PENGUATAN HAK TANAH TIMBUL DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL
description
Transcript of PENGUATAN HAK TANAH TIMBUL DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL
I. PENDAHULUAN
1
MAKALAH
PENGUATAN HAK TANAH TIMBUL DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN KECIL
OLEH CPNS KELOMPOK 7 TAHUN 2008
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
I.1. Latar Belakang
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga
pemerintah yang menangani pertanahan di Indonesia. Tanah
merupakan aset fisik Usaha Mikro Kecil (UMK) pada bidang pertanian,
industri dan jasa. Tanah juga merupakan aset yang dapat dijaminkan
untuk permodalan yang dapat digunakan untuk keberlangsungan dan
pengembangan usaha.
Pentingnya aset tanah tersebut bagi UMK mendorong dibuatnya
kesepakatan bersama Kepala BPN, Menteri Negara Koperasi dan UKM
dan Menteri Dalam Negeri tahun 2007 tentang kebijakan percepatan
pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UKM. Ini dilakukan untuk
meningkatkan akses permodalan UMKM terkait pelaksanaan program
pemberdayaan UMKM. Tugas dan tanggung jawab BPN dalam
kesepakatan bersama tersebut adalah :
Melaksanakan percepatan sertipikasi hak atas tanah sebagai
program prioritas
Menyusun petunjuk teknis percepatan penyelesaian hak atas tanah
Memfasilitasi bantuan biaya sertipikasi sesuai DIPA
Menginstruksikan Kepala Kantor Wilayah (KaKanWil) BPN dan Kepala
Kantor Pertanahan (KaKanTah) Kabupaten/Kota untuk melaksanakan
percepatan program.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto, PhD menegaskan
bahwa aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat akan tidak berarti
kecuali dilegalkan sehingga aset ini dapat digunakan secara penuh dan
efektif. Apabila aset tidak memiliki legalitas di mata hukum maka UMK
tidak dapat menggunakan aset-aset tersebut sebagai agunan dalam
mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan bisnis. Jika tidak punya
2
cukup dana untuk pengembangan bisnis, maka dapat dipastikan tidak
akan ada kontribusi yang dapat diharapkan dari mereka untuk
pembangunan negara. (Ira, 2007)
Hak milik kaum miskin dan pengusaha lemah masih sedikit diakui
oleh pemerintah, sehingga mereka tetap ’terkunci’ di dalam kegiatan
ekonomi informal. Bahkan banyak dari mereka yang tidak memiliki
legalitas yang diperlukan untuk mengubah asetnya menjadi kapital.
(Prasetyawan, W., 2006)
Berdasarkan data dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM,
perkembangan jumlah UKM periode 2005-2006 mengalami
peningkatan sebesar 3,88% yaitu dari 47.102.744 unit pada tahun
2005 menjadi 48.929.636 unit pada tahun 2006. Sektor ekonomi UKM
yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian,
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan
Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Jasa-jasa; serta (5)
Pengangkutan dan Komunikasi dengan perkembangan masing-masing
sektor tercatat sebesar 53,57%, 27,19%, 6,58%, 6,06% dan 5,52%.
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, peran UKM pada tahun 2005
tercatat sebesar 83.233.793 orang atau 96,28% dari total penyerapan
tenaga kerja yang ada, kontribusi UK tercatat sebanyak 78.994.872
orang atau 91,38% dan UM sebanyak 4.238.921 orang atau 4,90%.
(www.menkop.go.id, 2007)
Data diatas memperlihatkan besarnya kontribusi usaha kecil
terhadap perekonomian nasional. Namun UMK pada umumnya
merupakan masyarakat kecil yang memanfaatkan sumberdaya yang
ada antara lain tanah timbul. Tanah sebagai aset memiliki potensi
untuk dimanfaatkan oleh UMK. Tanah timbul belum memiliki status
hukum yang jelas bagi UMK untuk disertipikatkan sebagai akses
permodalan bagi usaha UMK itu sendiri. 3
II.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana upaya pemanfaatan tanah timbul oleh UMK?
2. Apa saja masalah-masalah pemanfaatan tanah timbul yang
mempengaruhi pemberdayaan UMK?
3. Apa saja masalah-masalah yang dihadapi UMK untuk mensertipikasi
tanah timbul?
4. Apa saja upaya untuk memecahkan persoalan pemanfaatan dan
sertipikasi tanah timbul?
