Penyebab kegagalan birokrasi di indonesia
-
Upload
mendeko-jo -
Category
Government & Nonprofit
-
view
224 -
download
11
Transcript of Penyebab kegagalan birokrasi di indonesia
KORUPSI ADALAH PENYEBAB KEGAGALAN
BIROKRASI DI INDONESIA
Kegagalan birokrasi di Indonesia sangat mempengaruhi laju kemajuan
negara Indonesia kita ini. sudah banyak fakta yang terjadi di Negara-negara yang
mengalami kemerosotan di berbagai macam bidang yang disebabkan oleh
kesalahan manajement Birokrasi negara itu, ini bisa menjadi sebuah contoh bagi
negara Indonesia, akan tetapi Indonesia tidak pernah belajar dari kejadian itu
sendiri. Indonesia lebih mau belajar dari apa yang akan di alaminya, sedangkan
sudah banyak petunjuk dari negara lain yang hancur karena birokrasi yang salah.
Salah satu sebab kegagalan birokrasi di Indonesia adalah merajalelanya
korupsi di dalam tubuh Birokrasi. Sehingga penulis mengangkat masalah korupsi
sebagai penyebab kegagalan birokrasi di Indonesia. Hal ini tidak bisa dipungkiri
lagi untuk tidak melakukan korupsi, karena proses hukum bagi mereka-mereka
yang melakukan korupsi sangatlah tidak sepadan dan tidak sama sekali
mempunyai kepastian hukum. mereka bisa mengotak-atik hukum itu sendiri untuk
kepentingan masing-masing. sehingga bagi yang belum melakukan korupsipun
juga ikut-ikutan untuk melakukan korupsi, karena proses hukumnya nanti sangat
gampang. inilah suatu kelemahan Negara Indonesia dalam menerapkan hukum itu
sendiri.
Korupsi merupakan satu persoalan bangsa yang hingga kini tetap menjadi
prioritas utama untuk memberantasnya. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. Namun upaya dari semua itu tetap belum
menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan boleh dibilang korupsi terus saja
mengganas. Sampai-sampai timbul rasa pesimis bahwa pemberantasan korupsi
merupakan sesuatu yang mustahil. Ungkapan-ungkapan seperti bahwa korupsi di
negara ini tak ubahnya virus yang terus berkembang serta menjalar tanpa bisa lagi
terdeteksi, kondisi korupsi saat ini sudah memasuki “keadaan tidak
berpengharapan”, atau negara dalam keadaan “darurat korupsi” adalah cermin dari
rasa pesimisme itu.
Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin
sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang
dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi
terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan
menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi.
Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai, kebijakan berupa peraturan
perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai
dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan
eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki
Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa
inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan
pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara,
agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai
sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP)
A. Pengertian korupsi
Sebelum di bahas lebih lanjut ada baiknya kita ketahui pengertian dari kata
korupsi itu sendiri. Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau
Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian
(Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan,
ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi
adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa
Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt,
Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa
Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah
penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi
dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut
Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai
kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan
unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian
suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk
kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk
kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan
orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah
memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara.
Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan
pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri
sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara
baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek
normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana
norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas
menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
Jikalau orang mendengar istilah korupsi biasanya yang tergambar ialah
adanya seorang pejabat tinggi yang rakus menggelapkan uang, mengumpulkan
komisi atau menggunakan uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Di
Indonesia tindak pidana korupsi kian merajalela, dan karena itu pula rakyat
menuntut pemerintah agar bersikap terbuka dan berupaya memberantas korupsi.
Dengan kata lain perlu adanya serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam
khazanah perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-
penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit
tersebut sudah mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di
musim hujan, maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa
merongrong kelancaran tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya
membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi
terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi
telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta
pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski
sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat
dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang
mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor,
bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang
tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman
yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga
merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit
penyakit birokrasi.
B. Jenis-jenis korupsi
Berikut ada beberapa jenis korupsi menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa
dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu
bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara;
Contoh yang dapat diambil dari korupsi jenis ini adalah kerugian Negara
dari penghasilan pajak Negara. Pajak Negara yang didapat dari masyarakat
yang sangat besar jumlahnya tidak di setor ke rekening negara melainkan
di setor atau masuk ke kantong petugas pajak. Kerugian Negara dari hasil
pajak sangatlah besar sehingga membuat utang Negara semakin meningkat
dan semakin kecilnya subsidi untuk masyarakat.
