PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …digilib.unila.ac.id/58087/3/3. SKRIPSI FULL...
Transcript of PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA …digilib.unila.ac.id/58087/3/3. SKRIPSI FULL...
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJAOLEH MEDIATOR DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
PROVINSI LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
ENDRA MEIDI ARDIANSYAHNPM. 1412011134
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRAK
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJAOLEH MEDIATOR DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
PROVINSI LAMPUNG
OlehENDRA MEIDI ARDIANSYAH
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-UndangNomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial(UUPPHI) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapatmengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah proses penyelesaian perselisihan PHKoleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung? (2)Bagaimanakah pelaksanaan keputusan hasil mediasi dalam penyelesaian perselisihanPHK oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pengumpulandata dengan studi lapangan dan studi pustaka. Pengolahan data meliputi seleksi,klasifikasi dan penyusunan data. Analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Proses penyelesaian perselisihan PemutusanHubungan Kerja (PHK) oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan TransmigrasiProvinsi Lampung dilaksanakan melalui proses mediasi, yaitu mediator bertindaksebagai pihak netral dan penengah, membantu memecahkan masalah dan mencarijalan keluar atas perselisihan yang dihadapi. Prosedur tersebut dilaksanakanmediator melalui tahap pahap pra mediasi dan tahap mediasi. (2) Pelaksanaankeputusan hasil mediasi dalam penyelesaian perselisihan PHK oleh mediator DinasTenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung adalah dalam hal terjadikesepakatan maka kedua belah pihak melakukan perjanjian bersama, sedangkanapabila tidak terjadi kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis untukditindaklanjuti oleh kedua belah pihak dalam jangka waktu selama sepuluh hari.Apabila tidak ada tindak lanjut maka para pihak dapat mengajukan permohonan kePengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Dinas Tenaga Kerja dan TransmigrasiProvinsi Lampung disarankan untuk secara lebih aktif melakukan pengawasanterhadap praktik hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja. (2) MediatorPerselisihan Hubungan Industrial hendaknya terus meningkatkan profesionalismedan kapasitas sebagai pelaksana proses mediasi antara pihak-pihak yang terlibatdalam perselisihan hubungan industrial.
Kata Kunci: Penyelesaian, Perselisihan PHK, Mediator
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJAOLEH MEDIATOR DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
PROVINSI LAMPUNG
Oleh
ENDRA MEIDI ARDIANSYAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSARJANA HUKUM
pada
Jurusan Hukum Administrasi NegaraFakultas Hukum
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Endra Meidi Ardiansyah, dilahirkan di Lubuk
Sanai, Mukomuko Bengkulu pada tanggal 15 Mei 1996, sebagai
anak kedua dari empat bersaudara, putra dari pasangan Bapak
Sardiman dan Ibu Titin Sumarni.
Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 18 Teras Terunjam Mukomuko
Bengkulu selesai Tahun 2008, SMP Negeri 1 Mukomuko Bengkulu selesai Tahun
2011 dan SMA Negeri 7 Bandar Lampung selesai Tahun 2014. Pada tahun yang
sama penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Wana
Kecamatan Melinting Kabupaten Lampung Timur pada Bulan Januari-Februari 2017.
MOTTO
Wahai anak muda, jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, engkauharus menanggung pahitnya kebodohan.
(Pythagoras)
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan Skripsi ini kepada:
Kedua Orang Penulis TercintaBapak Sardiman dan Ibu Titin Sumarni
yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulismenjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih sayang
yang tulus dan memberikan doayang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati
Kakak penulis: Endrick PriyogaAdik-adik penulis: Evin Meidia Trian Saputra dan Ersa Marcel Prayuda
Atas dukungan dan motivasi yang diberikan
Almamater Fakultas HukumUniversitas Lampung
SANWACANA
Alhamdullilah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab
hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja oleh Mediator Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung”, sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama peroses penyusunan sampai dengan
terselesaikan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Bapak Syamsir Syamsu, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi
Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingan,
masukan dan arahan yang diberikan dalam proses penyusunan sampai dengan
selesainya skripsi ini.
4. Bapak Fathoni, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, atas bimbingan, masukan dan
arahan yang diberikan dalam proses penyusunan sampai dengan selesainya
skripsi ini.
5. Bapak Elman Eddy Patra, S.H.,M.H, selaku Penguji Utama dan Pembahas I, atas
masukan dan arahan yang diberikan dalam perbaikan Skripsi ini.
6. Ibu Marlia Eka Putri, S.H.,M.H, selaku Pembahas II, atas masukan dan arahan
yang diberikan dalam perbaikan Skripsi.
7. Segenap Dosen beserta staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Lampung yang telah banyak membantu dan memberikan banyak ilmu
pengetahuan kepada Penulis selama menyelesaikan studi.
8. Sahabat-sahabat sukses ku CENDANA ELITE, Baba, kak dimas, om jin, ditho,
palep, sendy, fadhil, edwin, gandol, udin, labqi, cubung, andrian, gobel, alif,
bima, heri, alim, qodri, popo, gogo, jodi, terima kasih untuk kebersamaan,
bantuan, canda tawa maupun duka, serta semangatnya selama ini. Semoga kita
semua sukses seperti yang selalu kita impikan.
9. Sahabat-sahabat mahasiswa asing Mess Unila, Abed Rajeh, Octavinia, George,
Sami dalion, Pierre, Mochtar, Angelo, yang telah memberikan pembelajaran,
pengalaman serta kekeluargaan yang baik.
10. Sahabatku Yudhi Andyas Pratama, Risma Yulianti, Zahra Aulia yang telah
memberikan Motivasi, Dukungan, Serta saran sehingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas lampung.
11. Teman Wanita hidupku Emma Marie-Jeanne Genevieve Teytaud terimakasih
untuk perhatian dan motivasi yang telah di berikan selama penulisan skripsi ini.
12. Almamaterku tercinta beserta seluruh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung Angkatan 2014.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan
dukungannya.
Akhir kata Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Aamiin..
