PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK …... · Analisis data kualitatif ... Industri...
Transcript of PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK …... · Analisis data kualitatif ... Industri...
PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK
SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA
PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
DHIMAS KRISNU KUSUMA WARDHANA
E.1105069
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK
SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA
PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
Disusun Oleh:
DHIMAS KRISNU KUSUMA WARDHANA
E1105069
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing
WALUYO, S.H.,M.Si.
NIP. 196808131994031001
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK
SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA
PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA
Disusun Oleh:
DHIMAS KRISNU KUSUMA WARDHANA
E1105069
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari :
Tanggal :
TIM PENGUJI
1. . : ……………………….
NIP.
2. . : ……………………….
NIP.
3. . : ……………………….
NIP.
MENGETAHUI
Dekan,
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.)
NIP. 196109301986011001
PERNYATAAN
Nama : Dhimas Krisnu Kusuma Wardhana
NIM : E1105069
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PENYEDERHANAAN PROSES PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK
SKALA MIKRO DI KABUPATEN TULUNGAGUNG DALAM RANGKA
PENINGKATAN PENERIMAAN NEGARA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-
hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi)
ini.
Surakarta,
yang membuat pernyataan
Dhimas Krisnu Kusuma Wardhana
NIM. E1105069
HALAMAN MOTTO
”Tidak layak bagi seorang Islam laki-laki maupun perempuan apabila Allah dan
Rasul-Nya menetapkan sesuatu peraturan ada pilihan lain bagi mereka”
(QS. Al Ahzab: 36)
”Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju yang tidak meragukanmu”.
(HR At-Tirmidzi)
”Lazimilah kejujuran, sebab kejujuran itu akan menunjukkan kepada kebaikan dan
kebaikan itu akan menunjukkan kepada surga. Seorang laki-laki yang senantiasa
jujur dan melazimi kejujuran akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur”.
(HR Muslim dan At-Tirmidzi)
HALAMAN PERSEMBAHAN
LAPORAN SKRIPSI INI, PENULIS
PERSEMBAHKAN KEPADA:
KEDUA ORANGTUAKU YANG SANGAT SAYA HORMATI
DAN CINTAI
TEMAN-TEMAN FAKULTAS HUKUM 2005
KELUARGAKU
ALMAMATERKU
ABSTRAK
Dhimas Krisnu Kusuma Wardhana, 2010. PENYEDERHANAAN PROSES
PERIZINAN PERUSAHAAN ROKOK SKALA MIKRO DI KABUPATEN
TULUNGAGUNG DALAM RANGKA PENINGKATAN PENERIMAAN
NEGARA. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata cara perizinan perusahaan
rokok, mengetahui kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan, dan
mengetahui potensi peningkatan penerimaan negara atas penyederhanaan proses
perizinan di Kabupaten Tulungagung. Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian
hukum normatif yang bersifat deskriptif. Lokasi penelitian di Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, dan Perpustakaan Universitas Islam Kediri. Responden yaitu: Bapak
Suprapto selaku Petugas Kantor bea dan Cukai Kediri. Jenis data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama, sedangkan
data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah melalui studi pustaka. Analisis data kualitatif dengan model
interaktif data.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa tatacara perizinan
perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung dapat dimintakan ke Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KBC) dengan mencantumkan
persyaratan-persyaratan yang diminta serta bangunan pabrik rokok yang didirikan
juga harus sesuai dengan persyaratan yang ada. Terhadap pelanggaran ketentuan izin
usaha tersebut akan dikenakan sanksi. Kendala di dalam mendirikan bangunan pabrik
rokok, diantaranya adalah masyarakat/pemohon kurang menjaga kesehatan dan
kebersihan lingkungan sekitar selain itu juga bahwa masyarakat/pemohon sering tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan sering terjadi pula
manipulasi data. Dalam hal pengawasan bangunan pabrik rokok dan peredaran hasil
produksinya masih terdapat kendala pula, yaitu kurangnya personil dan aparat KBC
untuk mengawasinya. Disamping itu pula sarana dan prasarana pendukung masih
kurang. Dipandang perlu membangun suatu wadah perhimpunan (paguyuban)
berbentuk koperasi atau yayasan perusahaan-perusahaan rokok yang menjual atau
meritelkan pita-pita cukai yang dikeluarkan KBC pada perusahaan-perusahaan rokok
(skala mikro). Dalam hal ini harga yang tercantum pada pita cukai disesuaikan dengn
kemampuan perusahaan-perusahaan skala mikro tersebut, sedemikian sehingga
penerimaan daerah dan sekaligus negara menjadi meningkat.
Kata Kunci: perizinan, perusahaan rokok, cukai, penerimaan daerah dan negara
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik.
Penulisan hukum ini membahas tentang Penyederhanaan Proses Perizinan
Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam Rangka
Peningkatan Penerimaan Negara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari
kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya.
Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat
baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik material maupun non material
sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS.
2. Bapak Waluyo, S.H.,M.Si. selaku pembimbing penulisan hukum (skripsi), yang
telah menyediakan waktu, arahan dan pikirannya untuk memberikan bimbingan
bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini.
3. Ibu Gayatri Dyah Suprobowati, S.H., M.H., selaku pembimbing akademis.
4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H selaku ketua bagian penulisan hokum.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Suprapto, S.H. selaku Petugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai Kabupaten Tulungagung, yang telah memberikan data dan informasi
kepada penulis selama mengadakan penelitian.
7. Bapak dan Ibu yang telah membantu doa, memberikan semangat dan memberikan
inspirasi, terima kasih bapak ibu.
8. Sahabatku dan teman-teman: Reza Amin Nugroho, S.H., Anton Tri Anggono,
S.H., Gesied Eka Ardhi Yunata, Bragas Narantaka, P.D. Didit F., Dwi Kiswanto
S.H, Galuh Rina Novitasari, I Putu Wisna Adiwijana, Ilham Yosmidiarso S.H,
yang telah mememani dan memberi doa serta semangat.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penyusunan skripsi ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................. iv
HALAMAN MOTTO.......................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vi
ABSTRAK........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... .. xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... ....... xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Perumusan Masalah........................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian.......................................................................... 5
E. Metode Penelitian........................................................................... 6
F. Sistematika Skripsi......................................................................... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 19
A. Kerangka Teori............................................................................ . 19
1. Tinjauan Umum tentang Penerimaan Negara.......................... 19
2. Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Daerah ...................... 29
3. Tinjauan Umum tentang Perizinan ......................................... 31
4. Tinjauan Umum tentang Perusahaan dan Industri.................. 40
5. Tinjauan Teoritis tentang Pendirian Perusahaan Rokok........ 49
B. Kerangka Pemikiran....................................................................... 50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ .. 53
A. Diskripsi Lokasi Penelitian ............................................................ 53
1. Gambaran umum Kabupaten Tulungagung.............................. 53
2. Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Tulungagung............... 65
B. Tatacara Perizinan Perusahaan Rokok di Kab Tulungagung.......... 71
C. Kendala dalam Perizinan Perusahaan Rokok................................. 76
D. Solusi Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok
dalam Rangka Peningkatan Penerimaan Negara .......................... 78
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 83
A. Simpulan........................................................................................ 83
B. Saran.............................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran A : Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah
Lampiran B : Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M-Dag/Per/9/2009
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No.
No. 36/M-Dag/Per/9/2007 tentang penerbitan Surat Izin
Usaha Perdagangan
Lampiran C : Ijin Usaha Industri di Kabupaten Tulungagung
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Bagan Model Analisis Data ............................................................... 14
Gambar 2 : Bagan Kerangka Pemikiran ............................................................... 51
Gambar 3 : Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Terpadu Kab Tulungagung .... 66
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Tulungagung............. 58
Tabel 2 : Perkembangan Penduduk Kabupaten Tulungagung........................... 59
Tabel 3 : Persebaran Perusahaan Rokok di Kabupaten Tulungagung ............. 65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri rokok di Indonesia mengalami pasang surut, pada tahun 1998
yang merupakan awal krisis, industri rokok justru mencapai puncak produksinya.
Selama masa krisis, industri rokok terus mengalami peningkatan. Kondisi ini
akibat adanya efisiensi yang dilakukan perusahaan rokok besar dan sedang yang
memproduksi lebih dari satu jenis rokok. Perusahaan lebih terfokus pada Sigaret
Kretek Mesin (SKM) yang padat modal dibandingkan dengan jenis produksi
Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya dan syarat dengan isu buruh.
Sebagai salah satu penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang
sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok penerimaan dalam
negeri. Penerimaan cukai di pungut dari 3 (tiga) jenis barang yaitu; etil alkohol,
minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau (HT) terhadap
penerimaan negara yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun anggaran 1990/1991,
penerimaan cukai hanya sebesar RP. 1,8 triliun atau memberi kontribusi sekitar 4
persen dari penerimaan dalam negeri, pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah
tersebut telah meningkat menjadi Rp. 10,4 triliun atau menyumbang 7,3 persen
dari penerimaan dalam negeri. Pada tahun anggaran 2003, penerimaan cukai
ditetapkan sebesar Rp. 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam
negeri. Hal ini berarti kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam
negeri selama kurun waktu 1 dasawarsa, telah mengalami peningkatan sekitar
100 persen. Dari penerimaan cukai tersebut, 95 persen berasal dari cukai hasil
tembakau yang diperoleh dari jenis rokok berupa rokok sigaret kretek mesin,
rokok sigaret tangan dan rokok sigaret putih mesin, yang dihasilkan oleh industri
rokok (http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian/Tri-2.pdf.).
Dalam satu tahun, sumbangan dari sektor cukai rokok pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sangat besar. Peningakatan pendapatan negara
dari sektor cukai pada tauhun 2008 adalah sebanyak Rp, 51,2 trliun dan Propinsi
Jawa Timur menyumbang kurang lebih Rp. 32 triliun atau sekitar 62 persen. Dari
sekian banyak penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau atau rokok,
ternyata berbanding terbalik dengan peredaran rokok ilegal yang mencapai
kurang lebih Rp. 2 triliun rupiah dan ini menggangu kinerja industri rokok.
Karena selain merugikan negara juga menghambat perkembangan perusahaan
rokok di Indonesia. Pelangaaran dibidang cukai yang dominan diantaranya
adalah rokok putih tanpa pita cukai dan lainnya yang lebih besar adalah pita
rokok ilegal (http://www.jatimprov.go.id).
Besarnya potensi penerimaan negara yang hilang akibat pelanggaran
dibidang cukai rokok salah satu nya adalah rokok putih tanpa pita cukai. Salah
satu faktor banyaknya peredaraan rokok tanpa dilekati pita cukai ini adalah
adanya perusahaan rokok yang tidak memiliki izin mendirikan perusahaan,
dimana perusahaan rokok yang belum mempunyai izin untuk mendirikan
perusahaan tersebut tentu tidak dapat memesan pita cukai rokok untuk dilekatkan
pada hasil produksinya, sebagai tanda bahwa hasil produksi perusaahan rokok
tersebut telah mempunyai izin untuk memproduksi dan mengedarkan rokok hasil
produksinya.
Kabupaten Tulungagung yang terletak di Propinsi Jawa Timur merupakan
salah kota Kabupaten yang mempunyai potensi industri rokok yang cukup
signifikan dalam menyumbang penerimaan negara dari sektor cukai rokok, hal
ini tercermin akan banyaknya petani tembakau dan industri rokok bersklala
mikro di Kabupaten Tulungagung. Banyaknya kegiatan industri pembuatan
rokok yang berskala mikro merupakan usaha sampingan dari para petani
tambakau maupun para pedagang tembakau. Hal tersebut dikarenakan banyaknya
tenaga kerja terampil dibidang industri rokok. Banyak diantara para pelaku usaha
mikro dibidang industri rokok tersebut masih belum memiliki izin usaha
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai
yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang
cukai dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, sehingga potensi penerimaan negara dari sektor cukai
tembakau belum dapat dipungut secara maksimal.
Bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 39 tahun 2007
tentang cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah yang mewajibkan setiap orang yang akan menjalankan
kegiatan usaha sebagai pengusaha pabrik harus memiliki izin berupa Nomor
Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dari Menteri Keuangan.
Sehingga setiap orang yang ingin melakukan kegiatan usaha sebagaimana yang
termasuk kedalam kriteria barang kena cukai wajib mendaftakarkan usahanya
untuk memperoleh izin resmi guna melakukan kegiatan usahanya. Berkaitan
dengan regulasi yang mengatur masalah perizinan, diperlukan untuk
mengamankan potensi penerimaan negara dari sektor cukai, yang diperkirakan
hilang karena belum dimilikinya izin kegiatan oleh para pelaku usaha rokok.
Didalam Undang-Undang Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara,
pendapatan dari dari sektor cukai setiap tahunnya terus mengalami kenaikan
yang sangat signifikan. Apabila potensi penerimaan negara dalam negeri
tersebut dapat dimaksimalkan, berkaitan dengan masalah regulasi atas izin
kegiatan usahanya Industri Rokok tersebut, maka sudah dapat dipastikan akan
semakin besar potensi kenaikan penerimaan negara, terutama perimaan dalam
negeri dari sektor cukai.
Berdasarkan uraian di atas, mengenai besarnya potensi penerimaan negara
atas regulasi yang diterapkan dalam proses perizinan perusahaan rokok,
khususnya di Kabupaten Tulungagung yang berdampak terhadap meningkatnya
penerimaan negara, maka penulis tertarik untuk mengadakan penulisan hukum
berkaitan dengan permasalahan tersebut dengan mengambil judul:
Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di
Kabupaten Tulungagung dalam rangka Peningkatan Penerimaan Negara
Menelusuri kepustakaan ternyata belum begitu banyak hasil penelitian dan
karya ilmiah di bidang Bea dan Cukai. Berdasarkan pengamatan penulis,
penelitian tentang Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala
Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam rangka Peningkatan Penerimaan Negara
sampai saat ini belum pernah ada. Akan tetapi apabila ternyata pernah
dilaksanakan, penelitian yang sama atau sejenis walaupun dengan lokasi yang
berbeda, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pertanyaan penulis mengenai permasalahan
yang akan diteliti, sehingga dengan perumusan masalah yang jelas dapat
memberikan jalan yang lebih mudah dalam memecahkan permasalahan. Adapun
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah tatacara perizinan perusahaan rokok?
2. Kendala apakah yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan?
3. Bagaimanakah potensi dalam penerimaan negara atas penyederhanaan
proses perizinan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai seabagai solusi
atas masalah yang dihadapi dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan
perorangan dari penulis. Sedangkan tujuan dari penelitian ini sendiri adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui tatacara perizinan perusahaan rokok.
2. Mengetahui kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam proses
perizinan.
3. Mengetahui potensi penerimaan negara atas penyederhanaan proses
perizinan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat pelitian adalah kegunaan yang ingin diperoleh dari suatu
penelitian. Adapun dalam penulisan hukum ini, penulis mempunyai dua manfaat
yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dan konstribusi bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum
administrasi negara pada khususnya, yang berkaitan dengan
masalah perizinan usaha hasil tembakau dan sumber-sumber
penerimaan negara.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah kelengkapan koleksi pustaka
dan menjadi dasar pertimbangan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya yang sejenis.
c. Untuk meningkatkan pemahan tentang berbagai teori yang
diperoleh penulis selama kuliah dan memperoleh data sebagai
bahan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada semua pihak terkait dengan masalah yang berhubungan
dengan proses perizinan perusaahan rokok skala mikro.
b. Untuk memberikan informasi mengenai tata cara dan kendala
proses perizinan perusahaan rokok skala mikro dalam kaitannya
dengan penerimaan negara.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2005: 42-43).
Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian tentang Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok
Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung dalam rangka Peningkatan
Penerimaan Negara ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder dengan cara
melakukan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti data sekunder atau bahan-bahan pustaka yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berpeyang terdapat
didalam peraturan-peraturan perilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh
karena itu, pertama sebagai sumber datanya adalah data sekunder, yang terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder, atau tertier. Kedua, karena penelitian
hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder (bahan
kepustakaan) penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema)
dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka konsepsional mutlak
diperlukan, dapat dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat didalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian. Ketiga, dalam
penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya
hipotesis kerja. Keempat, konsekuensi dari (hanya) menggunakan data
sekunder, maka pada penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling,
karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas
tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainnya. Dan biasanya
penyajian data dilakukan sekaligus analisanya (Peter Mahmud Marzuki,
2007:141).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini
adalah bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksukan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar
dapat membantu didalam memperkuat tepro-teori lama, atau didalam
kerangka penyusunan teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986:10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif yaitu merupakan suatu penelitian untuk
mencari kebenaran secara ilmiah dan memandang obyek secara keseluruhan
berdasrkan atas fenomena ilmiah dan digunakan sebagai dasar untuk
mengamati dan mengumpulkan informasi.
