“Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan ...
Transcript of “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan ...
Prosiding Seminar Nasional
MIPA danTerapannya Tahun 2018
“Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Mendukung Kepentingan Bangsa”.
Reviewer
Yusuf Bungkang, Yohanis Irenius Mandik, Irfan Wahyudi, Puguh Sujarta, Elsye
Gunawan, Ervina Indrayani, dan Mingsep Rante Sampebua
Didukung Oleh:
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... iv
POTENSI DAYA HAMBAT EKSTRAK KASAR RUMPUT LAUT(Eucheuma cottoni)
TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI PATOGEN (Staphylococus aureus) DI
KAMPUNG WASORI DISTRIK BIAK UTARA KABUPATEN BIAK NUMFOR
(PAPUA) Amelia Noriwari1, Iriani Ira Bukorpioper2, dan Inggrid Nortalia Kailola3 ............................... 1
DIVERSIFIKASI PENGOLAHAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) MENJADI PRODUK
OLAHAN MI UNTUK MENINGKATKAN LAMANYA DAYA SIMPAN SAGU GUNA
MENUNJANG KEMANDIRIAN PANGAN LOKAL DI PAPUA Linus Y. Chrystomo1, I Made Budi2 dan Ign. Joko Suyono 3.................................................... 7
PERBANDINGAN AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN GATAL
(Laportea decumana) ASAL BIAK DENGAN MEMBERAMO Eva Susanty Simaremare1, Elsye Gunawan1, Elizabeth Holle2, dan Yuliana Ruth Yabansabra2
............................................................................................................................................... 12
SIMULASI PENGARUH KOEFISIEN DRAG PADA GERAK JATUH BEBAS Rahman1 dan Sudarmono2 ...................................................................................................... 18
PEMODELAN KOEFISIEN ABSORBSI CAHAYA DAN FREKUENSI GETAR
MOLEKUL PADA LAPISAN SENSITIZER SEL SURYA BUAH GOWOK Hubertus Ngaderman1 dan Ego Srivajawati2 .......................................................................... 26
PENDUGAAN SEBARAN LAPISAN AKUIFER AIR TANAH MENGGUNAKAN
METODE GEOLISTRIK RESISITIVITAS KONFIGURASI WENNER ALFA SECARA
LATERAL DI KAMPUNG WISITEN ARSOPURA, DISTRIK SKANTO, KABUPATEN
KEEROM Steven Y.Y. Mantiri1, Yusuf Bungkang2, dan Eka Rismartha S.3 ........................................... 34
NILAI EKONOMI MANFAAT LANGSUNG EKOSISTEM PADANG LAMUN TELUK
YOUTEFA BAGI MASYARAKAT KAMPUNG TOBATI DAN ENGGROS Basa T. Rumahorbo1, Henderina J. Keiluhu2 dan Baigo Hamuna3 ......................................... 43
STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVEDI KAMPUNG KUNEF DISTRIK
SUPIORI SELATANKABUPATEN SUPIORI Maklon Warpur ...................................................................................................................... 49
POTENSI DAN PEMANFAATAN AMPAS SAGU (Metroxylon Sp.) SEBAGAI PAKAN
TERNAK RUMINANSIA DI PAPUA Usman1 dan Siska Tirajoh2 ..................................................................................................... 55
PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI USAHATANI JAGUNG KOMPOSIT DI
WILAYAH PERBATASAN KOTA JAYAPURA Fransiskus1 Palobo dan Siska Tirajoh2 ................................................................................... 62
SISTEM USAHATANI INTEGRASI PADI – SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN
DI KOTA JAYAPURA, PAPUA Siska Tirajoh1 dan Usman2 ..................................................................................................... 71
ii
PERBANDINGAN METODE ESTIMASI PARAMETER UNTUK MENENTUKAN
MAGNITUDO GEMPA BUMI Alvian Sroyer1, Tiku Tandiangnga2, Felix Reba3,dan Ishak Beno4 ......................................... 81
MODEL PENYEBARAN TUBERKULOSIS DENGAN CHEMOPROPHYLAXIS DAN
PENGOBATAN YANG TIDAK TUNTAS Jonner Nainggolan ................................................................................................................. 87
TRACE DARI MATRIKS BERPANGKAT BILANGAN BULAT POSITIF Arinvia Cindy Nirvani1, Westy B. Kawuwung2, dan Tiku Tandiangnga3 ............................... 93
INVERS MOORE-PENROSE DAN PENERAPANNYA PADA SISTEM PERSAMAAN
LINEAR Rizal Mahifa1 , Tiku Tandiangnga2, dan Abraham3 .............................................................. 103
MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN TUBERKULOSIS DENGAN FAKTOR
VAKSINASI Abraham1 dan Jonner Nainggolan2 ....................................................................................... 107
IDENTIFIKASI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA (OPERASI HITUNG) DAN
KONSEP FISIKA PADA PENYELESAIAN SOAL FISIKA TENTANG PESAWAT
SEDERHANA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA UNIVERSITAS
CENDERAWASIH Hardiyanti1, Triwiyono2, dan Albert Lumbu3 ....................................................................... 116
KETERLAKSANAAN MENGAJARKAN ASPEK MENELITI DALAM
PEMBELAJARAN FISIKA KELAS XI SMA YPPK TERUNA BHAKTI
HUBUNGANNYA DENGAN GURU TERSERTIFIKASI Florentina Maria Panda1 dan Albert Lumbu2 ........................................................................ 124
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT
(STM) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS VIII SMP
MUHAMMADIYAH JAYAPURA PADA MATERI TEKANAN Maya Pujowati1, Albert Lumbu2, dan Triwiyono3 ................................................................ 132
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK SMP MUHAMMADIYAH
JAYAPURA PADA MATERI TEKANAN ZAT CAIR TAHUN AJARAN 2017/2018 Misda Ramadani1, Paulus G.D Lasmono2, dan Albert Lumbu3 ............................................ 139
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING MENGGUNAKAN
SMARTPHONE BERBASIS WEC UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN
GENERIK SAINS PESERTA DIDIK KELAS X MIIA SMA YPPL TERUNA BAKTI
JAYAPURA PADA MATERI MOMENTUM DAN IMPULS Victoria Dian Pratami Kurniawan1, Albert Lumbu2, dan Auldry Fransje Walukow3 ........... 146
BENTUK PENGELOLAAN SAGU (STUDI KASUS: SORONG SELATAN, MALANGKE
BARAT DAN AMBON) Helena Tuririday1,2, dan Musa Koibur1,3.............................................................................. 154
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM-BASED LEARNING PADA
MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR Raoda Ismail ........................................................................................................................ 159
IDENTIFKASI KEBERADAAN AIR TANAH ENDAPAN BERUMUR TERSIER
BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAERAH NIMBOKRANG, KABUPATEN
SENTANI, PAPUA Virman1, Frans Tambing2 ..................................................................................................... 171
iii
PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUGAMPING DENGAN MENGGUNAKAN
SURFER 11 DI KAMPUNG BOROWAY DISTRIK GENYEM KABUPATEN
JAYAPURA Bevie Marcho Nahumury¹, Djuardrensi Patabang² ............................................................... 177
APLIKASI E-LIBRARY PADA SMP ADVENT ABEPURA Mingsep Rante Sampebua1, Westy Kawuwung2, dan Septiani Mangiwa3 ........................... 186
PERANCANGAN SISTEM PENGELOLA DATA PENERIMA TUNJANGAN
SERTIFIKASI GURU (Studi Kasus Bagian Keuangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kota Jayapura) Yuli Susanti, Remuz MB Kmurawak, Yokelin Tokoro 1 ..................................................... 192
PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PENGOLAHAN DATA KENAIKAN GAJI
BERKALA GURU PADA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA
JAYAPURA Becky Kareni, Remuz M.B Kmurawak, Yokelin Tokoro, S.T., M.Cs. ................................. 197
POTENSI REMBESAN HIDROKARBON BERDASARKAN EKTRAKSI KELURUSAN
DAN ANOMALI HIDROKARBON DENGAN CITRA LANDSAT 8 OLI PADA
CEKUNGAN SALWATI, PAPUA Marcelino Yonas .................................................................................................................. 201
IDENTIFIKASI PENYEBARAN AIR TANAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK
DAERAH KAMPUNG TIBA-TIBA DISTRIK ABEPURA, KOTA JAYAPURA, PAPUA Rizky A. Luciano1, Kristine N. Pamjaitan2Virman............................................................... 210
ANALISIS DATA GEOLISTRIK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI DAN KUALITAS
AIR TANAH DAERAH DISTRIK KURIK KABUPATEN MERAUKE Kristine N. Panjaitan, Rizky A. Luciano1, Virman2 .............................................................. 216
ANALISIS DIMORFISME KUPU-KUPU SAYAP BURUNG (Ornithoptera
sp.)ENDEMIK PAPUA Evie Lilly Warikar1, Euniche R.P.F Ramandey2, dan Hendra K. Maury3 ............................. 223
SIMULASI EFEK MAGNUS PADA GERAK BENDA BERSPIN Rahman1 dan Sudarmono2 .................................................................................................... 232
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan karunia-
Nya yang diberikan kepada Panitia Penyelenggara, sehingga dapat diselesaikannya
Prosiding SeminarNasionalMIPA dan Terapannya Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengertahuan Alam Universitas Cenderawasih 2018 yang bertema
“PERANANMATEMATIKA, SAINS DAN TERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM UNTUK MENDUKUNG KEPENTINGAN BANGSA”.
Seminar ini merupakan kegiatan berskala nasionalyang diselenggarakan oleh Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitasCenderawasih.dengan harapan menjadi
perintis untuk kegiatan ilmiah berskala nasional di waktu yang akan datang, sehingga menjadi wadah
pertemuan ilmiah antara matematikawan,guru,peneliti,dan praktisi yang tidak hanya terbatas di
bidang MIPA saja, melainkan juga penerapannya dalam berbagai bidang ilmu. Seminar ini
mengundang empat orang pembicara dari kalangan akademisi dan praktisi yang akan berbagi
pengalaman,gagasan,dan pikiran.
Semoga prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi
referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara.
Akhir kata, Panitia Penyelenggara menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah ikut mensukseskan/membantu terselenggaranya Seminar
Nasional MIPA dan Terapannya dan penerbitan prosiding ini.
Jayapura, Oktober 2018
Ketua Panitia,
Dr. Jonner Nainggolan, M.Si.
1
POTENSI DAYA HAMBAT EKSTRAK KASAR RUMPUT
LAUT(Eucheuma cottoni) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
PATOGEN (Staphylococus aureus) DI KAMPUNG WASORI
DISTRIK BIAK UTARA KABUPATEN BIAK NUMFOR (PAPUA)
Amelia Noriwari1, Iriani Ira Bukorpioper2, dan Inggrid Nortalia Kailola3
Universitas Ottow Geissler Papua1,2,3 [email protected]
Abstrak. Rumput laut alga merah Euceheuma cottoni merupakan salah sau jenis rumput laut
merah (Rhodophyceae). Rumput laut (alga merah) dapat menghasilkan biomasa berupa bahan
aktif metabolit untuk melindungi dirinya dari serangan berbagai penyakit dan predator, E. cottoni
dapat menghambat pertumbuhan bakteri, baik gram negatif maupun gram positif. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni terhadap
bakteri S. aureus. Selanjutnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi hambat
minimum bakteri S. aureus. E. cottoni. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2017- Oktober
2017. Pembuatan ekstrak rumput laut dengan menggunakan maserasi sedangkan pengujian
akivitas antibakteri dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ekstrak E. cottoni mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yang ditujukkan
dengan warna bening disekitar ekstrak. Nilai zona hambat terhadap bakteri S.aureus sebesar
3,64 mm pada konsentrasi 0,5% .
Kata kunci : Antibakteri Eucheuma cottoni, Staphylococus aureus, konsentrasi hambat
Minimum.
1. PENDAHULUAN
Provinsi Papua memiliki keanekaragaman hayati (bioderversity) laut yang tinggi, seperti
ekosistem terumbu karang (coral reef), ekosistem padang lamun (seagrass beds), ekosistem
rumput laut (seaweed), ekosistem hutan mangrove (mangrove forest) dan ekosistem rumput laut
(seaweed) (Laksono, dkk. 2001). Salah satu pulau di Indonesia yang merupakan daerah tropis
sehingga mengakibatkan prevalensi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri masih tetap
tinggi adalah daerah Papua. Penyakit infeksi yang sering terjadi adalah infeksi pada kulit.
Bakteri Staphylococcusepidermidis dan Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman patogen
yang sering menyebabkan infeksi kulit pada manusia (Refdanita dkk, 2004; Aydin dkk, 2005).
Disisi lain penggunaan antibakteri secara terus-menerus dapat menyebabkan kecenderungan
terjadinya resistensi bakteri terhadap antibakteri yang ada. Salah satu bakteri yang saat ini sudah
bersifat resisten terhadap beberapa jenis antibiotik komersial adalah bakteri Sthapylococcus
aureus (Anwar 1994).
Bakteri S.aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk kokus dan bersifat aerob
fakultatif.Bakteri S. aureus merupakan bakteri flora normal pada kulit dan selaput lendir pada
manusia. S.aureus dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun pada hewan.
Bakteri S. aureus dapat mengakibatkan infeksi kerusakan pada kulit atau luka pada organ tubuh
jika bakteri ini mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh. Saat bakteri masuk ke peredaran
darah. Bakteri dapat menyebar ke organ lain dan meyebabkan infeksi (Anwar, 1994).
Kabupaten Biak Numfor merupakan salah satu daerah yang berada di Provinsi Papua yang
memiliki tipe perairan pasang surut yang dibentuk atau disusun oleh hamparan terumbu karang,
padang lamun dan rumput laut yang sangat luas memiliki tempat yang masih alami yang jauh dari
kerusakan mengakibatkan Kabupaten Biak Numfor memiiki keunikan sumber daya alam yang
sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal (Coremap II, 2007). Berdasarkan
2
alasan diatas maka, tujuan penelitian ini di harapkan memberikan informasi potensi rumput laut
E.cottoni yang berada di Kampung Wasori Biak Numfor sebagai antibakteri S.aureus.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan yaitu pada bulan Juli – Oktober 2017. Sampel
rumput laut diambil dari perairan Kampung Wasori Distrik Yawosi, Kabupaten Biak
Numfor.Ekstraksi sampel rumput laut dan Analisis Mikrobiologi dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih, Papua.
3. PENGAMBILAN SAMPEL
Pengambilan sampel rumput laut Eucheuma cottoni dengan kedalaman 1m. Pengambilan
sampel dilakukan secara selektif, dengan menyelam dalam dasar laut. Rumput laut diambil
dengan dipotong dengan menggunakan pisau kemudian dimasukkan ke dalam plastik berwarana
hitam. Setelah itu dilakukan dokumentasi pengambilan sampel. Rumput laut kemudian dicuci
dengan air laut steril dan dimasukan kedalam kemudian disimpan dalam cool boox berisi es batu
untuk analisis selanjutnya di laboratorium Mikrobilogi.
3.1. Pembuatan Ekstrak Rumput Laut
( Eucheuma cottoni )
Proses pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara sampel dibilas dengan air laut steril agar
terbebas dari kotoran setelah itu sampel dipotong dengan menggunakan gunting. Selanjutnya
diblender hingga menjadi serbuk simplisia, kemudian simplisia ditimbang sebanyak 500 gram
dan dimasukan ke dalam gelas Erlemenyer 500 ml. Sampel direndam (maserasi) dengan alkohol
70 % sebanyak 900 ml. Maserasi dilakukan 3x 24 jam. Hasil maserasi disaring menggunakan
kertas saring (whtmann no. 42), hasil penyaringan disimpan dibotol sampel dan diletakan di
dalam lemari es. Kemudian ekstrak dievaporasi sampai ekstrak mengental lalu ditimbang.
Ekstrak sampel E. cottoni dapat dilihat pada gambar 4.2 dibawah ini.
3.2. Peremajaan Bakteri
Biakan bakteri S.aureus sebanyak satu ose diinokulasikan ke dalam medium Natrient Agar (NA)
secara terpisah dengan meletakkan jarum ose yang mengandung biakan pada dasar kemiringan
agar dan tarik dengan gerakan zig-zag. Bakteri S.aureus sebanyak dua ose dinokulasikan
kedalam medium Natrient Agar (NA) yang terpisah. Selanjutnya diinkubasi pada 37oC selama
24 jam. Suspensi bakteri yang telah siap digunakan dinokulasi sebanyak 5 tetes dalam media
Natrient Agar (NA) dengan menggunakan spuid 3 cc, kemudian dengan metode poure plate
diratakan menggunakan batang L.
3.3. Pengujian Aktivitas AntibakteriEucheuma cotooni terhadap bakteri Sthapylococcus
aureus.
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap satu jenis bakteri yaitu bakteri. S. aureus. Pengujian
antibakteri dilakukan dengan metode difusi cakram. Cara kerja metode difusi cakram adalah
bakteri uji yang telah diremajakan diinokulasikan ke dalam NA sebanyak 100 μl lalu diratakan
dengan menggunakan batang L. Ke dalam medium yang berisi bakteri, kemudian dimasukkan
kertas cakram 6 mm dan ditetesi dengan larutan ekstrak dengan konsentrasi 10 % 5 % 1 % 0,5
% sebanyak 20 μl/disk (5 μg/disk). Setelah itu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC
selanjutnya diukur diameter hambatan yang terbentuk menggunakan jangka sorong.
3.4. Penetapan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
Penetapan nilai konsentrasi hambat minumum hambat (KHM) ada untuk mengetahui kadar
terendah dari sampel ekstrak yang masih memberikan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji.
Metode penetapan yang dilakukan adalah dengan metode agar padat. Sampel ekstrak dibuat
3
dengan berbagai konsentrasi mulai dari yang besar hingga yang kecil yaitu, 10%, 5%, 1%, dan
0,5%. Pelarut yang digunakan adalah aquades. Selanjutnya di uji aktivitas anti bakterinya.
3.5. Konsentrasi Hambat Minimum
Konsentrasi Hambat Minimum ditentukan dengan metode difusi agar dari diameter zona hambat
yang terbentuk dari hasil ekstraksi dimana dilakukan uji dengan konsentrasi 10%, 5%, 1%, dan
0,5%
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Uji Antibakteri
Hasil uji zona hambat yang dihasilkan ekstrak Eucheuma cottoni terhadap bakteri
Staphylococus aureus menunjukkan hasil bening yang berarti aktivitas antibakteri bekerja
dengan baik. Hasil uji aktivitas Eucheuma cottoni dapat di lihat pada gambar 1 dan Tabel 1 .
Gambar 1. Uji antibakteri ekstrak Eucheuma cottonidengan konsentrasi 0,5 %(a), 1%(b), 5% (c), 10%
(d), ciprofloksasin (+) (e) terhadap bakteri Staphylococus aureus
Tabel 1. Dimeter Zona Hambat Ekstrak Eucheuma cottoni Terhadap Bakteri Staphylococus
aureus
Berdasarkan hasil pengukuran yang didapat membuktikan bahwa ekstrak E. cottoni memiliki
aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus. Dimana daya hambat terhadapt bakteri S. aureus
pada konsentrasi 10% (6.47 mm), konsentrasi 5% (6.32 mm),termasuk kategori kuat. konsentrasi
1% (3.4 mm), konsentrasi 0,5% (3.64 mm) termasuk kategori sedang, dan kontrol Cipfloxacin
(+) (22.92 mm). Penentuan kriteria daya hambat berdasarkan Davis & Stot (1971) yang
Konsentrasi
(%)
Zona Hambat (mm )
S aureus
0.5 3, 64
1 3,4
5 6,32
10 6,47
Kontrol
(+)ciprofloksasin
22, 92
Rata – rata 42.75
4
melaporkan bahwa ketentuan daya antibakteri sebagai berikut : daerah hambat 5 mm atau kurang
termasuk kategori lemah, daerah hambat 5-10 mm termasuk kategori sedang, 10-20 mm atau lebih
termasuk kategori sangat kuat. Uji aktivitas antibakteri biasanya dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain konsentrasi ekstrak, kandungan senyawa ekstrak, kamampuan difusi ekstrak dan
jenis bakteri.
Hasil penelitian didukung dengan penelitian- penelitian sebelumnya yang mana pada hasil
penelitian Sartika, Riska (2013), menunjukkan bahwa ekstrak etanol E. cottoni mampu
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan konsentrasi maksimum yaitu 17,33 mm,
Nilai zona hambat ekstrak E. cottoni dapat di kategorikan dalam kategori sedang.
Berdasarkan hasil uji aktivitas ekstrak E. cottoni terhadap bakteri S. aureus menunjukkan
diameter daerah hambat pada bakteri gram positif. Hal ini menunjukkan antibakteri ekstrak E.
cottoni lebih efektif terhadap bakteri gram positif perbedaan signifikan bakteri terhadap
antibakteri dipengaruhi oleh struktur dinding sel. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang
mengadung banyak sel yang mengadung banyak lapisan peptidoglikan dan asam teikoat. Asam
teikoit merupakan polimer yang terlarut dalam air yang berfungsi sebagai transport ion positif
untuk keluar masuk zat. Sifat larut air inilah yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri gram
positif bersifat polar. Sehingga dinding sel ini relative lebih tahan terhadap kerusakan mekanisme
atau zat antibakteri sulit untuk masuk ke dalam sel (Jawetz,2007 ; Desmawaty, 2016).
Aktivitas Antibakteri terhadap bakteri patogen manusia dan organisme Budidaya. Pengujian
aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan paper disc yang
bertujuan untuk melihat aktivitas senyawa metabolit sekunder dari isolat bakteri Staphylococus
aureus dalam menghambat bakteri patogen. Bakteri yang memiliki aktivitas antibakteri ditandai
dengan adanya zona bening di sekitar paper disc. Isolat yang di uji aktivitas antibakterinya
merupakan isolat yang memiliki daya hambat berdasarkan uji antagonis dan telah diuji
patogenisitasnya.
5. KESIMPULAN
1. Adanya potensi aktivitas antibakteri Euchema cottoniuntuk menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococus aureus
2. Konsentrasi hambat minimum bakteri Staphylococusaureus pada rumput laut Eucheuma
cottoni pada konsentrasi terkecil yaitu 0.5 % dengan diameter zona hambat 3.64 mm.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anggadiredja, J.,T. Zantika A., Purwoto H. dan S. Istini, (2006), Seri Agribisnis Rumput
laut Penyebar Swaday, Jakarta
[2] Ahdyanti, S., Pia Dwihandita,N. Pambayu, A.S. Luhur, R.F, (2008), Kapsularisasi Ekstrak
anggur Laut (Caulerpa rasemosa) sebagai sumber antioksidan alami, Institute Pertanian.
Bogor.
[3] Aslan, (1991), Budidaya rumput laut, Kanisinus Yogyakarta
[4] Aslan M dan Laode, (1998), Budidaya rumput laut, Kanisininus Yogkarta
[5] Angka S. L. &M.T.Suhartono (2000), bioteknologi hasil laut, Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor
[6] Atmajda, W.S., A. kadi; Sulistijo dan Rachmaniar, (1996), Pengenalan jenis-jenis rumput
laut Indonesia, Puslitbang Oseanlogi- LIPI. Jakarta.
[7] Andriani, dkk, (2015), Uji penghabat aktivitas Eucheuma pada ekstrat methanol, Skripsi
di terbitkan di Jakarta.
5
[8] Dimara, L., dan T.N.B. Yenusi, (2011), “Uji aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak
pigmen klorofil rumput laut caulerpa racemosa (Frosskal) J.Agard”, Jurnal Biologi
Papua.
[9] Doty, (1985), Eucheuma cottoni. University of hawai.p A-21
[10] Dwyana Z, Johannes E, ( 2009), Uji aktivitas Ekstrak kasar alga merah Eucheuma cattoni
sebagai antibakteri terhadap bakteri pathogen
[11] Davis and stot, (1971), “Disc plate Methods of Microbiological Antibiotics Assay”,
Microbiology 22: 659- 665
[12] Desmawaty,Hickma, (2006),Uji aktivitas Antibakteri Alga coklat (Sargasum Sp)Asal
pantai Base-G terhadapt bakteri Sthaphylococus aureus dan Escheriachia coli, Skripsi.
FMIPA. Universitas Cenderawasi. Jayapura
[13] Febriany,S, (2004), Pengaruh beberapa ekstrak berpotensi meningkatkan aktivitas lipase
enzim, Bogor fakultas MIPA
[14] Haryanti, S, (2011), Uji aktivitasnya sebagai anti bakteri dan antifungi. Skripsi program
sutudi kimia fakultas Matematika dan ilmu pengetahuan alam Universitas Haluoleo.
Kendari
[15] Hanapi, A. Ghanaim fasya, (2013), uji aktivitas dan antibakteri ekstrak methanol alga
merah Eucheuma spinosum, Fakultas sains dan Teknologi UIN mualana Malik Ibrahim
Malang
[16] Hidaya,A, (2016), uji efektivitas ekstrak sargasum muticum sebagai alternative obat bisul
akhibat aktivitas staphylococcus aureus. Jurusan biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
[17] Istini, S. Zantika, A. dan Suhaimi, (1998), Manfaat dan pengelolaan rumput laut, Staf
Deputi Pengkajian Ilmu dan Terapan BPP teknologi, Jakarta.
[18] Jawetz, E., Melnick, J.L., dan adelbeng’s, (2001), Mikrobiologi kedokteran diterjemahkan
oleh bagian mikrobiologi fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta.
[19] Jawetz, E., Melnick, J.J., & Adelberg E.A. 2013. Mikrobiologi kedokteran Edisi 26: EGC.
[20] Kimball, J., Soetarmi S., Sugiri N. (1983). Biologi Jilid 3, edisi ke 5. Erlangga: Jakarta.
[21] Laksono, P. M., Prasodjo, T., Mustika, A., Hendrijani, A.B., Gunawan dan Riomanda, T.
2001. Kepulauan padaido haruskah habis terkurus. Jogjakarta : KEHATI, PSAP – UGM.
[22] Maduriana I. M, sudira Iw. 2009. Skrining dan Uji aktivitas Antibakteri beberapa Rumput
laut dari pantai baku Bolong canggu dan serangan. Bulletin vateriner Udaya
[23] Muzayyinah.2005. keanekaragaman tumbuhan tak berpumbulun. LPP UNS pres.
Surakarta.
[24] Melki. 2010. Uji antibakteri ekstrak Gracilaria Sp terhadap bakteri Escherichia coli dan
Staphylococus aureus. Program study ilmu Kelautan FMIPA Universitas Sriwijaya,
Indralaya. Indonesia.
[25] Nurcahyanti R. D. A. Martosupono.M. 2009 Menggali kandungan Nutrisi dan Manfaat
Kesehatan Dari Sayuran Rumput laut. Program Pascasarjana Magister Biologi, Universitas
Satya Wacana , Salatiga
[26] Pelczar, M.J.& Chan,E.C.S. (1986). Dasar-Dasar Mikribiologi, jilid I. Hadioetomo, R. S,
Tjitrosomo, S.S, Angka, S.L & Imas, T. ( penerjemah). Penerbit UI Press. Yakarta.
[27] Redanita. 2004. Brock Biology of Microorganisme Ed. Prentince Hall, Upper sadlle River
New. Jersey.
[28] Susanto, A.2009. Wakame. Program Pascasarjana Magister Biologi Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga.
[29] Sulistyowati dan Widyastuti, A. 2008. Pemanfaatan centella asiatica sebagai bahan
antibakteri sebagai bahan antibakteri Salmonella tryphi.
[30] Sartika dan Melki, 2013. Aktivitas antibakteri ekstrak rumput laut. Universitas sriwijaya.
[31] Trainor, F.R. 1978. Introductory phycology. Vol I. jhon W iley and Sons.New York
6
[32] Wulandari. 2010. Uju aktivitas antibakteri Ekstrak etanol, fraksi n- Heksana dan
etilasesat Daun sidaguri (sida rhombifolia L) terhadap beberapa bakteri. Universitas
Sumatera Medan.
[33] Yenusi T., N., B. 2011. Fotostabillitas ekstrak kasar pigmen klorofil rumput Laut
(caulerpa racemosa (forsskal) J. Agardh) di perairan Pulau Insumbrei Supiori dan Sampel
dagangan di pasar Youtefa Abepura . Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cenderawasih Jayapura.
7
DIVERSIFIKASI PENGOLAHAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.)
MENJADI PRODUK OLAHAN MI UNTUK MENINGKATKAN
LAMANYA DAYA SIMPAN SAGU GUNA MENUNJANG
KEMANDIRIAN PANGAN LOKAL DI PAPUA
Linus Y. Chrystomo1, I Made Budi2 dan Ign. Joko Suyono 3 Department ofBiology, Facultyof Mathematicsand Natural Sciences,
Universitas Cenderawasih1,2,3 SentraP3T Dinas Kesehatan Provinsi Papua1,2
e-mail: [email protected]
Abstrak. Tumbuhan sagu (MetroxylonsaguRottb.) merupakan anugerah kekayaan
alamIndonesiayang paling luasdidunia.Luaslahansaguduniadiperkirakan mencapai2,2juta
hektar(ha),sekitar50% berada diIndonesia.Daerahpenghasil saguutama
ialahPapua,Maluku(terutama SeramdanHalmahera), Sulawesi,
Kalimantan(terutamaKalimantanBarat)danSumatera (terutamaRiau).
Penyebaranhutansagusecaraalamitumbuhliardisepanjangdataranrendah
pantaisampaididaerahmuarasungai.Penelitianinibertujuanmembuat inovasi
pengolahansagumenjadiprodukolahanmiuntukmeningkatkan lamanya daya
simpansagugunamenunjang kemandirianpanganlokaldiPapua.Metode penelitian
yangdigunakanadalahmetodemekanikteknologitepat gunayang
dapatmemproduksiolahanmisagu.Berdasarkanhasilpengolahantepung sagu yang dicampur air
secukupnya kemudian dikukus lalu simasukkan ke dalam mesinteknologitepatgunayang
dapatmenghasilkanprodukolahanmi,maka dapatdisimpulkanbahwatepung
sagudapatdiproduksimenjadiolahanmisagu. Misaguyangsudahdikeringkandandisimpan
dalamkemasandaya simpannya
menjadilebihlama.Hasildiversifikasipengolahansagumenjadiprodukolahan misagu dapat
menunjangkemandirian pangan lokal di Papua. Kata kunci: Sagu (Metroxylon sagu Rottb.), diversifikasi, pengolahan, produk mi
1. LATARBELAKANG
Indonesia kayaakan olahan bahan panganyang berasal dari sumberdaya alamyang
beranekaragamyang tumbuhdiseluruhwilayahIndonesia.Kekayaan keanekaragaman
sukudiIndonesiamenjadikan olahanbahanpangandiIndoensia menjadiberanekaragampula. Salah
satucontohadalaholahanbahanpanganyang berasal dari tanaman sagudan ubi jalar di Papua. TanamansagumerupakananugerahkekayaanalamIndonesiayang paling luasdidunia.
Diperkirakanluaslahansagudunia mencapai2,2juta hektar (ha), sekitar 50%berada
diIndonesia.Arealpenanaman sagudiIndonesiatersebar di Papua, Maluku,
SulawesiUtara,SulawesiTengah, SulawesiTenggara, Kalimantan Barat dan Selatan, Jambi, Riau
dan Kepulauan Riau(Anonim,2015a). Daerahpenghasilsaguutama ialahPapua,Maluku(terutama Seramdan Halmahera),
Sulawesi,Kalimantan(terutamaKalimantanBarat) danSumatera (terutamaRiau).
Hutansagualamyang luasterdapatdi sepanjangdataranrendah
pantaidanmuarasungaiPapua,Seram, Halmahera danRiau. Didaerahlainhutan
saguyangadasekarangkebanyakanmerupakankebunsaguyang meliarmenjadi hutankarena
tidakadapemeliharaandi Jawasagutidakterdapat umumdan ditemukansecaraterbatasdiBanten
dandibeberapatempatsepanjang pantaiutara
JawaTengah(NotohadiprawirodanLouhenapessy,2006).
8
MenurutBintoro(2008)bahwatanamansagudapattumbuhpadaberbagai kondisihidrologidariyang terendamsepanjangmasasampaikelahanjalanyang
tidakterendamair.Bentukpohonyang tegakdankuatdenganukurantinggi dandiameterbatangyang
berbeda-bedamenurut jenis dan umurnya. Perkembangan industripengolahan patimenyebabkan peningkatan hasil sampinganberupa
limbahsaguyang berupa kulitbatang,seratdanampassagu.Pati atautepungsaguyang
dihasilkandarisatubatangsagu berkisar17-25%,sedangkan ampas sagu 75-
83%,komposisikandungan zatkimia sagu(Flach 1993)dapatdi lihat padaTabel 1. Tabel 1.Komposisi kimiasagu
Jenis Jumlah (%) Kadarair 78,34% Karbohidrat 6,67% Protein 1,31% Lemak 0,20% Seratkasar 13,48%
Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992)
Tumbuhan sagutidakhanya menghasilkanpatiterbesar, tetapijuga menghasilkanpatisepanjang
tahun. Setiapbatangdapatmenghasilkansekitar200 kg tepung sagu basah pertahundanbermacam-
macamrupamakanan pokokdan kue-kuedibuat orangdari tepungsagu.(Wiragunadkk., 2009). Olahanpangan dari bahansagudapatdijadikanberbagaivariasimakanan
sepertibubursagudancampurankue(Anonim,2015b),serta dapatdigunakan sebagaiobatsakitperut
(Anonim,2015c),halinimenunjukkanbahwatelahadapemanfaatandanpengembanganpengolahanb
ahanpanganlokalsagusejakjaman dulu. Pati atautepungsagu mengandung27%amilosa dan 73%amilopektin. Perbandingan
komposisikadaramilosa danamilopektinakan mempengaruhi sifat
pati.Semakintinggikadaramilosamakapatibersifatkurangkering,kurang lekat dan mudah
menyerap airatau higroskopis (Yuwono,2015). Padaumumnyasagumemang hanyadikonsumsidalambentukbatangan, namunrupanyadapatdiolah
menjadiberbagaivariasimakanan.Sepertibubur sagu,
bahancampurankue,puding,papeda(makanan khasMalukuyang dimakandengan
ikancakalang.Jugayang paling banyakdikonsumsiolehmasyarakatluasadalah bubur
mutiara.Mutiarainiterbuatdari sari patisaguyangdibentukbola-bola kecil, paling
enakjikadimakandengankuahsantanyanggurihdanmanis.Sagujugabisa dibuat hingga menjadi
tepung yang berguna untuk membuat kue, dan sebagai larutan pengental
padamasakan(Anonim,2015b). Hasildiversifikasipengolahanbahanpangan yangberbasis tepungsagu
dapatdipergunakansebagaibahanolahanlainseperti donatsagudankueIndia yangdapat
meningkatkannilai ekonomi masyarakatPapua (Budi dkk, 2015) Berdasarkanuraiandankajiandiatasmaka perludilakukanpenelitianlebih
lanjuttentangdiversifikasipengolahanpanganlokalguna mengembangkanpotensi sumber
dayaalam Papua,untuk menunjangkemandirianpangan lokal di Papua. 2. METODE DAN BAHAN
Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode mekanik
denganmenggunakanteknologitepatguna.Bahanyang digunakanadalahtepung
sagudaribahanpanganlokalyangtelahdiproduksidenganteknologitepatguna oleh CV. Budi
MulyaAsih(Chrystomoet.al., 2016).
3. HASIL
9
Darihasilpenelitianinitepung sagudapatdiolahmenjadiprodukolahan berupa misagu.Produk
misaguhasilolahankemudiandikeringkanuntukmenjadi mikeringsaguyang
kemudiandilakukanpengemasan(packaging)sehinggasiap untuk dikonsumsiatau dipasarkan.
4. PEMBAHASAN
Diversifikasipengolahantepung sagumenjadimisagudilakukanmelalui tahapan-tahapanprosedur
sebagai berikut (Gambar 1.)
Gambar1. Proses pengolahan tepungsagu menjadi mi
Sedangkan gambaran visualprosespengolahan tepungsagu menjadi mi dapat diperlihatkan
dalam gambar-gambar sebagai berikut:
10
Pembuatan mi dari tepung sagu hasilnya menjadi lebih baik atau lebih
mudahdibentukmenjadimikarena kandungan amilopektinnya lebihtinggi(73%)
dibandingamilosanya(27%) sehingga menjadilebihlekat,lebihkeringdantidak mudah
menyerapair ataunon higrokospis (Yuwono, 2015)
11
5. KESIMPULAN
Berdasarkananalisishasildan pembahasanmakadapat disimpulkan bahwa: 1). Tepungsagu dapat diinovasi menjadi olahan produk misagu kering 2). Produk olahan mikeringdalam kemasan dapatmeningkatkan lamanyadaya simpan sagu 3). Produkolahanyang dayasimpannyalebih lama dapat menunjangkemandirian pangan lokal
di Papua
6. UCAPANTERIMAKASIH
Kamimenyampaikanpenghargaanyang tinggiatasdukungandanbantuan material ataupunnon
material dalam penelitian ini kepadaDirektur C.V.Budi MulyaAsihWaena
JayapuradanSentraP3T(SentraPengembangan,Penerapan dan Pengobatan Tradisional) Dinas
Kesehatan Provinsi Papua.
DAFTARPUSTAKA
[1] Anonim, 2015a,Potensi Sagu Luar Biasa Untuk Pangan dan Energi,
(http://agro.kemenperin.go.id/2156-Potensi-Sagu-Luar-Biasa.-Untuk- [2] Pangan-dan-Energi)diaksestanggal 11 Oktober 2015 [3] Anonim, 2015b, Sagu Bahan Makanan Yang Sehat Untuk Tubuh,
http://www.peterparkerblog.com/3643/sagu-bahan-makanan-yang-sehat-untuk-
tubuh/diakses 10 Nopember2015. [4] Anonim, 2015c, http://www.dnaberita.com/berita-3738--gak-perlu-berobat-mahalmahal-
tepung-sagu-ampuh-kok-sembuhkan-sakit-maag.html/diakses tanggal 10 Nopember2015. [5] Bintoro,H.M.H. 2008. BercocokTanamSagu.InstitutPertanianBogor(IPB) Press. Bogor. [6] Budi,I. M.; L.Y. Chrystomo; P. Sujarta & A.K.Karim. 2015. Penyuluhan Model
Pengembangan Pengolahan PanganLokal (MP3L)Bagi Kelompok UMKM di CV Budi
MulyaAsihWaena Jayapura.LaporanPengabdian Kepada Masyarakatyangtidak
dipbublikasikan. 22p. [7] Chrystomo, L.Y.; I. M. Budi & A. K. Karim. 2016. Innovation of Model Processing
oftheLocalFoodSagoPalm(MetroxylonsaguRottb.)from Papua. Proceeding The International
Conference on Biosciences “AdvancingBiodiversity for SustainableFoodSecurity”
Udayana University, Bali, 27th-28ndJuly 2016.Postgraduate Study on Biology, Faculty of
Mathematics and Natural Sciences,Udayana University,Bali, Indonesia and The North
Dakota State University, United States of America. Pp.177-181
[8] Flach,M.1997.Sagopalm.MetroxylonsaguRottb.Promotingtheconservationanduseofunderutil
izedandneglectedcrops.13.InstituteofPlantGenetics
12
PERBANDINGAN AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL
DAUN GATAL (Laportea decumana) ASAL BIAK DENGAN
MEMBERAMO
The Comparation Toxicity Activities of Ethanolic Extract ofStingging
Nettle (Laporte decumana)form Biak and Memberamo Eva Susanty Simaremare1, Elsye Gunawan1, Elizabeth Holle2, dan Yuliana Ruth
Yabansabra2
Program Studi Farmasi Jurusan Farmasi, FMIPA Universitas Cenderwasih1
Program Studi Kimia Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Cenderwasih2
email: [email protected]
Abstrak. Lazimnya penelitian bahan alam yang diduga berpotensi sebagai obat maupun secara
empiris dapat diawali dengan uji pre-klinis toksisitas untuk memprediksi tingkat keamanannya.
Daun gatal salah satu tanaman yang secara empiris sudah digunakan sebagai antinyeri pada
masyarakat. Daun gatal dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat sebagai obat rasa
sakit, kaku atau pegal, sakit kepala, sakit perut, nyeri otot dan sendi, dan memar. Daun gatal
berupa tanaman perdu yang berasal dari FamiliUrticaceae yang jika dioleskan ke seluruh tubuh
akan menimbulkan efek yang sangat gatal yang dipercaya oleh masyarakat sebagai obat antinyeri.
Uji toksisitas tumbuhan daun gatal telah dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp
Letahality Test (BSLT). Sampel daun gatal diambil dari Memberamo Tengah dan Biak, diekstraksi
dengan pelarut etanol, kemudian diuji toksisitasnya terhadap larva Artemia salina Leach. Uji
toksisitas dilakukan dengan konsentrasi 50, 100, 250, 500, 750, dan 1000 ppm. Hasil uji toksisitas
daun gatal (Laportea decumana) asal Biak menunjukkan LC501250,05 ppm sedangkan daun gatal
asal Memberamo menunjukkan LC50350,38 ppm
Kata Kunci: Toksisitas, Daun gatal (Laportea decumana), Artemia salina Leach, LC50
1. PENDAHULUAN
Kanker merupakan penyakit yang menempati peringkat kedua sebagai penyakit mematikan. Ada
beberapa jenis pengobatan kanker yang dilakukan seperti penyinaran dengan sinar-x, pengobatan
dengan senyawa kimia, dan lain-lain. Akan tetapi usaha-usaha ini masih terus belum maksimal
sehingga pengembangan penelitian untuk menemukan obat-obat baru terus berkembang, bahkan
bahan alampun kini banyak diteliti untuk pengobatan penyakit ini.
Penelitian tentang daun gatal sudah mulai dilakukan seperti pengujian data farmakognostik
penetapan kadar abu (Tualeka, 1986), kajian aktivitas antibakteri (Yasni dan Puro, 2012), skrining
fitokimia (Simaremare, 2014), aktifitas antibakteri (Simaremare dkk, 2017), sitotoksik,
antioksidan analgetik, dan antiinflamasi (Simaremare et al, 2018). Penelitian teknologi farmasi
tentang pemanfaatan tumbuhan ini sudah juga dilakukan seperti pembuatan salep daun gatal
(Simaremare dkk, 2014; Simaremare dkk, 2016) dan obat gosok dimana produk-ini sudah
dievaluasi di laboratorium seperti uji organoleptik, pH, daya sebar, homogenitas, dan tingkat
iritan dari dua genus daun gatal (Simaremare dkk, 2015). Penelitian ini berguna untukmenguji
aktifitas sitotoksik dari ekstrak etanol daungatal terhadaplarva udang (Artemia
salinaLeach)dengan metode BSLT.
13
2. METODE PENELITIAN
2.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, alat gelas, gunting, botol coklat, vial, rotary
evaporator, pendingin, corong pisah, tempat penetasan telur dan erator. Bahan berupa daun gatal
asal Biak, etanol 96%, larva udang L. Salina, DMSO, air laut, dan pereaksi.
2.2. Pembuatan simplisia Daun gatal
Sampel daun gatal dari Biak dan Memberamo Tengah, masing-masing dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam karung. Daun gatal dibersihkan lalu dikeringkan selama 1 minggu dengan
suhu 500C. Daun yang sudah kering dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 175µm.
2.3. Ekstraksi daun gatal
Sebanyak 150g serbuk daun gatal dimasukkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkan
pelarut etanol 96% sebanyak 750 mL ditutup dan dibiarkan selama 3 hari terlindung dari cahaya.
Setelah 3 hari, rendaman disaring sebagai filtrat 1 dan sisanya diekstrak lagi dengan etanol 95%
sebanyak 450mL selama 2 hari sebagai filtrat 2. Filtrat 1 dan 2 digabung kemudian diuapkan
dengan dengan rotary evaporator pada suhu 400C sampai didapat ekstrak pekatnya.
2.4. Uji Toksisitas
Ekstrak etanol sampel uji dibuat larutan stok 1000 ppm. Dibuat pengenceran 1000, 750, 500, 250,
100, dan 50 ppm. Pengujian dilakukan dengan memasukkan 10 ekor A. salina berumur 48 jam ke
dalam vial yang terisi sampel uji, DMSO, dan air laut dengan total semua 50µL. Setelah 24 jam,
jumlah larva yang mati dihitung dengan bantuan alat kaca pembesar (Nurhayati dkk, 2006). Data
yang diperoleh dihitung LC50 dengan metode probit dengan membuat kurva hubungan antara
persen penghambatan dengan dosis (Fadhliet al, 2012).
2.4.1. Penetasan Telur Artemia salina
Telur Artemia salina ditetaskan dalam wadah penetas telur dengan dua bagian ruang bersekat,
satu bagian ruang gelap dan yang satu terang. Sekat dibuat berlubang dengan diameter 2 mm. Air
laut dimasukkan ke dalam wadah serta dimaerasi menggunakan aerator. Sejumlah 2 gram telur
A.salina dimasukkan kedalam satu ruang, kemudian ruang ini ditutup. Sisi yang lain dibiarkan
terbuka dan diberi lampu untuk menarik Artemia salina Leach yang telah menetas melalui lubang
sekat. Telur akan menetas setelah kira-kira 24 jam menjadi larva. Larva yang berumur 48 jam
dapat digunakan untuk uji toksisitas (McLaughin, 1991).
2.4.2. Uji LC50
Larutan uji dibuat dari larutan induk/stok (1000ppm), selanjutnya vial yang berisi larutan uji
dikeringkan sampai semua pelarutnya menguap selama beberapa hari pada suhu kamar sehingga
tidak berbau pelarut dan dapat ditunjukkan dengan proses pengeringan menghasilkan
penimbangan yang konstan dengan bobot tetap agar kematian larva tidak dipengaruhi oleh
pelarutnya. Larutan kontrol negatif dibuat dengan cara yang sama tanpa menambahkan ekstrak.
Larutan kontrol terdiri atas 5ml air laut yang berisi pelarut dan 1-2 tetes DMSO 1% dan 10 ekor
larva A.salina. Penggunaan DMSO 1 % sebanyak 1-2 tetes (50-100 μL) berfungsi untuk
membantu kelarutan. Dimetilsulfoksida (DMSO) merupakan cairan tak berwarna yang memiliki
rumus (CH3)2SO merupakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa polar maupun non polar.
Vial berisi sampel yang sudah diuapkan pelarutnya diisi air laut 1 mL. Selanjutnya setiap vial
diisi dengan 10 ekor larva yang diambil dengan menggunakan pipet tetes. kemudian ditambahkan
dengan air laut hingga volume 5 mL. Larva udang yang digunakan yaitu larva yang berumur 48
jam setelah menetas. Larva yang berumur 48 jam adalah dalam keadaan paling peka karena
dinding selnya masih lunak sehingga hanya diperlukan konsentrasi sampel yang kecil untuk
menimbulkan efek yang diamati.Jumlah larva A. salina yang mati dihitung setelah 24 jam dan
dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan (Meyer et al, 1982). Untuk persentase kematian larva,
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
14
% kematian =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖x 100%
Bila terdapat larva Artemia yang mati pada kontrol, maka digunakan rumus sebagai Abbot’s
yaitu:
% kematian = 𝑀𝑎−𝑀𝑘
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖 x 100%
Ma = mortalitas uji
Mk = mortalitas control
2.4.3. Analisis Data Perhitungan LC50
Data hasil penelitian adalah data primer yang didapatkan dari jumlah larva A. salina yang mati
24 jam setelah perlakuan pada tiap-tiap konsentrasi ekstrak daun gatal. Setelah melewati proses
data dianalisis dengan analisis probit menggunakan untuk mengetahui harga LC50 dengan selang
kepercayaan 95%. Nilai LC50 adalah konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh 50% larva
udang. Nilai LC50 ditentukan dengan analisis probit. ApabilaLC50< 30 ppm maka ekstrak sangat
toksik dan berpotensi mengandung senyawa bioaktif antikanker. Meyer (1982)menyebutkan
tingkat toksisitas suatu ekstrak sebagai berikut:
Tabel 1. Tingkatan aktivitas toksisitas berdasarkan nilai LC50
Nilai LC50 Keterangan
≤ 30 ppm Sangat toksik
31ppm-1000ppm Toksik
> 1000 ppm Tidak toksik
3. HASIL YANG DICAPAI
3.1. Preparasi dan ekstraksi sampel
Sampel penelitian ini adalah daun gatalyang diperoleh dari kota Biak dan Memberamo Tengah.
Prinsip utama dalam ekstraksi sampel daun gatal ini adalah senyawa polar akan tertarik oleh
pelarut polar (etanol), senyawa semipolar akan tertarik pada pelarut semipolar dan untuk senyawa
nonpolar akan tertarik pada pelarut non-polar.
Uji Aktivitas Sitotoksik BSLT
Metode BSLT dilakukan dengan cara pemaparan larutan ekstrak senyawa yang diuji kepada larva
udang. Pengaruh ekstrak pada masing-masing pelarut dengan berbagai konsentrasi terhadap larva
udang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Uji aktivitas ekstrak etanol daun gatal asal Biak terhadap Artemia salina
Konsentrasi
(ppm)
Rata-rata
kematian
%
Kematian Log
Konsentrasi
Angka
Probit
Persamaan garis LC50
(ppm)
1000 6,67 67% 3,0 5,44
y=
1,4217x+0,5971 1250,05
750 2,67 27% 2,9 4,39
500 2,00 20% 2,7 4,1
250 1,33 13% 2,4 3,87
100 0,67 7% 2,0 3,52
50 0,33 3% 1,7 3,12
0 0,00 0% 0,0 0
15
Tabel 3. Hasil Uji aktivitas ekstrak etanol daun gatal asal Memberamo Tengah terhadap
Artemia salina
Konsentrasi
(ppm)
Rata-rata
kematian
%
Kematian Log
Konsentrasi
Angka
Probit
Persamaan
garis
LC50
(ppm)
1000 9,67 97% 3,0 6,88
y=
2,4487x-
0,8571
350,38
750 7,67 77% 2,9 5,74
500 3,67 37% 2,7 4,67
250 2,33 23% 2,4 4,26
100 1,33 13% 2,0 3,87
50 0,33 3% 1,7 3,12
0 0,00 0% 0,0 0
Berdasarkan hasil pengujian BSLT dapat dilihat bahwa berbagai konsentrasi dari masing-masing
ekstrak daun gatal pada penelitian ini memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kematian larva.
Pada ekstrak etanol daun gatal asal Biak konsentrasi 1250, 05 ppm menyebabkan rata- rata
kematian larva. Sedangkan pada ekstrak etanol daun gatal asal Memberamo konsentrasi 350, 38
ppm.
3.2. Analisis data
Data yang diperoleh dari jumlah larva udang yang mati 24 jam setelah perlakuan pada tiap-tiap
konsentrasi ekstrak daun gatal. Setelah melewati proses data dianalisis dengan analisis probit
menggunakan program Excel untuk mengetahui harga LC50 dengan selang kepercayaan 95%.
Nilai LC50 adalah konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh 50% larva udang Artemia salina
Leach. Nilai LC50 ditentukan dengan analisis probit.
Hasilanalisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
konsentrasi dengan presentase kematian larva udang. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi
presentase kematian dan semakin rendah konsentrasi semakin rendah presentase kematian larva.
LC50 (Lethal Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya
kematian pada 50 % hewan percobaan yaitu larva udang. Berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh
dikatakan ekstrak etanol daun gatalpada percobaan ini bersifat toksik terhadap Artemia salina.
Penelitian (Meyer et al., 1982) juga melaporkan bahwa suatu ekstrak menunjukkan aktivitas
ketoksikan dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji pada
konsentrasi kurang dari 1000 ppm. Nilai LC50 dari ekstrak etanol daun gatal yang lebih kecil dari
1000 ppm menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mempunyai potensi aktivitas sitotoksik yang
dapat dikembangkan sebagai antikanker. Menurut (Geran dkk., 1972) Suatu zat dikatakan aktif
atau toksik bila nilai LC50 kurang dari 20 μg/mL, sedangkan menurut (Doyle dkk., 2000) suatu
ekstrak dikatakan aktif jika LC50 kurang dari 1000 μg/mL.
Uji sitotoksik dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari
suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah
pemberian dosis uji. Larva udang yang digunakan berumur 48 jam karena pada umur tersebut
larva udang, bersifat paling peka. Hal ini disebabkan dinding sel larva masih lunak sehingga
senyawa asing dalam air laut yang diserap melalui dinding selnya akan segera mempengaruhi
hidupnya. Senyawa asing yang bersifat racun akan menyebabkan kematian pada larva udang
(Purwantini et al., 2002).
16
Pada penelitian uji aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun gatal ini menggunakan hewan uji A.
salina, dimana penentuan nilai LC50 dilakukan pada tahap perkembangan nauplius. ada
perkembangan nauplius A. salina lebih sensitif terhadap senyawa toksik. Jalur pemaparan
senyawa toksik ekstrak etanol daun gatal pada hewan uji A. salina dimulai melalui oral dan bagian
dermal. Pada bagian mulut senyawa toksik ini diabsorbsi masuk ke dalam saluran pencernaan,
sedangkan pada bagian dermal, terjadi proses absorbsi melalui membran sel. Setelah proses
absorbsi dilanjutkan dengan proses distribusi senyawa toksik ke dalam tubuh A. salina dan terjadi
proses reaksi metabolisme.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun gatal mempunyai aktivitas sitotoksik. Ini
berkaitan dengan senyawa yang terdapat pada daun gatal yaitu alkaloid memiliki aktivitas
sitotoksik yang dapat menyebabkan kematian larva Artemia Salina Leach (Ren et al., 2003).
Senyawa alkaloid memiliki peranan dalam penghambatan pertumbuhan sel kanker, misalnya
senyawa vinkristin dan vinblastin yang terdapat pada daun tapak dara. Senyawa ini berperan
sebagai antimitotic agent dengan mengikat dimer tubulin yang dapat mengganggu munculnya
mikrotubul pada saat metafase, akibatnya proses mitosis sel akan terganggu, sehingga proliferasi
sel kanker terhambat (Mardiyaningsih, 2011).
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa uji toksisitas daun gatal (L. decumana) asal
Biak menunjukkan LC501250,05 ppm tidak toksik sedangkan daun gatal asal Memberamo
menunjukkan LC50350,38 ppm yang bersifat toksik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Doyle, A. and Griffiths, J.B. 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research. John
Willey and Sons, ltd. New York.
[2] Fadhli, H., Teruna, H. Y., dan Jose, C. 2012. Uji Toksisitas Ekstrak Kulit Batang Puai
Basung (Alstonia spatula BL) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test. J. Ind. Che.
Acta.
[3] Geran, R.I., Greenberg, N.H., Macdonald, M.M., Schumacher, A.M., and Abbott, B.J.
1992. Protocol for Screening Chemical Agents and Natural Product Against Animal
Tumurs and Other Biological System. Cancer Chemother. Vol 3:59-61.
[4] Mardiyaninsih, A, dan Ismiyati N. 2014. Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Alpukat
(Persea Americana. Mill) Pada Sel Kanker Leher Rahim Hela. Trad Med. Vol 19(1) P 24-
28.
[5] McLaughlin, J.L. 1991. Crown Gall Tumours On Potato Disc And Brine Shrimp Lethality:
Two Simple Bioassay For Higher Plant Screening And Fractionation. Methods in plant
biochemistr. Vol 6(1):1-30
[6] Meyer, B.N., Ferigni, N.R., Putnam, J.E., Jaconsen, L.B., Nichols, D.F., and Mc laughin
JL. 1982. Brine Shimp A Convenient General Bioassay for Active Plant Constituents.
Planta Medica. 45, 31-34.
[7] Nurhayati, A. P. D., Abdulgani, N., dan Febrianto, R.. 2006. Uji Toksisitas Ekstrak
Eucheuma Alvarezii terhadap Artemia Salina sebagai Studi Pendahuluan Potensi Anti
kanker. Akta Kimindo. p. 41-46
[8] Purwantini I, Setyowati EP, Hertiani T. 2002. Uji Toksitas Ekstrak Etanol Buah Biji, Daun
Mahkota Dewa (Phaleria marcocarpa) terhadap Artemia SalinaLeach dan Profil
Kromatografi lapis Tipis Ekstrak Aktif. Majalah Farmasi Indonesia: 101-106.
[9] Ren, W., Qiao, Z., Wang, H., Zhu, L., and Zhang, L., 2003, Flavonoids: Promising
Anticancer Agents.Medicinal Research Review. Vol 23 (4): 519-53
17
[10] Simaremare, E. S., E. Gunawan, A. Ruban, M. T. Nainggolan, dan C. Yenusi. 2014.
Formulasi dan evaluasi Salep daun gatal. Seminar Nasional Tanaman Obat Indonesia.
Universitas Katolik. Widya Mandala. Surabaya.
[11] Simaremare, E. S. 2014. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal (Laportea
decumana (Roxb.) Wedd). Pharmacy. Vol 11(01): 98-107.
[12] Simaremare, E. S., E. Holle, Y.R. Yabansabra, I. M. Budi., dan E. Gunawan. 2015. Analisis
Perbandingan Efektifitas Antinyeri Salep Daun Gatal Dari Simplisia Laportea Aestuans
(L) Chew dan Laportea Decumana (Roxb) Wedd. Pharmacy. Vol 12 (1):1-10.
[13] Simaremare, E.S., Y. R. Yabansabra, E. Gunawan, A. Ruban. 2016. Uji Mutu Fisik
Sediaan Salep Daun Gatal (Laportea decumana (Roxb.) Wedd.) Sebagai Kandidat
Antinyeri. Galenika. Vol 3(2): 55-60.
[14] Simaremare, E. S., A. Ruban, dan D. Runtuboi. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Gatal (Laportea aestuans (L) Chew). Jurnal Biologi Papua. Vol 9(1):1-7.
[15] Simaremare, E. S., E. Holle, E. Gunawan, Y. R. Yabansabra, F. Octavia, and R. D. Pratiwi.
2018. Toxicity, Antioxidant, Analgesic, and Anti-inflamantory of Ethanol Extract of
Laportea aestuans (Linn.) Chew. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. Vol
10(5):16-23.
[16] Tualeka, S. 1986. Pemeriksaan Farmakognostik dan Usaha Skrining Komponen secara
Kromatografi Lapis Tipis daun gatal (Laportea decumana (roxb.) Wedd) asal Maluku.
Skripsi. Universitas Hasanuddin.
[17] Yasni dan Puro. 2012. Kajian Aktivitas Antibakteri Daun Gatel (Laportea decumana
(Roxb.) Wedd.) dan Daun Benalu Cengkeh. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
18
SIMULASI PENGARUH KOEFISIEN DRAG PADA GERAK
JATUH BEBAS
Rahman1 dan Sudarmono2
Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Cenderawasih1,2
e-mail:[email protected]
e-mail:[email protected]
Abstrak. Sebuah benda yang bergerak jatuh bebas merupakan gerak ideal sebuah benda yang
dilepaskan dari ketinggian tertentu. Dengan adanya udara di sekitar benda yang bergerak jatuh
bebas maka akan mempengarahi gerak benda. Gaya gesek oleh udara dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah koefisien drag.
Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode komputasi dengan menggunakan
metode Euler terhadap persamaan gerak benda jatuh bebas yang dipengaruhi gaya gesek udara.
Hasil penelitian yang didapatkan adalah terdapat pengaruh koefisien drag pada gerak jatuh bebas
benda, berupa penurunan nilai percepatan benda dan bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk
tiba di permukaan tanah dengan kenaikan nilai koefisien drag pada sebuah benda.
Kata Kunci : Koefisien Drag, Metode Euler, dan metode komputasi
1. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan dalam gerak translasi adalah gerak jatuh bebas (free fall), yaitu gerak
yang tidak diberikan kecepatan awal dan hanya dipengaruh oleh gaya tarik dari gravitasi bumi.
Gerak jatuh bebas merupakan salah satu kasus dari permasalahan gerak di bidang mekanika, yang
kemudian dikembangkan dengan memberikan pengaruh tambahan kepada gaya yang bekerja
pada benda tersebut, yaitu sebuah gaya yang menghambat gerak tersebut, diantaranya adalah gaya
tahanan udara.
Tahanan udara yang bekerja pada sebuah benda dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya
adalah bentuk dari benda yang melakukan gerak jatuh bebas. Besarnya tahanan udara ini
ditentukan dari koefisien drag sebuah benda, dan terdapat berbagi macam nilai dari koefisien drag
yang sangat bergantung pada model bendanya.
Tujuan penelitian adalah membuat program komputer yang memasukkan pengaruh koefisien drag
pada gerak jatuh bebas sebuah benda dan menganalisa hasil komputasi yang didapatkan.
2. DASAR TEORI
Ketika sebuah benda dilepaskan dari ketinggian h tanpa kecepatan awal dan hanya dipengaruhi
oleh gravitasi bumi maka percepatan yang dialami benda sebesar percepatan gravitasi bumi di
tempat terjadi kejadian tersebut. Gerak benda ini disebut sebagai gerak jatuh bebas. Besarnya
kecepatan benda pada setiap saat adalah
𝑣𝑡 = −𝑔𝑡 (1)
Tanda negatif berarti kecepatan benda mengarah ke bawah, dan 𝑔 adalah percepatan gravitasi
bumi. Sedangkan jarak tempuh benda sebesar
𝑦 =1
2𝑔𝑡2 (2)
Udara merupakan salah satu contoh dari fluida sehingga diterapkan prinsip-prinsip fluida dalam
membahas hambatan yang disebabkan oleh udara pada gerak benda yang jatuh bebas.
Arah gaya hambat fluida yang bekerja pada suatu benda selalu berlawanan dengan arah kecepatan
benda tersebut. Besarnya hambatan fluida bertambah dengan bertambahnya kecepatan benda
19
yang melalui fluida, hal ini berlawanan dengan karakteristik gaya gesek kinetik diantara dua
permukaan benda yang bersentuhan dimana besarnya gaya gesek kinetik tidak dipengaruhi oleh
kecepatan. Secara umum persamaan gaya hambat suatu fluida dinyatakan dengan persamaan
𝐹𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 ≈ −𝐵1𝑣 − 𝐵2𝑣2 (3)
𝑣 menyatakan kecepatan benda, B1 dan B2merupakan konstanta adapun tanda minus (-)
menyatakan bahwa arah gaya hambat ini berlawanan dengan arah gerak benda.
Jika suatu benda bergerak dengan kecepatan rendah maka besarnya gaya hambat fluida sebanding
dengan kecepatan benda tersebut sehingga persamaan (3) dapat dinyatakan dalam bentuk
𝐹𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 ≈ −𝐵1𝑣 (4)
Apabila benda bergerak dengan kecepatan tinggi,maka besarnya gaya fluida sebanding dengan
kuadrat kecepatan benda tersebut. Pada kecepatan rendah maka suku pertama yang mendominasi
dan koefisien B1 dapat dihitung untuk benda dengan bentuk teratur. Sedangkan pada kecepatan
tinggi maka suku kedua yang mendominasi.
Pada kasus ini besarnya gaya hambat sebanding dengan kuadrat laju benda.Nilai B2 tidak dapat
dihitung secara eksak bahkan untuk benda sederhana seperti bola, apalagi jika bentuk bendanya
cukup rumit. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperkirakan nilai B2 dengan cara
berikut, misalkan sebuah benda bergerak dalam udara yang mendorong udara tersebut, massa
udara yang dipindahkan karena dorongan benda dalam waktu ∆𝑡 adalah𝑚𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = 𝜌𝐴𝑣∆𝑡 dengan
𝜌 menyatakan kerapatan udara dan 𝐴adalah luas permukaan benda, sehingga energi kinetiknya
menjadi
𝐸𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ≈1
2𝑚𝑣2 (5)
besarnya gaya kinetik ini sama dengan usaha yang dilakukan gaya gesek (gaya yang bekerja pada
benda karena hambatan udara) dalam waktu ∆𝑡, sehingga
𝑓𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘𝑣 ∆𝑡 = 𝐸𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 (6)
dengan menggabungkan persamaan (5) dan (6) diperoleh persamaan berikut
𝑓𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 ≈ −1
2𝐶𝜌𝐴𝑣2
dengan 𝐶 menyatakan koefisien gesek yang dikenal sebagai koefisien drag.
Adanya gesekan udara dengan benda maka benda mendapatkan gaya gesek yang disebut dengan
gaya hambat udara, yang arahnya berlawanan dengan arah gerak benda (gambar 3.1)
m
W
fg
Gambar 1. Sebuah benda jatuh bebas dengan adanya hambatan udara
Sebuah benda dengan dengan massa m, jatuh bebas akibat pengaruh gravitasi bumi dan
mendapatkan gaya hambat oleh udara sebesar 𝑓𝑔, dengan menerapkan hukum Kedua Newton
kepada sistem tersebut,
∑ = 𝑚 ⟹ 𝑊 − 𝑓𝑔 = 𝑚 (7)
dimana 𝑊adalah gaya berat benda 𝑊 = 𝑚𝑔, dan 𝑓𝑔 adalah gaya gesek yang berupa gaya hambat
udara yagn besarnya bergantung pada koefisien drag (𝐶), luas penampang dan kuadrat kecepatan
(𝑣2)dari benda, maka didapatkan
20
𝑎 = 𝑔 −𝐶𝜌𝐴𝑣2
2 𝑚 (8)
Dengan menerapkan salah satu metode numerik yaitu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
yaitu metode Euler maka persamaan 2 dapat diselesaikan secara numerik, yaitu
𝑣(𝑡 + ∆𝑡) = 𝑣(𝑡) + 𝑎(𝑡) ∆𝑡 (9)
𝑦(𝑡 + ∆𝑡) = 𝑦(𝑡) + 𝑣(𝑡) ∆𝑡 (10)
dimana𝑣(𝑡 + ∆𝑡) adalah kecepatan benda pada waktu (𝑡 + ∆𝑡), 𝑦(𝑡 + ∆𝑡)adalah posisi benda
pada waktu (𝑡 + ∆𝑡), adalah posisi benda pada waktu 𝑡 sedangkan ∆𝑡 adalah besar penambahan
waktu.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian dasar, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerapkan suatu
teori, metode atau konsep fisika dan pemograman terhadap fenomena gerak jatuh bebas pada
benda yang memiliki koefisien drag.
4. HASIL DAN PEMBAHSAN
Hasil yang didapat pada penelitian ini berupa program yang dibuat dengan menggunakan program
MS Excel 2016, yang dibuat berdasarkan persamaan 8, 9 dan 10.Program yang dibuat
menggunakan perintah dasar perulangan (looping atau iterasi). Perulangan yang dilakukan
terhadap variabel masukkan waktu, dikarenakan kedudukan bola merupakan fungsi dari waktu.
Proses perulangan dilakukan sampai dengan kedudukan bola kembali ke tanah sehingga dalam
pembuatan program diperhatikan batasan kedudukan bola yang tidak boleh bernilai negatif (h>
0).
Nilai masukkan awal untuk simulasi yang dilakukan pada persamaan efek magnus adalah sebagai
berikut
Nilai percepatan gravitasi bumi (g) = 9,8 m/s2
Nilai rapat udara (ρ) = 1,2 kg/m3
Massa bola (m) = 0,5 kg
Jari-jari bola (r) = 0,05 m
Kasus 1, Koefisien Drag = 0.
Gambar 2.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 0
Dari gambar 1, terlihat bahwa percepatan benda bernilai konstan yaitu sebesar 9,8 m/s2 yaitu yang
ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk sebuah garis lurus. Hal ini
memberikan informasi bahwa tidak terlihat adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.
Hal ini yang menyebabkan gerak benda murni berupa gerak jatuh bebas.
Waktu yang diperlukan oleh benda untuk tiba di tanah dapat ditentukan secara langsung yaitu
sebesar 4,5175s. Dari gambar 4, terlihat bahwa titik potong antara kurva posisi (berwarna hijau)
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 1 2 3 4 5Waktu (s)
a h Linear (a)
21
dengan sumbu waktu (sumbu x) berada dinilai sekitar 4,5 s. Jika nilai posisi dilihat langsung pada
perhitungan yang dilakukan pada MS Excel terlihat bahwa titik potong sumbu waktu (sumbu x)
berada di nilai 4,4 dan 4,5. Dengan nilai koefisien drag bernilai 0, maka benda bergerak layaknya
benda jatuh bebas.
Kasus 2, Koefisien Drag = 0,5.
Gambar 3.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 0,5
Dari gambar 2, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan
bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk
sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Hal ini
memberikan informasi bahwa adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.
Dengan nilai koefisien drag bernilai 0,5, maka benda bergerak benda jatuh bebas dengan adanya
hambatan atau gesekan udara yanag menghambat gerak benda, dan ini terlihat dari mengecilnya
nilai percepatan benda dan waktu tiba di tanah yang lebih besar.
Kasus 3, Koefisien Drag = 1,0.
y = -1,3328x + 10,64
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 1 2 3 4 5 6
waktu (s)
a h Linear (a)
y = -1,8399x + 10,586
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 1 2 3 4 5 6
a h
22
Gambar 4.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 1,0
Dari gambar 3, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan
bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk
sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Nilai gradien
yang didapatkan lebih kecil dari gradien pada kasus nilai koefisien dragnya sebesar 0,5. Dari
gambar 3, terlihat bahwa titik potong antara kurva posisi (berwarna hijau) dengan sumbu waktu
(sumbu x) memiliki nilai yang lebih besar dari nilai 4,5 s.
Kasus 4, Koefisien Drag = 1,5.
Gambar 5.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 1,5
Dari gambar 4, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan
bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk
sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Nilai gradien
yang didapatkan lebih kecil dari gradien pada kasus nilai koefisien dragnya sebesar 1,0. Hal ini
memberikan informasi bahwa adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.
Dari gambar 4, terlihat bahwa titik potong antara kurva posisi (berwarna hijau) dengan sumbu
waktu (sumbu x) memiliki nilai yang lebih besar dari nilai 4,5 s.
Kasus 5, Koefisien Drag = 2,0.
y = -1,9384x + 10,093
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 1 2 3 4 5 6
a h
23
Gambar 6.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 2,0
Dari gambar 5, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan
bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk
sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Nilai gradien
yang didapatkan lebih kecil dari gradien pada kasus nilai koefisien dragnya sebesar 1,5. Hal ini
memberikan informasi bahwa adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.
Dari kasus-kasus yang dibahas di atas didapatkan bahwa dengan bertambahnya koefisien drag
maka nilai percepatan benda bergantung pada waktu dan nilai akan menurun dengan pertambahan
waktu.
Hal ini dapat dilihat pada gambar 6, yang merupakan rangkuman dari grafik-grafik pada tiap kasus
yang hanya menampilkan nilai percepatan pada setiap saat di setiap kasus yang dibahas.
Gambar 7.Grafik nilai percepatan fungsi waktu untuk setiap kofisien drag
Dari gambar 6, terlihat bahwa dengan bertambahnya nilai koefisien drag maka nilai percepatan
benda akan bergantung terhadap waktu dan bernilai semakin kecil. Pada nilai koefisien drag
bernilai 0 maka nilai percepatan benda tidak bergantung pada waktu, sehingga nilai percepatan
benda bernilai konstan, yaitu sebesar nilai percepatan gravitasi bumi, yang merupakan ciri dari
gerak jatuh bebas.
y = -1,8529x + 9,4221
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 1 2 3 4 5 6 7
a h
0
2
4
6
8
10
12
0 1 2 3 4 5 6 7
C 0 C 0,5 C 1 C 1,5 C 2
24
Pengaruh koefisien drag pada lama waktu benda untuk menjangkau tanah dapat dilihat dari
gambar 7, dengan bertambahnya koefisien drag yang merubah nilai percepatan benda yaitu
semakin kecil maka waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan tanah akan
bertambah.
Gambar 8.Grafik waktu tempuh untuk setiap kofisien drag
Pada gambar , terlihat bahwa semakin besar nilai koefisien drag maka waktu yang diperlukan
untuk mencapai tanah semakin besar. Untuk kasus yang tidak memakai hambatan udara
(koefisien drag bernilai 0) maka waktu yang diperlukan berkisar di nilai 4,5 s, sedangkan untuk
yang koefisen dragnya terbesar maka waktu yang diperlukan benda lebih lama yaitu hampir
bernilai 6 s.
Dengan melihat hasil ini didapatkan bahwa koefisien drag yang berhubungan dengan gaya hambat
udara pada benda memberikan efek pada perubahan nilai percepatan benda dan waktu tempuh
yang dibutuhkan benda untuk tiba ke permukaan tanah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari analisis hasil yang didapatkan pada penerapan metode Euler terlihat bahwa adanya pengaruh
koefisien drag pada gerak jatuh bebas sebuah benda, yaitu
a. Bertambahnya nilai koefisien drag berpengaruh pada nilai percepatan benda yang akan
berkurang dan nilai ini bergantung pada waktu,
b. Bertambahnya nilai koefisien drag berpengaruh pada waktu tempuh benda menuju ke
permukaan bumi yaitu waktu tempuh akan bertambah sejalan dengan bertambahnya nilai
koefisien drag.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Cenderawasih yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alan M. Nathan, The effect of spin on the flight of a baseball, Am. J. Phys., Vol.
76, No. 2, February 2008
[2] Benson, H., 1991, University Physics, John Wiley and Sons Inc, New York.
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 1 2 3 4 5 6 7
C 0 C 0,5 C 1 C 1,5 C 2
25
[3] Carre, M. J., et all, The curve kick of a football II: flight through the air, Journal
Sports Engineering Volume 5, 193–200, Blackwell Science Ltd.
[4] Crespo da Silva, 2004, Intermediate Dynamics : Complemented with Simulations
and Animations, McGraw Hill, printed in Singapore.
[5] Cayzac, R., et all, Magnus effect: Physical Origin and Numerical Prediction,
Journal of Applied Mechanics , American Society of Mechanical Engineers,
September 2011.
[6] Dianto, Analisis Lintasan Gerak Bola yang Memiliki Spin dalam Permainan Sepak
bola”, Proseding Seminar Fisika 2011, UniveristasNegeri Surabaya.
[7] Halliday, D., R. Resnick, J. Walker, 2001, Fundamentals of Physics Extended,
Sixth Edition, John Wiley and Sons Inc, New York.
26
PEMODELAN KOEFISIEN ABSORBSI CAHAYA DAN
FREKUENSI GETAR MOLEKUL PADA LAPISAN SENSITIZER
SEL SURYA BUAH GOWOK
Hubertus Ngaderman1 dan Ego Srivajawati2
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Cenderawasih1,2
Abstrak. DSSC merupakan salah satu kandidat yang berpotensi sebagai sel surya generasi
mendatang karena tidak memerlukan material dengan tingkat kemurnian tinggi sehingga biaya
proses produksi yang dapat ditekan. Sensitizer yang digunakan sebagai material penyerap cahaya
atau dye dapat berupa produk sintetik maupun organik. Untuk mengurangi biaya produksi, DSSC
berbasis organik pada material sensitizer dikembangkan pada saat sekarang ini. DSSC
menggunakan prinsip yang sama dengan cara kerja fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan. Dye
bertingkah laku seperti klorofil yang menyerap cahaya dan memproduksi pembawa (carrier).
Fokus penelitian ini adalahmenentukan parameter-parameter yang berkaitan erat dengan absorpsi
cahaya pada dye buah gowok. Parameter tersebut adalah koefisien absorpsi, konsentrasi molekul
yang menyerap cahaya pada dye, besar muatan molekul yang terionisasi, konduktivitas elektrik
dye dan frekuensi serapan energi cahaya pada molekul dye. Peneliti akan melakukan pengukuran
efektifitas terbesar serapan cahaya tampak pada sampel dengan menggunakan spektrofotometer
UV-visible. Sampel yang disinari adalah dye buah gowok.
Menentukan serapan spektra terbesar pada daerah cahaya tampak pada lapisan zat warna
buahyang akan menyerap cahaya tampak. Zat warna tersebut berfungsi sebagai sensitizer.
Menentukan parameter-parameter yaitu koefisien absorpsi, konsentrasi molekul yang menyerap
cahaya pada dye, besar muatan molekul yang terionisasi, konduktivitas elektrik dye dan frekuensi
serapan energi cahaya pada molekul dye. Manfaat utama dari hasil penelitian ini adalah
pemahaman komprehensif serapan cahaya tampak pada lapisan zat warna buah gowokyang
berfungsi sebagai sensitizer. Menyumbangkan sesuatu yang baru dalam ilmu Fisika yaitu
menentukan frekuensi getaran molekul dye ketika mendapat radiasi gelombang elektromagnetik
cahaya tampak.
Kata Kunci : koefisien absorbsi, frekuensi molekul, dye buah gowok.
1. LATAR BELAKANG Semenjak publikasi awal, dye sensitized solar cells (DSSC) menjadi sesuatu yang disoroti karena
berkaitan dengan keistimewaan DSSC tersebut dalam fabrikasi divais dengan biaya yang rendah
dibandingkan dengan sel surya (SS) konvensional. DSSC menggunakan Ru-kompleks,
efisiensinya 11% pada 1.5 AM sedangkan sensitizer organik hanya menunjukkan efisiensi
konversi daya antara 6% and 10% (Hyo Jeong Jo et al, 2013). Meskipun begitu, dye organik
mempunyai beberapa keuntungan, seperti mudah desain, harga rendah dan ramah lingkungan,
kelemahannya adalah spektrum absorbsi sempit.
Riset pada masa lalu hanyalah terletak pada pendekatan eksperimen empiris belaka, harapannya
adalah untuk meningkatkan efisiensi, pemodelan bisa mengurangi tingkatan empiris tersebut.
Proses foto transfer muatan baik pada Sel Surya Organik maupun DSSC bersifat fundamental
untuk semua aplikasi tetapi proses foto transfer masih belum dipahami sepenuhnya (Neha
Agnihotri, 2013). Pemodelan bisa mengatasi pemahaman proses foto transfer serapan cahaya
pada tingkat molekular.
27
Riset ini akan terfokus pada penentuan parameter yang berkaitan erat dengan absorbsi cahaya.
Parameter tersebut adalah koefisien absorbsi, konsentrasi molekul yang menyerap cahaya pada
dye, koefisien redaman dan frekuensi serapan cahaya pada molekul dye. Peneliti akan melakukan
pengukuran efektifitas terbesar serapan cahaya tampak pada sampel dye buah gowok dengan
menggunakan spektrofotometer UV-visible. Tujuan penelitian ini adalah (a) Menentukan serapan
spektra terbesar pada daerah cahaya tampak pada lapisan zat warna buahyang akan menyerap
cahaya tampak, zat warna tersebut berfungsi sebagai sensitizer. (b) Menentukan parameter-
parameter yaitu koefisien absorbsi, konsentrasi molekul yang menyerap cahaya pada dye,
koefisien redaman dye dan frekuensi serapan energi cahaya pada molekul dye. Manfaatnya adalah
pemahaman serapan cahaya tampak pada lapisan zat warna buah gowokdalam proses
photocurrent.
2. TINJAUAN PUSTAKA DSSC terdiri dari material dye, semikonduktor oksida dan elektrolit. Dye bertingkah laku seperti
klorofil yang menyerap cahaya dan memproduksi pembawa (carrier). Proses yang terjadi: (a)
Energi foton diserap oleh dye, elektron dari dye mendapatkan energi untuk dapat tereksitasi (D*)
dan bergerak ke pita konduksi TiO2. Dye kemudian dalam keadaan teroksidasi (D+). (b) Elektron
ditransfer melewati rangkaian menuju elektroda karbon. (c) Elektrolit redoks bertindak sebagai
mediator elektron sehingga menghasilkan proses siklus dalam sel, menangkap elektron yang
berasal dari rangkaian luar. (d) Elektron tereksitasi kembali dan bereaksi dengan elektrolit menuju
dye teroksidasi. Elektrolit menyediakan elektron pengganti untuk molekul dye teroksidasi
sehingga dye kembali kepada keadaan awalnya. Dye berfungsi sebagai donor elektron yang menyebabkan timbulnya hole saat terkena sinar
matahari sehingga dye dapat dikatakan sebagai semikonduktor tipe-p. Ketebalan lapisan
semikonduktor itu mengatur fungsidye dimana kerapatan optis semikonduktor dan dye
menghasilkan efisiensi serapan cahaya. Kerapatan optis tersebut menyatakan besarnya transmisi
optik dengan panjang gelombang tertentu. Kerapatan optis merupakan perbandingan antara
intensitas awal dan intensitas transmisi. TiO2 hanya mampu menyerap sinar matahari pada
spektrum ultraviolet (350-380nm), untuk meningkatkan serapan spektra TiO2 di daerah tampak
dibutuhkan material pelapis untuk menyerap cahaya tampak tersebut, material pelapis tersebut
berfungsi sebagai sensitizer. Elektroda kerja merupakan kaca yang sudah dilapisi oleh TiO2 yang
telah terabsorbsi oleh dye yang mana TiO2 berfungsi sebagai kolektor elektron sehingga dapat
disebut sebagai semikonduktor tipe-n.
DSSC ideal akan memenuhi kriteria berikut: (1) strukturnya memfasilitasi elektron transfer dan
menginjeksikannya ke TiO2, oleh karena itu akseptor dan ruang 𝜋akan berada hampir di seluruh
bidang. (2) Lowest Unoccupied Molecular Orbital (LUMO) dye akan terletak di atas pita
konduksi TiO2 dengan demikian injeksi elektron dye ke elektroda akan efisien dan penempatan
level orbital molekular dye Highest Occupied Molecular Orbital (HOMO) akan terletak di bawah
HOMO elektrolit iodine/triiodide, menciptakan efisiensi oksidasi. (3) Dye akan menyerap cahaya
pada wilayah yang lebar kekuatan osilasi yang tinggi, gap energinya lebih pendek HOMO–
LUMO (Jieqiong Li et al).
Terciptanya photocurrent berisi beberapa langkah: (1) sensitizing pada permukaan film TiO2
menyerap cahaya, menciptakan keadaan eksitasi sensitizer dye; (2) sensitizer pada keadaan
eksitasi menginjeksikan elektron ke pita konduksi yang lebar untuk semikonduktor oksida
kemudian elektron bertransportasi melaluinya, mengalir ke rangkaian luar; (3) kation radikal
sensitizer dikurangi oleh donasi elektron elektrolit yang diinfiltrasi ke pori film semikonduktor;
(4) elektron-elektron yang masuk dari rangkaian luar memulihkan pasangan redoks di dalam
elektrolit pada kounter elektroda. Efisiensi konversi arus (incident photon-to-current conversion
efficiency) IPCE, dideskripsikan dengan persamaan berikut
𝐼𝑃𝐶𝐸(𝜆) = 𝐴𝑃𝐶𝐸 × 𝐿𝐻𝐸(𝜆) = Φinj × 𝜂col × 𝐿𝐻𝐸(𝜆) (1)
28
APCE adalah efisiensi konversi arus IPCE. Efisiensi injeksi elektron secara menyeluruh (Φinj)
antara sensitizer dan semikonduktor elektroda dan kolektif muatan secara keseluruhan SS (𝜂col). 𝐿𝐻𝐸(𝜆) adalah efisiensi panenan cahaya dan 𝜆 panjang gelombang cahaya datang. Arus foto
dipengaruhi oleh proses panenan cahaya, injeksi elektron, koleksi muatan dan tegangan
maksimum di bawah iluminasi yang dialami oleh perbedaan antara kuasi level Fermi
semikonduktor oksida dan pasangan redoks di dalam elektrolit (Taojun Zhuang et al, 2014).
Apabila cahaya memasuki suatu medium, sinar datang akan dipantulkan, diserap dan sisanya akan
diteruskan oleh medium itu. Intensitas sinar datang dinyatakan oleh 𝐼0, intensitas sinar serap 𝐼𝑎,
intensitas yang diteruskan 𝐼𝑡 dan intensitas sinar pantul 𝐼𝑟. Persamaanmya dituliskan:
𝐼𝑜 = 𝐼𝑎 + 𝐼𝑡 + 𝐼𝑟 (3)
Penggunaan kaca sebagai substrat maka sekitar 4 persen cahaya masuk dipantulkan oleh karena
itu 𝐼𝑟 biasanya terhapus. Pers (3) menjadi:
𝐼𝑜 = 𝐼𝑎 + 𝐼𝑡 (4)
Absorbansi adalah perbandingan intensitas cahaya yang diserap dengan cahaya datang.
