Pengobatan Penyakit Parkinson Revisi1

39
BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS PATTIMURA NOVEMBER 2014 TERAPI PENYAKIT PARKINSON Disusun oleh: Jurika Kakisina (2009-83-021) Pembimbing: Dr. dr. Bertha J. Que, Sp.S, M.Kes DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN NEUROLOGI RSUD DR. M HAULUSSY

Transcript of Pengobatan Penyakit Parkinson Revisi1

BAGIAN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS PATTIMURA NOVEMBER 2014

TERAPI PENYAKIT PARKINSON

Disusun oleh:

Jurika Kakisina

(2009-83-021)

Pembimbing:

Dr. dr. Bertha J. Que, Sp.S, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN NEUROLOGI RSUD DR. M HAULUSSY

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2014

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson (Parkinsonisme idiopatik atau paralisis agitans) atau lebih

tepat bila disebut sebagai sindrom Parkinson merupakan penyakit degeneratif

sistim ekstrapiramidal yang ditandai dengan rigiditas, bradikinesia, tremor

istirahat dan hilangnya refleks postural. Penyakit ini menjadi terkenal sejak tahun

1817; dan setelah letak lesi diketahui yakni pada substansia nigra pars compacta,

maka kelainan neurokimiawinya ditemukan secara beruntun yaitu adanya kelainan

pada neurotransmitter dopamin.1,2,3,4

Penyakit Parkinson mengenai sekitar 1% dari kelompok usia di atas 50 tahun

dan sekitar 2% dari mereka yang berusia lebih dari 70 tahun. Penyakit ini

merupakan penyebab kedua terbanyak dari penyakit neurodegeneratif di seluruh

dunia. Meskipun tidak ada terapi yang mengubah proses neurodegeneratif yang

mendasari, namun terapi simtomatis dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.4,5

Karena itu pada referat ini akan dibahas mengenai terapi penyakit Parkinson.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagaimana telah disebutkan bahwa penyakit Parkinson ditandai dengan

rigiditas, bradikinesia, tremor istirahat dan hilangnya refleks postural. Rigiditas

merupakan akibat kenaikan tonus otot yang hilang timbul sehingga akan muncul

tahanan yang timbul tenggelam pada saat ekstremitas digerakkan. Rigiditas

mengenai hampir seluruh otot-otot tubuh namun lebih condong ke otot fleksor

sehingga memberi kesan membungkuk pada pasien. Bradikinesia atau hipokinesia

adalah melambatnya gerakan / kontraksi otot-otot bukan akibat kelemahan

(parese) ototnya; hal ini ditandai dengan kedipan mata berkurang, wajah seperti

topeng, hipotonia, hipersalivasi, tulisan semakin kecil-kecil dan cara berjalan

langkah kecil-kecil. Tremor adalah gerakan bagian distal ekstremitas pada saat

istirahat, rata-rata 3-6 kali per detik, namun bisa juga timbul saat sedang bergerak

(postural tremor / action tremor) atau campuran tremor istirahat dengan tremor

gerak. Fenomena lain yang juga sering ditemukan pada penderita penyakit

Parkinson adalah gejala awal asimetri (mulai timbul pada satu sisi tubuh), respons

terhadap l-dopa, dan ada gejala penyerta lain seperti demensia, depresi, gejala

psikotik, disfungsi otonomik, gangguan okulomotor.4,6,7

Pada penyakit Parkinson, terjadi kehilangan neuron dopamin di substansia

nigra sehingga produksi dopamin berkurang. Jadi, abnormalitas patologis yang

utama adalah degenerasi sel dengan hilangnya neuron dopaminergik yang

terpigmentasi di substansia nigra pars kompakta di otak dan ketidakseimbangan

sirkuit motor ekstrapiramidal (pengatur gerakan di otak).8,9,10

Dopamin merupakan derivat asam amino tirosin yang diperoleh dari

makanan. Dari tirosin, oleh enzim tyrosin hydroxylase, dibentuk dopa

(dihidroksifenilalanin). Oleh amino acid decarboxylase, dopa kemudian diubah

menjadi dopamin. Neuron dopaminergik di otak berasal dari dua tempat yakni

dari substansia nigra yang membentuk sistim nigro-striatum yang mengatur

pergerakan melalui ganglia basal (nukleus kaudatus dan putamen); dan dari area

tegmentum ventral yang membentuk sistim mesokortikal atau mesolimbik yang

2

menyalurkan aksonnya ke nukleus akumbens dan area subkortikal limbik, yang

memiliki peranan dalam proses adiksi dan berkaitan dengan sistim reward. Jalur

nigro-striatum yang menggunakan dopamin sebagai neurotransmitter mensintesis

dopamin oleh neuron itu sendiri dari bahan bakunya, tirosin. Dopamin yang

berada di luar kantung vesikel akan dirusak (degradasi) oleh enzim monoamin

oksidase (MAO) yang terdapat terutama di dalam sel neuron dan oleh enzim

COMT yang letaknya terutama di luar sel neuron atau di dalam sel glia.4,10

Traktus nigrostriatum mengatur fungsi gerakan halus, dan untuk itu perlu ada

keseimbangan antara komponen kolinergik (asetilkolin; bersama dengan glutamat)

yang merangsang dan komponen dopaminergik yang menghambat. Karena traktus

nigrostriatum bersifat dopaminergik, maka pada penyakit Parkinson,

keseimbangan kedua komponen tersebut terganggu ke arah dominasi kolinergik.11

Penurunan dopamin merupakan hal yang wajar pada manusia normal yaitu

sekitar 5% per dekade, sedangkan pada pasien dengan penyakit Parkinson

penurunan dopamin sekitar 45% per dekade. Gejala Parkinsonisme yang dialami

pasien baru akan muncul ketika kadar dopamin di striatal berkurang sampai 80%.

