PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

41
PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) KAJIAN SOSIO TEOLOGIS Oleh Esterlita Br Meliala 712015065 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana. Program Studi Ilmu Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Transcript of PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

Page 1: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA

DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP)

KAJIAN SOSIO TEOLOGIS

Oleh

Esterlita Br Meliala

712015065

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi guna

memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana.

Program Studi Ilmu Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2019

Page 2: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

i

Page 3: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

ii

Page 4: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

iii

Page 5: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

iv

Page 6: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

v

KATA PENGANTAR

Dalam penulisan tugas akhir ini, pastinya ada suka dan duka yang dialami oleh

penulis. Namun penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yesus

Kristus yang telah memberikan berkat dan curahan kasih sayangNya serta

penyertaanNya penulisan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Tujuan dari

penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk memenuhi sebagian dari persyaratan

untuk mencapai gerlah Sarja Sains Teologi (S.Si-Teol). Selain itu, adapun

dukungan yang diberikan kepada penulis dari orang-orang yang telah banyak

mendukung serta memberikan semangat dalam penulisan Tugas Akhir ini. Oleh

karena itu ijinkan penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Terimakasih untuk Tuhan Yesus yang memberikan pertolongan sehingga

penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

2. Pdt. Dr. Tony Tampake, M.Si. selaku dosen pembimbing tunggal yang

telah membantu dan dengan sabar membimbing sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tugas Akhir.

3. Keluarga di tanah Karo, terkhususnya buat bapak (Jaya Meliala), mamak

(Ida Royani Br Barus) dan adik (Enjel Margaretha Br Meliala dan

Eorlando Isura Meliala). Kedua orang tua yang sudah membantu penulis

bisa belajar di fakultas Teologi UKSW, serta memberi dukungan yang

sangat luar biasa kepada penulis.

4. Kepada Novrado Alfandy Barus, sebagai teman yang senantiasa mengerti

pergumulan penulis. Penulis merasakan perhatian, kasih sayang dan

dukungan semangat yang diberikan selama ini.

5. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu sebagai dosen wali study, sebagai ayah di

Salatiga yang selalu memberikan semangat, dan membimbing penulis.

6. Kepada teman-teman angkatan 2015 fakultas Teologi UKSW yang

menjadi keluarga ke dua di Salatiga, yang selalu memberi warna-warni

selama kurang lebih empat tahun. Dari mereka saya banyak belajar

bagaimana cara menghargai perbedaan, karena kami datang dari

latarbelakang suku yang berbeda.

Page 7: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

vi

7. Kepada teman-teman kos Wisma Shinta yang selalu memberi dukungan

serta teman curhat penulis selama mengerjakan Tugas Akhir.

8. Kepada seluruh Dosen serta Staf di Fakultas Teologi UKSW yang telah

memberikan ilmu selama kurang lebih empat tahun dan pengalaman yang

tak terlupakan.

Akhir kata semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan

dapat membuka wawasan kita mengenai kepercayaan lama di tanah Karo.

Salatiga, 7 Agustus 2019

Esterlita Br Meliala

Page 8: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

vii

ABSTRAK

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh gejala bangkitnya kepercayaan lama di

masyarakat Karo. Bangkitnya kepercayaan lama ini berkaitan dengan keputusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang kearifan lokal.

Menanggapi kedua hal diatas, maka Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) melalui

Konpen Pendeta GBKP tahun 2016 No.14 butir ke-2 memutuskan menolak

kepercayaan lama suku Karo. Berdasarkan latarbelakang tersebut maka tulisan ini

difokuskan pada masalah apa saja kepercayaan-kepercayaan lama yang ditolak

oleh Konpen Pendeta GBKP yang dilaksanakan pada tahun 2016. Untuk

mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian itu, maka penelitian ini

dilakukan dengan metode kualitatif pendekatan deskriptif dan melalui

pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Penelitian ini dilakukan di

GBKP yang terletak di Kabupaten Karo Provinsi Sumatra Utara. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kepercayaan lama yang ditolak adalah cawir bulung, niktik

wari udan, nengget, petalayoken, dan begu jabu. Alasan penolakan GBKP adalah

kerena kepercayaan-kepercayaan lama tersebut dianggap bertentangan dengan

iman Kristen.

Kata Kunci: GBKP, Kepercayaan Karo, Hubungan Agama dan

Kepercayaan Suku.

Page 9: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

1

1. Pendahuluan

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah gereja Kristen yang berpusat

di tanah Karo. Sebuah suku tidak bisa terlepas dari unsur kebudayaan.

Kebudayaan masyarakat Karo semakin surut sejak masuknya agama Kristen

Protestan yang dibawa Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) melalui Pdt

H.C Kruyt tahun 1890, Katolik dibawa Pastor Elpedius van Duynhoven tahun

1939 dan Islam. Sebelum masuknya ketiga agama tersebut ke tanah Karo, agama

tradisonal Karo adalah agama pemena/perbegu.1 Masyarakat tradisional Karo

sesungguhnya lebih mengenal istilah perbegu. Agama pemena/perbegu erat

kaitannya dengan budaya masyarakat Karo. Dikatakan sebagai agama

pemena/perbegu karena masyarakat Karo percaya roh leluhur.

Pada tahun 1906-1940 Cooley menggambarkan pendekatan misionaris

penanaman dan penggarapan di tanah Karo.2

Ia memperlihatkan adanya

pemisahan yang tajam antara kekristenan dengan komunitas masyarakat Karo.

Salah satu siasat gereja yang dijalankan secara keras kepada seorang raja bernama

Pa Mbelgah Purba di Kabanjahe.3 Saat berada di Kabanjahe seorang misionaris

bernama Pdt.Van den Berg datang dan bertutur dengan Raja Pa Mbelgah Purba

sampai ia sendiri diterima dalam marga Purba. Melalui raja dapat dikumpulkan

orang-orang untuk berbicara dan bertukar pikiran mengenai agama hingga pada

akhirnya raja dan para pengikutnya dibaptis menjadi Kristen. Tidak lama setelah

dibaptis Raja Pa Mbelgah Purba bertanya kepada Pdt.Van den Berg apakah orang

Kristen dapat menggunakan gendang Karo (alat musik tradisional Karo). Pdt Van

den Berg tidak mengizinkan pemakaian gendang Karo, tetapi karena dalam

melakukan tugasnya sebagai raja Pa Mbelgah Purba tetap menggunakan gendang

Karo. Raja Pa Mbelgah Purba dikeluarkan dari Gereja karena pendeta

menganggap gendang Karo suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dipadukan

dengan agama Kristen.

Penginjilan di dunia ketiga termasuk Asia yang mencapai puncaknya pada

abad ke-19 terajut dalam superioritas pihak kolonial dan corak teologi Barat yang

1 https://joeybangun.com/category/budaya-karo/. (diakses 23 Mei 2017).

2 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, edisi revisi (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Dewan Studi

Gereja-gereja di Indonesia, 1976), 1. 3 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 5.

Page 10: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

2

menyebabkan pengabaian bahkan penolakan kebudayaan lokal.4

Hal tersebut

terjadi dalam pertumbuhan kekristenan di tanah Karo. Misionaris melakukan

berbagai usaha hingga tahun 1940 jumlah orang Karo yang dibaptis hanya

mencapai 5.000 orang.5 Cooley menyebutkan bahwa pengabaian dan penolakan

terhadap kebudayaan lokal menjadi salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan

kekristenan di tanah Karo dalam 70 tahun pertama.6 Pdt.A.Ginting Suka (Ketua

Modramen GBKP Periode 1966-1989) sependapat bahwa sikap gereja yang

kurang menghargai kebudayaan lokal menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan

kekristenan di GBKP.7

Pendapat tersebut tampaknya menjadi semakin kuat melihat banyak jemaat

GBKP yang meninggalkan gereja.8 Jemaat GBKP yang keluar bergabung dengan

organisasi Balai Pustaka Adat Merga Si Lima (BPAMSL) pada tahun 1967, 9

karena BPAMSL mempertahankan kebudayaan Karo. Pada tahun 1972 BPAMSL

bertransformasikan menjadi Parisada Agama Hindu Karo (PAHK) anggotanya di

bawah agama Hindu jumlah pengikutnya mencapai 50.000 orang hingga tahun

1984.10

PAHK mengkampanyekan slogan Hinduisme dan pemena/perbegu adalah

sama yang hendak mengatakan untuk menjadi seorang Hindu orang Karo tidak

perlu meninggalkan identitas Karonya. Realitas semakin memperlihatkan bahwa

orang Karo sulit dilepaskan dari kebudayaannya. Berdasarkan data tampaknya

tidak berlebihan jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi ancaman bagi

GBKP. Jika tetap berpendapat pada keputusan Konferensi Pendeta (Konpen)

tahun 2016 maka tidak menutup kemungkinan anggota GBKP akan memutuskan

keluar dari gereja.

Pada tahun 2016 beberapa orang di antara penghayat kepercayaan

mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 kepada

MK terkait dengan pengosongan kolom agama dalam kartu identitas. Para

4 Van den End, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 283

5 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 9.

6 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 4.

7 Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 7.

8 Antara tahun 1965-1968 terjadi peningkatan jumlah jemaat GBKP yang signifikan. Peningkatan

tersebut berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI. Selengkapnya akan disajikan dalam bab 2. 9 Cooley, Benih yang Tumbuh IV edisi revisi, 76-77.

10 Ginting, The Position of Hinduism in Karo Society (North Sumatra), 238.

Page 11: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

3

penghayat kepercayaan masih kesulitan untuk memperoleh hak sebagai warga

negara sehingga mereka mengajukan pengujian kembali terhadap UU.11

Pada

tanggal 7 November 2017 MK melalui putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016

akhirnya menjatuhkan keputusan terhadap perkara pengujian UU dengan

menetapkan status kepercayaan dapat dicantumkan dalam Kartu Keluarga (KK)

dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa harus merinci aliran kepercayaan.

Dengan keputusan tersebut pemerintah mengakui dan menjamin hak penghayat

kepercayaan setara dengan enam agama resmi yang diakui pemerintah sehingga

pemerintah akan memenuhi hak sipil para penghayat kepercayaan.