Perbandingan intensitas cahaya pantul dengan cahaya datang disebut refleksitansi (𝑅). Perbandingan intensitas cahaya transmisi dengan cahaya datang disebut transmitansi (𝑇). Absorbsi cahaya adalah peristiwa penyerapan cahaya oleh suatu bahan yang dilewati oleh cahaya
tersebut. Secara kualitatif absorbsi cahaya dapat diperoleh dengan pertimbangan absorbsi cahaya
pada daerah tampak. Besarnya nilai transmisi dan absorbsi cahaya pada suatu bahan bergantung
pada tebal dan koefisien absorbsi dari bahan tersebut. Hubungan transmitansi (𝑇) dan absorbansi
(𝐴) dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer yang berbunyi : “Jumlah radiasi cahaya tampak
yangdiserap atau diteruskan oleh sampel merupakan suatu fungsi eksponen darikonsentrasi zat
dan tebal larutan”.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer di atas, rumus yang digunakan untuk menghitung banyaknya
cahaya yang ditransmisikan:
𝑇 =
𝐼𝑡𝐼𝑜
(5)
%𝑇 =
𝐼𝑡𝐼𝑜𝑥100%
(6)
dan absorbansi dinyatakan dengan rumus :
𝐴 = − log 𝑇 = −𝑙𝑜𝑔
𝐼𝑡𝐼𝑜
(7)
dengan 𝐼0 merupakan intensitas cahaya datang dan 𝐼𝑡 merupakan intensitas cahaya setelah
melewati sampel. Perhitungan nilai transmisi dan absorbsi sering dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer. Absorbansi bisa juga diberikan dengan kaitan dengan transmitansi
𝐴 = 2 − log(%𝑇) (8)
Spektrum absorbsi adalah plot antara absorbansi versus panjang gelombang cahaya datang.
Spektrum transmitansi adalah plot antara transmitansi atau %𝑇 versus panjang gelombang cahaya
datang. Absorbansi bisa juga dinyatakan oleh hukum Lambert Beer dalam bentuk linear sebagai
berikut
𝐴 = 𝜀 × 𝑙 × 𝑐 (9)
29
dimana 𝐴 absorbansi (tidak bersatuan), 𝜀 absorbtivitas molar atau koefisien ekstinsi molar dalam
satuan L/mol. cm. Jarak penjalaran cahaya melalui sampel adalah 𝑙 dalam satuan cm. Variabel 𝑐
adalah konsentrasi jenis absorbsi sampel dalam satuan mol/L. Pers (10) mempunyai bentuk yang
setara dengan bentuk linear pada umumnya yaitu
𝑦 = 𝑎 𝑥 (10)
dimana 𝑎 adalah lekukannya
3. METODOLOGI Bahan danalat yang digunakan: TCO, triton, aquades, buah gowok, magneticstirrer, hotplate,
penjepit kertas, penjepit buaya, beaker glass 25ml, pipet tetes, spatula, batang gelas, timbangan
digital, tisu, spin coaster SCS 6800 dan Spektrofotometer UV-Vis Genesys.Siapkan buah gowok
secukupnya dan letakkan pada gelas beaker setelah itu gerus dengan menggunakan mortar,
masukkan etanol 75% kedalam gelas beaker sebanyak 15 ml setelah itu diamkan selama 2 jam
lalu pisahkan dye dengan menggunakan spin coaster SCS 6800 selama 2 menit.
Spektrofotometer UV-Vis bertujuan untuk mengetahui daya absorbansi dari buah gowok, alat
tersebut diperlihatkan pada Gambar 4. Cahaya tampak memasuki monokromator setelah itu
memasuki sampel yang berisi dye buah gowok. Monokromator berfungsi untuk memecah cahaya
yang adalah polikromatis menjadi monokromatis, cahaya yang ditransmisi kemudian terdeteksi.
Menggunakan SCA (System Computer Analyser) maka hasil transmisi akan terplot seperti pada
grafik Gambar 4.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2. Variabel absorbsi versus panjang gelombang
Gambar 3.
Gambar 4
30
Bahan yang bukan konduktor seperti dye mempunyai struktur molekul yang saling berikat dimana
elektronnya terlekat kuat (Gambar 5).
𝐹ikat = −𝑘𝑦 = −𝑚𝜔0
2𝑦 , (12)
Pergeseran 𝑦, massa elektron 𝑚 dan frekuensi osilasi alami 𝜔0, √𝑘/𝑚. Model ini adalah model
atomik sederhana. Memperluas energi potensial dalam deret Taylor:
𝑈(𝑦) = 𝑈(0) + (
𝜕𝑈
𝜕𝑦)𝑦 +
1
2(𝑑2𝑈
𝑑𝑦02)𝑦
2 +⋯ (13)
Suku pertama konstan, (𝑈(0) = 0), suku kedua lenyap, karena 𝑑𝑈/𝑑𝑦 = −𝐹 dan alaminya gaya
di titik itu nol. Suku ketiga energi potensial pegas
𝑘 =
𝑑2𝑈
𝑑𝑦02
(14)
Ketika elektron berosilasi akan terdapat beberapa gaya redaman:
𝐹redaman = −𝑚𝛾
𝑑𝑦
𝑑𝑡 .
(15)
Redaman harus berlawanan dengan arah kecepatan. Dalam kehadiran gelombang elektromagnetik
berfrekuensi 𝜔, elektron mempunyai gaya hanyut
𝐹hanyut = 𝑞𝐸 = 𝑞𝐸0 cos𝜔𝑡 , (16)
dimana 𝑞 muatan elektron dan 𝐸0 amplitudo gelombang elektromagnetik (𝐸 maksimum pada 𝑡 =0). Menggunakan hukum Newton kedua maka
𝑚𝑑2𝑦
𝑑𝑡2= 𝐹tot = 𝐹ikat + 𝐹redaman + 𝐹hanyut ,
(17)
atau
𝑚𝑑2𝑦
𝑑𝑡2+𝑚𝛾
𝑑𝑦
𝑑𝑡+𝑚𝜔0
2𝑦 = 𝑞𝐸0 cos𝜔𝑡 (18)
Pers (18), ditulis dengan penambahan bagian kompleksnya :
𝑑2
𝑑𝑡2+ 𝛾
𝑑
𝑑𝑡+ 𝜔0
2 =𝑞
𝑚𝐸0𝑒
−𝑖𝜔𝑡 . (19)
Dalam keadaan setimbang, sistem berosilasi dengan frekuensi tertentu:
(𝑡) = 0𝑒−𝑖𝜔𝑡 . (20)
Masukkan ini ke dalam (19), ditemukan
0 =
(𝑞/𝑚)
(𝜔02 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝜔
𝐸0. (21)
Momen dipol adalah
(𝑡) = 𝑞(𝑡) =
(𝑞2/𝑚)
(𝜔02 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝜔
𝐸0𝑒−𝑖𝜔𝑡 .
(22)
Keadaan elektron bersama pada molekul menunjukkan frekuensi alami yang berbeda. Katakan
terdapat 𝑓𝑗 elektron dengan frekuensi 𝜔𝑗 dan redaman 𝛾𝑗 pada setiap molekul. Jika terdapat 𝑁
molekul tiap satuan volume, polarisasi 𝑃 diberikan oleh
Gambar 5. Gelombang elektromagnetik yang bergerak
degan suatu kecepatan 𝑣 mendatangi elektron yang
dicantelkan pada pegas dengan konstanta 𝑘
31
=𝑁𝑞2
𝑚(∑
𝑓𝑗(𝜔0
2 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝜔𝑗
) .
(23)
Suseptibilitas listrik adalah konstanta yang bersesuaian dengan dan ( = 𝜖0𝜒𝑒). Polarisasi
kompleks bersesuaian dengan medan kompleks dan suseptibilitas kompleksnya akan
menjadi:
= 𝜖0𝜒𝑒 (24)
Kesesuaian antara dan adalah permitivitas kompleks = 𝜖0(1 + 𝜒𝑒), dimana model
ini mengambil bentuk
𝜖 = 𝜖0 [1 +𝑁𝑞2
𝑚𝜖0∑
𝑓𝑗
(𝜔𝑗2 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝑗𝜔𝑗
].
(25)
Medium dispersif persamaan gelombangnya adalah
∇2 =
1
𝜖𝜇0
𝜕2
𝜕𝑡2 ,
(26)
dengan 𝜖 fungsi kompleks 𝜔, memuat solusi gelombang bidang seperti sebelumnya
(𝑥, 𝑡) = 0𝑒𝑖(𝑘𝑥−𝜔𝑡) (27)
bilangan gelombangnya adalah
𝑘 = √𝜖𝜇0𝜔 (28)
adalah kompleks sebab 𝜖. Menulis 𝑘 berkaitan dengan real dan imajiner,
𝑘 = 𝑘+ + 𝑖𝑘− (29)
(21) menjadi
(𝑥, 𝑡) = 0𝑒−𝑘−.𝑥𝑒𝑖(𝑘+𝑥−𝜔𝑡). (30)
Dengan jelas 𝑘− besaran redaman gelombang. Intensitas bersesuaian dengan 𝐸2 (disini 𝑒−2𝑘−𝑥),
kuantitas
𝛼 = 2𝑘− (31)
disebut koefisien absorbsi.
Diandaikan bahwa khusus untuk dye yang terdiri atas molekul-molekul yang tidak saling terikat
kuat maka suku kedua dalam (30) adalah kecil dan akar kuadrat menggunakan √1 + 𝑥 ≅ 1 +1/2𝑥. Kemudian (30) memberikan
𝑘 =𝜔
𝑐√𝜖
𝜖0≅𝜔
𝑐𝜖0 [1 +
𝑁𝑞2
2𝑚𝜖0∑
𝑓𝑗
(𝜔𝑗2 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝑗𝜔𝑗
],
(32)
dan
𝛼 = 2𝑘− ≅
𝑁𝑞2𝜔2
𝑚𝜖0𝑐∑
𝑓𝑗𝛾𝑗
(𝜔𝑗2 −𝜔2)
2+ 𝛾𝑗
2𝜔2𝑗
. (34)
N adalah jumlah molekul yang menyerap cahaya pada suatu panjang gelombang tertentu. Disini
dye bermassa 25 gr, dengan demikian
𝑁 = 6,02. 1023 .mdye
MR
(35)
dimana MR adalah massa molekul relatif yang bernilai 12 gr, oleh karena itu N bernilai
1,254. 1024 molekul.
𝜔 = 2𝜋𝑐
𝜆
(36)
Dengan menggunakan (36) maka frekuensi maksimum cahaya tampak yang diabsorbsi oleh setiap
molekul dye pada panjang gelombang 540 nm adalah 5,23.1015Hz. Jumlah elektron bebas yang
dihuni di dalam setiap molekul dye adalah 𝑓𝑗 yang nilainya sama dengan jumlah molekul N yaitu
1,254. 1024partikel. Koefisien absorbsi pada pers (34) mempunyai nilai 3 pada panjang
gelombang 540 nm (absorbsi maksimum yang dimiliki dye pada panjang gelombang itu, lihat
32
Gambar 6 dan 7). Koefisien redaman 𝛾𝑗 adalah suatu besaran yang bernilai 1 karena pada absorbsi
maksimum yang bernilai 3 adalah serapan maksimum (pada serapan maksimum terjadi
resonansi). Dengan menginput nilai-nilai tersebut pada pers (34), maka
𝛼 =
𝑁𝑞2𝜔2
𝑚𝜖0𝑐∑
𝑓𝑗𝛾𝑗
(𝜔𝑗2 − 𝜔2)
2+ 𝛾𝑗
2𝜔2𝑗
. (34)
Dengan memasukkan parameter-parameter pada pers (34), maka
𝜔𝑗4 − 5,47. 1031𝜔𝑗
2 = 1,5. 1074 (37)
Mengakali
𝜔𝑗2 = 𝑥 (38)
dan masukkan ke dalam (37), maka
𝑥2 − 5,47. 1031𝑥 − 1,5. 1074 = 0 (39)
Mencari 𝑥 dengan menggunakan teknik komputasi, maka
𝑥 = 1,22. 1037 (40)
Maka didapat frekuensi molekul pada dye buah gowok
𝜔𝑗 = 3,5. 1018 (41)
5. KESIMPULAN Dye organik mempunyai beberapa keuntungan, seperti mudah desain, harga rendah dan ramah
lingkungan, kelemahannya adalah spektrum absorbsi yang sempit. Salah satu kriteria DSSC ideal
adalah dye akan menyerap cahaya pada wilayah yang lebar kekuatan osilasi yang tinggi, gap
energi pendek HOMO–LUMO. Pemodelan mengambil struktur molekul sederhana. Jumlah
molekul terhitung yang menyerap cahaya adalah 1,254. 1024 molekul. Frekuensi maksimum
cahaya yang diabsorbsi pada panjang gelombang 540 nm adalah 5,23.1015Hz. Koefisien absorbsi
bernilai 3 pada panjang gelombang 540 nm. Koefisien redaman 𝛾𝑗 adalah suatu besaran yang
bernilai 1 karena pada absorbsi maksimum yang bernilai 3 adalah serapan maksimum (pada
serapan maksimum terjadi resonansi). Frekuensi molekul pada dye buah gowok 3,5. 1018Hz.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Barrow G, 1962. Introduction to Molecular Spectroscopy. New York, McGrawHill.
[2] Boas M L, 1983. Mathematical Methods In The Physical Science. John Wiley and Sons,
De Paul University.
[3] Durst R W, Wrolstad R E, 2005. Characterization and Measurement ofAnthocyanins by
UV–visible Spectroscopy. Handbook ofanalytical food chemistry. NewYork: John Wiley
& Sons.
[4] Grifiths D J. Introduction To Electrodynamics. Prentice Hall Of India Private Limited.
Gambar 6. Grafik panjang gelombang cahaya vs
koefisien serapan 𝛼 pada dye buah gowok.
Gambar 7. Grafik panjang gelombang cahaya dalam
spektrum cahaya tampak vs koefisien serapan 𝛼 pada
dye buah gowok.
33
[5] Krane Keneth S, 1992. Fisika Modern. John Wiley and Sons.
[6] Kumara M, Prajitno G, 2012.Studi Awal Fabrikasi Dye Sensitized Solar Cell (DSSC)
Dengan Menggunakan Ekstraksi Daun Bayam (Amaranthus Hybridus) Sebagai Dye
Sensitizer Dengan Variasi Jarak Sumber Cahaya Pada DSSC. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
[7] Olea, Georgiana P, P J Sebastian, 1999. Electron Transfer via Organic Dyes for
SolarConversion. Solar Energy Materials and Solar Cells.
[8] Puspita, Nurisma, 2012. Studi Awal Pembuatan Prototype Dye Sensitizer Solar Cell
(DSSC)Menggunakan ekstraksi Rosella (Hibiscus Sabdariffa) Sebagai Dye Sensitizer
Dengan variabel Luas permukaan lapisan TiO2. ITS Surabaya.
[9] Robert D.G, 1989. Modern Optics. John Wiley and Sons, Duke University.
[10] Smestad, Greg P, 1998. Education and Solar Conversion : Demonstrating Electron
Transfer. Solar Energy Materials and Solar Cells.
34
PENDUGAAN SEBARAN LAPISAN AKUIFER AIR TANAH
MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISITIVITAS
KONFIGURASI WENNER ALFA SECARA LATERAL DI
KAMPUNG WISITEN ARSOPURA, DISTRIK SKANTO,
KABUPATEN KEEROM
Steven Y.Y. Mantiri1, Yusuf Bungkang2, dan Eka Rismartha S.3
Program Studi Geofisika, FMIPA UNCEN Jayapura1, 2, 3
email : [email protected]
email : [email protected]
email : [email protected]
Abstrak.Penelitian tentang pendugaan letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer
menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner alfa secara lateral dilakukan di
Kampung Wisiton Arsopura Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Kajian ini dilakukan untuk
menduga letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer yang mengandung air tanah bawah
permukaan tanah. Metode geolistrik merupakan metode terbaik dalam penelitian air tanah dengan
melaksanakan pengukuran berdasarkan sifat-sifat listrik yaitu resisitivitas dari batuan di lapangan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei lapanganmenggunakan alat geolistrik
resistivitymeter IRES T300f. Pengukuran ini memberikan nilai tegangan dan kuat arus listrik.
Model survei dilakukan secara lateral. Resistivitas semu dihitung berdasarkan tegangan dan kuat
arus listrik yang terukur di lapangan. Resistivitas sebenarnya dan pola sebaran lapisan diberikan
pada analisis oleh perangkat lunak RES2DINV ver 3.4.
Pengukuran geolistrik dilakukan pada 3 lintasan dengan spasi dasar elektroda adalah 20 m untuk
lintasan I dan II yang memiliki bentangan yang sama masing-masing 600 m dan spasi dasar 10
meter untuk lintasan III yang memiliki bentangan 300 m. Rata-rata lapisan akuifer bernilai ≤ 7,74
Ωm dengan litologi lanau pasiran bercampur sedikit kerikil kecil. Lapisan akuifer pada lintasan I
tersebar memanjang di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 0 – 600 m dari titik lateral
(titik 0) dengan kedalaman 20 – 117 m dari permukaan tanah. Lapisan akuifer pada lintasan II
tersebar pada 2 anomali tertutup yaitu pada jarak 190 – 290 m dari titik lateral (titik 0 ) dengan
kedalaman 20 – 45 m dari permukaan tanah dan pada jarak 360 – 500 m dari titik lateral (titik 0)
dan kedalaman 30 – 90 m dari permukaan tanah. Lapisan akuifer pada lintasan III tersebar di
sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 50 – 300 m dari titik lateral (titik 0) dengan
kedalaman rata-rata 20 m sampai lebih dari 60 m ke bawah.
Kata kunci : akuifer, metode geolistrik, resistivitas, Wenner alfa, lateral, Wisiten Arsopura
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk kehidupan sehari-hari. Air
dapat diperoleh dari berbagai sumber air, salah satunya adalah air tanah. Air tanah merupakan air
yang tersimpan di bawah permukaan tanah. Keberadaan air tanah di alam sangat tergantung dari
ada tidaknya batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang bearti atau
dalam hal ini disebut sebagai akuifer. Akuifer merupakan suatu batuan/formasi batuan yang
mempunyai kemampuan menyimpan dan mengalirkan air tanah dengan jumlah yang berarti.
Secara alami tidak semua batuan dapat bertindak sebagai akuifer, mengingat akan sangat
bergantung pada ruang antar butiran (pori) dan permeabilitasnya.
35
Pada zaman modern ini, survei untuk mendeteksi keberadaan lapisan akuifer dapat dilakukan
dengan menggunakan metode-metode geofisika. Beberapa metode penyelidikan permukaan tanah
untuk untuk mendeteksi lapisan akuifer yaitu: metode gravitasi, metode magnetik, metode
seismik, dan metode geolistrik. Metode geolistrik merupakan salah satu cara dalam penelitian air
tanah dengan melaksanakan pengukuran berdasarkan sifat-sifat listrik yaitu sifat tahanan jenis
dari batuan di lapangan. Keunggulan metode ini adalah dapat digunakan untuk mengadakan
ekspolarasi dangkal yang tidak bersifat merusak dalam pendeteksiannya (Kirsch, 2009)[5].
Survei akuifer dengan metode geolistrik merupakan survei geofisika yang bersifat survei aktif
namun ramah lingkungan. Di Indonesia, survei geolistrik merupakan metode survei yang terbaik
untuk eksplorasi air tanah. Budiman, dkk. (2013)[1] melakukan penelitian pendugaan potensi air
tanah dengan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger di Jorong Tampus
Kanagarian, Ujung Gading, Kecamatan Lembah Malintang, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera
Barat. Darsono (2016)[2] melakukan pengkajian tentang identifikasi akuifer dangkal dan akuifer
dalam dengan metode geolistrik konfigurasi Schlumberger secara vertikal dan lateral di
Kecamatan Masaran. Iswahyudi, dkk. (2017)[4] melakukan pengukuran geolistrik tahanan jenis
untuk menentukan letak akuifer air bawah tanah di Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa
Utara, Sulawesi Utara.
Kampung Wisiten Arsopura terletak di Distrik Skanto Kabupaten Keerom. Kampung ini awalnya
adalah sebuah lahan yang luasnya 1000 m × 900 m, dimana lahan tersebut digunakan oleh
sebagian penduduk sebagai ladang untuk menanam kebutuhan pangan seperti cabai, jagung, tebu,
serai, dan lain-lain. Kampung ini merupakan salah satu perkampungan baru yang akan dilakukan
pembangunan rumah-rumah penduduk. Kajian ini dilakukan untuk menduga letak, kedalaman
dan pola sebaran lapisan akuifer yang mengandung air tanah bawah permukaan tanah. Perkiraan
ini dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi pemerintah dan masyarakat Kampung Wisiton
Arsopura Distrik Skanto, Kabupaten Keerom tentang letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan
akuifer.
1.2 Tinjauan Pustaka
(1) Air tanah
Air tanah adalah air yang mengisi celah-celah atau ruang pori-pori tanah dan batuan yang berada
dibawah tanah.Air tanah berasal dari bermacam sumber.Air tanah yang berasal dari peresapan air
permukaan disebut air meteorik (meteoric water). Selain berasal dari air permukaan, air tanah
dapat juga berasal dari air yang terjebak pada waktu pembentukan batuan sedimen. Air tanah
ditemukan pada formasi geologi permeabel (tembus air) yang dikenal sebagai akuifer (juga
disebut reservoir air tanah, formasi pengikat air). Akuifer merupakan formasi pengikat air yang
memungkinkan jumlah air yang cukup besar untuk bergerak melaluinya pada kondisi lapangan
yang biasa. Menurut Krussman dan Ridder (1970)[6], jenis-jenis akuifer terdiri atas: akuifer bebas
(unconfined aquifer), akuifer tertekan (confined aquifer), akuifer semi tertekan (semi confined
aquifer), dan akuifer semi bebas (semi unconfined aquifer). Akuifer bebas (unconfined aquifer)
adalah lapisan lolos air yang hanya sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air.
Akuifer tertekan (confined aquifer) adalah akuifer yang seluruh jumlahnya air yang dibatasi oleh
lapisan kedap air, baik yang di atas maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar
dari pada tekanan atmosfer. Akuifer semi tertekan (semi confined aquifer) adalah akuifer yang
seluruhnya jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dan di bagian
bawahnya merupakan lapisan kedap air. Akuifer semi bebas (semi unconfined aquifer) adalah
akuifer yang bagian bawahnya yang merupakan lapisan kedap air, sedangkan bagian atasnya
merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan
adanya gerakan air.
(2) Metode Geolistrik
Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik
dalam bumi dan bagaimana cara mendeteksinya di permukaan bumi. Dalam hal ini meliputi
pengukuran arus dan medan elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah maupun akibat
36
injeksi arus kedalaman bumi. Oleh karena itu metode geolistrik mempunyai banyak macam,
termasuk di dalamnya yaitu: Potensial diri (self potential), Arus tellurik, Magnetotelluric,
Elekromagnetik, Polarisasi terinduksi (Induced Polarization, IP), Resistivitas (tahanan jenis)
(Hendrajaya dan Arif, 1988)[3].
Metode resisitivitas merupakan metode geolistrik yang mempelajari sifat resisitivitas (tahanan
jenis) listrik dari lapisan batuan di dalam bumi. Resistivitas atau tahanan jenis batuan adalah
besaran atau parameter yang menunjukkan tingkat hambatannya terhadap arus listrik dari suatu
batuan. Batuan yang memiliki resistivitas makin besar, menunjukkan bahwa batuan tersebut sulit
untuk dialiri oleh arus listrik. Menurut Hendrajaya dan Arif (1988)[3], berdasarkan tujuan
penyelidikan, metode geolistrik tahanan jenis dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu:
Metode resistivitas lateral (mapping) dan Metode reisistivitas vertikal (sounding/drilling).
Metode resistivitas leteral (mapping) merupakan metode resisitivitas yang bertujuan untuk
mempelajari variasi tahanan jenis lapisan bawah permukaan secara horizontal. Oleh karena itu,
pada metode ini dipergunakan konfigurasi elektroda yang sama untuk semua titik pengamatan di
permukaan bumi. Hasil analisis metode memberikan kontur isoresistivitas. Metode resistivitas
vertikal (sounding) merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari variasi
resistivitas batuan di bawah permukaan secara vertikal. Pada metode ini, pengukuran pada suatu
titik vertikal dilakukan dengan jalan mengubah-ubah jarak elektroda. Pengubahan jarak elektroda
ini dilakukan secara teratur mulai dari jarak elektroda kecil kemudian membesar secara gradual.
Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi.
(3) Konfigurasi Elektroda
Pengukuran metode geolistrik resisitivitas secara umum menggunakan 4 (empat) buah elektroda
yang terdiri atas 2 (dua) buah elektroda untuk arus listrik dan 2 (dua) buah elektroda untuk
potensial listrik. Pada metode gelistrik resisitivitas, arus listrik dialirkan/diinjeksikan ke dalam
bumi melalui dua elektroda arus. Besarnya potensial yang disebabkan karena arus listrik yang
diinjeksikan diukur di permukaan bumi melalui dua elektroda potensial. Besarnya beda potensial
di antara kedua elektroda potensial tersebut selain tergantung pada besarnya arus yang dialirkan
ke dalam bumi, juga tergantung pada letak kedua elektroda potensial terhadap letak kedua
elektroda arus yang dipakai. Dalam hal ini tercakup juga pengaruh keadaan batuan yang dilewati
arus listrik tersebut. Aturan-aturan penempatan keempat elektroda (2 buah elektroda arus dan 2
buah elektroda potensial) disebut konfigurasi elektroda. Terdapat berbagai macam bentuk
konfigurasi elektroda yaitu: Wenner (Wenner alfa, Wenner beta dan Wenner gamma),
Schlumberger, Wenner-Schlumberger, Bipole-dipole, Pole-dipole, Reverse pole-dipole, dan
Pole-pole. Masing-masing konfigurasi elektroda di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengukuran, harus diketahui dengan jelas tujuannya sehingga
dapat dipilih jenis konfigurasi yang terbaik.
(4) Faktor Geometri, Resistivitas Semu dan Resisitivitas Sebenarnya
Letak dua elektroda potensial terhadap letak kedua elektroda arus mempengaruhi besarnya beda
potensial di antara kedua elektroda potensial tersebut. Besaran koreksi letak kedua elektroda
potensial terhadap letak kedua elektroda arus disebut faktor geometri (geometrical factor). Secara
umum skema konfigurasi elektroda pada survei geolistrik ditunjukkan pada gambar 1. Secara
umum resistivitas batuan dinyatakan dengan persamaan
=
Vk
I (1)
dimana k adalah faktor geometri yang berkaitan dengan geometri elektroda. Setiap konfigurasi
elektroda memiliki nilai faktor geometri yang berbeda-beda. Dengan mengukur ΔV dan I dan
mengetahui konfigurasi elektroda, maka resistivitas ρ dapat ditentukan. Pada tanah homogen
isotropik, nilai resistivitas ini akan konstan untuk setiap arus dan pengaturan elektroda.
37
Gambar 1. Skema susunan elektroda
Jika tanah tidak homogen dan jarak elektroda bervariasi atau jarak tetap ditetapkan sementara
seluruh rangkaian dipindahkan, maka rasionya akan berubah secara umum. Hal ini menghasilkan
nilai ρyang berbeda untuk setiap pengukuran. Besarnya secara tidak langsung berhubungan
dengan susunan elektroda. Kuantitas yang diukur ini dikenal sebagai resistivitas semu (apparent
resistivity), 𝜌𝑎. Meskipun resistivitas ini merupakan diagnostik dari resistivitas sebenarnya
(actual resistivity) suatu zona di sekitar rangkaian elektroda, namun resisitivitas semu bukanlah
nilai rata-rata dan hanya pada kasus bumi homogen sama dengan resisitivitas sebenarnya. Istilah
lain yang sering ditemukan dalam literatur adalah apa yang disebut resistivitas permukaan
(surface resisitivity). Resisistivitas ini adalah nilai 𝜌𝑎yang diperoleh dengan jarak elektroda kecil.
Tentunyan resisitivitas ini sama dengan resisitivity sebenarnya hanya jika tanahnya seragam di
atas volume kira-kira dari dimensi elektroda secara terpisah.
(5) Konfigurasi Wenner
Aturan elektroda Wenner pertama kali diperkenalkan oleh Wenner pada tahun 1915. Aturan ini
banyak berkembang di Amerika. Konfigurasi Wenner cenderung diterapkan hanya pada daerah
yang permukaanya relatif datar. Jika konfigurasi ini diterapkan untuk kasus permukaan bumi yang
miring maka perlu adanya koreksi yang diberlakukan. Susunan elektroda arus dan elektroda
potensial konfigurasi Wenner ditunjukkan pada gambar 2. Pada konfigurasi ini, elektroda-
elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan secara simetris terhadap titik tengah (titik
pengukuran/datum). Jarak antara elektroda arus adalah 3 (tiga) kali jarak antara elektroda
potensial (Telford, et al., 1990)[7]. Keempat elektroda dengan titik amat/tengah (titik
pengukuran/datum) harus membentuk satu garis. Konfigurasi Wenner paling cocok untuk
penyelidikan dangkal dan relatif datar. Konfigurasi Wenner memiliki kedalaman semu sebesar 15
dari bentangan terluar AB. Faktor geometri untuk konfigurasi Wenner adalah
2=k a (2)
dimana a adalah jarak antar elektroda. Kolaborasi persamaan (1) dan (2) memberikan resistivitas
semu untuk konfigurasi Wenner adalah
2
=a
Va
I (3)
38
Gambar 2. Susunan elektroda konfigurasi Wenner
Tabel 1. Resistivitas mineral (Telford, et al., 1990)[7]
No. Mineral Formula
Resistivitas (Ωm)
Kisaran Rata-rata
1 Bismutinit Bi2S3 18 – 570
2 Covellite CuS 3 × 10-7 – 8 × 10-5 2 × 10-5
3 Kalkosit Cu2S 3 × 10-5 – 0,6 10-4
4 Kalkopirit CuFeS2 1,2 × 10-5 – 0,3 4 × 10-3
5 Bornit Cu5FeS4 2,5 × 10-5 – 0,5 3 × 10-3
6 Pirit FeS2 2,9 × 10-5 – 1,5 3 × 10-1
7 Pirotit FenSm 6,5 × 10-6 – 5 × 10-2 10-4
8 Cinabar HgS 2 × 107
9 Molibdenit MoS2 10-3 – 106 10
10 Galena PbS 3 × 10-5 – 3 × 102 2 × 10-3
11 Milerit NiS 3 × 10-7
12 Stanit Cu2FeSnS2 10-3 – 6 × 103
13 Stibnit Sb2S3 105 – 1012 5 × 106
14 Spalerit ZnS 1,5 × 107 102
15 Kobaltit CoAsS 3,5 × 10-4 – 10-1
16 Arsenopirit FeAsS 2 × 10-5 – 15 10-3
17 Nikolit NiAs 10-7 – 2 × 10-3 2 × 10-5
18 Bauksit Al2O3.nH2O 2 × 102 – 6 × 103
19 Kuprit Cu2O 10-3 – 300 30
20 Kromit FeCr2O4 1 – 106
21 Spekularit Fe2O3 6 × 10-3
22 Hematit Fe2O3 3,5 × 10-3 – 107
23 Limonit 2Fe2O3.3H2O 103 – 107
24 Magnetit Fe3O4 5 × 10-5 – 5,7 × 103
25 Ilmenit FeTiO3 10-3 – 50
26 Wolframit Fe.Mn.WO4 10 – 105
27 Pirolusit MnO2 5 × 10-3 – 10
39
28 Kuarsa SiO2 4 × 1010 – 2 × 1014
29 Kasiterit SnO2 4 × 10-4 – 104 0,2
30 Rutil TiO2 30 – 1000 500
31 Uraninit (pitchblende) UO2 1 – 200
32 Anhidrit CaSO4 109
33 Kalsit CaCO3 2 × 1012
34 Fluorit CaF2 8 × 1013
35 Siderit Fe2(CO3)3 70
36 Garam batu NaCl 30 – 1013
37 Silvit KCl 1011 – 1012
38 Intan (berlian) C 10 – 1014
39 Serpentin 2 × 102 – 3 × 103
40 Hornblende 2 × 102 – 106
41 Mika 9 × 102 – 1014
42 Biotit 2 × 102 – 106
43 Bitum, batubara 0,6 – 103
44 Antrasit 10-3 – 2 × 105
45 Lignit 9 – 200
46 Lempung api 30
47 Air meteorik 30 – 103
48 Air permukaan (batuan beku) 0,1 - 3 × 103
49 Air permukaan (sedimen) 10 – 100
50 Air tanah 100
51 Air alami (batuan beku) 0,5 – 150
52 Air alami (sedimen) 1 - 100 3
53 Air laut 0,2
54 Air garam, 3% 0,15
55 Air garam, 20% 0,05
(6) Resisitivitas Batuan
Dari semua sifat fisika batuan dan mineral, resistivitas listrik menunjukkan variasi terbesar.
Sebaliknya interval pada densitas, kecepatan gelombang elastik, dan kandungan radioaktif adalah
cukup kecil. Konduktor biasanya didefinisikan sebagai material dengan resistivitas lebih kecil
dari 10-5 Ωm, sedangkan isolator memiliki resistivitas lebih besar dari 107 Ωm. Di antara batas-
batas ini terdapat semikonduktor. Logam dan grafit adalah konduktor; yang mengandung
40
sejumlah besar elektron bebas yang mobilitasnya sangat besar. Semikonduktor juga membawa
muatan oleh gerakan elektron tetapi memiliki lebih sedikit. Isolator terkarakterisasi oleh ikatan
ionik sehingga elektron-elektron valensi tidak bebas bergerak (Telford, et al., 1990)[7]. Pada
klasifikasi bebas, batuan dan mineral dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: Konduktor baik
yaitu mineral dengan nilai resistivitas 10-8 sampai sekitar 1 Ωm, Konduktor menengah yaitu
mineral dan batuan dengan resistivitas 1 sampai 107 Ωm, dan Konduktor buruk dengan resistivitas
di atas 107 Ωm. Variasi resistivitas dari mineral tertentu ditunjukkan pada tabel 1.
2. METODE
Penelitian ini dilakukan di Kampung Wisiten Arso IV, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei lapangan dengan melakukan pengukuran
langsung menggunakan alat geolistrik resistivitymeter IRES T300f. Pengukuran dengan alat ini
memberikan nilai tegangan dan kuat arus listrik. Model survei menggunakan metode lateral.
Resistivitas semu dihitung berdasarkan tegangan dan kuat arus listrik yang terukur di lapangan.
Resistivitas sebenarnya dan pola sebaran lapisan diberikan pada analisis oleh perangkat lunak
RES2DINV versi 3.4. Pengukuran dilakukan pada 3 lintasan seperti ditunjukkan pada gambar 3.
Lintasan I memiliki panjang 600 m dengan koordinat titik C1 pada 02047’51.76” LS dan
140033’41.63” BT, dan titik C2 pada 02047’49.03” LS dan 140033’22.45” BT. Pengukuran di
lintasan I berada pada azimuth 285o. Lintasan II memiliki panjang 600 m dengan koordinat C1
pada 02047’49.73” LS dan 140033’31.19” BT, dan titik C2 pada 02047’33.75” LS dan
140033’33.42” BT. Pengukuran di lintasan II berada pada azimuth 352o. Lintasan III memiliki
panjang 300 m dengan koordinat C1 pada 02047’44.07” LS dan 140033’38.70” BT, dan titik C2
pada 02047’42.87” LS dan 140033’29.54” BT. Pengukuran lintasan III berada pada azimuth 285o.
Gambar 3. Lokasi penelitian geolistrik
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendugaan letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer dilakukan dengan metode geolistrik
resistivitas di Kampung Wisiten Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Kampung ini
bertopografi datar sehingga sangat cocok menggunakan konfigurasi Wenner alfa secara lateral
(horizontal). Pengukuran dilakukan dengan spasi dasar elektroda adalah 20 m untuk lintasan I dan
II yang memiliki bentangan yang sama masing-masing 600 m dan spasi dasar 10 meter untuk
lintasan III yang memiliki bentangan 300 m.
41
Sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada lintasan I ditunjukkan pada gambar 4. Pengolahan data
memberikan interval resistivitas sebenarnya 4,615 – 24,5 Ωm dengan kesalahan perhitungan
cukup kecil 6,0%. Pada tampilan ini menunjukkan bahwa lapisan akuifer terduga pada rentang
nilai resistivitas ≤ 7,68 Ωm berlitologi lanau pasiran dengan sedikit kerikil kecil. Lapisan ini
tersebar di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 0 – 600 m dari titik lateral (titik 0)
dengan kedalaman 20 – 117 m dari permukaan tanah, hal ini berarti ketebalan lapisan akuifer
sekitar 97 m. Hal ini menunjukkan ketersediaan air tanah bawah permukaan cukup banyak pada
arah lintasan ini.
Gambar 4. Profil lapisan lateral pada lintasan I
Sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada lintasan II ditunjukkan pada gambar 5. Pengolahan data
memberikan interval resistivitas sebenarnya 4,14 – 21,6 Ωm dengan kesalahan perhitungan cukup
kecil 8,6%. Pada tampilan ini menunjukkan bahwa lapisan akuifer terduga pada rentang nilai
resistivitas ≤ 7,6 Ωm berlitologi lanau pasiran dengan sedikit kerikil kecil. Lapisan ini tersebar
pada 2 anomali tertutup di tempat yang berbeda. Tempat pertama pada jarak 190 – 290 m dari
titik lateral (titik 0 ) dan kedalaman 20 – 45 m dari permukaan tanah. Tempat kedua pada jarak
360 – 500 m dari titik lateral (titik 0) dan kedalaman 30 – 90 m dari permukaan tanah. Hal ini
menunjukkan ketersediaan air tanah bawah permukaan pada arah lintasan ini sangat sedikit.
Gambar 5. Profil lapisan lateral pada lintasan II
Sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada lintasan III ditunjukkan pada gambar 6. Pengolahan
data memberikan interval resistivitas sebenarnya 6,613 – 17,5 Ωm dengan kesalahan perhitungan
kecil 4,3%. Pada tampilan ini menunjukkan bahwa lapisan akuifer terduga pada rentang nilai
resistivitas ≤ 7,94 Ωm berlitologi lanau pasiran dengan sedikit kerikil kecil. Lapisan ini tersebar
di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 50 – 300 m dari titik lateral (titik 0) dengan
kedalaman rata-rata 20 m sampai lebih dari 60 m ke bawah, hal ini berarti ketebalan lapisan
akuifer sekitar lebih dari 40 m ke bawah. Hal ini menunjukkan ketersediaan air tanah bawah
permukaan cukup banyak pada arah lintasan ini.
Gambar 6. Profil lapisan lateral pada lintasan III
42
Analisis hasil perhitungan memberikan pola sebaran lapisan akuifer pada lintasan I dan III sama
yaitu memanjang searah lintasan sedangkan pada lintasan II berbentuk anomali tertutup yang
terdiri dari 2 anomali. Secara keseluruhan interval resistivitas sebenarnya yang terevaluasi untuk
lapisan akuifer pada kisaran rata-rata ≤ 7,74 Ωm dengan lapisan pelindung sekitar 7,74 – 24,5
Ωm. Interval nilai untuk lapisan pelindung menunjukkan litologi tanah lanau dengan sedimen
halus tergolong batuan sedimen dengan persentase kandungan lempung dan pasir tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa air tanah pada lapisan akuifer yang terduga diperkirakan keruh atau kabur
karena masih dipengaruhi kuat oleh jenis tanah di sekitar lapisan atau lapisan pelindung.
4. KESIMPULAN
Penelitian tentang pendugaan letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer air tanah bawah
permukaan tanah menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner alfa secara
lateral dilakukan di Kampung Wisiton Arso IV Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Rata-rata
lapisan akuifer bernilai ≤ 7,74 Ωm dengan litologi lanau pasiran bercampur sedikit kerikil kecil.
Lapisan akuifer pada lintasan I tersebar memanjang di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari
jarak 0 – 600 m dari titik lateral (titik 0) dengan kedalaman 20 – 117 m dari permukaan tanah.
Lapisan akuifer pada lintasan II tersebar pada 2 anomali tertutup yaitu pada jarak 190 – 290 m
dari titik lateral (titik 0 ) dengan kedalaman 20 – 45 m dari permukaan tanah dan pada jarak 360
– 500 m dari titik lateral (titik 0) dan kedalaman 30 – 90 m dari permukaan tanah. Lapisan akuifer
pada lintasan III tersebar di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 50 – 300 m dari titik
lateral (titik 0) dengan kedalaman rata-rata 20 m sampai lebih dari 60 m ke bawah.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Budiman, A., Delhasni, dan Widjojo, S.A.H.S., (2013). Pendugaan Potensi Air Tanah
dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis, Konfigurasi Schlumberger (Jorong Tampus
Kanagarian Ujung Gading, Kecamatan Lembah Malintang, Kabupaten Pasaman Barat,
Sumatera Barat), Jurnal Ilmu Fisika (JIF), Vol. 5, No. 2, 72 – 78.
[2] Darsono, (2016). Identifikasi Akuifer Dangkal dan Akuifer Dalam dengan Metode Geolistrik
(Kasus: Di Kecamatan Masaran), Indonesian Journal of Applied Physics, April 2016, 40 –
49.
[3] Hendrajaya, L. dan Arif, I., (1988). Geolistrik Tahanan Jenis, Laboratorium Fisika Bumi,
Jurusan Fisika, ITB Bandung.
[4] Iswahyudi, A., Prabawa, S.E., Warnana, D.D., dan Rochman, J.P.G.N., 2017. Pengukuran
Geolistrik Tahanan Jenis untuk Menentukan Letak Aquifer Air Bawah Tanah (Studi Kasus:
Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara), Prosiding Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Prasarana Wilayah X (ATPW), Surabaya, 05 Agustus 2017.
[5] Kirsch, R., 2009. Groundwater Geophysics; A Tool for Hydrogeology, Second Edition,
Springer, Verlag-Berlin.
[6] Krussman, G.P. and Ridder, N.A. 1970. Analysis and Evaluation of Pumping Test Data,
International Institute for Land Reclamation and Improvement,Wageningen.
[7] Telford, W.M., Geldart, L.P., and Sheriff, R.E. 1990. Applied Geophysics Second Edition,
Cambridge University Press, Cambridge.
43
NILAI EKONOMI MANFAAT LANGSUNG EKOSISTEM PADANG
LAMUN TELUK YOUTEFA BAGI MASYARAKAT KAMPUNG
TOBATI DAN ENGGROS
Basa T. Rumahorbo1, Henderina J. Keiluhu2 dan Baigo Hamuna3
Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura, Papua1,2
Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, FMIPA Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura,Papua3
email : [email protected]
email : [email protected]
email : [email protected]
Abstrak.Kawasan padang lamun di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa sangat berperan penting
dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitar Teluk Youtefa. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui seberapa besar manfaat langsung ekonomi padang lamun di kawasan Taman
Wisata Alam Teluk Youtefa. Pengumpulan data dilakukan pada bulan maret sampai April 2018
yang berlokasi di dua kampung adat sekitar Teluk Youtefa, yaitu Kampung Tobati (46 responden)
dan Kampung Enggros (82 responden). Metode pengambilan data pada penelitian ini adalah
contingent valuation method dengan menggunakan kuisioner dan pendugaan nilai manfaat
ekonomi menggunakan metode market price (harga pasar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai total manfaat langsung padang lamun sebesar Rp. 6,676,666,666.67/tahun. Nilai total
tersebut mencakup nilai manfaat padang lamun sebagai penyedia sumberdaya ikan sebesar Rp.
4,467,600,000.00/tahun, sebagai penyedia sumberdaya kepiting sebesar Rp.
882,666,666.67/tahun dan sebagai penyedia sumberdaya kerang sebesar Rp.
1,326,400,000.00/tahun. Berdasarkan hasil tersebut, masyarakat Kampung Tobati dan Enggros
memperoleh manfaat langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp. 52,161,458.33/rumah
tangga/tahun atau sebesar Rp. 4,346,788.19/rumah tangga/bulan. Tingginya nilai manfaat
langsung ekosistem padang lamun di kawasan Teluk Youtefa tersebut, maka diperlukan upaya
konservasi untuk kelestarian ekosistem padang lamun sehingga meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal di sekitarnya.
Kata kunci : contingent valuation method, market price, manfaat langsung, ekosistem lamun,
Teluk Youtefa
1. PENDAHULUAN
Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di pesisir yang memiliki produktivitas
yang tinggi. Tingginya produktivitas lamun tidak terlepas dari peranannya sebagai produktivitas
primer di perairan dangkal ekosistem laut (Supriadi et al., 2012; Rangkuti et al., 2017).
Keberadaan lamun yang penting bagi keberlangsungan hidup ikan dan lingkungannya,
mendapatkan ancaman yang cukup serius akibat meningkatnya aktivitas penduduk di wilayah
pesisir seperti pembangunan pelabuhan, konversi lahan menjadi kawasan industri dan pemanfatan
areal ekosistem pesisir termasuk lamun yang bersifat destruktif (Dahuri et al., 2001).
Secara ekologis, ekosistem padang lamun memiliki fungsi sebagai pendukung keberlanjutan
sumberdaya ikan yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery ground), sebagai tempat
44
memijah (spawning ground) dan sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan
(feeding ground). Padang lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar
terhadap kelimpahan dan keragaman ikan (Gillanders, 2006). Secara ekonomi dan sosial,
ekosistem padang lamun juga memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat (Tebaiy dan
Mampioper, 2017; Rangkuti et al., 2017). Nilai ekonomi langsung ekosistem padang lamun
merupakan nilai pilihan yang menunjukkan nilai pelestarian fungsi ekosistempadang lamun dan
pemakaiannya di masa yang akan mendatang (Tebaiy, 2012).
Ekosistem padang lamun di wilayah pesisir Kota Jayapura dominan ditemukan di bagian dalam
Teluk Youtefa. Luas ekosistem padang lamun dalam kawasan Teluk Youtefa diperkirakan sekitar
110.83 ha (Tebaiy et al., 2014b). Beberapa jenis lamun ditemukan di kawasan Teluk Youtefa
antara lain Thallasia hemprichii,Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan Halophila Minor
dengan komposisi jenis termasuk dalam jenis pionir dan klimaks (Tebaiy et al., 2014b). Selain
itu, juga terdapat jenis lamun Thalassodendrom ciliatume, Cymodocea rotundata dan Halodule
pinifolia (UNIPA, 2006). Kawasan lamun di Teluk Youtefa sangat berperan penting bagi
kehidupan masyarakat di sekitar kawasan Teluk Youtefa yang bermata pencaharian sebagian
besar sebagai nelayan dan pencari kerang (bia). Selain itu, ditemukan sebanyak 79 spesies dari
36 famili ikan di Teluk Youtefa yang menjadikan padang lamun sebagai tempat hidupnya
(Tebaiy, 2012; Tebaiy et al., 2014a). Oleh sebab itu, habitat lamun menjadi input bagi
produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat di sekitar Teluk
Youtefa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar nilai ekonomi manfaat langsung
ekosistem padang lamun di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa. Hasil penelitian ini
diharapkan bisa menjadi informasi bagi pemerintah maupun masyarakat dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan untuk pengelolaan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, serta
pemanfaatan yang tepat untuk kawasan padang lamun yang ada di kawasan Taman Wisata Alam
Teluk Youtefa agar dapat memberikan manfaat ekologi dan ekonomi.
2. METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Jayapura.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan maret sampai April 2018 yang berlokasi di dua kampung
yang berada di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa yakni Kampung Tobati dan
Kampung Enggros, dimana kedua kampung tersebut merupakan kampung adat masyarakat asli
Kota Jayapura yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian utama sebagai
nelayan tradisional.
Teknik pengumpulan data dikumpulkan secara langsung dengan wawancara yang berpedoman
pada kuisioner (daftar pertanyaan). Kategori masyarakat yang dijadikan sebagai responden adalah
masyarakat yang menetap di kawasan Teluk Youtefa sebagai pemanfaat ekosistem padang lamun
atau masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dengan mata pencaharian sebagai utama dan
sambilan sebagai nelayan (laki-laki dan perempuan). Total jumlah responden pada penelitian ini
sebanyak 128 responden (Kampung Tobati sebanyak 46 responden, Kampung Enggros sebanyak
82 responden.
Nilai manfaat langsung (direct use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara
langsung dari suatu sumberdaya. Identifikasi manfaat langsung ekosistem padang lamun
45
berdasarkan jenis pemanfaatan saat ini oleh masyarakat adat Kampung Tobati dan Enggros antara
lain manfaat memperoleh ikan, kepiting dan kerang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam
perhitungan nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun antara lain (1) semua rumah tangga
yang terdapat di dua kampung tersebut memanfaatkan ekosistem padang lamun sebagai daerah
penyedia sumberdaya ikan, kepiting dan kerang, (2) jumlah hari produktif rata-rata adalah 5 hari
(aktifitas masyarakat biasanya sekitar 4-6 hari dan tidak ada aktifitas pada hari minggu, dan (3)
biaya produksi hanya mencakup biaya untuk pembelian bahan bakar dan biaya transportasi untuk
menjual hasil produksi di pasar.
Untuk mengestimasi nilai manfaat langsung dari ekosistem padang lamun digunakan pendekatan
market price (Bann, 1998; Malik et al., 2015). Informasi jumlah produksi setiap bentuk manfaat
diperoleh dengan menggunakan contingent valuation method. Adapun formula untuk
memperoleh nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun sebagai berikut:
• Nilai manfaat ikan (NMI)
NMIK = Produksi ikan (kg/tahun) x Harga (Rp/kg) – Biaya Produksi (Rp/tahun)
• Nilai manfaat kerang (NMKr)
NMKr = Produksi kerang (kg/tahun) x Harga (Rp/kg) – Biaya Produksi (Rp/tahun)
• Nilai manfaat kepiting (NMKp)
NMKp = Produksi kepiting (ekor/tahun) x Harga (Rp/ekor) – Biaya Produksi (Rp/tahun)
Nilai total manfaat langsung ekosistem padang lamun dapat diperoleh dengan menggunakan
menjumlahkan semua manfaat langsung ekosistem padang lamun yang telah terkuantifikasi, yaitu
sebagai penyedia sumberdaya ikan, kerang dan kepiting.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.2. Karakteristik Responden
Masyarakat pada dua kampung di Teluk Youtefa, yaitu Kampung Tobati dan Enggros pada
dasarnya merupakan pemilik hak ulayat terhadap pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam
Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Sebagian besar penduduk dua kampung tersebut memiliki mata
pencaharian utama dan sambilan sebagai nelayan.
Karakteristik responden pada penelitian yang dilakukan yaitu jenis kelamin, umur, tingkat
pendidikan, penghasilan per bulan dan pekerjaan (Tabel 1). Sebagian besar responden berjenis
kelamin laki-laki dengan mata pencaharian dominan sebagai nelayan dengan tingkat penghasilan
yang beragam. Adapun tingkat pendidikan responden sebagian besar bersekolah hingga Sekolah
Menengah Atas. Dalam bidang konservasi, beberapa responden merupakan anggota pengelolaan
ekosistem pesisir kawasan Teluk Youtefa dan sekitar 36 responden pernah mengikuti kegiatan
pelatihan atau seminar tentang ekosistem pesisir yang diadakan oleh pemerintah daerah maupun
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Tabel 1. Karakteristik responden
Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
Jenis kelamin Laki-laki 78 60.94
Perempuan 50 39.06
Umur < 20 tahun 4 3.13
21 – 30 tahun 24 18.75
31 – 40 tahun 20 15.63
46
41 – 50 tahun 30 23.44
51 – 60 tahun 26 20.31
> 60 tahun 24 18.75
Tingkat Pendidikan SD 34 26.56
SMP 28 21.88
SMA 48 37.50
Diploma/Sarjana 18 14.06
Penghasilan
(Rp/bulan)
< Rp 1,000,000 37 28.91
Rp 1,000,000 – Rp 2,000,000 63 49.22
Rp 2,000,001 – Rp 3,000,000 22 17.19
Rp 3,000,001 – Rp 4,000,000 4 3.13
> Rp 4,000,000 2 1.56
Pekerjaan Nelayan 60 46.88
Ibu rumah tangga 40 31.25
Pekerja swasta 6 4.69
PNS 22 17.19
3.3. Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Padang Lamun
Nilai ekonomi secara langsung ekosistem padang lamun adalah nilai pilihan yang menunjukkan
nilai pelestarian fungsi ekosistemnya dan pemakaiannya di masa mendatang (Tebaiy, 2012). Pada
dasarnya, nilai manfaat langsung merupakan nilai yang langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat. Manfaat langsung ekosistem padang lamun yang diperoleh masyarakat Kampung
Tobati dan Enggros antara lain sebagai daerah penyedia sumberdaya ikan, kepiting dan kerang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Tebaiy (2016), terdapat berbagai manfaat langsung ekosistem
padang lamun yang telah dirasakan oleh masyarakat antara lain berbagai produk ekonomi seperti
ikan, kepiting, udang, kerang (bia) dan teripang. Berdasarkan hasil wawancara, hampir setiap hari
(kecuali hari minggu) masyarakat di kawasan Teluk Youtefa (Kampung Tobati dan Enggros)
melakukan aktifitas untuk mencari ikan, kepiting dan kerang di kawasan padang lamun.
Berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan, kepiting dan kerang
yang dikalikan dengan jumlah hari produktif dan jumlah responden, sehingga diperoleh total hasil
tangkapan ikan sebanyak 9,320 kg/bulan atau 111,840 kg/tahun, kepiting sebanyak 3,697.78
kepiting/bulan atau 44,373.33 kepiting/tahun, dan kerang sebanyak 5,546.67 kg/bulan atau 66,560
kg/tahun. Rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp. 6,000,000.00/tahun untuk
aktifitas penangkapan ikan dan sebesar Rp. 4,800,000.00/tahun untuk aktifitas mencari kepiting
dan kerang. Sebagian besar hasil tangkapan ikan dan kerang biasanya dijual dalam satuan tumpuk
(bukan per kg), dan berat produk dalam satu tumpuk pun bervariasi. Dari hasil perkiraan kasar,
maka harga jual untuk ikan campur sebesar Rp. 40,000.00/kg, kepiting sebesar Rp.
20,000.00/kepiting, dan kerang sebesar Rp. 20,000.00/kg. Berdasarkan data jumlah produksi,
harga jual produk dan biaya produksi, maka dapat diperoleh nilai manfaat langsung padang lamun
untuk penyedia produk ikan sebesar Rp. 2,790,000,000.00/tahun, manfaat langsung sebagai
penyedia kepiting, sebesar Rp. 882,666,666.67/tahun dan manfaat langsung sebagai penyedia
kerang sebesar Rp. 1,326,000,000.00/tahun.
47
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh manfaat langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp.
6,676,666,666.67/tahun, dimana 66.91% berasal dari manfaat padng lamun sebagai penyedia
sumberdaya ikan, 16.03% sebagai penyedia sumberdaya kepiting dan 19.87% sebagai penyedia
sumberdaya kerang (Tabel 2).Dari nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun tersebut,
dapat dipastikan bahwa kawasan ekosistem padang lamun di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa
sangat bermanfaat secara langsung bagi kehidupan ekonomi masyarakat adat di kawasan Teluk
Youtefa, dimana setiap rumah tangga dapat memperoleh manfaat langsung ekosistem padang
lamun sebesar Rp. 52,161,458.33/tahun atau Rp. 4,346,788.19/bulan. Sama halnya dengan
kawasan mangrove, besarnya manfaat padang lamun tersebut terutama dirasakan bagi perempuan
Papua karena kawasan mangrove dan padang lamun merupakan lumbung makanan dan tempat
berinteraksi sosial dan budaya bagi perempuan Papua pada saat mencari kepiting, kerang dan
udang pada dua kawasan tersebut.
Apabila dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun Teluk Youtefa
pada penelitian Tebaiy (2012), nilai manfaat langsung sebagai penyedia sumberdaya ikan pada
penelitian ini tergolong kecil. Pada penelitian Tebaiy (2012) diperoleh nilai manfaat langsung
sebagai penyedia sumberdaya ikan sebesar Rp. 15,235,539,193.44/tahun. Tingginya nilai yang
diperoleh karena pada penelitian tersebut menggunakan sampel kelompok nelayan yang
menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap jaring sebanyak 375 nelayan. Sedangkan
sampale pada penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan jaring dan alat pancing, kemudian
dilakukan standarisasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini sangat berpengaruh karena jumlah
tangkapan nelayan akan lebih banyak dibandingkan hasil tangkapan nelayan yang menggunakan
alat tangkap pancing. Untuk nilai manfaat langsung sebagai penyedia kerang reltif tinggi, dimana
pada penelitian Tebaiy (2012) diperoleh nilai manfaat langsung kerang-kerangan sekitar Rp.
1,176,879,481.50/tahun yang dilakukan oleh 150 nelayan pengumpul.
Tabel 2. Nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun Teluk Youtefa, Jayapura
Produk Nilai manfaat langsung
Rp/tahun Rp/ha/tahun Rp/rumah tangga/tahun
Ikan 4,467,600,000.00 40,310,385.27 34,903,125.00
Kepiting 882,666,666.67 7,964,149.30 6,895,833.33
Kerang 1,326,000,000.00 11,964,269.60 10,362,500.00
Total 6,676,666,666.67 60,238,804.17 52,161,458.33
4. KESIMPULAN
Manfaat langsung ekosistem padang lamun di Teluk Youtefa sebesar Rp. 6,676,666,666.67/tahun
atau sebesar Rp. 60,238,804.17/ha/tahun. Nilai manfaat langsung tersebut terdiri dari manfaat
padng lamun sebagai penyedia sumberdaya ikan sebesar Rp. 4,467,600,000.00/tahun, sebagai
penyedia sumbedaya kepiting sebesar Rp. 882,666,666.67/tahun dan sebagai penyedia
sumberdaya kerang sebesar Rp. 1,326,000,000.00/tahun.Dari nilai manfaat langsung ekosistem
padang lamun tersebut, dapat dipastikan bahwa kawasan ekosistem padang lamun di Taman
Wisata Alam Teluk Youtefa sangat bermanfaat secara langsung bagi kehidupan ekonomi
masyarakat adat di kawasan Teluk Youtefa, dimana setiap rumah tangga dapat memperoleh
manfaat langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp. 52,161,458.33/tahun atau Rp.
4,346,788.19/bulan.
48
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bann, C. (1998). The Economic Valuation of Mangroves: A Manual for Researchers,
Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA), Singapore.
[2] Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
[3] Gillanders, B.M. (2006). Seagrasses, fish and fisheries. In: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte
M (eds.). Seagrasses: biology, ecology and conservation, Springer, Netherlands.
[4] Malik, A., Fensholt, R., Mertz, O. (2015). Economic valuation of mangroves for comparison
with commercial aquaculture in South Sulawesi, Indonesia, Forests 2015; 6; 3028-3044.
[5] Rangkuti, A., Cordova, M.M.R., Rahmawati, A., Yulma, Adimu, E.H. (2017). Ekosistem
Pesisir dan Laut Indonesia, PT Bumi Aksara, Jakarta.
[6] Supriadi, Kaswadji, R.F., Bengen, D.G., Hutomo, M. (2012). Produktivitas Komunitas
Lamun di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Jurnal Akuatika 3; 2; 159-168.
[7] Tebaiy, S. (2012). Kontribusi Ekonomi Sumberdaya Padang Lamun Berdasarkan Fungsinya
Sebagai Habitat Ikan Di Teluk Youtefa Jayapura Papua. Prosiding Seminar Nasional Ikan
ke-8, Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan UNIPA. Papua
Barat. Hal: 143-152.
[8] Tebaiy, S. (2016). Connectivity Pattern of Socio-Ecology System of Youtefa Bay
Community in Utilizing Seagrass Ecosystem, KnE Social Sciences 2016; 44-54.
[9] Tebaiy, S., Mampioper, D.C. (2017). Kajian Potensi Lamun dan Pola Interaksi Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Lamun (Studi Kasus Kampung Kornasoren dan Yenburwo, Numfor,
Papua), Jurnal Pengelolaan Perikanan Tropis 1; 1; 59-69.
[10] Tebaiy, S., Yulianda, F., Fahrudin, A., Muchsin, I. (2014a). Struktur Komunitas Padang
Lamun dan Strategi Pengelolaan di Teluk Youtefa Jayapura Papua, Jurnal Segara 10; 2; 137-
146.
[11] Tebaiy, S., Yulianda, F., Fahrudin, A., Muchsin, I. (2014b). Struktur Komunitas Ikan pada
Habitat Lamun di Teluk Youtefa Jayapura Papua, Jurnal Iktiologi Indonesia 14; 1; 49-65.
[12] Universitas Negeri Papua (UNIPA). (2006). Survei Potensi sumberdaya Teluk Youtefa
Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Kota Jayapura, Unipa Press, Manokwari.
49
STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVEDI KAMPUNG
KUNEF DISTRIK SUPIORI SELATANKABUPATEN SUPIORI
Maklon Warpur
Jurusan Ilmu Perikanan dan Kelautan
FMIPA, Universitas Cenderawasih
email: [email protected]
Abstrak. Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu vegetasi yang tumbuh di
lingkunganestuaria pantai yang dapat ditemukan pada garis pantai tropika dan subtropika yang
memiliki fungsi secara ekologi, biologi, ekonomi dan sosial budaya, namun saat ini
keberadaannya telah mengalami degradasi akibat pemanfaatan yang kurang tepat, dan/atau
mengalami perubahan fungsi. Penelitian tentang struktur vegetasi hutan mangrove di Kampung
Kunef Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori dilakukan pada bulan Maret 2018 dengan tujuan
untuk mengetahui struktur vegetasi hutan mangrove di kampung Kunef. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode transek garis (line transect). Hasil analisis data menunjukkan
bahwa struktur vegetasi hutan mangrove di Kampung Kunef terdiri atas 6 jenis dari 3 famili
dengan komposisi vegetasi antara 3.49%-19.32%, sedangkan nilai keanekaragaman jenis
(H’)termasuk kategori sedang, karena memiliki Nilai H’<3, yaitu berkisar antara 1.09-2.04.
Kata kunci: Vegetasi Hutan mangrove, Masyarakat Kunef
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, baik di darat maupun
di laut khususnya di wilayah pesisir. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut tidak lepas dari
kondisi dan letak geografis perairan Indonesia (Begen 2002; Supriharyono 2002; Dahuri et al,
2001). Salah satu unsur keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan laut adalah ekosistem hutan
mangrove. Hutan mangrove sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam
jenis dari suku yang berbeda, namun memiliki daya adaptasi, morfologi dan fisiologi yang sama
terhadap habitat yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Kustanti, 2011; Arief, 2007).
Hutan bakau atau hutan mangrove memiliki beberapa nilai penting, baik secara ekologis maupun
ekonomis dan sial budaya bagi masyarakat di sekitarnya,
Secara ekologis keberadaan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penyangga bagi
ekosistem di kawasan pesisir lainnya seperti ekosistem pantai, ekosisten padang lamun,
ekosistem terumbu karang. Selain itu berfungsi sebagai habitat bagi berbagai biota air seperti
ikan, udang, kepiting, dan organisme lainnya yaitu sebagai daerah asuhan (nursery ground),
daerah untuk bertelur (spawning ground), dan daerah untuk mencari makan (feeding ground).
Fungsi secara ekonomi adalah hutan mangrove dimanfaatkan sebagai tempat mencari ikan,
udang, kepiting, kerang, kayu bakar, bahan konstruksi rumah dan jembatan, bahan obat-obatan
tradisonal serta kegunaan lainnnya bagi masayarakat di sekitarnya. Sedangkan fungsi secara
budaya adalah sebagai tempat upacara adat. Walaupun memiliki fungsi ganda, namun saat ini
keberadaan hutan mangrove telah mengalami degradasi akibat pemanfaatan yang kurang tepat,
dan/atau mengalami perubahan fungsi. Degradasi ekosistem hutan mangrove diakibatkan oleh
berbagai faktor teutama faktor kebutuhan ekonomi dan kegagalan kebijakan.
Provinsi Papua memiliki ekosistem hutan mangrove terluas di Indonesia yaitu sekitar 1.326.990
ha atau 30% dari luas hutan mangrove yang terdapat di Indonesia (Paramudji 2010 dalam Troce
dkk, 2017) yang tersebar luas teruatama selatan Papua. Kabupaten Supiori menurut BPDAS
50
Mamberamo (2007) memiliki hutan mangrove seluas 3036 ha dengan perincian 1349 ha telah
mengalami rusak berat, 1236 ha rusak, dan 431 ha tidak mengalami kerusakan. Penurunan luas
mangrove juga terjadi di Kabupaten Supriori akibat dari aktivitas manusia, seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup
yang terus bertambah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui struktur
vegetasi hutan mangrove dan pemanfaatannya pada masyarakat Kunef.
2. METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek
garis (Fahrul, 2007) yang diletakkan tegak lurus dengan garis pantai. Pengambilan data vegetasi
mangrove dilakukan pada 3 stasion pengamatan, dan masing-masing stasion dibuat 2 transek
dengan 5 plot tiap transek. Selanjutnya dibuat petak ukuran bertingkat masing-masing 10 m²x10
m² untuk tingkat pohon (∅> 10 cm), 5 m² x 5 m² untuk tingkat pancang ( 4 cm <∅< 10 cm), dan
1m x 1m untuk tingkat semai (∅< 4 cm).
Arah Laut Arah Darat
Arah Kontur
Keterangan :
Petak a : Sub-plot ukuran 10 m x 10 m, untuk pohon
Petak b : Sub-plot ukuran 5 m x 5 m, untuk pancang
Petak c : Sub-plot ukuran 1 m x 1 m, untuk semai
3. ANALISIS DATA
Analisis strukutur vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan menghitung nilai kerapatan,
frekwensi, dominansi, dan indeks nilai penting dengan menggunakan formula analisa vegetasi
menurut Cox (1985); Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalamKustanti, 2011)sebagai
berikut:
Indeks Nilai Penting: dihitung berdasarkan seluruh nilai frekwensi relatif, kerapatan relatif
dan dominansi relatif yang diperoleh sebagai berikut:
Kerapatan
Kerapatan relatif
Frekwensi
Frekwensi Relatif
Dominansi
=
=
=
=
=
Jumlah individu suatu jenis
Luas seluruh plot pengamatan
Kerapatan suatu jenis
x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
Frekwensi suatu jenis
x 100%
Frekwensi seluruh jenis
Luas basal areal
Luas petak contoh
Domonansi suatu jenis
a
b c
a
a
b
b
c
c
51
Dominansi
Relatif
=
x 100%
Dominansi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = Kerapatan relatif + Frekwensi relatif + Dominansi relatif
2. Tingkat keanekaragaman jenis (H´), dihitung dengan menggunakanrumus indeks
keanekaragaman berdasarlan Shannon-Wienner (1949) dalam Fakhrul (2007)
n
H' = -∑ ni/Nlog ni/N
i=1
Dimana : H' = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
ni = Jumlah individu dari suatu jenis i, i= 1,2,3,...
N = Jumlah total individu seluruh jenis
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi dan Strukutr Vegetasi Hutan Mangrove
4.1. Komposisi Vegetasi Hutan mangrove
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penyebaran hutan
mengrove di Kampung Kunef relatif terbatas, mengingat kawasan pesisir yang ada di daerah ini
merupakan pulau-pulau karang dengan substrat berupa pasir berkarang dan pasir berlumpur.
Penyebaran hutan mangrove di Kampung Kunef yang relatif terbatas secara tidak langsung dapat
berpengaruh terhadap jumlah jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai pada lokasi tersebut.
Berdasarkan hasil survey vegetasi yang telah dilakukan di Kampung Kunef telah tercatat
sebanyak 8 jenis tumbuhan mangrove dari 4 famili dengan jumlah individu 1120 yang terdiri atas
vegetasi tingkat pohon, pancang dan semai. Hasil analisi komopsisi vegetasi hutan mangrove di
Kunef menunjukkan bahwa jenis Rhizophora apiculata memiliki jumlah individu terbanyak (216)
dengan komposisi vegetasi 19.32%, sedangkan Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan
jumlah individu dan komposisi vegetasi terkecil, yaitu 39 individu dengan komposisi vegetasi
3.49% (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah Famili dan Jenis Tumbuhan mangrove
Di Kampung Kunef
No Famili Jenis Jumlah
individu
Komposisi
vegetasi
mangrove (%)
1.
2.
3.
Rhizophoraceae
Soneratiaceae
Meliacaee
1. Rhizophora apiculata
2. Rhizophora stylosa
3. Bruguiera gymnorrhissa
4. Bruguiera sexangula
5. Bruguiera cylindrica
6. Sonneratia alba
7. Sonneratia caseolaris
8. Xylocarpus granatum
216
197
183
179
162
78
67
39
19.32
17.62
16.37
16.01
14.22
6.98
5.99
3.49
Junlah 1121 100
4.2. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
a. Kerapatan Jenis
Kerapatan merupakan jumlah suatu individu jenis per unit luas atau per unit volume. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa Jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa dan Bruguiera
gymnorrhissa memiliki penyebaran yang merata dan selalu hadir dalam setiap plot pengamatan
dengan jumlah indivudu yang lebih banyak dari jenis lainnya, sehingga lebih dominan pada lokasi
pengamatan baik pada tingkat pohon, pancang, maupun semai (tabel 2). Menurut Kustanti (2011),
bahwa Rhizophora merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang dominan dalam suatu
52
kawasan hutan mangrove karena mampu beradabtasi dengan baik terhadap lingkungannya jika
dibandingkan dengan jenis lainnya.
Tabel 2. Kerapatan Relatif, Frekwensi Relatif dan Dominansi Relatif
Tingkat Pohon, Pancang dan Semai
Jenis Tingkat Pohon Pancang Semai
KR FR DR KR FR DR KR FR
Rhizophora
apiculata 17,23 18,62 17,37 21,19 19,55 14,93
17,3
7
21,7
4
R.stylosa 14,77 17,24 15,68 20,00 18,05 13,43
15,6
8
19,1
3
Bruguera
gymnoriza 14,15 16,55 15,25 18,10 17,29 14,93
15,2
5
16,5
2
B.cylindrica 13,54 13,79 13,98 14,52 15,79 13,43
13,9
8
15,6
5
B.sexangula 12,92 11,72 11,02 12,86 9,77 11,94
11,0
2 9,57
Sonneratia alba 11,38 10,34 9,75 5,71 6,77 10,45 9,75 6,96
S.caseolaris 10,77 5,52 8,05 4,52 4,51 11,94 8,05 5,22
Xylocarpus granatum 5,23 6,21 8,90 3,10 8,27 8,96 8,90 5,22
100 100 100 100 100 100 100 100
Dari analisis Tabel 2 diketahui bahwa jenis Rhizophora apiculata, memiliki nilai kerapatan relatif
yang tinggi untuk tingkat pohon (17,23%) (21.19%) untuk tingkat pancang dan (17,37%) untuk
tingkat semai. Kemudian diikuti oleh R.stylosa dengan nilai kerapatan relatif (14. 77%) untuk
tingkat pohon, (20.00%) untuk tingkat pancang dan (15.68%) untuk tingkat semai. Selanjutnya
B. Gymnoriza dengan nilai kerapatan relatif (14.15%) untuk tingkat pohon, (18.10%) untuk
tingkat semai dan (15.25%) untuk tingkat semai. Tingginya nilai kerapatan relatif ke 3 jenis
tersebut didukung oleh faktor lingkungan berupa substrat pasir berkarang dan pasir berlumpur
dengan suplai air tawar dari sungai kecil di sekitar lokasi pengamatan. Sedangkan jenis
Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan nilai kerapatan relatif kerkecil baik pada tingkat
pohon, pancang maupun semai, hal ini dikarenakan substrat pada lokasi pengamatan menjadi
faktor penghambat bagi penyebaran dari jenis tersebut. Nilai kerapan vegetasi mangrove di Kunef
baik pada tingkat pohon, pancang dan semai lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai kerapatan
vegetasi mangrove di Kampung Rayori (Warpur, 2012). Berdasarkan hasil analisis struktur
vegetasi yang dikompilsikan dengan hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa
vegetasi hutan mangrove di Kunef telah mengalami gangguan terutama dari aktivitas masyrakat.
Menurut Fachrul (2007) kerapatan dapat digunakan untuk melihat besarnya gangguan terhadap
suatu habitat. jika nilai kerapatan jenis tumbuhan pada suatu habitat rendah/kecil maka pada
habitat tersebut telah mengalami kerusakan, sebaliknya jika nilai kerapatan jenis tumbuhan
tersebut besar/tinggi maka pada habitat tersebut belum mengalami kerusakan.
b. Frekwensi
Frekuensi adalah jumlah kehadiran suatu jenis dalam petak contoh penganatan. Hasil analisis data
dalam tabel 2 di atas menunjukkan bahwa Jenis Nilai frekwensi relatif (FR) R.apiculata untuk
tingkat pohon adalah 18.62%, kemudian 19.55% untuk tingkat pancang serta 21.74% untuk
tingkat semai. Selanjutnya diikuti oleh R.stylosa dengan nilai frekwnsi relatif 17.24% untuk
tingkat pohon, 18.05 untuk tingkat semai serta 19.13% untuk tingkat semai. B.gymnoriza
merupakan jenis yang memiliki nilai frekwensi terbesar ketiga, yaitu 16.55% untuk tingkat pohon,
17.29% untuk tingkat pancang, serta 16.52% untuk tingkat semai.Secara umum nilai frekuensi
53
tumbuhan mangrove di Kampung Kunef dikategorikan ke dalam kategori sangat rendah berkisar
antara 5.22%- 21.74%. Menurut Indriyanto (2006) jika nilai frekwesni berkisar antara 1-20%
dikategorikan ke dalam kelas A yaitu sangat rendah, kemudian jika nilai frekwensi berkisar antara
21-40% dikategorikan ke dalam kelas B yaitu rendah, 41%-60% kelas C yaitu sedang, 61-80 %
kelas D yaitu tinggi, dan 82-100% sangat tinggi.
Tingginya nilai frekwensi relatif dari R.apiculata, R. stylosa dan B.gymnorrhissa karena selalu
hadir dalam setiap plot pengamatan dengan jumlah indivudu yang lebih banyak dari jenis lainnya,
sehingga lebih dominan pada lokasi pengamatan baik pada tingkat pohon, pancang, maupun
semai (tabel 2). Hal ini diperkuat oleh pendapat Kustanti (2011), bahwa Rhizophora merupakan
salah satu jenis tumbuhan mangrove yang dominan dalam suatu kawasan hutan mangrove karena
mampu beradabtasi dengan baik terhadap lingkungannya jika dibandingkan dengan jenis lainnya.
Menurut Abdulhaji (2001) dalam Alik dkk(2012), bahwa sebagian besar hutan mangrove yang
ada di Indonesia didominasi oleh familia Rhizophoracaceae.
c. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks Nilai Penting (lNP) atau Impontant Value Index yang digunakan untuk menggambarkan
kedudukan ekologis suatu jenis dalam suatu komunitas vegetasi atau menunjukkan penguasaan
ruang suatu jenis pada suatu tempat. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis
itu sangat mempengaruhi kestabilan. Hasil analisis indeks nilai penting (INP) menunjukkan
bahwa jenis R. Apiculata memiliki INP tertinggi diantara jenis lainnya yaitu 53.33% untuk tingkat
pohon, kemudian 55.66% untuk tingkat pancang, serta 42.30% untuk tingkat semai. Sedangkan
jenis Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan INP terkecil yaitu 20.34 untuk tingkat pohon,
20.32 untuk tingkat pancang, dan 7.75 untuk tingkat semai. Jika hasil analisis nilai penting
tersebut dikategorikan kedalam kategorisasi INP menurut Fakhrul (2007), maka R.apiculata
berada dalam kategori tinggi, sedangkan X.granatum berada dalam kategori rendah, dimana INP
> 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96 – 42,66 dikategorikan sedang, INP< 21,96 dikategorikan
rendah.
Menurut Begen (2002) Stabilitas dan keberadaan ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh
jenis penyusun ekosistem mangrove tersebut dimana peranan satu jenis mangrove terhadap jenis
lainnya dapat dilihat dari indeks nilai penting. Jika suatu jenis menunjukkan nilai penting yang
tinggi maka peranan jenis tersebut sangat besar terhadap jenis lainnya dalam ekosistem
mangrove. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rhizophora apiculata mempunyai peranan
yang cukup besar terutama dalam hal kontribusi bahan organik terhadap ekosistem mangrove di
Kampung Kunef. Indeks nilai penting jenis mangrove pada tingkat pohon, sapihan, dan semai di
kampung Kunef dapat dilihat pada tabel 4.21 di bawah ini.
Tabel 3. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’) Jenis Pohon Pancang Semai
INP H’ INP H’ INP H’
Rhizophora apiculata 53,22 0,30 55,66 0,30
42,3
0 0,32
R.stylosa 47,69 0,28 51,48 0,28
39,1
3 0,32
Bruguera gymnoriza 45,96 0,28 50,31 0,27
35,1
1 0,31
B.cylindrica 41,31 0,27 43,75 0,21
31,7
1 0,29
B.sexangula 35,66 0,26 34,57 0,24
23,3
7 0,27
Sonneratia alba 31,48 0,25 22,93 0,27
11,7
5 0,14
54
S.caseolaris 24,34 0,24 20,98 0,20 8,88 0,12
Xylocarpus granatum 20,34 0,15 20,32 0,15 7,75 0,09 300 2,04 300,00 2,03 200 1,90
d. Indeks Keanekaragaman
Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi dapat dilihat dari jumlah individu dalam setiap jenis,.
Menurut Barnes et al., (1998) komponen dari keanekaragaman jenis terdiri atas penyebaran dan
kekayaan jenis. Perhitungan H’ (indeks keanekaragaman jenis Shanon Wienner) di lokasi
pengamatan menghasilkan nilai yang berkisar antara 0.15-0.30 untuk vegetasi tingkat pohon,
kemudian 0.15-0.30 untuk vegetasi tingkat pancang dan 0.09- 0.32 untuk tingkat semai (Tabel
3). Jika dilihat perjenis maka nilai H’ untuk semua tingkatan vegetasi adalah rendah karena H<1,
tetapi secara keseluruhan untuk vegetasi tingkat pohon adalah 2.04, kemudian vegetasi tingkat
pancang 2.03, serta semai 1.09 dengan demikian keanekaragaman jenis pada daerah tersebut
tergolong sedang karena menurut klasifikasi Odum (1971) dalam Warpur (2016) nilai ideks
keanekaragaman antara 1 – 3 memiliki nilai keanekaragaman sedang dan indeks keanekaragaman
lebih dari tiga merupakan keanekaragaman yang tinggi.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dijumlai sebanyak 8 jenis tumbuhan
mangrove dari 3 familia dengan jumlah inividu 1121. Komposisi vegetasi mangrove berkisar
antara 3.49%-1932%. Nilai Keanekaragaman jenis di Kampung Kunef termasuk kategori sedang,
karena memiliki Nilai H’<3, yaitu berkisar antara 1.09-2.04.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alik. T.S.D, Umar M.R,. Priosambodo D. 2012. analisis vegetasi mangrove di pesisir pantai
mara’bombang - kabupaten pinrang. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin, Makassar
[2] Arief, A. 2007. Hutan Mangrove: Fungsi dan Manfaat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
[3] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mamberamo. 2007. Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakrta.
[4] Bambang, M. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekologi Bakau. Departemen
Kelautan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai
dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Penerbit Cofish Proyect.
[5] Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
[6] Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan mangrove. Bogor: PT.Penerbit IPB Press.
[7] Noor, Y.R., Khazali, M., Suryadiputra. I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. Wetlands International. Indonesia Program. Bogor.
[8] Supriharyono, 2008. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut
Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[9] Troce Mayor, Herny E.I. Simbala, Roni Koneri 2017 Biodiversitas Mangrove di Pulau
Mansuar Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat (The Biodiversity of Mangrove in the
Mansuar Island Raja Ampat District West Papua Province). Program Studi Biologi, Jurusan
Biologi FMIPA UNSRAT Manado. jurnal bioslogos, vol. 7 nomor 2 agustus 2017,
[10] Warpur M. 2016. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Kampung
Ababiaidi Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori. Jurnal Biodjati 1(1): 19-26.
[11] Warpur M. 2012. Etnoekologi Hutan mangrove pada Masyarakat Supiori Sebagai Landasan
Penyusunan Model Kelembagaan Dalam Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan di
kabupaten Supori. Disertasi. PPS.Unpad. bandung.
55
POTENSI DAN PEMANFAATAN AMPAS SAGU (Metroxylon Sp.)
SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA DI PAPUA
(Potential and Utilization of Sago Waste as Ruminant Feed in Papua)
Usman1 dan Siska Tirajoh2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua1,2
e-mail: [email protected]
Abstrak.Luas lahan sagu di Papua mencapai sekitar 4,7 juta ha, dan baru dimanfaatkan secara
tradisional sekitar 14.000 ha. Sagu merupakan sumber pangan lokal bagi masyarakat asli Papua.
Tulisan ini bertujuan menyajikan data dan informasi terkait potensi dan pemanfaatan ampas sagu
sebagai pakan ternak ruminansia di Papua. Sagu merupakan sumber pangan lokal yang sangat
penting di Papua. Dari hasil ekstraksi sagu, akan dihasilkan ampas sagu sekitar 14% dari total
berat batang sagu. Belum dimanfaatkannya ampas sagu secara optimal akan berdampak terhadap
pencemaran lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ampas sagu memiliki potensi yang
cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan alternatife ternak ruminansia. Namun
mengalami kendala dalam pemanfaatannya adalah kandungan protein kasar (PK) yang rendah
(0,06-3,07%). Akan tetapi melalui teknologi fermentasi, kandungan gizi ampas sagu berupa PK
dapat ditingkatkan sekitar 4,56-15,49%. Pemberian ampas sagu fermentasi pada ternak Sapi Bali
sebesar 50% dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sebesar
0,58 kg/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan tampa fermentasi. Demikian pula pada ternak
kambing, pemberian sampai 20% dapat meningkatkan PBBH sebesar 78,75 g/ekor/hari, lebih
tinggi dibandingkan kontrol (0% ampas sagu). Dapat disimpulkan bahwa AS memilik potensi
yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia di Papua.
Kata kunci : Ampas sagu, pakan, ternak ruminansia.
1. PENDAHULUAN
Luas lahan sagu di Provinsi Papua yang belum dioptimalkan mencapai sekitar 4,7 juta ha. Hal
ini disampaikan oleh Laduani Ladamay (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi
Papua) dalam kegiatan Festival Sagu Papua (http://kompas.id), dan baru dimanfaatkan secara
tradisional sekitar 14.000 ha dengan potensi kisaran 0,33-5,67 pohon/ha (http://bisnisukm.com).
Berdasarkan BPS (2017), bahwa luas areal tanaman sagu mencapai 35.351 ha, dengan produksi
sebesar 28.340 ton. Wilayah penyebaran, tersebar pada beberapa kabupaten yaitu Jayapura
(Sentani), Mimika, Mamberamo, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, dan Sarmi. Tanaman sagu
sebagian besar tumbuh dan berkembang secara tradisional dan hanya sebagian kecil yang
dibudidayakan. Umur panen tanaman sagu sangat tergantung dari jenisnya yaitu sekitar 10-18
tahun, Di Maluku rata-rata jumlah pohon masak tebang adalah 82,12 pohon/ha, dengan produksi
tepung basah antara 100-500 kg/pohon atau 292 kg/pohon, tergantung jenisnya (Alfons, 2006).
Pohon sagu siap panen berkisar antara 15-60 pohon/ha (Tim Sagu Maluku, 1980).
Proses pengolahan tanaman sagu setelah panen dilakukan melalui penghancuran empulur dari
batang untuk memperoleh aci dan dapat dilakukan melalui dua cara adalah menokok dan mekanik
(menggunakan mesin pangkur sagu). Salah satu komponen terbesar dalam tepung sagu adalah
pati (karbohidrat). Di Papua, tepung sagu merupakan sumber pangan lokal dan sering dibuat
menjadi Papeda sebagai makanan tradisional, khususnya dalam acara adat. Selain itu, juga
merupakan bahan baku pembuatan kue dalam industri rumah tangga. Proses pengolahan sagu
menjadi tepung sagu akan dihasilkan produk samping (by product) berupa ampas sagu. Pada
sentra-sentra produksi sagu, limbah ampas sagu pada umumnya belum dimanfaatkan dan
ditumpuk begitu saja yang pada akhirnya akan mencemari lingkungan (Kompianget al, 1995).