Selain berkurangnya dopamin, neurotransmitter lain juga mengalami

ketidakseimbangan di korteks dan hipotalamus, yakni neurotransmitter asetilkolin,

GABA, norepinefrin, glutamat dan serotonin.10

Perjalanan klinis penyakit Parkinson dilihat berdasarkan tahapan menurut

Hoehn dan Yahr: 1) stadium 0 yaitu tidak ada tanda-tanda penyakit; 2) stadium 1

yaitu tanda-tanda unilateral (gejala pada 1 sisi), ringan, mengganggu namun tidak

menimbulkan cacat, tremor pada satu anggota gerak, dan gejala awal dapat

dikenali orang terdekat; 3) stadium 1,5 yaitu tanda-tanda unilateral dan aksial; 4)

stadium 2 yaitu tanda-tanda bilateral, tanpa gangguan keseimbangan namun

sikap / cara berjalan terganggu; 4) stadium 2,5 yaitu penyakit bilateral ringan; 5)

stadium 3 yaitu terjadi gerakan tubuh yang nyata lambat, terdapat gangguan

keseimbangan saat berjalan / berdiri, disfungsi umum sedang, dan secara fisik

masih mandiri; 6) stadium 4 yaitu gejala lebih berat sehingga pasien tidak mampu

berdiri, ada keterbatasan jarak berjalan, rigiditas dan bradikinesia; 7) stadium 5

3

yaitu terjadi kecacatan kompleks, pasien tidak mampu berdiri dan berjalan

sehingga memerlukan perawatan tetap.6,9

Untuk manajemen pasien dengan penyakit Parkinson, diperlukan kesabaran

dan persistensi. Tujuan terapi pasien dengan penyakit Parkinson adalah untuk

mengurangi atau menghilangkan gejala dan memulihkan disabilitas fungsional

(tujuan jangka pendek); serta mempertahankan efektivitas pengobatan dan

mengurangi komplikasi terapi (tujuan jangka panjang). Karena itu diperlukan pula

konsultasi secara teratur karena umumnya terjadi efek samping dari pengobatan

farmakologik, dan pasien diberikan penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai

sakitnya. Pada pasien berusia muda, misalnya 40 tahun, pengobatan sampai ia

meninggal dapat berlangsung lama (sekitar 30 tahun) sehingga akibat buruk dari

terapi jangka panjang perlu dipertimbangkan; lain halnya dengan pasien yang

memulai pengobatan pada usia tua (misalnya 60 atau 70 tahun).12,13

Pengobatan penyakit Parkinson dapat dikelompokkan menjadi:4

1. Farmakologik:

a. Bekerja pada sistim dopaminergik.

b. Bekerja pada sistim kolinergik.

c. Bekerja pada glutamatergik.

d. Bekerja sebagai pelindung neuron.

e. Lain-lain.

2. Non-farmakologik:

a. Perawatan.

b. Pembedahan.

1. Farmakologik

a. Bekerja pada sistim dopaminergik.

Inti dari pengobatan gejala penyakit Parkinson adalah terapi pengganti

dopamin, dan standarnya adalah levodopa. Selain itu dapat pula diberikan

agonis dopamin, yang dapat sebagai monoterapi untuk memperbaiki gejala

pada awal penyakit atau sebagai terapi tambahan pada pasien yang

responsnya terhadap levodopa berkurang dan yang mengalami fluktuasi

4

dalam respons terhadap levodopa. Penghambat MAO (monoamin

oksidase)-B memiliki keuntungan sebagai monoterapi pada awal penyakit

dan sebagai tambahan levodopa pada pasien yang mengalami fluktuasi

motorik. Penghambat COMT (catechol-O-methyl transferase) digunakan

untuk meningkatkan waktu paruh levodopa sehingga mengirim lebih

banyak levodopa ke otak pada waktu yang lebih panjang.13

Gambar: Bagan cara kerja obat-obat anti parkinson pada sistim dopaminergik. Keterangan: BBB = blood-brain barrier (sawar darah otak), DA = dopamin, l-dopa = levodopa, D1 dan D2 = reseptor dopamin D1 dan D2, 3-MT = 3-metoksitiramin, HVA = homovanilic acid.14

Levodopa (L-dopa)

Tirosin yang berasal dari makanan akan diubah secara beruntun

menjadi l-dopa dan dopamin oleh enzimnya masing-masing (tyrosin

hydroxylase dan L-aromatic amino acid decarboxylase). Kedua jenis

enzim ini terdapat di berbagai jaringan tubuh, di samping jaringan saraf.