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ................................... 6
1.2.1 Permasalahan ........................................................................... 6
1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian........................................................ 6
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 7
1.3.1 Tujuan Penelitian .................................................................... 7
1.3.2 Kegunaan Penelitian ............................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8
2.1 Tinjauan Umum tentang Kewenangan ............................................. 8
2.2 Hubungan Antara Pekerja dengan Perusahaan ................................. 14
2.3 Perselisihan Hubungan Industrial ..................................................... 16
2.4 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).................................................. 20
2.5 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Dasar
Hukumnya ......................................................................................... 22
2.6 Mediasi ............................................................................................. 27
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 30
3.1 Pendekatan Masalah ......................................................................... 30
3.2 Sumber Data ..................................................................................... 30
3.2.1 Data Sekunder ......................................................................... 30
3.2.2 Data Primer .............................................................................. 32
3.3 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................ 32
3.4 Prosedur Pengolahan Data ................................................................ 33
3.5 Analisis Data ..................................................................................... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 34
4.1 Gambaran Umum Dinas Tenaga Kerjadan Transmigrasi Provinsi
Lampung .......................................................................................... 34
4.2 Proses Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) oleh Dinas Tenaga Kerjadan Transmigrasi Provinsi
Lampung ........................................................................................... 40
4.2.1 Prinsip-Prinsip Penyelesaian Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) oleh Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Lampung ............................................. 44
4.2.2 Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) oleh Mediator Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Lampung ............................................. 46
4.3 Pelaksanaan Keputusan Hasil Mediasi Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Lampung ............................................................................. 62
4.3.1 Keputusan Hasil Mediasi Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dalam Bentuk Anjuran Tertulis
Dari Mediator .......................................................................... 63
4.3.2 Daya Ikat Anjuran Tertulis dari Mediator terhadap
Para Pihak yang Terlibat Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) ........................................................... 68
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 72
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 72
5.2 Saran ................................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh /pekerja dan pengusaha. Sementara
itu PHK menurut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) adalah perselisihan
yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Sesuai dengan kedua pengertian di atas maka diketahui bahwa PHK merupakan
salah satu bentuk perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur UUPPHI,
bahwa perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
UU Ketenagakerjaan secara khusus mengatur mengenai PHK yaitu di dalam Pasal
150 sampai dengan Pasal 172. Pasal 150 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa
ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini
2
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukum, baik milik swasta, milik negara, atau usaha-usaha sosial dan usaha-usaha
lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.1
Setiap tenaga kerja yang di PHK oleh perusahaan memiliki beberapa hak
sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu uang pesangon, uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dan Uang Penggantian Hak (UPH). Uang
pesangon menurut Pasal 1 angka 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep-78/MEN/2001 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/MEN/2000
tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,
Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan (Kepmenaker
78/2001) adalah adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja/buruh sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja. UPMK menurut
Pasal 1 angka 7 Kepmenaker 78/2001 adalah uang jasa sebagai penghargaan
pengusaha kepada pekerja/buruh yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja.
Sementara itu UPH menurut Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat
di mana pekerja/buruh diterima bekerja;c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
(lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau UPMK bagi yangmemenuhi syarat;
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaanatau perjanjian kerja bersama.
1 Asri Wijayanti, Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Rajawali Press, Jakarta, 2012, hlm. 30.
3
Pemerintah pada dasarnya telah memberlakukan beberapa regulasi terkait dengan
terjadinya PHK terhadap tenaga kerja di antaranya melalui Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Kep-150/MEN/2000 Tahun 2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan sebagaimana terakhir diubah
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Kep-
78/MEN/2001 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan
Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Selain itu diberlakukan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Salah satu contoh perselisihan hubungan industrial adalah Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) yang dilakukan PT. Mandala Multi Finance Tbk. Cabang Kota
Agung Kabupaten Tanggamus terhadap karyawannya yang bernama Kasino.
Mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung telah
melaksanakan proses mediasi dalam perkara ini namun tidak mencapai
kesepakatan, sehingga berdasarkan Pasal 13 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial maka
mediator mengeluarkan anjuran tertulis. Mediator dalam perkara ini
berkesimpulan bahwa pekerja (Kasino) telah bekerja di PT. Mandala Multi
Finance Tbk. Cabang Kota Agung Kabupaten Tanggamus selama 6 (enam) tahun
dengan upah/gajji terakhir sebesar Rp. 2.250.000 (Dua juta dua ratus lima puluh
ribu rupiah), namun sejak tanggal 1 Agustus 2016 Kasino sudah tidak dapat
melakukan registrasi absensi tanpa ada keterangan dari Perusahaan, maka pihak
4
perusahaan dianggap telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Kasino dalam
hal ini tidak dapat dikategorikan mengundurkan diri walapun pihak perusahaan
telah melakukan pemanggilan sebanyak 3 kali dan Kasino tidak hadir/mangkir,
karena perusahaan telah melakukan PHK dengan cara menghentikan/memutus
registrasi absensi pekerja. Pada sisi lain Kasino telah melakukan pelanggaran atas
peraturan perusahaan karena sudah 3 kali mendapatkan surat peringatan tertulis.2
Berdasarkan ketentuan Pasal 151 jo. Pasal 155 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Ketenagakerjaan, diketahui bahwa PHK tanpa penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
Mengingat adanya perselisihan hubungan industrial di Provinsi Lampung maka
perangkat daerah yang berperan dalam perlindungan dan penyelesaian masalah
tersebut adalah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung.
Berdasarkan Pasal 3 huruf (d) angka (1) Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah
Provinsi Lampung, maka diketahui bahwa Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Tipe A; menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tenaga kerja dan
urusan pemerintahan di bidang transmigrasi.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung memiliki kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tenaga kerja. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial diusahakan melalui penyelesaian perselisihan
2 Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung Tahun 2019
5
yang terbaik di antara pihak-pihak yang berselisih, sehingga dapat diperoleh hasil
yang menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI)
sebelum mencapai tahap atau tingkat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dapat
ditempuh cara-cara alternatif yang terdiri dari:
1. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikatpekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihanhubungan industrial.
2. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikatpekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
3. Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihanpemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja / serikatburuh hanya dalam suatu perusahaan melalui musyawarah yang di tengahioleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
4. Arbitrase adalah penyelesain suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihanantar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luarpengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihakyang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepada arbiter yangputusannya mengikat para pihak dan bersifat final.3
UUPPHI menjadi dasar hukum keberadaan tiga lembaga alternatif penyelesaian
sengketa (mediasi, konsiliasi dan arbitrase). Proses mediasi, konsiliasi dan
arbitrase sendiri baru bisa dipakai jika perundingan langsung antara pekerja dan
pengusaha atau yang dikenal dengan perundingan bipartit menemui jalan buntu.
Mediasi dalam hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Penyelesaian perselisihan
melalui mediasi ini diatur dalam Pasal 8 sampai 16 UUPPHI. Proses mediasi
3 Dadang Budiaji, Modul Diklat Konsultan Hukum Perusahaan, Yayasan Cipta Bangsa, Bandung,2007, hlm. 143
6
menurut Pasal 8 UUPPHI dipimpin oleh mediator yang berada di setiap kantor
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian Skripsi yang berjudul:
Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Mediator
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1.2.1 Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Lampung?
2. Bagaimanakah pelaksanaan keputusan hasil mediasi dalam penyelesaian
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh mediator Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung?
1.2.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian dalam penelitian adalah bidang Hukum Administrasi
Negara yang dibatasi pada proses penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) oleh mediator dan pelaksanaan keputusan hasil mediasi dalam
penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh mediator Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung. Ruang lingkup lokasi
penelitian ini adalah pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian ini adalah pada Tahun 2019.
7
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Lampung
2. Untuk mengetahui pelaksanaan keputusan hasil mediasi dalam penyelesaian
perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh mediator Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam
pengembangan kajian Hukum Administrasi Negara, khususnya Hukum
Tenaga Kerja yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
2. Kegunaan praktis
Secara praktis hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai
sumbangan pemikiran bagi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Lampung dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di masa-masa
yang akan datang.
8
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kewenangan
2.1.1 Pengertian Kewenangan
Beberapa pengertian kewenangan menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1. Menurut Miriam Budiardjo, kewenangan memiliki makna yang sama dengan
kekuasaan, yaitu wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif,
legislatif dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur
esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di
samping unsurunsur lainnya, yaitu hukum, kewenangan (wewenang),
keadilan, kejujuran, kebijaksanaan dan kebajikan.4
2. Menurut Rusadi Kantaprawira, kewenangan memiliki makna yang sama
dengan kekuasaan, yaitu wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh
eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan
merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan di samping unsurunsur lainnya, yaitu hukum, kewenangan,
keadilan, kejujuran, kebijaksanaan dan kebajikan.5
3. Menurut Prajudi Admosudirjo, kewenangan berasal dari kata dasar wewenang,
yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai
4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 3565 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998,hlm. 42
9
untuk melakukan sesuatu. kewenangan adalah kekuasaan formal. Kekuasaan
yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari
kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari
beberapa kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang atau
kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu.6
4. Menurut R. Abdoel Djamali, kewenangan merupakan tindakan hukum
pemerintah yang masuk dalam konteks hukum administrasi, yaitu peraturan
hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan
pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara itu berfungsi. Hukum
administrasi negara sebagai aturan hukum yang mengatur bagaimana negara
sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya. 7
5. Kewenangan adalah fungsi untuk menjalankan kegiatan dalam organisasi,
sebagai hak untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai. Pengorganisasian merupakan
proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi,
sumber daya-sumber daya yang dimilikinya dan lingkungan yang
melingkupinya.8
6. Menurut A. Gunawan Setiardja, kewenangan atau wewenang adalah suatu
istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun
sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa
yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif
6 Prajudi Admosudirjo. Teori Kewenangan. PT. Rineka Cipta Jakarta. 2001. hlm. 6.7 R. Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung. PT Raja Grafindo Persada Jakarta.2001.hlm 67.8 Muammar Himawan. Pokok-Pokok Organisasi Modern. Bina Ilmu. Jakarta. 2004. hlm. 51.
10
atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang
tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan
pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai
suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak
untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi. 9
Pelaksanaan kewenangan secara bijaksana merupakan faktor kritis bagi efektivitas
organisasi. Dalam pelaksanaan kewenangan, terutama dalam organisasi, peranan
pokok kewenangan adalah dalam fungsi pengorganisasian, dan hubungan
kewenangan dengan kekuasaan sebagai metode formal, di mana pimpinan
menggunakannya untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi.
Kewenangan formal tersebut harus didukung juga dengan dasar-dasar kekuasaan
dan pengaruh informal. Pimpinan perlu menggunakan lebih dari kewenangan
resminya untuk mendapatkan kerjasama dengan bawahan mereka, selain juga
tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kepemimpinan
mereka. Kwenangan sebagai hak seorang individu/organisasi untuk melakukan
sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam
suatu kelompok tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa
kewenangan merupakan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum
publik, atau secara yuridis kewenangan adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-
hubungan hukum.
9 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan MasyarakatIndonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 25.
11
2.1.2 Macam-Macam Kewenangan
Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang,
sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang
siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia
berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh institusi pemerintahan dalam melakukan
perbuatan nyata, mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu
dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi,
maupun mandat. 10
Ditinjau dari asasnya kewenangan terdiri dari, yaitu:
a. Kewenangan Atribusi, adalah kewenangan yang melekat pada suatujabatan yang berasal dari undang-undang. Atribusi merupakankewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahanatau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen.Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang adasebelumnya.
b. Kewenangan Delegasi, adalah pemindahan/pengalihan kewenangan yangada. Atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi kepadapejabat di bawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung jawab.Delegasi sebagai kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusidari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehinggadelegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat mengujikewenangan tersebut atas namanya
c. Kewenangan Mandat, dalam hal ini tidak ada sama sekali pengakuankewenangan atau pengalihan kewenangan, yang ada hanya janji-janji kerjainteren antara pimpinan dan bawahan. Pada mandat tidak terdapat suatupemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikankewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusanatau mengambil suatu tindakan atas namanya.11
Berkaitan dengan asas delegasi, yang merupakan asas paling penting dalam
pelaksanaan kewenangan dalam organisasi, terdapat empat kegiatan delegasi
10 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet.II, UII Press, Yogyakarta, 2003. hlm. 54.11 Prajudi Admosudirjo, Op.Cit., hlm. 11.
