Pengobatan Dm Tipe II Disertai Penyakit Penyerta Tb Paru

50
REFERAT PENGOBATAN DM TIPE II DISERTAI TB PARU BTA POSITIF Disusun Oleh: Ninda Astari 2007730089 KEPANITERAAN KLINIK STASE INTERNA RUMAH SAKIT ISLAM SUKAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Transcript of Pengobatan Dm Tipe II Disertai Penyakit Penyerta Tb Paru

REFERATPENGOBATAN DM TIPE II DISERTAI TB PARU BTA POSITIF

Disusun Oleh:

Ninda Astari

2007730089

KEPANITERAAN KLINIK STASE INTERNA

RUMAH SAKIT ISLAM SUKAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2011

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan

meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin, kerja insulin

atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan

gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh

darah.1

Patogenesis DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun peranan faktor

genetik dan faktor lingkungan dalam proses terjadinya DM tipe 2 sudah diketahui dengan

pasti. Di samping itu, defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin

diperifer merupakan 2 keadaan yang ditemukan secara bersamaan pada DM tipe2. Yang

menjadi masalah adalah proses mana yang lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan

pasti.1

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu bila ditemukan gejala

klinis yang khas DM seperti poliuri, polidipsi dan polifagi serta penurunan berat badan yang

tidak diketahui penyebabnya dan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl maka diagnosis

DM dapat ditegakkan. Sebaliknya apabila tidak ada keluhan maka perlu dilakukan

pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa plasma

puasa dan 2 jam setelah beban glukosa 75 gram. Bila kadar glukosa plasma puasa > 126

mg/dl dan atau kadar glukosa 2 jam setelah beban > 200 mg/dl maka diagnosis DM sudah

dapat ditegakkan.1 Dalam perjalanannya DM tipe 2 sering mengalami komplikasi selain

komplikasi mikroangiopati yang erat kaitannya dengan kontrol glukosa plasma yang jelek

seperti retinopati dan nefropati diabetik, juga komplikasi makroangiopati yang erat kaitannya

dengan aterosklerosis seperti penyakit kardiovakuler (PKV), stroke dan gangren diabetik.

Diabetes melitus dapat mengakibatkan individu rentan infeksi yang disebabkan oleh faktor

predisposisi yaitu kombinasi antara angiopati, neuropati dan hiperglikemia. Gangguan

mekanisme pertahanan tubuh akibat gangguan fungsi granulosit, penurunan imunitas seluler,

gangguan fungsi komplemen dan penurunan respons limfokin, dapat mengakibatkan

lambatnya penyembuhan luka.2 Infeksi sendiri dapat menyebabkan hiperglikemia dan dapat

mempresipitasi ketoasidosis diabetik yang disebabkan oleh kenaikan sekresi “counter–

regulatory hormone”yang merangsang glukoneogenesis dan meningkatkan sistim syaraf

simpatis yang menekan pengeluaran insulin.3 Resistensi insulin dapat meningkat karena

respons pengeluaran sitokin akibat infeksi. 3 Pada pasien DM yang terinfeksi pengobatan

biasanya diganti dengan pengobatan insulin sampai infeksinya membaik

dan bagi pasien DM yang sudah mendapat insulin maka dosis insulin perlu ditingkatkan.3

Di seluruh dunia, satu dari dua orang terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberkulosis (TB).

Jumlah penderita TB sekitar 2,5% dari seluruh penyakit, dan merupakan penyebab kematian

tersering pada wanita muda. TB sekarang menduduki peringkat 7 pada penyebab kematian

dari penyakit. Meskipun obat yang efektif untuk TB telah ada selama 50 tahun yang lalu,

setiap 15 detik seseorang meninggal karena TB, dan tiap satu detik seseorang terinfeksi

dengan TB. 75 % pasien TB berada pada usia produktif, antara 15-54 tahun. Sembilan puluh

lima persen kasus dan 99% kematian karena TB muncul di negara-negara berkembang,

terutama pada Sub-saharan Africa dan South East Asia, dan sekitar 48% pasien dengan TB

tinggal di Asia; termasuk Indonesia. Di masa-masa yang akan datang perhatian perlu

diberikan pada interaksi antara penyakit kronik dengan TB, diantaranya yaitu diabetes.1

Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus (DM) seringkali ditemukan bersama-sama (42,1%),

terutama pada seseorang dengan resiko tinggi untuk menderita TB. DM telah dilaporkan

dapat merubah gejala klinis dari TB serta berhubungan dengan respon yang lambat dari

pengobatan TB dan tingginya mortalitas. TB dapat mengakibatkan pengaruh yang buruk

terhadap kadar gula darah karena intoleransi glukosa yang menyebabkan keadaan

hiperglikemia, namun akan membaik atau menjadi normal dengan pengobatan anti TB.2

Penyakit-penyakit penyerta tersebut 61,5% ditemukan sebagai penyakit primer (lebih dulu)

dan 38,5% sebagai penyakit sekunder, yaitu TB Paru yang lebih dulu, penyakit penyertanya

belakangan timbul.3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DIABETES MELITUS

2.1.1 DEFINISI DIABETES MELITUS

Secara definisi menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun

keduanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes, kecurigaan akan adanya DM perlu dipikirkan

apabila terdapat keluhan klasik DM, seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya, atau keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,

serta pruritus vulvae pada wanita. Pasien didiagnosis DM jika:5

1. gejala klasik DM dan GDS ≥ 200 mg/dl

2. gejala klasik DM dan GDP ≥ 126 mg/dl

3. G2PP ≥ 200 mg/dl

2.2 Klasifikasi

Tabel klasifikasi etiologis DM

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin

absolut:

Autoimun

Idiopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi

insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pancreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes

melitus

gestasiona

l

2.3Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan

tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam

menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil

dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan

bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan

glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang

melakukan program pemantau kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian,

sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole

blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria

diagnosis yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil

pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.5

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,

sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka

yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM.

Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan

Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum Pasti DM DM

Kadar

Glukosa

Darah

Sewaktu

Plasma

vena

<100 100-199 > 200

Darah

kapiler

<90 90-199 > 200

Kadar

Glukosa

Darah Puasa

Plasma

vena

<100 100-199 > 126

Darah

kapiler

<90 90-199 >100

(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia, PERKENI, 2006)

Diagnosis DM ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik

ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasama puasa >200 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma

puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien dan murah

sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga, dengan TTGO.

Meskipun TTGO engan beban glukosa 75 gram glukosa lebih sensitif dan

spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki

keterbatasan tersendiri, karena sulit untuk dilakukan berulang-ulang.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka

dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang

diperoleh.

TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeiksaan TTGO

didapatkan glukosa plasma puasa 2 jam setelah beban antara 140-199

mg/dl.

GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glikosa

plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.

Kriteria Diagnosis DM:

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl

atau

2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl

atau

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl

Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan

2.4 Penatalaksanaan DM

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa

darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis

dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada

keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau

langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi

metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan

yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala

hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,

sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara

mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

II.4.3.1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan

perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang

diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku.

Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi

yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Mengenai edukasi

ini akan dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat

di halaman 28.

II.4.3. 2. Terapi Gizi Medis

q Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas

kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).

q Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai

dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

q Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama

dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan

yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

q Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan

energi.

q Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

q Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang

berserat tinggi.

q Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang

diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang

lain

q Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

q Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,

asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted

Daily Intake)

q Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat

dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan

selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan

kalori sehari.

Lemak

q Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

q Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

q Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak

jenuh tunggal.

q Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak

mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging

berlemak dan susu penuh (whole milk).

q Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.

Protein

q Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

q Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,

dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah

lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.

q Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan

protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan

energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium

q Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama

dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih

dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam

dapur.

q Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400

mg garam dapur.

q Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,

dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium

nitrit.

Serat

q Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes

dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan,

buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,

karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain

yang baik untuk kesehatan.

q Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.

Pemanis alternatif

q Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis

tak bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol

dan fruktosa.Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006

q Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,

sorbitol dan xylitol.

q Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori

sehari.

q Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang

diabetes karena efek samping pada lemak darah.

q Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame

potassium, sukralose, neotame.

q Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(Accepted Daily Intake / ADI )

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan

penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan

kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal,

ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis

kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang

dimodifikasi adalah sbb:

q Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

q Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita

di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

BB Normal : BB ideal ± 10 %

Kurus : < BBI - 10 %

Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh.