Kirk and Miller mengemukakan bahwa: “Penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
tergantung pada pengamatan manusia dalam kawasnnya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasan dan
peristilahannya” (Lexy Moleong, 2000: 3).
Dalam penelitian yang penting adalah kemampuan peneliti dalam
menerjemahkan data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan studi
kepustakaan atau dokumen lain.
4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang digunakan untuk meneliti penelitian ini antara
lain:
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Universitas Islam Kediri.
5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian ini dibedakan antara data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh langusng dari masyarakat, sedangkan
data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka disebut data sekunder (Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, 2001:12).
Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian hukum ini adalah
data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui pengkajian pustaka-pustaka
yang ada, yang berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam
penelitian hukum mencakup:
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004: 118).
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat
dan mendasari bahan hukum lainnya, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 2007.
d. Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Pajak Daerah
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 134/PMK.04/2007 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
443/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai
Hasil Tembakau.
f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan masalah
dalam penelitian ini.
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata
Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha
Barang Kena Cukai Untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil
Tembakau.
2. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang
terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya
ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus, juurnal-jurnal hukum, dan
komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2007:141).
3. Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan lain-lain (Peter Mahmud
Marzuki, 2007: 141).
6. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap dan memiliki nilai
validitas yang cukup tinggi. Untuk mengumpulkan data tersebut, maka perlu
dilakukan dengan cara atau dengan teknik tertentu. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian kepustakaan ini adalah studi dokumen, yaitu mempelajari
materi/bahan-bahan hukum, baik yang berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku literatur, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan
materi penelitian. Penelitian hukum ini menggunakan teknik pengumpulan
data sebagai berikut:
a. Inventarisasi Peraturan
Inventarisasi peraturan dilakukan dengan cara memberi dan menghimpun
peraturan-peraturan yang erat kaitannya dengan penelitian. Tujuan
diadakan inventarisasi peraturan adalah untuk mengadakan sinkronisasi
antara peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian hukum ini
serta untuk memperoleh data sekunder yang bersifat mengikat dan
mendasari suatu penelitian.
b. Inventarisasi Kepustakaan
Inventarisasi kepustakaan dilakukan dengancara mencari dan
memanfaatkan buku-buku, artikel-artikel dan sebagainya untuk
memperoleh data sekunder yang menunjang kelengkapan penelitian.
7. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian, baik penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu suatu metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan
menseleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan
kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan
dan teori-teori yang di peroleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh
jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
Tujuan dari analisis data pada dasarnya adalah menyederhanakan data
dalam bentuk yang mudah dibaca dan dimengerti, menginggat penelitian ini
merupakan penelitian yang bersifat deskriptif maka penelitian ini
menggunakan analisa kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan metode
kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analisa, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dan berpijak pada
data yang dipeoleh, dan juga perilaku nyatanya yang diteliti dan dipelajari
secara utuh, menggunakan metode berfikir secara:
a. Deduktif, yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat umum
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan kata lain
prinsip deduktif adalah apa saja yang dipandang benar pada semua
peristiwa dalam suatu kelas atau jenis berlaku juga sebagai hal yang
benar pada semua peristiwa dalam satu kelas atau jenis. Jika orang
dapat membuktikan bahwa suatu peristiwa termasuk dalam kelas
yang dipandang benar, maka secara logika orang dapat menarik
kesimpulan bahwa kebenaran yang terdapat dalam kelas itu juga
menjadi kebenaran bagi peristiwa yang khusus itu.
b. Induktif, yaitu cara berfikir mulai dari yang bersifat khusus kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Dalam generalisasi semacam
ini sudah tentu hal-hal atau peristiwa-peristiwa khusus yang dijadikan
dasar generalisasi itu masih termasuk dalam daerah generalisasi yang
dianggap benar. Artinya, jika suatu generalisasi dikenakan pada
peristiwa-peristiwa khusus dari mana generalisasi itu diambil, maka
harus ada kecocokan hakekat. Setelah data terkumpul, sebelum
dianalisa harus diklasifikasikan terlebih dahulu menurut kategori
masing-masing, untuk kemudian ditafsirkan dalam usaha menjawab
pertanyaan hal-hal tersebut ditunjang data dalam bentuk tabel /
angka.
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konsturksi
(Soerjono Soekanto, 2005:251).
Penganalisaan data merupakan suatu tahap didalam penelitian yang
berupa pengolahan data yang telah diperoleh menjadi hasil penelitian yang
berupa pengolahan data yang telah diperoleh menjadi hasil penelitian yang
akan dilaporkan. Analisis data pada penelitian hukum normatif ini dilakukan
dengan metode penafsirsn atau interpretasi yaitu salah satu metode penelitian
hukum yang yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks
Undang-Undang agar ruang lingkup kaedah dapat diterapkan sehubungan
dengan peristiwa tertentu (Sudiko Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993:13).
Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan metode penafsiran:
a. Penafsiran otentik yaitu penafsiran yang secara resmi oleh Undang-
Undang.
b. Penafsiran gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan untuk mengetahui
makna ketentuan Undang-Undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya.
Analisis data dengan menggunakan metode penafsiran bertujuan untuk
memudahkan untuk menganalisa data-data yang relevan dengan penelitian.
Upaya untuk menganalisis data dilakukan melaui proses-proses yang tunduk
pada aturan logika formal yang disebut sebagai silogisme deduksi. Silogisme
deduksi maksudnya mendapat kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum
dihubungkan suatu hal yang bersifat khusus.
Teknis analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan model
analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Dalam analisis ini, digunakan
empat komponen analisis yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992:15). Model
Analisis Interaktif dari Miles dan Huberman dapat digambarkan pada skema
berikut:
Gambar 1. Bagan Model Analisis Data
(Miles dan Huberman,1992:15)
Menurut Lexy J. Moleong (2004;280) “analisis data adalah proses
mengorganisasikan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar,
sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti
disarankan oleh data”. Sedangkan menurut H.B. Sutopo (2002:91)
berpendapat bahwa “dalam proses analisis data terdapat 4 komponen utama
yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen utama
tersebut adalah: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, 93) sajian data, (4)
penarikan kesimpulan/verifikasi”.
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan-
kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi
a. Pengumpulan Data
Kegiatan ini digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa
kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan studi dokumentasi.
Data yang diperoleh masih berupa data yang mentah yang tidak teratur,
sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.
b. Reduksi Data
Merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan penyederhanaan dan
abstraksi dari field note (data mentah). H.B. Sutopo (2002:92) berpendapat
bahwa: “reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang
tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan
penelitian dapat dilakukan”.
c. Sajian Data
Merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar
atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel Semuanya dirakit secara
teratur guna mempermudah pemahaman informasi.
d. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan akhir akan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir
pengumpulan sata, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa
pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar
kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian
dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat
dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju
komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian
kualitatif tidak bisa mengambil salah satu komponen.
8. Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini direncanakan melalui beberapa tahapan, yaitu:
persiapa, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian
(H.B. Sutopo, 2002;187-190). Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Persiapan
a. Mengurus perijinan penelitian
b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan
data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian.
b. Pengumpulan Data
a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan dokumentasi
mendalam, dan mencatat serta merekam dokumen.
b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul.
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
c. Analisis Data
a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian.
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di-
crosscheck-kan dengan temuan lapangan.
c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan
proses verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan
orang yang dianggap lebih ahli.
d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
d. Penyusunan Pelaporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal.
b. Review laporan: pertemuan diadakan dengan mengundang kurang lebih
2 orang yang cukup memahami penelitian untuk mendiskusikan laporan
yang telah disusun sementara.
c. Perbaikan laporan sesuai dengan rekomendasi hasil diskusi.
d. Penyusunan laporan akhir.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam penulisan hukum ini digunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan
Pada awal bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal tentang
penelitian yang meliputi:
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metodologi Penelitian
F. Sistematika Penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan mengenai penerimaan negara,
perizinan, perusahaan, ketentuan mengenai pendirian perusahaan rokok,
dan kriteria perusahaan rokok.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini diuraikan tentang permasalahan pokok yang dibahas
penulis yakni berkenaan dengan tata cara proses pengajuan perizinan
perusahaan rokok skala mikro dan kendala yang dihadapi pelaku usaha
dalam mengajukan proses perizinan serta adanya indikasi potensi
peningkatan peneriamaan negara atas penyederhanaan pengajuan proses
perizinan.
Bab IV Keimpulan dan Saran
Kesimpulan dan hasil analisis serta memberikan saran sebagai
sumbangan pemikiran penulis dalam memecahkan persoalan mengenai
tata cara proses pengajuan perizinan perusahaan rokok skala mikro dan
kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam kaitannya dengan potensi
peningkatan penerimaan negara.
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Penerimaan Negara
Sumber penerimaan negara terdiri atas penerimaan negara dari pajak,
penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan negara dari hibah, baik
dalam negeri maupun luar negeri (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana
Huseng, 2008 : 2-3).
Sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokkan menjadi
penerimaan dari sektor : (Erly Suandy, 2002 : 2).
a. Pajak
b. Kekayaan Alam
c. Bea dan Cukai
d. Retribusi
e. Iuran
f. Sumbangan
g. Laba dari Badan Usaha Milik Negara
h. Sumber-sumber lain
Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam
masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu
berkumpul untuk tujuan tertentu (Rochmat Soemitro, 1992 : 8). Dewasa ini
hampir seluruh negara di dunia telah mengakui bahwa pajak telah menjadi
sumber utama penerimaan negara, dan bahwa pajak adalah alat utama untuk
membiayai kegiatan pemerintah (Safri Nurmantu, 2003 : 8). Adapun definisi
pajak menurut Rochmat Soemitro adalah iuran rakyat kepada kas Negara
(peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan
Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen
prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum (Rochmat Soemitro, 1994 : 23). Berdasarkan definisi
tersebut, maka terdapat beberapa unsur pokok dari pajak, yaitu : (Safri
Nurmantu, 2003 : 14-21).
a. Iuran atau Pungutan;
b. Di pungut berdasarkan Undang-Undang;
c. Dapat dipaksakan;
d. Tidak menerima atau memperoleh kontraprestasi;
e. Untuk membiayai pengeluaran umum Pemerintah.
Penerimaan negara dari sektor pajak pada hakikatnya adalah pajak
negara dalam arti luas yang meliputi : pajak penghasilan, pajak pertambahan
nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan
bangunan, bea perolehan atas tanah dan bangunan, cukai, bea masuk, dan bea
materai (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng, 2008 : 26). Adapun
jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku umum adalah :
penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran ruitn dan sisa anggaran
pembangunan), penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara,
penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara, penerimaan hasil
penyimpanan uang negara (jasa giro), penerimaan ganti rugi atas kerugian
negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan bendaharawan), penerimaan denda
keterlambatan penyesuaian pekerjaan pemerintah, penerimaan dari hasil
penjualan dokumen lelang (Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng,
2008 : 34). Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah adalah
bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri, baik swasta
maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah (Muhammad Djafar Saidi
dan Rohana Huseng, 2008 : 32).
Di samping pajak, sumber penerimaan negara lainnya adalah Bea dan
Cukai yang merupakan pungutan negara yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Bea
masuk diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean dan
pemungutan Bea masuk. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia
yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-
tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki
terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan
nasional dan bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi sejak kemerdekaan Republik Indonesia belum dibentuk Undang-
Undang yang mengatur tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan
hukum nasional yang merupakan pengganti peraturan atau ordonansi produk
pemerintah Hindia Belanda.
Pengertian cukai berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1995, tentang cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-
Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 18
tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah pungutan
negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat
atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adapun yang
dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan
karakteristik yang ditetapkan, adalah barang-barang yang dalam
pemakaiannya, antara lain, perlu dibatasi atau diawasi. Barang-barang tersebut
berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1995, tentang Cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang
nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dinyatakan sebagai Barang
Kena Cukai.
Berkenaan dengan ketentuan tentang Barang Kena Cukai, khususnya
yang berhubungan dengan hasil tambahan, Pasal 4 ayat (1) huruf c
menentukan bahwa hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,
tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak
mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu
dalam pembuatannya dikenakan cukai atau dikategorikan sebagai Barang
Kena Cukai.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995
tentang cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 39
tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka peraturan yang berlaku di Indonesia
adalah Ordonansi cukai minyak tanah (Ordanantie Van 27 Desember 1886,
Staatblad 1886. Nomor 249), ordonansi cukai alkohol sulingan (Ordonantie
van 27 Februari 1898, Staatblad 1898 Nomor 90 dan Nomor 92), ordonansi
cukai bir (Bieraccijas Ordonantie, Staatblad 1931 Nomor 488 dan nomor
489) Ordonansi cukai tambahan (Tabaksaccijus Ordonantie, Staatblad 1932,
nomor 517), dan ordonansi cukai gula (suikeraccijas Ordonantie, Staatblad
1933 Nomor 351) beserta peraturan pelaksanaannya yang pada saat itu
berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945.
Peraturan perundang-undangan cukai sebagaimana diatur dalam
beberapa ordonansi tersebut bersifat diskriminatif dalam pengenaan cukainya,
yang tercermin pada pembebanan cukai di atas impor barang kena cukai, yaitu
gula, hasil tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai atas pengimporannya,
sedangkan bir dan alkohol sulingan tidak dikenai cukai. Di samping itu,
peraturan perundang-undangan tentang cukai tersebut di dalam negeri. Oleh
karena itu potensi yang ada masih dapat digali dengan memperluas obyek
cukai sehingga sumbangan dari sektor cukai terhadap penerimaan negara
dapat ditingkatkan. Dengan demikian, segala upaya perlu dilakukan untuk
menggali, meningkatkan dan mengembangkan semua sumberdaya penerimaan
negara dengan tetap memperhatikan aspirasi dan kemampuan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam rangka
mendukung kesinambungan pembangunan nasional, diperlukan suatu
Undang-Undang tentang cukai yang mampu menjawab tuntutan pembangunan
dengan menempatkan kewajiban membayar cukai sebagai perwujudan
kewajiban kenegaraan dan merupakan peran serta masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan. Untuk itulah pada tanggal 30 Desember 1995
telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai,
yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007
tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
]Berdasarkan penjelasan umum angka 4 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 39
tahun 2007 tentang Cukai dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, prinsip yang berlaku bagi cukai adalah
sebagai berikut :
a. Keadilan dalam keseimbangan, yaitu kewajiban cukai hanya
dibebankan kepada orang-orang yang memang seharusnya
diwajibkan untuk itu dan semua pihak yang terkait diperlukan dengan
cara yang sama dalam hal dan kondisi yang sama.
b. Pemberian insentif yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian
nasional, yaitu berupa fasilitas pembebasan cukai.
c. Pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat di bidang
kesehatan, ketertiban dan keamanan.
d. Netral dalam pemungutan cukai yang tidak menimbulkan distorsi
pada perekonomian nasional.
e. Kelayakan administrasi dengan maksud agar pelaksanaan
administrasi cukai dapat dilaksanakan secara tertib, terkendali,
sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat.
f. Kepentingan penerimaan negara, dalam arti fleksibilitas ketentuan
dalam Undang-Undang ini dapat menjamin peningkatan penerimaan
negara, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan
pembiayaan pembangunan nasional.
g. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Cukai merupakan pungutan negara yang dibebankan kepada pemakai
dan bersifat selektif serta perluasan pengenaannya berdasarkan sifat atau
karakteristik obyek cukai. Adapun yang dimaksud dengan barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan, adalah
barang-barang yang dalam pemakaiannya, antara lain, perlu dibatasi atau
diawasi. Cukai dikenakan terhadap barang kena cukai yang terdiri dari :
a. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang
digunakan dan proses pembuatannya.
b. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapapun,
dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alcohol.
c. Hasil tambahan, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau
iris dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak
mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan
pembantu dalam pembuatannya.
Pengenaan cukai mulai berlaku untuk barang kena cukai yang dibuat di
Indonesia pada saat selesai dibuat dan untuk barang kena cukai yang diimpor
pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang tentang kepabeanan (Undang-Undang Nomor 10 tahun
1945). Penegasan saat pengenaan cukai adalah penting karena sejak saat itulah
secara yuridis (karena Undang-Undang) telah timbul utang cukai sehingga
perlu dilakukan pengawasan terhadap barang tersebut sebab terhadap barang
tersebut telah melekat hak-hak negara. (Didik J. Rachbini, 2001 : 10).
