PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT...
Transcript of PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT...
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
(ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
MUHAMMAD SYAIFUDIN
NIM 062311006
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2012
ii
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag.
Perum Perdana Merdeka H/2 Ngaliyan Semarang
H. Tolkah, M. A.
Karonsih Baru Raya No.87 RT 3/XII Ngaliyan Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Muhammad Syaifudin
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi Saudara:
Nama : Muhammad Syaifudin
NIM : 062311006
Jurusan : Muamalah
Judul Skripsi : PENGGUGURAN HAK MUALLAF
SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
(ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN
KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN
HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ
ZAKAT)
Dengan ini saya mohon kiranya naskah saudara skripsi tersebut dapat
segera diujikan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Semarang, 13 Juni 2012
Pembimbing I , Pembimbing II,
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. H. Tolkah, M. A.
NIP. 19700410 199503 1 001 NIP. 19690507 199603 1 005
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Prof. Hamka Km. 02 Semarang Telp/Fax. (024)7601291
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Muhammad Syaifudin
NIM : 062311006
Judul : PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI
MUSTAHIQ ZAKAT (ANALISIS PEMIKIRAN
UMAR BIN KHATTAB TENTANG
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI
MUSTAHIQ ZAKAT)
telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude/baik/cukup, pada tanggal:
27 Juni 2012
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 tahun
akademik 2011/2012
Semarang, 27 Juni 2012
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
H. Muhammad Saifullah, M.Ag. H. Tolkah, M. A.
NIP. 19700321 199603 1 003 NIP. 19690507 199603 1 005
Penguji I Penguji II
Dr. H. Musahadi, M.Ag. Afif Noor, S.Ag, S.H, M.Hum.
NIP. 19690709 199403 1 003 NIP. 19760615 200501 1 005
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. H. Tolkah, M. A.
NIP. 19700410 199503 1 001 NIP. 19690507 199603 1 005
iv
MOTTO
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir”.
(QS. Al-Kahfi : 29)
v
PERSEMBAHAN
Dengan setulus hati dan penuh kasih, ku persembahkan karya tulis skripsi
ini untuk;
Bapak dan ibu tercinta (Bapak Kamalin dan Ibu Muaenah), kakak dan
adik yang ku sayangi (Mas Zaenal Arifin dan Imam Munajat) serta
seluruh keluarga besar yang ku banggakan.
Ummi Khadijah yang sangat ku sayangi
Ustadz Ahmad Mifdhol Muthohar beserta keluarga
Seluruh Asatidz di PONPES Al-Hikmah Karanggede
Seluruh santri PONPES Al-Hikmah Karanggede
Untuk semua orang yang memberi warna dalam perjalanan hidupku
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012
Deklarator,
Muhammad Syaifudin
062311006
vii
ABSTRAK
Menurut syariat Islam, mustahiq zakat berjumlah delapan (al-asnaf ats-
tsamaniyah), dan salah satunya adalah kelompok muallaf. Pada masa kenabian,
zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk menarik simpati orang-orang kafir
terhadap Islam, demikianlah pemberian zakat kepada orang-orang muallaf tetap
berlanjut hingga Rasulullah wafat.
Dan pada masa Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi
memberikan bagian muallaf kepada yang berhak, berpijak pada Umar bin Khattab
yang dengan tegas menolak memberikan bagian zakat kepada para muallaf di
masa pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya. Padahal sejak masa
Nabi mereka terus menerus menerima zakat. Di sinilah Umar mengeluarkan satu
statemen hukum, bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian
zakat, yang tidak ada satu pun dari sahabat yang menentangnya. Sehingga
pendapat Umar bin Khattab tersebut menjadi ketetapan (ijma‟) para sahabat dan
dianggap menasakh bagian muallaf.
Berpijak dari uraian tersebut, ada dua permasalahan yang dirumuskan,
pertama, Apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada
muallaf sebagai mustahiq zakat? Kedua, Bagaimana fuqaha kontemporer
mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf
sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh?
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research).
Yang menelaah kisah Umar bin Khattab dari berbagai referensi buku. Dalam
penelitian ini, penulis tidak membedakan jenis data primer maupun sekunder,
karena Umar bin Khattab tidak meninggalkan karya yang bisa dikategorikan
sebagai sumber data primer (primary source). Namun data-data penulis
kumpulkan dari berbagai sumber yang relevan dengan pembahasan tema ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu
dengan memaparkan kembali data yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya
menganalisa data tersebut secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat
akurasi data yang sudah ada. Disamping juga menggunakan metode Ushuliyah
guna memahami hakikat pemikiran Khalifah Umar bin Khattab dalam hal
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Karena Umar hidup pada
beberapa abad lalu, maka digunakan pendekatan sejarah untuk merekontruksi apa
yang terjadi pada masa dahulu agar bisa dicerna pada saat ini.
Hasil dari penelitian ini adalah, pertama, Umar bin Khattab
menggugurkan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” sebagai penerima zakat
adalah karena adanya suatu „illat (alasan-alasan dibalik solusi-solusi dan
keputusan tersebut) yaitu keadaan “lemah agama” dan keadaan umat Islam pada
permulaan sejarahnya yang masih minoritas sehingga diberikannya bagian harta
zakat kepada kelompok “al-muallafah qulubuhum” adalah disamping mereka
diharap berubah dan masuk Islam, juga untuk menolak kemungkinan datangnya
kejahatan dari mereka. Namun pada masa khalifah Abu bakar, keadaan umat
Islam telah cukup kuat dan tidak diperlukan lagi untuk melunakkan musuh-musuh
Islam, maka pemberian zakat kepada golongan muallaf (dari golongan orang
kafir) dihentikan Umar bin Khattab, karena „illat hukumnya sudah tidak ada lagi.
viii
Kedua, dalam khazanah ilmu fiqh, fuqaha kontemporer berbeda pendapat
mengenai status asnaf “al-muallafah qulubuhum”, akan tetapi pada umumnya
mereka tidak menyalahi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak
muallaf sebagai mustahiq zakat. Mereka mendudukkan pemikiran Umar tersebut
sebagai dasar ijtihad dengan ketentuan jika jiwa yang melatar belakangi („illat
hukum) itu masih terlihat, maka ketentuan hukum berlaku, sedangkan jika jiwa
yang melatar belakangi itu tidak terlihat atau tidak sesuai dalam penerapannya
pada suatu saat dan keadaan tertentu, maka ketentuan hukum yang disebutkan
dalam nash tersebut tidak perlu lagi untuk dilaksanakan.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT. Karena hanya berkat rahmat, Taufiq, Hidayah, dan Inayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Sholawat dan Salam penulis haturkan kepada junjungan baginda Nabi
Muhammad SAW., yang memberikan uswatun hasanah kepada umatnya
bagaimana berperilaku sehari-hari, baik kepada Allah SWT, maupun kepada
sesama manusia.
Penulis tidak dapat mengelak bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak
lepas dari peran serta orang-orang di sekitar penulis. Oleh karena itu penulis
haturkan terima kasih kepada;
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo.
2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah, dan
juga dosen pembimbing I yang sudi meluangkan waktu untuk mengoreksi
dan memberi arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Moh. Arifin, M.Hum, dan Bapak Afif Noor, S.Ag, S.H, M.Hum.,
sebagai kajur dan sekjur Muamalah yang senantiasa memberi nasehat.
4. Bapak H. Tolkah, M.A., sebagai dosen pembimbing II, yang
menyempatkan waktunya untuk menelaah dari bab perbab pembuatan
skripsi ini.
5. Segenap dosen yang telah mendidik dengan tulus, terima kasih atas ilmu
yang ditularkan, dan para pegawai di Fakultas Syari‟ah yang telah
memberi pelayanan administratif kepada mahasiswa.
6. Bapak H. Ahmad Mifdhol Muthohar, Lc, MSI., selaku Direktur PONPES
Al Hikmah, yang selalu membimbing dan memotivasi penulis.
7. Teman-teman kelas MUA dan MUB angkatan 2006, Hasan, Munip, Bety,
Yeni, Helin, Yusmanto, Nazil, Aan, Aniq, dll.
Semoga karya tak seberapa ini bermanfaat. Sukses selalu untuk kita semua.
Semarang, 12 Juni 2012
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
D. Telaah Pustaka ................................................................................... 9
E. Metode Penelitian .............................................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14
BAB II BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
A. Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk Islam ......................... 16
B. Keutamaan Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi dan Khalifah ... 26
C. Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi
Metode Ijtihadnya .............................................................................. 34
BAB III PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ
ZAKAT
A. Pengertian dan Klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum ...... 45
xi
B. Pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf
sebagai mustahiq zakat ...................................................................... 52
C. Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab
menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat ......................... 61
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB
TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI
MUSTAHIQ ZAKAT
A. Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat ............................ 65
B. Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak
muallaf sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama‟ ............... 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 89
B. Saran .................................................................................................. 90
C. Penutup .............................................................................................. 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Demikian
pentingnya ibadah ini, ia menduduki posisi ketiga sesudah shalat. Kata zakat
dalam berbagai bentuk dan konteksnya disebut dalam al-Qur‟an sebanyak
enam puluh kali, dua puluh enam kali diantaranya Allah menyebutkan soal
zakat selalu berdampingan penyebutannya dengan shalat dalam Al-Qur‟an.1
Ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai arti yang sangat penting dan
memiliki hubungan yang erat. Shalat merupakan ibadah jasmaniyah yang
paling utama, sedang zakat dipandang sebagai ibadah harta yang paling
mulia.2
Zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang
bersifat kemanusiaan saja dan bukan pula sekedar ibadah yang dilakukan
secara pribadi, tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang
berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan sasaran zakat.3
Pada satu sisi, memang tidak diragukan lagi, bahwa zakat itu suatu
rukun dari rukun-rukun agama, suatu fardhu dari fardhu-fardhu agama yang
wajib diselenggarakan.4
1 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004 hal. 262 2 Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma‟arif, cet.7, 1984, hal. 186
3 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563
4 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1996, hal. 12
2
Zakat merupakan ibadah dan kewajiban sosial bagi para aghniya‟
(hartawan) setelah kekayaannya memenuhi batas minimal (nishab) dan
rentang waktu setahun (haul). Tujuannya adalah untuk mewujudkan
pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah satu aset – lembaga –
ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi upaya
membangun kesejahteraan ummat. Karena itu al-Qur‟an memberi rambu
agar zakat yang dihimpun disalurkan kepada mustahiq (orang-orang yang
benar-benar berhak menerima zakat).5 Dengan zakat, seseorang mampu
berada di tengah-tengah masyarakat muslim dan menciptakan
persaudaraan.6
Allah SWT adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya,
termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya
pada hakikatnya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan
dijalankan sesuai dengan kehendak Allah SWT.7
Manusia sebagai pengemban amanat berkewajiban memenuhi
ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT baik dalam pengembangan
harta maupun dalam penggunaannya. Dan zakat merupakan salah satu
ketetapan Allah yang berhubungan dengan harta, harta benda dijadikan
Tuhan sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka
zakat harus diarahkan guna kepentingan bersama.8
5 Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 259
6 Yusuf Qardawi, loc.cit, hal. 7
7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 2000, hal. 323
8 ibid
3
Menurut syariat Islam, golongan-golongan yang berhak menerima
zakat (mustahiq zakat) berjumlah delapan atau yang biasa dikenal dengan
istilah delapan asnaf, salah satunya adalah kelompok muallaf. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60 :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana 9
Pada masa kenabian, zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk
menarik simpati orang-orang kafir terhadap Islam, seperti yang pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika memberikan zakat seratus unta
kepada Safwan bin Umayyah sebelum ia masuk Islam. Imam Muslim telah
meriwayatkan :
“Ibnu Syihab berkata, diriwayatkan Said bin Musayyib, bahwa Safwan bin
Umayyah berkata : Demi Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat)
padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus
9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia
Arkanleema, 2009, hal. 196
4
memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku
cintai”.10
Pemberian itu diberikan sebagai pelunak hati mereka, agar tidak
terfikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka
dan untuk menarik simpati mereka untuk mau mengikuti dakwah baru ini
(Islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam
dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.11
Pada waktu setelah kemenangan pasukan Islam di Hawazin, pada
tahun 8 Hijriyah, Nabi memberikan kepada pemimpin-pemimpin kabilah
sejumlah harta yang sangat banyak. Beliau memberikan 100 ekor unta
masing-masing kepada Abu Sufyan bin Harb, putranya Muawiyah, Hakim
bin Hizam, Al-Harits bin Kildah, Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr,
Huwaithab bin Abdul Uzza, Al-Ala‟ bin Jariyah Ats-Tsaqafi, Uyainah bin
Hisn, Al-Aqra‟ bin Habis At-Tamimi, Malik bin Auf An-Nashri dan
Shafwan bin Umayyah. Rasulullah juga memberikan 90-an ekor unta
kepada masing-masing pemuka Quraisy, yang diantaranya adalah;
Makhramah bin Naufal Az-Zuhri, Umair bin Wahb Al-Jamhi, Hisyam bin
Amr, Sa‟id bin Yarbu‟, Addi bin Qais12
dan yang lainnya.
Rasulullah memberikan zakat kepada mereka itu dan juga yang
lainnya, dan tidak memberikan bagian ini kepada banyak kaum muslimin
yang benar-benar kuat dan tulus keimanannya. Meskipun jerih payah dan
10
Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806 11
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005,
hal. 178. 12
Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr, hal. 331
5
kesibukan mereka berjihad dan berdakwah tentunya sangat layak untuk
menerima bagian tersebut.13
Di dalam hukum Islam, para ulama‟ memberikan pengertian yang
berbeda-beda tentang muallaf. Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah dan
Hanafiyah, muallaf adalah mereka yang baru masuk Islam, sehingga orang-
orang musyrik atau non-muslim tidak berhak mendapatkan bagian zakat dari
golongan muallaf meskipun keislaman mereka dikehendaki.14
Sedangkan
ulama Malikiyah dan Hanabilah memasukkan orang-orang yang baru masuk
Islam dan orang-orang kafir ke dalam kategori muallaf.15
Imam Malik dan sebagian pengikutnya serta mayoritas ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa bagian muallaf secara mutlak sudah gugur
karena Islam setelah wafatnya Nabi sudah menemukan momentum
kejayaannya dan banyaknya jumlah kaum muslim, sehingga jumlah
mustahiq zakat tidak lagi delapan golongan tetapi hanya tujuh golongan.
Dalil yang dijadikan argumen oleh kelompok ini adalah bahwa pada masa
Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi memberikan bagian muallaf
kepada yang berhak, berpijak pada perkataan Umar bin Khattab : 16
13
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 180. 14
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997,
hal. 1954. Meskipun Imam Syafi‟i mengklasifikasikan golongan muallaf kepada empat macam,
namun keempat macam tersebut seluruhnya adalah mereka yang sudah masuk Islam. Lihat
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, vol. 1, cet. III, Beirut : Dar Ihya al-
Turats al-„Arabi, hal. 625. 15
Wahbah al-Zuhayli, Op.Cit., hal. 1954. 16
Ibid, hal. 1955.
6
“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir”.
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, dari
Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata : bahwa suatu saat,
„Uyainah bin Hishn dan al-Aqra‟ bin Habis datang kepada Khalifah Abu
Bakar untuk meminta bagian zakat mereka dari golongan muallaf berupa
tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup.
Keduanya berkata, “sesungguhnya ditempat kami ada tanah-tanah kosong,
yang yang tidak berumput dan tidak berfungsi, bagaimana jika tanah itu
anda berikan kepada kami?” Maka Abu Bakar membuat surat (catatan)
untuk mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar
tidak ada disitu, namun ketika mereka menyerahkan surat tersebut kepada
Umar, ia menolak memberikan zakat kepada mereka dan langsung
menyobek surat itu kemudian berkata, “dahulu Rasulullah menganggap
kalian sebagai muallaf, ketika Islam saat itu masih kecil dan pemeluknya
masih sedikit. Sedangkan sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan
jaya, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”17
Selanjutnya Umar bin Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29
yang berbunyi :18
17
Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat
juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam,
Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238. 18
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat
lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah :
Lihat Wahbah al-Zuhayli,
Op.Cit.,hal. 1954.
7
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka
barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Mendengar kata-kata Umar bin Khattab seperti ini, mereka langsung
datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi
khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh
Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.19
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ketika Umar bin Khattab
mengatakan demikian, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.
Bahkan Abu Bakar as-Siddiq sendiri sepakat dengan pendapatnya. Sehingga
maqalah Umar bin Khattab menjadi ketetapan (ijma‟) para sahabat dan
dianggap menasakh bagian muallaf.20
Di sini Umar bin Khattab mengeluarkan satu statemen hukum,
bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian zakat, yang tidak
ada satu pun dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui
pendapat dan apa yang dilakukan oleh Umar. Adakah dalam hal ini Umar
bin Khattab menyalahi hukum yang telah ditetapkan al-Qur‟an? Apakah
pemikiran Umar tersebut bisa dijadikan dasar hukum untuk tidak
memberikan hak muallaf sebagai mustahiq zakat?
19
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga
Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda. 20
Sayyid Sabiq, Ibid,. Bandingkan dengan Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor :
Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563.
8
Keunikan pendapat Umar bin Khattab inilah yang menjadi alasan
bagi penulis untuk meneliti lebih dalam pada sebuah penelitian dengan
judul; Pengguguran Hak Muallaf Sebagai Mustahiq Zakat (Analisis
Pemikiran Umar bin Khattab Tentang Pengguguran Hak Muallaf
Sebagai Mustahiq Zakat).
B. Perumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka rumusan masalah yang menurut penulis menarik untuk diangkat
dalam skripsi ini adalah :
1. Apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada
muallaf sebagai mustahiq zakat?
2. Bagaimana ulama khalaf (kontemporer) mendudukkan pemikiran Umar
bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat
dalam khazanah ilmu fiqh?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, adapun tujuannya
antara lain :
1. Untuk mengetahui apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan
bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat.
2. Untuk mengetahui bagaimana ulama khalaf (kontemporer)
mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak
muallaf sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh.
9
D. Telaah Pustaka
Telaah Pustaka memuat uraian sistematis tentang penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (previous finding) yang ada
hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan.
