Peran Indonesia di ASEAN
-
Upload
ryan-ananta -
Category
Documents
-
view
3.629 -
download
6
description
Transcript of Peran Indonesia di ASEAN
TINJAUAN TERHADAP PERAN INDONESIA DALAM INTEGRASI
ASEAN
II.1 Tinjauan Sejarah Peran Indonesia Dalam Proses Pembentukan ASEAN
Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) merupakan suatu
kerjasama regional yang didirikan oleh lima negara Asia Tenggara (Filipina,
Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand) berdasarkan suatu kesepakatan
bersama pada tanggal 8 Agustus 1967, The ASEAN Declaration atau yang dikenal
sebagai Deklarasi Bangkok 1967. Salah satu butir pertimbangan negara-negara
ASEAN menyepakati ASEAN dalam Deklarasi Bangkok adalah : 1
“Menimbang bahwa negara-negara di Asia Tenggara mengedepankan penguatan ekonomi dan stabilitas sosial di kawasan untuk menciptakan perdamaian dan kemajuan pembangunan nasional...”
Dengan demikian, ide pembentukan awal ASEAN lebih mengarah kepada
tujuan politik dan keamanan kawasan melalui kerjasama ekonomi dan sosial
budaya. Pembentukan ASEAN merupakan hasil dari penghentian konfrontasi
antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1966, yang mematangkan ide tentang
kerjasama regional Asia Tenggara. Pembentukan ini merupakan hasil reaksi atas
ketidakpastian dampak perang Vietnam, dan adanya kebutuhan bagi negara-
negara non-komunis Asia Tenggara agar dapat rukun dalam rangka menghadapi
kemungkinan penarikan mundur Amerika Serikat di kawasan.2
1 “The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration), Bangkok 8 August 1967”, diunduh dari http://www.aseansec.org/1212.htm , tanggal 30 Juli 2010 pukul 10.06 WIB.2 Jusuf Wanandi, “ASEAN’s Past and the Challenges Ahead: Aspects of Politics and Security”, dalam Tay, Estanislao, Soesastro (eds), A New ASEAN In A New Millennium (Jakarta dan Singapore: CSIS dan SIIA, 2000), hal. 25.
18
Politik konfrontasi dijalankan Indonesia dibawah masa pemerintahan
Presiden Soekarno yang memandang Malaysia sebagai negara neo-kolonial
ciptaan kolonial Inggris. Soeharto menghentikan politik konfrontasi setelah
Soeharto mengambil alih posisi Soekarno pada tahun 1967. Manuver kebijakan
Presiden Soeharto justru mendukung kerjasama regional dan demi pembangunan
ekonomi nasional untuk mengikuti rekonsiliasi regional.3
Pasca berakhirnya politik konfrontasi, Thailand yang merupakan negara
yang bersikap netral, berinisiatif untuk mempertemukan negara-negara yang
berkonflik, terutama Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok. Meskipun
Thailand berupaya menciptakan rekonsiliasi regional Asia Tenggara tetapi
Indonesia yang menjadi pemain kunci atas pembentukan ASEAN. Melalui Adam
Malik, yang pada saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri dan Menteri
Luar Negeri Indonesia, diplomasi bermula saat Indonesia melakukan perundingan
menormalkan hubungan bilateral dengan Malaysia pasca konfrontasi.
Sebuah proses awal rekonsiliasi antara Indonesia dan Malaysia adalah
dengan melakukan kerjasama regional untuk mencegah konfrontasi di masa
depan. Kerjasama regional pertama kali didiskusikan pada tahun 1966 ketika
Deputi Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, Adam Malik dan Menteri
Luar Negeri Thailand, Thanat Khoman, menyelenggarakan perundingan di
Bangkok dalam rangka normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Meskipun
tidak terlibat secara langsung, Soeharto mempengaruhi negosiasi tersebut dengan
3Aziz Tamit, “Association of Southeast Asia Nation (ASEAN) A Security Organisation In Need of Reform”, Canadian Force College, NSSC8/CESN8, 2008, hal 8-9.
19
mendukung politik luar negeri yang pragmatis berdasarkan kerjasama regional
dan pembangunan ekonomi nasional.4
Diplomasi berlanjut ketika terdapat kedekatan dan kesamaan visi dan misi
antara Adam Malik dan Thanat Khoman yang berkolaborasi menghasilkan sebuah
pandangan mengenai organisasi regional baru menggantikan organisasi trilateral
Asia Tenggara yang telah pernah ada sebelumnya, Association of Southeast Asia
(ASA) tahun 1961 dengan anggota Filipina, Malaysia, dan Thailand serta
Konfederasi Malaysia, Filipina dan Indonesia yang tergabung dalam
MAPHILINDO pada tahun 1963. Organisasi regional baru yang dibentuk untuk
Indonesia, semenjak Indonesia menolak bergabung dalam ASA dan menilai ASA
sebagai organisasi blok barat (Western-aligned Organization).5 Organisasi
regional baru tersebut yang dikenal dengan nama ASEAN, nama tersebut
merupakan hasil usulan Adam Malik pada saat menjelang persetujuan final draft
Deklarasi Bangkok.
Setelah ASEAN disepakati pada tanggal 8 Agustus 1967, di Bangkok,
motivasi Indonesia di ASEAN tidak hanya berlandaskan pada rekonsiliasi
regional seperti yang tertuang dalam ketujuh butir maksud dan tujuan dalam
Deklarasi Bangkok. Ketujuh maksud dan tujuan ASEAN yang tertuang dalam
Deklarasi Bangkok, adalah :6
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh
4 Ralf Emmers, Cooperative Security and The Balance of Power in ASEAN and The ARF (London: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 12.5 Ibid., hal. 13.6 ASEAN Secretariat, The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) 8 August 1967, dalam Dirjen Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang 2007(Jakarta: DEPLU RI, 2007), hal. 160.
20
landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai;
2. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
3. Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang-bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi;
4. Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi;
5. Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri, memperluas perdagangan dan pengkajian masalah-masalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup rakyat;
6. Memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara;7. Memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan berbagai
organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa.
Indonesia mempertegas tujuan ASEAN dengan mengembangkan doktrin
Ketahanan Nasional (National Resilience). Ketahanan Nasional yang dimaksud
oleh Indonesia dengan mengembangkan kemampuan nasional untuk mengatasi
dan mempertahankan negara dari segala bentuk tantangan atau ancaman bahkan
berjuang untuk mencapai tujuan nasional, melalui pembuatan keputusan secara
rasional. Hal ini merupakan kemampuan nasional untuk mengintegrasikan setiap
komponen dari eksistensi sebuah negara, ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya
dan pertahanan serta keamanan menjadi kekuatan komprehensif.7 Ketahanan
Nasional merupakan konseptualisasi yang berlandaskan pada pengalaman sejarah
Indonesia selama perjuangan kemerdekaan dan pasca kemerdekaan dimana setiap
ancaman dan gangguan yang terwujud dalam gangguan domestik hanya bisa
diselesaikan oleh Indonesia sendiri tanpa bantuan dari luar.8
7 Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro (eds), ASEAN’s Quest For A Full-Fledged Community (Jakarta: CSIS, 2007), hal. 23.8 Ibid., hal. 24.