II.3 Manfaat dan Tujuan
1. Mengetahui pemanfaatan tanah timbul oleh UMK.
2. Mengetahui masalah-masalah pemanfaatan tanah timbul yang
mempengaruhi pemberdayaan UMK.
3. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi UMK untuk
mensertipikasi tanah timbul.
4. Mengetahui upaya untuk memecahkan persoalan pemanfaatan dan
sertipikasi tanah timbul.
5. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
4
II LANDASAN TEORI
Usaha mikro dan usaha kecil menurut Kementerian Negara Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah adalah suatu badan usaha milik WNI baik
perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan bersih (tidak
termasuk tanah dan bangunan) sebanyak-banyaknya Rp. 200 juta dan atau
mempunyai omzet/nilai output atau hasil penjualan rata-rata per tahun
sebanyak-banyaknya Rp. 1 milyar dan usaha tersebut berdiri sendiri.
(Lembaga Penelitian Smeru dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
2003)
Menurut UU No. 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan
menengah Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:
a. Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri
b. Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan
berkeadilan
c. Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar
sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
d. Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
e. Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara
terpadu.
Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam UU No
20 tahun 2008 yaitu:
a. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang,
berkembang, dan berkeadilan
b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri
5
c. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam
pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan
pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari
kemiskinan.
Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2008 tentang petunjuk teknis
program pemberdayaan usaha mikro dan kecil melalui kegiatan sertipikasi
hak atas tanah untuk peningkatan akses permodalan. Program
pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) melalui Kegiatan Sertipikasi Hak
Atas Tanah adalah kegiatan yang meliputi sosialisasi, identifikasi, seleksi,
verifikasi subjek (Usaha Mikro dan Kecil) sebagai peserta program dan objek
dalam hal ini tanah, proses pengurusan sertipikasi hak atas tanah untuk
peningkatan akses permodalan guna pengembangan usaha, dengan biaya
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia.
Program ini bertujuan memberikan kepastian hukum hak atas tanah
Usaha Mikro dan Kecil untuk meningkatkan akses permodalan berupa
peningkatan kemampuan jaminan kredit/pembiayaan pada perbankan atau
koperasi dalam rangka pengembangan usaha. Sasaran program adalah
usaha mikro dan kecil ,calon dan/atau debitur Bank atau Koperasi yang
membutuhkan tambahan plafon kredit/pembiayaan yang secara teknis
dinyatakan layak (feasible) akan tetapi jaminan hak atas tanahnya belum
terdaftar atau belum bersertipikat.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) memuat ketentuan
akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta
mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada
ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah (terutama pasal 2). Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya
dapat menerbitkan dokumen legal (sertipikat) yang dibutuhkan oleh setiap
warga negara dengan mekanisme yang mudah; terlebih lagi jika warga
6
negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak
tanah mereka (petok, leter C, girik, kikitir, dll). (www.dauzsy.wordpress.com,
2007)
UUPA mengamanatkan bahwa suatu bidang tanah harus didaftar dan
mendapat sertipikat hak atas tanah bagi yang telah didaftar. Sertipikat hak
atas yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan merupakan bukti kepemilikan
atas tanah dengan sesuatu hak yang dilindungi oleh Undang-Undang. Oleh
karena itu, tanah yang bersertipikat (hak atas tanah) memberikan rasa aman
bagi pemilik tanah yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut.
Tanah yang telah bersertipikat mempunyai nilai jual yang lebih tinggi
daripada nilai jual tanah yang belum bersertipikat hak atas tanah. Selain itu,
tanah yang bersertipikat dapat diagunkan bila pemilik tanah meminjam uang
dari bank umpamanya. (Ali, T. H ,2002 ).
Tanah timbul adalah tanah yang timbul akibat sedimentasi di perairan.
Tanah timbul tersebut merupakan tanah negara yang belum dibebani hak,
walaupun sudah terdapat pemanfaatan tanah timbul oleh masyarakat untuk
kegiatan pertanian maupun jasa (Wibowo,T. H,2006).