Untuk barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, saat pengenaan cukai
adalah pada saat selesai dibuat sehingga saat itulah terhadap barang tersebut di
lakukan pengawasan. Adapun yang dimaksud dengan barang selesai dibuat
adalah saat proses pembuatan barang itu selesai dengan tujuan untuk dipakai.
Sedangkan untuk barang kena cukai yang diimpor, saat pengenaan cukai
adalah pada saat memasuki Daerah Pabean.
Tanggung jawab cukai untuk Barang Kena Cukai yang diproduksi di
Indonesia berada pada Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk barang
kena cukai yang diimpor berada pada importir atau pihak-pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepabeanan. Pemenuhan
ketentuan mengenai pengenaan cukai ini dilakukan dengan menggunakan
dokumen cukai dan/atau dokumen pelengkap cukai. Adapun yang dimaksud
dengan dokumen pelengkap cukai adalah semua dokumen yang digunakan
sebagai dokumen pelengkap dari dokumen cukai.
Pelunasan cukai terhadap barang kena cukai, baik yang di produksi di
Indonesia, maupun yang diimpor, dilakukan dengan cara pembayaran cukai
atau pelekatan pita cukai dan khusus untuk barang kena cukai yang berupa
hasil tambahan, pelunasan cukainya dilakukan dengan cara pelakatan pita
cukai. Pada prinsipnya pita cukai hanya bisa dilekatkan pada barang kena
cukai yang diproduksi oleh pengusaha yang memesan pita cukai tersebut.
Oleh karena itu, apabila pita cukai yang telah dipesan diproduksi oleh
pengusaha yang memesan pita cukai tersebut. Atau pita cukai yang telah
dipesan dipindahtangankan kepada pihak lain, maka perbuatan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena dapat merugikan keuangan
negara.
Pemalsuan pita cukai atau tanpa pelekatan pita cukai dewasa ini mulai
banyak dilakukan oleh sementara orang yang ingin memperoleh kentungan
besar dari perbuatannya tersebut. Namun dibalik perbuatan tersebut negara
sangat dirugikan karena dengan adanya pita cukai palsu tersebut atau tanpa
pelekatan pita cukai, penerimaan negara menjadi menurun atau berkurang.
Tempo interaktif, memberikatakan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
kantor wilayah VII Surabaya berhasil membongkar 600 ribu keping pita cukai
palsu di Malang dan berhasil meringkus lima orang tersangkanya.
(www.tempointeraktif.com).
Untuk itu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selaku unsur pelaksana
dari tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan
cukai terus berupaya untuk memberantas peredaran dan penggunakan pita
cukai palsu, terutama terhadap barang kena cukai yang berupa rokok atau
sigaret.
Sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang
dibalut dengan kertas dengan cara dilinting untuk dipakai, tanpa
mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam
pembuatannya. Sigaret terdiri dari sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret
kelembak menyan. Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya
dicampur dengan cengkih atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa
memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam
pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan.
Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri dari sigaret yang dibuat dengan mesin
atau yang dibuat dengan cara lain dari pada mesin (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
huruf c).
Pengertian dari sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan
mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai
dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk
penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, selurunya atau
sebagain menggunakan mesin. Adapun yang dimaksud dengan sigaret putih
dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain dari pada mesin adalah sigaret
kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintungan, pemasangan
filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan
pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya di
campur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa
memperhatikan jumlahnya. Adapun yang dimaksud dengan cerutu adalah
hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau
tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang
digunakan dalam pembuatannya.
Pengertian dari rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan
daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting,
untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu
yang digunakan dalam pembuatannya. Selanjutnya yang dimaksud dengan
tembakau iris adalah tembakau yang dirajang, untuk dipakai tanpa
mengindahkan bahan pembuatannya. Kemudian yang dimaksud dengan hasil
pengolahan tembakau lainnya adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun
tembakau selain yang disebut dalam huruf c ini yang dibuat secara lain sesuai
dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan
bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Penetapan tarif setinggi-tingginya dua ratus lima puluh persen dari harga
jual pabrik atau lima puluh persen dari harga jual eceran didasarkan atas
pertimbangan bahwa apabila barang kena cukai tertentu yang karena sifat atau
karakteristiknya berdampak negatif bagi kesehatan, lingkungan hidup, dan
tertib sosial, seperti minuman yang menggandung etil alkohol dalam kadar
tinggi (minuman keras) ingin dibatasi secara ketat produksi, peredaran, dan
pemakaiannya, cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif sehingga
barang kena cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai maksimum. Peranan
instrumen tarif disini tidak berorientasi pada aspek penerimaan, tetapi pada
aspek pembatasan produksi dan konsumsi. (Penjelasan Pasal 5 ayat (1)).
Demikian pula penetapan tarif setinggi-tingginya dua ratus lima puluh
persen dari Nilai Pabean ditambah Bea masuk atau lima puluh persen dari
Harga Jual Eceran didasarkan atas pertimbangan Barang Kena Cukai tertentu
tersebut ingin dibatasi secara ketat tentang impor, peredaran, dan
pemakaiannya. Adapun cara membatasinya adalah melalui instrumen tarif
sehingga Barang Kena Cukai dimaksud dapat dikenai tarif cukai maksimum.
Peranan instrumen tarif disini tidak berorientasi pada penerimaan, tetapi pada
aspek pembatasan impor dan konsumsi (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)).
Pada dasarnya untuk semua jenis Barang Kena Cukai, pelunasan
cukainya dapat dilakukan dengan cara pembayaran atau pelekatan pita cukai.
Atas barang kena cukai seperti etil alkohol dan minuman yang mengandung
etil alkohol pelunasan cukainya dilakukan dengan cara pembayaran,
sedangkan untuk hasil tembakau pelunasan cukainya dilakukan dengan cara
pelekatan pita cukai. Untuk barang yang dibuat di Indonesia, pelekatan pita
cukainya harus dilakukan sebelum Barang Kena Cukai dikeluarkan dari
pabrik atau tempat penyimpanan. Adapun untuk Barang Kena Cukai yang
diimpor, pelunasan cukainya dengan pelekatan pita cukai dan harus dilakukan
dilakukan ditempat penimbunan sementara atau di tempat pembuatan Barang
Kena Cukai ketika masih di luar negeri.
Cukai dianggap tidak dilunasi, apabila pelekatan pita cukai pada Barang
Kena Cukai tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, antara lain :
(Penjelasan Pasal 7 ayat (5)).
a. Pita Cukai yang dilekatkan tidak sesuai dengan tarif cukai dan harga
dasar Barang Kena Cukai yang ditetapkan;
b. Pita Cukai yang dilekatkan tidak utuh atau rusak;
c. Jika kemasan yang penjualan ecerannya dibuka, pita cukainya tidak
rusak.
2. Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan
hak-hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Dasar mengenai pemerintahan daerah tersebut, memuat pokok-pokok
pikiran sebagai berikut :
a. Daerah Indonesia akan dibagi atas dasar besar dan kecil yang akan diatur
dengan undang-undang;
b. Pengaturan tersebut harus memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara serta hak-hak asal-
usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Kemudian di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18
menyebutkan bahwa :
a. Daerah besar dan kecil bukanlah negara bagian, karena daerah tersebut
dibentuk dalam negara kesatuan,
b. Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat
administratif,
c. Daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa adalah
swapraja (zelfbestuurende landschappen) dan desa (volks
gemeenschapppen),
d. Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai
hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 3
(tiga) asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Asas-asas
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada
Gubenur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah,
sedangkan asas Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas
tertentu yang disertai dengan pembiayaan, saran dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggung-jawabkannya kepada yang menugaskan.
Menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdapat
beberapa prinsip pemberian otonomi daerah yang dipakai sebagai pedoman
dalam pembentukan dan penyelenggaraan daerah otonom yaitu :
a. Penyelenggaraan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman Daerah;
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab;
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota, sedangkan Daerah Propinsi merupakan
otonomi yang terbatas;
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara terjamin
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah;
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
Daerah Otonom.
3. Tinjauan Umum tentang Perizinan
a. Pengertian Perizinan
Izin adalah merupakan suatu penetapan yang merupakan dispensasi
dari suatu larangan oleh Undang-Undang. Pada umum yang Undang-
Undang bersangkutan berbunyi : “dilarang tanpa ijin (melakukan)” dan
seterusnya. Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian dan
syarat-syaarat, kriteria dan sebagainya, yang perlu dipenuhi pemohon untuk
memperoleh dispensasi dari larangan tersebut disertai dengan penetapan
prosedur dan petunjuk pelaksanaanya kepada pejabat adminitrasi yang
bersangkutan.
Izin juga merupakan instrumen yang paling banyak digunakan dalam
hukum adminitrasi, pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis
untuk mengendalikan tingkah laku para warganya. Selain itu, izin juga
sebagai insrtumen pemerintah agar antara masyarakat dan pemerintah
terjadi hubungan timbal balik, masyarakat akan mempengaruhi penguasa
dalam menjalankan tugasnya dan disisi lain penguasa memberi pengaruh
tertentu.
Menurut Sjahran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi
negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret
berdasakan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh
ketentuan peraturan perUndang-Undangan. (Ridwan HR, 2006 : 207).
Adapun pengertian izin menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge dalam
arti luas dan sempit, yaitu : izin dalam arti luas ialah suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan Undang-Undang atau peraturan pemerintah untuk
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan
perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang
sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan tindakan yang demi
kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.
Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu
peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat Undang-
Undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi
keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan
yang oleh pembuat Undang-Undang tidak seluruhnya dianggap tercela,
namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya.
Hal pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan
dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-
ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti
diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah
hanya memberi perkenan dalam keadaan –keadaan yang sangat khusus,
tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara
tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan). (Ridwan HR, 2006 :
208).
b. Unsur Perizinan
Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat
disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu
berdasarkan peraturan perUndang-Undangan untuk diterapkan pada
peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari
pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai berikut :
1) Instrument yuridis
Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan
keamanan merupakan tugas klasik yang sampai kini masih tetap
dipertahankan. Dalam rangaka melaksanakan tugas ini kepada
pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari
fungsi pengatutran ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk
menghadapi peristiwa individual dan konkret, yaitu dalam bentuk
ketetapan. Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.
2) Peraturan PerUndang-Undangan
Pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan tindakan hukum
pemerintah. Sebagai tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perUndang-Undangn atau harus berdasrkan
pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi
tidak sah. Oleh karena itu, dalam hal membuat dan menerbitkan izin
haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku karena tanpa adanya dasar
wewenang tersebut ketetapan izin tersebut menjadi tidak sah.
3) Organ Pemerintah
Organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintahan
baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Menurut Sjahran Basah,
dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelengggaraan pemerintah dapat
diketahui bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (presiden)
sampai dengan administrasi negara terendah (lurah) berwenang
memberikan izin. Ini berarti terdapat aneka ragam administrasi negara
(termasuk instansinya) pemberi izin, yang didasarkan pada jabatan yang
dijabatnya baik ditingkat pusat maupun daerah.
4) Peristiwa Konkret
Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu,
orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena
peristiwa konkret itu beragam, sejalan dengan keragaman
perkembangan masyarakat, izin pun memiliki berbagai keragaman. Izin
yang jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya
tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam izin dan struktur
organisasi instansi yang menerbitkannya.
5) Prosedur dan Persyaratan
Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu
yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Disamping harus
menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi
persyaratan-persayaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu
berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi
izin. (Ridwan HR, 2006 : 210-216)
c. Aspek Yuridis dari Sistem Perijinan
Sistem perijinan terdiri atas larangan, persetujuan atau izin yang
merupakan dasar perkecualian dari ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan izin.
1) Larangan
Larangan dan wewenang suatu organ pemerintah untuk menyimpang
dari larangan itu dengan memberi izin, harus ditetapkan dalam suatu
peraturan perUndang-Undangan. Ini timbul dari asas legalitas dalam
negara hukum demokratis, pemerintahan hanya memiliki wewenang-
wewenang yang tegas diberikan kepadanyan dalam Undang-Undang
dasar atau Undang-Undang lain. Latar belakang asas ini juga disebut
asas pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, ialah keharusan untuk
memperoleh jaminan-jaminan tertentu terhadap penguasa, karena itu
tindakan-tindakan penguasa diikutkan pada aturan-aturan yang jelas.
Norma larangan yang diuraikan secara abstrak menunjukan tingkah laku
aman yang pada umumnya tidak diperbolehkan. Pelanggaran norma ini
biasanya dikaitkan dengan sanksi-sanksi hukum adminitrasi atau sanksi-
sanksi hukum pidana. Lingkungan kerja larangan tergantung pada uraian
tingkah laku yang di larang. Suatu uraian luas mengakibatkan pengaruh
luas bagi norma larangan, sebagai contoh membangun tanpa izin di
larang, karena disini diuraikan sebagai menempatkan, mendirikan
seluruhnya atau sebagian, membaruhi atau mengubah dan membesarkan
suatu bangunan. Jadi larangan mencakup sejumlah besar tindakan.
Ketentuan-ketentuan larangan menurut teknik perundangan dapat
diformulasikan dengan cara :
a) Larangan dan persetujuan (izin) dapat dituangkan dalam suatu
ketentuan.
b) Norma dapat pula ditetapkan dalam suatu ketentuan tersendiri,
sehingga larangan itu memperoleh tekanan baru.
Aktivitas-aktivitas yang tunduk pada suatu sistem izin dapat dipaparkan
dengan teliti didalam Undang-Undang itu sendiri atau lebih rinci
didalam suatu peraturan yang berdasarkan Undang-Undang.
2) Izin
Ada izin kalau norma larangan umum di kaitkan dengan norma umum
yang memberikan kepada suatu organ pemerintah. Wewenang untuk
menggantikan larangan itu dengan persetujuan dalam suatu bentuk
tertentu. Keputusan yang memberi izin adalah suatu keputusan tata
usaha negara. Keputusan tata usaha negara ialah keputusan sepihak dari
suatu organ pemerintah, diberikan atas dasar wewenang ketatanegaraan
atau ketatausahaan yang menciptakan bagi suatu atau lebih keadaan
konkrit, individual, suatu hubungan hukum, menetapkannya secara
mengikatatau membebaskannya atau dalam mana itu ditolak, menurut
akibathukumnya. Menurut akibat hukumnya, izin adalah keputusan Tata
Usaha Negara yang menciptakan hukum atau konstitutif, ini berarti
bahwa dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam
hubungan hukum ini oleh organ pemerintah diciptakan hak-hak izin dan
kewajiban-kewajiban melalui ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan izin.
3) Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin
Ketentuan-ketentuan adalah syarat-syarat yang menjadi dasar bagi organ
pemerintah memberi izin. Fakta bahwa dalam banyak hal izin dilakukan
pada syarat-syarat, berhubungan erat dengan fungsi sistem perizinan
sebagai salah satu instrumen pengarah dari penguasa.
d. Sifat Keputusan Izin
Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengendalikan tingkah laku para warganya, agar terjadi suatu ketertiban
dengan memberi izin pemerintah atau penguasa memperkenankan
tindakan-tindakan teretntu yang sebenarnya dilarang, kepada orang yang
memohonnya untuk menjadi tindakan yang diperkenankan. Berdasarkan
akibat hukumnya perizinan tersebut memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1) Keputusan menciptakan hukum dan menetapkan hukum perbedaan
keputusan yang menciptakan hukum atau yang menetapkan hukum
merupakan alat bantu untuk menentukan kebebasan menguji dari hakim.
2) Keputusan bebas atau terikat. Dalam hal keputusan perizinan bersifat
terikat, ini berarti bahwa dalam mengeluarkan izin organ yang
berwenang akan terikat pada aturan hukum tertulis dan tidak tertulis,
dan tidak dimungkinkan keputusannya bisa ditarik kembali. Sedangkan
dalam keputusan bebas organ pemerintah mempunyai kebebasan
dalammemutuskan pemberian izin dan dimungkinkan keputusan
tersebut untuk di tarik kembali.
3) Keputusanyang menguntungkan atau memberatkan. Menurut isinya izin
merupakan kekputusan yang menguntungkan, karena memberi hak pada
penerimanya. Namun suatu keputusan perizinan dapat mengandung
unsur memberatkan dalam ketentuan-ketentuan yang dikaitkan padanya.
