hindu?

J : Fungsi pura bagi umat hindu adalah sebagi kitab suci terbuka.

Artinya tidak hanya di gunakan untuk sembahyang tetapi juga

di gunakan untuk pendidikan, lebih jauh untuk

mensejahterakan umat.

P : Selain bertugas sebagai pemangku apa kesibukan bapak

kesehariannya?

J : Saya adalah Pegawai Tetap Departemen Agama RI dan

duduk di DIRJEN Bimbingan masyarakat Hindu di Jakarta

Pusat. Di samping sebagai Pegawai DEPAG saya juga duduk

di Lembaga Keagamaan Majelis Agama Hindu sebagai

Sekretaris Majelis Agama Hindu yang di sebut Parisada

Hindu Dharma Kabupaten Bogor. Selain itu saya juga

mengajar di STAH ( Sekolah Tinggi Agama Hindu) Dharma

Nusantara yang terletak di daerah Rawa Mangun Jakarta.

P : Apa ada keharusan di dalam agama Hindu Setiap Pemangku

harus tinggal di Pura?

J : Tidak ada aturan yang baku tentang hal itu. Namun jika

tinggal dekat dengan Pura maka koordinasi pelaksanaan

keagamaan akan lebih mudah. Sebagai contoh, jika ada

kematian maka dapat segera di tangani lebih cepat, ketimbang

jika Pemangku tinggal jauh dengan pura. Atas dasar itulah

umat Hindu yang ada di Kabupaten Bogor pada Bulan

September 1986 saya sudah di buatkan rumah ini

bersebelahan dengan Pura.

P : Siapa yang bertanggungjawab atas kegiatan keagamaan di

pura ini ?

J : Saya selaku Pemangku bertanggungjawab atas kegiatan

keagamaan seperti memimpin sembahyang maupun

memberikan ceramah agama kepada umat Hindu

P : Apa saja kegiatan Pemangku di Pura ini?

J : Agama Hindu itu sembahyang 3 kali dalam sehari yaitu, Pagi,

siang dan sore. Aktifitas pemangkunya otomatis menyesuaikan

dan mengikuti hal tersebut sekaligus memimpin dan

membimbing jika diperlukan untuk sembahyang. Meskipun

banyak sekali tugasnya di samping hal tersebut. memberikan

gambaran-gambaran umum yang berkaitan dengan upacara

keagamaan yang di lakukan di Pura ini seperti memberikan

Petuah yang berkaitan dengan upacara keagamaan

P. : Sejak kapan Bapak bertugas menjadi Pemangku di Pura

Raditya Dharma ini ?

J : Sejak Tahun 1984

P. : Bisa di jelaskan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang

Pemangku ?

J : Syarat-syarat untuk menjadi seorang pemangku itu memiliki

pengetahuan agama, berbudi luhur dan di utamakan pada usia

40 Tahun ke atas.

P. : Berapa Jumlah Pemangku yang ada di Pura Raditya Dharma

ini ?

J : Jumlah Pemangku yang ada sejak Tahun 1984 yang

pertamakali di tunjuk pemangku itu hanya saya sendiri dan

sampai saat ini pada tahun 2010 jumlah pemangku sudah

berjumlah 6 orang

P. : Apa ada hukuman jika umat Hindu tidak sembahyang 3

kali dalam sehari ?

J : Tidak ada hukuman tentang hal itu, namun umat Hindu

meyakini adanya hukum Karma. Semakin banyak ia melakukan

kebaikan maka semakin banyak pula karma baik yang ia

dapatkan

P. :Selain kegiatan keagamaan apa ada kegiatan yang lain di

pura ini seperti kegiatan tari Bali misalnya?

J : Ya di sini ada sanggar tari Bali, Karena merupakan bagian dari

pengamalan ajaran agama. Karena memuji Tuhan tidak hanya

melalui pujian-pujian saja melalui sembahyang namun juga

bisa melalui seni lagu-lagu kekiduan namanya, Adapun

kegunaan di bentuknya sanggar tari Bali, tari Bali ini juga bisa

di pakai untuk upacara-upacara keagamaan umat Hindu, dan

sering di pentaskan dalam acara tersebut.

P. : Siapa yang mengetuai sanggar Tari Bali ini Pak?

J : Sebuah Yayasan yang bergerak di dalam kesenian umat

Hindu. Adapun ketuanya bernama I Nyoman Tatat beliau

bertanggungjawab terhadap kesenian Tari Bali yang ada di

Pura ini.

P. :Bagaimana sambutan masyarakat sekitar terhadap

keberadaan Pura ini ?

J : Sampai saat ini belum ada hal-hal negatif yang di tunjukkan

oleh warga terhadap keberadaan Pura ini. Karena tingkat

toleransinya sangat tinggi. Bahkan Umat Hindu ketika hari raya

Idul Fitri tiba mengucapkan selamat kepada umat Islam yang

ada di sekitar pura ini. Secara garis besar sangat baik

kerukunan yang di tunjukkan oleh masyarakat yang ada di

sekitar pura ini.