PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN … · dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan ......
Transcript of PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN … · dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan ......
i
PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN
TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK
PADA OBESITAS
MUHAMMAD ARIES
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengetahuan tentang Manfaat
Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis
Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada
Obesitas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Muhammad Aries NIM. I151090011
iii
ABSTRACT
MUHAMMAD ARIES. Health Benefit Knowledge of Curcuma and Clinical Trial of Curcuma Instant Drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in Obese Adult. Under direction of HARDINSYAH and MIRA DEWI.
The objectives of the following study were to analyze the health benefit
knowledge of curcuma on adult and clinical efficacy of curcuma instant drink to increasing lymphocytes count. Design for knowledge survey was cross sectional study and involving 79 subjects (40 male and 39 female) while the design for clinical trial was pre and post test design and involving 21 subjects. Result of this study showed that the health benefits of curcuma most widely known by subjects were to increase appetite (93.4%) and to maintain stamina (92.1%). Female subjects have higher knowledge (58.0 ± 25.8) than male subjects (57.0 ± 28.3) altough there isn’t significance difference (p > 0.05) and the knowledge of curcuma health benefit inversely with the level of education (p < 0.05). The study showed that there was significant increase (p = 0.034 and p = 0.045) in T cell population (CD3+, CD4+) and significant decreasing (p = 0.000 and p = 0.001) in B cell (CD 19+) and CD8+ after intervention of 13.24 g curcuma instant drink per day. It was concluded that curcuma has potential beneficial effect in enhancing cellular immunity but decreasing in humoral immunity in obese human subjects. Key words: Curcuma xanthorrhiza Roxb., health benefit knowledge, instant drink,
lymphocyte population.
iv
RINGKASAN
MUHAMMAD ARIES. Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan sel NK pada Obesitas. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan MIRA DEWI.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan, 2) mengembangkan produk minuman instan temulawak, dan 3) menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes. Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes. Survai pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan desain cross sectional study sedangkan uji klinis dilakukan dengan desain pre dan post test selama 14 hari. Kegiatan penelitian survei pengetahuan manfaat kesehatan temulawak serta pengembangan minuman instan temulawak dilaksanakan di Kampus IPB Darmaga sedangkan analisis jumlah dan jenis limfosit dilakukan di Lab. Makmal Imunoendokrinologi FKUI Jakarta. Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai Juni 2011.
Data survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak serta sumber informasinya. Data terkait pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak. Analisis statistik yang digunakan uji validitas dan reabilitas serta analisis deskriptif. Uji validitas dan reabilitas dilakukan untuk menentukan reliabilitas kuesioner serta menentukan validitas setiap pertanyaan dalam kuesioner. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung frekuensi contoh berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, besar keluarga, pengalaman mengonsumsi temulawak, pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak, dan sumber informasi tentang temulawak.
Rancangan percobaan yang digunakan untuk formulasi minuman instan temulawak adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor perlakuan yaitu jumlah pemanis buatan (sukralosa) yang ditambahkan dengan
v
empat taraf masing-masing 10%, 15%, 20%, dan 25%. Data organoleptik dianalisis dengan ANOVA. Data uji klinis terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data karakteristik individu, dan data jumlah serta persentase sel NK. Data karakteristik individu meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan (untuk menentukan nilai IMT), lingkar pinggang, dan lingkar panggul (unutk menentukan nilai Rasio Lingkar Pinggang Panggul/RLPP). Data status gizi untuk menentukan bahwa subjek termasuk kategori obes ditentukan berdasarkan nilai IMT dan RLPP. Riwayat dan status kesehatan meliputi hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa dokter medik. Data penilaian fungsi imun (sel NK) merupakan data primer yang diperoleh dari hasil analisa darah yang dilakukan dengan metode flow cytometri sedangkan total limfosit, sel B, dan sel T merupakan data sekunder yang berasal dari penelitian Dewi, Dwiriani, dan Januwati (2011).
Pengaruh intervensi dianalisis berdasarkan perbedaan (selisih) nilai fungsi imun yang diamati sebelum dan setelah dua minggu intervensi. Uji normalitas dengan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan terlebih dahulu terhadap variabel yang diamati. Nilai populasi limfosit sebelum dan sesudah intervensi akan dibandingkan dan untuk melihat apakah intervensi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap populasi limfosit maka dilakukan uji T berpasangan. Tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan pada subjek perempuan maupun laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan antara subjek yang berpendidikan tinggi dan rendah berbeda nyata (p < 0.05) serta berbanding terbalik. Hal ini diduga karena penggunaan temulawak untuk kesehatan yang lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dan informasi yang diperoleh secara turun temurun sehingga pengetahuan mengenai manfaat kesehatannya akan lebih banyak diketahui oleh kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin, yaitu kelompok masyarakt berpendidikan rendah. Proses pembuatan minuman instan temulawak terbagi menjadi dua yaitu proses pembuatan ekstrak kering temulawak menggunakan spray dryer dan pembuatan minuman instan temulawak dengan metode dry mixing atau pencampuran kering. Komposisi minuman serbuk temulawak instan untuk setiap sachet/kemasan per kali minum terdiri atas tepung ekstrak kering temulawak (0.4 g), maltodekstrin (2 g), garam (0.2 g), asam sitrat (0.6 g), gula tepung (10 g), dan sukralosa (0.043 g) sehingga total berat minuman instan temulawak per sachet adalah 13.24 g atau setara dengan 7.56 mg xanthorrhizol dan 2.8 mg curcumin. Intervensi 400 mg ekstrak temulawak yang dibuat dalam bentuk minuman instan temulawak selama 14 hari memberi peningkatan yang signifikan (p < 0.05) terhadap persentase sel T/CD3 dan sel CD4 sebagai bagian dari sistem imun spesifik yang bekerja di tingkat seluler. Peningkatan persentase sel T dan sel CD4 diduga karena pengaruh dari kurkumin dan xanthorrhizol yang terkandung dalam minuman instan temulawak yang menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun meningkat. Selain itu hasil uji klinis menunjukkan ada penurunan jumlah dan persentase sel CD8+, sel B/CD19+, dan sel NK/CD16+56+. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah subset sel tersebut yang sejak awal (sebelum intervensi) sudah tinggi serta kebiasaan konsumsi pangan dan aktivitas yang menunjang sistem imun yang tidak sepenuhnya terkontrol, khususnya sebelum kegiatan intervensi dilaksanakan.
