penyelesaian sengketa yang timbul dari akta nominee yang berisi ...
Transcript of penyelesaian sengketa yang timbul dari akta nominee yang berisi ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pariwisata di Bali yang berkembang pesat pada era globalisasi saat ini,
mendorong banyak investor asing melakukan investasi di pulau yang dikenal
dengan Pulau Seribu Pura.Bentuk investasi tersebut salah satunya, di bidang
properti dengan mendirikan villa, hotel, restoran maupun rumah tinggal.Badan
Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali merilis data bahwa tingkat
penanaman modal di Bali periode tahun 2010-2013 mencapai 5,8 (lima koma
delapan) triliyun rupiah, dengan perimbangan bahwa hampir 98% penanaman
modal tersebut di sektor pariwisata yang bergerak dalam bidang perhotelan dan
villa.1 Keseluruhan akivitas penanaman modal tersebut tentunya memerlukan
lahan, yaitu tanah tempat dimana properti tersebut didirikan atau dibangun.
Pengaturan hukum tentang tanah secara umum di Indonesia diatur
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA).Sedangkan pengaturan terhadap perbuatan-
perbuatan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang dilakukan atau terjadi
antara warga negara sebagai subyek hukum dengan tanah diatur dalam Pasal 2
ayat (2)-nya yang menentukan :
1BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah), 2013, Investasi
Penanaman Modal Asing di Bali Lampaui Target, http://selebzone.com/bkpmd-
investasi-penanaman-modal-asing-di-bali-lampaui-target.html, diakses tanggal 1
Mei 2013.
1
2
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
Dengan demikian, maka UUPA mengatur tentangperuntukan dan
penggunaan tanah termasuk di dalamnya pengaturan terhadap perbuatan-
perbuatan hukum sebagai hubungan-hubungan hukum antara orang-orang ataupun
badan hukum dengan tanah. Tidak terkecuali mengatur perbuatan-perbuatan
hukum maupun peristiwa-peristiwa hukum tentang tanah dalam rangka
penyediaan tanah guna keperluan investasi tersebut. Karena hal tersebut
merupakan salah satu wujud pelaksanaan dari konsepsi hak menguasai negara
atas tanah.
Agar besarnya daya tarik Pulau Bali dalam mendatangkan investasi oleh
investor asing selaras dengan manfaat dan hasil yang diperoleh, maka pengaturan
penggunaan tanah untuk membangun villa, hotel, restoran atau rumah tinggal
sebagai sarana investasi, selain dilandasi oleh konsepsi tersebut di atas, juga
seyogyanya dilandasi oleh konsepsi lain yang terkandung atau dianut oleh UUPA,
yaitu asas nasionalitas.Suatu asas yang hanya memberikan hak kepada Warga
Negara Indonesia (WNI) yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Sebab kedua
konsepsi di atas, yaitu konsepsi hak menguasai negara atas tanah dan konsepsi
atau asas nasionalitas dapat digunakan untuk menangkal akibat-akibat buruk yang
3
mungkin terjadi sebagai akses dari investasi, terutamanya dalam pemilikan atau
penguasaan tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat.
Terkait dengan asas nasionalitas yang dianut UUPA, dalam Pasal 9 UUPA
yang ditentukan :
(1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan Pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas tanah serta untuk mendapat menfaat dan hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut oleh AP Parlindungan mengatakan bahwa,
UUPA mempertegas bahwa kita telah menutup pintu terhadap kepemilikan yang
terbuka, artinya hanya Warga Negara Indonesia saja tanpa diskriminasi antara
sesama Warga Negara Indonesia dan jenis kelamin sama mempunyai hak untuk
mempunyai sesuatu hak atas tanah (Pasal 9 UUPA).2Dengan demikian, dalam hal
pemilikan tanah dengan titel hak milik hanya dapat dipunyai oleh WNI dan
UUPA telah menutup kemungkinan bagi orang asing/Warga Negara Asing
(WNA) untuk mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.
Pelaksanaan asas nasionalitas dalam UUPAdi samping secara normatif
ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) seperti di atas, juga implisit tersirat dalam
ketentuan Pasal 21 dan Pasal 26 UUPA, masing-masing menentukan :
Pasal 21menentukan :
(1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
2A.P Perlindungan, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Percetakan Offset
Alumni Kotak Pos 272, Bandung, hal. 44.
4
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh
hak milik karena pewarisan-tanpa wasiat ayau percampuran harta
karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini
kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3
pasal ini.
Pasal 26 menentukan :
(1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau
tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada
seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21
ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,
dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali.
Dari ketentuan di atas, sesungguhnya hanya WNI yang mempunyai hak
untuk memiliki hak milik atas tanah, sementara bagi WNI yang karena
perkawinan dan atau karena memperoleh kewarganegaraan asing juga dilarang
untuk memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Ketentuan di atas sekalipun
secara tegas tidak sama menentukan larangan bagi orang asing/WNA untuk
memiliki hak milik atas tanah di Indonesia, akan tetapi memiliki hakekat yang
sama. Sebab baik dalam Pasal 21 maupun Pasal 26 bagi orang asing/WNA atau
5
bagi WNI yang dikemudian hari memperoleh kewarganegaraan asing, baik karena
perbuatan hukum yang sengaja dibuat maupun karena suatu peristiwa hukum,
mereka itu memperoleh hak milik atas tanah. Akan tetapi kepemilikannya harus
dengan segera selambat-lambatnya satu tahun sejak diperolehnya hak milik atas
tanah tersebut harus mengalihkan kepada WNI atau badan atau orang yang
menurut peraturan perundang-undangan dibenarkan memilik hak milik atas tanah.
Dalam kaitannya dengan pemilikan WNA maupun badan hukum asing
untuk memiliki hak-hak atas tanah, dalam UUPA diatur dalam Pasal 41 dan Pasal
42, masing-masing menentukan :
Pasal 41 menentukan :
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatau asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-
ketentuan undang-undang ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan :
a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu :
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa
berupa apapun.
(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur kekerasan.
Pasal 42 menentukan :
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
6
Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 TentangHak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah (PP Nomor 40/1996) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara Asing (PP
Nomor 41/1996).Misalnya dalam kentuan Pasal 2 angka 1 dan angka 2 PP Nomor
41/1996 mengatur bahwa, rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki
oleh orang asing adalah rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang
tanah hak pakai atas tanah negara yang dapat dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah dan satuan rumah susun yang dibangun di atas
bidang tanah hak pakai atas tanah Negara.
Tampaknya kondisi tersebut di atas membuat WNA yang berkeinginan
selain hanya untuk memiliki tanah atau rumah tempat tinggal di atas tanah hak
milik juga yang berkeinginan untuk menanamkan modalnya yang berhubungan
dengan penggunaan tanah di Indonesia. Adapun upaya untuk memilikinya adalah
dengan melakukan terobosan di bidang hukum dalam bentuk perjanjian yang
lazimnya disebut dengan perjanjian nominee.
Suatu perjanjian nomineedibuat dimaksudkan untuk memberi
kesempatan/celah kepada WNA menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik
di Indonesia. Dimana orang asing/WNAmembeli sebidang tanah hak milik
dengan menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli
(dibayar) oleh orang asing/WNA tersebut namun didaftarkan menjadi/ke atas
nama WNI, sementara itu guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang
dibelinya tersebut antara orang asing/WNA dengan WNI dibuatkan dalam suatu
7
atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya
bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik
(sertipikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah orang asing/WNA tersebut
dan terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan masyakarat lazim disebut
dengan perjanjian nominee.
Dengan kata lain suatu perjanjian nominee merupakanperjanjian yang
dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas
tanah tertentu (dalam hal ini Hak Milik atau Hak Guna Bangunan). Dalam hal ini
yakni seorang WNA dengan seorang WNI, yang dimaksudkan agar WNA
penguasai (memiliki) tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut (secara
de facto), namun secara legal-formal (de jure) tanah yang bersangkutan
diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh WNA
(bertindak selaku nominee).3
Lebih jelasnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang isinya
tentang pengingkaran atas pemilikan tanah hak milik dari seseorang WNI yang
telah diberikan/ditetapkan oleh negara kepada warga negaranya sebagaimana
ditulis dalam sertipikat tanahnya, dengan menyatakan bahwa ia bukanlah sebagai
pemilik (de facto) dari tanah tersebut melainkan milik orang asing/WNA yang
memang memberi uang dan selanjutnya menguasai tanah dimaksud untuk
keperluan dan keuntungannya. Namun dalam kenyataannyayang menguasai tanah
hak milik tersebut adalah WNA sementarayang atasnama adalahWNI.
3Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara
Asing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia
(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2.
8
Dalam Kamus Terminologi Hukum, nominee berarti atas namaorang lain.4
Black‟s Law Dictionary mendefinisikan mengenai nominee, yaitu :
1. A person who is proposed for an office, membership, award, or like
title status. An individual seeking nomination, election or appointment
is a candidate. A candidate for election becomes a nominee after being
formally nominated.
2. A person designated to act in place of another, usually in a very
limited way.
3. A party who holds bare legal title for the benefit of other or who
receives and distributes funds for the benefit of others.5
Inti dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa nominee adalah
seorang yang diusulkan untuk suatu jabatan, keanggotaan, penghargaan atau
kedudukan serupa.Nominee juga dapat dikatakan sebagai seorang kandidat untuk
pemilihan menjadi nominator setelah secara formal dicalonkan. Lebih jauh lagi
nominee adalah suatu pihak yang memegang hak sah yang nyata demi keuntungan
pihak lain atau yang menerima atau menyalurkan dana demi keuntungan pihak
lain.
Perjanjiannomineebiasanya dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu dalam
bentuk akta notaris yakni akta yang dibuat oleh Notaris untuk para pihak
terutamanya oleh orang asing/WNA dibuat dengan tujuan untuk mendapat
kepastian hukum dan dapat dijadikan alat bukti yang kuat tentang hak atas
kepemilikan tanah tersebut. Selain untuk dirinya sendiri juga untuk alat bukti di
pengadilan apabila terjadi permasalahan atau sengketa antara para pihak yang
membuat perjanjian tersebut.
4I.P.M. Ranuhandoko B.A, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta,hal.415. 5Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition,
Thomson West, United States of Amerika, hal. 1076.
9
Sehubungan dengan itu dan yang penting guna penulisan tesis ini adalah
mengkaji penyelesaian dari suatu perjanjian nominee yang dibuat dengan akta
notaris yang sesungguhnya secara implisit dilarang oleh UUPA sebagaimana telah
dipaparkan di atas. Sebab pada hakekatnya menurut UUPA setiap perbuatan-
perbuatan yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan
hak milik kepada orang asing adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara, sebagaimana yang dimaksud baik dalam Pasal 21 ayat (3) maupun
Pasal 26 ayat (2) UUPA.Sementara itu dalam praktek/faktanya, terdapat akta-akta
notariil yang dibuat oleh notaris tentang hal itu. Sehingga jika akta-akta nominee
tersebut dikaji secara normatif, maka keberadaannya sebagai suatu alat bukti
adalah batal demi hukum dan mengandung konsekuensi bahwa akta-akta tersebut
tidak pernah dianggap ada oleh hukum. Sedangkan dari sisi hukum agraria, obyek
yang diperjanjikan dalam akta-akta nominee tersebut jatuh pada negara.6
6Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 224/Pdt. G/ 2008 PN. Dps.,
Tanggal 5 Desember 2008, Tentang Duduknya Perkara Surat Gugatan tertanggal
23 April 2008 dan telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar
pada tanggal 10 Juni 2008 dengan register Nomor : 224/Pdt.G/2008/PN. Dps.
mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa, para penggugat dan tergugat telah sepakat untuk bekerja sama
membangun sebuah villa di atas tanah seluas 300 m2 (tiga ratus meter
persegi) yang terletak di Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung;
2. Bahwa, para penggugat telah membeli secara tunai dan menanggung
seluruh biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan villa sebagaimana
mestinya dalam waktu yang telah dijanjikan, namun oleh karena para
penggugat masih berkewarganegaraan asing maka para penggugat
memakai nama tergugat (sebagai NOMINEE).
3. Bahwa, para penggugat dan tergugat telah sepakat (sebagai konsekuensi
dari penggunaan nama tergugat dalam Sertifikat Hak Milik tersebut) untuk
menuangkannya dalam akta pernyataan dan pengakuan Nomor : 01,
tertanggal 2 Januari 2002 di kantor notaris NJOMAN SUTJINING, SH.
10
Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai kedudukan penting dalam
menciptakan kepastian hukum di dalam setiap hubungan hukum, sebab akta
notaris bersifat otentik dan merupakan alat bukti sempurna, yaitu sebagai alat
bukti terkuat dan terpenuh dalam setiap perkara yang terkait dengan akta notaris
tersebut seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). Akta otentik
menentukan secara jelas bahwa hak dan kewajiban, yang menjamin kepastian
hukum sekaligus diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya sengketa, walaupun
sengketa tersebut pada akhirnya mungkin tidak dapat dihindari, dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis
terkuat dan terpenuh memberi sumbangan yang nyata bagi penyelesaian perkara
secara murah dan cepat.7
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh apa yang dinyatakan
dalam akta notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat
membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan
pengadilan.8 Dalam hal perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris,
apakah bisa menjadi alat bukti yang tekuat dan terpenuh di Pengadilan apabila
terjadi perkara atau sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian nominee.
Dari uraian di atas maka kajian dalam tesis ini berangkat dari adanya
kekaburan norma dalam Pasal 26 ayat (2) perihal apakah perbuatan hukum yang
dengan sengaja dibuat untuk terjadinya pengalihan hak dari WNI kepada orang
7Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban
Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, hal.8. 8Ibid.
11
asing/WNA dalam suatu akta notaris yang disebut dengan akta nominee berlaku
untuk satu tahun dan setelahnya apabila tidak dialihkan akan jatuh kepada negara
memiliki makna dan maksud yang sama dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3). Hal
tersebut menjadi sangat penting untuk dikaji mengingat Pasal 26 ayat (2) secara
implisit melarang bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang secara langsung atau
tidak langsung dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah dari WNI kepada
orang asing/WNA adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.
Sebab kalimat yang menyatakan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing
di dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut menimbulkan penafsiran yang
bermacam-macam (multitafsir) sehingga timbul keragu-raguan yang bermuara
pada kaburnya norma tersebut (vague van normen). Ketentuan tesebut dikatakan
kabur sebab pengaturan hukumnya sudah ada, tetapi tidak jelas atau kurang
lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai
penyempurna dan atau pengganti hukum yang sudah ada.9 Selain berangkat dari
masalah normatif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penulisan tesis ini
juga lahir dari adanya fakta bahwa di dalam kenyataanya terjadinya praktek-
praktek dibuatnya akta-akta nominee yang dibuat oleh notaris antara orang
asing/WNA dengan WNI baik pada saat dibuatnya maupun setelah lewat satu
tahun setelah dibuatnya akta nominee tersebut, tanah-tanah yang menjadi obyek
dalam perjanjian nominee tersebut tidak jatuh dan diambil oleh Negara.
9Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58.
12
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menulis tentang penyelesaian
sengketa yang timbul dari akta nominee yang berisi peralihan hak milik atas tanah
kepada Warga Negara Asing berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA karena
pertama, adanya kekaburan norma dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA
dalam kalimat perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau
tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing. Perbuatan-perbuatan
lain yang dimaksud tersebut apakah termasuk perjanjian nominee yang dibuat
antara orang asing/WNA dengan WNI. Kedua, apakah perjanjian nominee yang
dibuat dengan akta notaris tersebut memiliki legalitas jika dipandang dari
perundang-undangan Indonesia khususnya UUPA dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ketiga, apakah perjanjian nominee yang dibuat dengan akta
notaris dapat menjadi alat bukti yang sempurna di pengadilan apabila terjadi
sengketa antara orang asing/WNA dengan WNI.
Alasan mendasar permasalahan di atas penting untuk ditulis yaitu pertama,
kekaburan norma pada Pasal 26 ayat (2) UUPA tidak memberikan petunjuk yang
jelas mengenai perjanjian nominee sehingga diperlukan penemuan hukum.
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan
oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau
penafsiran dan melalui metode konstruksi.10
Interpretasi hukum terjadi, apabila
terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada
kasus kongkret yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya
sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa kongkret atau
10Ibid. hal. 59.
13
mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda norma
yang kabur (vage van normen), konflik antar norma hukum (antimony normen),
dan ketidak pastian dari suatu peraturan perundang-undangan.11
Konstruksi
hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang secara
langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, ataupun dalam hal
peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum)
atau kekosongan undang-undang (wet vacuum).12
Alasan kedua, berkaitan dengan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian nomineetentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang
asing/WNA yang dibuat dengan akta notaris apakah telah memenuhi semua syarat
sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
kususnya pada syarat keempat yaitu suatu sebab yang halal.
Alasan ketiga, karena beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah mengkaji
permasalahan yang diteliti oleh penulis. Penelitian-penelitian tersebut antara lain :
1. Penelitian tesis dari A.A. Sri Angraini, Program Studi Ilmu Hukum Minat
Kenotariatan,Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang.Judul tesis
11Ibid. hal. 60. 12
Ibid.
14
“Peralihan Hak Atas Tanah dari WNI kepada WNA di Provinsi Bali”.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini yaitumengenai apakah
peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA mempunyai landasan yuridis
atau penyelundupan hukum dan apakah akta-akta pertanahan yang dibuat
dalam peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA adalah berdasarkan
kewenangan pejabat pembuat akta.
2. Penelitian tesis dari Eka Krisna Jayanti, Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Universitas Udayana tahun 2010.
Judul tesis “Penguasaan Tanah Hak Milik Oleh Warga Negara Asing Dengan
Menggunakan Perjanjian Nominee.” Permasalahan yang dikaji yaitu mengenai
faktor yang menyebabkan WNA menguasai tanah dengan menggunakan
perjanjian nominee dan mengapa Notaris/PPAT membuat perjanjian nominee
bagi WNA untuk penguasaan tanah.
3. Penelitian tesis dari Luh Putu Ayu Devi Susanti, Program Studi Kenotariatan,
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar. Judul Tesis “Hapus
Dan Jatuhnya Hak Milik Atas Tanah Kepada Negara Akibat Pemindahan Hak
Milik Secara Tidak Langsung Kepada Warga Negara Asing Dengan Akta
Notaris. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini yaitu apakah
dasar pemikiran dirumuskannya larangan pemindahan hak milik atas tanah
kepada WNA sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2)
UUPA masih relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini dan
bagaimanakah mekanisme hapus dan jatuhnya hak milik atas tanah kepada
15
Negara akibat pemindahan hak milik secara tidak langsung kepada WNA
dengan akta Notaris.
Meskipun ketiga penelitian diatas mengkaji masalah yang berhubungan
dengan pengalihan hak milik atas tanah kepada warga negara asing, kajian
permasalahannya berbeda dengan yang dikaji oleh penulis dalam penelitian ini.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tulisan dalam penelitian ini bukan
merupakanpengulangan apalagi plagiasi dari tulisan-tulisan terdahulu
sebagaimana disebutkan di atas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi
pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu:
1. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan dalam hal terjadinya sengketa
perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang
asing/WNA yang dibuat dengan akta notaris?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian nominee tentang peralihan hak
milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang melanggar ketentuan Pasal 26
ayat (2) UUPA?
1.3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai peralihan hak milik atas tanah
16
kepada orang asing/WNA melalui perjanjian nominee yang dibuat dengan akta
notaris. Dengan pemahaman itu dapat diketahui apakah perjanjian nominee yang
dibuat dengan akta notaris tersebut memiliki kekuatan mengikat antara para pihak
yang membuat perjanjian tersebut dan apakah dapat menjadi alat bukti yang kuat
di pengadilan apabila terjadi sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian
nominee.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penyelesaian sengketa yang timbul
dari perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang
asing/WNA yang dibuat dengan akta notaris.
2. Untuk mendeskripsikan dan mengkritisi akibat hukum perjanjian nominee
tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang
melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan berupa asas-asas,
prinsip-prinsip dan konsep-konsep hukum bagi perkembangan ilmu hukum dan
khususnya dalam bidang kenotariatan, perihal penyelesaian sengketa perjanjian
nominee yang dibuat dengan akta notaris yang di dalamnya mengandung
peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA dalam
kaitannya denganketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA dan untuk mengetahui akibat
17
hukum terhadap perjanjian nominee yang mengandung peralihan hak milik atas
tanah kepada orang asing/WNA.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan dalam penulisan ini, antara lain :
Untuk para notaris diharapkan menjadi sumber pengetahuan (baru) bahwa setiap
akta yang substansinya mengandung perbuatan-perbuatan hukum yang
dimaksudkan secara langsung atau tidak langsung mengandung peralihan hak
milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA yang di dalam praktek
lazimnya disebut akta nomine merupakan suatu perbuatan melanggar hukum
terkait dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga akta notaris yang
dibuat adalah batal demi hukum. Kemudian untuk masyarakat, penelitian ini
diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai adanya larangan peralihan hak
milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA dengan menggunakan akta
nominee serta dapat memberi pengetahuan praktis tentang upaya penyelesaian
sengketa baik melalui jalur non litigasi maupun jalur litigasi berserta akibat-akibat
hukum yang dapat timbul dalam penyelesaian sengketa tersebut. Sedangkan untuk
pemerintah cq. Badan Pertanahan Nasional, penelitian ini diharapkan menjadi
sumber informasi untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait penegakan
hukum terkait ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Bahwasannya setiap perbuatan-
perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut
tanahnya jatuh kepada Negara.
