PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT...

107
PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT (ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah Oleh : MUHAMMAD SYAIFUDIN NIM 062311006 JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2012

Transcript of PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT...

PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

(ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG

PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

MUHAMMAD SYAIFUDIN

NIM 062311006

JURUSAN MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

IAIN WALISONGO SEMARANG

2012

ii

Dr. H. Imam Yahya, M.Ag.

Perum Perdana Merdeka H/2 Ngaliyan Semarang

H. Tolkah, M. A.

Karonsih Baru Raya No.87 RT 3/XII Ngaliyan Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks.

Hal : Naskah Skripsi

An. Sdr. Muhammad Syaifudin

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini

saya kirim naskah skripsi Saudara:

Nama : Muhammad Syaifudin

NIM : 062311006

Jurusan : Muamalah

Judul Skripsi : PENGGUGURAN HAK MUALLAF

SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

(ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN

KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN

HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ

ZAKAT)

Dengan ini saya mohon kiranya naskah saudara skripsi tersebut dapat

segera diujikan.

Demikian harap menjadikan maklum.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Semarang, 13 Juni 2012

Pembimbing I , Pembimbing II,

Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. H. Tolkah, M. A.

NIP. 19700410 199503 1 001 NIP. 19690507 199603 1 005

iii

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG

Jl. Prof. Hamka Km. 02 Semarang Telp/Fax. (024)7601291

PENGESAHAN

Skripsi saudara : Muhammad Syaifudin

NIM : 062311006

Judul : PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI

MUSTAHIQ ZAKAT (ANALISIS PEMIKIRAN

UMAR BIN KHATTAB TENTANG

PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI

MUSTAHIQ ZAKAT)

telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah Institut Agama

Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat

cumlaude/baik/cukup, pada tanggal:

27 Juni 2012

dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 tahun

akademik 2011/2012

Semarang, 27 Juni 2012

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

H. Muhammad Saifullah, M.Ag. H. Tolkah, M. A.

NIP. 19700321 199603 1 003 NIP. 19690507 199603 1 005

Penguji I Penguji II

Dr. H. Musahadi, M.Ag. Afif Noor, S.Ag, S.H, M.Hum.

NIP. 19690709 199403 1 003 NIP. 19760615 200501 1 005

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Imam Yahya, M.Ag. H. Tolkah, M. A.

NIP. 19700410 199503 1 001 NIP. 19690507 199603 1 005

iv

MOTTO

“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka barang siapa

yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)

biarlah ia kafir”.

(QS. Al-Kahfi : 29)

v

PERSEMBAHAN

Dengan setulus hati dan penuh kasih, ku persembahkan karya tulis skripsi

ini untuk;

Bapak dan ibu tercinta (Bapak Kamalin dan Ibu Muaenah), kakak dan

adik yang ku sayangi (Mas Zaenal Arifin dan Imam Munajat) serta

seluruh keluarga besar yang ku banggakan.

Ummi Khadijah yang sangat ku sayangi

Ustadz Ahmad Mifdhol Muthohar beserta keluarga

Seluruh Asatidz di PONPES Al-Hikmah Karanggede

Seluruh santri PONPES Al-Hikmah Karanggede

Untuk semua orang yang memberi warna dalam perjalanan hidupku

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis

menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah

pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain,

kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang

dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 12 Juni 2012

Deklarator,

Muhammad Syaifudin

062311006

vii

ABSTRAK

Menurut syariat Islam, mustahiq zakat berjumlah delapan (al-asnaf ats-

tsamaniyah), dan salah satunya adalah kelompok muallaf. Pada masa kenabian,

zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk menarik simpati orang-orang kafir

terhadap Islam, demikianlah pemberian zakat kepada orang-orang muallaf tetap

berlanjut hingga Rasulullah wafat.

Dan pada masa Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi

memberikan bagian muallaf kepada yang berhak, berpijak pada Umar bin Khattab

yang dengan tegas menolak memberikan bagian zakat kepada para muallaf di

masa pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya. Padahal sejak masa

Nabi mereka terus menerus menerima zakat. Di sinilah Umar mengeluarkan satu

statemen hukum, bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian

zakat, yang tidak ada satu pun dari sahabat yang menentangnya. Sehingga

pendapat Umar bin Khattab tersebut menjadi ketetapan (ijma‟) para sahabat dan

dianggap menasakh bagian muallaf.

Berpijak dari uraian tersebut, ada dua permasalahan yang dirumuskan,

pertama, Apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada

muallaf sebagai mustahiq zakat? Kedua, Bagaimana fuqaha kontemporer

mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf

sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh?

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research).

Yang menelaah kisah Umar bin Khattab dari berbagai referensi buku. Dalam

penelitian ini, penulis tidak membedakan jenis data primer maupun sekunder,

karena Umar bin Khattab tidak meninggalkan karya yang bisa dikategorikan

sebagai sumber data primer (primary source). Namun data-data penulis

kumpulkan dari berbagai sumber yang relevan dengan pembahasan tema ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu

dengan memaparkan kembali data yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya

menganalisa data tersebut secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat

akurasi data yang sudah ada. Disamping juga menggunakan metode Ushuliyah

guna memahami hakikat pemikiran Khalifah Umar bin Khattab dalam hal

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Karena Umar hidup pada

beberapa abad lalu, maka digunakan pendekatan sejarah untuk merekontruksi apa

yang terjadi pada masa dahulu agar bisa dicerna pada saat ini.

Hasil dari penelitian ini adalah, pertama, Umar bin Khattab

menggugurkan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” sebagai penerima zakat

adalah karena adanya suatu „illat (alasan-alasan dibalik solusi-solusi dan

keputusan tersebut) yaitu keadaan “lemah agama” dan keadaan umat Islam pada

permulaan sejarahnya yang masih minoritas sehingga diberikannya bagian harta

zakat kepada kelompok “al-muallafah qulubuhum” adalah disamping mereka

diharap berubah dan masuk Islam, juga untuk menolak kemungkinan datangnya

kejahatan dari mereka. Namun pada masa khalifah Abu bakar, keadaan umat

Islam telah cukup kuat dan tidak diperlukan lagi untuk melunakkan musuh-musuh

Islam, maka pemberian zakat kepada golongan muallaf (dari golongan orang

kafir) dihentikan Umar bin Khattab, karena „illat hukumnya sudah tidak ada lagi.

viii

Kedua, dalam khazanah ilmu fiqh, fuqaha kontemporer berbeda pendapat

mengenai status asnaf “al-muallafah qulubuhum”, akan tetapi pada umumnya

mereka tidak menyalahi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak

muallaf sebagai mustahiq zakat. Mereka mendudukkan pemikiran Umar tersebut

sebagai dasar ijtihad dengan ketentuan jika jiwa yang melatar belakangi („illat

hukum) itu masih terlihat, maka ketentuan hukum berlaku, sedangkan jika jiwa

yang melatar belakangi itu tidak terlihat atau tidak sesuai dalam penerapannya

pada suatu saat dan keadaan tertentu, maka ketentuan hukum yang disebutkan

dalam nash tersebut tidak perlu lagi untuk dilaksanakan.

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT. Karena hanya berkat rahmat, Taufiq, Hidayah, dan Inayah-Nya,

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Sholawat dan Salam penulis haturkan kepada junjungan baginda Nabi

Muhammad SAW., yang memberikan uswatun hasanah kepada umatnya

bagaimana berperilaku sehari-hari, baik kepada Allah SWT, maupun kepada

sesama manusia.

Penulis tidak dapat mengelak bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak

lepas dari peran serta orang-orang di sekitar penulis. Oleh karena itu penulis

haturkan terima kasih kepada;

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo.

2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah, dan

juga dosen pembimbing I yang sudi meluangkan waktu untuk mengoreksi

dan memberi arahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Moh. Arifin, M.Hum, dan Bapak Afif Noor, S.Ag, S.H, M.Hum.,

sebagai kajur dan sekjur Muamalah yang senantiasa memberi nasehat.

4. Bapak H. Tolkah, M.A., sebagai dosen pembimbing II, yang

menyempatkan waktunya untuk menelaah dari bab perbab pembuatan

skripsi ini.

5. Segenap dosen yang telah mendidik dengan tulus, terima kasih atas ilmu

yang ditularkan, dan para pegawai di Fakultas Syari‟ah yang telah

memberi pelayanan administratif kepada mahasiswa.

6. Bapak H. Ahmad Mifdhol Muthohar, Lc, MSI., selaku Direktur PONPES

Al Hikmah, yang selalu membimbing dan memotivasi penulis.

7. Teman-teman kelas MUA dan MUB angkatan 2006, Hasan, Munip, Bety,

Yeni, Helin, Yusmanto, Nazil, Aan, Aniq, dll.

Semoga karya tak seberapa ini bermanfaat. Sukses selalu untuk kita semua.

Semarang, 12 Juni 2012

Penulis

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v

HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8

D. Telaah Pustaka ................................................................................... 9

E. Metode Penelitian .............................................................................. 12

F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14

BAB II BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB

A. Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk Islam ......................... 16

B. Keutamaan Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi dan Khalifah ... 26

C. Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi

Metode Ijtihadnya .............................................................................. 34

BAB III PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG

PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ

ZAKAT

A. Pengertian dan Klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum ...... 45

xi

B. Pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf

sebagai mustahiq zakat ...................................................................... 52

C. Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab

menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat ......................... 61

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB

TENTANG PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI

MUSTAHIQ ZAKAT

A. Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat ............................ 65

B. Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak

muallaf sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama‟ ............... 78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 89

B. Saran .................................................................................................. 90

C. Penutup .............................................................................................. 91

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Demikian

pentingnya ibadah ini, ia menduduki posisi ketiga sesudah shalat. Kata zakat

dalam berbagai bentuk dan konteksnya disebut dalam al-Qur‟an sebanyak

enam puluh kali, dua puluh enam kali diantaranya Allah menyebutkan soal

zakat selalu berdampingan penyebutannya dengan shalat dalam Al-Qur‟an.1

Ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai arti yang sangat penting dan

memiliki hubungan yang erat. Shalat merupakan ibadah jasmaniyah yang

paling utama, sedang zakat dipandang sebagai ibadah harta yang paling

mulia.2

Zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang

bersifat kemanusiaan saja dan bukan pula sekedar ibadah yang dilakukan

secara pribadi, tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang

berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan sasaran zakat.3

Pada satu sisi, memang tidak diragukan lagi, bahwa zakat itu suatu

rukun dari rukun-rukun agama, suatu fardhu dari fardhu-fardhu agama yang

wajib diselenggarakan.4

1 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004 hal. 262 2 Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma‟arif, cet.7, 1984, hal. 186

3 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563

4 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka

Rizki Putra, 1996, hal. 12

2

Zakat merupakan ibadah dan kewajiban sosial bagi para aghniya‟

(hartawan) setelah kekayaannya memenuhi batas minimal (nishab) dan

rentang waktu setahun (haul). Tujuannya adalah untuk mewujudkan

pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah satu aset – lembaga –

ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi upaya

membangun kesejahteraan ummat. Karena itu al-Qur‟an memberi rambu

agar zakat yang dihimpun disalurkan kepada mustahiq (orang-orang yang

benar-benar berhak menerima zakat).5 Dengan zakat, seseorang mampu

berada di tengah-tengah masyarakat muslim dan menciptakan

persaudaraan.6

Allah SWT adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya,

termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya

pada hakikatnya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan

dijalankan sesuai dengan kehendak Allah SWT.7

Manusia sebagai pengemban amanat berkewajiban memenuhi

ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT baik dalam pengembangan

harta maupun dalam penggunaannya. Dan zakat merupakan salah satu

ketetapan Allah yang berhubungan dengan harta, harta benda dijadikan

Tuhan sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka

zakat harus diarahkan guna kepentingan bersama.8

5 Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 259

6 Yusuf Qardawi, loc.cit, hal. 7

7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 2000, hal. 323

8 ibid

3

Menurut syariat Islam, golongan-golongan yang berhak menerima

zakat (mustahiq zakat) berjumlah delapan atau yang biasa dikenal dengan

istilah delapan asnaf, salah satunya adalah kelompok muallaf. Hal ini sesuai

dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60 :

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk

hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk

jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai

suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Bijaksana 9

Pada masa kenabian, zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk

menarik simpati orang-orang kafir terhadap Islam, seperti yang pernah

dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika memberikan zakat seratus unta

kepada Safwan bin Umayyah sebelum ia masuk Islam. Imam Muslim telah

meriwayatkan :

“Ibnu Syihab berkata, diriwayatkan Said bin Musayyib, bahwa Safwan bin

Umayyah berkata : Demi Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat)

padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus

9 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia

Arkanleema, 2009, hal. 196

4

memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku

cintai”.10

Pemberian itu diberikan sebagai pelunak hati mereka, agar tidak

terfikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka

dan untuk menarik simpati mereka untuk mau mengikuti dakwah baru ini

(Islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam

dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.11

Pada waktu setelah kemenangan pasukan Islam di Hawazin, pada

tahun 8 Hijriyah, Nabi memberikan kepada pemimpin-pemimpin kabilah

sejumlah harta yang sangat banyak. Beliau memberikan 100 ekor unta

masing-masing kepada Abu Sufyan bin Harb, putranya Muawiyah, Hakim

bin Hizam, Al-Harits bin Kildah, Al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr,

Huwaithab bin Abdul Uzza, Al-Ala‟ bin Jariyah Ats-Tsaqafi, Uyainah bin

Hisn, Al-Aqra‟ bin Habis At-Tamimi, Malik bin Auf An-Nashri dan

Shafwan bin Umayyah. Rasulullah juga memberikan 90-an ekor unta

kepada masing-masing pemuka Quraisy, yang diantaranya adalah;

Makhramah bin Naufal Az-Zuhri, Umair bin Wahb Al-Jamhi, Hisyam bin

Amr, Sa‟id bin Yarbu‟, Addi bin Qais12

dan yang lainnya.

Rasulullah memberikan zakat kepada mereka itu dan juga yang

lainnya, dan tidak memberikan bagian ini kepada banyak kaum muslimin

yang benar-benar kuat dan tulus keimanannya. Meskipun jerih payah dan

10

Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,

Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806 11

Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005,

hal. 178. 12

Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr, hal. 331

5

kesibukan mereka berjihad dan berdakwah tentunya sangat layak untuk

menerima bagian tersebut.13

Di dalam hukum Islam, para ulama‟ memberikan pengertian yang

berbeda-beda tentang muallaf. Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah dan

Hanafiyah, muallaf adalah mereka yang baru masuk Islam, sehingga orang-

orang musyrik atau non-muslim tidak berhak mendapatkan bagian zakat dari

golongan muallaf meskipun keislaman mereka dikehendaki.14

Sedangkan

ulama Malikiyah dan Hanabilah memasukkan orang-orang yang baru masuk

Islam dan orang-orang kafir ke dalam kategori muallaf.15

Imam Malik dan sebagian pengikutnya serta mayoritas ulama

Hanafiyah menetapkan bahwa bagian muallaf secara mutlak sudah gugur

karena Islam setelah wafatnya Nabi sudah menemukan momentum

kejayaannya dan banyaknya jumlah kaum muslim, sehingga jumlah

mustahiq zakat tidak lagi delapan golongan tetapi hanya tujuh golongan.

Dalil yang dijadikan argumen oleh kelompok ini adalah bahwa pada masa

Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi memberikan bagian muallaf

kepada yang berhak, berpijak pada perkataan Umar bin Khattab : 16

13

Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 180. 14

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997,

hal. 1954. Meskipun Imam Syafi‟i mengklasifikasikan golongan muallaf kepada empat macam,

namun keempat macam tersebut seluruhnya adalah mereka yang sudah masuk Islam. Lihat

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, vol. 1, cet. III, Beirut : Dar Ihya al-

Turats al-„Arabi, hal. 625. 15

Wahbah al-Zuhayli, Op.Cit., hal. 1954. 16

Ibid, hal. 1955.

6

“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang

ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir)

biarlah ia kafir”.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, dari

Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata : bahwa suatu saat,

„Uyainah bin Hishn dan al-Aqra‟ bin Habis datang kepada Khalifah Abu

Bakar untuk meminta bagian zakat mereka dari golongan muallaf berupa

tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup.

Keduanya berkata, “sesungguhnya ditempat kami ada tanah-tanah kosong,

yang yang tidak berumput dan tidak berfungsi, bagaimana jika tanah itu

anda berikan kepada kami?” Maka Abu Bakar membuat surat (catatan)

untuk mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar

tidak ada disitu, namun ketika mereka menyerahkan surat tersebut kepada

Umar, ia menolak memberikan zakat kepada mereka dan langsung

menyobek surat itu kemudian berkata, “dahulu Rasulullah menganggap

kalian sebagai muallaf, ketika Islam saat itu masih kecil dan pemeluknya

masih sedikit. Sedangkan sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan

jaya, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”17

Selanjutnya Umar bin Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29

yang berbunyi :18

17

Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat

juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam,

Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238. 18

Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat

lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah :

Lihat Wahbah al-Zuhayli,

Op.Cit.,hal. 1954.

7

“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka

barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa

yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.

Mendengar kata-kata Umar bin Khattab seperti ini, mereka langsung

datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi

khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh

Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.19

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ketika Umar bin Khattab

mengatakan demikian, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.

Bahkan Abu Bakar as-Siddiq sendiri sepakat dengan pendapatnya. Sehingga

maqalah Umar bin Khattab menjadi ketetapan (ijma‟) para sahabat dan

dianggap menasakh bagian muallaf.20

Di sini Umar bin Khattab mengeluarkan satu statemen hukum,

bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian zakat, yang tidak

ada satu pun dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui

pendapat dan apa yang dilakukan oleh Umar. Adakah dalam hal ini Umar

bin Khattab menyalahi hukum yang telah ditetapkan al-Qur‟an? Apakah

pemikiran Umar tersebut bisa dijadikan dasar hukum untuk tidak

memberikan hak muallaf sebagai mustahiq zakat?

19

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga

Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda. 20

Sayyid Sabiq, Ibid,. Bandingkan dengan Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor :

Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563.

8

Keunikan pendapat Umar bin Khattab inilah yang menjadi alasan

bagi penulis untuk meneliti lebih dalam pada sebuah penelitian dengan

judul; Pengguguran Hak Muallaf Sebagai Mustahiq Zakat (Analisis

Pemikiran Umar bin Khattab Tentang Pengguguran Hak Muallaf

Sebagai Mustahiq Zakat).

B. Perumusan Masalah

Berpijak pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka rumusan masalah yang menurut penulis menarik untuk diangkat

dalam skripsi ini adalah :

1. Apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian zakat kepada

muallaf sebagai mustahiq zakat?