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin);
Untuk korupsi jenis ini banyak terjadi di Indonesia karena berkaitan
dengan hubungan kekuasaan yang melibatkan Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif. Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia adalah proyek-proyek
besar yang direncanakan oleh pemerintah dalam hal ini eksekutif dalam
pembahasan di legislatif akan terjadi lobi-lobi politik, artinya proyek itu
dapat dilaksanaan apabila pihak legislatif yang duduk dalam komisi
tersebut meminta sejumlah uang agar dapat disetujui dan ditambah lagi
dengan pihak ketiga yang berkeinginan untuk mengerjakan proyek tersebut
memberikan sesuatu baik berupa sejumlah uang maupun barang kepada
anggota legislatif yang mempunyai posisi penting dalam komisi dan bisa
mempengaruhi anggota-anggota yang lain untuk memberikan proyek
tersebut kepada pihak ketiga tersebut. Dan apabila dikemudian hari terjadi
persoalan dan masuk kepada proses hokum, disinilah iman dan nyali
yudikatif diuji. Maksudnya agar hukuman kepada terdakwa ringan ataupun
sedapat mungkin diputuskan bebas maka pihak pihak yudikatif-pun akan
meminta bagiannya yang besar kemungkinan didapat dari hasil korupsi itu.
3. Penggelapan dalam jabatan;
Korupsi jenis ini hampir sama kejadiannya dengan korupsi jenis suap-
menyuap, namun melekat pada jabatan yang diemban oleh pelaku korupsi
atau koruptor tersebut. Contoh yang terjadi seperti kasus hambalang,
Menteri Pemuda dan Olahraga menggunakan jabatanya untuk
memperoleh sesuatu baik uang maupun barang yang mengakibatkan
beliaupun terlibat dalam kasus korupsi hambalang. Atau contoh lain adalah
yang terjadi di Kementerian Agama, Menteri Agama menggunakan
jabatannya untuk menggunakan keuangan negara membiayai sejumlah
kerabat dekatnya untuk menunaikan ibadah haji.
4. Pemerasan;
Korupsi jenis ini dilakukan karena terobsesi dari jabatan dengan memaksa
dan ancaman-ancaman kepada pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan
sesuatu baik berupa uang maupun barang.
5. Perbuatan curang;
Korupsi jenis seperti ini banyak terjadi di Indonesia, perbuatan curang ini
dilakukan dengan memanipulasi dokumen keuangan. Jenis ini marak
terjadi baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Contoh yang terjadi seperti pejabat diberikan tugas untuk melakukan
perjalanan dinas namun yang bersangkutan tidak melakukan tugas dinas
itu dan membuat SPPD fiktif.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
Korupsi ini biasanya terjadi pada saat proses pengadaan barang dan jasa.
Disini masing-masing unsur dalam kepanitiaan mempunyai kepentingan
untuk meloloskan pihak tertentu karena telah dijanjikan sesuatu oleh pihak
tersebut.
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah);
Jenis korupsi ini terjadi karena adanya perjanjian antara dua belah pihak
apabila maksud yang disepakati telah terpenuhi.
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada
tujuh jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik
antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah
pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan
uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,
kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.
3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya,
urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan
pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu,
selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang
dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-
Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam
pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan
itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya
satu orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi
yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis
ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-
ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan
menyalahgunakan wewenang.
C. Sebab-akibat korupsi
Salah satu penyebab yang paling utama dan sangat mendasar terjadinya
Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut masalah keimanan,
kejujuran, moral,dan etika sang Birokrat itu sendiri.
Orang melakukan korupsi karena ada sebab dan adapula akibat dari apa
yang dilakukannya itu. Di Indonesia, selain mekarnya kegiatan pemerintah yang
dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang
menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat
di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah birokrasi patrimonial. Adapun
kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini antara lain tidak mengenal
perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “resmi”. Hal ini menyebabkan
timbulnya ketidakmampuan membedakan antara kewajiban perorangan dan
kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan
sumber milik pemerintah.
Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari adanya
konflik loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan-pandangan feodal yang
masih mewarnai pola perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek
konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya
sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas terhadap keluarga, golongan,
partai atau pemerintah.
Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di tingkat teknis
operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh tipu-muslihat dalam
setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti secara cermat, banyak
dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti : munculnya pola-pola
kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan harus
ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sektor pembangunan
menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak
lagi melihat pembagian sumberdaya masyarakat secara adil.
Hal ini sejalan dengan pendapat Myrdal (1977 : 166-170), bahwa :
1. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang
menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan kurang
tumbuhnya pasaran nasional.