Dopamin yang terbentuk di luar jaringan saraf otak, tidak dapat

melewati sawar darah otak, karena itu substitusi defisiensi dopamin

striatum tidak dapat dilakukan dengan pemberian dopamin. Untuk

mencegah jangan sampai dopamin tersintesa di luar otak, maka l-dopa

diberikan bersama dopa-decarboxylase inhibitor perifer dalam bentuk

karbidopa (Stalevo®) atau benserazid (Madopar®, Leparson®,

5

Levazide®, Pardoz®). Terapi kombinasi ini diberikan dalam

perbandingan dosis sebagai berikut; karbidopa : levodopa = 1:10 atau

1:4, benserazid : levodopa = 1:4. Dopamin yang berada di luar otak

bersifat emetogenik dan tidak diharapkan keberadaannya. Karbidopa

dan benserazid tidak melewati sawar darah otak.4,8,13,15

Efek terapeutik preparat l-dopa baru muncul sesudah 2 minggu, oleh

karena itu perubahan dosis seyogianya setelah 2 minggu. Mulailah

dosis rendah dan secara berangsur ditingkatkan. Drug holiday

sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu karena gejala akan muncul

lagi sesudah 2 minggu obat dihentikan.4

Dosis levodopa dimulai rendah dan secara lambat laun ditingkatkan

menjadi 300-400 mg/hari dalam kurun waktu 2-3 minggu. Tahun-tahun

berikutnya pasien akan membutuhkan dosis sedang (600-800 mg/hari)

atau dosis tinggi (800-1000 mg/hari). Namun dengan kombinasi

bersama obat golongan lain maka dosis levodopa yang melebihi 1000

mg/hari jarang dibutuhkan.1

Efek samping levodopa terutama disebabkan terbentuknya dopamin di

berbagai organ perifer. Hal tersebut terjadi karena diperlukan dosis

yang besar untuk mendapat efek terapi yaitu peningkatan dopamin di

nigrostriatum. Efek samping tersebut antara lain: 1) mual, muntah dan

tidak nafsu makan terutama bila dosis awal terlalu tinggi, namun dapat

dihindari bila dosis awal rendah dan dinaikkan berangsur-angsur, dan

menggunakan obat antiemetik seperti domperidone (antagonis

dopamin). 2) diskinesia (berkurang atau melemahnya kemampuan

untuk bergerak bebas) dan gerakan spontan abnormal, yang diduga

disebabkan oleh “supersensitivitas” reseptor dopaminergik pascasinaps.

Diskinesia ini mencakup diskinesia pada puncak dosis (peak dose

dyskinesia) yang dapat diobati dengan menurunkan dosis levodopa atau

meningkatkan dosis agonis dopamin. 3) gangguan tingkah laku, namun

cenderung terjadi pada pasien yang sejak pengobatan sudah mengalami

gangguan kepribadian. 4) hipotensi ortostatik.11

6

Setelah beberapa tahun pengobatan dengan levodopa, dapat terjadi apa

yang disebut dengan fenomena on-off, yakni dalam keadaan tenang

tiba-tiba terjadi perubahan dari keadaan mobil menjadi imobil (sulit

bergerak), namun terjadi dalam waktu relatif singkat kemudian

menghilang. Fenomena ini sangat mengganggu, karena penderita tidak

dapat meramalkan kapan gerakannya akan mendadak berhenti.

Penyebab dari fluktuasi fungsi motorik ini adalah distribusi levodopa

yang tidak konstan di otak, gangguan sensitivitas reseptor dopamin

striatal, atau berkurangnya persediaan dopamin di sistim saraf pusat.

Karena itu hal ini dapat diatasi dengan penambahan agonis dopamin

atau inhibitor MAO-B (contohnya Selegiline), atau dengan mengubah

preparat levodopa yang slow-release. Fenomena on-off ini mencakup

dua kategori yaitu serangan yang tidak berhubungan dengan waktu

pemberian levodopa dan reaksi wearing-off. Reaksi wearing-off

merupakan episode yang karakteristik mulai pada akhir periode

antardosis, dan segera hilang setelah pemberian levodopa.1,16

Levodopa memiliki interaksi dengan obat maupun makanan. Salah

satunya adalah interaksi levodopa dengan piridoksin (vitamin B6) dan

makanan berprotein tinggi (seperti daging dan produk susu). Piridoksin

dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) akan meningkatkan dopa

dekarboksilase di perifer sehingga levodopa yang mencapai jaringan

otak akan berkurang, sedangkan makanan berprotein tinggi akan

membuat efek levodopa berkurang karena masuknya levodopa

melintasi sawar darah otak dapat dihambat oleh sejumlah asam amino.

Kedua interaksi ini ada pada level farmakokinetik. Dianjurkan untuk

diet rendah protein sebanyak 0.8 gram/kgBB/hari.1,12,16

MAO-B dan COMT inhibitor

Pada umumnya penyakit Parkinson memberi respons yang cepat dan

bagus dengan l-dopa dibandingkan dengan obat lain, namun ada

laporan bahwa l-dopa dan dopamin menghasilkan metabolit yang

mengganggu atau menekan proses pembentukan energi dari

7

mitokondria dengan akibat terjadinya stres oksidatif yang menuntun

timbulnya degenerasi sel neuron. Preparat penghambat enzim MAO

(monoamin oksidase)-B dan COMT (catechol-O-methyl transferase)