2. Bagaimana ulama khalaf (kontemporer) mendudukkan pemikiran Umar

bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat

dalam khazanah ilmu fiqh?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, adapun tujuannya

antara lain :

1. Untuk mengetahui apa alasan Umar bin Khattab tidak memberikan

bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat.

2. Untuk mengetahui bagaimana ulama khalaf (kontemporer)

mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak

muallaf sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh.

9

D. Telaah Pustaka

Telaah Pustaka memuat uraian sistematis tentang penelitian yang

telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya (previous finding) yang ada

hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan.

Fungsi dari adanya telaah pustaka adalah sebagai bahan

perbandingan, apakah masalah yang akan kita bahas sudah ada yang

membahas atau belum, dan sebagai bahan masukan untuk permasalahan

yang akan kita kaji. Oleh karena itu, penulis dalam menulis skripsi ini tidak

lepas dari pada penelaahan terhadap buku-buku maupun karya yang lain

yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan penulis kaji. Oleh

karena itu, penulis akan menelaah beberapa karya ilmiah. Diantaranya :

1. Skripsi tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak (Analisis

Pendapat Khalifah Umar Bin Khattab Tentang Penundaan Penarikan

Zakat Binatang Ternak Kambing Yang Telah Mencapai Nishab) Oleh

Ahmad Munif, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Tahun 2010. Hasil

penelitian ini adalah, Penundaan penarikan zakat binatang ternak yang

telah mencapai nishab hanya diberlakukan kepada binatang ternak yang

terkena imbas dari tahun ramadah (musim paceklik). Kebijakan Umar

memberikan zakat kepada orang yang memiliki kambing sejumlah

nishab dilandasi oleh kondisi orang tersebut juga mengalami kesukaran.

Umar akan menangguhkan penarikan zakat kepada pembayar meski

hartanya telah mencapai nishab bila ia mengalami kesulitan dan

kesusahan.

10

2. Skripsi tentang Analisis pemikiran M. Rasyid Rida tentang ibnu sabil

oleh Endang Fitriah Ludfi, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun

2006. Menjelaskan bahwa Rasyid Rida berpendapat anak terlantar atau

buangan termasuk dalam golongan ibnu sabil, karena dia melihat bahwa

setiap orang yang diketahui terlantar di jalanan merupakan orang yang

berhak menerima zakat, sehingga meluaslah penafsirannya, terutama

mengenai ibnu sabil, karena selama ini perhatian masyarakat terhadap

mustahiq zakat lebih tersita pada fakir dan miskin saja sedangkan asnaf-

asnaf yang lain kurang mendapat perhatian. Sedangkan untuk saat ini

banyak sekali anak-anak terlantar di jalanan.

3. Pemikiran Yusuf Al Qardawi terhadap Gharim sebagai mustahiq zakat

oleh Ismawati, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2006. Hipotesis

penelitian menunjukkan bahwa: dalam permasalahan gharim sebagai

mustahiq zakat Yusuf Al Qardawi sepakat dengan imam lainnya yang

membagi gharim dalam dua bagian yaitu : Pertama orang yang berutang

untuk diri sendiri dan Kedua, orang yang berutang untuk kemaslahatan

orang lain. Dalam hal ini Qardawi lebih memprioritaskan terhadap

gharim yang hutangnya digunakan untuk kepentingan orang lain karena

mereka memiliki sifat kepedulian tinggi terhadap sesama unat Islam.

4. Pendapat Ibnu Hazm tentang ibnu sabil sebagai mustahiq zakat oleh

Ridloumami, Fakultas Syariah IAIN Walisongo tahun 2006.

Menjelaskan bahwa penafsiran Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu

orang yang keluar tidak dalam kemaksiatan, yang dimaksud adalah

11

orang yang keluar (bepergian) untuk kebaikan atau kemaslahatan dalam

rangka untuk menyebarkan agama islam dapat dikategorikan sebagai

ibnu sabil.

5. Redefinisi terhadap ar-riqab sebagai mustahiq zakat relevansinya

dengan masa sekarang oleh Siti Hariya, Fakultas Syariah IAIN

Walisongo tahun 2005. Kata ar-riqab adalah bentuk jamak dari kata

raqabah yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang

sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya

berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka

dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Sementara ulama

terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang

dalam proses memerdekakan dirinya. Karena itu riqab untuk masa

sekarang diperluas artinya yaitu manusia yang tertindas secara politik,

ekonomi maupun budaya.

Dari penelusuran di atas, penelitian tentang mustahiq zakat lebih

fokus membahas tentang ibnu sabil, riqab dan gharim. Penulis belum

menemukan penelitian yang secara spesifik mengulas tentang pengguguran

hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Adapun penelitian tentang Umar Ibn

Khattab yang ada membahas tentang Analisis Pendapat Khalifah Umar Bin

Khattab Tentang Penundaan Penarikan Zakat Binatang Ternak Kambing

Yang Telah Mencapai Nishab. Sehingga menurut penulis, penelitian ini

akan menambah khazanah baru tentang pemikiran Umar bin Khattab

khususnya tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Dan

12

bagaimana ulama khalaf (kontemporer) memposisikan pemikiran Umar

tersebut dalam khazanah ilmu fiqih.

Sedangkan literatur yang membahas tentang Umar bin Khattab pada

umumnya cukup banyak antara lain; Buku tentang Ijtihad „Umar ibn Al-

Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam, karya Dr. Amiur

Nuruddin dan Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, karya Dr.

Muhammad Baltaji. Keduanya secara umum membahas tentang ijtihad dan

metodologi ijtihad Umar bin Khattab.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library

research). Sehingga penelitian ini berupaya melakukan penelaahan

terhadap literatur yang tekait dengan tema yang penulis angkat, yakni

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat menurut Khalifah

Umar bin Khattab.

2. Sumber data

Dalam penelitian secara umum, sumber data dibedakan atas

sumber data primer dan sumber data skunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data yang ditulis oleh

orang pertama/pelaku sejarah itu sendiri.21

Sepengetahuan penulis,

dalam penelitian pendahuluan, Khalifah Umar bin Khattab tidak

21

Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998, hal.91

13

meninggalkan karya yang bisa dikategorikan sebagai sumber

primer. Namun demikian penulis dapat memperoleh data primer

dari Ibnu Katsir, dalam kitab Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data penunjang

dalam penelitian ini, yaitu sumber yang dapat memberikan

informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat data pokok

baik yang berupa manusia atau benda (majalah, buku, koran,

internet, dll).22

Sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini

di antaranya, Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ath-Thabari, kitab

Al-Amwal karya Abu Ubaid, Tarikh Khulafa‟ karya As-Suyuthi,

Methodologi Ijtihad Umar bin Khattab karya DR. Muhammad

Baltaji, Hukum Zakat (terjemahan), al-Fiqh Ala Madhahib al-

Arba‟ah, Fiqih Sunnah dan dalam penelitian ini penulis juga

mengumpulkan data dari berbagai sumber yang memberikan

informasi tentang pemikiran Umar bin Khattab mengenai

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat.

3. Teknik pengumpulan data

Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian

kepustakaan, maka untuk mendapatkan data peneliti melakukan

pencarian dan pengumpulan melalui studi kepustakaan untuk

mendapatkan buku maupun literatur yang relevan dengan pokok bahasan.

22

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998,

hal. 85

14

4. Analisis data

a. Metode analisis

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis

deskriptif, yaitu dengan memaparkan kembali data yang sudah ada

sebelumnya. Selanjutnya menganalisa data tersebut secara logis dan

sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada.23

Penulis juga akan menggunakan metode Usuliyah.24

Metode

ini digunakan untuk memahami hakikat pemikiran Umar bin Khattab

tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Karena

pendapat Umar dalam persoalan ini berbeda dengan apa yang

dilakukan Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, apa yang

dilakukan Umar menyimpang dari makna.

b. Pendekatan

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sejarah (history).

Metode ini digunakan agar sebisa mungkin penulis memasuki keadaan

sebenarnya berkenaan dengan pemaparan suatu peristiwa, yaitu

kondisi dimana Umar mengeluarkan statemen hukum tentang

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami tulisan ini, maka penulis

akan membagi ke dalam lima bab yaitu:

23

Saifudin Azwar, Op.Cit., hal. 7 24

Metode usuliyah yang dimaksudkan di sini adalah metode ushul fiqh.

15

Bab Pertama Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan

sisitematika penulisan.

Bab Kedua, Biografi Umar bin Khattab. Meliputi: Umar bin

Khattab sebelum dan ketika masuk Islam, Keutamaan Umar bin Khattab

sebagai sahabat Nabi dan Khalifah, dan Metode Ijtihad Umar bin Khattab

dan Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihadnya

Bab Ketiga, membahas tentang pemikiran Umar bin Khattab

tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat Meliputi:

Pengertian dan Klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum, pemikiran

Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq

zakat, Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab

menggugurkan hak muallaf sebagai mustahiq zakat

Bab Keempat, membahas tentang analisis pemikiran Umar bin

Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat

Meliputi: Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, dan Posisi pemikiran

Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat

dalam Pandangan Ulama‟

Bab Kelima, penutup merupakan bab terakhir yang meliputi,

kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

16

BAB II

BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB

A. Umar bin Khattab sebelum dan ketika masuk islam

1. Umar bin Khattab sebelum masuk Islam

Beliau adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin

Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka'ab bin Lu'ai,

Abu Hafs al-'Adawi. Julukan beliau adalah al-Faruq. Ada yang

menyebutkan bahwa gelar itu berasal dari Ahli Kitab.1 Sebelum Islam

suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah

dan berkedudukan tinggi.2 Adi ini adalah saudara Murrah, kakek Nabi

yang kedelapan. Ibunya Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin

Abdullah bin Umar bin Makhzum.3

Umar lahir pada tahun ketiga belas setelah peristiwa Tahun

Gajah. Dia termasuk orang yang paling mulia dikalangan suku Quraisy.

Masalah-masalah yang menyangkut diplomasi pada zaman jahiliyah

diserahkan kepada Umar. Jika diantara kabilah terjadi peperangan,

maka Umar akan diutus sebagai penengah.4

Pada masa kanak-kanak ia menggembalakan gembala bapaknya

di padang rumput sekitar Makkah. Sejak kecil ia belajar membaca dan

menulis, pada saat itu orang yang telah bisa membaca dan menulis tidak

1 Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, (terj. Al Bidayah Wan

Nihayah Masa Khulafa‟ur Rasyidin), Jakarta: Dar al-Haq, hal. 168 2 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1998, hal. 236.

3 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab. Bogor : Litera AntarNusa. 2011. hal. 7

4 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa‟, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 121

17

lebih dari 17 orang di kalangan orang Quraisy. Setelah menginjak

dewasa, Umar mulai senang membahas suatu masalah, pada awal masa

mudanya ia berdagang menjelajahi penjuru jazirah Arab. Umar pandai

memanfaatkan kesempatan. Ia pergi ke Irak dan Syam bukan semata-

mata untuk berdagang, akan tetapi juga untuk berkenalan dengan tokoh-

tokoh kabilah negeri-negeri itu. Bagi kabilahnya Umar adalah seorang

kurir yang istimewa dalam menghubungkan Quraisy dengan kabilah-

kabilah lain. Ia seorang yang vokal berbicara, fasih lidahnya dan pandai

menjelaskan sesuatu. Ia juga menghayati syair, menghafalnya bahkan

juga membacakannya kepada orang lain.5

Tentang wataknya yang kasar dan selalu bermuka masam serta

hidupnya yang serba keras, merupakan sebagian dari wataknya yang

sejak masa mudanya, dan kemudian tetap begitu dalam perjalanan

hidup selanjutnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam do’a

pertamanya ia berkata: "Allahumma ya Allah, aku sungguh tegar, maka

lunakkanlah hatiku. Ya Allah, aku ini lemah, berilah aku kekuatan. Ya

Allah aku sungguh kikir jadikanlah aku orang pemurah.” Sejak

mudanya ia sudah mewarisi sikap keras dan kasar itu dari ayahnya,

kemudian didukung pula oleh tubuhnya yang tetap kekar dan kuat. 6

Umar bin Khattab walaupun mempunyai watak yang keras,

namun dengan kekerasannya itu tidaklah berarti ia seorang yang tamak

dan rakus. Ia juga orang yang tak mau sewenang-wenang dengan

5 Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hal. 10-12

6 Ibid., hal.13

18

kekuasaan yang dimilikinya. Ia adalah seorang yang kuat jiwanya.7 Ia

adalah seorang yang adil, pandai dan penyayang terhadap sesama. Sifat-

sifat ini merupakan satu kesatuan dalam dirinya. Ia adalah seorang

pribadi yang besar.8 Umar memiliki watak keprajuritan, ia seorang

pemberani, tangkas, patuh kepada peraturan dan tekun dalam tanggung

jawab.9

Sifat keras10

ini menjadi ciri khas Umar pada masa jahiliyah dan

juga menjadi bagian kisah indahnya dalam Islam. Sebab beliau

menggunakan sifat ini dalam melayani agama dan menegakkan perintah

Allah SWT.11

Nabi Muhammad saw. pernah bersabda;

7 Abbas Mahmud al-Aqqad, Abqari‟ah Umar. Dar al-Hilal. hal. 10.

8 Ibid., hal. 53-54

9 Ibid., hal. 60

10 Yaitu lawan dari lemah lembut. Maksudnya, keras dalam menyelesaikan berbagai

masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh keteguhan. 11

Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab, Jakarta : Khalifa,

2006. hal.19

19

Muhammad bin Basysyar, Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Tsaqafi,

Kholid al-Hadzdza‟ dari Abi Qilabah dari Anas bin Malik berkata:

Rasulullaah saw. Bersabda: Umatku yang paling sayang kepada

umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam perkara (agama)

Allah adalah Umar, yang paling benar dalam malu adalah

Utsman,yang paling bagus bacaan al-Qur‟an adalah Ubay bin Ka‟ab,

yang paling menguasai faraid adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling

mengetahui halal dan haram adalah Muadz bin Jabal. Dan ketahuilah,

bahwa dalam setiap umat terdapat orang yang amanat, dan orang

amanat dalam umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”12

Dalam hubungannya dengan Nabi Muhammad, sebelum masuk

Islam Umar adalah seorang pemuda dan pemuka yang sangat membenci

Nabi Muhammad dan orang-orang yang menjadi pengikutnya. Kembali

dengan terus terang di hadapan sahabat-sahabatnya. Katanya: “Apakah

anda ingin mengetahui tentang awal keislamanku? sangat keras. Aku

dulunya adalah salah seorang yang memusuhi Rasulullah SAW.

Dengan mengutip riwayat dari Ibn Hisyam, Husain Haekal menulis,

bahwa pada sutu hari Abu Bakar melihat Umar menyiksa dan memukul

seorang budak perempuan supaya meninggalkan Islam. Demikian rupa

ia menghajar hingga ia merasa bosan sendiri karena sudah terlalu

banyak ia memukul. Saat itulah kemudian budak itu ditinggalkan oleh

Umar sambil berkata: Aku memaafkan kau! Kutinggalkan kau hanya

karena sudah bosan. Hamba sahaya itu menjawab: Itulah yang

12

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz V, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, hlm 623

20

dilakukan Allah kepadamu. Kemudian hamba sahaya itu dibeli oleh

Abu Bakar lalu dibebaskan.13

2. Umar bin Khattab Masuk Islam

Umar masuk Islam pada tahun keenam kenabian. Saat itu ia

berusia 27 tahun, tatkala itu jumlah sahabat yang memeluk Islam

berjumlah sekitar empat puluh orang laki-laki dan sebelas wanita. Atau,

sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu tiga puluh orang laki-

laki dan dua puluh tiga wanita. Sebagaimana juga disebutkan dalam

sebuah riwayat jumlahnya adalah empat puluh lima orang laki-laki dan

sebelas perempuan. Tatkala dia menyatakan keislamannya, Islam

semakin kokoh di kota Makkah dan kaum muslimin bersuka cita

dengan keislamannya.14

Riwayat tentang Islamnya Umar bin Khattab mempunyai

beberapa versi, ada yang sifatnya diceritakan oleh Umar sendiri dan ada

pula yang diceritakan oleh orang lain.

Diantaranya riwayat tentang Islamnya Umar yang diceritakan

oleh orang lain adalah riwayat Ibnu Ishak, riwayat ini dapat dilihat di

dalam kitab “Abqariah Umar” karangan Abbas Mahmud Al-Aqqad. Di

sana diceritakan dimana pada suatu hari, Umar keluar dari rumahnya

dengan pedang terhunus, hendak membunuh Rasulullah dan pengikut-

pengikutnya, pada waktu itu Nabi sedang berkumpul di sebuah rumah

di dekat bukit Shafa beserta kurang lebih 40 orang sahabat pria dan

13

Muhammad Husain Haekal, Op. Cit, Hal. 17 14

Imam As-Suyuthi, Op.Cit., hal. 121

21

wanita, diantaranya paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu

Bakar bin Abi Kuhafah ash-Shidiq dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian

Umar bertemu dengan Mu’ain bin Abdullah. Mu’ain menegur, “hendak

kemana Umar?” Umar menjawab, “saya mau menemui Muhammad

yang telah memecah belah kaum Quraisy, membodohkan pemimpin-

pemimpinnya, menodai agamanya dan menghina Tuhan-Tuhannya,

saya akan membunuhnya”. Mu’ain menyahut, “Sungguh engkau

menjerumuskan dirimu sendiri jika engkau berbuat demikian. Apakah

Bani Manaf itu akan membiarkan engkau berjalan di atas bumi setelah

engkau membunuh Muhammad? Tidakkah engkau lebih baik kembali

dan mengurusi keluargamu sendiri?” lalu Umar bertanya, “keluarga

mana maksudmu?” jawab Mu’ain, “iparmu dan sepupumu Zaid bin

Amru dan saudara perempuanmu sendiri Fatimah binti Khattab,

sungguh mereka telah menjadi pengikut Muhammad dan agamanya.