Fungsi dari adanya telaah pustaka adalah sebagai bahan
perbandingan, apakah masalah yang akan kita bahas sudah ada yang
membahas atau belum, dan sebagai bahan masukan untuk permasalahan
yang akan kita kaji. Oleh karena itu, penulis dalam menulis skripsi ini tidak
lepas dari pada penelaahan terhadap buku-buku maupun karya yang lain
yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan penulis kaji. Oleh
karena itu, penulis akan menelaah beberapa karya ilmiah. Diantaranya :
1. Skripsi tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak (Analisis
Pendapat Khalifah Umar Bin Khattab Tentang Penundaan Penarikan
Zakat Binatang Ternak Kambing Yang Telah Mencapai Nishab) Oleh
Ahmad Munif, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Tahun 2010. Hasil
penelitian ini adalah, Penundaan penarikan zakat binatang ternak yang
telah mencapai nishab hanya diberlakukan kepada binatang ternak yang
terkena imbas dari tahun ramadah (musim paceklik). Kebijakan Umar
memberikan zakat kepada orang yang memiliki kambing sejumlah
nishab dilandasi oleh kondisi orang tersebut juga mengalami kesukaran.
Umar akan menangguhkan penarikan zakat kepada pembayar meski
hartanya telah mencapai nishab bila ia mengalami kesulitan dan
kesusahan.
10
2. Skripsi tentang Analisis pemikiran M. Rasyid Rida tentang ibnu sabil
oleh Endang Fitriah Ludfi, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun
2006. Menjelaskan bahwa Rasyid Rida berpendapat anak terlantar atau
buangan termasuk dalam golongan ibnu sabil, karena dia melihat bahwa
setiap orang yang diketahui terlantar di jalanan merupakan orang yang
berhak menerima zakat, sehingga meluaslah penafsirannya, terutama
mengenai ibnu sabil, karena selama ini perhatian masyarakat terhadap
mustahiq zakat lebih tersita pada fakir dan miskin saja sedangkan asnaf-
asnaf yang lain kurang mendapat perhatian. Sedangkan untuk saat ini
banyak sekali anak-anak terlantar di jalanan.
3. Pemikiran Yusuf Al Qardawi terhadap Gharim sebagai mustahiq zakat
oleh Ismawati, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2006. Hipotesis
penelitian menunjukkan bahwa: dalam permasalahan gharim sebagai
mustahiq zakat Yusuf Al Qardawi sepakat dengan imam lainnya yang
membagi gharim dalam dua bagian yaitu : Pertama orang yang berutang
untuk diri sendiri dan Kedua, orang yang berutang untuk kemaslahatan
orang lain. Dalam hal ini Qardawi lebih memprioritaskan terhadap
gharim yang hutangnya digunakan untuk kepentingan orang lain karena
mereka memiliki sifat kepedulian tinggi terhadap sesama unat Islam.
4. Pendapat Ibnu Hazm tentang ibnu sabil sebagai mustahiq zakat oleh
Ridloumami, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2006.
Menjelaskan bahwa penafsiran Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu
orang yang keluar tidak dalam kemaksiatan, yang dimaksud adalah
11
orang yang keluar (bepergian) untuk kebaikan atau kemaslahatan dalam
rangka untuk menyebarkan agama islam dapat dikategorikan sebagai
ibnu sabil.
5. Redefinisi terhadap ar-riqab sebagai mustahiq zakat relevansinya
dengan masa sekarang oleh Siti Hariya, Fakultas Syariah IAIN
Walisongo tahun 2005. Kata ar-riqab adalah bentuk jamak dari kata
raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang
sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya
berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka
dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Sementara ulama
terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang
dalam proses memerdekakan dirinya. Karena itu riqab untuk masa
sekarang diperluas artinya yaitu manusia yang tertindas secara politik,
ekonomi maupun budaya.
Dari penelusuran di atas, penelitian tentang mustahiq zakat lebih
fokus membahas tentang ibnu sabil, riqab dan gharim. Penulis belum
menemukan penelitian yang secara spesifik mengulas tentang pengguguran
hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Adapun penelitian tentang Umar Ibn
Khattab yang ada membahas tentang Analisis Pendapat Khalifah Umar Bin
Khattab Tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak Kambing
Yang Telah Mencapai Nishab. Sehingga menurut penulis, penelitian ini
akan menambah khazanah baru tentang pemikiran Umar bin Khattab
khususnya tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Dan
12
bagaimana ulama khalaf (kontemporer) memposisikan pemikiran Umar
tersebut dalam khazanah ilmu fiqih.
Sedangkan literatur yang membahas tentang Umar bin Khattab pada
umumnya cukup banyak antara lain; Buku tentang Ijtihad „Umar ibn Al-
Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, karya Dr. Amiur
Nuruddin dan Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, karya Dr.
Muhammad Baltaji. Keduanya secara umum membahas tentang ijtihad dan
metodologi ijtihad Umar bin Khattab.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library
research). Sehingga penelitian ini berupaya melakukan penelaahan
terhadap literatur yang tekait dengan tema yang penulis angkat, yakni
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat menurut Khalifah
Umar bin Khattab.
2. Sumber data
Dalam penelitian secara umum, sumber data dibedakan atas
sumber data primer dan sumber data skunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang ditulis oleh
orang pertama/pelaku sejarah itu sendiri.21
Sepengetahuan penulis,
dalam penelitian pendahuluan, Khalifah Umar bin Khattab tidak
21
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998, hal.91
13
meninggalkan karya yang bisa dikategorikan sebagai sumber
primer. Namun demikian penulis dapat memperoleh data primer
dari Ibnu Katsir, dalam kitab Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data penunjang
dalam penelitian ini, yaitu sumber yang dapat memberikan
informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat data pokok
baik yang berupa manusia atau benda (majalah, buku, koran,
internet, dll).22
Sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini
di antaranya, Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ath-Thabari, kitab
Al-Amwal karya Abu Ubaid, Tarikh Khulafa‟ karya As-Suyuthi,
Methodologi Ijtihad Umar bin Khattab karya DR. Muhammad
Baltaji, Hukum Zakat (terjemahan), al-Fiqh Ala Madhahib al-
Arba‟ah, Fiqih Sunnah dan dalam penelitian ini penulis juga
mengumpulkan data dari berbagai sumber yang memberikan
informasi tentang pemikiran Umar bin Khattab mengenai
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat.
3. Teknik pengumpulan data
Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian
kepustakaan, maka untuk mendapatkan data peneliti melakukan
pencarian dan pengumpulan melalui studi kepustakaan untuk
mendapatkan buku maupun literatur yang relevan dengan pokok bahasan.
22
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
hal. 85
14
4. Analisis data
a. Metode analisis
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis
deskriptif, yaitu dengan memaparkan kembali data yang sudah ada
sebelumnya. Selanjutnya menganalisa data tersebut secara logis dan
sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada.23
Penulis juga akan menggunakan metode Usuliyah.24
Metode
ini digunakan untuk memahami hakikat pemikiran Umar bin Khattab
tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Karena
pendapat Umar dalam persoalan ini berbeda dengan apa yang
dilakukan Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, apa yang
dilakukan Umar menyimpang dari makna.
b. Pendekatan
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sejarah (history).
Metode ini digunakan agar sebisa mungkin penulis memasuki keadaan
sebenarnya berkenaan dengan pemaparan suatu peristiwa, yaitu
kondisi dimana Umar mengeluarkan statemen hukum tentang
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami tulisan ini, maka penulis
akan membagi ke dalam lima bab yaitu:
23
Saifudin Azwar, Op.Cit., hal. 7 24
Metode usuliyah yang dimaksudkan di sini adalah metode ushul fiqh.
15
Bab Pertama Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sisitematika penulisan.
Bab Kedua, Biografi Umar bin Khattab. Meliputi: Umar bin
Khattab sebelum dan ketika masuk Islam, Keutamaan Umar bin Khattab
sebagai sahabat Nabi dan Khalifah, dan Metode Ijtihad Umar bin Khattab
dan Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihadnya
Bab Ketiga, membahas tentang pemikiran Umar bin Khattab
tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat Meliputi:
Pengertian dan Klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum, pemikiran
Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq
zakat, Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab
menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat
Bab Keempat, membahas tentang analisis pemikiran Umar bin
Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat
Meliputi: Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, dan Posisi pemikiran
Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat
dalam Pandangan Ulama‟
Bab Kelima, penutup merupakan bab terakhir yang meliputi,
kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
16
BAB II
BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
A. Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk islam
1. Umar bin Khattab sebelum masuk Islam
Beliau adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin
Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka'ab bin Lu'ai,
Abu Hafs al-'Adawi. Julukan beliau adalah al-Faruq. Ada yang
menyebutkan bahwa gelar itu berasal dari Ahli Kitab.1 Sebelum Islam
suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah
dan berkedudukan tinggi.2 Adi ini adalah saudara Murrah, kakek Nabi
yang kedelapan. Ibunya Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin
Abdullah bin Umar bin Makhzum.3
Umar lahir pada tahun ketiga belas setelah peristiwa Tahun
Gajah. Dia termasuk orang yang paling mulia dikalangan suku Quraisy.
Masalah-masalah yang menyangkut diplomasi pada zaman jahiliyah
diserahkan kepada Umar. Jika diantara kabilah terjadi peperangan,
maka Umar akan diutus sebagai penengah.4
Pada masa kanak-kanak ia menggembalakan gembala bapaknya
di padang rumput sekitar Makkah. Sejak kecil ia belajar membaca dan
menulis, pada saat itu orang yang telah bisa membaca dan menulis tidak
1 Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, (terj. Al Bidayah Wan
Nihayah Masa Khulafa‟ur Rasyidin), Jakarta: Dar al-Haq, hal. 168 2 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1998, hal. 236.
3 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab. Bogor : Litera AntarNusa. 2011. hal. 7
4 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 121
17
lebih dari 17 orang di kalangan orang Quraisy. Setelah menginjak
dewasa, Umar mulai senang membahas suatu masalah, pada awal masa
mudanya ia berdagang menjelajahi penjuru jazirah Arab. Umar pandai
memanfaatkan kesempatan. Ia pergi ke Irak dan Syam bukan semata-
mata untuk berdagang, akan tetapi juga untuk berkenalan dengan tokoh-
tokoh kabilah negeri-negeri itu. Bagi kabilahnya Umar adalah seorang
kurir yang istimewa dalam menghubungkan Quraisy dengan kabilah-
kabilah lain. Ia seorang yang vokal berbicara, fasih lidahnya dan pandai
menjelaskan sesuatu. Ia juga menghayati syair, menghafalnya bahkan
juga membacakannya kepada orang lain.5
Tentang wataknya yang kasar dan selalu bermuka masam serta
hidupnya yang serba keras, merupakan sebagian dari wataknya yang
sejak masa mudanya, dan kemudian tetap begitu dalam perjalanan
hidup selanjutnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam do’a
pertamanya ia berkata: "Allahumma ya Allah, aku sungguh tegar, maka
lunakkanlah hatiku. Ya Allah, aku ini lemah, berilah aku kekuatan. Ya
Allah aku sungguh kikir jadikanlah aku orang pemurah.” Sejak
mudanya ia sudah mewarisi sikap keras dan kasar itu dari ayahnya,
kemudian didukung pula oleh tubuhnya yang tetap kekar dan kuat. 6
Umar bin Khattab walaupun mempunyai watak yang keras,
namun dengan kekerasannya itu tidaklah berarti ia seorang yang tamak
dan rakus. Ia juga orang yang tak mau sewenang-wenang dengan
5 Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hal. 10-12
6 Ibid., hal.13
18
kekuasaan yang dimilikinya. Ia adalah seorang yang kuat jiwanya.7 Ia
adalah seorang yang adil, pandai dan penyayang terhadap sesama. Sifat-
sifat ini merupakan satu kesatuan dalam dirinya. Ia adalah seorang
pribadi yang besar.8 Umar memiliki watak keprajuritan, ia seorang
pemberani, tangkas, patuh kepada peraturan dan tekun dalam tanggung
jawab.9
Sifat keras10
ini menjadi ciri khas Umar pada masa jahiliyah dan
juga menjadi bagian kisah indahnya dalam Islam. Sebab beliau
menggunakan sifat ini dalam melayani agama dan menegakkan perintah
Allah SWT.11
Nabi Muhammad saw. pernah bersabda;
7 Abbas Mahmud al-Aqqad, Abqari‟ah Umar. Dar al-Hilal. hal. 10.
8 Ibid., hal. 53-54
9 Ibid., hal. 60
10 Yaitu lawan dari lemah lembut. Maksudnya, keras dalam menyelesaikan berbagai
masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh keteguhan. 11
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab, Jakarta : Khalifa,
2006. hal.19
19
Muhammad bin Basysyar, Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Tsaqafi,
Kholid al-Hadzdza‟ dari Abi Qilabah dari Anas bin Malik berkata:
Rasulullaah saw. Bersabda: Umatku yang paling sayang kepada
umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam perkara (agama)
Allah adalah Umar, yang paling benar dalam malu adalah
Utsman,yang paling bagus bacaan al-Qur‟an adalah Ubay bin Ka‟ab,
yang paling menguasai faraid adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling
mengetahui halal dan haram adalah Muadz bin Jabal. Dan ketahuilah,
bahwa dalam setiap umat terdapat orang yang amanat, dan orang
amanat dalam umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”12
Dalam hubungannya dengan Nabi Muhammad, sebelum masuk
Islam Umar adalah seorang pemuda dan pemuka yang sangat membenci
Nabi Muhammad dan orang-orang yang menjadi pengikutnya. Kembali
dengan terus terang di hadapan sahabat-sahabatnya. Katanya: “Apakah
anda ingin mengetahui tentang awal keislamanku? sangat keras. Aku
dulunya adalah salah seorang yang memusuhi Rasulullah SAW.
Dengan mengutip riwayat dari Ibn Hisyam, Husain Haekal menulis,
bahwa pada sutu hari Abu Bakar melihat Umar menyiksa dan memukul
seorang budak perempuan supaya meninggalkan Islam. Demikian rupa
ia menghajar hingga ia merasa bosan sendiri karena sudah terlalu
banyak ia memukul. Saat itulah kemudian budak itu ditinggalkan oleh
Umar sambil berkata: Aku memaafkan kau! Kutinggalkan kau hanya
karena sudah bosan. Hamba sahaya itu menjawab: Itulah yang
12
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz V, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, hlm 623
20
dilakukan Allah kepadamu. Kemudian hamba sahaya itu dibeli oleh
Abu Bakar lalu dibebaskan.13
2. Umar bin Khattab Masuk Islam
Umar masuk Islam pada tahun keenam kenabian. Saat itu ia
berusia 27 tahun, tatkala itu jumlah sahabat yang memeluk Islam
berjumlah sekitar empat puluh orang laki-laki dan sebelas wanita. Atau,
sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu tiga puluh orang laki-
laki dan dua puluh tiga wanita. Sebagaimana juga disebutkan dalam
sebuah riwayat jumlahnya adalah empat puluh lima orang laki-laki dan
sebelas perempuan. Tatkala dia menyatakan keislamannya, Islam
semakin kokoh di kota Makkah dan kaum muslimin bersuka cita
dengan keislamannya.14
Riwayat tentang Islamnya Umar bin Khattab mempunyai
beberapa versi, ada yang sifatnya diceritakan oleh Umar sendiri dan ada
pula yang diceritakan oleh orang lain.
Diantaranya riwayat tentang Islamnya Umar yang diceritakan
oleh orang lain adalah riwayat Ibnu Ishak, riwayat ini dapat dilihat di
dalam kitab “Abqariah Umar” karangan Abbas Mahmud Al-Aqqad. Di
sana diceritakan dimana pada suatu hari, Umar keluar dari rumahnya
dengan pedang terhunus, hendak membunuh Rasulullah dan pengikut-
pengikutnya, pada waktu itu Nabi sedang berkumpul di sebuah rumah
di dekat bukit Shafa beserta kurang lebih 40 orang sahabat pria dan
13
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit, Hal. 17 14
Imam As-Suyuthi, Op.Cit., hal. 121
21
wanita, diantaranya paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu
Bakar bin Abi Kuhafah ash-Shidiq dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian
Umar bertemu dengan Mu’ain bin Abdullah. Mu’ain menegur, “hendak
kemana Umar?” Umar menjawab, “saya mau menemui Muhammad
yang telah memecah belah kaum Quraisy, membodohkan pemimpin-
pemimpinnya, menodai agamanya dan menghina Tuhan-Tuhannya,
saya akan membunuhnya”. Mu’ain menyahut, “Sungguh engkau
menjerumuskan dirimu sendiri jika engkau berbuat demikian. Apakah
Bani Manaf itu akan membiarkan engkau berjalan di atas bumi setelah
engkau membunuh Muhammad? Tidakkah engkau lebih baik kembali
dan mengurusi keluargamu sendiri?” lalu Umar bertanya, “keluarga
mana maksudmu?” jawab Mu’ain, “iparmu dan sepupumu Zaid bin
Amru dan saudara perempuanmu sendiri Fatimah binti Khattab,
sungguh mereka telah menjadi pengikut Muhammad dan agamanya.