Tanah timbul banyak muncul di kawasan-kawasan pantai yang
berdekatan
dengan muara sungai besar. Karena air sungai banyak membawa lumpur
sejak dari hulu, maka di sekitar muara menjadi mengendap dan pada
gilirannya menjadi "tanah timbul". Munculnya "tanah timbul" tersebut sering
menjadi pemicu sengketa antar
warga yang mengincar dan ingin memiliki tanah tersebut. Bahkan tidak
jarang,
kawasan yang masih berupa pantai dan masih tergenang sebagai kawasan
laut pun sudah dipatok dan dikavling oleh warga karena diyakini suatu saat
akan berubah menjadi daratan. (www.yahoo.com, 2004)
7
Menurut Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 410-1293 tanggal 9 Mei 1996 tentang Penertiban
Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi, Tanah-tanah timbul secara alami
seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ, endapan tepi sungai, pulau
timbul dan tanah timbul secara alami lainnya dinyatakan sebagai tanah yang
langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaan/pemilikan serta
penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Usaha mikro dan kecil di Indonesia telah memberikan kontribusi yang
signifikan kepada perekonomian nasional. Sebagai gambaran, pada tahun
2000 tenaga kerja yang diserap industri rumah tangga (salah satu bagian
dari usaha mikro sektor perindustrian) dan industri kecil mencapai 65,38%
dari tenaga kerja yang diserap sektor perindustrian nasional. Pada tahun
yang sama sumbangan usaha kecil terhadap total Produk Domestik Bruto
mencapai 39,93% (BPS, 2001). (Lembaga Penelitian Smeru dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan, 2003)
Usaha mikro bersama usaha kecil juga mampu bertahan menghadapi
goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun
1997. Indikatornya antara lain, serapan tenaga kerja antara kurun waktu
sebelum krisis dan ketika krisis berlangsung tidak banyak berubah, dan
pengaruh negatif krisis terhadap pertumbuhan jumlah usaha mikro dan kecil
lebih rendah dibanding pengaruhnya pada usaha menengah dan besar.
Lebih jauh lagi, usaha mikro dan usaha kecil telah berperan sebagai
penyangga (buffer) dan katup pengaman (safety valve) dalam upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menyediakan alternatif lapangan
pekerjaan bagi para pekerja sektor formal yang terkena dampak krisis.
(Lembaga Penelitian Smeru dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
2003)
8
III. PEMBAHASAN
III.1 Pemanfaatan Tanah Timbul oleh UMK
Tanah timbul merupakan tanah negara yang belum dibebani hak
dan tanah ini berasal dari sedimentasi perairan dan kondisi fisiknya
sudah tidak lagi berair. Tanah timbul memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai lahan usaha di bidang pertanian dan non
pertanian.
Terdapat 4 contoh kasus pemanfaatan tanah timbul yang
dibahas. Contoh kasus yang pertama diambil Wawasan Digital 2008
yaitu pemanfaatan tanah timbul di bidang pertanian yang berada di
sepanjang alur sungai Serayu, Desa Karangrena, Kecamatan Maos,
Cilacap, Jawa Tengah. Masyarakat pinggir Sungai Serayu
memanfaatkan tanah hasil endapan lumpur tersebut untuk bercocok
tanam. Misalnya ditanami padi dan palawija. Banyak warga yang telah
memanfaatkan tanah timbul untuk lahan pertanian dan pada
umumnya mereka bekerja sebagai petani penggarap. Solidaritas
Warga Wetan Serayu (SWWS) meminta Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kabupaten Cilacap untuk segera melakukan sertipikasi terhadap
puluhan hektar tanah timbul di Desa Karangrena, Maos. Sebab, selama
ini tanah itu dibiarkan tanpa status kepemilikan, dan ini dinilai
membuka peluang konflik antar warga.
Contoh kasus kedua terjadi di Laguna Sagara Anakan, Cilacap.
Tanah timbul di Laguna Sagara Anakan berasal dari fenomena
perubahan bentang alam akibat sedimentasi dan pendangkalan yang
terus-menerus, sebagian besar areal Sagara Anakan kini sudah nyaris
menjadi daratan atau dipenuhi tanah timbul. Tanah timbul itu
kemudian mulai dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kampung
9
Laut yang hidup di sekitar Sagara Anakan untuk menetap dan bertani.
Mayoritas Masyarakat Kampung Laut adalah masyarakat nelayan
namun mereka kehilangan sebagian besar sumber nafkah seiring
dengan laut yang menjadi sandaran hidup mereka semakin dangkal
dan menyempit. Karena itulah banyak masyarakat beralih profesi
menjadi petani di tanah timbul. Beralih profesi menjadi petani adalah
cara yang dipandang paling logis (dan paling mungkin) untuk
dilakukan agar mereka bisa melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Data dari CilacapMedia.com merupakan contoh kasus ketiga.