vi
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin dari IPB
vii
PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN
TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK
PADA OBESITAS
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Oleh:
MUHAMMAD ARIES
I 151090011
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS
ix
Judul Penelitian : Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas
Nama : Muhammad Aries
NIM : I151090011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD. Dr. Ir. Dahrulsyah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 31 Januari 2012 Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengetahuan
tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) serta Uji
Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada
Obesitas”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master
(S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Dari lubuk hati yang paling dalam penulis mennyampaikan terima kasih
yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah,
MS dan dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan, bimbingan serta senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk
tetap istiqomah dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut
Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Evy
Damayanthi, MS selaku dosen penguji luar komisi atas beragam saran konstruktif
dan perbaikan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini.
Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu, terutama kepada: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (Dekan
FEMA Periode Tahun 2005-2009) dan Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS (Ketua
Departemen Gizi Masyarakat Periode Tahun 2005-2009), dan Dr. Ir. Drajat
Martianto, MS (Pembimbing S1) yang telah memberikan rekomendasi untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Gizi Masyarakat di IPB. Selain itu
penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Gizi
Masyarakat, Koordinator Program Pascasarjana Gizi Masyarakat, para dosen dan
seluruh staf yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh
pendidikan sehingga semua dapat terlaksana dengan baik.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Cesilia M Dwiriani,
MSc, dr. Mira Dewi, S.Ked, Msi, dan Ir. M. Januwati, MS selaku tim peneliti
Hibah KKP3T berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk meningkatkan Populasi
Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes yang telah mengijinkan penulis
xi
dalam menggunakan sebagian data penelitian tersebut untuk digunakan dalam
penelitian ini. Pada penelitian tersebut, penulis terlibat sebagai asisten peneliti
yang berperan dalam proses pembuatan produk sampai dengan analisis data.
Berikutnya penulis menyampaikan teriam kasih kepada Bapak/Ibu pegawai IPB
yang telah bersedia terlibat selama kegiatan pengambilan data penelitian, baik
yang berupa survei maupun uji klinis dalam penelitian ini dan juga kepada Bapak
Mashudi serta segenap laboran di Laboratorium Analisis Makanan Departemen
Gizi Masyarakat, Laboratorium Pilot Plan, FATETA IPB, dan Laboratorium Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik yang/Balitro KEMENTAN telah
memfasilitasi kegiatan penelitian khususnya selama pengembangan produk
minuman instan temulawak.
Tidak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-
teman seangkatan pada Program Magister Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana
- IPB angkatan 2009 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya
selama menempuh pendidikan di Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB
dan juga teman-teman Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB serta
Program Doktor Gizi Manusia, SPS - IPB angkatan 2010 dan 2011 atas semangat
kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya terutama pada pelaksanaan
kolokium, seminar hasil hingga sidang.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan secara tulus dan mendalam
khususnya kepada istri tercinta Reisi Nurdiani serta kedua orang tua yang selalu
saya hormati dan banggakan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah, serta adik
tersayang Tuti Amaliah atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang telah
tercurahkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2012
Muhammad Aries
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Cirebon tanggal 18 Desember 1984 sebagai
anak pertama dari pasangan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah. Masa
pendidikan dasar hingga menengah atas dilalui di kota Cirebon. Pendidikan dasar
diperoleh pada SDN Kanggraksan III periode 1990 - 1996 dan dilanjutkan di
SMPN 6 Cirebon periode 1996 - 1999. Penulis menamatkan pendidikan
menengah atasnya pada tahun 2002 dari SMUN 2 Cirebon. Kemudian di tahun
yang sama, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian - Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun
2006 dengan judul skripsi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk pada
Balita di Berbagai Propinsi di Indonesia beserta Biaya Penanggulangannya
melalui Program Pemberian Makanan Tambahan. Pada tahun 2009 penulis
melanjutkan studinya di Program Magister (S2) Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Setelah lulus S1, penulis bekerja di Departemen Gizi Masyarakat, FEMA-
IPB sebagai asisten dosen. Selain itu penulis juga bekerja sebagai Anggota
Redaksi Pelaksana Jurnal Gizi dan Pangan yang diterbitkan oleh Departemen Gizi
Masyarakat, FEMA IPB bekerjasama dengan PERGIZI PANGAN Indonesia.