21
Berangkat dari pemahaman tersebut, Indonesia berkeinginan untuk
membangun kemampuan bersama diantara masyarakat Asia Tenggara untuk dapat
mengurus masa depan tanpa keterlibatan kepentingan asing luar kawasan.
Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Adam Malik secara formal
memperkenalkan doktrin Ketahanan Nasional pada saat pelaksanaan ASEAN
Ministerial Meeting (AMM) ke-5 di Singapura, tanggal 13-14 April 1972, yang
sebelumnya telah didiskusikan pada tingkatan pertemuan pejabat tinggi ASEAN
bulan November tahun 1971.
Pada AMM tahun 1972 di Singapura, Indonesia juga menyampaikan
makalah berjudul A Refection untuk mengajak anggota lainnya melakukan
evaluasi terhadap program kerjasama ekonomi pada pertemuan sebelumnya.
Program kerjasama ekonomi yang sebelumnya terbentuk berkaitan dengan
kerjasama sektoral atau fungsional di beberapa bidang, yaitu produksi pangan,
komunikasi, pelayaran, penerbangan dan turisme. Sebagai kelanjutannya, ASEAN
menetapkan suatu kriteria bagi proyek-proyek ASEAN, yaitu yang cepat
memberikan hasil, yang dapat dinikmati semua anggota dan yang memerlukan
pembiayaan yang tidak besar. Maka proyek kerjasama ekonomi ASEAN
cenderung merupakan proyek-proyek kecil.9
Ini menunjukan bahwa perhatian Indonesia tidak hanya pada kerjasama di
bidang politik keamanan, namun kerjasama di bidang ekonomi juga menjadi
perhatian Indonesia, meskipun awal kerjasama ekonomi ASEAN masih berada di
permukaan. Indikasi seperti ini sejalan dengan Deklarasi Bangkok yang
9 Hadi Soesastro, “Dari Perdagangan Bebas Menjadi Pasar Tunggal ASEAN”, dalam Analisis CSIS: Capaian Setelah 10 Tahun Reformasi: Tinjauan Bidang Ekonomi, Vol.36, No.3 (Jakarta: CSIS, September 2007), hal. 311.
22
menempatkan tujuan ASEAN lebih bersifat kerjasama regional di bidang ekonomi
dan sosial budaya pada urutan pertama dari tujuh butir tujuan ASEAN. Pencitraan
seperti ini disebabkan karena hubungan antar anggota ASEAN masih diselimuti
rasa kecurigaan akibat dari keberadaan konflik dan sengketa pada masa silam
seperti; konfrontasi Indonesia terhadap Malayasia, sengketa Sabah oleh Malaysia-
Filipina, Mundurnya Singapura dari Federasi Malaysia. Faktor eksternal yang
menimbulkan kecurigaan tinggi adalah ekspansi negara-negara komunis, dengan
keterlibatan Uni Soviet dan China dalam eskalasi perang Vietnam dengan
Amerika Serikat. Kecurigaan ini yang mendorong negara-negara ASEAN untuk
bersifat netral dalam berbagai pengaruh perang dingin di kawasan. Puncaknya,
pada 27 November 1971, disepakati Deklarasi Kuala Lumpur melalui pertemuan
Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia. Deklarasi ini
dikenal sebagai Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) yang intinya
mendukung usulan Tun Ismail, delegasi dari Malaysia, dengan tujuan mencapai
netralisasi Asia Tenggara yang terbebas dari pengaruh-pengaruh kekuatan
eksternal. Meskipun terdapat kontradiksi yang terjadi di dalam internal ASEAN
mengenai konsep ZOPFAN, bahwa Singapura, Thailand dan Filipina lebih
menekankan jaringan kekuatan keamanan dari eksternal yang menjamin
keamanan kawasan yang berlawanan dengan pandangan Indonesia dan Malaysia
yang mendukung autonomi di kawasan Asia Tenggara dengan bersifat netral.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pertama kali diselenggarakan
dilatar belakangi oleh lingkungan politik yang baru dimana kekuatan Amerika
Serikat menyatakan mundur dari Vietnam pada tahun 1973 dan pengambil alihan
23
Phnom Penh, Kamboja dan Saigon, Vietnam bulan April 1975 oleh kekuatan
Komunis dan Laos pada akhir tahun yang sama. Kesuksesan revolusi komunis
mengejutkan negara-negara ASEAN.10 Di sela-sela pertemuan tersebut, Presiden
Soeharto menyampaikan sebuah konsep Ketahanan Nasional yang ditujukan
untuk negara-negara anggota lain sebagai langkah mengantisipasi kekuatan asing
yang mencoba mendominasi kawasan.11 Indonesia menginginkan agar dalam
jangka panjang, terdapat suatu kemampuan bersama di antara bangsa-bangsa di
Asia Tenggara untuk mengurus masa depannya sendiri dan tidak membiarkan itu
dicampuri oleh kepentingan lain dari luar kawasan. Dengan adanya ketahanan
nasional oleh masing-masing negara anggota ASEAN, maka tercipta ketahanan
kolektif yang dirumuskan Indonesia sebagai Ketahanan Regional.12 Konsep
Ketahanan Nasional yang membentuk Ketahanan Regional tidak hanya terfokus
pada suatu bidang tertentu, melainkan meliputi keseluruhan bidang yang
menyangkut kehidupan masyarakat. Indonesia melihat bahwa pencapaian
ketahanan regional ini membutuhkan tiga syarat, yaitu (i) pembinaan ketahanan
nasional masing-masing, (ii) pembentukan common platform untuk
mengembangkan mutual interest menjadi identitas regional, dan (iii) mekanisme
penyelesaian sengketa antar negara secara damai.13
Sebagai bentuk respon Indonesia terhadap kekuatan eksternal di Asia
Tenggara tersebut, dalam persiapan pelaksanaan KTT ASEAN ke-1 di Bali tahun
10 Ralf Emmers, op. cit., hal. 18.11 Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro (eds), op. cit., hal.25.12 Igor Herlisrianto, “Tinjauan Terhadap Aspek Politik Dan Keamanan Dalam Kerjasama ASEAN”, diunduh dari http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126157-SK-HI%20008%202008%20Her%20f%20-%20Faktor-faktor%20-%20Analisis.pdf, tanggal 11 Mei 2010, hal. 34.13 Ibid.
