Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

25
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 Pengertian PPh Pasal 25 Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat. Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25. Cara Mengitung PPh Pasal 25 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan. Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut : Pajak Penghasilan terutang 50.000.000 Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000 Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut : Pajak Penghasilan terutang 50.000.000 Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000 Selisih 15.000.000 PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 = 1.250.000 PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007. PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu

Transcript of Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Page 1: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

Pengertian PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

Cara Mengitung PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.

Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang 50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000

Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang 50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24 35.000.000

Selisih 15.000.000

PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 = 1.250.000

PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.

PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu

Page 2: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP

PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; 2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; 3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; 4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan; 5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran

bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan. 6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu

Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Update :

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255.PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009.

Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Karyawan

Perhitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap 2009

Contoh berikut ini adalah lanjutan dari postingan saya sebelumnya tentang contoh perhitungan PPh Pasal 21 untuk karyawan. Tulisan tersebut saya buat ketika belum berlaku UU Nomor 36 Tahun 2008 dan ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 21 tahun 2009. Nah, untuk itu contoh dalam postingan tersebut saya modifikasi menjadi contoh yang relevan untuk tahun 2009.

Misal, Tukul Arwana pegawai pada perusahaan PT Empat Mata, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp. 4.000.000,00. PT Empat Mata mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Empat Mata menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Tukul Arwana membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Empat Mata juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.

Page 3: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

PT Empat Mata membayar iuran pensiun untuk Tukul Arwana ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp. 140.000,00, sedangkan Tukul Arwana membayar iuran pensiun sebesar Rp.100.000,00.

Perhatikan, perhitungan untuk mengetahui berapa besarnya pajak (penghasilan) yang harus dipotong PT Empat Mata untuk satu bulannya.

Gaji sebulan 4.000.000

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 20.000

Premi Jaminan Kematian 12.000

Jumlah Penghasilan Bruto

4.032.000

Pengurangan :

1. Biaya Jabatan 201.600

2. Iuran Pensiun 100.000

3. Iuran Jaminan Hari Tua 80.000

Jumlah Pengurangan 381.600

Penghasilan Neto Sebulan 3.650.400

Penghasilan Neto Setahun 43.804.800

PTKP

- Diri WP Sendiri 15.840.000

- Status Kawin 1.320.000

Jumlah PTKP 17.160.000

Penghasilan Kena Pajak Setahun 26.644.800

Pembulatan 26.644.000

PPh Pasal 21 Setahun 5% x Rp26.644.000 1.332.200

PPh Pasal 21 Sebulan Rp1.332.200 / 12 111.017

Langkah pertama kita menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara teratur dalam sebulannya. Yang termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang lembur dan premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam penghasilan bruto adalah imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas penghasilan bruto yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan kerja (5% dari gaji) dan premi jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar atau ditanggung perusahaan.

Langkah berikutnya kita hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada dasarnya ada dua macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk iuran jaminan hari tua). Biaya jabatan sendiri besarnya 5% dari penghasilan bruto 5% x Rp4.032.000,00 atau sama dengan Rp201.600,00. Jumlah ini masih di bawah maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar Rp500.000,00 per bulan.

Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT yang masing-masing Rp100.000,00 dan Rp80.000,00 (2% dari gaji) per bulan. Iuran pensiun dan iuran JHT yang dibayar atau ditanggung oleh perusahaan tidak dapat dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh pengurang adalah Rp381.600,00.

Penghasilan bruto Rp4.032.000,00 dikurangi pengurang Rp381.600 sama dengan Rp3.650.400,00. Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto sebulan. Selanjutnya penghasilan neto sebulan ini kita buat setahunkan dengan cara penghasilan neto sebulan dikali 12 bulan atau Rp3.650.400 x 12 = Rp43.804.800,00.

Setelah itu barulah kita kurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dalam hal ini jumlahnya adalah Rp17.160.000,00. Selisihnya (Rp43.804.800 – Rp17.160.000,00 = Rp26.644.800) inilah yang merupakan

Page 4: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Penghasilan Kena Pajak. O, ya. Perlu diketahui juga, sebelum dikalikan tarif pajak, Penghasilan Kena Pajak tersebut harus dibulatkan dulu ribuan penuh ke bawah.

Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan) dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Karena Penghasilan Kena Pajak ini masih di bawah Rp50.000.000,- maka tarif yang dikenakan adalah 5% sehingga PPh Pasal 21 nya adalah 5% x Rp26.644.800,00 = Rp1.332.200,00.

Nah, karena kita menghitung PPh Pasal 21 untuk satu bulan, maka PPh Pasal 21 terutang di atas tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Empat Mata atas penghasilannya Tukul Arwana adalah Rp1.332.200 : 12 = Rp111.017,00.

Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23

Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima penghasilan memenuhi kriteria sebagai fihak yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah :

a. Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah.

b. Subjek Pajak Badan dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.

Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap

c. Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.

d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Page 5: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.

Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.

e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

Fihak Yang Dipotong PPh Pasal 23

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, fihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu :

1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;

2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; 3. royalti; 4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; 5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain

sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan

6. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Khusus untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.

Untuk jenis jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Page 6: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Jenis Jasa Lain Yang Dikenakan PPh Pasal 23

Jenis jasa lain sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 yang dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.

1. Jasa penilai (appraisal); 2. Jasa aktuaris; 3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; 4. Jasa perancang (design); 5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang

dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT); 6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas; 7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; 8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; 9. Jasa penebangan hutan; 10. Jasa pengolahan limbah; 11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) 12. Jasa perantara dan/atau keagenan; 13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan

KPEI; 14. Jasa custodian/penyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI; 15. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara; 16. Jasa mixing film; 17. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan; 18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain

yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

19. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

20. Jasa maklon; 21. Jasa penyelidikan dan keamanan; 22. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; 23. Jasa pengepakan; 24. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk

penyampaian informasi; 25. Jasa pembasmian hama; 26. Jasa kebersihan atau cleaning service; 27. Jasa catering atau tata boga.

Inilah jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.

a. Jasa penilai (appraisal);

b. Jasa aktuaris;

c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;

d. Jasa perancang (design);

e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);

f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;

Page 7: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;

h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;

i. Jasa penebangan hutan;

j. Jasa pengolahan limbah;

k. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)

l. Jasa perantara dan/atau keagenan;

m. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;

n. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oelh KSEI;

o. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;

p. Jasa mixing film;

q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;

r. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

t. Jasa maklon;

u. Jasa penyelidikan dan keamanan;

v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;

w. Jasa pengepakan;

x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;

y. Jasa pembasmian hama;

z. Jasa kebersihan atau cleaning service;

aa. Jasa catering atau tata boga.

Jasa Lain PPh Pasal 23

Mulai tahun 2009 ini pemotongan PPh Pasal 23 mengakami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan tersebut adalah dengan menghilangkan istilah perkiraan penghasilan neto. Sebagai gantinya, ketentuan baru dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 memperkenalkan tarif baru 2% dari penghasilan bruto.

Jenis-jenis penghasilan yang dikenakan tarif 2% dari penghasilan bruto ini adalah

Page 8: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

• sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),

• jasa teknik, • jasa manajemen, • jasa konstruksi, • jasa konsultan, dan • jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21

Nah jenis-jenis jasa lain ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008. Berikut ini adalah jenis jasa-jasa tersebut :

• Jasa penilai (appraisal) • Jasa aktuaris • Jasa akuntansi, pembukuan dan atestasi laporan keuangan • Jasa perancang (design) • Jasa pengeboran (drilling) di bidang pertambangan migas kecuali yang dilakukan oleh BUT • Jasa penunjang di bidang penambangan migas • Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas • Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandara • Jasa penebangan hutan • Jasa pengolahan limbah • Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) • Jasa perantara dan/atau keagenan • Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan

KPEI • Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI • Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara • Jasa mixing film • Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan • Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan listrik, telpon, air, gas, AC dan/atau TV kabel selain yang

dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang linkupnya di bidang konstruksi, dan mempunyai ijin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi

• Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin, peralatan listrik, telpon, air, gas, AC dan/atau TV kabel selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang linkupnya di bidang konstruksi, dan mempunyai ijin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi

• Jasa maklon • Jasa penyelidikan dan keamanan • Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer • Jasa pengepakan • Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk

penyampaian informasi • Jasa pembasmian hama • Jasa kebersihan atau cleaning services • Jasa ketering atau tata boga

PPh Pasal 23 Dengan Tarif 15%

Apabila PPh Pasal 23 bisa dikenakan setelah memenuhi ruang lingkup sebagaimana sudah saya jelaskan dalam tulisan Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23, maka pertanyaan berikutnya adalah berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu tarif pemotongan PPh Pasal 23 dan dasar pengenaan PPh Pasal 23. Tarif PPh Pasal 23 sendiri mengenal dua jenis

Page 9: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

tarif yaitu tarif 15% dari jumlah bruto dan tarif 2% dari jumlah bruto. Tulisan ini akan memfokuskan pada objek pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas beberapa jenis objek PPh Pasal 23 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto. Objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 15% dari jumlah bruto ini adalah :

a. Dividen

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Perlu ditegaskan bahwa tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah objek PPh Pasal 23. Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat juga dividen yang merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) dan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984

b. Bunga

Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito dan tabungan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga bunga yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.

c. Royalti

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:

1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;

2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;

3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.

Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah Wajib Pajak luar negeri.

d. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah bahwa penerima penghasilannya Wajib

Page 10: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan.

Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan hidup memberikan penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian kepada lingkungan sekitarnya. Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai naka penghargaan ini menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 karena penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri. Besarnya PPh Pasal 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto nilai penghargaan.

PPh Pasal 23 Dengan Tarif 2%

Tidak seperti sebelum tahun 2009 di mana PPh Pasal 23 mengenal perkiraan penghasilan neto sehingga tarif efektif PPh Pasal 23 sangat bervariasi, sekarang tarif PPh Pasal 23 hanya ada dua, tarif 15% dari jumlah bruto seperti dijelaskan di tulisan PPh Pasal 23 Dengan Tarif 15% dan tarif 2% dari jumlah bruto. Berikut adalah jenis-jenis penghasilan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 2% dari jumlah bruto.

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Definisi ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Perlu digarisbawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain

Jasa konstruksi telah dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi.

Pengertian jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :

1. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;

2. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau

3. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.

Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Sementara itu Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli

Page 11: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.

Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Lebih jauh tentang jenis jasa lain yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto, silahkan klik tulisan saya sebelumnya.

Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23

Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa

terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak dipotong

PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini

adalah penghasilan-penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.

Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak

Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.

Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi

akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.

3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,

koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan

usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat tertentu, bukan merupakan objek

Pajak Penghasilan sehingga sewajarnya juga tidak dipotong PPh Pasal 23.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (2c) dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan

pemotongan PPh final sebesar 10% sehingga PPh Pasal 23 tidak melakukan pemotongan lagi terhadap jenis

dividen ini.

4. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak Penghasilan.

Tidak termasuk obje Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari

perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,

dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba

seperti ini tidak seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.

5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;

Page 12: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai

penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008

tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai

Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.

Berdasarkan ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan

pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman

dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah.

Badan usaha jasa keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari :

• perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;

• badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.

Tatacara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara

atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh

Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan salam

suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23

yang telah dilakukan. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal

23.

1. Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April

2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23

yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa

Pajak berakhir.

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk

hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang

ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)

atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti

pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau

apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan

Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan

sebagai tempat pembayaran pajak.

Page 13: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

2. Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23

Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi

atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti

pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan

dikreditkan dalam SPT Tahunannya.

Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah

dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal

23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.

Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari

setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh

Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010.

Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur

nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang

diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara

nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri

Terima kasih Pak Sukisno atas pertanyaannya. Memang benar bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Hal ini diatur dalam Pasal 16C Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Adapun ketentuan pelaksanaannya yang sekarang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tanggal 22 Februari 2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 27/PJ/2010 tanggal 2 Juni 2010. Penjelasan saya di bawah ini mengacu kepada ketentuan-ketentuan tersebut di atas.