4) Keputusan yang segera berahkir atau berlangsung lama. Didalam
keputusan perizinan dapat diadakan perbedaan antara izin-izin yang
menyangkut tindakan-tindakan yang akan segera berakhir dan izin-izin
yang berkaitan denagan tindakan-tindakan tanpa batas. Izin bangunan
hanya berlaku untuk mendirikan bangunan tidak untuk pengurusan atau
pemakaian yang dibangun termasuk dalam jenis pertama. Perbedaan
antara izin untuk tindakan yang segera berakhir dan izin dalam waktu
yang lama, mempunyai arti bagi pertanyaan tentang
kemungkinanpenarikankembali izin. Secara umum diterimanya bahwa
setelah berlakunya tindakan yang segera berakhir, suatu izin yang
berhubungan dengannya tidak dapat ditarik kembali. Penarikan kembali
hanya dimungkinkan, jika peraturan Undang-Undang menetapkan
dengan tegas atau bila izin diberikan secara salah karena
perbuatantercela dari pemegang izin.
5) Keputusan yang bersifat pribadi atau kebendaan. Suatu izin disebut
pribadi jika isinya tergantung pada sifat aatau kualitas pribadi pemohon
izin. Kebendaan adalah izin yang isinya tergantung pada (sifat) Undang-
Undang gangguan atau izin bangunan diberikan kepada pemohon tanpa
adanya peran dari relasi antara pemohon dan obyek izin. Jadi, suatu izin
Undang-Undang gangguan dapat diminta oleh setiap orang, dalam
prakteknya sering izin-izin memiliki sifat campuran. Dalam hal ini, izin
terdiri atas unsur-unsur kebendaan dan pribadi.
e. Ketentuan-Ketentuan, Pembatasan, Syarat-Syarat dan Bentuk Izin
Disamping keputusan pasti banyak keputusan Tata Usaha Negara
masih mengandung ketentuan-ketentuan, pembatasan-pembatasan atau
syarat-syarat, meskipun istilah ini dicampur aduk tetapi ada perbedaannya.
1) Ketentuan-Ketentuan (voorschriften)
Yang dimaksud ketentuan ialah kewajiba-kewajiban yang dapat
diuraikan dengan keputusan mengguntungkan. Ketentuan-keputusan
pada izin terdapat pada praktek adminitrasi, hal ini dapat dilihat pada
izin lingkungan, dalam Undang-Undang gangguan misalnya ditujuk
jenis-jenis ketentuan mana yang biasa dikaitkan :
a) Ketentuan-ketentuan tujuan (mewujudkan tujuan-tujuan tertentu)
b) Ketentuan-ketentuan sarana (kewajiban menggunakan sarana
tertentu)
c) Ketentuan-ketentuan instruksi (kkewajiban bagi pemegang izin untuk
memberi instruksi-insstruksi tertulis pada personel dalam lembaga)
d) Ketentuan-ketentuan ukur dan pendaftaran (pengukuran untuk
penilaian kadar bahaya atau gangguan)
Dalam hal ini ketentuan-ketentuan tidak dipatuhi, terdapat pelanggaran
izin. Tentang sanksi yang diberikan atasnya,pemerintahan harus
memutuskan tersendiri.
2) Pembatasan-pembatasan (beperkingen)
Petunjuk pembatasan-pembatasandalamizin memberi kemungkinan
untuk secara praktis melingkari lebih lanjut tindakan yang
diperbolehkan. Pembatasan-pembatasan dibentuk dengan menunjuk
batas-batas dalam waktu, atau dengan cara lain.
3) Syarat-syarat perizinan
Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat-akibat hukum tertentu
digantungkan pada timbulnya suatu peristiwa dikemudian hari yang
belum pasti. Kadang kala syarat-syarat, dengan mengikuti hukum
perdata, dibedakan dalam syarat-syarat penagguhan, ketetapan justru
memperoleh kekuatan setelah adanya peristiwa.
4) Bentuk-bentuk izin yang pada umumnya ada dikalangan masyarakat ada
empat, yang terdiri :
a) Izin (vergunning)
Merupakan pengikatan aktivitas-aktivitas pada suatu peraturan izin
yang pada dasarnya didasarkan pada keinginan pembuat Undang-
Undang untuk mencapai tatanan tertentu atau menghilangkan
keadaan yang buruk.
b) Dispensasi
Merupakan pengecualian atas larangan sebagai aturan umum karena
keadaan khusus pada peristiwa tertentu.
c) Lisensi
Merupakan izin untuk perorangan atau perusahaan yang berpindah
adalah hak monopoli pemerintah dalam memberikan pelayanan.
d) Konsensi
Merupakan izin khusus yang diberikan kepada suatu bentuk
perusahaan yang berpindah adalah hak biasa.
4. Tinjauan Umum tentang Perusahaan dan Industri
a. Pengertian Perusahaan
Rumusan pengertian perusahaan terdapat dalam Pasal 1 Undang-
Undang nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
(selanjutnya disingkat UWDP). Dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang
nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UWDP), defiisi
perusahaan adalah sebagai berikut : Perusahaan adalah setiap bentuk
usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-
menenrus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah
negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan laba. (C.S.T.
Kansil dan Christine S.T. Kansil, Bagian 3, 1996 : 1).
b. Pengertian Industri
Pengertian industri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hasan
Alwi, dkk. (2002 : 431), adalah kegiatan memproses atau mengolah suatu
barang dengan menggunakan sarana dan peralatan tertentu.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Perindustrian No. 5 Tahun
1994, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,
bahan baku, setengah jadi dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai
yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun
dan perekayasaan industri.
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Undang-Undang Nomor.
20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, bahwa
pengertian industri adalah suatu unit usaha/kesatuan produksi yang terletak
pada tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barang-
barang (bahan baku) dengan mesin atau dengan tangan menjadi produk
baru, atau mengubah barang-barang yang kurang nilainya menjadi barang
yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk mendekatkan produk
tersebut kepada konsumen akhir. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa
dalam suatu industri terdapat suatu proses untuk menghasilkan barang baru
dengan nilai yang lebih tinggi.
Berdasarkan jumlah tenaga kerjanya, Biro Pusat Statistik (2005 :
242) menggolongkan industri menjadi 4 kelompok, yaitu :
a. Industri besar adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 100 orang
atau lebih.
b. Industri sedang adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 20-99
orang atau lebih.
c. Industri kecil adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 5-19 orang
atau lebih.
d. Industri skala mikro adalah usaha kerajinan rumah tangga yang
mempunyai pekerja antara 1–4 orang.
Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Perindustrian No. 5
Tahun 1994, industri digolongkan menjadi 4 menurut sifat dan tingkatan
dalam proses produksi, yaitu :
a. Industri primer, yaitu industri yang berkaitan dengan sumber dari
alam/permukaan bumi, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan,
pertambangan, dan perkebunan.
b. Industri sekunder, di mana pada industri ini sumber-sumber alam yang
terkumpul pada tingkat primer dibuat ke dalam produksi-produksi lain.
Dengan demikian melibatkan pabrik yang banyak dan bisa bersifat
tertentu. Barang-barang yang dibuat oleh salah satu pengusaha, untuk
pengusaha lain, atau langsung untuk masyarakat umum.
c. Industri tersier, yaitu identik dengan perdagangan, pendistribusian
barang, jasa perniagaan untuk ditransfer barang-barang borongan dan
eceran. Perjanjiannya adalah industri-industri perusahaan primer dan
sekunder dalam bentuk barang.
d. Industri kuarter, yaitu industri yang terdiri dari jasa-jasa perorangan.
Perjanjiannya tidak sama dengan industri tersier, tetapi dengan orang-
orang yang memerlukan ketrampilan khusus (1994 : 167-168).
c. Pengertian Industri Kecil dan Industri Skala Mikro
Industri kecil adalah perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 5 - 19
orang atau lebih (Biro Pusat Statistik, 2005 : 242).
Berdasarkan Undang-Undang Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995 (1995 :
10), yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang nomor 20 tahun
2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, bahwa usaha kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ciri-ciri industri kecil menurut
Mubyarto adalah :
a. Kebanyakan tenaga kerja diperoleh dari dalam rumah tangga dan sanak
keluarga.
b. Teknologi yang digunakan bersifat tradisional, sangat sederhana dan
lebih banyak menggunakan tenaga tanpa mesin.
c. Bahan dasar umum didapat dari pedesaan setempat atau desa sekitarnya.
d. Pemasaran dari industri tidak didasarkan pada profesi dan tengkulak.
e. Industri ini selalu merupakan pekerjaan tambahan untuk menambah
pendapatan keluarga (Mubyarto, 1983 : 26).
Menurut Biro Pusat Statistik (2005 : 242), industri skala mikro adalah
usaha kerajinan rumah tangga yang mempunyai tenaga kerja 1 – 4 orang.
Industri skala mikro pada umumnya berkembang secara bertahap. Pada
awalnya merupakan usaha sambilan untuk mengisi waktu luang dan hanya
menghasilkan barang-barang untuk keperluan sendiri. Selanjutnya usaha
tersebut berkembang untuk memenuhi kebutuhan tetangga dan kerajinan
yang mulanya hanya sebagai usaha sambilan kemudian berkembang
menjadi usaha pokok.
Berdasarkan eksistensinya, industri kecil dan skala mikro di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1) Indutri lokal adalah industri yang masih menggantungkan usahanya
pada pasar setempat.
2) Industri sentra adalah kelompok industri yang jika dipandang dari satuan
usaha mempunyai skala kecil, tapi membentuk satu pengelompokan atau
kawasan produksi yang menghasilkan barang sejenis
3) Industri mandiri adalah industri kecil yang sudah menerapkan teknologi
modern dalam proses kerjanya (Mubyarto, 1985 : 13).
Aktivitas di bidang industri kecil dan skala mikro dapat berhasil
apabila didukung oleh faktor-faktor produksi. Menurut Renner dalam
Mubyarto (1985 : 23), faktor-faktor yang mempengaruhi suatu industri
adalah raw material (bahan baku), capital (modal), labour (tenaga kerja),
power (sumber tenaga), transportation (transportasi), dan market (pasar).
Dalam suatu proses produksi, faktor-faktor tersebut saling mendukung.
Menurut Mubyarto, industri kecil dan rumah tangga memegang
peranan penting dalam pembangunan ekonomi pedesaan, karena :
a. Industri kecil memberikan lapangan kerja pada penduduk pedesaan yang
pada umumnya tidak bekerja secara rutin
b. Industri kecil memberikan tambahan pendapatan, tidak saja bagi para
pekerja atau kepentingan keluarga, tetapi juga bagi anggota-anggota
lain.
c. Dalam beberapa hal, industri kecil mampu memproduksi barang
keperluan penduduk setempat dan daerah lain secara lebih efisien
dibandingkan dengan industri besar dan sedang (Mubyarto, 1983 : 216).
Pentingnya industri pedesaan juga dikemukakan oleh Donald
Snadgrass dalam Dawam Raharjo, yaitu bahwa kemampuan industri kecil
dan industri skala mikro untuk menyerap tenaga kerja lebih besar dari
kemampuan industri besar dan sedang. Industri kecil dinilai penting tidak
saja dalam segi kesempatan kerja melainkan juga untuk lebih
memantapkan landasan pertumbuhan (Dawam Raharjo, 1984).
Senada dengan pendapat di atas, Mubyarto mengemukakan bahwa
industri kecil yang terdapat di pedesaan pada dasarnya mempunyai peranan
antara lain : dapat memberi nafkah dan peningkatan taraf hidup penduduk
yang terlibat di dalamnya, dapat memberikan lapangan pekerjaan dan
meratakan pendapatan. Dalam hal ini adanya industri di pedesaan akan
dapat membantu dan menopang tenaga kerja yang tidak tertampung di
sektor pertanian, sehingga perkembangan industri kecil akan mampu
mengurangi pengangguran serta dapat meningkatkan pendapatan
(Mubyarto, 1985 : 12).
Sementara itu menurut Surbakti (1992 : 12), keunggulan dari industri
kecil dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut :
a. Mengurangi laju urbanisasi.
b. Sifatnya yang padat karya, akan menyerap tenaga kerja yang lebih besar
perunit yang nantinya akan diinvestasikan.
c. Masih dimungkinkan lagi tenaga kerja yang terserap untuk kembali ke
sektor pertanian, khususnya menjelang saat-saat sibuk karena letaknya
yang berdekatan.
e. Penggunaan teknologi yang sederhana mudah dipelajari dan
dilaksanakan (Mubyarto, 1985 : 65).
Industri kecil merupakan sektor yang secara efisien mampu berperan
sebagai sarana pertumbuhan dan sekaligus pemerataan. Kemampuannya
dalam menyerap tenaga kerja menyebabkan ia dapat berperan sebagai
katup pengaman bagi penyelesaian masalah pengangguran. Jumlahnya
yang sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara
memungkinkan industri kecil mampu memainkan peran yang dibebankan
kepadanya (Surbakti, 1992 : 4).
Persebaran suatu industri berhubungan dengan kebijaksanaan
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah dapat menentukan lokasi industri.
Kebijaksanaan ini dapat berupa dorongan atau hambatan dan bahkan
larangan untuk mendirikan industri di tempat tertentu. Dewasa ini,
kebijaksanaan pengaturan lingkungan, perencanaan kota yang didasarkan
atas pembagian daerah, lazim disebut zoning, merupakan kebijaksanaan
yang semakin biasa. Seperti telah disebutkan di atas, maka kebijaksanaan
tersebut tidak hanya mengatur masalah yang ada pada lingkungan, akan
tetapi dapat juga merupakan pertimbangan dan pertahanan dalam hal
perekonomian. Selain industri mengakibatkan pengotoran udara, industri
merupakan sasaran dalam perang, oleh karena itu lokasinya perlu
dipisahkan dari daerah permukiman (Mubyarto, 1985 : 47).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
pembangunan suatu industri harus diarahkan pada pemilihan lokasi yang
tepat, sesuai dengan kondisi dan potensi geografis daerah tersebut,
sehingga diharapkan industri tersebut dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kesejahteraan masyarakat.
d. Bentuk Perusahaan yang Diatur Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil (KUHS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
a) Perseroan
Menurut Pasal 1618 KUHS, Perseroan (maatschap) adalah suatu
persetujuan dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk
memasukkan sesuatu dalam persekututan denagn maksud untuk
memabagi keuntungan yang terjadi karenanya. Dalam bentuk perusahaa
ini terdapat beberapa orang yang mengadakan persetujuan akan
berusaha bersama-sama guna memeperoleh keuntungan benda, dan
untuk mencapai tujuan itu mereka masing-masing berjanji akan
menyerahkan uang atau barang-barang atau menyediakan kekuatan kerja
atau kerajinannya (vide Pasal 1619 KUHS) (C.S.T. Kansil dan Christine
S.T. Kansil, 2005 : 70).
b) Perseroan Firma
Menururt perumusan Pasal 16 dan 18 KUHD, yang dimaksudkan
dengan Persero Firma ialah tiap-tiap perseroan (maatschap) yang
didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dibawah satu nama
bersama, dimana anggota-anggotanya langsung dan sendiri-sendiri
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap orang-orang pihak ketiga
(C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005 : 75-76).
c) Perseroan Komanditer (CV)
Pasal 19 KUHD menyebutkan bahwa Peseroan Komanditer adalah suatu
perseroan untuk menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara
satu orang atau beberapa orang pesero yang secara tanggung-
menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab
solider) pada satu pihak, dan satu orang atau lebih sebagai pelas uang
(geldschieter) pada pihak yang lain (C.S.T. Kansil dan Christine S.T.
Kansil, 2005 : 84).
d) Perseroan Terbatas (PT)
Pada umumnya orang berpendapat bahwa Perseroan Terbatas (PT)
adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu
perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-
saham, dalam mana para pemegang saham (persero) ikut serta dengan
mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan
hukum dibuat oleh nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab
sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan tanggung
jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan)
(C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2005 : 91).
5. Tinjauan Teoritis tentang Pendirian Perusahaan Rokok
Berkaitan dengan izin pendirian perusahaan khususnya perusahaan
rokok, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 tentang cukai dan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2008 tentang
pajak daerah, bahwa “setiap orang yang akan menjalankan kegiatan usaha
sebagai : pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang
kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran, wajib memiliki
izin berupa Nomor Pokok Barang Kena Cukai dari Menteri.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 didalam
Pasal 1 (ayat 2) mengatakan bahwa “Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai bagi pengusaha pabrik dan importir hasil tembakau yang selanjutnya
disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai
pengusaha pabrik dan importir hasil tembakau”.