56
Ampas sagu yang dihasilkan selama ini, khususnya di Provinsi Papua belum dimanfaatkan secara
optimal. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan belum dimanfaatkannya ampas sagu oleh
petani antara lain, karena petani belum memahami teknologi pengelolaannya, baik sebagai pupuk
organik maupun sebagai pakan alternatif bagi ternak. Ampas sagu memiliki potensi yang cukup
besar dan berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, khususnya pada ternak
ruminansia (Sapi dan Kambing) karena ampas sagu yang tersedia terdiri dari campuran ampas
dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu, 1981), Demikian pula kandungan energi cukup
tinggi (3.860-4.148 kkal/kg), akan tetapi kandungan protein kasarnya sangat rendah (0,06-3,07%)
sehingga menjadi salah satu kendala dalam penggunaannya sebagai pakan ternak. Oleh karena
itu, perlu suatu upaya terhadap peningkatan kualitas ampas sagu melalui teknologi fermentasi
menggunakan bakteri berupa Probion, Aspergillus niger, dan Ragi tape.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan data tentang potensi dan pemanfaatan
ampas sagu sebagai pakan ternak ruminansia di Provinsi Papua.
BAHAN DAN METODE
Ampas sagu adalah hasil dari proses pengolahan sagu menjadi tepung sagu dan belum
dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal, bahkan dibiarkan menumpuk sehingga akan
berdampak terhadap pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatan ampas sagu sebagai
pakan ternak, khususnya pada ternak ruminansia diharapkan dapat menjadi salah satu solusi
dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Ampas sagu memiliki potensi yang cukup besar
untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena ampas sagu terdiri dari campuran ampas dan
sisa pati yang tidak terekstraksi dalam proses pengolahan.
Makalah ini merupakan reviuw dari hasil penelitian tentang pemanfaatan ampas sagu
sebagai pakan ternak. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui hasil pengamatan dilapangan. Sedangkan data sekunder selain diperoleh
dari Badan Pusat Statistik juga diperoleh melalui penelusuran studi pustaka (literature).
Untuk menganalisis potensi ampas sagu yang di hasilkan di Provinsi Papua dalam setiap
tahunnya digunakan asumsi dari perbandingan produksi tepung sagu dan ampas sagu adalah 1:6
(Flach, 1997) dan (Rumalatu, 1981) atau potensi ampas sagu tersedia sekitar 1.320 kg/pohon
Rumalatuh, (1981). Sementara berat panen 1 pohon sagu dapat mencapai 1 ton, kandungan acinya
berkisar 15-30% berat basah (Tirta et al, 2013). Sedangkan kemampuan ampas sagu dalam
memenuhi kebutuhan ternak ruminansia selama 1 tahun dianalisis berdasarkan Thahar dan
Mahyudin (1993) bahwa kebutuhan bahan kering (BK) pakanternak ruminansia dalam satu satuan
ternak (ST) adalah minimal 1,14 ton BK/tahun atau setara 3,1 kg BK/hari, dan Parakkasi (1999),
bahwa konsumsi BK berkisar 3,5 – 4,6 kg/hari atau rata-rata sebesar 4,0 kg/hari. Sedangkan
ternak kambing diasumsikan kebutuhan BK pakan adalah sebesar 3,8% dari bobot hidup (NRC
1981).
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Potensi Ampas Sagu
Ampas sagu merupakan bagian dari limbah tanaman sagu pasca panen, dan dihasilkan dari proses
pengolahan sagu menjadi tepung sagu. Menurut Mc Clatchey et al. (2006), bahwa proses
pengolahan sagu menghasilkan limbah ikutan berupa kulit batang sekitar 17-25% dan ampas sagu
75-83%. Ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai campuran substrat biogas karena banyak
mengandung bahan organik terutama unsur karbon dan pakan ternak bila diolah dengan baik (Lay
& Patrik 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ampas sagu memiliki kandungan bahan
kering 54,03%; GE 3,912 kkal/kg; BO 48,75%; PK 5,02%; NDF 67,78% dan ADF 43,47%
(Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN 2014).
Berdasarkan BPS (2017) menunjukkan bahwa luas areal tanaman sagu di Provinsi Papua
mencapai 35.351 ha, dengan produksi sagu sebesar 28.340 ton/tahun. Dengan demikian, jika
57
perbandingan sagu dengan ampas sagu adalah 1:6, maka akan dihasilkan ampas sagu sebanyak
170.040 ton/tahun atau setara dengan 109.675,8 ton BK/tahun. Menurut Thahar dan Mahyudin
(1993) bahwa kebutuhan pakanternak ruminansia dalam satu satuan ternak (ST) adalah minimal
1,14 ton BK/tahun (3,1 kg BK/hari). Sedangkan menurut Parakkasi (1999), bahwa sapi jantan
dengan bobot badan 135-180 kg/ekorkonsumsi BK berkisar 3,5 – 4,6 kg/hari atau rata-rata sebesar
4,0 kg/hari. Hal ini berarti konsumsi BK sapi dewasa berkisar antara 3,1 – 4,6 kg BK/hari atau
rata-rata sebesar 3,85 kg BK/hari atau 1,41 t/tahun. Oleh karena itu, jika potensi ketersediaan
ampas sagu sebesar 109.675,8 ton BK/tahun dan diberikan diberikan sebagai pakan tunggal akan
mampu memenuhi kebutuhan sebesar 77.784 ekor/tahun.
Pemberian ampas sagu sebagai pakan tunggal sebelum fermentasi pada ternak tidak dianjurkan.
Hal ini disebabkan karena kandungan gizi pada ampas sagu belum mencukupi standar gizi dalam
memenuhi kebutuhan hidup pokok. Agar ternak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal,
maka perlu dilakukan subtitusi dengan bahan baku pakan hijauan lainnya sebagai sumber protein,
seperti daun gamal, lamtoro dan indigofera. Pangsopan et al. (1984)dalam Kasmirah (2012)
menyatakan bahwa ampas sagu dapat dipergunakan sebagai bahan pakan untuk sapi Peranakan
Onggol (PO) sampai tingkat 45% dalam ransum. Sedangkan hasil penelitian Sisriyenni et al.
(2017) bahwa ampas sagu dapat diberikan hingga 50%. Oleh karena itu, jika subtitusi ampas sagu
dalam ransum diberikan sekitar 45 – 50%, maka akan mampu memenuhi kebutuhan pakan sebesar
163.695 ekor/tahun. Menurut Sisriyenni et al. (2017) bahwa produksi limbah sagu sebanyak
2.640 ton/tahun mampu memenuhi kebutuhan 2.411 ekor sapi Bali/tahun.Sedangkan pada ternak
kambing, jika dapat diberikan ampas sagu dalam campuran pakan sebanyak 1-2 kg/ekor/hari
mampu memenuhi kebutuhan pakan pada ternak kambing sebanyak 232.929-465.858 ekor/tahun.
2.2. Kandungan Nutrisi Ampas Sagu
Belum dimanfaatkannya ampas sagu sebagai pakan ternak di Provinsi Papua, disebabkan karena
ampas sagu memiliki kendala dalam femanfaatannya, diantaranya mempunyai kandungan gizi
berupa protein kasar (PK) rendah yaitu sekitar 0,06-3,38%, sementara kandungan serat kasar (SK)
tinggi yaitu sekitar 9,0-20,3% (Tabel 1). Selain itu ampas sagu umumnya tidak disukai ternak
dibandingkan dengan rumput atau hijauan lainnya. Demikian pula teknologi pemanfaatannya
sebagai pakan ternak belum diketahui oleh petani-peternak.
Tabel 1. Kandungan gizi ampas sagu dan hijauan
Bahan pakan Bahan
Kering (%)
Kandungan Gizi (%)
Protein
Kasar
Serat
Kasar
Lemak
Kasar
BETN TDN
Ampas sagu1) 43,32 0,06 9,99 - - -
Ampas sagu2) 86,40 2,1 20,3 1,8 71,3 50,1
Ampas sagu3) - 3,38 12,44 1,01 - -
Ampas sagu4)
Ampas sagu5)
Ampas sagu6)
Hijauan
-
54,03
90,05
26,57
2,23
5,02
3,07
8,25
18,86
-
-
20,00
-
-
2,71
1,23
70,04
67,78
-
59,18
-
43,47
-
51,90
Sumber : 1)Hasil analisa proksimat Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong, 2016. 2)Sangadji, I. 2009. (Hasil analisis Lab. Biologi Hewan PAU, IPB).
3)Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ruminansia, Fakultas Peternakan Universitas Andalas, 2005 4)Hangewa (1992) 5)Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN, 2014 6)Simanihuruk et al. (2013).
58
Hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi yang terdapat pada ampas sagu
sangat beragam,karena kandungan gizi ampas sagu dapat dipengaruhi oleh spesies, umur,
ekosistem, dan proses pengolahannya. Kandungan gizinya hampir setara dengan pakan hijauan,
sehingga sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi potong.Menurut Ralahalu,
(2012) bahwa kandungan nutrisi ampas sagu sangat rendah terutama PK berkisar antara 2,30-
3,36%, tetapi kandungan pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98%. Haryati et al.
(1995)dalam Kasmirah (2012) bahwa kandungan protein pada ampas sagu hanya 1,65%, akan
tetapi kandungan patinya masih cukup tinggi, yaitu 45,90%. Beragamnya kandungan gizi dalam
ampas sagu, dapat dipengaruhi oleh jenis sagu, proses pengolahan dan faktor lingkungan.
Rendahnya kandungan PK dan tingginya SK pada ampas sagu menyebabkan tingkat
penggunaanya dalam campuran pakan menjadi sangat terbatas. Salah satu upaya untuk
meningkatkan nilai nutrisi ampas sagu dapat dilakukan melalui teknologi fermentasi.
Peningkatan kualitas nutrisi ampas sagu dengan teknologi fermentasi dapat dilakukan
menggunakan mikroorganisme (starter) berupa Aspergillus niger, ragi tempe, dan probion.
Menurut Buckle et al. (1987) bahwa proses fermentasi bahan pangan oleh mikroorganisme
menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan mutu bahan pangan
baik dari aspek gizi maupun gaya cernanya serta meningkatkan daya simpanannya. Hasil
penelitian Uhi (2007) menunjukkan bahwa proses fermentasi ampas sagu menggunakan
campuran probion 300 g dan urea 300 g, dapat meningkatkan kandungan nutrisi ampas sagu
(Tabel2).
Tabel 2. Kandungan nutrisi ampas sagu sebelum dan setelah fermentasi
Jenis
Sagu
Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi
PK
(%)
SK
(%)
LK
(%)
EM
(kkal/kg)
PK
(%)
SK
(%)
LK
(%)
EM
(kkal/kg)
Sagu Ihur 1,01 10,50 0,93 3969 4,81 5,49 0,73 3.860
Sagu Tuni 0,92 9,22 0,87 4105 4,56 6,25 0,71 3.508
Sumber : Uhi (2007).
Sedangkan proses fermentasi ampas sagu menggunakan Aspergillus niger pada aras starter 4%
dengan lama pemeraman 12 hari dapat meningkatkatkan PK sebesar 10,51%, dan SK sebesar
9,44% (Iskandar dan Tampubolon, 2009). Tetapi penggunaan Aspergillus niger ditambah urea
5% dan zeolit 5% mampu meningkatkan kadar protein kasar ampas sagu hasil fermentasi sebesar
15,49% (Muhsafaat et al, 2015). Febrina (2012) menyatakan bahwa kombinasi onggok-urea-
zeolit yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai protein kasar dan
protein murni, serta dapat menurunkan serat kasar. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa jenis sagu dan penggunaan starter atau mikroba dalam proses fermentasi ampas sagu
sangat menentukan kualitas ampas sagu.
2.3. Pemanfaatan Ampas Sagu
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa ampas sagu yang dihasilkan
dalam proses pengolahan sagu menjadi tepung sagu selama ini belum dimanfaatkan secara
optimal dan dibiarkan menumpuk disekitar tempat pengolahan sagu. Namun sebagian kecil
masyarakat Sentani di Kabupaten Jayapura telah memanfaatkan sebagai media pertumbuhan
jamur dan ulat sagu. Ampas sagu selain dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak juga dapat
digunakan sebagai media pertumbuhan jamur, pupuk organik, dan sumber biogas.
59
Kandungan nutrisi pada ampas sagu berupa bahan kering 54,03%; GE 3,912 kkal/kg; BO 48,75%;
PK 5,02%; NDF 67,78% dan ADF 43,47% (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas
Pertanian dan Peternakan UIN 2014), menunjukkan bahwa kandungan nutrisi yang terdapat pada
ampas sagu sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia. Menurut
Simanihuruk et al. (2013) bahwa ampas sagu mempunyai potensi yang tinggi sebagai bahan
pakan ternak ruminansia terutama ternak kambing. Demikian pula ampas sagu dapat menjadi
alternatif bahan pakan sumber energi karena mengandung bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
yang tinggi yaitu 76,51%, tetapi kurang baik bila digunakan sebagai pakan tunggal karena
memiliki kandungan PK yang rendah (Sisriyenni et al, 2017). Selanjutnya dilaporkan bahwa
untuk memanfaatkan sebagai pakan tunggal atau sebagai bahan campuran dalam pakan komplit
harus difermentasikan agar nilai nutrisi dapat ditingkatkan.
Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak dapat diberikan secara langsung dalam bentuk
segar (tanpa fermentasi), namun sebaiknya diberikan setelah melalui proses fermentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian ampas sagu pada ternak sapi Bali tanpa fermentasi
sebanyak 2% (4-5 kg) dari berat badan (BB) ditambah pakan basal (hijauan 100%) dapat
meningkatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,43 kg/ekor. Namun pemberian
ampas sagu tanpa fermentasi hingga 3% menurunkan PBBH menjadi 0,37 kg/ekor. Sehingga
disarankan agar pemberian ampas sagu tanpa fermentasi tidak melibihi 3% (Batseba dan Usman,
2017). Akan tetapi pemberian ampas sagu terfermentasi hingga 50% dalam campuran pakan
pada sapi Bali dapat meningkatkan PBBH sebesar 0,58 kg/hari (Sisriyenni et al, 2017).
3. KESIMPULAN
Ampas sagu memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia. Pada luas areal 35.351 ha tanaman sagu di Papua dapat dihasilkan ampas sagu
109.675,8 ton/tahun. Jika ampas sagu diberikan sebagai pakan alternatif ternak sapi 50% dan
ternak kambing 40% dalam ransum, maka mampu memenuhi kebutuhan pakan, masing-masing
sebesar 163.695 ekor/tahun dan 1.370.948 ekor/tahun.
Pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan pakan dalam ransum sebelum fermentasi dan setelah
fermentasi dapat diberikan hingga 30% dan 50%. Sedangkan pada ternak kambing dapat
diberikan hingga 40%.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alfons JB.2006. Diversifikasi sumber daya sagu di Maluku. Makalah Disampaikan pada
Lokakarya Sagu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Ambon.
[2] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2017. Papua dalam Angka.
[3] Bintoro, M.H.B. Hariyanto, T. Honigone, M.P. Marangkey, E. Sakaguchi And Y. Takamura.
1990. Feeding value of pith and pith residue from sago palm. Proc. TakahashiShi Nutrition
Conference, Okayama. pp. 1 – 12.
[4] Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wooton. 1987 Ilmu Pangan UI–Press,
Jakarta Fardiaz, S. 1998. Fisiologi Fermentasi. PAU. Pangan dan Gizi Institut Pertanian
Bogor.
[5] Febrina WP. 2012. Kualitas nutrien onggok yang difermentasi Aspergillus niger dengan
penambahan level urea dan zeolit yang berbeda. (Skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor..
[6] Flach, M., 1997. Sago palm. Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of
underutilized and neglected crops. Rome: International Plant Genetic Resources Institute.
[7] Haryanto, B dan Pangloli P. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius Yogyakarta. (1992).
[8] http://kompas.id. Pangan Lokal. Kompas 21 Juni 2018.
[9] http://bisnisukm.com. Potensi sagu di tanah Papua.
60
[10] Iskandar B, dan M. Tampoebolon. 2009. Kajian Perbedaan Aras Dan Lama Pemeraman
Fermentasi Ampas Sagu Dengan Aspergillus Niger Terhadap Kandungan Protein Kasar Dan
Serat Kasar. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan – Semarang, 20 Mei 2009.
[11] Kasmirah D. 2012. Penggunaan Ampas Sagu (Metroxylon sago) Fermentasi Sebagai Pakan
Ternak Unggas. livestock-livestock.blogspot.com
[12] Kiat LJ. 2006. Preparation and characterization of carboxymethyl sago waste and its
hydrogel. (Thesis). Malaysia (MY): Universitas Putra Malaysia.
[13] Kompiang, I.D, Zainuddin, D, Supriyati. 1995. Pemanfaatan limbah sagu sebagai ransum
ternak ayam. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
[14] Lay AF, Patrik M. 2010. Optimalisasi pengolahan sagu (Metroxylon sp) menjadi biofuel.
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman.
[15] Louhenapessy JE. 1988. Sagu di Maluku (harapan dan tantangan dalam pembangunan)
disampaikan dalam seminar berkala pada pusat studi Maluku, Unpatti, Ambon.
[16] Muhsafaat L, H.A. Sukria, Suryahadi. 2015. Kualitas Protein dan Komposisi Asam Amino
Ampas Sagu Hasil Fermentasi Aspergillus niger dengan Penambahan Urea dan Zeolit.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Agustus 2015. ISSN 0853-4217. EISSN 2443-3462.
[17] McClatchey WM, Harley I, Craig ER. 2006. Metroxylon Spp. London (UK): Ecology Papers
Inc.
[18] Nurkurnia E. 1989. Hasil fermentasi rumen kambing Kacang betina dengan pemberian
beberapa tingkat ampas sagu (Metroxylon sp) dalam ransum (Skripsi). Bogor (Indonesia):
Institut Pertanian Bogor.
[19] NRC. 1981. Nutrient Requirement of Goats: Angora, Dairy, and Meat Goats in Temperate
and Tropical Countries. National Academy Pr., Washington DC.
[20] Pantjawidjaja, Pongsapan SP, Tandilinting FK.1984. penggunaan berbagai tingkat ampas
sagu dalam ransum sapi Peranakan Ongole yang sedang tumbuh. Ilmu Peternakan. 1:163-
166.
[21] Parakkasi A. 1999. Ilmu nutrisi dan makanan ternak ruminan. Jakarta (Indonesia): UI Press.
[22] Prastowo B. 2007. Potensi sektor pertanian sebagai penghasil dan pengguna energi
terbarukan. Perspektif 6(2): 84 – 92.
[23] Ralahalu, T.N. 2012. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam
Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
[24] Rumalatu, FJ. 1981. Distribusi dan Potensi Pati Beberapa Sagu (Metroxylon sp.) di Daerah
Seram Barat. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian/Kehutanan yang Berafiliasi dengan Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
[25] Sangadji I. 2009. Mengoptimalkan Pemanfaatan Ampas Sagu sebagai Pakan Ruminansia
Melalui Biofermentasi dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi. Disertasi.
Program Studi Ilmu Ternak. Institut Pertanian Bogor.
[26] Sianipar J, Simanihuruk K, Sirait J, Hutauruk M. 2008. Penggunaan Tape Kulit Kakao
Sebagai Pakan Kambing Sedang Tumbuh. Laporan Tahunan 2008. Loka Penelitian Kambing
Potong, Sei Putih, Sumatera Utara.
[27] Simanihuruk K, Antonius, Sirait J. 2013. Penggunaan Ampas Sagu Sebagai Campuran
Pakan Komplit Kambing Boerka Fase Pertumbuhan. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2013.
[28] Sisriyenni D, Simanjuntak A, Adelina T. 2017. Potensi dan Penggunaan Limbah Sagu
Fermentasi Sebagai Pakan Sapi di Kabupaten Meranti. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017.
[29] Thahar A, Mahyudin P. (1993). Feed Resources. In Teleni. E., R.S.F. Cambell and D.
Hoffmann (edits) : Draught Animal Systems and management : An Indonesian Study.
ACIAR. Camberra. Hal : 41 – 50.
[30] Tiro BMW, Usman. 2016. Kajian Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui
Pemanfaatan Ampas Sagu Mendukung Pengembangan Kawasan Sapi Potong Di Kabupaten
Jayapura, Papua. Laporan Akhir (Belum publikasi). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Papua.
61
[31] Tim Sagu Maluku. 1980. Pengembangan dan Pendayagunaan Sagu di Maluku (Tidak
dipublikasi).
[32] Tirta P.W.W.K, Indrianti N, Ekafitri R. 2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.)
Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Di Indonesia. 22(1), 61-78.
[33] Trisnowati, 1991. Kecernaan in vitro Ampas Sagu Metroxylon yang Diperlakukan Secara
Biologis. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
[34] Uhi, H.T. 2007. Peningkatan Nilai Nutrisi Ampas Sagu (Metroxylon Sp.) Melalui Bio-
Fermentasi (Improvement of Nutritive Value of Sago Waste by Biofermentation) Jurnal Ilmu
Ternak, Juni 2007, Vol. 7 No. 1, 26 – 31
62
PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI USAHATANI JAGUNG
KOMPOSIT DI WILAYAH PERBATASAN KOTA JAYAPURA
Fransiskus1 Palobo dan Siska Tirajoh2
Balai pengkajian teknologi pertanian Papua1,2
e-mail: [email protected]
Abstrak.Pengaturan sistem tanam pada suatu lahan pertanian merupakan salah satu cara yang
memiliki pengaruh terhadap hasil dari tanaman, pengaturan sistem jarak tanam berkaitan terhadap
kepadatan suatu populasi di area lahan, proses penerimaan cahaya matahari yang tentunya
berkaitan dengan proses fotosintesis tanaman dan persaingan hara antar tanaman. Tujuan
mengetahui tingkat produktivitas pada berbagai sistem tanam dan menganalisis kelayakan
usahatani jagung komposit di wilayah perbatasan kota jayapura. Inovasi yang di introduksikan
adalah on-farm denganperlakuan Sistem Tanam Jajar Legowo (100 x 50 x 20 cm), Sistem tanam
tunggal (100 x 40 cm), sistem tanam jajar legowo tumpangsari jeruk (100 x 50 x 20 cm) dan
sistem tunggal tumpangsari jeruk (100 x 40 cm), luas lahan untuk setiap perlakuan masing-masing
25 x 100 m. Hasil uji sederhana PUTK sebelum penanaman menunjukan Nitrogen status sedang,
phospor status tinggi, kalium status sedang, pH 5-6 agak masam dan C-organik status rendah.
Penanaman benih 1 biji per lubang kemudian ditutup pupuk kandang yang telah di campur kapur
dolomoit masing-masing perlubang 5 gram. NPK 300 kg/ha, Urea 250 kg/ha, kapur dolomit 200
kg/ha. Hasil pipil kering menunjukan sistem tegel 4,2 ton/ha nilai R/C 1.74, B/C 0.74, sistem
double row 4,8 ton/ha nilai R/C 2.16, B/C 1.16, sistem tunggal tumpangsari jeruk 5,4 ton/ha
nilai R/C 2.24, B/C 1.24, sistem double row tumpang sari jeruk 6,4,ton/ha R/C 2,66, B/C
1.66.
Kata kunci : Perbatasan, Sistem tanam, Jagung komposit
1. PENDAHULUAN
Jagung adalah salah satu komoditas pangan yang menjadi sasaran peningkatan produksi melalui
program PTT. Upaya peningkatan produksi jagung mempunyai peran strategis dalam penguatan
ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Oleh
karena itu pemerintah menargetkan swasembada jagung dalam periode 2015- 2019 (Kementerian
Pertanian, 2015).
Kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang
batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan
perbatasan berada di kecamatan/distrik (BNPP, 2015). Wilayah perbatasan merupakan beranda
terdepan yang menjadi manivestasi kedaulatan negara, cermin pertahanan dan keamanan negara,
simbol ketertiban, penegakan hukum, dan simbol kemakmuran suatu negara (Hadi, 2011;
Batubara, 2011; dan Marlissa, 2011). Wilayah perbatasan mempunyai peran strategis sebagai
pengendali keamanan wilayah, khususnya untuk masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah
perbatasan. Kaitannya dengan kondisi tersebut diatas, dalam Rencana Pembangunan Jangka
menengah Nasional (RPJMN) bidang pangan dan pertanian 2015-2019 secara eksplisit
menyebutkan pentingnya pembangunan ekonomi nasional yang inklusif dan berkeadilan.
Ditambahkan juga, prioritas Pembangunan Nasional yang terkait dengan upaya untuk
memperkuat “Dimensi Keadilan di Semua Bidang” adalah Prioritas Nasional No: 10 yaitu:
Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca–Konflik (Biro Perencanaan Kementan, 2013).
Kaitannya dengan isu wilayah perbatasan, secara umumhasil kunjungan kerja tematik Forum Profesor
Riset (FKPR) pada wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia mengimplikasikan bahwa pengembangan wilayah
perbatasan tidak dapat dipisahkan dengan sektor pertanian, dimana sebagian besar penduduk setempat bergantung pada
sektor tersebut (Tim FKPR, 2013).
63
Upaya peningkatan produksi jagung dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan
areal tanam pada berbagai lingkungan yang beragam, mulai dari lingkungan berproduktivitas
tinggi (lahan subur) sampai berproduktivitas rendah (lahan suboptimal). Rata-rata tingkat
produktivitas jagung nasional dari areal panen sekitar 3,97 juta ha baru mencapai 4,78 t/ha
(Kementerian Pertanian 2012). Penelitian jagung di berbagai institusi pemerintah maupun swasta
telah menghasilkan varietas unggul dengan produktivitas 7,0- 14,0 t/ha (Puslitbangtan 2009),
bergantung pada potensi lahan dan teknologi produksinya. Perkembangan teknologi yang
semakin maju menuntut perbaikan atau modifikasi terhadap komponen teknologi yang sudah ada
dan diterapkan petani untuk meningkatkan pendapatan. Kariyasa dan Sinaga (2004) menyarankan
agar upaya peningkatan produksi jagung sebaiknya diprioritaskan padaperbaikan teknologi
produksi dibanding instrumen lainnya.
Seiring perubahan lingkungan strategis dimana lahan pertanian semakin menyempit, anggaran
Pemerintah semakin terbatas dan cekaman iklim semakin tidak menentu, maka upaya peningkatan
produktivitas jagung melalui penggunaan sistem tanam untuk peningkatan populasi merupakan
salah satu upaya yang paling logis dalam meningkatkan produktivitas jagung. Pengkajian ini
bertujuan mengetahui tingkat produktivitas pada berbagai sistem tanam dan menganalisis
kelayakan usahatani jagung komposit di wilayah perbatasan kota jayapura, papua
2. BAHAN DAN METODE
2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan Kota Jayapura secara sengaja (purposive) sesuai program kementrian
pertanian untuk dukungan teknologi di daerah perbatasan dengan membuatDemplot dalam
rangka mewujudkan lumbung pangan kawasan perbatasan. Dilaksanakan di lahan kering Koya
timur Distrik muaratami. Daerah ini merupakan salah satu sentra pengembangan jagung di Kota
Jayapura. kajian dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2017.
2.2. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari data
agronomis tanaman antara lain; Tinggi tanaman, Panjang tongkol, Diameter tongkol, Jumlah
baris biji pertongkol, Berat tongkol kering panen, Berat 100 biji, Produksi/hasil. Data sekunder
meliputi perkembangan luas panen dan produksi jagung, Luas tanam jagung, dikumpulkan dari
dinas pertanian Kota Jayapura.
2.3. Metode Analisis
Menggunakan (1) Analisis ragam menurut rancangan acak kelompok untuk semua data
pengamatan, dengan perlakuan, Sistem tanam tunggal (100 x 40 cm), Sistem Tanam double row
(100 x 50 x 20 cm), sistem tunggal tumpangsari jeruk (100 x 40 cm) dan sistem tanam double
row tumpangsari jeruk (100 x 50 x 20 cm).Luas lahan untuk setiap perlakuan masing-masing 25
x 100 m, (2) menganalisis pendapatan usahatani jagung menggunakan analisis imbangan
penerimaan dan biaya atau R/C rasio dan B/C ratio adalah ukuran perbandingan antara
pendapatan. Pendapatan usahatani dianalisis berdasarkanstukturpenerimaandenganpembiayaan
usahatani.
• Return Cost Ratio (R/C)
R/C Ratio merupakan perbandingan antara total penerimaan dengantotal biaya yang
dikeluarkan selama satu periode,Analisis R/C Ratio ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan
suatu usaha (Suratiyah, K. 2012) dengan rumus :
Keterangan :
TR = Total Penerimaan,
TC = Total Biaya Produksi
R/C Ratio= R/C ratio = TR/TC
64
Jika nilai :
1. R/C > 1, maka usahatani padi sawah tersebut menguntungkan.
2. R/C<1, maka usahatani padi sawah tersebut tidak menguntungkan atau rugi.
3. R/C = 1, maka usahatani padi sawah tersebut berada pada titik pulang atau titik impas yaitu
total cost sama dengan total Reveune
• Benefit Cost Ratio (B/C)
B/C adalah ukuran perbandingan antara pendapatan (Benefit = B) dengan Total Biaya
produksi (Cost = C). Dalam batasan besaran nilai B/C dapat diketahui apakah suatu usaha
menguntungkan atau tidak menguntungkan dengan (Hendayana, 2016), rumus:
Keterangan :
TB = Jumlah Pendapatan,
TC = Total Biaya Produksi
Jika nilai :
B/C ratio ≥ 1 = usaha layak dilaksanakan
B/C ratio < 1 = usaha tidak layak atau merug
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Keragaan Komponen Pertumbuhan, Komponen Hasil
Komponen pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun,
panjang daun pada umur (30 HST, 50 HST, saat panen), panjang tongkol, diameter tongkol,
Jumlah biji perbaris, jumlah baris pertongkol, berat basah ton/ha, berat kering biji ton/ha.
Berat 100 biji
3.2. Komponen Pertumbuhan Tinggi Tanaman
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen pertumbuhan tinggi
tanaman 30 hst, 50 hst dan saat panen dapat dilihat (gambar 1).
Pada gambar 1 menunjukan umur 30 hst laju pertumbuhan tinggi tanaman nyata pada
berbagai sistem tanam dengan yang tertinggi sistem double row tumpang sari jeruk 97,3
diikuti sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row dan sistem tegel masing-masing
83.8; 82,8; dan 75,7 cm. Pada umur 50 hst laju pertumbuhan tinggi tanaman yang tertinggi
75,7 82,8 83,897,3
162,7
185,2 188,0197,8
222,6235,0
267,3 276,0
0,0
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
Sistem tunggal sistem double row Sistem tunggaltumpangsari jeruk
Sistem double rowtumpangsari jeruk
Tin
ggi t
anam
an (
cm)
30 hst
50 hst
saat panen
B/C Ratio= B/C ratio = TB/TC
Gambar 2. Komponen pertumbuhan diameter batang berbagai sistem tanam
65
sistem jarwo tumpang sari jeruk 197,8 diikuti Sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem
double row dan sistem tegel masing-masing 188,0; 185,2 dan 162,7 cm. Sedangkan saat
panen tinggi tanaman sangat nyata pada berbagi sistem tanam tertinggi sistem double row
tumpang sari jeruk 276,0 diikuti sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row dan
sistem tegel masing-masing 267,3; 235,0; dan 222,6 cm.
3.3. Komponen Pertumbuhan Diameter Batang
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen pertumbuhandiameter
batang pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 2).
Pada gambar 2 menunjukan umur 30 hst laju pertumbuhan diameter batang nyata pada
berbagai sistem tanam dengan yang terbesar sistem tunggal tumpangsari jeruk 1.65 diikuti
sistem double row tumpang sari jeruk, sistem tegel, Sistem double row dan masing-masing
1,55; 1,44; dan 1,17 cm. Sedangkan saat panen diameter batang sangat nyata pada berbagi
sistem tanam terbesar sistem tegel 2,40 diikuti sistem double row tumpang sari jeruk Sistem
tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row dan masing-masing 2,16; 2,06; dan 1,89 cm
3.4. Komponen Hasil Panjang Tongkol Dan Diameter Tongkol
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil panjang tongkol dan
diameter tongkol pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 3).
Pada gambar 3dibawah ini menunjukan bahwa panjang tongkoltidak nyata pada berbagai
sistem tana m dengan yang terpanjang sistem tunggal tumpangsari jeruk 16,78 diikuti sistem
double row tumpang sari jeruk, sistem tunggal, Sistem double row dan masing-masing 16,2;
15,59 dan 15,45 cm. Sedangkan diameter tongkol nyata pada berbagi sistem tanam terbesar
Sistem tunggal tumpangsari jeruk sistem tegel 16,78 diikuti sistem double row tumpang sari
jeruk, sistem tunggal dan sistem double row masing-masing 16,2; 15,59; dan 15,45 cm.
Menurut Takdir et al., 2003Pertanaman dengan diameter tongkol dan bobot 100 biji tinggi
memberikan hasil biji yang juga tinggi.
1,44
1,17
1,651,55
2,4
1,892,06
2,16
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Sistem tunggal sistem double row Sistem tunggaltumpangsari jeruk
Sistem double rowtumpangsari jeruk
Dia
met
er b
atan
g (c
m)
30 hst
saat panen
Gambar 2. Komponen pertumbuhan diameter batang berbagai sistem tanam
66
3.5. Komponen Hasil Jumlah baris pertongkol dan jumlah biji perbaris
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil jumlah biji perbarisdan
jumlah baris pertongkol pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 4).
Pada gambar 4 menunjukan bahwa jumlah baris pertongkoltidak nyata pada berbagai sistem
tanam dengan yang terbanyak sistem double row 12,88 diikuti sistem double row tumpang
sari jeruk, sistem tunggal, dan sistem tunggal tumpangsari jeruk masing-masing 12,81; 12,67
dan 12,37 cm.Sedangkan jumlah biji perbaris nyata pada berbagi sistem tanam terbanyak
sistem double row tumpangsari jeruk 32,03 diikuti, tunggal tumpangsari jeruk, sistem double
row dan sistem tunggal masing-masing 30,75; 26,7 dan 25,88cm
15,59 15,4516,78 16,2
3,86 4,06 4,19 4,11
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Sistem tunggal sistem double row Sistem tunggaltumpangsari jeruk
Sistem double rowtumpangsari jeruk
Pan
jan
g d
an d
iam
eter
to
ngk
ol
Panjang tongkol Diameter tongkol
25,88 26,7
30,75 32,03
0
5
10
15
20
25
30
35
Jum
lah
biji
per
bar
is(b
iji)
Gambar 4. Komponen hasil jumlah baris pertongkol dan jumlah biji perbaris berbagai
sistem tanam
Gambar 2. Komponen hasil panjang tongkol dan diameter tongkol berbagai sistem
tanam
12,67
12,88
12,37
12,81
12,112,212,312,412,512,612,712,812,9
13
Jum
lah
bar
is p
ert
on
gko
l (b
iji)
67
3.6. Komponen Hasil Berat Pertongkol dan berat basah
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil berat pertongkol dan
berat basah pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 5).
Pada gambar 5 menunjukan bahwa berat pertongkolnyata pada berbagai sistem tanam
dengan yang terberat sistem tunggal tumpangsari jeruk 219,1 diikuti sistem double row
tumpang sari jeruk, sistem double row dan sistem tunggal masing-masing 216,98, 172,63 dan
1160,3 gr. Sedangkan berat basah ton/ha nyata pada berbagi sistem tanam tertinggi sistem
double row tumpang sari jeruk 10307,7 diikuti, sistem tunngal tumpangsari jeruk, sistem
double row dan sistem tunggal masing-masing 8620; 8367,5; 8007,5 kg.
3.7. Komponen Hasil Berat 100 biji dan berat kering pipil
Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil berat 100 biji dan
berat kering pipil pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 6).
Gambar 5. Komponen hasil berat pertongkol dan berat basah berbagai sistem tanam
Gambar 5. Komponen hasil berat 100 biji dan berat kering pipil berbagai sistem tanam
160,3172,6
219,1 217,0
0
50
100
150
200
250
Ber
at p
erto
ngk
ol (
g)
8007,5 8367,5 8620
10307,5
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Ber
at B
asah
to
n/h
a
35,3
27,5
37,3 36,3
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
Ber
at 1
00 b
iji (
g)
4,24,8
5,4
6,4
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
Ber
at p
ipil
keri
ng
(t/h
a)
68
Pada gambar 6 menunjukan bahwa berat kering pipilnyata pada berbagai sistem tanam
dengan yang terberat sistem tunggal tumpangsari jeruk 37,3 diikuti sistem double row
tumpang sari jeruk, sistem tegel dan sistem double row masing-masing 36,3; 35,3 dan 27,5
gr. Sedangkan berat kering pipil nyata pada berbagi sistem tanam tertinggi sistem double row
tumpang sari jeruk 6,4 diikuti, sistem tunggal tumpangsari jeruk, sistem double row dan
sistem tunggal masing-masing 5,4; 4,8; dan 4,2 ton/ha.
3.8. Analisis UsahataniJagung Komposit Pada Berbagai Sistem Tanam
Biaya usahatani, harga jual dan harga beli sarana produksi yang sangat mempengaruhi
pendapatan/keuntungan usahatani. Hasil usahatanisistem tegel 4,2 ton/ha, sistem double row
4,8 ton/ha, sistem tunggal tumpangsari jeruk 5,4 ton/hasistem double row tumpang sari jeruk
6,4,ton/ha.
Sudiana et al.,2012 menyatakan beberapa keuntungan pemanfaatan lahan pada musim
kemarau untuk budidaya jagung, diantaranya hasil cukup tinggi, produktivitas lahan meningkat.
Untuk mengetahui besarnya pendapatan, maka terlebih dahulu harus diketahui total dari
penerimaan yang diperoleh, kemudian dikurangi dengan total biaya yang telah digunakan dari
kegiatan usahatani yang dilakukan. Pendapatan dalam kegiatan usahatani dikatakan
menguntungkan apabila penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan
oleh petani. Berikut ini adalah uraian dari biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan
kelayakan dari usahatani. Hasil analisis pendapatan usahatani jagung hibrida di kawasan
perbatasan Merauke dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2.Analisis pendapatan usahatani Jagung komposit dengan berbagai sistem tanam di
wilayahperbatasanKota Jayapura, Papua.
No. Uraian Sistem
Tunggal
Sistem
Double row
Sistem
tunggal
tumpangsari
jeruk
Sistem
double row
tumpangsari
jeruk
2 Produksi (t/ha) 4.200 5.200 5.400 6.400
3 Harga gabah GKP (Rp/kg) 5.000 5.000 5.000 5.000
4 Nilai Produksi (Rp) 21.000.000 26.000.000 27.000.000 32.000.000
5 Biaya variabel
1. Benih (Rp. 200.000 200.000 200.000 200.000
2. Pupuk (Rp) 2.875.000 2.875.000 2.875.000 2.875.000
3. Pestisida 920.000 920.000 920.000 920.000
4. Tenaga kerja 5.900.000 5.900.000 5.900.000 5.900.000
6 Biaya tetap
penyusutan alat 15.375 15.375 15.375 15.375
7 Total biaya produksi 12.000.375 12.000.375 12.000.375 12.000.375
8 Pendapatan bersih 8.999.625 13.999.625 14.999.625 19.999.625
R/C ratio 1.74 2.16 2.24 2.66
B/C Ratio 0.74 1.16 1.24 1.66
Sumber data : Data primer diolah, 2017
Produksi jagung ditentukan oleh penggunaan input-inputnya baik benih, pupuk, pestisida
dan tenaga kerja, sistem tanam. Analisis fungsi produksi menggambarkan hubungan produksi
dengan input-inputnya dimana dalam penelitian ini menggunakan fungsi produksi menggunakan
69
pendekatan kelayakan perubahan teknologi. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di lokasi penelitian. Pada fungsi produksi awal
diduga dengan delapan variabel yaitu lahan, bibit, pupuk, obat, input lain, tenaga kerja, persil
garapan milik, dan luas garapan milik. Menurut Boediono (2000) menyatakan bahwa, biaya
mencakup suatu pengukuran nilai sumber daya yang harus dikorbankan sebagai akibat dari
aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencari keuntungan.
Pada tabel 1 diatas terlihat bahwa total biaya usahatani jagung komposit dengan beberapa
sistem tanam di kawasan perbatasan kota Jayapura untuk ke empat perlakuan yaitu Rp
12.000.375/ha per MT. Dengan masing-masing proporsi biaya variabel Rp 7.990.000. Sedangkan
biaya tetap yaitu Rp 15.375. Produksi sistem tunggal yaitu 4.200 kg pipil kering dengan harga
Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan Rp21.000.000 maka diperoleh pendapatan Rp 8.999.625
dengan R/C 1.74 atau B/C 0.74, kemudiansistem double row yaitu 5.200 kg pipil kering dengan
harga Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan Rp26.000.000 maka diperoleh pendapatan Rp
13.999.625 dengan R/C 2.16 atau B/C 1.16.sedangkan sistem tunggal tumpangsari jerukproduksi
5.400 kg pipil kering dengan harga Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan Rp27.000.000 maka
diperoleh pendapatan Rp 14.999.625 dengan R/C 2.24 atau B/C 1.24 dan sistem double row
tumpangsari jerukproduksi 6.400 kg pipil kering dengan harga Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan
Rp 32.000.000 maka diperoleh pendapatan Rp 19.999.625 dengan R/C 2.66 atau B/C 1.66.
4. KESIMPULAN
Penerapan inovasi teknologi di wilayah perbatasan dengan berbagai sistem tanam pada komponen
pertumbuhan tinggi tanaman sistem double row tumpang sari jeruk memberikan hasil tertinggi
dan pertumbuhan diameter batang sistem tunggal tumpangsari jeruk terbesar. Sedangkan
komponen hasil berat pertongkol pada sistem tunggal tumpangsari jeruk dan berat kering
pipil ton/ha sistem double row tumpang sari jeruk memberikan hasil terbaik. Hasil analisis
pendapatan dari setiap perlakuan dengan menggunakan kriteria nilai R/C rasio Sistem Tunggal
1.74; Sistem Double row 2,16; Sistem tunggal tumpangsari jeruk 2,24; Sistem double row
tumpangsari jeruk 2.66 dapat di artikan bahwa usahatani layak untuk di kembangkan. Untuk
kriteria nilai B/C rasio Sistem Tunggal 0.74; Sistem Double row 1,16; Sistem tunggal
tumpangsari jeruk 1,24; Sistem double row tumpangsari jeruk 1.66 dari keempat perlakuan ini
artinya bahwa sistem double row, Sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row
tumpangsari jeruk layak dilaksanakan namun sistem tunggal tidak laksanakan/rugi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Badan perencanaan. 2011. Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan di Indonesia 2011-2025. Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Jakarta.
[2] Biro Perencanaan Kementan, 2013. Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional
(RPJMN), Biro perencaan kementrian pertanian, Jakarta
[3] Batubara, H. 2011. Membangun Sistem Pertahanan dan Rasa Aman oleh Masyarakat di
Wilayah Perbatasan. Makalah Workshop Nasional Pertahanan Kawasan Perbatasan,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1-2 November 2011.
[4] Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan RI. 2015. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan
Negara 2015 – 2019. Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Jakarta.
[5] Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 2011. Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia 2011-2025. Badan Nasional Pengelola
Perbatasan. Jakarta.
[6] Boediono, 2000. Analisa usahatani padi. (online). Tersedia,
http:///respository.ipb.ac.id/handle/1 23456789/A08ana.pdf. Diakses 15September
2018
[7] Hendayana. 2016. Analisis Data pengkajian. Cara cerdas cermat menggunakan alat analisis
data untuk karya tulis Ilmiah. Cetakan pertama, Desember 2016. ISBN : 9786021280966
70
[8] Hadi, S. 2011. Peranan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal di Perbatasan. Makalah Workshop Nasional Pertahanan
Kawasan Perbatasan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1-2 November 2011.
[9] Kariyasa, I.K. dan B.M. Sinaga. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku pasar
jagung di Indonesia. Jurnal Agroekonomi 22(2):167-193. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
[10] Kementerian Pertanian. 2012. Statistik pertanian 2012. Penerbit Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian. Republik Indonesia. 348p.
[11] Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019.
Jakarta. Hlm. 107-108.
[12] Marlissa, E.R. 2011. Pembangunan dan Kebutuhan Penduduk di Seputar Wilayah
Perbatasan Antar Negara di Provinsi Papua. Makalah Workshop Nasional Pertahanan
Kawasan Perbatasan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1-2 November 2011.
[13] Puslitbangtan. 2009. Deskripsi varietas unggul palawija 1918-2009. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
[14] Suratiyah, K. 2012. Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul Ditinjau dari Ekonomi
Rumah Tangga Petani Tahun 2010-2011. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada.
[15] Sudiana, M.I. dan N.GA. Gde Eka Martininggsih. 2012. Penerapan teknologi jarak tanam
dan varietas jagung hibrida berbasis semi organik. Jurnal Ngayah, vol 3 (4); 34-43.
[16] TIMFKPR,2013.LaporanKunjunganKerja WilayahPerbatasanKota Jayapura,Papua
[17] Takdir, A.M., R.N.M. Iriany dan M. Dahlan. 2003. Penampilan jagung hibrida umur dalam
tamnet. Risalah Penelitian Tanaman Serealia, Vol. 8 : 27-34.
71
SISTEM USAHATANI INTEGRASI PADI – SAPI POTONG
RAMAH LINGKUNGAN DI KOTA JAYAPURA, PAPUA
Siska Tirajoh1 dan Usman2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua1,2
Abstrak. Sistem usahatani integrasi tanaman-ternak adalah salah satu alternatif sistem usaha
pertanian terpadu yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Upaya untuk mengembangkan
potensi wilayah dengan mengoptimalkan produktivitas lahan dan sumberdaya lokal adalah
melalui sistem usahatani terpadu tanaman dan ternak. Sistem integrasi tanaman ternak merupakan
sistem yang saling menguntungkan dimana limbah tanaman padi bisa dimanfaatkan sebagai
pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dalam bentuk kompos digunakan sebagai pupuk
kandang/pupuk organik. Kota Jayapura merupakan wilayah agropolitan dan sentra
pengembangan padi dengan luas panen mencapai 1.140 ha, dengan produktivitas 4,119 t/ha,
meningkatnya luas panen berdampak terhadap keberadaan limbah jerami yang dihasilkan sebesar
1,995 ton BK. selain itu ternak sapi potong juga merupakan komoditas unggulan daerah, populasi
sapi potong sebanyak 6.939 ekor dan dalam 5 tahun terakhir hanya sedikit mengalami kenaikan
sebesar 26,69%. (BPS Papua dalam angka, 2017). Upaya untuk meningkatkan produktivitas
tanaman dan ternak diperlukan sistem usahatani integrasi tanaman dan ternak. Tujuan penulisan
ini adalah untuk memberikan informasi dan data terkait potensi limbah padi di sentra
pengembangan tanaman padi dan ternak sapi potong di wilayah Kota Jayapura. Hasil kajian
sistem usahatani padi dan sapi menunjukan bahwa, pemanfaatan jerami padi fermentasi dapat
meningkatkan rata-rata bobot badan sapi sebesar 0,34 kg/ekor/hari dibandingkan pola petani
hanya 0,10 kg/ekor/hari, dan penambahan pupuk organik pada tanaman padi sebanyak 5-6 ton/ha.
Kata Kunci : Padi, Sapi Potong, Integrasi, Ramah Lingkungan, Kota Jayapura
1. PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk atau perkembangan populasi penduduk maka
faktor lahan sebagai aset usaha pertanian perlahan-lahan cenderung mengalami penurunan akibat
dari alih fungsi lahan melalui perubahan tata ruang wilayah, sehingga berdampak pada sistem
usahatani yang semakin terbatas dan semakin sempitnya lahan budidaya pertanian yang tersedia.
Semakin banyaknya lahan pertanian yang mengalami konversi menjadi lahan non pertanian,
menurunnya tenaga kerja produktif di sektor pertanian dan menurunnya produktivitas lahan
merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan beras sehingga
memerlukan pengelolaan dengan teknologi yang tepat (Purwono dan Purnamawati, 2009). Disisi
lain pada sistem usaha ternak, areal penggembalaan untuk peternakan bersaing dengan usahatani
tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan dimana kondisi saat ini sangat berpotensi
memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan sehingga berdampak negative terhadap tata ruang
untuk penggembalaan ternak kedepan.
Berbagai cara harus ditempuh dalam pengembangan usahatani berkelanjutan yaitu melakukan
diversifikasi usahatani melalui penerapan model system usahatani system integrasi tanaman dan
ternak (Priyanto et al., 2009). Pernyataan ini merujuk pernyataan Dwiyanto dan Haryanto (2003)
bahwa pola integrasi ternak dengan tanaman pangan atau crop livestock system (CLS) mampu
menjamin keberlanjutan produktivitas lahan melalui kelestarian sumber daya alam yang ada.
72
Konsep pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dan ternak sebenarnya sudah diterapkan oleh
para petani sejak mereka mengenal pertanian, namun penerapannya masih secara tradisional,
tanpa memperhitungkan untung dan rugi, baik secara finansial maupun dalam konteks pelestarian
lingkungan hidup. Penelitian sistem tanaman-ternak secara sistematis telah dilakukan sejak awal
1980-an, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan (sustainable) yang ramah
lingkungan (environmentally tolerable), secara sosial diterima masyarakat (socially acceptable),
secara ekonomi layak (economically feasible) dan diterima secara politis (politically desirable)
(Diwyanto et al, 2002). Yuniarsih dan Nappu, 2014 menyatakan bahwa sistem integrasi tanaman-
ternak berpeluang untuk terus dikembangkan baik di daerah dengan luasan lahan pertanian yang
terbatas maupun di daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas, dengan harapan akan mampu
meningkatkan produksi, populasi, produktivitas, dan daya saing produk peternakan.
Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan wilayah agropolitan juga sentra
pengembangan padi dengan luas panen mencapai 1.140 ha, dengan produktivitas 4,119 t/ha,
meningkatnya produktivitas padi berdampak terhadap keberadaan limbah jerami yang dihasilkan
sebesar 1,995 ton BK. Disamping itu ternak sapi potong juga merupakan komoditas unggulan
daerah, populasi sapi potong sampai akhir tahun 2016 mencapai 6.939 ekor dan dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir hanya sedikit mengalami kenaikan sebesar 26,69%. (BPS Papua dalam
angka, 2017). Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan ternak diperlukan suatu
model system usahatani integrasi tanaman dan ternak yang sesuai kondisi spesifik lokasi.
Sistem usahatani integrasi tanaman-ternak merupakan salah satu alternatif sistem usaha pertanian
terpadu yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan ternak pola integrasi dalam
suatu sistem pertanian yang ramah lingkungan merupakan suatu strategi yang sangat penting
dalam mewujudkan kesejahteraan rumah tangga petani dan masyarakat pedesaan secara lestari
(Diwyanto dan Priyanti, 2001).
Upaya untuk mengembangkan potensi wilayah dengan mengoptimalkan produktivitas lahan dan
sumberdaya lokal adalah melalui sistem usahatani terpadu tanaman dan ternak. Sistem integrasi
tanaman ternak merupakan sistem yang saling menguntungkan dimana limbah tanaman padi bisa
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dalam bentuk kompos digunakan
sebagai pupuk kandang/pupuk organik. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi
dan data terkait potensi limbah padi di sentra pengembangan tanaman padi dan ternak sapi potong
dan konsep model sistem pertanian terpadu tanaman padi dan ternak sapi potong ramah
lingkungan di wilayah Kota Jayapura.
2. DESKRIPSI KOTA JAYAPURA
Kota Jayapura merupakan Ibukota Provinsi Papua, secara administratif berdiri sejak
21 September 1993 berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1993. Kota Jayapura memiliki luas
940 km2 atau 94.000 hektar atau 0,30 persen dari luas wilayah Provinsi Papua dan merupakan
daerah terkecil di Provinsi Papua. Kota Jayapura terletak antara 1370 271 – 1410 411 Bujur Timur
dan 10 271 – 30 491 Lintang Selatan. Penduduk asli Kota Jayapura yaitu masyarakat Kayu batu,
Kayu pulo, Tobati, Enggros, Nafri, Waena, Yoka, Skouw Yambe, Skouw Mabo dan Skouw Sae,
dengan jumlah penduduk sampai tahun 2016 sebanyak 288.786 orang atau meningkat 1,87 persen
dari tahun sebelumnya dengan kepadatan penduduk Kota Jayapura 307 jiwa/Km2 (BPS Kota
Jayapura, 2017). Kota Jayapura memiliki 5 distrik (Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Heram,
Abepura, dan Muara Tami), 25 kelurahan, 14 kampung dan 1.203 RT/RW. Distrik Muara Tami
merupakan distrik terluas, yaitu mencapai 626,7 km2 atau 66,67% dari keseluruhan Kota Jayapura
yang terbagi menjadi 2 Kelurahan (kelurahan Koya Barat dan kelurahan Koya Timur) dan 6
Kampung (kampung Holtekam, Skouw Yambe, Skouw Mabo, Skouw Sae, Koya Tengah dan
kampung Mosso). Distrik Muara Tami merupakan Distrik yang wilayahnya langsung berbatasan
darat dengan Provinsi Sandaun, Negara PNG, yang beribukota terletak di Kampung Skouw Mabo
sedangkan Pos lintas batas yang berbatasan langsung di Distrik Muara Tami terletak di Desa
Wutung Kampung Skouw Sae. Berdasarkan informasi topografi Kodam XVII Cenderawasih
73
bahwa kelurahan/kampung dengan luas terbesar adalah kelurahan Koya Barat mencapai 34,63%
dari luas wilayah Distrik Muara Tami sebesar 217 km2, sedangkan kelurahan/kampung dengan
luas terkecil yaitu kampung Holtekam sebesar 2,12% (13,3 km2) seperti disajikan pada Gambar
1. Sedangkan jarak terdekat dari Kota Jayapura adalah Kampung Holtekam dengan jarak 29 Km
sedangkan Kampung paling jauh adalah Kampung Mosso (Kecamatan Muara Tami Dalam
Angka, 2017).
Gambar 1. Persentase luas wilayah Distrik Muara Tami dirinci menurut Kelurahan/Kampung
Kondisi Luas Panen dan Produktivitas Padi Sawah Selama 2012-2016
Kondisi yang ada di Kota Jayapura berdasarkan data luas panen, produksi, produktivitas dan daya
dukung limbah jerami padi, padi sawah di Distrik Muara Tami disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi sawah di Distrik Muara Tami, 5 Tahun
Terakhir di Kota Jayapura TA 2012-2016
Tahun Luas Panen
(ha)
Produksi (ton) Produktivitas (t/ha) Potensi limbah
jerami padi
(t/BK/tahun)*)
2012 1.100 4.119 3,68 1,925
2013 1.110 2.242 4,43 1,943
2014 1.112 5.431 4,88 1,946
2015 506 4.030 3,63 886
2016 1.140 4.070 3,70 1,5995
Sumber : Kota Jayapura dalam Angka 2017; *)data diolah
Pada tahun 2015 terjadi penurunan luas panen disebabkan penanaman padi dilakukan hanya 1
kali tanam dalam setahun akibat adanya perbaikan saluran irigasi yang sering terjadi
pendangkalan/pengendapan lumpur. Selain itu iklim sangat mempengaruhi dan menentukan
terutama pada musim kemarau yang relative panjang sehingga ketersediaan air tidak mencukupi
yang berakibat menurunnya produksi padi termasuk tanaman pangan lainnya yang diusahakan
petani. Diperlukan penyediaan pompanisasi di tingkat petani untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas budidaya pertanian. Faktor lainnya terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif
yang biasanya untuk pengembangan sawah terutama di daerah transmigrasi beralih menjadi
perumahan, industri dan kolam ikan di wilayah Kelurahan Koya Barat dan Koya Timur dimana
menjadi pusat lumbung pangan Kota Jayapura sebelumnya.
74
Pertanaman padi sudah dilakukan 2 kali setahun (IP200) dan saat ini dapat ditingkatkan menjadi
Indeks pertanaman (IP) padi menjadi 3 kali setahun (IP300) apabila air irigasi dapat dimanfaatkan
terus menerus tidak terkendala dengan pendangkalan serta tenaga kerja dapat diatasi. Sehubungan
dengan masalah tenaga kerja sudah dapat diatasi oleh sebagian besar petani di Kelurahan Koya
Barat dan Koya Timur melalui penggunaan alat mekanisasi seperti penggunaan hand traktor, untuk
mempercepat pengolahan lahan, penggunaan alat tanam padi (rice transplanter) dan penggunaan
combineharvester untuk panen.
Terkait tugas dan fungsi BPTP Papua merupakan unit pelaksana teknis Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian di daerah melalui kegiatan model
pengembangan inovasi pertanian di wilayah perbatasan Kota Jayapura telah melaksanakan salah
satu demfarm VUB Padi Sawah (Inpari 32, Inpari 33 dan Inpari 43) seluas 5 ha dengan inovasi
teknologi budidaya padi Jajar Legowo Super yang dilaksanakan di Kelompok Tani Jaya, kelurahan
Koya Barat Distrik Muara Tami Kota Jayapura.
Populasi ternak Sapi di Kota Jayapura Selama 5 Tahun Terakhir (2012-2016)
Kondisi yang ada di Kota Jayapura selama 5 tahun terakhir berdasarkan data populasi
ternak sapi, produksi daging dan produksi kotoran sapi disajikan pada Tabel 2.
Tahun Populasi Sapi Potong
(ekor)
Produksi Daging (kg) Produksi kotoran sapi
(kg/bk)*)
2012 5.087 652.436 22.256
2013 5.377 717.698 33.606
2014 5.848 782.960 36.550
2015 6.270 790.789 39.188
2016 6.939 200.919 43.369
Sumber : Kota Jayapura dalam Angka 2017; *) data diolah
Inovasi Teknologi Budidaya Padi
Perbaikan teknologi budidaya padi telah terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman padi
secara nyata melalui pengelolaan tanaman terpadu yang merupakan salah satu model pengelolaan
padi sawah dengan komponen teknologi budidaya memberikan efek sinergis, serasi, dan saling
komplementer untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian lingkungan (Sumarno et
al., 2000 dalam Basuni et al., 2010), pengelolaan tanaman terpadu (PTT) ini menggunakan
varietas unggul, jarak tanam legowo, memanfaatkan pupuk organik, dan memberikan pupuk SP-
36 dan KCl berdasarkan hasil analisis tanah, serta pupuk urea berdasarkan bagan warna daun
(BWD).
PTT padi merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usahatani padi
dengan menggabungkan komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik artinya tiap
komponen teknologi tersebut saling menunjang dan memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Komponen teknologi dasar dalam PTT yaitu :
penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi
tinggi; benih bermutu dan berlabel; pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan
status hara tanah (spesifik lokasi); pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT)
sedangkan komponen teknologi pilihan dalam PTT yaitu : penanaman bibit umur muda dengan
jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per lubang; peningkatan populasi tanaman; penggunaan
kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah; pengaturan
pengairan dan pengeringan berselang; pengendalian gulma; panen tepat waktu dan perontokan
gabah sesegera mungkin (BBP2TP, 2008).
Selain komponen teknologi diatas ada komponen lainnya yang mempengaruhi produktivitas padi
yaitu penanganan pascapanen padi merupakan upaya strategis dalam rangka mendukung
75
peningkatan produksi padi. Kontribusi penanganan pascapanen terhadap peningkatan produksi
padi dapat tercermin dari penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/beras sesuai
persyaratan mutu. Sutrisno dan Raharjo (2004) dalam Hidayat (2014), melaporkan bahwa
penanganan pasca panen padi mencakup beberapa hal tahapan yaitu penentuan saat panen,
pemanenan, penumpukan sementara di lahan sawah, pengumpulan padi di tempat perontokan,
penundaan perontokan, perontokan, pengangkutan gabah kerumah petani,pengeringan gabah,
pengemasan dan penyimpanan gabah, penggilingan, pengemasan dan penyimpanan beras. Ada
tiga kegiatan utama yang saling terkait satu sama lain dalam mencapai tujuan akhir yaitu
mendapatkan beras giling yang mutu serta rendemennya tinggi yaitu: (1) panen, (2) pengeringan
dan (3) penggilingan.
Balitbangtan sejak tahun 2016 sudah menghasilkan dan menerapkan inovasi teknologi padi
melalui sistem tanam jajar legowo super yang mampu memperbaiki dan meningkatkan produksi
padi. Teknologi jajar legowo super merupakan teknologi budidaya terpadu padi sawah irigasi
berbasis tanam jajar legowo 2:1. Teknologi ini dihasilkan oleh Balitbangtan setelah melalui
penelitian dan pengkajian pada berbagai lokasi di indonesia, selain menggunakan sistem tanam
jajar legowo 2:1 sebagai basis penerapan di lapangan, bagian penting dari teknologi jajar legowo
super adalah : varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi seperti VUB inpari 32, inpari 33
dan inpari 43); biodekomposer, diberikan saat pengolahan tanah (pembajakan kedua); pupuk
hayati diberikan pada benih diaplikasikan melalui (seed treatment) dan pemupukan berimbang
berdasarkan PUTS; pengendalian opt, menggunakan pestisida nabati dan pestisida anorganik
berdasarkan ambang kendali; alat dan mesin pertanian, untuk tanam (jarwotransplanter) dan
panen (combine harvester), keberhasilan penerapan teknologi jajar legowo super ditentukan oleh
komponen teknologi dan teknik budidaya yang dilakukan (Balitbangtan, 2016).
Inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi padi terus dilakukan untuk mendapatkan paket
teknologi spesifik diantaranya dengan sistem tanam jajar legowo 2:1. Paket teknologi yang sudah
dihasilkan tidak sepenuhnya diterapkan oleh petani, seperti pemupukan berimbang, karena sangat
tergantung kepada kemampuan ekonomi, tetapi kalau komponen teknologi tersebut tidak
memerlukan tambahan dana serta memberikan nilai tambah, cepat diadopsi dan berkembang
(Septiana et al.,2016).
Inovasi Teknologi Budidaya Sapi
Inovasi teknologi budidaya sapi untuk penggemukan diperlukan teknologi yang dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sehingga untuk setiap kenaikan satu kg bobot badan
ternak diperlukan kurang lebih 10 kg bahan kering pakan. Paket teknologi adalah pemberian
Bioplus yang diberikan kepada ternak dengan pakan dasar ransum yang kandungan seratnya lebih
dari total ransum yang diberikan. Hasil pengujian di lapangan pada sapi Peranakan Ongole (PO)
menunjukkan bahwa ternak yang diberi Bioplus mampu bertahan bahkan tetap mempunyai
kenaikan bobot badan pada masa pancaroba, padahal pada masa pancaroba ini pakan yang
tersedia apa adanya dan umumnya berkualitas rendah dengan kandungan serat yang tinggi
(Winugroho dan Widiawati, 2004). Hasil penelitian di Grati, Jatim seperti yang dilaporkan
Winugroho et al., (2002) bahwa pertambahan bobot badan harian pedet yang diberi pakan dasar
rumput tanpa pemberian bioplus hanya sebesar 70 g/ek/hr lebih rendah dibandingkan dengan
pemberian konsentrat (pemberian bioplus dan khamir S. cerevisiae) lebih tinggi sebesar 180
g/ek/hr. Penelitian yang sama dilakukan di Bekasi Jawa Barat menunjukkan bahwa pertambahan
bobot badan harian (pbbh) pedet sapi Bali jantan yang diberi pakan dasar rumput dan konsentrat
dengan dan tanpa pemberian Bioplus dan Khamir S. cerevisiae masing-masing sebesar 247
g/ek/hr dan 415 g/ek/hr.
Selain penerapan teknologi penggemukan ada juga penerapan teknologi teknik jam biologis pada
sapi induk untuk memperbaiki status reproduksinya, dengan pemberian pakan suplemen berupa
tanaman leguminosae seperti Gliricidia (Gamal), Kaliandra, Leucaena (Lamtoro), Sesbania dan
76
lain-lain dan pemberian probiotik Bioplus. Penerapan jam biologis pada sapi PO dan sapi Bali
berhasil meningkatkan status reproduksinya yaitu memperpendek jarak beranak sapi Bali dari 15
bulan menjadi 13 bulan dan menaikkan tingkat kebuntingan sapi PO dari 15% menjadi 90%
(Winugroho et al., 1995 dalam Winugroho dan Widiawati, 2004).
Hasil kajian Tiro et al., 2014 melaporkan bahwa salah satu komponen teknologi yang telah
dihasilkan dalam sistem usahatani integrasi ternak sapi-padi adalah pemanfaatan jerami padi
fermentasi sebagai pakan sapi potong dan pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik bagi
tanaman padi. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk produksi kotoran ternak 1 ekor ternak sapi
dewasa adalah 10 – 15 kg/hari, sehingga menghasilkan 0,63 m3 biogas (15 x 0,040) dengan
demikian 1 ekor sapi dewasa menghasilkan 0,63 m3 biogas atau setara 0,36 liter minyak tanah.
Terkait teknologi pembuatan jerami padi fermentasi dan teknologi pembuatan biogas memberikan
suatu alternatif penyediaan pakan bagi sapi potong dan sumber energi alternatif dalam mengatasi
kelangkaan dan harga bahan bakar yang cukup mahal. Hasil yang diperoleh menunjukkan terjadi
peningkatan nilai nutrisi jerami padi fermentadi dibandingkan tanpa fermentasi, 2). Pertambahan
bobot harian sapi Bali yang mengkonsumsi jerami padi fermentasi cukup tinggi yaitu 0,34
kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi jerami hanya 0,10 kg/ekor/hari.
Berbagai program utama dukungan inovasi teknologi ternak sapi yang telah dilakukan Balai
Penelitian Ternak Ciawi, Bogor antara lain : Paket teknologi untuk meningkatkan dan
mempertahankan SKT dan status reproduksi : a) Pakan aditif Kalem (Kalsium lemak) diberikan
setiap hari sebagai sumber energi sehingga meningkatkan bobot badan; b) Pakan aditif Probiotik
Bioplus serat diberikan satu kali /awal musim kemarau atau 2 bulan sebelum induk melahirkan
dan meningkatkan efisiensi pakan dan BB; c) Pakan aditif Minoxvit diberikan setiap hari,
(memperbaiki status reproduksi induk); d) Pakan aditif Zn-Biokompleks, diberikan setiap hari
(dapat meningkatkan reproduksi induk). Penerapan Teknik Jam Biologis, yaitu : suplementasi
leguminosa selama 4 bulan (usia kebuntingan 8 bulan sampai 2 bulan setelah melahirkan),
pemberian Bioplus serat pada usia kebuntingan 8 bulan akan menghasilkan pedet dengan bobot
lahir yang baik, mengurangi kehilangan bobot badan induk setelah melahirkan, dan mempercepat
estrus kembali setelah lahir. Paket teknologi untuk mencegah kematian dan meningkatkan bobot
badan pedet : a) Pakan aditif Probiotik Bioplus pedet, diberikan satu kali pada pedet umur 30 hari:
dapat mempercepat kemampuan pedet untuk mengkonsumsi hijauan, meningkatkan kesehatan,
dan meningkatkan bobot badan pedet; b) Pakan aditif Kalem (kalsium lemak), diberikan setiap
hari sebagai sumber energi, dapat meningkatkan PBBH pedet; c) Paket teknologi untuk
meningkatkan kualitas semen pejantan: i)Pakan aditif Minoxvit, diberikan setiap hari, dapat
meningkatkan kualitas sperma (jumlah sperma yang hidup, motilitas, mengurangi jumlah sperma
mati pada saat pembuatan semen beku); ii) Paket teknologi reproduksi balitnak mendukung Siwab
: a) Teknologi nano hormon prostaglandin untuk sinkronisasi estrus; b) Sinkronisasi estrus dan
ovulasi dengan ib terjadwal pada kerbau; c) Inseminasi buatan menggunakan spermatozoa x dan
y untuk mendapatkan jenis kelamin anak yang diharapkan d) Mikroenkapsulasi spermatozoa
untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan waktu IB terlalu awal (Puslitbangnak, 2017).
Inovasi Teknologi Pengolahan Pupuk
Upaya meningkatkan lahan pertanian yang ramah lingkungan membutuhkan alternative
penerapan teknologi system usaha pertanian berbasis ternak yang diharapkan mampu
memperbaiki produktivitas lahan yang berasal dari kotoran ternak untuk dijadikan bahan organik.
Bahan organic tanah merupakan bagian integral dari tanah dan memegang peranan penting serta
menentukan sifat fisik serta kimia tanah, bahan organik dalam tanah perlu dipertahankan pada
tingkat kadar yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman (Sudaryanto dan Jamal, 2000).
Dwiyanto dan Hariyanto (2002) melaporkan bahwa setiap satu ekor sapi dewasa dapat
menghasilkan 4-5 kg pupuk organik/hari setelah mengalami pemrosesan. Pupuk kandang atau
pupuk organic yang dihasilkan dari ternak sapi sangat berguna untuk memperbaiki struktur tanah
yang miskin unsur hara akibat penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus.
77
Hasil analisis biaya dan pendapatan dari integrasi usaha padi-sapi mampu meningkatkan
pendapatan hingga 100%, jika dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa memelihara sapi
dimana sekitar 40% dari hasil tersebut berasal dari pupuk organik diperoleh dari sapi. Sedangkan
hasil beberapa penelitian lainnya menunjukkan pada umumnya integrasi tanaman dan ternak
dapat memberikan nilai tambah yang cukup tinggi (Dwiyanto et al., 2001).
Terkait dengan Kota Jayapura sebagai wilayah agropolitan bahwa sistem pertanian terutama
untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi sebagian kelompok tani/petani sudah mengarah
kepada system pertanian modern yang menggunakan mesin pertanian dalam operasionalnya
misalkan untuk teknik menanam padi, sebagian petani sudah menggunakan alat tanam (rice
transplanter) dan untuk panen padi menggunakan alat panen (combine harvester) penggunaan alat
mesin pertanian ini sangat membantu petani dalam hal mengefisiensikan waktu, tenaga dan biaya
selain itu saat ini buruh tani atau tenaga kerja usahatani sangat terbatas dan cukup mahal.
Sedangkan upaya untuk meningkatkan lahan pertanian dilakukan pengolahan tanah/pembajakan
dengan membalikkan jerami kembali kedalam lahan menggunakan aplikasi biodekomposer
merupakan komponen teknologi perombak bahan organik diaplikasikan sebanyak 2-4 kg/ha untuk
mendekomposisi 2-4 ton jerami segar yang dicampur secara merata dengan 400 liter air bersih.
Larutan biodekomposer disiramkan secara merata pada tunggul dan jerama pada petakan sawah
kemudian digelebeg dengan traktor dan tanah dibiarkan dalam kondisi lembab dan tidak
tergenang minimal 7 hari. Biodekomposer M-Dec mampu mempercepat pengomposan jerami
secara insitu dari 2 bulan menjadi 3-4 minggu. Pengomposan jerami dengan aplikasi
biodekomposer mempercepat residu organik menjadi bahan organik tanah dan membantu
meningkatkan ketersediaan hara NPK didalam tanah, sehingga meningkatkan efisiensi
pemupukan dan menekan perkembangan penyakit tular tanah selain itu juga untuk mencegah
kebbiasaan petani melakukan pembakaran jerami yang menimbulkan emisi gas carbon yang
mengganggu kesehatan lingkungan. Perlu diperhatikan bahwa apabila seluruh jerami
dikembalikan kedalam tanah diperkirakan sebanyak 4-5 ton jerami /ha sehingga dibutuhkan 4-5
kg biodekomposer/ha (Balitbangtan, 2016).
3. MODEL PENGEMBANGAN INTEGRASI PADI – SAPI POTONG
Berbagai program pertanian dan peternakan terus digalakkan pemerintah untuk meningkatkan
produktivitas padi dan ternak sapi potong. Program-program yang dijalankan belum sepenuhnya
mampu menerapkan inovasi teknologi yang ada disebabkan beberapa kendala atau permasalahan,
sehingga diperlukan inovasi teknologi yang tepat guna, tepat sasaran dan spesifik lokasi.
Dalam menetapkan teknologi yang akan dipilih untuk dikembangkan perlu diingat bahwa
teknologi tersebut harus memenuhi syarat dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan,
ramah lingkungan, secara sosial diterima masyarakat, secara ekonomi layak dan secara politis
diterima. Inovasi teknologi yang dimanfaatkan antara lain adalah teknologi pengelolaan pakan
dan kompos, budidaya ternak termasuk aspek veteriner serta didukung dengan pengembangan
sistem kelembagaan. Teknologi dan manajemen dalam penggunaan sumber pakan lokal meliputi
peningkatan kualitas jerami melalui amoniasi dan fermentasi menggunakan probiotik,
penyimpanan pakan, pemberian pakan tambahan yang murah, serta cara pemberian pakan yang
ekonomis juga teknologi pengolahan kompos diharapkan dapat memberikan sumbangan
pendapatan yang signifikan (Diwyanto, 2008).
Sistem usahatani integrasi antara tanaman dan ternak merupakan salah satu upaya untuk memacu
pengembangan sektor pertanian dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di suatu
kawasan. Penerapan berbagai keunggulan pengelolaan usaha pertanian yang berazaskan
komplementer menghasilkan interaksi positif dan merupakan landasan dasar bagi pengembangan
diversifikasi usaha dalam pertanian terpadu (Sudaryanto dan Jamal, 2000).
Sistem integrasi ternak dan tanaman pangan dapat menjadi andalan dalam upaya meningkatkan
produktivitas tanaman pangan, ternak, selain melestarikan kesuburan tanah dengan adanya pupuk
78
organik, karena itu sistem ini berpotensi meningkatkan pendapatan petani-peternak (Haryanto et
al., 2003).
Pengembangan usaha tani tanaman dan ternak secara bersama-sama menambah pendapatan
petani (Haryanto, 2009). Adapun komponen teknologi yang diaplikasikan seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Komponen Teknologi Yang Diaplikasikan
Komoditas Komponen Petani Kooperator
Padi Varietas, Benih Varietas Unggul dan benih
bersertifikat
Penggunaan bibit Bibit 2-3 batang
Cara tanam Jarak Tanam Legowo
Pengendalian Organisme
Penyakit Tanaman (OPT)
Konsep Penyakit Hama Tanaman
Pemupukan Pemupukan berimbang berdasarkan
bagan warna daun (BWD) dan peta
status hara P dan K
Pupuk Organik Pemanfaatan Kompos
Sapi Sistem Pemeliharaan Kandang kelompok, Kesehatan ternak
Pakan Utama Jerami Fermentasi
Pakan Tambahan Konsentrat
Pengolahan Limbah Pengolahan jerami padi dan pupuk
kandang
Sumber : Basuni,et al., 2010
Pada sistem integrasi tanaman ternak, pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah
ternak menjadi pupuk dan sumber energi alternatif merupakan potensi yang perlu dikembangkan.
Inovasi teknologi pakan ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak bebas limbah (SITT-BL)
memberikan peluang yang menggembirakan menuju green and clean agricultural development.
SITT-BL merupakan salah satu strategi usahatani yang harus mampu : memenuhi permintaan dan
kebutuhan pasar; memperkuat dan memperluas sumber pendapatan rumah tangga petani;
menekan resiko kegagalan dalam mengembangkan usaha; memanfaatkan hubungan sinergis
antara tanaman dan ternak; menyediakan bioenergy pada tingkat rumah tangga dalam bentuk
biogas dan tidak mencemari lingkungan (haryanto, 2009).
4. KESIMPULAN
Pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah ternak menjadi pupuk dan sumber
energy alternative merupakan potensi yang perlu dikembangkan dalam model system integrasi
tanaman padi dan sapi potong yang ramah lingkungan. Inovasi teknologi pengolahan limbah
kotoran ternak sapi dalam system integrasi tanaman ternak yang ramah lingkungan memberikan
peluang untuk dikembangkan sesuai kondisi spesifik lokasi.
Penanganan limbah kotoran ternak sapi yang dihasilkan sebagai bahan organic sangat tepat
diaplikasi di wilayah Kota Jayapura yang merupakan wilayah agropolitan yang menuntut
lingkungan yang tidak tercemar sehingga perlu didukung dengan berbagai inovasi teknologi
budidaya padi dan ternak sapi potong.
Pendampingan oleh penyuluh dan peneliti BPTP dalam mengawal inovasi teknologi sangat
diperlukan mengingat percepatan akselerasi teknologi ditingkat petani akan lebih cepat
79
terdesiminasi melalui bimbingan teknologi dan berbagai pelatihan selain bermanfaat dalam
peningkatan produk pertanian tentunya berdampak pada peningkatan pendapatan petani-ternak.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Balitbangtan, 2016. Budidaya Padi Jajar Legowo Super. Petunjuk Teknis. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
[2] Basuni R., Muladno, C Kusmana, dan Suryahadi. 2010. Model Sistem Integrasi Padi-Sapi
Potong Di Lahan Sawah. Forum Pascasarjana 33 : 3. Pp 177-190.
[3] BBP2TP, 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
[4] BPS Kota Jayapura, 2017. Kota Jayapura dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Kota
Jayapura.
[5] BPS Kota Jayapura, 2017. Kecamatan Muara Tami dalam Angka 2017. Badan Pusat
Statistik Kota Jayapura.
[6] Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2001. Prospek Pengembangan Ternak Pola Integrasi Berbasis
Sumberdaya Lokal. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-
Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
[7] Dwiyanto, K, B.R. Prawiradiputra, D. Lubis. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak Dalam
Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing, Berkelanjutan Dan Berkerakyatan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 17-18 September
2001. Puslitbangnak.
[8] Dwiyanto K, B. Hariyanto. 2002. Crop Livestock System Dalam Mengakselerasi Produksi
Padi dan Ternak. Wartazoa 12 (1): 1-8.
[9] Diwyanto, K., BR Prawiradiputra, dan D Lubis. 2002. Integrasi Tanaman Ternak dalam
Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing. Wartazoa 12 (1).
[10] Dwiyanto, K. 2008. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dan Inovasi Teknologi Dalam
Mendukung Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian
1(3) 2008: 173-188.
[11] Dwiyanto, K. 2015. Parameter Terukur Manajemen Perkawinan/Reproduksi Sapi Dalam
Pendampingan Integrasi Tanaman-Ternak. Koordinasi Pendampingan Integrasi Tanaman-
Ternak. Puslitbangnak Bogor, 25 Maret 2015 (Bahan Presentasi). (
[12] Haryanto, B., I. Inounu, I.G.M. Budiarsana, dan K. Diwyanto. 2003. Pedoman Teknis.
Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
[13] Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman-
Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Pengembangan
Inovasi Pertanian 2(3) : 163 – 176.
[14] Hidayat, MA. 2014. Inovasi Teknologi Untuk Pengelolaan Padi (Oryza sativa) Pada Proses
Pengeringan dan Penggilingan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Sub Optimal (Palembang, 26-27 September 2014).
[15] Priyanto, D., A. Priyanti, dan RA. Saptati. 2009. Peran Kelembagaan dan Sosial Ekonomi
Dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Sistem Integrasi Ternak Tanaman : Padi – Sawit
– Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
[16] Purwono dan H. Purnamawati. 2009. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar
Swadaya, Jakarta.
[17] Puslitbangnak, 2017. Dukungan Inovasi Teknologi Peternakan Mendorong Percepatan
Capaian Target Upsus Siwab. Rakor Pendampingan Upsus SIWAB, Bogor, 22-23 Maret
2017 (Bahan Presentasi).
[18] Sudaryanto, B., T. Suhendrata, dan E. Kushartanti. 2009. Dinamika dan Keragaan Sistem
Integrasi Padi - ternak Sapi Bebas Limbah di Berbagai Daerah di Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
[19] Septiana AF., Pujiharto, dan S Budiningsih. 2016. Kajian Adopsi Inovasi Pola Tanam Jajar
Legowo pada Usahatani Padi Sawah. Agritech : Vol. XVIII No.1 Juni 2016: 1-8.
80
[20] Sudaryanto, T dan E. Jamal. 2000. Pengembangan Agribisnis Peternakan Melalui
Pendekatan Corporate Farming Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
[21] Yuniarsih, ET dan Nappy, MB. 2014. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman
Ternak di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia ke-34.
Pertanian Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial.
[22] Winugroho, M., Y. Widyastuti, Y. Saepudin dan S. Marijati. 2002. Studi Penggunaan
Bubuk Kolostrum dan Bioplus untuk Produksi Susu (Konsistensi Efektifitas Bioplus Yang
Disimpan Pada Ternak Fistula). Kumpulan Hasil Penelitian APBN TA 2001. Balai
Penelitian Ternak, Ciawi Bogor.
[23] Winugroho M dan Y. Widiawati. 2004. Penguasaan dan Pemanfaatan Inovasi Teknologi
Pengkayaan Pakan Sapi Potong/Sapi Perah. Lokakarya Nasional Sapi Potong.
[24] Tiro, B.M.W., Usman, S.R.D. Sihombing dan E. Ayakeding. 2014. Gelar Teknologi
Pemanfaatan Jerami Padi FermentasiSebagai Pakan Sapi Potong Dan Limbah Ternak
Untuk Pembuatan Biogas. Laporan Tahunan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.
81
PERBANDINGAN METODE ESTIMASI PARAMETER UNTUK
MENENTUKAN MAGNITUDO GEMPA BUMI
(Studi KasusDataFrekuensi Gempa Bumi Susulan Kabupaten Nabire, Papua)
Alvian Sroyer1, Tiku Tandiangnga2, Felix Reba3,dan Ishak Beno4
Department of Mathematics, Cenderawasih University, Papua, Indonesia1234 e-mail: [email protected]
e-mail: [email protected],
e-mail: [email protected] e-mail: [email protected]
Abstark. Banyak peneliti mengestimasi pamameter skala dan bentuk distribusi Weibull
menggunakan dua metode estimasi seperti Maximum likelihood danLeast Squares
Method. Studi kasus yang digunakan salah satunya seperti mengitung kecepatan angin.
Pada tulisan ini, kami menggunakantiga metode untuk estimasiparameter skala dan
bentuk distribusi Weibull. Tiga metode tersebut diantaranya Maximum likelihood,Least
Squares Method, dan Grafic Method. Kami membandingkan ketiga metode dengan
kriteria mean square error (MSE), untuk memilih metode terbaik. Hasil estimasi
parameter dari data kemudian digunakan untuk menentukan mean dan magnitude gempa
Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan data frekuensi gempabumi susulan
kabupaten Nabire, Papua.Setelah dilakukan uji kesesuaian dengan uji Kolmogorov-
Smirnov, diperoleh bahwa data mengikuti pola distribusi Weibull. Selanjutnya hasil
penelitian menunjukkan bahwa metode terbaik diantara ketiga metode adalah metode
Maximum Likelihood (MLE). Dengan mean = 50.0199 dan magnitude = 5.9584 pada jam
15.00-21.00 serta mean = 43.2749 dan magnitude = 6.0253 pada jam 03.00-09.00.
Keyword: Weibull distribution, MLE, Least Squares Method (LSM), Grafic Method,
Kolmogorov Smirnov, Magnitude.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk rawan gempa, hal ini dikarenakan
Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik. Kondisi ini menjadikan
wilayah Indonesia sebagi daerah tektonik aktif dengan tingkat seismiksitas atau
kegempaan yang tinggi [1]. Salah satunya termasuk di daerah Papua dan Papua Barat.
Kondisi ini menyebabkan wilayah Papua dan Papua Barat banyak digoncang
gempabumi [2]. Banyak penelitian terdahulu yang menggunakan distirbusi Poisson,
Eksponensial, Gamma dan Weibull untuk menganalisis probabilitas terjadinya gempa
dalam tiap jam dengan membandingkan beberapa metode. Seperti yang dibahas oleh Al-
Fawzan, yaitu Methods for estimating the parameters of the Weibull distribution [3] dan
A comparison of methods for the estimation of Weibull distribution parameters yang
ditulis oleh Nwobi dan Ugomma [4].Juga Comparative study of five methods to estimate
Weibull parameters for wind speed on Phangan Island, Thailandoleh Werapun,
Tirawanichakul, dan Waewsak [5]. Penelitian sebelumnya membandingkan beberapa
metode dalam mengestimasi parameter distribusi Weibull. Metode yang terbaik dalam
menduga parameter distribusi Weibull adalah metode yang memiliki rata-rata kuadrat
galat minimum [6]. Namun pada penelitian ini, setelah diketahui metode terbaik dalam
82
mengestimasi parameter, maka parameter dari data digunakan untuk menentukan
magnitude gempa bumi. Kendala dalam penelitian ini adalah skala richter gempa bumi
adalah kumulatif dari data gempa bumi susulan. Diharapkan penelitian selanjutnya
parameter gempa bumi (p 𝑑𝑎𝑛 𝑞) harus diestimasi,sehingga dapat digambarkan secara
detail skala richter gempa tiap jamnya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis magnitude yang dihasilkan dari data
banyaknya gempa bumi susulan tiap 6 jam, dengan menggunakan dua metode estimasi
parameter. Dimana metode terbaik adalah metode yang menghasilkan error terkecil. Hasil
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana gempa bumi pada masa yang
akan datang.