Ruang Lingkup

PPN Kegiatan Membangun Sendiri dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang memenuhi ruang lingkup berikut ini

1. terutang oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri, 2. dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan, 3. dilakukan oleh orang pribadi atau badan, 4. hasilnya digunakan sendiri atau fihak lain, 5. berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan

tanah dan/atau perairan dengan kriteria :

• konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja,

• diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, dan

• luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

Page 14: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Nah, jika bangunan rumah yang akan didirikan pak Sukisno luasnya 300 m2 atau lebih maka memang pak Sukisno mempunyai kewajiban membayar PPN atas kegiatan membangun rumah tersebut. Sebaliknya, jika rumah yang akan dibangun luasnya kurang dari 300 m2 maka tidak terdapat kewajiban membayar PPN.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Besarnya DPP adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Dengan demikian, tarif efektifnya adalah 4% dari jumlah biaya yang dibayarkan dan/atau dikeluarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Misalnya saja luas rumah yang akan dibangun luasnya adalah 350 m2 sehingga terutang PPN. Dalam suatu bulan, misal bulan Oktober 2010, pak Sukisno membeli material bangunan (semen, pasir, batu bata dan lain-lain) serta upah tukang dengan jumlah seluruhnya Rp50.000.000,-. PPN yang terutang untuk bulan Oktober 2010 adalah 4% x Rp50.000.000,- atau sama dengan Rp2.000.000,-. Cara perhitungan yang sama juga dilakukan pada bulan-bulan lainnya sepanjang masa pembangunan rumah masih berlangsung.

Tatacara Pembayaran dan Pelaporan

Pembayaran PPN terutang dilakukan setiap bulan sebesar 10% dikalikan dengan 40% (atau sama dengan 4%) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya sebagaimana dicontohkan di atas. Dengan demikian, PPN atas kegiatan membangun sendiri dibayarkan setiap bulan dan tidak menunggu sampai bangunan selesai dibangun.

PPN terutang tersebut wajib disetor ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Melanjutkan contoh sebelumnya di mana pada bulan Oktober 2010 terutang PPN sebesar Rp2.000.000,-, jumlah PPN terutang tersebut paling lambat harus disetorkan ke Kas Negara melalui Bank atau Kantor Pos pada tanggal 15 Nopember 2010.

Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran PPN yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak (SSP) paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Misalnya jika bangunan rumah yang akan dibangun pak Sukisno berlokasi di Cimahi, maka lembar ketiga SSP dilaporkan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cimahi paling lambat tanggal 30 Nopember 2010 untuk contoh PPN terutang untuk bulan Oktober di atas.

Bangunan Digunakan Fihak Lain

Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut.

Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

Page 15: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran Pajak

Kode Akun Pajak 411121 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

100 Masa PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.

199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 21

untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 21.

200 Tahunan PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.

300 STP PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal 21.

310 SKPKB PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 21.

311 SKPKB PPh Final Pasal 21 Pembayaran Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.

320 SKPKBT PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 21.

321 SKPKBT PPh Final Pasal 21 Pembayaran Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun dan Uang Pesangon.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.

401 PPh Final Pasal 21 Pembayaran Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon

untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.

402 PPh Final Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan para pensiunnya

untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan para pensiunnya.

500 PPh Pasal 21 atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Pasal 21 atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan,

Page 16: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Pasal 21

atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

Kode Akun Pajak 411122 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

100 Masa PPh Pasal 22 untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.

199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 22

untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 22.

300 STP PPh Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22.

310 SKPKB PPh Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22.

311 SKPKB PPh Final Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 22.

320 SKPKBT PPh Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22.

321 SKPKBT PPh Final Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 22.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

401 PPh Final Pasal 22 atas Penebusan Migas

untuk pembayaran PPh Final Pasal 22 atas Penebusan Migas.

403 PPh Final Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

untuk pembayaran PPh Final Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

500 PPh Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang

Page 17: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

tindak pidana di bidang perpajakan

KUP.

900 Pemungut PPh Pasal 22 untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut.

Kode Akun Pajak 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

100 Masa PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas transaksi impor termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.

199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 22 Impor

untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 22 Impor.