18
1.5. Landasan Teoritis dan Koseptual.
1.5.1 Landasan Teoritis.
Dalam menganalisa penulisan ini digunakan Teori Hukum Sengketa, Teori
Perjanjian, Teori Tanggung Jawab dan Asas Kepastian Hukum. Definisi dari
masing-masing teori dan asas di atas yaitu sebagai berikut :
1) Teori Hukum Sengketa.
Teori hukum sengketa digunakan dalam penulisan ini, sebagai pisau
analisa untuk menjawab masalah pertama dari penulisan tesis ini.Terutamanya
dalam rangka memberikan deskripsi dan jawaban atas upaya-upaya hukum yang
dapat dilakukan dalam hal terjadinya sengketa serta menelaah dan menjawab
penyelesaian sengketa perjanjian nominee yang dibuat dalam bentuk akta notaris,
melalui jalur litigasi (Pengadilan).
Sebuah teori hukum sengketa adalah pada dasarnya melihat aktivitas dari
aparat terutama di pengadilan. Dalam proses pengadilan dapat dilihat dari orang-
orang yang berkompeten dalam masyarakat untuk memperoleh keadilan dan
hakim yang menentukan putusan bagi para pihak yang mencari keadilan itu.
Menurut Jerome Frank, pendukung radikal dari teori hukum sengketa mengatakan
bahwa, penyelesaian sengketa merupakan “legal rules had primarily the function
of ex post facto rationalizations of decisions.”13
Inti dari pernyataan Jerome Frank
adalah teori hukum sengketa merupakan aturan-aturan hukum yang memiliki
fungsi utama ex post facto rasionalisasi dari keputusan. Kemudian sejak masa
13
J.W Harris,1979, Law and Legal Science (An Inquiry into the Concepts
Legal Rule and Legal System), Clarendon Press-Oxford, hal. 64.
19
kejayaannya, yang disebut „gerakan Amerika realis‟ pada awal tahun 1930
penganut teori hukum sengketa memiliki kedudukan yang semakin pasti.
Pendapat lain seperti, Wendel Holmes penganut Realist Theory of Law
(Aliran Realisme Hukum Amerika) mengatakan sebagai dari inti teorinya, bahwa :
apapun yang dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara itulah hukum. Bagi
Holmes, rohnya hukum adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat, bukan pada
logika. Ungkapannya “law is not only logic but experions (sic!)”14
dapat
diartikan, bahwa aturan hukum itu akan tidak efektif apabila hanya mengandalkan
logika saja, hukum itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Dalam memutus sebuah perkara, aturan hukum positif dianggap sebagai pilihan
atau petunjuk serta pembenaran pengambilan keputusan. Namun, aturan hukum
positif bukanlah satu-satunya pedoman hakim dalam mengambil suatu keputusan,
hukum tidak tertulis seperti hukum adat dan kebiasaan juga dipakai sebagai
pertimbangan.
2) Teori Perjanjian
Teori perjanjian digunakan dalam penulisan tesis ini, sebagai pisau analisa
untuk menjawab masalah kedua dari penulisan tesis ini. Terutamanya dalam
rangka memberikan deskripsi dan jawaban mengenai akibat hukum terhadap
perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang
asing/WNA. Apakah perjanjian nominee memenuhi semua syarat-syarat sahnya
perjanjian terutama pada syarat suatu sebab yang halal sebagai syarat obyektif dari
suatu perjanjian.
14
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan
Historis, Setara Press, Jatim, hal. 24.
20
Perjanjian diatur dalam buku Ketiga KUH Perdata tentang perikatan yaitu
pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian” adalah suatu
perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu
persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara
mereka suatu persetujuan. Lebih lanjut dalam Pasal 1121 KUH Perdata
dinyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah
suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu.15
Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi
bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak,
dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa
(prestasi)sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan (schuld) tersebut dan bertanggung jawab atas prestasi itu.16
Pendapat lain
dikemukakan oleh Soebekti mendefinisikan pengertian pernjanjian sebagai suatu
15
Wirjono Prodjodikoro,1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan
Tertentu,Cet VIII, Sumur, Bandung, hal. 11. 16
Bacshan Mustafa dkk, 1982, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum
Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung, hal. 53.
21
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.17
Dari peristiwa ini muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. O.W Holmes berpendapat bahwa: “The duty on keep contract
in common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep
it, if you commit a tort, you are liable to pay compesatory”.18
(Kewajiban untuk
menjaga suatu perjanjian dalam common law diartikan sebagai prediksi bahwa
kamu harus membayar ganti kerugianakan tetapi kalau kamu tidak menjaganya,
apabila kamu komit dengan gugatan tersebut, maka kamu bertanggung jawab
untuk membayar kompensasi tersebut).
Sebelum mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, sangatlah penting bagi
para pihak untuk menyepakati syarat-syarat suatu perjanjian sebagaimana
dikatakan oleh Sucitthra Vasu, mengatakan “The purpose of setting down the
terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties.
Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide
which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.“19
Para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian juga harus
mentaati kontrak yang telah disepakatinya, terutama bagi debitur sebagai pihak
yang berutang ke pihak lain, selain itu batas waktu pemenuhan kewajiban juga
17
R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta,
(selanjutnya disingkat R. Soebekti II), hal. 45 18
M.P Golding, 2004,The Nature of Law Readings in Legal Philosophy,
Columbia University, Random House, New York, hal. 180 19
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,
Singapore, hal.1
22
harus diperhatikansebagaimana dikatakan oleh R. Subekti, dalam bukunya Law In
Indonesia, menyatakan bahwa: “The debtor has done something what is in
contravention of the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the
contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed
this time limit, it is clear that the debtor is in default.”20
(Debitur yang telah
melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi
kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan batas waktu pemenuhan
kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas
debitur dinyatakan bersalah).
Dalam membuat kontrak, perjanjian yang dibuat tersebut harus sah dan
tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Perjanjian yang sah artinya
perjanjian memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undangsehingga
diakui oleh hukum, akibatnya yang timbul dari perjanjian tersebut dapat
menimbulkan akibat hukum. Undang-Undang yang mengatur tentang sahnya
suatu perjanjian yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata.)
khususnya Pasal 1320 yang menentukan, yaitu: Untuk sahnya persetujuan -
persetujuan itu diperlukan 4 syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal”.
20
R. Soebekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And
International, And Studies, third edition, Jakarta, (selanjutnya disingkat R.
Soebekti I), hal. 55
23
Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu
kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian
harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya.
Ad. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan.
Kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum
untuk bertindak sendiri. Beberapa golongan orang oleh Undang-Undang
dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum.
Mereka itu, seperti orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan (Curatele),
dan perempuan yang telah kawin (Pasal 1130 KUH Perdata).
Ad. 3. Suatu hal tertentu.
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu
barang yang cukup jelas atau tertentu.
Ad.4. Suatu sebab yang halal”.
Adapun suatu hal tertentu yang diperjuangkan tersebut adalah hal yang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.21
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat
tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek
perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu
perjanjian menjadi dapat dibatalkan. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif
akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak
21
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhamad I), hal.77
24
semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada
suatu perikatan.22
Selain syarat-syarat sahnya perjanjian, dalam membuat suatu perjanjian
harus diperhatikan pula tentang asas-asas dalam perjanjian. Asas-asas dalam
perjanjian terdapat dalam KUH Perdata pada Pasal 1338 ayat (1), (2), dan (3).
Adapun asas-asas yang dimaksud dalam perjanjian tersebut adalah sebagai
berikut:
Asas kebebasan berkontrak.
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata).
Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif
(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang menyebabkan
hukum perjanjian bersistem terbuka. Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak
menurut hukum perjanjian di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan
dibuat.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
22
Komariah, 2002, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiah, Malang,
hal. 175-177.
25
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan perundang-
undangan yang bersifat opsional.23
Asas itikad baik.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH
Perdata), itikad baik ada 2 (dua) yakni :
1) Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Standar
yang digunakan dalam iktikad baik obyektif adalah standar yang mengacu
pada suatu norma obyektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas
dasar norma-norma obyektif yang tidak tertulis yang berkembang di
masyarakat. Contoh : Si A melakukan perjanjian dengan Si B untuk
membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap essenza namun di
pasaran habis maka diganti cap platinum oleh Si B.
2) Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Itikad baik
subyektif dikaitkan dengan hukum benda. Di sini ditemui istilah pemegang
yang beritikad baik atau pembeli barang yang beritikad baik sebagai lawan
dari orang-orang yang beritikad buruk. Contoh : Si A ingin membeli motor,
kemudian datang Si B yang berpenampilan preman yang akan menjual motor
tanpa surat dengan harga yang sangat murah, Si A menolak membeli karena
takut bukan halal atau tidak legal.24
23
Frans Satriyo Wicaksono, 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat
Kontrak, Visimedia, Jakarta, hal. 3. 24
Ridwan Khairandy, 2003, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak,
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 194-
195.
26
Asas Pacta Sunt Servanda
Menurut ketentuan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas konsensualisme.
Hukum kontrak juga menganut asas konsensualisme. Maksud dari asas
konsensualisme ini adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika
tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak lainnya sudah
dipenuhi. Jadi dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya
sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga
sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak. Dengan demikian pada
prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak.25
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal
1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata “semua”
menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya, yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat
erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.26
25
Munir Fuadi, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuadi II),
hal. 30 26
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.
Cutra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman
I), hal. 87.
27
Asas kepribadian (personalitas).
Seorang tidak dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.
Pengecualiannya terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk
pihak ketiga yang menegaskan “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau
suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat macam itu.”27
3) Teori Tanggung Jawab
Teori tanggung jawab ini digunakan untuk mengkaji mengenai tanggung
jawab notaris dalam membuat akta nominee yang sesungguhnya melanggar
ketentuan dalam UUPA. Dimana disini notaris bertindak sebagai pejabat umum
yang ditunjuk untuk membuat akta otentik sepanjang berdasarkan peraturan
umum tidak ditunjuk atau dikecualikan kepada pejabat lain seperti yang dimaksud
dalam Pasal 1868 KUH Perdata.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responbility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung gugat, yang
pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kajahatan, biaya
atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.
Responbility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban,
dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga
kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.Dalam
27
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, hal. 46.
28
pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responbility menunjuk pada
pertanggungjawaban politik.28
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat
menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu :
a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannnya suatu kesalahan berimplikasi
pada tanggung jawab yang harus ditanggung.29
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut :30
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan yaitu prinsip yang
cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH
Perdata Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
28
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 335-337. 29
Ibid, hal. 365. 30
Rechts Van Banjar, 2013, Prinsip Tanggung Jawab,
http://vanbanjarrechts.wordpress.com
29
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannnya. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal
tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat
unsur pokok, yaitu :
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.31
Kesalahan yang dimaksudkan adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-
undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip ini
menyebutkan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai
ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” dalam
prinsip ini sangat penting karena ada kemungkinan tergugat membebaskan
diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia
telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan
terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si
tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak
bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kass
31
Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia
Widiasrana, Jakarta, hal. 73.
30
konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori
ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada
pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak bebas untukmengajukan
gugatan karena bisa saja pihak penggugat digugat balik oleh pelaku usaha
jika ia gagal menunjukan kesalahan tergugat.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip ini
adalah kebalikan dari prinsip kedua yang telah disebutkan tadi. Prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam
lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh prinsip ini dalam
hukum pengangkutan misalnya dalam kehilangan atau kerusakan pada
bagasi kabin atau bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh
penumpang adalah tanggung jawab dari penumpang itu sendiri.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak. Menurut E. Suherman tanggung jawab
mutlak (strict liability) disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip
ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab,
kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang
dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.32
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan. Prinsip tanggung jawab
dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi
32
E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat
Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan
Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, hal. 21.
31
oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam
perjanjian strandar yang dibuatnya.
4) Asas Kepastian Hukum.
Asas kepastian hukum digunakan pada penulisan tesis ini berkaitan
dengan perjanjian nominee yang dilakukan oleh orang asing/WNA dengan WNI.
Perjanjian nominee pada dasarnya dibuat agar orang asing dapat menguasai tanah
di wilayah Indonesia agar ia dengan leluasa melakukan kegiatan usahanya.
Namun pada akhirnya bertolak belakang dengan keinginan pembentuk undang-
undang untuk melindungi kepentingan Negara.
Sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik”. Dilakukannya
perjanjian nominee dimana orang asing/WNA meminjam nama WNI untuk dapat
memiliki tanah di wilayah Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu
penyelundupan hukum. Perjanjian nominee yang dilakukan tersebut tidak
mempunyai kepastian hukum karena melanggar ketentuan dalam UUPA.
Untuk dapat mendapat kepastian hukum orang asing dapat mengajukan
Hak Pakai seperti yang diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 43 Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Telah diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, diundangkan pada
tanggal 17 Juni 1996, yang menentukan bahwa :
32
Warga Negara Asing hanya boleh mempunyai :
1. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah :
a. Hak Pakai atas tanah Negara;
b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah;
atau
2. Satuan rumah susun yang dibangun diatas bidang tanah Hak Pakai atas tanah
Negara.
Kepastian hukum menurut Gustaf Radbruch seperti yang dikutip oleh The
Huijber mengenai kepastian hukum mengemukakan :
Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek
yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang
memadai.Aspek yang pertama adalah keadilan dalam arti yang sempit.
Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas.Aspek ini
menentuan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau
legalitas.Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaaati.33
Peter Mahmud Marzuki mengemukakan :
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa kemanan hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian
hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan
juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus
serupa yang telah diputus.34
Menurut O. Notohamidjojo bahwa tujuan hukum ada tiga yang saling
harmonis yaitu :
Keadilan.
33
Theo Huijber, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan
Keempatbelas, Yogyakarta, hal. 163. 34
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Merzuki I),
hal. 158.
33
Daya guna.
Kepastian hukum.35
Menurut J.M. Otto yang dikutip oleh Sri Djatmiati, kepastian hukum
(rechtszekerheid) memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
a) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan
negara.
b) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten
dan berpegang pada aturan hukum tersebut.
c) Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum.
d) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan
aturan hukum tersebut.
e) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.36
1.5.2 Konseptual.
Mengenai landasan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini,
adalah sebagai berikut :
1. Hak Milik.
Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah.Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak
yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai mana hak
eigendom.Sifat khas dan hak milik ialah hak yang turun temurun, terkuat dan
terpenuh bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu tidak mudah
hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain, sehingga wajib
didaftarkan.
35
Yance Arizona, 2012, Kepastian Hukum, http:/yancearizona.
wordpress.com. 36
Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia,
Disertasi, Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya, hal. 18
34
Hak milik bersifat turun temurun, artinya dapat diwarisi oleh ahli waris
yang mempunyai tanah.Hal ini menunjukkan hak milik tidak ditentukan jangka
waktunya seperti misalnya, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha. Hak milik
tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya,
melainkan kepemilikannya akan dilanjutkan oleh ahli warisnya setelah ia
meninggal dunia. Tanah yang menjadi objek hak milik bersifat tetap, artinya tanah
yang dipunyai dengan hak milik tidak berganti-ganti melainkan tetap sama.37
Mengenai hak milik yang ditentukan dalam Pasal 20 UUPA adalah
sebagai berikut :
(1) Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
(2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.
2. Pemindahan hak milik.
Dalam peraturan undang-undang pertanahan pada Pasal 20 ayat (1) UUPA
dinyatakan bahwa hak milik dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
Namun demikian, dalam peraturan perundang-undangn tersebut tidak memberikan
pengertian apa yang dimaksud dengan beralih dan dialihkan.
Ada dua bentuk peralihan hak atas tanah atau hak milik dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a) Beralih adalah berpindahnya hakatas tanah atau hak milik dari pemegang
haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau
melalui pewarisan. Peralihan ha katas tanah atau hak milik ini terjadi karena
37
Boedi Harsono, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama,
Djambatan, Jakarta, hal. 55.
35
hokum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subyek), maka ahli
warisnya memperoleh hak atas tanah atau hak milik tersebut. Dimana subyek
dalam beralihnya hakatas tanah atau hak milik harus memenuhi syarat sebagai
pemegang hak atas tanah atau hak milik.
b) Dialihkan/pemindahan hak adalah berpindahnya hak atas tanah atau hak milik
dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak lain karena suatu pernuatan
hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut
memperoleh hak tersebut. Dalam dialihkan/pemindahan hak di sini, pihak
yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak dan berwenang
memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus
memenuhi syarat sebagai pemegang hakatas tanah atau hak milik.38
Dalam perbuatanhukum pemindahan hak, hak atas tanah yang
bersangkutan sengaja dialihkan kepadapihak lain. Bentuk pemindahan haknya
bisa dikarenakan:
a. Jual-beli,
b. Tukar menukar,
c. Hibah,
d. Pemberian menurut adat,
e. Pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng” dan
f. Hibah wasiat atau “legaat”39
Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan
dalam perusahaan atau “inbreng” dan hibah-wasiat atau “legaat” dilakukan oleh
para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut
PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya pembuatan hukum
38
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 301. 39
Boedi Harsono, op.cit.hal. 330.
36
yang bersangkutan dihadapan PPAT dipenuhi syarat terang dalam arti bukan
perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Akta
yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan
hukum jual-beli yang dilakukan.40
3. Perjanjian nominee.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, perjanjian nominee
merupakanperjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak
dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (dalam hal ini Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan) yakni seorang WNA dengan seorang WNI, yang dimaksudkan
agar WNA penguasai (memiliki) tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan
tersebut (secara de facto), namun secara legal-formal (de jure) tanah yang
bersangkutan diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam
namanya oleh WNA (bertindak selaku nominee).41
Walaupun terdapat berbagai varian dalam perjanjian berkenaan dengan
penguasaan tanah oleh warga negara asing, tetapi secara garis besar perjanjian
yang ditempuh pada umumnya terdiri dari :
1. Perjanjian induk yang terdiri dari Perjanjian Pemilikan Tanah dan
Surat Kuasa;
2. Perjanjian Opsi;
3. Perjanjian Sewa-menyewa;
4. Kuasa Menjual;
5. Hibah Wasiat; dan
40
Boedi Harsono, loc.cit. 41
Maria S.W. Sumardjono, loc.cit.
37
6. Surat Pernyataan Ahli Waris.
Bila dilihat sepintas lalu, perjanjian notariil tersebut di atas seolah olah
tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak dalam
bentuk pemindahan hak secara langsung.Namun, bila isi perjanjian diperiksa
dengan seksama, maka semua perjanjian tersebut secara tidak langsung
dimaksudkan untuk memindahkan tanah Hak milik atau Hak Guna Bangunan
kepada warga negara asing. Isi dari perjanjian tersebut di atas ialah :
1. Perjanjian Pemilikan Tanah dan Pemberian Kuasa.
Dalam Perjanjian Pemilikan Tanah pihak WNI mengakui bahwa tanah
hak milik yang terdaftar atas namanya bukanlah miliknya, tetapi milik
WNA yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah Hak Milik
beserta bangunan. Selanjutnya pihak WNImember kuasa yang tidak
ditarik kembali kepada pihak WNA untuk melakukan segala tindakan
hukum terhadap tanah Hak Milik dan bangunan.
2. Perjanjian Opsi.
PihakWNI memberikan opsi untuk membeli tanah Hak Milik dan
bangunan kepada pihak WNA kerena dana untuk pembelian tanah Hak
Milik dan bangunan itu disediakan pihak WNA.
3. Perjanjian Sewa Menyewa.
Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa
berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak
yang menyewakan (WNI) dan penyewa (WNA).
38
4. Kuasa untuk menjual.
Kuasa untuk menjual berisi pemberian kuasa dengan hak substansi dari
pihak WNI (pemberi kuasa) kepada pihak WNA (penerima kuasa)
untuk melakukan perbuatan hukum menjual atau memindahkan tanah
Hak Milik dan bangunan.
5. Hibah Wasiat.
Pihak WNI menghibahkan tanah Hak Milik dan bangunan atas
namanya kepada pihak WNA.
6. Surat Pernyataan Ahli Waris.
Istri pihak WNI dan anaknya menyatakan bahwa walaupun tanah Hak
Milik dan bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi suaminya
bukanlah pemilik sebenarnya atas tanah hak milik dan bangunan
tersebut.42
4. Warga Negara Asing (WNA) atau Orang Asing.
Menyimak dari ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang.
Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Nomor 12/2006), maka melalui
penafsiran a contrario (berlawanan), yang dimaksud dengan orang asing adalah
orang yang bukan Warga Negara Indonesia tetapi memiliki kewarganegaraan
tertentu dari negara asalnya dan berada di Indonesia baik sebagai penduduk
Indonesia maupun tidak. Dengan demikian, orang-orang yang ada di Indonesia
baik untuk sementara waktu maupun dalam jangka waktu lama yang bukan
berkewarganegaraan Indonesia adalah Orang Asing. Secara formal, mengenai
42
Maria S.W. Sumarjono, op.cit, hal. 14-15.
39
kewarganegaraan dari penduduk Indonesia pada umumnya ditunjukkan melalui
surat tanda penduduk atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang.