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008
mengatakan bahwa “Setiap orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai
pengusaha pabrik atau importir, wajib memiliki NPPBKC”
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 134/PMK.04/2007
tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukia Hasil
Tembakau, Perusaahaan hasil tembakau (rokok) dikelompokkan menjadi tiga
kelompok perusahaan yaitu :
a. Perusahaan dengan skala besar (Golongan Pengusaha Pabrik I) yaitu
perusahaan yang hasil produksinya berupa rokok sigaret putih mesin
(SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang jumlah produksinya lebih dari
2 milyar batang setiap tahunnya
b. Perusahaan dengan sklala menengah (Golongan Pengusaha Pabrik II) yaitu
perusahaan yang hasil produksinya berupa rokok sigaret putih mesin
(SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang jumlah produksinya lebih dari
500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang.
c. Perusahaan dengan skala kecil yaitu (Golongan Pengusaha Pabrik III) yaitu
perusahaaan yang hasil produksinya berupa rokok sigaret putih mesin
(SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang jumlah produksinya tidak
lebih dari 500 juta batang.
Pengelompokan perusahaan hasil tembakau atau rokok tersebut adalah
berdasarkan jumlah produksi rokok batangan yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Tinjauan Penelitian Yang Relevan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan belum ada yang membahas
tentang penyederhanaan proses perizinan perusahaan rokok di Kabupaten
Tulungagung. Beberapa penelitian di bawah dapat penulis jadikan sebagai
acuan dalam penulisan. Berikut penelitian yang relevan:
a. Penelitian dari Yulia Adyana (2008) tentang Perizinan Objek Wisata di
Kabupaten Magelang, bertujuan untuk mengetahui proses perizinan obyek
wisata Kabupaten Magelang yang dilakukan Pemkab Magelang, serta tidak
lepas dari hambatan dan kendala. Untuk itu, diperlukan kerjasama dari
pihak luar. Hasil dari penelitian ini adalah membantu dari segi pendanaan
untuk mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh Pemkab Magelang.
Dana itu digunakan untuk perizinan kawasan wisata beserta sarana dan
prasarananya.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Puput Tri Komalasari (2005) tentang
Degree of Tax Payer Compliance Tax Tariff the Testing on the Impact of
Income Types bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai proses
terjadinya pembayaran pajak (cukai) sesuai tarif pita cukai yang tertera
pada kemasan produk. Hasil dari penelitian ini adalah dibentuknya
paguyuban pada komunitas perusahaan ekspor bekerjasama untuk
menerapkan aturan tarif pita cukai yang sesuai dan seukuran kemasan
produk.
c. Penelitian Dhian Widyasari (2007) tentang Ambiguitas Perizinan Pedagang
di Jalan Sriwedari Kota Solo. Hasil dari penelitian ini adalah perizinan
pedagang terhadap kebijakan relokasi yang digulirkan Pemkot Solo bersifat
ganda, yaitu bahwa pemaknaan pedagang secara ideal dimaknai sebagai
sesuatu yang positif pula. Selain itu, perizinan pedagang memunculkan dua
kategorisasi pedagang yang mengikuti relokasi yang akomodatif dan
pedagang liar yang secara terbuka maupun tertutup menolak relokasi.
Dari deskripsi hasil penelitian yang relevan, maka dapat diketahui
bahwa hasil penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaannya terdapat pada kajian
teori yang dilakukan, yaitu sama-sama menggunakan teori fenomenologi,
sehingga penelitian yang dilakukan sama-sama ingin mendeskripsikan
interaksi antara pedagang dengan Pemkab Magelang. Selain adanya
persamaan, dalam penelitian juga terdapat perbedaan, yaitu pada tujuan
penelitiannya. Penelitian Yulia Adyana mengatakan bahwa tujuan
penelitiannya yaitu untuk mengetahui proses perizinan obyek wisata
Kabupaten Magelang yang dilakukan Pemkab Magelang, serta tidak lepas dari
hambatan dan kendala. Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada
implementasi kebijakan Pemkab Magelang dan persepsi masyarakat sekitar
terhadap perizinan pedagang yang berada di kawasan wisata Kabupaten
Magelang.
2. Kerangka Pemikiran
Para pelaku kegiatan usaha dibidang hasil tembakau (rokok) dalam
malakukan kegiatan usahanya diwajibkan memiliki izin usaha berupa Nomor
Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) sebagai mana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Pasal 14 (ayat 1 huruf a). Izin usaha
sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 (ayat 1 huruf a) Undang-Undang nomor 39
tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah tersebut berlaku terhadap perusahaan dengan skala besar,
menengah, maupun perusahaan dengan skala mikro dan skala kecil.
UU No. 39 Tahun 2007
PP No. 72 Tahun 2008
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor :
134/PMK.04/2007
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor
200/PMK.04/2008
NPPBKC Penerimaan Negara
Perusahaan Rokok
Besar
Kendala
Menengah Kecil
SDM Regulasi Modal
Hilang Peningkatan
Penyederhanaan Saat Ini
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
Pengurusan perizinan kegiatan usaha dibidang industri rokok, bagi
perusahhan yang berskala beasr atau menegah tidak akan mengalami kendala
dikarenakan pada umumnya perusahaan skala besar atau menengah memiliki
modal maupun sumberdaya manusia yang memadai. Namun tidak demikian hal
nya dengan pelaku usaha rokok yang berskala kecil atau sangat kecil,
dikarenakan para pelaku usaha indstri rokok kategori ini tidak memiliki modal
yang memadai bahkan sumber daya manusianya pun sangat terbatas. Pada
umumnya para pelaku usaha industri rokok skala kecil dan sangat kecil banyak
dilakukan sebagai industri rumahan yang dikerjakan hanya dengan satu atau dua
orang tenaga kerja saja dan dengan latar belakang pendidikan yang rendah.
Pelaku usaha industri rokok kategori kecil dan sangat kecil ini akan
menghadapi kendala ketika melegalisasikan izin usaha. Dalam merangka mencari
solusi untuk memudahkan atau memberikan kemudahan atas pengurusan izin
industri rokok, pemerintah daerah kabupaten Tulungagung telah mengeluarkan
keputusan bupati nomor 775 tahun 2005 tentang pelayanan perizinan dengan
sistem pelayanan satu pintu, yaitu pemberian pelayan terhadap pengajuan izin
usaha industri, izin ganguan (HO), izin mendirikan banguan, izin usaha
perdagangan, dan izin pemakaian gudang.
Untuk mendapatkan izin pengusaha industri rokok atau Nomor Pokok
Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), pelaku usaha harus melengkapi
kelengkapan administrasi beberapa izin dari insatnsi terkait (kantor pelayanan
terpadu), hal tersebut merupakan kemudian akan menjadi kendala bagi pelaku
usaha industri rokok dengan skala kecil dan skala sangat kecil tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka perlu dicari jalan keluar yang lebih
memudahkan bagi para pelaku usaha industri rokok skala kecil dan sangat kecil
agar dapat melegalisasikan usahanya guna memperoleh Nomor Pokok Pengusaha
Barang Kena Cukai (NPPBKC). Untuk menjaga hilangnya potensi penerimaan
negara dari pungutan tembakau agar hak-hak negara yang berasal dari pungutan
cukai rokok dapat dimaksimalkan pemungutannya.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Kabupaten Tulungagung
Kabupaten Tulungagung adalah salah satu dari 25 Kabupaten/Kota di
Propinsi Jawa Timur yang berada di sisi selatan. Wilayah Kabupaten
Tulungagung membentang ke arah lereng Gunung Wilis. Dengan posisi
tersebut, wilayah Kabupaten Tulungagung merupakan wilayah hulu Propinsi
Jawa Timur.
Pengembangan wilayah Kabupaten Tulungagung tidak terlepas dari
kondisi Tulungagung sebagai bagian integral dari Jawa Timur. Sesuai dengan
kondisi dan potensi wilayah dan sosial ekonomi masyarakat, pengembangan
pembangunan Kabupaten Tulungagung diarahkan sebagai pusat penghasil
pangan, daerah tujuan wisata, pengembangan industri kecil (hasil tembakau),
agro industri dan industri jasa. Bahkan dalam perkembangannya, Kabupaten
Tulungagung diibaratkan miniatur Indonesia, karena latar belakang budaya
masyarakat Tulungagung yang berasal dari berbagai suku di Indonesia.
Walaupun demikian kehidupan masyarakat Tulungagung baik penduduk asli
dan pendatang sehari-hari tetap menjunjung tinggi nilai budaya Jawa, dengan
ciri khas sikap gotong royong yang tinggi dan sikap yang ramah tamah.
a. Geografi dan Topografi
Kabupaten Tulungagung secara geografis terletak diantara 1080 15’
03’’ dan 1080 29’ 30’’ Bujur Timur, 7
0 34’ 51’’ dan 7
0 47’ 03’’ Lintang
Selatan. Jarak terjauh Utara-Selatan 32 Km, Timur-Barat 35 Km.
Wilayah Kabupaten Tulungagung seluas 18% dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur atau seluas 57.482 ha. Dari
luas wilayah tersebut termanfaatkan untuk tanah sawah seluas 23.426 ha (40,75%), tanah tegalan seluas 6.429 ha
(11,18%), tanah pekarangan seluas 18.794 ha (32,69%), kolam seluas 370 ha (0,64%) dan lain-lain seluas 5.536
ha (9,63%).
Wilayah Kabupaten Tulungagung sebelah selatan berbatasan dengan Laut Kidul, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Blitar, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kediri, sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur.
Secara topografis, wilayah Kabupaten Tulungagung merupakan wilayah dataran perbukitan dan
pegunungan dengan ketinggian antara 100 meter hingga 2.500 meter diatas permukaan laut. Wilayah bagian
selatan relatif datar kecuali perbukitan sebelah tenggara Kecamatan Bandung dan sebagian Kecamatan Ngantru.
Semakin ke selatan kondisi semakin bergelombang. Di bagian utara wilayah Tulungagung (lereng Gunung Wilis)
kondisi alam relatif terjal, namun tingkat kesuburannya tinggi dan terdapat banyak sumber air.
b. Iklim
Iklim di wilayah Kabupaten Tulungagung
termasuk tropis dengan musim hujan antara
November – April dan musim kemarau antara Mei –
Oktober. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1500 –
3000.
c. Pembangunan Kota dan Pusat Pertumbuhan Wilayah
Perkembangan wilayah perkotaan di Kabupaten Tulungagung banyak
dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan masyarakat baik kegiatan sosial
maupun ekonomi. Kegiatan tersebut berkaitan dengan karakteristik
wilayah, jalur lintas antar daerah, wilayah tumbuh cepat dan pusat-pusat
pertumbuhan.
1) Berdasarkan karakteristik sumber daya yang ada, wilayah Kabupaten
Tulungagung terbagi menjadi 4 wilayah, yaitu:
a) Wilayah lereng Gunung Wilis, dimulai dari jalan yang
menghubungkan kota Tulungagung, Kecamatan Kalidawir,
Kecamatan Rejotangan dan Kecamatan Pucanglaban sampai dengan
puncak Gunung Wilis. Wilayah ini merupakan sumber daya air dan
ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung Wilis dan
ekosistemnya.
b) Wilayah timur yang meliputi Kecamatan Bandung, sebagian
Kecamatan Gondang dan Kecamatan Gondang. Wilayah ini
merupakan pusat wisata budaya dan daerah lahan kering serta sumber
bahan baku putih.
c) Wilayah tengah yaitu wilayah aglomerasi kota Tulungagung yang
meliputi Kecamatan Ngantru. Wilayah ini merupakan pusat
perdagangan dan jasa.
d) Wilayah barat meliputi Kecamatan Kedungwaru, Kecamatan
Karangrejo, Kecamatan Besuki dan Kecamatan Pakel merupakan
daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan sumber
bahan baku kegiatan industri hasil tembakau, industri kerajinan
mendong, bambu serta gerabah.
2) Berdasar jalur lintas antar daerah, kondisi wilayah Kabupaten
Tulungagung dilewati jalur jalan negara yang merupakan jalur ekonomi
yang menghubungkan Tulungagung dengan kota-kota lain (Madiun,
Blitar, Surabaya). Jalur ini melewati wilayah Kecamatan Bandung,
Kecamatan Gondang, Kecamatan Kauman, Kecamatan Pagerwojo dan
Kecamatan Ngantru. Selain itu, wilayah Kecamatan Kauman,
Kecamatan Pagerwojo dan Kecamatan Ngantru juga dilalui jalan lingkar
yang merupakan wilayah yang cepat perkembangannya, yaitu dari
agraris menjadi industri, perdagangan dan jasa.
3) Berdasarkan pusat-pusat pertumbuhan wilayah, Kabupaten
Tulungagung merupakan wilayah hinterland. Berdasarkan letak kota
Tulungagung dan mobilitas kegiatan masyarakat, dapat dibedakan
fungsi kota Tulungagung sebagai berikut:
a) Wilayah aglomerasi (perkembangan kota dalam kawasan tertentu).
Karena perkembangan kota Tulungagung, maka Kecamatan yang
berbatasan dengan kota Tulungagung yaitu Kecamatan Kauman,
Kecamatan Ngantru serta sebagian wilayah Kecamatan Sendang dan
Kecamatan Pakel merupakan wilayah aglomerasi kota Tulungagung.
b) Wilayah sub urban (wilayah prebatasan antar desa dan kota).
Kecamatan Kedungwaru, kota Tulungagung dan Kecamatan
Sendang.
c) Wilayah fungsi khusus/buffer zone (wilayah penyangga) Kecamatan
Kalidawir, Kecamatan Rejotangan dan Kecamatan Bandung
merupakan kota pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya dan
merupakan pendukung dan batas perkembangan kota ditinjau dari
kota Tulungagung.
d. Prioritas Pembangunan Daerah
Prioritas pembangunan daerah di Kabupaten Tulungagung dirumuskan
sebagai berikut:
1) Mewujudkan Pemerintah Daerah Yang Baik
Prioritas pembangunan untuk mewujudkan pemerintahan
daerah/Kabupaten yang baik dilakukan melalui pembangunan di bidang
hukum, bidang politik, bidang penyelenggaraan pemerintahan, bidang
komunikasi, informasi dan media massa, bidang ketentraman dan
ketertiban.
2) Meningkatkan Kegiatan Ekonomi Daerah
Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi daerah, prioritas pembangunan
di bidang ekonomi meliputi industry hasil tembakau (rokok), pertanian
dan kehutanan, sumber daya air dan irigasi, perdagangan, koperasi,
usaha kecil dan menengah, pengembangan usaha dan keuangan daerah,
transportasi, pertambangan, energi dan pariwisata.
3) Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Prioritas pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dilakukan melalui pembangunan bidang agama, pendidikan, pemuda
dan oleh raga, kependudukan, keluarga berencana, tenaga kerja dan
transmigrasi, kesehatan dan kesejahteraan sosial, pemberdayaan
perempuan, kebudayaan dan kesenian, serta industry kecil (hasil
tembakau).
4) Meningkatkan Kapasitas Pengembangan Potensi Wilayah
Meningkatkan pembangunan dalam rangka meningkatkan kapasitas
pengembangan potensi wilayah dilaksanakan melalui pembangunan
bidang perdesaan dan perkotaan, pemanfaatan ruang, pertanahan,
perumahan dan pemukiman, wilayah perbatasan serta sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
e. Wilayah Administratif
Secara administratif Kabupaten Tulungagung terbagi menjadi 17
Kecamatan dan 86 Desa. Untuk membantu pelaksanaan pemerintah desa di
Kabupaten Tulungagung terdapat 1.212 dusun, 2.886 RW dan 6.961 RT.
Tabel 1. Pembagian Wilayah Administrasi
Kabupaten Tulungagung
No Kecamatan Banyaknya
Luas (Ha) Desa Dusun
1.
2.
3.
Pakel
Kedungwaru
Karangrejo
4
7
5
65
77
68
2.762
2.684
2.727
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Ngantru
Besuki
Boyolangu
Kalidawir
Tulungagung
Sendang
Pagerwojo
Kauman
Pucanglaban
Tanggunggunung
Rejotangan
Sumbergempol
Gondang
Bandung
5
5
4
8
6
5
5
3
5
5
5
4
4
6
59
67
54
98
83
87
74
58
73
61
82
80
58
68
2.925
2.663
4.309
3.249
3.132
3.852
2.852
3.555
4.799
4.384
3.571
3.584
2.299
4.135
Jumlah 86 1.212 57.482
Sumber: BPS Kabupaten Tulungagung, 2009
Dengan mempertimbangkan status Kabupaten Tulungagung sebagai
hiterland dari Kota Tulungagung maka dari 86 desa yang ada 27 desa
terkategorikan sebagai desa pedesaan dan 59 desa merupakan desa
perkotaan.
f. Perkembangan Penduduk
Menurut registrasi penduduk sampai pertengahan tahun 2005 jumlah
penduduk Kabupaten Tulungagung 856.558 (naik 0,84%) yang terdiri dari
423.333 jiwa penduduk laki-laki dan 433.225 jiwa penduduk wanita.