12
kewenangan. Kegiatan ini artinya ialah proses di mana para pimpinan
mengalokasikan kewenangan kepada bawah an dengan delegasi sebagai berikut:
a. Pendelegasi menetapkan dan memberikan tujuan dan tugas kepadabawahan.
b. Pendelegasi melimpahkan kewenangan yang di perlukan untuk mencapaitujuan atau tugas.
c. Penerimaan delegasi, baik implisit atau eksplisit, menimbulkan kewajibanatau tanggung jawab.
d. Pendelegasi menerima pertanggung jawaban bawahan untuk hasil-hasilyang dicapai. 12
Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai kekuasaan, oleh karena itu, dalam
menjalankan hak berdasarkan hukum publik selalu terikat kewajiban berdasarkan
hukum publik tidak tertulis atau asas umum pemerintahan yang baik.
Kewenangan dalam hal ini dibedakan menjadi:
a. Pemberian kewenangan: pemberian hak kepada, dan pembebanankewajiban terhadap badan (atribusi/mandat);
b. Pelaksanaan kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yangberarti mempersiapkan dan mengambil keputusan;
c. Akibat Hukum dari pelaksanaan kewenangan: seluruh hak dan/ataukewajiban yang terletak rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan. 13
Macam-macam kewenangan berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi:
1. Wewenang personal, bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau
normal, dan kesanggupan untuk memimpin.
2. Wewenang ofisial, merupakan wewenang resmi yang di terima dari wewenang
yang berada di atasnya. 14
Secara organisasional kewenangan adalah kemampuan yuridis yang didasarkan
pada hukum publik. Kewenangan berkaitan dengan hak dan kewajiban, yaitu agar
12 Muammar Himawan, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, 2004, hlm. 51.13 Prajudi Admosudirjo, Op.Cit., hlm. 87.14 Ibid, hlm.88.
13
kewenangan tidak semata-mata diartikan sebagai hak berdasarkan hukum privat,
tetapi juga kewajiban sebagai hukum publik. Kewenangan adalah fungsi untuk
menjalankan kegiatan dalam organisasi, sebagai hak untuk memerintah orang lain
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai.
Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai
dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya dan
lingkungan yang melingkupinya.
Pengaturan pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dengan 3 alternatif syarat,
yaitu15:
a. Adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yangdiberi delegasi kewenangan dan bentuk peraturan pelaksana untukmenuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
b. Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untukmenuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
c. Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dariundang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembagapenerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yangmendapat delegasi.
Ketiga syarat tersebut bersifat pilihan dan salah satunya harus ada dalam
pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule making power).Berbeda halnya
dengan kewenangan delegasi maupun atribusi. Kewenangan mandat merupakan
pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ
pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas tanggungjawab
sendiri. Apabila kewenangan yang dilimpahkan atau didelegasikan tersebut
merupakan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan
(the power of rule-making atau law-making), maka dengan terjadinya
pendelegasian kewenangan tersebut akan mengakibatkan terjadi pula peralihan
15Ibid, hlm. 262
14
kewenangan untuk membentuk undang-undang sebagaimana mestinya. Selain
atribusi dan delegasi, mandat merupakan salah satu sumber kewenangan. Mandat
merupakan kewenangan yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada
orang lain untuk atas nama atau tanggungjawabnya mengambil keputusan.16
2.2 Hubungan Antara Pekerja dengan Perusahaan
Hubungan antara pekerja dengan perusahaan disebut hubungan industrial adalah
hubungan kerja yang didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak untuk
mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.17 Hubungan Industrial juga adalah
suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur Pengusaha, Pekerja dan Pemerintah.
Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak
umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang
bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan
lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
Pekerja atau buruh adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan
upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari
penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan
kerja (labourforce). Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki
tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan
16 Ibid.hlm.26317 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1995. hlm. 7
15
oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar
sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor
informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran. 18
Angkatan kerja adalah bagian dari jumlah penduduk yang mempunyai pekerjaan
atau yang sedang mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif
dan bisa juga disebut sumber daya manusia. Banyak sedikitnya jumlah angkatan
kerja tergantung komposisi jumlah penduduknya. Kenaikan jumlah penduduk
terutama yang termasuk golongan usia kerja akan menghasilkan angkatan kerja
yang banyak pula. Angkatan kerja yang banyak tersebut diharapkan akan mampu
memacu meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya, jumlah penduduk yang banyak
tidak selalu memberikan dampak yang positif terhadap kesejahteraan. 19
Istilah majikan ini juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. Dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan
hubungan industrial disebut bahwa majikan adalah “orang atau badan hukum yang
memperkerjakan buruh”. Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga
kurang sesuai dengan konsep hubungan industri pancasila karena istilah majikan
berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok
penekan dari buruh, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan
mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama20.
18 E.St. Harahap, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 2007.hlm. 85419 Edi Suharto. Pekerja Sosial di Dunia Industri. PT Refika Aditama. Bandung 2009. hlm.5420 Asri Wijayanti, Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, 2012, hlm. 33.
16
Pelaksanaan hak-hak normatif pekerja di Indonesia saat ini yang masih jauh dari
harapan atau dengan kata lain terjadi kesenjangan yang jauh antara ketentuan
normatif (law in books) dengan kenyataan di lapangan (law in society/action)
salah satu penyebabnya adalah belum optimalnya pengawasan perburuhan atau
ketenagakerjaan, hal ini di sebabkan karena keterbatasan baik secara kuantitas
maupun kualitas dari aparat pengawasan perburuhan atau ketenagakerjaan.21
Secara kualitas aparat pengawasan perburuhan sangat terbatas jika di bandingkan
dengan jumlah perusahaan yang harus di awasi, belum lagi pegawai pengawas
tersebut harus melaksanakan tugas-tugas administratif yang di bebankan
kepadanya. Demikian juga kualitas dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik
yang masih terbatas.