Penghayat kepercayaan yang dimaksud adalah para penganut kepercayaan

lokal.12

Penganut kepercayaan lokal diartikan sebagai masyarakat adat yang telah

eksis sebelum Indonesia mardeka bahkan sebelum istilah agama dikenal.13

Namun

dalam dinamika politik agama di Indonesia mereka menerima tindakan yang

diskriminatif sejak UU No.1/PNPS/1965 diterbitkan pemerintah hanya mengakui

ada enam agama yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu.14

Sedangkan kepercayaan lokal bukanlah agama melainkan aliran kepercayaan yang

penganutnya diklaim sebagai kelompok yang mengancam ketertiban umum dan

negara.15

Peristiwa G30S/PKI16

semakin mempersulit status penghayat

kepercayaan karena pemerintah mewajibkan seluruh warga negara untuk

menganut agama resmi, mereka yang tidak menganut agama resmi disebut sebagai

“tidak beragama” yang diklaim sama dengan komunis atau anggota PKI. Para

penghayat kepercayaan yang kepercayaannya telah dibudayakan tidak memiliki

pilihan lain kecuali pindah agama atau berafiliasi. Banyak kepercayaan yang

11

https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016.pdf, (diakses pada

tanggal 12 Maret 2018). 12

Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia

(Yogyakarta: CRCS, 2018), 3. 13

Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 4. 14

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Namun Konghucu diakui kembali berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun

1967. 15

Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 35. 16

Nugroho Notosusanto Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia

(Jakarta: PT Pembimbing Masa, 1989), 110.

Page 12: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

4

berafiliasi dengan agama resmi atau para penghayat kepercayaan pindah ke agama

resmi untuk menghindari tuduhan sebagai komunis.17

Melalui putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 para penghayat

kepercayaan tidak hanya mendapat pelayanan hak sipil tetapi dapat menjalankan

kepercayaanya secara bebas. Kepercayaan sendiri di identik dengan kearifan

lokal.18

Salah satunya dapat dilihat dalam konferensi nasional kearifan lokal yang

diselanggarakan Kementerian Sosial (Kemensos) pada November 2017.

Konferensi diberi tema “Memperkuat kearifan lokal dalam menjaga persatuan dan

kesatuan menuju Indonesia damai dan sejahtera”. Dalam siaran pers tanggal 29

November 2017 menteri sosial dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa

menjelaskan berbagai isu kebangsaan seperti radikalisme, konflik sosial,

eksklusivitas, intoleransi dan terorisme dapat diminimalisasi melalui penguatan

peran tokoh agama dan budaya dalam mengusung kearifan lokal.19

Melalui penyataan semakin terlihat ruang untuk mengusung kembali

kearifan lokal semakin terbuka lebar. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah

upaya untuk mengusung kembali kearifan lokal tidak di ikuti oleh kalangan lainya

seperti organisasi keagamaan di Indonesia. Misalnya GBKP yang tampaknya

masih mengabaikan bahkan menolak sebagian kearifan lokal dalam masyarakat

Karo dapat lihat dari keputusan Konpen GBKP tahun 2016 No.14 poin ke-2.

Perihal kearifan lokal yang menyatakan:“Tentang kepercayaan-kepercayaan lama

yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Karo dan bertentangan dengan iman

Kristen tetap ditolak dan tidak perlu dikaji ulang.20

Ketika upaya untuk

melestarikan kearifan lokal sangat terbuka lebar GBKP justru mengabaikan

bahkan menolak kebudayaan lokal yang telah lama menyebabkan krisis identitas

dalam masyarakat Karo.21

Pengabaian terhadap kebudayaan lokal dapat menjadi

ancaman bagi GBKP. Dengan demikian, sikap GBKP semacam menekan upaya

mengusung kearifan lokal.

17

Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang

Kementrian Agama RI, 2012), 207-210. 18

Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhurdalam Politik Agama di Indonesia, 3. 19

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/11/30/p07t5t319-mensos-

dorongpengembangan-kearifan-lokal (diakses 28 April 2018). 20

http://gbkp.or.id/2016/11/keputusan-konpengbkp-2016/ (diakses 12 Maret 2018). 21

Mindawati Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia.

http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018).

Page 13: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

5

Putusan MK memberikan ruang bagi kebangkitan kepercayaan lokal. Hal

ini pernah terjadi ketika BPAMSL muncul dan tidak menutup kemungkinan akan

terjadi kembali pasca putusan MK jika GBKP tidak menyikapinya dengan baik.

Belum lagi melihat data GBKP yang menyebutkan hanya sekitar 40% jemaat

GBKP yang aktif dalam beribadah.22

Ada kemungkinan bahwa di antara 60%

jemaat GBKP yang tidak aktif beribadah adalah mereka yang selama ini hanya

bersembunyi dalam GBKP.

Penghayat kepercayaan demikian menurut penulis sejalan dengan teori

Lee. Ia menjelaskan bahwa sebelum kekristenan datang orang telah dibentuk oleh

nilai-nilai dan aturan kultur tradisional mereka. Tradisi ini satu aspek memiliki

ajaran moral yang terwujud dalam literatur, bahasa, kebiasaan, mitologi dan

legenda.23

Sedangkan di aspek lain tradisi memiliki pemahaman keagamaan yang

mendalam serta membentuk perspektif keagamaan terhadap kehidupan dan alam

semesta. Tetapi kekristenan datang menawarkan hal yang “asing” bahkan

menolak kebudayaan lokal. Manusia adalah makhluk budaya (cultural being).24

A.C.Kruyt juga berpendapat bahwa sebelum datangnya agama-agama seperti

Hindu, Buddha, Islam dan Kristen ke Indonesia, masyarakat Indonesia asli adalah

penganut agama suku. Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya

sendiri dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk karakter

masing-masing.25

Dalam tulisan ini penulis hendak mengkaji sikap penolakan GBKP

terhadap kearifan lokal masyarakat Karo yang disebut “begu jabu”. Begu jabu

adalah salah satu kearifan lokal yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Karo

tradisional tetapi telah ditolak dan tidak perlu dikaji kembali berdasarkan

keputusan Konpen tahun 2016. Secara tegas tidak terdapat kata “begu jabu” dalam

hasil konpen. Tetapi frasa kepercayaan-kepercayaan lama menunjuk kepada “begu

jabu”. Kepercayaan lama masyarakat Karo tradisional dikenal sebagai

22

http://gbkp.or.id/2016/07/koinonia-sebagai-tatanan-hidup-keluarga-allah/ (diakses 1 Juni 2018)

. 23

Archie Lee,. “Biblical Interpretation in Asia Perspective” Asia Journal of Theology. 1993. 30.

24 Rafael Raga Maran, Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000),15. 25

A.C. Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia,

2008),20.

Page 14: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

6

pemena/perbegu termasuk “begu jabu”. Dalam hasil Konpen tertulis bahwa “begu

jabu.” Sudah jelas bahwa “begu jabu” telah ditolak oleh GBKP. Penolakan

tersebut diidentifikasi dalam memaknai “begu jabu” karena itu penting untuk

mengkaji kembali “begu jabu” sebagai kearifan lokal yang sangat berpengaruh

dalam masyarakat Karo tradisional serta mengandung nilai luhur yang

tinggi.“Begu jabu” dianggap sebagai roh pelindung atau penolong dalam keluarga.

Seseorang yang meyakini begu jabu tidak harus meninggalkan identitas kulturnya

ketika ingin menjadi warga GBKP atau dalam konteks pasca putusan MK.

Dengan demikian, seseorang tidak harus meninggalkan gereja untuk menemukan

identitas kulturnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumususan masalah Tugas

Akhir ini adalah “Apa saja kepercayaan-kepercayaan lama dalam masyarakat karo

yang dianggap bertentangan dengan iman Kristen dan di tolak dalam Konferensi

Pendeta (Konpen) tahun 2016”.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepercayaan-kepercayaan

lama dalam masyarakat Karo yang ditolak oleh Konferensi Pendeta (Konpen)

tahun 2016.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis dan praktis. 1) Manfaat teoritis, penelitian ini akan memberi sumbangan

terhadap pemikiran-pemikiran teoritis tentang hubungan antara injil dengan

kebudayaan. 2) Manfaat praktis, penelitian ini akan menjadi pembacaan kreatif

bagi GBKP yang saat ini masih merupakan sikap anti kearifan lokal sesuai dengan

keputusan Konpen GBKP pada tahun 2016.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif adalah sebagai

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan

subjek atau objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan

lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa

adanya.26

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini;

1) Wawancara. Metode wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk

mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan

26

Nazir, Metode Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2008), 63.

Page 15: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

7

atau tanya jawab.27

Dalam penelitian wawancara dilakukan secara mendalam (In-

depth Interview) dengan cara memberikan pertanyaan langsung kepada sejumlah

pihak terkait yang didasarkan pada percakapan intensif dengan suatu tujuan untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan. Informan yang dilibatkan meliputi

pinpinan sinode GBKP. 2) Dokumen. Dokumen merupakan teknik pengumpulan

data yang tidak langsung ditunjukkan kepada subjek penelitian. Dokumen dapat

dibedakan menjadi dokumen primer, dokumen ini ditulis oleh orang yang

langsung mengalami suatu peristiwa; dan dokumen skunder, peristiwa dilaporkan

orang lain dan selanjutnya ditulis oleh orang lain. Dokumen dapat berupa catatan

pribadi, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, data

yang tersimpan di website dan sebagainya.28

Dokumen yang dilakukan adalah

dengan pengumpulan dokumen kepercayaan-kepercayaan lama dan kearifan lokal

di Karo.

Dalam tulisan ini penulis membagi sistematika penulisan menjadi lima

bagian, yaitu bagian pertama pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan

masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan Bagian kedua penulis akan membahas landasan teori

sebagai dasar untuk mendeskripsikan konsep penelitian. Teori yang digunakan

adalah teori hubungan antara injil dan kebudayaan oleh Lee dan A.C. Kruyt.

Bagian ketiga penulis akan mendeskripsikan gambaran umum kepercayaan-

kepercayan lama dalam masyarakat Karo yang dianggap bertentangan dengan

iman Kristen. Bagian keempat penulis akan manganalisis kepercayaan-

kepercayaan lama dalam masyarakat Karo yang dianggap bertentangan dengan

iman Kristen dan menganalisa sosio teologis penolakan GBKP. Bagian kelima

yaitu kesimpulan dan saran.