Secara normatif UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia (UU Nomor 12/2006) sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 62 Tahun 1958 tidak mengatur secara tegas tentang pengertian orang
asing. Pasal 4 UU Nomor 12/2006 hanya menegaskan bahwa Warga Negara
Indonesia adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah
menjadi Warga Negara Indonesia:
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing:
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia:
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan
kepada anak tersebut;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
Warga Negara Indonesia:
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin:
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya:
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui:
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya:
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan
40
dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Berdasarkan rumusan kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
UU Nomor 12 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa Warga Negara Indonesia
dapat terjadi karena (a) peraturan perundang-undangan (b) perkawinan yang sah
dan di luar perkawinan yang sah (c) kelahiran di wilayah Republik Indonesia dan
diluar wilayah Republik Indonesia (d) karena permohonan. Selanjutnya pada
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan ”Setiap orang yang bukan
Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Pasal 19 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan “Warga Negara Asing yang kawin secara
sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara
dihadapan pejabat.
5. Akta Notaris.
Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai
alat bukti tertulis. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat
yang merupakan akta dan surat yang bukan akta. Akta sendiri adalah surat sebagai
alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
41
pembuktian.43
Akta dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah
tangan. Membuat akta otentik inilah pekerjaan pokok sekaligus wewenang notaris.
Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Notaris diberikan kepercayaan
dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan masyarakat. Hanya
orang-orang yang sudah dikenal kejujurannya serta mempunyai pengetahuan dan
kemampuan di bidang hukum saja yang diijinkan untuk memangku jabatan
notaris. Oleh karena itulah, pemegang jabatan notaris harus menjaga keluhuran
martabat jabatannya dengan menghindari pelanggaran aturan dan tidak melakukan
kesalahan profesi yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.44
Meski diangkat sebagai pejabat umum, namun Notaris bukan pegawai
negeri sipil menurut undang-undang atau peraturan kepegawaian negara, karena
Notaris tidak digaji oleh Negara dan tidak mendapat uang pensiun dari negara
apabila telah pensiun atau berhenti sebagai pejabat umum. Notaris menerima
honorarium dari klien atas jasa-jasa yang telah diberikan kaitannya dengan
pembuatan akta otentik.45
Masyarakat membutuhkan jasa notaris untuk dibuatkan akta-akta sebagai
alat bukti otentik bagi setiap perbuatan atau hubungan hukum yang oleh para
pihak dikehendaki atau oleh undang-undang diharuskan dengan akta otentik.
43
Abdul Ghotur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia
Persepektif Hukum Dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 18. 44
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris,
LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 72. 45
Ibid., hal. 72-73.
42
Akta-akta tersebut oleh para pihak digunakan sebagai alat bukti jika terjadi
persengketaan dan untuk mendapat kepastian hukum.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono
berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam 2 (dua) klasifikasi,
yakni:
1. Penelitian Normatif yang terdiri dari:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
d. Penelitian sejarah hukum; dan
e. Penelitian perbandingan hukum.
2. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari:
a. Penelitian terhadap identifikasi;
b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.46
Berdasarkan klasifikasi di atas maka penelitian ini dapat dimasukkan
dalam jenis penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berangkat dari
adanya kekaburan norma pada Pasal 26 ayat (2) UUPA terkait dengan akibat
hukum perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Metoda pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual
46
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 42-43.
43
approach), serta pendekatan kasus (case approach).Sebab untuk mengukur
sebuah perjanjian nominee yang di dalamnya mengandung peralihan hak milik
atas tanah mempunyai atau tidakmempunyai dasar hukum, digunakan UUPA
khususnya Pasal 26 ayat 2 sekaligus di dalamnya dikaji perihal konsep peralihan
hak milik atas tanah itu sendiri berdasarkan undang-undang. Sedangkan dalam
rangka memberi jawaban tentang upaya-upaya hukum yang dapat ditempuh dalam
menyelesaikan sengketa yang ada, digunakan contoh kasus yang terdapat dalam
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, makasumber data
utamanya adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, baik bahan hukum
primer, sekunder, dan tertier. Bahan hukum primer yangterdiri atas berbagai
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945),Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Undang-UndangNo. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Bahan hukum sekunderyang berupa buku-buku, Disertasi dan hasil penelitian lain.
Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
44
dari bahan hukum primer dan sekunder contohnya kamus hukum dan
ensiklopedia.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan
dengan teknik study dokumen.Teknik pengumpulan bahan hukum study dokumen
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan bahan hukum yaitu peraturan perundang-undangan, pendapat
para ahli (doktrin) maupun teori-teori hukum yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas dalam penulisan.
2. Mencocokkan peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin)
dan teori-teori hukum yang dibahas dalam penulisan.
3. Menganalisis semua bahan hukum yang telah dikumpulkan mulai dari
peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) sampai dengan
teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam
penulisan.
4. Hasil analisis dari peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin)
dan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan praktek yang dalam
penulisan ini praktek perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas
tanah kepada WNA yang dibuat dengan akta notaris.
45
1.6.5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian disistematisir
selanjutnya ditafsirkan dan dianalisis. Mengenai metode penafsiran, secara teori
dijumpai bebrapa cara yakni :47
1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie), adalah
penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata di dalam undang-undang
tersebut;
2) Penafsiran dari segi sejarah (historische interpretatie) adalah penafsiran yang
didasarkan pada sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, untuk
mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi
penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan
penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie);
3) Penafsiran dari segi sistem peraturan/perundang-undangan yang bersangkutan
(sistematische interpretatie), yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal satu
dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang
bersangkakutan atau perundang-undangan lain atau membaca penjelasan
undang-undang sehingga mengerti maksudnya;
4) Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie),adalah penafsiran
yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan
hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas
keadilan masarakat;
47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono
Soekanto I), hal. 27.
46
5) Penafsiran otentik (authentieke interpretatie), atau penafsian secara resmi
yaitu penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri,
tidak boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan;
6) Penafsiran analogis, yaitu penafsiran dengan memberi ibarat/kias, sesuai
dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan
peraturannya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.
7) Penafsiran berlawanan (a contrario), yaitu penafsiran dengan cara
melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur
dalam suatu pasal undang-undang;
8) Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam
peraturan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukan;
9) Penafsiran restrictif, yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam
peraturan;
10) Penafsiran perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara
membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu
ketentuan undang-undang.
Sehubungan dengan penulisan tesis ini yang berangkat dari kekaburan
norma, maka digunakan metode penafsiran otentik guna memperjelas makna
norma yang terkandung pada ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Dengan metoda
tersebut dapat dijelaskan tentang makna dan maksud larangan terhadap
dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum yang langsung maupun tidak langsung
menyebabkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada WNA
menurut undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA. Selain itu,
47
digunakan penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie), karena
dalam pemahaman hukum masyarakat tentang perbuatan-perbuatan hukum yang
dilarang oleh undang-undang adalah peralihan hak milik atas tanah antara WNI
kepada WNA sehingga secara langsung WNA atas nama dalam bukti pemilikan
tanah (sertipikatnya). Demikian juga dalam hal penyelesaian sengketa, bagi
masyarakat kebanyakan ditempuh upaya non ligitasi, yaitu berupa penyelesaian
muyawarah mufakat antara WNI dengan WNA yang bersengketa.Padahal upaya
hukum tersebut seringkali merugikan pihak WNI di samping secara normatif
keberadaan tanah sebagai obyek sengketa belum mempunyai kepastian hukum,
apakah merupakan hak dan dibawah penguasaan pihak-pihak atau salah satu pihak
seperti WNI. Sedangkan menurut UUPA tanah tersebut adalah jatuh kepada
Negara.
48
BAB II
PERJANJIAN YANG TERKAIT DENGAN PERALIHAN HAK MILIK
ATAS TANAH YANG DIBUAT DALAM BENTUK AKTA NOTARIS
2.1. Perjanjian Menurut Konsep Hukum Perdata.
2.1.1. Pengertian, Syarat Sahnya dan Unsur-unsur Perjanjian.
Pengertian Perjanjian.
Pasal 1233 KUHPerdata menentukan bahwa perikatan lahir karena suatu
perjanjian atau karena undang-undang. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa
sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian selain undang-undang,
terutama perjanjian obligatoir yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku
Ketiga KUHPerdata “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak
atau perjanjian” sesuai dengan maksud ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata
yang menentukan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Semua tindakan baik perikatan yang terjadi karena undang-undang
maupun karena perjanjian, merupakan fakta hukum.Fakta hukum adalah kejadian-
kejadian, perbuatan/tindakan, atau keadaan yang menimbulkan beralihnya,
berubahnya, atau berakhirnya suatu hak.Sehingga fakta hukum dapat berupa
perbuatan/tindakan, juga dapat berupa fakta lainnya, seperti fakta hukum apa
adanya (blote rechtsfeiten) misalnya kelahiran, kematian, kedewasaan atau
keadaan belum dewasa, hubungan kekerabatan ataupun lewatnya waktu/daluarsa.
48
49
Ada dua bentuk tindakan atau perbuatan manusia, yaitu tindakan yang
berakibat hukum dan yang tidak berakibat hukum. Yang berkibat hukum itu
timbul karena pernyataan kehendak orang yang ditujukan untuk terjadinya akibat
hukum, dimana timbulnya akibat hukum tersebut merupakan tujuan dari kehendak
orang. Tindakan demikian dinamakan tindakan hukum atau perbuatan hukum.
Timbulnya suatu akibat hukum baik merupakan maupun tidak merupakan
tujuannya maka tindakan tersebut dikenal sebagai peristiwa hukum.
Tindakan atau perbuatan hukum dibagi menjadi tindakan hukum sepihak
dan tindakan hukum berganda.Tindakan hukum sepihak adalah tindakan yang
dilakukan oleh seorang saja dan menimbulkan berubah dan berakhirnya suatu hak
seperti pembuatan wasiat, penolakan harta peninggalan dan pengakuan anak (luar
kawin). Pada tindakan hukum berganda diperlukan kerja sama dari dua pihak atau
lebih untuk memunculkan akibat hukum. Perjanjian adalah contoh utama untuk
tindakan hukum berganda.
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah
suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu.48
Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi
bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antarabeberapa pihak,
dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi)
sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
48
Wirjono Prodjodikoro,loc.cit
50
tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu.49
Pendapat lain
dikemukakan oleh Soebekti mendefinisikan pengertian perjanjian sebagai berikut
: Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.50
Jadi secara umum, berdasarkan pada batasan-batasan dalam definisi di
atas, maka perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk
dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari
dua orang (pihak) atau lebih. Tercapainaa sepakat tersebut tergantung dari pihak
yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas
beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan
perundang-undangan.51
Syarat sahnya perjanjian.
Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
49
Bacshan Mustafa dkk, loc.cit 50
R. Soebekti II, loc.cit 51
Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal. 3.
51
Ad.1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan
perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak.Unsur
kesepakatan yaitu penawaran (offerte) adalah pernyataan pihak yang menawarkan
dan penerimaan (acceptasi) adalah pernyataan pihak yang menerima
penawaran.Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal
terjadinya perjanjiaan. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada
beberapa macam teori/ajaran, yaitu :
a. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak
yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu,
misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima.
Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara
otomatis.
b. Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
Kelemahannya adalah tidak dapat dipastikan pengiriman itu telah diketahui
atau tidak oleh pihak yang menawarkan.
c. Teori Pengetahuan, mengajakan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya
sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walupun penerimaan itu belum
diterimanya dan tidak diketahui secara langsung), kelemahannya, bagaimana
ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
52
d. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakan terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat harus
diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.
Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni yang disebut cacat kehendak
(kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat
kehendak (Pasal 1321 KUH Perdata) :
1) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata). Sesat
dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu
didasarkan atas gambaran yang kelir baik mengenai orangnya (eror in
persona) atau obyeknya (eror in substantia). Cirinya yakni tidak ada pengaruh
dari pihak lain. Contoh : Si A membeli lukisan “potret” yang dikira lukisan
Affandi, tapi ternyata bukan lukisan Affandi melainkan lukisan palsu (eror in
substantia). Si A ingin memanggil Inul Daratista Si Goyang Ngebor namun
saat pentas ternyata Inul yang tampil bukan Inul Daratista melainkan Inul
Daramanja (eror in persona).
2) Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUH Perdata). Paksaan bukan karena
kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan telah terjadi
bila perbuatan itu sedimikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang
yang berpikiran sehat apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan
pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu
kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka pengertian paksaan
adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan
53
sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada
seseorang sehingga membuat perjanjian. Contohnya orang yang menodongkan
pistol guna memaksa orang yang lemah untuk membubuhkan tanda tangan di
sebuah perjanjian.
3) Penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUH Perdata). Pihak yang menipu dengan daya
akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau
obyeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.
Ad. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan.
Dalam dunia hukum perkataan orang (person) berarti pendukung hak dan
kewajiban yang juga disebut subyek hukum.Dengan demikian, maka dapat
dikatakan bahwa setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah
pembawa hak (subyek hukum) yang memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subyek hukum mempunyai hak
dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan hukum
tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum. Kewenangan
memiliki/menyandang hak dan kewajiban tersebut disebut kewenangan hukum
atau kewenangan berhak, karena sejak lahir tidak semua subyek hukum
(orang/person) yang ada pada umumnya memiliki kewenangan hukum itu, cakap
atau dapat bertindak sendiri (bekwaamheid). Kecakapan berbuat adalah
kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.Perbedaan
antara kewenangan dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum
maka subyek hukum dalam hal pasif sedang pada kecakapan berbuat maka subyek
hukumnya pasif.
54
Cakap untuk berbuat diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, Pasal 330
KUH Perdata dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kesimpulannya adalah :
(1) Orang dewasa (masing-masing aturan berbeda-beda)
(2) Sehat akal pikirnya (tidak ditaruh di bawah pengampuan)
(3) Tidak dilarang undang-undang.
Dulu orang-orang perempuan termasuk orang yang tidak cakap berbuat, namun
hal ini telah dihapus dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Dengan demikian
maka orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum),
dapat dibagi menjadi :
a) Mereka yang belum cukup umur, menurut Pasal 130 KUH Perdata adalah
mereka yang belum genap berusia 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka
yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili
oleh wali/perwalian (Pasal 331-414 KUH Perdata). Perwalian adalah
pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di
bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan
pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa.
b) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan, hal ini diatur dalam Pasal
433-462 KUH Perdata tentang pengempuan. Pengampuan adalah keadaan
dimana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap
tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (atau
pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus) oleh
putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap
55
bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang
disebut pengampu (curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut
curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah keadaan
dungu, sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan
sendiri hak dan kewajibannya) dan pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan
bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta
kekayaan saja).
Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya
permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur dalam Pasal 434-
435 KUHPerdata yaitu keluarga, diri sendiri dan jaksa dari kejaksaan. Akibat
hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat
berdasar penentuan hukum ialah dapat dimintakan pembatalan (Pasal 1331
ayat (1) KUH Perdata).
Ad. 3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu disini berbicara tentang obyek perjanjian (Pasal 1332-
1334 KUH Perdata). Obyek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal
tersebut yaitu :
- Obyek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan
dapat dihitung.
- Obyek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk
kepentingan umum tidak dapat menjadi obyek perjanjian).
56
Ad. 4.Suatu sebab yang halal.
Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tinjauan dari
para pihak mengadakan perjanjian (lihat Pasal 1337 KUH Perdata). Halal adalah
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Unsur-unsur Perjanjian
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata di atas, selain disebut sebagai syarat
sahnya suatu perjanjianjuga mengandung unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam
suatu perjanjian atau formalitas tertentu yang harus dipenuhimenurut peraturan
perundang-undangan dalam suatu perjanjian. Seperti, syarat kesepakatan dan
syarat kecakapan, biasa disebut sebagai syarat subyektif yakni mengenai
subyeknya. Sedangkan sarat tentang suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang
halal biasanya diseut dengan sarat obyektif atau syarat tetang obyeknya. Bila
syarat subyektinya tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk
membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari salah satu pihak yang
merasa dirugikan untuk membatalkannya). Batas waktu untuk membatalkannya
lima tahun seperti yang diatur dalam Pasal 1454 KUH Perdata. Kemudian bila
syarat obyektifnya tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum (sejak
semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan).
Syarat-syarat sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu perjanjian
dapat berupa unsur-unsur dari perjanjian itu sendiri, yaitu yang terdiri dari bagian
inti (essensialia) dan bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia).
1). Unsur Essensialia merupakan unsur mutlak yang harus ada. Unsur ini sangat
erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dan
57
untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis
perjanjiannya.Contoh : kesepakatan.
2). Unsur Naturalia adalah unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian,
sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. Contoh : menjamin
terhadap cacat tersembunyi.
3). Unsur Accidentalia merupakan unsur yang harus tegas diperjanjikan. Contoh :
pemilihan tempat kedudukan.
2.1.2. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas
perjanjian ada lima, yaitu :
1) Asas kebebasan berkontrak.
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata dan 1338
KUH Perdata). Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi
relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang
menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum
perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa)
dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-
ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasalhukum perjanjian namun bila
mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hak ini
Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan
58
berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentuka isi
perjanjian, pelaksanaan, persyaratannya dan menentukan bentuknya perjanjian
yaitu secara tertulis atau lisan. Namun keempat hal tersebut boleh dilakukan
dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
2) Asas konsensualisme.
Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320 KUH
Perdata, Pasal 1338 KUH Perdata).Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kemauan para pihak.
3) Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servada).
Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yan
membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).
4) Asas itikad baik (togoe dentrow).
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata). Itikad baik ada dua, yakni :
a) bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh : Si
A melakukan perjanjian dengan Si B membngun rumah. Si A ingin memakai
keramik cap gajah namun dipasaran habis maka diganti cap semut oleh Si B.
b) Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. contoh : Si A
ingin membeli motor, kemudian datanglah Si B (berpenampilan preman) yang
mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak
mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidaklegal.
59
5) Asas kepribadian (personalitas).
Pada umumnya tidak seorang pun dapt mengadakan perjanjian kecuali
untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata
tentang janji untuk pihak ketiga.52
Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman ada sepuluh asas perjanjian
yaitu : asas kebebasan mengadakan perjanjian. Asas konsensualisme, asas
kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, dan asas
kebiasaan.53
2.1.3. Jenis-jenis Perjanjian.
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, dengan demikian jenis-
jenis perjanjian dapat digolongkan menjadi 10 (sepuluh) jenis, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1) Perjanjian menurut sumbernya.
a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya perkawinan.
b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan adalah perjanjian
yang berhubungan dengan peralihan hukum benda.
c) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.
d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.
e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.54
52
Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9. 53
Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUHPERDATA Buku III, Alumni,
Bandung, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzman II), hal 108-109. 54
Sudikno Mertokusumo, 1986, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata,
Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno
Mertokusumo I), hal. 11.
60
2) Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak.
a) Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang manimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada dua macam yaitu timbal
balik yang sempurna dan timbal balik tidak sempurna. Missal : perjanjian
jal beli.55
b) Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang manimbulkan kewajiban pada
satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain hanya ada hak. Contoh : hibah
(Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792
KUH Perdata).56
3) Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada
pihak yang lain, dibedakan menjadi :
a) Perjanjian cuma-cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan
keuntungan pada salah satu pihak. Contoh : perjanjian hibah.
b) Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. contoh :
perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.57
4) Perjanjian menurut namanya dibedakan menjadi perjanjian
khusus/bernama/nominaat dan perjanjian umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUH Perdata).
a) Perjanjian khusus/bernama/nominaat, adalah perjanjian yang memiliki
nama dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh : perjanjian-perjanjian yang
terdapat dalam Buku III Bab V-XVIII KUH Perdata, antara lain perjanjian
55
Mariam Darus Badrulzaman II, op.cit, hal. 90. 56
Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda
dan Hukum Perikatan, Nusa Aulia, Bandung, hal. 87. 57
Salim HS.op.cit, hal. 20.
61
jual beli, sewa menyewa, perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian hibah,
perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam-
meminjam, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untung-
untungan, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan, dan
perjanjian perdamaian.
b) Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru, adalah
perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas
kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH
Perdata diundangkan.
5) Perjanjian menurut bentuknya ada dua macam, yaitu perjanjian lisan/tidak
tertulis dan perjanjian tertulis. Termasuk perjanjian lisan adalah :
a) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat
antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang
bersangkutan.58
b) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya
penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan
barangnya. Misalnya, perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam
pakai.59
58
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 48. 59
Mariam Darus Badrulzaman II, op.cit, hal. 92-93.
62
Perjanjian tertulis dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yang masing-
masing dijabarkan sebagai berikut :
a) Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis yang
isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh
produsen serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan
kondisi yang dimiliki konsumen.60
b) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan fomalitas
tertentu. Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal
1851 KUH Perdata), perjanjian hibah dengan akta notaris.
6) Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian
ini menurut Mariam Darus Badrulzaman, yaitu :
a) Perjanjian liberatoir, adalah perjanjian dimana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan
hutang (1438 KUH Perdata).
b) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan
pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
c) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774
KUH Perdata).
d) Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai
penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.61
7) Perjanjian campuran/contactus sui generis (Pasal 1601 C KUH Perdata).
Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama
yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-
pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contoh : perjanjian
antara pemilik hotel dengan tamu.
60
Djaja S. Meliala,op.cit, hal. 90. 61
Mariam Darus Badrulzaman II, op.cit, hal.93.
63
8) Perjanjian penanggungan (borgtocht), adalah suatu persetujuan dimana pihak
ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi
perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH
Perdata).
9) Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan derden beding (Pasal 1317
KUH Perdata).
a) Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak
lain (lawan janjianya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar
perjanjian (buka pihak dalam perjanjian bersangkutan) akan melakukan
sesuatu (atau tidak akan melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi
pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya, maka ia akan bertanggung
jawab untuk itu.62
Dengan kata lain, perjanjian garansi adalah perjanjian
dimana seorang A berjanji kepada pihak B bahwa orang lain C akan
melaksanakan/memenuhi prestasi.
b) Derden beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu
perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
(Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUH Perdata) dan para pihak tidak dapat
mengadakn perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa
yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata).