ditambahkan bersama preparat l-dopa untuk melindungi dopamin

terhadap degradasi oleh enzim tersebut sehingga metabolit dopamin

berkurang (pembentukan radikal bebas dari dopamin berkurang) dan

neuron dopamin terlindung dari proses stres oksidatif.4

Pada manusia terdapat dua tipe enzim MAO yaitu MAO-A yang

terutama berada di usus halus, dan MAO-B yang lebih banyak

diekspresikan di sistim saraf pusat. Selegiline (Jumex®) dan Rasagiline

merupakan contoh inhibitor MAO-B. Pengobatan dengan Selegiline

digunakan pada dosis sampai 10 mg/hari. Pada pasien dengan penyakit

Parkinson lanjut, penambahan Selegiline meringankan fenomena

wearing-off (respons yang menjadi lebih pendek dan berkurang). Efek

samping berat tidak dilaporkan terjadi, hanya hipotensi, mual dan

kebingungan. Rasagiline, bersifat 5 kali lebih poten dibandingkan

dengan selegiline, namun tidak dimetabolisme menjadi amfetamin.,

yang mana amfetamin ini akan meningkatkan level dopamin

ekstraseluler striatal. Dosis yang direkomendasikan adalah berkisar 0,5-

1 mg/hari. Tempatnya Selegiline dalam pengobatan Parkinson masih

kontroversial, namun mungkin dapat dianggap sebagai obat yang dapat

menghemat levodopa dan dapat memperlambat memburuknya sindrom

Parkinson; dengan demikian terapi levodopa dapat ditangguhkan

selama beberapa waktu.1,11,12,15,17

Entekapon (Comtan®) dan Tolkapon merupakan contoh inhibitor

COMT yang bersifat reversibel. Karena obat-obat ini meningkatkan

kadar dopamin di otak pada awal pengobatan, dosis karbidopa

sebaiknya diturunkan sepertiganya. Efek samping levodopa dapat

meningkat setelah pemberian obat ini. Tolkapon dilaporkan lebih sering

menimbulkan diare daripada entekapon. Tes fungsi hati perlu

dilaporkan setiap 2 minggu dalam 1 tahun setelah pemberian Tolkapon;

8

tidak pada pemberian entekapon. Dosis Tolkapon 100 mg 3 kali sehari;

dosis entekapon 200 mg diberikan bersama levodopa/karbidopa (contoh

Stalevo®) sampai maksimum 5 kali sehari.11,15

Entekapon dan Tolkapon berguna mengobati wearing off levodopa, dan

sangat efektif mengurangi fluktuasi motorik pada pasien dengan

penyakit Parkinson yang sudah lanjut, serta sebagai terapi tambahan

sehingga menghasilkan reduksi dosis levodopa sebanyak 30%.1

Agonis dopamin

Preparat lain yang juga dapat menghemat pemakaian l-dopa adalah

golongan agonis dopamin. Golongan ini bekerja langsung pada reseptor

dopamin, sehingga mengambil alih tugas dopamin dan memiliki durasi

kerja lebih lama dibandingkan dopamin. Sampai saat ini ada 2 golongan

agonis dopamin, yaitu derivat dari ergot dan non-ergot. Obat-obatan

yang termasuk golongan agonis dopamin derivat ergot adalah

bromokriptin, cabergoline, lisuride, pergolide. Obat-obatan yang

termasuk golongan agonis dopamin derivat non-ergot adalah

pramipexole, ropinirole, talipexole.4

Keuntungan terapi dengan agonis dopamin dibandingkan l-dopa antara

lain: durasi kerja obat lebih lama, respons fluktuatif dan diskinesia lebih

kecil, dapat dipilih agonis dopamin yang lebih spesifik terhadap

reseptor dopamin tertentu, disesuaikan dengan kondisi penderita

penyakit Parkinson. Sedangkan kerugian terapi agonis dopamin adalah

onset terapeutiknya rata-rata lebih lama dibandingkan l-dopa.4

Alasan untuk menggunakan agonis dopamin sebagai monoterapi pada

penyakit Parkinson yang masih dini ialah untuk menangguhkan

penggunaan levodopa atau mengurangi pemaparan terhadap levodopam

dengan demikian mengurangi komplikasi sistim motorik pada

penggunaan levodopa jangka panjang.1

Terapi dengan bromokriptin (Cripsa®, Elkrip®, Parlodel®) dimulai

dengan dosis 1,25 mg, dua kali sehari, kemudian dosis dinaikkan

sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping. Dengan

9

pemberian bromokriptin, umumnya dosis levodopa dapat dikurangi

dengan 125-250 mg setiap penambahan 2,5 mg bromokriptin.11,15

Pergolid mesilat sama efektifnya dengan bromokriptin, dan bermanfaat

untuk pasien yang tidak responsif terhadap bromokriptin, dan

sebaliknya bromokriptin diberikan pada pasien yang tidak responsif

dengan pergolid. Lisurid, sama dengan bromokroptin namun juga

merangsang reseptor serotonin (5-HT) yang diduga mendasari

halusinasi dan efek samping lainnya. Sifatnya yang larut air cocok

untuk pemberian sebagai infus.11

Pramipeksol (Sifrol®), efektif sebagai monoterapi pada penyakit

Parkinson ringan. Pada penyakit yang lebih berat, berguna untuk

menurunkan dosis levodopa. Obat ini diduga bersifat neuroprotektif

berdasarkan daya menyingkirkan hidrogen peroksida dan meningkatkan

aktivitas neurotropik pada sel dopaminergik in vitro. Dosis antara 0,5-

1,5 mg, tiga kali sehari. Ronipirol, diindikasikan pada penyakit

Parkinson awal atau lanjut. Dengan penundaan pemberian levodopa,

diharapkan efek samping diskinesia berkurang. Dosis awal tiga kali

0,25 mg/hari, ditingkatkan perlahan-lahan sampai maksimum 24

mg/hari.11,15

b. Bekerja pada sistim kolinergik.