2. PERSPEKTIF TEORI TERHADAP POKOK PENULISAN

2.1 Pendekatan Misionaris Terhadap Kebudayaan Lokal di Tanah Karo

Cooley menggambarkan pendekatan misionaris khususnya pada periode

penanaman dan pengarapan (1906-1940) di tanah Karo. Seperti yang telah penulis

uraikan dalam latar belakang tentang penginjilan yang dilakukan Pdt.Van den

Berg. Memperlihatkan adanya sikap pengabaian bahkan penolakan terhadap

27

Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), 130. 28

Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, 126.

Page 16: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

8

kebudayaan dalam periode penginjilan di tanah Karo. Kruyt sebagai misionaris

pertama datang pada tahun 1890 hanya bertahan selama dua tahun tanpa berhasil

membaptis seorang pun. Kruyt kemudian digantikan oleh Pendeta Wijngaarden

yang berhasil melakukan pembaptisan pertama pada tanggal 21 September 1893

sebanyak enam orang. Tidak lama setelah itu Wijngaarden meninggal dunia.

Untuk beberapa lama istrinya menggantikan pelayanannya hingga pada 1899

datanglah Pdt.Guillaume dan seorang guru Injil bernama Martin Siregar. Hingga

tahun 1900 hanya sekitar 25 orang yang dibaptis. Setelah tahun 1900 para

misionaris datang bergantian ke tanah Karo ikut terlibat tidak hanya dalam bidang

kerohanian tetapi dalam bidang kesehatan, pertanian, perdagangan dan

pendidikan.29

Meskipun misionaris sudah melakukan berbagai usaha hingga tahun

1940 jumlah orang Karo yang dibaptis hanya mencapai sekitar 5.000 orang.

Dalam tulisan yang dikutip oleh Cooley Pdt A.Ginting Suka menyebutkan

salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan kekristenan di tanah Karo karena

kekakuan dan sifat legalistis yang menandai peraturan Gereja dan sikap pemimpin

gereja (para misionaris) berlatar belakang teologi pietis.30

Peraturan serta sikap

tersebut menimbulkan ketakutan terhadap warisan kebudayaan tradisional Karo

dalam implikasinya menyebabkan orang Karo yang menjadi Kristen menjauhkan

diri dari persekutuan hidup orang Karo pada umumnya dan menjadi semacam

minoritas yang bersifat individualistis. Dengan demikian dapat dilihat bahwa

salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan kekristenan di tanah Karo dalam 50

tahun pertama dikarenakan adanya sikap pengabaian bahkan penolakan terhadap

kebudayan Karo.

Jika diperhatikan setelah menjadi gereja mandiri GBKP masih mewarisi

sikap pengabaian dan penolakan terhadap kebudayaan.31

Cooley menyebutkan

gereja kesulitan bahkan menganggap tidak mungkin untuk memisahkan adat dari

agama atau kepercayaan lokal.32

Sedangkan kepercayaan lokal telah di identifikasi

sebagai kepercayaan kafir semenjak era penginjilan. Jemaat seringkali meminta

29

Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 2-5. 30

Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 7. 31

Cooley, Benih yang Tumbuh, 9. 32

Cooley, Benih yang Tumbuh, 124.

Page 17: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

9

gereja untuk menyelesaikan persoalan atau ketegangan yang timbul dengan adat.

Cooley mencatat ada beberapa sikap yang diberikan GBKP yaitu; 1) memberi

pengajaran pada waktu katekisasi dan pada waktu persoalan adat terjadi bila perlu

memberi larangan kepada orang Kristen; 2) berusaha mengalihkan hubungan yang

berkaitan dengan “bukan Allah” (dewa-dewa dan roh-roh kepada Allah yang

benar); 3) Mengadakan perubahan dalam upacara adat bila diperlukan tetapi lebih

penting mengubah isi dan pengarahannya; 4) menghapus atau meninggalkan adat

tertentu. Prinsip pokok yang dilakukan GBKP ialah adat yang memiliki nilai

positif dalam kehidupan bersama dipupuk sedangkan adat yang berhubungan

dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa, roh-roh nenek moyang dilawan oleh

gereja.33

Meskipun ada upaya untuk memelihara adat yang memiliki nilai positif

Cooley mengatakan bahwa permasalahan tersebut belum secara teratur dan

menyeluruh hanya dibahas jika muncul persoalan. GBKP pernah melaksanakan

seminar adat Karo pada tahun 1973. Pertemuan hanya sebatas memecahkan soal-

soal praktis yang timbul dalam jemaat. Cooley menyebutkan pertemuan yang

dilangsungkan belum begitu mendalam karena kurang berlangsung secara teoritis,

teologis, melainkan lebih bersifat praktis.34

Lebih dari itu kebudayaan yang

dianggap berhubungan dengan kepercayaan lokal dihapus.

2.2 Kepercayaan Lama di Tanah Karo

Menurut Rachmat Subagya pada dasarnya setiap suku bangsa di Nusantara

memiliki kerohanian khas yang timbul dan tumbuh secara spontan bersama suku

bangsa itu sendiri yang Ia sebut sebagai agama asli.35

Dalam konteks Indonesia

yang terdiri atas berbagai suku bangsa lebih dari 1.300 suku bangsa maka

seharusnya ada lebih dari 1.300 agama.36

Begitu pula di tanah Karo agama asli

adalah agama pemena/perbegu. Agama pemena ditetapkan sebagai agama asli

Karo. Masyarakat tradisional Karo sesungguhnya lebih mengenal istilah perbegu.

33

Cooley, Benih yang Tumbuh, 124. 34

Cooley, Benih yang Tumbuh,136. 35

Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 1. 36

IraIndrawardanahttps://sains.kompas.com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah

penghayatkepercayaan-di-indonesia- (diakses 1 Juni 2018).

Page 18: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

10

Perubahan kata pemena menjadi perbegu yang dilakukan oleh para pengetua adat

dan guru mbelin bertujuan untuk meninggalkan stigma negatif yang ditujukan

terhadap pemena semenjak era kolonial.37

Meskipun dikatakan sebagai

kepercayaan asli masyarakat Karo tradisional perbegu tidak terlepas dari pengaruh

agama lainnya. Brahma Putro menyimpulkan bahwa kepercayaan Karo sangat

dipengaruhi oleh Hinduisme yang berasal dari India. Karena itu ia menyebut

kepercayaan Karo dengan sebutan Hindu perbegu diduga sudah ada semenjak

abad pertama ketika raja Pa Lagan dari Kerajaan Haru pada waktu itu daerah Karo

termasuk dalam Kerajaan Haru menyambut pahlawan wanita Hindu bernama

Manimegelai.38

Pengaruh agama Hindu terhadap masyarakat Karo diperkirakan mencapai

puncaknya ketika kedatangan suku Hindu Padang dan Hindu Tamil pada

penghujung abad ke 12 M dan permulaan abad 13 M. Brahma Putro menyebutkan

bahwa pada saat itu kebudayaan masyarakat Haru lebih tinggi. Adapun ajaran

Hindu yang memengaruhi kepercayaan Karo adalah ajaran Bhagavat Brgu (Sekte

Ciwa) yang mengajarkan agama Hindu sekte ciwa ke Nusantara termasuk ke

masyarakat di tanah Karo.39

Tampaknya telah terjadi penyatuan yang baik antara

Hinduisme dengan kepercayaan asli masyarakat Karo. Rachmat Subagya

menjelaskan ada dua jenis pengaruh agama luar terhadap agama asli yakni:

alokhton (paham keagamaan yang asalnya dari lain daerah) dan heterokhton (tidak

dapat meluruskan agama asli).40

Jika agama yang masih murni bertemu dengan

agama luar lalu menerima dan menghargainya maka yang terjadi adalah

penyempurnaan tetapi jika agama dari luar dianggap bertentangan maka agama

luar tidak dapat meluruskan agama asli.41

Masyarakat Karo tradisional tampaknya dapat menerima dan menghargai

agama Hindu. Salah satu contohnya mengenai roh. Penghargaan terhadap roh

merupakan suatu hal yang paling esensial dalam kepercayaan masyarakat Karo.

Kepercayaan Karo memahami bahwa manusia terdiri atas tubuh dan jiwa (tendi)

37

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, (Medan:Ulih Saber, 1995), 32. 38

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 28. 39

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 26. 40

Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, 5. 41

Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, 9.

Page 19: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

11

di mana tendi akan berubah menjadi roh setelah ia meninggal. Roh tersebut yang

disebut orang Karo dengan begu.42

Kata begu tersebut diambil dari nama

Bhagavant Brgu karena dianggap memiliki keluhuran yang tinggi (roh atau jiwa

yang kekal).43

Dari sini dapat dilihat bagaimana agama Hindu tampaknya tidak

merusak keyakinan masyarakat Karo tradisional akan roh sehingga tidak

keberatan mengadopsi nama Brgu untuk menyebut roh orang yang sudah

meninggal.44

Orang Karo mengartikan begu adalah sebagai roh manusia yang sudah

meninggal, sedangkan roh manusia yang masih hidup disebut tendi.45

Kata begu

berdampak pula pada pemaknaan “begu jabu”. Frasa “begu jabu” terdiri atas kata

begu dan jabu (rumah). Adat menghubungkan orang-orang hidup yang kelihatan

dengan orang-orang mati, yang hidup tidak kelihatan.46

Para penulis Karo seperti

Henry Guntur Tarigan dan Payung Bangun sepakat bahwa “begu jabu” adalah roh

leluhur yang disegani dan dihormati oleh masyarakat Karo tradisional.47

Berdasarkan penjelasan para ahli Karo “begu jabu” diartikan sebagai roh leluhur.

Tetapi yang paling utama adalah menemukan makna atau gagasan yang

terkandung dalam “begu jabu”. “Begu jabu” salah satu kearifan lokal dalam

masyarakat Karo tradisional yang terus bertahan hingga saat ini.

2.3 Teori Hubungan Antara Injil dan Kebudayaan

Lee merupakan salah satu teolog yang menaruh perhatian terhadap

masalah injil dan kebudayaan.48

Manusia tidak dapat hidup di luar ruang lingkup

kebudayaannya. Ketika seseorang dibawa hidup dalam sebuah tradisi lain yang

bertentangan dengan tradisi aslinya maka orang tersebut akan hidup dalam dua

tradisi. Seseorang di satu sisi akan hidup dalam tradisi kekristenan dan di sisi lain

hidup dalam tradisi lokal yang tidak dapat ia tinggalkan. Lee sendiri pernah

42

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 34-35. 43

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 27. 44

Mindawati Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia.

http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018) 45

Kalvinsius Jawak, Teologi Agama-agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) (Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana, 2014), 161. 46

P.S. Naipospos, Adat dan Injil: perjumpaan adat dengan iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2003), 217. 47

Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe (Medan: BABKI, 2011), 28.