Engkau bertanggung jawab atas mereka itu”. Umarpun kembali menuju
saudara dan iparnya. Hubbab juga kebetulan sedang berada bersama
mereka berdua, ketika terdengar Umar datang Fatimah binti Khattab
mengambil lembaran ayat al-Qur’an dan meletakkannya di bawah
pipinya, ketika mengetuk pintu Umar telah mendengar bacaan Hubbab
di depan kedua saudaranya. Setelah Umar masuk, ia pun segera berkata,
“Bunyi apa yang aku dengar tadi?” kedua saudaranya menjawab,
“Engkau tidak mendengar sesuatupun.” Umar berkata, “Sungguh aku
mendengar sesuatu, aku diberi kabar bahwa kalian berdua telah menjadi
22
pengikut Muhammad dan agamanya. “Lalu Umar menampar iparnya,
Ibnu Zaid bin Maru. Fatimah seketika berdiri menahan Umar, tetapi
bahkan Umar memukulnya sekali, ketika itulah Fatimah berkata, “Ya,
benar kami telah masuk Islam, kami telah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka berbuatlah sekehendakmu, “Ketika Umar melihat
saudara perempuannya itu berdarah, ia pun menyesal atas perbuatannya
itu, lalu berkata “Berikanlah kepadaku lembaran-lembaran yang aku
dengar dan engkau baca tadi. Aku mau melihat apa yang dibawa
Muhammad,” kemudian Umar membaca surat Toha dalam lembaran-
lembaran itu dan segera berkata, “Alangkah bagus dan mulianya
kalimat-kalimat ini”. Mendengar ucapan Umar itu Hubbab lalu keluar
dan berkata, “wahai Umar, sungguh aku mengharap bahwa Tuhan telah
mengkhususkan engkau dengan dakwah Nabinya. Aku mendengar Nabi
kemarin berdo’a, “Ya Allah, kuatkanlah Islam ini dengan Abal Hakam
bin Hisyam atau Umar.” Dan Allah memilihmu wahai Umar,” Umar
lalu berkata “wahai Hubbab, tunjukkanlah dimana Muhammad berada,
aku akan mendatanginya dan aku akan masuk Islam.” Hubbab
memberitahukannya bahwa Nabi Muhammad berada di sebuah rumah
dekat bukit Shafa beserta beberapa sahabatnya, kemudian Umar menuju
ke tempat Rasul, lalu mengetuk pintu. Seorang laki-laki berdiri dan
mengintai dari lubang pintu dan dilihatnya Umar dengan pedang
terhunus. Laki-laki itu kembali dan memberitahukan kepada Rasul. “Ia
adalah Umar bin Khattab dengan pedang terhunus”. Hamzah bin Abdul
23
Muthallib menyahut, “biarkan dia masuk, jika ia berniat baik kita
sambut, jika ia berniat jahat kita bunuh ia dengan pedangnya sendiri,”
Rasulpun bersabda, “biarkan dia masuk”. Rasul bangkit dan berjalan
sampai bertemu dengan Umar di ruang depan. Rasul berkata “ada apa
denganmu wahai anak Khattab?” Ketika itu Umar tidak henti-hentinya
gemetar, lalu ia berkata “Ya Rasulallah, saya datang kepadamu untuk
beriman kepada Allah dan Rasulnya serta apa-apa yang datang dari
Allah.15
Adapun riwayat tentang masuk Islamnya Umar yang
diceritakannya sendiri adalah seperti yang ditulis oleh Abbas Mahmud
al-Aqqad, dimana di dalam riwayatnya tersebut, Umar bercerita bahwa
dia dulu sangat jauh dari Islam. Di masa jahiliyah dia adalah pemabuk,
menyukai minuman keras dan meminumnya. Kini mempunyai majelis
tempat berkumpul orang-orang Quraisy. Pada suatu hari Umar datang
kesana hendak berjumpa dengan teman-teman, tetapi Umar tidak
mendapati seorangpun. Lalu Umar berkata dalam hati “Saya akan pergi
ke tempat si Fulan saja, Pemilik tuak itu. “Umar pun berkata lagi dalam
hati “Kalau begitu saya akan pergi ke Ka’bah untuk melakukan tawaf
tujuh atau tujuh puluh kali”. Umar melihat Rasulullah sedang berdiri
bersembahyang dan beliau kalau bersembahyang menghadap ke arah
Syam yang menjadikan ka’bah diantara beliau dan Syam, dan
tempatnya adalah diantara rukun Aswad dan rukun Yamani. Umar lalu
15
Abbas Mahmud al-Aqqad, Op.cit., hal. 75-76
24
berkata lagi dalam hati “Sungguh malam ini saya ingin mengintip
Muhammad agar saya mengetahui apa yang dilakukannya”, lalu Umar
menuruti kata hatinya. Tanpa sepengetahuan Nabi, Umar datang
mendekatinya dari arah Hajar Aswad dan bersembunyi di balik
kelambu Ka’bah. Ketika dia mendengar ayat-ayat al-Qur’an, hati Umar
menjadi gemetar, lalu menangis dan kemudian Umar masuk Islam”.16
Ahmad meriwayatkan dari Umar dia berkata, “saya keluar untuk
mencari dimana Rasulullah. Saya dapatkan dia telah mendahuluiku
datang ke masjid (Haram). Saya berdiri di belakangnya. Kemudian dia
membaca awal permulaan surat Al-Haaqah. Saya merasa sangat kagum
dengan ungkapan bahasa yang indah dari Al-Qur’an. Lalu saya katakan,
demi Allah pastilah bukan syair sebagaimana dikatakan oleh orang-
orang Quraisy. Lalu Rasulullah membaca firman Allah, surat Al-
Haaqqah ayat 40-41 :
“Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang
diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Quran itu bukanlah
Perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”17
Saat itulah Islam merasuk ke dalam kalbuku dengan kesan yang
sedemikian dalam.18
16
Ibid, hal. 76. 17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia
Arkanleema, 2009, hal. 568 18
Imam As-Suyuthi, Op.Cit., hal. 122
25
Melihat dua kisah di atas, merupakan contoh tentang berbeda-
bedanya versi riwayat tentang masuk Islamnya Umar bin Khattab.
Untuk mengkompromikan riwayat yang berbeda-beda itu Zainal Arifin
Abbas mengatakan, bahwa penyebab dan penggugah hati Umar untuk
memeluk Islam sebenarnya telah lama, termasuk ketika Umar berusaha
mendengarkan Rasul (di dekat Ka’bah), bahkan sebenarnya dalam
darah Umar itu memang telah ada jiwa agama, tetapi belum tumbuh
dengan baik karena masih terus diselimuti oleh unsur-unsur lain,
pemabuk, peminum, pemarah dan sebagainya. Baru setelah ia terlibat
langsung dengan peristiwa saudaranya sendiri, Fathimah binti Khattab
yang sedang memegang dan membaca lembaran-lembaran surat Toha,
stimulan untuk masuk Islam itu mencapai klimaksnya.19
Umar masuk ke dalam agama Allah ini dengan semangat yang
sama dengan seperti ketika dulu memusuhi Islam. Begitu ia berada
dalam keluarga Islam, ia lebih cenderung mengumumkan keislamannya
itu terang-terangan kepada semua orang Quraisy. Sebelum itu kaum
muslimin tak dapat melaksanakan salat di Ka’bah, tetapi dengan
kegigihan Umar melawan kaum Quraisy merekapun dibiarkan shalat di
sana. Dakwah Islam yang mulanya dilakukan dengan sembunyi-
sembunyi, setelah Umar masuk Islam dakwah dilakukan secara terang-
terangan. Kaum Muslimin kini sudah dapat duduk di sekitar ka’bah dan
19
Zainal Arifin Abbas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW, Medan : Pustaka
Indonesia. 1964, hal. 974-975.
26
melakukan tawaf serta berlaku adil terhadap orang yang dulu
memperlakukan mereka dengan kasar.20
Ketika itu ia termasuk Muslim yang paling tabah dan sabar
dalam menanggung penderitaan, dan yang paling keras memberikan
pembelaan sedapat yang dapat dilakukannya dalam menghadapi
gangguan kepada Rasulullah dan saudara-saudaranya kaum muslimin.
Dia juga orang yang sangat meyakini ketertiban dan berusaha sedapat
mungkin menaati dan menjaganya. Yang demikian ini sudah menjadi
bawaannya sejak masa jahiliah, dan lebih-lebih lagi sesudah dalam
Islam.21
B. Keutamaan Umar bin Khattab sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah
1. Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi
Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi yang dibuat
berbeda oleh Islam dengan segala apa yang diberikan kepadanya. Sosok
yang satu ini seperti tak pernah kering sebagai sumber inspirasi dan
ilmu bagi banyak orang. Khalifah kedua dalam urutan Khulafa’
Arrasyidin ini selalu saja menjadi objek kajian dan penelitian yang
menarik minat para ulama, cendekiawan dan ilmuwan.22
Banyak kisah
yang menunjukkan keistimewaan dan sifat-sifat Umar bin Khattab
dalam kedudukannya sebagai sahabat Nabi, diantaranya sifat Umar
yang fundamental dan mendorong sifat-sifatnya yang lain adalah :
20
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hal. 35 21
Ibid., hal. 37 22
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit., hal. VII
27
a. Umar adalah sahabat Nabi yang setia, patuh dan berani
Watak keprajuritan yang dimiliki Umar telah mendorong
dirinya untuk memiliki sifat suka patuh, karena kepatuhannya
inilah Umar mau mengerjakan apa saja diperbuat Nabi, walaupun
belum tentu sesuai dengan sikap kritisnya, seperti riwayat Imam
Muslim yang menceritakan tentang Umar ketika ia mencium hajar
aswad selesai tawaf :
Dari Umar Radhiyallahu‟anhu, bahwa dia mendatangi hajar
aswad kemudian menciumnya dan berkata “aku mengetahui
sesungguhnya kamu hanyalah sebuah batu, yang tidak memberikan
bahaya dan tidak memberi manfaat, seandainya bukan karena aku
melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.”
Dengan kata-kata itu Umar bermaksud menghimbau untuk
mengikuti Rasulullah SAW dalam mencium hajar aswad. Ia
menegaskan apabila bukan karena mengikuti contoh Rasulullah
SAW niscaya ia tidak akan menciumnya.
Kesetiaannya kepada Rasul ini selanjutnya melahirkan
sikap selalu bersedia dan berani membela dan menyelamatkan
Rasulnya dari segala marabahaya yang akan menimpa.
23
Hadits no. 1520 dalam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih al-
Bukhori, Juz II, Dar ibnu Katsir, hlm. 579
28
Keberaniannya yang disegani orang, yang telah dimilikinya dan
telah dikenal orang sejak sebelum ia masuk Islam, bukan saja telah
secara langsung memperkuat Islam tetapi juga telah menyebabkan
orang mulai segan dengan Islam itu sendiri. Masuknya Umar
kedalam Islam adalah faktor utama yang telah memperkuat posisi
Nabi untuk melangkah dari fase berdakwah secara sembunyi-
sembunyi dan terbatas terhadap kaum kerabat kepada fase terang-
terangan yang terbuka terhadap segala orang dari segala penjuru
dan lapisan masyarakat.
Sebelum Umar masuk Islam, kaum muslimin melakukan
ibadah secara sembunyi-sembunyi, kadang-kadang sampai dibalik
bukit-bukit, setelah Umar masuk Islam, dengan dikawal oleh Umar
sendiri dan paman Nabi Hamzah pada suatu hari kaum muslimin
berbaris melakukan ibadah dan tawaf secara terang-terangan disisi
ka’bah, sementara di sekitar mereka adalah kaum musrik Quraisy
yang sedang menyembah berhala yang juga terletak berjejer di
sekelilingku Ka’bah. Pada waktu itulah Nabi memberi gelar “al-
Faruq” kepada Umar bin Khattab karena keberaniannya”.24
Demikian pula ketika perintah berhijrah datang, kaum
muslimin yang lain berangkat dengan sembunyi-sembunyi, tetapi
Umar sebaliknya. Disiapkannya busur panah di tangannya,
dinaikinya kuda, kemudian berangkat dengan melewati Ka’bah dan
24
Abbas mahmud al-aqqad, Op.Cit. hal. 48
29
singgah pula di situ. Orang-orang kafir Quraisy sedang banyak
berkerumun di tempat itu. Umar melakukan tawaf tujuh kali, shalat
sunnat tujuh kali, shalat sunnat di maqam Ibrahim, setelah itu ia
berseru kepada kaum Quraisy yang hadir, katanya dengan suara
lantang dan keras, “Siapa yang ingin ibunya menangis atau
anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, majulah
berhadapan denganku di balik lembah ini.25
b. Umar adalah seorang sahabat Nabi yang kuat ilmu dan agamanya
Kepandaian Umar telah dirintisnya sejak ia masih kanak-
kanak ketika belajar mambaca dan menulis, yang kemudian
ditopang dengan kegemarannya untuk membahas beragam masalah
ketika ia beranjak dewasa. Berbagai masalah yang ditugaskan
kepadanya diselesaikannya dengan gemilang. Ketika Nabi wafat,
karena kejauhan pandangannya mengatakan bahwa hal itu akan
menggoncangkan keadaan kaum muslimin. Mengenai tawanan
perang Badar, ketinggian daya analisanya mengatakan bahwa
semangat perlawanan dalam hati para tawanan itu tetap berkobar,
karenanya, sebaiknya mereka dibunuh saja. Bahkan pikiran-
pikirannya itu sering mendapat persetujuan dari wahyu seperti
pendapatnya tentang masalah memerangi orang-orang munafik,
25
Ibid., hal. 84-85
30
pengharaman khamar, masalah hijab bagi isteri-isteri Nabi, dan
lain-lain.26
Demikian tinggi kecerdasan Umar sampai Nabi pernah
bersabda bahwa Allah meletakkan kebenaran di lidah dan hati
Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi :
“Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, diriwayatkan oleh
Abu „Amir Al-„Aqadi, diriwayatkan oleh Kharijah bin Abdullah
dari Nafi‟ dari Ibnu Umar: bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya „Allah meletakkan kebenaran pada lidah
dan hati Umar‟.”27
Imam Bukhari juga meriwayatkan tentang keilmuan Umar
bin Khattab, diriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah bersabda :
“Tatkala saya tidur, saya bermimpi minum susu hingga saya
melihat dalam mimpiku air mengalir di kuku-kukuku, lalu saya
26
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1971. Hal. 73 27
At-Tirmidzi, Op.Cit., hal. 617
31
minumkan air itu kepada Umar. Para sahabat bertanya, „apa
takwilnya wahai Rasulullah?‟ Rasulullah menjawab : „ilmu‟.”28
Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwasanya :
“Abu Amamah bin Sahal meriwayatkan, bahwasanya dia
mendengar Abu Said Al-Khudri berkara, Rasulullah SAW
bersabda: „saat saya tidur, diperlihatkan kepadaku orang banyak
dan mereka semua memakai baju, dan diantara mereka ada yang
memakai hingga dadanya, dan ada pula yang tidak sampai dada
dan berjalanlah Umar bin Khattab, dan dia memakai baju yang
panjang dan menyeretnya‟. Para sahabat bertanya,‟apa ta‟wilnya
ya Rasulullah?‟ Rasulullah menjawab : „Agama‟.”
29
c. Umar adalah sahabat Nabi yang Ikhlas dan Zuhud
Dalam hal ini Umar merupakan teladan yang baik, yang
pantas kita hormati dan kita hargai, Umar adalah orang yang tidak
begitu mengutamakan kepentingannya sendiri, dan dengan ikhlas
memberikan pendapatnya demi kepentingan umum. Pendapat-
pendapatnya bersih dari segala yang mencurigakan. Bahkan jika
28
Hadits no. 3478 dalam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Op.Cit., Juz
III, hlm. 1346 29
Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
Juz IV, Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, hal. 1859
32
dilihat bagaimana cita-citanya sekiranya Allah mengharamkan
khamar yang ketika itu belum diharamkan, padahal di zaman
jahiliyah dia sendiri seorang peminum minuman keras yang sudah
melebihi semestinya. Harapannya agar minuman itu diharamkan
hanya karena cintanya demi segala kebaikan masyarakat disertai
disiplinnya yang begitu kuat.30
Walaupun sebelum masuk Islam Umar adalah seorang
peminum minuman keras, namun setelah memeluk Islam ia adalah
seorang yang ta’at menjalankan ibadah, disamping itu ia termasuk
seorang zahid yang paling keras menjauhi harta. Ketika Rasulullah
memberikan kepadanya harta hasil rampasan perang yang
diperoleh Muslimin, ia mengatakan agar harta itu diberikan saja
kepada yang lebih miskin darinya.31 Bergandengan dengan
kezuhudannya itu ia juga seorang yang ikhlas dalam bertindak.
Kesetiaan dan pembelaannya kepada Rasul, kelebihan daya
pikirnya, semua ia persembahkan karena keikhlasannya untuk
mencari keridhaan Allah SWT, bukan karena sesuatu pamrih yang
bersifat kedudukan atau pengaruh.
Tidak heran jika orang yang sudah demikian rupa
keadaannya dan zuhudnya akan sangat dihargai dan dihormati oleh
30
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit, hal. 58 31
Ibid.
33
semua umat Islam terlepas dari wataknya yang begitu keras dan
tegar.32
2. Umar bin Khattab sebagai Khalifah
Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menderita sakit, Umarlah yang
menggatikan posisinya sebagai imam shalat bagi kaum muslimin.
Sewaktu sakit Abu Bakar ra. sempat mewasiatkan jabatan kekhalifahan
kepada Umar bin al-Khaththab ra.dan yang menuliskan wasiat ini
adalah Utsman bin Affan. Setelah itu wasiat tersebut dibacakan di
hadapan seluruh kaum muslimin dan mereka mengakuinya serta tunduk
dan mematuhi wasiat tersebut.
Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada hari Senin, setelah
Maghrib dan dikuburkan pada malam itu juga, bertepatan pada tanggal
21 Jumadil Akhir tahun 13 H, Umar bin al-Khaththab al-Faruq
menggantikan seluruh tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya sebagai
Amirul Mukminin. Beliaulah yang pertama kali menyebut dirinya
dengan gelar Amirul Mukminin -orang yang pertama kali
memanggilnya dengan gelar tersebut adalah al-Mughirah bin Syu'bah-
dan ada yang berpendapat bukan al-Mughirah tetapi orang lain.33
Adapun alasan Abu Bakar menetapkan penggantinya sebelum ia
wafat karena : pertama, bila tidak ditetapkan sekarang nanti akan
banyak orang yang merasa bahwa dirinyalah yang berhak untuk
menduduki jabatan khalifah itu. Kedua, karena pengalaman pada waktu
32
Ibid. 33
Ibnu Katsir, Op.Cit, hal. 191
34
Nabi wafat dulu, umat Islam menjadi goncang terutama kaum
Muhajirin dan Anshar disebabkan belum ada kepastian penggantinya.34
Maka ketika Abu Bakar wafat, kaum muslimin terhindar dari krisis
kepemimpinan umat.
Umar bin Khattab melaksanakan tugas dalam kekhalifahan
selama 10 tahun dan 6 bulan, kurang lebih, dan mampu merealisasikan
hal-hal yang besar dalam tersebut, yang tidak mungkin disebutkan
seluruhnya dalam ruang yang singkat ini membicarakan seluruh
keberhasilan Umar selama masa kepemimimpinannya membutuhkan
kajian tersendiri.35
Kepemimpinan Umar selama menjabat sebagai Khalifah telah
dicatat dalam sejarah sebagai kepemimpinan yang sangat dibanggakan,
baik di bidang politik teritorial, sosio-ekonomi maupun sosio-kultural.
Menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Atsir bahwa Abdullah Ibnu
Mas’ud berkata: “Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah
pertolongan dan kekhalifahan serta pemerintahannya adalah rahmat.36
C. Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi
Metode Ijtihadnya
1. Metode Ijtihad Umar bin Khattab
Untuk mengetahui Konsep Umar bin Khattab dalam
menetapkan suatu hukum terhadap suatu masalah dapat kita amati dari
34
A. Syalabi, Op.Cit., hal. 237 35
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit., hal. 25. 36
A. Syalabi, Loc.Cit., hal 236
35
pesan-pesan Umar bin Khattab kepada para Hakim yang diangkat dan
ditugaskannya di berbagai daerah.
Ada dua surat penting yang secara historis dinisbatkan kepada
Umar bin Khattab dan berisi tentang mekanisme penetapan hukum.
Yang pertama pendek dan hanya memuat sedikit masalah-masalah yang
berkenaan dengan hukum. Surat ini dikirim oleh Umar kepada Syuraih
yang menjabat sebagai Qadhi (hakim) di Kufah. Surat kedua cukup
panjang dan sangat detil. Menurut sebuah sumber, surat kedua ini
dikirim Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjabat sebagai
Qadhi di Bashrah.37
Jika kita menerima validitas penisbatan kedua surat ini kepada
Umar, maka kita bisa menganggap keduanya sebagai media awal untuk
mengenal lebih jauh manhaj Umar dalam masalah penetapan hukum,
utamanya surat Umar yang panjang yang dikirim kepada Abu Musa Al-
Asy’ari. Hal ini dikarenakan kedua surat tersebut memuat beberapa
dasar (kaidah) penting dalam masalah penetapan hukum yang dianut
oleh Umar dan direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh para Qadhi
yang diangkatnya.
Ibnul Qayyim meriwayatkan, bahwa Umar bin Khattab menulis
surat kepada Qadhi Syuraih yang isinya;
“Jika kamu menghadapi suatu masalah penting, maka lihatlah
dulu Kitabullah, kemudian putuskanlah hukum itu dengan (berpedoman
kepada isi) nya. Jika kamu tidak menemukan dalam Kitabullah, maka
37
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2005,
hal. 37
36
lihatlah dalam kasus-kasus yang pernah diputuskan oleh Rasulullah.
Jika kamu juga tidak menemukannya, maka lihatlah dalam kasus-kasus
yang pernah diputuskan oleh para orang saleh dan juga para pemimpin
yang adil. Dan jika kamu tidak mendapatkannya juga, maka kamu
boleh memilih; jika kamu ingin melakukan ijtihad dengan nalarmu
maka lakukanlah, dan jika kamu ingin mengkonsultasikannya denganku
(maka lakukanlah) dan saya menilai bahwa pilihanmu untuk
berkonsultasi denganku itu adalah langkah yang akan memberikanmu
kebaikan.38
Ibnul Qayyim juga meriwayatkan, bahwa Umar menulis Surat
untuk Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya;
“Amma ba‟du. Sesungguhnya menetapkan hukuman (al-qadha)
adalah satu kewajiban yang pasti dan termasuk tradisi yang otentik.
Jika ada satu permasalahan datang kepadamu, maka ketahuilah bahwa
ucapan yang benar tidak akan ada manfaatnya bila tidak diikuti dengan
implementasi riil.
Ketika ada orang (dengan berbagai latar belakang strata
sosial) berada di majelis pengadilan, perlakukanlah mereka dengan
sama, pandanglah mereka dengan pandangan yang sama hendaknya
hukuman yang kamu putuskan juga sama (tidak ada diskriminasi),
sehingga orang yang mulia (yang mempunyai status sosial yang tinggi)
tidak akan mengharap kamu melakukan kezhaliman dan supaya orang-
orang yang lemah tidak kehilangan harapan untuk mendapatkan
keadilan kamu.
Barang bukti adalah kewajiban yang harus diberikan oleh
orang yang menuduh, dan sumpah adalah penguat bagi pihak yang
menolak tuduhan tersebut. Kesepakatan untuk berdamai yang
dilakukan oleh sesama umat Islam dibolehkan, kecuali jika kesepakatan
damai tersebut menyebabkan hal-hal yang diharamkan menjadi halal
atau hal-hal yang halal menjadi haram.
Barangsiapa mengklaim ada hak yang terabaikan, maka berilah
dia tenggang waktu, jika dia sanggup menerangkan duduk perkara
tersebut (denganbukti-bukti kuat), maka berikanlah hak tersebut
kepadanya, namun jika dia gagal meyakinkanmu, maka masalahnya
terpecahkan dengan sendirinya. Ini adalah cara yang tepat (untuk
menyelesaikan sengketa).
Jika kamu mendapatkan petunjuk (keyakinan) baru yang bisa
mengubah keputusan yang telah kamu tetapkan hari ini, maka jangan
takut (malu) untuk mengubah keputusan baru yang benar, karena
sesungguhnya kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Dan
38
Ibnul Qayyim, A‟lam Al-Muwaqqi‟in, juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 49
37
mengoreksi diri untuk mendapatkan kebenaran, lebih baik daripada
terus-terusan berada dalam kebatilan.
Semua orang muslim adalah adil(terpercaaya), kecuali orang
yang sudah pernah melakukan sumpah palsu atau dicambuk karena
putusan hukum (hudud) atau diragukan loyalitas dan kedekatannya
(dengan Islam). Yang mengetahui rahasia-rahasia manusia hanyalah
Allah. Allah akan tetap menutupi putusan-putusan hukum hingga ada
bukti-bukti atau sumpah (yang akan memperjelas duduk perkara yang
terjadi).
Jika kamu menghadapi masalah yang hukumnya tidak
disinggung secara eksplisit dalam Al-Qur‟an atau sunnah, maka
gunakanlah akal yang dianugerahkan kepadamu dengan cara
mengqiyaskan masalah-masalah tersebut. Ketahuilah dengan baik
contoh-contoh kasus (yang hukumnya disebutkan secara eksplisit dalam
Al-Qur‟an) kemudian ambillah keputusan yang sekiranya kamu yakin
bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang lebih dicintai Allah
dan lebih dekat dengan kebenaran.
Jauhilah sikap marah, bingung, menyakiti orang lain, dan
mempersulit permasalahan ketika terjadi sengketa. Putusan hukum
yang tepat, mengenai sasaran kebenaran, akan mendapatkan pahala
dari Allah, dan akan selalu dikenang. Barangsiapa dalam melakukan
kebenaran didasari dengan niat yang ikhlas, maka dia akan merasa
cukup hanya Allah-lah (yang akan melindungi dan menolongnya dalam
masalah-masalah) yang menyangkut dirinya dan orang lain.
Barangsiapa mangada-ada maka Allah akan mencelanya.
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seorang hamba kecuali
amal yang didasari dengan keikhlasan.
Bagaimanakah pendapatmu mengnai pahala-pahala Allah baik
berupa rezeki yang kamu dapat di dunia dan rahmat-rahmat-Nya yang
masih tersembunyi. Wassalam”.39
Dalam menerapkan hukum Islam, Umar sangat mempedulikan
nash-nash keagamaan dan bahkan tidak mungkin melanggarnya.
Bahkan dia berusaha untuk memakainya dan Umar sangat disiplin
dalam mengimplementasikan teks-teks keagamaan. Disamping itu ia
juga disiplin dalam merealisasikan kemaslahatan umum dalam
posisinya sebagai khalifah yang dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain,
39
Ibid., hal.67.
38
umar selalu disiplin dalam mengaplikasikan syariat dan dalam waktu
yang bersamaan menjamin terealisasinya kemaslahatan umum.
Pendekatan Umar yang sejak dari awal terlihat lebih banyak
bersifat rasional dan intelektual, telah membawanya untuk melahirkan
perubahan-perubahan hukum secara formal terutama dalam menghadapi
wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Perubahan-perubahan hukum itu
untuk sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi dan situasi, dimana
tuntunan kemaslahatan dan kepentingan umum yang merupakan tujuan
akhir dari syar’iah menghendaki yang demikian.40
Perubahan hukum secara formal, nampaknya dilakukan oleh
Umar karena adanya pemahaman yang total terhadap pesan-pesan al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Dan betapapun perubahan itu telah terjadi,
bukanlah berarti ia meninggalkan, apalagi membatalkan nash-nash al-
Qur’an. Adalah merupakan suatu kekeliruan, bagi orang yang
memahami kebijakan Umar sebagai tindakan yang meninggalkan
sebagian nash-nash al-Qur’an, demi kemaslahatan dan pertimbangan
pribadi. Akan tetapi yang sebenarnya Umar telah menerapkannya
dengan baik dan memahami secara kreatif dan sehat, tanpa ragu-ragu
terhadap tujuan-tujuan Syari’at.41
2. Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihad Umar bin Khattab
Secara global, rentang waktu aplikasi ijtihad Umar adalah paska
wafatnya Rasulullah hingga meninggalnya Umar. Pada masa Rasulullah
40
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir : Dar al-fikr al-
Arabi, hal. 20 41
Ibid.
39
masih hidup, Umar banyak melakukan ijtihad-ijtihad, namun ijtihad
yang dilakukan oleh Umar pada waktu itu hanya sebatas pada
kontribusi ide kepada Rasulullah dalam masalah-masalah yang
pemecahannya memang melalui mekanisme syura. Atau dalam
masalah-masalah yang Umar mempunyai ide tersendiri, yang
menurutnya ada kemaslahatan bagi masyarakat muslim pada masa
kerasulan.42
Pendapat-pendapat Umar ini seringkali sesuai dengan wahyu,
yang nantinya turun kepada Nabi Muhammad, seperti yang terjadi pada
waktu penentuan nasib tawanan perang badar, penetapan maqam
Ibrahim sebagai tempat shalat, masalah hijab, keputusan untuk tidak
menyalati Abdullah bin Ubai ketika mati dan lain-lain.43
Dalam hal ini, ijtihad atau pendapat Umar bukanlah yang
menetukan suatu ketetapan, mempunyai legitimasi tasyri’, melainkan
turunnya wahyulah yang menyebabkan suatu pendapat mempunyai
otoritas dalam penetapan hukum. Kalau seandainya wahyu yang turun
menolak pendapat-pendapat Umar, maka pendapat Umar tersebut tidak
mempunyai otoritas dalam menetapkan suatu hukum, dalam keadaan
seperti ini, pendapat-pendapat Umar hanya menjadi sekadar usulan
yang ditolak oleh pihak yang mempunyai hak otoritatif dalam
menetapkan atau menolak suatu pendapat yang diusulkan.44
42
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 32 43
Ibid. 44
Ibid., hal. 33
40
Kemungkinan ditolaknya ijtihad-ijtihad sahabat oleh wahyu
mengindikasikan bahwa usulan-usulan sahabat pada masa kerasulan
tersebut tidak mempunyai sifat tasyri’ yang mengikat. Oleh karenanya,
pendapat-pendapat Umar yang dilontarkan pada masa Rasulullah
hanyalah sekedar usulan semata yang mempunyai potensi untuk
diterima atau ditolak. Pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak
mempunyai hak dalam menetapkan hukum, kecuali setelah mendapat
persetujuan dari wahyu yang mempunyai hak otoritatif dalam penetapan
hukum.45
Adapun alasan mengapa pada masa kerasulan hak otoritatif
penetapan hukum hanya berada pada wahyu dan praktik-praktik sunnah
yang direstui oleh wahyu, adalah karena penetapan-penetapan hukum
pada masa Rasulullah pada dasarnya dimaksudkan untuk menetapkan
kaidah-kaidah umum yang akan menjadi unsur-unsur utama dalam
kontruksi sistem hukum Islam yang diharapkan bisa menjadi undang-
undang dasar dalam bidang hukum untuk kehidupan manusia,
disamping aturan-aturan akidah yang ditetapkan.46
Pada masa kehidupan Rasul, Islam mempunyai satu agenda
untuk mengajari umat Islam tentang logika berpikir yang benar dengan
cara mencari alasan mengapa suatu hukum ditetapkan dengan
menetapkan sebagian ijtihad yang lain.
45
Ibid. 46
Ibid.
41
Yang perlu diperhatikan disini adalah karakter penetapan hukum
dalam Islam pada waktu itu adalah dilakukan secara gradual sesuai
dengan perkembangan kondisi yang ada dan tidak memberi hak
menetapkan hukum kepada salah seorang sahabat pun sampai dasar-
dasar sistem Islam yang dikehendaki oleh Allah terkonfigurasi dengan
sempurna.47
Sebelum Rasulullah wafat, wahyu telah menyelesaikan tugasnya
yaitu meletakkan dasar-dasar hukum Islam dan juga kaidah-kaidah
umum keberagamaan.
Perbedaan krusial antara ijtihad yang dilakukan oleh kaum
muslimin pada masa kerasulan dengan ijtihad yang mereka lakukan
setelah Rasulullah meninggal, adalah bahwa hak otoritatif dalam
menetapkan hukum pada masa kerasulan hanya diwakili oleh wahyu,
pada masa itu Rasulullah adalah satu-satunya interpretator dan
legistator ketetapan-ketetapan hukum Al-Qur’an. Dan wahyu selalu
mengawasi dan mengoreksi pelaksanaan aturan-aturan hukum
tersebut.48
Adapun setelah syariat sempurna dengan ditandai sempurnanya
peletakan nilai-nilai dasar universal dan juga meninggalnya Rasul,
maka pengimplementasian nilai-nilai universal ini dipasrahkan
47
Ibid., hal. 34 48
Ibid., hal. 35
42
sepenuhnya kepada ijtihad para cendekiawan dari setiap generasi yang
berada pada lingkungan-lingkungan yang beragam.49
Atas pertimbangan ini, maka ijtihad yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang kompeten bisa dimasukkan ke dalam sistem penetapan
hukum Islam, dan sekaligus sebagai salah satu sumber hukum Islam
setelah Al-Qur’an dan sunnah. Jika kita perhatika pola ijtihad yang
dilakukan oleh Umar atau yang lainnya setelah wafatnya Rasulullah,
maka kita akan menemukan perbedaan signifikan dengan pola ijtihad
mereka semasa Rasulullah masih hidup.50
Sejatinya ijtihad Umar dalam mengaplikasikan syariat islam
baru dimulai setelah Rasulullah meninggal dunia. Meskipun Rasulullah
meninggal, Umar tidak langsung menjabat sebagai khalifah, namun
pada rentang waktu dua tahun lebih, disaat kekhalifahan dipegang oleh
Abu Bakar, Umar mempunyai peran penting dan banyak mengeluarkan
ide-ide brilian.51
Peran Umar pada masa itu sebanding dengan peran Abu Bakar
sendiri sebagai khalifah. Banyak keputusan-keputusan hukum pada
masa khalifah Abu Bakar yang ditetapkan berdasarkan pendapat dan
ijtihad Umar, seperti pada masalah kodifikasi Al-Qur’an dan
penghapusan bagian zakat pada muallafah qulubuhum (orang yang baru
masuk Islam).52
49
Ibid. 50
Ibid. 51
Ibid. 52
Ibid. hal. 36
43
Posisi Umar sungguh sangat menentukan, sehingga tidak
mengherankan jika Abu Bakar dalam beberapa kesempatan mengambil
sikap yang mengindikasikan penghormatan yang tinggi kepada Umar.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, pendapat Umar
mempunyai bobot tersendiri dalam majlis syura dan juga dalam
penerapan nilai-nilai universal syariat pada realitas-realitas baru dalam
kehidupan. Jika memang Umar mempunyai manhaj atau metode (pola
berfikir), maka tidak diragukan lagi bahwa metode tersebut pada masa
pemerintahan Abu Bakar sudah sampai pada taraf yang matang, apalagi
didukung dengan fakta banyaknya ketetapan wahyu yang sesuai dengan
ijtihad Umar pada masa kerasulan.53
Renatang waktu yang melingkupi manhaj Umar bin Khattab
dalam masalah ijtihad dan penerapan hukum dimulai sejak wafatnya
Rasulullah pada bulan Rabiul Awwal 11 H dan selesai hingga Umar
mrninggal dunia pada bulan Dzulhijjah 23 H54
(632-643 M). Dengan
kata lain, selama dua belas tahun, sembilan bulan dan beberapa hari,
sesuai dengan hitungan tahun hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin
Khattab.55
Meskipun rantang waktu ini kelihatannya pendek, namun pada
masa tersebut banyak kesuksesan yang terjadi. Pada masa itu
ketegangan antara kekuatan islam yang sedang berkembang –dan hanya
53
Ibid. hal. 37 54
Umar bin Khattab meninggal pada malam rabu 27 Dzulhijjah 23 H, lihat Ath-Thabari
jil. IV, hal. 193. 55
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 37
44
mempunyai modal kekuatan yang tidak seberapa- dengan kekuatan
imperium Romawi dan Persi mencapai puncaknya. Kekuatan Islam
berhasil mendapatkan kemenangan-kemenangan yang menakjubkan di
daratan Syam, Palestina, Irak, Persi dan Mesir. Pada masa itu juga
sistem-sistem Islam bisa diterapkan dengan optimal pada berbagai
bidang yang sebelumnya sama sekali belum pernah dilakukan oleh
bangsa Arab atau bangsa dan peradaban mana pun. Pada masa itu
sistem penetapan hukum Islam mengalami kejayaan dalam menghadapi
tantangan-tantangan realita baru yang menghadang dengan menerapkan
teori-teori pada tatanan praktis. Dan tokoh di belakang keberhasilan dan
kesuksesan itu semua adalah Umar bin Khattab.56
56
Ibid.
45
BAB III
PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK
MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
A. Pengertian dan klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum
1. Pengertian Muallaf
Ditinjau dari bahasa, muallaf berasal dari kata allafa (َاّلَف) yang
bermakna shayyararahu alifan ( ,yang berarti menjinakkan (صيره اّليفا
menjadikannya atau membuatnya jinak.1 Allafa bainal qulub (أّلف بين اّلقلوب)
bermakna menyatukan atau menundukkan hati manusia yang berbeda-
beda, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 103 :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara.2
Jadi secara bahasa, al-muallafah qulubuhum berarti orang-orang
yang hatinya dijinakkan, ditaklukkan dan diluluhkan. Karena yang
ditaklukkan adalah hatinya, maka cara yang dilakukan adalah mengambil
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997,
hal. 34 2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia
Arkanleema, 2009, hal. 63
46
simpati secara halus seperti memberikan sesuatu atau berbuat baik, bukan
dengan kekerasan seperti perang, maupun dengan paksaan.