Obat golongan antikolinergik memberi manfaat untuk penyakit Parkinson,

oleh karena dapat mengoreksi kegiatan berlebihan dari sistim kolinergik

terhadap sistim dopaminergik yang mendasari penyakit Parkinson. Ada

dua preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit

Parkinson yaitu Triheksifenidil (Arkine®, Hexymer®) dan Benztropin

(Cogentin®). Preparat lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah

Biperiden (Akinetin®), Orphenadrine (Disipal®) dan Procyclidine

(Kamadrin®). Golongan antikolinergik terutama digunakan untuk

menghilangkan gejala tremor (antikolinergik kurang efektif untuk rigiditas

dan bradikinesia), namun efek samping yang paling ditakuti adalah

kemunduran memori. Karena efek sampingnya (mulut kering, retensi urin, 10

pandangan kabur, keringat berkurang, konstipasi, palpitasi, memori

menurun) lebih buruk dengan melanjutnya usia, maka penggunaan obat ini

pada lansia harus hati-hati. Triheksifenidil digunakan 2-3 x 2 mg/hari

dengan rentang dosis 10-20 mg/hari. Biperiden digunakan 2-4 x 0,5-2

mg/hari. Benztropin digunakan 0,5-1 mg/hari dengan rentang dosis 4-6

mg/hari. Procyclidine digunakan 2-3 x 5 mg/hari dengan rentang dosis 20-

30 mg/hari.1,4,11

c. Bekerja pada sistim glutamatergik.

Di antara obat-obat glutamatergik yang bermanfaat untuk penyakit

Parkinson adalah dari golongan antagonisnya yaitu Amantadine,

Memantine, dan Remacide. Antagonis glutamatergik diduga menekan

kegiatan berlebihan jalur dari inti subtalamikus sampai dengan globus

palidus internus sehingga jalur indirek seimbang kegiatannya dengan jalur

direk, dengan demikian output ganglia basalis ke arah talamus dan korteks

kembali normal. Di samping itu, diduga antagonis glutamatergik dapat

meningkatkan pelepasan dopamin, menghambat reuptake dan

menstimulasi reseptor dopamin. Obat ini lebih efektif untuk akinesia dan

rigiditas daripada antikolinergik.4

d. Bekerja sebagai pelindung neuron

Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap ancaman

degenerasi akibat nekrosis atau apoptosis. Termasuk diantaranya adalah:

Neurotrophic factor, yang dapat bertindak, sebagai pelindung neuron

terhadap kerusakan dan meningkatkan pertumbuhan dan fungsi dari

neuron. Termasuk dalam kelompok ini adalah BDNF (brain derived

neurotrophic factor), NT 4/5 (Neurotrophin 4/5), GDNT (glial cell line-

derived neurotrophic factor artemin), dan lain sebagainya. Namun

semuanya belum dipasarkan.4

11

Anti exitoxin, yang melindungi neuron dari kerusakan akibat paparan

bahan neurotoksin (MPTP, glutamat). Termasuk disini adalah antagonis

NMDA, MK 801, CPP, remacemide, dan anti konvulsan riluzole.4

Anti oksidan, yang melindungi neuron terhadap proses oksidatif stres

akibat serangan radikal bebas. Termasuk di dalamnya deprenyl

(Selegiline), 7-nitroindazole, nitroarginine-methyl-ester, methylthioci-

trulline. Bahan ini bekerja menghambat kerja enzim yang memproduksi

radikal bebas.4

Bioenergetic supplements, yang bekerja memperbaiki proses

metabolisme energi di mitokondria. Coenzim Q10 (CoQ10),

nikotinamide termasuk dalam golongan ini.4

Immunosupresan, yang menghambat respons imun sehingga salah satu

jalur menuju oksidatif stres dihilangkan. Termasuk dalam golongan ini

adalah immunophilins, CsA (cyclosporine A), dan FK 506 (takrolimus).

Akan tetapi berbagai penelitian masih menunjukkan kesimpulan yang

kontroversial.4

Bahan lain yang masih belum jelas cara kerjanya diduga bermanfaat untuk

penyakit Parkinson yaitu hormon estrogen dan nikotin. Pada dasawarsa

terakhir, banyak peneliti menaruh perhatian dan harapan terhadap nikotin

berkaitan dengan potensinya sebagai neuroprotektan. Pada umumnya

bahan yang berinteraksi dengan reseptor nikotinik memiliki potensi

sebagai neuroprotektif terhadap bahan neurotoksis, misalnya glutamat

lewat reseptor NMDA, deksametason dan MPTP. Bahan nikotinik juga

mencegah degenerasi lesi, iskemia dan transeksi. Dari berbagai penelitian,

nikotin dapat memperbaiki kelainan degeneratif dari ganglia basalis,

termasuk penyakit Parkinson.4

2. Non-farmakologik

Penanganan penyakit Parkinson yang tidak kalah pentingnya ini sering

terlupakan, mungkin dianggap terlalu sederhana atau terlalu canggih.4

a. Perawatan penyakit Parkinson12

Sebagai salah satu penyakit kronis yang diderita oleh manula, maka

perawatan tidak bisa hanya diserahkan kepada profesi paramedis, namun

kepada semua orang yang ada di sekitarnya:4

Pendidikan, dalam arti memberi penjelasan kepada penderita, keluarga

dan care giver tentang penyakit yang diderita. Hendaknya keterangan

diberikan secara rinci namun suportif, dalam arti tidak makin

membuat penderita cemas atau takut. Ditimbulkan simpati dan empati

dari anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikis mereka

menjadi maksimal.4

Rehabilitasi, merupakan suatu terapi tambahan yang penting untuk

penyakit ini. Walaupun sampai saat ini belum ada yang menunjukkan

adanya hubungan langsung antara rehabilitasi dengan perbaikan gejala

utama penyakit ini seperti bradikinesia, tremor, instabilitas postural

dan rigiditas, akan tetapi rehabilitasi dapat menghambat proses

sekunder yang berupa gangguan mobilitas dan aktivitas penderita serta

meningkatkan kualitas hidup penderita. Adapun tujuan dari latihan

dalam rehabilitasi adalah:4

Memperbaiki postur tubuh penderita dengan cara melakukan

koreksi terhadap posisi leher yang fleksi, memperbaiki kifosis

torakal, koreksi terhadap kelainan fleksi pinggul dan lutut, serta

mencegah terjadinya kontraktur pada sendi-sendi lain.