2. TINJAUN PUSTAKA
2.1. Metode Estimasi parameter distribusi Weibull
Dalam menduga parameter distribusi Weibull dengan dua parameter, digunakan
Metode Least Square Method (LSM), dan Metode Grafik.
2.2. Distribusi Weibull dua parameter
Suatu variabel random kontinu 𝑇 mempunyai distribusi Weibull dengan parameter bentuk
𝑐 > 0 dan parameter skala 𝑏 > 0, jika fungsi densitas probabilitasnya :
𝑓(𝑡|𝑏, 𝑐) = 𝑐
𝑏(𝑡
𝑏)𝑐−1
exp −(𝑡
𝑏)𝑐
𝑡 > 0, 𝑐 > 0, 𝑏 > 0 (𝟏)
0, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛
Untuk fungsi distribusi kumulatifnya adalah sebagai berikut :
F(t) = 1 − S(t) = 1 − exp −(𝑡
𝑏)𝑐
, 𝑡 > 0 (𝟐)
Dalam analisis ketahanan hidup fungsi ketahanan hidup 𝑆(𝑡) diperoleh dari fungsi
distribusi kumulatif sehingga :
𝑆(𝑡) =𝑓(𝑡)
ℎ(𝑡)=
𝑐
𝑏(𝑡
𝑏)𝑐−1
exp − (𝑡
𝑏)𝑐
𝑐
𝑏(𝑡
𝑏)𝑐−1 = exp − (
𝑡
𝑏)𝑐
, 𝑡 > 0 (𝟑)
Setelah parameter bentuk dan skala di ketahui, maka mean dan magnitudegempa bumi
dapat ditentukan. Karena untuk nilai harapan 𝑇 disimbolkan dengan 𝐸(𝑇) dan
didefinisiskan sebagai berikut :
𝐸(𝑇) = ∫ 𝑡 𝑓(𝑡)𝑑𝑡∞
−∞
. (4)
Maka, 𝐸(𝑇) = 𝑏𝛤 (1
𝑐+ 1)
Selanjutnya, karena hubungan frekuensi magnitudeyang diusulkan olehGutenberg-
Richter adalah :𝐿𝑜𝑔 𝑁(𝑀) = 𝑝 − 𝑞𝑀 (5)
Untuk Indonesia(p= 7.30 𝑑𝑎𝑛 𝑞 = 0.94), Maka 𝐿𝑜𝑔 𝑁(𝑀) = 7.30 − 0.94𝑀.
Dimana,M = Skala Richter, N(M) = Jumlah kumulatif suatu gempa yang skala richternya
M dan (p,q) = konstanta yang disebut sebagai parameter seismisitas.
2.3. Least Squares Method (LSM)
83
Teknik estimasi kedua yang akan diskusikan adalah MetodeKuadrat Terkecil. Metode ini
sangat umum diterapkan dalam masalah teknik dan matematika. Penggunaan metode
kuadrat terkecil untuk distribusi Weibull adalah sebagai berikut :
=
𝑛.∑ (ln 𝑡𝑖𝑛𝑖=1 ). (lnln[
1
1−𝑖
𝑛+1
]) − ∑ ln(ln[1
1−𝑖
𝑛+1
]). ∑ ln 𝑡𝑖𝑛𝑖=1
𝑛𝑖=1
𝑛.∑ (ln 𝑡𝑖𝑛𝑖=1 )2 − ∑ (ln 𝑡𝑖
𝑛𝑖=1 )
2 (𝟖)
= 𝑒(−
𝑐⁄ ) (𝟗)
2.4. Metode Grafik
Biasanya, ada metode fisik yang digunakan karena kesederhanaan dan kecepatan.
Namun, mereka melibatkan kemungkinan kesalahan yang lebih besar. Selanjutnya kita
membahas dua hal utamametode grafis. Jika kedua sisi cdf di persamaan (1)
ditransformasikan dengan 𝑙𝑛 (1
1−𝑡), maka akan diperoleh :
𝑙𝑛 (1
1 − 𝐹(𝑡𝑖)) = (
𝑡𝑖𝑏)𝑐
(𝟏𝟎)
Maka,
𝑙𝑛 [𝑙𝑛 (1
1 − 𝐹(𝑡𝑖))] = 𝑐 ln 𝑡𝑖 − 𝑐 ln 𝑏 (𝟏𝟏)
2.5. Metode Penilaian dan Seleksi
Rata-Rata Kuadrat Galat (Mean Square Error) untuk menentukan metode terbaik dalam
menduga parameter distribusi Weibull dengan dua parameter. Rata-Rata Kuadrat Galat
adalah ukuran keakuratan dari penduga. Metode yang terbaik dalam menduga parameter
distribusi
2.6. Uji Keandalan
Pada dasarnya uji kecocokan berdasarkan pada salah satu dari dua elemen distribusi,
yaitu fungsi distribusi kumulatif (Cumulative Ditribution Function) ataufungsi
probabilitas (Probability Density Function). Kolmogorov Simirnov berdasarkan pada
fungsi distribusi kumulatif. Misalkan variabel random 𝑇1, 𝑇2, … , 𝑇𝑛 berasal dari
distribusi yang tidak diketahui𝐹(𝑡),dan misalkan 𝑇(1) < 𝑇(2) < ⋯ < 𝑇(𝑛)adalah statistik
terurut. akan diuji hipotesis bahwa 𝐹(𝑡) adalah sama dengan suatu distribusi tertentu
𝐹0(𝑡). Statistik uji Kolmogorov Smirnov 𝐷𝑛 didefinisikan sebagai :
𝐷𝑛 = 𝑚𝑎𝑘𝑠(𝐷+, 𝐷−) (𝟏𝟐) 𝐷+ = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹𝑛(𝑡) − 𝐹0(𝑡𝑖)] (𝟏𝟑) 𝐷− = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹0(𝑡𝑖) − 𝐹𝑛−1(𝑡)] (𝟏𝟒)
Dengan𝑖 = 1,2, … , 𝑛. 𝐹𝑛(𝑡)adalah fungsi distribusi empiris. Fungsi distribusi empiris
berguna sebagai penduga dari fungsi distribusi yang tidak diketahui 𝐹(𝑡).
2.7. Perbandingan Metode Estimasi
Kriteria Mean Squared Error (MSE) diberikan oleh
𝑀𝑆𝐸 = 1
𝑛∑[(𝑡𝑖) − 𝐹(𝑡𝑖)]
2 (𝟏𝟓)
𝑛
𝑖=1
84
dimana (𝑡𝑖) diperoleh dengan mensubstitusikan nilai parameter 𝑐 𝑑𝑎𝑛 𝑏 (untuk setiap
metode) pada (2) sedangkan 𝐹(𝑡𝑖) =1
𝑛adalah fungsi distribusi empiris. Metode dengan
minimum squared error kuadrat 𝑀𝑆𝐸𝑚𝑖𝑛 menjadi metode terbaik untuk
mengestimasiparameter distribusi Weibull.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Jenis dan sumber data
Data yang akan digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BMKG Prov. Papua.
3.2.Teknik pengolahan data
Data diolah dengan menggunakansoftware Matlab dan R sebagai alat bantu. Prosedur
simulasi sebagai berikut:
1. Mulai input data gempa bumi
2. Pengujian Hipotesis menggunakan Kolmogorov-Smirnov
3. Estimasi parameter dengan menggunakan LSM dan Metode Grafik
4. Output berupa Parameter 𝑏 dan c
5. MSE untuk melakukan seleksi dalam menentukan metod terbaik
6. Menentukan magnitude gempa bumi susulan
4. HASIL YANG DICAPAI
4.1. Metode Penilaian dan Seleksi
Rata-Rata Kuadrat Galat (Mean Square Error) untuk menentukan metode terbaik dalam
menduga parameter distribusi Weibull dengan dua parameter. Rata-Rata Kuadrat Galat
adalah ukuran keakuratan dari penduga. Metode yang terbaik dalam menduga parameter
distribusi
4.2. Uji Keandalan
Pada dasarnya uji kecocokan berdasarkan pada salah satu dari dua elemen distribusi,
yaitu fungsi distribusi kumulatif (Cumulative Ditribution Function) ataufungsi
probabilitas (Probability Density Function). Kolmogorov Simirnov berdasarkan pada
fungsi distribusi kumulatif. Misalkan variabel random 𝑇1, 𝑇2, … , 𝑇𝑛 berasal dari
distribusi yang tidak diketahui𝐹(𝑡),dan misalkan 𝑇(1) < 𝑇(2) < ⋯ < 𝑇(𝑛)adalah statistik
terurut. akan diuji hipotesis bahwa 𝐹(𝑡) adalah sama dengan suatu distribusi tertentu
𝐹0(𝑡). Statistik uji Kolmogorov Smirnov 𝐷𝑛 didefinisikan sebagai :
𝐷𝑛 = 𝑚𝑎𝑘𝑠(𝐷+, 𝐷−) (𝟏𝟐) 𝐷+ = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹𝑛(𝑡) − 𝐹0(𝑡𝑖)] (𝟏𝟑) 𝐷− = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹0(𝑡𝑖) − 𝐹𝑛−1(𝑡)] (𝟏𝟒)
Dengan𝑖 = 1,2, … , 𝑛. 𝐹𝑛(𝑡)adalah fungsi distribusi empiris. Fungsi distribusi empiris
berguna sebagai penduga dari fungsi distribusi yang tidak diketahui 𝐹(𝑡).
4.3. Perbandingan Metode Estimasi
Kriteria Mean Squared Error (MSE) diberikan oleh
𝑀𝑆𝐸 = 1
𝑛∑[(𝑡𝑖) − 𝐹(𝑡𝑖)]
2 (𝟏𝟓)
𝑛
𝑖=1
85
dimana (𝑡𝑖) diperoleh dengan mensubstitusikan nilai parameter 𝑐 𝑑𝑎𝑛 𝑏 (untuk setiap
metode) pada (2) sedangkan 𝐹(𝑡𝑖) =1
𝑛adalah fungsi distribusi empiris. Metode dengan
minimum squared error kuadrat 𝑀𝑆𝐸𝑚𝑖𝑛 menjadi metode terbaik untuk
mengestimasiparameter distribusi Weibull.
4.4. Hasil
Berdasarkan (tabel 1),rata-rata galat error (MSE) menunjukan bahwa metode yang terbaik
dalam menduga parameter data frekuensi gempa bumi susulan Kabupaten Nabire, Papua
adalah maximum likelihhod (MLE). Dimana magnitudo yang di hasilkan sebesar 5.9584
pada jam 15.00 –21.00 dan pada jam 03.00 – 09.00 magnitudo sebesar 6.0253.
Tabel 1. Parameter Skala dan Bentuk, Mean, Skala Richter
Gambar 1
Berdasarkan (gambar 1), terlihat jelas bahwa jam 03.00 - 09.00 memiliki frekuensi
gempa yang lebih tinggi dibandingan dengan jam-jam lainnya. Dimana parameter bentuk
dan skala yang dihasilkan berturut-turut adalah (𝑐 = 1.3941 𝑑𝑎𝑛 𝑏 = 47.4489), Dengan demikian gempa susulan yang terjadi di Nabire Papua Tahun 2004 pada jam
03.00 - 09.00, gempa ini mengakibatkan semua orang lari keluar ruangan, bahkan
dirasakan orang yang mengendarai mobil, bangunan yang konstruksinya kurang baik
runtuh.
5. KESIMPULAN
Hal terpenting dalam mengkaji suatu distribusi adalah pendugaan parameter. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil, metode maximum
likelihood dan metode grafik. Parameter yang diduga adalah data frekuensi gampa bumi
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Frekuensi Gempa
F(t
)
MLE
LSM
Grafic
Metode Jam Parameter Skala
Richter Mean MSE
Skala Bentuk
MLE 15.00 –21.00 54.8117 1.3889 5.9584 50.0199 6.876443
03.00 – 09.00 47.4489 1.3941 6.0253 43.2749 7.938585
LSM 15.00 – 21.00 49.489 1.6307 5.9633 49.489 7.643076
03.00 – 09.00 43.716 1.5075 6.0206 43.716 8.354454
GRAFIK 15.00 – 21.00 47.2601 1.7389 7.5158 47.2601 8.696648
03.00 – 09.00 40.9555 1.6714 7.5349 40.9555 8.88584
86
susulan kabupaten Nabire, Papua. Dan Metode terbaik dalam pendugaan parameter data
gempa bumi susulan dalah metode maximum likelihood (MLE).
DAFTAR PUSTAKA
[1] Gaillard, J. C., Clavé, E., Vibert, O., Denain, J. C., Efendi, Y., Grancher, D., ... &
Setiawan, R. (2008). Ethnic groups’ response to the 26 December 2004 earthquake
and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47(1), 17-38.
[2] Anton, L., & Gibson, G. (2008). Analysing earthquake hazard in Papua New Guinea.
Earthquake Engineering in Australia, AEES2008, Ballarat Victoria, Australia, 21-
23.
[3] Al-Fawzan, M. A. (2000). Methods for estimating the parameters of the Weibull
distribution. King Abdulaziz City for Science and Technology, Saudi Arabia.
[4] Nwobi, F. N., & Ugomma, C. A. (2014). A comparison of methods for the estimation
of Weibull distribution parameters. Metodoloski zvezki, 11(1), 65.
[5] Werapun, W., Tirawanichakul, Y., & Waewsak, J. (2015). Comparative study of five
methods to estimate Weibull parameters for wind speed on Phangan Island, Thailand.
Energy Procedia, 79, 976-981.
[6] Saleh H. Abou El-Azm Aly A, Abdel-Hady S, Assessment of different methods used
to estimate Weibull distribution parameters for wind speed in Zafarana wind farm,
Suea Gulf, Eypt. Energy 2012;44:710-719.
[7] Johnson, N. L. Kotz, S. and Balakrishnan, N. (1994): Maximum Likelihood
Estimation for Weibull Distribution. John Wiley & Sons, New York.
87
MODEL PENYEBARAN TUBERKULOSIS DENGAN
CHEMOPROPHYLAXIS DAN PENGOBATAN YANG TIDAK
TUNTAS
Jonner Nainggolan
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih
Email: [email protected]
Abstrak. Pada tulisan ini dikaji model penularan TB dengan chemoprophylaxis dan pengobatan
yang tidak tuntas. Kemudian menganalisis titik ekuilibrium dan menentukan jumlah reproduksi
dasar. Berdasarkan simulasi numerik menunjukkan chemoprophylaxis dan pengobatan kasus TB
aktif efektif menurunkan epidemi TB; sedangkan chemoprophylaxis dan pengobatan yang tidak
tuntas menunjukkan tidak terlihat mempengaruhi dinamika jumlah individu kompartemen
infected yang gagal berobat.
Kata kunci:model penularan TB, chemoprophylaxis, pengobatan, titik ekuilibrium, jumlah
reproduksi dasar
1. PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M.
africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than tuberculosis)
yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC Jumlah kasus baru
TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan
jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan
pada perempuan (Indah, 2018).
Masalah klinis yang kompleks membutuhkan waktu yang lama dan kerjasama antara petugas
kesehatan dan keluarga. Dimana petugas tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien, tetapi
juga mencari dan memberi solusi atas permasalahan-permasalahan dalam lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga (Zettira, 2017) .
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan masih
dibawah target yaitu 83,6% dari target 90%. Hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan pasien TB
untuk menjalani pengobatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara teratur. Keberhasilan
pengobatan juga ditentukan oleh penemuan kasus secara mikroskopis. Rendahnya penemuan
kasus akan mengalami penundaan pengobatan (keterlambatan pengobatan), dan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi karena penyakit yang berkepanjangan dan
perkembangan komplikasi, serta peningkatan risiko penularan infeksi lebih lanjut (Indah, 2018).
Pengendalian tuberculosis telah banyak dikaji oleh peneliti antara lain hasil penelitian yang dikaji
oleh Nainggolan at al. (2013) menunjukkan bahwa vaksinasi mampu mengurangi jumlah populasi
laten dan infeksi. Kontrol pada pengobatan untuk mengurangi individu yang terinfeksi TB
(Nainggolan et al., 2014. Egonmwan (2018) telah menganalisis model tuberculosis dengan
diagnosis, sedangkan Trauner (2014) mengkonstruksi model tuberculosis dengan transmisi yang
tinggi di daerah Asia-Pasifik. Trauner et al. (2014) mengkonstruksi model TB dengan transmisi
yangtti di daerah Asia-pasifik. Pada penelitian mengembangkan penelitian (Liu and Wang, 2016)
analisis TB dengan pengobatan terganggu dengan menambahkan parameter chemoprophylaxis.
88
2. Model
Transmisi penyebaran penyakit tuberkulosis pada penelitian ini pengembangan dari model Liu
dkk., (2016) dengan faktor chemoprophylaxis. Populasi pada model penyebaran penyakit
tuberkulosis yang dikaji dibagi dalam enam kompartemen yaitu: Individu kompartemen
susceptible yaitu individu yang sehat dan rentan terinfeksi penyakit disimbolkan dengan S.
Individu kompartemen exposed dan masih sensitif terhadap chemopropohylaxis yaitu individu
tetapi belum dapat menularkan penyakit ke kompartemen yang laindinotasikan dengan E. Jumlah
individu kompartemen terinfeksi yaitu individu yang dapat menularkan penyakit ke
kompartemen yang lain dinotasikan dengan I. Jumlah individu kompartemen gagal pengobatan
yaitu individu yang terinfeksi dan telah diobati tetapi pengobatannya tidak tuntas dinotasikan
dengan D. Jumlah individu kompartemen yang sembuh karena chemoprophylaxis dan
pengobatan dinotasikan dengan R.
Model transmisi tuberkulosis yang dikaji dengan memperhatikan dengan memperhatikan
chemoprophylaxis seperti pada Gambar 1:
Gambar 1. Diagram skematik Transmisi TB dengan pengobatan tidak tuntas
Asumsi yang digunakan pada perumusan model adalah sebagai berikut:
1) Populasi adalah tertutup dan bersifat homogen.
2) Laju rekruitmen masuk ke kompartemen S.
3) Memperhatikan chemoprophylaxis yang tidak tuntas
4) Memperhatikan pengobatan yang tidak tuntas
5) Chemoprophylaxis dan pengobatan yang tidak tuntas masuk ke kompartemen D
6) Masing-masing kompartemen mengalami kematian alamiah
7) Tidak memperhatikan reinfeksi
8) Setiap individu yang terinfeksi penyakit tuberkulosis aktif memiliki probabilitas yang
sama untuk menularkan ke setiap individu yang rentan terinfeksi dan individu yang
sembuh.
9) Terdapat kematian karena sakit.
10) Fungsi kompartemen-kompartemen 𝑆(𝑡), 𝐸(𝑡), 𝐼(𝑡), 𝐷(𝑡), 𝑅(𝑡) terdiferensial terhadap
waktu t.
Berdasarkan diagram pada Gambar 1, asumsi model, parameter-parameter dan variabel-
variabel yang ada kemudian dibangun model matematika yang dinyatakan dalam sistem
persamaan berikut:
E
E qcE prI ( + d1)I
R
𝛽𝑆𝐼
𝑁
𝜎𝑆𝐷
𝑁 (1 – q)cE kD
(1 – p)rI
S ( + d2)D
E
S
I
D
R
89
𝑑𝑆
𝑑𝑡= Λ −
𝛽𝑆𝐼
𝑁−
𝜎𝑆𝐷
𝑁− 𝜇𝑆
𝑑𝐸
𝑑𝑡=
𝛽𝑆𝐼
𝑁+
𝜎𝑆𝐷
𝑁− (𝜇 + + 𝑐)𝐸
𝑑𝐼
𝑑𝑡= 𝐸 + 𝑘𝐷 − (𝜇 + 𝑑1 + 𝑟)𝐼
𝑑𝐷
𝑑𝑡= (1 − 𝑞)𝑐𝐸 + (1 − 𝑝)𝑟𝐼 − (𝜇 + 𝑑2 + 𝑘)𝐷
𝑑𝑅
𝑑𝑡= 𝑞𝑐𝐸 + 𝑝𝑟𝐼 − 𝜇𝑅
(1)
dengan deskripsi dan nilai estimasi parameter-parameter dinyatakan pada Tabel 1. Sebagian besar
nilai-nilai parameter diambil dari Liu et al. (2016) dan sebagian lagi diasumsikan.
Kondisi awal dari model (1) yaitu: S(0) = S0 0, E(0) = E0 0, I(0) = I0 0, D(0) = D0 0 dan
R(0) = R0 0, sedemikian sehingga𝑑𝑆0
𝑑𝑡> 0,
𝑑𝐸0
𝑑𝑡> 0,
𝑑𝐼0
𝑑𝑡> 0,
𝑑𝐷
𝑑𝑡> 0 dan
𝑑𝑅0
𝑑𝑡> 0. Hal ini
berarti bahwa jika jumlah awal dari suatu kompartemen sama dengan nol, maka turunan
kompartemen tersebut persatuan waktu selalu bernilai positif. Jika sebuah syarat awal diberikan
dalam daerah domain biologis, maka solusi dari model akan terdefinisi untuk setiap waktu t 0
dan tetap berada di dalam daerah tersebut. Oleh karena itu persamaan (1) mempunyai solusi
dalam daerah nonnegatif 𝑹≥05 , daerah domain biologis persamaan (1) adalah
𝐺 = (S, 𝐸, 𝐼, 𝐷, 𝑅) ∈ 𝑹+𝟓 : 𝑆 + 𝐸 + 𝐼 + 𝐷 + 𝑅 ≤
𝜇,
dimana
𝜇 adalah jumlah populasi pada waktu non-endemik. Tambahan persamaan yang
diperoleh dari persamaan (1)
𝑑𝑁
𝑑𝑡= Λ − 𝜇𝑁 − 𝑑1𝐼 − 𝑑2𝐷 ≤ Λ − 𝜇𝑁
Jelas bahwa jika 𝑁 >
𝜇,𝑑𝑁
𝑑𝑡< 0. Karena penyelesaian persamaan (1) semuanya nilai awal non-
negatif di ruang 𝑹+𝟓 terbatas dan berada pada interval [0, +).
Tabel 1. Simbol, Deskripsi, dan Estimasi Parameter-Parameter ModelTuberkulosis dengan
Pengobatan Tidak Tuntas.
Parameter Keterangan Estimasi
Laju rekruitmen yang masuk ke kompartemen S 3000 orang per tahun
Laju transmisi dari S ke I akibat S kontak dengan I 0,6 pertahun
Laju transmisi dari S ke I akibat S kontak dengan D 0,1 pertahun
Laju kematian alamiah masing-masing kompartemen (1/70) pertahun
k Laju transmisi dari D ke I 0.3 pertahun
Laju transmisi dari E ke I 0,2 pertahun
c Lajuchemoprophylaxis dari E ke R dengan 0,7 per tahun
r Laju kesembuhan karena pengobatan dari I ke R
dengan peluang p
0,5 pertahun
d1 Laju kematian I karena sakit 0,08 pertahun
d2 Laju kematian D karena sakit 0,08 perthun
90
p Peluang kesembuhan chemoprophylaxis 0.7 pertahun
q Peluang kesembuhan pengobatan 0,5 pertahun
3. PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas analisis transmisi tuberkulosis dengan tindakan chemoprophylaxis dan
pengobatan, angka reproduksi dasar dan simulasi numerik.
3.1 Analisis Model Transmisi Tuberkulosis dengan Chemoprohylaxis dan Pengobatan
yang Tidak Tuntas
Analisis yang dilakukan pada model transmisi penyakit tuberkulosis (1) adalah
menentukan titik ekuilibrium dan kestabilan lokal non-endemik dan angka reproduksi dasar
(R0).Titik ekuilibrium non-endemik persamaan (1) dengan syarat 𝑑𝑆
𝑑𝑡= 0,
𝑑𝐸
𝑑𝑡= 0,
𝑑𝐼
𝑑𝑡= 0,
𝑑𝐷
𝑑𝑡=
0,𝑑𝑅
𝑑𝑡= 0 dan tidak ada infeksi (E = 0, I = 0, dan D = 0) diperoleh
𝑄0 = (𝑆0, 𝐸0, 𝐼0, 𝐷0, 𝑅0) = (Λ
𝜇, 0,0,0,0) (2)
Titik ekuilibrium endemik persamaan (1) dengan syarat 𝑑𝑆
𝑑𝑡= 0,
𝑑𝐸
𝑑𝑡= 0,
𝑑𝐼
𝑑𝑡= 0,
𝑑𝐷
𝑑𝑡=
0,𝑑𝑅
𝑑𝑡= 0 diperoleh
𝑄1 = (𝑆1, 𝐸1, 𝐼1, 𝐷1, 𝑅1) , dengan
𝑆1 =𝑁𝑘1(𝑘𝑝𝑟 − 𝑘𝑟 + 𝑘2𝑘3)
−𝛽𝑐𝑘𝑞 − 𝑐𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑐𝑘 + 𝛽𝛾𝑘3 + 𝑐𝑘𝜎 + 𝛾𝑘3𝜎
𝐸1
=((𝑐𝑘2 + 𝛾𝑟 − 𝑐𝑘2𝑞 + 𝛾𝑝𝑟)(𝑁𝑘𝑘1𝜇𝑟(1 − 𝑝) − 𝑁𝑘1𝑘2𝑘3𝜇 + Λ𝑐(−𝛽𝑘𝑞 − 𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑘 + 𝑘𝜎) + Λ𝛾𝑘3(β + σ))
(𝛽 + 𝜎)(−𝑐𝑘𝑞 + 𝑐𝑘 + 𝛾𝑘3)𝑘1
𝐼1 =(−𝑁𝑘1(𝑘𝜇𝑝𝑟 − 𝑘𝜇𝑟 + 𝑘2𝑘3𝜇) − Λ𝑐𝑘(𝛽𝑞 + 𝑞𝜎 − 𝛽 − 𝜎) + Λ𝑘3(𝛽𝛾 + 𝛾𝜎))
𝑘1(𝛽𝑘𝑝𝑟 + 𝑘𝑝𝑟𝜎 − 𝛽𝑘𝑟 + 𝛽𝑘2𝑘3 − 𝑘𝑟𝜎 + 𝑘2𝑘3𝜎
𝐷1
=((𝑐𝑘2 + 𝛾𝑟 − 𝑐𝑘2𝑞 + 𝛾𝑝𝑟)(𝑁𝑘𝑘1𝜇𝑟(1 − 𝑝) − 𝑁𝑘1𝑘2𝑘3𝜇 + Λ𝑐(−𝛽𝑘𝑞 − 𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑘 + 𝑘𝜎) + Λ𝛾𝑘3(β + σ))
((𝑘𝑟(𝛽𝑝 + 𝑝𝜎 − 𝛽 − 𝜎) + 𝑘2𝑘3(𝛽 − 𝜎))(−𝑐𝑘𝑞 + 𝑐𝑘 + 𝛾𝑘3)𝑘1
𝑅1
=((𝑐𝑘2 + 𝛾𝑟 − 𝑐𝑘2𝑞 + 𝛾𝑝𝑟)(𝑁𝑘𝑘1𝜇𝑟(1 − 𝑝) − 𝑁𝑘1𝑘2𝑘3𝜇 + Λ𝑐(−𝛽𝑘𝑞 − 𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑘 + 𝑘𝜎) + Λ𝛾𝑘3(β + σ))
((𝑘𝑟(𝛽𝑝 + 𝑝𝜎 − 𝛽 − 𝜎) + 𝑘2𝑘3(𝛽 − 𝜎))(−𝑐𝑘𝑞 + 𝑐𝑘 + 𝛾𝑘3)𝑘1
+ (𝑐𝑘𝑟(𝑝−𝑞)+𝑐𝑘2𝑘3𝑞+𝛾𝑘3𝑝𝑟)
𝜇(𝑘𝑝𝑟(𝛽+𝜎)−𝛽𝑘𝑟−𝑘𝑟𝜎+𝑘2𝑘3(𝛽+𝜎))(−𝑐𝑘𝑞+𝑐𝑘+𝛾𝑘3)𝑘1,
dimana: k1 = + + c, k2 = + d1 + r, k3 = + d2 + k.
3.2 Angka Reproduksi Dasar (R0)
Angka reproduksi dasar vaksinasi (R0) adalah rata-rata banyaknya kasus sekunder yang
diakibatkan oleh satu individu yang terinfeksi selama masa menularnya ketika masuk ke suatu
populasi yang susceptible (Van den Driessche and Watmough, 2002). Angka reproduksi dasar
(R0) dari persamaan (1). Penentuan R0 dari model diperoleh dengan menggunakan Next
Generation Matrix(Driessche dan Watmough, 2002) yaitu:
𝑅0 =√(𝜇(𝑐+𝑑1+𝛾+𝜇+𝑟)+𝑐𝑑1+𝑐𝑟+𝛾𝑑1+𝛾𝑟)Λ𝛽𝛾
√𝜇𝑁(𝜇(𝑐+𝑑1+𝛾+𝜇+𝑟)+𝑐𝑑1+𝑐𝑟+𝛾𝑑1+𝛾𝑟).
91
3.3 Simulasi Numerik
Simulasi numerik untuk model sistem persamaan (1) menggunakan metode Runge-Kutta orde
empat dengan program Matlab. Nilai parameter yang digunakan pada Tabel 1 dan kondisi awal
yaitu: S(0) = 100000, E(0) = 20000, I(0) = 10000, D(0) = 5000, dan R(0) = 0. Adapun
dinamikagrafik kompartemen exposed, infected, dan infected gagal pengobatan dan
recoveredpenyakit tuberkulosis dinyatakan pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4 dan Gambar
5.
Pada Gambar 2 terdapat perbedaan jumlah individu kompartemen exposed dengan
chemoprophylaxis dan tanpa chemoprophylaxis. Jumlah individu kompartemen exposed,
denganchemoprophylaxis menurun dari waktu awal sampai waktu t = 30 tahun. Sedangkan
jumlah individu kompartemen exposed, tanpa chemoprophylaxis meningkat dari waktu awal
sampai waktu t = 30 tahun.
Gambar 2. Dinamika kompartemen Exposed
Gambar 3. Dinamika kompartemen infected
Pada Gambar 3 terdapat perbedaan jumlah individu kompartemen infected dengan pengobatan
dan tanpa pengobatan. Jumlah individu kompartemen infected, denganpengobatan menurun dari
waktu awal sampai waktu t = 30 tahun. Sedangkan jumlah individu kompartemen infected,
tanpapengobatan meningkat dari waktu awal sampai waktu t = 30 tahun.
Gambar 4. Dinamika kompartemen infected gagal pengobatan
0 5 10 15 20 25 30
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10x 10
4 Dinamika Kompartemen Exposed
Waktu (Tahun)
Kom
part
emen
Exp
osed
Dengan chemoprophylaxis
Tanpa chemoprophylaxis
0 5 10 15 20 25 30
0
1
2
3
4
5
6x 10
4 Dinamika Kompartemen Infected
Waktu (Tahun)
Kom
parte
men
Infe
cted
Dengan peengobatan
Tanpa pengobatan
0 5 10 15 20 25 30
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3x 10
4 Dinamika Kompartemen Infected Gagal Pengobatan
Waktu (Tahun)
Kom
parte
men
Infe
cted
Gag
al P
engo
bata
n
dengan chemo tanpa obat
dengan obat tanpa chemo
Dengan chemo dan obat
0 5 10 15 20 25 30
0
1
2
3
4
5
6
7x 10
4 Dinamika Kompartemen Recovered
Waktu (Tahun)
Kom
parte
men
Rec
over
ed
Dengan chemo tanpa obat
Dengan chemo dan obat
Dengan obat tanpa chemo
Tanpa chemo dan obat
92
Gambar 5. Dinamika kompartemen recovered
Pada Gambar 4 dinamika jumlah individu kompartemen infected yang gagal chemoprophylaxis
atau pengobatan. Jumlah individu kompartemen infected yang gagal pengobatan dari awal sampai
waktu t = 6 tahun, jumlah individu meningkat, tetapi setelah t = 6 tahun sampai waktu t = 30
tahun jumlah individu menurun.
Pada Gambar 5 dinamika jumlah individu kompartemen recovered tanpa chemoprophylaxis dan
pengobatan monoton dari awal sampai waktu t = 30 tahun. Jumlah individu kompartemen
recovered dengan chemoprophylaxis dan atau pengobatan meningkat dari waktu awal sampai
waktu t = 30 tahun.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil kajian model transmisi penyebaran tuberkulosis dengan
chemoprophylaxis dan pengobatan yang gagal diperoleh bahwa:
1. Tindakan chemoprophylaxis efektif menurunkan jumlah individu kompartemenexposed.
2. Tindakan pengobatan efektif menurunkan jumlah individu kompartemen terinfeksi.
3. Tindakan chemoprophylaxis dan pengobatan secara bersama-sama efektif meningkatkan
jumlah individu kompartemen recovered.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Driessche, P.v. D. and Watmough, J.2002. “Reproduction Numbers and Sub-Threshold
Endemic Equilibria for Compartmental Models of Disease Transmission”, Math Biosci.,180,
29–48 (2002). [2] Indah, M., 2018. Infodati, Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, Kementerian RI, 2018.
[3] Liu, L. and Wang, L.2016. Analysis of a TB Model with Treatment Interruptions, J.
Nonlinear Sci. Appl. 9, 1549–1563.
[4] Nainggolan, J., Supian, S., Supriatna, A. K., and Anggriani, N. 2013. Mathematical Model of
Tuberculosis Transmission with Reccurent Infection and Vaccination, Journal of Physics:
Conference Series423, 012059, 1-8.
[5] Nainggolan, J., Supian, S., Supriatna, A. K., and Anggriani, N., and Detiatrimargini, 2014.
Optimal Control Solution of A Tuberculosis Transmission Model with Reccurent Infection
and Vaccination Using C# Programming,J. Advanced Science Letters: Volume 20, Number
1, p. 51-55(5).
[6] Zettira, Z. dan Sari, M. I., 2017. Penatalaksanaan Kasus Baru TB Paru dengan Pendekatan
Kedokteran Keluarga, J. Medula Unila, 7 (3), h. 68-79.
[7] Egonmwan, A. O. and Okuonghae1, D., 2018. Analysis of a mathematical model for
tuberculosiswith diagnosis, J. Appl. Math. Comput, 10.1007/s12190-018-1172-1.
[8] Trauer, J.M. .Denholm, J.T., and McBryde, E. S. 2014. Construction of a Mathematical
Model for Tuberculosis Transmission in Highly Endemic Regions of The Asia-Pacific,
Journal of Theoretical Biology, 358, 74–84.
93
TRACE DARI MATRIKS BERPANGKAT
BILANGAN BULAT POSITIF
Arinvia Cindy Nirvani1, Westy B. Kawuwung2, dan Tiku Tandiangnga3
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih1,2,3
e-mail : [email protected]
e-mail : [email protected]
Abstrak.Trace dari matriks 𝐴𝑛×𝑛 = [𝑎𝑖𝑗] didefinisikan sebagai jumlah dari entri pada diagonal
utama matriks tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk umum untuk
menentukan trace dari matriks yang dipangkatkan n kali dengan n bilangan bulat positif.
Diperoleh:
(1) Untukn𝑛nganjil,m( 1) 2
0
( 1)( ) [ ( 1)][ ( 2)]...[ (
!
rnn
r
tr A n n r n r n rr
−
=
−= − + − + − +
( )( ) ( 2 )( 1)]. det ( ( )) ,r n rr A tr A −− dengan rZ .
(2) Untuk 𝑛 genap, 2
0
( 1)( ) [ ( 1)][ ( 2)]... ( ( 1) .
!
rnn
r
tr A n n r n r n r rr=
−= − + − + − + −
( )( ) ( 2 ) det ( ( )) ,r n rA tr A −
dengan rZ .
Diperoleh pula rumus untuk menentukan 𝑡𝑟(𝐴𝑛), jika diketahui 𝑡𝑟(𝐴) = 0 atau det(𝐴) = 0.
Kata kunci : trace, determinan, matriks berpangkat
1. PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan matriks berpangkat 𝐴𝑛 adalah perkalian matriks 𝐴 sebanyak 𝑛 kali dengan
𝑛 bilangan bulat positif. Dalam publikasinya, Brezinski (2012) menulis bahwa trace dari matriks
berpangkat seringkali dibahas pada beberapa bagian dari matematika seperti analisis jaringan,
teori bilangan, sistem dinamik, teori matriks, dan persamaan diferensial [3]. Sebelumnya, Avron
(2010) menyatakan bahwa suatu masalah yang penting ketika menganalisis jaringan yang rumit
adalah masalah menentukan banyaknya segitiga yang termuat dalam graf terhubung sederhana
𝐺(𝐸, 𝑉) yang merepresentasikan jaringan tersebut. Dari hasil penelitiannya Avron memperoleh
rumus umum 𝑡𝑟(𝐴3)/6 dimana 𝐴 adalah matriks ketetanggaan dari graf 𝐺(𝐸, 𝑉) tersebut [2].
Pada tahun 2015, Jagdish Pahade dan Manoj Jha menerbitkan publikasinya berupa artikel
mengenai trace dari suatu matriks𝐴, yaitu matriks yang berukuran 2 × 2 dengan entri bilangan
real, yang berpangkat bilangan bulat positif [4].Penelitian ini merupakan pengembangan dari
artikel tersebut.
2. METODE
Jika 𝐴 adalah sebuah matriks persegi, maka trace dari 𝐴, yang dinyatakan sebagai 𝑡𝑟(𝐴), didefinisikan sebagai jumlah entri-entri pada diagonal utama 𝐴. Trace dari 𝐴 tidak dapat
didefinisikan jika 𝐴 bukan matriks persegi.
Jika 𝐴 adalah matriks persegi, maka definisi pangkat bilangan bulat positif dari 𝐴 adalah sebagai
berikut:
i. 𝐴0 = 𝐼, dengan I adalah matriks identitas
ii. 𝐴𝑛 = 𝐴. 𝐴.⋯ . 𝐴 , dengan 𝑛 > 0
𝑛 faktor
94
Untuk menentukan nilai trace dari matriks berpangkat 𝐴𝑛 dengan nilai 𝑛 yang cukup besar
tidaklah mudah, diperlukan penghitungan yang tidak sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari bentuk umum untuk menentukan 𝑡𝑟(𝐴𝑛) dimana 𝐴 adalah matriks yang berukuran 2 × 2
dan 𝑛 adalah bilangan bulat positif. Penelitian dimulai dengan nilai 𝑛 yang kecil, meningkat,
hingga diperoleh hasil yang diharapkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertama-tama diperoleh bentuk umum untuk menentukan trace dari matriks berpangkat 𝐴𝑛
untuk 𝑛 bilangan ganjil.
Teorema 1
Jika 𝐴 matriks yang berukuran 2 × 2 maka untuk setiap 𝑛 bilangan ganjil berlaku
tr(An)= ∑(-1)
r
r!n[n-(r+1)][n-(r+2)]…[
(n-1)/2
r=0
n-(r+(r-1)](det(A))r(tr(A))(n-2r)
dengan 𝑟 ∈ ℤ
Bukti:
Misalkan diketahui matriks 𝐴 = [𝑎 𝑏𝑐 𝑑
], maka
𝑡𝑟(𝐴) = 𝑎 + 𝑑
det(𝐴) = 𝑎𝑑 − 𝑏𝑐
𝐴3 = 𝐴. 𝐴. 𝐴
𝐴3 = [𝑎 𝑏
𝑐 𝑑] [𝑎 𝑏
𝑐 𝑑] [𝑎 𝑏
𝑐 𝑑]
𝐴3 = [𝑎2 + 𝑏𝑐 𝑏(𝑎 + 𝑑)
𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑏𝑐 + 𝑑2] [𝑎 𝑏
𝑐 𝑑]
𝐴3 = [(𝑎2 + 𝑏𝑐)𝑎 + (𝑏(𝑎 + 𝑑))𝑐 (𝑎2 + 𝑏𝑐)𝑏 + (𝑏(𝑎 + 𝑑))𝑑
(𝑐(𝑎 + 𝑑))𝑎 + (𝑏𝑐 + 𝑑2)𝑐 (𝑐(𝑎 + 𝑑))𝑏 + (𝑏𝑐 + 𝑑2)𝑑]
𝐴3 = [𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑎2𝑏 + 𝑏2𝑐 + 𝑏𝑑(𝑎 + 𝑑)
𝑎𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐2 + 𝑐𝑑2 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3]
𝑡𝑟(𝐴3) = 𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3
95
𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3
𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 3𝑎𝑏𝑐 + 3𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3
𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)
𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) − 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) + 3𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)
𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) − 3𝑎2𝑑 − 3𝑎𝑑2 + 3𝑎𝑏𝑐 + 3𝑏𝑐𝑑
𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) − 3(𝑎2𝑑 − 𝑎𝑑2 − 𝑎𝑏𝑐 − 𝑏𝑐𝑑)
𝑡𝑟(𝐴)3 = (𝑎 + 𝑑)3 − 3(𝑎 + 𝑑)(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)
𝑡𝑟(𝐴3) = (𝑡𝑟(𝐴))3− 3det(𝐴) 𝑡𝑟(𝐴) (1)
𝐴5 = 𝐴3. 𝐴2
= [𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑎2𝑏 + 𝑏2𝑐 + 𝑏𝑑(𝑎 + 𝑑)
𝑎𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐2 + 𝑐𝑑2 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3] [𝑎2 + 𝑏𝑐 𝑏(𝑎 + 𝑑)
𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑏𝑐 + 𝑑2]
𝑡𝑟(𝐴5) = (𝑎2 + 𝑏𝑐)[𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)]
+𝑐(𝑎 + 𝑑)[𝑎2𝑏 + 𝑏2𝑐 + 𝑏𝑑(𝑎 + 𝑑)]
+𝑏(𝑎 + 𝑑)[𝑎𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐2 + 𝑐𝑑2]
+(𝑏𝑐 + 𝑑2)[𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3]
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑎3𝑏𝑐 + 𝑎2𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑎3𝑏𝑐 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑)
+𝑎2𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑(𝑎 + 𝑑)2 + 𝑎𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)2
+𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2𝑑 + 𝑏𝑐𝑑3
+𝑏𝑐𝑑2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑3 + 𝑑5
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑎𝑏2𝑐2 + 4𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑)
+𝑏𝑐𝑑(𝑎 + 𝑑)2 + 𝑎𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)2 + 2𝑏𝑐𝑑2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 4𝑎𝑏2𝑐2
+4𝑏2𝑐2𝑑 + 𝑏𝑐𝑑(𝑎2 + 2𝑎𝑑 + 𝑑2) + 𝑎𝑏𝑐(𝑎2 + 2𝑎𝑑 + 𝑑2) + 2𝑎𝑏𝑐𝑑2
+2𝑏𝑐𝑑3 + 𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 4𝑎𝑏2𝑐2
+4𝑏2𝑐2𝑑 + 𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 𝑏𝑐𝑑3 + 𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏𝑐𝑑2
+2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 2𝑏𝑐𝑑3 + 𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3
96
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑎3𝑏𝑐
+2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3 + 𝑎3𝑏𝑐 + 3𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 3𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 𝑏𝑐𝑑3
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 5𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 5𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 5𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 5𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑
+10𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 10𝑎𝑏𝑐𝑑2 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑 − 10𝑎𝑏𝑐𝑑2
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2
+5𝑏2𝑐2𝑑 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑 − 10𝑎𝑏𝑐𝑑2
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑
−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑
−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 − 5𝑎3𝑑2 − 5𝑎2𝑑3 + 5𝑎3𝑑2
+5𝑎2𝑑3 + 5𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑)3 − 5𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑)3
𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑
−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 − 5𝑎3𝑑2 − 5𝑎3𝑑2 − 5𝑎2𝑑3
+5𝑎3𝑑2 + 5𝑎2𝑑3 + 5𝑎4𝑑 + 15𝑎3𝑑2 + 15𝑎2𝑑3 + 5𝑎𝑑4 − 5𝑎4𝑑
−15𝑎3𝑑2 − 15𝑎2𝑑3 − 5𝑎𝑑4
𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎5 + 5𝑎4𝑑 + 10𝑎3𝑑2 + 10𝑎2𝑑3 + 5𝑎𝑑4+ 𝑑5) − 5𝑎4𝑑 − 15𝑎3𝑑2
−15𝑎2𝑑3 − 5𝑎𝑑4 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3
−10𝑎2𝑏𝑐𝑑 − 10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 + 5𝑎3𝑑2 + 5𝑎2𝑑3
𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎4𝑑 − 3𝑎3𝑑2 + 3𝑎2𝑑3 + 𝑎𝑑4 − 𝑎3𝑏𝑐 − 3𝑎2𝑏𝑐𝑑
−3𝑎𝑏𝑐𝑑2 − 𝑏𝑐𝑑3) + 5𝑎3𝑑2 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑎2𝑑3
−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏2𝑐2𝑑
𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)(𝑎3 + 3𝑎2𝑑 + 3𝑎𝑑2 + 𝑑3) − 5(𝑎3𝑑2
−2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 𝑎2𝑑3 − 2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 𝑏2𝑐2𝑑)
𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)(𝑎 + 𝑑)3 − 5(𝑎2𝑑2 − 2𝑎𝑏𝑐𝑑 + 𝑏2𝑐2)(𝑎 + 𝑑)
𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)(𝑎 + 𝑑)3 + 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)2(𝑎 + 𝑑)
𝑡𝑟(𝐴5) = (𝑡𝑟(𝐴))5− 5det (𝐴)(𝑡𝑟(𝐴))
3+ 5(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴)) (2)
97
Dari Persamaan (1) dan (2) diperoleh
𝑡𝑟(𝐴3) = (𝑡𝑟(𝐴))3− 3det(𝐴) 𝑡𝑟(𝐴)
𝑡𝑟(𝐴3) =(−1)0
0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))
3−(2×0)
+(−1)1
1!3(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))
3−(2×1)
𝑡𝑟(𝐴5) = (𝑡𝑟(𝐴))5− 5𝑑𝑒𝑡(𝐴)(𝑡𝑟(𝐴))
3+ 5(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
𝑡𝑟(𝐴5) =(−1)0
0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))
5−(2×0)
+(−1)1
1!5(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))
5−(2×1)+(−1)2
2!5(5 − 3)
(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))5−(2×2)
00 (2 0)( 1)
( ) (det( )) ( ( ))0!
n ntr A A tr A − −=
( )( )( ) ( )( )
( )1
1 2 11det
1!
n
n A tr A− −
+( )
21
2!
−+
( ) ( )( ) ( )( )( )2 2 2
n n 3 detn
A tr A−
− +
( )( )( )
331
( 4)( 5) det3!
n n n A−
− −( )( )
( )2 3n
tr A−
( )( )
( )( )( )1 /2
11 / 2 1
(( 1) / 2)!
n
n n nn
−−
++ − − + −
( )( )( ) ( )( ) ( )( )( )( )1 / 2 2 1 / 2 1 / 2 1n n n n n − − + − − + − −
( )( )( )
( )( )( )( )( )1 /2 2 1 /2
detn n n
A tr A− − −
( )( ) ( )( ) ( ) ( )( ) ( )( )2 2 4
( ) ( ( ) det n 3 d2
et)n nn n
n A trn
tr A t trr A A A A− −
= −− +
( )( ) ( )( )( )
( )1 /263
..1
( 4)( 5) det(( 1) / 2)
.!6
nn
nn
n A tr An
−−
+ +−
− − −−
( )( )( ) ( )( )( )1 / 2 1 1 / 2 2n n n n n − − + − − +
( )( ) ( )( )( )( ) ( )( )( )
( )( )( )( )( )1 /2 2 1 /2
1 / 2 1 / 2 1 detn n n
n n n A tr A− − − − − + − −
Teorema 2
Jika 𝐴 matriks yang berukuran 2 × 2 maka untuk setiap 𝑛 bilangan genap berlaku:
( )( )2
0
( 1)( ) [ ( 1)][ ( 2)]... ( ( 1) . det
!
rnrn
r
tr A n n r n r n r r Ar=
−= − + − + − + −
( 2 )( ( )) ,n rtr A −
dengan 𝑟 ∈ ℤ
98
Bukti:
𝐴2 = 𝐴. 𝐴
𝐴2 = [𝑎 𝑏
𝑐 𝑑] [𝑎 𝑏
𝑐 𝑑]
𝐴2 = [𝑎2 + 𝑏𝑐 𝑏(𝑎 + 𝑑)
𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑏𝑐 + 𝑑2]
𝑡𝑟(𝐴2) = 𝑎2 + 𝑏𝑐 + 𝑏𝑐 + 𝑑2
𝑡𝑟(𝐴2) = 𝑎2 + 2𝑏𝑐 + 𝑑2
𝑡𝑟(𝐴2) = 𝑎2 + 2𝑎𝑑 + 𝑑2 − 2𝑎𝑑 + 2𝑏𝑐
𝑡𝑟(𝐴2) = (𝑎 + 𝑑)2 − 2(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)
𝑡𝑟(𝐴2) = (𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴) (3)
Untuk menentukan 𝑡𝑟(𝐴4), ganti 𝐴pada Persamaan (3)menjadi 𝐴2
𝑡𝑟((𝐴2)2) = 𝑡𝑟(𝐴4)
𝑡𝑟((𝐴2)2) = (𝑡𝑟(𝐴2))2− 2det(𝐴2)
𝑡𝑟((𝐴2)2) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]2 − 2(det(𝐴))2
𝑡𝑟((𝐴2)2) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)] − 2(det(𝐴))2
𝑡𝑟(𝐴4) = (𝑡𝑟(𝐴))4− 4det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
2+ 2(det(𝐴))2 (4)
Pada Persamaan (1), ganti 𝐴 menjadi 𝐴2 diperoleh
𝑡𝑟((𝐴2)3) = 𝑡𝑟(𝐴6)
𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴2))3− 3det(𝐴2) (𝑡𝑟(𝐴))
2
𝑡𝑟((𝐴2)3) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]
3− 3(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)]
𝑡𝑟((𝐴2)3) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)]
[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] − 3(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)]
𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴))4− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
2
+4(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] − 3(det(𝐴))2
[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]
99
𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4
+4(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4+ 4(det(𝐴))2
(𝑡𝑟(𝐴))2+ 4(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
2− 8(det(𝐴))3 − 3(det(𝐴))2
[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2 det(𝐴)]
𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4+ 12(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
2
−8(det(𝐴))3 − 3(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))2+ 6(det(𝐴))3
𝑡𝑟(𝐴6) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4+ 9(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
2
−2(det(𝐴))3 (5)
Pada Persamaan (4), ganti 𝐴 menjadi 𝐴2
𝑡𝑟((𝐴2)4) = 𝑡𝑟(𝐴8)
𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴2))4 − 4det(𝐴2) ((𝑡𝑟(𝐴))2)2
+ 2 (det(𝐴2))2
𝑡𝑟((𝐴2)4) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]
4− 4 (det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)]
2
+2(det(𝐴))4
𝑡𝑟((𝐴2)4) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)]
[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))
2− 2det(𝐴)] − 4 (det(𝐴))2
[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]
2
+ 2(det(𝐴))4
𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4+ 12(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
2
−8(det(𝐴))3 [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] − 4(det(𝐴))2
[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]
2
+ 2(det(𝐴))4
𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
6+ 12 (det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
4
−8(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
6+ 12(det(𝐴))2
(𝑡𝑟(𝐴))4− 24(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))
2+ 16(det(𝐴))4
−4(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]
2+ 2(det(𝐴))4
100
𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
6+ 24 (det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
4
−32(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2+ 18(det(𝐴))4 − 4(det(𝐴))2
[(𝑡𝑟(𝐴))4− 4det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
2+ 4(det(𝐴))2]
𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
6+ 24 (det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
4
−32(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2+ 18(det(𝐴))4 − 4(det(𝐴))2
(𝑡𝑟(𝐴))4+ 16(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))
2− 16(det(𝐴))4
𝑡𝑟(𝐴8) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
6+ 20(det(𝐴))2
(𝑡𝑟(𝐴))4− 16(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))
2+ 2(det(𝐴))4 (6)
Dari Persamaan (3), (4), (5), dan (6) diperoleh
𝑡𝑟(𝐴2) = (𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)
𝑡𝑟(𝐴2) =(−1)0
0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))
2−(2×0)
+(−1)1
1!2(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))
2−(2×1)
𝑡𝑟(𝐴4) = (𝑡𝑟(𝐴))4− 4det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
2+ 2(det(𝐴))2
𝑡𝑟(𝐴4) =(−1)0
0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))
4−(2×0)
+(−1)1
1!4(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))
4−(2×1)
+(−1)2
2!4(4 − 3)(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
4−(2×2)
𝑡𝑟(𝐴6) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
4+ 9(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
2
−2(det(𝐴))3
𝑡𝑟(𝐴6) =(−1)0
0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))
6−(2×0)
+(−1)1
1!6(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))
6−(2×1)
+(−1)2
2!6(6 − 3)(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
6−(2×2)
101
+(−1)3
2!6(6 − 4)(6 − 5)(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))
6−(2×3)
𝑡𝑟(𝐴8) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))
6+ 20(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
4
−16(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2+ 2(det(𝐴))4
𝑡𝑟(𝐴8) =(−1)0
0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))
8−(2×0)
+(−1)1
1!8(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))
8−(2×1)
+(−1)2
2!8(8 − 3)(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))
8−(2×2)
+(−1)3
3!8(8 − 4)(8 − 5)(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))
8−(2×3)
+(−1)4
4!8(8 − 5)(8 − 6)(8 − 7)(det(𝐴))4(𝑡𝑟(𝐴))
8−(2×4)
00 (2 0)( 1)
( ) (det( )) ( ( ))0!
n ntr A A tr A − −=
( )( )( ) ( )( )
( )1
1 2 11det
1!
n
n A tr A− −
+( )
21
2!
−+
( ) ( )( ) ( )( )( )2 2 2
n n 3 detn
A tr A−
− +( )
( )( )3
31( 4)( 5) det
3!n n n A
−− −
( )( )( )2 3n
tr A− ( )
( )( ) ( )( )/2
1/ 2 1 / 2 2 ...
( / 2)!
n
n n n n nn
− ++ − + − +
( ) ( )( )( )/ 2 / 2 1n n n − + − ( )( ) ( )( )
( )( )/2 2 /2
detn n n
A tr A−
4. KESIMPULAN
Untuk memudahkan dalam menentukan trace dari matriks berpangkat diperoleh bentuk umum
sebagai berikut:
1. Untuk matriks 𝐴 yang berukuran 2 × 2 dan pangkat n bilangan ganjil berlaku:
tr(An)= ∑(-1)
r
r!n[n-(r+1)][n-(r+2)]…[
(n-1)/2
r=0
n-(r+(r-1)](det(A))r(tr(A))(n-2r)
dengan 𝑟 ∈ ℤ
2. Untuk matriks 𝐴 yang berukuran 2 × 2 dan pangkat n bilangan genap berlaku:
( )( ) ( ) ( )( )
/2
0
1( ) 1 2 ( ( 1) . det
!
rn
rn
r
tr A n n r n r n r r Ar=
−= − + − + − + − ( )
2( )
n rtr A
−,
dengan 𝑟 ∈ ℤ
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anton, H. dan C. Rorres. (2004). Aljabar Linear Elementer versi Aplikasi (Edisi Kedelapan).
Terjemahan oleh Refina Indriasari dan Irzam Harmen. Erlangga, Jakarta.
102
[2] Avron, H. (2010). Counting Triangles in Large Graphs Using Randomized Matrix Trace
Estimation. Proceedings of Kdd-Ldmta’10, 2010.
[3] Brezinski, C. Fika, P. dan M. Mitrouli,. (2012). Estimations of the trace of powers of positive
by extrapolation of the moment, Electronic Transactions on Numerical Analysis; 39; 144-
155.
[4] Pahade, J. dan M. Jha. (2015). Trace of Positive Integer Power of Real 2 × 2 Matrices.
Advances in Linear Algebra & Matrix Theory; 5;150-155.
[5] Rosen, K.H. (2007). Discrete Mathematics and Its Application, Seventh Ed., McGraw-Hill,
Singapore.
103
INVERS MOORE-PENROSE DAN PENERAPANNYA
PADA SISTEM PERSAMAAN LINEAR
Rizal Mahifa1 , Tiku Tandiangnga2, dan Abraham3
Program Studi Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih1,2,3
e-mail : [email protected]
e-mail : [email protected]
e-mail : [email protected]
Abstrak. Dalam ilmu aljabar, diketahui 𝐴−1 merupakan invers matriks bujur sangkar 𝐴 berukuran
𝑛 × 𝑛 yang non-singular. Matriks non-singular adalah matriks bujursangkar dimana matriks
tersebut mempunyai nilai determinan tidak sama dengan nol. Dalam menentukan invers suatu
matriks, digunakan konsep determinan dalam perhitungannya sehingga syarat suatu matriks non-
singular haruslah terpenuhi. Namun saat ini telah diketahui adanya invers untuk suatu matriks
berukuran 𝑚 × 𝑛 yang disebut Invers Moore Penrose. Invers Moore Penrose adalah suatu matriks
yang dinotasikan dengan 𝐴+. Konsep invers matriks 𝑛 × 𝑛 dapat digunakan sebagai alternatif
untuk mencari solusi dari suatu sistem persamaan linier yang berbentuk 𝐴𝑥 = 𝑏. Jika 𝐴 adalah
suatu matriks yang non-singular, maka solusi sistem persamaan tersebut dapat dihitung
menggunakan rumus 𝑥 = 𝐴−1𝑏. Jika matriks 𝐴 dari sistem tersebut berukuran 𝑚 × 𝑛 maka solusi
sistem tidak dapat dicari menggunakan aturan tersebut, sehingga dalam penelitian ini penulis akan
mendeskripsikan cara menghitung invers matriks yang berukuran 𝑚 × 𝑛 dan mengaplikasikan
invers Moore Penrose untuk menentukan solusi dari suatu sistem persamaan linier. Untuk
menentukkan solusi sistem persamaan linear dengan menggunakan invers Moore-Penrose, akan
digunakan masalah kuadrat terkecil, sehingga solusi yang diperoleh adalah solusi pendekatan
terbaik.
Kata kunci : Invers, Non-singular, Invers Moore-Penrose, Sistem Persamaan Linear
1. PENDAHULUAN
Dalam dalam ilmu aljabar, kita pernah mendengar istilah tentang matriks. Matriks adalah jajaran
empat persegi panjang dari bilangan-bilangan. Bilangan-bilangan dalam jajaran tersebut diebut
entri dari matriks. Matriks juga mempunyai ukuran bisasa dikenal dengan ordo suatu matriks.
Notasi 𝑚 × 𝑛 menunjukkan bahwa ukuran suatu matriks yang mempunyai 𝑚 baris dan 𝑛 kolom
. Ada beberapa operasi yang berlaku pada matriks, salah satunya yaitu invers matriks. Dalam
menentukan invers suatu matriks ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu matriks tersebut
merupakan matriks dengan ukuran 𝑛 × 𝑛 (matriks bujursangkar) dan non-singular.
Apabila ukuran matriks 𝑚 × 𝑛, maka metode umum yang digunakan untuk menentukan invers
suatu matriks berukuran 𝑛 × 𝑛 tidak dapat digunakan untuk menentukan invers matriks 𝑚 × 𝑛.
Untuk menentukan invers suatu matriks 𝑚 × 𝑛, dapat digunakan konsep Invers Moore-Penrose.
Invers Moore-Penrose adalah invers suatu matriks yang diperluas berdasakan invers matriks
bujursangkar. Invers Moore-Penrose biasa dinotasikan dengan 𝐴+. Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi sehingga suatu matriks dapat dikatakan suatu invers Moore-Penrose dari matriks
𝑚 × 𝑛 dan langkah-langkah dalam menentukan invers Moore-Penrose. Perlu diketahui bahwa
konsep invers Moore-Penrose juga dapat digunakan untuk menentukan solusi pendekatan dari
suatu sistem persamaan linear. Sehingga dalam penelitian ini akan dibahas mengenai cara
menentukan invers Moore-Penrose dan penerapannya pada sistem persamaan linear.
104
2. METODE
Dalam penelitian ini, untuk menentukan invers Moore-Penrose suatu matriks adalah dengan
menggunakan sifat-sifat atau proposisi dari invers Moore-Penrose dimana invers dari 𝐴𝐴𝑇
terdefinisi (det(𝐴𝐴𝑇 ≠ 0)) atau invers dari 𝐴𝑇𝐴 terdefinisi (det(𝐴𝑇𝐴 ≠ 0)). Sedangkan untuk
penerapan invers Moore-Penrose untuk menentukan solusi sistem persamaan linear menggunakan
konsep masalah kuadrat terkecil.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Definisi 3.1
Diketahui matriks 𝐴 ∈ ℳ𝑚×𝑛. Jika 𝑋 ∈ ℳ𝑛×𝑚 adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 maka 𝑋 =𝐴+ dan memenuhi empat kondisi Penrose sehingga :
i. 𝐴𝐴+𝐴 = 𝐴
ii. 𝐴+𝐴𝐴+ = 𝐴+
iii. (𝐴𝐴+)∗ = 𝐴𝐴+
iv. (𝐴+𝐴)∗ = 𝐴+𝐴
dimana 𝐴∗ adalah transpose konjugat dari 𝐴. Jika 𝐴 adalah matriks dengan elemen bilangan real
maka 𝐴∗ = 𝐴𝑇. Jika 𝐴 adalah matriks persegi yang non-singular maka 𝐴−1 adalah invers Moore-
Penrose dari 𝐴 atau dengan kata lain 𝐴−1 = 𝐴+.
Teorema 3.1
Jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴, maka 𝐴+ tunggal.
Bukti :
Andaikan 𝐴1+ dan 𝐴2
+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 dengan 𝐴1+ ≠ 𝐴2
+ sehingga sesuai
Definisi (3.1) diperoleh :
𝐴1+ = 𝐴1
+𝐴𝐴1+ 𝐴2
+ = 𝐴2+𝐴𝐴2
+
= (𝐴1+𝐴)∗𝐴1
+) = 𝐴2+(𝐴𝐴2
+)∗
= 𝐴∗(𝐴1+)∗𝐴1
+ = 𝐴2+(𝐴2
+)∗𝐴∗
= (𝐴𝐴2+𝐴)∗(𝐴1
+)∗𝐴1+ = 𝐴2
+(𝐴2+)∗(𝐴𝐴1
+𝐴)∗
= 𝐴∗(𝐴𝐴2+)∗(𝐴1
+)∗𝐴1+ = 𝐴2
+(𝐴2+)∗𝐴∗(𝐴𝐴1
+)∗
= 𝐴∗(𝐴2+)∗𝐴∗(𝐴1
+)∗𝐴1+ = 𝐴2
+(𝐴2+)∗𝐴∗𝐴𝐴1
+
= (𝐴2+𝐴)∗(𝐴1
+𝐴)∗𝐴1+ = 𝐴2
+(𝐴𝐴2+)∗𝐴𝐴1
+
= 𝐴2+𝐴𝐴1
+𝐴𝐴1+ = 𝐴2
+𝐴𝐴2+𝐴𝐴1
+
= 𝐴2+𝐴𝐴1
+ = 𝐴2+𝐴𝐴1
+
Karena 𝐴1+ = 𝐴2
+𝐴𝐴1+ = 𝐴2
+,maka pengandaian salah dan harus diingkari. Jadi yang benar adalah
jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 maka 𝐴+ tunggal.
Proposisi 3.1
Jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 maka berdasarkan definisi dan ketunggalan invers
Moore – Penrose berlaku :
i. (𝐴+)+ = 𝐴
ii. (𝐴𝑇)+ = (𝐴+)𝑇
Bukti :
i. Diketahui A+ adalah invers Moore – Penrose dari A, maka A+ memenuhi Definisi (3.1).
Misalkan A+ = B sehingga diperoleh :
a). 𝐴𝐵𝐴 = 𝐴 ⇔ 𝐴 = 𝐵+
b). 𝐵𝐴𝐵 = 𝐵 ⇔ 𝐴 = 𝐵+
c). (𝐴𝐵)∗ = 𝐴𝐵 ⇔ 𝐴 = 𝐵+
d). (𝐵𝐴)∗ = 𝐵𝐴 ⇔ 𝐴 = 𝐵+
Akibatnya, berdasarkan Teorema 3.1, diperoleh :
𝐵𝐴𝐵 = 𝐵 ⇔ 𝐴 = 𝐵+
105
= (𝐴+)+
Jadi terbukti bahwa (A+)+ = A
Untuk bagian (ii) pembuktian menggunakan Definisi (3.1)
Proposisi 3.2
Suatu invers Moore – Penrose 𝐴+ dari 𝐴 memenuhi hubungan di bawah ini :
i. 𝐴+ = 𝐴+(𝐴+)∗𝐴∗
ii. 𝐴 = 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗
iii. 𝐴∗ = 𝐴∗𝐴𝐴+
iv. 𝐴+ = 𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+
v. 𝐴 = (𝐴+)∗𝐴∗𝐴
vi. 𝐴∗ = 𝐴+𝐴𝐴∗
Proposisi 3.3
Jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴, maka sifat berikut berlaku :
i. (𝐴𝐴∗)+ = (𝐴∗)+𝐴+
ii. 𝐴+ = 𝐴∗(𝐴𝐴∗)+
iii. 𝐴+ = (𝐴∗𝐴)+𝐴∗
Bukti :
i. Akan dibuktikan (𝐴𝐴∗)+ = (𝐴∗)+𝐴+ atau dengan kata lain, akan dibuktikan (𝐴∗)+𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴𝐴∗. Misalkan (𝐴∗)+𝐴+ = 𝐵 akan
ditunjukkan 𝐵 memenuhi Definisi (3.1). Karena (𝐴∗)+ = (𝐴+)∗, maka :
a). Perhatikan 𝐴𝐴∗, dengan menggunakan Proposisi (3.2) bagian ii dan vi
diperoleh:
𝐴𝐴∗ = 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴∗
= 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴∗
= 𝐴𝐴∗𝐵𝐴𝐴∗ (1)
b). Karena (𝐴∗)+ = (𝐴+)∗, maka dengan menggunakan Definisi 3.1.2 bagian ii
dan Proposisi 3.1.2 bagian iv diperoleh :
𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+
= (𝐴+)∗𝐴+
= (𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴+
= (𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+
= 𝐵𝐴𝐴∗𝐵 (2)
c). Karena 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+, maka dengan menggunakan Proposisi
3.1.2 bagian ii diperoleh : (𝐴𝐴∗)𝐵 = 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+
= 𝐴𝐴+ (3)
d). Karena 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+, maka dengan menggunakan Proposisi
3.1.2 bagian vi diperoleh :
𝐵(𝐴𝐴∗) = (𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴∗
= (𝐴+)∗𝐴∗
= (𝐴∗)+𝐴∗ (4)
Berdasarkan (1), (2), (3) dan (4), dapat dilihat bahwa 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+
memenuhi Definisi (3.1) yang dapat disimpulkan 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+ adalah invers
Moore-Penrose dari 𝐴𝐴∗ atau dengan kata lain (𝐴𝐴∗)+ = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+.
Untuk bagian (ii) dan (iii) pembuktian menggunakan bagian (i) dan Proposisi (3.2).
Definisi 3.2
106
Solusi kuadrat terkecil untuk system persamaan linear adalah vektor sedemikian rupa sehingga ‖𝑟0‖ = ‖𝐴𝑥0 − 𝑏‖ ≤ ‖𝐴𝑥 − 𝑏‖
Teorema 3.2
Jika 𝐴 adalah sebuah matriks 𝑚 × 𝑛, maka pernyataan-pernyataan berikut ini adalah ekuivalen.
i. 𝐴 memiliki vektor-vektor kolom yang bebas linear.
ii. 𝐴𝑇𝐴 dapat dibalik.
Teorema 3.3
Jika 𝐴 adalah sebuah matriks 𝑚 × 𝑛 yang memiliki vektor-vektor kolom yang bebas linear, maka
untuk setiap matriks 𝑏, 𝑚 × 1, sistem linear 𝐴𝑥 = 𝑏 memiliki sebuah solusi kuadrat terkecil yang
unik. Solusi ini diberikan oleh
𝑥 = (𝐴𝑇𝐴)−1𝐴𝑇𝑏 = 𝐴+𝑏
Teorema 3.4
𝑥0 = 𝐴+𝑏adalah solusi pendekatan terbaik dari 𝐴𝑥 = 𝑏.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan invers Moore-
Penrose suatu matriks dapat menggunakan Proporsi 3.3 bagian (ii) dan (iii). Menentukan invers
Moore-Penrose menggunakan Proporsi 3.3 bagian (ii) dan (iii) dapat digunakan untuk invers dari
𝐴𝐴𝑇 terdefinisi (det(𝐴𝐴𝑇 ≠ 0)) atau invers dari 𝐴𝑇𝐴 terdefinisi (det(𝐴𝑇𝐴 ≠ 0)). Sedangkan
untuk menentukan solusi sistem persamaan linear menggnakan invers Moore-Penrose dapat
menggunakan Teorema 3.4.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anton, H., C. Rorres. (2004). Aljabar Linear Elementer Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
[2] Barata, J. C. A., M. S. Hussein. (2012). The Moore-Penrose pseudoinverse: A tutorial review
of the theory. Brazilian Journal of Physics. [42]. 146-165.
[3] MacAusland, Ross. (2014). The Moore-Penrose Inverse and Least Squares.
http://buzzard.ups.edu/courses/2014spring/420projects/math420-UPS-spring-2014
macausland-pseudo-inverse.pdf. diakses pada 27 September 2018 pukul 18.45.
107
MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN TUBERKULOSIS
DENGAN FAKTOR VAKSINASI
Abraham1 dan Jonner Nainggolan2
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura1,2
e-mail: [email protected]
e-mail : [email protected]
Abstrak.Pada penelitian ini dikaji model penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi. Model
penyebaran tuberculosis dengan vaksinasi merupakan pengembangan dari model penyebaran
tuberkulosis tanpa vaksinasi yang terdiri dari empat kompartemen yaitu S (Susceptible) yaitu
individu-individu yang rentan terhadap penyakit, L (Latent) yaitu individu-individu yang telah
terinfeksi penyakit tetapi tidak dapat menularkan penyakit, I (Infectious) yaitu individu-individu
yang terinfeksi penyakit dan dapat menularkan penyakit ke individu rentandan R (Recovered)
yaitu individu-individu yang telah pulih dari penyakit. Sedangkan model penyebaran dengan
vaksinasi dilakukan dengan penambahan kompartemen M (Immunized) yaitu individu-individu
yang diimunisasi terhadap resiko penyakit melalui vaksinasi sehingga menghasilkan model
𝑀𝑆𝐿𝐼𝑅. Model yang dikaji kemudian dianalisis dan ditentukan titik equilibrium dan Basic
Reproduction Number(𝑅0). Hasil analisis menunjukkan bahwa titik tetap tanpa penyakit stabil
asimtotik ketika 𝑅0 < 1, sedangkan titik tetap endemik stabil asimtotik ketika 𝑅0 > 1.
Kata Kunci:Model epidemik SLIR, model epidemik MSLIR, tuberkulosis,titik equilibrium,
basic reproduction number, vaksinasi.
1. PENDAHULUAN
Model matematika adalah salah satu alat yang dapat membantu mempermudah penyelesaian
masalah dalam kehidupan nyata. Masalah-masalah tersebut dibentuk ke dalam model matematis
dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu. Kemudian dari model yang didapat dicari
solusinya baik secara analitik maupun numerik.
Model matematika yang digunakan untuk mengetahui penyebaran suatu penyakit di daerah
tertentu dikenal sebagai model epidemi. Dalam pembuatan model penyebaran suatu penyakit
individu-individu dikategorikan ke dalam kompartemen atau kelas yang berbeda dan saling
berkaitan, misalnya kelas rentan terhadap penyakit (Susceptiple), kelas terinfeksi penyakit
(Infectious), dan kelas sembuh dari penyakit (Recovered). Salah satu penyebaran penyakit yang
dapat dibentuk ke dalam model matematika epidemi adalah tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang sangat berbahaya
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tersebut dapat menyerang siapa
saja tanpa mengenal jenis kelamin mauun usia. Pemberian vaksin Bassilus Calmette Guerin
(BCG) merupakan upaya untuk mencegah penyebaran tuberkulosis.
Pada penelitian ini akan ditentukan titik equilibrium dan basic reproduction number penyebaran
tuberkulosis dengan vaksinasi. Selanjutnya dibuat simulasi numerik untuk melihat efektifitas
vaksinasi menurunkan jumlah individu yang terinfeksi TB dibandingkan dengan tanpa vaksinasi
serta untuk melihat pengaruh pengobatan dan tanpa pengobatan terhadap penurunan jumlah
individu yang terinfeksi TB.
108
2. LANDASAN TEORI
2.1 Matriks Jacobian
Matriks Jacobian adalah matriks dari semua orde pertama derivatif parsial dari vektor nilai
fungsi. Matriks Jacobian dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝐽(𝑥) =
[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1𝜕𝑓2𝜕𝑥1
𝜕𝑓1𝜕𝑥2𝜕𝑓2𝜕𝑥2
⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
……
𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛
⋱…
⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛]
𝐽(𝑥) adalah matriks Jacobian yang berukuran 𝑛 × 𝑛. Matriks ini sering juga ditulis sebagai
matriks [𝜕𝑓𝑖
𝜕𝑥𝑗], 𝑖 = 1, 2,… , 𝑛, 𝑗 = 1, 2, … , 𝑛.
2.2 Basic Reproduction Number
Bilangan Reproduksi Dasar (Basic Reproduction Number) adalah jumlah rata-rata infeksi yang
terjadi saat satu individu yang terinfeksi masuk ke dalam populasi rentan selama periode
terinfeksi. Kondisi yang akan timbul adalah satu diantara tiga kemungkinan berikut :
a. Jika 𝑅0 < 1, maka penyakit akan berkurang atau menghilang dalam populasi.
b. Jika 𝑅0 = 1, maka penyakit akan menetap dalam populasi.
c. Jika 𝑅0 > 1, maka penyakit akan meningkat menjadi wabah dalam populasi.
2.3 Titik equilibrium dan kestabilan
Misal suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut : 𝑑𝒙
𝑑𝑡= = 𝒇(𝒙)
Titik equilibrium merupakan titik tetap yang tidak berubah terhadap waktu. Maka titik
equilibrium dari sistem persamaan ini diperoleh dengan syarat 𝑑𝒙
𝑑𝑡= 𝟎. Kestabilan suatu titik
equilibrium dapat diperiksa dari akar-akar karakteristik atau nilai eigen dengan menyelesaikan |𝜆𝐼 − 𝐴| = 0 dimana 𝐴
Jenis kestabilan titik equilibrium berdasarkan nilai dari akar-akar karakteristiknya.
2.4 Kestabilan Routh-Hurwitz
Nilai eigen dari 𝐴 adalah akar polinomial karakteristik
𝑑𝑒𝑡(𝜆𝐼 − 𝐴) = 𝑎0𝜆𝑛 + 𝑎1𝜆
𝑛−1 + 𝑎2𝜆𝑛−2 +⋯+ 𝑎𝑛−1𝜆 + 𝑎𝑛.
Prosedur dari kestabilan Routh-Hurwitz adalah sebagai berikut:
1. Menuliskan polinomial dalam 𝜆 sesuai dengan bentuk berikut:
𝑎0𝜆𝑛 + 𝑎1𝜆
𝑛−1 + 𝑎2𝜆𝑛−2 +⋯+ 𝑎𝑛−1𝜆 + 𝑎𝑛 = 0,
dimana 𝑎0 > 0.
2. Jika terdapat koefisien dari polinomial bernilai nol atau negatif, maka sistem itu tidak stabil.
3. Banyaknya akar yang tidak stabil dapat dilihat dari banyaknya perubahan tanda pada kolom
pertama Tabel Routh-Hurwitz.
4. Syarat perlu dan cukup untuk sistem stabil, adalah:
a. Semua koefisien polinomial bertanda positif.
b. Semua kolom pertama dari Tabel Routh-Hurwitz bertanda positif.
3. Pembahasan
109
3.1 Pembentukan Model penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi.
Berdasarkan standar model MSLIR, populasi dibagi ke dalam 5 kompartemen, yaitu
M(Immunized),S (Susceptible), L (Latent), I (Infectious) dan R (Recovered). M(t) menyatakan
jumlah individu yang diimunisasi terhadap resiko TB melalui vaksinasi pada waktu 𝑡, S(t)
menyatakan jumlah individu rentan terhadap penyakit TB pada saat t, L(t) menyatakan jumlah
individu yang terinfeksi TB tetapi belum menunjukan gejala TB dan tidak dapat menularkan TB
pada saat t, I(t) menyatakan jumlah individu yang terinfeksi penyakit TB dan dapat menularkan
TB pada orang lain pada saat t, R(t) menyatakan banyaknya individu yang sembuh dari penyakit
pada saat t, dan N(t) menyatakan total individu pada saat t. Selanjutnya M(t),S(t), L(t), I(t), R(t),
dan N(t) ditulis M, S, L, I, R, N.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi sebagai
berikut :
1. Populasi heterogen, yaitu individu-individu yang membentuk populasi dapat dikelompokkan
menjadi kompartemen atau kelompok yang berbeda sesuai dengan keadaan epidemiologi.
2. Jumlah populasi dikompartemen bergantung terhadap waktu dan proses epidemi secara
deterministik.
3. Kekebalan pada individu dengan vaksinasi mempunyai batasan waktu tertentu.
4. Populasi homogen, yaitu semua individu yang rentan mungkin terinfeksi oleh individu pada
kelas I (Infectious) dalam kasus kontak langsung.
5. Individu yang terinfeksi kemungkinan akan sembuh dengan pengobatan atau secara alami.
6. Individu yang telah sembuh kemungkinan dapat rentan terinfeksi kembali.
7. Individu setiap kompartemen memiliki tingkat kematian alami yang sama yaitu 𝛽.
8. Semua bayi yang baru lahir sebelumnya tidak terinfeksi TB sebagian masuk ke kompartemen
Immunized atau Susceptible.
9. Jika individu kompartemen Susceptible kontak dengan individu kompartemen Infectious
maka individu kompartemen Susceptible masuk ke kompartemen Latent.
10. Tidak memperhatikan usia pada tiap kompartemen.
11. Tidak ada imigran dan emigran. Satu-satunya cara untuk masuk ke populasi adalah melalui
bayi baru lahir dan keluar hanya melalui kematian alami atau kematian akibat terinfeksi TB.
Adapun parameter-parameter yang digunakan dalam model adalah sebagai berikut :
1. 𝜑 menyatakan laju berakhirnya efikasi vaksin.
2. 𝑘 menyatakan laju individu yang rentan menjadi laten terinfeksi TB.
3. 𝜇 menyatakan laju terinfeksi secara laten menjadi aktif terinfeksi.
4. 𝜓menyatakan laju individu yang terinfeksit TB aktif sembuh dari infeksi TB secara alami.
5. 𝑟 menyatakan laju individu yang terinfeksi TB aktif sembuh dari infeksi TB melalui
pengobatan.
6. 𝑞 menyatakan laju individu yang terinfeksi secara laten pulih dari TB melalui pengobatan.
7. 𝑣 menyatakan laju individu pulih menjadi rentan terhadap infeksi TB lagi.
8. 𝜂 menyatakan kematian akibat infeksi TB aktif.
9. 𝛽 menyatakan kematian alami.
10. 𝑃 menyatakan populasi kelahiran baru bergabung dipopulasi 𝑁.
11. 𝑐𝑃 menyatakan proporsi kelahiran baru yang telah diimunisasi melalui vaksinasi.
12. 𝑁 menyatakan ukuran total populasi.
model matematika penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi sebagai berikut :
𝑑𝑀
𝑑𝑡= 𝑐𝑃 − (𝜑 + 𝛽)𝑀
𝑑𝑆
𝑑𝑡= (1 − 𝑐)𝑃 + 𝜑𝑀 + 𝑣𝑅 − (𝑘𝐼 + 𝛽)𝑆
𝑑𝐿
𝑑𝑡= 𝑘𝑆𝐼 − (𝑞 + 𝜇 + 𝛽)𝐿 (3.1) (3.18)
110
𝑑𝐼
𝑑𝑡= 𝜇𝐿 − (ψ + 𝑟 + 𝜂 + β)𝐼
𝑑𝑅
𝑑𝑡= 𝑞𝐿 + ψ𝐼 + 𝑟𝐼 − (𝑣 + 𝛽)𝑅
𝑁(𝑡) = 𝑀(𝑡) + 𝑆(𝑡) + 𝐿(𝑡) + 𝐼(𝑡) + 𝑅(𝑡)
3.2 Titik equilibrium
Untuk mencari titik equilibrium, Sistem (3.1) dibuat konstan terhadap waktu (𝑡) yaitu kondisi
dimana 𝑑𝑀
𝑑𝑡=
𝑑𝑆
𝑑𝑡=
𝑑𝐿
𝑑𝑡=
𝑑𝐼
𝑑𝑡=
𝑑𝑅
𝑑𝑡= 0, sehingga diperoleh dua titik equilibrium yaitu :
1. Titik equilibrium non-endemik
𝐸0 = (𝑀∗, 𝑆∗, 𝐿∗, 𝐼∗, 𝑅∗) = (
𝑐𝑃
(𝜑 + 𝛽),𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)
𝛽(𝜑 + 𝛽), 0,0,0)
2. Titik equilibrium endemik
𝐸1 = (𝑀∗∗, 𝑆∗∗, 𝐿∗∗, 𝐼∗∗, 𝑅∗∗), dengan
𝑀∗∗ =𝑐𝑃
(𝜑+𝛽) ,
𝑆∗∗ =(𝐴)(𝐵)
𝑘𝜇
𝐿∗∗ =(𝐵)[𝑘𝜇𝑃(𝜑 + 𝛽) − 𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃 − 𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝐴)(𝐵)](𝑣 + 𝛽)
𝑘𝜇(𝜑 + 𝛽)(𝑣 + 𝛽)[𝛽(𝐵) + 𝜇(𝜂 + 𝛽)] + 𝛽[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟]
𝐼∗∗ =[𝑘𝜇𝑃(𝜑 + 𝛽) − 𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃 − 𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝐴)(𝐵)](𝑣 + 𝛽)
𝑘(𝜑 + 𝛽)(𝑣 + 𝛽)[𝛽(𝐵) + 𝜇(𝜂 + 𝛽)] + 𝛽[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟]
𝑅∗∗ =[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟][𝑘𝜇𝑃(𝜑 + 𝛽) − 𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃 − 𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝐴)(𝐵)]
𝑘𝜇(𝜑 + 𝛽)(𝑣 + 𝛽)[𝛽(𝐵) + 𝜇(𝜂 + 𝛽)] + 𝛽[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟]
dimana 𝐴 = (𝑞 + 𝜇 + 𝛽) dan 𝐵 = (𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽)
3.1.2 Penentuan basic reproduction number
𝑅0 diperoleh dengan menggunakan Next Generation Matrix. Menurut Driessche dan Watmough
(2002), Diberikan 𝑥 = (𝐿, 𝐼, 𝑆)𝑇, sehingga dari Persamaan (3.1), diperoleh
= 𝑓(𝑥) = ℱ(𝑥) − 𝒱(𝑥)
= ℱ(𝑥) − (𝒱−(𝑥) − 𝒱+(𝑥))
dengan (3.11).
ℱ(𝑥) = (𝑘𝐼𝑆00)
𝒱(𝑥) = (
(𝑞 + 𝜇 + 𝛽)𝐿
−𝜇𝐿 + (𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽)𝐼(1 − 𝑐)𝑃 + 𝜑𝑀 + 𝑣𝑅 − (𝑘𝐼 + 𝛽)𝑆
)
diperoleh
𝐹 = (0 𝑘𝑆∗
0 0)
𝑉 = (𝐴 0−𝜇 𝐵
)
𝑅0adalah nilai eigen determinan dari 𝐹𝑉−1, sehingga diperoleh
111
𝑅0 =𝜇𝑘[𝑃𝜑+𝛽(𝑃−𝑐𝑃)]
𝛽𝐴𝐵(𝜑+𝛽)
Sebelumnya telah dicari 𝑅0tanpa vaksinasi yang dinotasikan 𝑅𝑡𝑣, dengan
𝑅𝑡𝑣 =𝛼𝜇𝑘
𝛽𝐴𝐵
Berdasarkan 𝑅0 dan 𝑅𝑡𝑣 yang telah diperoleh
𝜇𝑘[𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)]
𝛽𝐴𝐵(𝜑 + 𝛽)<𝛼𝜇𝑘
𝛽𝐴𝐵
maka
𝑅0 < 𝑅𝑡𝑣
yang artinya jumlah penderita penyakit tuberkulosis dengan vaksinasi lebih kecil dari pada jumlah
penderita penyakit tanpa vaksinasi.
