Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara Dan Agama II_Khoirul Anwar

2
1 Penyiaran Agama dalam Aturan Negara dan Agama [II]______________________Khoirul Anwar PENYIARAN AGAMA DALAM ATURAN NEGARA DAN AGAMA (II) Oleh: Khoirul Anwar* Latar Historis Aturan Negara Tentang Penyiaran Agama Di Indonesia penyiaran agama diatur dalam SKB Menag dan Mendagri RI Nomor 1 1979. Dalam SKB tersebut pada Bab III Pasal 4 dinyatakan bahwa pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara: a. menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut. b. menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain. c. melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain. Sebagaimana peraturan lainnya, peraturan penyiaran agama di atas tidaklah muncul dari ruang hampa, ia hadir sarat dengan kepentingan yang terselip di dalamnya. SKB penyiaran agama di atas muncul dari sikap ambigu pemerintah yang saat itu mendapat desakan dari sebagian umat Islam yang merasa ketakutan atas gerakan missionaris. Satu sisi pemerintah harus mengakomodir desakan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas sehingga jika permintaannya tidak diakomodir maka pemerintah akan kehilangan “lahan basahnya”, namun di sisi lain pemerintah juga harus mendengarkan protes dari umat agama lain khususnya Kristen yang menolak tuntutan umat Islam karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Protes dari tokoh-tokoh Kristen tersebut mendorong umat Islam konservatif bertambah kuat dalam membendung gerakan Kristenisasi. Mujiburrahman mencatat desakan umat Islam konservatif saat itu kepada pemerintah antara lain: 1) pelajaran agama di sekolah harus diberikan oleh guru yang seagama dengan muridnya; 2) kaum muslim diharamkan kawin dengan non muslim; 3) kaum muslim diharamkan mengikuti Natal bersama. Tuntutan seperti ini muncul karena umat Islam konservatif saat itu beranggapan bahwa pelajaran agama Kristen di sekolah-sekolah Kristen merupakan upaya Kristenisasi terhadap siswa-siswi yang beragama Islam. Pernikahan orang Islam dengan orang Kristen juga dianggap sebagai strategi Kristen dalam mengkristenkan salah satu pasangannya yang beragama Islam dan anak-anak yang akan dilahirkannya. Demikian juga halnya dengan Natal bersama, saat itu banyak sekali sebagian umat Islam yang ikut serta merayakan Natal sehingga umat Islam konservatif menganggapnya sebagai salah satu strategi umat Kristen dalam menyiarkan agamanya. (Mujiburrahman: 2008, hal. 304-305). Tuntutan umat Islam konservatif ini diakomodir pemerintah karena jumlah umat Islam di Negara ini sangat banyak. Dari sinilah kemudian pemerintah membuat peraturan penyiaran agama dalam SKB Menag dan Mendagri RI Nomor 1 Tahun 1979 di atas. Aturan Negara yang bias keadilan dan diskriminatif ini sampai sekarang masih berlaku. Kritik Aturan Negara Tentang Penyiaran Agama Sebagaimana yang terlihat dalam latar historisnya, aturan Negara tersebut dibuat atas kepentingan kelompok tertentu, yaitu kepentingan salah satu kelompok penganut agama mayoritas.

Transcript of Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara Dan Agama II_Khoirul Anwar

Page 1: Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara Dan Agama II_Khoirul Anwar

1 Penyiaran Agama dalam Aturan Negara dan Agama [II]______________________Khoirul Anwar

PENYIARAN AGAMA DALAM ATURAN NEGARA DAN AGAMA (II) Oleh: Khoirul Anwar*

Latar Historis Aturan Negara Tentang Penyiaran Agama

Di Indonesia penyiaran agama diatur dalam SKB Menag dan Mendagri RI Nomor 1

1979. Dalam SKB tersebut pada Bab III Pasal 4 dinyatakan bahwa pelaksanaan penyiaran

agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah

memeluk/menganut agama lain dengan cara:

a. menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan

dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun

lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang

lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan

memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut.

b. menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang

penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah

memeluk/menganut agama yang lain.

c. melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut

agama yang lain.

Sebagaimana peraturan lainnya, peraturan penyiaran agama di atas tidaklah muncul

dari ruang hampa, ia hadir sarat dengan kepentingan yang terselip di dalamnya. SKB

penyiaran agama di atas muncul dari sikap ambigu pemerintah yang saat itu mendapat

desakan dari sebagian umat Islam yang merasa ketakutan atas gerakan missionaris. Satu sisi

pemerintah harus mengakomodir desakan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas

sehingga jika permintaannya tidak diakomodir maka pemerintah akan kehilangan “lahan

basahnya”, namun di sisi lain pemerintah juga harus mendengarkan protes dari umat agama

lain khususnya Kristen yang menolak tuntutan umat Islam karena bertentangan dengan

prinsip kebebasan beragama dan hak asasi manusia.

Protes dari tokoh-tokoh Kristen tersebut mendorong umat Islam konservatif

bertambah kuat dalam membendung gerakan Kristenisasi. Mujiburrahman mencatat desakan

umat Islam konservatif saat itu kepada pemerintah antara lain: 1) pelajaran agama di sekolah

harus diberikan oleh guru yang seagama dengan muridnya; 2) kaum muslim diharamkan

kawin dengan non muslim; 3) kaum muslim diharamkan mengikuti Natal bersama. Tuntutan

seperti ini muncul karena umat Islam konservatif saat itu beranggapan bahwa pelajaran

agama Kristen di sekolah-sekolah Kristen merupakan upaya Kristenisasi terhadap siswa-siswi

yang beragama Islam. Pernikahan orang Islam dengan orang Kristen juga dianggap sebagai

strategi Kristen dalam mengkristenkan salah satu pasangannya yang beragama Islam dan

anak-anak yang akan dilahirkannya. Demikian juga halnya dengan Natal bersama, saat itu

banyak sekali sebagian umat Islam yang ikut serta merayakan Natal sehingga umat Islam

konservatif menganggapnya sebagai salah satu strategi umat Kristen dalam menyiarkan

agamanya. (Mujiburrahman: 2008, hal. 304-305).