2.3 Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh dalam
suatu perusahaan.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat atau perselisihan
pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja berkaitan dengan syarat-syarat
21 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Rajawali Press. Jakarta, 2007, hal 55
17
kerja seperti pemenuhan hak-hak pekerja dan atau serikat pekerja, harapan atau
kepentingan pekerja, dan pemutusan hubungan keria, serta perselisihan antar
serikat pekerja di satu perusahaan. Adapun jenis perselisihan yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah:
1. Perselisihan HakPerselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidakdipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiranterhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan KepentinganPerselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungankerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatandan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjiankerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan KerjaPerselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbulkarena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungankerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu PerusahaanPerselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaanadalah perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan SerikatPekerja/Serikat Buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidakadanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dankewajiban ke serikat pekerja.22
Realitas perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan lebih banyak
didominasi oleh tidak terpenuhinya hak-hak para pekerja oleh perusahaan dan
terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja. Beberapa tuntutan hak yang sering kali
digugat oleh para buruh pada perusahaan adalah sebagai berikut:
a. Pengupahan
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para pekerja, Serikat Pekerja
memperjuangkan adanya perbaikan syarat-syarat kerja melalui
penyempurnaan pengupahan, di mana Upah Minimum Regional (UMR) atau
22 TURC Press, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial, panduan Bagi Serikat Buruh, Jakarta,2004, hlm. 13
18
Upah Minimum Propinsi (UMP) ditetapkan secara bertahap agar setara
dengan kebutuhan hidup minimum (KHM).
b. Kesepakatan Kerja Bersama
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) di perusahaan merupakan kesepakatan
antara pekerja dan pengusaha yang dilakukan secara musyawarah dan
mufakat, yang berorientasi pada usaha-usaha untuk mengembangkan
keserasian hubungan kerja, usaha dan kesejahteraan bersama, melalui
penegasan hak dan kewajiban masing-masing secara konkrit dan jelas.
c. Perlindungan Para pekerja
Perlindungan dan Pengawasan Para pekerja. Perlindungan dan pengawasan
para pekerja, antara lain diupayakan melalui penerapan seluruh aspek
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan norma
kerja, baik melalui penyuluhan secara massal maupun pembinaan langsung
keperusahaan. Untuk meningkatkan efektifitas pengawasan norma kerja,
diupayakan dengan meningkatkan kemampuan pengawas Ketenagakerjaan.
Perlindungan bagi para pekerja wanita terus ditingkatkan dan dilaksanakan
dengan memperluas jangkauan ke sektor informal, khususnya di unit-unit
produksi industri rumah tangga, dalam bidang hiperkes, ergonomi,
keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya memberikan perlindungan bagi
para pekerja wanita dilaksanakan dengan melibatkan peran masyarakat,
khususnya organisasi wanita untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan
pelatihan. Perlindungan dan pengawasan terhadap hal yang membahayakan
keselamatan dan masa depan anak yang terpaksa bekerja terus ditingkatkan.
19
Upaya perlindungan dilakukan melalui penerapan norma kerja, yang
mencakup peningkatan penegakan hukum (law enforcement) terhadap
ketentuan-ketentuan dasar bagi anak yang terpaksa bekerja, antara lain
berupa pembatasan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari, tidak
mempekerjakan pada malam hari, pemberian waktu dan kesempatan untuk
mengikuti pendidikan, dan pelaksanaan pemberian upah sesuai dengan
Upah Minimum Propinsi (UMP).
d. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Upaya perlindungan pekerja dilaksanakan melalui kegiatan pengawasan dan
penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta pembudayaan
K3 di perusahaan. Pengawasan atas pelaksanaan norma K3 di perusahaan,
meliputi pengawasan teknis terhadap bahaya penggunaan alat mekanik,
proses produksi, bahaya penggunaan listrik, dan lingkungan kerja.
Penyebarluasan dan penerapan K3, dilaksanakan melalui pengembangan dan
pembentukan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3).
e. Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan upaya pula
untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja.
f. Program Penelitian dan Pengembangan Tenaga Kerja
Program penelitian dan pengembangan tenaga kerja ditujukan bagi penelitian
masalah-masalah ketenaga kerjaan yang bersifat operasional dan strategik
kebijaksanaan, pengembangan ketenaga kerjaan, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Hasil-hasil penelitian akan dipergunakan sebagai
20
bahan pendukung pelaksanaan program-program ketenaga kerjaan dan
perencanaan para pekerja nasional.
g. Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Tenaga Kerja
Program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan Tenaga Kerja bertujuan
meningkatkan produktivitas dan sekaligus kemampuan, keahlian dan
keterampilan para pekerja.23
2.4 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, definisi pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak
dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI). Dengan berlakukan UUPPHI 2004 tersebut, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
hubungan industrial (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan pelaksanaan
kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UUPPHI 2004. UUPPHI 2004, istilah sengketa yang digunakan adalah
perselisihan atau perselisihan hubungan industrial.
23 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan ILO, 2001, ManualMediasi,Konsiliasi dan Arbitrasi, Jakarta, hlm 78.
21
Pasal 1 angka 1 UUPPHI menjelaskan bahwa perselisihan Hubungan Industrial
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau se-rikat pekerja/serikat
buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 1 angka 4 UUPPHI menyeburkan Perselisihan pemutusan hubungan kerja
adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
PHK berarti berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi pekerja dan kondisi
keuangan dari perusahaan. Karenanya sangat wajar jika kemudian pemerintah
melakukan intervensi, bukan hanya melindungi hak-hak pekerja, tetapi juga
memerhatikan kemampuan dari keuangan perusahaan tersebut dengan
memberikan pengaturan-pengaturan berpatokan standar, baik secara nasional
maupun internasional. Praktiknya, tidak semua perusahaan menerapkan ketentuan
mengenai PHK dalam memberikan kompensasi pesangon kepada pekerja jika
hubungan kerja berakhir.
Hal tersebut kadang-kadang dikaitkan dengan status hukum dari perusahaan. Kata
perusahaan selalu diidentikan dengan perseroan terbatas (PT), sehingga di luar
status hukum tersebut, pihak pengusaha seringkali mengelak atau bahkan
menanamkan pengertian kepada karyawannya bahwa perusahaannya bukan
sebuah PT. Akibatnya, munculnya PHK tidak menjamin hak-hak pekerja menjadi
utuh sesuai dengan yang diharapkan undang-undang.