24
1976, Indonesia menyarankan dalam sebuah study paper membentuk sebuah
formasi untuk kerjasama keamanan dalam bentuk joint council dan melakukan
latihan militer bersama seluruh negara anggota ASEAN. Meskipun akhirnya ide
tersebut ditolak oleh pemimpin ASEAN saat pelaksanaan KTT.14 Hasil KTT
ASEAN ke-1 di Bali tahun 1976 menghasilkan dua kesepaktan: The Declaration
of ASEAN Concord (Bali Concord I) dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC)
di Asia Tenggara.15 Masing-masing negara anggota kemudian bersedia menerima
doktrin Ketahanan Nasional, sedangkan Ketahanan Regional pada akhirnya
dianggap sama dengan ketahanan kerjasama ASEAN.16 Konsep tersebut
merupakan kunci kontribusi Indonesia di ASEAN untuk melegalkan prinsip non-
interferensi, karena masing-masing negara akan melakukan pembangunan
nasional negaranya sendiri dan mengatasi gangguan yang bersifat internal,
sehingga otomatis membentuk ketahanan regional.
Bali Concord I disepakati sebagai identitas regional yang bertujuan untuk
sarana penguatan membentuk Komunitas ASEAN, berlandaskan kepada
hubungan yang saling menguntungkan, sesuai dengan prinsip persamaan
kedaulatan dan non-interferensi urusan internal negara. Dengan menempatkan
delapan prinsip di Bali Concord I, negara ASEAN bekejasama dalam aspek
politik keamanan, ekonomi dan fungsional. Penguatan ZOPFAN, kesepakatan
TAC, industrialisasi ekonomi pembangunan, kerjasama perdagangan menjadi
kajian dalam Bali Concord I. Dalam pekembangan berikut, kerjasama ASEAN
14 Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The Problem of Regional Order (London dan New York: Routledge, 2001), hal. 61.15Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro (eds), loc. cit.16 Igor Herlisrianto, loc. cit.
25
meliputi kerjasama politik keamanan dan ekonomi berkembang meluas. Terdapat
perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembang kerjasama
ASEAN, baik di bidang politik-keamanan maupun ekonomi. Perkembangan
politik-keamanan banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternal
ASEAN yang sarat dengan dominasi kekuatan asing, sehingga ASEAN
membentuk kerangka kerjasama untuk menyesuaikan terhadap lingkungan yang
sedang berkembang. Dalam bidang ekonomi, perkembangan dirasakan akibat dari
dorongan yang kuat dari internal asosiasi tersebut.
II.2. Perkembangan Kerjasama ASEAN Hingga Akhir Perang Dingin
Perkembangan kerjasama ASEAN mulai tampak setelah penyelenggaraan
KTT ASEAN ke-1 di Bali tahun 1976. Menjalin hubungan bilateral dan kerjasama
dalam bidang ekonomi, politik keamanan, sosial budaya menjadi landasan dimana
ASEAN telah dapat mempertahankan ketegangan dan konflik yang berkembang
diantara mereka. Hal ini disebabkan karena negara-negara ASEAN telah membuat
jaringan berupa confidence building measures (CBM) dan pencegahan konflik
diantara mereka sendiri melalui kerjasama regional tersebut.
II.2.1 Tahapan Kerjasama Ekonomi ASEAN Hingga Akhir Perang
Dingin
Setelah perang Vietnam di bulan April 1975, negara anggota ASEAN
memutuskan untuk menguatkan ASEAN sebagai komunitas regional untuk
melawan perkembangan pengaruh negara komunis/sosialis. Kerjasama ekonomi
diadopsikan untuk menguatkan kesatuan politik. Skema kerjasama ekonomi
26
dimaksudkan untuk mencapai integrasi ekonomi. Skema pasar bersama dan
penggabungan sumber daya mulai diperkenalkan. Preferential Trading
Arrangement (PTA) dimaksudkan untuk pasar ASEAN supaya lebih dapat diakses
oleh negara anggota sehingga integrasi pasar dapat dicapai. Pengembangan
proyek intensif skala besar, investasi bersama negara anggota ASEAN akan
memberi keuntungan bagi ekonomi. Proyek-proyek tersebut tertuang dalam
bentuk ASEAN Industrial Projects (AIP) dan ASEAN Industrial Joint Ventures
(AIJV). 17
Pasca pelaksanaan KTT ASEAN pertama di Bali tahun 1976 merupakan
tahapan kedua bagi pengembangan kerjasama ekonomi regional. Tahapan pertama
pengembangan kerjasama ekonomi ASEAN, ketika disepakati agenda kerjasama
sektoral dan fungsional pada ASEAN Miniterial Meeting (AMM) di Jakarta tahun
1968, pelaksanaan agenda kerjasama tersebut hingga KTT ASEAN pertama tahun
1976. Dalam KTT tersebut disepakati skema kerjasama di bidang industri yang
dinamakan AIP. Skema ini terdiri dari sejumlah proyek bersama pemerintah yang
berskala besar yang ditujukan untuk pasar regional dengan memberikan preferensi
perdagangan. Paket pertama AIP terdiri dari lima proyek industri, yaitu pupuk
urea di Indonesia dan Malaysia, super-phosphate di Filipina, mesin diesel di
Singapura, dan soda-ash di Thailand. Dari lima proyek ini hanya dua yang
akhirnya dibangun, termasuk pabrik pupuk di Aceh, yang sebenarnya merupakan
proyek nasional yang diubah menjadi AIP.18
17 Narongchai Akrasanee, “ASEAN in the Past 33 Years: Lessons for Economic Cooperation”, dalam Simon SC Tay, Jesus Estanislao dan Hadi Soesastro (eds), A New ASEAN In A New Millennium (Jakarta: CSIS, 2000), hal. 36.18 Hadi Soesastro, op. cit., hal. 312.
27
Paket kedua AIP juga diidentifikasi, termasuk heavy-duty rubber tires di
Indonesia, metal working machine tools di Malaysia, newsprint dan electrolytic
timplating di Filipina, Television picture tubes di Singapura, dan poolish dan
perikanan di Thailand, tetapi tidak satupun dari paket ini direalisir. Ada berbagai
alasan mengapa proyek-proyek ini mengalami kegagalan. Sebab utama dalah sifat
dari skema kerjasama ini yang tidak mengacu pada mekanisme pasar tetapi lebih
mengandalkan pada peran pemerintah. Namun sangat mungkin ASEAN pada saat
itu memang belum siap untuk menerima suatu kerjasama yang membutuhkan
market sharing (membagi pasar) dengan membuka pasarnya bagi produk-produk
industri bersama itu. Negara-negara ASEAN tampaknya saat itu baru bisa
menerima skema kerjasama yang bersifat resource pooling (menyatukan sumber
daya).19 Segala skema kerjasama ekonomi yang telah diadopsi telihat begitu
rasional dalam perjanjian. Tetapi dalam prakteknya, implementasinya sulit
terlaksana. Dalam skema AIP, kebanyakan negara anggota ASEAN tidak mudah
percaya investasi mereka terhadap negara anggota ASEAN lain penerima
investasi. Dalam lima tahun setelah mengadopsi keseluruhan skema, hasilnya
begitu kecil integrasi ekonomi yang tercipta di ASEAN.20
Skema besar kerjasama besar lainnya adalah ASEAN Preferential Trading
Arrangement (PTA) yang disepakati pada tahun 1977. Skema yang bukan
mengarah pada perdagangan bebas karena skema ini masih bersifat terbatas.