Sayyid Sabiq mendefinisikan muallaf sebagai orang yang hatinya
perlu dilunakkan (dalam arti yang positif) untuk memeluk Islam, atau
untuk dikukuhkan karena keislamannya yang lemah atau untuk mencegah
tindakan buruknya terhadap kaum muslimin atau karena ia membentengi
kaum muslimin.3
Senada dengan definisi di atas, pengertian muallaf menurut Yusuf
Qardawi yaitu mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau
keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat
jahat mereka atas kaum muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan
mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.4
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy muallaf yaitu mereka yang perlu
dilunakkan hatinya, ditarik simpatinya kepada Islam, atau mereka yang
ditetapkan hatinya di dalam Islam. Juga mereka yang perlu ditolak
kejahatannya terhadap orang Islam dan mereka yang diharap akan
membela orang Islam.5
2. Klasifikasi Golongan Muallaf
Syafi‟iyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa zakat bagian muallaf
hanya diperuntukkan bagi orang Islam saja, sedangkan orang kafir tidak
3 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Terj. Fiqih Sunnah, jakarta : PT. Pena Pundi Aksara,
2009, hal. 677 4 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Terj. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal. 563
5 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang : PT Pustaka
Rizki Putra, 1996, hlm. 188.
47
berhak menerima zakat dari bagian muallaf. Menurut pendapat ini, ada
empat kelompok orang Islam yang masuk dalam kategori muallaf,6 yaitu
pertama, orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah. Mereka
diberi zakat supaya kuat imannya. Kedua, seorang pemimpin yang masuk
Islam yang memiliki pengikut. Mereka diberi zakat agar pengikutnya yang
masih kafir mau masuk Islam. Ketiga, orang Islam yang kuat imannya.
Kelompok ini diberi zakat agar mereka mampu mencegah keburukan
orang-orang kafir. Dengan kata lain, mereka menjadi tameng pertama dari
keburukan yang ditimbulkan oleh orang kafir terhadap orang Islam.
Keempat, orang-orang yang mencegah keburukan dari mereka yang
menolak zakat.
Malikiyah membagi muallaf pada dua kelompok, yaitu pertama,
orang-orang kafir; mereka diberi zakat untuk membuat mereka cinta
terhadap Islam. Kedua, orang-orang yang baru masuk Islam; mereka diberi
supaya iman mereka menjadi lebih kuat.7 Sedangkan menurut Hanabilah,
orang-orang yang termasuk muallaf adalah para pemimpin yang
diharapkan keislamannya atau yang dikhawatirkan keburukannya terhadap
orang Islam atau yang diharapkan kuat imannya atau keislaman para
sekutu atau sahabatnya yang kafir atau pemimpin yang dibutuhkan untuk
mengumpulkan zakat dari orang-orang Islam yang enggan mengeluarkan
zakat.8
6 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madhahib al-Arba‟ah, vol 1, hal. 625
7 ibid hal. 623
8 Ibid, hal. 624
48
Sayyid Sabiq membagi muallaf pada dua kategori, yaitu orang Islam
dan orang kafir. Menurutnya muallaf muslim ada empat kelompok, antara
lain sebagai berikut :9
1. Para orang terhormat kaum muslimin yang memiliki para pengikut
atau teman dari orang-orang kafir.
Dengan diberikannya zakat kepada mereka, orang-orang kafir
itu dapat diharapkan masuk Islam. Hal ini seperti Abu Bakar
memberikan zakat kepada Adi bin Hatim Zabraqan bin Badr
walaupun keislaman dua muslim ini baik, keduanya adalah orang yang
dihormati kaumnya.
2. Orang-orang muslim yang imannya lemah, tapi dihormati dan ditaati
oleh kaumnya.
Dengan diberikannya zakat kepada mereka, keimanan mereka
diharapkan dapat menjadi kuat dan kukuh serta mau saling menasehati
untuk ikut jihad di jalan Allah dan lain sebagainya. Mereka adalah
seperti orang yang diberi hadiah yang banyak oleh Rasulullah dari
harta rampasan perang Hawazan.
Mereka adalah sebagian penduduk Makkah yang dibebaskan
oleh Nabi SAW. pada penaklukan kota Makkah. Diantara mereka ada
yang munafik dan ada yang lemah lemah imannya. Setelah Rasulullah
memberi hadiah yang banyak kepada mereka, mereka menjadi kukuh
imannya dan melaksanakan ajaran Islam dengan baik.
9 Sayyid Sabiq, op.cit, hal. 677-678
49
3. Kelompok muslim yang berada di perbatasan negeri musuh.
Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan mereka
gigih dalam membentengi kaum muslimin ketika musuh menyerang
negeri Islam. Pada zaman sekarang yang lebih berhak mendapat
santunan lagi adalah kaum muslimin yang diincar oleh kaum kafir
dengan tujuan memasukkan mereka ke dalam wilayah negeri kafir
atau membuat mereka murtad dari agama Islam.
4. Kaum muslimin yang dibutuhkan bantuannya untuk mengambil zakat
dari orang-orang yang tidak mau membayarnya, kecuali melalui
kekuatan dan pengaruh kaum muslimin tersebut.
Sebetulnya ketika mereka tidak mau membayar zakat,
pemerintah Islam berhak memerangi mereka, akan tetapi dengan cara
tersebut kerugiannya lebih kecil dan kemaslahatannya lebih besar.
Adapun muallaf kafir ada dua kelompok, antara lain sebagai
berikut:10
1. Orang yang diharap keimanannya dengan pemberian zakat kepadanya.
Seperti Shafwan bin Umayyah yang telah diberi jaminan
keamanan oleh Nabi Muhammad saw. Pada penaklukan Mekah,
beliau memberikan kesempatan kepadanya selama empat bulan agar
mengamati aktifitas umat Islam secara langsung dan menentukan
pilihan sendiri berdasarkan pengamatannya tersebut.
10
Ibid, hal. 678-679
50
Ia sempat menghilang, kemudian datang lagi dan ikut perang
bersama kaum muslimin dalam peperangan Hunain. Waktu itu, ia
belum masuk Islam. Nabi saw sempat meminjam senjatanya dalam
peperangan itu. Beliau memberi banyak unta yang ada di sebuah
lembah kepadanya. Ia berkata “Ini adalah pemberian orang yang tidak
takut fakir”. Ia juga berkata “sungguh, Nabi saw telah memberi hadiah
kepadaku. Pada awalnya, beliau adalah manusia yang paling aku
benci. Namun, beliau selalu memberi hadiah kepadaku hingga beliau
bisa menjadi manusia yang paling aku cintai”.
2. Orang kafir yang dikhawatirkan melakukan tindakan buruk terhadap
Islam. Namun, ketika mereka diberi hadiah, dapat diharapkan mereka
menahan tindakan buruknya tersebut.
Ibnu Abbas ra. berkata, “sesungguhnya ada kaum yang datang
kepada Nabi. Jika beliau memberi hadiah kepada mereka, mereka
memuji Islam. Mereka akan berkata „ini adalah agama yang baik‟.
Jika beliau tidak memberi hadiah kepada mereka, mereka mencela
Islam dan mencemoohnya. Diantara mereka adalah Sufyan bin Harb,
Aqra‟ bin Habis, dan Uyainah bin Hishn. Nabi saw, telah memberi
seratus unta kepada mereka masing-masing”.
Menurut Yusuf Qardawi kelompok muallaf terbagi kedalam
beberapa golongan, yang muslim maupun yang bukan muslim. 11
11
Yusuf Qardawi, loc.cit, hal. 562-566
51
Pertama, golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman
kelompok serta keluarganya. Kedua, golongan orang yang dikuatirkan
kelakuan jahatnya. Mereka ini dimasukkan kedalam kelompok mustahiq
zakat, dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Ketiga, golongan
orang yang baru masuk Islam. Mereka perlu diberi santunan agar
bertambah mantap keyakinannya terhadap Islam. Keempat, pemimpin dan
tokoh masyarakat yang memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat
orang kafir. Dengan memberi mereka bagian zakat, diharapkan dapat
menarik simpati mereka untuk memeluk Islam. Kelima, pemimpin dan
tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi
imannya masih lemah. Mereka diberi bagian dari zakat dengan harapan
imannya menjadi tetap dan kuat. Keenam, kaum muslimin yang bertempat
tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan musuh. Mereka
diberi dengan harapan dapat mempertahankan diri dan membela kaum
Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari sebuah musuh.
Ketujuh, kaum muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat
orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan paksaan seperti
dengan diperangi. Dalam hal ini mereka diberi zakat untuk memperlunak
hati mereka.
Semua kelompok tersebut di atas termasuk dalam pengertian
“golongan muallaf” baik mereka yang muslim maupun yang kafir.
Dan perlu untuk diketahui, bahwa perkataan “muallaf” di masa
dahulu, tidak diberikan untuk tiap mereka yang baru masuk islam, tapi
52
hanya diberikan kepada mereka yang dirasa lemah imannya dan perlu
disokong iman yang lemah itu dengan pemberian. Sudah umum diketahui
bahwa pada masa Nabi yang dinamai muallaf, hanyalah orang yang
diketahui ada menerima bagian ini saja. Kebanyakan dari kita sekarang
menamakan muallaf pada semua yang baru masuk Islam saja tanpa melihat
kepada lemah atau kuatnya iman mereka.12
Di antara hikmah dari ditetapkannya bagian khusus untuk mereka
yang dijinakkan hatinya adalah pembuktian bahwa pada hakikatnya Islam
adalah agama yang lebih cenderung kepada kebaikan, kelembutan dan juga
kesejahteraan. Dan seringkali terjadi kekufuran atau keingkaran seseorang
dari memeluk agama Islam karena faktor ekonomi atau kesejahteraan, meski
masih berupa kekhawatiran.13
B. Pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai
mustahiq zakat
Sebelum menguraikan pemikiran Umar bin Khattab tentang
pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, ada baiknya juga kita
sebutkan bahwa al-Faruq Umar yakin sekali bahwa Islam adalah jiwa dan
akidah. Orang tidak akan sempurna imannya sebelum ia memahami jiwa
agama yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena
itu ketentuan-ketentuan hukum Qur‟an yang diturunkan disesuaiakan dengan
jiwa yang menyertainya. Jika di dalamnya terdapat sunnah yang berasal dari
12
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1996, hal. 189 13
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan 4 : Zakat, Jakarta : DU Publishing, 2011, hal.294
53
Rasulullah dalam kata atau perbuatan, pertalian sunnah itu perlu diketahui
untuk kemudian diterapkan dengan sangat hati-hati. 14
Di dalam al-Quran, Allah telah menjelaskan bahwa kelompok-
kelompok atau golongan-golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq
zakat) adalah berjumlah delapan atau yang biasa dikenal dengan istilah
delapan asnaf, Allah berfirman dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60:
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.15
Bahkan dalam suatu hadits, Nabi memperjelas bahwa ketentuan
delapan golongan penerima zakat di atas ditetapkan sendiri secara langsung
oleh Allah : 16
14
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Bogor : Litera Antar Nusa, 2011,
hal.690 15
Departemen Agama RI, Op.Cit., hal. 196 16
Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, vol. 1 Beirut: Dar al-Fikr, 1994,
hal. 381.
54
“Aku datang kepada Nabi dan berbai‟ah kepadanya. Kemudian datang
seorang laki-laki dan berkata berikanlah aku bagian zakat. Maka Nabi
berkata kepadanya bahwa sesungguhnya Allah tidak senang dengan jika
ketetapan hukum tentang zakat ditetapkan oleh para nabi-Nya dan orang lain
sehingga Ia sendiri yang menetapkan hukum zakat tersebut. Maka Ia
membagi zakat itu kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk
golongan-golongan tersebut maka aku akan memberikan hakmu”.
Secara umum ayat tersebut tidak mengatur bagaimana seharusnya dan
sebaiknya membagikan harta zakat kepada mustahiqnya yang delapan macam
itu. Oleh karena itulah, ulama dengan mempergunakan argumentasi mereka
masing-masing, berbeda pendapat di samping ada yang mengharuskan
pembagian secara merata kepada semua kelompok (ashnaf yang delapan), ada
pula yang tidak mengharuskannya. Penyebab terjadinya perbedaan pendapat
itu, menurut Ibnu Rusyd, ialah adanya sementara ulama yang terikat oleh
tekstual ayat, yang menghendaki pembagian kepada semua kelompok,
sedangkan yang lain berpegang kepada makna esensial dari ayat yang
tujuannya untuk menyelesaikan suatu problem sosial dalam masyarakat
Islam.17
Salah satu dari delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Allah
sebagai penerima zakat adalah kelompok muallaf. Rasulullah saw semasa
17
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta :
Pustaka Amani hal. 612.
55
hidupnya selalu memberikan zakat kepada delapan ashnaf tersebut secara
lengkap, termasuk memberikan zakat kepada ashnaf “al-Muallafah
Qulubuhum”. Beberapa orang yang oleh Nabi diberi zakat atas kriteria
tersebut diantaranya adalah Abu Sufyan dan Uyainah bin Hasan. Safwan bin
Umayyah berkata : Demi Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat)
padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus
memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku
cintai”.18
Pemberian itu diberikan sebagai pelunak hati mereka, agar tidak
terpikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka,
dan untuk menarik simpati mereka untuk mau mengikuti dakwah baru ini
(islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam
dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.
Adanya pembagian jatah atau pemberian harta seperti itu, disamping
menguntungkan mereka (orang-orang non muslim), juga bermanfaat bagi
Islam. Karena kebanyakan mereka adalah para pembesar dan pemimpin
kaum, sedangkan kebanyakan pengikut agama baru ini adalah rakyat jelata
dan hamba sahaya yang merindukan kebebasan, kemerdekaan dan persamaan
di bawah lindungan agama yang menyuarakan hal tersebut.
Oleh karena itu tidak mengherankan lagi jika kebanyakan orang-orang
yang mau ditundukkan hatinya (al-Muallafah Qulubuhum) adalah para
18
Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806
56
pembesar dan orang-orang yang terhormatkaum.yang mereka itu terdiri dari
tiga macam kelompok :19
1. Orang-orang musyrikin yang hatinya masih jauh dan asing dari keislaman.
Mereka diberi bagian dari harta Islam dengan maksud agar mereka tidak
menyakiti dan mengganggu orang muslim, dan juga agar bisa dimintai
tolong bila ada kelompok-kelompok lain dari golongan mereka orang
kafir, jika pertolongan itu memang dibutuhkan. Hal ini juga dimaksudkan
agar mereka tidak bersama-samadan bersatu padu menyerang Islam yang
baru tumbuh itu.
2. Orang-orang musyrikin dari kalangan para pembesar dan orang-orang
terhormat. Mereka ini orang-orang yang bisa menimbulkan kembali
permusuhan kepada Islam. Oleh karena itu Rasulullah memberikan mereka
bagian zakat dan berusaha mendekati mereka agar mereka mau bergumul
dengan dakwah Islamiyah. Jika demikian, maka bisa saja mereka itu akan
beriman atau minimal frekuensi mereka dalam memusuhi Islam akan
berkurang. Dan mereka pun tidak akan mengintimidasi atau menghalang-
halangi kaumnya yang hendak memeluk Islam.
3. Orang-orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah yang
mudah goyah, yang dibenaknya masih tersimpan sisa-sisa materialisme
yang dulu menjadi pujaan dalam hidupnya. Maka mereka diberi bagian
zakat agar mereka tidak kembali kepada kekafiran mereka jika terdesak
19
Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2005,
hal.179
57
kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan karena Rasul tahu bahwa orang
lapar yang lemah akidahnya, tentu akan sulit baginya mengimani apa saja.
Rasulullah tidak pernah menahan atau menyisakan harta maupun
tenaganya jika untuk kepentingan kebaikan di jalan Allah. Diriwayatkan dari
Anas bin Malik, bahwa Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu apapun,
kecuali beliau memberikannya.
Dari Anas bahwasanya Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu apapun
kepadanya atas nama Islam, melainkan beliau memberikannya. Pernah
datang Seorang laki-laki kepadanya, dan serta merta meminta harta kepada
beliau, maka Nabipun menyuruh memberikan kepadanya sekumpulan
kambing hasil zakat yang memenuhi lembah antara dua bukit. Kemudian
orang itu kembali kepada kaumnya lalu berkata: wahai kaumku, masuk
Islamlah kalian semua, Karena sesungguhnya Muhammad memberikan
sesuatu pemberian yang sangat banyak, tanpa sedikit pun kuatir jatuh
melarat.”20
Rasulullah memberikan bagian zakat kepada mereka itu dan juga yang
lainnya, dan tidak memberikan bagian ini kepada banyak kaum muslimin
yang benar-benar kuat dan tulus keislamannya. Meskipun jerih payah dan
kesibukan mereka berjihad dan berdakwah tentunya sangat layak untuk
20
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jil. III, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 178
58
menerima bagian tersebut. Hal ini menyebabkan salah seorang sahabat pernah
bertanya kepada beliau “wahai Rasulullah, engkau memberikan bagian
kepada Uyainah bin Hisam dan Aqra‟ bin Habis, tapi mengapa Juail bin
Suraqah Ad-Dhamari tidak engkau berikan? Rasulpun menjawab, “Demi
Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggamanNya, Juail bin
Suraqah adalah lebih baik dan lebih utama daripada seluruh apa yang ada di
muka bumi ini, sebagaimana Uyainah bin Hishn dan juga Aqra‟ bin Habis.