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/

TB(m2)

Klasifikasi IMT*

q BB Kurang <18,5

q BB Normal 18,5-22,9

q BB Lebih >23,0

v Dengan risiko 23,0-24,9

v Obes I 25,0-29,9

v Obes II >30

* : WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:

RedeningObesity and its Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

o Jenis Kelamin

v Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan

kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/

kg BB.

o Umur

v Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%

untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60

s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.

o Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

v kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas

fisik

v penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada

kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30%

dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.

o Berat Badan

v Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada

tingkat kegemukan

v Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan

untuk meningkatkan BB.

v Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan

paling sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 -

1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi

dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%)

serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan

kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan

kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola

pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

C. Pilihan Makanan

Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui

piramida makanan untuk penyandang diabetes (lihat pada lampiran 1)

II.4.3.3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur

(3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu

pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan

kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukanKonsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006

(lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga

dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani

yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti:

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa

ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat

dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

II.4.3.4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah

belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

1. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

A. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):

sulfonilurea dan glinid

B. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin,

tiazolidindion

C. penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase

alfa.Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 17

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan

sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan

pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal

dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien

dengan berat badan lebih.

Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada

berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal

dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak

dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi

insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat

yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid

(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat

setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat

melalui hati.

B. Penambah sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma

(PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut

glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal

jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi

cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang

menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan

faal hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki

ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006

diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)

dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan

hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,

renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek

samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat

diberikan pada saat atau sesudah makan.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa

di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan

kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak

menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang

paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh

obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 5,

sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet, dosis

harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat pada

lampiran 2.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

v OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara

bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat

diberikan sampai dosis hampir maksimal

v Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan

v Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan

v Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan

v Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan

v Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan

suapan pertama

v Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

2. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

q Penurunan berat badan yang cepat

q Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

q Ketoasidosis diabetik

q Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

q Hiperglikemia dengan asidosis laktatKonsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006 19

q Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

q Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,

stroke)

q Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional

yang tidak terkendali dengan perencanaan makan

q Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

q Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat

jenis, yakni:

q insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

q insulin kerja pendek (short acting insulin)

q insulin kerja menengah (intermediate acting

insulin)

q insulin kerja panjang (long acting insulin)

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006

q insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah

(premixed insulin).

Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran

3.

Efek samping terapi insulin

q Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya

hipoglikemia.

q Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab

komplikasi akut DM.

q Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap

insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi

insulin.

Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia

memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit

(makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. 11

Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya

resolusi bila kausa yang mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren,

gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka

manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang

disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada

penelitian in vitro sel sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak

terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan

dengan killing activity dari enzim lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan

aktifitas membunuh dalam 48 jam. 11

Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30% episode KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada

umumnya DM tipe II. Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa

darah dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe I. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan

kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones

(glukagon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel sel beta pankreas.

Katekolamin diproduksi oleh simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya

glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan

pada stadium awal. Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe II akan tetapi

akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat. Resistensi insulin terutama pada

otot skelet dimana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya

belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel

imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjutnya interleukin dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer dengan

menekan tirosin kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada defisiensi insulin akan

merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM. 11

TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan “brittle” diabetes. Di Negara-negara Barat

insiden TB sudah menurun walaupun insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS.

Didaerah dimana TB masih endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan

kronis dibanding DM saja. Hal ini disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM, reaktifasi fokus

infeksi lama, cenderung lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda

tanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada

keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi tidak efektif. 11

Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas TB meningkat 3 kali pada DM berat dibanding

DM ringan. Penelitian TB paru pada DM di indonesia masih cukup tinggi yaitu 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar

negeri maka prevalensi indonesia masih tinggi. Telah diketahui sejak dahulu terdapat hubungan bermakna antara DM dengan

TB paru khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi

antara lamanya DM dengan prevalensi TB paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi riwayat kontak pada pasien

tuberkulosis. Penelitian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah penelitian

menunjukkan prevalensi TB pada DM rata-rata diatas 40 tahun (mean 55,4 tahun). Faktor umur berperan dalam

meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap TB. Disamping itu

disfungsi sel beta terganggu berat, biasanya usia lanjut sudah lama menderita DM serta kontrol DM yang tidak baik. Pasien

DM laki-laki mempunyai kemungkinan 2 kali mendapat TB dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15%

obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM dengan TB mempunyai berat badan

normal. 11

Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan

DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun

insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB

ideal. 11

Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat

jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat

insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM

seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100

mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau

terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar

glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau

tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin,

pertahankan hidrasi dengan pemberian cairan intravena bila diperlukan. 11

2.2 TUBERKULOSIS PARU

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2.2.2 Etiologi

Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit akibat infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Penyakit

ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi

terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.