Dalam perundingan hingga 1980, negara ASEAN sepakat dengan menukarkan
produk/komoditi untuk dimasukkan dalam daftar PTA, dan disepakati penurunan
19 Ibid. 20 Narongchai Akrasanee, op. cit., hal. 37.
28
tarif perdagangan untuk impor. Tetapi dengan kesepakatan penurunan tarif yang
bersifat across the board ini, negara-negara ASEAN menerapkan suatu exclusion
list untuk mengecualikan produk yang dianggap sensitif dari skema kerjasama ini.
Hasilnya hingga 1986 sejumlah 18.907 produk/komoditi telah masuk dalam PTA.
Tetapi kemajuan yang ditimbulkan dengan keberadaan PTA hampir tidak ada.
Alasannya kemajuan hanya terlihat pada peningkatan jumlah produk/komoditi
yang masuk dalam PTA dan tidak mempengaruhi peningkatan perdagangan intra-
ASEAN. Dikarenakan begitu panjang produk/komoditi yang masuk dalam
exclusion list.21
Kegagalan PTA disadari oleh para pemimpin ASEAN. Kegagalan PTA
juga tidak langsung berhubungan dengan krisis minyak global pada tahun 1979-
1980 yang datang bersamaan dengan jatuhnya harga komoditas pada tahun 1980
yang berdampak buruk pada ekonomi global. Kombinasi dari kejutan ekternal
(external shocks) menyebabkan meluasnya resesi ekonomi di ASEAN. Pada fase
ini, pemimpin ASEAN merespon dengan memperkuat ekonomi internal regional
untuk menghidupkan kembali ekonomi regional.22 Pada KTT ASEAN ketiga di
Manila tahun 1987, mereka sepakat untuk melakukan perubahan dengan
membatasi exclusion list, memperbesar margin of preference (MOP), menurunkan
muatan (content) ASEAN dalam rules of origin (ROO), serta melakukan standstill
(tidak lebih mundur dari komitmen saat ini) dan rollback (lebih maju dari saat ini)
dalam hambatan non-tarif (non-tariff barriers atau NTBs). Kesemua ini
diharapkan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dan perkembangannya
21 Hadi Soesastro, op. cit., hal. 312-313.22 Narongchai Akrasanee, loc. cit.
29
dimonitor setiap tahun. Kesemuanya diharapakan dapat meningkatkan persentase
perdagangan intra-kawasan ASEAN. Namun perubahan-perubahan ini ternyata
juga tidak membawa pengaruh yang nyata.23
Menuju awal tahun 90-an, negara anggota ASEAN mulai mengalami
kemajuan yang pesat, akibat dari liberalisasi perdagangan dan investasi gobal.
Raihan ini bukan berasal dari kerjasama ekonomi ASEAN, tetapi lebih kearah
perubahan kebijakan yang diambil masing-masing pemerintah negara anggota
ASEAN yang lebih terbuka. Kebijakan yang lebih terbuka mendorong investasi
asing masuk ke negara anggota ASEAN. Alhasil investasi asing ikut berpartisipasi
dalam membentuk jaringan produksi regional yang memicu proses integrasi
ekonomi regional berdasarkan dorongan pasar bukan dari dorongan pemerintah.
Tidak dapat disangkal peran ASEAN dalam mengintegrasikan kerjasama ekonomi
kawasan cukup besar. Dengan tercapainya stabilitas dan lingkungan yang damai
ini masing-masing negara ASEAN telah dapat memusatkan perhatian dan sumber
dayanya bagi pembangunan nasional. Seiring dengan derasnya investasi asing
yang masuk ke kawasan, runtuhnya era perang dingin dan dorongan akan
liberalisasi global menuntut ASEAN membentuk mekanisme kerjasama ekonomi
yang lebih intensif dalam menjawab tantangan global berikutnya.
II.2.2 Tahapan Kerjasama Politik-Keamanan ASEAN Hingga Akhir
Perang Dingin
Perkembangan kerjasama politik-keamanan pasca KTT ASEAN pertama
di Bali tahun 1976 ketika negara Indonesia dengan Malaysia mengusulkan
Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) untuk menghadapi
23 Ibid.
30
masalah ancaman senjata nuklir di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1983.
Traktat SEANWFZ dan TAC merupakan kunci komponen dari ZOPFAN dan
akan berkontribusi dalam penguatan keamanan masing-masing negara anggota
dan menjaga perdamaian serta keamanan internasional. Dan pada tahun 1995,
negara ASEAN menyepakati ASEAN menjadi kawasan bebas dari senjata nuklir
dengan menandatangani traktat SEANWFZ, dimana prinsip-prinsip dan obyektif
yang tertuang dalam SEANWFZ mengadopsi dari hasil konferensi non-proliferasi
nuklir dan kerjasama dengan negara-negara nuklir yang sangat relevan bagi
keefektifan protokol tersebut. Tahun 1997 traktat SEANWFZ mulai diberlakukan
di kawasan Asia Tenggara.
15 Desember 1987, ASEAN mengamandemen TAC, tepatnya pada
paragraf 14 dan 18 untuk memberi kesempatan negara Papua New Guinea
menjadi negara partisipan diluar kawasan Asia Tenggara. Negara-negara di luar
kawasan Asia Tenggara bisa berkesempatan menjadi negara partisipan di dalam
perjanjian dengan konsisten menandatangani perjanjian TAC. Prinsip TAC
mengalami dua kali masa amandemen pada tahun 1987 dan 1998, yang
merupakan landasan untuk mempertahankan sistem diplomasi prefentif
(preventive diplomacy) di kawasan.24 TAC merupakan norma yang menjadi code
of conduct bagi negara-negara di dalam atau luar kawasan dalam menjalin
hubungan di kawasan Asia Tenggara. Di dalam TAC tersebut tertuang prinsip-
prinsip seperti perhormatan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, kesederajatan,
integritas teritorial dan identitas nasional seluruh negara, setiap negara juga
berhak untuk mengatur negara sendiri terbebas dari interferensi asing, serta
24 Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro (eds), op. cit., hal. 31.