10) Perjanjian menurut sufatnya dibedakan menjadi :
a) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian utama.
62
J. Satrio, op.cit, hal. 97.
64
b) Perjanjian accessoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian
utama/pokok, misalnya perjanjian pembebanan hak tanggungan atau
fudisia.63
Sedangkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan
dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut, yaitu ;
1) Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan
kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik.
2) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan
haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik.
2.1.4. PerjanjianNominee.
Perjanjian menurut namanya dibedakan menjadi perjanjian
khusus/bernama/nominaat dan perjanjian umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian jenis baru. Perjanjian khusus/bernama/nominaat
adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata sedangkan
perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru adalah
perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup di masyarakat karena asas kebebasan
berkontrak.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasuatu perjanjian nominee dibuat
dimaksudkan sebagai penyelundupan hukum bagi orang asing/WNA untuk
menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. Dimana orang
asing/WNA sesungguhnya membeli sebidang tanah hak milik dengan
63
Salim HS., op.cit, hal. 20.
65
menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli (dibayar)
oleh orang asing/WNA tersebut namun didaftarkan menjadi/ke atas nama WNI.
Sementara itu, guna memperoleh perlindungan hukum terhadap pemilikan hak
atas tanah yang dibelinya tersebut,diantara orang asing/WNA dengan WNI
dibuatkan perikatan dalam satu atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu
akta pernyataan yang isinya bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam
namanya dalam bukti hak milik atas tanah (sertipikat), sedangkan pemilik
sesungguhnya adalah orang asing/WNA tersebut. Terobosan atau hal seperti inilah
dalam kehidupan masyakarat lazim disebut dengan akta nominee.
Lebih jelasnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang isinya
tentang pengingkaran atas pemilikan tanah hak milik dari seseorang WNI yang
telah diberikan/ditetapkan oleh negara kepada warga negaranya sebagaimana
ditulis dalam sertipikat tanahnya, dengan menyatakan bahwa ia bukanlah sebagai
pemilik (de facto) dari tanah tersebut melainkan milik orang asing/WNA yang
memang memberi uang dan selanjutnya menguasai tanah dimaksud. Dimana
faktanya yang menguasai tanah hak milik tersebut adalah orang asing/WNA yang
diatasnamakanWNI.
Menurut Maria S.W. Sumardjono perjanjian nominee merupakanperjanjian
yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek
hak atas tanah tertentu (dalam hal ini Hak Milik atau Hak Guna Bangunan) yakni
seorang orang asing/WNA dengan seorang WNI, yang dimaksudkan agar orang
asing/WNA dapat menguasai tanah hak milik atau hak guna bangunan tersebut
(secara de facto), namun secara legal-formal (de jure) tanah yang bersangkutan
66
diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang
asing/WNA (bertindak selaku nominee).64
Dari uraian tentang maksud suatu perjanjian nominee di atas, maka
perjanjian nominee termasuk perjanjian innominaat karena telah memenuhi unsur-
unsur dari perjanjian innominaat, yaitu :
1) Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata.
2) Perjanjian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
3) Berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Serta pada dasarnya perjanjain nominee tersebut dibuat untuk menyiasati
peraturan perundang-undangan khususnya UUPA pada Pasal 26 ayat (2) yang
sebenarnya secara implisit melarang WNA memiliki hak milik atas tanah di
Indonesia.
2.2. Peralihan Hak Atas Tanah Menurut Hukum Agraria
2.2.1. Hak-hak Atas Tanah Dalam UUPA
Pembentukan Hukum Tanah Nasional (HTN) yang diawali lahirnya
UUPA berusaha melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum
tanah yang bersifat tunggal.Sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum
agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat.Dualisme
hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24
September 1960 dan sejak itu seluruh wilayah Indonesia hanya ada satu hukum
agraria yaitu hukum agraria berdasarkan UUPA.
64
Maria S.W. Sumardjono, loc.cit.
67
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu
tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menentukan :
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu :
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang
memiliki jangka waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain
atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara seperti Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang dan Hak Menyewa atas Tanah Pertanian.
Sistem penguasaan tanah di Indonesia yang meliputi hak perorangan
meliputi berbagai hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA yang
menentukan :
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalan Pasal4 ayat (1) ialah :
a. Hak milik,
b. Hak guna-usaha,
c. Hak guna-bangunan,
68
d. Hak pakai,
e. Hak sewa,
f. Hak membuka tanah,
g. Hak memungut hasil-hutan,
h. Hak-hak yang tidak termasuk dlam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutka dalam Pasal 53.
(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) ialah :
a. Hak guna-air,
b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. Hak guna-ruang angkasa.
Demikianlah berbagai hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA,
namun yang akan dijelaskan selanjutnya dalam penulisan ini yaitu hak-hak atas
tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, sebagai berikut :
(a) Hak Milik (HM), HM digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan
paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun
menurun”. Turun menurun artinya HM atas tanah dapat berlangsung terus
selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka
HMnya dapat dilanjutkan oleh akli warisnya sepanjang memenuhi sebagai
subyek HM. Terkuat artinya HM atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas
tanah yang lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya HM atas tanah
member wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan
denganhak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang
lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain dan penggunaan tanahnya
lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Subyek HM yang dapat memiliki HM atas tanah menurut UUPA dan peraturan
pelaksanaannya adalah :
69
1. Perseorangan, yaitu WNI baik pria maupun wanita tidak berkewarganagaraan
rangkap (Pasal 9, Pasal 20 ayat (1) UUPA).
2. Badan-badan hukum tertentu, yaitu bank-bank yang didirikan oleh Negara,
koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (Pasal 21 ayat (2)
UUPA, PP Nomor 38 Tahun 1963 tentag Penunjukan Badan-badan Hukum
yang Dapat Mempunyai Hak Atas Tanah, Permen Agraria/Kepala BBPN
Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan).
HM atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana disebutkan dalam Pasal
22 UUPA, yaitu :
1. HM atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, yaitu terjadi karena
pembukaan tanah (pembukaan hutan), terjadi karena timbulnya lidah tanah.
2. HM atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah, yaitu pemberian hak baru
(melalui permohonan) dan peninhkatan hak.
3. HM atas tanah terjadi karena undang-undang.
Faktor-faktor penyebab hapusnya HM atas tanah diatur dalam Pasal 27
UUPA, yaitu :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
2. Dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.
3. Dicabut untuk kepentingan umum.
4. Tanahnya ditelantarkan.
5. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek HM atas tanah.
70
6. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak
lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek HM atas tanah.
7. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.
(b) Hak Guna Usaha (HGU), adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan
usaha pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat 91)
UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Subyek HGU yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA jo Pasal
2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, adalah :
1. WNI.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia.
HGU berasal dari tanah Negara, apabila asal tanah HGU berupa tanah hak,
maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh
pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang
HGU.Terjadinya HGU dapat memlalui Penetapan Pemerintah (pemberian hak)
dan ketentuan undang-undang. Mengenai jangka waktu HGU untuk pertama
kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Sedangkan menurut Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah mengatur jangka waktu HGU untuk
71
pertama kalinya 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat
diperbaharui paling lama 35 tahun.
Hapusnya HGU diatur dalam Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu :
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang
tidak dipenuhi.
3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGU.
(c) Hak Guna Bangunan (HGB), adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
Subyek HGB yang dapat mempunyai HGB menurut Pasal 36 UUPA dan Pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, adalah :
1. WNI.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia.
HGB berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, tanah Hak
Pengeloaan atau tanah HM orang lain (Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 Peraturan
72
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah). HGB dapat terjadi karena Penetapan
Pemerintah (tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan), perjanjian pemberian oleh
pemegang HM dengan akta yang dibuat oleh PPAT, dan ketentuan undang-
undang. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, sebagai berikut:
1. HGB atas tanah Negara dan tanah Han Pengelolaan berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama
30 tahun.
2. HGB atas tanah HM berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada
perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang HGB dapat diperbaharui dengan pemberian HGB baru dengan akta
yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat.
Hapusnya HGB diatur dalam Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Thaun 1960tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu :
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Penglolaan atau
Pemegang HM sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan dalam HGB, tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak antara pemegang
73
HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HM, dan putusan
pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGB.
(d) Hak Pakai (HP), adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasi dari
tanah yang dikuasai oleh Negara atatu tanah HM orang lain yang member
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian
haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Subyek HP diatur dalam Pasal 42 UUPA dan Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, adalah :
1. WNI.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
4. Badan-badan keagamaan dan sosial.
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan internasional.
74
Obyek HP berasal dari tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah
HM (Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah). HP dapat terjadi
karena Penetapan Pemerintah (tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan),
perjanjian pemberian oleh pemegang HM dengan akta yang dibuat oleh PPAT,
dan ketentuan undang-undang.
Jangka waktu HP berbeda sesuai dengan asal tanahnya yang diatur dalam
Pasal 45-49 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, sebagai berikut :
1. HP atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga
Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosal,
perwakilan negara asing, dan perwakilan badan Internasional diberikan untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
2. HP atas tanah HM berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada
perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang HP dapat diperbaharui dengan pemberian HP baru dengan akta
yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat.
Hapusnya HP diatur dalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah, antara lain :
75
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Penglolaan atau
Pemegang HM sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan dalam HGB, tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak antara pemegang
HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HM, dan putusan
pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HP tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HP.
(e) Hak Sewa, adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah HM orang lain dengan
membayar sejumlah uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa seperti yang
ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA. Hak Sewa merupakan HP yang
memiliki sifat-sifat khusus dimana Hak Sewa hanya disediakan untuk
bangunan-bangunan yang berhubungan dengan pertanian (Pasal 10 ayat (1)
UUPA).
Subyek Hak Sewa diatur dalam Pasal 45 UUPA,dimana dalam Pasal
tersebut ditentukan yang dapat menjadi subyek Hak Sewa adalah :
76
1. WNI.
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Obyek Hak Sewa merupakan hak atas tanah yang dapat disewakan kepada
pihak lain yang berupa HM dan obyek yang disewakan pemilik tanah kepada
pemegang Hak Sewa adalah tanah bukan bangunan. Terjadinya Hak Sewa karena
perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah dengan pemegang
Hak Sewa, yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.Mengenai jangka waktu Hak Sewa, UUPA dalam hal ini tidak
mengatur secara tegas berapa lama jangka waktunya.Jangka waktu Hak Sewa
diserahkan sepenuhnya kepada pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa.
Hapusnya Hak Sewa tidak diatur dalam UUPA maupun Peraturan
Pemerintah, hapusnya Hak Sewa tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain :
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka wakunya berakhir karena pemegang Hak Sewa
tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Sewa.
3. Dilepaskan oleh pemegang Hak Sewa sebelum jangka waktunya berakhir.
4. HM atas tanahnya dicebut untuk kepentingan umum.
5. Tanahnya musnah.
77
(f) Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan, merupakan hak yang
hanya dapat didapatkan oleh WNI yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan secara hukum tidaklah serta
merta mendapatkan HM (right of ownership) atas tanah yang
bersangkutan.Hak Membuka Lahan dan Hak Memungut Hasil Hutan
merupakan hak atas tanah yang diatur dalah hukum adat.65
2.2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Negara
Hak penguasaan tanah oleh Negara ditentukan dalam Pasal 2 UUPA, yang
menyatakan bahwa :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini
memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan mengelengarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut
pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swantantra dan masyarakat-
65
Maulanaz Nova, 2012, Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Di Indonesia,
http://www.google.com/search?q=maulanaz+nova+jenis-jenis+hak
+atas+tanah+di+Indonesia&hl=en&sa=x&as_q=&spell=1&ei=YB5tUsDoB4f9rA
fLI4CYBg&ved=0CAoQBSgA, diakses tanggal 5 Agustus 2013.
78
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Selanjutnya yang dimaksud penguasaan Negara terhadap semua tanah
yang ada di wilayah Indonesia, yaitu kekuasaan kegara yang dimaksud adalah
mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh
seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai
orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa
Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan
haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut.
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh
seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh yang bertujuan bahwa
negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan
hukum dengan suatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau
memberikannya dengan pengelolaan kepada suatu badan penguasa (department,
jawatan atau daerah swantantra) untuk diperguanakan bagi pelaksanaan tugasnya
masing-masing berdasarkan Pasal 2 ayat (4).66
Kekuasaan Negara atas tanah dapat digolongkan menjadi tiga macam,
antara lain :
1. Penguasaan secara penuh, yaitu terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai
dengan suatu hak oleh suatu sunyek hukum. Tanah ini dinamakan “tanah
bebas/tanah Negara” atau “tanah” yang dikuasai langsung oleh Negara”.
66
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra
Media, Yogyakarta, hal. 37-38.
79
Negara dapat memberikan tanah ini kepada suatu subyek hukum dengan suatu
hak.
2. Penguasaan secara terbatas/tidak penuh, yaitu terhadap tanah-tanah yang
sudah dipunyai dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum. Tanah ini
dinamakan “tanah hak” atau “tanah” yang dikuasai secara tidak langsung oleh
Negara”.
3. Kekuasaan Negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh Negara
terhadap tanah hak, dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya, kekuasaan Negara
tersebut dibatasi oleh kekuasaan (wewenang) pemegang hak atas tanah yang
diberikan oleh negara untuk menggunakan haknya.67
2.2.3. Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memindahkan,
sedangkan hak berarti suatu yang benar.68
Jadi peralihan hak adalah suatu
peristiwa hukum yaitu pemindahan hak dari satu pihak kepada pihak lain, pihak
yang menerima hak akan menerima hak dalam status asal tanpa perubahan dan
untuk selama-lamanya.69
Pengertian lain tentang peralihan hak atas tanah, menurut Erene Eka
Sihombing adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah
atau beberapa bidang tanah tanah dari pemilik semula kepada pemilik yang baru
67
Ibid. 68
Poerwadarminta,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal.156 69
Munir Fuadi 1996, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku III),
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67.
80
karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak
bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama-
lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang
hak atas tanah).70
Menurut konsep peralihan hak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Pertanahan bahwa peralihan hak yang dilakukan dihadapan seorang Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan proses balik nama merupakan suatu
peristiwa hukum terjadinya transaksi jual beli dengan merubah status kepemilikan
dari penjual sebagai pemilik tanah sebelumnya kepada pembeli sebagai pemilik
tanah yanag baru. Akan tetapi, yang dimaksud dalam penulisan ini tidak sebatas
itu karena dalam suatu perjanjian dan kuasa yang dibuat oleh para pihak sebelum
pencatatan secara yuridis dilakukan telah memberikan kuasa secara penuh kepada
pihak ke tiga sehingga terjadi suatu peralihan hak.
Peralihan hak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah masuk
dalam bagian keempat yaitu bagian pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Pemeliharaan data dan pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
Perbahan data fisik yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3)
PMKA/Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 yaitu :
70
Irene Eka Sihombing, 2005, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 56.
81
a. Pemecahan bidang tanah.
b. Pemisahan sebagin atau beberapa bagian dari bidang tanah.
c. Penggabungan dua atau lebih dari bidang tanah.
Penguasaan secara yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan
umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untukmenguasai secara
fisik tanah yang dihaki. Namun, ada pula penguasaan yuridis yang biarpun
member kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada
kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain yang didasarkan atas
perjanjian dan kuasa seperti yang telah dijelaskan di atas.
2.3. Pengertian Orang Asing Menurut Hukum di Indonesia
Penduduk yang tinggal dalam suatu negara dapat terdiri dari warga negara
dan bukan warga negara.Penduduk yang bukan merupakan warga negara dari
negara yang bersangkutan biasa disebut dengan orang asing.Demikian halnya
dengan penduduk di Indonesia, yang terdiri dari WNI dan WNA atau orang asing.
Pengaturan hukum mengenai kewarganegaraan diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia (UU Nomor 12/2006). Dalam Pasal 4-nya menentukan
bahwa:
Warga Negara Indonesiaadalah :
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang–undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lainsebelum Undang–Undang ini berlaku sudah menjadi
Warga NegaraIndonesia;
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
82
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan
kepada anak tersebut;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
Warga Negara Indonesia;
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang
padawaktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan
dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selanjutnya tentang orang asing diatur dalam Pasal 7 dari UU Nomor
12/2006 yang menentukan bahwa : “Setiap orang yang bukan Warga Negara
Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Namun demikian secara yuridis,
orang asing di Indonesia, selain dari yang ditentukan dalam Pasal 7 tersebut,
adalah juga WNI yang kehilangan kewarganegaraannya. Hal tersebut
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 UU Nomor 12/ 2006, yaitu :
83
Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang
bersangkutan :
a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
c. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan dinyatakan hilang KewarganegaraanRepublik Indonesia tidak
menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. Masuk dalam dinas tentara asingtanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden;
e. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam
dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara
Indonesia;
f. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. Tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing
atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang
masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau
i. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5
(lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa
alas an yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya
untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5
(lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang
bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga
Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal
Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara
tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak
menjadi tanpa kewarganegaraan.
Kehadiran orang asing/WNA untuk menetap sementara di Indonesia,
secara yuridis membawa akibat hukum terutamannya dari sisi hukum perdata,
bahwa mereka tetap memiliki hak-hak perdata yang dijamin oleh undang-undang.
Diantara hak-hak perdata yang dimiliki, antara lain orang asing mempunyai hak
untuk melakukan jual beli berbagai jenis barang termasuk membeli tanah yang
84
berstatus hak pakai untuk membangun tempat tinggal. Selain itu mempunyai hak
untuk melakukan perkawinan dan dapat memilih orang Indonesia sebagai
pasangannya, yang kemudian dengan perkawinan itu orang asing tersebut
mempunyai hak untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Selain hal
tersebut, hak keperdataannya bagi orang asing yang bekerja di Indonesia
mempunyai hak untuk menerima upah atau gaji dan kesejehteraan lainnya.71
2.4. Hakekat Akta Notaris dan Tanggung Jawab Notaris Terhadap
Pembuatan Akta
2.4.1. Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1867 KUH Perdata akta notaris dibagi
menjadi 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik
dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu akta umum dan akta khusus. Kemudian akta
umum tersebut dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis, antara lain :
1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris biasa disebut dengan istilah akta relaas
atau Berita Acara, akta ini merupakan akta yang inisiatif pembuatannya dari
pejabat yang bersangkutan. Contoh : Berita Acara Rapat Umum Pemegang
Saham pada Perseroan Terbatas.
2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris biasa disebut dengan
istilah akta pihak atau akta partij, akta ini adalah akta yang inisiatif
71
Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta Timur, hal. 2.
85
pembuatannya dari para pihak dihadapan pejabat yang berwenang. Contoh :
akta jual beli, akta sewa menyewa.72
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar dari sesuatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian. Alat bukti tulisan dibagi menjadi dua seperti yang
dinyatakan dalam Pasal 1867 KUH Perdata, yaitu : “Pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah
tangan.” Dalam pasal-pasal selanjutnya, KUH Perdata menyebut tulisan-tulisan
otentik dan di bawah tangan tersebut dengan kata “akta”, dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa akta ialah tulisan-tulisan yang sengaja dibuat oleh yang
berkepentingan untuk dipergunakan sebagai alat pembuktian.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, dengan atau
tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan
tentang apa yang dilakukannya atau dilihat dihadapannya. 73
Dalam Pasal
1868 KUH Perdata disebutkan bahwa “Suatu akta otentik yaitu suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
72
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap
UU No. 30 Thun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal.
45. 73
Husni Thamrin, 2011, op.cit, hal. 11.
86
Dengan demikian undang-undang telah menegaskan bahwa suatu akta
disebut sebagai akta otentik jika : (1) bentuknya ditentukan oleh undang-
undang; (2) dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; (3) dibuat di wilayah
kewenangan dari pejabat yang membuat akta tersebut. Pejabat yang dimaksud
dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut adalah salah satunya notaris
sebagaimana diatur dalam UUJN yang merupakan pejabat umum yang
ditunjuk untuk membuat akta otentik sepanjang berdasarkan peraturan umum
tidak ditunjuk atau dikecualikan kepada pejabat lain.
Akta otentik mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat, artinya
sempurna adalah bahwa untuk membuktikan akta itu sempurna/tidak, atau
benar/tidak, cukup dibuktikan dengan akta itu sendiri, dengan kata lain tidak
memerlukan pembuktian dengan alat bukti lainnya. Mengikat artinya bahwa
hakim harus menguji kebenaran isi akta otentik itu sendiri kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.74
Akta Di Bawah Tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat umum yang berwenang. Akta
demikian dibuat semat-mata oleh para pihak yang berkepentingan.75
Akta di
bawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan
dari pihak-pihak yang membuatnya, artinya kekuatan akta di bawah tangan ini
dapat dipersamakan kakuatannya dengan akta otentik bila dalam hal
pembuktiannya oleh para pembuat akta di bawah tangan mengakui atau
membenarkan apa yang ditandatangani. Dengan demikian, maka bila di dalam
74
Hendri Raharjo, op.cit, hal. 65. 75
Husni Thamrin, loc.cit.