Penulis juga pernah terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian sebagai asisten
lapang maupun asisten peneliti. Berbagai kegiatan penelitian tersebut antara lain
Feeding Program for Student, penelitian mengenai Persepsi Masyarakat terhadap
Produk Rekayasa Genetika (PRG) dan Implikasinya terhadap Kebijakan
Ketahanan Pangan, Studi Hidrasi di Wilayah Ekologi yang Berbeda di Indonesia,
dan yang terbaru adalah Studi Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi
Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. i
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. v
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................... 3
Hipotesis ........................................................................................... 4
Kegunaan Penelitian .......................................................................... 4
Lingkup dan Tahapan Kegiatan ........................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) .................................... 5
Kandungan gizi dan manfaat kesehatan temulawak .................. 6
Kadar kurkumin ......................................................................... 7
Kadar xanthorrhizol ................................................................... 8
Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional ................. 9
Pengetahuan ...................................................................................... 11
Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak ...................... 12
Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan ............................ 13
Proses pembuatan minuman serbuk temulawak ........................ 14
Status gizi dan imunitas .................................................................... 16
Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr ................... 18
Sel B (CD19+) ............................................................................ 21
Sel NK (CD16+56+) ................................................................... 22
Fungsi imun dan obesitas ............................................................ 23
KERANGKA PEMIKIRAN ................ ..................................................... 26
METODE ................ ................................................................................... 28
Cakupan Kegiatan ............................................................................. 28
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan
Temulawak ........................................................................................ 29
Pengembangan Minuman Instan Temulawak ................................... 31
ii
Uji Klinis Pemberian Minuman Instan Temulawak .......................... 35
Definisi Operasional .......................................................................... 39
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 41
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan
Temulawak ........................................................................................ 41
Karakteristik subjek survei pengetahuan ................................... 41
Pengalaman mengonsumsi temulawak ...................................... 42
Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak ...................... 47
Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan
kepercayaan ................................................................................ 48
Pengembangan Minuman Serbuk Instan Temulawak ...................... 52
Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu ............... 52
Formulasi minuman serbuk temulawak ..................................... 54
Uji organoleptik panelis umum .................................................. 56
Uji organoleptik panelis terbatas ............................................... 63
Uji Klinis Minuman Instan Temulawak ........................................... 64
Pelaksanaan uji klinis ................................................................. 64
Karakteristik subjek uji klinis .................................................... 66
Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi ........... 67
Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan
setelah intervensi ....................................................................... 69
Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi .... 76
Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi .. 79
Generalisasi Penelitian ...................................................................... 83
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 85
Kesimpulan ....................................................................................... 85
Saran ................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 87
LAMPIRAN ............................................................................................... 95
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Syarat mutu minuman serbuk tradisional ........................................... 14
2. Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes
dibandingkan dengan subjek non obes .............................................. 25
3. Jenis dan cara pengumpulan data ...................................................... 28
4. Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan
temulawak ......................................................................................... 42
5. Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak . 44
6. Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin ............ 45
7. Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan
produk baru berbahan baku temulawak ............................................ 46
8. Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat
kesehatan dan sumber informasinya ................................................. 47
9. Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek
manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan ... 50
10. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek
berdasarkan jenis kelamin .................................................................. 50
11. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek
berdasarkan tingkat pendidikan ......................................................... 51
12. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek
berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak ................................ 52
13. Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak ..................... 54
14. Komposisi formula minuman instan temulawak ............................... 56
15. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk
temulawak .......................................................................................... 66
16. Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur ..................... 66
17. Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) ..................................... 67
18. Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi ........ 68
19. Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi . 71
20. Jumlah dan persentase sel CD4 subjek sebelum dan setelah intervensi 73
21. Jumlah dan persentase sel CD8 subjek sebelum dan setelah intervensi 75
22. Jumlah dan persentase sel B subjek sebelum dan setelah intervensi . 78
23. Jumlah dan persentase sel NK subjek sebelum dan setelah intervensi 81
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b) .......................... 5
2. Rumus bangun kurkumin .................................................................... 7
3. Rumus bangun xanthorrhizol .............................................................. 8
4. Skema sistem imun adaptif dan non adaptif ....................................... 17
5. Kerangka pemikiran ............................................................................ 27
6. Kerangka pengambilan subjek ............................................................ 26
7. Diagram alir pembuatan serbuk temulawak ........................................ 32
8. Bagan pelaksanaan uji klinis ............................................................... 37
9. Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan
panelis umum ...................................................................................... 57
10. Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan
panelis umum ...................................................................................... 58
11. Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan
panelis umum ...................................................................................... 59
12. Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik
Panelis umum ...................................................................................... 61
13. Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil
organoleptik dengan panelis umum .................................................... 61
14. Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan,
dan rasa minuman serbuk temulawak ................................................. 62
15. Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis
terbatas ................................................................................................ 63
16. Minuman instan temulawak dengan formula terpilih ......................... 63
17. Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah ............ 68
18. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah
intervensi ............................................................................................. 70
19. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah
intervensi ............................................................................................. 72
20. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah
intervensi ............................................................................................. 74
21. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah
intervensi ............................................................................................. 77
22. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel NK (b) sebelum dan setelah
intervensi ............................................................................................. 80
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuesioner pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak ......... 96
2. Formulir uji organoleptik produk minuman serbuk temulawak ......... 97
3. Contoh lembar hasil analisis limfosit .................................................. 99
4. Berbagai hasil pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 13.00
for windows ......................................................................................... 102
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, penggunaan utama tanaman temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) selain sebagai bumbu masak juga sebagai bahan pengobatan
tradisional. Berbagai manfaat kesehatan temulawak yang telah dikenal dalam
pengobatan tradisional diantaranya untuk mengobati sakit perut, sakit
hati/penyakit kuning, obat malaria, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), obat habis
bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), penyakit kulit, dan peradangan dalam
perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat
temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan
Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang
temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau
kapsul (Hargono 1985).