Epidemiologi

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium

tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian

akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB

didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB

lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Gambar 2.1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis

(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu

kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan

rumah tangganya sekitar

Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh

berbagai hal, yaitu:

Diagnosis tidak tepat

Pengobatan tidak adekuat

Program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat,

Infeksi endemic HIV

Migrasi penduduk

Mengobati sendiri (self treatment)

Meningkatnya kemiskinan, dan

Pelayanan kesehatan yang kurang memadai

Etiologi

Bakteri Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis atau Mycobacterium

africanum. Mikrobakteri termasuk genus (Mycobacterium) keluarga Mycobacteriaceae

dalam ordo Actinomycetales. Semua mikobakteri memiliki sifat tahan asam, resisten

terhadap pewarnaan dengan pelarut organic yang diasamkan. Kuman tuberculosis pada

manusia adalah M. tuberculosis dan M. bovis.

Basil tuberkel adalah batang bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 µm dan

lebarnya 0.2-0.5 µm.. Pertumbuhan basil tuberkel khas lambat dengan waktu generasi 12-

14 jam. Komponen utama basil tuberkel adalah polisakarida, yang berada dalam bentuk

gabungan kimia dengan lipid di dalam dinding sel. Dinding sel yang kaya lipid berperan

untuk sifat hidrofobi, tahan asam, impermeabilitas relative, dan resistensi terhadap kerja

bakterisid antibody dan komplemen.

Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,

penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet

yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam.

Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Daya

penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita

tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut

dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi

droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei) yang terhirup

dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya

oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh

kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.

Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus

berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya

kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak

di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus (perihiler), sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang kan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis

dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi.. Masa inkubasi TB berlangsung

selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.

Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,

yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji

tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Bila imunitas

seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijauan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna

focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama

bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk

ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen

inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman

TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala

klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di

organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan

kelenjar limfe superficial. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati,

tulang, ginjal dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetap

tidak aktif (tenang/dorman), demikian pula dengan proses patologiknya.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut

dengan TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB

yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread

dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam

perjalannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk

tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan

mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi

diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologik

anatomic, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara histologik

merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijauan di

dinding vascular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman

TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran

penyakit tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

TB paru kronik adalah TB pascaprimer (postprimary TB) sebagai akibat reaktivasi

kuman di dalam focus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang

terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Manifestasi klinis

Patogenesis TB sangat kompleks sehingga manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada beberapa faktor.

Faktor yang berperan adalah

Faktor kuman TB yang bergantung pada jumlah dan virulensi kuman

Faktor pejamu bergantung pada usia dan kompetensi imun kerentaranan pejamu

pada awal terjadinya infeksi

Serta interaksi antar keduanya

Gejala-Gejala Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah

banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.

Keluhan yang terbanyak adalah :

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan

dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi

kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza

ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza.

Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman tuberkulosis yang masuk.

b. Batuk/batuk darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini

diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus

pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit

berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan

setelah peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan

yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

Kebanyakkan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi

pada ulkus dinding bronkus.

c. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah

bagian paru-paru.

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai

ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis . terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien

menarik/melepaskan napasnya.

e. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan

berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit

kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin

berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus

atau berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama

pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Tempat kelainan

lesi pada TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai

adanya infiltrat yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara

napas bronchial. Akan di dapatkan juga suara napas tambahan berupa ronkhi basah, kasar,

dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi

vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara

hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.

Pada tuberkulosis yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan

retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi

mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat lebih menjadi hiperinflasi. Bila jaringan

fibrotik menjadi sangat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi

pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis

(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan di

dapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia,

sianosis, right ventricular lift, right arterial gallop, murmur Graham-steel, bunyi P2 yang

mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.

Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. paru yang sakit

terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi

memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai

dengan didapatnya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang

positif.

Diagnosis TB paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -

pagi - sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB

(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan

dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai

dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.

Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga

sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

7. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemerikasaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk

menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru

(segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus

bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada

tuberkulosis endotrakial).

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran

radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila

lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang

tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama

dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang

bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan

densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang

dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus atau satu bagian paru.

Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya

tersebar merata pada seluruh lapangan paru.

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan

pleura (pleuritis), masa cairan dibagian bawah paru (efusi plura/empiema), bayangan hitam

radio-lusen dipinggir paru/pleura (pneumotoraks).

2. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang

meragukan, hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru di mulai

(aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran

ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila

penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi.

Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi.

Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan : 1). Anemia ringan dengan gambaran

normokrom dan normositer ; 2). Gama globulin meningkat ; 3). Kadar natrium darah

menurun. Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.