48

Archie Lee,. “Biblical Interpretation in Asia Perspective” Asia Journal of Theology. 1993. 35-39.

Page 20: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

12

menyaksikan dikotomi yang dialami komunitas Kristen pada saat ia menjadi

pendeta jemaat lokal Hongkong. Ia menyaksikan pada saat kelahiran, pernikahan,

dan kematian, jemaat kembali pada nilai-nilai kebiasaan kepercayaan dan jiwa

tradisional. Lee menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebuah permasalahan

yang harus segera diselesaikan.

Sejauh pengamatan penulis situasinya tidak jauh berbeda dengan

masyarakat Karo. Kembali pada hasil keputusan Konpen GBKP masih menolak

beberapa kearifan lokal yang menjadi adat dan kebudayaan masyarakat Karo.

Dengan sikap penolakan tersebut GBKP telah menempatkan jemaatnya dalam dua

identitas yakni identitas sebagai masyarakat berkebudayaan Karo dan identitas

sebagai jemaat GBKP. Masalah identitas tersebut sesungguhnya menjadi

perhatian Pdt.Mindawati Perangin-angin, Ph.D (Kabid Personalia dan SDM

GBKP periode 2005-2010) dalam tulisannya berjudul “Gereja di antara Identitas

dan Schizophrenia.49

Dalam tulisan tersebut ia mengutip percakapan dengan

Pdt.A.Ginting Suka Ketua Moderamen GBKP periode 1966-1989) mengakui

bahwa jiwanya adalah Karo tetapi tubuh dan bajunya Kristen.50

Penulis menyakini

bahwa hal yang sama juga pasti dialami oleh sebagian besar jemaat GBKP.

Menurut Suh Sung Min hubungan antara injil dan kebudayaan tidak jauh

berbeda dengan yang dikemukakan oleh Lee bahwa manusia adalah makhluk

budaya, manusia tidak dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaannya. Karena

kebudayaan sudah turun-temurun dari kebudayaan nenek moyang. Dengan

demikian ketika seseorang dibawa hidup dalam sebuah tradisi lain yang

bertentangan dengan tradisi aslinya maka orang tersebut akan hidup dalam dua

tradisi. Suh Sung Min mengusulkan satu model yaitu kontekstualisasi.51

Kontekstualisasi digunakan dari segi respon injil terhadap kebudayaan tradisional.

Kontekstualisasi sifatnya dinamis dan terbuka. Kontekstualisasi tidak memisahkan

antara manusia atau kebudayaan. Kontekstualisasi memerlukan suatu pedoman

49

Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia.

http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018).

50

Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia.

http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/ (diakses 10 April 2018). 51

Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001),

223.

Page 21: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

13

yaitu; Alkitab. Perioritas kontekstualisasi adalah pemberitaan injil kepada orang-

orang yang tinggal di dalam lingkungan kebudayaan yang lain tanpa merubah

hakikat injil.52

Menurut A.C.Kruyt masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama

suku. Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya tersendiri dan satu

sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk karakter masing-masing.

Kruyt adalah orang yang begitu menghargai agama suku. Keberhasilan Kruyt

dalam menanamkan injil disebabkan karena Ia sudah mempunyai sikap yang lebih

terbuka kepada budaya dan agama asli suku. Dalam pendekatannya terhadap

masyarakat yang dijadikan sebagai pusat penginjilan Ia tidak menyerang agama

asli suku secara langsung. Bagi Kruyt perlu lebih dulu mengenal lingkungan

masyarakat tersebut Ia ingin pesan injil yang disampaikan menembus ke dalam

hati orang-orang dan membawa mereka ke dalam pertobatan pribadi. Kruyt

mengerti untuk menyentuh bagian terdalam harus mengetahui pola yang berlaku

dalam pemikiran mereka. Kruyt tidak ingin orang Kristen yang keluar dari agama

suku hanya untuk mendapat identitas diri tetapi belum menjadi orang Kristen

“Injili”.53

Ia ingin orang yang sudah keluar dari agama suku harus menjadi orang

Kristen yang telah berjalan bersama Yesus Kristus pengharapan dan kasih

bertanggung jawab atas saudaranya yang masih kurang maju. Mereka terpanggil

membimbing saudara itu di jalan yang telah mereka lalui sendiri. H Richard

Niebuhr memetakan empat hubungan injil dan kebudayaan yakni:54

a. Kristus Lawan Kebudayaan (Konflik)

Kristus lawan kebudayaan adalah tidak mengenal kompromi dalam memegang

teguh otoritas Kristus diatas orang Kristen dan dengan tegas menolak tuntutan

kebudayaan untuk kesetiaan.55

Kristus terhadap kebudayaan menolak segala hal

yang diyakini oleh budaya. Bagi kelompok ini setia pada Kristus berarti menolak

kebudayaan. Orang Kristen diharuskan memilih satu di antara dua, Kristen atau

52

Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, 379. 53

A.C. Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen, 19. 54

H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1946), 44. 55

H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, 53.

Page 22: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

14

Kebudayaan. Sikap ini didasarkan pada petunjuk Alkitab yang memperlihatkan

pertentangan antara Kristus dengan dunia.

b. Kristus dari Kebudayaan (Akomodasi)

Kristus dari Kebudayaan menyatakan bahwa didalam setiap kebudayaan yang

didatangi Injil selalu ada orang-orang yang meninggikan Yesus sebagai Mesias

dari masyarakat mereka. Tipologi ini menafsirkan kebudayaan melalui Kristus

atau Kristus melalui kebudayaan (mengkombinasikan Kristus dan kebudayaan).

c. Kristus Di atas Kebudayaan (Sintesis)

Tipologi ini menekankan bahwa Kristus yang berada di atas segala budaya

yang membentuk dan mengijinkannya untuk terjadi, maka dari itu budaya tidak

bisa dikatakan buruk tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Ketika seorang manusia

melakukan dosa lalu kemudian mengekspresikan pemberontakannya kepada

Tuhan merupakan suatu yang buruk. Mereka mengatakan bahwa budaya ada

karena Kristus yang menciptakannya secara penuh dan mereka melihat bahwa

keselarasaan antara Kristus dan budaya adalah sebuah jawaban yang tepat untuk

menjawab semua pertanyaan.

d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks

Dalam pandangan ini iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman berada

dalam dua suasana, yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam

kemuliaan Allah. Bahwa seseorang dapat hidup berdasarkan imannya pada

lingkungan rohani dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan dunia dalam

lingkungan dunia.

e. Kristus Pembaharu Kebudayaan (Dialog)

Kristus pengubah kebudayaan adalah tipologi yang menyatakan bahwa di

dalam setiap kebudayaan Kristus datang sebagai pengubah dan pembaharuan dari

kebudayaan. Paham yang paling disarankan oleh Niebuhr dimana secara teologis

pandangan ini memiliki tiga garis besar yaitu; menlihat Tuhan sebagai pencipta,

menyadari bahwa kejatuhan manusia dari sesuatu yang baik dan memandang

Page 23: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

15

bahwa kita merasakan intraksi antara Tuhan dengan manusia dalam perjalanan

hidup manusia yang historis. F.D. Maurice menegaskan bahwa Kristus adalah

Raja manusia harus memperhitungkan dia saja sehingga Maurice berpendapat

bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang tidak diubah oleh Kristus.

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Sejarah Singkat Masyarakat Karo

Kata Karo berasal dari kata haru dari kerajaan raja bernama Pa Lagan

yang dulu diperkirakan berada di Sumatra Utara yang identik dengan suku

Karo.56

Menurut Brahmana pengucapan kata haru berubah menjadi Karo sebagai

awal terbentuknya nama Karo. Raja memiliki tujuh orang anak. Anak sulung

hingga anak keenam semuanya perempuan yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik,

Pagit, Jile dan anak ketujuh seorang anak Laki-laki yang diberi nama Meherga

yang berarti mehaga (penting) sebagai penerus keturunan.57

Dari sinilah akhirnya

lahir merga bagi orang Karo yang berasal dari Ayah, sedangkan bagi anak diberu

(Perempuan) disebut beru. Merga akhirnya menikah dengan Cimata yang berasal

dari India Selatan. Dari Merga dan Cimata lahir lima orang anak dilaki (Laki-

laki) dan namanya merupakan lima induk merga etnis Karo yaitu58

: 1) Karo-karo,

diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya telah tiada Karo sebagai

gantinya sebagai ingatan sehingga nama leluhurnya tidak hilang; 2) Ginting,

Anak kedua; 3) Sembiring, diberi nama Mbiring (hitam) karena dia merupakan

yang paling hitam dari saudaranya; 4) Perangin-angin, diberi nama perangin-

angin karena ketika dia lahir angin berhembus kencang; 5) Tarigan, anak bungsu.

Masyarakat Karo yang menetap di Kabupaten Karo atau sering disebut

Tanah Karo Simalem merupakan salah satu Kabupaten dari 33 Kabupaten di

wilayah Provinsi Sumatra Utara. Secara administratif Kabupaten Karo

mencangkup 17 Kecamatan yaitu: 1) Kabanjahe; 2) Berastagi; 3) Tigapanah; 4)

Dolat Rayat; 5) Merek; 6) Barusjahe; 7) Simpang Empat; 8) Naman Teran; 9)

Merdeka; 10) Payung; 11) Tiganderket; 12) Kutabuluh; 13) Munte; 14) Juhar;

15) Tigabinanga; 16) Lau Baleng; 17) Mardinding.

56

Brahmana, Budaya Karo (Medan: Ulih Saber, 2004), 9 57

Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi: Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia (Medan: Ulih Saber,

2010), 20. 58

Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi: Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, 23.