87
akta otentik tidak perlu persetujuan dari pihak tertentu namun di dalam akta di
bawah tangan memerlukan persetujuan dari pihak tertentu. Oleh karena itu,
perbedaan antara akta di bawag tangan dengan akta otentik adalah terletak
pada ada atau tidaknya campur tangan dari pejabat yang berwenang.76
2.4.2.Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis
Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada
dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan,
sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai
pembuktian.Dalam perkembangan alat bukti alat bukti sekarang ini (untuk perkara
pidana atau perdata telah pula diterima alat bukti elektronik atau yang terekam
atau yang simpan secara elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan
pengadilan.77
Menurut KUH Perdata dalam Pasal 1866, alat bukti yang sah atau yang
diakui oleh hukum terdiri dari :
1. Bukti tulisan.
2. Bukti dengan saksi-saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
76
Hendri Raharjo, op.cit.hal. 66. 77
M. Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah
Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta, hal. 157.
88
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan
tulisan di bawah tangan seperti yang ditentukan dalam Pasal 1867 KUH Perdata.
Pasal 1868 KUH Perdata juga menentukan bahwa “Tulisan otentik berupa akta
otemtik yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang,
dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu
dibuat. ”Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat
dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau
tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang”. Baik akta otentik maupun akta
di bawah tangan dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti.
Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut yaitu dalam nilai
pembuktiannya. Akta otentik memiliki nilai pembuktian yang sempurna, dalam
arti akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu ditafsirkan lain selain yang
tertulis dalam akta tersebut. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai
kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya dan tidak ada
penyangkalan dari salah satu pihak.Jika para pihak mengakuinya maka akta di
bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
sebagaimana akta otentik.Jika ada salah satu pihak yang menyangkalnya, beban
pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan
penilaian panyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.78
Baik alat
bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata dan
secara materiil mengikat para pihak yang membuatnya sesuai dengan Pasal 1338
78
Ibid, hal. 136.
89
KUH Perdata sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (asas
Pacta Sunt Servanda).
2.4.3. Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta
Pasal 1 angka 1 UUJN memberikan definisi notaris sebagai berikut :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wewenang notaris sebagai
pejabat umum membuat akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka
oleh undang-undang, sedangkan wewenang pejabat lain selain notaris merupakan
pengecualian. Dalam hal ini, ada peraturan umum atau undang-undang yang juga
memberikan wewenang kepada pejabat atau orang lain untuk membuat akta
otentik, bukanlah berarti bahwa mereka itu kemudian menjadi pejabat umum.
Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat
umum memiliki ciri utama, yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan
mandiri (independent), bahkan dengantegas dikatakan “bukan sebagai salah satu
pihak”. Notaris selaku pejabat umum di dalam menjalankan fungsinya
memberikan pelayanan kepada masyarakat antara lain di dalam pembuatan akta
otentik bukan merupakan pihak yang berkepentingan. Pada hakekatnya notaris
selaku pejabat umum hanyalah mengkonstatir atau merekam secara tertulis dan
otentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan.Notaris tidak ada
di dalamnya, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang
berkepentingan serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian. Oleh karena
90
itu,akta notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata
benar” tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah pihak-pihak “berkata benar”
seperti yang termuat di dalam akta perjanjian mereka.79
Atau dengan kata lain,
akta notaris sebagai akta otentik memberi kekuatan hukum atau menjamin
kebenaran tentang memang benar ada pihak-pihak berkata atau menerangkan hal-
hal yang diuraikan dalam akta dan bukan menjamin tentang kebenaran apa yang
dikatakan atau diterangkan oleh pihak-pihak dalam akta.
Seorang notaris dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan notaris
tersebut bersalah. Kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaannormalitas
psikis dan kematangan atau kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga
kemampuan yaitu :
1. Mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibatnya sendiri;
2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat
tidak diperbolehkan;
3. Mampu untuk menentukan niat dalam melakukan perbuatan itu.80
Pemasalahan pertama menyangkut apakah notaris dalam hal membuat akta
otentik mengerti benar akan nilai dan akibat-akibat dari pembuatan akta tersebut
sebelum akhirnya akta tersebut dinyatakan cacat hukum. Dalam praktek lebih
banyak ditemui seorang notaris yang akan membuat akta cenderung menganggap
akta yang diabuatnya sudah sah apabila para pihak telah sepakat, dan masing-
masing pihak cakap unyuk melakukan perbuatan hukum. Namun sering tidak
diperhatikan terhadap obyek dan causa yang diperbolehkan.Hal ini selaras dengan
79
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, op.cit., hal. 65. 80
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, loc.cit.
91
pendapat Koeswadji, bahwa akibat suatu kesalahan dalam menjalankan tugas
jabatannya, notaris dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan (onvoldoende
kennis), kekurangan pengalaman (onvoldoende ervaring) dan kekuranya
pengertian (onvoldoende inzicht).81
Sebagai contoh : seseorang (WNA) membeli
tanah dengan mengatasnamakan WNI, mengingat larangan pemilikan tanah Hak
Milik oleh WNA di wilayah Indonesia. Untuk membantu kliennya mendapatkan
tanah tersebut, atas dasar kesepakatan antara WNA dan WNI tersebut
dibuatkanlah akta perjanjian antara WNA dengan WNI oleh notaris yang
bersangkutan, meskipun pada kenyataanya tanah tersebut bukan milik dari
pembeli yang namanya tercantum dalam akta jual beli. Perolehan Hak Milik atas
tanah tersebut pada akhirnya mengakibatkan notaris yang bersangkutan kurang
memperhatikan aspek-aspek hukum yang tersirat dalam suatu pembuatan akta
notaris, bahwa sebagai seorang notaris berkewajiban menghasilkan suatu akta
otentik yang berperan sebagai alat bukti yang sempurna.
Tanggung jawab notaris terkait akta otentik yang dibuatnya adalah terbatas
pada awal atau kepala akta dan akhir atau penutup akta. Notaris pada dasarnya
tidak bertanggung jawab terhadap isi atau substansi akta karena substansi suatu
akta adalah merupakan kehendak para pihak yang menghadap kepada notaris.
Sesuai tugasnya, notaris hanya memformulasikan keinginan para penghadap untuk
kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta. Tidak ada kewajiban bagi notaris
untuk menyelidiki secara materiil mengenai hal-hal yang dikemukakan oleh para
penghadap.Namun, tidak bertanggung jawabnya seorang notaris terhadap isi atau
81
Koeswadji, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum,
Center of Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, hal. 98.
92
substansi akta yang dibuat, tidak seharusnya diartikan secara mutlak. Artinya
meskipun substansi atau materi akta merupakan keinginan para pihak, tapi dalam
memformulasikan keinginan atau permintaan para penghadap ke dalam bentuk
akta, seorang notaris harus tetap berpijak pada aturan hukum yang berlaku. Hal ini
penting untuk diingat agar jangan sampai kehendak para pihak tersebut
merupakan kehendak yang dilarang atau melanggar aturan hukum, ketertiban,
maupun kesusilaan. Karena pembuatan akta yang cacat hukum akan berakibat
akta tersebut batal demi hukum.
93
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN NOMINEE
YANG DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIS
3.1. Akta Notaris Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah dan Sarana
Yang Digunakan WNA Dalam Penguasaan Tanah.
3.1.1. Akta Notaris Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUJN, memberi dasar hukum dan
kedudukan yang kuat bagi notaris, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Ketentuan tersebut mengandung
konsekuensi bahwa notaris tidak dapat menolak pembuatan akta yang dimintakan
kepadanya, kecuali terhadap permintaan tersebut dilarang oleh peraturan
perundang-undangan untuk dibuatnya, atau dengan kata lain notaris dapat
menolak untuk membuat akta yang diminta kehadapannya jika terdapat alasan
yang mendasar, yaitu berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang menentukan bahwa akta tersebut tidak dapat dibuat. Seperti misalnya,
pembuatan akta Jual-Beli sebagai akta otentik yang berhubungan dengan
peralihan hak atas atas tanah, yang dikenal dengan akta jual-beli balik nama dan
Akta Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah (APHT) yang merupakan tugas
seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana dimaksud dalam
93
94
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP
Nomor 24/1997).
Notaris berwenang membuat akta otentik tentang peralihan hak atas tanah
dalam bentuk akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), akan tetapi akta
dimaksud bukanlah akta sebagaimana dimaksud PP Nomor 24/1997 yaitu akta
jual beli sebagai syarat pendataran peralihan hak atas tanah di kantor Pertanahan
Kabuaten/Kota setempat, dimana letak tanah yang menjadi obyek dari PPJB
tersebut.PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang diangkat
dan dibuat dari konsepsi KUHPerdata yang merupakan kesepakatan para pihak
mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1338
KUHPerdata. Berdasarkan PPJB antara penjual dan pembeli menyatakan
kehendaknya untuk melangsungkan jual beli, dimana penjual menyatakan menjual
dan karenanya melepaskan hak sedangkan pembeli menyatakan membeli dan
karenanya menerima hak atas tanah yang diperjual-belikan tersebut.
Akta PPJB sebagai akta notaris tentang peralihan hak atas tanah,
mengandung dua ranah hukum yang berbeda yakni ranah hukum perdata
terutama yang terkait dengan perjanjian dan ranah hukum publik/agraria yang
terkait dengan obyek dari akta PPJB tersebut, yaitu tanah. Dari sisi hukum
perdata, yaitu hukum perikatan yang bersumber pada perjanjian, sehingga
keberadaan PPJB yang dibuat oleh notaris tunduk pada syarat-syarat, unsur-unsur
dan tata cara dibuatnya suatu perjanjian menurut hukum perdata khususnya suatu
perjanjian yang obyeknya barang tetap.
95
Terkait dengan hal tersebut Subekti mengatakan bahwa, B.W. menganut
sistem bahwa perjanjian jual-beli itu “obligatoir” saja, artinya bahwa perjanjian
jual-beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah
pihak (penjual dan pembeli) yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk
menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan
kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan
disebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga
barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang
yang dibelinya.82
Selanjutnya dikatakan pula bahwa, perjanjian jual-beli menurut B.W. itu
belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan
dilakukannya “levering” atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam sistem
B.W. tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan
hak milik (“transfer of ownership”) yang caranya tergantung dari macamnya
barang.Dalam hal ini untuk barang tetap dengan perbuatan yang dinamakan
“balik-nama” (bahasa Belanda : “overschrijving”) dimuka Pegawai Kadester yang
juga dinamakan Pegawai balik-nama atau Pegawai Penyimpan hipotik, yaitu
menurut Pasal 616 jo Pasal 620. Pasal 616 menentukan bahwa : “Penyerahan atau
penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan
akta yang bersangkutan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 620.”
Selanjutnya Pasal 620 menentukan sebagai berikut :
82
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disingkat Subekti II), hal. 11.
96
Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang
lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan
sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang
bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam
lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada,
dan dengan dibukukannya dalam register.
Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan
harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang
kedua atau sebuah petikan dari akta atau keputusan itu, agar penyimpan mencatat
didalamnya hari pemindahan beserta bagian dari nomor register yang
bersangkutan.Dalam pada itu segala sesuatu yang mengenai tanah dengan
mencabut semua ketentuan yang termuat dalam buku B.W. tersebut, sudah diatur
dalam UUPA.83
Kemudian dikatakan pula bahwa, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah dan telah diganti dengan PP Nomor 24/1997
tentang hal yang sama yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA dalam
Pasal 19 menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta
yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Sedangkan, menurut maksud paraturan tersebut hak milik atas tanah juga
berpindah pada saat dibuatnya akta dimuka pejabat tersebut.84
Berdasarkan pendapat di atas dalam kaitannya dengan akta notaris yang
dapat dijadikan dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah yakni PPJB
tentang hak atas tanah sebagai obyek perjanjiannya dapatlah dikatakan bahwa
sebagai suatu perjanjian, PPJB merupakan suatu perjanjian yang bersifat
83
Ibid, hal. 10. 84
Ibid.
97
obligatoir yakni perjanjian yang hanya meletakkan hak dan kewajiban secara
bertimbal balik antara penjual dan pembeli. Bagi penjual diharuskan menyerahkan
tanahnya kepada pembeli sementara pembeli harus menyerahkan uang
pembayaran sebagai pelunasan harga tanah kepada penjual.Dari sisi ini, suatu akta
PPJB telah memenuhi asas terang dan tunai untuk sahnya suatu jual beli atas
tanah yang dianut dalam UUPA.Asas ini mengandung makna bahwa suatu jual
beli atas tanah telah dikatakan sah mengikat, dalam arti ketika harga pelunasan
tanah telah dibayar dari pembeli kepada penjual maka saat itu pula, hak atas tanah
tersebut telah beralih kepada pihak pembeli. Dengan demikian maka PPJB atas
tanah secara yuridis dalam rangka sahnya perbuatan hukum yang menjadi obyek
PPJB tersebut yakni tanah tunduk pada asas dalam UUPA, sehingga di dalam akta
PPJB oleh notaris yang dibuat dengan memenuhi asas terang dan tunai
sesungguhnya mengandung makna telah terjadi peralihan hak atas tanah sekalipun
belum dilakukan pendaftaran balik namanya di kantor pertanahan dimana letak
tanah itu berada sebagaimana dimaksud oleh peraturan pemerintah tentang
pendaftaran peralihan hak atas tanah. Sebab sebagaimana dikatakan oleh Subekti
di atas, pendaftaran peralihan hak atas tanah pada kantor kadaster dimaksudkan
sebagai bentuk yuridis levering, yakni pencoretan nama penjual untuk kemudian
menjadi dan atas nama pembeli di dalam bukti kepemilikan tanah yakni
sertifikatnya. Sedangkan di dalam akta PPJB telah mengandung terjadinya
feitelijke levering yakni terjadi penyerahan nyata atas tanah yang menjadi obyek
PPJB, jikalau misalnya pembelian tanah dan rumah maka ketika PPJB dibuat
pihak penjual menyerahkan kunci rumah dan sertifikat kepada pihak pembeli
98
sebagai bentuk penyerahan nyata sedangkan dalam hal beli tanah saja, penyerahan
nyata disimbolisasi dengan penyerahan bukti hak milik yakni sertifikat berikut
bukti-bukti lain yang terkait dengan bukti obyek PPJB yakni tanah.
Berdasarkan pada uraian di atas dalam praktek dibuatnya akta jual beli
balik nama yang dibuat oleh PPAT sebagai dasar pendaftaran peralihan hak
sebagaimana dimaksud PP Nomor 24/1997 tentang pendaftaran tanah, akta PPJB
notaris yang dibuat dengan memenuhi unsur terang dan tunai dalam hal ini akta
PPJB lunas yang biasanya diikuti akta kuasa menjual dapat digunakan sebagai
dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat PPAT. Dengan demikian
maka yang dimaksud dengan akta notaris sebagai dasar peralihan hak tas tanah
adalah akta PPJB lunas yang diikuti dengan kuasa menjual yang dijadikan dasar
oleh pembeli untuk melakukan peralihan hak baik kepada dirinya sendiri maupun
kepada pihak lainnya yang dipilih oleh pembeli dengan perantaraan kuasa
menjual.
3.1.2. Instrumen atau Sarana yang Digunakan WNA dalam Penguasaan
Tanah di Indonesia
Instrumen atau sarana yang digunakan oleh WNA untuk memiliki atau
menguasai tanah di Indonesia, sebagai topik bahasan dalam sub bab ini
dimaksudkan instrument atau sarana berupa akta yang dibuat oleh notaris sebagai
akta otentik yang dimaksudkan oleh WNA menjadi alat bukti tentang pemilikan
atau penguasaan tanah-tanah hak milik di Indonesia yang dalam bukti
kepemilikannya/sertifikat, atas nama WNI. Dalam prakteknya ditempuh melalui
99
cara-cara yang merupakan penyelundupan hukum.85
Walaupun terdapat berbagai
varian dalam perjanjian berkenaan dengan penguasaan tanah oleh orang
asing/WNA, tetapi secara garis besar perjanjian yang ditempuh pada umumnya
terdiri dari :
1. Perjanjian induk yang terdiri dari Perjanjian Pemilikan Tanah dan Surat
Kuasa;
2. Perjanjian Opsi;
3. Perjanjian Sewa-menyewa;
4. Kuasa Menjual;
5. Hibah Wasiat; dan
6. Surat Pernyataan Ahli Waris.
Secara normatif,yaitu dari tata cara dibuatnya akta notaris akta-akta di atas
seolah-olah tidak menyalahi peraturan perundnag-undangan yang berlaku karena
tidak dalam bentuk pemindahan hak secara langsung.Namun, bila isi perjanjian
diperiksa dengan seksama, maka semua perjanjian tersebut secara tidak langsung
dimaksudkan untuk memindahkan tanah Hak milik atau Hak Guna Bangunan
kepada orang asing/WNA. Isi dari perjanjian tersebut di atas antara lain:
1. Perjanjian Pemilikan Tanah dan Pemberian Kuasa.
Dalam Perjnajian Pemilikan Tanah pihak warga negara Indonesia mengakui
bahwa tanah hak milik yang terdaftar atas namanya bukanlah miliknya, tetapi
milik warga negara asing yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah
hak milik beserta bangunan. Selanjutnya pihak warga negara Indonesia
85
Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hal. 14.
100
memberikuasa yang tidak ditarik kembali kepada pihak warga negara asing
untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap tanah hak milik dan
bangunan.
2. Perjanjian Opsi.
Pihak warga negara Indonesia memberikan opsi untuk membeli tanah hak
milik dan bangunan kepada pihak warga negara asing kerena dana untuk
pembelian tanah hak milik dan bangunan itu disediakan pihak warga negara
asing.
3. Perjanjian Sewa Menyewa.
Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa berikut
opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak yang
menyewakan (warga negara Indonesia) dan penyewa (warga negara asing).
4. Kuasa untuk menjual.
Kuasa untuk menjual berisi pemberian kuasa dengan hak substansi dari pihak
warga negara Indonesia (pemberi kuasa) kepada pihak warga negara asing
(penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan hukum menjual atau
memindahkan tanah hak milik dan bangunan.
5. Hibah Wasiat.
Pihak warga negara Indonesia menghibahkan tanah hak milik dan bangunan
atas namanya kepada pihak warga negara asing.
101
6. Surat Pernyataan Ahli Waris.
Istri pihak warga negara Indonesia dan anaknya menyatakan bahwa walaupun
tanah hak milik dan bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi suaminya
bukanlah pemilik sebenarnya atas tanah hak milik dan bangunan tersebut.
Bentuk lain perjanjian yang juga bermaksud memindahkan hak milik
secara tidak langsung kepada orang asing/WNA yaitu dalam bentuk sebagai
berikut :
1. Akta Pengakuan Utang.
2. Pernyataan bahwa pihak WNI memperoleh fasilitas pinjaman uang dari orang
asing/WNA untuk digunakan membangun usaha.
3. Pernyataan pihak WNI bahwa tanh HM adalah milik pihak orang asing/WNA.
4. Kuasa Menjual.
Pihak WNI memberi kuasadengan hak substitusi kepada pihak orang
asing/WNA untuk menjual, melepaskan atau memindahkan tanah HM yang
terdaftar atas nama WNI.
5. Kuasa Roya.
Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak ornag
asing/WNA untuk secara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihak
WNI untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak
WNI.
6. Sewa-menyewa Tanah.
WNI sebagai pihak yang menyewakan tanah memberikan hak sewa kepada
orang asing/WNA sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu, misalnya
102
25 tahun dapat diperpanjang dan tidak dapat dibatalkan sebelum beakhirnya
jangka waktu sewa.
7. Perpanjangan Sewa-menyewa.
Pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa-menyewa tanah
(angka 6) dibuat sekaligus perpanjangan sewa-menyewa selama 25 tahun
denga ketentuan yang sama dengan angka 6.
8. Perpanjangan Sewa-menyewa.
Sekali lagi pada saat yang bersamaan dengan perbuatan perjanjian sewa-
menyewa tanah (angka 6 dan 7) dibuat perpanjangan sewa-menyewa lagi
untuk wakktu selama 25 tahun dengan ketentuan yang sama dengan angka 6
dan7.
9. Kuasa.
Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak orang
asing/WNA (penerima kuasa) untuk mewakili dan bertindak untuk atas nama
pihak WNI mengurus segala urusan, memperhatikan kepentingannya dan
mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), menandatangani surat pemberitahuan pajak
dan surat-surat lain tang diperlukan, menghadap kepada pejabat yang
berwenang serta menandatangani semua dokumen yang
diperlukan.Ditambahkan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menjaga
kerahasiaan perjanjian beserta dokumen-dokumen yang terkait. Setelah
dengan seksama terhadap perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain
terkait dengan penguasaan tanah hak milik oleh orang asing/WNA tersebut
103
menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil telah
terjadi penyelundupan hukum.Pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa
saling diuntungkan dengan perjanjian tersebut tidak dipermaslahkan
kebenaran materiil, bagi mereka pertimbangan praktis lebih penting
dibandingkan pertimbangan yuridis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
amanat Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA disimpangi dalam
praktek.
Tindakan notaris dalam menangani permohonan pembuatan akta
sebagaimana disebutkan di atas, merupakan sebuah prosesdalam konteks
orientasi motivasional dan orientasi nilai.86
Lebih lanjut dalam
mendeskripsikanorientasi motivasional yang menunjuk pada keinginan individu
(notaris-PPAT) yang bertindak unuk memperbesar kepuasan dan mengurangi
kerugian. Adapun empat hal yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya orientasi
motivasional tersebut adalah :
(1) Atas dasar pertimbangan sukses,
(2) Atas dasar pertimbangan nilai,
(3) Atas dasar pertimbangan pengalaman, dan
(4) Atas dasar pertimbangan kesempatan langka.
Sedangkan dasar pertimbangan nilai dari tindakan seorang notaris-PPAT
justru berorientasi pada keharusan normatif yang mengendalikan pilihan-
pilihannya. Keharusan normatif yang dimaksudkan menyangkut tujuan yang
hendak dicapai dan sarana-sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut
86
Maria S.W. Sumardjono, loc.cit.