Tuntutan umat Islam konservatif ini diakomodir pemerintah karena jumlah umat

Islam di Negara ini sangat banyak. Dari sinilah kemudian pemerintah membuat peraturan

penyiaran agama dalam SKB Menag dan Mendagri RI Nomor 1 Tahun 1979 di atas. Aturan

Negara yang bias keadilan dan diskriminatif ini sampai sekarang masih berlaku.

Kritik Aturan Negara Tentang Penyiaran Agama

Sebagaimana yang terlihat dalam latar historisnya, aturan Negara tersebut dibuat atas

kepentingan kelompok tertentu, yaitu kepentingan salah satu kelompok penganut agama

mayoritas.

Page 2: Penyiaran Agama Dalam Aturan Negara Dan Agama II_Khoirul Anwar

2 Penyiaran Agama dalam Aturan Negara dan Agama [II]______________________Khoirul Anwar

Aturan penyiaran agama tersebut tidak lebih ditujukan kepada sekelompok umat

Kristen yang saat itu melakukan misi secara agresif dengan menyediakan sarana pendidikan,

kesehatan, sandang, pangan, dan yang lainnya di berbagai tempat di Indonesia. Penyiaran

agama dengan cara seperti ini bukan tindakan yang tidak baik, tapi sesungguhnya sah-sah

saja. Yang tidak boleh adalah ketika orang yang didakwahi (al-mad’u) menolak penyiaran

agama yang disiarkan/didakwahkan itu. Dalam Islam sendiri terdapat ajaran memberikan

materi kepada orang yang belum masuk Islam dengan harapan dapat menggait hatinya supaya

masuk ke agama Islam, yaitu dengan memberikan harta zakat kepada non muslim yang dapat

diharapkan keislamannya atau dalam bahasa al-Quran disebut dengan al-mu’allafah

qulubuhum (QS. 9:60).

Kendati eksistensi perintah al-Quran tentang pemberian harta zakat kepada non

muslim dalam rangka menarik simpatinya masih diperdebatkan, namun mayoritas sarjana

hukum Islam seperti pengikut Madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabillah menyatakan

bahwa ajaran ini masih terpakai. Sementara bagi yang kontra dengan ajaran ini memandang

bahwa Islam sekarang sudah besar dan tersebar di seluruh penjuru dunia sehingga tidak perlu

lagi mempromosikannya dengan memberikan materi.

Pandangan yang kedua ini biasanya berpijak pada tindakan sahabat Umar yang pada

masa kepemimpinannya tidak memberikan harta zakat kepada umat agama lain yang dapat

diharapkan keislamannya. Saat itu Umar berpandangan bahwa Islam pada masanya sudah

dipeluk oleh jutaan manusia, tidak seperti pada masa Nabi Muhammad Saw. sehingga tidak

perlu lagi membagikan harta zakat kepada umat agama lain, Umar mengutamakan pembagian

harta zakat kepada umat Islam karena saat itu umat Islam banyak yang miskin.

Terlepas dari pro dan kontra tentang eksistensi alokasi zakat kepada al-mu’allafah

qulubuhum, yang jelas tidak dapat dipungkiri bahwa para sarjana muslim, baik yang pro

maupun kontra, sepakat bahwa tujuan memberikan materi (harta zakat) kepada non muslim

adalah untuk menggait hatinya supaya tertarik kepada agama Islam dan pada gilirannya non

muslim tersebut akan berpindah agama ke Islam.

Ibnu Qudamah, pakar hukum Islam klasik madzhab Maliki, menyatakan bahwa tujuan

memberikan harta zakat kepada non muslim (kuffar) tidak lepas dari mengharapkan

keislamannya atau mencegah kenakalannya apabila non muslim yang sering mengganggu

umat Islam dapat menghentikan perbuatannya apabila diberi harta zakat. (al-Mausu’ah al-

Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, vol. XXIII, hal. 319-320).

Dengan demikian SKB Menag dan Mendagri di atas di samping bertentangan dengan

ajaran masing-masing agama yang mengharuskan pemeluknya untuk menyebarkan agama

yang diyakininya juga bertentangan dengan hak asasi manusia, yakni hak seseorang untuk

menyampaikan informasi ajaran agama dan mendapatkannya. Beragama atau tidak beragama

(termasuk di dalamnya memilih dan berpindah agama) adalah hak setiap manusia yang tidak

dapat diintervensi oleh Negara, sehingga demi menjaga hak tersebut Negara harus

melindunginya dengan cara membebaskan para pemeluk agama menyiarkan agamanya

masing-masing kepada pemeluk agama lain selama pemeluk agama lain yang didakwahi (al-

mad’u) tidak menolak.

Jika setiap orang bebas memilih dan berpindah agama, lantas bagaimana seseorang

dapat mengetahui ajaran agama lain yang tidak ia peluk apabila penyiaran agama dibatasi

hanya kepada orang-orang yang belum menganut agama sama sekali? Bukankah seseorang

dapat berpindah agama setelah ia mengenalnya?

*Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.

Email: [email protected] Twitter: @khoirulanwar_88