2. Permasalahan masyarakat majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan
bersamaan dengan itu kesatuan negara juga melemah. Juga karena
turunnya martabat pemerintah, tendensi-tendensi itu turut membahayakan
stabilitas politik.
3. Karena adanya kesenjangan diantara para pejabat untuk memancing suap
dengan menyalahgunakan kekuasaannya, maka disiplin sosial menjadi
kendur, dan efisiensi merosot.
Tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal
d i an t a r anya :
1. Kurang ke t e l adanan dan kepemimpinan e l i t e bangsa ,
2. Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
3. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan
perundang-undangan,
4. Rendahnya integritas dan profesionalisme,
5. Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan,
keuangan,dan birokrasi belum mapan,
6. Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat dan
7. Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu,moral dan etika.
Dari ulasan seputar korupsi di atas, menurut hemat saya, yang disebut terakhirlah
yang paling mendasar karena terkait dengan karakter manusia, yakni keimanan,
kejujuran, moral, dan etika dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Karena setinggi apa pun
gelar akademik seorang birokrat, jika ia tidak memiliki keimanan, kejujuran, moral
dan etika, ia akan m e n j a d i k o m p o n e n p e r u s a k birokrasi. Semakin tinggi
kekuasaannya, maka semakin destruktif pula perannya, sehingga birokrasi
menjadi disfungsional. Keberadaan birokrasi itu sendiri sebenarnya bertujuan
mulia, yaitu sebagai prosedur (baku) demi tercapainya suatu tujuan secara
efektif. Namun, tatkala diawaki oleh orang-orang yang tidak professional,
birokrasi justru bercitra buruk, yakni sebuah proses yang laku, ketidakefisienan
sogok-menyogok dan suap-menyuap semakin marak. Sehingga dengan carut-marutnya
birokrasi di negeri ini, maka tumbuh-suburlah korupsi, kolusi dan nepotisme. Max Weber
menyebutkan dua cara untuk mengontrol birokrasi agar berfungsi dengan baik,
yaitu rasionalisasi dan formalisasi. Karena birokrasi itu organisasi yangterdiri atas
sejumlah individu, sehingga kualitasnya pun tergantung pada kualitas individu.
Dengan demikian, akibat-akibat korupsi itu tidak hanya bisa ditelaah secara
teoritis tetapi memang banyak dialami oleh masyarakat yang melemah oleh
korupsi. Dan korupsi itu sendiri bisa menghancurkan keberanian orang untuk
berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Bahkan kerusakan oleh
korupsi yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan, mental dan
akhlak dapat membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal.
Sehingga terjadilah ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar.
D. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti
Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di
lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia
dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-
setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan
birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa
membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau
pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi
pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari
contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang
mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat,
dan negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam
menjalankan amanah yang diemban.
E. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah
dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
2. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi.
Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat
kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
3. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-
komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara
programatis dan sistematis.
4. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur
politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-
lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
5. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga
tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para
penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
6. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus
memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-
penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada
disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-
khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan
hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang
individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan
harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan,
diselewengkan atau dikorup.
Dari uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang
ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang
dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan
birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai perangkat
pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti
halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di
Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk
membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak
kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan
terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah
sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan
korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menjadi “jalan tak ada
ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya
untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial,
dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
Politik Indonesia dibangun dengan mengatasnamakan demokrasi. Namun
pada kenyataanya, tidak ada seleksi demokrasi di Indonesia, sehingga politikus
yang berperan di masa orde baru kembali mengambil peran di masa reformasi.
Mereka mengalaskan pemikiran perubahan padahal kekuatan orde baru
sudah kental pada dirinya. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya tokoh partai
politik Orde baru pindah partai politik atau membentuk partai politik baru dan
menyebutkan tidak terlibat Orde baru. Kenyataanya, sistem Orde baru masih
berlangsung dan tidak memberikan perubahan.
Daftar Pustaka
Analog, PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA di susun oleh : Ervan
Prasetyo, diakses tgl. 23 maret 2013, pkl. 10.33,
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan dan Keadilan. Fokus : Bandung.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers : Jakarta
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
Myrdal, Gunnar. 1997. Asian Drama an Irquiry Into the Poverty of Nations,
Penguin Book Australia Ltd.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
http://mgtabersaudara.blogspot.com/2010/03/pemberantasan-korupsi-di-
indonesia.htmlnh,hhhhhhan perundang-undangannya