104
dengan dasar pertimbagan (1) mempertahankan citra diri (2) mengendalikan
kesan.87
Ikhwal orientasi notaris dalam menjalankan profesinya sebagaimana
disebutkan di atas akan membawa implikasi teoritis dan implikasi pragmatis.
Implikasi teoritisnya berkaitan dengan pilihan tindakan seorang notaris yang
berpegang pada nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam menjalankan
profesinya. Hal ini berarti notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejaat
umum merupakan pengejawantahan dari citra diri, sehingga demi menjaga citra
diri sebagai pejabat umum, notaris akan mengorbankan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan lainnya seperti tawaran uang atau kolusi dengan klien. Notaris dalam
hal ini akan memandang nilai tertinggi dalam hidupnya sebagai pejabat umum
terletak pada kesadaran menghormati jabatan lewat kepatuhan pada segala aturan
dan etika profesi. Sementara itu terhadap implikasi pragmatis normatif notaris
diperlukan re-orientasi pembinaan notaris yang tidak hanya diarahkan pada
ketrampilan menerapkan hukum apalagi terbatas pada bagaimana mengisi form
baku seperti sekarang ini, namun diperlukan pemahaman secara konstektual
terhadap jiwa dan kepentingan hukum yang terkandung dalam suatu peraturan.
Peran strategis ini dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas
(Pusat/Wilayah/Daerah) sesuai amanat UUJN maupun oleh Organisasi Profesi
Notaris terkait dengan kode etik notaris serta oleh masyarakat sebagai pengguna
jasa notaris.
87
Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hal. 161-164.
105
3.2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi dan Litigasi
3.2.1. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi
Penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan disebut Penyelesaian
Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Khusus berkenaan
dengan sengketa di bidang pertanahan, penyelesaian sengketa melalui jalur ADR
sangatlah relevan. Hal ini disebabkan karena dua hal yaitu pertama, pada saat
kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan semakin merosot maka
penyelesaian sengketa ADR melalui cara perundingan, mediasi, arbitrase, dan
sebagainya, merupakan jalan keluar yang sangat bermanfaat.88
Kedua, dari segi kuantitas kasus tanah memang banyak terjadi dalam
berbagai varian, di samping itu ada kecenderungan dari masyarakat menaruh
harapan agar sengketa dapat diselesaikan dengan “win-win solution” yang
terkadang memerlukan uluran tangan pihak ketiga yang bersifat netral untuk
membantu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan sengketa. Cara-cara
ADR/Penyelesaian Sengketa Alternatif ini terdiri dari :
1. Konsiliasi
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa konsiliasi merupakan suatu bentuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang berupa tindakan atau proses perdamaian di luar
pengadilan serta mencegah dilaksanakannya proses litigasi (pengadilan). Selain
itu konsiliasi juga dapat dilakukan dalam setiap tingkat peradilan yang sedang
berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan pengecualian untuk
106
hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap.
Konsiliasi ini diperlukan apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu
untuk menyelesaiakan perselisihannya. Konsiliasi tidak sama dengan mediasi
karena penyelesaian konsiliasi lebih mengacu pada cara penyelesaian sengketa
melalui konsensus atau kesepakatan para pihak, sedangkan pihak ketiga sebagai
pihak yang netral.89
Pada prinsipnya konsiliasi sama dengan perdamaian yang diatur dalam Pasal
1851 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata, maka dari itu, hasil kesepakatan
melalui konsiliasi harus dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani bersama
oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (7) jo Pasal 6
ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alkternatif Penyelesaian Sengketa, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi harus
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri.
Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat bagi para pihak.
2. Negosiasi
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa :
“Penyelesaian sengkata atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dengan
89
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11.
107
pertemuan secara langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.”
Negosiasi pada dasarnya merupakan lembaga informal, walaupun adakalanya
dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban para pihak yang bersengketa
melakukan pertemuan secara langsung dan tidak ada pula kewajiban negosiasi
tersebut dilakukan oleh para pihak itu sendiri, artinya negosiasi tersebut dapat
diwakilkan oleh pihak lain. Melalui negosiasi para pihak dapat berkompromi
mengenai hak dan kewajiban para pihak melalui situasi yang sama-sama
menguntungkan serta memberikan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan
asas timbal balik.
Setelah para pihak mencapai kesepakatan, kesepakatan tersebut dibuat dalam
bentuk tertulis dan ditandatangani oleh para pihak sebagaimana mestinya.Namun
hasil kesepakatan tertulis dari negosiasi antara para pihak tersebut masih dapat
dibantah dengan alasan kekhilafan ataupun dengan alasan salah satu pihak merasa
dirugikan.Dengan demikian, masih terbuka kemungkinan untuk dapat dibatalkan,
apabila terbukti telah terjadi kekhilafan, paksaan, maupun penipuan atau
kesepakatan yang diadakan atas dasar surat-surat atau bukti yang dinyatakan
palsu.
3. Mediasi
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa merumuskan mediasi adalah proses kegiatan
sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak
menurut Pasal 6 ayat (2). Pasal 6 ayat (3) tersebut juga menentukan bahwa “atas
108
kesepakatan tertulis dari para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator.”
Ketentuan Pasal 6 ayat (3) di atas memberi pengertian bahwa mediasi
melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral, independent, tidak memihak dan
ditunjuk oleh para pihak (secara langsung maupun melaui lembaga mediasi).
Mediator berkewajiban untuk membantu para pihak untuk mencapai
kesepakatannya sesuai dengan kehendak dan kemauan dari para pihak yang
bersengketa.
Mediator sebagai pihak di luar perkara memiliki kewenangan untuk memaksa,
yang berkewajiban untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa guna
mencari masukan mengenai pokok permasalahan yang disengketakan oleh para
pihak.Berdasarkan informasi yang diperoleh kemudian mediator dapat
menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak
yang bersangkutan, selanjutnya mediator menyusun proposal menyelesaian yang
kemudian di komunikasikan kepada para pihak secara langsung.90
Penyelesaian sengketa melalui sistem mediasi akhir-akhir ini banyak dipilih
sebagai upaya penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak yang bersengketa yang
ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :
90
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 34.
109
1) Proses penyelesaian relatif cepat, karena hanya dibutuhkan dua atau tiga kali
pertemuan saja sudah dapat dikompromikan tentang cara penyelesaiannya
yang rata-rata bisa diwujudkan dalam waktu satu atau dua bulan.
2) Biaya murah, penyelesaian secara mediasi memerlukan biaya yang relatif
murah karena membutuhkan waktu yang singkat. Hal ini karena mediator
hanya terlibat sebagai pihak yang memberi nasehat.
3) Bersifat rahasia, salah satu asas ketertiban umum yang harus ditegakkan aleh
mediator dalam persidangan adalah tidak terbuka untuk umum, bersifat
rahasia tidak boleh diliput dan diublikasikan.
4) Penyelesaian bersifat bebas melalui kompromi. Penyelesaiannya dilakukan
dengan cara :
a. Informal, artinya penyelesaiannya tidak berdasarkan pada ketentuan-
ketentuan acara yang memaksa.
b. Fleksibel, artinya tidak terikat pada peraturan hukum bahkan
penyelesaiannya menympang dari ketentuan hukum formal, pada dasarnya
hanya menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
c. Memberi kebebasan kepada para pihak untuk mengajukan proposal yang
dikehendaki, namun harus juga bersedia menerima proposal dari pihak
lain.
5) Hubungan komperatif, penyelesaian secara mediasi akan memperbaiki
hubungan para pihak karena pada dasarnya para pihak yang bersengketa
dilandasi hubungan karjasama.
110
6) Sama-sama menang, melalui mediasi masing-masing pihak dalam posisi
sama-sama menang karena adanya kompromi yang telah disepakati oleh para
pihak.
7) Tidak emosional, penyelesaian mediasi menggunakan pendekatan
kekeluargaan sehingga para pihak tidak bersikeras mempertahankan
pendapatnya masing-masing.91
Penyelesaian sengketa melalui mediasi berbeda
dengan penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase karena mediator tidak
memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun
dalam hal ini para pihak harus koperatif dalam menyelesaikan masalah
diantara mereka.
4. Arbitrase
Arbitrase merupakan cara yang sedang popular saat ini dalam upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Arbitrase menurut Subekti yaitu
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan para pihak yang tunduk pada atau menaati keputusan
yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.92
Sedangkan Poerwosutedjo
menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase ini menyatakan bahwa perwasitan
adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar
perselisihan mereka tentang hak mereka yang dapat mereka kuasai sepenuhnya
91
M. Yahya Harahap, 1995, Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Varia Peradilan Nomor 21, hal. 116-117. 92
Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung,
(selanjutnya disingkat Subekti I), hal. 1.
111
diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para
pihak sendiri dan putusannya mengkat bagi kedua pihak.93
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 huruf 1 menentukan bahwa :
“arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa.”Dalam dunia bisnis tentunya banyak pertimbangan para peleku
bisnis untuk memilih arbitrase sebagai jalan keluar penyelesaian masalah mereka.
Dasar pertimbangan memilih arbitrase adalah :
a. Ketidakpercayaan pada Pengadilan Negeri, karena proses pengadilan
menghabiskan jangka waktu lama dan melalui tingkatan-tingkatan dari
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai ke Mahkamah Agung.
b. Prosesnya cepat, proses arbitrase seringkali lebih cepat dibandingkan proses
pengadilan.
c. Dilakukan dengan rahasia, pemeriksaan dan pemutusan sengketa oleh majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup dan tidak dipublikasikan sehingga para
pihak terjaga kerahasiaannya.
d. Bebas memilik arbiter, para pihak bebas memilih arbiter yang akan
meyelesaikan perselisihan mereka.
e. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding), putusan arbitrase
pda umumnya dianggap sudah final dan tidak ada upaya untuk banding.
93
H.M.N Peorwosutedjo, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan,
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cet. III, Djambatan, Jakarta, hal. 1.
112
f. Biaya lebih murah, biaya arbitrase lebih murah daripada biaya pengadilan
pada umumnya karena sudah ditentukan tarifnya.
g. Bebas memilih hukum yang diberlakukan.
h. Eksekusinya mudah, keputusan arbitrase biasanya lebih mudah dilaksanakan
karena bersifat final dan binding yang dilandasi itikad baik dari para pihak.
Selain memiliki beberapa keuntungan, arbitrase juga memiliki kelemahan,
yaitu :
a. Selama atau sesudah selesainya arbitrase kemungkinan terjadi hal-hal yang
harus diajukan kepada hakim seperti pengangkatan para arbiter, adanya saksi
dan sebagainya.
b. Arbitrase tidak selalu biayanya murah, bahkan kadangkala bisa lebih tinggi
karena para pihak yang ikut menyelesaikan arbitrase tersebut meminta honor
yang tinggi.
c. Sekalipun dalam arbitrase tidak diisyaratkan adanya suatu perwakilan dalam
prosesnya tetapi pada kenyataannya pihak-pihak yang bersangkutan pada
umumnya menggunakan jasa pengacara.
Berkaitan dengan penyelesaian kasus mengenai akta nominee yang dibuat
antara WNI dengan orang asing/WNA dimana akta tersebut menuangkan
perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya tentang peralihan hak milik atas
tanah kepada orang asing/WNA dapat dilakukan dengan cara non litigasi. Dalam
alternatif penyelesaian sengketa/non litigasi terdapat beberapa cara seperti yang
telah dijelaskan di atas, namun penyelesaian terhadap kasus-kasus pertanahan
banyak yang menggunakan cara perundingan/mediasi. Mediasi memberikan
113
memberikan perasaan kesamaan kedudukan kepada para pihak dan upaya
penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa
tekanan atau paksaan.Mediasi menggunakan perantara pihak ketiga (mediator)
yang dapat membantu menengahi perselisihan diantara para pihak dan membantu
untuk mencarikan solusi dari permasalahan yang dihadapi.Dengan demikian,
solusi yang dihasilkan mengarah pada win-win solution.Win-win solutionadalah
kesepakatan yang sama-sama menguntungkan bagi para pihak dan tidak
merugikan salah satu pihak.
3.2.2.Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi
Apabila penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi sebagaimana
dipaparkan di atas tidak berhasil antara WNI dengan WNA yang bermaksud
menguasai/memiliki tanah hak milik di Indonesia dengan menggunakan WNI
sebagai nominee, maka penyelesaiannya dilakukan melalui jalur litigasi.
Di bawah ini dideskripsikan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
sebagai berikut :
Kasus posisi :
(1) Seorang WNA bernama Philip R. Grandfiel bertempat tinggal sementara di
Buleleng-Bali, berkeinginan memiliki dan menguasai tanah hak milik di
Indonesia di”bingkai” dalam suatu perbuatan penyelundupan hukum dalam
bentuk akta kerjasama dengan seorang WNI bernama K. Pani di bidang
restoran di mana WNA menyerahkan modal pinjaman sebesar Rp.
115.000.000,-.
114
Dana tersebut oleh K. Pani dibelikan 3 (tiga) bidang tanah hak milik di
Buleleng dan semua sertifikat tanah dilakukan balik nama menjadi atas nama
K. Pani, sementara seluruh akta jual beli tanah dan sertifikat tanah hak milik
atas nama K. Pani disimpan oleh Philip R. Grandfiel. Selain itu K. Pani
membuat surat kuasa menjual kepada Philip R. Grandfiel dihadapan notaris
W. Nuaja, Notaris dan PPAT berkantor di Singaraja.
Kemudian surat kuasa menjual yang dibuat tersebut dimasalahkan oleh K
Pani melalui pengacaranya dengan dalil bahwa kuasa menjual terseut
merupakan kuasa mutlak merupakan hal yang dilarang dan bertentangan
dengan peraturan perundang-undagan. K. Pani merasa tidak terima tentang
hal tersebut, karena seharusnya notaris memberitahukan kepadanya tetapi
tidak dilakukan sehingga K. Pani melapor kepada polisi, bahwa WNA
tersebut telah melakukan penipuan atau penggelapan surat-surat tanah di atas.
Akhirnya K. Pani mengajukan gugatan terhadap Philip R. Grandfield dan
notaris W. Nuaja ke pengadilan agar ketiga bidang tanah hak milik tersebut
dinyatakan sebagai milik penggugat, dan surat pernyataan penyimpanan surat-
surat tanah, dan surat kuasa menjual dinyatakan batal demi hukum serta
mengesahkan uang Rp. 115.000.000,- merupakan pinjaman dari Philip R.
Grandfield terhadap K. Pani.
Terhadap sengketa tersebut, Pengadilan Negeri Singaraja dengan
putusannya tanggal 28 Maret 2001 Nomor 105/Pdt.G/2000/PN.SGR
mengabulkan gugatan penggugat dengan menghukum penggugat membayar
Rp. 115.000.000,- ditambah dengan bunga sebesar 6% pertahun kepada
115
tergugat WNA. Tidak puas atas putusan pengadilan tingkat pertama, tergugat
Philip R. Grandfiel mengajukan banding. Di Pengadilan Tinggi Denpasar
dengan putusannya Nomor 156/Pdt/2000/PT. DPS, tanggal 20 Agustus 2001
memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Singaraja dengan mengungatkan
hukuman kepada penggugat untuk membayar uang pinjaman dan bunganya
tersebut kepada penggugat pembanding, bahwa uang untuk membeli tanah
sengketa sebesar Rp. 115.000.000,- adalah milik Philip R. Grandfiel.
Kalah lagi di pengadilan tingkat banding Philip R. Grandfiel mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan putusannya Nomor 980 K/Pdt/2002
Mahkamah Agungn menolak permohonan kasasi terguagat tersebut, karena
judex facti sudah tepat dalam pertimbangan hukumnya, karena telah
mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan tepat, secara
yuridis tanah terpekara atas nama penggugat/termohon kasasi dan uang
pembelian tanah Rp. 115.000.000,- (seratus lima belas juta rupiah) merupakan
utang piutang dari penggugat/termohon kasasi kepada tergugat I/pemohon
kasasi. Selain itu, karena orang asing dilarang memiliki tanah Hak Milik di
Indonesia berdasarkan Pasal 2 UUPA dan bahwa isi akta kuasa menjual
merupakan surat kuasa menjual merupakan surat kuasa mutlak bertentangan
dengan Instrusi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.
(2) Seorang WNA bernama Neville Jenniver Maree sebidang tanah hak milik
Nomor 1907/Desa Buduk seluas 300 meter persegi, yang terletak di Desa
Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Karena Neville Jenniver
Maree berkewarganegaraan asing, maka dipinjamlah nama Ni Nyoman Sutini
116
(sebagai nominee) untuk didaftarkan dalam sertifikat hak milik tersebut.
Untuk melindungan kepentingan hukumnya dalam pemilikan tanah di atas,
selanjutnya dibuat pernyataan dan pengakuan dengan akta notaries dihadapan
Notaris Njoman Sutjining, SH notaris di Kabupaten Badung.
Dalam akta pernyataan dan pengakuan tersebut dinyatakan bahwa
pembelian sebidang tanah tersebut masing-masing berasal dari Ni Nyoman
Sutini sebesar 20% dan dari Neville Jenniver Maree sebesar 80%. Karena
Neville Jenniver Maree masih berkewarganagaraan asing, maka tanah tersebut
untuk sementara didaftar atas nama Ni Noman Sutinisampaidengan Neville
Jenniver Maree berhak untuk mendapatkan hak milik sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam waktu berjalan, ternyata Ni Nyoman Sutini tidak mentaati isi perjanjian
yang telah dibuatnya, sehingga Neville Jenniver Maree dan suaminya Robert Jon
Charles mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Denpasar dengan duduk
perkara sebagai berikut :
1. Bahwa para penggugat dan tergugat telah sepakat (konsekuensi dari
penggunaan nama tergugat dalam sertifikat Hak Milik tersebut) untuk
menuangkannya ke dalam akta pernyataan dan pengakuan Nomor; 01,
tertanggal 2 Januari 2002 di kantor notaries Njoman Sutjining, SH., yang
seolah-olah tergugat turut serta dalam mengeluarkan dana sebesar 20% dari
harga tanah tersebut dan bila suatu saat villa tersebut terjual maka tergugat
berhak atas 20% dari hasil penjualan villa tersebut;
117
2. Bahwa faktanya mana kala para penggugat bermaksud mengurus pajak-pajak
maupun legalitas berkaitan dengan tanah tersebut, serta menawarkan villa
kepada calon pembeli, tidak disetujui dan dihalang-halangi oleh tergugat
bahkan mengklaim dengan mengatakan bahwa penggugat tidak berhak
menguasai tanah tersebut karena sudah diatasnamakan tergugat.
Terhadap sengketa tersebut Pengadilan Negeri Denpasar dengan
putusannya Nomor 224/Pdt.G/2008/PN. Dps, tertanggal 5 Desember 2008
meyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan mengikat Akta Nomor : 1
tertanggal 3 Januari 2002 tentang “Pernyataan dan Pengakuan” (“Deklaration and
Acknowledgement”) yang dibuat dihadapan Njoman Sutjining, SH., notaris di
Kabupaten Badung. Kemudian menghukum tergugat untuk mengembalikan uang
yang telah diterimanya kepada para penggugat sebesar Rp. 1.308.057.925,00 (satu
milyard tigaratus delapan juta limapuluh tujuh ribu sembilanratus duapuluhlima
rupiah).
Dari kedua contoh penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi terhadap
masalah yang timbul dari perjanjian nominee, ternyata setiap perbuatan-perbuatan
hukum yang dimaksudkan untuk langsung dan tidak langsung mengandung
peralihak hak milik atas tanah dari WNI kepada WNA adalah bata demi
hukum.Berdasarkan pada teori penyelesaian sengketa dari Menurut Jerome Frank,
yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketan merupakan “legal rules had
primarily the function of ex post facto rationalizations of decisions.”94
Teori
tersebut juga menjadi dasar Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
94
J.W Harris, loc.cit.
118
Kekuasaan Kehakiman dalam penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa, “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Maka penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
terhadap perjanjian nominee yang berisi peralihan hak milik atas tanah antara
WNA dengan WNI merupakan keputusan hakim yang rasional berdasarkan
pemahaman terhadap nilai-nilai hukum dan rasa yang hidup di
masyarakat.Dikatakan demikian oleh karena dalam dua putusan di atas putusan
yang diambil oleh hakim berdasarkan yang terkandung dalam pasal 26 UUPA,
sehingga setiap perikatan atau perjanjian yang dilakukan antara WNI dengan
WNA yang bermaksud mengalihkan hak milik atas tanah dinyatakan batal demi
hukum. Sehingga penyelesaian melalui jalur litigasi secara normatif mengadopsi
pula nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat selain mengacu dan
berdasar pada peraturan formil yang ada.
3.3. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Nominee Yang Dibuat Dengan Akta
Notaris Sebagai Alat Bukti di Pengadilan.
Secara yuridis berdasarkan pada Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik
mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah;
2. Kekuatan pembuktian formil; dan
3. Kekuatan pembuktian materiil.
119
1) Kekuatan Pembuktian Lahiriah.
Kemampuan lahiriah akta otentik merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik actapublica probant
sesse ipsa jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta otentik sesuai
dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik
sampai terbukti sebaliknya artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta
tersebut bukan akta otentik secara lahiriah.95
Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus
dilihat apa adanya, secara lahiriah tidak perlu dibuktikan lagi dengan alat bukti
lain. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat
sebagai akta otentik, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta
tersebut secara lahiriah buka akta otentik.
2) Kekuatan Pembuktian Formil.