31
penyelesaian konflik dengan jalur damai dengan mengeliminasi penggunaan
kekerasan.
Munculnya prakarsa-prakarsa dalam bidang politik dan keamanan seperti
ZOPFAN, ASEAN Concord, SEANWFZ, dan TAC cukup efektif bagi ASEAN
untuk menyelesaikan sejumlah perkembangan masalah politik dan keamanan di
masa Perang Dingin, serta mencapai stabilitas dan keamanan. Faktanya, sejak
tahun 1979 hingga 1991, ketika ASEAN menghadapi permasalahan Kamboja,
aktifitas politik dari ASEAN menjadi perhatian publik dunia daripada kerjasama
ekonomi ASEAN.25 Sebagai reaksi atas invasi tentara Vietnam ke Kamboja pada
tahun 1978, ASEAN secara kolektif merespon dengan mengeluarkan pernyataan
sikap penyesalan atas serangkaian sikap Vietnam yang menginvasi wilayah
kedaulatan Kamboja. ASEAN berkolaborasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) memainkan peran diplomasi efektif, sebagai organisasi regional. Indonesia
juga sangat berperan dalam negosiasi damai yang mengakhiri pendudukan
Vietnam di Kamboja melalui serangkaian pertemuan informal (informal meeting)
di Indonesia antara pihak-pihak yang bertikai, dan peranan Indonesia sebagai Co-
Chairs bersama Perancis dalam perundingan damai di Paris 1991.26
Sepanjang perang dingin dan hingga akhir perang dingin pada tahun 1990,
kerjasama negara anggota ASEAN lebih intensif dilakukan dalam skala bilateral
yang menaruh perhatian pada keamanan domestik, seperti patroli perbatasan,
pertukaran pandangan mengenai perkembangan strategi, dan pertukaran inteligen.
25 Ali Alatas, pidato “Towards an ASEAN Security Community”, Instituto Diplomatico, Lisbon 3 Juni 2004, hal. 2.26 C.P.F. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar dkk, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, (Cet. I; Yogyakarta-Jakarta: kerjasama Pustaka Pelajar dengan Pusat Penelitian Politik-LIPI, Juli 2008), hal. 86-87.
32
Pertukaran dan kerjasama bilateral menjadi dasar dimana ASEAN berhasil
mencegah tekanan dan konflik yang berkembang diantara mereka, oleh karena
jejaring CBM dan pencegahan konflik yang terbentuk diantara mereka.27
Akhirnya, pembentukan ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara
hingga akhir perang dingin tidak hanya bertujuan untuk mempromosikan
perdamaian dan keamanan untuk sekitar kawasan tetapi juga untuk menciptakan
kawasan Asia Tenggara yang kuat dan bersatu yang dapat mempengaruhi
perkembangan di kawasan dan dapat menyeimbangkan pengaruh dari kekuatan
besar (Great Power) di masa depan. Masuknya Brunei Darussalam pada tahun
1984 merupakan perluasan keanggotaan ASEAN telah menciptakan tantangan
baru bagi ASEAN, khususnya dalam menempa rasa kohesifitasan dan kesatuan
kawasan.
II.3. Perkembangan ASEAN pada Masa Pasca Perang Dingin
Setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai oleh runtuhnya Uni
Soviet tahun 1991, mulai menunjukkan era baru dimana sistem bipolar tidak
berlaku dalam sistem internasional dan digantikan dengan munculnya pusat-pusat
multipolar yang memberikan kontribusinya dalam perubahan dan ketidakpastian
situasi di Asia Tenggara.
Runtuhnya sistem bipolar memunculkan persepsi akan kekhawatiran
kemungkinan terciptanya kekosongan kekuasaan di kawasan. Bagi negara
ASEAN, ini berarti kemungkinan masuknya peran negara-negara kuat yang lebih
27 Jusuf Wanandi, op. cit., hal. 27.
33
banyak lagi dalam masalah keamanan kawasan, seperti Cina, Jepang, Rusia, dan
India. Selain itu, penarikan mundur pasukan Amerika Serikat (AS) dari kawasan,
juga membuat ASEAN lebih bertanggung jawab kepada stabilitas keamanan
kawasan. Meskipun ASEAN memiliki ZOPFAN sebagai respon ASEAN terhadap
dominasi kekuatan asing di kawasan, namun peran AS di kawasan sangat
signifikan, yang bertujuan untuk mengimbangi gerakan Uni Soviet dan ekspansi
Vietnam terhadap penyebaran elemen komunis di kawasan pada masa perang
dingin silam.
Selain itu, pada pasca perang dingin masyarakat internasional merasakan
suatu gelombang perubahan mengenai makna keamanan. Perubahan makna
keamanan yang lebih condong kepada keamanan manusia (human security)
ketimbang keamanan negara (state security). Selain itu, pasca perang dingin
menjadi ujung tombak bagi multiteralisme bidang ekonomi dan perdagangan
global yang tentunya mempengaruhi stabilitas kawasan. Perubahan-perubahan
dalam konstelasi politik, perekonomian dan isu baru yang menyangkut non-
tradisional mendorong ASEAN untuk muai mengambil peran yang lebih aktif
dalam kerjasama ekonomi, politik dan keamanan.
II.3.1 Tahapan Kerjasama Ekonomi ASEAN Pasca Perang Dingin
Kerjasama ASEAN mulai mempunyai prioritas baru ketika negara-negara
di kawasan Indocina dan Myanmar membuka diri pada kerjasama ekonomi dan
politik ASEAN. Keputusan telah dibuat dengan memperluas keanggotaan
ASEAN menjadi 10 negara anggota yang menggambarkan keseluruhan wilayah
kawasan Asia Tenggara. Memasuki masa pasca perang dingin, tahapan kerjasama
34
ekonomi ASEAN memasuki tahapan ketiga dari proses perkembangan kerjasama
ekonomi kawasan. Globalisasi mempengaruhi serta menjadi tantangan baru bagi
ekonomi ASEAN, dimana terdapat perkembangan telekomunikasi, komputerisasi,
dan transportasi orang dan barang lebih cepat dengan biaya rendah. Sehingga pada
KTT ASEAN ke-4 tahun 1992 di Singapura para pemimpin ASEAN menyepakati
pembentukan pasar perdagangan bebas (ASEAN Free Trade Area-AFTA).
Pembentukan AFTA berdasarkan skema Common Effective Preferential
Tariff (CEPT), yang merupakan hasil tinjauan ulang dari skema PTA yang bisa
dikatakan kurang maksimal dalam meningkatkan perdagangan intra-ASEAN.
Dengan skema CEPT negara-negara ASEAN sepakat menghilangkan segala
bentuk hambatan tarif untuk menciptakan perdagangan bebas diantara mereka.