Selanjutnya diperoleh 𝑅0 tanpa pengobatan yang dinotasikan 𝑅𝑡𝑝 dengan
𝜇𝑘[𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)]
𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝑞 + 𝜇 + 𝛽)(𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽)<
𝜇𝑘[𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)]
𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝑞 + 𝜇 + 𝛽)(𝜓 + 𝜂 + 𝛽)
maka
𝑅0 < 𝑅𝑡𝑝
yang artinya jumlah penderita penyakit tuberkulosis dengan pengobatan lebih kecil dari pada
jumlah penderita penyakit tanpa pengobatan.
3.3 Analisis Kestabilan titik equilibrium
Analisis kestabilan titik equilibrium diperoleh berdasarkan matriks Jacobian, untuk itu perlu
dibentuk matriks Jacobian dari Sistem Persamaan (3.1), diperoleh
𝐽(𝑀, 𝑆, 𝐿, 𝐼, 𝑅) =
[ −(𝜑 + 𝛽) 0 0
𝜑 −(𝑘𝐼 + 𝛽) 0
000
𝑘𝐼00
−(𝐴)𝜇𝑞
0−𝑘𝑆 𝑘𝑆 −(𝐵)
𝜓 + 𝑟
0𝑣00
−(𝑣 + 𝛽)]
(3.2)
dengan 𝐴 = 𝑞 + 𝜇 + 𝛽 dan 𝐵 = 𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽
1. Analisis kestabilan titik equilibrium non-endemik
Kestabilan titik equilibrium non-endemik dapat diperoleh berdasarkan teorema berikut:
Teorema 3.1 :
Titik equilibrium non-endemik 𝐸0 bersifat stabil asimtotik jika 𝑅0 < 1 dan tidak stabil jika 𝑅0 >1
Bukti :
Untuk menganalisis kestabilan titik equilibrium non-endemik dapat dilakukan dengan cara
melihat nilai eigen pada matriks 𝐽𝐸0. Untuk mendapatkan matriks 𝐽𝐸0 yaitu dengan
mensubsttitusi 𝐸0 = (𝑀∗, 𝑆∗, 𝐿∗, 𝐼∗, 𝑅∗), ke Persamaan (3.2) diperoleh
112
𝐽𝐸0 =
[ −(𝜑 + 𝛽) 0 0
𝜑 −𝛽 0
000
000
−(𝐴)𝜇𝑞
0 −𝑘𝑆∗
𝑘𝑆∗
−(𝐵)𝜓 + 𝑟
0𝑣00
−(𝑣 + 𝛽)]
(3.3)
dengan 𝐴 = (𝑞 + 𝜇 + 𝛽) dan 𝐵 = (𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽). Selanjutnya dengan menghitung nilai eigen
dari Persamaan (3.3), diperoleh
(𝜆 + 𝜑 + 𝛽)(𝜆 + 𝛽)(𝜆 + 𝑣 + 𝛽)[𝜆2 + 𝑌𝜆 + 𝑍] = 0
dengan 𝑌 = (𝐴 + 𝐵) dan 𝑍 = (𝐴𝐵 − 𝜇𝑘𝑆∗∗)
Untuk (𝜆 + 𝜑 + 𝛽)(𝜆 + 𝛽)(𝜆 + 𝑣 + 𝛽) = 0, diperoleh
𝜆1 = −(𝜑 + 𝛽), 𝜆2 = −𝛽 dan 𝜆2 = −(𝑣 + 𝛽)
dan nilai eigen dari persamaan 𝜆2 + 𝑌𝜆 + 𝑍 = 0 diperoleh dengan menggunakan kestabilan
routh-hurwitz, diperoleh
Tabel 3.1 Kestabilan Routh-Hurwitz Titik Equilibrium Non Endemik
Berdasarkan tabel Routh-Hurwitz, jika 𝑌, 𝑍 > 0, jelas bahwa 𝑌 > 0, selanjutnya harus
ditunjukkan 𝑍 > 0. Untuk menunjukkan 𝑍 > 0, maka
𝐴𝐵 − 𝜇𝑘𝑆∗ > 0
⇔𝜇𝑘𝑆∗
𝐴𝐵< 1
⟺ 𝑅0 < 1
2. Analisis Kestabilan titik equilibrium endemik
Untuk menganalisis kestabilan titik equilibrium endemik dapat dilakukan dengan cara melihat
nilai eigen pada matriks 𝐽𝐸1. Untuk mendapatkan matriks 𝐽𝐸1 yaitu dengan mensubstitusi 𝐸1 =(𝑀∗∗, 𝑆∗∗, 𝐿∗∗, 𝐼∗∗, 𝑅∗∗) ke Persamaan (3.2) diperoleh
𝐽𝐸1 =
[ −(𝜑 + 𝛽) 0 0
𝜑 −(𝑘𝐼∗∗ + 𝛽) 0
000
𝑘𝐼∗∗
00
−(𝐴)𝜇𝑞
0 −𝑘𝑆∗∗
𝑘𝑆∗∗
−(𝐵)𝜓 + 𝑟
0𝑣00
−(𝑣 + 𝛽)]
(3.4)
Selanjutnya dengan menghitung nilai eigen dari Persamaan (3.4), diperoleh
(𝜆 + 𝜑 + 𝛽)[𝜆4 +𝑊𝜆3 + 𝑋𝜆2 + 𝑌𝜆 + 𝑍 = 0], dengan
𝑊 = 𝐴 + 𝐵 + 2𝛽 + 𝜈 + 𝑘𝐼∗∗
Variabel Koefisien
𝜆2 1 𝑍 0
𝜆1 𝑌 0 0
𝜆0 𝑍 0 0
113
𝑋 = 𝛽𝜈 + 𝛽𝑘𝐼∗∗ + 𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝐵 + 2𝐴𝛽 + 𝐴𝜈 + 𝐴𝑘𝐼∗∗ + 2𝐵𝛽 + 𝐵𝜈 + 𝐵𝑘𝐼∗∗ + 𝛽2
− 𝜇𝑘𝑆∗∗ 𝑌= 2𝐴𝜇𝛽 + 𝐴𝐵𝜈 + 𝐴𝐵𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝛽𝜈 + 𝐴𝛽𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐵𝛽𝜈 + 𝐵𝛽𝑘𝐼∗∗
+ 𝐵𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝛽2 + 𝐵𝛽2 − 2𝛽𝜇𝑘𝑆∗∗ − 𝜇𝜈𝑘𝑆∗∗ − 𝑞𝜈𝑘𝐼∗∗
𝑍 = 𝐵𝛽𝜈 + 𝐴𝐵𝛽𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝐵𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝐵𝛽 − 𝛽𝜇𝜈𝑘𝑆∗∗ − 𝐵𝑞𝜈𝑘𝐼∗∗ − 𝜇𝜓𝜈𝑘𝐼∗∗ − 𝐵𝑟𝜈𝑘𝐼∗∗
− 𝛽2𝜇𝑘𝑆∗∗ Berdasarkan perhitungan kestabilan Routh-Hurwitz, diperoleh tabel kestabilan Routh-Hurwitz
titik equilibrium endemik.
Tabel 3.2 Kestabilan Routh-Hurwitz Titik Equilibrium Endemik
Titik equilibrium endemikdikatakan stabil jika
𝑊 > 0,𝑊𝑋−𝑌
𝑊> 0, 𝑌 −
𝑊2𝑍
𝑊𝑋−𝑌> 0, 𝑍 > 0.
Maka titik equilibrium endemik 𝐸1stabil asimtotik jika
𝑊, 𝑍 > 0, 𝑋 >𝑌
𝑊, 𝑌 >
𝑊2𝑍
𝑊𝑋−𝑌,
atau ekuivalen dengan
𝑅0 > 1 dimana 𝑅0 =𝜇𝑘[𝑃𝜑+𝛽(𝑃−𝑐𝑃)]
𝛽(𝜑+𝛽)(𝐴)(𝐵)
3.4 Analisis basic reproduction number penyebaran tuberkulosis tanpa vaksinasi
Untuk mengetahui model penyebaran penyakit tuberkulosis dengan vaksinasi, akan dilihat
berdasarkan kompartemen 𝐼 pada titik equilibrium endemiknya. Jika 𝐼∗∗ = 0, maka non-endemik
(bebas penyakit), dan jika 𝐼∗∗ > 0, maka endemik.
Untuk 𝐼∗∗ > 0, diperoleh [𝑘𝜇𝑃(𝜑+𝛽)−𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃−𝛽(𝜑+𝛽)(𝐴)(𝐵)](𝑣+𝛽)
𝑘(𝜑+𝛽)(𝑣+𝛽)[𝛽(𝐵)+𝜇(𝜂+𝛽)]+𝛽[𝑞(𝐵)+𝜇𝜓+𝜇𝑟]> 0(3.5)
Dari Persamaan (3.5) diperoleh bahwa 𝑅0 > 1, yang artinya yang artinya penyakit akan menyebar
dan meningkat, sehingga populasi S akan berkurang
4. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian vaksinasi dapat menurunkan
jumlah penderita TB dibandingkan tanpa vaksinasi. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa
semakin besar nilai parameter pengobatan pada individu terinfeksi maka semakin menurun
Variabe
l Koefisien
𝜆4 1 𝑋 𝑍 0
𝜆3 𝑊 𝑌 0 0
𝜆2 𝑊𝑋 − 𝑌
𝑊 𝑊 0 0
𝜆1
𝑌
−𝑊2𝑍
(𝑊𝑋 − 𝑌)
0 0 0
𝜆0 𝑍 0 0 0
114
jumlah penderita TB dan semakin besar nilai parameter efikasi vaksin maka semakin
meningkatkan kekebalan tubuh individu kompartemen rentan terinfeksi TB.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Aditama, Tjandra Yoga. 1994. Tuberkulosis Paru: Masalah dan Penanggulangannya.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
[2] Anton, H dan C. Rorres. 2004. Aljabar Linear Elementer Versi Aplikasi (Edisi Kedelapan).
Terjemahan oleh Refina Indriasari dan Irzam Harmein, Jakarta: Erlangga.
[3] Ayres, Frank dan P. A. Schmidt. 2004. Schaum’s Outlines Matematika Universitas (Edisi
Ketiga). Terjemahan oleh Alit Bondan. Jakarta : Erlangga.
[4] Bronson, R. dan G. B. Costa. 2007. Schaum’s Outlines Persamaan Diferensial (Edisi
Ketiga). Terjemahan oleh Thombi Layukallo. Jakarta: Erlangga.
[5] DEPKES. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan TBC.
http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-Nasional-
Penanggulanggan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf. Diakses 25 Januari 2017.
[6] Driessche, P.v.d., dan J. Watmough. 2002. Reproduction Numbers and Sub-Threshold
Endemic Equilibria for Compartmental Models of Disease Transmission, Mathematical
Biosciences 180, 29–48.
[7] Fredlina, K. Q, Tjokorda B. Oka, dan I Made Eka Dwipayana. 2012. Model SIR
(Susceptible, Infectious, Recovered) Untuk Penyebaran Penyakit Tuberkulosis. E-Jurnal
Matematika Vol 1: 52-58.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14853&val=980. Diakses 23 Januari
2017.
[8] Iswanto, R. J. 2012. Pemodelan Matematika, Aplikasi dan Terapannya. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
[9] Kartono. 2012. Persamaan Differensial Biasa: Model Matematika Fenomena Perubahan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
[10] Moghadas, S, M dan Gumel, A, B. 2002. Analysis Of A Model For Transmission Dynamics
of TB, Volume 10, number 3. Canadian Applied Mathematics Quarterly.
[11] Ozcaglar C, Shabbeer A, Vandenberg SL, Yener B, Bennett KP. 2012. Epidemiological
models ofMycobacterium tuberculosis complex infections. Mathematical Biosciences.
236:77-96.doi:10.1016.
[12] Purcell, E.J. dkk. 2004. Kalkulus Jilid 2 (Edisi Kedelapan). Terjemahan oleh Ir. Julian
Gressando. Jakarta: Erlangga.
[13] Purwanto, H. dkk. 2006. Matematika Diskrit. Jakarta: PT. ERCONTARA RAJAWALI.
[14] Qomala, Henny N. I. 2015. Model Matematika Epidemik SEIR. Skripsi. Fakultas MIPA
Universitas Cenderawasih, Jayapura.
[15] Rafflesia, Ulfasari . 2014. Model Penyebaran Penyakit Tuberkulosis (TBC). Jurnal Gradien
Vol 10. No. 2 Juli 2014: 983-986.
http://download.portalgaruda.org/article=299411&val=7286&title=Model%20Penyebara
n%20Penyakit%20Tuberkulosis%20(TBC). Diakses 23 November 2016.
[16] Santosa, Budi. 2008. Matlab Untuk Statistika Dan Teknik Optimasi. Yogyakarta: GRAHA
ILMU.
[17] Setiarini, Indah. 2008. Penggunaan Vaksin BCG untuk Pencegahan Tuberculosis.
(Online). http://yosefw.wordpress.com/2008/01/02/penggunaan-vaksin-bcg-untuk-
pencegahan-tuberculosis/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C2870881851. Diakses 02
Februari 2016.
[18] Syafruddin dan Wahida. 2016. Pemodelan Matematika Pada Penularan Penyakit
Tuberculosis. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
[19] Ugwa, Kalu A. dkk. 2013. Mathematical Analysis Of The Endemic Equilibrium Of The
Transmission Dynamics Of Tuberculosis. International Journal Of Scientific & Technology
Research Volume 2, Issue 12, December 2013.
115
[20] Varberg, D., E.J Purcell, dan S.E Rigdon. 2010. Kalkulus Jilid 1(Edisi Kesembilan).
Terjemahan oleh I Nyoman Susila. Jakarta: Erlangga.
[21] Wahab W. dan A. Subiantoro. 2008. Fundamental of Control Systems Stability
CriterionRouth-Hurwitz.StaffUI(On-line).http://staff.ui.ac.id/
system/files/users/wahidin.wahab/material/lecture5-stabilitycriterion-routh
hurwitztest20oct08.pdf. Diakses 23 November 2016.
[22] Widowati dan Sutimin. 2007. Buku Ajar Pemodelan Matematika. Jurusan Matematika
Universitas Diponegoro. Diakses 23 Januari 2017.
116
IDENTIFIKASI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA
(OPERASI HITUNG) DAN KONSEP FISIKA PADA
PENYELESAIAN SOAL FISIKA TENTANG PESAWAT
SEDERHANA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
Hardiyanti1, Triwiyono2, dan Albert Lumbu3
Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Cenderawasih1,2,3
e-mail: [email protected]
e-mail: [email protected]
e-mail: [email protected]
Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tentang pemahaman konsep hitung dasar
dan pemahaman fisika dasar pada materi fisika dengan topik Pesawat Sederhana, kesalahan dalam
pengerjaan soal matematika dan fisika, dan kesulitan dalam pengerjaan soal-soal fisika. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilakukan
pada bulan November 2017 sampai Maret 2018. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara
mendalam, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan teknik reduksi, data display, dan
verifikasi. Hasil dari penelitian ini yaitu, sebagian besar mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan
2017 Universitas Cenderawasih sudah memahami tentang bilangan bulat tetapi masih perlu
belajar lagi pada materi operasi hitung pecahan. Pada soal matematika dasar (Operasi Hitung)
ditemukan 6,67% kesalahan konsep; 9,33% kesalahan hitung; dan 0% kesalahan acak sebagai
akibat ketidakpahaman terhadap soal. Mahasiswa masih harus belajar lagi pada materi Pesawat
Sederhana. Kesalahan-kesalahan dalam pengerjaan soal fisika pada materi Pesawat Sederhana
yaitu kesalahan terjemahan 8,42%; kesalahan strategi 8,42%; kesalahan konsep 14,74%;
kesalahan hitung 2,1%; dan tidak diketahuinya kesalahan akibat tidak diresponnya soal 2,1 %.
Kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal fisika pada materi Pesawat Sederhana yaitu tidak
dapat menerjemahkan soal, tidak mampu menerapkan konsep dan rumus, tidak melakukan
perhitungan dengan benar, dan tidak mengecek jawaban sebelum dikumpulkan.
Kata kunci: Pemahaman konsep, operasi hitung, pesawat sederhana
1. PENDAHULUAN
Keberhasilan siswa tidak terlepas dari peran guru sebagai katalisator, moderator, motivator,
fasilitator, dan evaluator. Sehingga, untuk meningkatkan mutu pendidikan harus didampingi
dengan peningkatan kualitas guru. Guru yang berkualitas baik akan menghasilkan output yang
berkualitas juga. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam memacu dan
meningkatkan kompetensi guru yang baik seperti penataran guru-guru sains, membentuk
musyawarah guru bidang studi, bantuan alat-alat laboratorium, dan juga melakukan penyusunan
kurikulum baru pada setiap jenjang dan sistem pendidikan. Tidak terlepas dari peran pemerintah
untuk meningkatkan kualitas guru, guru pun harus mampu menjadikan dirinya sebagai guru yang
berkualitas, salah satunya dengan meningkatkan kompetensi profesional yang dimilikinya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudjana (2002:42) menunjukkan bahwa 76,6% hasil belajar
siswa dipengaruhi oleh kinerja guru, dengan rincian kemampuan guru mengajar memberikan
sumbangan 32,43%, penguasaan materi pelajaran memberikan sumbangan 32,38%, dan sikap
guru terhadap mata pelajaran memberikan sumbangan 8,60%. Berdasarkan penelitian tersebut
117
dapat kita simpulkan bahwa kemampuan mengajar seorang guru harus didampingi dengan
kemampuan penguasaan materi untuk menghasilkan pembelajaran yang berkualitas.
Fisika adalah salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Berdasarkan Depdiknas dalam
Rizal (2014) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari
tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Fisika merupakan bidang keilmuan sains yang mempelajari gejala alam
dari benda atau materi dari lingkup ruang dan waktu yang dapat dijelaskan dalam berbagai
perhitungan secara kuantitatif. Perhitungan secara kuantitatif dalam fisika pada dasarnya
merupakan abstraksi dari teori atau hukum alam yang disederhanakan dengan berlandaskan pada
asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa objek-objek empiris mempunyai sifat keragaman,
memperlihatkan sifat berulang dan memiliki pola-pola tertentu (Sumiasumantri dalam Wardani,
2016). Asumsi-asumsi tersebut memungkinkan dilakukan analisis secara mendalam terhadap
masalah yang dikaji dalam fisika dan melakukan prediksi tentang peristiwa alam yang akan terjadi
sehingga diperlukan kemampuan dan keterampilan tertentu dalam perhitungan matematika
karena banyak pernyataan-pernyataan fisika yang lebih efisien dan efektif jika dinyatakan dalam
bahasa matematis (Abrams dalam Wardani, 2016). Jadi, fisika berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta, konsep-konsep atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan, sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir analisis, induktif, dan deduktif
dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan menggunakan persamaan (rumus) serta
dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri.
Fisika berkembang melalui pengamatan eksperimen dan pengukuran kuantitatif dengan tujuan
utamanya untuk menemukan hukum-hukum dasar tentang alam.Selanjutnya, hukum-hukum
dasar tersebut digunakan dalam pengembangan teori untuk meramalkan hasil eksperimen-
eksperimen berikutnya.Hukum-hukum dasar dalam teori fisika diekspresikan dalam bahasa
matematika.Ini berarti matematika memegang peranan yang sangat penting dalam menjabarkan
dan menjelaskan gejala fisika yang makroskopik maupun mikroskopik.Representasi matematis
dalam pemerian konsep fisika dapat membantu pebelajar dalam memahami gejala fisika terkait
(Halliday et al dalam Kereh dkk., 2014).Oleh karena itu, matematika merupakan materi yang
esensial untuk dipelajari dalam pendidikan calon pendidik fisika.
Menurut Wardoyo dkk. dalam Mulyadi (2013), pelajaran fisika berhubungan langsung dengan
matematika, dimana setiap permasalahan fisika dapat diselesaikan dengan cara matematis dan
matematika memegang peran utama, selain kemampuannya untuk memecahkan masalah fisika
dari yang sederhana sampai bentuk yang paling rumit, matematika sangat membantu penalaran
seseorang dalam menelususri liku-liku fisika yang ternyata tidak mudah. Dengan didukung
kemampuan matematis yang dimiliki, peserta didik dilatih untuk mengembangkan kemampuan
berpikir dan bernalar yang taat asas, serta kemampuan berpikir dan bernalar ini dialihkan melalui
pengelolaan data yang akurat, yang kebenarannya tidak diragukan lagi (Depdiknas dalam Hartati,
2010). Mata pelajaran fisika menjadi sesuatu yang ditakuti siswa karena hubungan erat dengan
matematika. Kemampuan matematis siswa yang lemah secara otomatis akan mengalami kesulitan
dalam memahami fisika, karena sebagian besar penyelesaian soal-soal fisika dilakukan dengan
konsep matematika.
Guru harus memiliki kompetensi profesional yang lebih dari siswa-siswi sehingga pembelajaran
akan berjalan dengan baik. Seorang guru tidak akan mampu melaksanakan pembelajaran jika
kurangnya kompetensi profesional yang dimiliki.
118
2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui
pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan
2017 di Universitas Cenderawasih untuk mengidentifikasi kemampuan pemahaman konsep
hitung dasar dan pemahaman konsep fisika pada materi Pesawat Sederhana, kesalahan dalam
pengerjaan soal matematika dan fisika, dan kesulitan dalam pengerjaan soal-soal fisika yang
dilaksanakan di kampus Pendidikan Fisika Universitas Cenderawasih pada bulan November
2017.
Untuk dapat mengidentifikasi pemahaman konsep hitung dasar dan pemahaman fisika dasar pada
materi fisika dengan topik Pesawat Sederhana, kesalahan dalam pengerjaan soal matematika dan
fisika, dan kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal-soal fisika materi Pesawat Sederhana
maka subjek yang telah ditentukan adalah mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017
Universitas Cenderawasih sebanyak 5 orang yang dipilih secara acak.
Untuk dapat mengungkapkan secara mendalam pemahaman konsep matematika dasar dan fisika,
faktor kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal-soal fisika materi Pesawat Sederhana,
kesalahan dalam pengerjaan soal matematika dan fisika, objek penelitian yang ditentukan
meliputi: pemahaman konsep hitung dasar dan pemahaman konsep fisika pada materi Pesawat
Sederhana sertakesalahan dalam pengerjaan soal matematika dan fisika dengan memberikan uji
tes, pendapat mahasiswa pendidikan fisika tentang kesulitan saat mengerjakan soal fisika.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1.Persentase Kesalahan Jawaban Soal Matematika
Nomor Soal Kesalahan
Konsep
Kesalahan
Hitung
Kesalahan
Acak
Soal tidak
Direspon
Jawaban
Benar
1 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %
2 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %
3 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %
4 0 % 20 % 0 % 0 % 80 %
5 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %
6 0 % 0 % 0 % 20 % 80 %
7 20 % 20 % 0 % 0 % 60 %
8 20 % 20 % 0 % 0 % 60 %
9 0 % 20 % 0 % 20 % 60 %
10 0 % 0 % 0 % 20 % 80 %
11 20 % 20 % 0 % 20 % 40 %
12 0 % 0 % 0 % 20 % 80 %
13 0 % 20 % 0 % 20 % 60 %
14 0 % 20 % 0 % 20 % 60 %
15 40 % 0 % 0 % 20 % 40 %
Rata-Rata
Persentase
Kesalahan
6,67 %
9,33 %
0 %
10,67 %
73,33 %
119
Tabel 2. Persentase Kesalahan Jawaban Soal Fisika
Jenis Kesalahan Banyak Kesalahan Persentase
Kesalahan Terjemahan 8 8,42 %
Kesalahan Strategi 8 8,42 %
Kesalahan Konsep 14 14,74 %
Kesalahan Hitung 2 2,1 %
Soal Tidak Direspon 2 2,1 %
Soal nomor 1-6 memuat materi tentang operasi hitung bilangan bulat. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan, sebagian besar telah memahami materi tersebut dengan baik. Tetapi,
1 dari 4 narasumber tidak merespon soal nomor 6 yaitu mahasiswa B.Dan 1 dari 5 narasumber
salah dalam melakukan perhitungan pada soal nomor 4 yaitu mahasiswa E yang diakibatkan
kecerobohan dalam menghitung hingga menyebabkan hasil akhir tidak sesuai.
Soal nomor 7-15 memuat tentang materi operasi hitung bilangan pecahan. Semua narasumber
memiliki kesalahan pada operasi hitung bilangan pecahan. Hanya di nomor 10 dan 12 yang tidak
terdapat kesalahan dari kelima narasumber tersebut.
Kesalahan yang ditemukan pada jawaban soal nomor 7, yaitu kesalahan hitung dan kesalahan
konsep yang dilakukan oleh mahasiswa A dan B. Pada lembar jawaban mahasiswa A di nomor 7
hanya terjadi kesalahan hitung akibat kecerobohan dalam menghitung.Sedangkan, pada lembar
jawaban mahasiswa B di nomor 7 terjadi kesalahan konsep yang diakibatkan tidak pahamnya
mahasiswa B pada konsep pengurangan pecahan.
Pada soal nomor 8 terjadi kesalahan hitung dan kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa
A dan B. Pada lembar jawaban mahasiswa A di nomor 8, terjadi kesalahan hitung saat mengubah
pecahan campuran ke pecahan biasa. Kesalahan pada lembar jawaban mahasiswa A di nomor 8
bukan merupakan kesalahan konsep dikarenakan dua pecahan campuran sebelumnya diubah
dengan benar ke pecahan biasa.Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang terjadi adalah kesalahan
hitung. Pada lembar jawaban mahasiswa B di nomor 8, terjadi kesalahan konsep yaitu konsep
pengurangan pecahan seperti pada nomor 7.
Pada nomor 9 hanya terdapat kesalahan hitung pada lembar jawaban mahasiswa A saat
menyamakan penyebut. Sedangkan, pada mahasiswa B tidak menjawab soal nomor 9.
Pada nomor 11, ditemukan kesalahan konsep dan kesalahan hitung yang dilakukan oleh
mahasiswa A dan D serta mahasiswa B yang tidak merespon soal nomor 11. Pada lembar jawaban
mahasiswa A di nomor 11 terjadi kesalahan konsep dalam perkalian pecahan dimana seharusnya
pecahan campuran tersebut diubah terlebih dahulu ke pecahan biasa kemudian dikalikan.Tetapi,
mahasiswa A mengalikan antara bilangan bulat dan mengalikan antara pembilang serta
mengalikan antara penyebut sehingga menghasilkan jawaban yang salah (dapat dilihat pada tabel
4.2). Sedangkan, pada lembar jawaban mahasiswa D di nomor 11 ditemukan kesalahan hitung
saat mengalikan antara pembilang.
Pada nomor 13 hanya ditemukan kesalahan pada mahasiswa A berupa kesalahan hitung saat
mengalikan antara pembilang. Serta mahasiswa B yang tidak merespon soal nomor 13.
Pada nomor 14 hanya ditemukan kesalahan hitung pada lembar jawaban mahasiswa C saat
mengalikan bilangan bulat dengan pembilang. Selain itu, mahasiswa B tidak merespon soal
nomor 14.
Pada soal nomor 15, Hanya 2 mahasiswa yang menjawab benar. Mahasiswa B tidak merespon
soal nomor 15 sedangkan 2 narasumber lainnya tidak memahami konsep bilangan yang dibagikan
nol. Berdasarkan lembar jawaban kedua narasumber tersebut, mahasiswa C dan D menjawab nol.
120
Akan tetapi, pada saat wawancara keduamahasiswa C menjawab tidak terhingga sedangkan
mahasiswa D yang awalnya menjawab nol pada wawancara pertama mengubah pernyataannya
menjadi tidak terhingga.
Mahasiswa C menyatakan bahwa suatu bilangan yang dibagi nol jawabannya adalah tak terhingga
yang konsep tersebut didapat dari guru semasa masih sekolah. Mahasiswa D mengakui
ketidakpahamannya pada hasil pecahan yang penyebutnya nol.
Miskonsepsi merupakan suatu konsep seseorang yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau
pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu (Suparno dalam Aziszah, 2015).
Miskonsepsi dalam matematika dapat menjadi masalah serius jika tidak segera diperbaiki, sebab
kesalahan satu konsep dasar saja dapat menuntun seseorang pada kesalahan selanjutnya. Karena
sebuah konsep dasar dalam matematika akan terus diaplikasikan ke materi selanjutnya.
Pada proses wawancara pertama, 4 dari narasumber mengatakan merasa memahami materi
operasi bilangan bulat maupun pecahan dikarenakan sudah dipelajari dari SD. Sedangkan,
keempatnya melakukan kesalahan dalam pengerjaan soal matematika dasar tersebut terutama
pecahan. Untuk materi bilangan bulat dianggap semua sudah memahami dikarenakan dari soal 1-
6 berdasarkan jawaban kelima narasumber tersebut hanya 1 orang yang salah pada 1 nomor dan
1 orang yang tidak merespon pada 1 nomor. Hanya mahasiswa B yang mengaku masih perlu
belajar lagi pada materi matematika dasar. Pada lembar jawaban mahasiswa B tidak ditemukan
jawaban yang benar pada soal yang memuat materi pecahan dikarenakan sebagian besar tidak
direspon dan yang lainnya salah. Pada mahasiswa A, 6 dari 9 soal yang memuat materi pecahan
ditemukan kesalahan berupa kesalahan hitung dan konsep. Sedangkan yang lainnya hanya 1 atau
2 nomor yang terdapat kesalahan hitung ataupun konsep dari 9 nomor yang memuat materi
pecahan. Hanya mahasiswa E saja yang tidak ditemukan kesalahan konsep. Selain itu, di hasil
akhir sebagian besar tidak menyederhanakan pecahan. Pada wawancara kedua, mahasiswa
mengakui tidak menyederhanakan pecahan dikarenakan bingung dengan pecahan campuran.
Berdasarkan hasil lembar jawaban soal Matematika dan wawancara, sebagian besar mahasiswa
Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas Cenderawasih memahami tentang bilangan bulat
tetapibeberapa mahasiswa perlu belajar lagi pada materi operasi hitung pecahan.
Berdasarkan analisis lembar jawaban soal Matematika kelima narasumber tersebut, ditemukan
73,33% menjawab benar, 10,67% tidak merespon soal, 6,67% kesalahan konsep yang diakibatkan
tidak memahami suatu konsep, 9,33% kesalahan hitung sebagai akibat kecerobohan dalam
melakukan perhitungan dan 0% kesalahan acak sebagai akibat ketidakpahaman terhadap soal.
Pada soal fisika nomor 1, semuanya sudah benar dalam menjawab. Untuk soal nomor 2,
ditemukan kesalahan konsep pada lembar jawaban mahasiswa B dan E. Pada mahasiswa B tidak
mengetahui contoh katrol sedangkan mahasiswa E tidak mengetahui contoh bidang miring.
Pada soal nomor 3, ditemukan kesalahan terjemahan, konsep, strategi, dan hitung pada lembar
jawaban kelima narasumber. Kesalahan terjemahan ditemukan pada lembar jawaban mahasiswa
A dan B. Kesalahan konsep diakibatkan tidak dapat memahami soal sehingga terjadi kesalahan
pada diketahui dan ditanya yang tidak sesuai dengan isi soal. Kesalahan konsep ditemukan pada
semua lembar jawaban narasumber. Mahasiswa B tidak dapat mencari gaya tarik menggunakan
rumus keuntungan mekanik. Selain itu, semua narasumber tidak dapat membedakan usaha dan
gaya berat.Usaha satuannya Joule dan gaya berat satuannya Newton sehingga jelas berbeda.
Mereka pun terkecoh dikarenakan lambangnya yang sama-sama w padahal usaha lambangnya W
dan gaya berat lambangnya w. Sehingga, saat ditanyakanusaha, mahasiswa B dan D
menggunakan rumus gaya berat. Serta penggunaan lambang usaha yang disamakan ataupun
terbalik. Kesalahan strategi ditemukan pada lembar jawaban mahasiswa B dan D yang diawali
dengan kesalahan konsep.Sehingga, tidak ditemukan hasil akhir yang benar. Kesalahan hitung
ditemukan pada lembar jawaban mahasiswa B.
121
Pada soal nomor 4, ditemukan kesalahan terjemahan, konsep, strategi, dan hitung pada lembar
jawaban 3 dari 5 narasumber. 1 dari 5 narasumber menjawab benar tanpa adanya kesalahan dan
1 dari 5 narasumber tidak merespon soal. Pada lembar jawaban narasumber C hanya terdapat
kesalahan konsep dalam menuliskan lambang usaha sebagai w. Pada lembar jawaban mahasiswa
E ditemukan kesalahan konsep dan strategi dikarenakan menganggap gaya berat sebagai usaha
dan salah menuliskan lambang usaha sebagai w. Pada mahasiswa D, terdapat kesalahan
terjemahan, konsep, strategi, dan hitung sehingga menyebabkan jawaban akhir yang salah.
Pada soal nomor 5, 1 dari 5 narasumber tidak merespon soal dan 4 dari 5 narasumber ditemukan
kesalahan yang sama pada lembar jawaban mereka yaitu kesalahan terjemahan, konsep dan
strategi. Kesalahan terjemahan mengakibatkan apa yang diketahui dan ditanya tidak sesuai
dengan isi soal. Kesalahan konsep dikarenakan kurangnya pemahaman antara usaha dan gaya
berat sehingga mengakibatkan kesalahan strategi.
Berdasarkan analisis lembar jawaban kelima narasumber dalam menjawab soal fisika, mahasiswa
Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas Cenderawasih memahami konsep pengertian dan
contoh Pesawat Sederhana. Tetapi, harus belajar lagi pada konsep yang menggunakan rumus.
Diakui oleh narasumber, kesalahan pada konsep atau rumus pada materi Pesawat Sederhana
sebagai akibat dari lupa, tidak pernah diajarkan, dan miskonsepsi.
Skemp dalam Lubis (2009) membedakan tingkatan pemahaman mahasiswa menjadi dua.
Tingkatan pemahaman yang pertama disebut pemahaman instruksional (instructional
understanding). Pada tingkatan ini dapat dikatakan bahwa mahasiswa baru berada di tahap tahu
atau hafal suatu rumus dan dapat menggunakannya untuk menyelesaikan suatu soal fisika, tetapi
dia belum atau tidak tahu mengapa rumus tersebut dapat digunakan. Lebih lanjut, mahasiswa pada
tahapan ini juga belum atau tidak bisa menerapkan rumus tersebut pada keadaan baru yang
berkaitan. Selanjutnya, tingkatan pemahaman yang kedua disebut pemahaman relasional
(relational understanding). Pada tahapan tingkatan ini, menurut Skemp, mahasiswa tidak hanya
sekedar tahu dan hafal tentang suatu rumus, tetapi dia juga tahu bagaimana dan mengapa rumus
itu dapat digunakan. Lebih lanjut, dia dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang terkait pada situasi lain.
Berdasarkan hasil penelitian, kelima narasumber masih berada pada tingkatan pemahaman yang
pertama yaitu pemahaman instruksional (instructional understanding) dikarenakan masih dalam
tahap menghafal rumus dan kurang memahaminya.
Sedangkan, kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam pengerjaan soal fisika materi Pesawat
Sederhana yaitu kesalahan terjemahan 8,42%; kesalahan strategi 8,42%; kesalahan konsep
14,74%; kesalahan hitung 2,1%; dan tidak diketahuinya kesalahan akibat tidak diresponnya soal
2,1 %. Kesalahan strategi berkaitan dengan kesalahan konsep. Saat terdapat kesalahan strategi,
diawali dengan adanya kesalahan konsep. Selain itu, banyak ditemukan dalam proses pengerjaan
soal tidak menyertakan satuan.
Berdasarkan hasil penelitin ini, kesalahan hitung merupakan kesalahan terendah yang ditemukan
pada lembar jawaban soal fisika kelima narasumber. Akan tetapi, pentingnya kita untuk
meningkatkan kemampuan matematis dikarenakan matematika merupakan alat untuk
menyelesaikan soal-soal fisika. Dengan meningkatkan kemampuan matematis, akan
meningkatkan kemampuan bernalar yang diperlukan dalam penyelesaian soal fisika.
Menurut Wardoyo dkk. dalam Mulyadi (2013),pelajaran fisika berhubungan langsung dengan
matematika, dimana setiap permasalahan fisika dapat diselesaikan dengan cara matematis dan
matematika memegang peran utama, selain kemampuannya untuk memecahkan masalah fisika
dari yang sederhana sampai bentuk yang paling rumit, matematika sangat membantu penalaran
seseorang dalam menelusuri liku-liku fisika yang ternyata tidak mudah. Dengan didukung
kemampuan matematis yang dimiliki, peserta didik dilatih untuk mengembangkan kemampuan
122
berpikir dan bernalar yang taat asas, serta kemampuan berpikir dan bernalar ini dialihkan melalui
pengelolaan data yang akurat, yang kebenarannya tidak diragukan lagi (Depdiknas dalam Hartati,
2010).Mata pelajaran fisika menjadi sesuatu yang ditakuti karena hubungan erat dengan
matematika. Kemampuan matematis yang lemah secara otomatis akan mengalami kesulitan
dalam memahami fisika, karena sebagian besar penyelesaian soal-soal fisika dilakukan dengan
konsep matematika.
Berdasarkan lembar jawaban soal fisika materi Pesawat Sederhana kelima narasumber dan hasil
wawancara, kesulitan yang dialami mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas
Cenderawasih dalam mengerjakan soal fisika materi Pesawat Sederhana yaitu, tidak dapat
menerjemahkan soal yang mengakibatkan tidak bisa menuliskan apa yang diketahui dan ditanya,
tidak mampu menerapkan konsep dan rumus yang tepat dalam menyelesaikan soal terlebih jika
terdapat pengecoh pada soal, tidak dapat melaksanakan proses perhitungan secara benar, serta
tidak mengecek jawaban kembali saat mereka mengerjakan soal tersebut.
Menurut Lerner dalam Sari (2013), beberapa kekeliruan umum yang dilakukan adalah
kekurangan pemahaman tentang simbol, nilai tempat, perhitungan, penggunaan proses yang
keliru, dantulisan yang tidak terbaca.
Hasil penelitian tersebut mendukung hasil penelitian Istrada (2013) yang menyatakan bahwa
faktor dari dalam diri yang menyebabkan kesulitan dalam memahami suatu materi dalam Fisika
yaitu kesulitan memahami konsep, menelaah rumus yang sulit dipahami, kesulitan dalam
menerapkan rumus, dan operasi matematika.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1) Mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas Cenderawasih sebagian besar
sudah memahami tentang materi bilangan bulat tetapi beberapa mahasiswa masih perlu
belajar lagi pada materi operasi hitung pecahan.
2) Berdasarkan analisis lembar jawaban soal Matematika kelima narasumber tersebut,
ditemukan 6,67% kesalahan konsep yang diakibatkan tidak memahami suatu konsep;
9,33% kesalahan hitung sebagai akibat kecerobohan dalam melakukan perhitungan; dan
0% kesalahan acak sebagai akibat ketidakpahaman terhadap soal.
3) Berdasarkan analisis lembar jawaban kelima narasumber dalam menjawab soal fisika
materi Pesawat Sederhana, mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas
Cenderawasih memahami konsep pengertian dan contoh Pesawat Sederhana. Tetapi,
harus belajar lagi pada konsep yang menggunakan rumus. Diakui oleh narasumber,
kesalahan pada konsep atau rumus pada materi Pesawat Sederhana sebagai akibat dari
lupa, tidak pernah diajarkan, dan miskonsepsi.
4) Jenis kesalahan yang ditemukan dalam pengerjaan soal fisika materi Pesawat Sederhana
yaitu kesalahan terjemahan 8,42%; kesalahan strategi 8,42%; kesalahan konsep 14,74%;
kesalahan hitung 2,1%; dan tidak diketahuinya kesalahan akibat tidak diresponnya soal
2,1 %. Kesalahan strategi berkaitan dengan kesalahan konsep. Saat terdapat kesalahan
strategi diawali dengan adanya kesalahan konsep.
5) Kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal fisika materi Pesawat Sederhana yaitu
tidak dapat menerjemahkan soal, tidak mampu menerapkan konsep dan rumus, tidak
melakukan perhitungan dengan benar dan tidak mengecek jawaban sebelum
dikumpulkan.
123
DAFTAR PUSTAKA
[1] Aziszah, N. (2015). Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas XI Bangunan 2a dalam
Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Permutasi dan Kombinasi di SMK Negeri
3 JayapuraTahun Ajaran 2014/2015. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Skripsi.
[2] Hartati, B. (2010). Pengembangan Alat Peraga Gaya Gesek untuk Meningkatkan
Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA.Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia.Hal. 128-
132.
[3] Istrada, E. (2013). Deskripsi Pemahaman Konsep, Cara Belajar dan Faktor-Faktor
Penyebab Kesulitan Memahami Konsep pada Materi Cahaya di Kelas VIII di SMP
Pembangunan V Yapis Waena. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Skripsi.
[4] Kereh, C. T., dkk. (2014). Korelasi Penguasaan Materi Matematika Dasar dengan
Penguasaan Materi Pendahuluan Fisika Inti..Vol. 10. No. 2. Hal. 140-149.
[5] Lubis, I. S. (2009). Tingkatan Pemahaman Mahasiswa pada Konsep Fisika. Media
Infotama. Vol. 4. No. 8. Hal. 14-22.
[6] Mulyadi. (2013). Pengaruh Pemahaman Konsep Matematika (Operasi Hitung) terhadap
Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VIII B SMA MUHAMMADIYAH Kota Jayapura Tahun
2012-2013 pada Pokok Bahasan Cahaya. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Skripsi.
[7] Rizal, M. (2014). Pengaruh Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Multi Representasi
terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep IPA Siswa SMP. Jurnal
Pendidikan Sains. Vol. 2. No. 3. Hal. 159-165.
[8] Sari, D. M., dkk. (2013). Analisis Kesalahan dalam Menyelesaikan Soal Materi
Termodinamika pada Siswa SMA. Jurnal Materi dan Pembelajaran Fisika (JMPF). Vol. 3.
N0. 1. Hal. 5-8.
[9] Sudjana N. (2014). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
[10] Wardani, I. K. (2016). Pengaruh Pemahaman Konsep Matematika Vektor Mahasiswa
FMIPA UNIPDU terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Mekanika. Jurnal
Pedagogi A.Vol. 5. No. 2. Hal. 215-224.
124
KETERLAKSANAAN MENGAJARKAN ASPEK MENELITI
DALAM PEMBELAJARAN FISIKA KELAS XI SMA YPPK
TERUNA BHAKTI HUBUNGANNYA DENGAN GURU
TERSERTIFIKASI
Florentina Maria Panda1 dan Albert Lumbu2
Program Studi P. Fisika, Jurusan PMIPA, FKIP, Universitas Cenderawasih1,2
email : [email protected]
email : [email protected]
Abstrak. Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah mengetahui dan mendeskripsikan tingkat keterlaksanaan aspek meneliti dalam
pembelajaran Fisika Kelas XI baik melalui metode observasi, metode demonstrasi maupun
eksperimen hubungannya dengan guru telah disertifikasi.Penelitian ini merupakan jenis penelitian
evaluasi dengan menggunakan metode kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh Siswa
Kelas XI IPA 3 dan 4 SMA YPPK Teruna Bakti. Pada penelitian ini menggunakan metode sensus.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model
triangulasi yakni melalui kuesioner, observasi, dan penilaian dokumen.Penelitian yang telah
dilakukan dengan hasil penelitian ditemukan berdasarkan rekapan hasil kuesioner guru, observasi,
dan penilaian dokumen diperoleh bahwa keterlaksanaan aspek meneliti mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yaitu kuisioner memiliki skor 71 dalam kriteria guru
melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan perencanaan pembelajaran; observasi memilik skor
68 dengan kriteria guru melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan pelaksanaan di kelas, dan
penilaian dokumen memiliki skor 65 dengan kriteria guru melaksanakan aspek meneliti sesuai
dengan RPP.
Kata Kunci : Keterlaksanaan, Aspek Meneliti, Guru Tersertifikasi
1. PENDAHULUAN
Sains (IPA) merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam
penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Hakikat IPA meliputi empat
unsur, yaitu (1) sikap meliputi rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup,
serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui
prosedur yang benar, (2) proses mencakup prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah;
metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi,
pengukuran, dan penarikan kesimpulan, (3) produk berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum, (4)
aplikasi yang berkaitan dengan penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan
sehari-hari.
IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan
(induktif) namun pada perkembangan selanjutnya sains juga diperoleh dan dikembangkan
berdasarkan teori (deduktif). Kajian IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan semata-mata penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu
proses penemuan. Ada dua hal yang berkaitan dengan IPA yang tidak terpisahkan, yaitu IPA
sebagai produk yaitu pengetahuan IPA yang berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,
metakognitif, dan IPA sebagai proses yaitu kerja ilmiah. Produk maupun proses sains, keduanya
125
merupakan objek kajian IPA. Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari
perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Sebagai ilmu yang
mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk
hidup selaras berdasarkan hukum alam. Karakter fisika terbagi menjadi empat yaitu empiris,
rasional, probabilitas dan relativistik. Dalam pembelajaran fisika SMA di kelas atau laboratorium
rata-rata guru menggunakan karakter fisika yang bersifat empiris.
Pembelajaran fisika dapat menciptakan kondisi tercapainya hasil pemahaman konsep dan
komponen proses keilmuan fisika yang berkaitan dengan prosedur pemecahan masalah melalui
metode ilmiah. Menurut Kindsvatter, Wilen, & Ishler (Paul Suparno, 2006: 95) model inquiry
secara sederhana dapat dijelaskan sebagai model pengajaran yang menggunakan proses sebagai
berkut: (1) indentifikasi persoalan, (2) membuat hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) mengalisis
data dan (5) mengambil kesimpulan. Dari langkah-langkah tersebut jelas bahwa model inquiry
menggunakan prinsip metode ilmiah atau saintifik dalam menemukan prinsip, hukum, ataupun
teori. Terkait dengan kegiatan pembelajaran IPA, menurut Funk (Dimyati & Mudjiono, 2009:
140), membagi proses sains menjadi 16 proses sains yang selanjutnya disebut keterampilan proses
sains.
Sesuai dengan Permen No. 23 Tahun 2006a tentang Standar Kompetensi Lulusan khusus mata
pelajaran fisika salah satunya dituntut agar siswa melakukan percobaan, antara lain merumuskan
masalah, mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel, merancang dan merakit
instrumen, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, menarik kesimpulan, serta
mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Kegiatan eksperimen dan observasi
untuk siswa SMA merupakan metode yang digunakan untuk membentuk keterampilan proses
terintegrasi yang dilakukan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip baru bagi siswa yang
didasarkan pada konsep atau prinsip yang telah ada dan dirumuskan oleh para ahli.
Berdasarkan uraian di atas mengajarkan aspek penelitian merupakan tuntutan kurikulum sehingga
merupakan bagian program yang penting di evaluasi keterlaksanaannya, maka perlu dilakukan
penelitian secara mendalam dan terfokus mengenai bagaimana keterlaksanaan kegiatan
mengajarkan aspek penelitian sebagai bentuk aktivitas dalam pembelajaran fisika kelas XI SMA
YPPK Teruna Bhakti hubungannya dengan guru telah tersertifikasi. Disamping itu penelitian ini
untuk mengungkap dan mengetahui lebih jauh tentang keterlaksanaan mengajarkan aspek
penelitian dalam pembelajaran fisika dalam memberikan pengaruh secara langsung terhadap
efektivitas kerja individual.
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
mengetahui dan mendeskripsikan tingkat keterlaksanaan aspek meneliti dalam pembelajaran
Fisika Kelas XI baik melalui metode observasi, metode demonstrasi maupun eksperimen
hubungannya dengan guru telah disertifikasi.
2. METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi dengan menggunakan metode kuantitatif.
Model evaluasi yang digunakan yaitu evaluasi model Discrepancy yang akan ditekankan untuk
mengetahui kesenjangan yang terjadi pada setiap komponen program. Evaluasi kesenjangan
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam
program dengan penampilan aktual dari program tersebut.
Penelitian yang akan dilakukan untuk mengukur antara standar aspek meneliti yang dibuat oleh
pakar dengan implementasi di sekolah, mengetahui kelemahan aspek meneliti yang belum
terlaksana dan memberi rekomendasi untuk upaya-upaya perbaikan bagi SMA YPPK Teruna
Bhakti. Populasi penelitian ini adalah seluruh Siswa Kelas XI IPA 3 dan 4 SMA YPPK Teruna
Bakti. Pada penelitian ini menggunakan metode sensus. Teknik pengumpulan data yang
126
Perencana
an;
26,33%
Pelaksana
an;
32,00%
Pelaporan;
6,67%
0,00%
20,00%
40,00%
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model triangulasi yakni melalui kuesioner,
observasi, dan penilaian dokumen.
Penelitian evaluasi ini bersifat deskriptif kuantitatif dan kualitatif yang bertujuan memberikan
gambaran realitas tentang pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran Fisika Kelas XI pada jenjang
SMA YPPK Teruna Bhakti hubungannya dengan guru yang terlah disertifikasi dilihat dari aspek
guru dengan menerapkan konsep teori yang telah dikembangkan terhadap hal-hal yang dievaluasi.
Semua data yang dikumpulkan dari kuesioner, observasi, dan penilaian dokumen dianalisis
dengan menggunakan skor kriteria kemudian dideskripsikan dan diambil kesimpulan tentang
masing-masing komponen atas dasar kriteria yang telah ditentukan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
a. Kuesioner
1) Persepsi Guru Tersertifikasi
Persepsi Guru dapat dilihat dari hasil kuesioner guru yang digunakan untuk mengungkap persepsi
guru terhadap keterlaksanaan pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas
XI di SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura yang terdiri dari Perencanaan (8 pernyataan),
Pelaksanaan (10 pernyataan), dan Pelaporan (2 pernyataan) dari satu orang guru Fisika yang telah
disertifikasi adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Persepsi Guru Tersertifikasi Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti
Skor Persepsi Guru
Tersertifikasi
Aspek Meneliti
Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan
Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)
5 Dilakukan hampir selalu
pada tiap KD 5 13 % 5 10 % 0 0 %
4 Dilakukan pada
sebagian besar KD 16 40 % 16 32% 4 40 %
3 Dilakukan pada sebagian
kecil KD 6 15 % 12 24% 3 20%
2 Dilakukan hanya pada 1
atau 2 KD 2 5% 2 4% 0 0 %
1 Belum pernah dilakukan 0 0% 0 0 % 0 0 %
Jumlah dan Persentase dari
seluruh tahapan (0 – 100) 29 29 % 35 35% 7 7 %
Total Keseluruhan Tahapan 71
Kriteria Keterlaksanaan Sesuai dengan Perencanaan Pembelajaran (RPP)
Persepsi Guru Tersertifikasi terhadap keterlaksanaan Aspek Meneliti pada tabel 3ditemukan
bahwa pada tahap perencanaan memiliki kontribusi 29%, pada tahap pelaksanaan memiliki
kontribusi 35%, dan tahap pelaporan memiliki kontribusi 7%, sehingga keterlaksanaan aspek
meneliti memiliki skor sebesar 71 dengan kriteria keterlaksanaan sesuai dengan perencanaan
pembelajaran (RPP). Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1 Persentase Hasil Kuesioner Guru
127
Perencanaan
; 32,85%
Pelaksanaan
; 40,64%
Pelaporan;
8,09%
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
2) Persepsi Peserta Didik
Hasil kuesioner mengenai persepsi peserta didik dapat dilihat terhadap keterlaksanaan
pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas XI di SMA YPPK Teruna
Bhakti Jayapura, yang terdiri dari Perencanaan (8 pernyataan), Pelaksanaan (10 pernyataan), dan
Pelaporan (2 pernyataan) yang diambil dari 53 peserta didik adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Persepsi Peserta Didik Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti
Skor Persepsi Peserta Didik
Aspek Meneliti
Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan
Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)
5 Hampir selalu dilakukan
pada tiap pokok bahasan 805 37,97% 1020 38,49% 190 35,85%
4 Dilakukan pada sebagian
besar pokok bahasan 656 30,94% 796 30,04% 152 28,68%
3 Dilakukan pada sebagian
kecil pokok bahasan 252 11,89% 300 11,32% 81 15,28%
2 Hanya dilakukan pada 1
atau 2 pokok bahasan 26 1,23% 22 0,83% 6 1,13%
1 Belum pernah dilakukan 2 0,09% 16 0,60% 0 0 %
Jumlah dan Persentase dari
seluruh tahapan (0 – 100) 1741 32,85% 2154 40,64% 429 8,09%
Total Keseluruhan Tahapan 4324 : 53 siswa = 81,58
Kriteria Keterlaksanaan Sangat Sesuai dengan Perencanaan Pembelajaran (RPP)
Persepsi peserta didik terhadap keterlaksanaan Aspek Meneliti pada tabel 4ditemukan bahwa
pada tahap perencanaan memiliki kontribusi 32,85%, pada tahap pelaksanaan memiliki kontribusi
40,64%, dan tahap pelaporan memiliki kontribusi 8,09%, sehingga keterlaksanaan aspek meneliti
memiliki skor sebesar 81,58 dengan kriteria keterlaksanaan sangat sesuai dengan perencanaan
pembelajaran (RPP). Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2 Persentase Hasil Kuesioner Peserta Didik
b. Observasi
Hasil observasi oleh tiga (3) observer dilakukan di SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura yang
digunakan untuk mengungkap kesesuaaian antara persepsi guru dan siswa terhadap
keterlaksanaan pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas XI dari tiga (3)
orang observer adalah sebagai berikut:
128
Perencanaa
n; 26,33%
Pelaksanaa
n; 32,00%
Pelaporan;
6,67%
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
Tabel 3 Hasil Observasi Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti
No. Kategori Hasil Observasi
Aspek Meneliti (oleh 3 Observer)
Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan
Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)
5 Sangat sesuai dengan RPP
(SS) 25 20,83% 30 20,00% 5 16,67%
4 Sesuai dengan RPP (S) 28 23,33% 40 26,67% 8 26,67%
3 Cukup sesuai dengan RPP
(CS) 18 15,00% 21 14,00% 6 20,00%
2 Tidak sesuai sesuai dengan
RPP (TS) 8 6,67% 8 5,33% 2 6,67%
1 Sangat tidak sesuai dengan
RPP (STS) 2 1,67% 3 2,00% 0 0,00%
Jumlah dan Persentase dari
seluruh tahapan (0 – 100) 81 27,00% 102 34,00% 21 7,00%
Total Keseluruhan Tahapan 204 : 3 observer = 68
Kriteria Keterlaksanaan Sesuai dengan Pelaksanaan Pembelajaran di Kelas
Pada tabel 5 hasil observasi terhadap keterlaksanaan aspek meneliti ditemukan bahwa pada tahap
perencanaan memiliki kontribusi 27%, pada tahap pelaksanaan memiliki kontribusi 34%, dan
tahap pelaporan memiliki kontribusi 7%, sehingga keterlaksanaan aspek meneliti memiliki skor
sebesar 68 dengan kriteria keterlaksanaan sesuai dengan perencanaan pembelajaran (RPP).
Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 3 Persentase Hasil Observasi
c. Penilaian Dokumen
Penilaian Dokumen dilakukan oleh tiga (3) observer di SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura, data
tersebut digunakan untuk melihat kesesuaaian antara persepsi guru dan siswa terhadap
keterlaksanaan pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas XI yang terdiri
dari tiga (3) orang observer, data penilaian dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Hasil Penilaian Dokumen Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti
Skor Kategori Hasil
Penilaian Dokumen
Aspek Meneliti (oleh 3 Observer)
Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan
Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)
5
Hampir selalu
ditercantum pada tiap
pokok bahasan
20 16,67% 20 13,33% 0 00,00%
129
Perencanaan;
26,33%
Pelaksanaan;
32,00%
Pelaporan;
6,67%
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
4
Tercantum pada
sebagian besar pokok
bahasan
32 26,67% 44 29,33% 12 40,00%
3
Dilakukan pada
sebagian kecil pokok
bahasan
18 15,00% 18 12,00% 6 20,00%
2 Hanya dilakukan pada 1
atau 2 pokok bahasan 6 5,00% 10 6,67% 2 6,67%
1 Belum pernah
dilakukan 3 2,50% 4 2,67% 0 0,00%
Jumlah dan Persentase dari
seluruh tahapan (0 – 100) 79 26,33% 96 32% 20 6,67%
Total Keseluruhan Tahapan 195 : 3 Penilai = 65
Kriteria Keterlaksanaan Sesuai dengan Perencanaan Pembelajaran (RPP)
Pada tabel 4 hasil penilaian dokumen terhadap keterlaksanaan aspek meneliti ditemukan bahwa
pada tahap perencanaan memiliki kontribusi 26,33%, pada tahap pelaksanaan memiliki kontribusi
32%, dan tahap pelaporan memiliki kontribusi 6,67%, sehingga keterlaksanaan aspek meneliti
memiliki skor sebesar 65 dengan kriteria keterlaksanaan sesuai dengan perencanaan pembelajaran
(RPP). Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 4 Persentase Hasil Penilaian Dokumen
3.2. Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian pada bab pendahuluan dan hasil penelitian diatas, maka ruang
lingkup pembahasan pada penelitian ini mengenai keterlaksanaan aspek meneliti dalam
pembelajaran Fisika Kelas XI baik melalui metode observasi, metode demonstrasi maupun
eksperimen hubungannya dengan guru telah disertifikasi yang ditinjau dari hasil kuesioner guru
& peserta didik, observasi, dan penilaian dokumenterdiridari tahap: (1) Perencanaan, (2)
Pelaksanaan, dan (3) Pelaporan, pembahasan secara lengkap adalah sebagai berikut:
a. Keterlaksanaan Perencanaan Aspek Meneliti
Aspek penelitian pada tahap perencanaan seperti Tabel 1, 2, 3, dan 4 ditemukan bahwa persentase
keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap perencanaan ditinjau dari persepsi guru
dan persepsi peserta didik adalah 29% dan 32,85% guru hampir selalu mengajarkan tahap
perencanaan. Dari persentase terbesar keterlaksanaan aspek penelitian pada tahap perencanaan
menurut persepsi guru dan persepsi peserta didik ada kecocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa
guru hampir selalu mengajarkan aspek penelitian pada tahap perencanaan pada pembelajaran
fisika di kelas XI SMAYPPK Taruna Bhakti.Berdasarkan kecocokan antara persepsi guru dan
peserta didik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu didukung dengan data observasi
dan penilaian dokumenketerlaksanaan di sekolah. Persentase keterlaksanaan mengajarkan aspek
130
penelitian pada tahap perencanaan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan penilaian dokumen
secara berturut-turut adalah 29% (hampir selalu mengajarkan), 27% (sesuai dengan RPP), dan
26,33% (tercantum pada sebagian besar pokok bahasan). Secara keseluruhan dari data di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap
perencanaan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan penilaian dokumen dapat dikatakan sudah
dilakukan namun perlu tingkatkan agar dapat mengurangi kesenjangan.
b. Keterlaksanaan Pelaksanaan Aspek Meneliti
Pada tabel 1, 2, 3, dan 4 yang merupakan hasil penelitian mengenai aspek penelitian pada tahap
perencanaan ditemukan bahwa persentase keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada
tahap pelaksanaan ditinjau dari persepsi guru dan persepsi peserta didik adalah 35% dan 40,64%
guru mengajarkan pada sebagian besartahap pelaksanaan. Dari persentase terbesar keterlaksanaan
aspek penelitian pada tahap pelaksanaanmenurut persepsi guru dan persepsi peserta didik ada
kecocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa guru mengajarkan aspek penelitian pada sebagain
besar tahap pelaksanaan pembelajaran fisika di kelas XI SMAYPPK Taruna Bhakti. Berdasarkan
kecocokan antara persepsi guru dan peserta didik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu
didukung dengan data observasi dan penilaian dokumen keterlaksanaan di sekolah. Persentase
keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap pelaksanaan ditinjau dari persepsi guru,
observasi, dan penilaian dokumen secara berturut-turut adalah 35% (sebagian besar
mengajarkan), 26,67% (sesuai dengan RPP), dan 13,33% (tercantum pada sebagian besar pokok
bahasan). Secara keseluruhan dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan
mengajarkan aspek penelitian pada tahap pelaksanaan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan
penilaian dokumen dapat dikatakan sudah dilakukan namun perlu tingkatkan agar dapat
mengurangi kesenjangan.
c. Keterlaksanaan Pelaporan Aspek Meneliti
Hasil penelitian mengenai aspek penelitian pada tabel 1, 2, 3, dan 4 yang tercantum tahap
pelaporan ditemukan bahwa persentase keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap
pelaporan ditinjau dari persepsi guru dan persepsi peserta didik adalah 7% dan 8,09% guru
mengajarkan pada sebagian besar tahap pelaporan. Dari persentase terbesar keterlaksanaan aspek
penelitian pada tahap pelaksanaan menurut persepsi guru dan persepsi peserta didik ada
kecocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa guru mengajarkan aspek penelitian pada sebagain
besar tahap pelaporan pembelajaran fisika di kelas XI SMAYPPK Taruna Bhakti. Berdasarkan
kecocokan antara persepsi guru dan peserta didik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu
didukung dengan data observasi dan penilaian dokumen keterlaksanaan di sekolah. Persentase
keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap pelaporan ditinjau dari persepsi guru,
observasi, dan penilaian dokumen secara berturut-turut adalah 7% (sebagian besar mengajarkan),
7% (sesuai dengan RPP), dan 6,67% (tercantum pada sebagian besar pokok bahasan). Secara
keseluruhan dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan mengajarkan aspek
penelitian pada tahap pelaporan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan penilaian dokumen
dapat dikatakan sudah dilakukan namun perlu tingkatkan agar dapat mengurangi kesenjangan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan membelajarakan aspek
penelitian pada tahap perencanaan dan pelaksanaan sudah terlaksana, seangkan pada tahap
pelaporan masih kurang dilakukan. Selain itu juga terlihat dari metode belajar yang digunakan
oleh guru, ditemukan bahwa hampir seluruh guru menggunakan motode pembelajaran inkuiri dan
eksperimen pada sebagian besar KD, terlihat juga dari langkah-langkah pembelajaran yang
dilakukan guru, serta Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibuat oleh guru sebagai bahan bagi
peserta didik untuk membuat laporan. Sesuai dengan pendapat Carin & Sund (1989:6) bahwa
pembelajaran sains adalah pembelajaran untuk mengenalkan kepada peserta didik bagaimana para
saintis menemukan konsep baru dengan melakukan investigasi baru terhadap fenomena alam
menggunakan proses ilmiah berlandaskan pada sikap ilmiah. Berdasarkan pendapat diatas, maka
menurut Trowbrigde dan Bybee (Suparno, 2006:65) secara umum inquiry adalah proses di mana
131
saintis mengajukan pertanyaan tentang alam dunia ini dan bagaimana mereka secara sistematis
mencari jawabannya.
4. KESIMPULAN
Penelitian yang telah dilakukan dengan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan rekapan hasil kuesioner guru, observasi, dan penilaian dokumen
diperoleh bahwa keterlaksanaan aspek meneliti mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan yaitu kuisioner memiliki skor 71 dalam kriteria guru melaksanakan aspek meneliti
sesuai dengan perencanaan pembelajaran; observasi memilik skor 68 dengan kriteria guru
melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan pelaksanaan di kelas, dan penilaian dokumen
memiliki skor 65 dengan kriteria guru melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan RPP.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bambang Subali. (2009). Pengukuran Ketrampilan Proses Sains Pola Divergen dalam
Mapel Biologi SMA di Provinsi DIY dan Jawa Tengah. Disertasi doktor, tidak diterbitkan,
Universitas Negeri Yogyakarta.
[2] Bambang Subali & Das Salirawati. (2009). Kesesuaian Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar Mata Pelajaran IPA untuk Pengembangan Ideational Learning pada SMP RSBI Kelas
VIII di Provinsi DIY. Jurnal Cakrawala Pendidikan
[3] Depdiknas. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23, Tahun 2006,
tentang Standar Kompetensi Lulusan.
[4] Dimyati & Mujiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Rineka
Cipta, Departemen Pendidikan dan Kebudayan RI.
[5] Trowbridge, & Bybee, Rodger W. 2000. Becoming a Seconddary School Science Teacher.
Ohio: Merill.
132
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI
MASYARAKAT (STM) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN
KONSEP SISWA KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH
JAYAPURA PADA MATERI TEKANAN
Maya Pujowati1, Albert Lumbu2, dan Triwiyono3
Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Cenderawasih1,2,3
e-mail: [email protected]
e-mail:[email protected]
e-mail:[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk (1) meningkatkan penguasaan konsep siswa dengan
menerapkan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM). (2) mengetahui perbedaan
peningkatan penguasaan konsep antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Sains
Teknologi Masyarakat (STM) dan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung.
Metode yang digunakan adalah quasi experimental design dan bentuk desainnya adalah
nonequivalent control groups pretest-posttest experimental design, pada kelas eksperimen siswa
diajarkan dengan model pembelajaran STM dan pada kelas control siswa diajarkan dengan
pembeljaran langsung. Populasi berjumlah 143 siswa yaitu kelas VIII semester II SMP
Muhammadiyah Jayapura Tahun Ajaran 2015/2016. Sampel diambil dengan teknik non
probability sampling dengan cara purposive sampling. Sampel terdiri dari 58 siswa. Data
penguasaan konsep siswa dikumpulkan melalui pre-test dan post-test. Untuk mengetahui
peningkatan penguasaan konsep siswa digunakan analisis N-Gain. Analisi uji beda digunakan
untuk melihat perbedaan penguasaan konsep siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran
STM dan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) penerapan model pembelajaran STM dapat meningkatkan penguasaan
konsep siswa. N-Gain siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran STM sebesar 0,56 lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran langsung yaitu 0,39. (2)
terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep yang signifikan antara yang diajarkan dengan
model pembelajaran STM dan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung.
Kata kunci: Model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM), penguasaan konsep,
tekanan.
1. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat penting di dalam perkembangan sebuah masyarakat.
Pendidikan merupakan fungsi terpenting dalam pengembangan pribadi seorang individu dan
pengembangan kebudayaan nasional. Pendidikan yang efektif dan bermutu memiliki peran yang
strategis dalam mewujudkan manusia yang berkualitas.
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat mendorong terjadinya perubahan pola pikir manusia.
Dalam hal ini ada beberapa manusia yang mengambil nilai positif dan nilai negatif akan kemajuan
IPTEK. Kemajuan teknologi itu sendiri tak lepas dari perkembangan akan pengetahuan manusia
mengenai apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan IPTEK dalam
kehidupan sehari-hari terutama dunia pendidikan khususnya pembelajaran IPA (fisika) sangat
berkaitan sekali. Sebagai contoh banyak sekali alat-alat yang diciptakan karena kemajuan IPTEK
(televisi, radio, hp, dll). Banyaknya alat-alat yang ada dalam kehidupan sehari-hari karena adanya
kemajuan IPTEK perlu diimbangi dengan pengetahuan awal siswa mengenai sains (fisika)
sehingga siswa dapat memahami akan fungsi teknologi. Pada saat ini banyak sekali
133
penyalahgunaan kemajuan IPTEK yang dilakukan oleh siswa, karena itu diperlukan pengetahuan
awal siswa mengenai sains.
Tidak hanya itu, dalam proses pembelajaranbiasanya guru hanya menjelaskan IPA sebatas produk
(yang sudah ada) dan sedikit proses tanpa pembuktian. Salah satu alasan yang menyebabkan
adalah banyaknya materi yang harus dibahas dan diselesaikan berdasarkan kurikulum yang
berlaku. Padahal, dalam membahas IPA tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang
lebih penting adalah proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum.Oleh
karena itu, model, metode,pendekatandanalat peraga/praktikum sebagai alat media pendidikan
untuk menjelaskan IPA (fisika) sangat diperlukan.
Perkembangan sains dan teknologi serta perubahan kondisi masyarakat yang sangat pesat ini
mengharuskan para guru meningkatkan kemampuan dan mengembangkan keahliannya. Kini
tugas guru semakin kompleks dan menantang, sehingga selalu dituntut untuk mengembangkan
kemampuannya, baik secara individu maupun kelompok. Tugas utama seorang guru adalah
membantu siswa dalam belajar, yakni berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang
memungkinkan terjadinya proses pembelajaran.
Paradigma baru dalam pembelajaran sains adalah pembelajaran dimana siswa tidak hanya dituntut
untuk lebih banyak mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains secara verbalistis,
hafalan, pengenalan rumus-rumus, dan pengenalan istilah-istilah melalui serangkaian latihan
secara verbal, namun hendaknya dalam pembelajaran sains, guru lebih banyak memberikan
pengalaman kepada siswa untuk lebih memotivasi siswa agar dapat menggunakan pengetahuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Namun pada kenyatannya sebagian besar siswa tidak
mampu menghubungkan antara pengetahuan yang didapat dari proses belajar di sekolah dalam
pemanfaatannya di kehidupan nyata. Hal tersebut tentu cenderung membuat siswa malas untuk
berpikir secara maksimal dan membuat siswa terbiasa untuk menggunakan sebagian kecil potensi
yang dimiliknya sehingga penguasaan konsep siswa menjadi rendah. Salah satu dampak dari
rendahnya penguasaan konsep siswa dapat terlihat dari hasil belajar yang belum tercapai. Selain
penguasaan konsep siswa yang rendah,pembelajaran di sekolah masih didominasi dengan
penggunaan pembelajaran langsung. Kegiatan siswa selama pembelajaran berlangsung hanya
mendengarkan penjelasan guru, mencatat hal-hal yang dianggap penting oleh siswa. Tidak jarang
pula, siswa hanya diberi catatan dan latihan soal oleh guru tanpa ada penjelasan mengenai materi
yang diberikan.
Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara penulis dengan seorang guru fisika kelas VIII di SMP
Muhammadiyah Jayapura, bahwa 40% dari seluruh siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah
Jayapura pada tahun 2016, hasil fisikanya belum mencapai KKM yang telah ditentukan. Hal ini
disebabkan: 1) dalam proses pembelajaran fisika, guru cenderung berperan aktif dibandingkan
dengan siswa (guru menerapkan model pembelajaran langsung) sehingga membuat siswa menjadi
bosan, 2) rendahnya penguasaan konsep siswa.
Dalam hal ini,salah satu pendekatan pembelajaran dalam IPA (fisika) yaitu Model Pembelajaran
Sains Teknologi Masyarakat (STM). Model Sains Teknologi Masyarakat (STM) merupakan suatu
gerakan reformasi dalam pembelajaran sains di sekolah, sebagai upaya membuat warga negara
melek sains dan teknologi (science and technological literacy) yang telah dimulai sejak dua
decade yang lalu di negara-negara yang telah maju.
Untuk itu pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yaitu model
pembelajaran STM dapat mengantisipasi beberapa hal pokok dalam membekali peserta didik,
diantaranya: a) menghindari ‘materi oriented’ dalam pendidikan tanpa tahu masalah-masalah di
masyarakat secara lokal, nasional, maupun internasional, b) mempunyai bekal yang cukup bagi
peserta didik untuk menyongsong era globalisasi, c) peserta didik mampu menjawab dan
mengatasi setiap masalah setiap masalah yang berkaitan dengan kelestarian bumi, isu-isu global,
134
misalnya masalah pencemaran, pengangguran, kerusuhan social, dampak hasil teknologi dan lain-
lainya hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi, dan d) membekali peserta didik
dengan kemampuan memecahkan masalah-masalah dengan penalaran sains, lingkungan,
teknologi, social secara integral, baik di dalam maupun di luar kelas.
2. METODE PENELITIAN
Design yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Quasi-experimental design (eksperimen semu).
Adapun rancangan design yang digunakan adalah Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group
Design. Penelitian ini dilakukan di kelas VIII SMP Muhammadiyah Jayapura pada bulan Januari
sampai Mei tahun ajaran 2015/2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VIII SMP
Muhammadiyah Jayapura yang tersebar menjadi lima kelas yaitu VIII A, VIII B, VIII C, VIII D,
dan VIII E dengan jumlah siswa 143 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik Non
probability sampling dengan cara purposive sampling. Sampel penelitian ini diambil 2 kelas yaitu
VIII A yang berjumlah 29 siswa ebagai kelas eksperimen dan kelas VIII D yang berjumlah 29
siswa sebagai kelas konntrol. Jumlah sampel seluruhnya 58 siswa. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran yang terdiri dari dua dimensi yaitu model pembelajaran
STM yang diterapkan pada kelas eksperimen dan model pembelajaran langsung yang diterapkan
pada kelas kontrol. Variabek terikat dalam penelitian ini adalah penguasaa konsep siswa.Data
yang dicari dalam penelitian ini dikumpulkan dengan tes penguasaan konsep dalam bentuk pilihan
ganda (Multiple choice item test).Adapun uji prasyarat yang harus dilakukan adalah uji validitas
reliabel, uji N-Gain, Uji Normalitas, Uji Homogenitas. Setelah uji prasyarat dilakukan dan jika
hasilnya normal maka dilanjutkan dengan uji T (T-Test),namunjika hasilnya tidak normal maka
menggunakan uji Mann Whithney-U.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
a. Hasil Analisis N-Gain Penguasaan Tiap Konsep
Dari perhitungan nilai N-Gaindiperoleh nilai N-Gain penguasaan untuk tiap konsep seperti
disajikan pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram hasil N-Gain rata-rata PK tiap konsep
Untuk PK Tekanan hidrostatis pada kelas eksperimen nilai N-Gain sebesar 0,47 tergolong
kategori sedang dan N-Gain kelas kontrol sebesar 0,37 tergolong kategori sedang juga. Untuk PK
Hukum Pascal pada kelas eksperimen nilai N-Gain sebesar 0,60 dan pada kelas control sebesar
0,45 tergolong kategori sedang, sedangkan untuk PK Hukum Archimedes pada kelas eksperimen
0,61 dan pada kelas control 0,36 tergolong kategori sedang. Karena N-Gain tiap konsep pada
kelas eksperimen lebih tinggi dibanding pada kelas kontrol, dapat disimpulkan bahwa penguasaan
konsep siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibanding penguasaan konsep siswa di kelaskontrol.
b. Hasil Analisis N-Gain Penguasaan Seluruh Konsep
Hasil analisis N-Gain penguasaan seluruh konsep diperoleh dari hasil pengolahan data rata-rata
N-Gain tiap konsep ditunjukkan pada gambar 2.
0
0,2
0,4
0,6
0,8
PK 1 PK 2 PK 3
0,47
0,6 0,61
0,370,45
0,36
N-Gain
PK konsep
Eksperimen
135
Gambar2. Diagram hasil N-Gain rata-rata PK seluruh konsep
Nilai PK Tekanan pada kelas eksperimen sebesar 0,56 dan pada kelas kontrol sebesar 0,39 dengan
kategori sedang. Dapat disimpulkan bahwa Nilai N-Gain pada kelaseksperimen lebih tinggi
daripada kelas kontrol dengan selisih N-Gain 0,17.
3.2. PEMBAHASAN
a. Pembahasan Hasil Analisis PK N-Gain Tiap Konsep
Konsep Tekanan (Tekanan Hidrostatis)
Di mana nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan
model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 46,25 dan 71,77. Nilai rata-rata
pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran
langsung dengan metode demonstrasi sebesar 45,04 dan 65,22, serta N-Gain untuk siswa yang
diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan siswa yang
diterapkan dengan model langsung dengan metode demonstrasi adalah 0,47 dan 0,37 dengan
kategori sedang.
Konsep Tekanan (Hukum Pascal)
Di mana nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan
model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 31,72 dan 72,59. Nilai rata-rata
pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran
langsung dengan metode demonstrasi sebesar 53,28 dan 74,48, serta N-Gain untuk siswa yang
diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan siswa yang
diterapkan dengan model pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi adalah 0,60 dan
0,45 dengan kategori sedang.
Konsep Tekanan (Hukum Archimedes)
Dimana nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan
model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 25,52 dan 71,03. Nilai rata-rata
pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran
langsung dengan metode demonstrasi sebesar 36,55 dan 59,31, serta N-Gain untuk siswa yang
diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan siswa yang
diterapkan dengan model pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi adalah 0,61 dan
0,36 dengan kategori sedang.Jika ditinjau dari N-Gain setiap konsep tekanan, dapat terlihat bahwa
siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi mengalami
peningkatan konsep yang lebih tinggi dari siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran
langsung dengan metode demonstrasi. Namun, tidak selamanya N-Gain untuk setiap konsep
tekanan mengalami peningkatan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat di kelas eksperimen pada
konsep hukum Archimedes dimana N-Gain untuk kelas tersebut mengalami peningkatan yang
kecil dibandingkan peningkatan pada konsep hukum Pascal. Hal ini dikarenakan dalam proses
pelaksanaan pembelajaran menggunakan model STM dengan metode demonstrasi pada konsep
hukum Archimedes mengalami beberapa kendala, seperti kurangnya waktu dalam jam pelajaran,
sehingga kegiatan belajar mengajar berjalan kurang efektif. Hal ini sesuai dengan pendapat
0
0,2
0,4
0,6
0,56
0,39
N-Gain
PK Keseluruhan
Eksperimen
Kontrol
136
Poedjiadi (2010:137) bahwa pembelajaran dengan model STM memerlukan waktu yang lebih
lama bila dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Selain itu tidak mudah untuk
mencari isu atau masalah pada tahap pendahuluan yang terkait dengan topik yang dibahas atau
dikaji. Hal ini disebabkan karena pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang pertama kalinya
bagi siswa, sehingga guru membutuhkan waktu yang lama untuk menjelaskan langkah-langkah
model pembelajaran STM. Serta masih banyak siswa yang belum memahami dengan baik
instruksi yang diberikan oleh guru untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kemandirian dan
kreatifitas siswa.
b. Hasil Analisis PK N-Gain Seluruh Konsep
Hal ini dapat dilihat pada gambar 2 diperoleh bahwa penguasaan konsep siswa yang
diajarkan menggunakanmodel pembelajaran STM memiliki peningkatan penguasaan konsep
lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan menggunakan pembelajaran langsung. Hasil N-
Gain seluruh konsep pada kelas eksperimen yaitu sebesar 0,56 dan pada kelas kontrol sebesar
0,39. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran STM yang dilakukan untuk
membelajarkan siswa pada konsep tekanan lebih efektif jika dibandingkan dengan model
pembelajaran langsung.
c. Hasil Analisis Uji-T PK Tiap Konsep
Tabel 4.1 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas, dan Uji Beda Penguasaan Konsep Tiap
Konsep
Berdasarkan hasil uji beda pada table1 diperoleh bahwa terdapat perbedaan peningkatan
penguasaan konsep siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dengan
penguasaan konsep siswa yang diajarkan denganpembelajaran langsung pada konsep tekanan
hidrostatis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,012. Pada
penguasaan konsep hukum Pascal dengan signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,006. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep siswa yang
diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dengan siswa yang diajarkan dengan model
pembelajaran langsung. Penguasaan konsep siswa pada hukum Archimedes pada materi tekanan
terlihat pula bahwa ada perbedaan peningkatan penguasaan konsep siswa yang diajarkan
menggunakan model pembelajaran langsung. Hal ini ditunjukkan oleh hasil signifikansi < 0,05
yaitu sebesar 0,008. Dimana jika nilai sig. (2-tailed) < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima
yang artinya terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep antra siswa yang diajarkan
menggunakan model pembelajaran STM dan siswa yang diajarkan menggunakan model
pembelajaran langsung.
137
d. Hasil Analisis Uji-T PK Seluruh Konsep
Tabel 2 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas, dan Uji Beda Penguasaan Konsep Seluruh
Konsep
Berdasarkan hasil uji beda pada tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan penguasaan konsep
antara siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dengan siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran langsung. Hasil uji beda yang diperoleh dengan
signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,000. Dimana jika nilai sig. (2-tailed) < 0,05, maka Ho ditolak
dan Ha diterima yang artinya terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep antra siswa yang
diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dan siswa yang diajarkan menggunakan model
pembelajaran langsung. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ferdi
Novrizal pada tahun 2010 yang mana hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
penguasaan konsep fisika dengan menggunakan penerapan model pembelajaran STM yang
ditunjukkan dari thitung sebesar 2,22 ternyata lebih besar dari ttabel sebesar 1,996. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa penguasaan konsep fisika siswa yang diajarkan dengan model STM lebih
tinggi daripada penguasaan konsep fisika siswa yang diajarkan dengan model STM.Hal itu sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustini,Suardana, dan Subagia pada tahun 2013
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep antara siswa yang
mengikuti model pembelajaran STM dan model pembelajaran langsung. Hasil tersebut dapat
dilihat dari nilai Fhitung sebesar 45,940; p< 0,05.
4. KESIMPULAN
Sesuai dengan rumusan masalah dan berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Pembelajaran dengan model pembelajaran STM dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa
khususnya pada konsep tekanan di kelas VIII SMP Muhammadiyah Jayapura. Peningkatan
penguasaan konsep dapat dilihat dari hasil N-gain siswa yang diajarkan menggunakan model
pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 0,56 dan siswa yang diajarkan
menggunakan model pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi sebesar 0,39. N-Gain
penguasaan konsep pada kedua kelas tersebut tergolong pada kategori sedang, 2) Terdapat
perbedaan penguasaan konsep siswa yang signifikan antara siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran menggunakan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan
pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi, untuk seluruh konsep yang terdiri dari
tekanan hidrostatis, hukum Pascal, serta hukum Archimedes pada materi tekanan. Hal ini dapat
dilihat dari nilai sig.(2-tailed) < 0,05 yaitu sebesar 0,000.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Agustini,Suardana, danSubagia. 2013. Pengaruh ModelPembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) Terhadap Penguasaan Materi dan Keterampilan Pemecahan Masalah
Siswa pada Mata Pelajaran IPA di MTs. Negeri Patas. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28
PM]
[2] Bayu, A I W. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM)
Terhadap Literasi Sains dan Teknologi Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. Tesis(tidak
138
diterbitkan). Singaraja: Pasca sarjana UNDIKSHA. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28 PM]
[3] Hidayat. 2011. Menyusun Skripsi dan Tesis Edisi Revisi. Bandung: Informatika.
[4] Iriyanto, Yuli Sugeng dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Alamjilid 2 untuk SMP dan MTS kelas
VIII (BSE). Jakarta: Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
[5] Kanginan, Marthen. 2006. IPA FISIKA untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Penerbit Erlangga.
[6] Kartini, Ni Nyoman, dkk. 2014. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Sains Teknologi
Masyarakat (STM) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Ilmiah Siswa.
[Diakses 17 Agustus 2015 10.23 PM]
[7] Muslich, Masnur. 2009. Bagaimana Menulis Skripsi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
[8] Novrizal, F. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat Terhadap
Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Pada Konsep Usaha dan Energi Di SMP Negeri
48 Jakarta Selatan. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. [Diakses
17 Agustus 2015 10.23 PM]
[9] Poedjiaji, A. 2005. Sains teknologi masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual
Bermuatan Nilai. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[10] Prasodjo, Budi, dkk. 2006. Teori dan Aplikasi Fisika SMP Kelas VIII. Bogor: Penerbit
Yudhistira.
[11] Rahmawati, Lailatul Fikria. Perbedaan Hasil Belajar Fisika Antara Model Pembelajaran
Sains Teknologi Masyarakat dan Model Pembelajaran Direct Instruction Pada Siswa
Kelas X SMA Negeri 1 Palu. Skripsi (tidak diterbitkan). Sulteng: Universitas Tadulako.
[Diakses 9 Januari 2016 9.56 AM]
[12] Rianita. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat Pada Konsep
Energi Bernuansa Nilai Terhadap Hasil Belajar Siswa. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. [Diakses 12 Januari 2015 4.12 PM]
[13] Saiful, Sagala. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Cv. Alfabeta.
[14] Silaban, Bajongga. 2014. Hubungan Antara Penguasaan Konsep Fisika Dan Kreativitas
Dengan Kemampuan Memecahkan Masala Pada Materi Listrik Statis. Jurnal Penelitian
Bidang Pendidikan Volume 20 No. 1. [Diakses 28 November 2015 12.24 PM]
[15] Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif.
Bandung: Cv. Alfabeta.
[16] ______.2012. Statistik Untuk Penelitian.Bandung: Cv. Alfabeta.
[17] Suryadewi, I.A.P. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP.
Tesis(tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28
PM]
[18] Tim Penyusun. Buku PR IPA Terpadu Kelas VIII Semester 2. Intan Pariwara.