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta benar-benar dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh
pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuktian akta. Secara formal
untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul atau waktu menghadap, dan identitas dari para pihak yang
menghadap (comparanten), paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap,
saksi dan notaris, demikian juga tempat dimana akta itu dibuat serta
95
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 157.
120
membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris pada akta
pejabat/berita acara dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak.
Apabila aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus
dibuktikan dari formalitas dari akta yaitu harus dapat membuktikan
ketidakbenaran hari, tanggal, bulan , tahun, dan para pihak waktu menghadap,
membuktikan ketidak benaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidak
benaran tempat dimana akta itu dibuat, membuktikan ketidak benaran apa
yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh notaris. Selain itu juga harus dapat
membuktikan ketidak benaran pernyataan atau keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan dihadapan notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan
para pihak, saksi dan notaris atau ada prosedur pembuatan akta yang tidak
dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut
harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari
akta notaris. Jika tidak mampu membutikan ketidakbenaran tersebut, maka
akta tersebut harus diterima oleh siapapun.
3) Kekuatan Pembuktian Material.
Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, karena apa yang tersebut
dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapatkan hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegen bewijs). Keterangan atau pernyataan
yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat atau akta berita acara atau
keterangan atau para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan notaris akta
pihak dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian
121
dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang
yang datang kemudian menghadap notaris yang kemudian/keterangan
dituangkan dan akta harus dinilai telah benar berkata. Apabila ternyata
pernyataan/keterangan para penghadap tersebut tidak benar atau apa yang
diterangkan/dijelaskan oleh para pihak ternyata tidak benar, maka hal tersebut
menjadi tanggung jawab para pihak sendiri, notaris terlepas dari hal semacam
itu. Apabila akan membuktikan aspek material dari akta notaris tersebut tidak
benar, maka harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
material dari akta notaris.
Ketiga aspek di atas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta
otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu
persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka
akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan. Dalam kaitannya dengan topik bahasan dalam sub bab ini,
dihubungkan dengan kekuatan pembuktian akta otentik di atas berkaitan dengan
pembahasan terhadap akta-akta yang digunakan oleh orang asing/WNA untuk
memiliki/menguasai tanah hak milik di Indonesia beserta beberapa penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi di atas, maka perjanjian nominee yang sekalipun
dibuat dengan akta notaris yang memiliki kedudukan sebagai akta otentik tidaklah
tidak mempunyai kekuatan hukum pembuktian sempurna sebagaimana kekuatan
pembuktian suatu akta otentik pada umumnya. Hal tersebut didiskripsikan
mengingat akta nominee yang dibuat dengan akta notaris kehilangan kekuatan
pembuktian materiilnya sebab suatu akta otentik haruslah dibuat dengan tidak
122
bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah baik yang terdapat dalam
norma-norma hukum formil maupun norma-norma kepatutan dalam dibuatnya
akta otentik/akta notaris.
Berdasarkan norma hukum umumnya dalam hal ini syarat sahnya suatu
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, akta nominee tidak memenuhi
syarat keempat yaitu suatu sebab yang halal sebagai syarat obyektifnya. Akta
nominee yang sekalipun secara tidak langsung mengandung unsur tentang
peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA hal tersebut
atau perbuatan hukum tersebut oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
maupun Mahkamah Agung dinyatakan batal demi hukum. Hal tersebut
mengandung arti bahwa perbuatan hukum peralihan hak milik natas tanah dari
WNI kepada orang asing/WNA sejak awal terjadinya perbuatan hukum tersebut
dipandang tidak pernah terjadi.Konstruksi hukum tersebut sejalan dengan
ketentuan Pasal 26 UUPA yang pada dasarnya menentukan bahwa setiap
perbuatan-perbuatan hukum baik langsung maupun tidak langsung dimaksudkan
untuk melakukan peralihan hak atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA
adalah batal demi hukum.
Suatu perjanjian nominee, sekalipun sejak awal oleh para ahli hukum
dipandang sebagai suatu perbuatan penyelundupan hukum namun apabila diuji
dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata jo Pasal 26 UUPA maka perbuatan
tersebut dapat batal demi hukum. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan tersebut
oleh hukum dianggap tidak pernah ada, oleh karenanya akta-akta nominee tersebut
123
oleh hukum dianggap tidak pernah ada sepanjang mengandung unsur peralihan
hak-hak atas tanah.
Dari sisi teori perjanjian keberadaan akta-akta nominee dengan berbagai
variannya yang dilakukan antara orang asing/WNA dengan WNI di dalam praktek
tidak dapat dibenarkan. Sebab berdasarkan pada teori perjanjian sebagai pisau
analisa dalam penulisan tesis ini, yang oleh Wirjono Prodjodikoro memberikan
definisi bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggapberjanji
untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu.96
Kemudian Bachsan Mustafa, Bewa
Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah
hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu
(kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi)sedangkan pihak lainnya
(debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan
bertanggung jawab atas prestasi itu.97
Demikian juga dengan Soebekti
mendefinisikan pengertian pernjanjian sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.98
Maka pada dasarnya
perjanjian yang merupakan hubungan hukum antara satu orang dengan orang yang
lain tentang suatu hal menekankan bahwa perjanjian nominee sebagai suatu
perbuatan hukum yang mengadung hubungan-hubungan hukum antara orang
96
Wirjono Prodjodikoro,loc.cit. 97
Bacshan Mustafa dkk, loc.cit. 98
R. Soebekti II, loc.cit.
124
asing/WNA dengan WNI memuat sesuatu hal yang dapat dibenarkan bahwa suatu
hal tersebut dapat atau patut dijadikan obyek suatu perjanjian. Oleh karena tanah
hak milik dilarang untuk diperjanjikan dalam bentuk dialihkan hak miliknya dari
WNI kepada orang asing/WNA yang disebabkan karena hanya WNI yang dapat
memiliki hak milik, sehingga orang asing/WNA dilarang untuk mempunyai hak
milik dengan demikian, perjanjian nominee tidak sejalan dengan teori perjanjian
itu sendiri terlebih-lebih dikaji dari sudut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu unsur
keempat dari sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
125
BAB IV
AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN NOMINEE YANG
MELANGGAR KETENTUAN UNDANG UNDANG NO 5 TAHUN 1960
TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
4.1. Larangan Terhadap Perbuatan Hukum Peralihan Hak Milik Atas
Tanah Kepada WNA Dalam UUPA.
Negara Indonesia sebagai negara hukum yang merupakan organisasi
kekuasaan yang bersumber pada kedaulatan rakyat,kedaulatannya mempunyai
sifat keberlakuan keluar dan kedalam. Keluar diberlakukan terhadap bukan WNI
atau terhadap warga negara lain (WNA) yang menduduki atau menggunakan
wilayah Negara, sedangkan kekuasaan kedalam didasarkan pada sifat formal dan
struktural negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam artian ini, adalah
negara yang memiliki karakter kelembagaan yang berwenang mengatur atau
memiliki kekuasaan untuk mengatur.99
Selain sebagai negara hukum, Indonesia menganut dan tergolong dalam
negara kesejahteraan, sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) alinea keempat yang menyatakan:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...
99
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak MenguasaiNegara Atas Tanah, total
Media, Yogyakarta., hal. 111.
125
126
Sebagai negara kesejahteraan, yaitu sebagai negara dengan tujuan
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, Negara
Indonesia memiliki tanggungjawab mensejahterakan dan memakmurkan
rakyatnya, salah satunya melalui berbagai kebijakan atau dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan guna tercapai serta terjaga keberlangsungan
kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satuwujud kesejahteraan rakyat adalah sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut memberi amanat atau
perintah kepada negara (pemerintah) agar menguasai bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya semata-masa untuk mewujudkan sebesar-besar
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan amanat tersebut memberikan
kewenangan kepada negara untuk mengatur bentuk-bentuk penguasaan negara
atas bumi dan air dan kekayaan alam Indonesia, yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara negara dan harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia.
Konstitusi sebagai landasan normatif dalam setiap pelaksanaan tugas
Negara sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, yaitu :
Everyone just has to act as if they had such authority-at least, they have to
do so in the event that the constitution they made comes to be efficacious
as the normative basis for state activity, that in virtue of which acts are
right or wrong, valid or invalid. Given a constitutional order that is by-
and-large efficacious, it makes sense to treat the constitution as that which
ought to be respected. That is, it makes sense to act on the footing that
state coercion ought to be exercised only in accordance with the
127
provisions laid down by the constitutional founders, and that all other
forms of coercion ought to be repressed as legally wrongful.100
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 tersebut
tampak bahwa konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut konsep
bawah, hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya adalah hubungan penguasaan.101
Konsepsi tersebut
memiliki dua garis besar yaitu : pertama, negara menguasai bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara merupakan suatu konsep yang
mendasarkan padapemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan
dari seluruh rakyat sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak
lain menjadi sentral, yang dalam hal ini dipegang oleh negara.102
Berkenaan dengan makna dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 di atas, oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MKRI) menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan
Mahkamah Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang disebutkan dalam Putusan
Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 sebagai berikut:
Bahwa dalam menemukan pengertian dan/atau maksud dari suatu
ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 tidaklah cukup apabila
hanya berpegang pada bunyi teks pasal yang bersangkutan dan hanya dengan
100
Neil MacCormick, 2007, Institutions of Law – An Essay in legal Theory,
Oxford University Press, New York, hal. 45-46.
101
Muhammad Bakri, 2007, op.cit, hal. 1. 102
Winahyu Erwiningsih, op.cit., hal.103.
128
menggunakan satu metode interpretasi tertentu. UUD 1945, sebagaimana halnya
setiap undang-undang dasar atau konstitusi adalah sebuah sistem norma dasar
yang memberikan landasan konstitusional bagi pencapaian tujuan hidup
berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan dalam UUD 1945. Sebagai
suatu sistem, UUD 1945 adalah susunan kaidah-kaidah konstitusional yang
menjabarkan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, sebagaimana ditegaskan
dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat : “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu, setiap interpretasi dalam suatu
ketentuan dalam Pasal-pasal UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan
hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut;
Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem
sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33
UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada
pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh
129
negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik
(demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham
kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan
sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara,
sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam
pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan
publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah
milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada
negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai
pemilikian dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak
mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti
amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD
1945 tidak mungkin diwujudkan.103
Demikian pula dengan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan dan
diusahakan oleh negara, yang bermuara pada satu tujuan yaitu menciptakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan itu menjadi tanggung jawab negara
sebagai bentuk konsekuensi dari hak menguasai negara terhadap bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga merupakan jaminan
dan bentuk perlindungan terhadap sebesar-besar kemakmuran rakyat dan
kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada
tiga fokus utama yang dapat menopang pemanfaatan tanah bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat yaitu :
103
PutusanPerkara Nomor 002/PUU-I/2003, http://hukum. unsrat.
ac.id/mk/mk_2_2003. pdf , diakses tanggal 1 Agustus 2013.
130
a. Ketegasan negara dalam melaksanakan redistribusi tanah atas tanah-tanah
yang dikuasai langsung oleh negara, termasuk dalam hal ini adalah
peningkatan fungsi dari lembaga pengelolaan tanah;
b. Upaya pemerintah dalam menciptakan sebesar-besar mungkin rakyat dapat
mempunyai hak atas tanah;
c. Kemampuan negara untuk menerapkan penegakan hukum (law enforcement)
guna memenuhi kewajiban para pemilik tanah, pemenuhan fungsi sosial tanah
dan pemenuhan kepentingan umum atas tanah.104
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemudian dijabarkan dalam Pasal
2 UUPA yang menyebutkan :
(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas, pelaksanaannya
dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
104
Winahyu Erwiningsih, op.cit., hal. 103-104.
131
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
Pemerintah.
UUPA sebagai peraturan pelaksana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mempertimbangkan bahwa negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik tanah,
namun hanya terbatas sebagai pihak yang menguasai tanah. Hak menguasai
negara atas tanah memperoleh legitimasi dikarenakan status negara sebagai
pencerminan dari organisasi kekuasaan bangsa yang mengemban tugas yang sama
berupa hak dan kewajiban yang berasal dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sebagai konsekuensi, hak menguasai dari negara ini merupakan hak yang
tertinggi, yang berarti hak-hak atas tanah yang lain berada di bawah hak
menguasai. Akibat tindak lanjut adalah apabila negara menghendaki untuk
menguasai tanah yang sudah dibebani dengan hak-hak lain, hak-hak lain ini harus
dikalahkan.105
Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang
termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat dengan hubungan
hukum antara negara dengan tanah. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum
antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang-orang
dengan tanah serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari
hubungan-hubungan hukum tersebut. Hukum yang mengatur pengakuan dan
105
Winahyu Erwiningsih, op.cit., hal. 42-43.
132
perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum
kepada masyarakat.106
Salah satu hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah yang diatur
oleh negara adalah mengenai kepemilikan hak atas tanah. Hak milik atas tanah
diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA yang mengatur mengenai
subjek hak milik, sifat hak milik, terjadinya hak milik, pemindahan hak termasuk
juga dengan larangan pemindahan hak milik, sampai dengan hapusnya hak milik
atas tanah, dimana pengaturan dalam pasal-pasal tersebut tentu tidak dapat
dilepaskan dari asas hukum agraria nasional.
Dalam UUPA dimuat beberapa asas dari hukum agraria nasional. Asas-
asas ini karena sebagai dasar, dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari
UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Asas-asas tersebut antara lain :
a. Asas kenasionalan
b. Asas pada tingkatan yang tertinggi, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
c. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari padakepentingan perseorangan dan golongan.
d. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
e. Asas hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah.
f. Asas persamaan bagi setiap warga negara Indonesia.
106
Muhammad Bakri, op.cit., hal. 6-7.
133
g. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara arif oleh
pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.
h. Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara berencana.107
Dari kedelapan asas yang terdapat dalam UUPA tersebut di atas, tampak
bahwa yang menjiwai adanya larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada
WNA sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah asas
kenasionalan dan asas hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah.
Dalam asas kenasionalan, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah
air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan
seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan
nasional. Hubungan antara bangsa dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia
adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia
yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang
angkasa Indonesia masih ada, dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.108
Bagi keberlangsungan suatu negara, maka tanah yang merupakan bagian
dari wilayah suatu negara memiliki arti yang sangat penting. Tanah dalam wilayah
negara Republik Indonesia adalah merupakan hak bangsa Indonesia. Hanya rakyat
Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah Indonesia.
107
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria
Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hal. 54-60.
108
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, op.cit., hal. 54.
134
Sehingga, sudah sangat tepat jika asas hanya warga negara Indonesia yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah juga menjiwai adanya larangan pemindahan hak
milik atas tanah kepada WNA.Berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 UUPA tersebut, penyelenggara pemerintahan diberikan
wewenang untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menetapkan berbagai segi
peruntukan, penataan, penguasaan tanah dan penggunaan tanah, yang termasuk
juga kewenangan dalam menetapkan larangan pemindahan hak milik atas tanah
kepada WNA.
4.2. Keberadaan Akta Notaris Yang Isinya dilarang Oleh Pasal 26 ayat (2)
UUPA.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata ditegaskan bahwa “Suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat”.
Ketentuan tersebut juga menempatkan suatu akta sebagai alat bukti yang
sempurma, artinya bahwa suatu akta yang dibuat berdasarkan dan mengacu pada
ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas memiliki kekuatan pembuktian
lahiriah, formal dan material untuk membuktikan kebenaran suatu perbuatan-
perbuatan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum bagi pihak-pihak yang
membutuhkan pembuktian tentang hal itu dengan tanpa atau tidak memerlukan
alat-alat bukti lain.
Hal demikian berlaku pula bagi suatu akta notaris yang lazim pula disebut
dengan istilah akta notariil apabila dalam proses dibuatnya akta tersebut oleh
135
notaris, selain telah memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga UUJN dan
ketentuan-ketentuan lain yang diberlakukan bagi dibuatnya suatu akta notaris,
seperti misalnya ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam kode etik kenotarisan.
Sehingga dalam hal demikian, suatu akta notaris adalah akta otentik, yang oleh
sistem hukum pembuktian di Indonesia diberi kedudukan sebagai alat bukti yang
sempurna.
Keberadaan akta notaris/akta notariil seperti di atas, dalam praktek
pemilikan/ penguasaan tanah hak milik olehWNA di Indonesia pada umumnya
dan di Bali khususnya, akta notaris berpotensi digunakan sebagai salah satu upaya
hukum dalam rangka mencapai tujuannya tersebut. Penggunaan akta notaris
seperti itu, lazimnya digunakan akta-akta perjanjian nominee dalam berbagai
variannya (varian akta), seperti dengan menggunakan akta notariil berupa kuasa
mutlak sebagai alat untuk menguasai sacara fisik maupun secara yuridis atas tanah
hak milik. Sementara itu, kuasa mutlak berdasarkan Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak
sebagai Pemindahan Hak atas Tanah yang isinya mengintruksikan bahwa :
1. Semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
2. Semua Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Seluruh
Indonesia untuk :
2.1.Melarang Camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat
dengan itu, untuk membuat/menguatkan perbuatan Surat Kuasa
Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas
tanah.
2.2.A) Kuasa Mutlak yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah
kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat di tarik
kembali oleh pemberi kuasa.
B) Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan
hak atas tanah adalah Kuasa Mutlak yang memberikan
kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan
136
menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum
yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya.
Dalam kaitannya dengan penguasaan tanah hak milik oleh WNA dengan
menggunakan akta notaris/notariil dalam pembahasan ini adalah menelaah dan
mengkaji keberadaan akta-akta (varian akta) tersebut sehubungan dengan larangan
yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menentukan, bahwa :
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga Negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2,
adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali.
Berdarkan pada ketentuan di atas, keberadaan akta notaris yang di dalamnya
mengandung adanya suatu perbuatan-perbuatan hukum baik secara langsung
ataupun tidak langsung mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah
antara WNI dengan WNA, merupakan perbuatan melanggar hukum dan
perbuatan-perbuatan tersebut batal demi hukum.
Suatu perjanjian nominee dalam varian akta berupa akta perjanjian
perikatan jual beli (PPJB) yang diikuti dengan akta menjual atas tanah hak milik
antara WNA dengan WNI misalnya, atau dalam bentuk akta lain, sesungguhnya
telah mengandung peralihan hak atas tanah dimaksud dari WNI kepada WNA,
sekalipun belum dilangsungkan balik namanya untuk menjadi dan ke atas nama
WNA tersebut pada kantor Pertanahan. Dikatakan demikian oleh karena
perjanjian jual beli tanah yang dibuat dalam bentuk akta notaris (PPJB) dan kuasa
137
menjual, telah mengandung feitelijke lavering, yaitu suatu penyerahaan
kekuasaan belaka, suatu perbuatan physik109
. Sehingga dapat merupakan suatu
penyerahan nyata atas barang/benda dalam hal ini adalah tanah hak milik tersebut.
Selain itu dalam akta-akta tersebut secara yuridis juga mengandung makna telah
terjadi peralihan hak milik atas tanahnya dari WNI kepada WNA, sebab ketika
kuasa menjual sebagai ikutan akta PPJB digunakan untuk melakukan proses
penjualan dalam suatu akta jual beli balik nama (akta yang dibuat oleh PPAT)
baik kepada dirinya sendiri maupun kepada pihak lain, itu berarti mekanisme
hukum yang menyebabkan kuasa dapat digunakan dan diterima sebagai dasar
dibuatnya akta jual beli balik nama tersebut telah terjadi. Dengan kata lain,
sesungguhnya hak atas tanah tersebut sudah melekat pada WNA (pada kuasa
menjualnya) sehingga akta kuasa tersebut dapat dijadikan dasar hukum untuk
melakukan peralihan hak/menjual baik kepada diri sendiri maupun kepada pihak
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa akta perjanjian dan akta jual beli
yang dibuat oleh notaris telah mengandung peralihan hak dari penjual kepada
pembeli dalam hal ini dari WNI kepada WNA sekalipun yuridische levering, yaitu
penyerahan secara yuridis, yakni dicatatkan balik namanya pada sertipikat belum
dilaksanakan di Kantor Pertanahan. Artinya sertifikat hak miliknya belum
dilakukan pencoretan dari atas nama pemilik (penjual) ke atas nama pembeli
sebagai bentuk levering di dalam hal jual beli hak milik atas tanah.
109
Subekti II, op.cit, hal. 12.
138
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa, dalam suatu perjanjian jual beli
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata, menegaskan bahwa
“Jual beli adalah suatu tujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan”, mengandung arti bahwa perjanjian jual beli membawa
akibat hukum bertimbal balik (obligatoir), bahwa si penjual berkewajiban untuk
menyerahkan benda obyek jual beli dan pembeli berkewajiban untuk membayar,
untuk menyerahkan uang pembayarannya. Itulah sebabnya orang menyebut
perjanjian-perjanjian seperti itu dengan perjanjian obligatoir, maksudnya
perjanjian sudah sah jika sudah dipenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal
1320 KUHPerdata), walaupun obyeknya belum diserahkan.
Demikian dalam sistem KUHPerdata dibedakan antara perjanjian
obligatoir dengan perjanjian penyerah obyek perjanjiannya. Telah dikatakan di
depan, bahwa perjanjian obligatoir mengakibatkan adanya perikatan tertentu.
Perikatan tersebut dapat berisi kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).