Penggunaan temulawak untuk tujuan pengobatan dan untuk menjaga
kesehatan menyebabkan makin banyaknya produk berbahan temulawak yang
telah beredar di pasaran meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak yang
belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun. Lebih jauh
lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada produk juga
belum terstandar.
Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui bahwa penyakit
infeksi utama yang perlu mendapat perhatian tinggi di Indonesia adalah
HIV/AIDS, malaria, dan TBC. Hasil RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa
prevalensi Malaria 10.6%. Sementara itu diketahui pula bahwa prevalensi TBC di
Indonesia pada tahun 2001 mencapai 26.4% (Cermin Dunia Kedokteran 2005)
dan prevalensi HIV (hasil survei di 8 kota pada populasi kunci) pada laki-laki
dewasa mencapai 0.75%. Angka ini tentunya akan lebih besar jika digabungkan
dengan prevalensi pada populasi kunci lainnya (Depkes 2007 dalam Komisi
Penanggulangan AIDS 2009). Penelitian Bercault et al. (2004) menunjukkan
bahwa kasus infeksi akan berakibat fatal jika terjadi pada individu obesitas yang
dirawat di unit perawatan kritis karena merupakan faktor resiko independen
terjadinya mortalitas. Hasil penelitian tersebut perlu mendapat perhatian lebih
karena prevalensi obesitas di Indonesia cenderung makin meningkat. Hasil Riset
2
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 menunjukkan prevalensi
overweight dan obesitas pada orang dewasa mengalami peningkatan yaitu dari
19.1% menjadi 21.7%. Obesitas pada orang dewasa di Indonesia mencapai 10.3%
dengan rincian 13.9% pada laki-laki dan 23.8% pada perempuan (Balitbangkes
2008) sementara pada Riskesdas berikutnya diketahui bahwa prevalensi obesitas
di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu mencapai 11.7% dengan rincian
16.3% pada laki-laki dan pada perempuan menjadi 26.9%.
Peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia merupakan hal yang
mengkhawatirkan karena berbagai hasil kajian menyatakan bahwa obesitas
memiliki kaitan positif dengan kekerapan terhadap berbagai penyakit infeksi
(Chung et al. 2007). Selain itu, keberadaan jaringan adiposit yang berlebih pada
orang yang mengalami obesitas memiliki keterkaitan yang erat dengan
terganggunya fungsi imun (Tanaka et al. 1993; Marti et al. 2001; Boynton et al.
2007). Walaupun sampai saat ini masih belum ada hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko untuk infeksi flu pandemik,
namun penanganan medis pada kasus dengan obesitas harus lebih mewaspadai
terjadinya komplikasi berat dan mortalitas, karena pada kasus fatal sampai yang
menyebabkan kematian, ada proporsi obesitas yang cukup besar (WHO 2010).
Hasil penelitian Huang et al. (1991) pada subjek mencit menunjukkan
bahwa temulawak memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antiinflamasi,
antikanker, penyembuh luka, dan menurunkan kadar kolesterol serum. Penelitian
lebih lanjut dengan menggunakan hewan coba telah memberikan hasil yang lebih
spesifik bahwa xanthorrhizol (salah satu bahan aktif dalam temulawak)
memberikan manfaat dalam penekanan peradangan (Lee, Hong, Huh, Kim, Oh,
Min et al. 2002; Kim Kim, Kim, Shim, dan Hwang. 2007). Hasil penelitian Lee et
al. (2002) pada sel makrofag mencit (RAW 264.7) menunjukkan bahwa
xanthorrhizol dari temulawak mampu menekan aktivitas cyclooxygenase (COX-
2) yang merupakan mediator penting dalam proses peradangan. Penelitian Kim et
al. (2007) pada kultur sel RAW 264.7 juga menunjukkan bahwa ekstrak
temulawak dapat menginduksi aktivitas sistem imun pada makrofag yang
diperantarai secara spesifik oleh aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB), diduga
xanthorrhizol juga berperan dalam mekanisme ini. Pada penelitian yang dilakukan
3
di Indonesia diketahui bahwa pemberian temulawak dapat meningkatkan respon
imun pada ayam yang diberi vaksin flu burung (Kosim et al. 2007). Penelitian
Damayanti (2008) dengan subjek mencit menunjukkan bahwa temulawak juga
dapat digunakan meningkatkan daya tahan dan stamina tubuh.
Walaupun secara empiris penggunaan tanaman obat termasuk temulawak
terbukti bermanfaat bagi kesehatan, bukti-bukti ilmiah dan uji klinik tetap
diperlukan sebelum dapat direkomendasikan sebagai obat. Terlebih pada manusia,
data klinis mengenai efektivitas temulawak terhadap perbaikan sistem imun masih
sangat terbatas. Selain itu peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
mengenai manfaat kesehatan dari bahan lokal, khususnya temulawak juga masih
dipandang perlu sehingga pengembangan temulawak sebagai pangan fungsional
maupun obat bisa semakin bervariasi. Saat ini produk pangan fungsional
temulawak masih berupa berupa permen dan minuman ringan (Kurniawan 2002).