AFTA semula direncanakan diluncurkan pada tanggal 1 Januari 1993, tetapi
karena ketidakpastian terpaksa diluncurkan kembali pada1 Januari 1994. Menurut
rencana yang asli, AFTA akan tercapai pada tahun 2008. Tetapi tahun 1994
Menteri Ekonomi ASEAN telah menetapkan untuk mempercepat proses,
memajukan batas akhir pelaksanaan pada tanggal 2003. Dan pada tahun 1995,
batas akhir pelaksanaan dipercepat kembali pada tahun 2002. Dan pada waktu
yang sama, ASEAN menetapkan tarif import intra ASEAN akan selesai
dieliminasi pada tahun 2010 untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia,
Malaysia, Thailand, Singapura) dan 2015 untuk ASEAN-CLMV (Kamboja, Laos,
Myanmar, Vietnam).28 Percepatan batas akhir pelaksanaan ini dimaksudkan untuk
segera meningkatkan daya tarif ASEAN sebagai lokasi produksi untuk pasar
28 Ludo Cuyvers, Philippe De Lombaerde, Stijn Verherstraeten, “From AFTA Towards an ASEAN Economic Community…. And Beyond” dalam CAS discussion paper No.46 (Belgia: CAS dan CIMDA, 2005), hal. 4.
35
global. Ini merupakan tujuan utama AFTA. AFTA bukan ditujukan untuk
membangun pasar regional yang tertutup berdasarkan suatu skema subtitusi impor
secara regional. AFTA adalah cara untuk meningkatkan daya saing internasional
kawasan.29
Namun tidak dapat disangkal bahwa segala hiruk pikuk tentang penurunan
tarif CEPT, dan tujuan mencapai perdagangan bebas melalui AFTA yang sudah
dimulai sejak tahun 1992 hingga batas akhir pelaksanaan tahun 2002, masih
belum mampu mendongkrak tingkat perdagangan intra-ASEAN yang relatif kecil
dibanding perdagangan total ASEAN. Rendahnya perdagangan intra-ASEAN ini
antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan standar
produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan yang tidak kalah
penting adalah kurang populernya skema CEPT di kalangan swasta, dan kurang
kuat mekanisme penyelesaian masalah perdagangan.30
Gambar 2.1 Perbandingan Perdagangan Intra-Ekstra ASEAN 1993-2003Sumber: ASEAN, ASEAN Economic Commuity Chartbook 2009, (Jakarta: The ASEAN Secretariat, 2005), hal. 21.
29 Hadi Soesastro, op. cit., hal. 315.30C.P.F. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar dkk, op. cit., hal. 122-123.
36
Meskipun AFTA masih memiliki kelemahan, namun dalam implementasi
skema CEPT, negara ASEAN secara terus menerus juga mengikuti skema yang
sesuai dengan World Trade Organization (WTO). Dengan kata lain, negara-
negara ASEAN menjadi semakin terbuka terhadap persaingan dunia. Dari segi
pemikirannya, AFTA memang dimaksudkan sebagai tempat latihan (training
ground) bagi negara-negara ASEAN untuk membuka diri terhadap dunia, sejalan
dengan konsep open regionalism (regionalisme terbuka).31
Krisis ekonomi tahun 1997-1998 juga menjadi penghambat pelaksanaan
AFTA. Krisis ekonomi membawa kehancuran perekonomian kawasan Asia
Tenggara bahkan dunia. Krisis ekonomi menjadi pembuktian bahwa negara-
negara ASEAN masih berjalan sendiri dalam menyelesaikan atau mengatasi krisis
ekonomi bahkan krisis multidimensi yang melanda negaranya. Seperti Indonesia
yang menyetujui paket bantuan dari International Monetery Funds (IMF), serta
beberapa negara ASEAN yang mengambil kebijakan tanpa melalui perundingan
skala regional untuk menghadapi krisis secara bersama. Namun, melalui
fenomena krisis ekonomi tersebut, menyadarkan para pemimpin ASEAN bahwa
perekonomian mereka sangatlah terkait dan bergantung satu sama lain
(interdependent). Peristiwa 1997/1998 mendorong negara-negara ASEAN
mempercepat integrasi ekonomi regional mereka, supaya tidak termarginalisasi
oleh arus globalisasi. ASEAN mengadopsi Visi ASEAN 2020 atau ASEAN Vision
2020 yang disepakati di Kuala Lumpur pada masa pertengahan krisis ekonomi
tahun 1997. Dalam visi bersama tersebut, ASEAN mencita-citakan sebuah
31 Hadi Soesastro, op. cit., hal. 316.
37
komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil, sejahtera,
saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis pada tahun 2020.
Tepat pada pelaksanaan KTT ASEAN kedelapan di Phnom Penh bulan
November 2002, dimana disepakati pembentukan ASEAN Economic Community
(AEC) sebagai tujuan akhir dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Agenda
kerjasama ekonomi ASEAN yang baru memusatkan perhatian pada upaya
integrasi sebagai sarana pencapaian suatu pasar dan landasan produksi tunggal
dengan peredaran bebas barang, jasa dan modal merupakan suatu pasar regional
tunggal akan lebih besar daripada sejumlah ekonomi-ekonomi nasional. Strategi
ASEAN dalam AEC dengan membangun mekanisme baru untuk memperkuat
inisiatif ekonomi, termasuk AFTA, ASEAN Framework Agreement on Services
(AFAS), dan ASEAN Investment Area (AIA). Selain membangun mekanisme
baru, ASEAN juga melakukan perbaikan dalam ASEAN Dispute Settlement
Mechanism untuk menjamin kepastian hukum dari penyelesaian konflik. Sejauh
ini penyelesaian masalah di ASEAN diupayakan untuk diselesaikan secara politik,
dan karena itu merupakan proses yang tidak memberikan kepastian terutama bagi
negara anggota yang merasa kecil dan lemah. Sebagai langkah pertama ASEAN
dalam mewujudkan AEC, ASEAN mengimplementasikan rekomendasi High
Level Task Force on ASEAN Economy Integration (HLTF). HLTF
mengungkapkan serangkaian inisiatif ekonomi dengan batasan waktu raihan yang
tegas untuk mempercepat proses integrasi ekonomi menuju perwujudan AEC.
Inisiatif HLTF yang sesuai dengan Bali Concord II beberapa diantaranya adalah:
38
integrasi jalur cepat dari 11 sektor prioritas, eliminasi hambatan perdagangan
dengan pemberlakuan pendekatan Single Window, dan harmonisasi standar.