3. Pemeriksaan Sputum

Pemerisaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,

diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat

memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tetapi kadang tidak mudah

untuk mendapatkan sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk ataupun pasien yang

batuk non-produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien

dianjurkan untuk meminum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan untuk melakukan refleks

batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obatan mukolitik eks-pektoran atau

dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat

diperoleh dengan cara bronkoskopi di ambil dengan brushing atau bronchial washing atau

BAL (bronco alveolar lavage). BTA dari sputum dapat juga diperoleh dengan cara bilasan

lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan

dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan bila

bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang

mengandung kuman BTA mudah keluar. kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-

kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan

5.000 kuman dalam 1 mL sputum.

Pemeriksaan sputum untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3

spesimen sputum yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),

S (sewaktu): sputum dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama

kali. pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot sputum untuk

mengumpulkansputum pagi pada hari kedua.

P (Pagi): sputum dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu): sputum dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan sputum

pagi.

4. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis

tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes mantoux yakni dengan

menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5

T.U (intermediate strength).

Penatalaksanaan

Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman

terhadap OAT.

Jenis, sifat dan dosis OAT

Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT

Jenis OAT Sifat

Dosis yang direkomendasikan

(mg/kg)

Harian 3x seminggu

Isoniazid (H)Bakterisid 5

(4-6)

10

(8-12)

Rifampicin (R)Bakterisid 10

(8-12)

10

(8-12)

Pyrazinamide (Z)Bakterisid 25

(20-30)

35

(30-40)

Streptomycin (S)Bakterisid 15

(12-18)

Ethambutol (E)Bakteriostatik 15

(15-20)

30

(20-35)

Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan

gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap

(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam

2 bulan.

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan

Paduan OAT dan peruntukannya.

a) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

b) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

• Pasien kambuh

• Pasien gagal

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Berat

Badan

Tahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

RH (150/150) +

E(400)

Selama 56 hariSelama 28

hariselama 20 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.

2 tab

4KDT

2 tab 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38-54 kg 3 tab 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.

3 tab

4KDT

3 tab 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55-70 kg 4 tab 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin

inj.

4 tab

4KDT

4 tab 2KDT

+ 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tab 4KDT

+ 1000mg Streptomisin inj.

5 tab

4KDT

5 tab 2KDT

+ 5 tab Etambutol

Catatan:

• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk

streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan

aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

c) OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori

1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya

kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa

indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah dari pada OAT lapis

pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis

kedua.

EFEK SAMPING

Efek Samping yang ringan dari OAT

Efek Samping yang berat dari OAT

Evaluasi Hasil Pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan

terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah

diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi

radiologis, dan pemeriksaan LED.

Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya

kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang

bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila

respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,

kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura

atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto torak perlu diulang setelah 1 bulan untuk

evaluasi hasil pengobatan sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto torak dilakukan

setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal

pengobatannya nilainya tinggi.

Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik„ yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi

penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak

ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten

terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien

dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan

meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat,

kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-

12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks utang pada

akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten

M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, d-aan mengurangi

secara bermakna kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB paru

tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6.

bulan.

TIPE

PASIEN TBU R A I A N HASIL BTA TINDAK LANJUT

Pasien baru

BTA positif

dengan

pengobatan

kategori 1

Akhir tahap

Intensif

NegatifTahap lanjutan dimulai.

Positif

Dilanjutkan dengan OAT sisipan

selama 1 bulan. Jika setelah

sisipan masih tetap positif, tahap

lanjutan tetap diberikan.

Sebulan

sebelum

Akhir

Pengobatan

Negatif OAT dilanjutkan.

PositifGagal, ganti dengan OAT

Kategori 2 mulai dari awal.

Akhir

Pengobatan

(AP)

Negatif

dan

minimal satu

pemeriksaan

sebelumnya

negative

Sembuh.

PositifGagal, ganti dengan OAT

Kategori 2 mulai dari awal.

Pasien baru

BTA neg &

foto toraks

mendukung

TB dengan

pengobatan

kategori 1

Akhir intensif

Negatif

Berikan pengobatan tahap

lanjutan sampai selesai, kemudian

pasien dinyatakan Pengobatan

Lengkap.

PositifGanti dengan Kategori 2 mulai

dari awal.

Pasien BTA

positif

dengan

pengobatan

kategori 2

Akhir Intensif

Negatif

Teruskan pengobatan dengan

tahap lanjutan.

Positif

Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah

sisipan masih tetap positif,

teruskan pengobatan tahap

lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk

untuk uji kepekaan obat.