Mengurangi rigiditas dan meningkatkan fleksibilitas penderita.

Memperbaiki cara berjalan (gait) penderita.

Mempertahankan dan meningkatkan luas gerak sendi.

Memperbaiki dan mempertahankan cara bernapas yang ada.

Memperbaiki cara berbicara penderita dengan melakukan napas

dalam dan latihan peregangan otot napas.

Mengurangi tremor yang terjadi.

Memperbaiki cara makan, karena adanya kesulitan menelan.

Mempertahankan dan meningkatkan endurance penderita baik

kardiovaskuler maupun otot.

13

Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot.

Diet, diberikan agar tidak terjadi kekurangan gizi, penurunan berat

badan, pengurangan jumlah massa otot, serta tidak terjadinya

konstipasi. Penderita dianjurkan untuk memakan makanan yang

berimbang antara komposisi serat dan air untuk mencegah terjadinya

konstipasi, serta cukup kalsium untuk mempertahankan struktur tulang

agar tetap baik. Apabila didapatkan penurunan motilitas usus dapat

dipertimbangkan pemberian laksan setiap beberapa hari sekali.

Hindari makanan yang mengandung alkohol atau berkalori tinggi.4

b. Pembedahan

Tindakan pembedahan untuk penyakit Parkinson dilakukan bila penderita

tidak lagi memberi respons terhadap pengobatan (intractable), yaitu

masih adanya gejala dua dari gejala utama penyakit Parkinson (tremor,

rigiditas, bradi/akinesia, instabilitas postural/gait), fluktuasi motorik,

fenomena on-off, distonia, diskinesia karena obat, juga memberi respons

baik terhadap pembedahan. Persyaratan pembedahan yaitu pengobatan

farmakologis harus dioptimalkan dulu termasuk gejala psikologisnya.

Penderita penyakit Parkinson dengan gangguan kognisi berat kurang

bermanfaat dilakukan operasi (kontraindikasi).4,18

Teknik pembedahan antara lain:1,4,19,20

Pallidotomi, yang hasilnya cukup baik untuk menekan gejala

akinesia / bradikinesia, gangguan jalan / postural, gangguan bicara.

Neurotransmitter yang disekresi oleh globus palidus interna (Gpi)

sewaktu tingkat dopamin menurun diduga menginduksi diskinesia,

rigiditas, dan tremor. Prosedur pallidotomi yaitu merusak Gpi dengan

menggunakan panas.

Thalamotomi, yang efektif untuk gejala tremor, rigiditas, diskinesia

karena obat.

Stimulasi otak dalam / deep-brain stimulation

14

Mekanisme yang mendasari efektivitas deep-brain stimulation untuk

penyakit Parkinson sampai saat ini belum jelas, namun perbaikan

gejala penyakit Parkinson bisa mencapai 80%. Frekuensi rangsangan

yang diberikan pada umumnya lebih besar dari 130 Hz dengan lebar

pulsa antara 60-90 µsecond. Stimulasi juga dapat diberikan dengan

alat stimulator yang ditanam di inti nukleus subtalamus (untuk tremor

berat) dan globus pallidus interna (bila gambaran Parkinson lain

ditemukan).

Transplantasi substansia nigra.

Percobaan transplantasi pada penderita penyakit Parkinson dimulai

tahun 1982 oleh Lindvall dan kawannya, menggunakan jaringan

medula adrenal yang menghasilkan dopamin. Jaringan transplant

(graft) lain yang pernah digunakan adalah dari jaringan embrio ventral

mesensefalon yang mengandung jaringan premordial stem. Untuk

mencegah reaksi penolakan jaringan (rejection), diberikan obat

imunosupresan siklosporin A yang menghambat proliferasi sel T

sehingga masa hidup graft lebih panjang. Transplantasi yang berhasil

baik dapat mengurangi gejala penyakit Parkinson selama 4 tahun,

kemudian efeknya menurun 4-6 tahun sesudah transplantasi. Sampai

saat ini, di seluruh dunia ada 300 penderita penyakit Parkinson

memperoleh pengobatan transplantasi dari jaringan embrio ventral

mesensefalon.

15

Gambar: Jalur fungsional antara korteks, ganglia basal dan talamus. Pada penyakit Parkinson, terjadi degenerasi substansia nigra pars kompakta yang menyebabkan berlebihnya aktivitas tidak langsung dan meningkatkan aktivitas glutamatergik oleh nukleus subtalamikus.19

3. Algoritme pengobatan penyakit Parkinson

Karena saat ini pengobatan penyakit Parkinson berlangsung lama, seumur

hidup, maka hal ini menjadi masalah besar. Selain itu, harus disadari bahwa

penyakit ini kronis dan progresif, bahkan progresifitasnya bisa disebabkan oleh

obat yang digunakan dan atau oleh faktor yang tidak diketahui sehingga tidak bisa

dicegah. Ironisnya, obat gold standard justru merupakan pemicu progresifitasnya.