Isi perikatan tersebut adalah untuk memberikan sesuatu ke dalam
pemilikannya orang lain (keditur), maka perjanjian tersebut perlu diikuti dengan
suatu perjanjian yang lain, yaitu perjanjian kebendaan.Perjanjian kebendaan
adalah perjanjian untuk mengadakan, mengubah dan menghapuskan hak-hak
kebendaan. Karena levering atau penyerahan, menjadikan orang yang menerima
penyerahan sebagai pemilik dari barang yang diserahkan dan hak milik adalah hak
kebendaan, maka kita menamakan perjanjian penyerahan atau levering suatu
139
perjanjian kebendaan. Itulah sebabnya undang-undang menyatakan bahwa
levering atau penyerahan adalah cara untuk memperoleh hak milik (Pasal 584
KUH Perdata). Beralihnya hak milik atas benda yang bersangkutan bararti ada
penghapusan hak milik, hak kebendaan dan bagi yang menerima berarti ada hak
milik atas suatu benda yang sebelumnya tidak ada padanya. Baginya penyerahan
perjanjian kebendaan mengadakan hak kebendaan.
Latar belakang seperti ini kiranya kita dapat mempunyai gambaran yang
lebih baik tentang levering atau penyerahan hak tagihan. Karena ia menjadikan
orang yang menerima penyerahan pemilik dari tagihan yang diserahkan
(mendapatkan hak kebendaan) maka perjanjian seperti itu merupakan suatu
zakelijke overeenkoms (perjanjian kebendaan). Dari apa yang telah diuraikan di
atas kita tahu bahwa penyerahan levering tidak pernah berdiri sendiri.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa untuk sekedar membantu,
penyerahan hak milik atas tanah baik secara nyata maupun yuridis merupakan
akhir dari suatu perjanjian obligatoir, sehingga akta notaris yang memberikan
WNA dasar hukum untuk memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia,
yang sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang UUPA Pasal 26 ayat 2,
merupakan perbuatan batal demi hukum.
Dengan demikian dapatlah dideskripsikan bahwa akta nominee yang
dibuat dengan akta notariil sebagai upaya hukum penguasaan/pemilikan tanah hak
milik di Indonesia, terlebih lebih dengan klausula tidak dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasa (WNI) secara langsung memberi kewenangan bagi penerima kuasa
(orang asing/WNA) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan
140
hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh
pemegang hak (WNI) sehingga pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas
tanah.
Akta nominee antara WNI denganWNA sebagai suatu perjanjian tidak sah.
Karena dari sisi sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata,
perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur obyektifnya suatu perjanjian yakni suatu
sebab yang halal. Sehingga perjanjian tersebut dibuat dengan tidak mengindahkan
norma-norma dan kaedah-kaedah tentang dapat atau tidak dapatnya tanah hak
milik diperjanjikan untuk dialihkan haknya kepada WNA, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Keberadaan akta nominee seperti itu adalah akta
perjanjian yang batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.
4.3. Akibat Hukum Akta Notaris (Nominee) yang Melanggar Larangan
Dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA.
Dalam sub bab ini yang dimaksud dengan akibat hukum akta notaris
(nominee) yang melanggar larangan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah akibat
hukum yang dapat lahir, selain terhadap keberadaan perbuatan-perbuatan hukum
yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang telah dibahas pada sub bab di
atas, adalah akibat hukum berupa bagaimana status tanah hak milik sebagai obyek
perjanjian nominee tersebut. Mengingat berdasarkan ketentuan di atas, tanahnya
jatuh kepada Negara serta akibat hukum yang dapat terjadi terhadap notaris yang
membuatkan akta nominee tersebut.
141
Dengan tetap mengacu pada dua kasus penyelesaian sengketa melalui jalur
litigasi di atas, Negara dalam hal ini pengadilan memutuskan bahwa perjanjian
yang dimaksudkan baik langsung maupun tidak langsung mengalihkan hak milik
atas tanah dari WNI kepada WNA adalah batal demi hukum.Hal tersebut
mengadung konsekuensi bahwa perbuatan-perbuatan hukum tersebut dari awal
memang tidak pernah ada, sehingga secara yuridis mengukuhkan pemilikan WNI
atas tanah hak milik yang menjadi obyek perjanjian nominee tersebut.
Terlepas dari telah pernah dilakukannya perjanjian-perjanjian nominee
yang terbukti dari adanya akta notaris dan hanya oleh hukum dianggap tidak
pernah ada sekalipun sejatinya pernah ada, yang penting untuk ditelaah lebih
lanjut guna memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (2) yang pada anak kalimat
menentukan bahwa : ”…, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat
dituntut kembali.”
Telaahan tersebut dianggap penting oleh penulis untuk disampaikan
dengan logika hukum bahwa apabila perbuatan hukum yang terkandung dalam
perjanjian nominee dianggap batal demi hukum, yang mengandung konsekuensi
bahwa perbuatan hukum itu tidak pernah ada yang membawa akibat tiadanya hak
WNA atas tanah hak milik dalam perjanjian nominee tersebut.Seyogyanya akibat
itu juga harus diberlakukan bagi WNI, sebab yang namanya tidak pernah ada,
perbuatan hukum kedua belah pihak dianggap tidak ada.Dengan demikian, hak
142
WNI atas tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian nominee seyogyanya
dianggap tidak pernah ada.
Sekalipun fakta hukum bahwa bukti pemilikan hak atas tanah (sertifikat)
yang menjadi obyek perjanjian nominee atas nama WNI, yang secara yurudis
formil WNI tersebut adalah pemiliknya menurut hemat penulis tidak serta merta
kedudukan tersebut menjadi benar. Mengingat lahirnya sertifikat atas nama WNI
tersebut diawali dengan adanya perjanjian nominee yang merupakan perbuatan
melanggar hukum dan merupakan perbuatan diputuskan batal demi hukum
sebagai konsekuensi yuridis sepantasnyalah pemilikan WNI terhadap tanah yang
menjadi obyek perjanjian nominee itu juga dibatalkan.
Argumentasi tersebut perlu disampaikan sejalan dengan norma yang
terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) di atas, yang menegaskan bahwa tanah-tanah
yang lahir dari perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam
uraian ini adalah jatuh kepada Negara. Mengingat tanah hak milik tersebut
diperoleh dari perbuatan yang melanggar hukum dan guna memenuhi ketentuan
Pasal 26 ayat (2) di atas seyogyanya putusan pengadilan memerintahkan
pemilikan WNI atas tanah hak milik tersebut adalah batal demi hukum, bukti
pemilikannya dalam hal ini sertifikat dikembalikan kepada Negara dalam hal ini
BPN dan tanahnya pun diambil oleh Negara.
Dengan tetap berdasarkan pada dua putusan pengadilan di atas dimana,
hanya menghukum WNA untuk kehilangan hak atas tanah tersebut dan sebaliknya
mengukuhkan pemilikan WNI atas tanah tersebut secara langsung atau tidak
langsung putusan pengadilan meniadakan kewenangan Negara untuk mangambil
143
alih tanah-tanah yang lahir dari perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana bahasan
dalam tesis ini. Kalau tidak mau dikatakan bahwa putusan pengadilan berpotensi
melahirkan hukum baru.
Sisi lain dari akibat hukum yang dapat terjadi terhadap notaris yang
membuat akta nominee, yaitu berupa tanggung jawab seorang notaris dalam hal
akta sebagai sebuah produk hukum notaris batal demi hukum sehingga ada pihak
yang dirugikan haknya, dalam hal ini tanah yang menjadi obyek perjanjiann
nominee jatuh kepada Negara, atau setidak-tidaknya WNA tidak memperoleh
tanah sebagaimana dimaksudkan dalam akta perjanjian nominee sebab, dalam dua
putusan dalam penyelesaian hukum melalui jalur ligitasi di atas, ternyata WNA
tidak memperoleh tanah sebagaimana maksud dibuatnya akta.
Pada umumnya, sebuat akta notaris sebagai produk dari pejabat umum
berlaku adigium bahwa, penilaian terhadap akta notaris harus dilakukan dengan
asas praduga sah (vermoeden van rechtmatigheid)110
atau presumtio lustae
cause.111
Asas ini dapat digunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris
harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah.
Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke
Pengadilan Umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akta notaris
110
Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintah Menurut Hukum, Cetakan
Pertama, Yuridika, Surabaya, hal. 6 111
Paulus Effendi Lotulung, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi
Hukum Terhadap Pemerintah-Seri Ke I : Perbandingan Hukum Administrasi dan
Sistem Peradilan Administrasi (Edisi Ke II dengan revisi), Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 118.
144
tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dalam akta
tersebut.
Gugatan untuk menyatakan akta notaris tersebut tidak sah, maka harus
dibuktikan ketidak absahan dari aspek lahiriah, formal dan material akan notaris.
Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang yang bersangkutan tetap sah mengikat
para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini
telah diakui dalam UUJN yang tercantum dalam Penjelasan Bagian Umum
ditegaskan bahwa : “Akta notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan
terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima kecuali pihak
yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan
dihadapan persidangan pengadilan.”
Asas praduga sah bila dikaitkan dengan akta yang dapat dibatalkan,
merupakan suatu tindakan mengandung cacat, yaitu tidak berwenangnya notaris
untuk membuat akta secara lahiriah, formal, material dan tidak sesuai dengan
aturan hukum tentang pembuatan akta notaris.Serta asas ini tidak dapat digunakan
untuk menilai akta batal demi hukum, karena akta batal demi hukum dianggap
tidak pernah di buat. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan akta notaris :
1. Dapat dibatalkan.
2. Batal demi hukum.
3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tanagn.
4. Dibatalkan oleh para pihak sendiri.
145
5. Dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena penerapan asas praduga sah.112
Kelima kedudukan akta notaris di atas tidak dapat dilakukan secara
bersamaan, yaitu jika telah ada Putusan Pengadilan Umum yang berkekuatan
hukum tetap yang memutuskan akta notaris tersebut kehilangan keotentikannya
sehingga akta notaris mempunyai kedudukan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan atau akta notaris batal demi hukum atau akta notaris dibatalakan oleh para
pihak sendiri dengan akta notaris lagi, maka pembatalan akta notaris yang lainnya
tidak berlaku. Hal ini berlaku pula untuk asas praduga sah.
Cacatnya akta notaris dapat menimbulkan kebatalan bagi suatu akta notaris
dan ditinjau dari sanksi atau akibat hukum dari kebatalan dapat dibedakan
menjadi:
1. Batal demi hukum.
2. Dapat dibatalkan.
3. Non existent.
Akibat hukum dari suatu kebatalan pada prinsipnya sama, yaitu : batal
demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yang ketiganya mengakibatkan
perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut
tidak mempunyai akibat hukum. Perbedaannya terletak pada waktu berlakunya
kebatalan tersebut,yaitu :
Ad.1. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau
112
Habib Adjie, op.cit, hal. 141.
146
berdaya surut (ex tunc), dalam praktek batal demi hukum didasarkan pada
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ad.2.Dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak
mempunyai akibat sejak terjadinya pembatalan dan dimana pembatalannya
atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada pihak tertentu,
yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.Akta yang
sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku dan mengikat selama belun ada
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
membatalkan akta tersebut.
Ad.3. Non existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau non
existent yang disebabkan karena tidak dipenuhinya essensilia dari suatu
perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur atau semua unsur dalam
suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara dogmatis tidak
diperlukan putusan pengadilan, namun dalam praktek tetap diperlukan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan
implikasinya sama dengan batal demi hukum.113
Dalam hal lahirnya tanggung jawab notaris terhadap aktanya yang batal demi
hukum, dapat digunakan teori pertanggungjawaban seperti, liability dan
responbility. Liability merupakan karakter risiko atau tanggung gugat yang
bergantung atau yang meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual
atau potensial seperti kerugian, ancaman, kajahatan, biaya atau kondisi yang
113Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien
Budiono I), hal. 363-366.
147
menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan responbility
berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk
putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban
bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum. Sedangkan istilah responbility menunjuk pada
pertanggungjawaban politik.114
Menurut Kranenburg dan Vegtig diberikan dua teori yang melandasi
tanggungjawab tersebut, yaitu :
1. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.
2. Teori fautes de services, yaitu teori yang manyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan riingannnya suatu kesalahan berimplikasi
pada tanggung jawab yang harus ditanggung.115
Kedua teori di atas, dalam hal lahirnya tanggung jawab notaris akibat kebatalan
demi hukum akta yang dibuatnya adalah petanggung jawaban fautes personalles,
114
Ridwan H.R.,loc.cit. 115
Ridwan H.R., loc.cit.
148
artinya notaris yang membuat akta tersebut bertanggung jawab secara pribadi
karena ia menjabat selaku notaris kepada pihak yang mengalami kerugian. Hal
tersebut didasari pula oleh argumentasi bahwa jabatan notaris merupakan jabatan
yang melekat pada individu/pribadi notarisnya dan bukan merupakan jabatan
institusional.Dengan kata lain, jabatan notaris atau seseorang menjadi notaris
bukan karena ada suatu instansi/lembaga notaris kemudian seseorang diangkat
untukmenjabat di instansi/lembaga tersebut, sebagaimana layaknya jabatan
seseorang pada instansi/lembaga pemerintahan. Selain hal itu, teori fautes
personalles dapat dijadikan dasar hukum dan rujukan untuk membebani/meminta
tanggungjawab kepada notaris bilamana aktanya melahirkan kerugian terhadap
kliennya akibat kesalahan notaris dalam mengkonstantir suatu peristiwa/perbuatan
hukum konkrit untuk dijadikan suatu peristiwa/perbuatan hukum di dalam
pembuatan aktanya.
Kaitannya dengan kajian dalam tesis ini, kesalahan notaris mengkonstatir
akta terdapat ketika notaris yang secara normatif seharusnya mengetahui larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat(2) UUPA, akan tetapi masih tetap
bersedia membuat akta yang dimintakan kepadanya dalam bentuk akta nominee.
Sehingga apabila akta tersebut melahirkan kerugian bagi pihak WNA, dapat
dimintakan pertanggung jawaban personal karena jabatannya untuk memberi ganti
rugi sebagaimana layaknya berlaku dalam hukum perdata.
149
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan terhadap topik penulisan pada tesis ini
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal terjadinya sengketa terhadap
perjanjian nominee yang didalamnya mengandung perbuatan-perbuatan
hukum peralihan hak milik atas tanah antara WNI dengan WNA adalah
diselesaikan melalui jalur non litigasi dan melalui jalur litigasi. Dalam jalur
non litigasi, upaya hukum yang ditempuh adalah penyelesaian secara
musyawarah mufakat guna tercapainya win-win solution sehingga diantara
para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut tidak ada yang merasa
dirugikan baik secara materiil maupun secara immateriil. Sebaliknya
penyelesaian melalui jalur litigasi dilakukan dengan cara melakukan gugatan
ke Pengadilan Negeri.
2. Terdapat tiga akibat hukum yang lahir dari perjanjian nominee yang berisi
tentang peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA yang melanggar
ketentuan Pasal 26 ayat (2), yaitu :
a) Akibat hukum terhadap substansi/isi akta atau terhadap perbuatan-
perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanahnya batal demi hukum dan
149
150
tidak memiliki kekuatan mengikat, karena berdasarkan norma hukum
dalam hal ini syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH
Perdata, akta nominee tidak memenuhi syarat keempat yaitu suatu sebab
yang halal sebagai syarat obyektifnya.
b) Akibat hukum status tanah hak milik sebagai obyek perjanjian nominee
tersebut secara yuridis mengukuhkan pemilikan WNI atas tanah hak milik
yang menjadi obyek perjanjian nominee tersebut.
c) Akibat hukum notaris yang mau membuatkan akta nominee yaitu
menimbulnya tanggung jawab personal bagi si notaris, apabila akta
nominee yang dibuatnya mengakibatkan kerugian maka notaris dapat
dimintakan pertanggungjawaban personal karena jabatannya untuk
memberi ganti rugi sebagaimana layaknya berlaku dalam hukum perdata.
5.2. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan pada penyelesaian kasus melalui jalur litigasi terhadap perjanjian
nominee tidak serta merta menyebabkan tanahnya jatuh kepada negara, maka
disarankan kepada Pengadilan agar putusan-putusan hakim menghukum
bahwa tanah obyek sengketa nominee jaruh kepada negara dan selanjutnya
digunakan oleh Negara cq. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai dasar
dalam mengambil tanah-tanah tersebut menjadi tanah negara.
2. Penyelesaian melalui jalur litigasi terhadap perbutan-perbuatan hukum yang
mengandung peralihan hak milik atas tanah antara WNI kepada WNA hanya
151
menghukum pihak WNA saja yang tidak berhak dan sebaliknya pihak WNI
dikukuhkan pemilikannya atas obyek perjanjian tersebut, sehingga substansi,
maksud dan tujuan yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) tidak tercapai,
yaitu tanah tersebut jatuh kepada Negara. Maka disarankan kepada para
penegak hukum dalam hal ini Pengadilan agar penyelesaian melalui jalur
litigasi juga menghukum WNI yang bersangkutan dengan menyatakan bahwa
tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian nominee bukanlah haknya,
sehingga menjadi jatuh kepada negara. Hal tersebut ditujukan agar norma
yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) dapat terpenuhi, selain untuk
mencegah terjadinya praktik serupa dikemudian hari.
152
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU :
Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.
30 Thun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis,
Setara Press, Jatim.
Badrulzaman, Mariam Darus,2001,Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Cutra Aditya
Bakti, Bandung.
_______, 2006, KUHPERDATA Buku III, Alumni, Bandung.
Bakri, Muhammad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media,
Yogyakarta.
Boediarto, M. Ali, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung,
Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta.
Budiono, Herlien. 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fuadi, Munir. 1996, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku III), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Garner, BryanA. 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West,
United States of Amerika.
Ghotur, AnshoriAbdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Persepektif
Hukum Dan Etika, UII Press, Yogyakarta.
Golding, M.P, 2004, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia
University, Random House, New York.
153
Hadjon, Philipus M., 1993, Pemerintah Menurut Hukum, Cetakan Pertama,
Yuridika, Surabaya.
Handri, Raharjo. 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta.
Harahap, M. Yahya, 1995, Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Varia Peradilan Nomor 21.
Harris, J.W,1979, Law and Legal Science (An Inquiry into the Concepts Legal
Rule and Legal System), Clarendon Press-Oxford.
Harsono, Boed,. 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama,
Djambatan, Jakarta.
Huijber, Theo, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan
Keempatbelas, Yogyakarta.
Khairandy, Ridwan, 2003, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Koeswadji, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center of
Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta.
Komariah, 2002, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiah, Malang.
Lotulung, Paulus Effendi, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum
Terhadap Pemerintah-Seri Ke I : Perbandingan Hukum Administrasi dan
Sistem Peradilan Administrasi (Edisi Ke II dengan revisi), Citra Aditya
Bakti, Bandung.
MacCormick, Neil, 2007, Institutions of Law – An Essay in legal Theory, Oxford
University Press, New York.
Marzuki, Peter Mahmud,2005,Penelitian Hukum Edisi pertama, cet. Ke-2,
Kencana, Jakarta.
_______, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Meliala, Djaja S., 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan
Hukum Perikatan, Nusa Aulia, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno. 1986, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas
Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
_______, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
154
Muchsin, Koeswahyono Imam, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia
Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir. 1982, Hukum Perjanjian.Alumni, Bandung.
Mustafa, Bacshandkk, 1982, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang,
Edisi Pertama, Armico, Bandung.
Peorwosutedjo, H.M.N. 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan,
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cet. III, Djambatan, Jakarta.
Perlindungan, A.P, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Percetakan Offset Alumni
Kotak Pos 272, Bandung.
Poerwadarminta,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,Cet
VIII, Sumur, Bandung.
Ranuhandoko,I.P.M. B.A., 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Ridwan, H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Rifai, Ahmad. 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim, HS., 2003,Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta
Satrio, J, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satriyo, Wicaksono, Frans. 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat
Kontrak, Visimedia, Jakarta.
Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia
Widiasrana, Jakarta.
Sihombing, Irene Eka, 2005, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta.
Soebekti,R, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And
Studies, third edition, Jakarta.
_______, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.
155
Subagyo, P. Joko. 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III,
Rineka Cipta, Jakarta.
Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung.
________, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sudiarto, H. dan Asyhadie, Zaeni. 2004, Mengenal Arbitrase, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Suherman, E., 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara
Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan
Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung.
Sumardjono,Maria S.W. 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing
Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia
(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar.
Sunggono, Bambang. 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Supramono, Gatot. 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta Timur.
Thamrin, H. Husni. 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang
Pressindo, Yogyakarta.
Vasu, Sucitthra. 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,
Singapore.
Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 2000, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 20430).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
156
Undang-Undang Repubulik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 63).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3872).
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan Di Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1987 Tentang Pendaftaran Tanah jo
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Instruksi Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan
Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
III. DISERTASI :
Djatmiati, Tatiek Sri, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi,
Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya.
IV. BAHAN INTERNET :
BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah), 2013, Investasi
Penanaman Modal Asing di Bali Lampaui Target,http://selebzone.com/
bkpmd-investasi-penanaman-modal-asing-di-bali-lampaui-target.html,
diakses tanggal 17 April 2013.
Maulanaz Nova, 2012, Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Di Indonesia,
http://www.google.com/search?q=maulanaz+nova+jenis-jenis+hak +atas
+tanah+di+Indonesia&hl=en&sa=x&as_q=&spell=1&ei=YB5tUsDoB4f9r
AfLI4CYBg&ved=0CAoQBSgA, diakses tanggal 5 Agustus 2013.
157
Yance Arizona, 2012, Kepastian Hukum, http:/yancearizona.wordpress.com,
diakses tanggal 2 Mei 2013.