Gambar 2.2 Bagan Mekanisme Pembentukan ASEAN Economic ComunitySumber: R. Winantyo, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), diunduh dari http://books.google.co.id
Secara umum AEC memiliki 12 sektor prioritas, yakni: produk-produk
berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil
dan pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan,
pariwisata serta logistik. Inilah sektor-sektor yang paling diminati negara anggota
ASEAN, dan menjadi ajang untuk bersaing diantara mereka. Tujuannya adalah
jika sektor-sektor ini diliberalisasikan secara penuh, sektor-sektor ini akan
berintegrasi dan negara anggota ASEAN akan mengembangkan keunggulan
sektor-sektor ini untuk menarik investasi dan perdagangan intra-ASEAN.
39
Proses integrasi regional semakin dipercepat semula dari tahun 2020
menjadi 2015, saat para pemimpin ASEAN menyepakati Cebu Declaration on the
Establishment of an ASEAN Community 2015 pada KKT ASEAN ke-12 di Cebu,
Filipina, 13 Januari 2007.32 Ini menunjukkan sikap optimisme dari para pemimpin
ASEAN terhadap proses integrasi kawasan, meskipun terdapat kesenjangan yang
signifikan diantara negara anggota ASEAN.
32 C.P.F. Luhulima, Dewi Fortuna Anwar dkk, op. cit.,hal. 6.
40
Gambar 2.3 Perbandingan rata-rata Pertumbuhan GDP negara ASEAN Tahun 1996-2008Sumber: ASEAN, ASEAN Statistical Yearbook 2008 (Jakarta: The ASEAN Secretariat, 2005), hal. 37.
II.3.2. Tahapan Kerjasama Politik-Keamanan ASEAN Pasca Perang
Dingin
Era tahun 1990-an, isu politik dan keamanan masih didominasi oleh
penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan oleh Cina yang melibatkan sebagian
negara ASEAN. Sengketa Laut Cina Selatan merupakan warisan konflik yag
belum terselesaikan dari era perang dingin yang terkait masalah kepemilikan dan
pengelolaan sumber daya alam di Laut Cina Selatan. Sengketa ini berkembang
menjadi ancaman yang sangat besar bagi keamanan Asia Tenggara maupun
solidaritas ASEAN itu sendiri, sehingga selalu mendapat perhatian khusus bagi
negara anggota ASEAN. Bentuk keseriusan ASEAN terwujud saat ASEAN
mengeluarkan Deklarasi ASEAN mengenai Laut Cina Selatan pada 22 Juli 1992 d
Manila.33 Respon negara-negara ASEAN terhadap hegemoni Cina bervariasi.
Secara khusus untuk menengahi sengketa teritorial Laut Cina Selatan, Indonesia
berperan aktif dengan memprakarsai sejumlah lokakarya di tanah air dari tahun
1990-1995 yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Sebagai
reaksi terhadap sikap agresif Cina di Laut Cina Selatan, Indonesia beserta
sejumlah negara lainnya seperti Filipina, Malaysia dan Vietnam mengupayakan
peningkatan persenjataan militer masing-masing. Selain itu, Singapura, Vietnam
dan Filipina berusaha mempertahankan kehadiran kekuatan luar lain di kawasan,
khususnya militer AS, sebagai langkah untuk membendung Cina. ASEAN juga
33 Ralf Emmers, op. cit., hal. 112-114.
41
berusaha merangkul Cina untuk berpartisipasi dalam jalur-jalur diplomasi
ASEAN, salah satu melalui forum ASEAN Regional Forum (ARF).34
ARF, secara teori merupakan sebuah forum untuk membicarakan stabilitas
dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan mencakup kawasan lain. ARF
memegang teguh inti dari elemen ketahanan nasional maupun regional serta
memperdalam kerjasama di ekonomi dan sosial, yang sederajat dengan elemen
keamanan diantara ASEAN dan mitra wicaranya. Bermula dari forum diskusi
antar menteri ASEAN (ASEAN Post Ministerial Conference - PMC) dengan mitra
wicara pada ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke 26 di Singapura tahun 1993
yang kemudian berkembang menjadi sebuah CBM diantara negara ASEAN dan
mitra wicaranya.35 Anggota mitra wicara ASEAN dalam ARF termasuk negara
kunci di Asia Pasifik seperti; Cina, India, Rusia, AS, Jepang, Korea dan ASEAN
sendiri. Sebagai bagian dari kawasan Asia Pasifik yang sangat dinamis, ASEAN
menyadari kebutuhan keamanan mereka terkait dengan perkembangan di Asia
Pasifik, sehingga pendekatan multilateral dibutuhkan. Fenomena naiknya derajat
Cina sebagai kekuatan ekonomi dan militer baru hingga persoalan Laut Cina
Selatan, bahkan mencakup rivalitas ekonomi di Asia Pasifik antara AS, Rusia,
Jepang dan Cina, hingga ancaman nuklir disemenanjung Korea menjadi faktor
yang mempengaruhi stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Pendekatan aliansi
bilateral tidak memungkinkan dalam upaya menyelesaikan permasalahan seperti
ini di era globalisasi seperti sekarang, sehingg dibutuhkan sebuah institusi yang
bersifat multilateral yang meliputi kawasan Asia Pasifik. Melalui ARF prakarsa
34 Igor Herlisrianto, op. cit., hal. 49.35 Ralf Emmers, loc. cit.
42
regional yang mencakupi pendekatan multilateral kawasan Asia Pasifik untuk
mengantisipasi dan mengelola perubahan lingkungan politik-keamanan global,
dimana sifat multilateral institusi tersebut dimaksudkan untuk melengkapi dan
membuat aliansi-aliansi bilateral lebih mudah diterima di kawasan.36 Tidak dapat
disangkal bahwa ASEAN Way mempengaruhi proses ARF dalam melakukan
pendekatan dalam kerjasama keamanan. Dokumen yang berjudul The ASEAN
Regional Forum: A Concept Paper yang diberitakan oleh ASEAN dalam
pertemuan kedua ARF ayang diselenggarakan di Brunei pada tanggal 1 Agustus
1995. Dalam paper tertuang sebuah cetak biru (blueprint) untuk ARF, meskipun
secara tidak formal diadopsikan kedalam ARF, yang mempertimbangkan tiga
kategori kerjasama keamanan: confidence building, preventive diplomacy, dan
conflict resolution.37
Kemajuan lain dari ASEAN di era pasca perang dingin adalah berhasil
memperluas keanggotaannya. Terjadinya normalisasi iklim politik di Indocina,
membuka jalan bagi ASEAN untuk merangkul keempat negara di Indocina. Pada
28 Juli 1995, Vietnam menjadi negara pertama yang berada di Indocina
bergabung di ASEAN, diikuti Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan
pada tanggal 30 Juli 1999, Kamboja akhirnya bergabung sebagai negara ke-10
ASEAN. Dengan keanggotaan ASEAN yang menjadi 10 negara anggota maka
ASEAN-6 secara langsung dapat mengatasi kecurigaan yang mendalam terhadap
negara kawasan Indocina, terlebih ASEAN-6 dapat melakukan pendekatan
36 Igor Herlisrianto, op. cit., hal. 50.37 Amitav Acharya, op. cit., hal. 174.
43
conflict management yang sesuai dengan ASEAN Way di seluruh kawasan Asia
Tenggara.