Page 24: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

16

Masyarakat Karo tradisional membagi wilayah aslinya kepada dua wilayah

budaya. Pertama adalah wilayah budaya yang disebut Karo Gugung. Merujuk

kepada pengertian wilayah budaya etnik Karo yang berada di Pegunungan Bukit

Barisan di tanah Karo di mana orang-orangnya berada di dataran tinggi tanah

Karo. Yang kedua adalah orang-orang Karo yang wilayah budayanya yang ada di

Pesisir Sumatra Utara seperti: Langkat, Deli Serdang dan lainnya.Mereka disebut

Karo Jahe karena berada di wilayah Pesisir Timur Sumatra Utara. Di wilayah ini

tidak hanya dihuni suku Karo tetapi juga orang Melayu dan orang Jawa.59

Bahasa merupakan salah satu identitas penting dalam sebuah suku karena

dari bahasa yang digunakan untuk berintraksi di dalam kehidupan sehari-hari

dapat diketahui identitas seseorang. Masyarakat Karo memiliki bahasa sendiri

yang disebut Bahasa Karo dan memiliki salam khas yaitu Mejuah-juah. Bahasa

Karo merupakan bahasa daerah yang biasa digunakan masyarakat Karo untuk

berkomunikasi dengan sesama masyarakat Karo di dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Karo memiliki ciri khas pada logat berbicara dan pada umumnya

masyarakat Karo ada yang memiliki warna kulit kuning, gelap kehitaman dan

coklat.

Sementara pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta

hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Ciri khas rumah adat suku Karo atau

yang biasa dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk

delapan keluarga yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masih bilik dihuni

oleh satu keluarga.60

Mata pencarian masyarakat Karo sebagian besar

mengandalkan pertanian karena curah hujan yang tinggi sehingga cocok dengan

usaha pertanian..

Sistem kemasyarakatan di tanah Karo diikat oleh kesatuan etnis sedangkan

sistem kekerabatan diikat oleh perkawinan dan kelahiran.61

Kedua sistem tersebut

merupakan identitas yang pada umumnya ditemukan di dalam masyarakat Karo

yang paling kuat ikatannya. Secara garis besar sistem kekerabatan di dalam

masyarakat Karo terdiri dari senina, anak beru dan kalibubu. Penjelasan menurut

59

https://joeybangun.com/category/budaya-karo/. (diakses 23 Mei 2017). 60

Sempa Sitepu, Sejarah Pijer Podi: Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, 34. 61

Farizal Nasution, Jejak Sejarah dan Budaya Karo (Medan: MITRA, 2012), 37.

Page 25: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

17

rizal yaitu:62

senina merupakan orang-orang yang satu dalam permusyawaratan,

misalnya masih satu kakek; anak beru merupakan kelompok yang mengambil

istri dari keluarga (merga) tertentu; kalibubu merupakan kelompok pemberi dara

bagi keluarga (merga) misalnya orang tua dan keluarga dari istri yang diambil.

3.2 Sejarah Singkat GBKP

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah gereja Protestan yang berdiri

di Tanah Karo Sumatra Utara. GBKP adalah gereja Kristen yang beraliran

Calvinis63

yaitu berpusat kepada Kristus di mana pengetahuan hanya dapat

ditemukan di dalam Yesus Gereja hendaklah berpusat kepada keteladanan yang

dilakukan Kristus semasa hidupnya. Pekabaran injil Nederlands Zendeling

Genootschap (NSG) yakni di mulai pada tahun 1890 di Buluh Awar. Permulaan

usaha perkebaran Injil ke daerah Karo bukan karena tugas rohani. Usaha dimulai

karena permohonan J.T. Craemers, seorang pemimpin perkebunan di Sumatra

Timur, agar orang Karo tidak lagi mengganggu kelancaran usaha perkebunam

mereka. Ini merupakan salah satu sebab mengapa pertumbuhan di GBKP sangat

lambat. Sejarah GBKP dapat dibagi atas tujuh periode yaitu:64

a. Tahun-tahun permulaan (1890-1906)

Periode ini di mulai pada tanggal 18 April 1890 di Buluh Awar pekebaran

ijil pertama di bawa oleh Pdt.H.C.Kruyt dari Tomohon (Minahasa) dan empat

orang penginjil lain pada tahun berikutnya. Pada tahun 1892 Pdt.H.C.Kruyt

pulang ke negerinya tanpa berhasil membaptis seorang pun. Ia digantikan oleh

Pdt.J.K.Wijngaarden dari pulau Sawu dekat pulau Timor Ia tinggal di Buluh Awar

bersama istrinya. Ia berhasil melakukan pembabtisan pertama pada suku Karo

pada tanggal 20 Agustus 1893 di Buluh Awar. Pada saat itu ada enam orang yang

dibaptis yaitu: Sampe, Ngurupi, Pengarapen, Nuah, Tala dan Tabar. Pada tanggal

21 September 1894 Pdt.Wijngaarden meninggal dan digantikan oleh

Pdt.J.H.Neumen yang menerjemahkan Alkitab dan katekisasi dalam bahasa Karo.

62

Farizal Nasution, Jejak Sejarah dan Budaya Karo,39. 63

Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP Edisis Sinode 2010, 55. 64

Coley, Benih yang Tumbuh IV, 6.

Page 26: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

18

b. Masa Penanaman dan penggarapan (1906-1940)

Kedatangan Pdt.J.H.Neumen membawa pengharapan baru perkabaran Injil

di Karo ketika Pdt.J.H.Neumen membuka pos PI di Sibolangit. Ia mengadakan

pendekatan multi aspek melalui kegiatan pelayanan dibidang kesehatan, pertanian,

perdagangan dan pendidikan. Program pendidikan yang bertujuan untuk

menghasilkan guru sekolah dan mendukung pekerjaan perkabaran Injil ternyata

tidak berjalan lancar pada akhirnya ditutup pada tahun 1920. Tenaga pengajarnya

kemudian dialihkan menjadi penginjil ke desa-desa. Pada tahun 1940 jemaat-

jemaat mulai berdiri dan diangkatlah panatua-panatua menjadi anggota majelis

jemaat. Pelaksanaan perkabaran Injil yang dilakukan Pdt.J.H.Neumen terus

berlanjut. Setelah masa perkabaran Injil mencapai kurang lebih 50 tahun jumlah

orang kristen di tanah Karo baru mencapai 5.000 orang dengan tenaga pekerja dari

NZG 6 orang guru Injil 38 orang dan 2 orang calon pendeta suku Karo.

c. GBKP berdiri sendiri (1941-1949

Periode ini sebagai periode kemandirian GBKP karena pada periode ini

kepemimpinan GBKP beralih dari orang Belanda kepada orang Karo. Pada

tanggal 23 Juli 1941 diadakan sidang Sinode GBKP di Sibolangit dan ditahbiskan

pendeta pertama GBKP yaitu: Pdt.Th.Sibero dan Pdt.P.Sitepu. Pada sidang sinode

dipilih pengurus sinode pertama GBKP yang dinamai Moderamen yang diketuai

Pdt.J.Van Muylwijk.65

Pada saat itu GBKP diharapkan menjadi gereja mandiri.

Pada tahun 1942 perang dunia ke II mengakibatkan GBKP harus segera

menangani sendiri seluruh kegiatan pelayanan, organisasi maupun keuangannya.

Pada tahun 1947 Belanda kembali memasuki daerah Karo tetapi pemimpin GBKP

mengambil sikap aktif berjuang mempertahankan kemardekaan. Dalam masa sulit

kehidupan orang kristen Karo sangat mengesankan bagi orang lain karena

memiliki kepercayaan yang teguh dan pengharapan yang kuat untuk bertahan.

d. Masa membangun kembali (1950-1960)

Periode ini disebut sebagai periode pembangunan kembali GBKP. Pada

tanggal 4-5 April 1950 diadakan Sidang Sinode GBKP dalam sidang dibahas

65

Moderamen GBKP,Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015 (Kabanjahe: Abdi Karya, 2005), 24.

Page 27: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

19

supaya GBKP mendirikan sekolah bagi guru-guru agama. Pengalaman tahun

1949-1953 semakin membuka mata orang Karo terhadap Injil. Banyak pemuda-

pemudi Karo menjadi pusat kegiatan GBKP untuk membantu pekabaran Injil

untuk perkembangan GBKP.

e. Masa pertumbuhan pesat (1961-1968)

Pada tahun 1961-1965 GBKP mengalami tekanan dari partai Komunis

Indonesia dan oraganisasi orde baru. Mereka menyusup gereja dengan

memasukkan tokoh-tokohnya ke dalam organisasi GBKP. Pada tahun 1963 mulai

nampak perkembangan pesat GBKP banyak orang Karo yang datang meminta

pengajaran katekisasi dan pembabtisan. Pada tahun 1965 perkembangan jumlah

GBKP mencapai kurang lebih 75.000 orang sedangkan 15 tahun sebelumnya

hanya berjumlah 5.000 orang. Pada tahun 1966 terjadilah babtisan masal di

Kabupaten Karo, Langkat, dan Deli Serdang sehingga GBKP harus meminta

bantuan dari gereja tetangga yaitu: gereja Minahasa (GMIM ) dan gereja Maluku

(GPM). Pertumbuhan pesat GBKP mendorong untuk segera menambah tenaga

pendeta, baik melalui program pendidikan akademis maupun dengan kursus

pendeta bagi guru agama yang dianggap memenuhi syarat.

f. Tantangan membangun kedalam dan keluar (1969-1990)

Pada tahun 1972, anggota GBKP mencapai 100.000 orang dari

keseluruhan orang Karo sebanyak 445.000 jiwa, yang 5% diantaranya beragama

Islam, 13% anggota gereja dan 82% masih menganut agama Perbegu.66

GBKP

mulai memberikan perhatian pada bidang pembinaan warga gereja disamping

pembinaan kedalam dan penginjilan keluar.

g. Persiapan Menuju Jemaat Missioner (1990- …)

Periode ini diawali dengan kegiatan Jubileum 100 tahun GBKP pada

tanggal 18 April 1990 yang dihadiri kurang lebih 100.000 orang yang dipandang

sebagai suatu momen untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangan

masa depan. GBKP memanfaatkan pesta Jubileum sebagai media penjemaatan

66

Cooly, Benih yang Tumbuh IV, 125.