Sementara itu kepadatan penduduk Kabupaten Tulungagung rata-rata
1.490 orang per km2. Kepadatanpenduduk yang tertinggi terdapat di
Kecamatan Kauman yakni 3.102 orang per km2. Sedangkan kepadatan
penduduk yang paling rendah terdapat di Kecamatan Pucanglaban yakni
hanya 554 orang per km2.
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tulungagung dari tahun ke tahun diupayakan untuk dikendalikan.
Pada tahun 2005 berdasarkan hasil perhitungan rumus dan sensus penduduk (SP) tahun 2003 pertumbuhan
penduduk Kabupaten Tulungagung sebesar 1,43%. Sedangkan berdasarkan data registrasi pertumbuhan
Kabupaten Tulungagung pada tahun 2005 mencapai 1,48%.
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Tulungagung tergolong sangat tinggi dibanding pertumbuhan
penduduk kabupaten lain di Jawa Timur. Migrasi masuk lebih besar dibanding migrasi keluar sebagai tujuan
pendidikan dan akibat pesatnya pertumbuhan perumahan dan pemukiman di Kabupaten Tulungagung. Sampai
bulan Desember 2008 penduduk yang datang mencapai 11,498 orang, lahir 10.610 orang, mati 4.127 orang dan
yang migrasi keluar 6.447 orang.
Tabel 2. Perkembangan Penduduk
Kabupaten Tulungagung
Tahun Luas Km2 Pertumbuhan Penduduk Kepadatan Penduduk
2000
2001
2002
2005
2008
574,82
574,82
574,82
574,82
574,82
819.800
828.960
838.628
850.176
862.314
1.426
1.442
1.442
1.479
1.500
Sumber: BPS Kabupaten Tulungagung, 2009
Jumlah kepala keluarga di Kabupaten Tulungagung 216.137 Kepala
keluarga, terdiri dari kepala keluarga laki-laki 178.952 orang dan kepala
keluarga perempuan 37.185 orang. Rata-rata setiap keluarga terdiri dari 4,2
jiwa.
Dalam memberikan pelayanan di bidang administrasi kependudukan,
telah diterbitkan surat-surat kependudukan yakni: 17.295 lembar kartu
keluarga, 175.625 lembar KTP, 948 lembar surat keterangan pendaftaran
penduduk sementara dan 13.226 lembar surat izin menjadi penduduk.
Sementara jumlah pelayanan catatan sipil terdiri dari akta kelahiran 18.211
lembar, akta perkawinan 746 lembar, akta perceraian 44 lembar, akta
kematian17 lembar, akta pengangkatan anak 17 lembar, perubahan nama 4
lembar, kutipan akta ke 2,3 dst 99 lembar dan petikan perkawinan 19
lembar.
Dari kegiatan pelayanan di bidang kependudukan Pemerintah
Kabupaten Tulungagung memperoleh pemasukan dari Biaya Akte Catatan
Sipil sebesar Rp. 125.423.500, - atau 104,52% dari target sebesar Rp.
120.000.000,- dan penerimaan dari pembaharuan KTP sebesar
Rp.131.718.750,- atau 92,43% dari target sebesar Rp. 142.500.000,-.
g. Aparat Pemerintah
Untuk melaksanakan kegiatan pemerintah, pembangunan dan
pelayanan masyarakat. Hingga bulan Desember 2005, di lingkungan Pemda
Kabupaten Tulungagung terdapat 14.218 PNS yang terdiri dari 6.255
(43,99%) PNS wanita dan 7.963 (56,01%) PNS laki-laki. Rasio pegawai
terhadap jumlah penduduk 1:60,24 artinya seorang pegawai melayani 60,24
jiwa penduduk
Latar belakang pendidikan PNS terdiri dari S2 sebanyak 36 orang atau
0,25%, S1 sebanyak 2.535 orang atau 17,83%, Diploma sebanyak 4.867
orang atau 34,23, SLTA sejumlah 5.665 orang atau 39,84%, SLTP
sebanyak 589 orang atau 4,14%, SD sebanyak 526 orang atau 3,70%.
Sementara berdasarkan golongan PNS Tulungagung terdiri dari 2,80% atau
398 orang Gol. I, 21,30% atau 3.028 orang Gol. II, 57,64% atau 8.195
orang Gol III dan 18,27 atau 2.597 orang Gol IV.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja aparat pemerintah
Kabupaten Tulungagung, peningkatan kualitas SDM terus diupayakan baik
melalui peningkatan pendidikan formal, pendidikan penjenjangan, teknis
fungsional, maupun Diklat Kader. Untuk tahun anggaran 2005 telah
dialokasikan dana pendidikan sebesar Rp. 984.730.000 terdiri dari dana
rutin sebesar Rp. 472.290.000 dan dana pembangunan sebesar Rp.
512.440.000. Dari anggaran tersebut telah dihasilkan alumni diklat sebagai
berikut:
a. Diklat Struktural terdiri dari Diklat SPAMEN 8 orang, Diklat
SPAMA 28 orang, dan Diklat ADUM 9 orang.
b. Diklat Fungsional terdiri dari KBD 40 orang, KMP 40 orang, Grafis
1 orang, Upgrading 2 orang, Multi Media 2 orang, Public Relations
2 orang, Balance Score Card 30 orang dan AKIP 1 orang.
Formasi jabatan struktural yang terdapat di Kabupaten Tulungagung
sebanyak 442 yang terdiri dari 1 jabatan eselon II.a, 14 jabatan eselon II.b,
69 jabatan eselon III.a, 17 jabatan eselon III.b dan 341 jabatan eselon IV.a.
Sedangkan jumlah pejabat fungsional sampai dengan bulan Desember 2005
sebanyak 10.482 orang yang terdiri dari guru TK 490 orang, guru SD 4.216
orang, guru SLTP 2.705 orang, guru SMU 1.024 orang, guru SMK 866
orang, guru SLB 173 orang, pengawas 47 orang, tenaga fungsionalis medis
783 orang, pustakawan 4 orang, arsiparis 16 orang, penyuluh pertanian 138
orang, penyuluh kehutanan 18 orang dan penyuluh perindustrian 2 orang.
Dalam membina kedisiplinan pegawai, Pemerintah Kabupaten
Tulungagung telah memberikan hukuman indisipliner kepada 8 orang PNS
terdiri dari:
a. Hukuman Disiplin Ringan sebanyak 2 orang terdiri dari pernyataan
tidak puas secara tertulis 2 orang.
b. Hukuman Disiplin Sedang sebanyak 3 orang berupa penundaan
kenaikan gaji berkala 1 orang, penurunan gaji sebesar satu kali
kenaikan gaji berkala 1 orang dan penundaan kenaikan pangkat 1
orang.
c. Hukuman Disiplin Berat sebanyak 3 orang terdiri dari penurunan
pangkat 1 orang, pembebasan jabatan 1 orang dan pemberhentian
tidak dengan hormat 2 orang.
h. Pemerintah Daerah
Mulai tahun 2005 Kabupaten Tulungagung melaksanakan otonomi
daerah sesuai dengan UU No 22 tahun 1999. Dalam melaksanakan
otonami daerah, Pemda Kabupaten Tulungagung telah melaksanakan
berbagai penataan kelembagaan, personil dan fisik perkantoran.
Dalam penataan kelembagaan, Pemda hanya menerbitkan sebuah Perda yakni Perda No.12 Tahun 2003
tentang perangkat daerah di Kabupaten Tulungagung, sementara operasionalisasi Perda tersebut dijabarkan
melalui SK Bupati. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembenahan dan penyempurnaan lembaga
perangkat daerah setelah dilaksanakan evaluasi.
Kondisi perangkat daerah setelah otonomi lebih ramping. Apabila sebelumnya perangkat daerah
Kabupaten Tulungagung terdiri dari Sekretariat Wilayah/Daerah, Sekretariat DPRD dan 22 Dinas, maka
berdasarkan Perda No. 12 Tahun 2003 perangkat Daerah di tingkat Kabupaten Tulungagung terdiri dari
Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 8 Dinas, 3 Badan dan 4 Kantor.
Secara lengkap kelembagaan Kabupaten Tulungagung adalah sebagai
berikut:
a. Sekretariat Daerah
b. Sekretariat DPRD
c. Dinas Perizinan
d. Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Perhubungan
e. Dinas Pertanian dan Kehutanan
f. Dinas Perekonomian
g. Dinas Kesehatan
h. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
i. Dinas Kesejahteraan Masyarakat
j. Dinas Ketentraman dan Ketertiban
k. Bappeda
l. BPKKD
m. Badan Pengawasan Daerah
n. Kantor Pelayanan Terpadu
o. Kantor Kepegawaian Daerah
p. Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan,
q. Kantor Data Elektronik, Arsip dan Perpustakaan.
Penetapan organisasi daerah tersebut dilakukan dengan pertimbangan
utama menggabungkan perangkat daerah yang memiliki spesifikasi
karakteristik pekerjaan sejenis, yang terbentuk pada saat pelaksanaan
percontohan otonomi daerah tahun 1995.
Dalam menata kelembagaan, Kabupaten Tulungagung berupaya menciptakan pekerjaan untuk
menciptakan pekerjaan bagi pegawai-pegawai limpahan dari pusat. Untukitu pembentukan struktur organisasi
diarahkan sampai level bawah dengan membentuk cabang dinas dan UPTD. Hingga akhir tahun 2005 di
Kabupaten Tulungagung telah dibentuk 25 UPTD di Dinas Kesehatan yang terdiri 1 RSUD dan 24 Puskesmas, 1
UPTD Dinas Kesehatan masyarakat yakni BLK, 1 UPTD di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yakni SKB dan 1
UPTD di Dinas Perekonomian yakni UPTD pasar.
i. Keamanan dan Ketertiban
Dalam menciptakan kondisi keamanan dan ketertiban umum yang
stabil dan terkendali Kabupaten Tulungagung senantiasa menitikberatkan
sistem ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kemanunggalan
ABRI dengan rakyat, pembangunan rakyat terlatih (RATIH) dan
perlindungan masyarakat (LINMAS). Untuk itu koordinasi dengan Polres,
Kodim, Sospol dan Mawil Hansip senantiasa dilakukan.
Pada tahun akhir tahun 2005 di Kabupaten Tulungagung tercatat terdapat 40 buah Matrik Hansip
berdasarkan SK Bupati Nomor: 67/Kep.KDH/1993 dengan jumlah anggota jumlah anggota sebanyak 18.897
orang. Dari jumlah tersebut yang memiliki KTA 7.072 orang dan anggota Hansip yang belum ber KTA 13.930
orang.
Untuk memberikan ketrampilan dan wawasan tentang kehansipan tersebut, para anggota Hansip senantiasa
diikutikan: kegiatan Latsar sebanyak 8.404 anggota, Suskalak “B” sebanyak 365 orang, Suskalak “A” sebanyak
133 orang, Suskapin sebanyak 8 orang, latihan SAR sebanyak 158 orang dan pendidikan instruktur sebanyak 2
orang, Targati PPBN tingkat Propinsi 40 orang dan tingkat Kabupaten sebanyak 190 orang.
Kondisi wilayah Kabupaten Tulungagung pada tahun 2005 cukup aman, tertib dan terkendali, walaupun
terdapat gejolak politik dan krisis ekonomi. Peristiwa kejahatan, pelanggaran dan tindak pidana ringan di wilayah
Kabupaten Tulungagung yang terjadi masih dalam skala wajar. Tindak kejahatan yang telah terjadi selama tahun
2005 sebanyak 1.744 kasus dengan jumlah kerugian Rp. 19.625.445.936. Dibandingkan tahun sebelumnya
terdapat peningkatan baik kuantitas maupun nominal kerugiannya.
Untuk mengatasi kabakaran terdapat 1 buah mobil pemadam kebakaran milik Pemda Tulungagung.
Selama tahun anggaran 2005, wilayah Kabupaten Tulungagung yang rawan kejahatan adalah Kecamatan
Kedungwaru dan Kecamatan Kauman.
j. Potensi Industri Hasil Tembakau (Rokok)
Secara umum Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai daerah
penghasil produk-produk hasil tembakau walaupun berskala kecil dan
menengah. Peta persebaran perusahaan-perusahaan rokok adalah:
Tabel 3. Persebaran Perusahaan Rokok
Kabupaten Tulungagung
No
Kecamatan
Desa
Jumlah
Perusahaan
Skala
Contoh
Merek
Rokok
1. Pakel Gesikan 200 Mikro Dua Deli
2. Kedungwaru Rejoagung
Boro
6 Mikro Kemangi,
Araya,
Harum Jaya
3. Karangrejo Karangrejo 1 Mikro Nina
4. Ngantru Ngantru 2 Mikro Fajar
5. Besuki 4 Mikro Jong
6. Boyolangu 16-20 Mikro Berlian
7. Tulungagung Keputihan 2 Menengah Cempaka
8. Sendang 3 Kecil Sari
9. Bandung Bandung 40 Mikro Brown
Sumber: KBC Kabupaten Tulungagung, 2009
Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Tulungagung
Berdasarkan Keputusan Bupati Tulungagung No. 775 tahun 2005 tentang
pelimpahan sebagian kewenangan di bidang perizinan dari Bupati kepada
KPT Kabupaten Tulungagung, untuk sementara izin yang dilimpahkan
meliputi izin penggilingan padi dan penyosohan beras, izin penggunaan
lapangan olahraga milik pemerintah, izin reklame, isin usaha bidang
peternakan, dan izin usaha pemutaran film dan usaha rental media elektronik.
Penggunaan system pelayanan satu pintu jenis izin lainnya yang
pemrosesannya melalui KPT ada 7 (tujuh), yaitu Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), Izin Usaha Industri (IUI), Izin Hak Penempatan Fasilitas Pasar
(IHPFP), Izin Gangguan (HO), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan
Surat Izin Pemakaian Gudang (SIPG).
a. Struktur Organisasi
Struktur organisasi dan tata kerja pada KPT semuanya diatur dalam
Surat Keputusan Bupati Tulungagung nomor 405 tahun 2001 tentang
Pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu. Susunan organisasi KPT terdiri
atas:
1) Koordinator
2) Sekretariat
3) Unit Pelayanan, yang terdiri dari
a) Sub Unit Informasi
b) Sub Unit Operasional
c) Sub Unit Keuangan.
Keterangan:
: Garis Komando
: Garis Koordinator
: Garis Pelaksanaan Teknis
Gambar 3. Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Terpadu
Sumber: Surat Keputusan Bupati Tulungagung No. 405, 2001
1) Koordinator
Koordinator mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan umum
kepada masyarakat yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat atau
lokasi oleh beberapa instansi di lingkungan pemerintah sesuai dengan
kewenangan masing-masing yang meliputi kegiatan:
a) Merencanakan Progaram Kerja KPT
b) Mencermati, mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil kerja
sekretariat dan masing-masing sub unit pada unit pelayanan
berdasarkan laporan yang telah diberikan.
c) Melakukan pemantauan, pengawasan, pengendalian terhadap
sekretariat pada masing-masing sub unit pada unit pelayanan serta
mengadakan koordinasi penyelenggaraan pelayanan.
d) Melaporkan pelaksanaan tugas.
2) Sekretariat
Sekretariat mempunyai tugas:
a) Menginventarisir dan memonitor permohonan pelayanan sesuai
denganjenis-jenis permohonan yang masuk pada KPT.
b) Menyampaikan berkas permohonan kepada instansi.
c) Memberikan laporan secara tertulis kepada koordinator mengenai
jumlah dan jenis permohonan pelayanan yang masuk.
d) Melaksanakan urusan ketatausahaan dan rumah tangga KPT.
Sekretariat dipimpin oleh seorang sekretaris yang berada di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada koordintor.
3) Unit Pelayanan terdiri atas
a) Sub Unit Informasi mempunyai tugas melayani informasi yang
berkaitan dengan pelayanan umum di KPT.
b) Sub Unit Operasi mempunyai tugas melaksanakan pelayanan umum
sesuai dengan kewenangan yang diberikan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam melaksanakan
pelayanan umum sesuai dengan kewenangan yang diberikan secara
teknis dibedakan atas dua jenis pelayanan yaitu:
a) Pelayanan umum yang tidak memerlukan penelitian lapangan,
mempunyai tugas:
Memberikan formulir permohonan.