Dengan memperhatikan berbagai fakta dan masalah di atas, maka kajian
mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat pada temulawak yang dilanjutkan
dengan pengembangan formula minuman instan temulawak serta uji klinisnya
yang terkait dengan sistem imun menjadi penting. Uji klinis yang dilakukan
adalah yang spesifik pada fungsi sistem imun dengan pengukuran populasi
limfosit total, limfosit T (CD3), subset limfosit T (CD4 dan CD8), limfosit B
(CD19), dan sel Natural Killer/NK. Adanya kajian tentang pengetahuan terhadap
temulawak serta bukti ilmiah mengenai manfaat temulawak secara klinis akan
memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan nilai temulawak sebagai
pangan fungsional dan menjadi landasan penting dalam pengembangannya
sebagai obat untuk penyakit yang terkait dengan penurunan fungsi imun.
Tujuan
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengetahuan orang dewasa terhadap manfaat kesehatan minuman temulawak serta
melakukan uji klinis mengenai efektivitas minuman instan temulawak terhadap
fungsi sistem imun.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan
temulawak.
4
2. Mengembangkan produk minuman instan temulawak.
3. Menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi
sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes tidak
akan meningkatkan populasi limfosit total.
H1 : Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes akan
meningkatkan populasi limfosit total.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran
mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap minuman temulawak.
Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memberikan bukti ilmiah
mengenai manfaat minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol terhadap
fungsi sistem imun (peningkatan populasi limfosit) bagi orang dewasa obes
sehingga akan semakin meningkatkan nilai temulawak baik sebagai pangan
fungsional maupun sebagai obat, terutama yang berkaitan dengan peningkatan
fungsi imun.
Lingkup dan Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan selama proses penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyiapan bahan baku, uji kandungan bahan aktif dalam ekstrak temulawak
dan formulasi minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol.
2. Pengambilan data pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada
orang dewasa.
3. Uji klinis efikasi ekstrak temulawak terhadap populasi lilmfosit pada orang
dewasa obes.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli
Indonesia dan banyak tersebar di Pulau Jawa, Madura, Maluku, dan Kalimantan.
Pada mulanya tanaman temulawak banyak tumbuh liar di hutan-hutan jati, di
tanah kering, tegalan, maupun padang alang-alang, tetapi karena penggunaannya
yang semakin meluas maka tanaman ini juga banyak dibudidayakan di kebun
maupun pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan apotik hidup (Herman
1985; Hargono 1985). Bentuk tanaman dan rimpang temulawak dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut.
(a) (b)
Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b)
Klasifikasi tanaman temulawak adalah sebagai berikut
Kingdom : Plantae Ordo : Zingiberales
Divisi : Spermatophyta Famili : Zingiberaceae
Sub Divisi : Angiospermae Genus : Curcuma
Kelas : Monocotyledonae Species : Curcuma xanthorrhiza Roxb
Sumber: balittro.litbang.deptan.go.id
6
Bagian tanaman temulawak yang paling banyak dimanfaatkan adalah
bagian umbi batang. Umbi batang ini dinamakan juga rimpang atau umbi akar.
Bagian pinggir penampangnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian
tengahnya berwarna kuning tua, memiliki aroma tajam dan rasa yang pahit
(Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Bagian rimpang ini biasanya dipanen
setelah berumur 8 – 12 bulan (Herman 1985).
Kandungan Gizi dan Manfaat Kesehatan Temulawak
Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%. Selain itu
rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri (volatil oil), lemak (fixed oil),
zat warna/pigmen, protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat
penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan berbagai komponen tersebut
sangat tergantung pada umur rimpang pada saat dipanen dan jika dibandingkan
dengan jenis curcuma yang lain maka temulawak memiliki kandungan minyak
atsiri yang tinggi (Herman 1985). Kataren (1988) dalam Sumiaty (1997)
menyebutkan bahwa komposisi rimpang kering temulawak (dengan kadar air
10%) terdiri atas pati (58.24%), lemak (12.10%), kurkumin (1.55%), serat kasar
(4.20%), abu (4.90%), protein (2.90%), mineral (4.29%), dan minyak atsiri
(4.90%).
Bagi sebagian rakyat Indonesia, selain sebagai bumbu masak rimpang
temulawak juga telah lama dikenal sebagai obat tradisional yang diantaranya
bermanfaat untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit (Dharma
1985 dalam Sumiaty 1997), perbaikan nafsu makan, menenangkan dan
mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Iftichori 1975 dalam Sumiaty
1997), obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Maradjo dan Widodo 1991),
dan obat sakit maag (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Dalam pengobatan
modern, bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan
dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).
Dalam dunia fitoterapi, temulawak dikelompokkan sebagai adaptogen,
yaitu bahan tidak berbahaya, yang dapat mendorong peningkatan resistensi
melawan racun atau yang dapat mempengaruhi secara fisik, kimia, dan biologi.
7
Secara umum dapat dikatakan bahwa temulawak mempunyai efek menormalkan
fungsi jaringan yang terganggu.