Tanah timbul di kasus ini akibat sedimentasi Sungai Citandui, di Desa
Rawaapu, Kecamatan Patimuan, yang berbatasan langsung dengan
pantai selatan Cilacap. Terdapat penambahan daratan seluas 742
hektar dan Perhutani mengklaim secara sepihak tanah tersebut meski
sebagian besar tanah telah dimanfaatkan warga untuk pertanian.
Sengketa tanah timbul di Desa Rawaapu telah terjadi sejak 1998.
Warga Rawaapu telah mengajukan permohonan agar tanah
tersebut dialihkan sebagai areal hak milik sebab cocok sebagai areal
pertanian padi. Warga tidak setuju dengan langkah Perhutani
menguasai tanah tersebut karena areal ini tidak cocok untuk tanaman
keras. Perhutani sendiri pernah memanfaatkan tanah timbul itu untuk
perkebunan kayu putih. Namun, tanaman kayu putih banyak yang mati
karena di musim penghujan areal tersebut menjadi persawahan.
Pada Bulan Mei 2007, permohonan warga mendapat dukungan
dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cilacap. Bupati Cilacap, Probo
Yulastoro, setuju tanah tersebut menjadi milik warga sebab tanah
tersebut di luar areal peta lahan yang dikelola Perhutani. Bahkan
Pemkab Cilacap mengaku sudah menyurati Presiden dan Menteri
Kehutanan. Intinya, meminta daratan baru tersebut diberikan kepada
warga setempat atau Pemkab Cilacap.
10
Pemanfaatan lain tanah timbul di bidang non pertanian antara
lain untuk usaha perbengkelan dan kerajinan tangan. Contoh kasus
keempat adalah di Desa Kismoyoso, Ngemplak, Boyolali dan terdapat
tanah timbul seluas ± 2.000 m2 kemudian yang sudah dimanfaatkan
oleh UMK seluas ± 1.000 m2. Berikut denah lokasi UMK di bantaran
Sungai Kismoyoso.
Terda
11
Jalan Kampung
JembatanSungai
Jalan Desa
Jalan Kecamatan
SertipikatUMK
Tan ah timbul
Terdapat 5 unit UMK yang memanfaatkan tanah timbul tersebut
dan mengusahakan perbengkelan, kerajinan mebel, kios ponsel dan
warung makan. Tanah timbul di daerah ini merupakan hasil endapan
Sungai Kismoyoso dan unit UMK tersebut membayar uang sewa ke
Kantor Desa Kismoyoso.
III.2 Masalah - masalah Pemanfaatan Tanah Timbul yang
Mempengaruhi Pemberdayaan UMK
UMK erat hubungannya dengan pertumbuhan perekonomian
nasional. UMK memiliki peran yang signifikan terhadap penyerapan
tenaga kerja. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan
usaha kecil pada 2007 menyerap 78 juta tenaga kerja di Indonesia.
Pemberdayaan UMK akan memajukan perekonomian dan
menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran yang
pada akhirnya bermuara pada peningkatan taraf hidup rakyat
Indonesia. UMK yang berada di atas tanah timbul dan tanah absentee
memiliki potensi pengembangan usaha. Namun terdapat
permasalahan tanah timbul dan tanah absentee yang mempengaruhi
pemberdayaan UMK.
Tanah timbul memiliki masalah dalam penguatan hak atas tanah
untuk dapat menjadi aset bagi UMK. Masalah itu antara lain tanah
timbul yang tidak dimanfaatkan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) dapat sewaktu-waktu dialihfungsikan atau diambil alih oleh
pemerintah. Pada kasus di Kampung Laut, Pemerintah yaitu Badan
Pengelola Konservasi Sagara Anakan (BPKSA) memanfaatkan tanah
timbul tersebut untuk konservasi Hutan Mangrove. Kondisi ini
menyebabkan konflik antara rakyat dengan pemerintah.