Page 28: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

20

pemahaman jemaat missioner dengan cara memotivasi warganya agar berperan

aktif dalam seluruh pelayanan GBKP.67

Untuk membantu perekonomian jemaat GBKP mendirikan Bank

Perkreditan Rakyat (BPR). Pada tanggal 11 Januari 1993 Pijerpodi Kekelengen

diresmikan di Suka Makmur oleh Moderamen GBKP modal pertama pada saat itu

RP.72.000,00. Pada tanggal 26 Agustus 1995 diadakan Musyawarah Pelayanan

Kaum Bapak (Mamre) GBKP.68

Pada tanggal 10-17 April 2005 diadakan Sidang

Sinode di Retreat Center Sukamakmur untuk menetapkan Visi GBKP yaitu:69

1)

meningkatkan Spiritualitas; 2)menghargai kemanusiaan; 3)melakukan keadilan,

kebenaran, kejujuran dan kasih; 4) mewujudkan warga yang dapat dipercaya; 5)

meningkatkan perekonomian jemaat. Pada periode ini GBKP mulai mencari jati

dirinya dan melaksanakan Tri Tugas Gereja yaitu: Koinonia (Bersekutu), Marturia

(Bersaksi) dan Diakonia (Melayani).

3.3 Kepercayaan Asli Suku Karo

Sebelum agama masuk ke tanah Karo masyarakat sudah mengenal

kepercayaan tradisional yakni agama pemena/perbegu. Agama Pemena

ditetapkan sebagai salah satu kepercayaan penganut Ketuhanaan Yang Maha Esa

oleh MPR Republik Indonesia.70

Menurut Pertua Mulia Perangin-angin, SE71

agama pemena/perbegu yang diyakini masyarakat Karo adalah bahwa roh nenek

moyang (leluhur) yang disembah akan memberikan keselamatan dan kesuksesan

pada setiap usaha yang dilakukan. Biasanya masyarakat Karo melakukan ritual

dengan cara meletakkan sesajen pada tempat yang dianggap sakral dan memiliki

kekuatan magis seperti: Sungai, Batu besar, Gua, dan Pohon. Masyarakat Karo

juga memiliki orang yang dituakan yang dianggap memiliki kemampuan untuk

menghubungkan manusia dengan roh para leluhur. Menurut Diaken Khristiani Br

67

Panitia Jubileum, Ini Aku Utuslah Aku (Medan: Sekretariat Panitia Jubileum, 1990), 5. 68

P.Sinuraya, Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo (Jakarta: Lembaga Penelitian dan

Dewan Studi Gereja-gereja di Indonesia, 2011), 238. 69

Moderamen GBKP,Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015, 48. 70

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, 32-33. 71

Wawancara dengan Pertua Mulia Perangin-angin SE (Bendahara Umum Moderamen GBKP),

Rabu, 22 Mei 2019, pukul 14:50 WIB.

Page 29: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

21

Ginting72

roh leluhur adalah roh kerabat pihak Ayah dan pihak Ibu yang

dianggap sebagai roh pelindung. Hubungan dengan para roh harus dijaga baik

melalui upacara atau sesajen.

Zaman dulu masyarakat Karo memuja terhadap roh (Jiwa orang mati) dan

menyakini sejumlah Dewa. Menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th73

selain

pemena/perbegu orang Karo mengenal dua konsep lain yaitu: tendi (jiwa orang

hidup) dan sumangat (kekuatan gaib). Menyakini Dewa tertinggi yang mereka

sebut Dibata Kaci-kaci (Tuhan yang Satu). Selain itu Pendeta Kongsi Kaban74

juga menyebutkan ada tiga tokoh Dewa yang dianggap menguasai ketiga lapisan

dunia masayarakat Karo yaitu: 1) Guru Butara/Dibata Datas (Tuhan yang

menguasai dunia lapisan atas) pemahaman orang Karo disini Dewa yang

memberkati tanaman yang berbuah atas contohnya seperti: tualah (kelapa); 2)

Dibata Paduka Ni Aji/Dibata Tengah (Tuhan yang menguasai dunia lapisan

tengah) artinya Dewa yang memberkati tanaman berbuah tengah seperti: jong

(jagung); 3) Dibata Banua Koling/Dibata Teruh (Tuhan yang menguasai dunia

lapisan bawah) Dewa yang memberkati tanaman berbuah bawah seperti: gadong

(ubi). Serta roh yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat Karo adalah

begu jabu (Roh nenek moyang dalam keluarga). Di samping itu menurut Pertua

Jetra Sembiring, ST75

ada juga Nini Mataniari (Penguasa matahari) dan Beru

Dayang (Penguasa bulan serta pelangi). Upacara pemujaan dipinpin seorang

Wanita yang disebut Guru Si Baso.

Menurut Pendeta Agustinus Pengarapen Purba, S.Th, MA76

begu jabu

adalah salah satu kearifan lokal dalam masyarakat Karo yang terus bertahan

hingga pada saat ini di daerah-daerah tertentu seperti: Tigabinanga, Lau baling,

Langkat, Lau Mulgap dll. begu jabu berasal dari begu keluarga dekat atau begu

72

Wawancara dengan Diaken Khristiani Br Ginting (Ketua Bidang Dana dan Usaha Moderamen

GBKP), Minggu, 19 Mei 2019, pukul 17:25 WIB. 73

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB. 74

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB. 75

Wawancara dengan Pertua Jetra Sembiring (Wakil Sekretaris Moderamen GBKP), Selasa, 21

Mei 2019, pukul 13:45 WIB. 76

Wawancara dengan Pendeta Agustinus Pengarapen Purba,S.Th, MA (Ketua Moderamen

GBKP), Senin, 20 Mei 2019, pukul 18:10 WIB.

Page 30: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

22

leluhur (Nini opung). Namun menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th tidak semua

Begu leluhur akan menjadi “begu jabu” melainkan ada beberapa syarat yaitu:77

1)Begu Batara Guru atau bayi yang meninggal dalam kandungan; 2) Begu

Bicara Guru atau anak yang meninggal ketika belum tumbuh giginya; 3) Begu Si

Mate Sada Wari atau seseorang yang meninggal dalam satu hari, yakni

meninggal bukan karena sakit tetapi meninggal karena sesuatu misalnya:

meninggal karena kecelakaan, meninggal saat berperang dan sebagainya; 4) Begu

Tungkup atau wanita yang meninggal sebelum menikah (Perawan); 5) Begu

Sintua atau orang yang meninggal dalam usia tua.78

Menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th salah satu ritual yang berkaitan

dengan begu jabu adalah perumah begu.79

Perumah begu dapat diartikan sebagai

upacara memanggil Begu Jabu. Masyarakat tradisional Karo dalam pelaksanaan

Perumah Begu dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuannya untuk acara

Purpur Sage artinya mendamaikan pihak yang memiliki konflik.80

Tetapi seiring

berjalannya waktu ritual perumah begu setidaknya digunakan untuk tiga tujuan

yakni: 1) mengetahui penyebab kematian seseorang jika tidak ada orang lain

yang mengetahui penyebab kematian; 2) untuk acara ucapan syukur; 3) untuk

acara ngampeken tulan-tulan ku geriten (mengangkat tulang-tulang seseorang

yang telah dikubur dalam waktu lama dan dipindahkan ke tempat yang baru).81

Dalam pelaksanaan ritual perumah begu dipinpin oleh Guru Sibaso (dukun

wanita).

Di samping itu ada beberapa bahan yang harus disiapkan untuk keperluan

ritual dan juga hadiah bagi Guru Sibaso yakni: telu manuk sangkep (tiga ekor

ayam masing-masing berwarna merah, putih dan kuning); sedangkan bahan

lainya sesui dengan permintaan Guru Sibaso atau kesanggupan tuan rumah.82

Berdasarkan gambaran di atas ada dua simbol yang berkaitan erat dengan Begu

77

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB. 78

Sarjani Tarigan, Adat Istiadat Karo (Medan: BABKI, 2011), 85. 79

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB. 80

Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, 30. 81

Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, 32-33. 82

Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, 35.

Page 31: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

23

Jabu yakni: lima syarat untuk menjadi begu jabu (begu batara, begu bicara guru,

begu si mate sada wari, begu tungkup dan begu sintua) dan ritual perumah begu.

Namun salah satu bangunan Karo yang disebut geriten juga memiliki keterkaitan

dengan begu jabu sehingga di ikutsertakan sebagai simbol yang berkaitan dengan

begu jabu.

3.4 Sikap GBKP Terhadap Suku Karo

Dalam hasil Konferensi Pendeta (Konpen) GBKP menolak kearifan lokal

yang menyatakan:Tentang kepercayaan-kepercayaan lama yang sudah menjadi

tradisi dalam masyarakat Karo dan bertentangan dengan iman Kristen ditolak.

Dapat dilihat hasil konpen tahun 2016 No.14 poin ke-2 dan tidak perlu dikaji

ulang (mengacu pada kepetusan sidang sinode sebelumya BPL 2002 seperti:

cawir bulung, niktik wari, ndilo wari udan, nengget, petalayoken, begu jabu

sebagai hasil konpen). Menurut Pendeta Kongsi Kaban, S.Th pengertian dari

cawir bulung, niktik wari, ndilo wari udan, nengget, petalayoken, begu jabu

yaitu:83

a. Cawir bulung adalah upacara yang dilakukan masyarakat Karo untuk

menghindari malapetaka yang mengincar sang anak. Hal ini dapat diketahui

dari mimpi buruk yang dialami oleh orangtua dan kondisi anak yang sering

sakit-sakitan. Pelaksanaan upacara cawir bulung ini dilaksanakan atas

permintaan orangtua anak yang sering sakit-sakitan. Sebelum melaksanakan

upacara cawir bulung kedua anak akan di osei (seperangkat pakaian). Dalam

upacara anak laki-laki menggunakan beka buluh dan anak perempuan

menggunakan uis nipes.

b. Niktik Wari adalah menentukan hari yang tepat untuk memanggil hujan.

c. Ndilo wari udan adalah memanggil hujan pada hari yang telah ditentukan saat

musim kemarau panjang. Dalam upacara dilakukan tarian Gundala-gundala

yang menggunakan topeng kayu.

d. Nengget adalah upacara yang dilakukan dengan mengejutkan seorang wanita

yang tidak memiliki keturunan. Dari upacara nengget diharapkan sang wanita

akan terkejut dan memiliki keturunan.

83

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB.