22
2.5 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Dasar Hukumnya
Perselisihan hubungan industrial pada dasarnya diselesaikan di Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PHI). Adapun tahapan penyelesaian
perselisihan hubungan indutrial di luar pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Bipartit
Lembaga bipartit terdiri dari wakil pengusaha dan wakil pekerja dan atau serikat
pekerja. Bila dalam perusahaan belum terbentuk serikat pekerja, wakil pekerja di
Lembaga Bipartit dipilih mewakili unit-unit kerja dan atau kelompok profesi. Bila
terdapat lebih dari satu serikat pekerja, wakil mereka di Lembaga Bipartit
ditetapkan secara proporsional. Semua jenis perselisihan diupayakan diselesaikan
di Lembaga Bipartit. Kesepakatan atau kompromi yang di Lembaga Bipartit
dirumuskan dalam bentuk Persetujan Bersama dan ditandatangani oleh para pihak
yang berselisih. Bila satu pihak tidak melaksanakan Persetujuan Bersama tersebut,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada
Pengadilan PHI di Pengadilan Negeri setempat. 24
2. Mediasi oleh Mediator
Setiap kantor Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
mengangkat beberapa orang pegawai sebagai mediator yang berfungsi melakukan
mediasi menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dengan pekerja. Atas
kesepakatan bersama, pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja memilih seorang
mediator dari daftar nama mediator yang tersedia di Kantor Pemerintah setempat,
kemudian secara tertulis mengajukan permintaan untuk membantu menyelesaikan
24 Ibid, hlm. 15
23
perselisihan mereka. Selama waktu 7 hari setelah menerima permintaan
penyelesaian perselisihan, mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun
informasi yang diperlukan, kemudian segera paling lambat pada hari kedelapan
mengadakan pertemuan atau sidang mediasi. Mediator dapat memanggil saksi dan
atau saksi ahli. Apabila pengusaha dan pekerja/serikat pekerja mencapai
kesepakatan, kesepakatan tersebut dirumuskan dalam Persetujuan Bersama yang
ditandatangani para pihak yang berselisih diketahui mediator. Apabila pihak-
pihak yang berselisih menerima anjuran mediator, kesepakatan tersebut
dirumuskan dalam Persetujuan Bersama. Bila anjuran tertulis ditolak, maka pihak
yang menolak mengajukan gugatan kepada Pengadilan PHI setempat. Untuk itu
mediator menyelesaikan dokumen yang diperlukan dalam 5 hari kerja. Dengan
demikian seluruh proses mediasi diselesaikan paling lama dalam 40 hari kerja. 25
3. Konsiliasi oleh Konsiliator
Konsiliator adalah anggota masyarakat yang telah berpengalaman di bidang
hubungan industrial dan menguasai peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang ditunjuk oleh Menteri melakukan konsiliasi dan anjuran
tertulis kepada pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja menyelesaikan
perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Daftar
konsiliator untuk satu wilayah kerja disediakan di kantor Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Atas kesepakatan para pihak yang
berselisih pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja memilih dan meminta
25 Ibid, hlm. 16
24
konsiliator dari daftar konsiliator setempat untuk menyelesaikan perselisihan
mereka mengenai kepentingan atau PHK.
Sama halnya dengan mediator, konsiliator harus menghimpun informasi yang
diperlukan dalam 7 hari setelah menerima permintaan konsiliasi, dan paling
lambat pada hari kedelapan sudah memulai usaha konsiliasi. Paling lambat dalam
14 hari sesudah sidang konsiliasi pertama, kesepakatan pengusaha dan pekerja
sudah dirumuskan dalam Perjanjian Bersama, atau bila pihak yang berselisih tidak
mencapai kesepakatan, konsiliator sudah menyampaikan anjuran tertulis.
Pengusaha dan pekerja harus menyampaikan pernyataan meneriama atau menolak
anjuran konsiliator paling lama dalam 14 hari. Bila kedua pihak menerima
anjuran, Perjanjian Bersama untuk itu diselesaikan dalam 5 hari. Bila pengusaha
atau pekerja menolak anjuran, pihak yang menolak menggugat pihak yang lain ke
Pengadilan PHI. Secara keseluruhan, konsiliator harus menyelesaikan satu kasus
perselisihan maksimum dalam 40 hari. Dalam proses konsiliasi, konsiliator dapat
memanggil saksi dan saksi ahli. Pemerintah membayar honorarium konsiliator,
serta biaya perjalanan dan akomodasi saksi dan saksi ahli.26
4. Arbitrase oleh Arbiter
Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang arbiter,
yang atas kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja.
Dalam hal pihak yang berselisih memilih 3 orang arbiter, dalam 3 hari masing-
26 Ibid, hlm. 17-18
25
masing pihak dapat menunjuk seorang arbiter, dan paling lambat 7 hari sesudah
itu, kedua arbiter tersebut menunjuk arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbiter.
Arbiter pertama-tama mengupayakan penyelesaian secara bipartit. Bila
penyelesaian berhasil, arbiter membuat akte perdamaian. Secara keseluruhan,
arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan indusrtrial dalam waktu 30
hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukkan arbiter. Atas
persetujuan kedua belah pihak yang berselisih, arbiter hanya dapat
memperpanjang waktu penyelesaian paling lama 14 hari kerja.