300 STP PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22 atas transaksi impor.

310 SKPKB PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22 atas transaksi impor.

320 SKPKBT PPh Pasal 22 Impor

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22 atas transaksi impor.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

500 PPh Pasal 22 Impor atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran atas transaksi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Pasal 22 Impor atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana atas transaksi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 Impor

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

Kode Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

100 Masa PPh Pasal 23 untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor (selain PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa) yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.

101 PPh Pasal 23 atas Dividen untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas dividen

Page 18: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.

102 PPh Pasal 23 atas Bunga untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas bunga (termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang) yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.

103 PPh Pasal 23 atas Royalti untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.

104 PPh Pasal 23 atas Jasa untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas jasa yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.

199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 23

untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 23.

300 STP PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 23 (selain STP PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa).

301 STP PPh Pasal 23 atas Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa.

310 SKPKB PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 23 (selain SKPKB PPh pasal 23 atas dividen, bunga, royalti dan jasa).

311 SKPKB PPh Pasal 23 atas Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa.

312 SKPKB PPh Final Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 23.

320 SKPKBT PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23 (selain SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa).

321 SKPKBT PPh Pasal 23 atas Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa.

322 SKPKBT PPh Final Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 23.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

401 PPh Final Pasal 23 atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi

untuk pembayaran PPh Final Pasal 23 atas bunga simpanan anggota koperasi.

500 PPh Pasal 23 atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23 atas pengungkapan ketidakbenaran (termasuk PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Pasal 23 atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 23 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 23

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5)Undang-Undang KUP.

Page 19: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

Kode Akun Pajak 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

100 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi

untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi yang terutang.

101 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang terutang.

199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Orang Pribadi

untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Orang Pribadi.

200 Tahunan PPh Orang Pribadi untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.

300 STP PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Orang Pribadi.

310 SKPKB PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Orang Pribadi.

320 SKPKBT PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Orang Pribadi.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

500 PPh Orang Pribadi atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Orang Pribadi atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Orang Pribadi atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Orang Pribadi atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Orang Pribadi

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

100 Masa PPh Pasal 25 Badan untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Badan yang terutang.

199 Pembayaran Pendahuluan untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan

Page 20: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

skp PPh Badan pajak PPh Badan.

200 Tahunan PPh Badan untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.

300 STP PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Badan.

310 SKPKB PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Badan.

320 SKPKBT PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Badan.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

500 PPh Badan atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Badan atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Badan atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Badan atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Badan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

Kode Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final

KODE JENIS SETORAN

JENIS SETORAN KETERANGAN

199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Final

untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Final.

300 STP PPh Final untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar/disetor yang tercantum dalam STP PPh Final.

310 SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2)

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2).

311 SKPKB PPh Final Pasal 15 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 15.

312 SKPKB PPh Final Pasal 19 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 19.

320 SKPKBT PPh Final Pasal 4 ayat (2)

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 4 ayat (2).

321 SKPKBT PPh Final Pasal 15 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 15.

322 SKPKBT PPh Final Pasal 19 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 19.

390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan,

untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan

Page 21: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali

Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

401 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Diskonto/Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas diskonto/bunga obligasi dan Surat Utang Negara

402 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

403 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

404 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito / Tabungan, Jasa Giro dan Diskonto SBI

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan, jasa giro dan diskonto SBI.

405 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Hadiah Undian

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas hadiah undian.

406 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Transaksi Saham, Obligasi dan sekuritas lainnya di Bursa.

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi saham, obligasi dan sekuritas lainnya, dan di Bursa.

407 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penjualan Saham Pendiri

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penjualan Saham Pendiri.

408 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penjualan saham milik Perusahaan Modal Ventura.

409 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Jasa Konstruksi

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.

410 PPh Final Pasal 15 atas Jasa Pelayaran Dalam Negeri

untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas jasa pelayaran dalam negeri.

411 PPh Final Pasal 15 atas Jasa Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri

untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri.

413 PPh Final Pasal 15 atas Penghasilan Perwakilan Dagang Luar Negeri

untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas penghasilan perwakilan dagang luar negeri.

414 PPh Final Pasal 15 atas Pola Bagi Hasil

untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas pola bagi hasil.

415 PPh Final Pasal 15 atas Kerjasama Bentuk BOT

untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas kerjasama bentuk BOT.