Namun hal itu (aku lakukan) untuk menarik hati keduanya untuk masuk
Islam. Dan aku yakin bahwa Juail bin Suraqah akan masuk Islam.21
.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil Uyainah bin Hisn
dengan “al-Ahmaq al-Mutha‟ fi Qaumihi (orang bodoh yang ditaati
kaumnya)”, karena demikian itulah ia perlu dibujuk rayu hatinya. Sedangkan
Ju‟ail adalah orang yang sangat fakir dari golongan ahli Shuffah.22
Dan jika kita mengikuti perjalanan hidup orang-orang yang telah
diberikan sesuatu oleh Nabi tersebut, kita akan menemui banyak dari mereka
yang akhirnya masuk Islam. Bahkan sebagian dari mereka, menduduki tempat
dan posisi penting di kalangan kaum muslimin, seperti Muawiyah, khalifah
pertama Bani Umayyah. Namun ada pula sebagian dari mereka yang tetap
tidak tulus dan tidak mau memeluk Islam, meski kereka sudah tidak pernah
lagi berbuat jahat kepada orang-orang Islam.
Demikianlah, pemberian bagian zakat kepada orang-orang Muallaf
tetap berlanjut hingga Rasulullah meninggal. Pada masa kekhalifahan Abu
21
Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jil. III, Dar al-Fikr, hal. 332 22
Muhammad Baltaji, Op. Cit., hal. 198
59
Bakar, ketika kaum muslimin berhasil menumpas orang-orang murtad dan
para pembangkang yang tidak mau membayar zakat, maka murnilah ajaran
Islam di jazirah Arab, sehingga kekuatan Islam semakin kuat, tidak hanya di
jazirah Arab saja akan tetapi juga di luar Arab, sehingga kekuatan ini bisa
mengimbangi dua super power saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Kekuatan
kedua imperium ini semakin menyusut dan lumpuh ketika mereka
membiarkan kekuatan Islam ini menghancurkan dan mengikis kekuatan
mereka, sebagaimana yang terjadi pada kekhalifahan Umar bin Khattab.
Di akhir masa kekhalifahan Abu Bakar, setelah ia berhasil
menaklukkan kota Hauzan, datanglah dua orang muallaf menemui sang
khalifah. Mereka berdua ini ingin meminta bagian zakat dari khalifah berupa
tanah sebagaimana Nabi memberikan bagian kepada mereka.23
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, dari
Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata : bahwa suatu saat,
„Uyainah bin Hishn dan al-Aqra‟ bin Habis datang kepada Khalifah Abu
Bakar untuk meminta bagian zakat mereka dari golongan muallaf berupa
tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup.
Keduanya berkata, “sesungguhnya di tempat kami ada tanah-tanah kosong,
yang yang tidak berumput dan tidak berfungsi, bagaimana jika tanah itu anda
berikan kepada kami?” Maka Abu Bakar membuat surat (catatan) untuk
mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar tidak ada
di situ, namun ketika mereka menyerahkan surat tersebut kepada Umar, ia
23
ibid, hal. 181
60
menolak memberikan zakat kepada mereka dan langsung menyobek surat itu
kemudian berkata, “dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai muallaf,
ketika Islam saat itu masih kecil dan pemeluknya masih sedikit. Sedangkan
sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan jaya, maka pergilah kalian
bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”24
Selanjutnya Umar bin
Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29 yang berbunyi :25
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka
barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Mendengar kata-kata Umar bin Khattab seperti ini, mereka langsung
datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi
khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh
Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.26
Umar kemudian mengeluarkan satu statemen hukum, bahwa al-
muallafah qulubuhum tidak mendapat bagian zakat, yang tidak ada satupun
dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui pendapat dan
apa yang dilakukan Umar tersebut.
24
Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat
juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam,
Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238. 25
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat
lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah :
Lihat Wahbah al-Zuhayli, al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hal. 1954. 26
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga
Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda.
61
C. Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab menggugurkan
hak muallaf sebagai mustahiq zakat
Dilihat dari klasifikasi golongan muallaf, sebagaimana diperinci oleh
fuqaha, maka diberikannya bagian zakat untuk ashnaf al-muallafah
qulubuhum karena ada tujuan-tujuan dan maksud-maksud tertentu yang
sifatnya sangat kondisional. Oleh sebab itulah, di waktu kondisi umat Islam
telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah semakin mantap, Umar
menghentikan pemberian bagian muallaf, bukan saja kepada orang-orang
yang sebelumnya pernah menerima bagian muallaf, tetapi juga kepada orang-
orang lain yang semacamnya. Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu
Bakar di kala ia masih menjadi khalifah untuk memberikan tanah-tanah
tertentu pada sejumlah orang atas dasar ini, Umar berpendapat bahwa
Rasulullah telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi
karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidak berlaku lagi.27
Umar mencegah pemberian bagian zakat kepada para muallaf di masa
pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya, karena pada masa
pemerintahan Abu Bakar dan masa kekhalifahan sang khalifah kedua ini
sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafatu
qulubuhum (orang-orang yang ditaklukan hatinya). Ini persis seperti
manakala pada suatu masa, di suatu tempat tertentu tidak ditemukan adanya
orang fakir dan miskin. Tentu kita tidak mengamalkan apa yang tersurat
27
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic
Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970, hal. 107
62
dalam Al-Qur‟an tentang bagian mereka, sampai ditemukan kembali orang-
orang fakir dan miskin di tempat tersebut.28
Setelah Rasulullah wafat, dan Islam telah tersebar di seluruh
semenanjung Arab, juga setelah orang-orang Islam melewati ujian berat
bertempur melawan kawan sendiri yang murtad, yang akhirnya dalam sekejap
saja berakhir dengan tunggang langgangnya orang-orang murtad tersebut dan
menyerah tanpa syarat kepada pasukan Islam, semakin jelaslah dan terbukti
bahwa kekuatan Islam adalah sangat luar biasa, suaranya membahana di
seantero Arab, dan gaungnya menggema kemana-mana sampai jauh keluar
jazirah Arab, memenuhi ufuq dan menembus cakrawala. Jadi tidak diperlukan
lagi penghambur-hamburan kas negara untuk menarik simpati dan membujuk
orang untuk masuk islam.
Inilah yang menjadi alsan mengapa Abu Bakar dan seluruh sahabat
yang lain dengan secara spontan sepakat menerima pendapat Umar, tanpa
harus didahului adu argumen terlebih dahulu. Karena mereka merasa
diingatkan oleh Umar tentang hakikat Islam yang sekarang, yang sudah
sangat kuat, tidak perlu lagi menghamburkan uang untuk menarik simpati
orang lain non muslim. Sebagaimana yang dikatakannya dahulu
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan Islam ini besar dan jaya. Kebenaran
adalah dari Tuhan kalian. Maka barangsiapa yang mau beriman, maka
berimanlah, dan barangsiapa yang tidak mau beriman, maka kafirlah”. Dan
bagaimana mungkin, Islam masih harus membujuk-bujuk hati orang agar
28
Muhammad Baltaji, Op. Cit., hal. 182
63
mau memeluknya, sedangkan pasukannya saja mampu menggetarkan dan
meporak-porandakan kekuatan super power kala itu, yaitu imperium persi dan
romawi.
Dari hal itu, tidak diragukan lagi bahwa hukum tentang ada dan
tidaknya orang-orang muallaf, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Kalau memang dibutuhkan atau
ada, maka ketika itulah hak-hak mereka diberikan, sebagaimana ketentuan
dalam Al-Qur‟an, tapi kalau tidak ada atau sudah tidak diperlukan, bagaimana
mungkin harus dipaksakan? Dengan ini jelaslah, bahwa Umar, Abu Bakar
dan juga para sahabat yang lain tidak menyalahi teks-teks Al-Qur‟an ataupun
melanggar apa yang telah dilakukan Nabi. Karena apa yang mereka lakukan,
tidak ada niatan sedikitpun untuk mengesampingkan ayat Al-Qur‟an atau
bahkan menghapusnya. Mereka hanya menahan bagian yang sudah tidak ada
pemiliknya, yang hal itu tidak ada yang berhak menerimanya. Sehingga kalau
seandainya pada masa Umar ataupun setelahnya ada kondisi-kondisi dan
alasan yang memungkinkan dibagikannya bagian-bagian tersebut kepada
yang berhak, tentu mereka akan mengeluarkannya dan memberikan kepada
pemilik-pemiliknya yang berhak.29
Menurut Ahmad Azhar Basyir, sesungguhnya Umar telah melakukan
istinbat dengan menentukan „illat hukum yang tidak disebutkan di dalam
nash, sehubungan dengan tidak lagi perlunya pemberian zakat kepada
muallaf. Muallaf dapat merupakan (1) orang yang baru masuk Islam, yang
29
Ibid, hal. 183-184
64
dilunakkan hatinya untuk betah beragama Islam, disamping pertimbangan
keadaan ekonominya, dengan penerimaan zakat kepadanya. Dapat pula
merupakan (2) orang bukan Islam yang hatinya telah dekat kepada Islam,
dapat pula merupakan (3) orang bukan Islam yang bersikap memusuhi Islam.
Muallaf yang ketiga ini, pada masa Nabi saw, diberi zakat untuk mengurangi
sikap permusuhan terhadap Islam. Muallaf kedua diberi zakat agar cepat
masuk Islam. Sedang muallaf pertama diberi zakat agar makin mantap dalam
beragama Islam. Pemberian zakat kepada muallaf ketiga itu dicari illat
hukumnya oleh khalifah Umar bin Khattab, dan ia mengambil ketetapan
bahwa illat hukum memberikan zakat kepada muallaf ialah keadaan ia lemah
agama dan keadaan umat Islam pada permulaan sejarahnya. Setelah pada
masa khalifah Umar keadaan Islam dan umatnya telah cukup kuat, dan tidak
diperlukan lagi melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat
kepada muallaf ketiga (yang memusuhi Islam) dihentikan, karena illat
hukumnya telah tidak ada lagi. Tentu saja, pemberian zakat kepada muallaf
yang baru saja masuk Islam, dan yang telah sangat dekat kepada Islam, tidak
dihentikan.30
30
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, dalam Jalaludin
Rohmad, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1988, hal. 58
65
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
A. Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran
hak muallaf sebagai mustahiq zakat
Terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang kedudukan “al-
muallafah qulubuhum” sebagai mustahiq zakat ini, tidak seorangpun dari
para sahabat menentangnya pada saat itu. Lain halnya dengan para ulama
yang datang kemudian, mereka berbeda pendapat tentang hal itu. Terutama
sekali dalam hubungannya dengan kedudukan ayat 60 surat at-Taubah
tersebut. Apakah berarti ayat itu ter-mansukh atau tidak? Dan apakah
pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai
mustahiq zakat dapat dijadikan dasar ijtihad dalam khazanah ilmu fiqih?
Masalah utama yang menjadi persoalan di atas adalah apakah ijma‟
sahabat yang disimpulkan sebagai kesepakatan atas pemikiran Umar bin
Khattab dapat menasakh ketentuan Allah mengenai bagian zakat untuk
golongan muallaf?
Di dalam teori nasakh dijelaskan bahwa tidak semua teks atau nash
dapat menerima adanya nasakh. Teks atau nash bisa dinasakh manakala
ketentuan baik dan buruk yang terkandung di dalamnya itu bisa berubah
menurut kondisi manusia. Oleh karena itu, hukum-hukum dasar (al-ahkam
al-asasiyah) yang mencakup ushuluddin, akidah, ibadah, dan nash yang
66
mencakup fadhilah tidak bisa dinasakh karena hukum-hukum tersebut
bersifat konstan atau tidak mengikuti perubahan kondisi manusia.1
Di samping itu, teks atau nash hanya bisa dinasakh dengan nash lain
jika sejajar kekuatannya atau lebih kuat daripadanya. Hal ini sesuai dengan
kaidah :
“Bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash sejajar
kekuatannya atau lebih kuat daripadanya”.2
Pada dasarnya, nasakh merupakan pembatalan atas suatu hukum
yang disyari‟atkan oleh Allah, baik itu dengan pengganti hukum lain atau
tanpa pengganti sama sekali. Adapun yang berhak membatalkan hukum
adalah Dia yang memiliki syari‟ah, yaitu Allah melalui wahyu yang
disampaikan kepada Nabi-Nya. Karena itu, nasakh hanya dapat terjadi pada
masa hidup Rasulullah SAW., bukan sesudahnya.
Ada atau tidaknya nasakh dalam suatu hukum hanya dapat diketahui
melalui dalil nash yang disampaikan oleh Syari‟ kepada Nabi; bahwa suatu
hukum dinasakh dengan hukum lain atau suatu nash dinasakh dengan nash
lain. Cara lain untuk mengetahui adanya nasakh adalah adanya dua dalil
(nash) yang saling bertentangan dan tidak mungkin untuk dilakukan metode
al-jam‟u wa at-taufiq. Di samping itu, masa turun dari kedua nash tersebut
1 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, penerj. Moh.Zuhri, Semarang : Dina Utama,
1994, hal. 355 2 Ibid, hal. 356
67
dapat diketahui mana nash yang lebih dulu turun dan mana nash yang
datang lebih akhir.
Hukum muallaf sebagai golongan yang berhak menerima zakat telah
dipraktekkan (ma‟mul bih) pada masa Nabi masih hidup. Bahkan ketika
masa risalah itu sudah selesai dengan wafatnya Nabi, hukum muallaf masih
dipraktekkan oleh Abu Bakar pada awal masa kekhalifahannya sebelum
Umar bin Khattab menghentikan pembagian zakat kepada golongan
muallaf. Jika setelah masa risalah ketetapan hukum muallaf masih
dipraktekkan, maka tidaklah tepat hukum muallaf yang secara jelas (sarih)
dinashkan oleh Allah dalam Q.S. at-Taubah ayat 60 dinasakh oleh
pendapatnya Umar bin Khattab.
Di dalam pendapatnya tersebut, Umar bin Khattab secara jelas tidak
mengatakan bahwa ia dengan pendapatnya hendak menasakh hukum
distribusi zakat kepada golongan muallaf. Keengganan Umar memberikan
zakat kepada golongan muallaf didasarkan pada alasan bahwa Islam pada
saat itu sudah diberikan kemuliaan oleh Allah, yaitu kemuliaan yang belum
diberikan secara sempurna ketika Nabi masih hidup. Hal ini didasarkan pada
perkataan Umar bahwa pada masa Nabi, golongan muallaf diberikan harta
zakat untuk membuat hati mereka luluh terhadap Islam. Seolah-olah
menurut Umar, Islam pada saat itu masih dalam kondisi yang lemah karena
sedikitnya pemeluk Islam. Namun ketika Islam sudah mendapatkan
kemuliaan dan kejayaan dengan banyaknya pemeluk Islam, maka ia merasa
sudah tidak perlu lagi untuk menta‟lif mereka yang masuk dalam golongan
68
muallaf. Jadi alasan („illat) yang disampaikan oleh Umar adalah bersifat
kondisional. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyyah :
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”
3
Dengan kata lain, jika pada suatu masa ada satu atau beberapa
kondisi yang menuntut untuk melakukan ta‟lif maka hukum tentang
distribusi zakat kepada golongan muallaf diberlakukan kembali. Sebaliknya,
jika satu atau beberapa kondisi dalam suatu masa tidak menuntut untuk
melakukan ta‟lif maka hukum tentang distribusi zakat kepada golongan
muallaf ditunda pemberlakuannya.
Kemudian dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaidah hukum yang
cukup populer, yaitu :
“Hukum berlaku dengan ada dan tidaknya „illat hukumnya.”
4
Kaidah ini menegaskan bahwa hukum itu berputar bersama dengan
„illatnya, jika ada „illat maka ada hukum dan jika „illat itu tiada maka hukum
pun menjadi tiada. Dengan demikian, „illat hukum adalah hal yang sangat
berperan dan berpengaruh besar terhadap ada ataupun tiadanya sesuatu
hukum. Suatu hukum yang bersendikan pada „illat dapat berubah apabila
„illat itu berubah atau telah hilang. Contoh yang sangat populer yang biasa
dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini ialah mengenai hukum
3Ahmad bin Muhammad az-Zarqa, Syarh al-qawaid al-Fiqhiyyah, Dar al-Qalam, hal. 129
4 Ibid, hal. 300
69
haramnya khamr (minuman keras yang terbuat dari perasan anggur).
Keharaman khamar ini dikarenakan adanya „illat, yaitu iskar yakni unsur
memabukkan yang terdapat dalam minuman tersebut. Apabila unsur itu
hilang, khamar yang semula haram itu kemudian telah menjadi cuka
hukumnya menjadi halal. Jelas di sini terdapat perubahan hukum yang
disebabkan perubahan „illat hukum.
Keterangan di atas, senada dengan pemahaman mayoritas fuqaha
atas pemikiran Umar bin Khattab bahwa Umar dengan pendapatnya tersebut
tidak hendak menasakh ketentuan zakat bagi golongan muallaf, melainkan
menunda sementara ketentuan tersebut karena absennya sejumlah syarat
yang seharusnya terpenuhi. Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan
golongan muallafah qulubuhum, menunjukkan bahwa ta‟lif al-qulub
(membujuk hati) merupakan „illat menyerahkan zakat kepada mereka. Maka
apabila „illat itu ada - yakni pembujukan – mereka harus diberi, akan tetapi
bila „illat itu tidak ada maka mereka tidak perlu diberi. Umar merasa tidak
ada kebutuhan (hajah) untuk menta‟lif golongan muallaf pada saat itu
karena Islam sudah jaya.
Umar tetap memandang zakat sebagai fardhu yang telah difardhukan
(diwajibkan) Allah kepada muslimin, orang yang menunaikan zakat akan
mendapat ajr (pahala) dari Allah. Oleh karena itu Umar sangat tegas ketika
menghadapi persoalan zakat. Sebagai salah seorang sahabat yang terkenal
wara‟, zuhud, dan senantiasa berupaya mendekatkan diri kepada Allah,
Umar melaksanakan berbagai kewajiban yang telah difardhukan atau
70
diwajibkan kepada hamba-Nya. Di antara kewajiban tersebut adalah
persoalan penanganan pembagian zakat.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan tentang “metode
ijtihad Umar bin Khattab”,5 Umar dalam mengeluarkan pendapat hukum
selalu menggunakan al-Qur‟an sebagai landasan utamanya. Jika suatu
permasalahan ia temukan hukumnya dalam al-Qur‟an, maka ia
memutuskannya sesuai dengan apa yang ada di al-Qur‟an tersebut. Jika ia
tidak menemukan dalam al-Qur‟an, ia lalu mencarinya dalam sunnah. Dan
jika hukumnya tidak ia temukan juga di sunnah, maka ia beranjak untuk
bermusyawarah dengan ahli ijtihad dan kemudian berijtihad.6
Umar sangat berhati-hati ketika ada suatu perkara yang berhubungan
–baik hubungan dekat atau jauh- dengan agama. Apalagi masalah tasyri‟
yang berhubungan dengan kehormatan, jiwa dan harta.