12
Permasalahan lain dari tanah timbul bagi UMK adalah tidak
jelasnya status kepemilikan tanah dan ini membuka peluang konflik
antar warga atau antara warga dengan lembaga pemerintah dan
BUMN. Pada kasus di Kampung Laut, tanah timbul menyebabkan
sengketa dengan lembaga pemerintah maupun BUMN yang
berkepentingan pada tanah timbul itu. Selain masyarakat, paling tidak
di sana ada LP Nusakambangan, Perhutani, dan Badan Pengelola
Konservasi Sagara Anakan (BPKSA) yang memanfaatkan tanah timbul
tersebut. Pada kasus Rawaapu, Cilacap juga terdapat sengketa atas
kepemilikan tanah timbul antara masyarakat dengan Perhutani.
III.3 Masalah-masalah Yang Dihadapi UMK Untuk Mensertipikasi
Tanah Timbul
Sertipikasi terhadap kepemilikan tanah mampu berkontribusi
dalam penurunan kemiskinan dan keberlangsungan pembangunan
terutama di daerah pedesaan. Selain itu, keberadaan UMK, yang
jumlahnya diperkirakan sekitar 95% dari total unit ekonomi di negara
ini, juga mengharapkan adanya reformasi sistem kepemilikan tanah
ini. Sebab, salah satu masalah utama yang dihadapi oleh sektor UMK
adalah akses kepada pinjaman bank. Pinjaman bank biasanya
menggunakan agunan tanah, maka tidak heran jika dalam hal ini isu
sertipikasi tanah menjadi penting.
Tanah timbul muncul karena fenomena alam yang sebelumnya
tidak ada maka bukti-bukti alas hak atas tanah tidak lengkap, tidak
jelas dan bahkan tidak ada. Karena itulah Pemerintah mengatur
penguasaan tanah timbul pada PP No. 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah. Pada pasal 12 peraturan tersebut dinyatakan
bahwa tanah timbul adalah tanah yang dikuasai oleh Negara.
13
Melihat contoh kasus di atas, tanah timbul mempunyai potensi
untuk dimanfaatkan UMK di bidang pertanian maupun non pertanian.
Untuk memperkuat modal, unit UMK memerlukan jaminan hukum atas
status tanah timbul tersebut. Untuk mengkonversi status tanah timbul
dari tanah Negara menjadi tanah milik UMK membutuhkan proses dan
waktu yang lama.
Untuk memenuhi syarat tanah negara menjadi hak milik yaitu
harus dikuasai dan diusahakan sekurang-kurangnya 20 tahun atau
lebih secara terus menerus (pasal 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah). Tanah timbul umumnya belum dikuasai UMK dalam waktu
yang cukup lama dan ini menjadi halangan bagi UMK untuk
mensertipikasinya.
Sertipikasi tanah timbul harus sesuai dengan RTRW daerah
setempat. Tanah timbul kebanyakan muncul akibat sedimentasi
sungai, danau dan laut. Karena itulah sebagian tanah timbul penting
sebagai areal konservasi laut (pencegahan abrasi dengan penanaman
mangrove) dan daerah resapan air yang penting mencegah banjir.
Karena itu, sertipikasi tanah timbul yang dimanfaatkan oleh UMK
memerlukan kajian mendalam sehingga membutuhkan waktu yang
lama.
III.4 Upaya Untuk Memecahkan Persoalan Pemanfaatan dan
Sertipikasi Tanah Timbul
Untuk memecahkan persoalan pemanfaatan tanah timbul,
Pemerintah sebagai pemilik tanah timbul sebaiknya melakukan
penyuluhan ke masyarakat (UMK) yang mengusahakan tanah timbul.
Penyuluhan penting agar UMK mengusahakan tanah timbul sesuai
dengan RTRW sehingga tidak menyebabkan kerusakan ekosistem atau
14
lingkungan dan merugikan masyarakat lain. Pemerintah juga perlu
melakukan pendampingan dan sosialisasi kepada UMK mengenai cara
sertipikasi tanah timbul.
Tanah timbul dapat disertipikasi dengan memperhatikan RTRW.
Selama penggunaannya sesuai dengan RTRW hal tersebut dapat
diusahakan sesuai peraturan yang berlaku. Mengingat peraturan yang
khusus mengatur tentang tanah timbul belum ada maka digunakan PP
No 8 Tahun 1953 yang mengatur tentang pengusahaan tanah-tanah
Negara. Pada pasal 9 dinyatakan bahwa Kementerian, Jawatan dan
Daerah Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara
yang penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut
peruntukannya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai
tanah itu dalam waktu yang pendek.