Sebulan

sebelum Akhir

Pengobatan

NegatifLanjutkan pengobatan hingga

selesai.

Positif

Pengobatan gagal, disebut kasus

kronik, bila mungkin lakukan uji

kepekaan obat, bila tidak rujuk ke

unit pelayanan spesialistik.

Akhir

Pengobatan

(AP)

Negatif Sembuh.

Positif

Pengobatan gagal, disebut kasus

kronik, jika mungkin, lakukan

uji kepekaan obat, bila tidak rujuk

ke unit pelayanan spesialistik.

Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur

Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:

Lacak pasien

Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur

Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai

Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:

Tindakan-1 Tindakan-2

Lacak pasien

Diskusikan dan

cari masalah

Periksa 3 kali

dahak (SPS) dan

lanjutkan

pengobatan

sementara

menunggu

hasilnya

Bila hasil BTA

negatif atau Tb extra

paru :

Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis

selesai

Bila satu atau lebih

hasil BTA positif

Lama pengobatan

sebelumnya kurang

dari 5 bulan *)

Lanjutkan

pengobatan sampai

seluruh dosis selesai

Lama pengobatan

sebelumnya lebih

dari 5 bulan

Kategori-1:

mulai kategori-2

Kategori-2:

rujuk, mungkin

kasus kronik.

Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)

Periksa 3 kali

dahak SPS

Diskusikan dan

cari masalah

Hentikan

pengobatan

sambil

menunggu hasil

pemeriksaan

dahak.

Bila hasil BTA

negatif atau Tb extra

paru:

Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi

bila gejalanya semakin parah perlu

dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan

atau biakan)

Bila satu atau lebih

hasil BTA positif

Kategori-1 Mulai kategori-2

Kategori-2 Rujuk, mungkin

kasus kronik.

Keterangan :

*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan

sebelumnya kurang dari 5 bulan:

lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir

pengobatan harus diperiksa dahak.

2.3 PENGELOLAAN DM PADA TB PATU BTA POSITIF

Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia

memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit

(makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. 11

TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin. Di Negara-negara Barat insiden TB sudah menurun

walaupun insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS. Didaerah dimana TB masih

endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis dibanding DM saja. Hal

ini disebabkan meningkatnya kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM.

Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas TB meningkat 3 kali pada DM berat dibanding

DM ringan. Penelitian TB paru pada DM di indonesia masih cukup tinggi yaitu 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar

negeri maka prevalensi indonesia masih tinggi. Telah diketahui sejak dahulu terdapat hubungan bermakna antara DM dengan

TB paru khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi

antara lamanya DM dengan prevalensi TB paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi riwayat kontak pada pasien

tuberkulosis. Penelitian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah penelitian

menunjukkan prevalensi TB pada DM rata-rata diatas 40 tahun (mean 55,4 tahun). Faktor umur berperan dalam

meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap TB. Disamping itu

disfungsi sel beta terganggu berat, biasanya usia lanjut sudah lama menderita DM serta kontrol DM yang tidak baik. Pasien

DM laki-laki mempunyai kemungkinan 2 kali mendapat TB dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15%

obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM dengan TB mempunyai berat badan

normal. 11

Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan

DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun

insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB

ideal. 11

Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat

jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat

insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM

seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100

mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau

terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar

glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau

tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin,

pertahankan hidrasi dengan pemberian cairan intravena bila diperlukan. 11

BAB III

PENUTUP

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya

kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan berbagai-

bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Hiperglikemia

dapat menyebabkan menurunnya aktifitas sel fagosit khususnya terganggunya ‘respiratory

burst’ untuk membunuh mikroorganisme dalam lekosit. Infeksi menyebabkan hiperglikemia

dan dapat mempresipitasi ketoasidosis diabetika dan dapat meningkatkan sekresi hormon

“counter regulatory”, merangsang glukoneogenesis dan menekan sekresi insulin. Pasien DM

rentan mendapat TB paru dan gejala TB paru perlangsungannya lebih berat, mengenai lobus

bawah, non segmental dan menyebabkan reaktivasi penyakit sebelumnya. Pada umumnya

pengobatan meliputi pengobatan terhadap DM nya dengan pemberian diet diabetes dan

insulin. Obat anti diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada DM dengan TB paru karena

adanya efek rifampicin dan isoniazid yang mengurangi efek obat tersebut. Penting sekali

monitor glukosa darah sendiri dengan memakai meter untuk memantau kadar glukosa secara

teratur.(JMed Nus. 2004; 25:45-49).