Perluasan keanggotaan juga membawa persoalan mengenai tujuan
integrasi kawasan di masa depan. Sistem politik pada 5 negara anggota pendiri
ASEAN paling tidak berdasar sistem demokrasi pluralis. Berlawanan dengan
negara anggota baru seperti Vietnam dan Laos yang cenderung sosialis, serta
Myanmar yang pemerintahannya dibawah kekuasaan militer. Sistem politik yang
berlawanan ini akan menjadi satu dari beberapa faktor yang merintangi kerjasama
di bidang keamanan.38
Dalam perkembangan selanjutnya, pasca masuknya Myanmar dalam
keanggotaan ASEAN, maka ASEAN dituntut untuk dapat melunakkan ataupun
menyelesaikan masalah internal Myanmar. Desakan tidak hanya muncul dari
internal kawasan, melainkan dunia internasional melalui forum-forum regional
dan internasional mencoba mendesak ASEAN sebagai organisasi kawasan yang
mempunyai kredibilitas tinggi di kawasan Asia Tenggara. Usaha pertama yang
dilakukan ASEAN adalah melalui pendekatan flexible engagement yang
merupakan hasil prakarsa Thailand pada tahun 1998. ASEAN berpendapat bahwa
melakukan konfrontasi dengan rezim militer akan mendorong perubahan domestik
di negara tersebut. Melangkah lebih jauh, ide dari flexible engagement ditujukan
untuk intrepretasi dari prinsip non-interferensi dalam urusan domestik negara lain
yang selama ini diyakini ASEAN. Ide ini menginginkan negara anggota ASEAN
38 Shoji Tomotaka, “ASEAN Security Community: An Initiative for Peace and Stability” diunduh dari http://www.nids.go.jp/english/publication/kiyo/pdf/2008/bulletin_e2008_3.pdf , tanggal 28 Juli 2010 pukul 09.14 WIB, hal. 22.
44
berkonsultasi dalam urusan internal negara lain selama urusan tersebut berdampak
negatif terhadap anggota lain di kawasan.39
Di samping isu Myanmar dan desakan perubahan prinsip ASEAN, muncul
desakan bagi ASEAN untuk berkembang untuk dapat menghadapi merebaknya
isu-isu keamanan non-tradisional. ASEAN mencoba meredefiniskan kerangka
kerjasama dengan melakukan proses sekuritasi atas isu-isu keamanan baru seperti
maritim piracy, perdagangan narkotika dan manusia, penyebaran penyakit
menular, dan kerusakan alam. Serta diantaranya dari bidang ekonomi yang berupa
krisis ekonomi yang melanda ASEAN pada tahun 1997 hingga 1998 yang
memporak porandakan stabilitas multidimensi negara.
Meskipun krisis ekonomi memunculkan dampak buruk di kawasan,
bahkan memunculkan “mispersepsi” bahwa ASEAN sudah tidak relevan karena
tidak dapat berbuat apa-apa untuk menangani krisis. Namun, gelombang krisis
multidimensi melahirkan dorongan kuat akan demokratisasi di beberapa negara di
kawasan Asia Tenggara. Pemerintah sejumlah negara kunci ASEAN yang
sebelumnya bersifat soft-authoritarian, tumbang seiring menguatnya demokrasi di
negara, seperti Indonesia, Filipina dan Thailand.40
Di Indonesia, demokratisasi tidak hanya mengantarkan kejatuhan Presiden
Soeharto pada tahun 1998. Demokratisasi juga menimbulkan serangkaian
ancaman disintegrasi bangsa. Seiring dengan hal tersebut Indonesia mulai
kehilangan peran sebagai aktor kunci dari pembangunan kawasan. Peristiwa
39 Lianita Prawindarti, The ASEAN Security Community: Reconcilin Traditional And Non-Traditional Issues. (Italy: Doctoral Thesis Research Paper, 2005) diunduh dari http://www.ssi.unitn.it/en/events/download/Lianita_Prawindarti.pdf tanggal 9 Februari 2010 pukul 13.34 WIB, hal. 9.40 Igor Herlisrianto, op. cit.,hal. 55.
45
penting pasca kejatuhan rezim Soeharto, yakni diantarnya Presiden Megawati
sebagai pemimpin Indonesia tahun 2003, dengan arah kebijakan luar negeri yang
lebih berorientasi pada kawasan, terutama ASEAN. Presiden Megawati melalui
Departemen Luar Negeri (DEPLU) berusaha merealisasikan ASEAN Vision 2020
yang disepakati pada tahun 1997, sebagai output dari KTT ASEAN ke-9 di Bali,
pada tanggal 8 Oktober 2003. Kerjasama ASEAN yang mengarah kepada tahapan
yang lebih integratif dan berwawasan ke depan, yakni dengan pembentukan
Komunitas ASEAN (ASEAN Community 2020) oleh para pemimpin negara-
negara anggota ASEAN melalui Deklarasi ASEAN Concord II (Bali Concord II -
BCII).
Gagasan ASEAN Political-Security Community (APSC) merupakan usulan
Indonesia pada saat pelaksanaan KTT ASEAN ke-9 di Bali 2003 dan diterima
secara keseluruhan negara anggota ASEAN. Untuk mewujudkan APSC maka
dibutuhkan sebuah Plan of Action (PoA), dalam hal ini, Indonesia sebagai
pengagas APSC dipercaya untuk memimpin penyusunan untuk merumuskan dan
memimpin pembahasan naskah APSC-PoA. Rancangan APSC-PoA melewati
masa perundingan skala Senior Officials Meeting dan Ministerial Meeting antara
pasca pelaksanaan KTT ASEAN 2003 hingga pertengahan tahun 2004.
Pada pertemuan ASEAN-SOM yang terakhir tanggal 26-27 Juni 2004,
draft Rencana Aksi telah berhasil diterima oleh negara-negara anggota ASEAN.
Selanjutnya APSC-PoA mendapat persetujuan para Menlu ASEAN pada
Pertemuan Tingkat Menteri / ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-37 pada
tanggal 30 Juni 2004 di Jakarta. Rancangan tersebut akhirnya direkomendasikan
46
untuk selanjutnya disahkan oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-
10 di Vientianne, Laos pada bulan November 2004. Dan pada akhirnya, APSC-
PoA tersebut dimuat dan disahkan dalam Vientianne Action Program (VAP).41
41 Igor Herlisrianto, op. cit.,hal. 82.
47