Melihat potensi dan usaha yang ada maka pemerintah daerah
dengan kebijakannya dapat mempertimbangkan untuk memberikan
hak baik hak milik, hak guna usaha maupun hak guna bangunan yang
dapat dijadikan jaminan utang.
15
IV PENUTUP
IV.1 KESIMPULAN
1. Terdapat pemanfaatan tanah timbul oleh UMK di bidang pertanian
dan non pertanian.
2. Masalah-masalah tanah timbul yang mempengaruhi pemberdayaan
UMK adalah ketidaksesuaian tempat usaha UMK dengan RTRW;
status kepemilikan tanah UMK atas tanah timbul yang tidak jelas,
bukti-bukti alas hak atas tanah tidak lengkap, tidak jelas dan bahkan
tidak ada; potensi konflik antar warga atau warga dengan instansi
pemerintah dan BUMN.
3. Masalah-masalah yang dihadapi UMK untuk mensertipikasi tanah
timbul adalah status tanah timbul sebagai tanah Negara; diperlukan
waktu yang lama untuk status tanah timbul dari tanah Negara
menjadi tanah hak milik.
4. Upaya untuk memecahkan masalah pemanfaatan dan sertipikasi
tanah timbul adalah kesesuaian pemanfaatan tanah timbul oleh
UMK dengan RTRW; penyuluhan, sosialisasi dan pendampingan UMK
dalam rangka pemanfaatan dan sertipikasi tanah timbul.
IV.2. SARAN
1. Diperlukan pendataan dan penilaian untuk mengetahui besarnya
potensi tanah timbul .
2. Adanya regulasi yang mengatur pemanfaatan tanah timbul.
16
3. Sosialisasi dan penyuluhan kepada UMK tentang pemanfaatan dan
cara sertipikasi tanah timbul.
4. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan sebaiknya
membuat juknis tentang UMK yang berusaha di tanah timbul
maupun tanah-tanah bermasalah.
5. Pemerintah Daerah perlu membuat Peraturan Daerah mengenai
pengaturan Tanah Timbul.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ali,T.H.2002. CapitaSelekta: Perkotaan,Pertanahan,Komputerisasi. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.
Ama, KK, 2008. Waduk Tilong: Inspirasi Pembangunan Pertanian Terpadu NTT. Koran Kompas, NTT
Harsono,Budi .2007.Hukum Agraria Indonesia. Djambatan, Jakarta.
Ira, 2007. Resep Kaya Ala De Soto. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta.
Lembaga Penelitian Smeru dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2003. Buku I : Peta Upaya Penguatan Usaha Mikro/Kecil di Tingkat Pusat Tahun 1997-2003. Jakarta.
Lembaga Penelitian Smeru dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2003. Buku II: Upaya Penguatan Usaha Mikro dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Perempuan (Sukabumi, Bantul, Kebumen, Padang, Surabaya, Makassar). Jakarta.
Prasetyawan, W., 2006. Hernando De Soto: Mengentaskan Kemiskinan Melalui Mekanisme Pasar. Koran Tempo, Jakarta.
Supriadi, 2008. Hukum Agraria. Sinar Grafika, Jakarta.
Wibowo,H.T. 2006. Evaluasi Aspek Fiskal Tanah Timbul Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM . Departemen Geodesi FTSL-ITB, Bandung.
www.CilacapMedia.com. Suparyo Y., 2008. Warga Rawaapu Tolak Klaim Perhutani Atas Tanah Timbul.
www.dauzsy.wordpress.com. Firdaus M.S., 2007. Bom Waktu Sengketa Agraria.
www.menkop.go.id, 2007. Revitalisasi Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Sebagai Solusi Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan.
www.yahoo.com, 2004. Untuk Atasi Konflik di Brebes Perlu Perda "Tanah Timbul"
18
19
Satu studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa
salah satu masalah paling penting yang dihadapi oleh pengusaha UKM ialah
sulitnya akses atas kredit formal. Singkatnya, para pengusaha tersebut tidak
memiliki akses untuk mendapatkan modal dari bank-bank atau lembaga
keuangan formal lainnya. Walaupun studi tersebut tidak berusaha menjawab
kenapa gejala tersebut muncul, dengan dapat disimpulkan bahwa para
pengusaha UKM tersebut tidak memiliki legalitas atas usahanya. Akibatnya,
mereka tidak mampu menjaminkan aset-asetnya kepada bank untuk
mendapatkan pinjaman modal guna membesarkan usahanya.
20