Meneliti kelengkapan persyaratan administrasi permohonan
pelayanan.
Mengembalikan berkas permohonan bagi pemohon yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Memberikan tanda bukti penerimaan berkas permohonan
pelayanan dan rincian biaya sesuai ketentuan yang berlaku.
Penyampaian dan pencatatan produk pelayanan sesuai dengan
jenis pelayanan yang koordinator.
b) Pelayanan umum yang memerlukan penelitian lapangan, mempunyai
tugas :
Memberikan formulir permohonan
Meneliti kelengkapan persyaratan administrasi
Mengembalikan berkas permohonan bagi pemohon yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Memberikan tanda terima berkas apabila penelitian di lapangan
telah sesuai ketentuan yang berlaku dan menyampaikan rincian
biaya.
Penyampaian dan pencatatan produk pelayanan sesuai dengan
jenis pelayanan yang diberikan.
Membuat laporan pelaksanaan tugas kepada koordinator.
4) Unit Keuangan mempunyai tugas:
a) Menerima pembayaran
b) Melaksanakan pengesahan pembayaran
c) Melaksanakan pembukuan administrasi keuangan.
d) Menyetorkan penerimaan pembayaran ke kas daerah atau kas negara
sesuai penerimaan dan masing-masing instansi.
e) Membuat laporan keuangan harian, bulanan maupun tahunan
perinstansi.
Dari masing-masing sub unit pada unit pelayanan bertanggung jawab
kepada koordinator.
b. Hubungan KPT dengan Perizinan
Bahwa fungsi pelayanan kepada masyarakat adalah merupakan satu
tugas pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan Good Govermence.
Misi yang diemban oleh pemerintah daerah yaitu pengabdi masyarakat,
lahir untuk melayani masyarakat/warganya. Pemerintah daerah menaruh
perhatian besar terhadap upaya-upaya reformasi di bidang perizinan dan
pelayanan umum lainnya, salah satunya adalah sistem pelayanan perizinan
dan pelayanan umum satu atap. Adapun lembaga yang mengelola sistem
ini adalah Kantor Pelayanan Terpadu (KPT).
Sistem pelayanan satu atap pada hakekatnya adalah penyelenggaraan
pelayanan perizinan dan lainnya dalam satu gedung. Sistem ini diyakini
sebagai salah satu timbulnya embrio terjadinya proses transformasi dan
akuntabilitas dalam pemberian pelayanan umum oleh pemerintah daerah
kepada masyarakat.
c. Tugas dan Fungsi
Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) mempunyai tugas membantu Bupati
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pelayanan perizinan
tertentu dan pelayanan lainnya, yaitu:
a) Memperbaiki pelayanan kepada masyarakat sesuai kewenangan dan
peraturan yang berlaku.
b) Mengupayakan terpenuhinya hak dan kewajiban bagi pemberi dan
penerima pelayanan.
c) Mengupayakan pelayanan yang memenuhi sendi-sendi pelayanan
yang meliputi kesederhanaan, kejelasan, efisiensi, ekonomis, adil,
dan keterbukaan serta tepat waktu.
Fungsi KPT adalah perumusan kebijaksanaan teknis di bidang
pelayanan perizinan dan pelayanan lainnya, pemrosesan pelayanan
perizinan dan pelayanan lainnya, pengelolaan urusan ketatausahaan dan
keuangan kantor, penyampaian informasi pelayanan perizinan dan
pelayanan lainnya, pemrosesan pengaduan masyarakat perihal pelayanan
perizinan dan pelayanan lainnya. Pengelolaan data pelayanan perizinan dan
pelayanan lainnya, yaitu:
a) Memberikan pelayanan kepada masyarakat Tulungagung, dan untuk
menyenangkan warganya sebagai pelanggan.
b) Untuk mewujudkan terlaksananya peningkatan kualitas pelayanan
kepada masyarakat sehingga masyarakat merasa terlayani dengan
baik dan selanjutnya merasa ikut handarbeni / memiliki guna
mewujudkan kepentingan masyarakat luas.
d. Pembiayaan
Biaya operasional KPT dibebankan pada APBD dan diikutkan dalam
anggaran Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Tulungagung.
e. Sistem dan Prosedur Pelayanan
Sistem pelayanan di KPT Kabupaten Tulungagung telah menggunakan
sistem komputer dengan costumer service yang berada pada counter yang
tersedia, untuk memberikan kenyamaan bagi pemohon, ruangan dilengkapi
dengan AC, TV, sound system, air minum dan ruang tunggu.
f. Dasar Hukum Pembentukan
Keputusan Bupati Tulungagung Nomor 405 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu (KPT).
Tatacara Perizinan Perusahaan Rokok
Langkah-langkah proses pengajuan pengajuan perusahaan-perusahaan
rokok baru di wilayah Kabupaten Tulungagung, selama ini mengikuti aturan
yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan BC Kabupaten
Kediri, sebagai Kantor Tipe Madya Cukai, yaitu sebagai berikut:
a. Memahami persyaratan pendirian perusahaan rokok, diantaranya:
1) Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-
tempat lain yang bukan bagian perusahaan yang dimintakan izin.
2) Tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal.
3) Berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum.
4) Memiliki luas bangunan pabrik paling sedikit 200 m2.
b. Memahami penggolongan perusahaan rokok, yaitu Golongan I, Golongan
II, dan Golongan III.
c. Memahami jenis rokok yang diproduksi (SKT/SKTF/KLB/SPT/SPM/
SKM/TIS).
d. Membuat konsep Nama Perusahaan Rokok sesuai keinginan.
e. Memahami batasan-batasan Nama Perusahaan Rokok.
f. Memeriksa kesamaan Nama Perusahaan Rokok. Nama Perusahaan Rokok
tidak boleh sama.
g. Menyiapkan KTP yang masih berlaku, gambar lokasi secara mendetail
(batas kanan, kiri, depan, belakang, nama jalan dan keterangan lain), HO
(Izin Gangguan), IMB (Izin Mendirikan Bangunan), dan Tanda Daftar
Industri (TDI)/Izin Usaha Industri (IUI).
h. Setelah dokumen lengkap, memasukkan permohonan pendahuluan ke
Loket Kantor Bea dan Cukai (KBC). Petugas Bea dan Cukai (BC) akan
meneliti kebenaran/kelengkapan permohonan.
i. Apabila telah lengkap dan benar, maka akan dilakukan wawancara dalam
rangka memeriksa kebenaran atas: data pemohon sebagai penanggung
jawab, dan data dalam lampiran permohonan. Dibuatkan Berita Acara
Wawancara.
j. Kemudian diadakan pemeriksaan fisik/pemeriksaan lokasi calon pebrik
rokok baru.
k. Setelah pemeriksaan lokasi dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Lokasi.
l. Mengisi formulir PMCK-6 dengan huruf cetak, 3 rangkap, disertai dengan
3 materai, dengan lampiran BAP Pemeriksaan, KTP, NPWP, SIUP, TDUP,
TDP/TDI, IUI/IUT, HO, IMB, Akte Pendirian Perusahaan, SKCK,
Rekomendasi Depnakertrans, dan Surat Pernyataan.
m. Menuju loket front office dan menyerahkan semua berkas dalam map.
Petugas loket BC akan meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian
formulir.
1) Pengurusan pendaftaran Perusahaan Rokok Baru ke KBC, sebaiknya
dilakukan si pemilik sendiri tanpa diwakilkan atau dikuasakan pada
pihak lain.
2) Perlu ketelitian terutama pada angka-angka yang tertera dalam IMB,
HO, dan dokumen lainnya harus sesuai satu sama lain.
3) Selalu membawa file/softcopy ke dalam disket/flashdisk guna perbaikan
di KBC.
4) Selalu membawa stempel perusahan dan cadangan materai.
5) Selalu meminta penjelasan lengkap atau advis atau saran dari para
petugas BC apabila dokumen dinyatakan kurang lengkap atau salah.
n. Apabila berkas telah diterima lengkap dan benar, petugas BC akan
memperoses pendaftaran Perusahaan Rokok Baru. Kepala KBC, atas nama
Menteri Keuangan, mengabulkan atau menolak permohonan dalam jangka
waktu 30 hari sejak permohonan pendaftaran diterima secara lengkap dan
benar.
1) Apabila disetujui akan dikirim surat keputusan tentang penetapan
NPPBKC atas nama si pendaftar.
2) Apabila ditolak akan dikirim surat pemberitahuan penolakan disertai
alas an penolakan dan saran perbaikan.
3) Standar waktu pelayanan (Key Performance Indicator) untuk
pengurusan NPPBKC/Perusahaan Rokok Baru adalah 3 hari kerja per
NPPBKC.
Setiap perusahaan rokok sebelum memperoduksi rokok dengan merek
baru atau mengubah desain atau tampilan kemasan penjualan eceran atas
merek yang sudah ada penetapan tarif cukainya, perusahaan wajib
mengajukan permohonan secara tertulis penetapan tarif cukai rokok kepada
Kepala KBC. Permohonan tersebut dibuat rangkap 3 (tiga), yang masing-
masing dilampiri dengan:
a. Contoh etiket atau kemasan penjualan eceran rokok.
b. Daftar merek-merek rokok yang dimiliki dan masih berlaku.
c. Surat pernyataan di atas materai yang cukup bahwa merek/desain
kemasan yang dimohonkan tarif cukainya tidak memiliki kesamaan
pada pokoknya atau pada keseluruhan dengan merek/desain kemasan
yang telah dimiliki atau dipergunakan oleh perusahaan rokok lainnya.
d. Surat penrnyataan di atas materai yang cukup bahwa merek/desain
kemasan yang dimohonkan tarif cukainya bersedia diperiksakan kadar
tar dan nikotinnya.
Sebelum menyesuaikan tarif cukai rokok dari merek yang sudah ada
penetapan tarif cukainya, tanpa melakukan perubahan desain atau tampilan
kemasan penjualan eceran atas merek yang bersangkutan, perusahaan rokok
wajib mengajukan permohonan penetapan penyesuaian tarif cukai rokok
kepada Kepala KBC. Permohonan tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) yang
masing-masing dilampiri dengan:
a. Contoh etiket atau kemasan penjualan eceran rokok.
b. Daftar merek-merek rokok yang dimohonkan penyesuaian tarif
cukainya.
Dalam pengajuan penetapan tarif cukai rokok, perusahaan rokok tidak
boleh:
a. Untuk merek baru, dalam hal harga jual ecerannya yang diberitahukan
lebih rendah dari harga jual eceran rokok yang dimiliki dan masih
berlaku dalam satuan batang atau gram untuk jenis-jenis rokok yang
sama, atau
b. Untuk merek yang memiliki kesamaan atau kemiripan nama, logo atau
desain dengan merek yang dimilikinya dan masih berlaku, dalam hal
harga jual ecerannya lebih rndah dari harga jual eceran rokok yang
dimilikinya dan masih berlaku dalam satuan batang atau gram untuk
jenis rokok yang sama.
c. Untuk merek yang terkait dengan tindak pidana di bidang cukai, dalam
jangka waktu 2 tahunn sejak keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hokum tetap.
Kepala KBC melakukan penelitian untuk mengabulkan atau menolak
permohonan dari perusahaan pabrik rokok dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. Dalam hal
berdasarkan penelitian oleh Kepala KBC permohonan disetujui atau
dikabulkan maka akan diterbitkan Keputusan Penetapan Tarif Cukai Rokok,
dan dalam hal permohonan ditolak akan diterbitkan surat penolakan dengan
disertai alas an penolakan. Khusus untuk Kantor Pengawasan dan Pelayanan
Bea dan Cukai Tipe Madya Cukai Kediri, Kepala KBC dapat mengabulkan
atau menolak permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) jam sejak permohonan
diterima secara lengkap dan benar.
Dalam hal merek/desain kemasan rokok milik perusahaan rokok tidak
dipergunakan lagi oleh yang bersangkutan, maka merek/desain kemasan
rokok tersebut atas persetujuan yang bersangkutan dapat dipergunakan oleh
perusahaan rokok lainnya, dengan catatan bahwa merek/desain kemasan
rokok tersebut oleh perusahaan rokok sebelumnya tidak dipesankan pita
cukainya selama 6 (enam) bulan secara berturut-turut dan dibuktikan dengan
lampiran fotokopi dokumen pemesanan pita cukai terakhir pemilik merek
sebelumnya.
Dalam hal perusahaan rokok mempergunakan merek/desain kemasan
rokok tersebut di atas wajib mengajukan permohonan pengajuan penetapan
tarif cukai dengan dilampiri bukti berupa:
a. Fotokopi surat lisensi dari pemilik merek atau surat perjanjian
persetujuan penggunaan merek/desain kemasan yang telah disahkan
oleh notaries, dan/atau
b. Fotokopi surat penunjukan keagenan, distributor, atau importer tunggal
dari pemegang merek rokok yang akan diimpor, yang disahkan oleh
perusahaan rokok.
Perusahaan rokok wajib mengajukan permohonan penetapan penyesuaian
tarif cukai rokok dalam hal harga transaksi pasar:
a. Telah melampaui batasan harga jual eceran per batang atau gram di
atasnya, atau
b. Berada pada posisi batasan harga jual eceran per batang atau gram
tertinggi pada msing-masing jenis rokok telah melampaui 5% dari
harga jual eceran yang berlaku atau harga yang tercantum dalam pita
cukai.
Kendala dalam Proses Perizinan Perusahaan Rokok
Kalau ditelusuri lebih jauh tatacara perizinan pendirian perusahaan rokok
yang dikeluarkan oleh KBC dan berlaku sekarang ini, ditinjau dari aspek yuridis
sudah memadai dan patut dilaksanakan seoptimal mungkin. Perusahan-
perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung wajib memiliki izin pendirian
tersebut, apabila tidak memiliki izin maka maka pendirian perusahaan itu akan
menjadi illegal dan peredaran rokok hasil produksinya dapat dikenai sanksi.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan izin pendirian
perusahaan rokok selama ini masih mengalami hambatan-hambatan antara lain:
1. Dilihat dari segi masyarakat / pemohon :
a) Pemohon tidak memberikan data yang lengkap, tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena belum tahunya masyarakat
akan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan lampiran lampiran yang harus
dipenuhi dalam mengajukan izin.
b) Adanya penyimpangan izin yang dilakukan oleh pemohon izin tidak
digunakan sesuai dengan izin yang ada alias menyimpang, contohnya
pemilik melakukan kegiatan/pekerjaan menambah bentuk bangunan pabrik,
volume produksi, membuat merek rokok yang lain, dan sebagainya.
c) Tidak adanya pemohon izin pada saat dilaksanakan peninjauan ke lapangan
juga merupakan hambatan karena hal ini akan menyebabkan sulitnya para
petugas dalam mengumpulkan data ataupun meneliti kebenaran dari data
yang diberikan oleh pemohon. Keadaan ini disebabkan karena pemohon
kurang mengerti dan kurang memahami arti penting dan syarat-syarat
ataupun lampiran yang diberikan dalam menentukan keluar atau terbitnya
izin. Bahkan karena alasan kesibukan atau tidak paham, ada di antara
pemohon yang enggan untuk melayani petugas yang sangat membutuhkan
data maupun keterangan-keterangan tentang tanah dan bangunan pabrik.
Selain itu juga diakibatkan karena pemohon tersebut bukan pemegang hak
milik atas tanah dan bangunan pabrik tetapi hanya sebagai penyewa yang
tidak tahu/tidak menyimpan surat-surat tanda bukti pemilikan tanah-
tanah/bangunan pabrik. Sehingga untuk mendapatkan data/keterangan-
keterangan harus menghubungi si pemilik atau pemegang hak atas tanah
dan bangunan pabrik tersebut.
d) Pemegang izin kurang menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan,
keselamatan kerja, ketertiban dan keamanan lingkungan, hal ini
menyebabkan keresahan masyarakat.
e) Masyarakat pemilik perusahaan rokok enggan mengurus izin karena
ketidaktahuan serta kurang pemahaman masyarakat akan ketentuan izin
mendirikan perusahaan rokok.
f) Kesadaran masyarakat masih kurang itu terbukti dengan adanya surat
teguran terlebih dahulu baru mengajukan izin.
g) Masyarakat belum tahu tentang fungsi izin perusahaan rokok yang
sebenarnya.
h) Masyarakat masih menganggap biaya perizinan perusahaan rokok itu
mahal, padahal itu tergantung letak bangunan pabrik dan besarnya volume
produksi rokok.