Page 32: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

24

e. Petalayoken adalah memandikan anak yang baru lahir oleh Mama (saudara

laki-laki dari ibu anak yang akan dimandikan) supaya anak sehat dan panjang

umur.

f. Begu jabu adalah ritual yang bertujuan untuk memanggil kembali roh orang

yang telah meninggal dalam keluarga. Bagi orang yang baru saja meninggal

dunia dilakukan pada malam pertama setelah mayat dikebumikan. Selama

proses ritual guru Si Baso memainkan dua peran penting, yaitu: pemimpin

utama ritual dan juga berperan sebagai pencerita kembali kisah hidup dari

orang yang baru meninggal.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus Moderamen GBKP 2015-

2020 sebagian besar menjelaskan bahwa penolakan terhadap kepercayaan lama

dalam masyarakat Karo sebenarnya hanya fokus terhadap kepercayaan tradisional

yakni agama pemena/perbegu. Menurut mereka agama pemena/perbegu sangat

bertentangan dengan agama Kristen. Karena keselamatan hanya ada pada Yesus

Kristus, bukan kepada dunia dan mengandalkan kekuatannya sendiri. Seperti yang

dikatakan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th84

tertulis dalam Yeremia 17:5-8.

Menurut Pendeta Yunus Bangun, M.Th85

jemaat GBKP masih ada yang

menganut kepercayaan lama agama pemena/perbegu, tetapi tidak seperti dulu lagi

hanya terdapat di daerah-daerah tertentu. Menururut Pendeta Yunus Bangun,

M.Th upaya GBKP mengatasi jemaat yang masih menganut agama

pemena/perbegu biasanya dilakukan kunjungan pastoral yang dilakukan Pendeta

setempat. Setelah beberapa kali melakukan perkunjungan dan percakapan kalau

masih terus menerus seperti itu tindakan yang akan di ambil oleh GBKP adalah

pengembalaan Khusus menurut tata Gereja. Jemaat tidak langsung dikeluarkan

dari gereja. Menurut Pendeta Yunus Bangun M.Th86

orang yang seperti itu sangat

butuh pengembalaan yang paling utama agar ada perubahan yang tumbuh dalam

hatinya. Tetapi kalau terus tidak berubah masih melakukan hal yang sama masih

84

Wawancara dengan Pendeta Kongsi Kaban, S.Th (Ketua Bidang Marturia Moderamen GBKP),

Selasa, 21 Mei 2019, pukul 07:15 WIB. 85

Wawancara dengan Pendeta Yunus Bangun, M.Th (Ketua Bidang Pembinaan Moderamen

GBKP), Rabu, 22 Mei 2019, pukul 08:10 WIB. 86

Wawancara dengan Pendeta Yunus Bangun, M.Th (Ketua Bidang Pembinaan Moderamen

GBKP), Rabu, 22 Mei 2019, pukul 08:10 WIB

Page 33: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

25

menjadi batu antuken (Batu sandungan) tentu dibuat pengembalaan khusus.

Dalam pengembalaan khusus tidak berubah dalam waktu paling lama enam (6)

bulan jemaat tersebut dikeluarkan dari gereja. Sesuai dengan tata gereja GBKP

tahun 2015-2025 Pasal 52 poin tiga (3) dan empat (4) tertulis sebagai berikut:87

a. Poin tiga (3) tertulis: Jika dalam waktu paling lama enam (6) bulan.

b. Poin empat (4) tertulis: Jika yang bersangkutan tetap tidak bertobat, yang

bersangkutan dikeluarkan dari kewargaan GBKP dan yang bersangkutan tetap

didoakan.

4. ANALISIS PEMAHAMAN KONPEN PENDETA TENTANG HUBUNGAN

INJIL DAN AGAMA SUKU DI KARO

4.1 Hubungan Injil dan Agama Suku di Karo

Orang Karo sejak zaman pra-historis percaya adanya Dibata (Tuhan)

yakni Dibata Kaci-kaci sebagai pencipta bumi dan jagad raya. Ia mempunyai

beberapa nama untuk mengungkapkan kehadiranya menurut kosmologis

masyarakat Karo ada dunia atas, tengah, dan dunia bawah. Ketiga bagian dunia

ini menjadi tempat kedudukan Dewa atau Dibata Kaci-kaci. Kepercayaan orang

Karo kepada Tuhan dalam beberapa bentuk politeisme dan bukan juga bentuk

monoteisme dan bersifat trasnsenden dan imanen yaitu Dibata La Idah (Tuhan

yang tidak kelihatan) yang biasa disebut juga Dibata Kaci-kaci dan Dibata Ni

Idah (Tuhan yang kelihatan) yang keduanya memiliki tiga wilayah kekuasaan

yaitu dunia atas, tengah dan bawah.

Dalam kepercayaan orang Karo di setiap kekuasaan itu diperintahkan oleh

seorang Dibata (Tuhan) maka itu mereka mengakui bahwa ada tiga Tuhan yang

merupakan kesatuan dalam masyarakat Karo. Tiga unsur Tuhan Trinitas pada

masyarakat Karo bukan menekankan keterbagian tapi untuk mengungkapkan

kemahakuasaan dan kehadiran Dibata Kaci-kaci di setiap tempat dalam konsep

kosmologi. Konsep ini menjadi jalan masuknya injil ke tanah Karo. Kemiripan

konsep Allah Tritunggal di dalam kekristenan dengan ketritunggalan versi

pemena mengakibatkan diterimanya injil di tanah Karo. Injil diberitakan di

tengah-tengah masyarakat Karo yang kental dengan kebudayaan.Dalam

pertemuan injil dan kebudayaan terdapat unsur kebudayaan universal terdiri dari:

87

Moderamen GBKP,Tata Gereja GBKP Tahun 2015-2025, 29

Page 34: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

26

sistem dan organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem

kesenian, dan sistem mata pencarian. Tetapi kekristenan datang menawarkan hal

yang “asing” bahkan menolak kebudayaan lokal sebagaimana yang telah

dijelaskan di atas. Bagi Lee hal tersebut dapat menyebabkan krisis identitas.

Penulis sependapat dengan pernyataan Lee bahwa manusia tidak dapat hidup di

luar ruang lingkup kebudayaannya.

Dalam konteks kekristenan di masyarakat Karo seseorang di satu sisi akan

hidup dalam tradisi kekristenan dan satu sisi hidup dalam tradisi lokal yang tidak

dapat ia tinggalkan. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan beberapa anggota

jemaat yang aktif sebagai jemaat GBKP tetapi masih terlibat pula dalam ritual

penyembahan roh nenek moyang. Penulis melihat krisis identitas akan semakin

parah jika tamu terus memaksa menjadi tuan rumah. Yang penulis maksudkan

adalah jika kekristenan yang merupakan tamu tapi memaksa menjadi tuan rumah

dengan menolak kebudayaan asli Karo yang adalah tuan rumah.

Dalam buku Christ and Culture, H. Richard Niebuhr mengelompokkan

lima tipologi hubungan injil dan kebudayaan; pertama, Kristus lawan kebudayaan

(konflik). Konflik ini terjadi dari dulu sampai sekarang dalam masyarakat Karo.

Gereja memandang budaya di bawah kekuasaan jahat sebagai kerajaan

kegelapan. Sikap menentang kebudayaan ini menimbulkan konflik-konflik orang

percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan. Gereja harus menentukan

sikap terhadap kebudayaan yang di hadapinya. Kedua, Kristus dan kebudayaan

dalam paradoks. Iman dan kebudayaan dipisahkan. Sebagian orang Kristen

masyarakat Karo berada dalam dua suasana yaitu: berada dalam kebudayaan dan

berada dalam anugrah Allah. Oleh sebab itu orang beriman dihempit oleh dua

suasana hidup dalam kebudayaan dan hidup dalam iman Kristus.

Penulis pun, melihat masalah dalam konteks Kristus lawan kebudayaan

(konflik) gereja memandang budaya merupakan aliran sesat yang masih

menyembah roh nenek moyang dan tidak sejalan dengan iman Kristen harus di

pisahkan atau di tolak. Karena keselamatan yang kekal hanya ada dalam Yesus

Kristus. Penulis sependapat dengan model yang diusulkan oleh Suh Sung Min

yaitu model kontekstualisasi. Kontekstualisasi sifatnya dinamis dan terbuka,

tidak memisahkan antara manusia-manusia atau kebudayaan-kebudayaan. Model

Page 35: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

27

ini bisa dilakukan oleh GBKP usaha untuk menanggulangi masalah

penyembahan roh nenek moyang. Salah satu contoh yang bisa GBKP lakukan di

masyarakat Karo adalah di hari paskah. Karena di hari paskah masih ada

sebagian masyarakat Karo yang melakukan ritual di kuburan. GBKP bisa

mengambil alih melaksanakan acara yang berkaitan dengan orang yang telah

mati „pesta paskah‟. Di hari paskah GBKP mengadakan kebaktian di kuburan.

Tujuan kebaktian ini adalah untuk menanamkan pengajaran tentang imam

kebangkitan dalam hati jemaat. Pada umumnya penekanan firman yang

disampaikan adalah tentang kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang Kristen.

Menurut penulis pelaksanaan pesta paskah adalah suatu usaha kontektualisasi

yang bisa GBKP laksanakan, yang mengandung nilai positif karena dalam acara

tidak ada unsur penyembahan.

4.2 Pandangan Konpen Pendeta GBKP Terhadap Kepercayaan Lama

Kepercayaan lama menurut pandangan Konpen pendeta GBKP adalah

kepercayaan yang tidak memiliki arti atau makna keselamatan. Karena menurut

mereka keselamatan hanya ada pada Yesus Kristus bukan kepada dunia atau

mengandalkan kekuatannya sendiri. Penolakan terhadap kepercayaan lama

karena bertentangan dengan iman Kristen. Akibat dari penolakan kepercayaan

lama ada beberapa jemaat GBKP yang hidup dalam dua tradisi. Di satu sisi hidup

dalam tradisi kekristenan dan di sisi lain hidup dalam tradisi lokal yang tidak

dapat mereka tinggalkan.

Kepercayaan lama yang ditolak dalam hasil Konpen pendeta 2016 ada

empat tapi ada satu kepercayaan yang sangat mengikat dan menjadi alasan

utama gereja menolak kepercayaan tersebut adalah “begu jabu”. Sebelumnya

penulis telah menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi “begu jabu”. Menurut

penulis syarat untuk menjadi “begu jabu” seperti yang telah diuraikan

sebelumnya memiliki alasan tertentu. Makna alasan di balik penetapan syarat

tersebut hendak menginformasikan untuk menjadi “begu jabu” seseorang harus

memiliki nilai luhur semasa hidupnya.