Temulawak selain dimanfaatkan sebagai obat juga dapat dijadikan produk
minuman fungsional (memiliki manfaat kesehatan). Sebagai minuman temulawak
dapat dibuat menjadi sirup, minuman berkarbonat, minuman nonkarbonat atau
bahkan minuman instan. Secara singkat minuman instan temulawak dibuat dari
tepung temulawak (hasil pengeringan minyak atsiri dengan spray dryer), yang
ditambah dengan gula tepung, garam, bahan pengisi (maltodekstrin), dan asam
sitrat. Minuman instan ini jika dilarutkan dalam satu gelas air akan menjadi
minuman temulawak yang berwarna kuning jernih dengan cita rasa asam manis
dan sedikit agak pahit. Minuman ini serupa dengan minuman sari temulawak yang
ada di negara-negara Eropa (Soeseno 1986 dalam Sumiaty 1997).
Kadar Kurkumin
Menurut Sinambela (1985) dalam Karyadi (1993), komposisi rimpang
temulawak dapat dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu fraksi zat warna dan
minyak atsiri. Warna kekuningan dari temulawak disebabkan oleh adanya
kurkumin (C25H32O6) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 2
berikut.
Gambar 2 Rumus bangun kurkumin
Kurkuminoid merupakan zat pigmen yang menyebabkan temulawak
memiliki warna kuning. Selain pemberi warna, kurkuminoid juga merupakan
salah satu komponen temulawak yang memberikan khasiat farmakologis seperti
zat antiinflamasi dan memiliki aktivitas hipokolesterolemik. Sidik et al. (1995)
menjelaskan bahwa kurkuminoid dalam temulawak terdiri atas kurkumin dan
desmetoksikurkumin. Jumlah kurkumin dalam kurkuminoid temulawak ada lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah desmetoksikurkumin dengan perbandingan
8
kurkumin mencapai 71% dan desmetoksikurkumin 29%. Kurkuminoid bersifat
larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida serta tidak
dapat larut dalam air dan dietil eter sehingga ekstraksi oleoresin temulawak
menggunakan pelarut etanol (Yulianti 2010).
Kadar xanthorrhizol
Identifikasi komponen minyak atsiri yang terdapat dalam oleoresin
temulawak dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Menurut Gritter et
al. (1991) dalam Yulianti (2010), kromatografi gas merupakan metode yang cepat
dan tepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Komponen campuran
dapat diketahui dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas
pada kondisi yang tepat.
Menurut Kim (2007) salah satu komponen minyak atsiri temulawak yang
berperan penting dalam memberikan efek farmakologis adalah xanthorrhizol
(C15H22O) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 3. Hal ini selaras
dengan pernyataan Taryono et al. (1987) yang menyatakan bahwa gabungan
senyawa kurkumin dan xanthorrhizol diduga sebagai penyebab berkhasiatnya
temulawak. Senyawa ini menurut Maiwald dan Schawantes (1992) dalam Sidik et
al. (1995) digolongkan sebagai senyawa sesquiterpen. Komponen lain dalam
minyak temulawak yang juga termasuk sesquiterpen adalah α-kurkumin, β-
kurkumin, 1-sikloisopren-mirsen, zingiberen, turunan bisabolen, epoksid-
bisakuron, bisakuron A, bisakuron B, dan bisakuron C.
Gambar 3 Rumus bangun xanthorrhizol
Kadar xanthorrhizol dalam bahan volatil pada oleoresin temulawak
ditunjukkan dengan persentase luas area senyawa xanthorrhizol komparatif
terhadap persentase luas area senyawa lainnya yang mudah menguap dalam
oleoresin temulawak. Berdasarkan kromatogram hasil analisis gas kromatografi
dapat diketahui bahwa persentase luas area xanthorrhizol komparatif terhadap
9
bahan yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak berkisar antara 1.26 –
42.82%. Persentase luas area xanthorrhizol tertinggi ada pada oleoresin dengan
suhu ekstraksi 30oC dan perbandingan antara bahan dengan pelarut 1 : 6 (Yulianti
2010).
Hasil penelitian Yulianti (2010) menunjukkan bahwa peningkatan suhu
ekstraksi mengakibatkan penurunan persentase luas area xanthorrhizol. Hal ini
selaras dengan hasil analisis keragaman terhadap persentase luas area
xanthorrhizol yang memberikan informasi bahwa faktor suhu ekstraksi
berpengaruh nyata terhadap persentase luas area xanthorrhizol, sedangkan
perbandingan baku – pelarut tidak memiliki pengaruh nyata pada persentase luas
area xanthorrhizol.
Xanthorrhizol yang merupakan salah satu komponen minyak atsiri
temulawak memiliki sifat sensitif terhadap panas dan cahaya. Peningkatan suhu
proses untuk memperoleh minyak atsiri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan
komponen minyak atsiri tersebut sehingga peningkatan suhu ekstraksi oleoresin
juga akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen xanthorrhizol. Selain
itu penyimpanan minyak atsiri yang mengandung xanthorrhizol juga harus
menggunakan wadah yang kedap cahaya untuk meminimalkan kerusakan
xanthorrhizol yang ada di dalamnya.
Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional
Di antara sekian banyak tumbuhan yang terdapat di Indonesia, temulawak
merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat, hingga
dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan obat Indonesia.
Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional
yang dibuat di Indonesia. Temulawak dalam obat tradisional Indonesia digunakan
sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan.