416 PPh Final Pasal 19 atas Revaluasi Aktiva Tetap

untuk pembayaran PPh Final Pasal 19 atas revaluasi aktiva tetap.

417 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi yang Dibayarkan kepada Orang Pribadi

untuk Pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi yang Dibayarkan kepada Orang Pribadi

418 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa

untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang diterima dan/atau yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa

419 PPh Final Pasal 17 ayat (2c) atas penghasilan berupa dividen

untuk pembayaran PPh Final Pasal 17 ayat (2c) atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri

499 PPh Final Lainnya untuk pembayaran PPh Final lainnya

Page 22: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

500 PPh Final atas pengungkapan ketidakbenaran

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Final atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

501 PPh Final atas penghentian penyidikan tindak pidana

untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Final atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Final

untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.

511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.

Bentuk, lsi, dan Tata Cara Pengisian SPT Masa PPN 1111

Mulai 1 Januari 2011 bentuk dan tata cata penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) mengalami perubahan dimana bentuk formulir SPT Masa PPN yang baru disebut dengan SPT Masa PPN 1111 dan SPT Masa PPN 1111 DM. SPT Masa PPN 1111 berlaku mulai Masa Pajak Januari 2011, sehingga dengan demikian mulai Masa Pajak Januari 2011 akan dikenal 3 (tiga) jenis SPT Masa PPN yaitu:

1. SPT Masa PPN 1111, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (Normal).

2. SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan; dan

3. SPT Masa PPN 1107 PUT, yang digunakan oleh Pemungut PPN.

Ketentuan mengenai bentuk formulir SPT Masa PPN tersebut diatur masing-masing oleh:

• SPT Masa PPN 1111, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (Normal)

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER- 44 /PJ/2010 tentang Benluk, lsi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE- 98/PJ/2010.

• SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER- 45 /PJ/2010 tentang Bentuk, lsi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Pedoman Penghilungan Pengkreditan Pajak Masukan, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE- 99/PJ/2010.

Page 23: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

SPT Masa PPN 1111

SPT Masa PPN 1111 digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (Normal) selain PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang terdiri dari

a. Induk SPT Masa PPN 1111- Formulir 1111 (F.1.2.32.04); dan

b. Lampiran SPT Masa PPN 1111:

1. Formulir 1111 AB – Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (0.1.2.32.07); 2. Formulir 1111 A 1 – Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (0.1.2.32.08); 3. Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Oalam Negeri dengan Faktur Pajak

(0.1.2.32.09); 4. Formulir 1111 B 1 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan

BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (0.1.2.32.10); 5. Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam

Negeri (0.1.2.32.11); dan 6. Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Oikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas

(0.1.2.32.12),

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengisian dan penyampaian SPT Masa PPN 1111.

Penggunaan formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk PDF

• PKP dapat mencetak/print formulir SPT Masa PPN 1111 langsung dari file PDF yang telah disediakan, dengan memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:

• Dicetak dengan menggunakan kertas foliolF4 dengan be rat minimal 70 gram • Pengaturan ukuran kertas pad a printer menggunakan ukuran kertas (paper size) 8,5 x 13 inci (215 x

330 mm). • Tidak menggunakan printer dotmatrix.

Di samping pedoman tersebut, terdapat petunjuk pencetakan yang harus diikuti, yang tersimpan dalam bentuk file PDF dengan nama readme. pdf.

• Formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk file PDF terlebih dahulu dicetak, selanjutnya PKP dapat mengisi formulir SPT Masa PPN 1111 tersebut, menandatanganinya kemudian menyampaikannya ke KPP atau KP2KP.

Faktur Pajak dan Nota Retur

• Faktur Pajak yang diisikan dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak, adalah Faktur Pajak selain yang digunggung yang dilaporkan dalam Formulir 1111 AB – Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan pada butir I huruf B angka 2.Faktur Pajak yang dilaporkan secara gunggungan adalah Faktur Pajak yang tidak diisi dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2) Undang-Undang KUP.