Syarat pertama adalah begu si mate sada wari. Begu si mate sada wari

dikatakan berasal dari seseorang yang meninggal dalam satu hari tanpa

disebabkan suatu penyakit. Kematian yang demikian dianggap sebuah

Page 36: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

28

keistimewaan karena tidak mengalami penderitaan sakit penyakit. Contoh

misalnya seseorang yang terbunuh pada saat berperang melawan musuh, maka

orang tersebut dikenang sebagai orang pemberani, pejuang dan pahlawan.

Demikian orang yang dibunuh karena mempertahankan sebuah kebenaran, maka

orang tersebut dapat dipandang sebagai seseorang yang berani mempertahankan

kebenaran hingga akhir hidupnya. Dengan demikian ada nilai leluhur yang dapat

diingat dari seseorang yang meninggal dalam satu hari.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat orang yang meninggal dalam

satu hari merupakan orang yang dipandang memiliki nilai luhur selama hidupnya,

karena keberanian dan kepahlawanan. Namun bukan berarti begu jabu lainya

seperti bayi yang meninggal dalam kandungan, anak yang meninggal ketika

belum tumbuh giginya, seorang wanita yang meninggal ketika masih perawan

tidak memiliki arti sama sekali. Justru ketiga begu jabu tersebut semakin

melengkapi gagasan keluhuran dalam begu jabu. Bayi yang meninggal dalam

kandungan dan anak yang meninggal ketika belum tumbuh giginya dapat

dikatakan sebagai simbol orang-orang yang tidak “bernoda”. Demikian pula

wanita perawan yang meninggal dapat dikatakan sebagai orang suci yang dapat

menjaga kehormatanya semalama hidupnya. Dengan demikian penulis

menyimpulkan makna di dalam persyaratan begu jabu hendak menunjukkan agar

seseorang hidup memiliki nilai luhur selama hidupnya.

Penulis melihat begu jabu sebagai media untuk mengikatkatkan kembali

teladan hidup leluhur. Gagasan yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan

keteladanan dimana seseorang dituntut untuk dapat menjadi teladan selama

hidupnya sehingga ketika kisah hidupnya diceritakan kembali setelah ia

meninggal dapat diingat dan ditiru oleh mereka yang masih hidup.Dengan

mengingat kembali keteladanan leluhur baik ajaran, nasihat, tindakan dan nilai

leluhur lainnya selama ia hidup lalu kemudian menerapkannya dalam kehidupan

masa kini akan melindungi dan menuntun sebuah keluarga menuju damai

sejahtera. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya acara purpur sage yang

artinya mendamaikan keluarga yang memiliki konflik. Syarat-syarat bagu jabu

tersebut dihadirkan bukan dengan cara memanggil roh/setan, tetapi dengan

mengikat dan meniru teladan leluhur tersebut.

Page 37: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

29

Penulis sependapat dengan model yang diusulkan Suh Sung Min model

Kontekstualisasi. Dimana gereja atau para pendeta-pendeta GBKP melihat

konteks dimana ia sedang memberitakan injil. Seperti yang ditulis A.C.Kruyt

dalam bukunya Keluar dari agama suku masuk ke agama Kristen, keberhasilanya

dalam menanamkan injil karena ia mempunyai sikap yang lebih terbuka terhadap

budaya dan agama suku. Ia tidak menyerang agama suku secara langsung, tapi

melakukan pendekatan dan mengenal lingkungan dimana ia memberitakan injil.

5. Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan tersebut maka penolakan kepercayaan lama di

GBKP dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kepercayaan lama yang ditolak GBKP dapat dilihat dari keputusan Konpen

GBKP tahun 2016 No.14 poin ke-2. Kepercayaan lama yang menjadi tradisi

masyarakat Karo yang ditolak seperti: cawir bulung, niktik wari, ndilo wari

udan, nengget, petalayoken,dan perumah begu.

2. Penolakan terhadap kepercayaan lama dalam masyarakat Karo karena

bertentangan dengan iman Kristen. Keselamatan hanya ada pada Yesus

Kristus, bukan pada dunia yang mengandalkan kekuatannya sendiri atau pada

roh nenek moyang.

3. Timbulnya pergolakan di GBKP pada saat kemunculan organisasi kepercayaan

Karo bernama BPAMSL pada tahun 1967. Banyak jemaat yang sudah

mendaftar menjadi jemaat GBKP kemudian memutuskan keluar dari gereja dan

menjadi anggota BPAMSL. Alasannya karena GBKP kurang menghargai

kebudayaan sedangkan BPAMSL tidak hanya menghargai bahkan berupaya

mengusulkan kepercayaan lama Karo pemena/perbegu supaya diakui oleh

pemerintah. Kejadian yang serupa terulang kembali pasca keputusan MK. Hal

ini dikarenakan GBKP masih menolak kepercayaan lama berdasarkan

keputusan Konpen GBKP.

4. Sekalipun kepercayaan lama dianggap bertentangan dengan iman Kristen

sesuai keputusan Konpen GBKP 2016. Dalam kepercayaan lama masih ada

nilai-nilai yang sama dengan kekristenan atau dengan kata lain nilai-nilai

kekristenan dapat juga ditemukan di dalam kearifan lokal.

Page 38: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

30

5. Gereja hanya perlu membuka ruang berdialog dan kontekstualisasi. Dimana

makna begu jabu menekankan teladan (melakukan kebaikan) semasa hidup

dapat memberi sumbangsih bagi permasalahan sosial di masyarakat Karo. Pada

saat ini masyarakat Karo menghadapi berbagai masalah sosial seperti narkoba,

perjudian dan HIV/AIDS. Bukankah salah satu penyebab permasalahan

tersebut kurangnya keteladanan di masyarakat Karo karena itu pemaknaan dari

berdialog dapat mengatasi atau setidaknya meminimalisir permasalahan sosial

yang dihadapi masyarakat Karo dimana GBKP melayani.

Saran

Pertama, kepercayaan Lama “begu jabu” menekankan pentingnya

keteladanan yang tampak relevan dalam konteks masyarakat Karo. Oleh karena

itu akan lebih baik jika dikembangkan misalnya menjadi sebuah model pembinaan

dalam GBKP. Tujuannya agar konsep ini dapat benar-benar dirasakan keluarga

GBKP. Hal tersebut menjadi tugas penelitian selanjutnya.

Kedua, penulis menyarankan agar GBKP membuka ruang dialog terhadap

kearifan lokal. Melalui tulisan ini dapat menjadi solusi untuk menghindari

pergolakan pasca putusan MK. Hal ini dibuktikan terhadap “begu jabu” yang

memiliki gagasan pentingnya menjadi teladan yang sangat relevan dalam konteks

masyarakat Karo. Hanya diperlukan keterbukaan dan ruang berdialog. Lagi pula

dalam tata gereja GBKP 2015-2025 poin 4 dikatakan „GBKP hidup dan melayani

dalam konteks budaya Karo‟. Dalam konteks tersebut GBKP terus menerus

melakukan pergumulan teologis terhadap budaya Karo secara kritis dan dinamis.

Oleh karena itu keputusan Konpen sudah saatnya diamademen sehingga kearifan

lokal yang ditolak sbelumnya dapat dikaji kembali untuk menemukan nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya.

Page 39: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

31

DAFTAR PUSTAKA

Brahmana. Budaya Karo. Medan: Ulih Saber, 2004.

Cooley. Benih yang Tumbuh IV, edisi revisi. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Dewan

Studi Gereja-gereja di Indonesia, 1976.

End, Van den. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

GBKP, Moderamen. Tata Gereja GBKP Edisis Sinode 2010.

____________ Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015. Kabanjahe: Abdi Karya,

2005.

Ginting. The Position of Hinduism in Karo Society. North Sumatra.

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Namun Konghucu diakui

kembali berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang

Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

Jawak, Kalvinsius. Teologi Agama-agama Gereja Batak Karo Protestan

(GBKP). Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2014.

Jubileum, Panitia. Ini Aku Utuslah Aku. Medan: Sekretariat Panitia Jubileum, 1990.

Komariah, Aan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2010.

Kruyt , A.C. Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen. Jakarta:

Gunung Mulia, 2008.

Lee, Archie. “Biblical Interpretation in Asia Perspective” Asia Journal of

Theology. 1993.

Maarif, Samsul. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik

Agama di Indonesia. Yogyakarta: CRCS, 2018.

Maran, Rafael Raga. Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu

Page 40: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

32

Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Min, Suh Sung. Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Media

Pressindo, 2001.

Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia. Jakarta:

Puslitbang Kementrian Agama RI, 2012.

Naipospos, P.S. Adat dan Injil: perjumpaan adat dengan iman Kristen di

Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Nasution, Farizal. Jejak Sejarah dan Budaya Karo. Medan: MITRA, 2012.

Nazir, Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta, 2008.

Niebuhr, H. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1946.

Putro, Brahma. Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman. Medan:Ulih Saber, 1995.

Saleh, Nugroho Notosusanto Ismail. Tragedi Nasional Percobaan KUP G

30 S/PKI di Indonesia. Jakarta: PT Pembimbing Masa, 1989.

Sinuraya, P. Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo. Jakarta:

Lembaga Penelitian dan Dewan Studi Gereja-gereja di Indonesia, 2011.

Sitepu, Sempa. Sejarah Pijer Podi: Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia.

Medan: Ulih Saber, 2010.

Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.

Tarigan, Sarjani. Adat Istiadat Karo. Medan: BABKI, 2011

____________ Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe. Medan: BABKI,

2011.

Page 41: PENOLAKAN KEPERCAYAAN LAMA DI GEREJA BATAK KARO …

33

Internet

https://joeybangun.com/category/budaya-karo/, Diakses 23 Mei 2017.

https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016.pdf, Diakses

12 Maret 2018.

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/11/30/p07t5t319-mensos-

dorongpengembangan-kearifan-lokal, Diakses 28 April 2018.

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/11/30/p07t5t319-mensos-

dorongpengembangan-kearifan-lokal, Diakses 28 April 2018.

http://gbkp.or.id/2016/11/keputusan-konpengbkp-2016/, Diakses 12 Maret 2018.

Mindawati Perangin-Angin, Gereja Diantara Identitas dan Schizophrenia.

http://mindawatiperanginangin.blogspot.co.id/, Diakses 10 April 2018.

http://gbkp.or.id/2016/07/koinonia-sebagai-tatanan-hidup-keluarga-allah/, Diakses 1

Juni 2018.

Ira Indrawardana https://sains.kompas.com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-

berapa-jumlah penghayatkepercayaan-di-indonesia, Diakses 1 Juni 2018.