2. Dilihat dari segi aparatnya (Petugas BC)
a) Sarana dan prasarananya masih kurang. Hal ini terbukti apabila aparat
(pegawai KBC) akan mengadakan pengawasan dan peninjauan lokasi harus
memakai sepeda motornya sendiri.
b) Penugasan di luar kantor tidak rutin. Sehingga itu sangat mempengaruhi
dalam pengawasan/pelaksanaan dari perusahaan-perusahaan rokok ilegal.
c) Keterbatasan petugas di lapangan yang harus mengawasi seluruh
Kabupaten Tulungagung.
d) Dalam melakukan sosialisasi/penyuluhan-penyuluhan tentang izin
perusahaan rokok, tidak rutin waktunya dan hanya dilakukan di tempat-
tempat tertentu saja.
Solusi Penyederhanaan Proses Perizinan Perusahaan Rokok
Dalam Rangka Potensi Peningkatan Penerimaan Negara
Dalam kegiatan pendirian perusahaan rokok, masih banyak permasalahan-
permasalahan yang terjadi. Untuk mengatasi dan mengantisipasi hal tersebut di
perlukan solusi-solusi yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang ada, karena apabila tidak ada usaha untuk meyelesaikannya
maka akan semakin banyak masalah-masalah yang timbul akibat tidak
terselesaikannya masalah saat ini dan akan mengakibatkan terjadi hal-hal yang
tidak dinginkan, misalnya ketentuan pelekatan pita cukai rokok yang telah
digariskan tidak dapat dilaksanakan.
Surat izin usaha perusahaan rokok atau fotokopinya yang telah dilegalisasi
diwajibkan senantiasa berada di tempat pekerjaan dan dapat diperlihatkan apabila
sewaktu-waktu diminta oleh pengawas KBC untuk keperluan legalitas. KBC
berwenang untuk memerintahkan penghentian dan pengembalian tindakan pada
suatu perusahaan rokok apabila:
a. Pelaksanaan pendirian perusahaan rokok belum memiliki izin usaha.
b. Pelaksanaan pendirian bangunan pabrik rokok menyimpang dari yang
telah di erikan atau syarat-syarat yang telah ditetapkan.
c. Pelaksanaan pendirian perusahaan rokok dilakukan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan tindakan dapat berupa perintah tertulis kepada pemilik atau
yang melaksanakan pembangunan pabrik rokok untuk mennyita atau
melaksanakan tindakan lain yang secara teknis dapat dilaksanakan.
Perintah tertulis dapat dilaksanakan selama 3 kali berturut-turut yang
masing-masing bertenggang waktu selama 12 hari kerja. Apabila terjadi
perubahan alamat pemilik perusahaan rokok, maka pemilik harus
memberitahukan secara tertulis kepada KBC. KBC nantinya akan mendatangi
lokasi yang dimohonkan perusahaan rokok terkait untuk mengadakan
pemeriksaan. Pemohon izin dan pelaksana pekerjaan pabrik rokok diwajibkan
untuk memperkenankan dilaksanakan pemeriksaan.
a) Apabila dalam tempo enam bulan sejak dikeluarkannya izin usaha
pekerjaan membangun pabrik rokok belum dimulai, maka izin usaha
tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
b) Izin usaha dapat dicabut apabila ternyata dalam melaksanakan
pekerjaan bangunan pabrik rokok dan/atau peredaran hasil produksi
menyimpang dari ketentuan atau menyatu syarat-syarat teknis yang
ditentukan.
c) Setiap bangun pabrik rokok yang didirikan atau dirubah, diperbaiki,
dibongkar tidak sesuai dengan izin usaha, KBC dapat memerintahkan
kepada pemiliknya untuk menyita bangunan-bangunan tersebut
sebagian atau seluruhnya atas beban resiko pemilik.
d) Diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pemerintah Kabupaten Tulungagung mengeluarkan kebijaksanaan dalam hal
penataan dan pengendalian perusahaan rokok, yaitu dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 4 Tahun 2002 Tentang Izin
Mendirikan Perusahaan Rokok. Akan tetapi, semua peraturan tersebut tidak akan
dapat berfungsi bila penerapan aturan-aturan tidak ditaati dan disertai dengan
penegakan hukumnya, yang dalam kenyataannya masyarakat hanya menganggap
penegakan hukum hanyalah melalui proses di pengadilan semata. Penegakan
hukum dapat dilakukan melalui berbagai cara atau jujur dengan berbagai
sanksinya, misalnya sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana yang
pelaksanaannya dapat melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
Penegakan hukum berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan
warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Penegakan hukum merupakan
upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam
ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan
dan penerapan (atau ancaman) sarana admirnstrasi, kepidanaan dan keperdataan.
Untuk itu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Tulungagung
khususnya aparat KBC dalam mengatasi hambatan dalam pelaksanaan perizinan
perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung dapat dilakukan dengan cara
diantaranya:
1. Perlu diadakan penyuluhan tentang perizinan pendirian perusahaan rokok
kepada masyarakat sampai ketingkat bawah agar pengetahuan masyarakat
tentang tatacara perizinan tersebut lebih meningkat. Mengenai bentuk
penyuluhannya dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung dapat diwujudkan dengan sarasehan atau diskusi di tingkat
desa, penyuluhan tidak langsung dapat dilakukan melalui media cetak dan
elektronika. Selain itu juga aparat KBC harus selalu mengadakan sosialisasi
perizinan kepada masyarakat setiap ada efek yang berhubungan dengan
masyarakat.
2. Aparat KBC harus sering mengadakan pemantauan dan pengawasan di jalan
jalan yang strategis dan pemantauan ke desa-desa dengan bekerja sama
dengan aparat pemerintah kecamatan dan aparat pemerintah desa, sehingga
pendirian bangunan pabrik rokok yang tidak berizin dapat diminimalisir atau
dicegah.
3. Pihak KBC juga harus mengadakan pemantauan di lapangan tempat akan
didirikannya bangunan pabrik rokok, hal ini dilakukannya untuk mencegah
adanya pemalsuan data yang dilakukan pemohon pendirian perusahaan rokok.
4. Diadakan penambahan personil bagi aparat KBC agar dalam melakukan
pengawasan tidak terjadi kekurangan personil, selain itu juga perlu adanya
penambahan jam untuk ketugasan di luar kantor untuk melakukan
pengawasan.
5. Untuk mengatasi kesulitan mengenai pemegang izin kurang memahami,
menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, keselamatan kerja, ketertiban
dan keamanan lingkungan. Hal ini perlu ditegaskan kewajiban yang berkenaan
dan berhubungan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup
yang harus dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan meningkatkan
partisipasi pengusaha dalam pembangunan pabrik rokok.
6. Diadakan penyebaran panflet-panflet tentang perizinan perusahaan rokok dan
dapat pula diadakan pemasangan spanduk-spanduk tentang perizinan
perusahaan rokok yang diletakkan di jalan-jalan yang strategis.
7. Diadakan penambahan sarana dan prasarana pendukung agar aparat KBC
dapat melaksanakan tugasnya lebih baik untuk kedepannya, baik untuk tugas
pengawasan atau tugas sehari-hari di dalam kantor.
8. Menerapkan sanksi secara penuh tanpa adanya pengecualian, baik itu sanksi
berupa pengenaan denda dan pembongkaran bangunan pabrik rokok, sehingga
apabila sanksi ini benar-benar diterapkan masyarakat akan menjadi patuh dan
akan tercipta ketertiban dalam pelaksanaan izin perusahaan rokok.
9. Setiap rencana usaha atau kegiatan yang memungkinkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisa mengenai dampak
lingkungan hidup, dengan demikian dapat diketahui bahwa analisa mengenai
dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus di penuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha atau kegiatan.
10. Terhadap bangunan pabrik rokok yang telah berdiri tetapi belum mempunyai
izin, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pemutihan. Permohonan
pemutihan sama dengan pengajuan izin pendirian, tetapi pemohon di wajibkan
untuk memenuhi, persyaratan dan ketentuan yang telah diterapkan.
11. Dipandang perlu membangun koperasi pita cukai yang menjual atau
meritelkan pita-pita cukai yang dikeluarkan KBC pada perusahaan-perusahaan
rokok (skala mikro) yang ada di Kabupaten Tulungagung, sebagaimana halnya
masyarakat membeli perangko untuk berkirim surat atau membeli materai
untuk membuat perjanjian atau transaksi. Dalam hal ini angka harga-harga
yang tercantum pada pita cukai disesuaikan dengan kemampuan perusahaan-
perusahaan skala mikro tersebut. Pita cukai ini lebih murah dibandingkan
dengan pita-pita cukai yang diterapkan pada perusahan-perusahaan besar
seperti Gudang Garam, Djarum Kudus, Bentoel, Sampoerna, dan sebagainya,
walaupun ukuran kemasan rokok yang diedarkan berukuran sama dengan
kemasan rokok pada umumnya, sedemikian sehingga penerimaan daerah
Kabupaten Tulungagung dan penerimaan negara Indonesia menjadi
meningkat.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penyederhanaan
Proses Perizinan Perusahaan Rokok Skala Mikro di Kabupaten Tulungagung
dalam rangka Peningkatan Penerimaan Negara, maka penulis dapat
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tatacara perizinan perusahaan rokok dimulai dari pengajuan/ permohonan
izin usaha oleh masyarakat pelaku usaha rokok kepada Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea dan Cukai (KBC) dengan melengkapi persyaratan-
persyaratan yang diminta serta memberikan data lengkap bangunan pabrik
rokok yang didirikan. Setelah dokumen lengkap, memasukkan permohonan
pendahuluan ke Loket KBC. Petugas KBC akan meneliti
kebenaran/kelengkapan permohonan. Kemudian diadakan pemeriksaan
fisik/pemeriksaan lokasi calon pabrik rokok baru. Kepala KBC, atas nama
Menteri Keuangan, mengabulkan atau menolak permohonan dalam jangka
waktu 30 hari sejak permohonan pendaftaran diterima secara lengkap dan
benar. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan izin usaha maka KBC akan
memberikan sanksi tegas.
2. Kendala yang dihadapi pelaku usaha dalam proses perizinan perusahaan
rokok di Kabupaten Tulungagung diantaranya adalah: di dalam mendirikan
bangunan pabrik rokok, masyarakat/pemohon kurang menjaga kesehatan dan
kebersihan lingkungan sekitar selain itu juga bahwa masyarakat/pemohon
sering tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan
sering terjadi pula manipulasi data. Dalam hal pengawasan bangunan pabrik
rokok dan peredaran hasil produksinya masih terdapat kendala pula, yaitu
kurangnya personil dan aparat KBC untuk mengawasinya. Disamping itu pula
sarana dan prasarana pendukung masih kurang. Untuk mengatasi hambatan
tentang pelaksanaan izin usaha perusahaan rokok di Kabupaten Tulungagung,
aparat KBC perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi mengenai
perizinan baik dilaksanakan secara langsung ataupun lewat media elektronik
sehingga masyarakat dapat lebih mengetahui tentang proses perizinan
pendirian perusahaan rokok. Disamping itu juga harus diadakan peningkatan
sarana dan prasarana pendukung serta perlu juga penambahan personil KBC
dalam melaksanakan tugasnya agar lebih baik dimasa mendatang.
3. Potensi peningkatan penerimaan negara atas penyederhanaan proses perizinan
sangat besar. Dipandang perlu membangun suatu wadah perhimpunan
(paguyuban) berbentuk koperasi atau yayasan perusahaan-perusahaan rokok
yang menjual atau meritelkan pita-pita cukai yang dikeluarkan KBC pada
perusahaan-perusahaan rokok (skala mikro) yang ada di Kabupaten
Tulungagung, sebagaimana halnya masyarakat membeli perangko untuk
berkirim surat atau membeli materai untuk membuat perjanjian atau transaksi.
Dalam hal ini angka harga-harga yang tercantum pada pita cukai disesuaikan
dengn kemampuan perusahaan-perusahaan skala mikro tersebut. Pita cukai ini
lebih murah dibandingkan dengan pita-pita cukai yang diterapkan pada
perusahan-perusahaan besar seperti Gudang Garam, Jarum Kudus, Bentoel,
Sampoerna, dan sebagainya, walaupun ukuran (size) kemasan rokok yang
diedarkan berukuran sama dengan kemasan rokok pada umumnya,
sedemikian sehingga penerimaan daerah Kabupaten Tulungagung dan
penerimaan negara Indonesia menjadi meningkat.
B. Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas, penulis akan memberikan
saran terkait dengan penelitian hukum ini. Saran-saran tersebut antara lain:
1. Untuk kelancaran perizinan perusahaan rokok maka masyarakat/pemohon
harus bersedia memberikan data yang lengkap serta harus menjaga /
kebersihan dan kesehatan lingkungan sehingga dalam pendirian bangunan
pabrik rokok tidak mengganggu lingkungan sekitar.
2. Untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat dalam hal perizinan
perusahaan rokok yang dapat dilakukan oleh aparat pemerintah khususnya
KBC adalah dengan mengadakan sosialisasi serta penyuluhan-penyuluhan
pada masyarakat tentang pentingnya izin usaha rokok dan pelekatan pita cukai
pada kemasan, dimana hal itu dapat dilakukan secara langsung atau lewat
media elektronik atau media cetak.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung harus mengadakan penambahan
personil KBC untuk melakukan pengawasan pendirian bangunan pabrik rokok
dan peredaran rokok hasil produksinya, dan juga harus meningkatkan sarana
dan prasarana demi kelancaran tugas. Sanksi yang ada harus benar-benar
diterapkan secara penuh agar masyarakat menjadi jera apabila melanggar
ketentuan perizinan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Atep Adya Bareta dan Zul Afdi Ardian, 1989, Perpajakan, Jilid I, CV. Amrico,
Bandung.
Atep Adya Bareta dan Zul Afdi Ardian, 2003, Meminimalisasi Dan Menghindari
Sengketa Pajak Dan Bea Cukai, PT. Elek Media Komputindo, Jakarta.Burhan
Ashshofa. 1996, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Biro Pusat Statistik. (2005). Upah Buruh Menurut Pekerjaan. Jakarta: BPS.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 1996, Hukum Perusahaan Indonesia (aspek
hukum ekonomi) Bagian 1. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
__________________________________. 1996, Hukum Perusahaan Indonesia
(aspek hukum ekonomi) Bagian 3. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Dawam Raharjo. (1984). Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan
Kerja. Jakarta: UI.
Dhian Widyasari. (2007). Ambiguitas Perizinan Pedagang di Jalan Sriwedari Kota
Solo. Yogyakarta: Perpus Pusat UGM
Didik J. Rachbini, 2001, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Hasan Alwi, dkk. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian/Tri-2.pdf. (20 Juli 2009 jam 22.00
WIB)
http://www.jatimprov.go.id (20 Juli 2009 jam 22.00 WIB)
Lexyy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdikarya.
Michael P. Devereux, 1996, The Economics of Tax Policy, Bantam Press, London.
Mubyarto. (1983). Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinar
Harapan
________. (1985). Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yogyakarta: BPFE.
Muhamad.Taufik, dkk (2007). Perizinan Pemanfaatan Kawasan Wisata Kabupaten
Magelang. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.
Muhammad Djafar Saidi dan Rohana Huseng. 2008. Hukum Penerimaan Negara
Bukan Pajak. Jakarta: Rajawali Pers
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: kencana Prenada Media
Group.
Puput Tri Komalasari. 2005. Degree of Tax Payer Compliance and Tax Tariff the
Testing on the Impact of Income Types. Universitas Airlangga.
Ridwan H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung.
______________, 1994, Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan,, PT.
Eresco, Bandung.
Safri Nurmantu, 2003, Pengantar Perpajakan, Penerbit Granit, Jakarta.
Santoso Brotodihardjo, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung.
Soediyono. (1990). Teori Ekonomi Makro Pengantar Analisis Pendapatan Nasional.
Yogyakarta: Liberty.
Soerjono Soekanto. 1990. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto dan Sri Mammudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali
Pers, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo dan A. Plito. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum.
Yogjakarta.: PT. Citra Aditya Bakti.
Surbakti. 1992. Pembinaan Usaha Kecil. Surabaya: Persero Pupuk
Surabaya.Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Sutopo H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Tubagus Chairul Amachi Zandjani, 1992, Perpajakan, PAU EK-UI Dan PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Perindustrian.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang- undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 134/PMK.04/2007 tentang perubahan ketiga
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 43/PMK.04/2005 tentang
Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara
Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang
Kene Cukai Untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau.
Yulia Adyana. (2008). Perizinan Obyek Wisata Kabupaten Magelang. Yogyakarta:
AMPTA