Putusan arbitrase merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih. Bila salah satu pihak
tidak melaksanakan keputusan arbitrase, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memerintahkan pihak tersebut
melaksanakan keputusan arbitrase. Dalam paling lama 30 hari sejak keputusan
arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung, hanya apabila:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan ternyata diakui atau
terbukti palsu;
b. Pihak lawan terbukti secara sengaja menyembunyikan dokumen yang bersifat
menentukan dalam pengambilan keputusan;
c. Keputusan arbitrase terbukti didasarkan pada tipu muslihat pihak lawan;
d. Putusan melampaui kewenangan arbiter;
e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.27
27 Ibid, hlm. 18-19
26
5. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PHI) dibentuk di
Pengadilan Negeri dan pada Mahkamah Agung. Untuk pertama kali, Pengadilan
PHI dibentuk di Pengadilan Negeri yang berada di ibukota propinsi. Secara
bertahap, Pengadilan PHI akan dibentuk di Pengadilan Negeri yang berada di
Kabupaten atau Kota yang padat industri. Susunan Pengadilan PHI pada
Pengadilan Negeri terdiri dari hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan
Panitera Muda Pengganti. Hakim adalah hakim karier di pengadilan negeri yang
diangkat untuk memeriksa perkara perselisihan industrial, dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung. Hakim Ad-Hoc adalah hakim Pengadilan PHI, diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul serikat pekerja dan organisasi
pengusaha melalui Ketua Mahkamah Agung dan Menteri. Setiap Pengadilan
Negeri terdapat 5 orang Hakim Ad-Hoc mewakili unsur serikat pekerja dan 5
orang mewakili unsur asosiasi pengusaha. Hakim Ad-Hoc diangkat untuk masa
tugas 5 tahun dan dapat diangkat kembali maksimum satu kali masa jabatan.
Hakim ad-hoc tidak boleh merangkapp jabatan sebagal anggota Lembaga Tinggi
dan Tertinggi Negara, kepala daerah, pengacara, mediator, konsiliator atau arbiter.
Ketua Pengadilan Negeri mengawasi pelaksanaan tugas hakim, Hakim Ad-Hoc,
panitera muda dan panitera muda pengganti.
Pengadilan PHI pada Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus:
1) Perselisihan hak untuk tingkat pertama dan terakhir;
2) Perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama;
3) Perselisihan pemutusan hubungan kerja untuk tingkat pertama;
4) Perselisihan antar serikat pekerja untuk tingkat pertama dan terakhir.
27
6. Majelis Hakim Kasasi
Permohonan kasasi atas putusan Pengadilan PHI pada Pengadilan Negeri
diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Kasasi. Untuk itu pada Mahkarnah
Agung dibentuk dan diangkat Hakim Agung, Hakim Agung Ad-Hoc, dan
Panitera. Hakim Agung adalah hakim agung yang ditugaskan di Mahkamah
Agung. Hakim Agung Ad-Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
serikat pekerja dan asosiasi pengusaha melalui Mahkamah Agung dan Menteri.
Hakim Agung Ad-Hoc dipilih untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diperpanjang
maksimum satu periode. Hakim Agung Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan
sebagai anggota Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara, kepala daerah, pengacara,
mediator, konsoliator atau arbiter. Setelah menerima kasasi atas putusan
Pengadilan PHI, Ketua Mahkamah Agung menetapkan susunan Majelis Hakim
Kasasi yang terdiri dari seorang Hakim Agung, seorang Hakim Agung Ad-Hoc
dari unsur serikat pekerja, dan seorang Hakim Agung Ad-Hoc dari unsur asosiasi
pengusaha. Majelis Hakim Kasasi harus menye-lesaikan kasus perselisihan
dimaksud paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi.
2.6 Mediasi
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 92 Tahun 2004 menyebutkan mediasi hubungan industrial yang
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan PHK, dan
perselisihan antara serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Selanjutnya yang dimaksud dengan mediator adalah pegawai instansi pemerintah
28
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi
dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Melihat ketentuan ini,
dapat dikatakan bahwa mediasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa para
pihak yang dibantu oleh mediator sebagai pihak penengah.
Bila dilihat dari peran dan kegiatan mediator, maka seorang mediator dari segi
manfaatnya merupakan suatu jenis “terapis” negosiasi. Terapis ini meng-analisa
dan mendiagnosis suatu sengketa tertentu, dan kemudian mendesain serta
mengendalikan proses serta intervensi lain dengan tujuan menuntun para pihak
untuk mencapai suatu mufakat sehat. Sehubungan hal ini, peran mediator adalah:
a. Melakukan diagnosis konflik.
b. Indentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak.
c. Menyusun agenda.
d. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi.
e. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar-menawar.
f. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting.
g. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan.
h. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.28
Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai “penengah” yang membantu
para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Seorang mediator
28 Surya Perdana, Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Melalui Mediasi, RatuJaya, Medan, 2013, hlm. 78.
29
juga akan membantu para pihak untuk membingkai persoalan yang ada agar
menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, juga guna
menghasilkan kesepakatan, seorang mediator sekaligus harus mem-bantu para
pihak yang bersengketa untuk merumuskan berbagai pilihan penye-lesaian
sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat diterima
oleh kedua belah pihak dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya
peran utama yang mesti dijalankan seorang mediator adalah mem-pertemukan
kepentingan-kepentingan yang saling berbeda tersebut agar men-capai titik temu
yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolok pemecahan masalahnya. 29
Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan
yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran
informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan,
persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan membiarkan,
tetapi mengatur pengungkapan emosi. Mediator membantu para pihak
memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitik beratkan pembahasan mengenai
tujuan dan kepentingan umum. Mediator akan sering bertemu dengan para pihak
secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang disebut caucus, mediator biasanya
dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling membagi
informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak, mediator akan mempunyai
lebih banyak informasi mengenai sengketa dan persoalan-persoalan dibanding-
kan para pihak dan akan mampu menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi
terwujudnya suatu perjanjian atau kesepakatan.
29 Ibid, hlm. 79.
30
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian hukum normatif adalah penjelasan
atau analisa terhadap implementasi ketentuan hukum normatif pada peristiwa
hukum tertentu. Penelitian hukum empiris adalah upaya untuk memperoleh
kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada di
lapangan penelitian,30 yaitu pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Lampung.
3.2 Sumber dan Jenis Data
Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.