Seperti ketika Umar mencurahkan ijtihadnya dalam menangani
kasus tanah rampasan perang, dikisahkan dalam sejarah, bahwa setelah
daerah Irak, Syam dan juga Mesir berhasil diduduki pasukan muslimin, para
bala tentara muslim meminta kepada para komandan perang untuk
membagi tanah yang berhasil dikuasai kepada masing-masing pasukan yang
ikut serta dalam perang. Para komandan tersebut tidak mau mengambil
keputusan dan menyerahkan masalah ini kepada Khalifah Umar bin
Khattab. Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, dan mengajak
5 Pembahasan tentang “Metode Ijtihad Umar bin Khattab” sudah dijelaskan pada bab II.
6 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, (penerj. Masturi Irham),
Jakarta : Khalifa, 2005, hal. 453
71
mereka bermusyawarah membahas masalah pembagian tanah yang telah
dianugerahkan Allah kepada kaum muslimin tersebut.
Salah satu nash yang menjadi objek tentang masalah pembagian
tanah hasil rampasan perang adalah surat al-Anfal ayat : 41,
Artinya : “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk
Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnussabil.”7
Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa 1/5 (seperlima) dari
harta rampasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Adapun 4/5 (empat perlimanya) Rasulullah membagikannya
kepada tentara yang ikut dalam peperangan, yang besar kecil jumlahnya
disesuaikan dengan peranan dan peralatan yang dipergunakan.8 Yang sering
dipraktekkan Rasulullah kata Fazlur Rahman, ”Jika suatu suku tertentu
tidak menyerah secara damai, tetapi melalui pertempuran, maka tanah
mereka disita sebagai harta rampasan perang dan dibagi-bagikan kepada
pasukan kaum muslimin.9
Atas dasar ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi tersebut maka para
tentara yang ikut berperang datang kepada Umar dan meminta agar harta
7 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia
Arkanleema, 2009, hal. 8 Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar ibn al-Khaththab : Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987, hal. 155 9 Fazhur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1983, Hal. 271-272
72
rampasan perang di Irak dan Syam 1/5 (seperlima) dari padanya segera
dikeluarkan untuk enam komponen yang tersebut dalam ayat dan
selebihnya dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Desakan oleh
sementara orang yang tidak sependapat itu digambarkan oleh Fazhur
Rahman, sebagai tantangan yang berkembang menjadi sebuah krisis.10
Oleh
sebab itu, bagaimanapun kerasnya sikap Umar, yang oleh sementara
kalangan sering dijadikan alasan sebagai salah satu faktor penyebab
kesuksesan Umar, namun berdasarkan kasus harta rampasan ini tidaklah
bisa dianggap bahwa ia bersikap otoriter, karena dalam kekerasannya,
bermusyawarah tidak pernah ditinggalkannya.
Dari berbagai sumber kutipan-kutipan dialog Umar dengan para
sahabat dapat disimpulkan bahwa pertimbangan yang melatar belakangi
Umar untuk mengambil sikap tersebut adalah:
1. Bahwa setelah tanah-tanah itu berada di tangan dan kekuasaan kaum
muslimin, selanjutnya perlu pemeliharaan. Untuk itu perlu ditempatkan
tentara guna pengamanannya yang tentunya juga perlu diberi tanah
untuk tempat tinggal mereka juga penghidupan mereka. Seandainya
tanah itu telah dibagi maka tujuan pemeliharaan tersebut tidak tercapai.
2. Apabila tanah-tanah itu dibagikan kepada para tentara yang ikut
berperang, maka dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perpecahan di
kalangan kaum muslimin karena dengan pembagian itu berarti pemilik
tanah-tanah tersebut akan mengelompok kepada kalangan tertentu
10
Ibid, hal. 272
73
yakni tentara-tentara yang ikut berperang saja. Bagaimana dengan
kaum muslimin yang kebetulan tidak ikut berperang atau yang datang
kemudian.
3. Apabila tanah-tanah itu dibagi-bagikan kepada para tentara yang ikut
berperang maka dikhawatirkan akan dapat melemahkan kekuatan
tentara Islam sendiri karena hal itu dapat menstimulir untuk berperang
dengan motivasi bukan karena Allah melainkan karena untuk
mendapatkan harta rampasan.
Terhadap sikap Umar yang menolak untuk membagikan tanah
rampasan tersebut, sebaliknya Umar menetapkan agar tanah tersebut tetap
berada pada tangan pemilik dan penggarapannya, hanya saja kepada mereka
diwajibkan membayar pajak dan pajak itulah yang kemudian untuk Baitul
Mal, yang selanjutnya dipakai untuk kepentingan dan kemaslahatan kaum
muslimin, termasuk kepentingan para tentara tersebut.
Dari contoh kasus tersebut kita dapat menilai tentang latar belakang
ijtihad yang dilakukan Umar, bahwasannya Umar sangat disiplin dalam
mengaplikasikan teks-teks syara‟, disamping juga disiplin dalam
merealisasikan kemaslahatan umum dalam posisinya sebagai khalifah yang
dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, Umar selalu disiplin dalam
mengaplikasikan syariat dan dalam waktu yang bersamaan menjamin
terealisasinya kemaslahatan umum.
Demikian juga ketika Umar dengan tegas menolak memberikan
bagian zakat kepada para muallaf di masa pemerintahan Abu Bakar dan di
74
masa pemerintahannya, karena sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang
layak disebut al-muallafah qulubuhum (orang-orang yang ditaklukkan
hatinya) disebabkan situasi dan kondisi umat Islam pada saat itu sudah
sangat kuat dan tidak perlu lagi untuk menarik simpati orang non muslim.
Inilah yang menjadi alasan mengapa Abu Bakar dan seluruh sahabat yang
lain secara spontan sepakat menerima pendapat Umar.
Tidak diragukan lagi bahwa hukum tentang ada dan tidaknya orang-
orang muallaf, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di tengah-
tengah masyarakat muslim. Umar, Abu Bakar dan juga para sahabat yang
lain tidaklah menyalahi teks-teks al-Qur‟an ataupun melanggar apa yang
telah dilakukan Nabi. Karena apa yang mereka lakukan, tidak ada niatan
sedikit pun untuk mengesampingkan ayat al-Qur‟an atau bahkan
menghapusnya. Mereka hanya menahan bagian yang sudah tidak ada
pemiliknya, yang hal itu tidak ada yang berhak menerimanya. Sehingga
kalau seandainya pada masa Umar ataupun setelahnya ada kondisi-kondisi
dan alasan yang memungkinkan dibagikan bagian-bagian tersebut kepada
yang berhak, tentu mereka akan mengeluarkannya dan memberikan kepada
pemilik-pemiliknya yang berhak.11
Dalam menanggapi hal tersebut, al-Jasshash berkata, “Abu Bakar
tidak mengingkari apa yang dilakukan Umar, meski setelah ia menetapkan
satu keputusan yang berseberangan dengan pendapat Umar itu. Ini
menunjukkan bahwa Abu Bakar mengerti alasan yang menjadi acuan
11
Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 183-184
75
pendapat Umar. Dan Abu Bakar merasa diingatkan, bahwa bagian para
muallaf adalah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Islam itu sendiri.
Yaitu bagian mereka diberikan di saat jumlah pemeluk Islam sedikit dan
mayoritas penduduk adalah orang-orang kafir.” Al-Jasshash juga
meriwayatkan apa yang diriwayatkan apa yang diriwayatkan al-Hasan,
“sesungguhnya keberadaan orang-orang muallaf adalah pada masa Nabi,
adapun sekarang mereka sudah tidak ada lagi.”12
Jadi menghapus subsidi untuk mereka adalah sebagai upaya untuk
memperhatikan apa yang telah dicapai Rasulullah, dan bukan berarti
menasakhnya (menghapusnya). Karena yang menjadi kewajiban adalah
mengagungkan agama Islam, yaitu dengan memberikan bagian mereka
(saat Rasul), dan saat Abu Bakar dan Umar malah sebaliknya. Untuk
mencapai keagungan itu, mereka harus tidak memberikan bagian zakat
kepada mereka.13
Inilah pandangan jitu tentang tujuan tasyri‟ dan
hikmahnya.
Sekali lagi, Umar dan para sahabat tidak pernah menasakh al-Qur‟an
atau membatalkan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Ada
perbedaan mendasar antara membatalkan atau mengeliminasi nash dengan
penangguhan nash sementara pengamalannya sampai ditemukan kembali
segala perlengkapannya. Perbedaan ini akan semakin tampak jelas, mana
kala pada kondisi-kondisi tertentu dimungkinkan munculnya kembali hal-
hal tersebut. Sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Abdul Aziz
12
Al-Jasshas, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal. 183 13
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 477
76
ketika memberikan kepada Al-Bithriq (komandan pasukan Romawi yang
membawahi 10.000 pasukan) mata uang sebanyak seribu dinar, demi
menjaga kepentingan dan kemaslahatan orang-orang Islam, dan sebagai
pengamalan dari ayat-ayat al-Qur‟an dan sunnah Nabi.14
Merupakan dalil aksiomatis (yang sudah jelas kebenarannya), jika
seandainya ayat ini telah dinasakh atau dibatalkan pada masa kekhalifahan
Abu Bakar, tentu tidak boleh lagi digunakan setelahnya. Dan perlu juga
ditegaskan bahwa setelah masa risalah berakhir, dan wahyu pun telah
selesai turun, tidak ada seorang pun yang bisa coba-coba menasakh satu
huruf pun dari teks-teks al-Qur‟an. Dan ini adalah realita tertinggi dalam
hukum Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam berkata, “sesungguhnya ayat
tentang orang-orang yang berhak menerima zakat di atas, adalah ayat-ayat
muhkam yang tidak pernah aku ketahui penasakhannya, baik oleh ayat Al-
Qur‟an yang lain maupun Sunnah. Jadi seandainya ada kelompok-kelompok
yang tidak senang dengan Islam, kecuali ia mendapatkan bagian-bagian
yang menguntungkannya (mendapatkan bagian zakat, misalnya) dan
memerangi mereka justru akan menimbulkan bahaya yang lebih besar
terhadap Islam, karena kekuatan dan besarnya jumlah mereka, maka
seorang pemimpin boleh memberi mereka bagian harta zakat. Apa yang
dilakukan imam atau pemimpin itu dengan memberikan bagian,
berdasarkan tiga alasan mendasar, yaitu:
14
Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub, hal. 64
77
1. Mengamalkan Al-Aqur‟an dan sunnah
2. Menyelamatkan orang-orang Islam
3. Sesungguhnya seorang imam tidak dianggap putus asa atau pengecut,
bila bersikap lunak kepada mereka, jika ada keyakinan bahwa mereka
akan tahu hakikat islam, dan menjadikan mereka akan senang dengan
Islam.
Karena itulah, Abu Ubaid berpendapat, “Perintah memberikan
bagian kepada muallaf adalah perintah abadi sepanjang masa.15
Adapun
parameter ada dan tidaknya muallaf, berikut kadar yang harus diberikan
kepada mereka, kesemuanya dikembalikan pada kebijakan imam atau
penguasa setempat.”
Menurut kesimpulan saya, bahwa kaum muslimin di masa Abu
Bakar dan Umar memang benar-benar mengalami puncak kejayaannya,
sehingga tidak butuh lagi untuk mencari dukungan atau merayu orang non
muslim, yang hal ini berarti menafikan adanya muallaf. Jadi bukan
menasakh ayat atau sunnah yang ada, karena hukum keduanya adalah abadi,
sampai adanya kembali kebutuhan Islam akan para muallaf, sehingga ayat
dan sunnah ini dapat kembali lagi dipraktikkan.
15
Abu Ubaid, Al-Amwal, Beirut : Dar al-Fikr al-Muashir, 1983, hal.607
78
B. Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf
sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama’
Telah diketahui dengan masyhur bahwa Umar menghapuskan
bagian zakat yang diberikan kepada orang-orang muslim atau non muslim
tertentu untuk mendekatkan atau melunakkan hati mereka sebagaimana
diperintahkan al-Qur‟an. Rasulullah biasanya memberikan bagian ini pada
kepala suku Arab tertentu dengan tujuan untuk menarik mereka agar
memeluk Islam atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum
muslimin. Bagian ini diberikan pula pada orang-orang muslim yang baru
sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh. Tetapi Umar
mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar dikala ia masih menjadi
khalifah untuk memberikan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang. Atas
dasar ini, Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah memberikan bagian itu
untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian
itu tidak berlaku lagi. Tindakan Umar ini tampaknya bertolak belakang
dengan al-Qur‟an, tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada
dan mengikuti ruh perintah al-Qur‟an. Pertimbangan pribadinya
membawanya pada keputusan bahwa seandainya Rasulullah hidup dalam
kondisi yang sama, tentu beliau akan memutuskan hal yang serupa.16
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa bagian muallaf pernah
digugurkan terdapat pula dua tinjauan yang berbeda yang dampaknya ikut
mempengaruhi perkembangan pemikiran dewasa ini. Tinjauan pertama
16
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic
Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970, hal. 107
79
mengatakan bahwa konsensus (persetujuan umum) sahabat yang terjadi
pada masa Abu Bakar yang menggugurkan bagian muallaf tersebut telah
menasakh bagian muallaf yang terdapat pada ayat 60 surat at-Taubah.
Pemikiran semacam inilah barangkali yang membawa adanya teori lokal
dan temporal pada ayat-ayat al-Qur‟an. Sementara itu tinjauan yang kedua
berpendapat bahwa pengguguran bagian muallaf pada masa sahabat itu
bukanlah berarti sama dengan pembatalan (nasakh), tetapi yang sebenarnya
adalah „penghentian hukum disebabkan berhenti (tidak terpenuhi) „illatnya.‟
Pendekatan yang kedua ini nampaknya membuka pintu bagi teori adanya
sifat-sifat situasional dan kondisional ayat-ayat al-Qur‟an.17
Sebelum mengulas lebih mendalam tentang pandangan ulama,
khususnya bagaimana ulama khalaf memposisikan pemikiran Umar bin
Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, ada
baiknya penulis sedikit mengulas tentang definisi ulama khalaf
(kontemporer) disini dan siapa saja ulama-ulama kontemprer tersebut yang
penulis kutip pendapatnya berhubungan dengan pemikiran Umar tersebut.
Kata khalaf berarti yang terkemudian. Ulama khalaf (kontemporer)
adalah ulama islam yang hidup dari awal 300 tahun sesudah hijriyah sampai
sekarang.18
Ibnu Taimiyah membatasi masa salaf ialah sejak masa
Rasulullah sampai 300 tahun Hijriah. Sedang masa setelah 300 Hijriah
17
Amiur Nuruddin, Op.Cit., hal. 143 18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997,
hlm. 1449
80
sampai sekarang dinamakan masa khalaf. Namun batasan itu sebenarnya
tidak dijelaskan oleh agama, tetapi hanya pendapat Ibnu Taimiyah saja.19
Kalau ditinjau ulang lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi
sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi'in dan Tabi' Tabi'in, tegasnya
sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya suatu madzhab yang
bernama "Madzhab Salaf". Bahkan batas waktu yang tegas antara yang
dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam
Al-Quran maupun dalam Hadits.20
Ada kemungkinan istilah-istilah ini muncul pada abad ke IV H.
Imam Ghazali (Lahir 450 H. - wafat 505 H.) telah mempergunakan istilah-
istilah ini dalam kitabnya "Iljamul Awam fi Umil Kalam", yaitu kitab yang
paling akhir dikarangnya atau yang paling akhir kitab Tauhid yang
dikarangnya. Sesudah zaman Imam Ghazali banyak ulama-ulama
Ushuluddin dan ulama-ulama Tafsir menyebut dalam kitab-kitabnya
perkataan "Thariqatus Salaf (Aliran Orang Terdahulu), Thariqatul Khalaf"
(Aliran Orang Terkemudian).21
Adapun alasan penulis mencantumkan pendapat atau pandangan
ulama kontemporer disini adalah untuk dapat membaca dan menganalisa
pemikiran umar bin khattab pada konteks masa kini. Dan diantara ulama-
ulama kontemporer yang penulis kutip pendapatnya antara lain ; Imam
Asy-Syaukani (1173-1251 H), Ibnu Rusyd (526-595 H), Sayyid Quthb
19
Muhaimin, Ilmu kalam Sejarah dan Aliran-Aliran, Yogyakarta : IAIN Walisongo,
1999, hlm. 156. 20
Ibid, hlm. 147 21
Ibid.
81
(1906-1969 M), Sayyid Sabiq (1915-2000 M), Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-
1975 M), dan Yusuf Qardawi (1926-1961 M).
Yang pertama, Imam Asy-Syaukani (1173-1251 H) dalam
hubungannya dengan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran
hak muallaf sebagai mustahiq zakat, berkata; “Bahwasanya boleh memberi
bagian kepada muallaf sewaktu-waktu diperlukan. Bila disuatu masa ada
kelompok yang tidak bisa ditundukkan kecuali derngan harta, dan sudah
tidak mungkin menundukkan mereka kecuali dengan jalan itu. Maka
patutlah kiranya mereka dibujuk hatinya untuk menarik simpatinya, dan
tidak berarti mengurangi arti penyebaran Islam, karena memang penyebaran
Islam menjadi tidak representatif dalam kasus ini.”22
Jadi, ayat tentang al-muallafah qulubuhum adalah bersifat abadi
sepanjang masa, yang mana orang-orang muslimin jika sedang
membutuhkan orang-orang muallaf ini demi kemajuan dan gerak laju Islam,
maka timbul kembali apa yang diakatakan al-muallafatu qulubuhum dan
mereka ini berhak untuk mendapatkan bagian zakat.
Sebenarnya, orang-orang yang mengatakan bahwa setelah masa
Umar tidak ada lagi muallaf, itu tidak lebih dari sudut pandang mereka
berdasar kenyataan kondisi masyarakat Islam ketika itu yang sudah kuat,
sehingga saat itu tidak dibutuhkan lagi al-muallafah qulubuhum.