Dengan demikian, penggunaan l-dopa perlu dihemat seefisien mungkin.

Pertentangan utama dalam pengobatan penyakit Parkinson berpusat pada

penentuan saat pengobatan dimulai. Banyak dokter menunda pengobatan

simtomatis dengan levodopa sampai memang dibutuhkan, terutama pada pasien

usia muda dan mereka dengan gejala yang ringan. Data terakhir menyebutkan

bahwa mortalitas dan progresifitas penyakit menurun bila diberikan pengobatan

lebih cepat.1,4,11

16

Terdapat beberapa hal mengenai terapi farmakologis yang telah disepakati,

yakni: 1) Saat ini, levodopa merupakan obat simtomatis yang paling efektif untuk

penyakit Parkinson; 2) Sebagian besar penderita yang diobati dengan levodopa

akhirnya mengalami fluktuasi dan diskinesia; 3) Agonis dopamin sangat efektif

bila digunakan sebagai terapi adjuvan, namun tidak seefektif levodopa bila

digunakan sebagai terapi dini pada mereka yang belum mendapat terapi Parkinson

sebelumnya; 4) Agonis dopamin kurang menyebabkan efek samping motorik

dibanding levodopa, namun lebih cenderung menyebabkan efek samping

neuropsikiatrik dibanding levodopa.1

Bagan: Algoritma tatalaksana penyakit Parkinson8

Pengobatan penyakit Parkinson pada awal timbulnya dimulai dengan obat

yang melindungi neuron dan pengobatan non farmakologis dalam arti perawatan

17

sehari-hari. Obat yang dipilih dipertahankan selama mungkin selagi masih

efektif.4 Algoritma pengobatan penyakit Parkinson dapat dilihat pada bagan di

atas.

Bila kondisi memburuk dipertimbangkan tindakan operasi. Perlu diingat

bahwa pembedahan adalah pilihan terakhir dari pengobatan penyakit Parkinson

sesudah pengobatan farmakologis dilakukan secara optimal.4

4. Latihan untuk orang dengan penyakit Parkinson

Memiliki penyakit Parkinson tidak berarti harus duduk dan berhenti menjadi

aktif. Latihan, termasuk menjadi aktif, stretching (peregangan), mempraktikkan

postur tubuh yang baik dan melakukan latihan khusus, merupakan komponen

kunci untuk hidup sehari-hari orang dengan penyakit Parkinson. Latihan tidak

akan mengubah progresifitas penyakit Parkinson, tetapi penting untuk

mempertahankan kualitas hidup pasien. Latihan akan membantu mencegah efek

sekunder dari Parkinson yaitu: postur tubuh yang tidak baik, kehilangan

fleksibilitas, pengurangan kekuatan terutama pada otot-otot yang membantu

seseorang untuk berdiri tegak yang membuat kecenderungan untuk menjadi

bungkuk, pengurangan ketahanan tubuh (menjadi cepat lelah), dan menjadi tidak

seimbang.21

Cara menjadi aktif adalah dengan melakukan aktivitas aerobik seperti:

menggunakan treadmill, menggunakan sepeda statis, berjalan, berenang dan

berdansa (menari). Aktivitas lain yang dapat dilakukan untuk menjadi aktif adalah

dengan yoga, olahraga golf, bertanam, dan lain-lain. Yang paling penting adalah

konsistensi dalam melakukan berbagai aktivitas ini, bukan aktivitas khusus yang

dipilih. Mulailah dengan aktivitas yang dapat dilakukan dengan nyaman dan

pilihlah waktu yang terbaik untuk melakukan aktivitas tersebut. Secara bertahap,

tambahkan menit-menit untuk aktivitas tersebut setiap harinya, sampai menjadi

30-60 menit per harinya.21

Beberapa perubahan pertama yang terlihat pada penderita Parkinson salah satunya adalah postur tubuh. Terdapat kecenderungan untuk

bahu menjadi turun, siku dan lutut melipat. Hal ini membuat beberapa kesulitan untuk bernapas dalam, menelan, bergerak, menjadi seimbang,

dan berjalan. Karena itu orang dengan penyakit Parkinson harus memiliki kebiasaan mengubah postur menjadi baik. Ketika mencoba

18

membangun postur tubuh yang baik, yang paling penting adalah pengulangan (repetition). Hal ini harus dilakukan sesering mungkin dalam

sehari. Cara membangun postur tubuh yang baik adalah:21

a. Setiap hari (sesering mungkin yang bisa dilakukan)

pasien harus membandingkan postur tubuhnya; dengan

cara berdiri bersandar pada dinding dan pastikan bahwa

punggung bawah dan bahu menyentuh dinding. Cobalah

untuk menarik bagian belakang kepala ke depan dinding

dan kepala belakang jangan mengenai dinding.

b. Ketika bangun di pagi hari, baring

mendatar pada punggung dan jaga agar

kepala dan leher tip back selama 5 menit.

Jangan menekan bahu atau kepala

belakang ke tempat tidur. Dapat

dilakukan pula pada permukaan yang

kuat seperti di lantai.

c. Setiap kali duduk di kursi, harus

dipastikan bahwa bahu menyentuh

sandaran kursi, kemudian tahan beberapa

detik. Lakukan ini kurang lebih tiga kali

setiap kali ingin duduk.

d. Duduk di kursi, rileks ke depan dan

biarkan lengan dan kepala bergantung

ke bawah ke lantai. Kemudian dengan

pelan kembali ke posisi tegak dengan

berpusat pada tulang belakang

kemudian baru kepala menjadi tegak.