Dalam hal PKP merupakan pedagang eceran, namun PKP tersebut juga melakukan penyerahan yang Faktur Pajaknya:

Page 24: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

• diisi lengkap sesuai dengan Pasal13 ayat (5) Undang-Undang PPN; dan/atau • tidak diisi dengan identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b

Undang-Undang PPN;

dan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang strukturnya mengikuti ketentuan dalam peraturan mengenai Faktur Pajak, PKP melaporkan Faktur Pajak dimaksud dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak.

• Faktur Pajak Khusus yang menggunakan kode transaksi ’06′ yang diterbitkan oleh PKP Toko Retail yang ditunjuk yang melakukan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri semula dilaporkan secara gunggungan pada butir III – Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak Sederhana dalam Lampiran 1 – Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Formulir 1107 A sedangkan rinciannya dilaporkan dalam lampiran SPT Masa PPN yaitu Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar NegeriDalam SPT Masa PPN 1111, Faktur Pajak Khusus tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak dan PKP Toko Retail tersebut tidak perlu membuat rincian penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri.

• Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP yang diterima oleh PKP yang melakukan penyerahan yang terutang dan tidak terutang pajak, dilaporkan di 2 (dua) tempat, yaitu di Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri, sebesar jumlah yang dapat dikreditkan dan di Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas, sebesar jumlah yang tidak dapat dikreditkan. Selanjutnya sesuai ketentuan, PKP melakukan penyesuaian setiap akhir tahun sampai dengan selesainya masa manfaat BKP/JKP terkait dalam Formulir 1111 AB butir III huruf B angka 3 – Hasil Penghitungan Kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagai penambah (pengurang) Pajak Masukan.

• Nota Retur yang dilaporkan dalam Lampiran SPT Masa PPN 1111 dikaitkan dengan Faktur Pajaknya. Dalam hal Nota Retur tersebut terkait dengan Faktur Pajak yang dapat dikreditkan, maka Nota Retur tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri. Dalam hal PKP menerbitkan Nota Retur yang terkait dengan Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan atau mendapat fasilitas, maka Nota Retur tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas.

Penyampaian SPT Masa PPN 1111

PKP yang telah menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik, tidak diperbolehkan lagi untuk menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

Sebagai contoh, PKP dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Januari sampai dengan Mei 2011 melaporkan Faktur Pajak yang diterbitkan dan nota retur yang diterima dalam Formulir 1111 A2 pada setiap masa tidak melebihi 25 dokumen. Pada bulan Mei, PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2011 yang mengakibatkan dokumen yang dilaporkan dalam Formulir 1111 A2 lebih dari 25.

Dalam hal demikian, PKP wajib menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2011 dalam bentuk data elektronik. Untuk masa pajak berikutnya yaitu Masa Pajak Juni 2011, PKP wajib menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik.

Page 25: Penjelasan Pph 25, Pph 21 & Pph 23

Pembetulan SPT Masa PPN 1111

Dalam hal PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2011, pembetulan dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPN yang sama dengan formulir SPT Masa PPN yang dibetulkan. Sebagai contoh, PKP yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak April 2009 yang SPT Normalnya menggunakan Formulir 1107, pembetulannya menggunakan Formulir 1107. Namun apabila PKP pada Masa Pajak April tersebut menggunakan Formulir 1108, maka pembetulannya menggunakan Formulir 1108.

Untuk menghitung pajak ekspor adalah sbb :

Ketahui dulu : NI : Nilai invoice / Faktur barang HPE : Harga Patokan Ekspor (sesuai permendag) PE : Tarip Pajak Ekspor (sesuai permendag) Kurs : Kurs minggu ini yang berlaku (sesuai kepmenkeu) Contoh : Anda akan ekspor kayu albasia (jenis tanaman rakyat)sbb : Jumlah = 10 M3. Nilai invoice = USD. 7,000 HPE-nya = USD.200/M3 PE-nya = 15%

Maka rumus perhitungannya adalah = PE * (HPE * Jumlah_kubikasi) * KursPajak = 15% X (US$ 200 X 10 M3) X 9.000 (kurs) = 15% X 2000 X Kurs = 2,700,000 (Dua juta tujuh ratus ribu rupiah)

Pembayaran menggunakan blanko STBS (Surat Tanda Bukti Setor)