[19] Wardani, N.P.S. 2008. Eksperimentasi Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat dalam
kaitannya dengan Pencapaian Hasil Belajar Mata Pelajaran Biologi Ditinjau dari
Motivasi Belajara Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Penebel. Jurnal Ilmiah Penelitian
Pendidikan. Universitas Pendidikan Ganesha. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28].
139
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA
DIDIK SMP MUHAMMADIYAH JAYAPURA PADA MATERI
TEKANAN ZAT CAIR TAHUN AJARAN 2017/2018
Misda Ramadani1, Paulus G.D Lasmono2, dan Albert Lumbu3
Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Cenderawasih1.2.3
e-mail : [email protected]
e-mail : [email protected]
e-mail : [email protected]
Abstrak. Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui (1) peningkatan
kemampuan berpikir kritis antara peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model
PBL dan peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada
materi tekanan zat cair, (2) perbedaanpeningkatan kemampuan berpikir kritis antara peserta didik
yang mendapatkan pembelajaran dengan model PBL dan peserta didik yang mendapatkan
pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada materi tekanan zat cair. Metode
penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan quasy experimental. Desain eksperimen yang
digunakan adalah nonequivalen pretest-posttest control group design. Populasi berjumlah 150
peserta didik yaitu kelas VIII semester II SMP Muhammadiyah Jayapura Tahun Ajaran
2017/2018. Sampel yang digunakan adalah kelas VIII A dan VIII B dengan jumlah sampel
sebanyak 60 peserta didik. Pengambilan sampel digunakan teknik non probability sampling
dengan cara purposive sampling. Data kemampuan berpikir kritis dikumpulkan melalui pretest
dan posttest. Penelitian ini menggunakan instrumen tes kemampuan berpikir kritis dalam bentuk
pilihan ganda beralasan yang telah diuji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda.
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik digunakan N-gain.
Untuk melihat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang diajarkan
dengan model PBL dan model kooperatif tipe STAD dilakukan analisis statistik uji beda (uji-t).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran dengan model PBL dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik
pada kelas eksperimen sebesar 0,61 lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol sebesar 0,46. (2)
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara peserta didik
yang diajarkan dengan menggunakan model PBL dan peserta didik yang diajarkan dengan
menggunakan model kooperatif tipe STAD pada materi tekanan zat cair yang ditunjukkan nilai
signifikan α < 0,05 yaitu sebesar 0,003.
Kata kunci : PBL, kemampuan berpikir kritis, tekanan zat cair.
1. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat menarik untuk dibahas karena melalui
pendidikan diharapkan tujuan pendidikan akan segera tercapai salah satunya untuk meningkatkan
mutu pendidikan. Tujuan pendidikan nasional seperti yang dirumuskan pada Undang-Undang No
20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu ilmu yang diajarkan di sekolah pada jenjang
Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah IPA. Proses pembelajaran IPA (fisika) menekankan
pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi peserta didik agar
140
dapat memahami alam sekitar yang dilakukan secara penelitian ilmiah yang bertujuan
menumbuhkan kemampuan pikir, bekerja, bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya.
Salah satu tujuan pembelajaran IPA adalah mengembangkan kemampuan berpikir. Menurut
Heong, dkk (Kurniawati dkk, 2014, hal. 37) kemampuan berpikir merupakan dasar dalam suatu
proses pembelajaran. Menurut Krulik & Rudnik (Kurniawati dkk, 2014, hal. 37) berpikir kritis
memungkinkan peserta didik untuk menganalisis pikirannya dalam menentukan pilihan dan
menarik kesimpulan dengan cerdas. Kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Apabila peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan
pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi di setiap tingkat kelas, pada akhirnya mereka akan
terbiasa membedakan antara kebenaran dan kebohongan, penampilan dan kenyataan, fakta dan
opini, pengetahuan dan keyakinan. Menurut Ennis (Suryani, 2015, hal. 6) kemampuan berpikir
kritis merupakan cara berpikir reflektif dan beralasan yang difokuskan pada pengambilan
keputusan untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, proses mental ini akan memunculkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik untuk dapat menguasai IPA khususnya fisika secara
mendalam. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembelajaran IPA (fisika) tersebut, maka
menumbuhkan kemampuan berpikir peserta didik terutama kemampuan berpikir kritis sangat
diperlukan sehingga pemahaman suatu konsep oleh peserta didik tidak hanya berupa hafalan dari
sejumlah konsep yang telah dipelajarinya, tetapi juga dapat menganalisis, mensintesis dan
mengevaluasi.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan beberapa peserta didik di SMP Muhammadiyah
Jayapura ditemukan kendala yaitu (1) peserta didik beranggapan pelajaran IPA (fisika) sebagai
pelajaran yang sulit dan membosankan karena disertakan hitung-hitungan dan penggunaan
rumus-rumus, (2) tingkat pemahaman peserta didik dalam pelajaran IPA (fisika) masih rendah,
(3) dalam pembelajaran guru kurang mengaitkan pelajaran IPA (fisika) dengan praktikum. Dalam
pengamatan peneliti menemukan bahwa kegiatan belajar mengajar masih berpusat pada guru,
rendahnya interaksi yang terjadi antara peserta didik dan guru dalam pembelajaran ditandai dari
kurangnya peserta didik dalam bekerja sama saat kegiatan pembelajaran sehingga peserta didik
kurang semangat dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dari guru. Hal ini terlihat dari
peserta didik acuh tak acuh mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Dengan masalah ini,
berdampak bahwa peserta didik cenderung kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran dimana
peserta didik terbiasamenggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan pikirnya dan
juga peserta didik malas untuk berpikir mandiri meskipun di sekolah telah diterapkan kurikulum
2013. Padahal seharusnya peserta didik turut menggunakandanmengembangkan kemampuan
berpikir kritis yang dimilikinya dalam menangkap pelajaran agar dapat menghubungkan antara
konsep yang dipelajari dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dari permasalahan yang tertera kiranya perlu upaya perbaikan. Untuk itu menggunakan model
pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk menemukan sendiri
pengetahuannya serta berperan aktif dalam pembelajaran sehingga mampu memahami konsep
dengan baik, meningkatkan kemampuan berpikir kritisadalah model problem based learning.
Model problem based learning (PBL) sebagai suatu model pembelajaran yang menggunakan
masalah sebagai titik tolak pembelajaran. Menurut Trianto, 2009, hal. 90 model pembelajaran
berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya
permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan
penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Dengan menerapkan model PBL pada
pembelajaran IPA (fisika) diharapkan peserta didik akan mampu menggunakan dan
mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan
berbagai strategi penyelesaian dibandingkan model kooperatif tipe STAD. Berikut merupakan
sintaksis model PBL Menurut Arends, 2008, hal. 57 yang disajikan pada tabel 1.
141
Tabel 1 Sintaksis Model PBL
Fase Perilaku Guru
Fase 1 : Memberikan orientasi tentang
permasalahannya kepada peserta didik
Guru membahas tujuan pelajaran mendeskripsikan
berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi
peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi
masalah
Fase 2 : Mengorganisasikan peserta
didik untuk meneliti
Guru membantu peserta didik untuk mendefiniskan
dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang
terkait dengan permasalahannya
Fase 3 : Membantu investigasi mandiri
dan kelompok
Guru mendorong peserta didik untuk mendapatkan
informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan
mencari penjelasan dan solusi
Fase 4 : Mengembangkan dan
mempresentasikan hasil karya dan
memamerkan
Guru membantu peserta didik dalam merencanakan
dan menyiapkan hasil karya yang tepat, seperti
laporan, rekaman video, dan model-model, dan
membantu mereka untuk menyampaikannya kepada
orang lain
Fase 5 : Menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi
masalah
Guru membantu peserta didik untuk melakukan
refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses
yang mereka gunakan
Pengaplikasian model PBL tugas guru adalah memberikan kasus atau masalah kepada peserta
didik untuk dipecahkan dan dalam pemecahan masalah sebaiknya tidak diberikan bimbingan yang
lebih rinci oleh guru. Guru menghadapkan peserta didik pada persoalan yang harus diselesaikan
baik masalah individu maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-
sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Martinis dan Bansu (Sari, 2012, hal. 20-21)
penggunaan model PBL digunakan dalam pembelajaran memiliki keunggulan yaitu membantu
peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan baru untuk kepentingan persoalan berikutnya.
Kemudian dapat membantu peserta didik belajar mentrasnsfer pengetahuan mereka ke dalam
persoalan nyata. Pembelajaran berdasarkan masalah dapat mengembangkan keterampilan
berpikir kritis dan membantu peserta didik dalam mengevaluasi pemahamannya. Menurut
Setyorini dkk, 2011 mengenai penerapan model PBL untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa SMP bahwa penerapan model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik dibanding menggunakan model kooperatif tipe STAD. Hal ini memungkinkan untuk
meningkatkan berpikir kritis peserta didik bukan hanya untuk menghapal konsep maupun rumus
tetapi dapat memahami konsep dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bertolak dari
uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai model PBL untuk melihat
peningkatan kemampuan berpikir kritispeserta didik dan peneliti ingin melihat perbedaan hasil
belajar kemampuan berpikir kritis peserta didik di SMP Muhammadiyah Jayapura pada materi
tekanan zat cair. Tujuan dalam penelitian ini adalah, Untuk mengetahui (1) peningkatan
kemampuan berpikir kritis antara peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model
PBL dan peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada
materi tekanan zat cair (2) perbedaanpeningkatan kemampuan berpikir kritis antara peserta didik
yang mendapatkan pembelajaran dengan model PBL dan peserta didik yang mendapatkan
pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada materi tekanan zat cair.
142
2. METODE
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan quasi
eksperimental atau biasa disebut eksperimen semu. Desain eksperimen yang digunakan adalah
nonequivalen pretest-posttest control group design (Sugiono, 2016, hal. 77-79). Kelas kelompok
eksperimen diajarkan dengan menggunakan model PBL sedangkan kelas kelompok kontrol
diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD.
Penelitian dilakukan pada peserta didik kelas VIII semester genap tahun ajaran 2017/2018 yang
bertempat di SMP Muhammadiyah Jayapura. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai
Mei semester genap tahun ajaran 2017/2018.
Dalam penelitian ini, yang menjadikan populasi adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMP
Muhammadiyah yang tersebar menjadi lima kelas, yaitu kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D,
VIII E dengan jumlah peserta didik 150 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik Non probability sampling dengan cara purposive sampling yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2016, hal. 85). Teknik pengambilan
sampel yang digunakan purposive sampling dimana pertimbangan yang dimaksud adalah
pertimbangan dari guru mata pelajaran di SMP Muhammadiyah Jayapura. Dari hasil purposive
sampling dipilih dua kelas yaitu VIII A yang berjumlah 31 peserta didik dan kelas VIII B yang
berjumlah 29 peserta didik. Jumlah keseluruhan sampel yaitu 60 peserta didik. Kelas VIII A dan
kelas VIII B dipilih menjadi sampel karena kedua sampel memiliki kemampuan dan karakteristik
yang hampir sama. Dari kedua kelas yang terpilih kemudian ditentukan kelas eksperimen dan
kelas kontrolnya dengan cara pengundian.
Instrumen dalam penelitian ini adalah instrumen tes. instrumen tes ialah tes tertulis untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik. Tes ini digunakan untuk
mengukurkemampuan berpikir kritis peserta didik sebelum pembelajaran (pretest) dan sesudah
pembelajaran (posttest) pada materi tekanan zat cair.Tes berupa soal tes objektif dengan indikator
tes untuk melihat kemampuan berpikir kritis peserta didik yang dibatasi, yaitu (1) mengobservasi
dan mempertimbangkan hasil observasi, (2) membuat keputusan dan mempertimbangkan
hasilnya, pada ranah kognitif. Tes kemampuan berpikir kritis terdiri dari soal pilihan ganda
beralasan dengan empat jawaban alternatif yaitu a, b, c, dan d.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa kemampuan berpikir kritis dalam aspek pengetahuan dalam pembelajaran
dengan menggunakan model PBL dan model kooperatif tipe STAD.
Tabel 3.1 Hasil Uji N-gain Rata-rata Peserta Didik Seluruh Konsep
Kelas Skor
N-gain Selisih N-gain Pretest Posttest
Eksperimen 12,83 30,46 0,61 0,15
Kontrol 12,16 26,00 0,46
Terlihat pada kelas eksperimen terdapat 10 (42%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain
tinggi, 13 (54%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain sedang dan 1 (4%) peserta didik
termasuk dalam kategori N-gain rendah. Pada kelas kontrol terdapat 0 (0%) peserta didik
termasuk dalam kategori N-gain tinggi, 24 (96%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain
sedang dan 1 (4%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain rendah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan hasil analisis untuk melihat peningkatan
kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model
PBL dan kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD sama-
sama mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis dalam kategori sedang. Hal ini
dikarenakan pada kedua kelas baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol menggunakan metode
143
pembelajaran yang sama yaitu eksperimen dan diskusi kelompok yang membedakan hanyalah
sintaksis dari model yang diterapkan. Namun peningkatan lebih tinggi terjadi pada kelas
eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model PBL dibandingkan pada kelas kontrol
yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD sebesar 0,61 dan 0,46. Hasil
ini ditunjukkan dengan adanya perolehan selisih nilai N-gain dari kedua kelas sebesar 0,15. Sesuai
dengan hasil temuan Sari, 2012, hal 89 mengenai penerapan model PBL untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik pada pembelajaran IPA kelas VIII SMP Negeri 5 Sleman
bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VIII dapat ditingkatkan melalui penerapan
model PBL. Tingginya perolehan nilai N-gain kelas eksperimen disebabkan karena perubahan
model pembelajaran yang mencakup kegiatan untuk melatih kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Sesuai dengan pendapat Pratiwi, 2012, hal 57 bahwa dalam penggunaan model PBL peserta
didik aktif berpikir mengenali masalah, merumuskan masalah, melakukan penyelidikan, untuk
menjawab masalah yang dihadapi dan mencari jawaban masalah yang dihadapi. Model PBL
mengajak peserta didik secara langsung lebih aktif dalam proses pembelajaran. Dalam
pembelajaran menggunakan model PBL peserta didik lebih aktif dalam mengumpulkan data pada
kegiatan penyelidikan, berdiskusi bersama teman kelompok dalam memecahkan masalah untuk
mencari solusi, sehingga dapat menggunakan danmengembangkan kemampuan berpikir kritis
untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap diskusi paserta didik dapat saling berbagi informasi
yang didapatkan terkait penyelidikan yang dilakukan. Dalam keadaan ini peserta didik terlibat
aktif menyelesaikan masalah secara berkelompok dan pemahaman mereka lebih mendalam
sehingga peserta didik lebih terampil didalam memberikan penjelasan terkait masalah yang dikaji
tanpa disadari secara tidak langsung proses berpikir kritis peserta didik sudah dilatih. Hal ini
sesuai dengan pendapat Trianto, 2009, hal. 96 bahwa kelebihan model PBL adalah memupuk
inkuiri peserta didik, ingatan konsep peserta didik menjadi kuat, dan memupuk kemampuan
problem solving. Sama halnya dengan pendapat Arends, 2008, hal. 41 bahwa PBL membantu
peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan menyelesaikan
masalah dari kegiatan penyelidikan. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengumpulkan
pengetahuannya sendiri sehingga mampu memahami konsep dengan baik. Ini sesuai dengan
pendapat Setyorini dkk, 2011, hal. 55 model PBL tersebut memiliki ciri-ciri bahwa sebelum
pembelajaran dimulai, peserta didik sudah dalam keadaan siap untuk belajar. Peserta didik
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil pada saat pembelajaran berlangsung. Dengan
kelompok-kelompok kecil dimaksudkan agar semua peserta didik dapat bekerja sama, saling
bertukar pendapat (bertanya, berpendapat), dan dapat menghargai pendapat orang lain, sampai
dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama. Namun pada pembelajaran
menggunakan model PBL memiliki kendala yaitu keterbatasan waktu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Trianto, 2009, hal. 96 model PBL memerlukan banyak waktu yang lebih banyak.
Sedangkan pada kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD,
sebelum dibentuk kelompok-kelompok kecil, guru menyajikan informasi terkait dengan materi
dimana peserta didik mendengar dan menyimak penjelasan guru. Sehingga peserta didik menjadi
pasif dan merasa bosan. Dengan hal ini peserta didik sudah mempunyai pengetahuan dan
pemahaman masing-masing yang didapatkan dari guru. Kemudian peserta didik dibentuk
beberapa kelompok untuk diarahkan melakukan praktikum. Pemahaman dan pengetahuan setiap
peserta didik terhadap materi yang disajikan oleh guru tentu saja berbeda-beda, sehingga pada
saat peserta didik harus menyelesaikan masalah secara kelompok terjadi pertikaian akibat
perbedaan masing-masing pendapat yang mengakibatkan beberapa peserta didik yang bertikai
merasa malas dan bermain-bermain sendiri dalam kelompok menjadikan peserta didik kurang
antusias dalam pembelajaran. Walaupun keaktifan dan antusias peserta didik sangat diperlukan
dalam proses pembelajaran dimana lebih menonjol keaktifan pembelajaran pada kelas eksperimen
dibandingkan pada kelas kontrol yang menyebabkan kemampuan berpikir kritis peserta didik
pada kelas kontrol lebih rendah dibandingkan kelas eksperimen. Jadi dapat disimpulkan bahwa
model PBL yang dilakukan untuk membelajarkan peserta didik pada konsep tekanan zat cair lebih
efektif jika dibandingkan dengan model kooperatif tipe STAD.
144
Tabel 3.2 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas dan Uji Beda Kemampuan Berpikir Kritis
Seluruh Konsep
Kelas
Distribusi Variansi Uji Beda
Sig(2-
tailed) Ket.
Sig(2-
tailed) Ket.
Sig(2-
tailed) Ket.
Eksperimen 0,711 Normal 0,005
Tidak
Homogen 0,003
Terdapat
perbedaan Kontrol 0,997 Normal
Dengan menggunakan model PBL peserta didik dikenali dengan masalah tentang realita yang
terjadi dan terkait dengan materi yang diajarkan untuk membangkitkan rasa ingin tahuan dan
memotivasi peserta didik. Model PBL mengajak peserta didik secara langsung lebih aktif dalam
proses pembelajaran. Dimana peserta didik aktif berpikir mengenali masalah, merumuskan
masalah, melakukan penyelidikan, untuk menjawab masalah yang dihadapi dan mencari jawaban
masalah yang dihadapi. Hal tersebut juga diungkapkan Hartati & Sholihin, 2015, hal. 4 bahwa
model PBL dapat membantu peserta didik dalam membuat keputusan terbaik dari proses berpikir
kritis untuk menyelesaikan serangkaian masalah yang dihadapi selama proses pembelajaran. Hal
ini juga menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran telah dilakukan dengan salah satu tujuan
model PBL menurut Trianto, 2009, hal 94-96 bahwa dapat mengembangkan kemampuan berpikir
dan keterampilan pemecahan masalah.
Pembelajaran dengan model PBL memberi pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis
peserta didik. Penelitian sejalan dengan salah satu hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Pratiwi, 2012, hal 67 yaitu ada pengaruh secara signifikan penggunaan model PBL terhadap
kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran biologi. Dalam pembelajaran menggunakan
model PBL peserta didik aktif mengumpulkan data pada kegiatan penyelidikan, berdiskusi
dengan teman kelompok dalam memecahkan masalah untuk mencari solusi dari permasalahan
yang dihadapi. Salah satu karakteristik dari model PBL adalah penyelidikan autentik dimana
mengharuskan peserta didik untuk melakukan penyelidikan untuk menemukan solusi nyata untuk
masalah nyata. Tujuannya agar peserta didik dapat menemukan solusi dari permasalahan secara
kolaborasi. Kelompok-kelompok yang dibentuk dalam pembelajaran terlihat menarik dan tidak
membosankan, karena peserta didik diberi kebebasan dalam memecahkan masalahnya sendiri
sehingga daya serap peserta didik pada pembelajaran akan kuat dan meningkat. Guru hanya
mengawasi dalam kegiatan pembelajaran dikelas. Berbeda pada kelas kontrol berdasarkan
pengamatan peneliti, diawal pembelajaran peserta didik sudah merasa bosan karena mendengar
penjelasan materi dari guru, sehingga peserta didik menjadi pasif dan kurang antusias. Dalam
kegiatan praktikum terlihat beberapa peserta didik mengerjakan LKPD sesuai dengan petunjuk
guru, sedangkan sebagian peserta didik yang lain hanya bermain-main sendiri apalagi saat diskusi
kelompok. Ini menunjukkan proses pembelajaran peserta didik yang saling berkolaborasi tidak
sejalan dengan baik. Hal ini terlihat jelas perbedaan tingkat kemampuan berpikir kritis peserta
didik pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelas kontrol.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa model PBL membuat peserta didik merasa tidak
cepat bosan dan lebih antusias terlihat peserta didik lebih berani dalam mempresentasi hasil
temuannya di depan kelas. Hal ini berdampak kemampuan berpikir kritis peserta didik dan
membangun pengetahuan peserta didik. Diperkuat oleh hasil temuan Hartati & Sholihin, 2015,
hal 4 mengenai meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui Implementasi model PBL
pada pembelajaran IPA Terpadu siswa SMP bahwa penerapan model PBL pada pembelajaran
IPA terpadu memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa.
145
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan :
1) Pembelajaran dengan menggunakan model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis peserta didik SMP Muhammadiyah Jayapura pada materi tekanan zat cair.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis seluruh konsep pada kelas eksperimen yang
diajarkan dengan menggunakan model PBL dengan N-gain sebesar 0,61 lebih tinggi
dibandingkan pada kelas kontrol N-gain sebesar 0,46. N-gain kemampuan berpikir kritis
pada kedua kelas tergolong pada kategori sedang.
2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara peserta
didik yang diajarkan dengan menggunakan model PBL dan peserta didik yang diajarkan
dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD untuk materi tekanan zat cair yang
ditunjukkan nilai signifikan α < 0,05 yaitu sebesar 0,003.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arends. (2008). Learning To Teach (7nd Edition ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[2] Hartati, Risa., Sholihin, Hayat. (2015). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Melalui Implementasi Model Problem Based Learning (PBL) Pada Pembelajaran IPA
Terpadu Siswa SMP. Inovasi dan Pembelajarann Sains.
[3] Kurniawati., dkk. (2014). Pengaruh Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Integrasi Peer
Instruction terhadap Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Pendidikan
Fisika Indonesia , 10, 36-46.
[4] Pratiwi, Y. P. (2012, Juli 12). Digilib uns. Dipetik Desember 3, 2017, dari digilib uns:
http://digilib.unsac.id
[5] Sari, D. D. (2012, Juni 27). Lumbung Pustaka UNY. Dipetik Desember 2017, 3, dari
Lumbung Pustaka UNY: http://eprints.uny.ac.id/9174
[6] Setyorini., dkk. (2011). Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik pada Pembelajaran IPA Kelas VIII SMP Negeri
5 Sleman. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7 , 52-56.
[7] Sugiono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Cv. Alfabeta.
[8] Suryani, E. B. (2015, September 14). Digilib unnes. Dipetik Desember 2, 2017, dari digilib
unnes: http://lib.unnes.ac.id/21061/
[9] Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana.
146
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING
MENGGUNAKAN SMARTPHONE BERBASIS WEC UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS PESERTA
DIDIK KELAS X MIIA SMA YPPL TERUNA BAKTI JAYAPURA
PADA MATERI MOMENTUM DAN IMPULS
Victoria Dian Pratami Kurniawan1, Albert Lumbu2, dan Auldry Fransje Walukow3
Alumni Sarjana Pendidikan Fisika, FKIP-Universitas Cenderawasih1
Dosen Pendidikan Fisika, FKIP-Universitas Cenderawasih2,3
email: [email protected]
email: [email protected]
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) peningkatan keterampilan generik
sains (KGS) peserta didik kelas X MIIA yang diterapkan model pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning-PBL) menggunakan smartphone berbasis WEC (web enhanced course)
pada materi momentum dan impuls. (2) perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik yang
diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang
diterapkan model pembelajaran langsung. Metode yang digunakan adalah quasi experiment
(eksperimen semu) dan bentuk desainnya adalah Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group
Design. Pada kelas eksperimen peserta didik diterapkan model PBL menggunakan smartphone
berbasis WEC untuk mengetahui peningkatan KGS peserta didik digunakan N-gain. Populasi
penelitian adalah seluruh peserta didik kelas X di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura berjumlah
283 peserta didik. Teknik sampling yang digunakan adalah nonprobability sampling dengan cara
purposive sampling. Sampel yang digunakan berjumlah 70 sampel peserta didik, yaitu 35 sampel
kelas X MIIA 1 yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan 35
sampel kelas X MIIA 3 yang diterapkan model pembelajaran langsung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) ada peningkatan KGS peserta didik kelas X MIIA yang diterapkan
model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC, yaitu sebesar 0,74 dengan kategori
tinggidan peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung, yaitu sebesar 0,60 dengan
kategori sedang pada materi momentum dan impuls. (2) terdapat perbedaan peningkatan KGS
yang signifikan antara peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone
berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung.
Kata kunci: Model PBL, KGS, smartphone berbasis WEC.
1. PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia masih monoton dan belum ada perubahan secara signifikan. Berdasarkan
hasil yang diungkapkan oleh Programme for International Student Assesment (PISA), hasil
studinya pada tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 10 besar dari bawah, dari 65
negara peserta PISA (PISA Indonesia, 2010). Tidak berbeda jauh dengan hasil literasi PISA 2015
yang baru saja dirilis 6 Desember 2016. Indonesia masih masuk peringkat 9 besar terbawah. Salah
satu hal yang menarik adalah indeks kesenangan belajar sains Indonesia yang cukup tinggi yaitu
0,65, lebih tinggi dari pada Singapura yang memperoleh rangking 1 yaitu hanya 0,59 bahkan
Jepang -0,33. Hal ini merupakan tantangan dan tanda untuk meningkatkan mutu pendidikan
Indonesia supaya tidak tertinggal dalam hal daya saing dengan negara-negara lain (Iswadi, 2016).
147
Penggunaan internet dengan perangkat mobile (smartphone) yang tinggi di Indonesia seharusnya
dimanfaatkan dalam bidang pendidikan. Menurut hasil survey data statistik APJII (Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang dilakukan pada tahun 2016 di Indonesia. Jumlah
pengguna internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user. Pada saat melakukan browsing,
pengguna internet paling banyak menggunakan perangkat mobile (smartphone) sebesar 89,9 juta
atau 67,8% (Isparmo, 2016). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa smartphone adalah media
yang paling mudah dalam mengakses internet karena penggunanya yang begitu banyak.
Menurut Isparmo dan hasil survey tahun 2016, pengguna pada usia 10-24 tahun, menunjukkan
angka yang cukup besar yaitu sekitar 24,4 juta user. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik di
SMA memang melakukan penjelajahan di internet melalui smartphone. Namun, Penggunaan
smartphone di sekolah justru diminimalisir bahkan dilarang oleh pihak sekolah terutama di SMA
YPPK Teruna Bakti Jayapura. Sehingga menjadi masalah bagi perkembangan teknologi dan
informasi bagi peserta didik. Hal ini dikemukakan berdasarkan aturan yang dibuat dan tertuang
secara tertulis di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura.
Masalah lain yang terjadi di sekolah yaitu kurang terlatihnya KGS peserta didik yang sebenarnya
sudah ada di dalam diri peserta didik. KGS tidak diperoleh secara tiba-tiba melainkan
keterampilan itu harus dilatih agar terus meningkat. KGS merupakan keterampilan yang dapat
digunakan untuk mempelajari berbagai konsep dan menyelesaikan masalah dalam sains
(Brotosiswoyo, 2000). Menurut Brotosiswoyo, terdapat sembilan keterampilan generik yang
dapat dikembangkan melalui pengajaran fisika, yaitu: 1) pengamatan langsung; 2) pengamatan
tidak langsung; 3) kesadaran tentang skala besaran; 4) bahasa simbolik; 5) kerangka taat asas dari
hukum alam; 6) inferensi atau konsistensi logika; 7) hukum sebab akibat; 8) pemodelan
matematis; dan 9) membangun konsep. Dampak dari kurang terasahnya KGS, peserta didik lebih
cenderung menghafal setiap rumus, konsep dan hukum tanpa melatih keterampilan-keterampilan
sainsnya terutama KGS. Penelitian tentang KGS di lapangan sangat jarang terutama di Papua.
Hal ini dikemukakan penulis berdasarkan hasil observasi dan pencarian di google tentang
penelitian KGS di Papua terutama di Jayapura pada tahun 2017.
Alternatif pemecahan masalah yang ditawarkan dalam penelitian ini berpijak pada Empat pilar
pendidikan seumur hidup dan problem based learning (PBL). Ada beberapa model pembelajaran
yang dapat mengakomodasi empat pilar pendidikan seumur hidup, salah satunya adalah model
PBL (Sadia, 2014, p. 66). Menurut penelitian Daud (2013), yang berjudul problem-based
learning: A process for the acquisition of learning and generic skills dengan tema PBL across
cultures. Menyimpulkan bahwa belajar melalui PBL dapat meningkatkan keterampilan generik
peserta didik yang mana dapat berkontribusi dalam mengembangkan keterampilan kerja mereka
dan meningkatkan daya saing mereka di lokal dan luar negeri.
Hasil belajar peserta didik di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura belum mencapai kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu ≥ 75. Dari 32 peserta didik pada suatu
kelas, hanya 28% (9 orang) yang dapat mencapai KKM tanpa perbaikan dari guru dan 72% (23
orang) lainnya belum mencapai KKM yang ditetapkan. Hal ini diperoleh berdasarkan wawancara
dengan guru bidang studi fisika. Pembelajaran di kelas pun sebagian besar masih berpusat pada
guru bukan pada peserta didik. Dari informasi-informasi tersebut dapat diketahui juga bahwa
KGS peserta didik kemungkinan besar masih rendah dan kurang terlatih.
Dengan pertimbangan tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan alternatif pemecahan
masalahnya dengan penerapan Model PBL dan pendukungnya digunakan bantuan smartphone
berbasis WEC. Artinya ada bantuan smartphone dengan penggunaan internet sebagai penunjang
kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Kemudian diharapkan bahwa dengan penerapan
model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dapat meningkatkan KGS peserta didik.
Pentingnya penelitian ini dilakukan demi peningkatan kualitas pembelajaran, KGS, dan minat
peserta didik terhadap fisika serta diharapkan penggunaan internet dengan smartphone ini
menjadikan pelajaran fisika lebih akrab, mudah dan menyenangkan di mata peserta didik. Selain
148
itu menjadi referensi penyegaran bagi model yang digunakan dan penunjang pembelajaran di
dalam kelas.
2. METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment (eksperimen semu). Desain penelitian
yang digunakan adalah “Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group Design”. Paradigma
penelitian ini terdiri atas satu variabel bebas yaitu model PBL menggunakan smartphone berbasis
WECdan satu variabel terikat yaitu KGS peserta didik.Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh peserta didik kelas X di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura yang berjumlah 283 peserta
didik. Teknik sampling yang digunakan adalah nonprobability sampling dengan cara purposive
sampling. Kelas eksperimen dan kontrol ditetapkan melalui purposive sampling, diambil pada
kelas dengan level yang sama. Sampel yang digunakan berjumlah 70 sampel peserta didik, yaitu
35 sampel kelas X MIIA 1 dan 35 sampel kelas X MIIA 3.
Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun ajaran 2017/2018. Prosedur penelitian
dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir penelitian.
Sebelum pelaksanaan pembelajaran, kedua kelompok kelas dilakukan tes awal (pretest).
Selanjutnya dilaksanakan pembelajaran, dimana pada kelas eksperimen diterapkan model PBL
menggunakan smartphone berbasis WEC sedangkan kelas kontrol diterapkan model
pembelajaran langsung.Setelah pelaksanaan pembelajaran, baik kelas eksperimen maupun kelas
kontrol kembali dilakukan tes yaitu tes akhir (posttest). Perbedaan KGS antara keadaan awal
dengan keadaan akhir diasumsikan sebagai efek dari perlakuan yang diberikan. Untuk mengetahui
peningkatan KGS peserta didik, digunakan N-gain.Peningkatan KGS dihitung dengan
menggunakan gain ternormalisasi oleh Hake (Risayanti, 2015) dengan klasifikasi; jika g > 0,7
maka kategori N-gain tinggi, jika 0,3 ≤ g ≤ 0,7 maka kategori N-gain sedang dan jika g <
0,7 maka kategori N-gain rendah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal pilihan ganda (PG) untuk mengukur
KGS peserta didik.Sebelum instrumen tersebut digunakan, maka dilakukan uji valid dan reliabel
terlebih dahulu. Kelas yang digunakan untuk ujicoba adalah kelas yang telah mendapat materi,
yaitu kelas X MIIA 2. Uji valid dan reliabel menggunakan bantuan SPSS 16. Setelah dilakukan
ujicoba, dapat diketahui soal PG yang lulus uji valid dan reliabel sehingga dapat digunakan di
kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Untuk teknik analisis data pada tahap akhir penelitian,
digunakan analisis N-gain, uji normalitas data, uji homogenitas, dan uji t.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian ini meliputi data KGS peserta didik untuk materi momentum dan
impuls pada masing-masing kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berikut tabel
hasil analisis N-gain KGS peserta didik:
Tabel 1. Hasil Analisis KGS Peserta Didik pada Materi Momentum dan Impuls
No Konsep Kelas Skor Test
N-gain Pre Post
1 Momentum dan Impuls E 35,14 81,43 0,71
K 39,43 72,86 0,55
2 Hub Momentum dan Impuls serta
hukum kekekalan momentum
E 7,50 81,43 0,79
K 19,29 66,43 0,58
3 Jenis-jenis tumbukan serta
penerapan momentum dan impuls.
E 30,48 82,86 0,75
K 35,24 78,57 0,66
4 Hasil Uji N-gain keseluruhan E 29,76 81,79 0,74
K 31,90 72,14 0,60
E : Eksperimen.
K : Kontrol.
149
Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa N-gain pada RPP 1 (momentum dan impuls), RPP 2
(hubungan momentum dan impuls serta hukum kekekalan momentum) , RPP 3 (jenis-jenis
tumbukan serta penerapan momentum dan impuls), dan hasil uji N-gain keseluruhan materi
momentum dan impuls mengalami peningkatan baik di kelas eksperimen maupun kontrol.
Namun, N-gain di kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.
Terlihat dalam gambar diagram berikut ini bahwa hasil analisis N-gain KGS rata-rata peserta
didik tiap sub pokok bahasan di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol.
Gambar 1. Diagram N-Gain Rata-Rata Hasil KGS Peserta Didik pada
Materi Momentum dan Impuls
Sedangkan hasil analisis N-gain KGS peserta didik jika ditinjau secara keseluruhan
materi momentum dan impuls dapat dilihat dalam bentuk diagram berikut:
Gambar 2. Diagram N-Gain KGS Peserta Didik pada
Seluruh Pokok Bahasan Materi Momentum dan Impuls
Data KGS peserta didik kelas eksperimen yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone
berbasis WEC dan kelas kontrol yang diterapkan model pembelajaran langsung kemudian
dianalisis dengan uji normalitas dan uji homogenitas sebelum dilakukan uji beda atau uji t. Tabel
hasil uji normalitas dan uji homogen setiap konsep dan seluruh materi momentum dan impuls
disajikan sebagai berikut:
0.710.79 0.75
0,550,58
0,66
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
N-Gain RPP
1
N-Gain RPP
2
N-Gain RPP
3
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
0,74
0,6
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
N-Gain KGS Keseluruhan
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
150
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Setiap Konsep
dan Seluruh Materi Momentum dan Impuls
No. Konsep Kelas Sig. Uji
Normalitas
Sig. Uji
Homogenitas
1. Momentum & Impuls Eksperimen 0,448
0,196 Kontrol 0,756
2.
Hubungan Momentum & Impuls
serta Hukum Kekekalan
Momentum
Eksperimen 0,389
0,082 Kontrol 0,307
3. Jenis Tumbukan serta Penerapan
Momentum & Impuls
Eksperimen 0,062
0,133 Kontrol 0,107
4. Seluruh Materi Momentum &
Impuls
Eksperimen 0,808
0,856 Kontrol 0,819
Hasil analisis uji normalitas dan uji homogenitas untuk tiap sub pokok bahasan dan seluruh materi
momentum dan impuls adalah berdistribusi normal dan homogen. Data berdistribusi normal dan
homogen karena hasil analisis diperoleh signifikansi > 0,05.
Analisis dapat dilanjutkan ke uji beda dengan menggunakan Independent Sample t-test. Dengan
ketentuan jika nilai signifikansi < 0,05, maka Ha diterima dan Ho ditolak, yang artinya terdapat
perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan
smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung pada
konsep yang diuji. Sebaliknya jika nilai nilai signifikansi > 0,05, maka Ha ditolak dan Ho
diterima, artinya tidak terdapat perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik yang diterapkan
model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model
pembelajaran langsung pada konsep yang diuji.
Berikut hasil analisis uji beda tiap sub pokok bahasan dan seluruh materi momentum dan impuls:
Tabel 3. Hasil Uji Beda KGS Peserta Didik pada Materi Momentum dan Impuls
No. Konsep Taraf
Signifikansi
Nilai Sig.
(2-tailed) Keputusan Keterangan
1. Momentum &
Impuls
0,05 0,006 Ha diterima Terdapat perbedaan
peningkatan KGS Ho ditolak
2. Hub. Momentum &
Impuls serta
Hukum Kekekalan
Momentum
0,05 0,000 Ha diterima Terdapat perbedaan
peningkatan KGS Ho ditolak
3. Jenis Tumbukan
serta Penerapan
Momentum &
Impuls
0,05 0,013 Ha diterima Terdapat perbedaan
peningkatan KGS Ho ditolak
4. Seluruh Materi
Momentum &
Impuls
0,05 0,003 Ha diterima Terdapat perbedaan
peningkatan KGS
peserta didik pada
materi momentum &
impuls
Ho ditolak
151
Pembahasan:
Jika ditinjau dari N-gain setiap konsep dalam materi momentum dan impuls, dapat dilihat pada
tabel dan gambar 1 bahwa peserta didik di kelas eksperimen mengalami peningkatan yang lebih
tinggi dari pada peserta didik di kelas kontrol. Artinya bahwa ada peningkatan hasil KGS peserta
didik di setiap konsep dan peningkatan tersebut lebih tinggi di kelas eksperimen. Kemudian
dilihat dari N-gain keseluruhan materi momentum dan impuls di kelas eksperimen yaitu sebesar
0,74 dengan kategori tinggi dan kelas kontrol yaitu sebesar 0,60 dengan kategori sedang. Hal
inimenunjukkan bahwa N-gain kelas eksperimen secara keseluruhan lebih tinggi dan selisih N-
gain kedua kelas tersebut adalah 0,14.
Perbedaan peningkatan dalam penelitian ini dimaksudkan pada data N-gain KGS di kelas
eksperimen (X MIIA 1) dan kelas kontrol (X MIIA 3) yang dianalisis dengan uji-t. Sebelumnya
telah dilakukan uji syarat yaitu uji normalitas uji homogenitas. Data N-Gain diperoleh dari data
pretest dan posttest yang dilakukan di awal dan akhir pembelajaran. N-Gain menunjukkan hasil
yang lebih tinggi pada kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol dan menunjukkan perbedaan
peningkatan yang signifikan. Selisihnya untuk setiap konsep berturut-turut yaitu 0,18, 0,21 dan
0,15. Hal yang menarik di sini, selisih pada sub pokok bahasan kedua yaitu hubungan momentum
dan impuls serta hukum kekekalan momentum mendapatkan selisih yang paling tinggi.
Berdasarkan hasil analisis uji beda pada pada tabel 3, terdapat perbedaan KGS yang signifikan
antara peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan
peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung. Hasil uji beda yang diperoleh
berturut-turut, dengan sig. (2-tailed) < 0,05 yaitu sebesar 0,006, 0,000 dan 0,013. Dapat diartikan
bahwa semakin kecil nilai signifikansi maka semakin besar perbedaan peningkatan yang dialami
kelas X MIIA 1 dan X MIIA 3. Sedangkan hasil uji beda KGS peserta didik pada materi
momentum dan impuls diperoleh, dengan sig. (2-tailed) < 0,05 yaitu sebesar 0,003, maka Ho
ditolak dan Ha diterima yang artinya, terdapat perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik
yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang
diterapkan model pembelajaran langsung.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ika Permata Sari dkk (2015)
yang mana hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara peserta didik
yang diterapkan model PBL berbantuan media kartu bergambar dan peserta didik yang diterapkan
model pembelajaran langsung. Dalam jurnal tersebut juga dibahas kelebihan PBL yaitu dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah yang tentunya
dapat membantu dan mendasari KGS inferensi logika peserta didik. Indikator inferensi logika
yang dimaksud yaitu memahami aturan-aturan, berargumentasi berdasarkan aturan, menjelaskan
masalah berdasarkan aturan, dan menarik kesimpulan berdasarkan hukum-hukum terdahulu.
Penelitian yang juga mendukung dilakukan oleh M.F. Daud (2013) tentang PBL Lintas Budaya
dengan sub judul PBL: sebuah proses memperoleh pembelajaran dan KGS. Hal ini pun
ditunjukkan dengan antusias dan keaktifan peserta didik di dalam kelas.
Sintaks Model PBL yang dilakukan di dalam kelas yaitu memberikan orientasi permasalahan
kepada peserta didik, mengorganisasikan peserta didik untuk penyelidikan, membantu investigasi
mandiri dan kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan sesuai LKPD (mengembangkan
dan menyajikan hasil), menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah (proses
penyelidikan). Model PBL memberikan peserta didik tanggung jawab untuk membentuk dan
mengarahkan pembelajarannya sendiri dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil. Pada
saat berkelompok dan diberikan masalah dalam bentuk LKPD, peserta didik secara tidak
langsung telah melatih KGS mereka yaitu pengamatan langsung, inferensi logika (konsistensi
logika) dan membangun konsep. Peserta didik dituntut untuk menampilkan apa yang telah mereka
pelajari, di sini keterampilan komunikasi ilmiah mereka telah dilatih.
152
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura dan hasil yang
diperoleh, serta pembahasan yang telah diuraikan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah:
(1) Adanya peningkatan hasil KGS peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan
smartphone berbasis WEC, yaitu sebesar 0,74 dengan kategori tinggi dan peserta didik yang
diterapkan model pembelajaran langsung, yaitu sebesar 0,60 dengan kategori sedang pada materi
momentum dan impuls.
(2) Terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan antara KGS peserta didik yang diterapkan
model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model
pembelajaran langsung pada materi momentum dan impuls. Hal ini dapat dilihat dari nilai Sig (2-
tailed) sebesar 0,003 pada materi momentum dan impuls, dimana nilai 0,003 < 0,05.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alfath, S. N., Ellianawati, & Sukisno, M. (2013). “Pengembangan Media Blended Learning
Berbasis Web Enhanced Course pada Mata Kuliah Fisika Dasar 2 Jurusan Fisika Unnes”.
Unnes Physics Education Journal, 2(1), 1–6. Diakses dari https://journal.unnes.ac.id
[2] Aqib, Z. (2013). Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontesktual (Inovatif).
Yrama Widya, Bandung.
[3] Arends, R.I. (2008). Learning to teach (7th ed.). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[4] Arikunto, S. (2016). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Bumi Aksara, Jakarta.
[5] Asyahri, A., & Diani, R. (2017). “Pembelajaran Fisika Berbasis Web Enhanced Course:
Mengembangkan Web-Logs Pembelajaran Fisika Dasar I. Jurnal Inovasi Teknologi
Pendidikan, 4(1), 13-25. Diakses dari http://journal.uny.ac.id
[6] Atmaja, N. P. (2016). Buku Super Lengkap Evaluasi Belajar-Mengajar. Diva Press,
Yogyakarta.
[7] Brotosiswoyo, B.S. (2000). “Hakikat Pembelajaran MIPA (Fisika) di Perguruan Tinggi”.
Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
[8] Daud, M.F. (2013). “Problem-Based Learning: A Process for the Acquisition of Learning
and Generic Skills”.The 4th International Research Symposium on Problem-Based Learning
(IRSPBL), 47-55. Diakses dari https://www.researchgate.net
[9] Dwi, I.M., Arif, H., & Sentot, K. (2013). “Pengaruh Strategi Problem Based Learning
Berbasis ICT terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika”.
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 9(2), 8-17. Diakses dari http://journal.unnes.ac.id
[10] Fatimah, S., & Mufti. Y. (2014). “Pengembangan Media Pembelajaran IPA-Fisika
Smartphone Berbasis Android sebagai Penguat Karakter Sains Siswa”. J. Kaunia, 10(1), 59-
64. Diakses dari https://www.neliti.com atau http://ejournal.uin-suka.ac.id
[11] Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.
Ghalia Indonesia, Bogor.
[12] Irwandani. (2014). “Model pembelajaran Just In Time Teaching (JITT) berbantuan website
pada topik listrik arus bolak-balik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa
SMA”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-Biruni, 3(2), 35–56. Diakses dari
https://download.portalgaruda.org
[13] Irwanto, N & Suryana, Y. (2016). Kompetensi Pedagogik Untuk Peningkatan dan Penilaian
Kinerja Guru dalam Rangka Implementasi Kurikulum Nasional. Genta Group Production,
Surabaya.
[14] Isparmo. (2016). Data Statistik Pengguna Internet Tahun 2016. Diakses dari
http://isparmo.web.id
[15] Iswadi, H. (2016). Sekelumit dari Hasil PISA 2015 yang Baru Dirilis. UBAYA. Diakses dari
http://www.ubaya.ac.id
[16] Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual. Refika Aditama, Bandung.
153
[17] Krisianto, A. (2017). JagoGoogling. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
[18] Machali, I. (2017). Metode Penelitian kuantitatif. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[19] Risayanti. (2015). Penerapan Model Pembelajaran ARIAS dalam Pembelajaran Fisika
untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa kelas XI SMA Negeri 1 Jayapura pada
Pokok Bahasan Fluida Dinamis. Universitas Cenderawasih, Jayapura. Skripsi.
[20] Sadia, W. (2014). Model-Model Pembelajaran Sains Kontruktivistik. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
[21] Sani, R. A. (2017). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Bumi
Aksara, Jakarta.
[22] Sari, I.P., Yushardi., & Subiki. (2015). “Penerapan Model Problem Based Learning (PBL)
Berbantuan Media Kartu Bergambar terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar
Siswa dalam Pembelajaran Fisika SMK Negeri Di Kabupaten Jember”. Jurnal
Pembelajaran Fisika, 4(3), 268-273. Diakses dari https://jurnal.unej.ac.id
[23] Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta, Bandung.
[24] Sujarweni, V.W. (2015). SPSS untuk Penelitian. Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
[25] Sunardi, dkk. (2016). Buku Guru Fisika untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Peminatan
Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam. Yrama Widya, Bandung.
[26] Sunardi, dkk. (2016). Fisika untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Peminatan Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Yrama Widya, Bandung.
[27] Sutirman. (2013). Media & Model-Model Pembelajaran Inovatif. Graha Ilmu, Yogyakarta.
[28] Tawil, M. & Liliasari. (2014). Keterampilan-Keterampilan Sains dan Implementasinya
dalam Pembelajaran IPA. Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, Makassar.
[29] ______________. (2010). Ranking Indonesia pada PISA 2009 dan 10 Terbaik. PISA
Indonesia. Diakses dari https://pisaindonesia.wordpress.com/2010/12/17/ranking-indonesia-
pada-pisa-2009-dan-10-terbaik/
154
BENTUK PENGELOLAAN SAGU
(STUDI KASUS: SORONG SELATAN, MALANGKE BARAT DAN
AMBON)
Helena Tuririday1,2, dan Musa Koibur1,3
1Jurusan Pend.Bilogi-Fkip Unipa, 2PDD-AK Kab. Sorong Selatan,
3Magister Teknologi Pertanian-UGM
Abstrak. Pengelolaan Sagu : Studi Kasus Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon, bertujuan
untuk mendeskripsikan pola pengolahan sagu. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi
informasi awal untuk mengembangkan pola pengolahan sagu. Metodologi penelitian yang
digunakan adalah Observasi lapang dan Studi Pustaka, dengan membandingkan laporan hasil-
hasil observasi lapang, praktikum, maupun laporan praktek mahasiswa, yang selanjutnya diolah
secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Pengelolaan sagu
dideskripsikan berdasarkan 3 aspek, yakni budidaya, industri dan agribisnis sagu. Persentase
pengelolaan sagu berdasarkan tiga aspek ini pada kota yang berbeda masih sekitar 30-34 %.
Sorong Selatan, memiliki potensi HSA (44,88% dari luas wilayah), namun belum dikembangkan
secara maksimal, berbeda dengan Ambon dan Malangke Barat yang memiliki habitat sagu lebih
rendah, tetapi mengembangkan perkebunan sagu. Aspek agroindustri sagu di Malangke Barat
dan Ambon telah berkembang industri sagu skala rumahan dan produk sagu. Produk sagu baik
tradisional maupun modern yang diproduksi secara kontinu dan tersedia di pasar tradisional -
modern. Beberapa produk pati kering telah memiliki merk dagang (Saguta dan D’S). Aspek
industri berpengaruh positif terhadap aspek bisnis, di Sorong Selatan lebih rendah pengelolaanya
dibandingkan kedua lokasi tersebut. Secara keseluruhan, gambaran pengelolaan sagu dari aspek
budidaya, agroindustri dan agribisnis berkembang dengan baik berturut-turut di Malangke Barat
(42 %), Ambon ( 38 %) dan Sorong Selatan (20%). Aspek pengelolaan yang dominan
berkembang dengan baik di Malangke Barat dan Ambon adalah aspek industry dan pemasaran.
Beberapa factor perlu dikembangkan sebagai model atau bentuk pengolahan sagu berbasis
masyarakat, seperti model perkebunan sagu berbasis hutan alam, menyediakan akses pasar/alur
penjualan sagu, menyediakan industri sagu berbasis rumahan dan pengembangan SDM khusus
sagu, tetapi juga disediakan regulasi tentang pengolahan sagu.
Kata Kunci: Sagu, Sorsel, Malangke, Ambon
1. LATAR BELAKANG
Tumbuhan sagu kini tidak hanya dikenal sebagai bahan pangan tradisional, tetapi banyak manfaat,
bahkan disebut sebagai tumbuhan multifungsi, sebab seluruh bagian tubuh tumbuhan ini
bermanfaat hingga limbahnya. Penyebaraannya di Indonesia merupakan yang terbanyak didunia
atau sebesar 1,5 ha. Dan 90% dari jumlah tersebut atau 1.015 juta ha berkembang di Provinsi
Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan, 2003). Data UP4B tahun 2013 menyebutkan bahwa
secara indikatif luas potensi sagu di Provinsi Papua 4.749.325 ha (15,29%) dan di Provinsi Papua
Barat 510.213 ha (5,27%).
Peluang memiliki hutan sagu yang luas, tidak seiring dengan meningkatnya aspek pengolahannya,
ini terbukti dengan pendeknya alur pemasaran sagu di Papua, berbeda dengan wilayah sentra sagu
lainnya. Usaha untuk mengenal bentuk pengelolaan sagu yang telah dikembangkan diharapkan
dapat memberikan informasi dalam mengembangkan sagu yang berkelanjutan.
155
2. TUJUAN
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk pengelolaan sagu di Kabupaten Sorong
Selatan, Malangke Barat dan Ambon sebagai daerah sentra sagu di Indonesia.
3. RUANG LINGKUP
Bentuk pengelolaan secara umum sangat luas, namun pada kajian ini difokuskan pada bentuk
pengelolaan dari aspek budidaya, agroindustri dan agribisnis sagu, pada ketiga lokasi yang
berbeda.
4. METODOLOGI
Metode yang digunakan adalah observasi lapangan dan kajian pustaka. Artinya bahwa data yang
diperoleh dilapangan, disusun dan dibandingkan dengan beberapa hasil kajian pustaka yang
relevan terkait pengelolaan sagu. Data tersebut selanjutnya disusun secara deskritif dalam bentuk
tabel dan gambar. Observasi Malangke Barat pada tahun Maret – April 2017di Desa Pengkajoang,
dan Ambon April tahun 2018di Ihamahu, Waai dan Saparua.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengolahan sagu diharapkan menjadi sumber pendapatan masyarakat, sebab masyarakat yang
memiliki Hutan Sagu Alam (HSA), konsep ini di beberapa wilayah sentra sagu di Indonesia
berkembang dengan baik, misalnya di Sulawesi Selatan, namun sedapat mungkin berbeda dengan
Sorong Selatan misalnya. Secara rinci bentuk pengelolaan sagu dapat dikategorikan dalam tiga
aspek besar yakni, aspek Budidaya, Agroindustri dan Agribisnis. Aspek lain yang juga menunjang
pengeloaan sagu adalah.
Mentan, 2014 mendefinisikan ketiga aspek ini sebagai berikut, aspek budidaya bukan hanya soal
menyiapkan lahan perkebunan, tetapi menerapkan prinsip budidaya pada HSA, tujuannya untuk
menjaga keragaman genetik dan kualitas pati sagu sekaligus meningkatkan kualitas ekonomi
petani sagu di daerah sentra sagu. Sedangkan aspek agroindustri disejajarkan denga proses
produksi pati sagu menjadi (bahan baku) untuk dikembangkan dalam produksi pangan, industri
kimia, kosmetik, farmasi, dll. Aspek Bisnis dapat diartikan sebagai pemasaran sagu. Aspek bisnis
ini merupakan magnet bagi pengembangan sagu, dengan demikian sagu harus dinilai sebagai
komuditi yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga dikelola dengan sistem bisnis.
Kabupaten Sorong Selatan merupakan daerah sentra sagu terbesar kedua di provinsi Papua Barat
setelah Kab. Teluk Bintuni, Malangka Barat, merupakan salah satu sentra sagu di Luwu Utara,
dan Kota Ambon Provinsi Maluku, Saparua dan Wai merupakan sentra pengolahan sagu. Masing-
masing wilayah ini memiliki keunggulan masing-masing dalam mengelola sagu, secara rinci
dapat disajikan pada tabel 1. Angka 0-3 dipakai sebagai range untuk mendeskripsikan bentuk
pengolahan sagu di Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon.
Tabel. 1. Bentuk Pengolahan Sagu di Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon
ASPEK
SO
RS
EL
MA
LA
NG
KE
AM
BO
N
KETERANGAN
Budidaya
Potensi HSA 3 1 1
Luas HSA sekitar 45% dari total luas
wilayah Kab. Sorong Selatan, tersebar di 8
dari 13 Distrik
156
Sagu Tanam 1 3 3
Di tanam di Habitat asli, tanpa menerapkan
prinsip budidaya
Usaha Perkebunan
1 3 1
Di Teminabuan dlakukan pada Distrik
Seremuk (jumlah luas hutan terbatas, 1
ha/kampung, ditanam sejak tahun 2015.
Sedangkan di Malangke Barat, sejak tahun
2010 (menerapkan prinsip budidaya)
Industri
Produksi Pati
Basah/kering
1 3 3 Pati sebagai bahan baku olahan pangan,dan
variasi produk pangan berbahan dasar sagu
di Sorong Selatan rendah dibandingkan di
Malangke dan Ambon Keragaman Produk 1 3 3
Industri Kecil 0 3 3 Menjadi salah satu factor rendahnya rantai
pemasaran sagu di Teminabuan
Perusahan Sagu 1 0 0 Belum beroperasi (nilai jual rendah) karena
merupakan sagu alam.
Agribisnis
Rantai pemasaran
sagu 1 3 3
Rantai pemasaran sagu di Sorong Selatan
sangat pendek, berbeda dengan di Malangke
dan Ambon
Perencanaan
Pengolahan Sagu 1 3 3
Direncanakan secara bertahap mulai dari
tingkat desa, dan PERDA (kasus Malangke
Barat)
Pengembangan
SDM 3 3 3
Tersedianya pendidikan Vokasi khusus
komuditi sagu (Kasus Sorong Selatan)
Skala :0 : Tidak ada 1 = ada tapi tidak dikelola baik, 3 : Ada dan baik pengolahannya
Data pada tabel 1 menggambarkan deskripsi bentuk pengelolaan sagu pada 3 lokasi sentra sagu.
Malangke Barat dan Ambon masih unggul yakni pada aspek industry dan bisnis, berturut-turut
sebesar 42% dan 38%, sedangkan di Sorong Selatan, memiliki potensi HSA namun belum
dimanfaatkan secara baik (20%). Bentuk dan proses pengolahan secara rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Potensi HSA,
sagu yang melimpah dihutan sagu namun pemanfaatannya berbeda, data menunjukkan bahwa
yang aspek industri di Kab. Sorong Selatan sangat rendah, ini terlihat dengan kurangnya
variasi produk, tidak adanya UMKM. Produksi pati atau panen dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga dipanen sesuai kebutuhan, faktor inilah yang
menyebabkan banyak tegakan pohon yang mati atau tidak dipanen. Data hasil survey
menyebutkan angka 5,5 juta pohon tidak dipanen di Sorong Selatan di tahun 2014 (Bappeda
Sorsel, 2014). HSA yang tidak dikelola dengan baik, mempengaruhi kualitas dan
kuantitaspati.Jong (2011),dimana rata-rata produktivitas pati pada hutan sagu diSorong Selatan mencapai 152 kg per pohon, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan di Maluku. Louhenapessy,dkk.,(2010), menyebutkan bahwa produksi pati mencapai 640 kg (berat basah per pohon)
157
2. Rendahnya Industri sagu
Bentuk pengolahan industry sangat rendah, tergambar dari, rendahnya produksi pati kering
(diproduksi sesuai kebutuhan), produksi pangan bahan dasar sagu rendah. Faktor lain yang
juga menggambarkan rendahnya industri sagu adalah tidak tersedianya kelompok usaha kecil
menengah (UMKM) berbasis berbasis rumahan. Berbeda dengan pengolahan industry sagu
di Maluku dan Malangke Barat, yang menghasilkan produk sagu dengan beragam variasi, dan
dijumpai tidak hanya di pasar tradisional saja, tetapi juga pasar modern. Sebut saja bagea,
sagu vorna, bangket sagu, serut sagu, dll. Bahan baku atau pati pun diproduksi secara kontinu
dengan merk dagang, ”Nyong Ambon” , D’S dan “Saguta”. Sedangkan di Sorong Selatan pati
kering diproduksi di AKNESS tetapi belum mencapai pasar lokal.
3. Pola Pemasaran Sagu
Pola pemasaran sagu, antara Sorong Selatan, Malangke dan Ambon , mendeskripsikan pola
pengembangan sagu, atau bagaimana sagu dikelola oleh masyarakat. Rantai pasaran sagu
pada tiap lokasi ini pun berbeda, di Sorong Selatan misalnya, Petani sagu – pasar – konsumen
(kebuuhan konsumsi harian), merupakan alur yang sangat pendek, sedangkan di Ambon dan
Malangke Barat lebih panjang, tersaji pada gambar 2.
Petani Sagu
Gambar 2. Skema Alur Pemasaran Sagu
Ada point penting terkait pola pemasaran sagu di Malangke Barat bahwa perencanaan hingga
distribusi olahan sagu disusun mulai dari tingkat kampung, sehingga produk yang dihasilkan
terdistribusi mencapai pasar modern bahkan hingga ke luar kota. Pola Pemasaran menurut Tahitu,
2016 di jelaskan bahwa Kemampuan pengelola sagu memasarkan produk
masih pada tingkat pasar lokal. Di Ambon Misalnya hanya dari Ihamahu dan Tulehu yang
produksinya bisa menembus pasar Kota Ambon bahkan ke luar kota. Pola pemasaran sagu ini
dikendalikan pula melalui cara pandang, Girsang dan Papilaya, 2009, menyebutkan bahwa salah
satu kendala mengembangkan pemasaran sagu adalah pandangan pengelola sagu yang tidak
menganggap sagu sebagai bisnis yang menguntungkan.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Hasil kajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Kabupaten Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon, memiliki potensi HSA yang
luas namun belum dimanfaatkan secara optimal
b) Produksi Pati dan variasi olahan berbahan dasar sagu sangat rendah ditemukan
berkembang cukup baik di Ambon dan Malangke Barat jika dibandingkan dengan
Sorong Selatan
c) Rantai Pemasaran sagu sangat pendek di Sorong Seltan dibandingkan dengan
Malangke Barat dan Ambon, yang juga dijual hingga ke luar kota
2. SARAN
Berdasarkan hasil kajian ini, rekomendasi untuk pengembangan sagu adalah sebagai
berikut :
a) Potensi HSA harus dikelola melalui penerapan prinsip budidaya, tanpa merusak
habitat aslinya. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pati,sehingga
dapat merubah harga pati sagu alam.
Pati Basah
Pati Kering
Pasar UMKM
Produ
158
b) Perencanaan pengelolaan sagu sebaiknya direncanakan oleh masyarakat dari tingkat
terendah. Konsep inilah yang dapat membangun usaha berbasis masyarakat
c) Menyiapkan PERDA khusus pengelolaan sagu yang berpihak kepada masyarakat,
sehingga komuditi sagu dapat dikembangkan secara optimal.
d) Menyiapkan pengelola sagu yang mandiri melalui pendampingan dan menyiapkan
modal usaha, bukan sekedar memberikan pelatihan dan ketrampilan.
e) Menyiapkan SDM sebagai pengelola sagu, melalui pengembangan pendidikan vokasi,
yang juga dapat berperan sebagai pusat pendidikan sagu bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Flach, M.F. 1983. The Sago Palm: Domestication, exploitation and products F.A.O. palm
production and protection paper. AGPC/MISC/PREPRINT. A development paper
presented at the FAO sponsored expert consultation on the sago palm and its product.
F.A.O. Rome.
[2] Girsang, W. dan E. Ch Papilaya. 2009. “Improvement of Sago Competitiveness for Food
Security in Maluku”, dalam Investing in Food Quality, Safety and Nutrition (Proceeding).
Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Centre. Bogor: Agricultural
University Bogor
[3] Jong, F.S. 2011. Growth and Yield Parametersof Natural Sago Forests for Commercial
perations. Abstract In Program Book: The 10 International Sago Symposium. Sago for
Food ecurity, Bio-energy, and Industry from Research to Market. IPB
InternationalConvention Center. 29-30 October 2011,Bogor, Indonesia.
[4] Lakuy, H. dan J. Limbongan. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang diperlukan
untukpengembangansagu di Provinsi Papua. Dalam Prosiding Makalah pada Seminar
Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003
[5] Louhenapessy, J. E., M. Luhukay., S. Talakua., et. al.2010. Sagu: Harapan dan
Tantangan. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
[6] Bappeda Sorsel, 2014. Master Paln Sagu Kab. Sorong Selatan tahun 2014-2018. Bappeda
Sorsel. Teminabuan
[7] Menpan, 2014. Panduan Budidaya Sagu. Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
Jakarta
[8] Tahitu M, Saleh A, Lubis d & Susanto J. 2016. Strategi Pengembangan Kapasitas Pengelola
Sagu Di Maluku engah Provinsi Maluku.Jurnal Sosiohumaniora, vol. 1 No. 18. (Hal. 37-
43)
159
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM-BASED LEARNING
PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR
Raoda Ismail
Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Cenderawasih
Abstrak. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan model pembelajaran yang tepat dalam
membelajarkan peserta didik. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning)
merupakan suatu model pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga
merangsang siswa untuk belajar. pembelajaran berbasis masalah juga merupakan salah satu model
pembelajaran yang ditekankan untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran pada
Kurikulum 2013 (K13). Pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian
stimulus berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh siswa yang
diharapkan dapat menambah keterampilan siswa dalam pencapaian materi pembelajaran. Dengan
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan keterampilan
pemecahan masalah dan pengaturan diri. Hal ini terlihat dari langkah-langkah dalam
pembelajaran berbasis masalah. Langkah-langkah tersebut yaitu: (1) menemukan masalah, (2)
membangun struktur kerja, (3) menetapkan masalah, (4) mengumpulkan berbagai informasi, (5)
merumuskan solusi, dan (6) evaluasi.Geometri penting dipelajari di sekolah karena geometri
merupakan salah satu cabang matematika yang sangat esensial dan sangat terkait dengan
kehidupan. Geometri telah lama dimasukkan dalam kurikulum matematika sekolah di mana siswa
belajar untuk mengemukakan alasan dan melihat struktur aksiomatik matematika. Mempelajari
geometri, diharapkan siswa dapat mengasah, merangsang, dan menantang kemampuan siswa
dalam memahami dan memanipulasi objek-objek geometris, dan mengembangkan keterampilan
penalaran, serta membangun kebiasaan berpikir matematika yang ilmiah dan logis. Oleh karena
itu penting bagi guru untuk mengetahui bagaimana cara pengimplementasian model pembelajaran
berbasis masalah pada materi geometri khususnya pada bangun ruang sisi datar.
Kata Kunci:Model Pembelajaran, Problem-based Learning, Bangun Ruang Sisi Datar
1. PENDAHULUAN
Model pembelajaran berbasis masalah menekankan pada aspek pemecahan masalah. Pemecahan
masalah diakui sebagai keterampilan hidup yang penting yang melibatkan berbagai proses
termasuk menganalisis, menafsirkan, menalar, memprediksi, mengevaluasi dan merefleksikan.
Untuk itu alasan mendidik siswa sebagai pemecah masalah yang efisien adalah peran penting dari
pendidikan matematika (Karatas & Baki (2013: 49)).
Pemecahanmasalah adalahketerampilanpraktis yangcukupumum, yang bisa dipelajari, danyang
terdiridariempat faseatau prinsip-prinsip: (a)memahami masalah(tujuan, apa yang diketahui, apa
yang tidak diketahui), (b) menyusun rencanaatausolusipendekatan, (c) melaksanakan rencana
tersebutdanmengkonfirmasikebenaranpelaksanaan, dan (d) memeriksasolusi,pastikanhasilnya,
danmempertimbangkan apakahsolusi alternatifyang mungkin (Ifenthaler, et al, 2011: 2; Polya,
1988: 214-226).
Tujuan pendidikan matematika menurut Ernest (2004: 125) terkait dengan kelompok-kelompok
sosial serta ideologi yang mendasarinya, baik secara umum maupun yang berkaitan dengan
matematika. Tujuan pendidikan dewasa ini bukan hanya tertuju pada pengembangan pengetahuan
dan keterampilan yang mutakhir, namun juga dapat membentuk kompetensi siswa yang sesuai
160
pada ranah afektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van de Walle (2010: 3) bahwa matematika
saat ini tidak hanya membutuhkan keterampilan berhitung, tetapi juga kemampuan untuk berfikir
dan berargumen matematis dalam rangka memecahkan masalah dan belajar ide-ide baru yang
akan dihadapi siswa di masa depan.
Tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM, 1989: 5) yaitu agar siswa: (1) belajar menghargai matematika; (2) percaya
diri terhadap kemampuannya dalam mengerjakan matematika; (3) menjadi pemecah masalah
matematika; (4) belajar untuk berkomunikasi secara matematis; dan (5) belajar untuk melakukan
penalaran secara matematik. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa tujuan
dari pembelajaran matematika tidak hanya berorientasi pada perkembangan pengetahuan, tetapi
juga pada perkembangan sikap dan keterampilan dalam matematika.
Pada umumnya banyak guru belum menggunakan model pembelajaran inovatif seperti halnya
model pembelajaran berbasis masalah karena masih bingung atau belum terbiasa dalam
menerapkan sintaks dari setip model pembelajaran pada materi yang akan dibelajarkan pada
siswa. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan bagaimana mengimplementasikan sintaks dari
model pembelajaran berbasis masalah pada salah satu materi geometri yaitu bangun ruang sisi
datar. Hal ini diharapkan dapat menjadi salah satu contoh bagi para guru dalam
mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah pada proses pembelajaran
matematika di sekolah.
2. PEMBAHASAN
a. Karakteristik Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Siswa SMP di Indonesia pada umumnya berusia 12-15 tahun. Menurut Slavin (2011: 52), pada
perkembangan aspek kognitif, usia tersebut masuk pada periode 11 tahun ke atas, yang masuk
pada tahap operasional formal. Menurut Muijs & Reynolds (2011: 25), pada tahap ini, semua
yang telah dipelajari pada tahap-tahap sebelumnya masih kuat, tetapi pada tahap ini siswa dapat
melihat dan mengalami secara nyata salah satu situasi dari beberapa situasi yang mungkin terjadi.
Pada usia ini, yang berkembang pada siswa adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa
memahami sesuatu secara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkret atau bahkan objek
yang visual. Siswa telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Dalam tahap
perkembangannya, siswa SMP berada pada periode perkembangan yang sangat pesat dari segala
aspek. Perkembangan yang sangat erat kaitannya dengan pembelajaran yaitu perkembangan
aspek kognitif, psikomotoris, dan afektif. Perkembangan kognitif remaja dalam pandangan Jean
Piaget berada pada periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasional formal.
Menurut Schunk (2012: 333), pada tahapan operasional, pikiran anak tidak hanya terfokus pada
hal-hal yang dapat dilihat, anak-anak mampu bepikir tentang situasi-situasi hipotesis atau
pengandaian. Kapabilitas penalaran mereka meningkat dan mereka dapat berpikir tentang lebih
dari satu dimensi dan karakter-karakter abstrak. Egosentrisme muncul pada diri remaja di mana
mereka membandingkan antara kenyataan dan kondisi ideal sehingga mereka sering
memperlihatkan berpikir yang idealistik.
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha
memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Muhibbin (2014: 72) juga
menyatakan bahwa “Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki
kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan
kognitifnya, yakni: 1) kapasitas menggunakan hipotesis; dan 2) kapasitas menggunakan prinsip-
prinsip”. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka
dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan
akibat atau hasilnya.
161
Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir
multidimensi. Para siswa pada tahap ini tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi akan
memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka
juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan
menjadi konklusi, prediksi, dan rencana. Dengan kemampuan operasional formal ini, siswa
mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar.
Berdasarkan penjabaran mengenai karakteristik siswa SMP di atas, maka pembelajaran
matematika yang sesuai dengan karakteristik siswa SMP adalah pembelajaran matematika yang
memuat kemampuan berpikir secara simbolis, logis, dan abstrak. Selain itu juga, pada
karakteristik siswa SMP yang telah mampu menggunakan hipotesis dan prinsip-prinsip,
pembelajaran matematika dapat disajikan dalam bentuk penelitian. Dengan menyajikan
pembelajaran matematika yang menekankan pada proses mengkontruksi makna, maka siswa
dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan
akibat atau hasilnya. Oleh karena itu, karakteristik siswa pada tahap ini telah mendukung untuk
dilaksanakannya pembelajaran yang menekankan pada proses pemahaman yang lebih mendalam.
b. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa agar program belajar tumbuh dan berkembang
secara optimal. Upaya yang dimaksud adalah aktivitas guru memberi bantuan, memfasilitasi,
menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa dapat mencapai atau menguasai kompetensi
pengetahuan, keteampilan, dan sikap. Pembelajaran merupakan proses yang dirancang guru
sedemikian rupa sehingga membuat siswa belajar.
Dalam matematika, salah satu cara membantu siswa dalam mencapai tujuan belajar adalah dengan
menetapkan standar kurikulum dalam pembelajaran matematika. Menurut NCTM (2000: 4),
“mathematics for life. Knowing mathematics can be personally satisfying and empowering”.
Matematika untuk kehidupan, dengan mengetahui matematika, secara pribadi dapat memuaskan
dan memberdayakan. Matematika dapat memuaskan dan memberdayakan manusia karena
matematika merupakan ilmu tentang sesuatu yang memiliki pola keteraturan dan urutan yang
logis. Terkait pula dengan tujuan pendidikan matematika menurut Ernest (2004: 125) tujuan
pendidikan matematika harus berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial yang terlibat, serta
ideologi yang mendasarinya. Selanjutnya Van de Walle (2010: 3) mengemukakan bahwa
“mathematics today requires not only computational skills but also the ability to think and reason
mathematically in order to solve the new problems and learn the new ideas that the students will
face in the future”. Matematika saat ini tidak hanya membutuhkan keterampilan berhitung, tetapi
juga kemampuan untuk berfikir dan berargumen matematis dalam rangka memecahkan masalah
dan belajar ide-ide baru yang akan dihadapi siswa di masa depan. NCTM (2000: 14-16)
mengemukakan tiga prinsip kurikulum matematika, yaitu: “1) a mathematics curriculum should
be coherent, 2) a mathematics curriculum should focus on important mathematics, 3) a
mathematics curriculum should be well articulated across the grades”. Hal ini berarti: 1)
kurikulum matematika harus koheren, 2) kurikulum matematika harus fokus pada pentingnya
matematika, dan 3) kurikulum matematika harus dapat diartikulasikan dengan baik di seluruh
kelas.
Lebih lanjut lagi NCTM (2000: 16) mengemukakan bahwa:
Learning mathematics involves accumulating ideas and building successively deeper and
more refind understanding. A school matehamatics curriculum should provide a road
map that helps teachers guide students to increasing levels of sophistication and depths
of knowledge.
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa proses pembelajaran matematika dibutuhkan
upaya untuk mengumpulkan ide-ide dan konsep yang dapat dipahami lebih dalam. Oleh karena
itu, kurikuluum matematika sekolah harus menyediakan proses pembelajaran matematika yang
162
dapat membantu guru membimbing siswa untuk dapat meningkatkan pemahaman dan kedalaman
pengetahuan siswa.
Berdasarkan beberapa penjabaran di atas, maka pada pembelajaran matematika harus
menyediakan kondisi untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.
Kondisi di mana siswa dapat mengetahui matematika secara holistik, dengan cara mengumpulkan
ide-ide dan konsep yang dapat dipahami lebih dalam sehingga siswa dapat memahami konsep
matematika dan menggunakannya dengan tepat dalam pemecahan masalah serta memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingi tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta percaya diri dalam pemecahan masalah.
c. Problem-based Learning
1) Pengertian Model Pembelajaran Problem-based learning
Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menggunakan masalah nyata atau
otentik, yang tidak terstruktur, dan bersifat terbuka. Masalahnya dapat berupa masalah yang
tidak terstruktur seperti masalah yang samar, tidak jelas, atau belum teridentifikasi. Sering
kali situasi yang membingungkan dan kompleks, dengan masalah yang saling terkait. Hal ini
terkait dengan apa yang disampaikan oleh Forgaty (1997: 2), yang menyatakan bahwa
Problem based-learning is a curriculum model designed around real-life problems
that are ill-structured, open ended, or embiguous. An ill-structured problem is fuzzy,
unclear, or not yet identified. It is often a situation that is confusing and complex,
with a number or interrelated concerns.
Hal senada juga dikemukakan oleh Tan (2009: 15), “problem-based learning (PBL) has been
widely touted to be an effective instructional method for the present climate of change and
innovation”. Artinya, pembelajaran berbasis masalah telah banyak disebut sebagai metode
pembelajaaran yang efektif sebagai inovasi dan perubahan saat ini. Pembelajaran berbasis
masalah dipandang sebagai metodologi pembelajaran yang berfungsi menyiapkan siswa
untuk menghadapi berbagai perubahan pengetahuan berbasis perkembangan masyarakat.
Selanjutnya Hmelo-Silver (Eggen & Kauchak, 2012: 307) mengemukakan bahwa
“pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan
masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi,
dan pengaturan diri”. Lebih lanjut lagi Eggen & Kauchak (2012: 307) menerangkan bahwa
pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah dilakukan secara berkelompok, yang cukup
kecil (tidak lebih dari empat) sehingga semua siswa terlibat dalam proses itu.
Lebih lanjut lagi Barell (Fogarty, 1997: 2) menjelaskan bahwa “problem-Based Learning
engages students in intriguing, real, and relevant intellectual inquiry and allows them to
learn from them to learn from these life situations”. Pembelajaran berbasis masalah
melibatkan para siswa dalam penyelidikan intelektual yang nyata dan relevan, dan
memungkinkan mereka untuk belajar dari situasi kehidupan ini. Pembelajaran berbasis
masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang
kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh siswa yang diharapkan dapat menambah
keterampilan siswa dalam pencapaian materi pembelajaran.
Selanjutnya Kemendibud (2013: 229) memandang model pembelajaran berbasis masalah
sebagai suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”,
serta bekerja secara kelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Lebih
jauh lagi Abidin (2014: 160) mendeskripsikan bahwa “model pembelajaran berbasis masalah
merupakan model pembelajaran yang menyediakan pengalaman otentik yang mendorong
siswa untuk belajar aktif, mengkontruksi pengetahuan, dan mengintegrasikan konteks belajar
di sekolah dan belajar di kehidupan nyata secara alamiah”.
163
Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan memberikan masalah yang sering ditemui
siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Berdasar pada beberapa definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang
dimulai dengan menemukan masalah, menganalisis masalah, membangun struktur kerja,
menetapkan masalah, mengumpulkan berbagai informasi, merumuskan solusi, dan evaluasi.
2) Prinsip-Prinsip Problem-based Learning
Prinsip utama model pembelajaran berbasis masalah menurut Hosnan (2014: 300) adalah
“penggunaan masalah nyata sebagai sarana bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah”. Masalah nyata yang dimaksud adalah
masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat langsung apabila
diselesaikan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Delisle (1997: 8) bahwa “problem-
based learning deals with problems that are as close to real-life situation as posible”, yang
berarti bahwa pembelajaran berbasis masalah berhubungan dengan masalah dalam
kehidupan nyata.
Pemilihan atau penentuan masalah nyata dapat dilakukan oleh guru maupun siswa yang
disesuaikan dengan kompetensi dasar tertentu. Masalah ini bersifat terbuka (open-ended),
yaitu masalah yang memiliki banyak jawaban atau strategi penyelesaian yang mendorong
keingintahuam siswa untuk mengidentifikasi strategi-strategi dan solusi-solusi tersebut.
Masalah itu juga bersifat tidak terstruktur dengan baik (ill-structured) yang tidak dapat
diselesaikan secara langsung dengan cara menerapkan formula atau strategi tertentu,
melainkan perlu informasi lebih lanjut untuk memahami serta perlu mengkombinasikan
beberapa strategi atau bahkan mengkreasi strategi sendiri untuk menyelesaikannya.
3) Tujuan Problem-based Learning
Tujuan pembelajaran berbasis masalah menurut Hosnan (2014: 298) adalah “... membantu
siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan mengubah tingkah laku siswa, baik dari
segi kualitas maupun kuantitas”. Perubahan tingkah laku yang dimaksud meliputi
pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap
dan perilaku siswa. Tujuan utama pembelajaran berbasis masalah bukanlah penyampaian
sejumlah besar pengetahuan kepada siswa, melainkan pada pengembangan kemampuan
berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan
kemampan siswa untuk secara aktif membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Anderson
& Karthwohl (2001: 98), fokus pembelajaran yang bermakna sesuai dengan pandangan
bahwa belajar adalah mengkonstruksi pengetahuan yang ada di dalamnya, siswa berusaha
memahami pengalaman-pengalaman mereka.
4) Langkah-Langkah Problem-based Learning
Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek telah dirumuskan secara beragam oleh
beberapa ahli pembelajaran. Langkah-langkah berikut yang dipaparkan oleh Abidin (2014:
163) merupakan sintaks hasil pengembangan yang dilakukan atas sintaks terdahulu.
Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah hasil pengembangan tersebut disajikan
dalam gambar sebagai berikut.
Prapembelajaran
Tahapan ini merupkaan kegiatan yang dilakukan guru sebelum pembelajaran inti dimulai.
Pada tahap ini guru merancang, mempersiapkan media dan sumber belajar, mengorganisasi
siswa, dan menjelaskan prosedur pembelajaran.
Fase 1: Menemukan Masalah
Pada tahap ini, siswa membaca permasalahan yang disajikan oleh guru. Menurut Delisle
(1997: 27) “... students should feel that the problem is important and worth their time and
attention”. Siswa dapat menyadari bahwa masalah tersebut adalah penting dan
membutuhkan waktu dan perhatian untuk dipecahkan Berdasarkan hasil membaca, siswa
menuliskan berbagai informasi penting, menemukan hal yang dianggap sebagai masalah,
164
dan menentukan pentingnya masalah tersebut bagi dirinya secara individu. Tugas guru pada
tahap ini adalah memotivasi siswa untuk mampu merumuskan masalah.
Fase 2: Membangun Struktur Kerja
Delisle (1997: 28) mengemukakan bahwa “once the teacher is sure that students have made
a connection with the issue, the next step is create the structure for working through the
problem”. Setelah guru memastikan bahwa siswa telah memahami permasalahan yang
diajukan, maka langkah selanjutnya adalah membuat struktur kerja. Pada tahap ini siswa
secara individu membangun struktur kerja yang akan dilakukan dalam menyelesaikan
masalah.
Upaya membangun struktur kerja ini diawali dengan aktivitas siswa mengungkapkan apa
yang mereka ketahui tentang masalah, apa yang ingin diketahui dari masalah, dan ide apa
yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah. Hal terakhir yang harus siswa lakukan
pada tahap ini adalah merumuskan rencana aksi yang akan dilakukan dalam menyelesaikan
masalah. Tugas guru pada tahap ini adalah memberikan kesadaran akan pentingnya rencana
aksi untuk memecahkan masalah.
Fase 3: Menetapkan Masalah
Pada tahap ini siswa menetapkan masalah yang dianggap paling penting atau masalah yang
mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Masalah tersebut selanjutnya dikemas dalam bentuk
pertanyaan menjadi sebuah rumusan masalah. Bentuk rumusan masalah berisi masalah
utama apa yang ada dan bagaimana memecahkannya. Tugas guru pada tahap ini adalah
mendorong siswa untuk menemukan masalah utama dan membantu siswa menyusun
rumusan masalah.
Fase 4: Mengumpulkan dan Berbagi Informasi
Pada tahap ini siswa melakukan kegiatan pengumpulan data melalui kegiatan penelitian atau
kegiatan sejenis lainnya. Berdasarkan informasi yang telah siswa peroleh secara individu,
selanjutnya siswa berbagi informasi tersebut dengan temannya dalam kelompok yang telah
ditetapkan.
Fase 5: Merumuskan Solusi
Pada tahap ini siswa secara berkelompok mencoba merumuskan solusi bagi pemecahan
masalah yang dihadapi. Proses perumusan solusi dilakukan secara kolaboratif dan kooperatif
dengan menekankan komunikasi efektif dalam kelompok. Semua solusi yang mungkin
dituliskan oleh masing-masing anggota dan kemudian ditampung oleh seorang siswa yang
ditunjuk dalam kelompok. Tugas guru adalah memastikan proses kelompok terjadi secara
kolaboratif, kooperatif, dan komunikatif.
Fase 6: Menentukan Solusi Terbaik
Pada tahap ini siswa menimbang kembali berbagai solusi yang dihasilkan dan mulai memilih
beberapa solusi yang dianggap paling tepat untuk memecahkan masalah. Tugas guru adalah
meyakinkan siswa pentingnya meninjau ulang dan menimbang keefektifan solusi yang telah
dihasilkan pada tahap sebelumnya.
Fase 7: Manyajikan Solusi
Pada tahap ini perwakilan siswa tiap kelompok memaparkan hasil kerjanya. Pemaparan
dilanjutkan diskusi kelas dengan dimoderatori dan difasilitatori oleh guru. Pada tahap ini
guru juga melakukan penilaian atas performa yang dihasilkan oleh siswa.
Pascapembelajaran
Pada tahap ini guru membahas kembali masalah dan solusi alternatif yang bisa digunakan
untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam prosesnya guru membandingkan antara solusi
satu dengan solusi lain hasil pemikiran siswa atau juga dibandingkan dengan solusi teoritis
yang telah ada.
5) Keunggulan Pembelajaran Berbasis Masalah
Mergendoller, Maxwell, & Bellisimo (2007: 49) mengungkapkan bahwa dengan
menerapkan pembelajaran berbasis masalah, maka siswa akan lebih percaya diri terhadap
kemampuannya dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah juga memiliki
beberapa keunggulan lain, yakni pengetahuan yang diperoleh akan lebih dihayati dan lebih
165
lama bertahan diingatan siswa. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Uden & Beaumont
(2006: 31) yang menyatakan bahwa “PBLstudents retain knowledge much longer than
students taught using traditional teaching although their learning may be less than that of
traditional students”. Hal ini berarti bahwa meskipun waktu belajar yang relatif lebih
singkat, namun mempertahankan pengetahuan yang mereka pelajari lebih lama dibanding
siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran tradisional.
Selanjutnya, Kemendikbud (2013: 231) sebagai berikut.
a) Dengan model pembelajaran berbasis masalah akan terjadi pembelajaran bermakna.
Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang
dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat
semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi tempat
konsep diterapkan.
b) Dalam situasi model pembelajaran berbasis masalah, siswa mengintegrasikan
pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks
yang relevan.
c) Model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,
menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, memotivasi internal untuk belajar, dan
dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Pembelajaran berbasis masalah berkontribusi dalam meningkatkan dan mempertahankan
keberhasilan akademis, meningkatkan keterampilan kinerja, memiliki efek positif terhadap
pembelajaran, meningkatkan komunikasi dan belajar mandiri, serta menghasilkan solusi
yang lebih logis untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Berdasarkan pada keunggulan-
keunggulan dari pembelajaran berbasis masalah, maka diindikasikan bahwa pembelajaran
berbasis masalah dapat menstimulus keefektifan pembelajaran ditinjau dari ketercapaian
tujuan pembelajaran siswa, yaitu percaya diri, penacapaian belajara matematika, dan
keterampilan pemecahan masalah.
d. Bangun Ruang Sisi Datar
Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu Geo yang berarti bumi dan metro yang berarti
mengukur. Geometri merupakan materi yang menarik serta bernilai estetika dan intelektual
karena merupakan bagian dari pengembangan informasi dalam kehidupan. Namun, materi ini
cukup sulit bagi siswa untuk dipelajari. Hal ini dapat dipengaruh oleh objek geometri yang
dipelajari tidak dapat dibayangkan oleh siswa secara nyata atau bersifat abstrak.
Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika, karena banyak konsep-konsep
yang termuat di dalamnya. Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang besar untuk
dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain, namun bukti-bukti di
lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah. Banyak siswa yang masih
mengalami kesulitan dalam memahami materi geometri. Aspek penting dari geometri adalah
membangun dan memanipulasi pikiran melalui objek berdimensi dua dan tiga, serta memahami
objek dari sudut pandang yang berbeda (NCTM, 2000: 41). Oleh sebab itu, dalam pembelajaran
geometri diperlukan strategi yang tepat sehingga dapat tercipta pembelajaran yang lebih efektif.
Menurut French (2004: 2),
Geometrical problems can be approached in a variety of ways. It can be an experimental,
practical subject where problem are solves by measurements and calculation, but to a
mathematician geometry is essentially a deductive subject whuch either uses purely
geometrical reasoning or embraces algebraic produces as well.
Pernyataan tersebut berarti bahwa masalah geometri dapat didekati dengan berbagai cara. Cara
tersebut bisa secara praktis melalui percobaan di mana masalah tersebut diselesaikan dengan
menggunakan pengukuran dan perhitungan, tetapi bagi ahli geometri pada dasarnya hal tersebut
merupkan sebuah pelajaran yang bersifat deduktif baik menggunakan penalaran geometris murni
maupun mencakup prosedur aljabar.
166
Geometri penting dipelajari di sekolah karena geometri merupakan salah satu cabang matematika
yang sangat esensial dan sangat terkait dengan kehidupan. Berdasarkan NCTM (2000: 41)
“geometry has long been regarded as the place in the school mathematics curriculum where
students learn to reason and to see the axiomatic structure of mathematics.” Hal ini berarti bahwa
geometri telah lama dimasukkan dalam kurikulum matematika sekolah di mana siswa belajar
untuk mengemukakan alasan dan melihat struktur aksiomatik matematika. Oleh karena itu,
dengan mempelajari geometri, diharapkan siswa dapat mengasah, merangsang, dan menantang
kemampuan siswa dalam memahami dan memanipulasi objek-objek geometris, dan
mengembangkan keterampilan penalaran, serta membangun kebiasaan berpikir matematika yang
ilmiah dan logis.
3. KESIMPULAN
Simpulan dari makalah ini yaitu bagaimana menerapkan model pembelajaran Problem-based
learning pada materi geometri khususnya pada materi bangun ruang sisi datar. Adapun
implementasi penerapan sintaks pada model pembelajaran berbasis masalah diuraikan pada
contoh di bawah ini
LKS Problem-based learning
Kelompok : .....................................
Nama : 1. .................................
2. .................................
3. .................................
4. .................................
5. ..................................
Petunjuk:
1. Tuliskan identitas kelompok dan nama anggota pada kolom yang
telah disediakan.
2. Selesaikan permasalahan berikut ini bersama teman kelompokmu.
3. Tuliskan hasil kerja pada tempat yang telah disediakan.
Tujuan Pembelajaran:
1. Menentukan bagian-bagian kubus serta
mengidentifikasi sifat-sifatnya.
2. Menentukan bagian-bagian balok serta mengidentifikasi sifat-sifatnya.
167
KEGIATAN 1
Amatilah bentuk rumah di samping.
Rumah bergaya minimalis tersebut
terdiri dari gabungan beberapa model
bangun ruang sisi datar. Bangun ruang sisi
datar apa sajakah yang terlihat pada
gambar tersebut?
Gambar ruang kelas pada gambar (a) tersebut adalah contoh nyata yang dapat dianggap
sebagai model kubus dan jika digambar dalam bentuk geometri maka akan berbentuk
seperti pada gambar (b).
Sumber: www.rumahminimalis.com
Sumber: www.google.com
1
D
H
E
A
C
G
F
B
(a)
(b)
168
Ruang kelas tersebut berbentuk kubus dengan panjang rusuk 4 meter.
Amatilah bahwa:
• Dinding kelas tersebut dapat dipandang sebagai sisi pada kubus.
• Perpotongan antara dua dinding depan dan samping dapat
dipandang sebagai rusuk pada kubus.
• Titik perpotongan antara tiga rusuk dapat dipandang sebagai titik
sudut pada kubus.
Identifikasi bagian-bagian dari ruang kelas tersebut yang
dapat dipandang sebagai bagian-bagian dari kubus.
Setelah mengidentifikasi bagian-bagian dari kubus,
selidikilah sifat-sifat kubus.
Tuliskan apa yang kamu ketahui dari permasalah di atas, dan ide apa yang bisa kamu gunakan dalam pemecahan masalah tersebut.
169
Tuliskan masalah yang kamu peroleh dalam bentuk pertanyaan.
Tuliskan informasi apa yang kamu peroleh dari buku, pakar, internet dan diskusikan dengan kelompokmu.
Tuliskan semua solusi dari teman kelompokmu terkait penyelesaian masalah tersebut.
170
DAFTAR PUSTAKA [1] Abidin, Y. (2014). Desain sistem pembelajaran dalam konteks Kurikulum 2013. Bandung:
PT Refika Aditama.
[2] Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A taxonomy for learning, teaching, and
assessing: a revision of bloom’s taxonomy of educational objectives. A bridged edition. New
York: Addision Wesley Longman, Inc.
[3] Delisle, R. (1997). How to use problem-based learning in the classroom. Alexandria:
Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
[4] Eggen, & Kauchak, D. (2012). Strategi dan model pembelajaran: mengajarkan konten dan
keterampilan berpikir. (Terjemahan Satrio Wahono) Boston: Pearson.
[5] Ernest, P. (2004). The philosophy of matematics education. London: Falmer Press.
[6] Fogarty, R. (1997). Problem-based learning and other curriculum models for the multiple
intelligences classroom. Glenview, Illinois: Pearson SkyLight.
[7] French, D. (2004). Teaching and learning geometry: issues and methods in mathematical
education. New York: Continuum.
[8] Hosnan, M. (2014). Pendekatan saintifik dan kontekstual dalam pembelajaran abad 21.
Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
[9] Ifenthaler, D., Isaias, P., Spector, J. M, Sampson, D. G., & Kinshuk. (2011). Multiple
perspectives on problem solving in the digital age. New York: Springer Science Business
Media.
[10] Karatas, B. & Baki, A. (2013). The effect of learning environments based on problem solving
on students’ achievements of problem solving. International Electronic Journal of
Elementary Education, Volume 5, No. 3, 249-268.
[11] Kemendikbud. (2013). Materi pelatihan guru implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemendikbud.
[12] McElmeel, S. L. (2002). Character education. Colorado: Greenwood Publishing Group, Inc.
[13] Mergendoller, J. R., Maxwell, N., & Bellisimo, Y. (2007). The effectiveness of problem-
based instruction: a comparative study of instructional methods and student characteristics.
The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, Volume 1, No 2, 49-69.
[14] NCTM. (2000). Principles and standards school mathematics. Reston: The National Council
of Teachers of Mathematics, Inc.
[15] Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: theory and practice (8th ed). Boston: Allyn &
Bacon.
[16] Slavin. (2011). Psikologi pendidikan teori dan praktek edisi kesembilan. (Terjemahan
Marianto Samosir). Jakarta: PT Indeks.
[17] Tan, A. (2007). Creativity: A handbook for teachers. Singapore: World Scientific.
[18] Tan, O. S. (2009). Problem-based learning and creativity. Singapore: Chengange Learning.
[19] Uden, L. & Beaumont, C. (2006). Technology and probelem-based learning. London:
Information Science Publishing.
[20] Van de Walle. (2010). Elementary and middle school mathematics teaching
developmentally. Boston: Pearson Education Inc.
171
IDENTIFKASI KEBERADAAN AIR TANAH ENDAPAN
BERUMUR TERSIER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK
DAERAH NIMBOKRANG, KABUPATEN SENTANI, PAPUA
Virman1, Frans Tambing2
Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan MIPA, FKIP Uncen1
Program Studi Teknik Pertambangan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fak. Teknik Uncen2
Abstrak. Sumber daya air bersih sangat penting dalam meningkatkan kesehatan lingkungan atau
masyarakat, yakni menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan dengan air, dan
meningkatkan standar atau taraf/kualitas hidup. Persoalan air bersih hingga saat ini masih bermasalah baik
kualitas maupun kuantitas, hal ini dipicu antara lain tingginya pencemaran yang terjadi akibat jumlah
penduduk, industry dan pertanian. Penebangan hutan yang tidak terkontrol menyebabkan run off lebih besar
dari infiltarsi sehingga berdampak langsung pada tersedianya air tanah. Air tanah adalah salah satu sumber
air alternative terbaik apabila air permukaan tidak lagi mencukupi. Telah dilakukan pengukuran geolistrik
tahanan jenis untuk pemetaan air tanah (lapisan akuifer) di Nimbokrang Area Kelapa Sawit (PT. Rimba
Matoa Lestari). Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan/pengukuran, pengolahan dan
analisis data. Penelitian geolistrik tahanan jenis menggunakan konfigurasi Schlumberger dilakukan
sebanyak 2 lintasan. Data-data hasil pengukuran diolah menggunakan software IPI2Win, hasilnya berupa
tahanan jenis sebenarnya yang dapat menggambarkan litologi dan kedalaman setiap lapisan. Dari hasil
pengolahan data maka air tanah di lokasi penelitian 001 terdapat pada lapisan 5 yaitu pada kedalaman
>23,7 meter dan di lokasi pengukuran 002 air tanah terdapat pada kedalaman mulai 27 dengan tahanan
jenis 4.23 hingga 4.49 ohm m. Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis tersebut maka secara makroskopi
kondisi bawah permukaan daerah penelitian strukturnya lebih dominan berupa lempung (clay), pasir
maupun campuran pasir dan lempung.
Kata kunci: akuifer, tahanan jenis, konfigurasi Schlumberger
1. PENDAHULUAN
Penyediaan air bersih untuk masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan
kesehatan lingkungan, yakni menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan dengan
air, dan meningkatkan standar atau kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu pemerintah melalui UU
No. 7/2004, dinyatakan bahwa negara menjamin ketersediaan dan akses air bagi setiap orang. Hasil
penelitian bersama antara Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di ketahui bahwa ada sekitar
40% populasi dunia mengalami kelangkaan air. Air bersih di Indonesia masih menjadi permasalahan
hingga saat ini, laporan MDGs tahun 2010 saja menyatakan akses air bersih di daerah perkotaan hanya
mencapai 49,82% sementara di pedesaan 45,72%. Ke depan tantangan ini akan semakin besar seiring
dengan terus menigkatnya tingkat pencemaran sumber air baku dan kerusakan lingkungan , kondisi ini
berdampak negative terhadap ketersediaan air bersih.
Nimborang adalah salah satu daerah yang secara administrasi termasuk Distrik Genyem , yang dapat
ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat atau dua kurang lebih 3 jam. Daerah ini oleh
pemerintah dijadikan sebagai perkebunan kelapa sawit dengan luas sekitar 17 ha. Masyarakat di sekiatar
area kelapa sawit mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih, air bersih untuk minum minum setiap
hari diperoleh dengan membeli seharga Rp. 20.000 pergalon.
Berdasarkan permasalahan air bersih tersebut maka penggunaan air tanah dianggap sebagai salah satu
solusi terbaik apabila air permukaan tidak lagi mencukupi. Air tanah adalah salah satu sumber daya alam
yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun
untuk kepentingan lainnya seperti pertanian dan industry yang dikenal boros penggunaan air. Menurut
Fetter (1988) air tanah bawah permukaan jumlahnya sekitar 68 kali jumlah air permukaan. Sejauh ini
pemanfaatan air tanah oleh manusia masih kurang dari 1%. Dimasa-masa mendatang diperkirakan
kebutuhan air oleh manusia lebih banyak dicukupi dari eksplorasi air tanah. Salah satu metode yang banyak
digunakan dalam eksplorasi air tanah adalah metode geofisika.
172
Geofisika adalah ilmu yang mempelajari penerapan konsep dan hukum fisika pada masalah atau fenomena
kebumian. Dalam geofisika dikenal beberapa metode eksplorasi yaitu teknik-teknik yang didasarkan pada
konsep dan hukum fisika untuk memperkirakan distribusi parameter atau sifat fisika bawah permukaan.
Distribusi parameter fisika seperti rapat arus, suseptibilitas magnetic, kecepatan rambat gelombang seismic,
resistivitas atau konduktivitas dan sebagainya berasosiasi dengan kondisi dan struktur geologi tertentu.
Dengan demikian penyelidikan menggunakan metode geofisika dapat dimanfaatkan untuk keperluan studi
geologi, eksplorasi sumber aya alam (air tanah, mineral, geothermal, minyak dan gas bumi) serta studi
lingkungan.
Salah satu metode geofisika yang banyak digunakan untuk eksplorasi air tanah adalah geolistrik tahanan
jenis. Metode ini memiliki kelebihan dalam hal tingkat akurasi, biaya operasional yang relative murah serta
peralatan yang lebih praktis. Beberapa peneliti terdahulu yang memanfaatkan metode geolistrik untuk
eksplorasi air tanah diantaranya Hago, H.A., 2000; Rosid, S., 2008; Braga, A. C., 2006; Kuswanto, A.,
Wibowo, M., 2001. Penelitian masalah air tanah menggunakan geolistrik menurut Wibowo, M., 2001
umumnya bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari akifer seperti geometri, penyebaran dan
kedalaman.
Penelitian geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi melibatkan pengukuran diatas
permukaan bumi dari parameter-parameter fisika yang dimiliki oleh batuan di dalam bumi. Dari
pengukuran ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan kondisi dibawah permukaan bumi baik itu secara
vertikal maupun lateral (Telford, 1990).
Metode ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini tahanan
jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari
lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-
lapisan tersebut. Oleh karena itu harga tahanan jenis yang diukur bukan merupakan nilai tahanan jenis
untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang lebar. Harga tahanan jenis yang terukur
tersebut disebut nilai tahanan jenis semu (apparent resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai
(Loke, 2002):
𝜌𝑎= 𝐾
∆𝑉
𝐼 ; 𝑅 =
∆𝑉
𝐼 …………………....(1)
Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara kedua
elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan.
Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada geometri
konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki beberapa konfigurasi yang
dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll.
Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi Schlumberger.
Dari persamaan (1) apabila diturunkan maka diperoleh faktor geometri untuk konfigurasi Schlumberger
sbb:
𝜌𝑠= 𝐾𝑠
∆𝑉
𝐼 , dengan Ks=
𝜋 (𝐿2−𝑙2 )
2𝑙 ..………….(2)
Dimana L adalah panjang elektroda arus (AB/2), dan l panjang elektroda potensial (MN/2)
Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali atau lebih
jarak elektroda potensial (P1 P2)
Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran
penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan konfigurasi
elektroda, faktor lain adalah jenis struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada.
2. Metodologi
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Kegiatan Kebun Sawit (PT. Rimba Matoa Lestari) dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda
empat dengan waktu tempuh 3 jam. Pengukuran geolistrik tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 lintasan
dengan bentangan berarah timur – barat, lokasi kegiatan berada pada elevasi 22 m dpal. Pengukuran
dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2018.
173
2.2 Desain Penelitian
Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 titik, titik ukur 001 berarah timur-barat dengan panjang
bentangan antara AB/2 antara 300 m sedangkan titik ukur 002 berarah timur-barat panjang bentangan
(AB/2) adalah 300 m. Daerah penelitian memiliki topografi yang relatif rata serta tersedia lahan kosong
untuk bentangan terpanjang sehingga bentangan maksimum dapat dicapai yaitu 300 meter (AB/2).
Pengukuran tahanan jenis di lapangan dilakukan dengan mengukur beda potensial (volt) dan kuat arus
(amper) yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan MN. Pada pengukuran ini digunakan
konfigurasi Schlumberger, konfigurasi ini baik untuk mapping maupun sounding. Untuk kegiatan
pengukuran di Kebun Kelapa Sawit (PT. Rimba Matoa Lestari) digunakan resisitivitas sounding hal ini
berdasarkan target penelitian yaitu air tanah. Pada konfigurasi Schlumberger elektroda-elektroda potensial
diam pada suatu tempat pada garis sentral AB sedangkan elektroda-elektroda arus digerakkan secara
simetri.
2.3 Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan:
Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama Noniura NRD
328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial (Volt). Output
pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang diperlukan adalah:
- Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF.
- Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara alat dengan
permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial.
- Kabel penghubung antara alat dengan elektroda
- Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap titik ukur.
- Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda.
Prosedur Kerja:
Persiapan pengukuran
Pada penelitian ini yang pertama dilakukan adalah survei awal di lokasi yang bertujuan untuk
mencari posisi pengukuran di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan peralatan yang
diperlukan untuk akuisisi data lapangan. Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan desain
interpretasi yang dikehendaki serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi
penelitian. Dalam penelitian ini diterapkan metode tahanan jenis konfigurasi Schlumberger.
2.4 Tahapan pengukuran
Tahapan pengambilan data metode geolistrik di lapangan adalah sebagai berikut:
- Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang dibawah dalam
kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu memenuhi syarat yaitu 12 volt.
sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu.
- Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar diperoleh
kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan pendukung untuk
kelancaran di lapangan.
- Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus mendapat
arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang dipercayakan (setting
peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran). Total pengukuran yang dilakukan
sebanyak 2 titik, adapun proses pengukuran sebagai berikut: :
1. Menancapkan elektroda pada permukaan tanah dengan spasi teratur.
2. Membentangkan kabel yang digunakan sebagai penghantar arus dan potensial yang
menghubungkan antara elektroda dengan alat resistivitymeter
3. Memasang kabel ke elektroda untuk menghubungkan kabel dengan elektroda
- Menghubungkan terminal kabel dan data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup
arus listrik (Amper) dan beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik
melalui dua elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi
yang memiliki nilai hambatan (ohm m).
174
2.5 Pengolahan Data dan Analisis
Data yang diperoleh berupa bedapotensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut kemudian
disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis semunya. Tahanan jenis
semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan true resistivitymenggunakan IPI2win
hasilnya seperti pada Gambar 4.1 dan 4.2. Gambar tersebut merepresentasikan jenis litologi, kedalaman
dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga tahanan jenisnya.
Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-dasar sebagai berikut:
- Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil dibandingkan
dengan yang kompak pada batuan yang sama.
- Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil dibandingkan
dengan yang kompak pada batuan yang sama.
- Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang lebih besar.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Titik pengukuran geolistrik yang tersebar di dua titik dapat memberikan deskripsi litologi tentang daerah
penelitian di Kebun Kelapa Sawit (PT. Rimba Matoa Lestari). Data yang diperoleh melalui pengukuran
berupa beda potensial dan arus kemudian dihitung tahanan jenis semunya. Selanjutnya nilai tersebut diolah
menggunakan IPI2win untuk mendapatkan tahanan jenis sebenarnya. Tahanan jenis sebenarnya merupakan
model yang menggambarkan ketebalan perlapisan dan jenis batuan pada tiap-tiap pengukuran. Untuk
mengetahui jenis – jenis batuan yang ada pada masing-masing titik disesuaikan dengan besar kecilnya nilai
tahanan jenis yang dimiliki serta data geologi pada daerah penelitian. Data tahanan jenis yang sudah
melalui tahap pengolahan dapat berupa model yang menggambarkan jumlah perlapisan dan
kedalaman(Gambar 4.1 dan 4.2).Selanjutnya model tersebut dianalisis berdasarkan konsep yang
dikembangkan oleh Telford, 1990.
Hasil pengolahan data didapatkan bahwa nilai tahanan jenis relatif rendah, ini menunjukkan bahwa secara
umum lokasi penelitian tersusun oleh material seperti lempung, pasir atau campuran antara lempung dan
pasir. Tahanan jenis resistif terdapat pada lapisan 2 titik ukur 001 yaitu 62,9 ohm m Adapun hasil analisis
terhadap model yang diperoleh berupa struktur bawah permukaan adalah sebagai berikut:
3.1 Pengukuran di Titik 001
Titik pengukuran 001 dengan panjang bentangan seluruhnya 600 meter atau AB/2 adalah 300 meter, arah
bentangan timur-barat. Berdasarkan hasil pengolahan data yang menggunkan software IPI2win, lintasan ini
terdiri atas lima lapisan. Hasil pengukuran dan pengolahan data menggunakan metode geolistrik daerah
001 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Berdasarkan Gambar 4.1 didapatkan bahwa secara umum perlapisan
batuan yang ada memiliki sifat fisik yang dominan bersifat konduktor. Kalaupun ditemukan fluktuasi nilai
tahanan jenis ini disebabkan karena komposisi penyusun lapisan seperti fluida, pasir, lempung, breksi yang
berbeda. Komposisi batuan setiap lapisan otomatis sangat berpengaruh terhadap kualitas air yang
dikandungnya. Biasanya untuk air yang memenuhi standar kualitas untuk minum berada pada lapisan pasir
atau dominan pasir, apabila ditemukan lempung lebih dominan maka air tanah dianggap memiliki
kandungan unsur atau mineral lebih banyak. Berdasarkan konsep tersebut maka kualitas air yang ada di
lokasi penelitian dapat dikategorikan sebagai air yang banyak mengandung mineral ini ditunjukkan nilai
tahanan jenis yang rendah yaitu 3.98 ohm m. Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis batuannya
setiap lapisan di lokasi 001 adalah sebagai berikut:
Lapisan pertama, merupakan top soil tahanan jenisnya 13.9 ohmm, ketebalan 2.61 m dan kedalaman
2.60 m, jenis batuan berupa lempung, pasir dan campuran
Lapisan kedua, tahanan jenisnya 62,9 ohm m berada pada kedalaman 5.1 m dengan ketebalan 2.46 m.
Pada lapisan ini struktur perlapisannya masih serupa dengan lapisan pertama yaitu pasir, breksi dan
lempung. Nilia tahanan jenis yang relative tinggi ini menunjukkan bahwa kadar lempung lebih kecil.
175
Hasil Pengolahan Data Menggunakan IPI2WinLokasi Pengukuran 001 (Kebun Kelapa Sawit)
Gambar 4.1 Hasil pengolahan data menggunakan software IPI2win lokasi 001
Lapisan ketiga, tahanan jenisnya 3,98 ohm m dan memiliki ketebalan 4.74 m serta kedalam hingga
9,80 m. Nilai tahanan jenis yang relative rendah ini jika dibanding pada lapisan 2 (dua) menunjukkan
dua alternative yaitu system perlapisannya dominan lempung atau air tanah bebas yang kadarnya
dipengaruhi oleh mineral lempung.
Lapisan keempat, tahanan jenisnya 155 ohm m dengan ketebalan 13,9 m serta berada pada kedalaman
23,7 m. Berdasarkan nilai tahanan jenisnya maka lapisan ini strukturnya berupa lempung berpasir,
diprediksi sebagai lapisan kedap air yang membuat air tanah terdapat pada lapisan 5 (lima)
berasosiasi dengan tekanan sehingga tergolong sebagai air tanah tertekan (confined aquifer).
Lapisan kelima, tahanan jenisnya 4.49 ohm m dan berada pada kedalaman >23,7 m. Pada lapisan ini
strukturnya tidak kompak biasanya berupa pasir, lempung atau campuran antara lempung dan pasir.
Litologi ini dikenal sebagai lapisan akuifer.
3.2 Pengukuran di Titik 002
Titik pengukuran 002 berjarak sekitar 1 km dari titik pengukuran 001, dengan panjang bentangan 600
meter atau AB/2 adalah 300 meter, arah bentangan timur – barat. Hasil pengolahan data yang menggunkan
software IPI2win seperti pada Gambar 4.2. Berdasarkan Gambar 4.2 tersebut, didapatkan jumlah lapisan
sebanyak 3 (tiga), apabila dikorelasikan dengan titik pengukuran di lokasi 001 maka pengukuran di titik
002 untuk kedalaman hingga 14 meter memiliki sifat fisik perlapisan sama yakni 30,4 ohm m, pada
kedalaman hingga 27 meter sifat fisik berubah menjadi lebih konduktif. Apabila dibandingkan dengan
kondisi permukaan daerah penelitian maka pada lapisan 2 (dua) air tanah dapat dijumpai, namun
kualitasnya dikontrol oleh mineral lempung. Memasuki lapisan 3 (tiga), perubahan sifat fisika lapisan
bertambah hingga mencapai 24,5 ohm m pada kedalaman diatas 27 meter hal ini memungkinkan sifat air
tanah apabila ditemukan kualitasnya relative baik. Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis
batuannya setiap lapisan adalah sebagai berikut:
Lapisan pertama, tahanan jenisnya 30,4 ohmm, ketebalan 14,26 m dan kedalaman 14.26 m, merupakan
lapisan yang dikategorikan kondukstif, jenis batuan berupa pasir, breksi, dan lempung. Nilai tahanan
jenis pada lapisan ini secara umum dapat diintepretasi sebagai lapisan yang tidak mengandung air
tanah.
Lapisan kedua, tahanan jenisnya 4.23 ohm m berada pada kedalaman 27 meter dengan ketebalan lapisan
12,7 meter. Lapisan ini bersifat relative lebih konduktif jika dibanding dengan titik pengukuran 001.
Perubahan sifat fisik lapisan ini sebagai tanda hadirnya fluida atau air tanah yang kualitasnya dikontrol
oleh mineral lempung.
Lapisan ketiga, tahanan jenisnya 24,5 ohm m dan memiliki kedalaman > 27 meter. Lapisan 3 (tiga)
ini masih dikategorikan sebagai lapisan konduktif dimana peran air tanah masih dapat dijumpai dengan
kualitas relative lebih baik.
176
Gambar 4.2 Hasil pengolahan data menggunakan IPI2win lokasi 002
4. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai hasil pengolahan data geolistrik maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Secara makroskopis struktur permukaan daerah penelitian berupa batuan lempung, pasir, breksi
dan campuran pasir dan lempung. Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis maka struktur
perlapisan yang dianggap sebagai akifer berada pada lapisan 2 (dua) dengan ketebalan 12,3 meter.
Lapisan ini jika dikorelasikan dengan titik pengukuran 001 maka berada pada lapisan 5 (lima)
dengan tahanan jenis berkisar antara 4.23-4.49 ohm m. Lapisan akuifer tersebut berupa pasir,
kerakal dominan lempung. Variasi nilai tahanan jenis pada titik ukur 001 menggambarkan adanya
perbedaan kadar atau komposisi pasir, lempung dan kerakal yang menyusun setiap lapisan.
Komposisi kadar ini tidak terjadi pada titik ukur 002 hal ini diperkuat oleh nilai tahanan jenis sebesar
30 ohm m yang menerus hingga kedalaman 27 meter.
2. Berdasarkan kesimpulan di atas tersebut maka disarankan untuk kegiatan pemboran air tanah
sebaiknya dilakukan pada kedalaman diatas 27 meter dengan tahanan jenis antara 4.23 – 4,49 ohm
m.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Braga, A. C. O., Fiho, W. M and, 2006. Resistivity (DC) method applied to aquifer protection studies.
Sociedade Brasileira de Geof´ısica
[2] Hago, H. A., 2000. Application of electrical resistivity method in kuantitative assessment of
groundwater reserve of unconfined aquifer. Thesis presented to the senate of Universiti Putra
Malaysia.
[3] Grandis, H dan Yudistira, T., 2000. Studi pendahuluan identifikasi penyebaran polutan bawah
permukaan menggunakan metode geolistrik. Prosiding HAGI. p. 81-91.
[4] Rosid, S., dan Johan, M., 2008. Pemetaan hidrologi dengan menggunakan metode geolistrik.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung.
[5] Sulistijo, B., 2003. Peranan teknologi geofisika dalam memantau masalah lingkungan. Jurnal Teknik
Pertambangan.
[6] Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge University
Press, New York.
[7] Wibowo, M., 2001. Potensi sumberdaya air di Surabaya berdasarkan survey geolistrik. Jurnal
Teknologi Lingkungan-BPPT.
177
PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUGAMPING DENGAN
MENGGUNAKAN SURFER 11 DI KAMPUNG BOROWAY
DISTRIK GENYEM KABUPATEN JAYAPURA
Bevie Marcho Nahumury¹, Djuardrensi Patabang² Jurusan Teknik PertambanganFakultas Teknik, Universitas Cenderawasih1,2
e-mail1: [email protected]
Abstark. Sebaran potensi sumberdaya mineral Batugamping di Kabupaten Jayapura cukup
potensial, hal ini dibuktikan dengan adanya perencanaan pembangunan pabrik semen oleh
pemerintah Kabupaten Jayapura yang akan memanfaatkan potensi Batugamping tersebut. Potensi
Batugamping di Kabupaten Jayapura sebarannya tersebat dari wilayah Doyo Lama sampai daerah
Genyem, namun sampai saat ini masih terdapat beberapa wilayah atau daerah yang belum
diketahui sebaran, jumlah volume bahkan jumlah cadangannya. Potensi Batugamping ini dapat
merupakan peluang investasi yang baik apabila dikembangkan menjadi sebuah tambang rakyat
yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kegiatan
pemetaan geologi dan juga perhitungan nilai sumberdaya bahkan cadangan. Dalam hal ini
menyangkut kuantitas dan kualitas endapan untuk dapat memberikan informasi sebagai database
mineral bagi masyarakat sebagai pemilik lahan dan juga sangat bermanfaat untuk pemerintah
Kabupaten Jayapura sebagai potensi sumber daya mineral sektor pertambangan yang berada di
lokasi pemerintahannya, sehingga apabila dikelola dengan baik dapat memberikan nilai tambah
bagi pemerintah kota dan juga masyarakat sebagai pemilik hak ulayat.
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah volume Batugamping yang
nantinya dapat dimanfaatkan pada saat kegiatan penambangan. Penelitian itu juga memanfaatkan
aplikasi Surfer 11 untuk pembuatan peta topografi dan menghitung jumlah volume Batu
Lempung. Adapun metode penelitian yang akan dilakukan adalah Metode Observasi, dan
Pengambilan data secara langsung di lapangan lewat kegiatan pemetaan dan pengukuran Metode
Pustaka. Jumlah volume Batu Lempung yang nantinya akan sangat memberikan informasi
penting pada saat kegiatan penambangan dilakukan.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Cross Section maka total volume
Batugamping pada daerah Boroway Distrik Genyem adalah sebesar surfer 11 adalah sebesar
1.905.001,67m³ dan merupakan klasifikasi sumberdaya terukur, yang artinya masih perlu
pembuktian lanjut sampai pad tahapan penambangan.
Kata Kunci : Sumberdaya, Batugamping, Cross Section, Surfer 11, Cadangan
I. PENDAHULUAN
Provinsi Papua merupakan daerah yang memiliki berbagai jenis sumberdaya mineral, contohnya
Kota Jayapura. Didaerah ini terdapat berbagai jenis sumberdaya mineralmulai dari mineral
batuan, mineral non logam, dan mineral logam.Salah satu sumberdaya mineral batuan yang dapat
kita temui yaitu batu lempung.
Batu lempung merupakan batuan sedimen yang terbentuk akibat pelapukan terdahulu dan
tertransportasi oleh aliran sungai yang kemudian material lempung ini mengalami proses
diagenesa sehingga membentuk batu lempung.Di daerah Jayapura, diperkirakan lokasi
keterdapatan batu lempung yaitu di daerah Tanah Hitam dan Abe Pantai.Namun untuk
memastikan keberadaan, mengidentifikasi dan menentukan gambaran geologi dari sumber daya
cebakan mineral tersebut maka perlu dilakukan kegiatan eksplorasi.
178
Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui letak, ukuran,
bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitas dari endapan mineral.Salah satu cara yang dilakukan pada
kegiatan eksplorasi ini adalah melakukan pemetaan topografi daerah potensi mineral Batu
Lempung untuk selanjutnya dapat menghitung jumlah atau nilai volume endapan yang dimiliki.
Untuk menghitung jumlah volume cebakan mineral, banyak metode yang dapat digunakan,
namun pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menghitung jumlah dan volume Batu
Lempung yaitu dengan metode cross section dan dengan bantuan aplikasi Surfer 11.
Dengan adanya perhitungan volume endapan batu lempung dapat memberikan manfaat kepada
kepemilikan hak ulayat masyarakat di sekitar lokasi keterdapatan endapan agar dapat mencari
investor untuk dapat bekerjasama untuk membuka kegaiatan penambangan yang nantinya dapat
meningkatkan pendapatan dan juga dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar lokasi
keterdapatan endapan batu lempung tersebut, sehingga dapat meningkatpertumbuhan ekonomi
pemerintah Kota Jayapura terkhusus pada daerah yang memilki potensi sumberdaya mineral
tersebut.
II. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian adalah :
• Studi literatur
Studi literatur dilakukan dengan
membaca penelitian-penelitian terdahulu mengenai pemetaan topografi, perhitungan volume dan
perhitungan cadangan serta hal-hal yang terkait dengan analisis perhitungan permodelan endapan
Batugamping pada daerah penelitian dan lain-lain.
• Perumusan masalah
Menentukan hal-hal yang menjadi fokus perhatian pada penelitian mengenai perhitungan
cadangan dan arah permodelan penambangan Batugamping di daerah Daerah Boroway Distrik
Genyem Kabupaten Jayapura.
• Penelitian lapangan
Dilakukan untuk memperoleh data primer mengenai pemetaan topografi daerah
penelitian, data eksplorasi daerah penelitian berupa kondisi geologi, morfologi dan kondisi batuan
yang terdapat pada lokasi penelitian.
• Pengumpulan data
Data-data yang dikumpulkan berupa :
Data Primer adalah data-data yang diambil dari pengamatan lapangan antara lain :
1. Pemetaan topografi
179
2. Data koordinat lokasi penelitian
3. Kondisi morfologi dan sebaran batuan
4. Struktur geologi, dan lain-lain.
Data Sekunder adalah data-data pendukung penelitian bisa diambil dari lokasi penelitian dan
juga berasal dari studi literatur, antara lain Peta geologi, tinjauan umum lokasi dan lain-lain.
• Pengolahan dan Analisis data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan aplikasi surfer 11 untuk
menghasilkan peta topografi, pembuatan sayatan pada peta topografi, perhitungan volume
endapan Batugamping.
• Laporan Akhir
Penyusunan laporan sebagai hasil akhir dari penelitian mengenai Volume Batugamping.
III. PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUGAMPING DI KAMPUNG BOROWAY
DISTRIK GENYEM.
Penelitian terletak didaerah kampung Boroway yang berada dalam wilayah
pemerintahan Kabupaten Jayapura Distrik Genyem. Lokasi penelitian ini bisa ditempuh dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat kurang lebih 1 – 2 jam dari kampus Universitas
Cenderawasih Waena.
Data Pengukuran
Permodelan arah penambangan diawali dengan pengambilan data pengkuran pada lokasi
penelitian, data pengukuran langsung dilapangan dengan mengunakan GPS (Global Position
System) Garmin 60, dimana data ini berupa data koordinat lokasi penelitian dan juga data elevasi
yang nantinya data-data ini akan diolah lagi dengan program Surfer 11 untuk pembuatan peta
Topografi daerah penelitian.
Data Koordinat Lokasi Penetian
Koordinat X Koordinat Y Elevasi
431868 9713962 156
431866 9713987 156
431873 9714040 115
431886 9714093 115
431887 9714101 115
431892 9714149 122
431878 9714162 122
431869 9714136 122
431864 9714097 162
431858 9714038 162
431852 9713975 156
431846 9713928 155
431845 9713928 155
431836 9713915 155
431825 9713927 155
431825 9713929 155
431826 9713952 156
180
431827 9713974 156
431828 9713977 156
431831 9714011 156
431832 9714015 156
431832 9714021 156
431834 9714029 156
431841 9714070 162
431842 9714076 162
431851 9714133 171
431851 9714138 171
431833 9714143 171
431810 9714089 162
431802 9714011 156
431802 9713956 156
431802 9713954 156
431800 9713931 155
431798 9713929 155
431776 9713933 188
431776 9713937 188
431776 9713938 188
431776 9713940 188
431777 9713978 194
431777 9713981 194
431777 9713984 194
431781 9714021 156
431781 9714026 156
431782 9714033 156
431788 9714077 162
431789 9714080 162
431790 9714085 162
431791 9714090 162
431796 9714127 171
431772 9714082 215
431763 9714050 215
431763 9714049 215
431764 9713996 194
431758 9713945 194
431749 9713934 188
Peta Topografi Daerah Penelitian dengan menggunakan Sofwere Surfer 11
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dilapangan, selanjutnya diolah dengan
menggunkan program softwere Surfer 11 untuk membuat peta topografi, dimana peta topografi
ini berfungsi untuk memberikan gambaran rona muka bumi atau daerah penelitian yang akan
181
menunjukkan atau menggambarkan luasan sebaran batugamping pada daerah Kampung Boroway
yang nantinya akan dilakukan kegiatan penambangan.
Gambar 5.2. Peta Topografi Daerah Penelitian
Selain itu dengan menggunakan softwere Surfer 11 juga bisa membantu menggambarkan
lokasi penelitian secara tiga dimensi (3D) yang bertujuan untuk memberikan keterangan secara
rinci kenampakan morfologi pada lokasi penelitian.
Perhitungan Volume Batugamping dengan menggunakan metode Cross Section softwere Surfer
11
Dari hasil pengukuran yang olah menjadi peta topografi, maka langkah selanjutnya adalah
menghitung volume Batugamping.Perhitungan volume Batugamping dilakukan dengan
menggunakan metode cross section Surfer 11 berdasarkan grid volume computation. Perhitungan
volume Batugamping dilakukan untuk dapat mengetahui nilai sebaran dan juga nantinya dapat
menjadi acuan dalam penentuan arah penambangan yang akan dilakukan. Berikut ini adalah hasil
sayatan metode cross section.
Sayatan 1 :
182
Sayatan 2 :
Sayatan 3 :
Sayatan 4 :
Sayatan 5 :
183
Sayatan 6 :
Sayatan 7 :
Sayatan 10 :
Sayatan 11 :
184
Sayatan 12 :
Sayatan 13 :
Sayatan 14 :
Sayatan 16 :
185
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode cross section surfer 11 maka total
volume batugamping di Kampung Boroway Distrik Genyem Kabupaten Jayapura adalah sebesar
1.905.001, 67 m³.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan Hasil perhitungan pada penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Total nilai Volume Batugamping kampung Boroway Distrik Genyem dengan menggunakan
surfer 11 adalah sebesar 1.905.001,67m³
2. Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya Batugamping adalah Metode Cross
section yang merupakan metode khusus untuk perhitungan mineral batuan.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode perhitungan lainnya agar dapat
meningkatkan tingkat keyakinan tentang sebaran Batugamping.
2. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap kepemilikan lahan atau hak ulayat tentang sebaran batuan
beku ultrabasa baik secara teknis dan ekonomis tentang kegiatan penambangan serta dampak yang
ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdul Rauf. 1998. Perhitungan Cadangan, Penerbit Yogyakarta
[2] Adjat Sudrajad, 1999. Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Mineral, Penerbit ITB
Bandung.
[3] Ajun Ferdinandus Leba. 2011. Penaksiran Sumber daya Batubara dengan Metode Cross
Section di PT. Stria Mayangkara Sejahtera, Tanjung Telang, Lahat Sumatra Selatan,
Universitas Pembangunan Nasional, Veteran Yogyakarta
[4] Doddy Setia Graha, 1987, Batuan dan Mineral,Penerbit Nova Bandung
[5] George J. Young, 1946, Elements of Mining, McGRAW-Hill Book Company, Inc New
York and London.
[6] Sutarto , 2008. Endapan Mineral Cadangan Bahan Galian,Teknik Geologi, Universitas
Pembangunan Nasional, Veteran : Yogyakarta.
186
APLIKASI E-LIBRARY PADA SMP ADVENT ABEPURA
Mingsep Rante Sampebua1, Westy Kawuwung2, dan Septiani Mangiwa3
Jurusan Matematika Program Studi Sistem Informasi FMIPA Universitas Cenderawasih1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih2
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Cenderawasih3
Email : [email protected]
Email : [email protected]
Email : [email protected]
Abstrak. Perpustakaan pada sekolah SMP Advent abepura adalah salah satu sarana pendidikan
penunjang kegiatan belajar siswa yang memegang peranan penting dalam memacu dan
meningkatkan tercapainya tujuan pendidikan. Proses yang berjalan saat ini seperti informasi
buku-buku yang ada di perpustakaan, peminjaman buku, pengembalian buku, pendataan buku,
dan pelaporan perpustakaan masih dilakukan secara manual yaitu mencatat pada buku induk atau
melihat informasi pada buku induk. Hal ini menyebabkan lambatnya pelayanan perpustakaan,
kesulitan dalam mencari informasi buku-buku yang diperlukan siswa, transaksi peminjaman dan
pengembalian buku menjadi rumit, informasi buku yang statusnya dipinjam perlu dicari dan
ditelusuri pada buku induk dan berbagai persoalan yang muncul jika tidak menerapkan aplikasi
e-library. Tujuan penelitian adalah membuat aplikasi e-Library berbasis komputer dengan
menggunakan pemograman PHP dan database MySQL. Aplikasi e-Library mempermudah
pengelolaan buku-buku perpustakaan, mempermudah transaksi peminjaman dan pengembalian
buku, mempermudah pencarian data pustaka, dan mempercepat pembuatan laporan.
Kata kunci :SMP Advent Abepura, perpustakaan, aplikasi e-library, buku.
1. PENDAHULUAN
Perpustakaan sekolah adalah salah satu sarana pendidikan yang diperlukan dalam kegiatan belajar
siswa untuk memacu tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Melalui perpustakaan peserta
didik dan guru memperoleh kesempatanuntuk memperluas dan memperdalam pengetahuan yang
dimiliki dengan membaca bahanperpustakaan yang telah diseleksi dan diorganisir secara
sistematis dan teratur. SMP Advent Abepura Papaua merupakan salah satu dari beberapa sekolah
yang sistem perpustakaan yang belum menerapkan aplikasi e-Librarysehingga pengelolaan buku-
buku perpustakaan dan pelayanan-pelayanan yang akan diperlukan oleh siswa masih dilakukan
secara manual seperti peminjaman buku masih ditulis pada buku induk, pencarian buku oleh siswa
pad rak-rak buku. Keterbatasan sistem informasi yang ada pada perpustakaan SMP Advent
Abepura membuat pustakawan ataupun pengunjung harus melakukan pekerjaan secara manual.
Kesulitan siswa dalam proses pencarian buku dan kerumitan pengelola dalam mencatat transaksi
peminjaman buku perpustakaan serta pelaporan yang tidak efektif memerlukan penerapan
aplikasi e-Library. Sistem informasi perpustakaan berbasis komputer dapat membantu petugas
perpustakaan dalam melakukan pengolahan data dan transaksi serta membantu pengunjung
mendapatkan informasi tentang buku (Muhamad, 2014). Gambar 1 memperlihatkan aktivitas
siswa yang sedang berjalan saat in pada perpustakaan SMP Advent Abepura Papua.
187
Gambar 1. Aktivitas Siswa Pada Perpustakaan
Peminjaman buku di perpustakaan dapat dilakukan jika pengunjung sudah menjadi anggota
perpustakaan, dengan jangka waktu peminjaman 7 hari. Jika pengunjung belum mengembalikan
pada saat waktu yang telah ditentukan maka pengunjung tersebut akan dikenakan denda perhari.
Buku yang dipinjam kemudian dicatat oleh petugas perpustakaan sebagai bukti dan laporan
transaksi peminjaman. Ashutosh dan Ashish (2012) mengembangkan perangkat lunak sistem
pengelolaan perpustakaaan secara online untuk memantau dan mengendalikan transaksi di
perpustakaan. Sistem manajemen perpustakaan dikembangkan berfokus pada operasi dasar di
perpustakaan seperti menambah anggota baru, menambah data buku, memperbarui informasi
buku, mencari informasi buku dan anggota serta fasilitas untuk peminjaman dan pengembalian
buku. Pengelolaan perpustakaan yang baik salah satunya tercermin dari kemudahan akses konten-
konten pada perpustakaan tersebut. Jika konten perpustakaan dapat diakses secara luas tanpa
tergantung ruang dan waktu, maka dapat menambah daya tarik pengunjung baik mahasiswa
maupun masyarakat umum terhadap perpustakaan itu (Rickhki, 2015). Berdasarkan uraian di atas
maka SMP Advent Abepura perlu menerapkan aplikasi e-Library untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan meningkatkan budaya belajar dengan teknologi maju berbasis komputer dan
paperless. Mingsep dan Septiani (2017) meneliti desain aplikasi smart school sebagai model
pembelajaran inovatif yang dapat menciptakan lingkungan belajar yang powerfull karena aplikasi
smart school sebagai belended learning dari pembelajaran di sekolah sehingga siswa dapat belajar
di rumah secara online.
2. METODE
Metode penelitian yang penulis gunakan meliputi dua bagian utama yaitu metode pengumpulan
data dan metode pengembangan aplikasi e-Library. Metode pengumpulan data terdiri atas
observasi, wawancara, dan studi pustaka. Metode pengembangan aplikasi e-Library
menggunakan pendekatan prototype. Metode pengumpulan data adalah bagian awal sebagai dasar
untuk pengembangan aplikasi e-Library yang meliputi tiga bagian. Observasi adalah kegiatan
mempelajari suatu gejala dan peristiwa melalui upaya mengamati dan mencatat data atau
informasi secara sistematis tentang pelayanan perpustakaan pada SMP Advent Abepura.
Wawancaradengan pengelola perpustakaan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Pertanyaan-pertanyaan dalam
wawancara ditetapkan terlebih dahulu dengan tujuan untuk menjawab fokus penelitian agar tidak
keluar dari maksud dan tujuan penelitian. Wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan tentang
sistem pelayanan perpustakaan, permasalahan yang dihadapi sehubungan dengan pelayanan
perpustakaan, dan data-data yang simpan atau dicatat pada buku induk perpustakaan. Studi
pustaka yaitu teknik pengumpulan data dan informasi melalui buku-buku dan sumber tertulis
lainnya yang berhubungan dengan perpustakaan, yang dijadikan sebagai referensi untuk
pengembangan aplikasi e-Library. Pengembangan aplikasi e-Library dengan pendekatan
prototype meliputi beberapa tahapan yaituidentifikasi kebutuhan sistem, membuat prototype
aplikasi e-Library, menguji prototype, dan memperbaiki prototype. Tahap pertama yaitu
188
identifikasi kebutuhan sistem didasarkan pada hasil observasi, wawancara dan studi pustaka yang
berhubungan dengan data-data buku, data transaksi peminjaman dan pengembalian buku, kategori
buku, sistem pelaporan kegiatan perpustakaan, dan data pengguna / pengelola perpustakaan yang
meliputi data siswa, data guru dan data pegawai perpustakaan. Tahap kedua yaitu membuat
prototype dengan cara membuat desain dan pengkodean program aplikasi e-Library
menggunakan pemrograman PHP dan database Mysql. Program aplikasi e-Library yang telah
dibuat diperlihatkan kepada pengguna aplikasi untuk menentukan apakah aplikasi tersebut telah
sesuai dengan kebutuhan. Tahap ketiga penulis melakukan uji coba prototype aplikasi e-Library
untuk memastikan bahwa sistem tersebut dapat digunakan dengan baik dan benar, sesuai
kebutuhan pemakai. Tahap keempat yaitu memperbaiki prototype sesuai saran dan masukan
pengguna. Pada tahap ini dilakukan perbaikan desain dan pengkodean aplikasi e-Library untuk
memenuhi kebutuhan pengguna. Setelah dilakukan perbaikan maka perlu dilakukan pengujian
kembali aplikasi e-Library.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan aplikasi e-Library menggunakan Data Flow Diagram (DFD) yang merupakan
model untuk menggambarkan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh aplikasi e-Library sebagai
jaringan kerja yang saling berhubungan. Input data perpustakaan dan akses informasi dikelola
dalam database Mysql. Gambar 2 berikut memperlihatkan desain Diagram konteks aplikasi e-
Library yang meliputi empat pengguna layanan aplikas yaitu guru, anggota, kordinator
perpustakaan, dan kepala sekolah. Pengelolaan layanan aplikasi e-Libarary sepenuhnya dilakukan
oleh kordinator perpustakaan, guru dan anggota perpustakaan (siswa) menggunakan aplikasi
untuk mencari data buku dan dapat mengetahui buku yang masih dalam status dipinjam tetapi
tidak bisa melakukan input data, mengubah data, atau menghapus data.
Desain 2. Diagram Konteks Aplikasi e-Library
Tampilan antarmuka aplikasi e-Library digunakan oleh pengguna aplikasi untuk mencari data
buku, informasi tentang buku yang sedang dipinjam, transaksi peminjaman buku, dan pengelolaan
aplikasi e-Library. Antarmuka aplikasi e-Library diperlihatkan pada gambar 4, 5, dan gambar 6.
189
Gambar 3. Menu Utama E-Library
Gambar 4. Login
190
Gambar 5. Menu Cari Buku
Gambar 6. Menu Admin Untuk Pengelolaan Aplikasi E-Library
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak dapat dihindari untuk mendukung
peningkatan kualitas dan keberhasilan proses belajar-mengajar di sekolah. Pengelolaan data
buku-buku perpustakaan dan pelayanan perpustakaan yang masih bersifat manual sangat
mempersulit pihak pengelola dalam menata dan menulis data buku-buku perpustaan, sulit dalam
melakukan transaksi peminjaman dan pengembalian buku, dan pembuatan laporan kegiatan
perpustakaan. Berdasarkan kekurangan sistem perpustakaan yang berjalan saat ini, maka perlu
untuk membuat dan menerapkan aplikasi e-LibraryBerbasis teknologi informasi sesuai kebutuhan
SMP Advent Abepura. Dengan adanya aplikasi e-Libraryteknologi informasi, maka siswa, guru
dan pengunjung lain perpustakaan dapat dengan mudah dalam mencari buku-buku yang ingin
dibaca. Jika terjadi penambahan buku atau penggantian buku yang rusak, maka pengelola dapat
melakukan update dan perubahan data pada aplikasi e-Library.
191
4. KESIMPULAN
Aplikasi e-Library mempermudah pengelolaan data buku-buku perpustakaan, transaksi
peminjaman dan pengembalian buku, mempermudah pencarian data pustaka, dan mempercepat
pembuatan laporan. Proses input data sampai proses output data lebih akurat dan dapat melihat
data-data buku atau informasi kegiatan pelayanan perpustakaan dengan cepat pada saat
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ashutosh Tripathi dan Ashish Srivastava, 2012. Online Library Management System, IOSR
Journal of Engineering (IOSRJEN), ISSN: 2250-3021, Vol. 2 Issue 2, Feb.2012, pp. 180-
186.
[2] Darmono, 2007. Perpustakaan Sekolah, Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja,
Grasindo, Jakarta.
[3] Mingsep Sampebua and Septiani Mangiwa, (2017). The desain smart school application to
increase education in junior high school. International Journal of Computer Science and
Information Security (IJCSIS), ISSN: 1947-5500 Vol. 15, No. 10, October 2017
[4] Muhamad S. Muarie, 2014. Sistem Informasi Perpustakaan SMP Negeri 5 Palembang
Menggunakan PHP dan MySQL, Jurnal Teknik Informatika Politeknik Sekayu, Volume 1,
No. 1.
[5] Richki Hardianto, 2015. Pengembangan Sistem Informasi Perpustakaan Menggunakan
Kerangka PIECES, Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Terapan Volume I, No 3, ISSN: 2407
- 3911
192
PERANCANGAN SISTEM PENGELOLA DATA PENERIMA
TUNJANGAN SERTIFIKASI GURU
(Studi Kasus Bagian Keuangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kota Jayapura)
Yuli Susanti, Remuz MB Kmurawak, Yokelin Tokoro 1 Program Studi Sistem Informasi, FMIPA Universitas Cenderawasih
email : [email protected]
Abstrak. Proses Pengolahan data penerima tunjangan sertifikasi guru pada sub bagian keuangan
masih dikerjakan secara sederhana menggunakan Microsotf Excel dan proses penyimpanan arsip
dilakukan secara konvensional. Dampaknya adalah data menjadi rentan hilang, proses pencarian
arsip yang tidak efektif dan pengolaan informasi yang tidak transparan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengembangkan suatu sistem pengelolaan data tunjangan sertifikasi guru yang
memungkinkan pengolahan informasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Pengembangan
sistem menggunakan metode prototype, yang sifatnya sangat cepat dan menghemat waktu.
Adapun tahapan dalam pengembangan sistem yang dilakukan adalah: (1.) Pengumpulan
Kebutuhan (2.) Membangun Prototype / Prototyping (3.) Evaluasi Prototyping (4.) Mengkodekan
Sistem(5.) Menguji Sistem. Sistem ini menggunakan Code Igniter sebagai bahasa pemrograman
dan mySQL sebagai database server. Hasil penelitian telah memberikan efisiensi dalam
pengolahan data tunjangan pada Bagian Keuangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota
Jayapura.
Kata kunci : tunjangan sertifikasi, dinas pendidikan dan kebudayaan, PHP framerwork, model
prototype
1. PENDAHULUAN
Dinas Pendidikan Kota Jayapura memiliki peranan penting untuk meningkatkan mutu pendidikan
yang ada di wilayah Jayapura dengan adanya sistem informasi pada instansi pemerintah maupun
swasta dapat mempermudah dalam pengelolaan data dengan lebih baik. Pengelolaan data yang
baik akan mendukung kinerja dari suatu instansi. Proses pengolahan data penerima tunjangan
sertifikasi guru pada dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura masih dilakukan secara
manual. Prosesnya dilakukan mengguakan aplikasi microsotf excel dan proses penyimpanan arsip
dilakukan secara konvensional.
Dampaknya adalah data menjadi rentan hilang, proses pencarian arsip yang tidak efektif dan
pengolaan informasi yang tidak transparan. Perancangan Sistem Pengolahan Data Penerima
Tunjangan Sertifikasi Guru adalah solusi permasalahan tersebut. Dengan adanya sistem ini
sehingga pengelolaan data tunjangan menjadi lebih mudah dan efektif karena data-data masukan
disimpan dalam suatu database atau sistem yang bertujuan untuk mempermudah admin dalam
mengolah data serta memberikan informasi dengan lebih efektif dan efisien.
2. LANDASAN TEORI
a. Sistem Informasi
Sistem informasi berasal dari kata sistem dan informasi, sistem dapat diartikan sebagai kumpulan
dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu sebagai satu kesatuan.
193
Informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berarti bagi yang
menerimanya. Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih
berarti bagi yang menerimanya.Sistem informasi adalah suatu sistem di dalam suatu
organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung
operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan
pihak luar tertentu dalam laporan-laporan yang diperlukan. Sistem informasi bertujuan
untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasional, manajemen, dan
pengambil keputusan dalam sebuah organisasi(Ari & Syani, 2017).
b. Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan
kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik. Secara khusus sertifikat
pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat, yaitu kualifikasi akademik minimum
dengan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Sertifikasi berasal dari kata certification
yang artinya diploma atau pengakuan secara resmi kompetensi seseorang untuk memangku
jabatan profesional. Istilah sertifikasi dapat diartikan sebagai surat keterangan (sertifikat) dari
lembaga berwenang yang diberikan kepada profesi, dan sekaligus sebagai penyataan (lisensi)
terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas. Bagi guru agar dianggap layak dalam
mengembang tugas profesi pendidik, maka guru harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat
pendidik diberi kepada guru dan dosen yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi tersebut
dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau
diploma empat (D-IV) (Syamsuri & Nurdin, 2016).
c. Tunjangan Profesi
Tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat
pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya. Guru yang dimaksud adalah guru PNS dan guru
bukan PNS yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat
penyelenggara pendidikan baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Tunjangan profesi bersifat tetap selama guru yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai guru
dengan memenuhi semua persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2007 tentang penyaluran tunjangan profesi seorang
guru berhak menerima tunjangan profesi apabila memenuhi kriteria/persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki satu atau lebih sertifikat pendidik yang telah diberi satu nomor regisrasi guru oleh
Departemen Pendidikan Nasional;
2. Memenuhi beban kerja sebagai guru;
3. Mengajar sebagai guru mata pelajaran dan / atau guru kelas pada satuan pendidikan yang
sesuai dengan peruntukan sertifikat pendidik yang dimilikinya;
4. Terdaftar pada Departemen Pendidikan Nasional sebagai guru tetap;
5. Berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; dan
6. Tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat dia bertugas
(Mulyasa, 2007).
d. Code Igniter
Code Igniter merupakan aplikasi open source yang berupa framework dengan model MVC
(Model, View, Controller ) untuk membangun website dinamis dengan menggunakan PHP.
CodeIgniter memudahkan pengembang (developer) untuk membuat aplikasi web dengan cepat
dan mudah dibandingkan dengan membuatnya dari awal. (Supardi, 2018).
e. Unified Modelling Language (UML)
Unified Modelling Language adalah suatu bahasa pemodelan untuk sistem atauperangkatlunak
yang digunakan untuk menyederhanakan permasalahan-permasalahan yang kompleks sehingga
194
lebih mudah dipelajari dan dipahami. Dalam kerangka pengembangan sistem, UML sebagai
bahasa pemodelan berguna sebagai sarana analisis, pemahaman, visualisasi, komunikasi,
dokumentasi danjuga bermanfaat dalam melakukan pengujian terhadap aplikasi yang telah selesai
dikembangkanRosa & Shalahuddin, 2015).
F. Pengujian Black Box
Digunakanuntuk menguji fungsi-fungsi khusus dari perangkat lunak yang
dirancang.Kebenaran perangkat lunak yang diuji hanya dilihat berdasarkan keluaran yang
dihasilkan dari data atau kondisi masukan yang diberikan untuk fungsi yang ada tanpa melihat
bagaimana proses untuk mendapatkan keluaran tersebut.Dari keluaran yang dihasilkan,
kemampuan program dalam memenuhi kebutuhan pemakai dapat diukur sekaligus dapat
diketahui kesalahan-kesalahannya. Berdasarkan konsep pengujianblack box (functionality)
testing mengidentifikasi kesalahan yang berhubungan dengan kesalahan fungsionalitas perangkat
lunak yang tampak dalam kesalahan output (Sidi, Fajri, & Rahmadi, 2015).
3. METODE PENGEMBANGAN SISTEM
Gambar 1. Metode Prototype
Model yang akan digunakan dalam pembuatan perancangan sistem pengolahan data penerima
tunjangan sertifikasi guru (studi kasus pada sub bagaian keuangan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Jayapura ) adalah Prototipe.
Tahapan-tahapan dalam model Prototipe sebagai berikut :
1. Pengumpulan Kebutuhan Pada tahappengumpulan kebutuhan, costumer memaparkan apa saja
yang dibutuhkan dalam sistem yang akan dibuat.
2. Membangun Prototyping Pada tahap pembangunan prototyping, pengembang dan pembuat
sistem bersama-sama membuat formatinput maupun output yang akan dihasilkan oleh sistem
yang dibuat.
3. Evaluasi Prototyping Selanjutnya, setelah tahap pembangunan prototyping, prototype yang
telah dirancang akan dievaluasi untuk dkerjakan pada tahap selanjutnya.
4. Mengkodekan sistem pada tahap ini, sistem yang ingin dibuat akan dibuatkan kedalam bahasa
pemograman baik pascal, visual basic, php, dan sebagainya.
195
5. Menguji System Pada tahap pengujian system, koding yang telah dibuat sebelumnya akan diuji
apakah dapat berjalandengan baik ataukan masih ada bagian-bagian yang perlu diperbaiki atau
apakah masih ada bagian yangbelum sesuai dengan keinginan pelanggan.
4. PERANCANGAN SISTEM
Kelola Data Guru
golongan/
pangkat
tempat tugas
<<include>>distrik
<<include>>jenjang
tunjangan
<<include>>
pajak potongan<<include>>
gajiKelola Laporan
Informasi Tunjangan
Guru
Admin
Logout
<<include>>
Login
<<include>>
<<include>>
<<include>>
<<include>>
Pimpinan
kelola admin
<<include>>
<<include>>
<<include>>
<<include>>
Gambar 2. Perancangan Usecase
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3. Tampilan login Gambar 4. Tampilan menu utama
Gambar 5. Tampilan data guru Gambar 6. Tampilan data tunjangan
196
Gambar 7. Tampilan laporan tunjangan
5. KESIMPULAN
1) Sistem pengolahan data tunjangan sertifikasi guru dapat membantu staf dalam
pengolahan data penerima tunjangan pada sub bagian keuangan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Jayapura.
2) Proses pengolahan data tersebut meliputi proses pendataan admin, pendataan guru,
golongan, jenjang, distrik, tempat tugas, dan proses pemasukan data tunjangan pada guru.
3) Dengan adanya sistem pengolahan data tunjangan dapat merubah proses manual menjadi
sebuah sistem yang terkomputerisasi sehingga informasi seperti data tunjangan yang telah
diperoses per triwulan dapat memberikan laporan dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ari, F. P., & Syani, M. (2017). Sistem Informasi Pengolahan Sertifikat Berbasis Web Divisi
Training Seamolec. Jurnal Masyarakat Informatika Indonesia (JMMI Vol 1/IV/2016), 75.
[2] Mulyasa, H. (2007). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosda Karya.
[3]Rosa, & Shalahuddin, M. (2015). Rekayasa Perangkat Lunak. Bandung: INFORMATIKA.
[4] Sidi, M. M., Fajri, R. F., & Rahmadi, H. (2015). Pengujian Aplikasi Menggunakan Black Box
Testing Boundary Analysis. Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Terapan Volume I, No 3, 10
Agustus 2015, 34.
[5]Syamsuri, A. S., & Nurdin. (2016). Profesionalisme Guru Pascasertifikasi. Jurnal Equilibrium
Pendidikan Sosiologi Volume IV No.2 November 2016, 157.
[6] Yakub. (2012). Pengantar Sistem Informasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
197
PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PENGOLAHAN DATA
KENAIKAN GAJI BERKALA GURU
PADA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
KOTA JAYAPURA
Becky Kareni, Remuz M.B Kmurawak, Yokelin Tokoro, S.T., M.Cs. Program Sistem Informasi FMIPA Universitas Cenderawasih
email : karenibecki.com
Abstrak. Proses perhitungan kenaikan gaji berkala, dilakukan dengan cara mencatat nama-nama
guru yang telah memenuhi persyaratan untuk kenaikan gaji berkala pada kertas lalu
menyimpannya. Proses tersebut menimbulkan kendala karena memerlukan jumlah tenaga kerja
maupun waktu yang sangat banyak dalam mengarsipkan data kenaikan gaji berkala, maupun
proses inventarisi arsip yang sangat tidak efisien. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan
pengolahan data kenaikan gaji berkala guru, dalam sebuah sistem . Dengan adanya sistem
informasi kenaikan gaji berkala tersebut, waktu dan sumberdaya manusia yang diperlukan
menjadi lebih efisien dan efektif. Penelitian ini menggunakan metode prototype, yang terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu: (1.) Pengumpulan Kebutuhan (2.) Membangun Prototype / Prototyping
(3.) Evaluasi Prototyping (4.) Mengkodekan Sistem (5.) Menguji Sistem. Pengumpulan
kebutuhan dilakukan menggunakan obsrevasi, wawancara dan studi pustaka. Aplikasi
dimodelkan dengan menggunakan Unified Modeling Language ( UML), serta PHP framework
digunakan sebagai bahasa pemrogramannya. mySQL digunakan sebagai database server. Hasil
dari pengembangan sistem ini dapat meningkatkan efisiensi kerja dilingkungan Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kota Jayapura dalam pendataan kenaikan gaji berkala guru.
Kata kunci : Sistem Infromasi, Gaji berkala, Php Framework, MySql , Metode Prototype.
1. PENDAHULUAN
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura merupakan instansi Pemerintah yang didirikan
untuk menjadi sentral dari Sekolah, Guru dan Siswa/siswi, dan masalah yang ditemukan adalah
dimana setiap Kenaikan Gaji Berkala masih terdapat data yang tidak sesuai dengan Surat
keterangan pegawai yang terjadi karena data yang ada masih dilakukan dengan cara manual.
Kenaikan gaji berkala adalah kenaikan gaji yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang
telah mencapai masa kerja golongan yang ditentukan untuk kenaikan gaji berkala yaitu setiap 2
tahun sekali dan apabila telah memenuhi persyarat berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
2. METODE
Model prototipe dapat digunakan untuk menyambungkan ketidakpahaman pelanggan mengenai
hal teknis dan memperjelas spesifikasi kebutuhan yang diinginkan pelanggan kepada
pengembang perangkat lunak. Program prototipe ini dievaluasi oleh pelanggan atau user sampai
198
ditemukan spesifikasi yang sesuai dengan keinginan pelanggan atau user. Berikut adalah gambar
dari model prototipe:
Gambar 0.1 Ilustrasi Model Prototipe
Berikut ini merupakan penjelasan pengembangan metode prototipe menurut (Indriasari, 2012)
adalah:
1. Mendengarkan pelanggan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan kebutuhan dari sistem dengan cara mendengar
keluhan dari pelanggan. untuk membuat sistem yang sesuai kebutuhan dan harus diketahui
terlebih dahulu bagaimana sistem yang sedang berjalan untuk kemudian mengetahui masalah
yang terjadi.
2. Membangun/memperbaiki Prototipe
Pada tahan ini, dilakukan perancangan dan membuat prototipe sistem. Prototipe yang
dibuat disesuaikan dengan kebutuhan sistem yang telah didefinisikan sebelumnya dari
keluhan pelanggan atau pengguna.
3. Uji coba
Pada tahap ini, prototipe dari sistem di uji coba oleh pelanggan atau pengguna.
Kemudian dilakukan evaluasi kekurangan-kekurangan dari kebutuhan pelanggan.
Pengembangan kemudian kembali mendengarkan keluhan dari pelanggan untuk
memperbaiki prototipe yang ada.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Unified Modeling Language (UML)
Berikut ini merupakan Unified Modeling Language perancangan sistem informasi pengolahan
kanaikan gaji berkala guru yang menggambarkan proses dan hubungan dengan objek-objek
yang berkaitan dalam perancangan sistem informasi pengolahan kenaikan gaji berkala guru pada
Kantor Dinas Pendidikan Kota Jayapura.
3.2. Use Case Diagram
Use Case Diagrampada admin mendeskripsikan interaksi antara aktor dengan sistem. Untuk
dapat mengakses bagian-bagian didalam sistem admin harus melakukan login terlebih dulu.
Didalam Use Case Diagram admin disebut sebagai aktor yang dapat mengelola data seperti
menambah data, mengubah, menghapus dan melihat informasi yang ada.
199
Admin
(Pegawai)
User
( Guru)
Kelola Data Guru
Kelola Data Kenaikan
Gaji Berkala Guru
Gajisk Kenaikan Gaji Berkala
Laporan
Login
Melihat Data Kenaikan Gaji Berkala
<<extend>>
<<extend>>
Tempat Kerja pangkat
<<extend>>
<<extend>><<extend>><<extend>> <<extend>>
Logout <<include>>
<<include>>
Dalampembuatanaplikasi,antarmukajugamemegangperanyangpenting. Antarmukadapat
memudahkanuserdalammengoperasikanaplikasiyang telah dibuat.Olehkarena itu,antar mukapada
aplikasi
1. Tampilan Login 2. Tampilan Menu Utama
Gambar 5.2 Tampilan Login Gambar 5.45 Tampilan Menu Utama
3 Tampilan Data Guru 4. Tampilan SK Kenaikan Gaji Berkala
Gambar 5.46 Tampilan Login Gambar 5.47Tampilan Login
200
4. KESIMPULAN
a. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari skripsi Perancangan Sistem Informasi Pengolahan Data
Kenaikan Gaji Berkala Guru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, yaitu informasi
Kenaikan Gaji Berkala yang telah dibuat dan dapat membantu proses pengolahan Data kenaikan
Gaji Berkala Guru.
Dengan adanya Perancangan Sistem Informasi Pengolahan Data Kenaikan Gaji Berkala Guru
tersebut dapat mengubah proses manual menjadi sebuah sistem yang terkomputerisasi sehingga
informasi yang diperlukan dapat diperoleh dengan cepat dan tepat guna.
b. Saran
Saran yang dapat dikemukakan untuk Perancangan Sistem Informasi Pengolahan Data Kenaikan
Gaji Berkala Guru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura sebagai berikut:
Pengembangan pada sistem informasi masih perlu dikembangkan karena kelengkapan fitur yang
ada masih kurang seperti filter pada sistem. Dengan adanya pengembangan, sistem yang dibangun
dapat bermanfaat dan berfungsi sesuai dengan kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Indriasari, S. (2012, Agustus 31). Sistem Informasi Web Untuk Membantu Kegiatan Tracer
Study Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Jurnal Sains Terapan Edisi II, 2, 4. Dipetik
Maret 09, 2016
201
POTENSI REMBESAN HIDROKARBON BERDASARKAN
EKTRAKSI KELURUSAN DAN ANOMALI HIDROKARBON
DENGAN CITRA LANDSAT 8 OLI PADA CEKUNGAN SALWATI,
PAPUA
Marcelino Yonas
Jurusan Teknik Geologi dan Pertambangan, Universitas Cenderawasih, Jayapura e-mail : [email protected]
Abstrak - Secara geografis, daerah penelitian terletak pada bagian kepala burung pulau Papua
atau termasuk dalam wilayah administratif Kotamadya Sorong, Propinsi Papua Barat. Daerah
penelitian merupakan area konsesi dari PT. Petrochina Bermuda, Ltd dan secara geologi
merupakan bagian dari Cekungan Salawati. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
melakukan interpretasi terhadap potensi keberadaan hidrokarbon melalui analisis citra Landsat 8
OLI. Metode penelitian dilakukan secara kuantitatif yang diawali dengan melakukan ekstraksi
terhadap kelurusan di permukaan bumi. Ekstraksi kelurusan pada permukaan bumi dilakukan
secara digital pada data DEM. Sementara itu, ekstraksi permukaan secara manual dilakukan pada
data citra Landsat 8 OLI. Selanjutnya, dilakukan analisis densitas kelurusan di permukaan bumi
untuk menganalisis daerah dengan pengaruh struktur geologi. Analisis anomali hidrokarbon
terhadap citra Landsat dilakukan dengan menggunakan metode “Segitiga Almeido-Filho” dan
analisis nilai threshold mineral untuk menentukan daerah anomali rembesan mikro dan alterasi
mineral di daerah penelitian. Justifikasi dari penelitian ini akan didasarkan pada data sumur-
sumur produksi pada Blok Arar dan Blok Walio di Cekungan Salawati. Selanjutnya, dari hasil
analisis anomali dan rembesan mikro hidrokarbon menunjukkan sebaran anomali berada pada
bagian utara, tengah dan selatan daerah penelitian. Untuk menentukan area prospek hidrokarbon,
maka dilakukan pembobotan terhadap masing-masing paramater mulai dari yang terbesar hingga
yang terkecil, yakni densitas kelurusan, anomali hidrokarbon dan alterasi mineral. Hasil akhir
penelitian adalah berupa proses tumpang susun dari parameter ini yang menunjukkan area
prospek hidrokarbon di daerah penelitian berada pada kisaran prospek “sedang-tinggi” yang
tersebar secara setempat-setempat di bagian utara, tengah dan selatan daerah penelitian.
Kata Kunci : kelurusan, citra landsat 8 OLI, densitas, segitiga Almeida-Filho
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketersediaan cadangan energi fosil di seluruh dunia mengakibatkan pola kebijakan energi dunia
lebih menekankan pada kegiatan eksplorasi terhadap sumber-sumber energi yang terbarukan,
akan tetapi kebijakan tersebut masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dilaksanakan
secara global di seluruh dunia terkait masalah sosialisasi dan ketersediaan infrastruktur yang
memadai. Untuk mengatasi dan mencari solusi dari kebutuhan energi yang semakin meningkat,
maka salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggiatkan kembali aktivitas eksplorasi
pada cekungan-cekungan sedimenter yang masih memiliki potensi hidrokarbon.
Tatanan tektonik di Pulau Papua yang sangat kompleks mengakibatkan keberadaan sesar-sesar
mayor dan kelurusan-kelurusan akan dapat dijumpai pada Cekungan Salawati. Imbas dari
aktifnya Sesar Sorong pada kala Pliosen menjadi jalur migrasi bagi hidrokarbon dari batuan induk
berupa Formasi Klasafet dan Lower Klasaman ke batuan reservoir dari Formasi Kais. Teknologi
penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam melakukan
interpretasi terhadap potensi dari rembesan hidrokarbon pada permukaan bumi. Ekstraksi
202
kelurusan (lineament) permukaan akibat aktivitas tektonikdan analisis anomali hidrokarbon
berdasarkan Citra Landsat 8 OLI akan menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji lebih
jauh.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana cara melakukan ekstraksi kelurusan di permukaan bumidari data Citra Landsat 8
OLI?
2. Bagaimana menganalisis anomali potensi keterdapatan Hidrokarbon melalui proses alterasi
mineral dan proses pelapukan kimiawi di permukaan bumi?
3. Bagaimana cara menganalisa hubungan antara potensi hidrokarbon dan densitas kelurusan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan hubungan antara densitas kelurusan dengan potensi hidrokarbon di daerah
penelitian.
1. Menentukan daerah anomali rembesan hidrokarbon dan interpretasi threshold mineral alterasi
di daerah penelitian.
2. Mendapatkan potensi hidrokarbon berdasarkan interpretasi keterdapatan kelurusan di
permukaan bumi yang dikorelasikan dengan analisis citra Landsat untuk memprediksi daerah
prospek hidrokarbon di daerah penelitian.
2. METODE
2.1 Alat dan Bahan.
Adapun alat dan bahan yang digunakan penulis selama melakukan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
A. Alat.
- Komputer
- Printer
B. Bahan.
- Peta Geologi Regional lembar Sorong skala 1 : 250.000
- Data DEM resolusi 30 meter
2.2. Tahapan Penelitian
Penelitian mengenai ekstraksi kelurusan pada Area Konsesi PT. Petrochina Bermuda terdiri atas
beberapa tahapan, antara lain ; tahap persiapan, pengumpulan data berupa data primer maupun
sekunder, ekstraksi kelurusan dari data SRTM dan Citra Landsat 8 OLI, pengolahan data,
kompilasi data dan penyusunan tesis
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kelurusan Digital dari Data DEM
Kelurusan secara digital dianalisis pada citra hasil proses weighted overlay dengan menggunakan
perangkat lunak PCI Geomatica yang menggunakan algoritma parameter tertentu. Penentuan
algoritma parameter dilakukan dengan melakukan percobaan pada beberapa nilai untuk
menghasilkan kelurusan yang paling tepat sehingga nantinya akan menghasilkan peta kelurusan
daerah penelitian.(Gambar 2). Tahapan pertama dalam ekstraksi kelurusan secara digital adalah
dengan menentukan algoritma parameter penarikan kelurusan. Parameter yang dipakai dalam
analisis ini adalah RADI=10, GTHR=25, LTHR=5, FTHR=3, ATHR=15 dan DTHR=5.
3.2 Kelurusan Manual dari Data Citra Landsat 8 OLI
Berbeda halnya dengan ekstraksi digital pada data DEM, maka pada ekstraksi kelurusan di citra
Landsat dilakukan secara manual/visual dengan menggunakan beberapa metode, yang diharapkan
203
akan menghasilkan kelurusan yang lebih baik. Metode-metode tersebut, antara lain : metode
Principal Component, Ratio Band dan Filtering.
3.2.1 Metode Principal Component
Pada penelitian ini, penulis menggunakan 6 buah saluran pada citra Landsat 8 yakni saluran 2, 3,
4, 5, 6 dan 7 untuk membuat kenampakan fitur multispektral yang menghasilkan citra baru dan
memuat hingga 89.098 % untuk PC1, 10.98 % untuk PC2 dan 0.0007 % untuk PC3 dan bila
ditotal menghasilkan 99.89 % sehingga dengan 3 saluran citra ini dianggap mewakili keseluruhan
saluran citra Landsat serta sangat efisien dalam melakukan analisis citra untuk keperluan
identifikasi kelurusan geologi.
3.2.2 Metode Ratio Band
Pada metode ini, penulis menekankan pada beberapa formula rasio saluran yang berkaitan dengan
analisis geologi yang telah dimodifikasi berdasarkan jenis data set yang digunakan, yang dalam
hal ini citra Landsat 8 +ETM, yaitu rasio saluran 6/7, ¾ dan 4/5 (Abrams et.al, 1983) dalam format
Red, Green dan Blue (RGB), dengan spesifikasi rasio saluran sebagai berikut :
• Rasio 6/7 digunakan dalam mengidentifikasi litologi yang mengandung unsur Al-OH.
Mineral-mineral ini sangat baik digunakan sebagai indikator dari kehadiran air sepanjang zona
rekahan.
• Rasio ¾ digunakan dalam mengidentifikasi tingkat kepadatan vegetasi.
• Rasio 4/5 digunakan untuk menampilkan area yang terganggu dalam rona yang
gelap/hitam dan menunjukkan dominasi mineral FeO yang kaya akan aluminosilikat.
3.2.3 Metode Filtering
Metode ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas image data raster dengan cara melakukan
tumpang tindih secara statistik dengan data di sekitarnya (neighborhood statistic). Penyaringan
dilakukan terhadap saluran 8 dari citra Landsat 8 +ETM sebagai saluran pankromatik karena
memiliki resolusi spasial 15 meter yang lebih baik bila dibandingkan dengan saluran-saluran citra
Landsat lainnya, sehingga diharapkan identifikasi kelurusan menjadi lebih baik dan teliti tanpa
mengandalkan subjektifitas dari peneliti. Secara umum, saluran pankromatik yang dianalisis
sebelumnya telah mendapatkan koreksi geometrik dan atmosferik guna menghasilkan
kenampakan citra yang lebih baik.Pada penelitian ini menekankan pada frekuensi spasial citra
atau dengan kata lain, operasi penyaringan akan mempertajam batas antara unit-unit yang ada
untuk mengidentifikasi kehadiran kelurusan pada daerah penelitian. Penggunaan metode
penyaringan arah (directional filtering) adalah untuk meningkatkan, mengekstrak, dan
mengklasifikasikan arah orientasi kelurusan. Arah kelurusan akan sangat bergantung kepada
kenampakan struktur geologi serta pengaruh tektonik yang bekerja di daerah penelitian, sehingga
penyaringan arah akan diterapkan dengan menggunakan proses konvolusi dengan matriks 3x3
dari penyaring Sobel-Kernel yang akan membantu dalam mendapatkan akurasi kelurusan yang
paling baik.
3.3 Karakteristik Kelurusan dan Sesar Daerah Penelitian
Hampir semua lapangan minyak dan gas yang ada di Cekungan Salawati terhubung dengan dapur
pembentukan hidrokarbon yang ada di downdip melalui sesar normal, menandakan bahwa sesar
dan fraktur di Cekungan Salawati merupakan jalur bagi migrasi hidrokarbon. Sesar-sesar ini
secara umum berkedudukan paralel terhadap arah migrasi. Dalam hal ini, sesar yang paralel
memperbesar jalur aliran migrasi, sementara sesar yang tegak lurus terhadap arah migrasi
cenderung menhambat laju migrasi hidrokarbon.(Satyana, 1999).
Didalam melakukan rekonstruksi terhadap kelurusan dan rekahan pada permukaan bumi yang
telah diidentifikasi, tidak terlepas dari implikasinya terhadap Formasi batuan yang dijumpai pada
permukaan bumi. Dari pembahasan sebelumnya dapat terlihat bahwa Formasi Klasafet (Tmk)
yang tersusun oleh Batulumpur gampingan dan Batunapal memiliki nilai standar deviasi dari
panjang kelurusan yang lebih besar dari panjang rata-rata kelurusan di Formasi tersebut sehingga
diinterpretasikan sebagai akibat dari tingkat pelapukan di permukaan bumi yang masih dominan.
204
Gambar 1. Peta Gabungan Kombinasi Kelurusan dengan Metode Penyaringan Sobel-Kernel.
3.4 Data Kumulasi Hidrokarbon Blok Arar dan Walio
3.4.1 Blok Arar
Merupakan salah satu blok migas dari PT. Petrochina Bermuda, Ltd di Salawati-Sorong, Papua
yang masih beroperasi hingga saat ini . Berdasarkan data dari pihak perusahaan, sumur “Kyanite
06” memiliki jumlah kumulatif gas yang terbesar hingga saat ini di Blok Arar dengan jumlah
cadangan sebesar 115119.2 MMSC dan sumur “Titanite 01” dengan kumulatif gas yang terkecil
dengan 453.3 MMSC, sementara sumur dengan kumulatif Minyak Bumi yang terbesar adalah
sumur “Kyanite 06” dengan 6067 Mbbl dan sumur “Klagagi” dengan jumlah kumulatif 21 Mbbl.
3.4.2 Blok Walio
Merupakan blok migas dari PT.Petrochina Bermuda, Ltd di Salawati-Sorong, Papua yang terletak
di bagian selatan Cekungan Salawati yang juga masih beroperasi hingga saat ini. Berdasarkan
data dari pihak perusahaan, sumur “Quartz” merupakan sumur produksi Minyak Bumi yang
terbesar di Blok Walio dengan jumlah kumulatif Minyak Bumi sebesar 202.523 Mbbl dan
kumulatif gas sebesar 16.030 MMSC sementara sumur “Granite” dengan produksi kumulatif
205
minyak dan Gas Bumi yang paling sedikit dengan jumlah kumulatif Minyak Bumi sebesar 2 Mbbl
dan Gas Bumi dengan jumlah kumulatif 24.9 MMSC.
Gambar 2. Peta Densitas Kelurusan dan Lapangan Migas Blok Arar (a) dan Blok Walio (b)
3.5 Analisis Anomali Rembesan dalam Eksplorasi Hidrokarbon
3.5.1 Analisis Threshold Mineral
Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam mendeteksi anomali keberadaan potensi hidrokarbon,
maka analisis terhadap mineral-mineral alterasi lempung dilakukan dengan melakukan
perhitungan secara statistik terhadap saluran-saluran citra Landsat yang memiliki karakteristik
terhadap rasio saluran tertentu (Tabel 3.3), dimana dalam penelitian melakukan analisis terhadap
alterasi mineral felspar berupa kaolinit, illit dan klorit (Gambar 5.23). Masing-masing mineral ini
dicirikan dengan nilai respon perbandingan panjang gelombangnya (Lampiran), yang diuraikan
sebagai berikut :
• Mineral Kaolinit, berdasarkan nilai spektral mineral, maka mineral ini memiliki respon
yang maksimum pada saluran 5 dan respon minimum pada saluran 2 dari citra Landsat. Hasil
analisis threshold statistik upper dan lower limit rasio 5/2 menunjukkan sebaran mineral kaolinit
berada pada bagian timur dan tengah daerah penelitian.
• Mineral Illit, berdasarkan nilai spektral mineral, maka mineral ini memiliki respon yang
maksimum pada saluran 6 dan respon minimum pada saluran 5 dari citra Landsat. Hasil analisis
threshold statistik upper dan lower limit rasio 6/5 menunjukkan sebaran mineral kaolinit berada
pada bagian utara dan menyebar secara setempat-setempat hingga bagian tengah daerah
penelitian.