Duduk tegak untuk beberapa detik.

Namun bila tekanan darah rendah,

hindari latihan ini).

19

e. Baring dengan posisi wajah ke bawah

pada matras yang diletakkan di lantai

dengan posisi lengan di samping. Dengan

lembut tarik bahu bersamaan, jaga kepala

dan leher agar tetap berada pada garis

lurus, tahan beberapa detik. Jangan

mencoba naik dengan punggung bawah.

f. Setiap kali duduk atau berdiri, dengan

lembut tarik dagu lurus dan luruskan

leher, tahan posisi ini selama 5 detik

dan rileks.

Selanjutnya adalah latihan peregangan atau fleksibilitas. Aktivitas ini membantu pasien untuk mempertahankan jangkauan gerakan

pada semua sendi dan otot. Pasien harus dalam keadaan rileks dan bernapas biasa. Berikut gambar cara melakukan aktivitas peregangan:21

1)2) atau

3)4)

20

5)

6)

Setelah itu dapat dilakukan latihan penguatan untuk menjaga otot tetap sehat

dan kuat, yang mana latihan ini membutuhkan penggunaan otot berulang-ulang

secara spesifik. Cara melakukannya adalah:21

1)2)

3)

4) 5)

6) 7)8)

21

9)10)

11) 12)

22

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penyakit Parkinson merupakan penyebab kedua terbanyak dari penyakit

neurodegeneratif di seluruh dunia. Meskipun tidak ada terapi yang mengubah

proses neurodegeneratif yang mendasari, namun terapi simtomatis dapat

memperbaiki kualitas hidup pasien.

Berhadapan dengan penyakit Parkinson, harus disadari bahwa penyakit ini

kronis dan progresif, bahkan progresifitasnya bisa disebabkan oleh obat yang

digunakan dan atau oleh faktor yang tidak diketahui sehingga tidak bisa dicegah.

Ironisnya, obat gold standard (levodopa) justru merupakan pemicu

progresifitasnya. Meskipun ada perdebatan mengenai waktu memulai terapi

namun data terakhir menyebutkan bahwa mortalitas dan progresifitas penyakit

menurun bila diberikan pengobatan lebih cepat.

Pengobatan penyakit Parkinson pada awal timbulnya dimulai dengan obat

yang melindungi neuron dan pengobatan non farmakologik. Obat yang dipilih

dipertahankan selama mungkin selagi masih efektif. Pengobatan non-

farmakologik terdiri dari perawatan dan pembedahan. Perawatan orang dengan

penyakit Parkinson yang penting adalah pendidikan dan rehabilitasi untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Neurogeriatri. Jakarta: BPFKUI; 2011.

2. Martono HH, Pranaka K, editor. Buku ajar Boedhi-Darmojo geriatri, edisi ke-

4. Jakarta: BPFKUI; 2011.

3. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press; 2011.

4. Joesoef AA. Patofisiologi dan managemen penyakit Parkinson. Dalam:

Machfoed MH, Hamdan M, Machin A, R Wardah, editor. Buku ajar ilmu

penyakit saraf. Surabaya: Airlangga University Press; 2011. hal.180-5.

5. Connoly BS, Lang AE. Pharmacological treatment of Parkinson disease: a

review. JAMA. 2014;311(16):1670-1683. doi:10.1001/jama.2014.3654.

6. Misbcah J, Hamid AB, Mayza A, Saleh MK, editor. Standar pelayanan medik

PERDOSSI. Jakarta: PERDOSSI; 2011.

7. Setiadji VS. Fungsi motorik sistem saraf. Jakarta: BPFKUI; 2013.

8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis

dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.

9. Ikawati Z. Farmakoterapi penyakit sistem syaraf pusat. Yogyakarta: Bursa

Ilmu; 2011.

10. Setiadji VS. Neurotransmitter: reseptor dan cara kerja. Jakarta: BPFKUI;

2012.

11. Gan VHS, Gan S. Obat penyakit Parkinson. Dalam: Gan S, Setiabudy R,

Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan terapi, edisi ke-5. Jakarta:

BPFKUI; 2012.

24

12. Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology, 4th ed. USA: Blackwell

Publishing; 2005.

13. Hauser RA, Benbadis SR. Parkinson disease. [Online]. 2014 Aug 18 [cited

2014 Nov 21]; [6 screens]. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview#showall dan

http://emedicine.medscape.com/article/1831191-medication#showall

14. Jankovic J, Aguilar LG. Current approaches to the treatment of Parkinson’s

disease. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2008: 4(4) 743-757.

15. UBM Medica Asia. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 10 2010/2011.

Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer; 2010.

16. Wibowo A, Gofir A. Farmakoterapi dalam neurologi. Jakarta: Salemba

Medika; 2001.

17. Garcia-Montes JR, Boronat-Garcia A, Drucker-Colin R. Pharmacological

strategies for Parkinson’s disease. Health 4 (2014) 1153-1166.

18. Fung VSC, Morris JGL, Pell MF. Surgical treatment for Parkinson’s disease.

MJA Vol 177, 5 August 2002.

19. Katzung BG, editor. Farmakologi dasar dan klinik, edisi ke-10. Jakarta: EGC;

2010.

20. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of neurology, an illustrated

guide. New York: Thieme; 2006.

21. Parkinson Society Canada. Exercises for people with Parkinson’s. [Online].

July 2003 [cited 2014 Nov 21]; [12 screens]. Available from: URL:

http://www.parkinsonmaritimes.ca/files/uploads/file/resources/exerciseseng.p

df

25