Engkau bertanggung jawab atas mereka itu”. Umarpun kembali menuju

saudara dan iparnya. Hubbab juga kebetulan sedang berada bersama

mereka berdua, ketika terdengar Umar datang Fatimah binti Khattab

mengambil lembaran ayat al-Qur’an dan meletakkannya di bawah

pipinya, ketika mengetuk pintu Umar telah mendengar bacaan Hubbab

di depan kedua saudaranya. Setelah Umar masuk, ia pun segera berkata,

“Bunyi apa yang aku dengar tadi?” kedua saudaranya menjawab,

“Engkau tidak mendengar sesuatupun.” Umar berkata, “Sungguh aku

mendengar sesuatu, aku diberi kabar bahwa kalian berdua telah menjadi

22

pengikut Muhammad dan agamanya. “Lalu Umar menampar iparnya,

Ibnu Zaid bin Maru. Fatimah seketika berdiri menahan Umar, tetapi

bahkan Umar memukulnya sekali, ketika itulah Fatimah berkata, “Ya,

benar kami telah masuk Islam, kami telah beriman kepada Allah dan

Rasul-Nya, maka berbuatlah sekehendakmu, “Ketika Umar melihat

saudara perempuannya itu berdarah, ia pun menyesal atas perbuatannya

itu, lalu berkata “Berikanlah kepadaku lembaran-lembaran yang aku

dengar dan engkau baca tadi. Aku mau melihat apa yang dibawa

Muhammad,” kemudian Umar membaca surat Toha dalam lembaran-

lembaran itu dan segera berkata, “Alangkah bagus dan mulianya

kalimat-kalimat ini”. Mendengar ucapan Umar itu Hubbab lalu keluar

dan berkata, “wahai Umar, sungguh aku mengharap bahwa Tuhan telah

mengkhususkan engkau dengan dakwah Nabinya. Aku mendengar Nabi

kemarin berdo’a, “Ya Allah, kuatkanlah Islam ini dengan Abal Hakam

bin Hisyam atau Umar.” Dan Allah memilihmu wahai Umar,” Umar

lalu berkata “wahai Hubbab, tunjukkanlah dimana Muhammad berada,

aku akan mendatanginya dan aku akan masuk Islam.” Hubbab

memberitahukannya bahwa Nabi Muhammad berada di sebuah rumah

dekat bukit Shafa beserta beberapa sahabatnya, kemudian Umar menuju

ke tempat Rasul, lalu mengetuk pintu. Seorang laki-laki berdiri dan

mengintai dari lubang pintu dan dilihatnya Umar dengan pedang

terhunus. Laki-laki itu kembali dan memberitahukan kepada Rasul. “Ia

adalah Umar bin Khattab dengan pedang terhunus”. Hamzah bin Abdul

23

Muthallib menyahut, “biarkan dia masuk, jika ia berniat baik kita

sambut, jika ia berniat jahat kita bunuh ia dengan pedangnya sendiri,”

Rasulpun bersabda, “biarkan dia masuk”. Rasul bangkit dan berjalan

sampai bertemu dengan Umar di ruang depan. Rasul berkata “ada apa

denganmu wahai anak Khattab?” Ketika itu Umar tidak henti-hentinya

gemetar, lalu ia berkata “Ya Rasulallah, saya datang kepadamu untuk

beriman kepada Allah dan Rasulnya serta apa-apa yang datang dari

Allah.15

Adapun riwayat tentang masuk Islamnya Umar yang

diceritakannya sendiri adalah seperti yang ditulis oleh Abbas Mahmud

al-Aqqad, dimana di dalam riwayatnya tersebut, Umar bercerita bahwa

dia dulu sangat jauh dari Islam. Di masa jahiliyah dia adalah pemabuk,

menyukai minuman keras dan meminumnya. Kini mempunyai majelis

tempat berkumpul orang-orang Quraisy. Pada suatu hari Umar datang

kesana hendak berjumpa dengan teman-teman, tetapi Umar tidak

mendapati seorangpun. Lalu Umar berkata dalam hati “Saya akan pergi

ke tempat si Fulan saja, Pemilik tuak itu. “Umar pun berkata lagi dalam

hati “Kalau begitu saya akan pergi ke Ka’bah untuk melakukan tawaf

tujuh atau tujuh puluh kali”. Umar melihat Rasulullah sedang berdiri

bersembahyang dan beliau kalau bersembahyang menghadap ke arah

Syam yang menjadikan ka’bah diantara beliau dan Syam, dan

tempatnya adalah diantara rukun Aswad dan rukun Yamani. Umar lalu

15

Abbas Mahmud al-Aqqad, Op.cit., hal. 75-76

24

berkata lagi dalam hati “Sungguh malam ini saya ingin mengintip

Muhammad agar saya mengetahui apa yang dilakukannya”, lalu Umar

menuruti kata hatinya. Tanpa sepengetahuan Nabi, Umar datang

mendekatinya dari arah Hajar Aswad dan bersembunyi di balik

kelambu Ka’bah. Ketika dia mendengar ayat-ayat al-Qur’an, hati Umar

menjadi gemetar, lalu menangis dan kemudian Umar masuk Islam”.16

Ahmad meriwayatkan dari Umar dia berkata, “saya keluar untuk

mencari dimana Rasulullah. Saya dapatkan dia telah mendahuluiku

datang ke masjid (Haram). Saya berdiri di belakangnya. Kemudian dia

membaca awal permulaan surat Al-Haaqah. Saya merasa sangat kagum

dengan ungkapan bahasa yang indah dari Al-Qur’an. Lalu saya katakan,

demi Allah pastilah bukan syair sebagaimana dikatakan oleh orang-

orang Quraisy. Lalu Rasulullah membaca firman Allah, surat Al-

Haaqqah ayat 40-41 :

“Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang

diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Quran itu bukanlah

Perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”17

Saat itulah Islam merasuk ke dalam kalbuku dengan kesan yang

sedemikian dalam.18

16

Ibid, hal. 76. 17

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia

Arkanleema, 2009, hal. 568 18

Imam As-Suyuthi, Op.Cit., hal. 122

25

Melihat dua kisah di atas, merupakan contoh tentang berbeda-

bedanya versi riwayat tentang masuk Islamnya Umar bin Khattab.

Untuk mengkompromikan riwayat yang berbeda-beda itu Zainal Arifin

Abbas mengatakan, bahwa penyebab dan penggugah hati Umar untuk

memeluk Islam sebenarnya telah lama, termasuk ketika Umar berusaha

mendengarkan Rasul (di dekat Ka’bah), bahkan sebenarnya dalam

darah Umar itu memang telah ada jiwa agama, tetapi belum tumbuh

dengan baik karena masih terus diselimuti oleh unsur-unsur lain,

pemabuk, peminum, pemarah dan sebagainya. Baru setelah ia terlibat

langsung dengan peristiwa saudaranya sendiri, Fathimah binti Khattab

yang sedang memegang dan membaca lembaran-lembaran surat Toha,

stimulan untuk masuk Islam itu mencapai klimaksnya.19

Umar masuk ke dalam agama Allah ini dengan semangat yang

sama dengan seperti ketika dulu memusuhi Islam. Begitu ia berada

dalam keluarga Islam, ia lebih cenderung mengumumkan keislamannya

itu terang-terangan kepada semua orang Quraisy. Sebelum itu kaum

muslimin tak dapat melaksanakan salat di Ka’bah, tetapi dengan

kegigihan Umar melawan kaum Quraisy merekapun dibiarkan shalat di

sana. Dakwah Islam yang mulanya dilakukan dengan sembunyi-

sembunyi, setelah Umar masuk Islam dakwah dilakukan secara terang-

terangan. Kaum Muslimin kini sudah dapat duduk di sekitar ka’bah dan

19

Zainal Arifin Abbas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW, Medan : Pustaka

Indonesia. 1964, hal. 974-975.

26

melakukan tawaf serta berlaku adil terhadap orang yang dulu

memperlakukan mereka dengan kasar.20

Ketika itu ia termasuk Muslim yang paling tabah dan sabar

dalam menanggung penderitaan, dan yang paling keras memberikan

pembelaan sedapat yang dapat dilakukannya dalam menghadapi

gangguan kepada Rasulullah dan saudara-saudaranya kaum muslimin.

Dia juga orang yang sangat meyakini ketertiban dan berusaha sedapat

mungkin menaati dan menjaganya. Yang demikian ini sudah menjadi

bawaannya sejak masa jahiliah, dan lebih-lebih lagi sesudah dalam

Islam.21

B. Keutamaan Umar bin Khattab sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah

1. Umar bin Khattab sebagai sahabat Nabi

Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi yang dibuat

berbeda oleh Islam dengan segala apa yang diberikan kepadanya. Sosok

yang satu ini seperti tak pernah kering sebagai sumber inspirasi dan

ilmu bagi banyak orang. Khalifah kedua dalam urutan Khulafa’

Arrasyidin ini selalu saja menjadi objek kajian dan penelitian yang

menarik minat para ulama, cendekiawan dan ilmuwan.22

Banyak kisah

yang menunjukkan keistimewaan dan sifat-sifat Umar bin Khattab

dalam kedudukannya sebagai sahabat Nabi, diantaranya sifat Umar

yang fundamental dan mendorong sifat-sifatnya yang lain adalah :

20

Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hal. 35 21

Ibid., hal. 37 22

Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit., hal. VII

27

a. Umar adalah sahabat Nabi yang setia, patuh dan berani

Watak keprajuritan yang dimiliki Umar telah mendorong

dirinya untuk memiliki sifat suka patuh, karena kepatuhannya

inilah Umar mau mengerjakan apa saja diperbuat Nabi, walaupun

belum tentu sesuai dengan sikap kritisnya, seperti riwayat Imam

Muslim yang menceritakan tentang Umar ketika ia mencium hajar

aswad selesai tawaf :

Dari Umar Radhiyallahu‟anhu, bahwa dia mendatangi hajar

aswad kemudian menciumnya dan berkata “aku mengetahui

sesungguhnya kamu hanyalah sebuah batu, yang tidak memberikan

bahaya dan tidak memberi manfaat, seandainya bukan karena aku

melihat Rasulullah menciummu, aku tidak akan menciummu.”

Dengan kata-kata itu Umar bermaksud menghimbau untuk

mengikuti Rasulullah SAW dalam mencium hajar aswad. Ia

menegaskan apabila bukan karena mengikuti contoh Rasulullah

SAW niscaya ia tidak akan menciumnya.

Kesetiaannya kepada Rasul ini selanjutnya melahirkan

sikap selalu bersedia dan berani membela dan menyelamatkan

Rasulnya dari segala marabahaya yang akan menimpa.

23

Hadits no. 1520 dalam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih al-

Bukhori, Juz II, Dar ibnu Katsir, hlm. 579

28

Keberaniannya yang disegani orang, yang telah dimilikinya dan

telah dikenal orang sejak sebelum ia masuk Islam, bukan saja telah

secara langsung memperkuat Islam tetapi juga telah menyebabkan

orang mulai segan dengan Islam itu sendiri. Masuknya Umar

kedalam Islam adalah faktor utama yang telah memperkuat posisi

Nabi untuk melangkah dari fase berdakwah secara sembunyi-

sembunyi dan terbatas terhadap kaum kerabat kepada fase terang-

terangan yang terbuka terhadap segala orang dari segala penjuru

dan lapisan masyarakat.

Sebelum Umar masuk Islam, kaum muslimin melakukan

ibadah secara sembunyi-sembunyi, kadang-kadang sampai dibalik

bukit-bukit, setelah Umar masuk Islam, dengan dikawal oleh Umar

sendiri dan paman Nabi Hamzah pada suatu hari kaum muslimin

berbaris melakukan ibadah dan tawaf secara terang-terangan disisi

ka’bah, sementara di sekitar mereka adalah kaum musrik Quraisy

yang sedang menyembah berhala yang juga terletak berjejer di

sekelilingku Ka’bah. Pada waktu itulah Nabi memberi gelar “al-

Faruq” kepada Umar bin Khattab karena keberaniannya”.24

Demikian pula ketika perintah berhijrah datang, kaum

muslimin yang lain berangkat dengan sembunyi-sembunyi, tetapi

Umar sebaliknya. Disiapkannya busur panah di tangannya,

dinaikinya kuda, kemudian berangkat dengan melewati Ka’bah dan

24

Abbas mahmud al-aqqad, Op.Cit. hal. 48

29

singgah pula di situ. Orang-orang kafir Quraisy sedang banyak

berkerumun di tempat itu. Umar melakukan tawaf tujuh kali, shalat

sunnat tujuh kali, shalat sunnat di maqam Ibrahim, setelah itu ia

berseru kepada kaum Quraisy yang hadir, katanya dengan suara

lantang dan keras, “Siapa yang ingin ibunya menangis atau

anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, majulah

berhadapan denganku di balik lembah ini.25

b. Umar adalah seorang sahabat Nabi yang kuat ilmu dan agamanya

Kepandaian Umar telah dirintisnya sejak ia masih kanak-

kanak ketika belajar mambaca dan menulis, yang kemudian

ditopang dengan kegemarannya untuk membahas beragam masalah

ketika ia beranjak dewasa. Berbagai masalah yang ditugaskan

kepadanya diselesaikannya dengan gemilang. Ketika Nabi wafat,

karena kejauhan pandangannya mengatakan bahwa hal itu akan

menggoncangkan keadaan kaum muslimin. Mengenai tawanan

perang Badar, ketinggian daya analisanya mengatakan bahwa

semangat perlawanan dalam hati para tawanan itu tetap berkobar,

karenanya, sebaiknya mereka dibunuh saja. Bahkan pikiran-

pikirannya itu sering mendapat persetujuan dari wahyu seperti

pendapatnya tentang masalah memerangi orang-orang munafik,

25

Ibid., hal. 84-85

30

pengharaman khamar, masalah hijab bagi isteri-isteri Nabi, dan

lain-lain.26

Demikian tinggi kecerdasan Umar sampai Nabi pernah

bersabda bahwa Allah meletakkan kebenaran di lidah dan hati

Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi :

“Diriwayatkan oleh Muhammad bin Basyar, diriwayatkan oleh

Abu „Amir Al-„Aqadi, diriwayatkan oleh Kharijah bin Abdullah

dari Nafi‟ dari Ibnu Umar: bahwasanya Rasulullah SAW

bersabda: Sesungguhnya „Allah meletakkan kebenaran pada lidah

dan hati Umar‟.”27

Imam Bukhari juga meriwayatkan tentang keilmuan Umar

bin Khattab, diriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah bersabda :

“Tatkala saya tidur, saya bermimpi minum susu hingga saya

melihat dalam mimpiku air mengalir di kuku-kukuku, lalu saya

26

Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta :

Bulan Bintang, 1971. Hal. 73 27

At-Tirmidzi, Op.Cit., hal. 617

31

minumkan air itu kepada Umar. Para sahabat bertanya, „apa

takwilnya wahai Rasulullah?‟ Rasulullah menjawab : „ilmu‟.”28

Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwasanya :

“Abu Amamah bin Sahal meriwayatkan, bahwasanya dia

mendengar Abu Said Al-Khudri berkara, Rasulullah SAW

bersabda: „saat saya tidur, diperlihatkan kepadaku orang banyak

dan mereka semua memakai baju, dan diantara mereka ada yang

memakai hingga dadanya, dan ada pula yang tidak sampai dada

dan berjalanlah Umar bin Khattab, dan dia memakai baju yang

panjang dan menyeretnya‟. Para sahabat bertanya,‟apa ta‟wilnya

ya Rasulullah?‟ Rasulullah menjawab : „Agama‟.”

29

c. Umar adalah sahabat Nabi yang Ikhlas dan Zuhud

Dalam hal ini Umar merupakan teladan yang baik, yang

pantas kita hormati dan kita hargai, Umar adalah orang yang tidak

begitu mengutamakan kepentingannya sendiri, dan dengan ikhlas

memberikan pendapatnya demi kepentingan umum. Pendapat-

pendapatnya bersih dari segala yang mencurigakan. Bahkan jika

28

Hadits no. 3478 dalam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Op.Cit., Juz

III, hlm. 1346 29

Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,

Juz IV, Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, hal. 1859

32

dilihat bagaimana cita-citanya sekiranya Allah mengharamkan

khamar yang ketika itu belum diharamkan, padahal di zaman

jahiliyah dia sendiri seorang peminum minuman keras yang sudah

melebihi semestinya. Harapannya agar minuman itu diharamkan

hanya karena cintanya demi segala kebaikan masyarakat disertai

disiplinnya yang begitu kuat.30

Walaupun sebelum masuk Islam Umar adalah seorang

peminum minuman keras, namun setelah memeluk Islam ia adalah

seorang yang ta’at menjalankan ibadah, disamping itu ia termasuk

seorang zahid yang paling keras menjauhi harta. Ketika Rasulullah

memberikan kepadanya harta hasil rampasan perang yang

diperoleh Muslimin, ia mengatakan agar harta itu diberikan saja

kepada yang lebih miskin darinya.31 Bergandengan dengan

kezuhudannya itu ia juga seorang yang ikhlas dalam bertindak.

Kesetiaan dan pembelaannya kepada Rasul, kelebihan daya

pikirnya, semua ia persembahkan karena keikhlasannya untuk

mencari keridhaan Allah SWT, bukan karena sesuatu pamrih yang

bersifat kedudukan atau pengaruh.

Tidak heran jika orang yang sudah demikian rupa

keadaannya dan zuhudnya akan sangat dihargai dan dihormati oleh

30

Muhammad Husain Haekal, Op.Cit, hal. 58 31

Ibid.

33

semua umat Islam terlepas dari wataknya yang begitu keras dan

tegar.32

2. Umar bin Khattab sebagai Khalifah

Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menderita sakit, Umarlah yang

menggatikan posisinya sebagai imam shalat bagi kaum muslimin.

Sewaktu sakit Abu Bakar ra. sempat mewasiatkan jabatan kekhalifahan

kepada Umar bin al-Khaththab ra.dan yang menuliskan wasiat ini

adalah Utsman bin Affan. Setelah itu wasiat tersebut dibacakan di

hadapan seluruh kaum muslimin dan mereka mengakuinya serta tunduk

dan mematuhi wasiat tersebut.

Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq wafat pada hari Senin, setelah

Maghrib dan dikuburkan pada malam itu juga, bertepatan pada tanggal

21 Jumadil Akhir tahun 13 H, Umar bin al-Khaththab al-Faruq

menggantikan seluruh tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya sebagai

Amirul Mukminin. Beliaulah yang pertama kali menyebut dirinya

dengan gelar Amirul Mukminin -orang yang pertama kali

memanggilnya dengan gelar tersebut adalah al-Mughirah bin Syu'bah-

dan ada yang berpendapat bukan al-Mughirah tetapi orang lain.33

Adapun alasan Abu Bakar menetapkan penggantinya sebelum ia

wafat karena : pertama, bila tidak ditetapkan sekarang nanti akan

banyak orang yang merasa bahwa dirinyalah yang berhak untuk

menduduki jabatan khalifah itu. Kedua, karena pengalaman pada waktu

32

Ibid. 33

Ibnu Katsir, Op.Cit, hal. 191

34

Nabi wafat dulu, umat Islam menjadi goncang terutama kaum

Muhajirin dan Anshar disebabkan belum ada kepastian penggantinya.34

Maka ketika Abu Bakar wafat, kaum muslimin terhindar dari krisis

kepemimpinan umat.

Umar bin Khattab melaksanakan tugas dalam kekhalifahan

selama 10 tahun dan 6 bulan, kurang lebih, dan mampu merealisasikan

hal-hal yang besar dalam tersebut, yang tidak mungkin disebutkan

seluruhnya dalam ruang yang singkat ini membicarakan seluruh

keberhasilan Umar selama masa kepemimimpinannya membutuhkan

kajian tersendiri.35

Kepemimpinan Umar selama menjabat sebagai Khalifah telah

dicatat dalam sejarah sebagai kepemimpinan yang sangat dibanggakan,

baik di bidang politik teritorial, sosio-ekonomi maupun sosio-kultural.

Menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Atsir bahwa Abdullah Ibnu

Mas’ud berkata: “Islamnya Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah

pertolongan dan kekhalifahan serta pemerintahannya adalah rahmat.36

C. Metode Ijtihad Umar bin Khattab dan Rentang Waktu Aplikasi

Metode Ijtihadnya

1. Metode Ijtihad Umar bin Khattab

Untuk mengetahui Konsep Umar bin Khattab dalam

menetapkan suatu hukum terhadap suatu masalah dapat kita amati dari

34

A. Syalabi, Op.Cit., hal. 237 35

Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Op.Cit., hal. 25. 36

A. Syalabi, Loc.Cit., hal 236

35

pesan-pesan Umar bin Khattab kepada para Hakim yang diangkat dan

ditugaskannya di berbagai daerah.

Ada dua surat penting yang secara historis dinisbatkan kepada

Umar bin Khattab dan berisi tentang mekanisme penetapan hukum.

Yang pertama pendek dan hanya memuat sedikit masalah-masalah yang

berkenaan dengan hukum. Surat ini dikirim oleh Umar kepada Syuraih

yang menjabat sebagai Qadhi (hakim) di Kufah. Surat kedua cukup

panjang dan sangat detil. Menurut sebuah sumber, surat kedua ini

dikirim Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjabat sebagai

Qadhi di Bashrah.37

Jika kita menerima validitas penisbatan kedua surat ini kepada

Umar, maka kita bisa menganggap keduanya sebagai media awal untuk

mengenal lebih jauh manhaj Umar dalam masalah penetapan hukum,

utamanya surat Umar yang panjang yang dikirim kepada Abu Musa Al-

Asy’ari. Hal ini dikarenakan kedua surat tersebut memuat beberapa

dasar (kaidah) penting dalam masalah penetapan hukum yang dianut

oleh Umar dan direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh para Qadhi

yang diangkatnya.

Ibnul Qayyim meriwayatkan, bahwa Umar bin Khattab menulis

surat kepada Qadhi Syuraih yang isinya;

“Jika kamu menghadapi suatu masalah penting, maka lihatlah

dulu Kitabullah, kemudian putuskanlah hukum itu dengan (berpedoman

kepada isi) nya. Jika kamu tidak menemukan dalam Kitabullah, maka

37

Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2005,

hal. 37

36

lihatlah dalam kasus-kasus yang pernah diputuskan oleh Rasulullah.

Jika kamu juga tidak menemukannya, maka lihatlah dalam kasus-kasus

yang pernah diputuskan oleh para orang saleh dan juga para pemimpin

yang adil. Dan jika kamu tidak mendapatkannya juga, maka kamu

boleh memilih; jika kamu ingin melakukan ijtihad dengan nalarmu

maka lakukanlah, dan jika kamu ingin mengkonsultasikannya denganku

(maka lakukanlah) dan saya menilai bahwa pilihanmu untuk

berkonsultasi denganku itu adalah langkah yang akan memberikanmu

kebaikan.38

Ibnul Qayyim juga meriwayatkan, bahwa Umar menulis Surat

untuk Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya;

“Amma ba‟du. Sesungguhnya menetapkan hukuman (al-qadha)

adalah satu kewajiban yang pasti dan termasuk tradisi yang otentik.

Jika ada satu permasalahan datang kepadamu, maka ketahuilah bahwa

ucapan yang benar tidak akan ada manfaatnya bila tidak diikuti dengan

implementasi riil.

Ketika ada orang (dengan berbagai latar belakang strata

sosial) berada di majelis pengadilan, perlakukanlah mereka dengan

sama, pandanglah mereka dengan pandangan yang sama hendaknya

hukuman yang kamu putuskan juga sama (tidak ada diskriminasi),

sehingga orang yang mulia (yang mempunyai status sosial yang tinggi)

tidak akan mengharap kamu melakukan kezhaliman dan supaya orang-

orang yang lemah tidak kehilangan harapan untuk mendapatkan

keadilan kamu.

Barang bukti adalah kewajiban yang harus diberikan oleh

orang yang menuduh, dan sumpah adalah penguat bagi pihak yang

menolak tuduhan tersebut. Kesepakatan untuk berdamai yang

dilakukan oleh sesama umat Islam dibolehkan, kecuali jika kesepakatan

damai tersebut menyebabkan hal-hal yang diharamkan menjadi halal

atau hal-hal yang halal menjadi haram.

Barangsiapa mengklaim ada hak yang terabaikan, maka berilah

dia tenggang waktu, jika dia sanggup menerangkan duduk perkara

tersebut (denganbukti-bukti kuat), maka berikanlah hak tersebut

kepadanya, namun jika dia gagal meyakinkanmu, maka masalahnya

terpecahkan dengan sendirinya. Ini adalah cara yang tepat (untuk

menyelesaikan sengketa).

Jika kamu mendapatkan petunjuk (keyakinan) baru yang bisa

mengubah keputusan yang telah kamu tetapkan hari ini, maka jangan

takut (malu) untuk mengubah keputusan baru yang benar, karena

sesungguhnya kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Dan

38

Ibnul Qayyim, A‟lam Al-Muwaqqi‟in, juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, hal. 49

37

mengoreksi diri untuk mendapatkan kebenaran, lebih baik daripada

terus-terusan berada dalam kebatilan.

Semua orang muslim adalah adil(terpercaaya), kecuali orang

yang sudah pernah melakukan sumpah palsu atau dicambuk karena

putusan hukum (hudud) atau diragukan loyalitas dan kedekatannya

(dengan Islam). Yang mengetahui rahasia-rahasia manusia hanyalah

Allah. Allah akan tetap menutupi putusan-putusan hukum hingga ada

bukti-bukti atau sumpah (yang akan memperjelas duduk perkara yang

terjadi).

Jika kamu menghadapi masalah yang hukumnya tidak

disinggung secara eksplisit dalam Al-Qur‟an atau sunnah, maka

gunakanlah akal yang dianugerahkan kepadamu dengan cara

mengqiyaskan masalah-masalah tersebut. Ketahuilah dengan baik

contoh-contoh kasus (yang hukumnya disebutkan secara eksplisit dalam

Al-Qur‟an) kemudian ambillah keputusan yang sekiranya kamu yakin

bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang lebih dicintai Allah

dan lebih dekat dengan kebenaran.

Jauhilah sikap marah, bingung, menyakiti orang lain, dan

mempersulit permasalahan ketika terjadi sengketa. Putusan hukum

yang tepat, mengenai sasaran kebenaran, akan mendapatkan pahala

dari Allah, dan akan selalu dikenang. Barangsiapa dalam melakukan

kebenaran didasari dengan niat yang ikhlas, maka dia akan merasa

cukup hanya Allah-lah (yang akan melindungi dan menolongnya dalam

masalah-masalah) yang menyangkut dirinya dan orang lain.

Barangsiapa mangada-ada maka Allah akan mencelanya.

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seorang hamba kecuali

amal yang didasari dengan keikhlasan.

Bagaimanakah pendapatmu mengnai pahala-pahala Allah baik

berupa rezeki yang kamu dapat di dunia dan rahmat-rahmat-Nya yang

masih tersembunyi. Wassalam”.39

Dalam menerapkan hukum Islam, Umar sangat mempedulikan

nash-nash keagamaan dan bahkan tidak mungkin melanggarnya.

Bahkan dia berusaha untuk memakainya dan Umar sangat disiplin

dalam mengimplementasikan teks-teks keagamaan. Disamping itu ia

juga disiplin dalam merealisasikan kemaslahatan umum dalam

posisinya sebagai khalifah yang dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain,

39

Ibid., hal.67.

38

umar selalu disiplin dalam mengaplikasikan syariat dan dalam waktu

yang bersamaan menjamin terealisasinya kemaslahatan umum.

Pendekatan Umar yang sejak dari awal terlihat lebih banyak

bersifat rasional dan intelektual, telah membawanya untuk melahirkan

perubahan-perubahan hukum secara formal terutama dalam menghadapi

wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Perubahan-perubahan hukum itu

untuk sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi dan situasi, dimana

tuntunan kemaslahatan dan kepentingan umum yang merupakan tujuan

akhir dari syar’iah menghendaki yang demikian.40

Perubahan hukum secara formal, nampaknya dilakukan oleh

Umar karena adanya pemahaman yang total terhadap pesan-pesan al-

Qur’an dan Sunnah Rasul. Dan betapapun perubahan itu telah terjadi,

bukanlah berarti ia meninggalkan, apalagi membatalkan nash-nash al-

Qur’an. Adalah merupakan suatu kekeliruan, bagi orang yang

memahami kebijakan Umar sebagai tindakan yang meninggalkan

sebagian nash-nash al-Qur’an, demi kemaslahatan dan pertimbangan

pribadi. Akan tetapi yang sebenarnya Umar telah menerapkannya

dengan baik dan memahami secara kreatif dan sehat, tanpa ragu-ragu

terhadap tujuan-tujuan Syari’at.41

2. Rentang Waktu Aplikasi Metode Ijtihad Umar bin Khattab

Secara global, rentang waktu aplikasi ijtihad Umar adalah paska

wafatnya Rasulullah hingga meninggalnya Umar. Pada masa Rasulullah

40

Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir : Dar al-fikr al-

Arabi, hal. 20 41

Ibid.

39

masih hidup, Umar banyak melakukan ijtihad-ijtihad, namun ijtihad

yang dilakukan oleh Umar pada waktu itu hanya sebatas pada

kontribusi ide kepada Rasulullah dalam masalah-masalah yang

pemecahannya memang melalui mekanisme syura. Atau dalam

masalah-masalah yang Umar mempunyai ide tersendiri, yang

menurutnya ada kemaslahatan bagi masyarakat muslim pada masa

kerasulan.42

Pendapat-pendapat Umar ini seringkali sesuai dengan wahyu,

yang nantinya turun kepada Nabi Muhammad, seperti yang terjadi pada

waktu penentuan nasib tawanan perang badar, penetapan maqam

Ibrahim sebagai tempat shalat, masalah hijab, keputusan untuk tidak

menyalati Abdullah bin Ubai ketika mati dan lain-lain.43

Dalam hal ini, ijtihad atau pendapat Umar bukanlah yang

menetukan suatu ketetapan, mempunyai legitimasi tasyri’, melainkan

turunnya wahyulah yang menyebabkan suatu pendapat mempunyai

otoritas dalam penetapan hukum. Kalau seandainya wahyu yang turun

menolak pendapat-pendapat Umar, maka pendapat Umar tersebut tidak

mempunyai otoritas dalam menetapkan suatu hukum, dalam keadaan

seperti ini, pendapat-pendapat Umar hanya menjadi sekadar usulan

yang ditolak oleh pihak yang mempunyai hak otoritatif dalam

menetapkan atau menolak suatu pendapat yang diusulkan.44

42

Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 32 43

Ibid. 44

Ibid., hal. 33

40

Kemungkinan ditolaknya ijtihad-ijtihad sahabat oleh wahyu

mengindikasikan bahwa usulan-usulan sahabat pada masa kerasulan

tersebut tidak mempunyai sifat tasyri’ yang mengikat. Oleh karenanya,

pendapat-pendapat Umar yang dilontarkan pada masa Rasulullah

hanyalah sekedar usulan semata yang mempunyai potensi untuk

diterima atau ditolak. Pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak

mempunyai hak dalam menetapkan hukum, kecuali setelah mendapat

persetujuan dari wahyu yang mempunyai hak otoritatif dalam penetapan

hukum.45

Adapun alasan mengapa pada masa kerasulan hak otoritatif

penetapan hukum hanya berada pada wahyu dan praktik-praktik sunnah

yang direstui oleh wahyu, adalah karena penetapan-penetapan hukum

pada masa Rasulullah pada dasarnya dimaksudkan untuk menetapkan

kaidah-kaidah umum yang akan menjadi unsur-unsur utama dalam

kontruksi sistem hukum Islam yang diharapkan bisa menjadi undang-

undang dasar dalam bidang hukum untuk kehidupan manusia,

disamping aturan-aturan akidah yang ditetapkan.46

Pada masa kehidupan Rasul, Islam mempunyai satu agenda

untuk mengajari umat Islam tentang logika berpikir yang benar dengan

cara mencari alasan mengapa suatu hukum ditetapkan dengan

menetapkan sebagian ijtihad yang lain.

45

Ibid. 46

Ibid.

41

Yang perlu diperhatikan disini adalah karakter penetapan hukum

dalam Islam pada waktu itu adalah dilakukan secara gradual sesuai

dengan perkembangan kondisi yang ada dan tidak memberi hak

menetapkan hukum kepada salah seorang sahabat pun sampai dasar-

dasar sistem Islam yang dikehendaki oleh Allah terkonfigurasi dengan

sempurna.47

Sebelum Rasulullah wafat, wahyu telah menyelesaikan tugasnya

yaitu meletakkan dasar-dasar hukum Islam dan juga kaidah-kaidah

umum keberagamaan.

Perbedaan krusial antara ijtihad yang dilakukan oleh kaum

muslimin pada masa kerasulan dengan ijtihad yang mereka lakukan

setelah Rasulullah meninggal, adalah bahwa hak otoritatif dalam

menetapkan hukum pada masa kerasulan hanya diwakili oleh wahyu,

pada masa itu Rasulullah adalah satu-satunya interpretator dan

legistator ketetapan-ketetapan hukum Al-Qur’an. Dan wahyu selalu

mengawasi dan mengoreksi pelaksanaan aturan-aturan hukum

tersebut.48

Adapun setelah syariat sempurna dengan ditandai sempurnanya

peletakan nilai-nilai dasar universal dan juga meninggalnya Rasul,

maka pengimplementasian nilai-nilai universal ini dipasrahkan

47

Ibid., hal. 34 48

Ibid., hal. 35

42

sepenuhnya kepada ijtihad para cendekiawan dari setiap generasi yang

berada pada lingkungan-lingkungan yang beragam.49

Atas pertimbangan ini, maka ijtihad yang dilakukan oleh pihak-

pihak yang kompeten bisa dimasukkan ke dalam sistem penetapan

hukum Islam, dan sekaligus sebagai salah satu sumber hukum Islam

setelah Al-Qur’an dan sunnah. Jika kita perhatika pola ijtihad yang

dilakukan oleh Umar atau yang lainnya setelah wafatnya Rasulullah,

maka kita akan menemukan perbedaan signifikan dengan pola ijtihad

mereka semasa Rasulullah masih hidup.50

Sejatinya ijtihad Umar dalam mengaplikasikan syariat islam

baru dimulai setelah Rasulullah meninggal dunia. Meskipun Rasulullah

meninggal, Umar tidak langsung menjabat sebagai khalifah, namun

pada rentang waktu dua tahun lebih, disaat kekhalifahan dipegang oleh

Abu Bakar, Umar mempunyai peran penting dan banyak mengeluarkan

ide-ide brilian.51

Peran Umar pada masa itu sebanding dengan peran Abu Bakar

sendiri sebagai khalifah. Banyak keputusan-keputusan hukum pada

masa khalifah Abu Bakar yang ditetapkan berdasarkan pendapat dan

ijtihad Umar, seperti pada masalah kodifikasi Al-Qur’an dan

penghapusan bagian zakat pada muallafah qulubuhum (orang yang baru

masuk Islam).52

49

Ibid. 50

Ibid. 51

Ibid. 52

Ibid. hal. 36

43

Posisi Umar sungguh sangat menentukan, sehingga tidak

mengherankan jika Abu Bakar dalam beberapa kesempatan mengambil

sikap yang mengindikasikan penghormatan yang tinggi kepada Umar.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, pendapat Umar

mempunyai bobot tersendiri dalam majlis syura dan juga dalam

penerapan nilai-nilai universal syariat pada realitas-realitas baru dalam

kehidupan. Jika memang Umar mempunyai manhaj atau metode (pola

berfikir), maka tidak diragukan lagi bahwa metode tersebut pada masa

pemerintahan Abu Bakar sudah sampai pada taraf yang matang, apalagi

didukung dengan fakta banyaknya ketetapan wahyu yang sesuai dengan

ijtihad Umar pada masa kerasulan.53

Renatang waktu yang melingkupi manhaj Umar bin Khattab

dalam masalah ijtihad dan penerapan hukum dimulai sejak wafatnya

Rasulullah pada bulan Rabiul Awwal 11 H dan selesai hingga Umar

mrninggal dunia pada bulan Dzulhijjah 23 H54

(632-643 M). Dengan

kata lain, selama dua belas tahun, sembilan bulan dan beberapa hari,

sesuai dengan hitungan tahun hijriyah yang ditetapkan oleh Umar bin

Khattab.55

Meskipun rantang waktu ini kelihatannya pendek, namun pada

masa tersebut banyak kesuksesan yang terjadi. Pada masa itu

ketegangan antara kekuatan islam yang sedang berkembang –dan hanya

53

Ibid. hal. 37 54

Umar bin Khattab meninggal pada malam rabu 27 Dzulhijjah 23 H, lihat Ath-Thabari

jil. IV, hal. 193. 55

Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 37

44

mempunyai modal kekuatan yang tidak seberapa- dengan kekuatan

imperium Romawi dan Persi mencapai puncaknya. Kekuatan Islam

berhasil mendapatkan kemenangan-kemenangan yang menakjubkan di

daratan Syam, Palestina, Irak, Persi dan Mesir. Pada masa itu juga

sistem-sistem Islam bisa diterapkan dengan optimal pada berbagai

bidang yang sebelumnya sama sekali belum pernah dilakukan oleh

bangsa Arab atau bangsa dan peradaban mana pun. Pada masa itu

sistem penetapan hukum Islam mengalami kejayaan dalam menghadapi

tantangan-tantangan realita baru yang menghadang dengan menerapkan

teori-teori pada tatanan praktis. Dan tokoh di belakang keberhasilan dan

kesuksesan itu semua adalah Umar bin Khattab.56

56

Ibid.

45

BAB III

PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG PENGGUGURAN HAK

MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

A. Pengertian dan klasifikasi golongan Al-Muallafah Qulubuhum

1. Pengertian Muallaf

Ditinjau dari bahasa, muallaf berasal dari kata allafa (َاّلَف) yang

bermakna shayyararahu alifan ( ,yang berarti menjinakkan (صيره اّليفا

menjadikannya atau membuatnya jinak.1 Allafa bainal qulub (أّلف بين اّلقلوب)

bermakna menyatukan atau menundukkan hati manusia yang berbeda-

beda, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 103 :

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan

janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu

ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah

mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,

orang-orang yang bersaudara.2

Jadi secara bahasa, al-muallafah qulubuhum berarti orang-orang

yang hatinya dijinakkan, ditaklukkan dan diluluhkan. Karena yang

ditaklukkan adalah hatinya, maka cara yang dilakukan adalah mengambil

1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997,

hal. 34 2 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia

Arkanleema, 2009, hal. 63

46

simpati secara halus seperti memberikan sesuatu atau berbuat baik, bukan

dengan kekerasan seperti perang, maupun dengan paksaan.