Ibnu Rusyd (526-595 H) dalam memberikan jawaban terhadap
pertanyaan, “masih adakah orang-orang muallaf paska periode awal Islam?”
22
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jil. III, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 179
82
mengatakan, “Imam Malik berkata, sekarang sudah tidak ada lagi muallaf.
Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah mengatakan, bahwa bagian atau hak
muallaf untuk mendapatkan zakat adalah abadi sepanjang masa, jika
memang imam berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang yang
dibujuk hatinya olah imam (penguasa) demi kepentingan Islam. Adapun
sebab perbedaan pendapat mereka dalam masalah ini adalah, apakah
kekhususan ini hanya untuk Nabi ataukah juga untuk umatnya secara
umum? Tentu, jawabannya adalah untuk umum. Apakah kebolehan bagi
imam untuk memberikan bagian itu mutlak atau terbatas? Artinya, apakah
hanya dalam kondisi-kondisi lemah saja, seorang imam boleh memberikan
hak itu?
Berdasar inilah, Imam Malik mengatakan, “Sekarang kita tidak
butuh lagi muallaf. Karena Islam sudah sangat kuat. Inilah sebagaimana
diketahui dari sudut pandang berdasar kemaslahatan.23
Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan
antara ketiga Imam madzhab tersebut, Malik, Asy-Syafi‟i, dan Abu
Hanifah. Karena pandangan Imam Malik berdasar pada kondisi umat Islam
saat itu, yang memang dianggapnya benar-benar kuat, sehingga illat
(alasan) untuk memberi mereka bagian zakat hilang. Adapun jika demi
kemaslahatan muslimin adalah dengan memberi bagian kepada mereka.
Maka illat itu muncul lagi, sehingga mereka kembali diberikan haknya. Dan
23
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta :
Pustaka Amani, hal. 613
83
parameter maslahat ini dikembalikan sepenuhnya kepada imam, yang hal
ini adalah sesuai dengan pendapat Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah.
Bagi mereka yang berpendapat bahwa Umar pernah menghentikan
hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” adalah dengan alasan bahwa
berawal ketika Umar merobek surat yang dibawa oleh Uyainah bin Hishn
dan Aqra bin Habis pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan waktu
itu Umar sebagai pemegang atau penjaga baitul mal, kemudian Umar
berkata :
“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir”.
24
Sayyid Quthb (1906-1969 M) berpendapat bahwa, terdapat
perbeedaan pendapat dikalangan fuqaha mengenai siapa diantara muallaf ini
yang tidak lagi berhak mendapatkan zakat setelah islam menjadi kuat. Akan
tetapi, sistem gerakan agam Islam ini akan senantiasa menghadapi tahapan
dan keadaan yang bermacam-macam. Sehingga, diperlukan memberi
kelompok manusia semacam ini dengan cara ini. Mungkin untuk membantu
meneguhkan hati mereka atas ke Islaman mereka, jika mereka mendapatkan
problem ekonomi setelah masuk Islam. Atau boleh jadi untuk mendekatkan
mereka kepada Islam seperti sebagian orang non muslim yang diharapkan
akan bermanfaat bagi Islam dengan terus didakwahi untuk masuk Islam,
24
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997,
hal. 1954.
84
atau dia akan menghentikan gangguannya terhadap islam di sana-sini. Kita
mengerti hakekat ini. Maka, kita lihat realitas kesempurnaan kebijaksanaan
Allah dalam mengatur urusan kaum muslimin dalam situasi dan kondisi
yang berbeda-beda.25
Sayyid Sabiq (1915-2000 M) berpendapat, bahwa apa yang
dilakukan Umar merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Umar melihat bahwa
memeberikan pemberian kepada mereka (muallaf) setelah Islam tumbuh
dengan kokoh di dalam bangsa Arab tidak mengandung maslahat. Jika
mereka keluar dari Islam, hal itu tidak menimbulkan dampak yang
merugikan terhadap Islam. Adapun Utsman dan Ali yang tidak memberikan
bagian zakat kepada muallaf tidak dapat dijadikan alasan terhapusnya
bagian muallaf karena bisa jadi keduanya pada saat itu memandang tidak
perlu memberikan zakat kepada orang kafir. Hal ini tidak bertentangan
dengan tetapnya bagian muallaf untuk orang yang membutuhkan. Terlepas
dari itu semua landasan utama dalam istidlal adalah Al-Qur‟an dan as-
Sunnah. Kedua sumber inilah yang harus dijadikan pegangan.
Pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa memberikan
bagian muallaf kepada orang kafir ketika dipandang perlu adalah boleh.
Jika pada suatu saat ada kaum kafir yang tidak mau menaati pemerintah,
kecuali karena dunia dan pemerintah tidak mempu membuat mereka masuk
Islam kecuali dengan paksaan, maka pemerintah boleh memberikan zakat
25
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur‟an, terj. Jil. V, Jakarta : Gema Insani Press, 2003
hal. 370.
85
kepada mereka. Tersebarnya Islam dalam keadaan itu tidak dapat menjadi
alasan untuk menggugurkan bagian muallaf.26
Senada dengan Sayyid Sabiq, Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975 M)
berpendapat sesungguhnya apa yang dipahami Umar adalah suatu ijtihad
dari padanya. Dia berpendapat tidak ada lagi maslahat memberikan kepada
mereka bagian muallaf. Mengenai Utsman dan Ali tidak memberikan
bagian ini tidak menjadi dalil bahwa bagian ini telah digugurkan, karena
mungkin dirasa tidak perlu menjinakkan hati seseorang kafir dan hal ini
tidak menggugurkan bagian tersebut. Pendapat kepala negara yang merasa
perlu dapat mengadakannya.27
Dalam hal ini Hasbi Ash-Shiddieqy
mengungkapkan, hendaklah kita berpegang kepada pendapat ahli syura
dalam suatu masa, sebagaimana telah dilakukan oleh para khulafa dalam hal
ijtihad, baik mengenai perlu tidaknya diadakan bagian muallaf itu menurut
keadaan dan masa, maupun mengenai jumlah yang diberikan dari bagian
rampasan dan lain-lain.
Yusuf Qardawi (1926-1961 M) berpendapat bahwa pengakuan
adanya nasakh dengan perbuatan Umar sama sekali tidak bisa dijadikan
alasan. Umar hanya mengharamkan memberi zakat kepada sekelompok
orang yang pernah mendapatkan bagian muallaf di zaman Rasulullah. Ia
berpendapat, bahwa sekarang sudah tidak diperlukan lagi membujuk hati
mereka, karena Allah telah memperkuat Islam. Umarlah yang benar dengan
tidak berlebihan atas perbuatannya itu, karena muallaf itu bukan sesuatu
26
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. jil.I, Jakarta : PT Pena Pundi Aksara, 2009, hal. 680-
681. 27
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, hal. 191-192
86
yang bersifat tetap dan tidak pula seorang yang muallaf pada suatu masa,
tetap muallaf pula pada masa yang lain. Dan penetapan ada tidaknya
kebutuhan pada muallaf serta penentuan orang-orangnya, adalah masalah
yang harus dikembalikan kepada penguasa. Merekalah yang menentukan
apa yang lebih baik dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.28
Para ulama ushul fiqh telah menetapkan, bahwa pengaitan sesuatu
hukum dengan sesuatu sifat yang musytak (ada asal katanya), menunjukkan
adanya illat (sebab yang terdapat pada sifat tersebut).
Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan yang
muallaf hatinya, manunjukkan bahwa ta‟lif al-qulub (membujuk hati)
merupakan illat menyerahkan kepada mereka. Maka apabila illat itu ada –
yakni pembujukan – mereka harus diberi, akan tetapi bila illat itu tidak ada,
maka mereka tidak perlu diberi.29
Umar bin Khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak
berarti menentang nash atau menasakh syara‟. Karena zakat itu harus
diberikan kepada kelompok asnaf yang delapan, yang telah dijadikan Allah
sebagai orang yang berhak mendapatkan.
Apabila salah satu asnaf tidak ada, maka hilanglah bagiannya. Bila
terjadi demikian, jangan dikatakan bahwa hal itu bertentangan dengan kitab
Allah atau merupakan nasakh padanya. Misalnya, apabila tidak ada bagian
“riqab/ untuk memerdekakan budak belian”, seperti di zaman kita sekarang
yang menghilangkan perbudakan perorangan, maka hilanglah bagian ini.
28
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal. 571 29
Ibid.
87
Tetapi jangan dinyatakan, bahwa dengan hilangnya bagian ini telah
menasakh Al-Qur‟an atau bertentangan dengan nash.30
Dengan demikian apa yang diperbuat Umar dengan alasan apa pun
juga bukan merupakan nasakh terhadap hukum memberi zakat pada
golongan muallaf, apalagi bila hal itu dinyatakan sebagai ijma‟ sahabat.
Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa sekarang tidak ada
muallaf, sama sekali bukan nasakh, akan tetapi hal itu hanya pemberitahuan
dari suatu keadaan di masanya.
Imam Syatibi (720-790 H/1368-1388 M) telah mengemukakan
pendapatnya dalam masalah yang sama seperti ini, bahwa hukum apabila
telah tetap dan berlaku pada muallaf, maka pengakuan adanya nasakh
terhadap hukum tersebut harus dengan perintah yang jelas pula. Oleh
karena hukum zakat untuk golongan muallaf terlebih dahulu ditetapkan
berdasarkan perintah yang jelas, jadi menghilangkan setelah diketahui
tetapnya nash, juga harus dengan perintah yang jelas.31
Dari uraian pendapat-pendapat ulama diatas, dapat diambil garis
besar bahwa ulama-ulama khalaf disini sepakat bahwa bagian golongan
muallaf ini tetap ada, tidak pernah dinasakh, telah ditetapkan dengan nash
yang sudah pasti, yaitu ayat Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat At-
Taubah, yang termasuk kelompok terakhir ayat Al-Qur‟an yang diturunkan.
Adapun bagaimana mereka mendudukkan pemikiran Umar bin
Khattab berkenaan tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq
30
Ibid. 31
Ibid., hal. 572
88
zakat, sebagaimana Sayyid Sabiq, Hasbi ash-Shiddieqy, Yusuf Qardawi dan
yang lainnya menyebutkan, bahwa Abu Bakar samasekali tidak menolak
ucapan dan perbuatan Umar itu, demikian pula para sahabat, sehingga
masalah tersebut merupakan kesepakatan (ijma‟) para sahabat.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Alasan ijtihad Umar bin Khattab menggugurkan hak bagi asnaf “al-
muallafah qulubuhum” sebagai penerima zakat adalah karena adanya
suatu „illat (alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan tersebut)
yaitu keadaan “lemah agama” dan keadaan umat Islam pada permulaan
sejarahnya yang masih minoritas sehingga diberikannya bagian harta zakat
kepada kelompok “al-muallafah qulubuhum” adalah di samping mereka
diharap berubah dan masuk Islam, juga untuk menolak kemungkinan
datangnya kejahatan dari mereka. Namun pada masa khalifah Abu bakar,
keadaan umat Islam telah cukup kuat dan tidak diperlukan lagi untuk
melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat kepada golongan
muallaf (dari golongan orang kafir) dihentikan Umar bin Khattab, karena
„illat hukumnya sudah tidak ada lagi.
2. Pendapat para ulama terhadap hasil pemikiran Umar bin Khattab yang
tidak memberikan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” dari
golongan orang kafir sebagai penerima zakat tidak seorang pun
menentangnya pada saat itu (pada masa khalifah Abu Bakar dan pada
masa khalifah Umar bin Khattab itu sendiri), akan tetapi lain halnya
dengan ulama yang datang kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai
status asnaf “al-muallafah qulubuhum”, akan tetapi pada umumnya
90
mereka tidak menyalahi apa yang telah dilakukan Umar pada saat itu,
ulama-ulama khalaf (kontemporer) disini sepakat bahwa bagian golongan
muallaf ini tetap ada, tidak pernah dinasakh, telah ditetapkan dengan nash
yang sudah pasti, yaitu ayat Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat At-
Taubah, yang termasuk kelompok terakhir ayat Al-Qur‟an yang
diturunkan. Adapun bagaimana mereka mendudukkan pemikiran Umar
bin Khattab berkenaan tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq
zakat, sebagaimana Sayyid Sabiq, Hasbi ash-Shiddieqy, Yusuf Qardawi
dan yang lainnya menyebutkan, bahwa Abu Bakar samasekali tidak
menolak ucapan dan perbuatan Umar itu, demikian pula para sahabat,
sehingga masalah tersebut merupakan kesepakatan (ijma‟) para sahabat.
B. Saran-saran
1. Dari pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf
sebagai mustahiq zakat, perlu dipahami bahwa ada perbedaan mendasar
dan signifikan antara istilah “menghapus dan membatalkan” dengan
kalimat “menggugurkan dan menghentikan untuk sementara” bagian
mustahiq tertentu karena mereka tidak ditemukan lagi. Karena dengan
istilah yang kedua ini, mereka akan tetap diberikan haknya jika mereka
ternyata muncul dan ditemukan lagi.
2. Dan dengan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak
muallaf sebagai mustahiq zakat ini jelas pula bagi kita salahnya pendapat
sebagian orang di zaman sekarang yang menyatakan bolehnya tidak
91
mempergunakan nash atau bertentangan dengannya, jika kemaslahatan
menghendakinya. Mereka beralasan dan memperkuat pendapatnya dengan
telah menghilangkannya Umar akan golongan muallaf.
3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan kepada umat Islam, khususnya
bagi badan distributor zakat, seperti BAZIS, LAZIS, BAZ, dan lainnya
agar mengetahui konsep muallaf dan tasarruf al-zakah bagi golongan ini,
sehingga mereka menyadari bahwa pemberian zakat kepada golongan
muallaf tidak hanya kepada mereka yang baru masuk Islam, tetapi juga
kepada non-muslim sebagai salah satu bentuk dakwah untuk mengajak
mereka memeluk agama Islam.
C. Penutup
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada semua yang telah membantu dan
memberi dukungan serta semangat untuk segera menyelesaikan penulisan
skripsi yang sederhana ini.
Tentu saja penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dan
sudah pasti disana-sini masih terdapat begitu banyak kekurangan. Semua itu
harus diakui sebagai sebuah kekurangan dari penulis. Sambil berupaya terus
untuk menyempurnakan penulisan, penulis ingin menyampaikan permohonan
maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kekurangan atau pun kekeliruan,
baik dalam penulisan, ejaan atau pun peletakkan posisi kerangka penulisan.
92
Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan penulisan karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga dapat diambil
manfaat dari penulisan skripsi ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Zainal Arifin, Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW, Medan : Pustaka
Indonesia, 1964
Al-Aqqad, Abbas Mahmud, Abqari’ah Umar. Dar al-Hilal
Al-Asqalani, ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adilatil Ahkam, Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2002
Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shohih al-Bukhori, Juz II, Dar
ibnu Katsir
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Fikih ekonomi Umar bin Al-Khattab, Jakarta :
Khalifa, 2006.
Al-Islami, Qatadah al-Fath, Umar bin Khattab al-Faruq al- Qaid, Beirut :
Maktabah al Hayaah.
Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, jil. III, Dar al-Fikr.
Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, vol. 1, cet. III,
Beirut : Dar Ihya al-Turats al-Arabi
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, vol. 1, Beirut: Dar al-Fikr,
1994
Al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr,
1997
Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Beirut : Dar al-Kutub, 1975
An-Naisaburi, Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih
Muslim, Juz IV, Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan tafsir ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani
Press, 1999.
Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1996
___________, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1971
As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah
___________, Nail al-Authar, jil. III, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al- Kutub al-Ilmiyah
___________, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz V, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi
Azwar, Saifudin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998
Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa,
2005
Basyir, Ahmad Azhar, pokok-pokok Ijtihad dalam hukum Islam, dalam jalaludin
Rohmad 1988 Ijtihad dalam sorotan, Bandung : Mizan.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma
Examedia Arkanleema, 2009
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jil. I, Yogyakarta : ANDI, 2000
Haekal, Muhammad Husain, Umar bin Khattab. Bogor : Litera AntarNusa. 2011
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of
Islamic Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970
Katsir, Ibnu, Musnad al-Faruq Amir al-Mu’minin, Juz I, Dar al-Wafa’
___________, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, (terj. Al
Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin), Jakarta: Dar al-Haq
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Semarang : Dina Utama, 1994.
Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remadja Karya,
1989
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif,
1997
Musa, Muhammad Yusuf, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub
Nuruddin, Amiur, Ijtihad ‘Umar ibn al-Khaththab : Studi tentang Perubahan
Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987
Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002
Qayyim, Ibnul, A’lam Al-Muwaqqi’in, juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, terj. Jil. V, Jakarta : Gema Insani Press,
2003
Ra’ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattab, terj.
Economic System Under Umar The Greath, Jakarta : Pustaka Firdaus,
1992
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma’arif, cet.7, 1984
Ridho, Muhammad, Umar ibn al-Khattab al-Faruq, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah
Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta :
Pustaka Amani
Sa’ad, Ibnu, Ath-Thabaqat al-Kubro, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1983
Sarwat, Ahmad, Seri Fiqih Kehidupan 4 : Zakat, Jakarta : DU Publishing, 2011
Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1999
Sjadzali, Munawir, Ijtihad kemanusiaan, Jakarta : Paramadina, 1997.
Sou’yb, Joesef, Sejarah daulat khulafaur Rasyidin, Jakarta : Bulan Bintang.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1998
Ubaid, Abu, Al-Amwal, Beirut : Dar al-Fikr al-Muashir, 1983
Zahroh, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir : Dar al-fikr
al-Arabi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Syaifudin
NIM : 062311006
TTL : Semarang, 2 Oktober 1984
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Krajan RT 04/I, Mangkang Wetan, Tugu, Semarang, 50156
No Telp/HP : 085290760777
Pendidikan : - MI Muhammadiyah Ngaliyan Semarang, lulus tahun 1997
- SLTP Muhammadiyah 9 Tugu Semarang, lulus tahun 2000
- KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, lulus tahun
2004
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 2006
Pengalaman Organisasi;
1. Pengurus HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) MU/EI Fakultas Syariah (2008)
2. Sekretaris ForSHEI (Forum Studi Hukum Ekonomi Islam) Fakultas Syariah (2009)
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 12 Juni 2012
Hormat Saya,
Muhammad Syaifudin