• Mineral Klorit, berdasarkan nilai spektral mineral, maka mineral ini memiliki respon
yang maksimum pada saluran 5 dan respon minimum pada saluran 3 dari citra Landsat. Hasil
analisis threshold statistik upper dan lower limit rasio 5/3 menunjukkan sebaran mineral kaolinit
secara setempat-setempat pada bagian utara daerah penelitian.
(A) (B)
206
Gambar 3. (a) Kenampakan Peta NDVI Daerah Penelitian (b) Kenampakan Peta Analisis
Threshold.
3.5.2 Analisis Ratio Band
Perbandingan saluran citra Landsat sangat membantu dalam melakukan analisis terhadap
mineralisasi di permukaan bumi yang disebabkan oleh proses kimiawi. Proses reduksi di
permukaan bumi merupakan bagian dari fenomena kehadiran rembesan hidrokarbon yang bersifat
pasif (microseepage) yang mengubah komposisi mineral limonit dalam bleaching red bed.
Berdasarkan hal-hal tersebut, perbandingan saluran citra Landsat 8 OLI dari saluran 3 (0.52-0.6
μm) dan saluran 4 (0.63-0.69 μm) dapat digunakan dalam mengestimasi distribusi limonit di
permukaan, yang diindikasikan dengan nilai minimum pada rasio TM ¾. Berbeda halnya dengan
limonit, maka nilai maksimum rasio TM ¾ akan menunjukkan keterdapatan besi oksida dalam
jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi, tutupan vegetasi juga akan menunjukkan nilai maksimum
pada rasio ¾, akibat respon yang tinggi pada panjang gelombang hijau dan merah. Keterdapatan
tutupan vegetasi yang “sehat” tanpa pengaruh proses kimiawi pada soil dapat diestimasi dengan
nilai indeks vegetasi yang melibatkan rasio saluran 5 (0.76-0.9 μm) dan saluran 4. Penggunaan
false colour composite (FCC) dalam mengidentifikasi anomali alterasi mineral pada soil dan
identifikasi keterdapatan jejak hidrokarbon di bawah permukaan bumi sangat membantu dalam
mendeliniasi area yang mengalami pengaruh-pengaruh kimiawi yang telah dijelaskan
sebelumnya. Penentuan warna rasio dengan “Almeida-Filho Triangle” sangat membantu dalam
menentukan pengaruh rasio saluran untuk setiap warna hasil pengolahan citra Landsat.(Gambar
5.24). Rasio saluran RGB TM3/4:TM5/4:(diff.TM3/4-TM5/4) akan menunjukkan sebaran warna
hijau dan kuning mengindikasikan tutupan vegetasi karena memiliki respon maksimum terhadap
rasio saluran TM3/4 dan TM5/4 namun dilain pihak, respon maksimum pada rasio TM ¾ dan
(A) (B)
207
diff.TM3/4-TM5/4 akan ditunjukkan oleh warna magenta yang mengindikasikan daerah
fenomena microseepage. (Almeida, 2002)
3.6 Analisis Daerah Prospek Hidrokarbon
Pembobotan merupakan teknik pengambilan keputusan pada suatu proses yang melibatkan
berbagai faktor secara bersama-sama dengan cara memberi bobot pada masing-masing faktor
tersebut (Saaty, 1980). Pembobotan dapat dilakukan secara objektif dengan perhitungan statistik
atau secara subjektif dengan menetapkannya berdasarkan pertimbangan tertentu. Penentuan
secara subjektif harus dilandasi pemahaman tentang proses tersebut (Saaty, 1980). Pada penelitian
ini, penentuan pembobotan dilakukan secara subjektif dimana pada penentuan daerah prospek
hidrokarbon, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan adalah data kelas densitas kelurusan, data
anomali microseepage hidrokarbon dan data sebaran threshold mineral alterasi. Masing-masing
faktor tersebut memiliki peran yang berbeda dan diindikasikan dengan perbedaan bobot antara
faktor-faktor tersebut. Pada penelitian ini, pemberian bobot dari masing-masing faktor secara
sederhana ditampilkan sebagai berikut (Tabel 1) :
Tabel 1.Tabel Analisis Pembobotan Data.
No. Parameter Bobot 1. Kelas Densitas Kelurusan 3
2. Anomali Microseepage Hidrokarbon 2
3. Threshold Mineral Alterasi 1
Berdasarkan tabel di atas, maka bobot tertinggi diberikan pada Faktor Kelas Densitas Kelurusan
dan bobot terendah diberikan kepada faktor threshold Mineral Alterasi. Pembobotan ini
didasarkan pada faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap prospek kehadiran
hidrokarbon di daerah penelitian. Kelas Densitas Kelurusan diberikan bobot tertinggi karena
faktor kelurusan dapat diinterpretasikan sebagai representasi kehadiran struktur geologi berupa
sesar-sesar sebagai jalur migrasi hidrokarbon berdasarkan data permukaan dan bawah permukaan,
sehingga memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap kemungkinan keterdapatan
hidrokarbon di daerah penelitian. Pada penelitian ini, Kelas Densitas Kelurusan hanya dianalisis
hingga Kelas Densitas VII sebagai Kelas Densitas tertinggi dengan kehadiran kumulasi minyak
dan gas bumi. Sementara itu, faktor analisis deteksi anomali hidrokarbon berdasarkan Citra
Landsat 8 OLI diberikan bobot yang lebih rendah karena metode ini hanya menginterpretasikan
kehadiran rembesan mikro hidrokarbon melalui reflektansi soil pada bagian permukaan bumi.
Faktor Threshold Mineral Alterasi diberikan bobot yang paling rendah karena metode ini hanya
mengidentifikasi kemungkinan kehadiran hidrokarbon melalui alterasi mineral akibat proses
kimiawi yang terjadi di permukaan bumi dan diwakili oleh Threshold mineral klorit, illit dan
kaolinit.Proses selanjutnya adalah menentukan skala prospek area potensi hidrokarbon yang di
dasarkan pada nilai tertinggi dan terendah dari hasil proses tumpang susun data yang tersaji dalam
Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Tabel Status Prospek Hidrokarbon
Skala Prospek Status Area Prospek Hidrokarbon
< 1 Rendah
2 - 4 Sedang
5 < Tinggi
Dengan melakukan pembobotan dan tumpang susun data-data penunjang, maka didapatkan skala
area prospek hidrokarbon tertinggi (warna merah) secara setempat-setempat berada pada bagian
utara dan selatan daerah penelitian, prospek area tertinggi di luar Blok Arar dan Walio secara
setempat dijumpai pada bagian tengah daerah penelitian. Sementara itu, skala area
prospek hidrokarbon dalam skala sedang (warna hijau) teridentifikasi berada secara vertikal dari
bagian utara hingga ke bagian tengah daerah penelitian. Selanjutnya, skala area prospek
208
hidrokarbon dalam skala rendah (warna merah muda) dapat diidentifikasi secara setempat pada
bagian tengah daerah penelitian. (Gambar 7).
Gambar 4. Peta Sebaran Lapangan Migas dan Interpretasi Area Prospek Hidrokarbon di
Daerah Penelitian.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengutaraan data dan analisis kelurusan terhadap kumulasi dan produksi
hidrokarbon di daerah penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pendekatan dengan metode densitas kelurusan menunjukkan pengaruhnya terhadap
terhadap jumlah kumulasi hidrokarbon hanya memiliki pengaruh yang cukup signifikan
pada Blok Walio. Kondisi ini menunjukkan kelurusan-kelurusan yang diekstraksi pada
wilayah selatan yang berarah relatif barat laut-tenggara sebagai jalur migrasi yang baik
bagi hidrokarbon terhadap sumur-sumur migas di Blok Walio. Kelurusan dan sesar pada
Blok Arar yang relatif berarah barat laut-tenggara sebagian terdiri atas sesar dengan
efisiensi sedang sampai tinggi atau bersifat menghambat migrasi hidrokarbon, sehingga
pada beberapa sumur dengan kelas densitas perpotongan kelurusan berderajat rendah
(low lineament density) dapat pula dijumpai kumulasi hidrokarbon yang besar.
2. Penggunaan Citra Landsat untuk mendeteksi anomali microseepage hidrokarbon dengan
metode Almeida-Filho menunjukkan daerah anomali microseepage berada pada bagian
barat dan menyebar dari utara ke selatan daerah penelitian.
3. a. Proses analisis pembobotan dan tumpang susun antara data kelas densitas kelurusan,
anomali microseep hidrokarbon dan sebaran threshold mineral alterasi menunjukkan
klasifikasi area prospek hidrokarbon “tinggi” berada di bagian utara, tengah dan selatan
209
daerah penelitian. Sedangkan area prospek hidrokarbon “sedang” berada di bagian utara
hingga tengah daerah penelitian dan area prospek hidrokarbon “rendah” berada di bagian
utara, tengah dan timur daerah penelitian.
b. Validasi metode pembobotan dan tumpang susun di daerah penelitian dengan
keberadaan lapangan migas dan sumur-sumur produktif pada Blok Arar dan Blok
Walio menunjukkan area prospek hidrokarbon berada pada kisaran “sedang-tinggi”.
6. DAFTAR PUSTAKA [1] Beik, F., 2008, Preparing Digital Lineament Map of Bangestan Structure using Satellite Data and
Remote Sensing Techniques, Exploration Directorate, National Iranian Oil Company.
[2] Camps, G. and Bruzcone, L., 2009, Kernel Methods for Remote Sensing Data Analysis, John Willey
and sons, Ltd, West Sussex, United Kingdom.
[3] Cox, R., 1982, Use of Remote Sensing Techniques and Statistics in Petroleum Exploration, Permian
Basin, Texas, Thessis in Geosciences from Texas Tech University, unpublished, Hal.27 -47.
[4] Danoedoro, P., 2012, Pengantar Penginderaan Jauh Digital, Penerbit ANDI, Yogyakarta, Indonesia.
[5] Elias, M., 2003, Multiple Dataset Integration for Structural and Stratigraphic Analysis of Oil and Gas
Bearing Formation using GIS, Map India Conference.
[6] Mourri, S., 2004, Using Streams and Faults as Lineaments to Delineate Aquifer Characteristics,
Thessis from The University at Texas, Austin, USA.
[7] Pireno, G.E., 2005, Hydrocarbon Potential of the West Salawati Block, West Papua, Prepared for Pearl
Oil (Salawati)Ltd.
[8] Poritte, S.E., 1982, Seasat Orbital Radar Image Applied to Lineament Analysis and Relationships with
Hydrocarbon Production in Wartburg Basin Area, Tennesse, University of Tennesse, Knoxville,
unpublished
[9] Prabaharan, S. et.all., Remote Sensing and GIS tool to detect Hydrocarbon Prospect in Nagapattinam
Sub Basin, India, Journal Geotech Geology Engineering, India, Hal.267-277.
[10] Prost, G.L, 2001, Remote Sensing for Geologists : A Guide to Image Interpretation, Gordon and
Breach Science Publishers, Canada.
[11] Riadini, P. and Sapii, B., 2011, The Sorong Fault Zone Kinematics: Implication for Structural
Evolution on Salawati Basin, Seram, Misool, West Papua, Indonesia, ePoster AAPG Annual
Convention and Exhibition, Houston, Texas, USA.
[12] Simandjuntak, et.al., 1987, Peta Geologi Lembar Sorong, Irian Jaya, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (P3G), Bandung
[13] Soenarmo, S.H, 2009, PenginderaanJauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis untuk Bidang
Ilmu Kebumian, Penerbit ITB, Bandung.
[14] Sutanto, 1986, Penginderaan Jauh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
210
IDENTIFIKASI PENYEBARAN AIR TANAH BERDASARKAN
DATA GEOLISTRIK DAERAH KAMPUNG TIBA-TIBA DISTRIK
ABEPURA, KOTA JAYAPURA, PAPUA
Rizky A. Luciano1, Kristine N. Pamjaitan2Virman
Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Uncen1
Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Uncen2
Abstrak. Air tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, volume
atau kualitas antara lain dikontrol oleh vegetasi, batuan permukaan, curah hujan dan lain-lain.
Air tanah merupakan sumber air alternative apabila air permukaan tidak lagi mencukupi. Telah
dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memetakan lapisan akuifer yang dianggap memiliki
potensi air tanah baik kualitas maupun kuantitas. Penelitian berlokasi di Kampung Tiba-Tiba
Distrik Abepura, Kota Jayapura Papua. Kampung Tiba-tiba terletak cukup strategis di Distrik
Abepura, hal ini menyebabkan pesatnya perkembangan tidak hanya jumlah penduduk tetapi juga
bangunan fisik seperti hotel, perkantoran, baik swasta maupun pemerintah yang membutuhkan
air dalam jumlah banyak. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada tidak lagi mampu
mensuplai air bersih, memasuki musim kemarau saat ini PDAM memberlakukan system
pemadaman bergilir. Penelitian ini memanfaatkan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi
Schlumberger. Daerah penelitian memiliki topografi yang tidak datar, tersusun oleh jenis batuan
berupa tuf dan breksi gunungapi, sisipan napal dan konglomerat. Berdasarkan hasil pengolahan
data maka di daerah Kampung Tiba-Tiba lapisan akuifer di titik pengukuran 001 (Tanah Hitam)
memiliki ketebalan sekitar 38 meter dan muka air tanah berada pada kedalaman 26 meter, lapisan
ini memiliki tahanan jenis 22,7 ohm m. Sedangkan pengukuran di titik 002 (Kampung Tiba-Tiba)
lapisan akuifer berada pada lapisan 3 (lima) kedalaman 25 meter dan nilai tahanan jenis 48.6
ohm m.
Katakunci: air tanah, geolistrik, akuifer
1. PENDAHULUAN
Pesatnya perkembangan pembangunan di berbagai sektor di kota-kota besar, termasuk di
Kampung Tiba-Tiba Distrik Abepura, Kota Jayapura dapat memacu kebutuhan sumber daya alam
dan kemungkinan timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan hingga
permasalahan ekonomi. Salah satu kebutuhan tersebut adalah tersedianya sumber air sebagai
faktor utama untuk berlangsungnya kegiatan baik skala rumah tangga maupun industri.
Pemanfaatan air tanah merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan air di masa sekarang dan
yang akan datang, serta merupakan alternatif yang terbaik apabila air di permukaan sudah tidak
mencukupi atau terjangkau. Dalam membahas air tanah salah satu faktor yang dianggap penting
untuk dibahas adalah formasi geologi sehingga penting untuk dipelajari karakteristiknya. Formasi
geologi adalah formasi batuan yang berfungsi menyimpan air tanah dalam jumlah besar, formasi
geologi tersebut dikenal sebagai akifer atau lapisan akuifer. Lapisan ini terdiri atas bahan lepas
seperti pasir dan kerikil atau bahan yang mengeras seperti batu pasir dan batu gamping.
Air di dalam pori akuifer terpengaruh oleh gaya grafitasi sehingga cenderung untuk mengalir
kebawah melalui pori bahan tersebut. Perlawanan terhadap pengaliran bawah tanah itu sangat
berbeda-beda dan kelulusan bahan merupakan ukuran bagi perlawanan itu. Penghantar (akuifer)
dengan pori besar-besar seperti kerakal disebut memiliki kelulusan tinggi dan lapisan dengan pori
sangat kecil seperti lempung, yang porinya hanya dapat dilihat dibawah mikroskop, kelulusannya
rendah.
211
Akuifer dibedakan menjadi dua yaitu akuifer bebas (unconfined aquifer) dan akuifer tertekan
(confined aquifer). Akuifer bebas terbentuk ketika tinggi muka air tanah (water table) menjadi
batas atas zone tanah jenuh. Tinggi muka air tanah berfluktuasi tergantung pada jumlah dan
kecepatan air (hujan) masuk ke dalam tanah, pengambilan air tanah, dan permeabilitas tanah.
Sedangkan akifer tertekan dikenal sebagai artesis, terbentuk ketika air tanah dalam dibatasi oleh
lapisan kedap air (impermeable) sehingga tekanan di bawah lapisan tersebut lebih besar daripada
tekanan atmosfir, (Rahma Hi., dkk (2018)
Penyebaran air tanah di bawah permukaan tidak merata sehingga untuk eksploitasinya dilakukan
kajian pendahuluan yang biasanya memanfaatkan metode geofisika. Salah satu metode yang
banyak digunakan diantaranya geolistrik tahanan jenis, metode ini menurut Todd (2006) banyak
digunakan untuk masalah hidrologi karena memiliki kelebihan diantaranya biaya relative
tercangkau, memiliki akurasi, cepat dan sebagainya.
Metode geolistrik tahanan jenis ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen
isotropis. Dengan asumsi ini tahanan jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi
elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga
potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Oleh karena itu harga
tahanan jenis yang diukur bukan merupakan nilai tahanan jenis untuk satu lapisan saja, hal ini
terutama untuk spasi elektroda yang lebar. Harga tahanan jenis yang terukur tersebut disebut nilai
tahanan jenis semu (apparent resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai (Loke, 2002):
𝜌𝑎 = 𝐾 ∆𝑉
𝐼 ; 𝑅 =
∆𝑉
𝐼 ………....(1)
Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara
kedua elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan.
Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada
geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki
beberapa konfigurasi yang dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi
Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll. Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi
Schlumberger. Dari persamaan (1) nilai faktor geometri (K) untuk konfigurasi Schlumberger
sebagai berikut:
𝜌𝑠 = 𝐾𝑠∆𝑉
𝐼 , dengan Ks=
𝜋 (𝐿2−𝑙2 )
2𝑙 ..(2)
Dimana L adalah panjang elektroda arus (AB/2) sedangkan l adalah panjang elektroda potensial
(MN/2).
Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali
atau lebih jarak elektroda potensial (P1 P2). Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman
yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor
yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan konfigurasi elektroda, faktor lain adalah jenis
struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada.
Banyak factor yang mempengaruhi harga resistivitas ini, antara lain:
- Kandungan air, medium yang mengandung air resistivitasnya semakin kecil
- Porositas, yaitu perbandingan antara volume rongga (pori-pori) terhadap volume batuan itu
sendiri. Porositas dinyatakan dalam % volume. Volume pori-pori batuan yang besar akan
memberikan kandungan cairan yang lebih banyak sehingga harga resistivitas akan semakin
kecil. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat suatu rumusan empiris yang disebut sebagai
Hukum Archie, sebagai berikut:
𝜌 = 𝑎𝜌𝑤 ∅𝑛𝑆𝑚 …….(3)
212
dimana 𝜌 = resistivitas batuan yang berisi cairan (ohm m), a dan m adalah konstanta (0,5 <
a < 2,5 ; 1,3 < m < 2,5), 𝜌𝑤 = resistivitas air (ohm m) , ∅ = porositas, n = 2 dan S adalah
bagian dari pori-pori batuan yang berisi fluida.
- Suhu, resisitivitas suatu batuan berbanding terbalik dengan suhunya, hubungan suhu dengan
resistivitas ditunujukkan oleh persamaan berikut:
𝜌𝑤 = 𝑘 𝑒−0,00821 𝑡
Diamana 𝜌𝑤 adalah resistivitas fluida (ohm m), k = konstanta, tergantung konsentrasi
elektrolit dalam fluida dan t = suhu. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa
jika suhu naik, maka resistivitas akan turun secara eksponensial.
2. METODOLOGI
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kampung Tiba-Tiba, dimana secara administratif termasuk dalam
wilayah Distrik Abepura. Kampung Tiba-Tiba merupakan salah satu kampung di Distrik Abepura
yang terletak di bagian tenggara Kota Jayapura. Untuk mencapai lokasi pekerjaan dari Jayapura
menuju Kampung Tiba-Tiba dapat dicapai melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan
roda dua maupun kendaraan roda empat dengan akses yang sangat mudah kurang lebih 20 menit.
Kota Jayapura berada di wilayah Indonesia bagian Timur, tepatnya berada dibagian utara Provinsi
Papua pada 2° 30’ 00” – 2° 38’ 29” LS dan 140° 36’ 48” – 140° 45’ 00” BT dengan luas wilayah
940 km2 (0,3 % dari luas daratan Provinsi Papua). Berikut merupakan batas Kota Jayapura :
- Sebelah utara : Samudera Pasifik
- Sebelah selatan : Kabupaten Keerom
- Sebelah Timur : Negara Papua New Guinea
- Sebelah Barat : Kabupaten Jayapura
2.2 Desain Penelitian
Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 (dua) titik, panjang bentangan AB/2 antara
antara 250 m hingga 275 m. Daerah penelitian memiliki topografi yang bergelombang serta
terdapat beberapa bangunan disekelilingnya yang merupakan salah satu factor pembatas sehingga
bentangan maksimum sulit dicapai. Pengukuran lapangan dilakukan dengan mengukur beda
potensial(volt) dan kuat arus (amper) yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan
MN. Pada pengukuran ini digunakan konfigurasi Schlumberger, konfigurasi ini baik untuk
mapping maupun sounding. Untuk kegiatan pengukuran Kampung Tiba-tiba Distrik Abepura
digunakan resisitivitas sounding hal ini berdasarkan target penelitian yaitu air tanah. Untuk
resistivitas sounding, jarak spasi elektroda diubah-ubah secara graduil untuk titik amat. Untuk
aturan elektroda Schlumberger, spasi elektroda arus jauh lebih besar dari spasi elektroda
potensial.
Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan:
Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama
Noniura NRD 328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial
(Volt). Output pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang
diperlukan adalah:
- Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF.
- Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara alat
dengan permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial.
- Kabel penghubung antara alat dengan elektroda
- Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap titik
ukur.
- Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda.
213
Prosedur Kerja:
Persiapan pengukuran
Pada penelitian ini yang pertama dilakukan adalah survei awal di lokasi yang bertujuan untuk
mencari posisi pengukuran di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan peralatan yang diperlukan
untuk akuisisi data lapangan. Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan desain interpretasi
yang dikehendaki serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi penelitian. Dalam
penelitian ini diterapkan metode tahanan jenis konfigurasi Schlumberger.
Tahapan pengukuran
Adapun urutan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
- Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang
dibawah dalam kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu memenuhi
syarat yaitu 12 volt, sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu .
- Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar
diperoleh kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan
pendukung untuk kelancaran di lapangan.
- Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus
mendapat arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang
dipercayakan (setting peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran).
Total pengukuran yang dilakukan sebanyak 2 titik, adapun proses pengukuran seperti pada
Lampiran 3
- Data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup arus listrik (Amper) dan
beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik melalui dua
elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi yang
memiliki nilai hambatan (ohm m).
2.3 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh berupa bedapotensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut
kemudian disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis semunya.
Tahanan jenis semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan true
resistivitymenggunakan IPI2win. Gambar tersebut merepresentasikan jenis litologi, kedalaman
dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga tahanan jenisnya.
Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-dasar sebagai berikut:
- Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.
- Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.
- Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang
lebih besar.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pegukuran geolistrik Daerah Kampung Tiba-tiba menggunakan metode geolistrik tahanan jenis
konfigurasi Schlumberger, hasil pengolahan data menggunakan IPI2win diperoleh berupa
grafik, yang menggambarkan ketebalan dan kedalaman lapisan batuannya beserta nilai tahanan
jenis sebenarnya. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan IPI2win, secara vertikal
dikemukakan adanya layer-layer (lapisan) yang berbeda berdasarkan harga tahanan jenis. Setiap
lapisan dapat diketahui jenis litologi, ketebalan dan kedalamnnya. Akan tetapi bukan berarti setiap
harga tahanan jenis mewakili satu jenis litologi. Hal ini disebabkan harga tahanan jenis dari
litologi merupakan harga kisaran. Agar didapatkan hasil intepretasi yang lebih baik maka
disamping mendasarkan pada harga tahanan jenis hasil pengukuran juga digunakan beberapa data
pendukung seperti data singkapan permukaan, tabel tahanan jenis yang sudah ada (Telford, 1996),
214
dan data bor. Hasil pengolahan data berupa kurva selanjutnya di sederhanakan seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 tersebut maka dapat dikatakan bahwa lapisan akuifer berada pada lapisan
3 (tiga), lapisan tersebut memiliki tahanan jenis yaitu 17.1-22.7 ohm m dan berada pada
kedalaman 26 meter. Adapun jenis batuan pada kedalaman tersebut berupa pasir ukuran butir
sedang-kasar, warna abu-abu, bentuk butir menyudut tanggung.
Bentang alam di daerah ini berupa suatu perbukitan dengan dataran yang sempit dan sebagian
besar adalah perbukitan sedimen. Kemiringan lereng >20 % di daerah perbukitan hingga > 45 di
daerah dataran bergelombang dengan beda tinggi 2-10 m. Endapan permukaan yang dominan
adalah endapan lepas aluvium berbutir halus hingga kasar hasil endapan perbukitan Abepura, dan
setempat dijumpai endapan hasil pelapukan batuan ultrabasa yang terubah menjadi serpentinit.
Dibagian selatan dari lokasi pengeboran terdiri dari grewake berselingan dengan batulanau dan
batulempung, sisipan napal dan konglomerat.
Tabel 1. Nilai tahanan jenis sebenarnya titik sounding di GKI Kairos
Titik Sounding Lapisan
Hasil Penafsiran
Perkiraan Litologi Kedalaman
(m)
Ketebalan
(m)
Tahanan
Jenis
(ohm m) 001 002
Tanah
Hitam
GKI
Kairos
Kampung
Tiba-tiba
1 1.8 – 21.2 1.8 29.5-66.4
Top soil, ukuran
butir pasir kasar,
kerikil sampai
karakal warna
abu-abu,
2 21.2 – 25.6 23 33.9-99.6
Pasir lepas,
ukuran butir
sedang-kasar,
warna keabuan,
bentuk butir
menyudut-
menyudut
tanggung,
3 25.6 – 48.6 48.6 17.1-22.7
Pasir ukuran butir
sedang-kasar,
warna abu-abu,
bentuk butir
menyudut
tanggung,
4 > 48.6 ~ 33-4.34
Meterial lepas
ukuran butir pasir
sedang-kasar
Vegetasi yang padat terdapat di bagian selatan serta curah hujan yang cukup tinggi merupakan
faktor utama tingginya air hujan yang berubah menjadi air tanah. Menurut Iwan Ayomi (2018)
Wilayah Kota Jayapura pada umumnya beriklim tropis basah dengan curah hujan yang cukup
tinggi. Selama tahun 2013, Kota Jayapura mengalami suhu tertinggi pada Bulan Juni yang
mencapai 32,2 0C, sedangkan suhu terendah terjadi pada Bulan Juli mencapai 27,5 0C.
Kelembaban udara yang terjadi selama tahun 2013 sebesar 80 persen. Kota Jayapura mendapat
penyinaran cahaya matahari sepanjang tahun. Hujan terjadi hampir setiap bulan selama tahun
2013.
215
Jumlah hari hujan terbanyak terjadi di Bulan Januari sebanyak 23 hari, dan jumlah hari hujan
paling sedikit pada Bulan Agustus, yaitu hanya terjadi 15 hari saja. Sementara itu banyaknya
curah hujan yang turun selama tahun 2013 mencapai 4.095,3 mm. Curah hujan terbanyak terjadi
pada Bulan Januari mencapai 841,8 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada Bulan
Oktober yaitu hanya mencapai 118,6 mm.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pengolahan data maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Geologi lokasi pekerjaan tersusun oleh litologi batupasir, batunapal, graywacke dan
serpentinit merupakan kelompok batuan ultrabasa yang tersingkap di lokasi pemboran,
dengan kemiringan lereng >20 % dan beda tinggi >7 m.
2. Apabila hasil inversi atau tahanan jenis sebenarnya dikorelasi dengan beberapa data
pendukung maka air tanah dapat dijumpai pada kedalaman 25 meter atau lapisan 3 (tiga),
dengan struktur berupa pasir ukuran butir sedang-kasar, warna abu-abu, bentuk butir
menyudut tanggung.
3. Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh maka disarankan untuk kegiatan pemboran
dapat dilaksanakan untuk memastikan anomali tahanan jenis yang terdapat pada kedalaman
antara 15-182 m. Lapisan tersebut memiliki tahanan jeniyang diprediksi sebagai lapisan
akuifer yaitu 17.1-22.7 ohm m.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Iwan Ayomi dan Virman. Eksplorasi air tanah menggunakan metode geolistrik konfigurasi
Schlumberger daerah GKI Devia, Kampung Harapan Sentani
[2] Loke, M.H., 2002. A Practical Guide to 2-D and 3-D Surveys, Malaysia.
[3] Rahma Hi, Manrulu, dan Lis Dahlia Hamid. 2018. Pendugaan sebaran air tanah menggunakan
metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner-Schlumberger di Kampus 2 Universitas
Cokroaminonto, Palopo. Jurnal Fisika FLUX. Vol. 5. Nomor1.
[4] Todd, D. K., 1980. Groundwater hidrogeology. John Wiley & Sons, New York.
[5] Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge
University Press, New York.
216
ANALISIS DATA GEOLISTRIK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI
DAN KUALITAS AIR TANAH DAERAH DISTRIK KURIK
KABUPATEN MERAUKE
Kristine N. Panjaitan, Rizky A. Luciano1, Virman2
Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Uncen1
Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Uncen2
Abstrak.Pertumbuhan penduduk semakin meningkat sepanjang tahun. Hal ini juga meningkatkan
kebutuhan masyrakat akan pentingnya memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Salah satu
sumber daya alam yang sangat penting dan perlu untuk kelangsungan hidup masyarakat adalah
air bersih. Air bersih digunakan untuk keperluan memasak, minum, mandi, mencuci, bahkan
untuk industri maupun pertanian. Masyarakat di Distrik Kurik selama ini mengandalkan system
pelayanan air bersih dengan system perpipaan, namun pipa air minum yang ada tidak lagi mampu
mensuplai kebutuhan air bersih bagi masyarakat yang terus bertambah. Oleh karena itu
pemanfaatan air tanah dianggap sebagai sumber air alternative yang paling memungkinkan bagi
masyarakat. Berdasarkan pentingnya air bersih tersebut maka telah dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui potensi dan kualitas air tanah di Distrik Kurik Kabupaten Merauke,
Papua. Penelitian ini menggunkan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger.
Data pengukuran berupa kuat arus (mA) dan beda potensial (volt) diolah untuk mendapatkan
tahanan jenis semu (apparent resistivity) dan untuk tahanan jenis sebenarnya (true resistivity)
menggunakan software IPI2win. Hasil penelitian diperoleh nilai tahanan jenis, ketebalan dan
kedalaman. Berdasarkan nilai tahanan jenis maka akifer tergolong akifer baik, berada pada
kedalaman diatas 50.41 m dengan tahanan jenis 68.3 m. Hasil ini tidak sesuai dengan pengukuran
yang dilakukan di titik 001 dimana akifernya tergolong tercemar (tahanan jenisnya 0.329 ohm
m).
Kata kunci: akuifer, tahanan jenis, impermeable, konfigurasi Schlumberger
1. PENDAHULUAN
Manusia dan semua mahluk hidup lainnya membutuhkan air. Air merupakan material yang
membuat kehidupan terjadi di bumi. Menurut dokter dan ahli kesehatan, manusia wajib minum
air putih minimal 2 liter (8 gelas) perhari dan maksimum 7% dari berat badan. Tumbuhan (flora)
dan binatang (fauna) juga mutlak membutuhkan air. Tanpa air keduanya akan mati. Sehingga
dapat dikatakan air merupakan salah satu sumber kehidupan. Dengan kata lain air merupakan zat
yang paling esensial dibutuhkan oleh mahluk hidup.
Air merupakan kebutuhan primer dalah hidup manusia, kebutuhan air saat ini sebagian besar
diperoleh dari pemanfaatan sumber air permukaan seperti sungai, danau, mata air, maupun sumur
dangkal. Irosnisnya dari waktu ke waktu cadangan air permukaan cenderung berkurang di lain
pihak populasi manusia semakin hari makin bertambah besar. Seperti halnya yang terjadi di
Distrik Kurik Kabupaten Merauke, masyarakat mengalami krisis air bersih. Air bersih yang
dikelola oleh PDAM Kota Merauke telah berusia cukup lama sehingga tidak lagi mampu
memenuhi permintaan yang terus bertambah.
Salah satu sumber air bersih yang menjadi alternative terbaik apabila air permukaan tidak lagi
mencukupi adalah air tanah. Air tanah adalah air yang menempati rongga-rongga pada lapisan
geologi dalam keadaan jenuh dan dengan jumlah yang cukup. Keberadaannya di bawah
permukaan tidak merata dan dikontrol antara lain oleh vegetasi, jenis batuan permukaan, curah
hujan.
217
Keberadaan air tanah di bawah bumi dapat diketahui dengan menggunakan metode geofisika,
metode ini mengukur parameter-parameter fisika yang berasosiasi dengan air tanah tersebut.
Salah satu metode geofisika adalah geolistrik tahanan jenis. Prinsip dasar metode ini adalah
mempelajari variasi harga tahanan jenis batuan bawah permukaan yang berasosiasi dengan air
tanah (sumber daya alam). Parameter resistivitas diperoleh dengan mengukur arus yang
diinjeksikan ke dalam bumi dan mengukur beda potensial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu
alat resistivitas terdiri dari dua bagian yaitu transmitter dan receiver. Transmiter berfungsi untuk
menginjeksikan arus sementara receiver berfungsi untuk pembacaan bedapotensial yang
dihasilkan. Pemanfaatan geolistrik tahanan jenis oleh para ahli telah banyak digunakan untuk
mengetahui air tanah dibawah permukaan, diantaranya Hago, H.A., 2000; Rosid, S., 2008; Braga,
A. C., 2006; Kuswanto, A., Wibowo, M., 2001. Penelitian masalah air tanah menggunakan
geolistrik menurut Wibowo, M., 2001 umumnya bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari
akifer seperti geometri, penyebaran dan kedalaman. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah untuk mengetahui letak dan kedalaman akuifer berdasarkan distribusi resistivitas
batuan bawah permukaan dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi
Schlumberger di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke.
Geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metode geofisika yang banyak digunakan untuk
masalah eksplorasi air tanah, panas bumi, masalah lingkungan dan lain-lain. Metode ini
mengamati perlapisan batuan berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas batuan. Prinsip dasar
metode geofisika adalah adanya anomali yaitu perbedaan besaran fisis dari benda yang dicari
dengan tanah yang menutupinya. Besaran fisis untuk metode geolistrik tahanan jenis adalah sifat
listrik (Telford, 1990). Penelitian geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi
melibatkan pengukuran diatas permukaan bumi dari parameter-parameter fisika yang dimiliki
oleh batuan di dalam bumi. Dari pengukuran ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan
kondisi dibawah permukaan bumi baik itu secara vertikal maupun lateral (Telford, 1990).
Metode ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini
tahanan jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi elektroda. Pada kenyataannya,
bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga potensial yang terukur merupakan
pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Oleh karena itu harga tahanan jenis yang diukur bukan
merupakan nilai tahanan jenis untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang
lebar. Harga tahanan jenis yang terukur tersebut disebut nilai tahanan jenis semu (apparent
resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai (Loke, 2002):
𝜌𝑎 = 𝐾 ∆𝑉
𝐼 ; 𝑅 =
∆𝑉
𝐼 ……………....(1)
Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara
kedua elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan.
Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada
geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki
beberapa konfigurasi yang dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi
Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll. Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi Schlumberger
(Gambar 1).
Untuk aturan elektroda Schlumberger, spasi elektroda arus jauh lebih lebar dari spasi elektroda
potensial seperti pada Gambar 1.
218
Gambar 1. Konfigurasi Schlumberger (Telford, 1990))
dari persamaan (1) apabila diturunkan maka diperoleh tahanan jenis semu untuk konfigurasi
Schlumberger sbb:
𝜌 = 2𝜋 [(1
𝑟1−
1
𝑟3) − (
1
𝑟2 −
1
𝑟4)]−1 ∆𝑉
𝐼
Dimana:
r1 = jarak dari titik P1 ke sumber arus positif (L - l)
r2 = jarak dari titik P1 ke sumber arus negative (L + l)
r3 = jarak dari titik P2 ke sumber arus positif (L + l
r4 = jarak dari titik P2 ke sumber arus negatif (L - l)
Hal ini menghasilkan faktor geometri (K) dan tahanan jenis semu untuk elektroda Schlumberger
adalah (Telford, 1990):
𝜌𝑠 = 𝐾𝑠∆𝑉
𝐼 , dengan Ks=
𝜋 (𝐿2−𝑙2 )
2𝑙 ……….(2)
Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali
atau lebih jarak elektroda potensial (P1 P2)
Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran
penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan
konfigurasi elektroda, faktor lain adalah jenis struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada.
2. METODOLOGI
2.1 Desain Penelitian
Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 titik seperti pada Gambar 2, panjang bentangan
antara AB/2 adalah 100 m. Daerah penelitian memiliki topografi yang relatif rata serta terdapat
beberapa bangunan disekelilingnya yang merupakan salah satu factor pembatas sehingga
bentangan maksimum sulit dicapai. Pengukuran lapangan dilakukan dengan mengukur beda
potensial dan kuat arus yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan MN. Pada
pengukuran ini digunakan konfigurasi Schlumberger, konfigurasi ini baik untuk mapping maupun
sounding. Untuk kegiatan pengukuran di Distrik Kurik digunakan resisitivitas sounding hal ini
berdasarkan target penelitian yaitu air tanah. Untuk resistivitas sounding, jarak spasi elektroda
diubah-ubah secara graduil untuk titik amat. Untuk aturan elektroda Schlumberger, spasi
219
elektroda arus jauh lebih besar dari spasi elektroda potensial.
Gambar 2 titik pengukuran geolistrik tahanan jenis (warna merah).
2.2 Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan:
Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama
Noniura NRD 328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial
(Volt). Output pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang
diperlukan adalah:
- Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF.
- Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara
alat dengan permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda
potensial.
- Kabel penghubung antara alat dengan elektroda
- Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap
titik ukur.
- Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda.
Prosedur Kerja:
Persiapan pengukuran
Pada penelitian ini yang pertama dilakukan adalah survei awal di lokasi yang bertujuan untuk
mencari posisi pengukuran di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan peralatan yang
diperlukan untuk akuisisi data lapangan. Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan desain
interpretasi yang dikehendaki serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi
penelitian. Dalam penelitian ini diterapkan metode tahanan jenis konfigurasi Schlumberger,
adapaun teknis pengukuran yang dilakukan seperti pada Gambar 1.
220
2.3 Tahapan pengukuran
Adapun urutan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
- Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang
dibawah dalam kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu
memenuhi syarat yaitu 12 volt. sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu.
- Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar
diperoleh kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan
pendukung untuk kelancaran di lapangan.
- Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus
mendapat arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang
dipercayakan (setting peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran).
Total pengukuran yang dilakukan sebanyak 2 titik (Gambar 2).
- Data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup arus listrik (Amper) dan
beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik melalui dua
elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi
yang memiliki nilai hambatan (ohm m).
2.4 Pengolahan Data
Data yang diperoleh berupa bedapotensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut
kemudian disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis
semunya. Tahanan jenis semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan
true resistivitymenggunakan IPI2win. Hasil tersebut merepresentasikan jenis litologi,
kedalaman dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga
tahanan jenisnya. Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-
dasar sebagai berikut:
- Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.
- Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.
- Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang
lebih besar.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh melalui pengukuran berupa beda potensial dan arus kemudian dihitung
tahanan jenis semunya. Selanjutnya nilai tersebut diolah menggunakan IPI2win untuk
mendapatkan tahanan jenis sebenarnya. Tahanan jenis sebenarnya merupakan model yang
menggambarkan ketebalan perlapisan dan jenis batuan pada tiap-tiap pengukuran. Untuk
mengetahui jenis – jenis batuan yang ada pada masing-masing titik disesuaikan dengan besar
kecilnya nilai tahanan jenis yang dimiliki serta data geologi pada daerah penelitian. Data tahanan
jenis yang sudah melalui tahap pengolahan dapat berupa model yang menggambarkan jumlah
perlapisan dan kedalaman. Selanjutnya model tersebut dianalisis berdasarkan konsep yang
dikembangkan oleh Telford, 1990. Adapun hasil analisis terhadap model yang diperoleh berupa
struktur bawah permukaan adalah sebagai berikut:
No. Pengukuran 001:
Titik pengukuran pertama dilakukan dengan bentangan 200 meter atau AB/2 adalah 100 meter,
arah bentangan utara – selatan. Berdasarkan hasil pengolahan data yang menggunkan software
IPI2win, lintasan ini terdiri atas lima lapisan. Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis
batuannya setiap lapisan adalah sebagai berikut:
Lapisan pertama, memiliki ketebalan 2.57m, harga tahanan jenis 137ohm mmerupakan
tanah penutup.
221
Lapisan keduamemiliki ketebalan 2.7 m dengan nilai tahanan jenis 84.5 ohm m. Dari
permukaan, lapisan ini berada pada kedalaman hingga 5.28 m. Berdasarkan nilai tahanan
jenis maka lapisan kedua strukturnya berupa batu pasir.
Lapisan ketiga, lapisan bertahanan jenis 8.01 ohm m, dengan ketebalan 9.54 m berada
hingga kedalaman 14,82 m. Lapisan ini strukturnya berupa lempung pasiran.
Lapisan keempat, adalah lapisan yang tahanan jenisnya 243 ohm m dengan ketebalan 28.5
meter, dari permukaan sekitar 43.3 meter. Lapisan ini strukturnya berupa batu berpasir.
Berdasarkan nilai tahanan jenis maka pada lapisan ini kondisi air tanahnya/strukturnya
berupa batu pasir. Kemungkinan lain yang menyebabkan tingginya nilai tahanan jenis ini
adalah kandung gas-gas pada lapisan ini.
Lapisan kelima, merupakan lapisan yang berada pada kedalaman >43.3 m. Lapisan ini
memiliki tahanan jenis paling rendah yaitu 0.329 ohm m, sifat konduktif ini menunjukkan
bahwa air tanahnya mengandung banyak unsur atau mineral terlarut termasuk gas akibat
reaksi kimia pada lapisan ini, biasanya dikategorikan sebagai akifer tercemar.
No. Pengukuran 002
Untuk titik pengukuran kedua yang berarah utara-selatant, panjang bentangan 400 m atau AB/2
adalah 100 meter. Berdasarkan hasil pengolahan data maka titik pengukuran ini terdiri atas lima
lapisan dengan struktur bawah permukaan sebagai berikut:
Lapisan pertama, ketebalan0.75 m, harga tahanan jenis 1295 ohm m. merupakan lapisan
penutup. Nilai tahanan jenis yang lebih tinggi disamping akibat posisi yang lebih tinggi
yaitu 14 m dpal.
Lapisan kedua, ketebalan 3.18 m berada pada kedalaman 3.93 m dari permukaan.
Tahanan jenis pada lapisan ini adalah 331 ohm m berdasarkan nilai tahanan jenis
strukturnya berupa batu pasir.
Lapisan ketiga, lapisan bertahanan jenis 63 ohm m, jenis batuannya berupa pasir
berlempung, merupakan lapisan akifer berada pada kedalaman 9.63 m dari permukaan.
Lapisan keempat, adalah lapisan yang tahanannya jenisnya 9267 ohm m, berada pada
kedalaman 50.4 meter dengan ketebalan lapisan 40.8 meter.Lapisan ini termasuk
lapisan yang kedap air dapat berfubgsi sebagai lapisan impermeable. Apabila hal ini
terbukti maka diharapkan lapisan bawahnya bisa menjadi akifer yang baik.
Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah lapisan ini mengandung banyak gas-gas
akibat terjadinya reaksi kimia.
Lapisan kelima adalah lapisan dengan tahanan jenis 68.3ohm m, berada pada kedalaman
>68.3 m, merupakan lapisan akifer baik. Berdasarkan nilai tahanan jenis di lapisan empat
maka pada lapisan ini jenis akifer yang ada berupa akifer tertekan.
4. KESIMPULAN DA SARAN
Hasil penelitian pendugaan keberadaan air tanah daerah Distrik Kurik, menggunkan metode
geolistrik tahanan jenis dapat disimpulkan:Lapisan Akifer berada pada lapisan 5 yakni pada
kedalaman > 50.41 m, berdasarkan nilai tahanan jenis maka tergolong akifer baik berada pada
titik pengukuran 002 tahanan jenisnya 68.3. Sedangkan pada pengukuran 001, tahanan jenis 0.329
ohm m jenis akifernya tergolong akifer tercemardan model air tanah berupa air tanah tertekan.
Saran
Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis pada pengukuran 001 dan 002 maka disarankan untuk
pemboran air tanah dilakukan pada kedalaman > 50 m.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Braga, A. C. O., Fiho, W. M and, 2006. Resistivity (DC) method applied to aquifer protection
studies. Sociedade Brasileira de Geof´ısica
222
[2] Hago, H. A., 2000. Application of electrical resistivity method in kuantitative assessment of
groundwater reserve of unconfined aquifer. Thesis presented to the senate of Universiti Putra
Malaysia.
[3] Grandis, H dan Yudistira, T., 2000. Studi pendahuluan identifikasi penyebaran polutan
bawah permukaan menggunakan metode geolistrik. Prosiding HAGI. p. 81-91.
[4] Rosid, S., dan Johan, M., 2008. Pemetaan hidrologi dengan menggunakan metode geolistrik.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung.
[5] Sulistijo, B., 2003. Peranan teknologi geofisika dalam memantau masalah lingkungan.
Jurnal Teknik Pertambangan.
[6] Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge
University Press, New York.
[7] Wibowo, M., 2001. Potensi sumberdaya air di Surabaya berdasarkan survey geolistrik.
Jurnal Teknologi Lingkungan-BPPT.
223
ANALISIS DIMORFISME KUPU-KUPU SAYAP BURUNG
(Ornithoptera sp.)
ENDEMIK PAPUA
Evie Lilly Warikar1, Euniche R.P.F Ramandey2, dan Hendra K. Maury3
JurusanBiologiFMIPAUniversitasCenderawasih Jayapura1,2,3
email:[email protected]
email:[email protected]
Abstrak.Ornitophera sp. merupakan salah satu kelompok kupu-kupu endemik Papua dan Papua
Barat. Perbedaan morfologi yang menyolok antara kupu-kupu jantan dan betina (dimorfisme)
yaitu pada bentuk, ukuran dan warna sayap. Karakteristik morfologi merupakan sumber informasi
yang penting. Berdasarkan hasil koleksi spesimen di Laboratorium Koleksi Serangga Papua
(KSP) Jayapura, terdapat beberapa spesies dari berbagai lokasi di Papua. Variasi dimorfisme
kemungkinan terdapat pada spesies ini yang memunculkan sub spesies baru. Tujuan penelitian
ini adalah mendata dimorfisme kupu-kupu Sayap Burung endemik Papua yang telah tersimpan di
Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP)Jayapura. Metode yang digunakan adalah
pengukuran langsung pada morfologi spesimen kupu-kupu sayap burung yang tersimpan di
Laboratorium KSP. Data morfometri dianalisis menggunakan program SPSS 20 dan MVSP 3.1
(Multi Variate Statistical Package). Hasil yang diperoleh adalah terdapat 7 spesies Ornithoptera
yang tersimpan di Laboratorium KSP Jayapura, yaitu O.chiamera, O. goliath, O. meridionalis,
O. paradise, O.priamus, O. thitonus dan O. rothschildi. Berdasarkan pengamatan terdapat
perbedaan menyolok warna, bentuk dan ukuran antara jantan dan betina pada spesies yang sama.
Kata kunci: Kupu –kupu sayap burung, Ornithoptera spp., KSP Jayapura, dimorfisme
1. PENDAHULUAN
Ornitophera spp. dikenal kupu-kupu sayap burung merupakan salah satu kupu-kupu endemik
Papua dan Papua Barat. Kupu – kupu sayap burung ini dilindungi berdasarkan Peraturan
Pemerintah no. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menurut laman
resmi IUCN, status kupu-kupu ini belum mengawatirkan atau Least Concern.
Kupu-kupu Ornitophera ditemukan di berbagai daerah di Papua seperti Yapen Waropen,
Mamberamo, Timika, Sarmi dan Jayapura (Supriyanto, 1997; Van Mastrigt dan Rosariyanto,
2005). Sedangkan di Pegunungan Arfak (Papua Barat) terdapat sub spesies kupu-kupu ini
O.paradisea arfakensis (Van Mastrigt dkk, 2010). Keadaan geografis yang berbeda-beda pada
berbagai wilayah kemungkinan dapat menyebabkan keragaman pada suatu spesies.Perbedaan
karakteristik morfologi dan fisiologi yang dimiliki oleh suatu spesies juga terkadang berbeda jika
spesies tersebut ditemukanpada area yang terpisah oleh jarak yang jauh. Karakteristik morfologi
merupakan sumber informasi yang penting bagi kebanyakan wilayah kajian biologi, termasuk di
dalamnya sistematika dan taxonomi. Suatu spesies seringkali dapat diidentifikasi daerah asalnya
berdasarkan kekhasan morfologinya.
Berdasarkan hasil koleksi spesimen di Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP) Jayapura,
terdapat beberapa spesies kupu-kupu sayap burung dari berbagai lokasi di Papua. Variasi
dimorfisme kemungkinan terdapat pada spesies ini. Hal ini perlu dibuktikan dengan pengukuran
karakter menggunakan uji yang berkaitan. Oleh karena itu, penelitian mengenai analisis variasi
dimorfisme kupu-kupu Sayap Burung perlu dilakukan.
224
2. BAHANDANMETODE
Penelitian telah berlangsung selama empat bulan dari bulan Juni sampai dengan bulan September
2018. Populasi dalam penelitian ini adalah semua spesimen kupu-kupu Ornithoptera yang
tersimpan di Laboratorium Koleksi Serangga Papua, FMIPA UNCEN sedangkan sampelnya
adalah spesimen kupu-kupu Ornithoptera yang bentuk sayapnya sempurna.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur berupa jangka sorong, lembar
data, alat tulis, dan kamera digital. Perangkat lunak MVSP 3.1 atau Multi Variate Statistical
Package digunakan untuk menyajikan dendogram jarak minimum ketidakserupaan morfometri
(Kovack, 2007).Penelitian ini menggunakan metode pengukuran langsung pada morfologi
spesimen kupu-kupu O. paradisea tersimpan di Laboratorium KSP.
Prosedur Kerja
Pengukuran standar yang biasa dilakukan untuk kupu-kupu meliputi pengukuran panjang kepala,
panjang thorak, panjang abdomen, panjang antena, panjang sayap dan lebar sayap (Mastrigt dan
Warikar, 2013). Selain karakter standar yang berupa ukuran tubuh dilakukan juga pengukuran
terhadap venasi sayap (Gambar 1).
Gambar 1. Karakter Morfologi yang diukur (Lemauk, 2003; dalamMakhzuni dkk, 2013) (Sumber
Foto: www.nmr-pics.nl dan en.butterflycorner.net)
Analisis Data
Karakter morfometri dibuat data biner untuk analisis clutering. Matriks data biner morfometri
yang diperoleh disimpan dalam program Excell 2007. Data morfometri dianalisis menggunakan
program SPSS 20 untuk menentukan persamaan regresi linier dan signifikansi parameter
(Makhzuni dkk, 2013). Analisis clustering menggunakan metode UPGMA (unweighted pair
group with arithmetic average) melalui bantuan program MVSP 3.1 (Multi Variate Statistical
Package) (Kovack, 2007).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Sampel Kupu-Kupu Sayap Burung Ornithoptera spp.
Identifikasi sampel kupu-kupu sayap burung Ornithoptera spp. dilakukan dengan mempelajari
karakter morfologi berdasarkan Parsons (1999). Tujuan identifikasi adalah memperoleh data
karakter pembeda antar spesies kupu-kupu. Kupu-kupu sayap burung termasuk dalam Filum
225
Arthropoda karena memiliki kaki yang beruas-beruas; anggota Ordo Lepidoptera karena struktur
sayap serangga dewasa seperti sisik halus yang mudah terlepas (Gambar 2). Kupu-kupu
Ornithoptera termasuk Famili Papilionidae karena kebanyakan anggota famili ini memiliki sayap
besar dan beranekaragam (polimorfisme). Kelompok kupu-kupu ini memiliki sayap besar
menyerupai sayap burungjadi dikelompokkan pada Genus Ornithoptera.
Gambar 2. Struktur sayap Ornithoptera spp. seperti sisik yang mudah terlepas
Berdasarkan data sampel yang tersimpan di Laboratorium Kelompok Entomologi Papua terdapat
7 spesies kupu-kupu Ornithoptera, yaitu O. chiamera (Rothschild, 1904), O. goliath (Oberthur,
1888), O. meridionalis (Rothschild, 1897), O.paradisea (Staudinger, 1893), O. priamus
(Linnaeus, 1758), O. rothschildi (Kenrick, 1911)dan O. thitonus (De Haan, 1841). Ciri khusus
masing-masing spesies terletak pada morfologi sayapnya (Gambar 3).
O. chiamera jantan O. chiamera betina
O. goliath jantan O. goliath betina
226
O. meridionalis jantan O. meridionalis betina
O. paradisea jantan O.paradisea betina
O.priamus jantan O.priamus betina
O. rothschildi jantan O. rothschildi betina
O. thitonus jantan O. thitonus betina
Gambar 3. Morfologi sayap tujuh spesies Ornithoptera
227
Rentang sayap O.meridionalis terkecil di antara anggota genus lainnya yaitu, jantan 58 – 99 mm
dan betina 69 – 124 mm. Ciri khusus O.meridionalis jantan adalah warna sayap depan garis
kuning hitam, sayap belakang jantan agak mereduksi, berbentuk tetragonal dan berwarna kuning.
Pada bagian ujung sayap belakang terdapat sepasang “cell” memanjang berbentuk seperti ekor
filament yang mudah rusak. Sayap depan dan belakang betina berwarna cokelat tua dengan motif
warna abu-abu.
O.paradisea memiliki rentang sayap jantan 75 – 125 mm dan betina 100 – 170 mm.O.paradisea
jantan memiliki sayap depan berwarna hijau hitam dan terdapat bulatan hitan. Sayap belakang
perpaduan warna hijau, hitam dan kuning keemasan. Ujung sayap belakang terdapat ekor filament
yang memanjang. Sayap betina berwarna cokelat tua dengan perpaduan abu – abu. Sayap
belakang betina terdapat perpaduan warna cokelat muda dan pada lateral abdomen berwarna
merah.
O.chiamera jantan 80 – 145 mm dan betina 95 – 160 mm. sayap kupu – kupu jantan berwarna
hitam kuning kehijauan. Terdapat dua bulatan warna hitam pada sayap depan dan belakang. Sayap
betina berwarna cokelat tua perpaduan dengan abu – abu.
Rentang sayap O.priamus jantan 80 – 140 mm dan betina 98 – 180 mm. sayap jantan warna hijau
hitam sedangkan sayap betina warna cokelat tua dengan perpaduan abu – abu. O.thitonus jantan
berwarna hitam hijau dengan perpaduan kuning, sedangkan betina warna cokelat tua abu - abu.
Pada lateral sayap belakang jantan terdapat rambut – rambut. Rentang sayap O.goliath jantan 91
– 147 mm dan betina 110 – 147 mm. Sayap kupu – kupu jantan warna hitam dan kuning kehijauan,
sedangkan betina cokelat tua dengan sayap belakang terdapat warna kuning kecokelatan. Rentang
sayap O. rothschildi jantan70 – 90 mm, sedangkan betina 100 – 150 mm. Sayap jantan warna
hitam dan kuning. Sayap betina warna cokelat tua dengan sayap belakang perpaduan warna
cokelat muda kuning dan abu – abu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi
bahwa 7 spesies Ornithoptera yang tersimpan di laboratorium KSP termasuk dalam spesies yang
dilindungi secara nasional. Menurut Collins dan Morris (1985) dan IUCN (2018) bahwa 5 spesies
kupu – kupu yang terdapat di laboratorium KSP yang dilindungi secara internasional adalah
O.meridionalis termasuk kategori “Vulnerable (V)”, O.paradisea, O.chiamera dan O. rothschildi
termasuk kategori “Indeterminate (I)” sedangkanO.thitonus dalam kategori “Insufficiently
Known (K)”. menungkapkan suatu spesies dikelompokkan dalam kategori Interminate (I) jika
spesies tersebut diketahui terancam punah, rentan atau langka namun belum cukup informasi
pendukung tentang spesies tersebut. Insufficiently Known (K) jika suatu spesies yang
diprediksikan terancam namun belum dapat digolongkan pada kategori terancam punah, rentan
atau langka karena kekurangan informasi ilmiah mengenai spesies tersebut. Vulnerable (V)
apabila suatu spesies sedang mengalami kepunahan akibat berbagai faktor seperti eksploitasi
berlebihan dan degradasi lahan.
Penyebaran Kupu-Kupu Sayap Burung di Papua
Penyebaran kupu – kupu sayap burung di wilayah Papua mulai dari dataran rendah sampai dataran
tinggi. O. chiamera, O. meridionalis menyebar luas di daerah pegunungan Papua (1.000 – 4.000
mdpl). Penyebaran O.goliath,O. paradisea dan O.priamus mulai dari wilayah Mamberamo
sampai Pegunungan Cyclops. O.goliath dan O. paradisea ditemukandidataran rendah sampai
pegunungan (200 – 1.200 mdpl). O.priamus menyebar luas di Papua mulai 0 – 1.000 mdpl.
O.thitonus dan O.rothschildi menyebar di dataran tinggi 20.000 – 2.700 mdpl.
Morfometri Sampel Kupu-Kupu Sayap Burung Ornithoptera spp.
Karakterisasi morfometri merupakan suatu teknik sederhana untuk membedakan bentuk tubuh
anggota genus Ornithoptera spp. Karakter morfometri yang digunakan sebagai acuan pembeda
228
pengamatan sampel adalah rasio rerata panjang dan lebar sayap depan serta sayap belakang; cell
sayap depan dan belakang (Makhzuni dkk, 2013 dengan modifikasi). Pengukuran sampel pada
morfologi kupu – kupu lainnya seperti, antena, kepala, kaki dan abdomen tidak memungkinkan
karena sampel telah kaku dan rapuh. Penggunaan alat ukur seperti jangka sorong atau penggaris
dapat menyebabkan kerusakan pada sampel kupu – kupu tersebut. Oleh karena itu, metode yang
digunakan adalah penambahan pengukuran foto sampel dengan bantuan software CorelDRAW
X7. Keunggulan software ini dapat menampilkan ukuran dimensi gambar yang proposional
sehingga mampu memperkirakan rasio objek sesuai aslinya (CorelDRAW, 2014). Hasil pengujian
terhadap 7 spesies anggota genus Ornithoptera jantan dan betina berjumlah 70 individu, dengan
38 karakter yang diamati.
Berdasarkan Tabel 1 bahwa hasil morfometri menunjukkan bahwa ukuran panjang sayap
O.chiamera jantan lebih kecil (rata – rata 58 mm) dibanding spesies lainnya. sedangkan ukuran
sayap O. chiamera betina lebih besar (rata – rata 201 mm) dibandingkan spesies lainnya. Rasio
rerata panjang sayap depan dan lebar sayap depan O. Chiamera dan O.goliath sama, tampak
bahwa rasio pada spesies lainnya lebih bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena adanya variasi
ukuransayap jantan dan betina pada semua spesies Ornithoptera. Fungsi sayap sebagai salah satu
alat mobilisasi dan pertahanan diri kupu kupu dari berbagai musuhnya.
Tabel 1. Morfometri dasar Ornithoptera spp.
Morfometri O.rothschildi O.thitonus O. chiamera O. goliath O.
meridionalis
O.
paradisea O. priamus
Panjang
sayap depan
(mm)
102,34±8,79
(87,68-
110,61)
98,71±1,57
(89,34-
108,75)
116,49±32,65
(58,57-
201,26)
100,95±6,01
(94,48-
111,90)
101,37±8,19
(94,03-
122,42)
101,19±0,37
(95,16-
110,50)
106,68±0,19
(90,22-
116,65)
Panjang
sayap
belakang
(mm)
60,23±8,94
(48,91-
71,25)
61,14±1,97
(52,04-
68,45)
75,94±24,07
(33,85-
135,32)
61,13±11,21
(47,14-
73,89)
57,15±6,24
(48,57-
67,24)
55,80±6,30
(43,47-
62,19)
57,23±7,52
(46,05-75,08)
Lebar sayap
depan (mm)
54,71±7,50
(48,86-
62,11)
54,48±0,89
(46,25-
60,73)
69,37±23,66
(32,51-
137,07)
57,08±2,42
(51,96-
62,39)
53,65±3,99
(48,47-
60,81)
50,36±3,55
(45,20-
55,33)
57,36±0,83
(48,63-63,35)
Lebar sayap
belakang
(mm)
44,50±10,48
(32,99-
54,35)
40,75±0,01
(36,50-
46,25)
58,14±27,46
(21,43-
133,22)
43, 72±2,28
(36,34-
52,16)
33,70±5,70
(26,25-
41,25)
34,32±7,51
(25,16-
42,25)
48,97±6,23
(40,10-59,02)
Cell sayap
depan
51,36±3,60
(48,27-
55,59)
49,87±2,05
(34,58-
58,78)
54,12±6,29
(31,04-98,02)
51,56±0,55
(47,68-
54,96)
53,01±5,61
(41,57-
60,05)
49,45±0,99
(46,23-
57,24)
52,65±0,34
(43,48-59,57)
Cell sayap
belakang
31,11±2,15
(27,56-
33,57)
32,50±2,68
(25,09-
40,84)
35,32±6,29
(18,62-64,13)
32,50±0,20
(29,76-
35,82)
28,76±3,37
(21,34-
31,70)
27,40±2,42
(23,98-
31,98)
29,70±2,95
(27,40-2,42)
Rasio rerata
panjang
sayap depan:
rerata lebar
sayap depan
1 : 1,88 1 : 1,82 1 : 1,78 1 : 1,78 1 : 1,89 1 : 2,02 1 : 1,86
Rasio rerata
panjang
sayap depan:
rerata lebar
sayap
belakang
1 : 1,71 1 : 1,62 1 : 2,47 1 : 1,67 1 : 1,79 1 : 1,83 1 : 1,89
229
Rasio rerata
panjang
sayap
belakang:
rerata lebar
sayap
belakang
1 : 1,37 1 : 1,13 1 : 1,54 1 : 1,40 1 : 1,73 1 : 1,66 1 : 1,17
Rasio rerata
cell sayap
depan: rerata
cell sayap
belakang
1 : 1,65 1 : 1,54 1 : 1,56 1 : 1,59 1 : 1,85 1 : 1, 81 1 : 1,78
Karakter morfologi yang banyak mengalami variasi adalah bagian cell dan venasi sayap. Variasi
ini juga mempengaruhi ukuran dan bentuk sayap terutama sayap belakang, contoh pada O.goliath
dan O.meridionalis jantan. (Gambar 4). Sayap merupakan organ yang terpenting bagi pergerakan
kupu-kupu berupa selaput tipisdan dilengkapi dengan vena-vena (tail) sehingga memperkuat
melekatnya sayap pada toraks.
Gambar 4. Variasi sayap belakang O.goliath dan O.meridionalis jantan
Analisis Variasi Genetik Berdasarkan Morfologi
Karakter morfologi didasarkan pada hereditas Mendel sederhana, seperti bentuk, warna, ukuran
dan berat (Bateson, 2007), maka perbedaan morfologi yang dimiliki antar spesies dijadikan
identifikasi polimorfisme. Dendogram similaritas berdasarkan 38 karakter morfologi
menunjukkan bahwa secara umum persentase kemiripan antara ketujuh spesies lebih dari 40%
(Gambar 5). Kemiripan ketujuh spesies pada bentuk sayap sayap depan. Sedangkan perbedaan
terlihat pada ukuran dan warna kedua jenis sayap. Sayap belakang terdapat variasi tail
memanjang, gerigi dan berambut.
Anggota dari genus Ornithoptera jantan dan betina memperlihatkan perbedaan yang signifikan.
Banyaknya karakter morfologi yang mengungkapkan berbagai perbedaan secara signifikan,
mengindikasikan bahwa telah terjadi diferensiasi morfologi yang cukup tinggi.
230
Gambar 5. Dendogram Ornithoptera spp.jantan (a) dan betina (b) berdasarkan karakter
morfologi yang dianalisis dengan cluster UPGMA.
Hal ini dapat dilihat pada pola fenogram kekerabatan fenetik anggota genus Ornithoptera jantan
dan betina (Gambar 5) yang memperlihatkan pengelompokkan antar spesies berdasarkan 38
karakter morfometri. Pada gambar tersebut diketahui bahwa Ornithoptera spp. betina dan jantan
sama-sama terdiferensiasi menjadi dua cluster. Pada dendogram jantan (gambar 5a) cluster
pertama terdiri dari O. priamus, cluster kedua adalah O.thitonus, O.meridionalis, O.paradisea,
O.chiamera, O.goliath dan O.rothschildi. Pemisahan genus Ornithoptera yang ditunjukkan pada
dendogram yang dibuat berdasarkan 38 karakter morfologi ini dengan menggunakan analisis
cluster UPGMA, hasil pengelompokkannya juga sangat relevan dengan yang diperlihatkan pada
Tabel 1. Pada dendogram betina (Gambar 5b) menunjukkan perbedaan anggota cluster, cluster
pertama adalah O.chiamera sedangkan cluster kedua O. priamus, O.thitonus, O.meridionalis,
O.paradisea, O.goliath dan O.rothschildi. Persentase kemiripan terbanyak lebih dari 90%
terdapat pada spesies O.paradisea, dan O.goliath juga O.priamus dan O. meridionalis.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat dimorfisme menyolok pada ketujuh
spesies Ornithoptera pada bentuk ukuran dan warna sayap. Persamaan anggota spesies ini hanya
terletak pada bentuk sayap depan, sedangkan sayap belakang mengalami banyak modifikasi
seperti adanya ekor (tail), berambut dan adapula yang bentuk sayap bergerigi.
231
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bateson, W. 2007. Mendel’s Principles of Heredity. Cosimo Inc. New York.
[2] Brower, J.E. & J.H. Zar. 1984. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
Second Edition. Browen Publisher. USA.
[3] Breuker, C.J., M. Gibbs, Stefan Van Dongen, T. Merckx & Hans Van Dyck.2010. The
Use of Geometric Morphometrics in Studying Butterfly Wings in an Evolutionary
Ecological Context. A.M.T. Elewa (ed.), Morphometrics for Nonmorphometricians,
Lecture Notes in EarthSciences 124, DOI 10.1007/978-3-540-95853-6_12.
[4] Collins N.M dan M.G. Morris. 1985. Treatened Swallowtails Butterflies of the World
The IUCN Red Data Book. IUCN, Gland. Switzerland and Cambridge. UK.
[5] CorelDraw. 2014. CorelDraw X7 User Guide. ConceptShare Inc. Canada. US.
www.corel.com/patent.
[6] Frankham, R., J.D Ballou and D.A. Briscoe. 2002. Introduction to conservation genetics.
Cambridge University Press. New York.
[7] IUCN. 2018. The IUCN Red List of Threatened Species.http://www.iucnredlist.org
ISSN 2307-8235
[8] Kovack Computing Services. 2007. MVSP plus version 3.1 users’ manual.
KovachComputing Services. Pentraeth, Wales, U.K.
[9] Lewandowski, M., A. Sznyk & A. Bednarek. 2004. Biology and morphometry of
Lycoriella ingenua (Diptera: Sciaridae). BIOL. LETT. 2004, 41(1): 41–5
[10] Makhzuni , R., Syaifullah & Dahelmi. 2013. Variasi Morfometri Papilio polytes L.
(Lepidoptera: Papilionidae) di Beberapa Lokasi di Sumatera Barat. Jurnal Biologi
Universitas Andalas 2(1) : 50-56
[11] Novita, R. Saepudin & Sutriyono. 2013. Analisis Morfometri Lebah Madu Pekerja Apis
cerana Budidaya pada Dua Ketinggian Tempat yang Berbeda. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia 8 (1): 41-56.
[12] Padro, P. R. R., Luciano da F. Costa, E. M. Moraes, M. H. Manfrin & F. M. Sene. 2006.
Curvature Measurement as a Tool for the Analysis of Moorphometric variation
Using Drosophila Wings as a Model. Braz. J. morphol. Sci. 23(3-4), 333-342.
[13] UNEP World Conservation Monitoring Centre. 2012. Review of Butterflies from Asia
and Oceania Subject to Long Standing Positive Opinions. European Commission.
[14] van Mastrigt H., Warikar E. 2013. Buku Panduan Lapangan Kupu-kupu untuk
Wilayah Pulau-pulau Teluk Cenderawasih Terfokus pada Numfor, Supiori, Biak dan
Yapen. Kelompok Entomologi Papua. Jayapura. KEP (Kelompok Entomologi Papua).
232
SIMULASI EFEK MAGNUS PADA GERAK BENDA BERSPIN
Rahman1 dan Sudarmono2
Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Cenderawasih1,2
e-mail: [email protected]
e-mail:[email protected]
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah membuat program komputer yang memasukkan efek
magnus pada persamaan gerak parabola sehingga menghasilkan keluaran berupa lintasan benda
tersebut agar dapat diinterprestasikan gerak benda tersebut.Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode komputasi yang didasarkan pada persamaan yang memasukkan efek
magnus pada gerak parabola di dalam bidang 2 dimensi. Pemograman yang digunakan adalah
program Matlab.Hasil penelitian yang didapatkan adalah adanya pengaruh dari efek magnus
terhadap lintasan bola yaitu yang arah putaran searah jarum jam akan memperpendek lintasan
bola sedangkan yang berlawanan jarum jam akan memperpanjang lintasan bola.
Kaca kunci : Efek Magnus, Lintasan Bola, Arah Putaran Bola.
1. PENDAHULUAN
Ilmu fisika sebagai salah satu ilmu dasar sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia.
Hampir semua kegiatan manusia dapat dijelaskan dengan menggunakan ilmu fisika, salah satu
adalah pada saat kita melaksanakan kegiatan berolah raga terutama olah raga yang menggunakan
sarana bola (benda yang berbentuk bundar) diantaranya sepak bola, tenis meja (yang dikenal
dengan nama ping pong), baseball dan billyard.
Pada pertandingan sepak bola dunia, efek tendangan bola yang menghasilkan perubahan bentuk
lintasan dikenal dengan nama tendangan pisang (“banana kick”) yang sering dilakukan oleh
pemain bola asal Brasil yaitu Roberto Carlos. Roberto Carlos adalah salah satu pemain bola
dengan spesialis penendang bola mati ketika sebuah pelanggaran berada di sekitar gawang lawan
dikarena efek dari tendangan bebas yang dilakukan sering kali berbuah gol di gawang lawan.
Salah satu tendangan bebas Roberto Carlos yang fenomenal adalah tendangan bebas yang
dilakukan pada saat pertandingan kesebelasan Brasil melawan kesebelasan Perancis pada
pertandingan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1997.
Tujuan penelitian ini adalah membuat program komputer yang memasukkan efek magnus pada
persamaan gerak parabola sehingga menghasilkan keluaran berupa lintasan benda tersebut agar
dapat diinterprestasikan gerak benda tersebut.
2. DASAR TEORI
Kinematika adalah cabang dari mekanika (salah satu cabang ilmu fisika) yang mempelajari gerak
suatu benda dalam ruang dan waktu tanpa melihat penyebab gerakan benda tersebut. Secara
umum gerak sebuah benda diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu gerak translasi, gerak rotasi
dan gerak vibrasi.
Jika sebuah benda (dalam hal ini sebuah bola) yang sedang bergerak di udara dan dalam
pergerakkannya benda bergerak translasi murni dan udara di sekelilingnya memiliki koefisien
hambatan maka pada benda tersebut akan bekerja dua buah gaya yang arahnya akan menghambat
pergerakan benda.
233
Gambar 1. Gaya-gaya yang bekerja pada bola yang bergerak di udara, bola bergerak
dengan keadaan translasi murni
Pada gambar 1, bola yang bergerak di udara tidak mengalami gerak rotasi pada sumbu bola,
sehingga hanya terdapat tiga buah gaya yang bekerja pada benda yaitu gaya yang searah dengan
gerak benda, gaya hambat udara yang berlawanan dengan arah gerak benda dan gaya berat bola.
Dengan menerapkan Hukum II Newton bahwa ∑ = 𝑚, maka didapatkan persamaan gerak
benda adalah (Carre, M. J., et all, 2002)
𝐷 + 𝑊 = 𝑚𝑏 (1)
Ketika bola yang bergerak di udara juga melakukan gerak rotasi pada sumbunya dengan frekuensi
anguler (frekuensi sudut) sebesar 𝜔, maka gaya yang bekerja pada bola tersebut akan mendapat
satu tambahan gaya selain kedua gaya yang telah disebut kasus bola yang bergerak linear murni.
Gaya tambahan ini dikenal dengan nama gaya magnus atau dalam beberapa tulisan dikenal
dengan nama gaya angkat (lift force). Gaya magnus ini dihasilkan karena adanya rotasi bola
dengan kecepatan benda untuk maju ke depan. Secara skematis gaya-gaya yang bekerja pada bola
tersebut digambarkan pada gambar 2.
Gambar 2.Gaya-gaya yang bekerja pada bola yang bergerak di udara,bola bergerak
dengan keadaan translasi murni
Dengan menerapkan Hukum Newton II, maka bentuk persamaan gerak dari sistem mekanik
tersebut adalah
𝐷 + 𝑊 + 𝐿 = 𝑚𝑏 (2)
𝐷 adalah gaya yang disebabkan oleh hambatan udara yang besarnya 𝐹𝑑 =1
2𝐶𝑑𝜌𝐴𝑣
2 dan 𝐹𝐿 =
𝐶𝐿𝜌𝑑3𝑓𝑣 dengan 𝐶𝑑, 𝐶𝐿 merupakan konstanta yang berhubungan dengan hambatan udara dan
efek magnus, 𝜌 adalah massa jenis udara, 𝑣 adalah kecepatan bola, 𝐴 adalah luas penampang bola,
𝑑 adalah diameter bola dan 𝑓 adalah frekuensi putaran bola yang berhubungan dengan frekuensi
angular bola 𝜔 dengan hubungan 𝜔 = 2𝜋𝑓.
2.1. Perumusan Gaya Magnus
Persamaan gaya magnus dapat diturunkan dengan menggunakan persamaan Bernoulli. Hukum
Bernoulli yang menyatakan bahwa jumlah tekanan dan kecepatan adalah konstan di dalam aliran
fluida yang konstan.
Perhatikan gambar 3, yang merupakan visualisasi dari gerak bola yang bergerak dalam sebuah
fluida, selain melakukan gerak translasi, bola juga melakukan gerak rotasi dengan kecepatan
sudut 𝜔 dan bola memiliki jari-jari sebesar 𝑟.
234
ω
v
Aliran Fluida
vmax
vmin
Gambar 3. Gerak bola yang melakukan rotasi dalam aliran fluida
Sehingga besar kecepatan aliran udara yang mengalir di atas dan di bawah bola yang berputar
memiliki besar
𝑣𝑚𝑎𝑥 = 𝑣 + 𝜔𝑟 dan 𝑣𝑚𝑖𝑛 = 𝑣 − 𝜔𝑟 (3)
Dengan menggunakan persamaan Bernoulli,
𝑝1 +1
2𝜌(𝑣 + 𝜔𝑟)2 + 𝜌𝑔ℎ1 = 𝑝2 +
1
2𝜌(𝑣 − 𝜔𝑟)2 + 𝜌𝑔ℎ2 (4)
dengan ℎ1 = ℎ2, maka didapatkan
∆𝑝 = 1
2𝜌[(𝑣 + 𝜔𝑟)2 − (𝑣 − 𝜔𝑟)2] = 2𝜌𝜔𝑟𝑣 (5)
dengan ∆𝑝 = 𝑝1 − 𝑝2.
Dengan menggunakan definisi tekanan yaitu perbandingan antara gaya yang bekerja pada suatu
luasan (𝑝 =𝐹
𝐴), maka besar gaya yang dihasilkan oleh beda tekanan pada bola, sebesar
𝐹 = ∆𝑝𝐴 = (2𝜌𝜔𝑟𝑣)(𝜋𝑟2) = 2𝜋𝜌𝜔𝑟3𝑣 (6)
dimana 𝐴 adalah luas penampang bola yang berbentuk lingkaran. Persamaan 6 dapat ditulis dalam
bentuk vektor yaitu
= 2𝜋𝜌𝑟3( × ) (7)
Jadi besar gaya magnus sebanding (proporsional) terhadap besarnya rapat fluida, jari-jari bola,
kecepatan rotasi bola dan kecepatan translasi bola atau jika dianggap bolanya diam maka
berhubungan dengan kecepatan translasi fluida.
2.2. Persamaan Gerak Bola yang memiliki Spin
Misalkan sebuah bola ditendang ke arah kiri dengan kecepatan awal 𝑣0, sudut elevasi 𝜃 dan bola
berputar (spin) dengan frekuensi 𝑓 ke depan (searah jarum jam), sehingga kecepatan aliran udara
di bagian atas bola lebih rendah daripada di bagian bawahnya sehingga tekanan di bagian atas
lebih besar daripada di bagian bawah bola. Hal ini menyebabkan bola akan melengkung ke bawah.
Dengan menerapkan Hukum II Newton dan menambahkan adanya efek magnus akibat adanya
spin pada bola,
∑ = 𝑚
𝐹𝑙 −𝑚𝑔𝑗 = 𝑚(𝑎𝑥𝑖 + 𝑎𝑦𝑗)
𝐶𝑙𝜌𝑑3𝑓(−𝑣𝑥𝑗 + 𝑣𝑦𝑖) − 𝑚𝑔𝑗 = 𝑚(𝑎𝑥𝑖 + 𝑎𝑦𝑗) (8)
Dengan menyelesiakan persamaan 8, didapatkan
𝑥 =𝑔
𝜔𝑡 +
𝐴
𝜔sin(𝜔𝑡) +
𝑣0 sin(𝜃)
𝜔cos(𝜔𝑡) −
𝑣0 sin(𝜃)
𝜔 (9)
𝑦 = −𝐴
𝜔cos(𝜔𝑡) +
𝑣0 sin(𝜃)
𝜔sin(𝜔𝑡) +
𝐴
𝜔 (10)
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian dasar, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerapkan suatu
teori, metode atau konsep fisika dan pemograman terhadap fenomena gerak benda yang bergerak
secara translasi dan rotasi secara bersamaan.
235
Metode yang digunakan adalah metode komputasi, yaitu merumuskan permasalahan fisis menjadi
suatu program komputer dengan bahasa pemograman yang sesuai sehingga mendapatkan hasil
yang dapat menggambarkan fenomena tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai masukkan awal untuk simulasi yang dilakukan pada persamaan efek magnus adalah sebagai
berikut
Nilai percepatan gravitasi bumi (g) = 10 m/s2
Nilai koefisien magnus (Cl) = 1.23
Nilai rapat udara (ρ) = 1,2 kg/m3
Massa bola (m) = 0,43 kg
Diameter bola (d) = 0,22 m
Kecepatan awal bola (𝑣0) = 30 m/s
Sudut elevasi = 300
Kasus 1, Bola tidak berotasi dengan f = 0 putaran/detik.
Hasil simulasi yang didapatkan diberikan pada gambar 4
Gambar 4. Tampilan grafik untuk kasus bola yang tidak berotasi
Dari grafik pada gambar 4 terlihat bahwa bentuk lintasan dari gerak yang frekuensi putarannya
bernilai 0 membentuk lintasan parabola, dan tidak terlihat efek magnusnya.
Dari grafik terlihat bahwa bentuk lintasan berupa parabola dengan tinggi maksimum bola berada
pada nilai antara 10 sampai 12 meter dan jarak maksimum bola berada dekat dengan nilai 80
meter. Sedangkan nilai hasil perhitungan teoritis tinggi maksimum 11,25 meter dan jarak
maksimum yang dicapai 77,94 meter. Dari hasil analitik dan numerik terlihat menghasilkan hasil
yang sama.
Bola berotasi searah jarum jam
Hasil simulasi yang didapatkan diberikan pada gambar 5
236
(a) Frekuensi 1 (b) Frekuensi 5 (c) Frekuensi 10
Gambar 5. Tampilan grafik untuk kasus berotasi searah jarum jam
Dari ketiga grafik terlihat bahwa pengaruh dari putaran yang diberikan kepada bola yang searah
jarum jam mengakibatkan memendeknya lintasan yang dapat ditempuh oleh gerak parabola dan
menurunnya tinggi maksimum yang dapat dicapai oleh gerak parabola. Pada setiap gambar
diberikan pembandinga berupa lintasan gerak parabola yang tidak diberikan efek magnus, yang
diwakili oleh lintasan parabola yang berwarna biru.
Pada awalnya kedua grafik berimpit tetapi setelah benda berada di jarak sekitar 10 – 20 meter dan
ketinggian 6 – 8 meter kedua grafik berpisah. Untuk lintasan yang berwarna biru tetap
menghasilkan lintasan seperti pada kasus 1 yaitu bola tidak berotasi sedangkan lintasan yang
berwarna merah memiliki nilai yang lebih kecil. Pada lintasan berwarna merah ketinggian
maksimum yang dapat dicapai berada pada kisaran nilai 8 – 10 meter dan jangkauan maksimum
berada dikisaran nilai 70 an meter.
Untuk waktu awal efek magnus belum berpengaruh terhadap gerak bola tetapi dengan
bertambahnya waktu maka efek magnus akan memberikan dampak yaitu membuat bola memiliki
percepatan yang lebih besar dari percepatan gravitasi bumi sehingga lintasannya menjadi lebih
pendek dan lebih rendah.
Bola berotasi berlawanan arah jarum jam
(a) Frekuensi 1 (b) Frekuensi 5 (c) Frekuensi 10
Gambar 6.Tampilan grafik untuk kasus berotasi berlawanan arah jarum jam
Dengan adanya putaran bola yang berlawanan arah dengan arah jarum jam menyebabkan
timbulnya gaya magnus dengan arah ke atas yang berlawanan dengan arah gaya berat bola
sehingga nilai percepatan benda ke arah sumbu y mengecil dibandingkan dengan nilai percepatan
gravitasi bumi sehingga memperlambat turunnya bola.
Adanya putaran bola yang berlawanan arah dengan arah jarum jam menyebabkan timbulnya gaya
magnus dengan arah ke atas yang berlawanan dengan arah gaya berat bola sehingga nilai
percepatan benda ke arah sumbu y mengecil dibandingkan dengan nilai percepatan gravitasi bumi
sehingga memperlambat turunnya bola.
Pada gambar 6, memperlihatkan bahwa jangkauan maksimum yang dapat dicapai lintasan bola
yang ada pengaruh efek magnusnya bernilai hampir mendekati 180 meter, sedangkan yang tidak
terdapat efek magnus hanya sekitar 80 meter. Jangkau maksimum bernilai lebih dua kali lipat dari
jangkau maksimum yang dapat dicapai oleh kasus tanpa efek magnus atau gerak parabola murni.
Tidak nampaknya penurunan ketinggian dari lintasan bola disebabkan nilai percepatan yang
arahnya ke bawah sangat kecil sehingga bola akan lama untuk mencapai tinggi maksimum dan
akan mengalami penurunan.
237
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa
1. Program yang dibuat berdasarkan hasil analisis dari gerak parabola yang diberikan efek
magnus.
2. Dari analisis terhadap grafik yang dihasilkan oleh program yang dibuat didapatkan bahwa
efek magnus akibat rotasi bola searah jarum jam akan membuat lintasan dan tinggi
maksimum bola semakin kecil sedangkan untuk arah rotasi yang berlawanan arah jarum
jam akan memperpanjang jangkauan dan meningkatkan tinggi maksimum bola yang dapat
dicapai.
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas
Cenderawasih yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alan M. Nathan, The effect of spin on the flight of a baseball, Am. J. Phys., Vol. 76, No. 2,
February 2008
[2] Benson, H., 1991, University Physics, John Wiley and Sons Inc, New York.
[3] Carre, M. J., et all, The curve kick of a football II: flight through the air, Journal Sports
Engineering Volume 5, 193–200, Blackwell Science Ltd.
[4] Crespo da Silva, 2004, Intermediate Dynamics : Complemented with Simulations and
Animations, McGraw Hill, printed in Singapore.
[5] Cayzac, R., et all, Magnus effect: Physical Origin and Numerical Prediction, Journal of
Applied Mechanics , American Society of Mechanical Engineers, September 2011.
[6] Dianto, Analisis Lintasan Gerak Bola yang Memiliki Spin dalam Permainan Sepak bola”,
Proseding Seminar Fisika 2011, UniveristasNegeri Surabaya.
[7] Halliday, D., R. Resnick, J. Walker, 2001, Fundamentals of Physics Extended, Sixth Edition,
John Wiley and Sons Inc, New York.