Sayyid Sabiq mendefinisikan muallaf sebagai orang yang hatinya

perlu dilunakkan (dalam arti yang positif) untuk memeluk Islam, atau

untuk dikukuhkan karena keislamannya yang lemah atau untuk mencegah

tindakan buruknya terhadap kaum muslimin atau karena ia membentengi

kaum muslimin.3

Senada dengan definisi di atas, pengertian muallaf menurut Yusuf

Qardawi yaitu mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau

keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat

jahat mereka atas kaum muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan

mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.4

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy muallaf yaitu mereka yang perlu

dilunakkan hatinya, ditarik simpatinya kepada Islam, atau mereka yang

ditetapkan hatinya di dalam Islam. Juga mereka yang perlu ditolak

kejahatannya terhadap orang Islam dan mereka yang diharap akan

membela orang Islam.5

2. Klasifikasi Golongan Muallaf

Syafi‟iyah dan Hanafiyah menetapkan bahwa zakat bagian muallaf

hanya diperuntukkan bagi orang Islam saja, sedangkan orang kafir tidak

3 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Terj. Fiqih Sunnah, jakarta : PT. Pena Pundi Aksara,

2009, hal. 677 4 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Terj. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal. 563

5 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang : PT Pustaka

Rizki Putra, 1996, hlm. 188.

47

berhak menerima zakat dari bagian muallaf. Menurut pendapat ini, ada

empat kelompok orang Islam yang masuk dalam kategori muallaf,6 yaitu

pertama, orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah. Mereka

diberi zakat supaya kuat imannya. Kedua, seorang pemimpin yang masuk

Islam yang memiliki pengikut. Mereka diberi zakat agar pengikutnya yang

masih kafir mau masuk Islam. Ketiga, orang Islam yang kuat imannya.

Kelompok ini diberi zakat agar mereka mampu mencegah keburukan

orang-orang kafir. Dengan kata lain, mereka menjadi tameng pertama dari

keburukan yang ditimbulkan oleh orang kafir terhadap orang Islam.

Keempat, orang-orang yang mencegah keburukan dari mereka yang

menolak zakat.

Malikiyah membagi muallaf pada dua kelompok, yaitu pertama,

orang-orang kafir; mereka diberi zakat untuk membuat mereka cinta

terhadap Islam. Kedua, orang-orang yang baru masuk Islam; mereka diberi

supaya iman mereka menjadi lebih kuat.7 Sedangkan menurut Hanabilah,

orang-orang yang termasuk muallaf adalah para pemimpin yang

diharapkan keislamannya atau yang dikhawatirkan keburukannya terhadap

orang Islam atau yang diharapkan kuat imannya atau keislaman para

sekutu atau sahabatnya yang kafir atau pemimpin yang dibutuhkan untuk

mengumpulkan zakat dari orang-orang Islam yang enggan mengeluarkan

zakat.8

6 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madhahib al-Arba‟ah, vol 1, hal. 625

7 ibid hal. 623

8 Ibid, hal. 624

48

Sayyid Sabiq membagi muallaf pada dua kategori, yaitu orang Islam

dan orang kafir. Menurutnya muallaf muslim ada empat kelompok, antara

lain sebagai berikut :9

1. Para orang terhormat kaum muslimin yang memiliki para pengikut

atau teman dari orang-orang kafir.

Dengan diberikannya zakat kepada mereka, orang-orang kafir

itu dapat diharapkan masuk Islam. Hal ini seperti Abu Bakar

memberikan zakat kepada Adi bin Hatim Zabraqan bin Badr

walaupun keislaman dua muslim ini baik, keduanya adalah orang yang

dihormati kaumnya.

2. Orang-orang muslim yang imannya lemah, tapi dihormati dan ditaati

oleh kaumnya.

Dengan diberikannya zakat kepada mereka, keimanan mereka

diharapkan dapat menjadi kuat dan kukuh serta mau saling menasehati

untuk ikut jihad di jalan Allah dan lain sebagainya. Mereka adalah

seperti orang yang diberi hadiah yang banyak oleh Rasulullah dari

harta rampasan perang Hawazan.

Mereka adalah sebagian penduduk Makkah yang dibebaskan

oleh Nabi SAW. pada penaklukan kota Makkah. Diantara mereka ada

yang munafik dan ada yang lemah lemah imannya. Setelah Rasulullah

memberi hadiah yang banyak kepada mereka, mereka menjadi kukuh

imannya dan melaksanakan ajaran Islam dengan baik.

9 Sayyid Sabiq, op.cit, hal. 677-678

49

3. Kelompok muslim yang berada di perbatasan negeri musuh.

Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan mereka

gigih dalam membentengi kaum muslimin ketika musuh menyerang

negeri Islam. Pada zaman sekarang yang lebih berhak mendapat

santunan lagi adalah kaum muslimin yang diincar oleh kaum kafir

dengan tujuan memasukkan mereka ke dalam wilayah negeri kafir

atau membuat mereka murtad dari agama Islam.

4. Kaum muslimin yang dibutuhkan bantuannya untuk mengambil zakat

dari orang-orang yang tidak mau membayarnya, kecuali melalui

kekuatan dan pengaruh kaum muslimin tersebut.

Sebetulnya ketika mereka tidak mau membayar zakat,

pemerintah Islam berhak memerangi mereka, akan tetapi dengan cara

tersebut kerugiannya lebih kecil dan kemaslahatannya lebih besar.

Adapun muallaf kafir ada dua kelompok, antara lain sebagai

berikut:10

1. Orang yang diharap keimanannya dengan pemberian zakat kepadanya.

Seperti Shafwan bin Umayyah yang telah diberi jaminan

keamanan oleh Nabi Muhammad saw. Pada penaklukan Mekah,

beliau memberikan kesempatan kepadanya selama empat bulan agar

mengamati aktifitas umat Islam secara langsung dan menentukan

pilihan sendiri berdasarkan pengamatannya tersebut.

10

Ibid, hal. 678-679

50

Ia sempat menghilang, kemudian datang lagi dan ikut perang

bersama kaum muslimin dalam peperangan Hunain. Waktu itu, ia

belum masuk Islam. Nabi saw sempat meminjam senjatanya dalam

peperangan itu. Beliau memberi banyak unta yang ada di sebuah

lembah kepadanya. Ia berkata “Ini adalah pemberian orang yang tidak

takut fakir”. Ia juga berkata “sungguh, Nabi saw telah memberi hadiah

kepadaku. Pada awalnya, beliau adalah manusia yang paling aku

benci. Namun, beliau selalu memberi hadiah kepadaku hingga beliau

bisa menjadi manusia yang paling aku cintai”.

2. Orang kafir yang dikhawatirkan melakukan tindakan buruk terhadap

Islam. Namun, ketika mereka diberi hadiah, dapat diharapkan mereka

menahan tindakan buruknya tersebut.

Ibnu Abbas ra. berkata, “sesungguhnya ada kaum yang datang

kepada Nabi. Jika beliau memberi hadiah kepada mereka, mereka

memuji Islam. Mereka akan berkata „ini adalah agama yang baik‟.

Jika beliau tidak memberi hadiah kepada mereka, mereka mencela

Islam dan mencemoohnya. Diantara mereka adalah Sufyan bin Harb,

Aqra‟ bin Habis, dan Uyainah bin Hishn. Nabi saw, telah memberi

seratus unta kepada mereka masing-masing”.

Menurut Yusuf Qardawi kelompok muallaf terbagi kedalam

beberapa golongan, yang muslim maupun yang bukan muslim. 11

11

Yusuf Qardawi, loc.cit, hal. 562-566

51

Pertama, golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman

kelompok serta keluarganya. Kedua, golongan orang yang dikuatirkan

kelakuan jahatnya. Mereka ini dimasukkan kedalam kelompok mustahiq

zakat, dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Ketiga, golongan

orang yang baru masuk Islam. Mereka perlu diberi santunan agar

bertambah mantap keyakinannya terhadap Islam. Keempat, pemimpin dan

tokoh masyarakat yang memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat

orang kafir. Dengan memberi mereka bagian zakat, diharapkan dapat

menarik simpati mereka untuk memeluk Islam. Kelima, pemimpin dan

tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi

imannya masih lemah. Mereka diberi bagian dari zakat dengan harapan

imannya menjadi tetap dan kuat. Keenam, kaum muslimin yang bertempat

tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan dengan musuh. Mereka

diberi dengan harapan dapat mempertahankan diri dan membela kaum

Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari benteng itu dari sebuah musuh.

Ketujuh, kaum muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat

orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan paksaan seperti

dengan diperangi. Dalam hal ini mereka diberi zakat untuk memperlunak

hati mereka.

Semua kelompok tersebut di atas termasuk dalam pengertian

“golongan muallaf” baik mereka yang muslim maupun yang kafir.

Dan perlu untuk diketahui, bahwa perkataan “muallaf” di masa

dahulu, tidak diberikan untuk tiap mereka yang baru masuk islam, tapi

52

hanya diberikan kepada mereka yang dirasa lemah imannya dan perlu

disokong iman yang lemah itu dengan pemberian. Sudah umum diketahui

bahwa pada masa Nabi yang dinamai muallaf, hanyalah orang yang

diketahui ada menerima bagian ini saja. Kebanyakan dari kita sekarang

menamakan muallaf pada semua yang baru masuk Islam saja tanpa melihat

kepada lemah atau kuatnya iman mereka.12

Di antara hikmah dari ditetapkannya bagian khusus untuk mereka

yang dijinakkan hatinya adalah pembuktian bahwa pada hakikatnya Islam

adalah agama yang lebih cenderung kepada kebaikan, kelembutan dan juga

kesejahteraan. Dan seringkali terjadi kekufuran atau keingkaran seseorang

dari memeluk agama Islam karena faktor ekonomi atau kesejahteraan, meski

masih berupa kekhawatiran.13

B. Pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai

mustahiq zakat

Sebelum menguraikan pemikiran Umar bin Khattab tentang

pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, ada baiknya juga kita

sebutkan bahwa al-Faruq Umar yakin sekali bahwa Islam adalah jiwa dan

akidah. Orang tidak akan sempurna imannya sebelum ia memahami jiwa

agama yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena

itu ketentuan-ketentuan hukum Qur‟an yang diturunkan disesuaiakan dengan

jiwa yang menyertainya. Jika di dalamnya terdapat sunnah yang berasal dari

12

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka

Rizki Putra, 1996, hal. 189 13

Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan 4 : Zakat, Jakarta : DU Publishing, 2011, hal.294

53

Rasulullah dalam kata atau perbuatan, pertalian sunnah itu perlu diketahui

untuk kemudian diterapkan dengan sangat hati-hati. 14

Di dalam al-Quran, Allah telah menjelaskan bahwa kelompok-

kelompok atau golongan-golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq

zakat) adalah berjumlah delapan atau yang biasa dikenal dengan istilah

delapan asnaf, Allah berfirman dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60:

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,

orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang

dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang

berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam

perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.15

Bahkan dalam suatu hadits, Nabi memperjelas bahwa ketentuan

delapan golongan penerima zakat di atas ditetapkan sendiri secara langsung

oleh Allah : 16

14

Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Bogor : Litera Antar Nusa, 2011,

hal.690 15

Departemen Agama RI, Op.Cit., hal. 196 16

Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, vol. 1 Beirut: Dar al-Fikr, 1994,

hal. 381.

54

“Aku datang kepada Nabi dan berbai‟ah kepadanya. Kemudian datang

seorang laki-laki dan berkata berikanlah aku bagian zakat. Maka Nabi

berkata kepadanya bahwa sesungguhnya Allah tidak senang dengan jika

ketetapan hukum tentang zakat ditetapkan oleh para nabi-Nya dan orang lain

sehingga Ia sendiri yang menetapkan hukum zakat tersebut. Maka Ia

membagi zakat itu kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk

golongan-golongan tersebut maka aku akan memberikan hakmu”.

Secara umum ayat tersebut tidak mengatur bagaimana seharusnya dan

sebaiknya membagikan harta zakat kepada mustahiqnya yang delapan macam

itu. Oleh karena itulah, ulama dengan mempergunakan argumentasi mereka

masing-masing, berbeda pendapat di samping ada yang mengharuskan

pembagian secara merata kepada semua kelompok (ashnaf yang delapan), ada

pula yang tidak mengharuskannya. Penyebab terjadinya perbedaan pendapat

itu, menurut Ibnu Rusyd, ialah adanya sementara ulama yang terikat oleh

tekstual ayat, yang menghendaki pembagian kepada semua kelompok,

sedangkan yang lain berpegang kepada makna esensial dari ayat yang

tujuannya untuk menyelesaikan suatu problem sosial dalam masyarakat

Islam.17

Salah satu dari delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Allah

sebagai penerima zakat adalah kelompok muallaf. Rasulullah saw semasa

17

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta :

Pustaka Amani hal. 612.

55

hidupnya selalu memberikan zakat kepada delapan ashnaf tersebut secara

lengkap, termasuk memberikan zakat kepada ashnaf “al-Muallafah

Qulubuhum”. Beberapa orang yang oleh Nabi diberi zakat atas kriteria

tersebut diantaranya adalah Abu Sufyan dan Uyainah bin Hasan. Safwan bin

Umayyah berkata : Demi Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat)

padahal beliau adalah orang yang paling aku benci. Dan beliau terus

memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku

cintai”.18

Pemberian itu diberikan sebagai pelunak hati mereka, agar tidak

terpikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka,

dan untuk menarik simpati mereka untuk mau mengikuti dakwah baru ini

(islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam

dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.

Adanya pembagian jatah atau pemberian harta seperti itu, disamping

menguntungkan mereka (orang-orang non muslim), juga bermanfaat bagi

Islam. Karena kebanyakan mereka adalah para pembesar dan pemimpin

kaum, sedangkan kebanyakan pengikut agama baru ini adalah rakyat jelata

dan hamba sahaya yang merindukan kebebasan, kemerdekaan dan persamaan

di bawah lindungan agama yang menyuarakan hal tersebut.

Oleh karena itu tidak mengherankan lagi jika kebanyakan orang-orang

yang mau ditundukkan hatinya (al-Muallafah Qulubuhum) adalah para

18

Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,

Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806

56

pembesar dan orang-orang yang terhormatkaum.yang mereka itu terdiri dari

tiga macam kelompok :19

1. Orang-orang musyrikin yang hatinya masih jauh dan asing dari keislaman.

Mereka diberi bagian dari harta Islam dengan maksud agar mereka tidak

menyakiti dan mengganggu orang muslim, dan juga agar bisa dimintai

tolong bila ada kelompok-kelompok lain dari golongan mereka orang

kafir, jika pertolongan itu memang dibutuhkan. Hal ini juga dimaksudkan

agar mereka tidak bersama-samadan bersatu padu menyerang Islam yang

baru tumbuh itu.

2. Orang-orang musyrikin dari kalangan para pembesar dan orang-orang

terhormat. Mereka ini orang-orang yang bisa menimbulkan kembali

permusuhan kepada Islam. Oleh karena itu Rasulullah memberikan mereka

bagian zakat dan berusaha mendekati mereka agar mereka mau bergumul

dengan dakwah Islamiyah. Jika demikian, maka bisa saja mereka itu akan

beriman atau minimal frekuensi mereka dalam memusuhi Islam akan

berkurang. Dan mereka pun tidak akan mengintimidasi atau menghalang-

halangi kaumnya yang hendak memeluk Islam.

3. Orang-orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah yang

mudah goyah, yang dibenaknya masih tersimpan sisa-sisa materialisme

yang dulu menjadi pujaan dalam hidupnya. Maka mereka diberi bagian

zakat agar mereka tidak kembali kepada kekafiran mereka jika terdesak

19

Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta : Khalifa, 2005,

hal.179

57

kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan karena Rasul tahu bahwa orang

lapar yang lemah akidahnya, tentu akan sulit baginya mengimani apa saja.

Rasulullah tidak pernah menahan atau menyisakan harta maupun

tenaganya jika untuk kepentingan kebaikan di jalan Allah. Diriwayatkan dari

Anas bin Malik, bahwa Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu apapun,

kecuali beliau memberikannya.

Dari Anas bahwasanya Rasulullah tidak pernah dimintai sesuatu apapun

kepadanya atas nama Islam, melainkan beliau memberikannya. Pernah

datang Seorang laki-laki kepadanya, dan serta merta meminta harta kepada

beliau, maka Nabipun menyuruh memberikan kepadanya sekumpulan

kambing hasil zakat yang memenuhi lembah antara dua bukit. Kemudian

orang itu kembali kepada kaumnya lalu berkata: wahai kaumku, masuk

Islamlah kalian semua, Karena sesungguhnya Muhammad memberikan

sesuatu pemberian yang sangat banyak, tanpa sedikit pun kuatir jatuh

melarat.”20

Rasulullah memberikan bagian zakat kepada mereka itu dan juga yang

lainnya, dan tidak memberikan bagian ini kepada banyak kaum muslimin

yang benar-benar kuat dan tulus keislamannya. Meskipun jerih payah dan

kesibukan mereka berjihad dan berdakwah tentunya sangat layak untuk

20

Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jil. III, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 178

58

menerima bagian tersebut. Hal ini menyebabkan salah seorang sahabat pernah

bertanya kepada beliau “wahai Rasulullah, engkau memberikan bagian

kepada Uyainah bin Hisam dan Aqra‟ bin Habis, tapi mengapa Juail bin

Suraqah Ad-Dhamari tidak engkau berikan? Rasulpun menjawab, “Demi

Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggamanNya, Juail bin

Suraqah adalah lebih baik dan lebih utama daripada seluruh apa yang ada di

muka bumi ini, sebagaimana Uyainah bin Hishn dan juga Aqra‟ bin Habis.

Namun hal itu (aku lakukan) untuk menarik hati keduanya untuk masuk

Islam. Dan aku yakin bahwa Juail bin Suraqah akan masuk Islam.21

.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memanggil Uyainah bin Hisn

dengan “al-Ahmaq al-Mutha‟ fi Qaumihi (orang bodoh yang ditaati

kaumnya)”, karena demikian itulah ia perlu dibujuk rayu hatinya. Sedangkan

Ju‟ail adalah orang yang sangat fakir dari golongan ahli Shuffah.22

Dan jika kita mengikuti perjalanan hidup orang-orang yang telah

diberikan sesuatu oleh Nabi tersebut, kita akan menemui banyak dari mereka

yang akhirnya masuk Islam. Bahkan sebagian dari mereka, menduduki tempat

dan posisi penting di kalangan kaum muslimin, seperti Muawiyah, khalifah

pertama Bani Umayyah. Namun ada pula sebagian dari mereka yang tetap

tidak tulus dan tidak mau memeluk Islam, meski kereka sudah tidak pernah

lagi berbuat jahat kepada orang-orang Islam.