Data lapangan adalah yang diperoleh dari lokasi penelitian, sementara itu data
kepustakaan adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan. Jenis
data meliputi data primer dan data sekunder 31 Data yang digunakan dalam
penelitian sebagai berikut:
3.2.1 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library
research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori,
30 Abdulkadir Muhammad. 2004. Metode Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.hlm. 4931 Ibid, . hlm.36
31
asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari
sebagai berikut:
(a) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat
(b) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
(c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
hubungan Industrial
(e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
(g) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Per.16/Men/Xi/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama
(h) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator
Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi
(i) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Lampung
(j) Peraturan Gubernur Lampung Nomor 68 Tahun 2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung
32
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian bersumber dari bahan-bahan hukum
yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami
permasalahan, berbagai buku hukum, arsip dan dokumen, brosur, makalah dan
sumber internet.
3.2.2 Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lokasi
penelitian dengan cara melakukan observasi dan wawancara (interview) dengan
narasumber yang mengetahui masalah yang akan diteliti. Narasumber penelitian
ini adalah Kepala Bidang Hubungan Industrial pada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Lampung.
3.3 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan:
1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan melakukan
serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari bahan
kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan
2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data
secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang
dibutuhkan melalui kegiatan wawancara kepada narasumber penelitian.
33
3.4 Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya dilakukan pengolahan data,
dengan prosedur sebagai berikut:
1. Seleksi Data
Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
2. Klasifikasi Data
Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam
rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk
kepentingan penelitian.
3. Penyusunan Data
Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang
bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan
untuk mempermudah interpretasi data
3.5 Analisis Data
Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Setelah itu
dilakukan analisis deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan
dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti
untuk diinterprestasikan dan dirangkum secara umum yang didasarkan fakta-fakta
yang bersifat khusus sebagai kesimpulan penelitian.
72
BAB VP E N U T U P
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Proses penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung
dilaksanakan dilaksanakan melalui proses mediasi, yaitu mediator bertindak
sebagai pihak netral dan penengah, membantu memecahkan masalah dan
mencari jalan keluar atas perselisihan yang dihadapi. Prosedur tersebut
dilaksanakan mediator melalui tahap pahap pra mediasi dan tahap mediasi.
Pada tahap pra mediasi, mediator mengumpulkan informasi latar belakang dan
fakta perselisihan, isu-isu yang menonjol, karakter perorangan dari pihak-
pihak yang berselisih. Pada tahap mediasi, mediator melaksanakan mediasi
sesuai dengan kapasitasnya sebagai pemerantara yang profesional, netral dan
tidak berpihak kepada kepentingan salah satu pihak yang terlibat dalam
perselisihan PHK.
2. Pelaksanaan keputusan hasil mediasi dalam penyelesaian perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Lampung adalah dalam hal terjadi kesepakatan maka
kedua belah pihak melakukan perjanjian bersama, sedangkan apabila tidak
73
terjadi kesepakatan maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis untuk
ditindaklanjuti oleh kedua belah pihak dalam jangka waktu selama sepuluh
hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada tindak lanjut maka para
pihak dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Perselisihan Hubungan
Industrial.
5.2 Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Lampung disarankan untuk secara lebih aktif melakukan pengawasan terhadap
praktik hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja, sehingga dapat
diminimalisasi adanya PHK secara sepihak oleh perusahaan.
2. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar lebih efektif melalui
prosedur mediasi, oleh karenanya Mediator Perselisihan Hubungan Industrial
hendaknya terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas sebagai
pelaksana proses mediasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan
hubungan industrial, dengan cara terus mengasah potensi dengan mengikuti
berbagai pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan teknik mediasi, baik di tingkat lokal, nasional dan
internasional. Hal ini penting dilakukan dalam rangka memaksimalkan
pencapaian tujuan mediasi yaitu mencari penyelesaian atas perselisihan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Abdul Wahab, Solihin. 2001. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi keImplementasi Kebijakan Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Kerja, Rajawali Press. Jakarta.
Budiaji, Dadang. Dkk. 2007. Modul Diklat Konsultan Hukum Perusahaan,Yayasan Cipta Bangsa, Bandung.
Bukit, Kelelung. 2004. Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan diDalam dan di Luar Pengadilan, Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara. Medan.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan ILO. 2006.Manual Mediasi,Konsiliasi dan Arbitrasi, Jakarta.
---------. 2006. Konvensi Ketenagakerjaan Internasional yang DiratifikasiIndonesia serta Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerjadan Tindak Lanjutnya, Jakarta.
---------. 2009. Pekerja Sosial di Dunia Industri. Refika Aditama. Bandung
Goodpaster, Garry. 1999. Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar HukumEkonomi. ELIPS, Jakarta.
Hardika, Gayuh Arya. 2004. Quo Vadis Pengadilan Hubungan IndustrialIndonesia, Trade Union Rights Centre, Jakarta.
Husni, Lalu. 2004. Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial MelaluiPengadilan dan Di Luar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada,Jakarta.
---------. 2007. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Gravibdo Persada,Jakarta.
Manulang, Sendjun H. 1995. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan diIndonesia,Rineka Cipta, Jakarta.
Perdana, Surya. 2013. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan KerjaMelalui Mediasi, Ratu Jaya, Medan.
Sinaga, Marsen. 2006. Pengadilan Perburuhan di Indonesia, Tnjauan HukumKritis Atas Undang-Undang PPHI,cet1, Perhimpunan Solidaritas Buruh,Yogyakarta.
Soebagjo dan Radjagukguk. 1995. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa,dalam, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar Hukum Ekonomi 2. GhaliaIndonesia, Jakarta.
---------. 1995. Editor, Arbitrase di Indonesia, Seri Dasar Hukum Ekonomi 2,Ghalia Indonesia, Jakarta..
Soepomo, Imam. 1995. Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Penelitian Hukum Normatif, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta.
TURC, 2004. Belajar Hukum Perburuhan,TURC Press, Jakarta.
_____, 2006. Praktek Pengadilan Hubungan Industrial, panduan Bagi SerikatBuruh, TURC Press, Jakarta.
Wijayanti, Asri. 2012. Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihanhubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia NomorPer.16/Men/Xi/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan PengesahanPeraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian KerjaBersama
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian MediatorHubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi
Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukandan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Lampung
Peraturan Gubernur Lampung Nomor 68 Tahun 2016 tentang Kedudukan,Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas TenagaKerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung
INTERNET
http://www.suryaandalas.com/2018/07/diduga-phk-sepihak-pt-sumber-batu.html.