Demikianlah, pemberian bagian zakat kepada orang-orang Muallaf

tetap berlanjut hingga Rasulullah meninggal. Pada masa kekhalifahan Abu

21

Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jil. III, Dar al-Fikr, hal. 332 22

Muhammad Baltaji, Op. Cit., hal. 198

59

Bakar, ketika kaum muslimin berhasil menumpas orang-orang murtad dan

para pembangkang yang tidak mau membayar zakat, maka murnilah ajaran

Islam di jazirah Arab, sehingga kekuatan Islam semakin kuat, tidak hanya di

jazirah Arab saja akan tetapi juga di luar Arab, sehingga kekuatan ini bisa

mengimbangi dua super power saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Kekuatan

kedua imperium ini semakin menyusut dan lumpuh ketika mereka

membiarkan kekuatan Islam ini menghancurkan dan mengikis kekuatan

mereka, sebagaimana yang terjadi pada kekhalifahan Umar bin Khattab.

Di akhir masa kekhalifahan Abu Bakar, setelah ia berhasil

menaklukkan kota Hauzan, datanglah dua orang muallaf menemui sang

khalifah. Mereka berdua ini ingin meminta bagian zakat dari khalifah berupa

tanah sebagaimana Nabi memberikan bagian kepada mereka.23

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, dari

Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata : bahwa suatu saat,

„Uyainah bin Hishn dan al-Aqra‟ bin Habis datang kepada Khalifah Abu

Bakar untuk meminta bagian zakat mereka dari golongan muallaf berupa

tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup.

Keduanya berkata, “sesungguhnya di tempat kami ada tanah-tanah kosong,

yang yang tidak berumput dan tidak berfungsi, bagaimana jika tanah itu anda

berikan kepada kami?” Maka Abu Bakar membuat surat (catatan) untuk

mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar tidak ada

di situ, namun ketika mereka menyerahkan surat tersebut kepada Umar, ia

23

ibid, hal. 181

60

menolak memberikan zakat kepada mereka dan langsung menyobek surat itu

kemudian berkata, “dahulu Rasulullah menganggap kalian sebagai muallaf,

ketika Islam saat itu masih kecil dan pemeluknya masih sedikit. Sedangkan

sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan jaya, maka pergilah kalian

bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”24

Selanjutnya Umar bin

Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29 yang berbunyi :25

“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka

barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa

yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.

Mendengar kata-kata Umar bin Khattab seperti ini, mereka langsung

datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi

khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh

Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.26

Umar kemudian mengeluarkan satu statemen hukum, bahwa al-

muallafah qulubuhum tidak mendapat bagian zakat, yang tidak ada satupun

dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui pendapat dan

apa yang dilakukan Umar tersebut.

24

Ibnu Katsir, Musnad al-Faruq Amir al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat

juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam,

Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238. 25

Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat

lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah :

Lihat Wahbah al-Zuhayli, al-

Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hal. 1954. 26

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga

Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda.

61

C. Alasan dan latar belakang pemikiran Umar bin Khattab menggugurkan

hak muallaf sebagai mustahiq zakat

Dilihat dari klasifikasi golongan muallaf, sebagaimana diperinci oleh

fuqaha, maka diberikannya bagian zakat untuk ashnaf al-muallafah

qulubuhum karena ada tujuan-tujuan dan maksud-maksud tertentu yang

sifatnya sangat kondisional. Oleh sebab itulah, di waktu kondisi umat Islam

telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah semakin mantap, Umar

menghentikan pemberian bagian muallaf, bukan saja kepada orang-orang

yang sebelumnya pernah menerima bagian muallaf, tetapi juga kepada orang-

orang lain yang semacamnya. Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu

Bakar di kala ia masih menjadi khalifah untuk memberikan tanah-tanah

tertentu pada sejumlah orang atas dasar ini, Umar berpendapat bahwa

Rasulullah telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi

karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidak berlaku lagi.27

Umar mencegah pemberian bagian zakat kepada para muallaf di masa

pemerintahan Abu Bakar, dan di masa pemerintahannya, karena pada masa

pemerintahan Abu Bakar dan masa kekhalifahan sang khalifah kedua ini

sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang layak disebut al-muallafatu

qulubuhum (orang-orang yang ditaklukan hatinya). Ini persis seperti

manakala pada suatu masa, di suatu tempat tertentu tidak ditemukan adanya

orang fakir dan miskin. Tentu kita tidak mengamalkan apa yang tersurat

27

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic

Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970, hal. 107

62

dalam Al-Qur‟an tentang bagian mereka, sampai ditemukan kembali orang-

orang fakir dan miskin di tempat tersebut.28

Setelah Rasulullah wafat, dan Islam telah tersebar di seluruh

semenanjung Arab, juga setelah orang-orang Islam melewati ujian berat

bertempur melawan kawan sendiri yang murtad, yang akhirnya dalam sekejap

saja berakhir dengan tunggang langgangnya orang-orang murtad tersebut dan

menyerah tanpa syarat kepada pasukan Islam, semakin jelaslah dan terbukti

bahwa kekuatan Islam adalah sangat luar biasa, suaranya membahana di

seantero Arab, dan gaungnya menggema kemana-mana sampai jauh keluar

jazirah Arab, memenuhi ufuq dan menembus cakrawala. Jadi tidak diperlukan

lagi penghambur-hamburan kas negara untuk menarik simpati dan membujuk

orang untuk masuk islam.

Inilah yang menjadi alsan mengapa Abu Bakar dan seluruh sahabat

yang lain dengan secara spontan sepakat menerima pendapat Umar, tanpa

harus didahului adu argumen terlebih dahulu. Karena mereka merasa

diingatkan oleh Umar tentang hakikat Islam yang sekarang, yang sudah

sangat kuat, tidak perlu lagi menghamburkan uang untuk menarik simpati

orang lain non muslim. Sebagaimana yang dikatakannya dahulu

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan Islam ini besar dan jaya. Kebenaran

adalah dari Tuhan kalian. Maka barangsiapa yang mau beriman, maka

berimanlah, dan barangsiapa yang tidak mau beriman, maka kafirlah”. Dan

bagaimana mungkin, Islam masih harus membujuk-bujuk hati orang agar

28

Muhammad Baltaji, Op. Cit., hal. 182

63

mau memeluknya, sedangkan pasukannya saja mampu menggetarkan dan

meporak-porandakan kekuatan super power kala itu, yaitu imperium persi dan

romawi.

Dari hal itu, tidak diragukan lagi bahwa hukum tentang ada dan

tidaknya orang-orang muallaf, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang

ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Kalau memang dibutuhkan atau

ada, maka ketika itulah hak-hak mereka diberikan, sebagaimana ketentuan

dalam Al-Qur‟an, tapi kalau tidak ada atau sudah tidak diperlukan, bagaimana

mungkin harus dipaksakan? Dengan ini jelaslah, bahwa Umar, Abu Bakar

dan juga para sahabat yang lain tidak menyalahi teks-teks Al-Qur‟an ataupun

melanggar apa yang telah dilakukan Nabi. Karena apa yang mereka lakukan,

tidak ada niatan sedikitpun untuk mengesampingkan ayat Al-Qur‟an atau

bahkan menghapusnya. Mereka hanya menahan bagian yang sudah tidak ada

pemiliknya, yang hal itu tidak ada yang berhak menerimanya. Sehingga kalau

seandainya pada masa Umar ataupun setelahnya ada kondisi-kondisi dan

alasan yang memungkinkan dibagikannya bagian-bagian tersebut kepada

yang berhak, tentu mereka akan mengeluarkannya dan memberikan kepada

pemilik-pemiliknya yang berhak.29

Menurut Ahmad Azhar Basyir, sesungguhnya Umar telah melakukan

istinbat dengan menentukan „illat hukum yang tidak disebutkan di dalam

nash, sehubungan dengan tidak lagi perlunya pemberian zakat kepada

muallaf. Muallaf dapat merupakan (1) orang yang baru masuk Islam, yang

29

Ibid, hal. 183-184

64

dilunakkan hatinya untuk betah beragama Islam, disamping pertimbangan

keadaan ekonominya, dengan penerimaan zakat kepadanya. Dapat pula

merupakan (2) orang bukan Islam yang hatinya telah dekat kepada Islam,

dapat pula merupakan (3) orang bukan Islam yang bersikap memusuhi Islam.

Muallaf yang ketiga ini, pada masa Nabi saw, diberi zakat untuk mengurangi

sikap permusuhan terhadap Islam. Muallaf kedua diberi zakat agar cepat

masuk Islam. Sedang muallaf pertama diberi zakat agar makin mantap dalam

beragama Islam. Pemberian zakat kepada muallaf ketiga itu dicari illat

hukumnya oleh khalifah Umar bin Khattab, dan ia mengambil ketetapan

bahwa illat hukum memberikan zakat kepada muallaf ialah keadaan ia lemah

agama dan keadaan umat Islam pada permulaan sejarahnya. Setelah pada

masa khalifah Umar keadaan Islam dan umatnya telah cukup kuat, dan tidak

diperlukan lagi melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat

kepada muallaf ketiga (yang memusuhi Islam) dihentikan, karena illat

hukumnya telah tidak ada lagi. Tentu saja, pemberian zakat kepada muallaf

yang baru saja masuk Islam, dan yang telah sangat dekat kepada Islam, tidak

dihentikan.30

30

Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, dalam Jalaludin

Rohmad, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1988, hal. 58

65

BAB IV

ANALISIS PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB TENTANG

PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

A. Analisis terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran

hak muallaf sebagai mustahiq zakat

Terhadap pemikiran Umar bin Khattab tentang kedudukan “al-

muallafah qulubuhum” sebagai mustahiq zakat ini, tidak seorangpun dari

para sahabat menentangnya pada saat itu. Lain halnya dengan para ulama

yang datang kemudian, mereka berbeda pendapat tentang hal itu. Terutama

sekali dalam hubungannya dengan kedudukan ayat 60 surat at-Taubah

tersebut. Apakah berarti ayat itu ter-mansukh atau tidak? Dan apakah

pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai

mustahiq zakat dapat dijadikan dasar ijtihad dalam khazanah ilmu fiqih?

Masalah utama yang menjadi persoalan di atas adalah apakah ijma‟

sahabat yang disimpulkan sebagai kesepakatan atas pemikiran Umar bin

Khattab dapat menasakh ketentuan Allah mengenai bagian zakat untuk

golongan muallaf?

Di dalam teori nasakh dijelaskan bahwa tidak semua teks atau nash

dapat menerima adanya nasakh. Teks atau nash bisa dinasakh manakala

ketentuan baik dan buruk yang terkandung di dalamnya itu bisa berubah

menurut kondisi manusia. Oleh karena itu, hukum-hukum dasar (al-ahkam

al-asasiyah) yang mencakup ushuluddin, akidah, ibadah, dan nash yang

66

mencakup fadhilah tidak bisa dinasakh karena hukum-hukum tersebut

bersifat konstan atau tidak mengikuti perubahan kondisi manusia.1

Di samping itu, teks atau nash hanya bisa dinasakh dengan nash lain

jika sejajar kekuatannya atau lebih kuat daripadanya. Hal ini sesuai dengan

kaidah :

“Bahwasanya nash tidaklah dinasakhkan kecuali dengan nash sejajar

kekuatannya atau lebih kuat daripadanya”.2

Pada dasarnya, nasakh merupakan pembatalan atas suatu hukum

yang disyari‟atkan oleh Allah, baik itu dengan pengganti hukum lain atau

tanpa pengganti sama sekali. Adapun yang berhak membatalkan hukum

adalah Dia yang memiliki syari‟ah, yaitu Allah melalui wahyu yang

disampaikan kepada Nabi-Nya. Karena itu, nasakh hanya dapat terjadi pada

masa hidup Rasulullah SAW., bukan sesudahnya.

Ada atau tidaknya nasakh dalam suatu hukum hanya dapat diketahui

melalui dalil nash yang disampaikan oleh Syari‟ kepada Nabi; bahwa suatu

hukum dinasakh dengan hukum lain atau suatu nash dinasakh dengan nash

lain. Cara lain untuk mengetahui adanya nasakh adalah adanya dua dalil

(nash) yang saling bertentangan dan tidak mungkin untuk dilakukan metode

al-jam‟u wa at-taufiq. Di samping itu, masa turun dari kedua nash tersebut

1 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, penerj. Moh.Zuhri, Semarang : Dina Utama,

1994, hal. 355 2 Ibid, hal. 356

67

dapat diketahui mana nash yang lebih dulu turun dan mana nash yang

datang lebih akhir.

Hukum muallaf sebagai golongan yang berhak menerima zakat telah

dipraktekkan (ma‟mul bih) pada masa Nabi masih hidup. Bahkan ketika

masa risalah itu sudah selesai dengan wafatnya Nabi, hukum muallaf masih

dipraktekkan oleh Abu Bakar pada awal masa kekhalifahannya sebelum

Umar bin Khattab menghentikan pembagian zakat kepada golongan

muallaf. Jika setelah masa risalah ketetapan hukum muallaf masih

dipraktekkan, maka tidaklah tepat hukum muallaf yang secara jelas (sarih)

dinashkan oleh Allah dalam Q.S. at-Taubah ayat 60 dinasakh oleh

pendapatnya Umar bin Khattab.

Di dalam pendapatnya tersebut, Umar bin Khattab secara jelas tidak

mengatakan bahwa ia dengan pendapatnya hendak menasakh hukum

distribusi zakat kepada golongan muallaf. Keengganan Umar memberikan

zakat kepada golongan muallaf didasarkan pada alasan bahwa Islam pada

saat itu sudah diberikan kemuliaan oleh Allah, yaitu kemuliaan yang belum

diberikan secara sempurna ketika Nabi masih hidup. Hal ini didasarkan pada

perkataan Umar bahwa pada masa Nabi, golongan muallaf diberikan harta

zakat untuk membuat hati mereka luluh terhadap Islam. Seolah-olah

menurut Umar, Islam pada saat itu masih dalam kondisi yang lemah karena

sedikitnya pemeluk Islam. Namun ketika Islam sudah mendapatkan

kemuliaan dan kejayaan dengan banyaknya pemeluk Islam, maka ia merasa

sudah tidak perlu lagi untuk menta‟lif mereka yang masuk dalam golongan

68

muallaf. Jadi alasan („illat) yang disampaikan oleh Umar adalah bersifat

kondisional. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyyah :

“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”

3

Dengan kata lain, jika pada suatu masa ada satu atau beberapa

kondisi yang menuntut untuk melakukan ta‟lif maka hukum tentang

distribusi zakat kepada golongan muallaf diberlakukan kembali. Sebaliknya,

jika satu atau beberapa kondisi dalam suatu masa tidak menuntut untuk

melakukan ta‟lif maka hukum tentang distribusi zakat kepada golongan

muallaf ditunda pemberlakuannya.

Kemudian dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaidah hukum yang

cukup populer, yaitu :

“Hukum berlaku dengan ada dan tidaknya „illat hukumnya.”

4

Kaidah ini menegaskan bahwa hukum itu berputar bersama dengan

„illatnya, jika ada „illat maka ada hukum dan jika „illat itu tiada maka hukum

pun menjadi tiada. Dengan demikian, „illat hukum adalah hal yang sangat

berperan dan berpengaruh besar terhadap ada ataupun tiadanya sesuatu

hukum. Suatu hukum yang bersendikan pada „illat dapat berubah apabila

„illat itu berubah atau telah hilang. Contoh yang sangat populer yang biasa

dikemukakan oleh para ulama tentang hal ini ialah mengenai hukum

3Ahmad bin Muhammad az-Zarqa, Syarh al-qawaid al-Fiqhiyyah, Dar al-Qalam, hal. 129

4 Ibid, hal. 300

69

haramnya khamr (minuman keras yang terbuat dari perasan anggur).

Keharaman khamar ini dikarenakan adanya „illat, yaitu iskar yakni unsur

memabukkan yang terdapat dalam minuman tersebut. Apabila unsur itu

hilang, khamar yang semula haram itu kemudian telah menjadi cuka

hukumnya menjadi halal. Jelas di sini terdapat perubahan hukum yang

disebabkan perubahan „illat hukum.

Keterangan di atas, senada dengan pemahaman mayoritas fuqaha

atas pemikiran Umar bin Khattab bahwa Umar dengan pendapatnya tersebut

tidak hendak menasakh ketentuan zakat bagi golongan muallaf, melainkan

menunda sementara ketentuan tersebut karena absennya sejumlah syarat

yang seharusnya terpenuhi. Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan

golongan muallafah qulubuhum, menunjukkan bahwa ta‟lif al-qulub

(membujuk hati) merupakan „illat menyerahkan zakat kepada mereka. Maka

apabila „illat itu ada - yakni pembujukan – mereka harus diberi, akan tetapi

bila „illat itu tidak ada maka mereka tidak perlu diberi. Umar merasa tidak

ada kebutuhan (hajah) untuk menta‟lif golongan muallaf pada saat itu

karena Islam sudah jaya.

Umar tetap memandang zakat sebagai fardhu yang telah difardhukan

(diwajibkan) Allah kepada muslimin, orang yang menunaikan zakat akan

mendapat ajr (pahala) dari Allah. Oleh karena itu Umar sangat tegas ketika

menghadapi persoalan zakat. Sebagai salah seorang sahabat yang terkenal

wara‟, zuhud, dan senantiasa berupaya mendekatkan diri kepada Allah,

Umar melaksanakan berbagai kewajiban yang telah difardhukan atau

70

diwajibkan kepada hamba-Nya. Di antara kewajiban tersebut adalah

persoalan penanganan pembagian zakat.

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan tentang “metode

ijtihad Umar bin Khattab”,5 Umar dalam mengeluarkan pendapat hukum

selalu menggunakan al-Qur‟an sebagai landasan utamanya. Jika suatu

permasalahan ia temukan hukumnya dalam al-Qur‟an, maka ia

memutuskannya sesuai dengan apa yang ada di al-Qur‟an tersebut. Jika ia

tidak menemukan dalam al-Qur‟an, ia lalu mencarinya dalam sunnah. Dan

jika hukumnya tidak ia temukan juga di sunnah, maka ia beranjak untuk

bermusyawarah dengan ahli ijtihad dan kemudian berijtihad.6

Umar sangat berhati-hati ketika ada suatu perkara yang berhubungan

–baik hubungan dekat atau jauh- dengan agama. Apalagi masalah tasyri‟

yang berhubungan dengan kehormatan, jiwa dan harta.

Seperti ketika Umar mencurahkan ijtihadnya dalam menangani

kasus tanah rampasan perang, dikisahkan dalam sejarah, bahwa setelah

daerah Irak, Syam dan juga Mesir berhasil diduduki pasukan muslimin, para

bala tentara muslim meminta kepada para komandan perang untuk

membagi tanah yang berhasil dikuasai kepada masing-masing pasukan yang

ikut serta dalam perang. Para komandan tersebut tidak mau mengambil

keputusan dan menyerahkan masalah ini kepada Khalifah Umar bin

Khattab. Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, dan mengajak

5 Pembahasan tentang “Metode Ijtihad Umar bin Khattab” sudah dijelaskan pada bab II.

6 Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, (penerj. Masturi Irham),

Jakarta : Khalifa, 2005, hal. 453

71

mereka bermusyawarah membahas masalah pembagian tanah yang telah

dianugerahkan Allah kepada kaum muslimin tersebut.

Salah satu nash yang menjadi objek tentang masalah pembagian

tanah hasil rampasan perang adalah surat al-Anfal ayat : 41,

Artinya : “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh

sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk

Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang

miskin dan ibnussabil.”7

Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa 1/5 (seperlima) dari

harta rampasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan. Adapun 4/5 (empat perlimanya) Rasulullah membagikannya

kepada tentara yang ikut dalam peperangan, yang besar kecil jumlahnya

disesuaikan dengan peranan dan peralatan yang dipergunakan.8 Yang sering

dipraktekkan Rasulullah kata Fazlur Rahman, ”Jika suatu suku tertentu

tidak menyerah secara damai, tetapi melalui pertempuran, maka tanah

mereka disita sebagai harta rampasan perang dan dibagi-bagikan kepada

pasukan kaum muslimin.9

Atas dasar ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi tersebut maka para

tentara yang ikut berperang datang kepada Umar dan meminta agar harta

7 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia

Arkanleema, 2009, hal. 8 Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar ibn al-Khaththab : Studi tentang Perubahan Hukum

dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987, hal. 155 9 Fazhur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung : Pustaka, 1983, Hal. 271-272

72

rampasan perang di Irak dan Syam 1/5 (seperlima) dari padanya segera

dikeluarkan untuk enam komponen yang tersebut dalam ayat dan

selebihnya dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Desakan oleh

sementara orang yang tidak sependapat itu digambarkan oleh Fazhur

Rahman, sebagai tantangan yang berkembang menjadi sebuah krisis.10

Oleh

sebab itu, bagaimanapun kerasnya sikap Umar, yang oleh sementara

kalangan sering dijadikan alasan sebagai salah satu faktor penyebab

kesuksesan Umar, namun berdasarkan kasus harta rampasan ini tidaklah

bisa dianggap bahwa ia bersikap otoriter, karena dalam kekerasannya,

bermusyawarah tidak pernah ditinggalkannya.

Dari berbagai sumber kutipan-kutipan dialog Umar dengan para

sahabat dapat disimpulkan bahwa pertimbangan yang melatar belakangi

Umar untuk mengambil sikap tersebut adalah:

1. Bahwa setelah tanah-tanah itu berada di tangan dan kekuasaan kaum

muslimin, selanjutnya perlu pemeliharaan. Untuk itu perlu ditempatkan

tentara guna pengamanannya yang tentunya juga perlu diberi tanah

untuk tempat tinggal mereka juga penghidupan mereka. Seandainya

tanah itu telah dibagi maka tujuan pemeliharaan tersebut tidak tercapai.

2. Apabila tanah-tanah itu dibagikan kepada para tentara yang ikut

berperang, maka dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perpecahan di

kalangan kaum muslimin karena dengan pembagian itu berarti pemilik

tanah-tanah tersebut akan mengelompok kepada kalangan tertentu

10

Ibid, hal. 272

73

yakni tentara-tentara yang ikut berperang saja. Bagaimana dengan

kaum muslimin yang kebetulan tidak ikut berperang atau yang datang

kemudian.

3. Apabila tanah-tanah itu dibagi-bagikan kepada para tentara yang ikut

berperang maka dikhawatirkan akan dapat melemahkan kekuatan

tentara Islam sendiri karena hal itu dapat menstimulir untuk berperang

dengan motivasi bukan karena Allah melainkan karena untuk

mendapatkan harta rampasan.

Terhadap sikap Umar yang menolak untuk membagikan tanah

rampasan tersebut, sebaliknya Umar menetapkan agar tanah tersebut tetap

berada pada tangan pemilik dan penggarapannya, hanya saja kepada mereka

diwajibkan membayar pajak dan pajak itulah yang kemudian untuk Baitul

Mal, yang selanjutnya dipakai untuk kepentingan dan kemaslahatan kaum

muslimin, termasuk kepentingan para tentara tersebut.

Dari contoh kasus tersebut kita dapat menilai tentang latar belakang

ijtihad yang dilakukan Umar, bahwasannya Umar sangat disiplin dalam

mengaplikasikan teks-teks syara‟, disamping juga disiplin dalam

merealisasikan kemaslahatan umum dalam posisinya sebagai khalifah yang

dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, Umar selalu disiplin dalam

mengaplikasikan syariat dan dalam waktu yang bersamaan menjamin

terealisasinya kemaslahatan umum.

Demikian juga ketika Umar dengan tegas menolak memberikan

bagian zakat kepada para muallaf di masa pemerintahan Abu Bakar dan di

74

masa pemerintahannya, karena sudah tidak dijumpai lagi orang-orang yang

layak disebut al-muallafah qulubuhum (orang-orang yang ditaklukkan

hatinya) disebabkan situasi dan kondisi umat Islam pada saat itu sudah

sangat kuat dan tidak perlu lagi untuk menarik simpati orang non muslim.

Inilah yang menjadi alasan mengapa Abu Bakar dan seluruh sahabat yang

lain secara spontan sepakat menerima pendapat Umar.

Tidak diragukan lagi bahwa hukum tentang ada dan tidaknya orang-

orang muallaf, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di tengah-

tengah masyarakat muslim. Umar, Abu Bakar dan juga para sahabat yang

lain tidaklah menyalahi teks-teks al-Qur‟an ataupun melanggar apa yang

telah dilakukan Nabi. Karena apa yang mereka lakukan, tidak ada niatan

sedikit pun untuk mengesampingkan ayat al-Qur‟an atau bahkan

menghapusnya. Mereka hanya menahan bagian yang sudah tidak ada

pemiliknya, yang hal itu tidak ada yang berhak menerimanya. Sehingga

kalau seandainya pada masa Umar ataupun setelahnya ada kondisi-kondisi

dan alasan yang memungkinkan dibagikan bagian-bagian tersebut kepada

yang berhak, tentu mereka akan mengeluarkannya dan memberikan kepada

pemilik-pemiliknya yang berhak.11

Dalam menanggapi hal tersebut, al-Jasshash berkata, “Abu Bakar

tidak mengingkari apa yang dilakukan Umar, meski setelah ia menetapkan

satu keputusan yang berseberangan dengan pendapat Umar itu. Ini

menunjukkan bahwa Abu Bakar mengerti alasan yang menjadi acuan

11

Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 183-184

75

pendapat Umar. Dan Abu Bakar merasa diingatkan, bahwa bagian para

muallaf adalah disesuaikan dengan situasi dan kondisi Islam itu sendiri.

Yaitu bagian mereka diberikan di saat jumlah pemeluk Islam sedikit dan

mayoritas penduduk adalah orang-orang kafir.” Al-Jasshash juga

meriwayatkan apa yang diriwayatkan apa yang diriwayatkan al-Hasan,

“sesungguhnya keberadaan orang-orang muallaf adalah pada masa Nabi,

adapun sekarang mereka sudah tidak ada lagi.”12

Jadi menghapus subsidi untuk mereka adalah sebagai upaya untuk

memperhatikan apa yang telah dicapai Rasulullah, dan bukan berarti

menasakhnya (menghapusnya). Karena yang menjadi kewajiban adalah

mengagungkan agama Islam, yaitu dengan memberikan bagian mereka

(saat Rasul), dan saat Abu Bakar dan Umar malah sebaliknya. Untuk

mencapai keagungan itu, mereka harus tidak memberikan bagian zakat

kepada mereka.13

Inilah pandangan jitu tentang tujuan tasyri‟ dan

hikmahnya.

Sekali lagi, Umar dan para sahabat tidak pernah menasakh al-Qur‟an

atau membatalkan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Ada

perbedaan mendasar antara membatalkan atau mengeliminasi nash dengan

penangguhan nash sementara pengamalannya sampai ditemukan kembali

segala perlengkapannya. Perbedaan ini akan semakin tampak jelas, mana

kala pada kondisi-kondisi tertentu dimungkinkan munculnya kembali hal-

hal tersebut. Sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Abdul Aziz

12

Al-Jasshas, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal. 183 13

Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 477

76

ketika memberikan kepada Al-Bithriq (komandan pasukan Romawi yang

membawahi 10.000 pasukan) mata uang sebanyak seribu dinar, demi

menjaga kepentingan dan kemaslahatan orang-orang Islam, dan sebagai

pengamalan dari ayat-ayat al-Qur‟an dan sunnah Nabi.14

Merupakan dalil aksiomatis (yang sudah jelas kebenarannya), jika

seandainya ayat ini telah dinasakh atau dibatalkan pada masa kekhalifahan

Abu Bakar, tentu tidak boleh lagi digunakan setelahnya. Dan perlu juga

ditegaskan bahwa setelah masa risalah berakhir, dan wahyu pun telah

selesai turun, tidak ada seorang pun yang bisa coba-coba menasakh satu

huruf pun dari teks-teks al-Qur‟an. Dan ini adalah realita tertinggi dalam

hukum Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam berkata, “sesungguhnya ayat

tentang orang-orang yang berhak menerima zakat di atas, adalah ayat-ayat

muhkam yang tidak pernah aku ketahui penasakhannya, baik oleh ayat Al-

Qur‟an yang lain maupun Sunnah. Jadi seandainya ada kelompok-kelompok

yang tidak senang dengan Islam, kecuali ia mendapatkan bagian-bagian

yang menguntungkannya (mendapatkan bagian zakat, misalnya) dan

memerangi mereka justru akan menimbulkan bahaya yang lebih besar

terhadap Islam, karena kekuatan dan besarnya jumlah mereka, maka

seorang pemimpin boleh memberi mereka bagian harta zakat. Apa yang

dilakukan imam atau pemimpin itu dengan memberikan bagian,

berdasarkan tiga alasan mendasar, yaitu:

14

Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub, hal. 64

77

1. Mengamalkan Al-Aqur‟an dan sunnah

2. Menyelamatkan orang-orang Islam

3. Sesungguhnya seorang imam tidak dianggap putus asa atau pengecut,

bila bersikap lunak kepada mereka, jika ada keyakinan bahwa mereka

akan tahu hakikat islam, dan menjadikan mereka akan senang dengan

Islam.

Karena itulah, Abu Ubaid berpendapat, “Perintah memberikan

bagian kepada muallaf adalah perintah abadi sepanjang masa.15

Adapun

parameter ada dan tidaknya muallaf, berikut kadar yang harus diberikan

kepada mereka, kesemuanya dikembalikan pada kebijakan imam atau

penguasa setempat.”

Menurut kesimpulan saya, bahwa kaum muslimin di masa Abu

Bakar dan Umar memang benar-benar mengalami puncak kejayaannya,

sehingga tidak butuh lagi untuk mencari dukungan atau merayu orang non

muslim, yang hal ini berarti menafikan adanya muallaf. Jadi bukan

menasakh ayat atau sunnah yang ada, karena hukum keduanya adalah abadi,

sampai adanya kembali kebutuhan Islam akan para muallaf, sehingga ayat

dan sunnah ini dapat kembali lagi dipraktikkan.

15

Abu Ubaid, Al-Amwal, Beirut : Dar al-Fikr al-Muashir, 1983, hal.607

78

B. Posisi pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf

sebagai mustahiq zakat dalam Pandangan Ulama’

Telah diketahui dengan masyhur bahwa Umar menghapuskan

bagian zakat yang diberikan kepada orang-orang muslim atau non muslim

tertentu untuk mendekatkan atau melunakkan hati mereka sebagaimana

diperintahkan al-Qur‟an. Rasulullah biasanya memberikan bagian ini pada

kepala suku Arab tertentu dengan tujuan untuk menarik mereka agar

memeluk Islam atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum

muslimin. Bagian ini diberikan pula pada orang-orang muslim yang baru

sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh. Tetapi Umar

mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar dikala ia masih menjadi

khalifah untuk memberikan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang. Atas

dasar ini, Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah memberikan bagian itu

untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian

itu tidak berlaku lagi. Tindakan Umar ini tampaknya bertolak belakang

dengan al-Qur‟an, tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada

dan mengikuti ruh perintah al-Qur‟an. Pertimbangan pribadinya

membawanya pada keputusan bahwa seandainya Rasulullah hidup dalam

kondisi yang sama, tentu beliau akan memutuskan hal yang serupa.16

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa bagian muallaf pernah

digugurkan terdapat pula dua tinjauan yang berbeda yang dampaknya ikut

mempengaruhi perkembangan pemikiran dewasa ini. Tinjauan pertama

16

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of Islamic

Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970, hal. 107

79

mengatakan bahwa konsensus (persetujuan umum) sahabat yang terjadi

pada masa Abu Bakar yang menggugurkan bagian muallaf tersebut telah

menasakh bagian muallaf yang terdapat pada ayat 60 surat at-Taubah.

Pemikiran semacam inilah barangkali yang membawa adanya teori lokal

dan temporal pada ayat-ayat al-Qur‟an. Sementara itu tinjauan yang kedua

berpendapat bahwa pengguguran bagian muallaf pada masa sahabat itu

bukanlah berarti sama dengan pembatalan (nasakh), tetapi yang sebenarnya

adalah „penghentian hukum disebabkan berhenti (tidak terpenuhi) „illatnya.‟

Pendekatan yang kedua ini nampaknya membuka pintu bagi teori adanya

sifat-sifat situasional dan kondisional ayat-ayat al-Qur‟an.17

Sebelum mengulas lebih mendalam tentang pandangan ulama,

khususnya bagaimana ulama khalaf memposisikan pemikiran Umar bin

Khattab tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq zakat, ada

baiknya penulis sedikit mengulas tentang definisi ulama khalaf

(kontemporer) disini dan siapa saja ulama-ulama kontemprer tersebut yang

penulis kutip pendapatnya berhubungan dengan pemikiran Umar tersebut.

Kata khalaf berarti yang terkemudian. Ulama khalaf (kontemporer)

adalah ulama islam yang hidup dari awal 300 tahun sesudah hijriyah sampai

sekarang.18

Ibnu Taimiyah membatasi masa salaf ialah sejak masa

Rasulullah sampai 300 tahun Hijriah. Sedang masa setelah 300 Hijriah

17

Amiur Nuruddin, Op.Cit., hal. 143 18

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997,

hlm. 1449

80

sampai sekarang dinamakan masa khalaf. Namun batasan itu sebenarnya

tidak dijelaskan oleh agama, tetapi hanya pendapat Ibnu Taimiyah saja.19

Kalau ditinjau ulang lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi

sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi'in dan Tabi' Tabi'in, tegasnya

sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya suatu madzhab yang

bernama "Madzhab Salaf". Bahkan batas waktu yang tegas antara yang

dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam

Al-Quran maupun dalam Hadits.20

Ada kemungkinan istilah-istilah ini muncul pada abad ke IV H.

Imam Ghazali (Lahir 450 H. - wafat 505 H.) telah mempergunakan istilah-

istilah ini dalam kitabnya "Iljamul Awam fi Umil Kalam", yaitu kitab yang

paling akhir dikarangnya atau yang paling akhir kitab Tauhid yang

dikarangnya. Sesudah zaman Imam Ghazali banyak ulama-ulama

Ushuluddin dan ulama-ulama Tafsir menyebut dalam kitab-kitabnya

perkataan "Thariqatus Salaf (Aliran Orang Terdahulu), Thariqatul Khalaf"

(Aliran Orang Terkemudian).21

Adapun alasan penulis mencantumkan pendapat atau pandangan

ulama kontemporer disini adalah untuk dapat membaca dan menganalisa

pemikiran umar bin khattab pada konteks masa kini. Dan diantara ulama-

ulama kontemporer yang penulis kutip pendapatnya antara lain ; Imam

Asy-Syaukani (1173-1251 H), Ibnu Rusyd (526-595 H), Sayyid Quthb

19

Muhaimin, Ilmu kalam Sejarah dan Aliran-Aliran, Yogyakarta : IAIN Walisongo,

1999, hlm. 156. 20

Ibid, hlm. 147 21

Ibid.

81

(1906-1969 M), Sayyid Sabiq (1915-2000 M), Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-

1975 M), dan Yusuf Qardawi (1926-1961 M).

Yang pertama, Imam Asy-Syaukani (1173-1251 H) dalam

hubungannya dengan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran

hak muallaf sebagai mustahiq zakat, berkata; “Bahwasanya boleh memberi

bagian kepada muallaf sewaktu-waktu diperlukan. Bila disuatu masa ada

kelompok yang tidak bisa ditundukkan kecuali derngan harta, dan sudah

tidak mungkin menundukkan mereka kecuali dengan jalan itu. Maka

patutlah kiranya mereka dibujuk hatinya untuk menarik simpatinya, dan

tidak berarti mengurangi arti penyebaran Islam, karena memang penyebaran

Islam menjadi tidak representatif dalam kasus ini.”22

Jadi, ayat tentang al-muallafah qulubuhum adalah bersifat abadi

sepanjang masa, yang mana orang-orang muslimin jika sedang

membutuhkan orang-orang muallaf ini demi kemajuan dan gerak laju Islam,

maka timbul kembali apa yang diakatakan al-muallafatu qulubuhum dan

mereka ini berhak untuk mendapatkan bagian zakat.

Sebenarnya, orang-orang yang mengatakan bahwa setelah masa

Umar tidak ada lagi muallaf, itu tidak lebih dari sudut pandang mereka

berdasar kenyataan kondisi masyarakat Islam ketika itu yang sudah kuat,

sehingga saat itu tidak dibutuhkan lagi al-muallafah qulubuhum.

Ibnu Rusyd (526-595 H) dalam memberikan jawaban terhadap

pertanyaan, “masih adakah orang-orang muallaf paska periode awal Islam?”

22

Asy-Syaukani, Nail al-Authar, jil. III, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 179

82

mengatakan, “Imam Malik berkata, sekarang sudah tidak ada lagi muallaf.

Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah mengatakan, bahwa bagian atau hak

muallaf untuk mendapatkan zakat adalah abadi sepanjang masa, jika

memang imam berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang yang

dibujuk hatinya olah imam (penguasa) demi kepentingan Islam. Adapun

sebab perbedaan pendapat mereka dalam masalah ini adalah, apakah

kekhususan ini hanya untuk Nabi ataukah juga untuk umatnya secara

umum? Tentu, jawabannya adalah untuk umum. Apakah kebolehan bagi

imam untuk memberikan bagian itu mutlak atau terbatas? Artinya, apakah

hanya dalam kondisi-kondisi lemah saja, seorang imam boleh memberikan

hak itu?

Berdasar inilah, Imam Malik mengatakan, “Sekarang kita tidak

butuh lagi muallaf. Karena Islam sudah sangat kuat. Inilah sebagaimana

diketahui dari sudut pandang berdasar kemaslahatan.23

Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan

antara ketiga Imam madzhab tersebut, Malik, Asy-Syafi‟i, dan Abu

Hanifah. Karena pandangan Imam Malik berdasar pada kondisi umat Islam

saat itu, yang memang dianggapnya benar-benar kuat, sehingga illat

(alasan) untuk memberi mereka bagian zakat hilang. Adapun jika demi

kemaslahatan muslimin adalah dengan memberi bagian kepada mereka.

Maka illat itu muncul lagi, sehingga mereka kembali diberikan haknya. Dan

23

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta :

Pustaka Amani, hal. 613

83

parameter maslahat ini dikembalikan sepenuhnya kepada imam, yang hal

ini adalah sesuai dengan pendapat Imam Asy-Syafi‟i dan Abu Hanifah.

Bagi mereka yang berpendapat bahwa Umar pernah menghentikan

hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” adalah dengan alasan bahwa

berawal ketika Umar merobek surat yang dibawa oleh Uyainah bin Hishn

dan Aqra bin Habis pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan waktu

itu Umar sebagai pemegang atau penjaga baitul mal, kemudian Umar

berkata :

“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang

ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir)

biarlah ia kafir”.

24

Sayyid Quthb (1906-1969 M) berpendapat bahwa, terdapat

perbeedaan pendapat dikalangan fuqaha mengenai siapa diantara muallaf ini

yang tidak lagi berhak mendapatkan zakat setelah islam menjadi kuat. Akan

tetapi, sistem gerakan agam Islam ini akan senantiasa menghadapi tahapan

dan keadaan yang bermacam-macam. Sehingga, diperlukan memberi

kelompok manusia semacam ini dengan cara ini. Mungkin untuk membantu

meneguhkan hati mereka atas ke Islaman mereka, jika mereka mendapatkan

problem ekonomi setelah masuk Islam. Atau boleh jadi untuk mendekatkan

mereka kepada Islam seperti sebagian orang non muslim yang diharapkan

akan bermanfaat bagi Islam dengan terus didakwahi untuk masuk Islam,

24

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997,

hal. 1954.

84

atau dia akan menghentikan gangguannya terhadap islam di sana-sini. Kita

mengerti hakekat ini. Maka, kita lihat realitas kesempurnaan kebijaksanaan

Allah dalam mengatur urusan kaum muslimin dalam situasi dan kondisi

yang berbeda-beda.25

Sayyid Sabiq (1915-2000 M) berpendapat, bahwa apa yang

dilakukan Umar merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Umar melihat bahwa

memeberikan pemberian kepada mereka (muallaf) setelah Islam tumbuh

dengan kokoh di dalam bangsa Arab tidak mengandung maslahat. Jika

mereka keluar dari Islam, hal itu tidak menimbulkan dampak yang

merugikan terhadap Islam. Adapun Utsman dan Ali yang tidak memberikan

bagian zakat kepada muallaf tidak dapat dijadikan alasan terhapusnya

bagian muallaf karena bisa jadi keduanya pada saat itu memandang tidak

perlu memberikan zakat kepada orang kafir. Hal ini tidak bertentangan

dengan tetapnya bagian muallaf untuk orang yang membutuhkan. Terlepas

dari itu semua landasan utama dalam istidlal adalah Al-Qur‟an dan as-

Sunnah. Kedua sumber inilah yang harus dijadikan pegangan.

Pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa memberikan

bagian muallaf kepada orang kafir ketika dipandang perlu adalah boleh.

Jika pada suatu saat ada kaum kafir yang tidak mau menaati pemerintah,

kecuali karena dunia dan pemerintah tidak mempu membuat mereka masuk

Islam kecuali dengan paksaan, maka pemerintah boleh memberikan zakat

25

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur‟an, terj. Jil. V, Jakarta : Gema Insani Press, 2003

hal. 370.

85

kepada mereka. Tersebarnya Islam dalam keadaan itu tidak dapat menjadi

alasan untuk menggugurkan bagian muallaf.26

Senada dengan Sayyid Sabiq, Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975 M)

berpendapat sesungguhnya apa yang dipahami Umar adalah suatu ijtihad

dari padanya. Dia berpendapat tidak ada lagi maslahat memberikan kepada

mereka bagian muallaf. Mengenai Utsman dan Ali tidak memberikan

bagian ini tidak menjadi dalil bahwa bagian ini telah digugurkan, karena

mungkin dirasa tidak perlu menjinakkan hati seseorang kafir dan hal ini

tidak menggugurkan bagian tersebut. Pendapat kepala negara yang merasa

perlu dapat mengadakannya.27

Dalam hal ini Hasbi Ash-Shiddieqy

mengungkapkan, hendaklah kita berpegang kepada pendapat ahli syura

dalam suatu masa, sebagaimana telah dilakukan oleh para khulafa dalam hal

ijtihad, baik mengenai perlu tidaknya diadakan bagian muallaf itu menurut

keadaan dan masa, maupun mengenai jumlah yang diberikan dari bagian

rampasan dan lain-lain.

Yusuf Qardawi (1926-1961 M) berpendapat bahwa pengakuan

adanya nasakh dengan perbuatan Umar sama sekali tidak bisa dijadikan

alasan. Umar hanya mengharamkan memberi zakat kepada sekelompok

orang yang pernah mendapatkan bagian muallaf di zaman Rasulullah. Ia

berpendapat, bahwa sekarang sudah tidak diperlukan lagi membujuk hati

mereka, karena Allah telah memperkuat Islam. Umarlah yang benar dengan

tidak berlebihan atas perbuatannya itu, karena muallaf itu bukan sesuatu

26

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. jil.I, Jakarta : PT Pena Pundi Aksara, 2009, hal. 680-

681. 27

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, hal. 191-192

86

yang bersifat tetap dan tidak pula seorang yang muallaf pada suatu masa,

tetap muallaf pula pada masa yang lain. Dan penetapan ada tidaknya

kebutuhan pada muallaf serta penentuan orang-orangnya, adalah masalah

yang harus dikembalikan kepada penguasa. Merekalah yang menentukan

apa yang lebih baik dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.28

Para ulama ushul fiqh telah menetapkan, bahwa pengaitan sesuatu

hukum dengan sesuatu sifat yang musytak (ada asal katanya), menunjukkan

adanya illat (sebab yang terdapat pada sifat tersebut).

Dalam hal ini, sasaran zakat dikaitkan dengan golongan yang

muallaf hatinya, manunjukkan bahwa ta‟lif al-qulub (membujuk hati)

merupakan illat menyerahkan kepada mereka. Maka apabila illat itu ada –

yakni pembujukan – mereka harus diberi, akan tetapi bila illat itu tidak ada,

maka mereka tidak perlu diberi.29

Umar bin Khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak

berarti menentang nash atau menasakh syara‟. Karena zakat itu harus

diberikan kepada kelompok asnaf yang delapan, yang telah dijadikan Allah

sebagai orang yang berhak mendapatkan.

Apabila salah satu asnaf tidak ada, maka hilanglah bagiannya. Bila

terjadi demikian, jangan dikatakan bahwa hal itu bertentangan dengan kitab

Allah atau merupakan nasakh padanya. Misalnya, apabila tidak ada bagian

“riqab/ untuk memerdekakan budak belian”, seperti di zaman kita sekarang

yang menghilangkan perbudakan perorangan, maka hilanglah bagian ini.

28

Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal. 571 29

Ibid.

87

Tetapi jangan dinyatakan, bahwa dengan hilangnya bagian ini telah

menasakh Al-Qur‟an atau bertentangan dengan nash.30

Dengan demikian apa yang diperbuat Umar dengan alasan apa pun

juga bukan merupakan nasakh terhadap hukum memberi zakat pada

golongan muallaf, apalagi bila hal itu dinyatakan sebagai ijma‟ sahabat.

Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa sekarang tidak ada

muallaf, sama sekali bukan nasakh, akan tetapi hal itu hanya pemberitahuan

dari suatu keadaan di masanya.

Imam Syatibi (720-790 H/1368-1388 M) telah mengemukakan

pendapatnya dalam masalah yang sama seperti ini, bahwa hukum apabila

telah tetap dan berlaku pada muallaf, maka pengakuan adanya nasakh

terhadap hukum tersebut harus dengan perintah yang jelas pula. Oleh

karena hukum zakat untuk golongan muallaf terlebih dahulu ditetapkan

berdasarkan perintah yang jelas, jadi menghilangkan setelah diketahui

tetapnya nash, juga harus dengan perintah yang jelas.31

Dari uraian pendapat-pendapat ulama diatas, dapat diambil garis

besar bahwa ulama-ulama khalaf disini sepakat bahwa bagian golongan

muallaf ini tetap ada, tidak pernah dinasakh, telah ditetapkan dengan nash

yang sudah pasti, yaitu ayat Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat At-

Taubah, yang termasuk kelompok terakhir ayat Al-Qur‟an yang diturunkan.

Adapun bagaimana mereka mendudukkan pemikiran Umar bin

Khattab berkenaan tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq

30

Ibid. 31

Ibid., hal. 572

88

zakat, sebagaimana Sayyid Sabiq, Hasbi ash-Shiddieqy, Yusuf Qardawi dan

yang lainnya menyebutkan, bahwa Abu Bakar samasekali tidak menolak

ucapan dan perbuatan Umar itu, demikian pula para sahabat, sehingga

masalah tersebut merupakan kesepakatan (ijma‟) para sahabat.

89

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Alasan ijtihad Umar bin Khattab menggugurkan hak bagi asnaf “al-

muallafah qulubuhum” sebagai penerima zakat adalah karena adanya

suatu „illat (alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan tersebut)

yaitu keadaan “lemah agama” dan keadaan umat Islam pada permulaan

sejarahnya yang masih minoritas sehingga diberikannya bagian harta zakat

kepada kelompok “al-muallafah qulubuhum” adalah di samping mereka

diharap berubah dan masuk Islam, juga untuk menolak kemungkinan

datangnya kejahatan dari mereka. Namun pada masa khalifah Abu bakar,

keadaan umat Islam telah cukup kuat dan tidak diperlukan lagi untuk

melunakkan musuh-musuh Islam, maka pemberian zakat kepada golongan

muallaf (dari golongan orang kafir) dihentikan Umar bin Khattab, karena

„illat hukumnya sudah tidak ada lagi.

2. Pendapat para ulama terhadap hasil pemikiran Umar bin Khattab yang

tidak memberikan hak bagi asnaf “al-muallafah qulubuhum” dari

golongan orang kafir sebagai penerima zakat tidak seorang pun

menentangnya pada saat itu (pada masa khalifah Abu Bakar dan pada

masa khalifah Umar bin Khattab itu sendiri), akan tetapi lain halnya

dengan ulama yang datang kemudian, mereka berbeda pendapat mengenai

status asnaf “al-muallafah qulubuhum”, akan tetapi pada umumnya

90

mereka tidak menyalahi apa yang telah dilakukan Umar pada saat itu,

ulama-ulama khalaf (kontemporer) disini sepakat bahwa bagian golongan

muallaf ini tetap ada, tidak pernah dinasakh, telah ditetapkan dengan nash

yang sudah pasti, yaitu ayat Al-Qur‟an yang terdapat dalam surat At-

Taubah, yang termasuk kelompok terakhir ayat Al-Qur‟an yang

diturunkan. Adapun bagaimana mereka mendudukkan pemikiran Umar

bin Khattab berkenaan tentang pengguguran hak muallaf sebagai mustahiq

zakat, sebagaimana Sayyid Sabiq, Hasbi ash-Shiddieqy, Yusuf Qardawi

dan yang lainnya menyebutkan, bahwa Abu Bakar samasekali tidak

menolak ucapan dan perbuatan Umar itu, demikian pula para sahabat,

sehingga masalah tersebut merupakan kesepakatan (ijma‟) para sahabat.

B. Saran-saran

1. Dari pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak muallaf

sebagai mustahiq zakat, perlu dipahami bahwa ada perbedaan mendasar

dan signifikan antara istilah “menghapus dan membatalkan” dengan

kalimat “menggugurkan dan menghentikan untuk sementara” bagian

mustahiq tertentu karena mereka tidak ditemukan lagi. Karena dengan

istilah yang kedua ini, mereka akan tetap diberikan haknya jika mereka

ternyata muncul dan ditemukan lagi.

2. Dan dengan pemikiran Umar bin Khattab tentang pengguguran hak

muallaf sebagai mustahiq zakat ini jelas pula bagi kita salahnya pendapat

sebagian orang di zaman sekarang yang menyatakan bolehnya tidak

91

mempergunakan nash atau bertentangan dengannya, jika kemaslahatan

menghendakinya. Mereka beralasan dan memperkuat pendapatnya dengan

telah menghilangkannya Umar akan golongan muallaf.

3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan kepada umat Islam, khususnya

bagi badan distributor zakat, seperti BAZIS, LAZIS, BAZ, dan lainnya

agar mengetahui konsep muallaf dan tasarruf al-zakah bagi golongan ini,

sehingga mereka menyadari bahwa pemberian zakat kepada golongan

muallaf tidak hanya kepada mereka yang baru masuk Islam, tetapi juga

kepada non-muslim sebagai salah satu bentuk dakwah untuk mengajak

mereka memeluk agama Islam.

C. Penutup

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang senantiasa

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada semua yang telah membantu dan

memberi dukungan serta semangat untuk segera menyelesaikan penulisan

skripsi yang sederhana ini.

Tentu saja penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dan

sudah pasti disana-sini masih terdapat begitu banyak kekurangan. Semua itu

harus diakui sebagai sebuah kekurangan dari penulis. Sambil berupaya terus

untuk menyempurnakan penulisan, penulis ingin menyampaikan permohonan

maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kekurangan atau pun kekeliruan,

baik dalam penulisan, ejaan atau pun peletakkan posisi kerangka penulisan.

92

Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

perbaikan penulisan karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga dapat diambil

manfaat dari penulisan skripsi ini. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Zainal Arifin, Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW, Medan : Pustaka

Indonesia, 1964

Al-Aqqad, Abbas Mahmud, Abqari’ah Umar. Dar al-Hilal

Al-Asqalani, ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adilatil Ahkam, Dar al-Kutub al-

Ilmiyah, 2002

Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shohih al-Bukhori, Juz II, Dar

ibnu Katsir

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Fikih ekonomi Umar bin Al-Khattab, Jakarta :

Khalifa, 2006.

Al-Islami, Qatadah al-Fath, Umar bin Khattab al-Faruq al- Qaid, Beirut :

Maktabah al Hayaah.

Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, jil. III, Dar al-Fikr.

Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, vol. 1, cet. III,

Beirut : Dar Ihya al-Turats al-Arabi

Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, vol. 1, Beirut: Dar al-Fikr,

1994

Al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr,

1997

Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Beirut : Dar al-Kutub, 1975

An-Naisaburi, Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih

Muslim, Juz IV, Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan tafsir ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani

Press, 1999.

Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: PT

Pustaka Rizki Putra, 1996

___________, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta :

Bulan Bintang, 1971

As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2010

Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah

___________, Nail al-Authar, jil. III, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah

Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al- Kutub al-Ilmiyah

___________, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr

At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz V, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi

Azwar, Saifudin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : PustakaPelajar, 1998

Baltaji, Muhammad, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa,

2005

Basyir, Ahmad Azhar, pokok-pokok Ijtihad dalam hukum Islam, dalam jalaludin

Rohmad 1988 Ijtihad dalam sorotan, Bandung : Mizan.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma

Examedia Arkanleema, 2009

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jil. I, Yogyakarta : ANDI, 2000

Haekal, Muhammad Husain, Umar bin Khattab. Bogor : Litera AntarNusa. 2011

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. The early development of

Islamic Jurisprudence, Bandung : Pustaka, 1970

Katsir, Ibnu, Musnad al-Faruq Amir al-Mu’minin, Juz I, Dar al-Wafa’

___________, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, (terj. Al

Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin), Jakarta: Dar al-Haq

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Semarang : Dina Utama, 1994.

Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remadja Karya,

1989

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progresif,

1997

Musa, Muhammad Yusuf, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub

Nuruddin, Amiur, Ijtihad ‘Umar ibn al-Khaththab : Studi tentang Perubahan

Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987

Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002

Qayyim, Ibnul, A’lam Al-Muwaqqi’in, juz. I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, terj. Jil. V, Jakarta : Gema Insani Press,

2003

Ra’ana, Irfan Mahmud, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar ibn al-Khattab, terj.

Economic System Under Umar The Greath, Jakarta : Pustaka Firdaus,

1992

Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma’arif, cet.7, 1984

Ridho, Muhammad, Umar ibn al-Khattab al-Faruq, Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah

Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fqih para Mujtahid, terj. jil. I, Jakarta :

Pustaka Amani

Sa’ad, Ibnu, Ath-Thabaqat al-Kubro, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al-Fikr, 1983

Sarwat, Ahmad, Seri Fiqih Kehidupan 4 : Zakat, Jakarta : DU Publishing, 2011

Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1999

Sjadzali, Munawir, Ijtihad kemanusiaan, Jakarta : Paramadina, 1997.

Sou’yb, Joesef, Sejarah daulat khulafaur Rasyidin, Jakarta : Bulan Bintang.

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002

Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1998

Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna, 1998

Ubaid, Abu, Al-Amwal, Beirut : Dar al-Fikr al-Muashir, 1983

Zahroh, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Mesir : Dar al-fikr

al-Arabi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Syaifudin

NIM : 062311006

TTL : Semarang, 2 Oktober 1984

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Krajan RT 04/I, Mangkang Wetan, Tugu, Semarang, 50156

No Telp/HP : 085290760777

Pendidikan : - MI Muhammadiyah Ngaliyan Semarang, lulus tahun 1997

- SLTP Muhammadiyah 9 Tugu Semarang, lulus tahun 2000

- KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, lulus tahun

2004

- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang angkatan 2006

Pengalaman Organisasi;

1. Pengurus HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) MU/EI Fakultas Syariah (2008)

2. Sekretaris ForSHEI (Forum Studi Hukum Ekonomi Islam) Fakultas Syariah (2009)

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat

dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, 12 Juni 2012

Hormat Saya,

Muhammad Syaifudin