Dalam konteks penggunaan tradisional, temulawak digunakan sebagai obat untuk
mengatasi penyakit tertentu, atau juga digunakan sebagai penguat daya tahan
tubuh. Di Aceh, temulawak dikenal dengan nama kunyit ketumbu, rimpangnya
digunakan dalam ramuan untuk penambah darah, atau untuk mengatasi malaria.
Masyarakat etnis Sakai di Bengkalis, Riau, menggunakan rimpang temulawak
10
untuk penambah nafsu makan, sedangkan masyarakat Sunda menggunakan
rimpang temulawak untuk mengobati sakit kuning dan mengatasi gangguan perut
kembung. Selain oleh masyarakat Sunda, rimpang temulawak juga digunakan
dalam ramuan sebagai obat penyakit kuning oleh masyarakat etnis Jawa, yang
juga menggunakan rimpang temulawak tunggal sebagai obat mencret. Masyarakat
etnis Bali menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi gangguan lambung
perih dan kembung, sedangkan masyarakat etnis Madura menggunakan rimpang
temulawak sebagai obat keputihan. Komunitas penggemar jamu gendong
menggunakan rebusan rimpang temulawak sebagai penguat daya tahan tubuh dari
serangan penyakit (Moelyono 2007).
Temulawak selain sering dimanfaatkan untuk jamu dan obat juga
bermanfaat sebagai sumber karbohidrat dengan cara mengambil patinya, pati ini
kemudian diolah untuk dibuat menjadi bubur makanan bayi atau untuk orang-
orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Karena kandungan
temulawak juga mengandung senyawa yang beracun, bisa dimanfaatkan untu
mengusir nyamuk (Anonim 2011).
Sebagai primadona obat herbal Indonesia, penggunaan temulawak
mengalami perkembangan dalam penggunaannya, dimulai dari sediaan obat
tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan
fitofarmaka. Perkembangan penggunaan juga diikuti oleh perkembangan bentuk
sediaan, dari bentuk sediaan tradisional seperti jamu rebusan, jamu seduh, atau
bentuk lain menjadi sediaan berbentuk kapsul, kaplet, hingga bentuk sediaan sirup
atau suspensi. Pengembangan bentuk dan penggunaan ini merupakan tuntutan
pengguna yang menginginkan kepastian keamanan dan khasiat, serta bentuk yang
menarik, praktis, dan stabil.
Persyaratan jaminan kualitas dari sediaan fitofarmaka yang mengandung
ekstrak temulawak dapat dipenuhi karena kandungan kimia aktif yang terkandung
dalam ekstrak temulawak telah dikenal baik, yaitu kurkuminoid yang terdiri atas
kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin, serta kandungan
minyak atsiri dengan komponen xanthorhizol sebagai senyawa penandanya
(Moelyono 2007).
11
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil usaha manusia untuk memahami suatu
objek tertentu yang didapatkan oleh individu baik melalui proses belajar,
pengalaman, atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam diri individu.
Aziz (1995) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan segala informasi dan
kebijaksanaan dari dunia sekitar yang disertai dengan pemahaman pada informasi
yang diterima pada suatu objek, karena tanpa adanya unsur pemahaman, maka
seseorang belum dapat dikatakan berpengetahuan.
Pengetahuan atau knowledge adalah kemampuan yang dimiliki seseorang
untuk mengungkapkan atau mengingat kembali pengalaman, konsep, berbagai
prinsip materi, dan kejadian pada hal-hal yang umum maupun khusus. Pendapat
lain mengatakan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
seseorang dari hasil belajar atau pengalaman tertentu. Pengetahuan merupakan
hasil belajar sebagai aktifitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan, serta diperoleh melalui pengalaman.
Menurut Notoatmojo (1995) dalam Artanti (2009), pengetahuan adalah
hasil dari proses belajar dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Para ahli psikologi kognitif membagi pengetahuan
ke dalam pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) dan pengetahuan
prosedur (procedural knowledge). Pengetahuan deklaratif adalah fakta atau
subjektif yang diketahui seseorang, sedangkan pengetahuan prosedur adalah
pengetauan mengenai bagaimana fakta-fakta tersebut digunakan (Sumarwan
2003).
Secara sederhana pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan
keterangan dan ide yang terkandung dalam berbagai pernyataan yang dibuat
mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial, maupun
perorangan (Gie 1991). Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia
untuk tahu. Dengan pengetahuan manusia mempunyai wawasan dan gambaran
dari berbagai objek yang ditelitinya. Untuk bisa mendapatkan pengetahuan,
manusia perlu mengetahui sesuatu hal tentang apa yang ingin diketahui dari hasil
pengamatan secara berulang-ulang sampai mendapatkan kesimpulan.
12
Sumarwan (2003) mengungkapkan, bahwa pengetahuan yang baik
mengenai suatu produk dapat mendorong konsumen untuk menyukai produk
tersebut. Dengan demikian, sikap positif terhadap suatu produk dapat
mencerminkan pengetahuan konsumen mengenai produk tersebut. Pengetahuan
dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengerti suatu pesan,
membantu mengganti logika yang salah, dan menghindarkannya dari berbagai
persepsi yang tidak tepat. Dalam teori perilaku konsumen, pengetahuan dan
persepsi seseorang merupakan dua hal yang penting diperhatikan bahkan
dijadikan sasaran perubahan untuk tujuan pemasaran, demikian pula dalam
psikologi untuk tujuan terapi (Belch & Belch 1995 dalam Artanti 2009).
Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak
Temulawak dikenal luas oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan
penggunaan utama sebagai bumbu masak dan bahan pengobatan tradisional. Hasil
penelitian Kuntorini (2005) menyebutkan bahwa di Banjar Baru, Kalimantan
Selatan, temulawak merupakan tanaman obat tradisional yang penting dengan
kegunaan untuk mengobati penyakit dalam dan menetralkan darah. Sumber
pengetahuan masyarakat di wilayah penelitian inipun sebagian besar diperoleh
dari turun-temurun.
Berbagai manfaat kesehatan temulawak lainnya yang telah dikenal dalam
pengobatan tradisional masyarakat Indonesia diantaranya untuk mengobati sakit
perut, sakit hati, demam, sembelit, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal
(Sumiaty 1997), menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah
bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), obat sakit maag, melancarkan saluran
pencernaan, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, dan peradangan
dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat
obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan
Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang
temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau
kapsul (Hargono 1985).
Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) menyatakan bahwa proses
keputusan pemilihan suatu produk melalui kegiatan pembelian dimulai dengan
13
pengenalan kebutuhan yang didefinisikan sebagai suatu persepsi atas perbedaan
antara keadaan yang diinginkan dengan situasi aktual yang memadai untuk
menggugah dan mengaktifkan proses kebutuhan. Berdasarkan hasil penelitian
Kurniawan (2002) diketahui bahwa preferensi konsumen dalam membeli dan
mengonsumsi produk minuman temulawak diantaranya dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang manfaat temulawak, meskipun yang menjadi pertimbangan
utama adalah harga.
Penerimaan atau preferensi konsumen dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat
sensori pada makanan seperti rasa, aroma, tekstur dan penampakan. Hal yang
sama juga berlaku terhadap minuman instan temulawak. Sifat-sifat sensori pada
makanan akan diproses dalam otak dengan dilatarbelakangi oleh faktor
kultur/etnis, psikososial, pembelajaran dan daya ingat, ketahanan tubuh dan lain-
lain (Cardello 1994 dalam Hendarini 2011). Perbedaaan psikologi diantara
individu seperti kepribadian juga berpengaruh terhadap preferensi makanan,
contohnya adalah mood dan slepness (Shepherd & Spark 1994 dalam Hendarini
2011).
Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan
Temulawak instan merupakan sari temulawak yang mengandung
komponen temulawak-temulawak baik yang menguap (minyak atsiri) maupun
komponen yang tidak menguap (resin, pigmen, dan lainnya) dengan ditambah
bahan pengisi seperti dekstrin dan gum arab (Suryati 1985).
Minuman serbuk temulawak termasuk dalam kelompok minuman serbuk
tradisional dan dalam SNI 01-4320-1996 minuman serbuk tradisional
didefinisikan sebagai produk bahan minuman berbentuk serbuk atau granula yang
dibuat dari campuran gula dan rempah-rempah dengan atau tanpa penambahan
bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Pada SNI
tersebut dinyatakan bahwa sakarin dan siklamat merupakan pemanis buatan yang
penggunaannya tidak diperbolehkan tetapi berdasarkan SNI 01-6993-2004 tentang
bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk pangan dinyatakan bahwa
siklamat dan sakarin diperbolehkan penggunaannya dalam jumlah terbatas.
Jumlah maksimum untuk sakarin dan siklamat yang diperbolehkan dalam
14
minuman non-karbonasi berdasarkan SNI 01-6993-2004 berturut-turut adalah
sebanyak 500 mg/kg berat bahan dan 1000 mg/kg berat bahan. Berdasarkan
berbagai keterangan dalam SNI tersebut, maka syarat mutu minuman serbuk
tradisional adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Syarat mutu minuman serbuk tradisional
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan Sumber 1.
1.1. 1.2. 1.3.
Keadaan Warna Bau Rasa
Normal Normal, khas rempah-rempahNormal, khas rempah-rempah
SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996
2. Air, b/b % Maks 3.0 SNI 01-4320-1996 3. Abu, b/b % Maks 1.5 SNI 01-4320-1996 4. Jumlah gula (dihitung
sebagai sakarosa) b/b % Maks 85.0 SNI 01-4320-1996
5. 5.1.
5.2.
Bahan tambahan makanan Pemanis buatan - Sakarin - Siklamat Pewarna tambahan
-
mg/kg mg/kg
-
Maks. 500 Maks. 1000 Sesuai SNI 01-0222-1995
SNI 01-6993-2004 SNI 01-6993-2004 SNI 01-0222-1995
6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4.
Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 0.2 Maks 2.0 Maks 50 Maks 40.0
SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996
7. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0.1 SNI 01-4320-1996 8.
8.1. 8.2.
Cemaran mikroba Angka lempeng total Coliform
Koloni/gr APM/gr
3 x 103
< 3
SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996
Proses pembuatan minuman serbuk temulawak
Tahapan yang harus diperhatikan dalam pembuatan temulawak instan
adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi,
proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian sebagai tahap
penyelesaian (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991)
Perlakuan pendahuluan untuk rimpang temulawak adalah dengan cara
pengecilan ukuran bahan dan pengeringan. Proses pengeringan akan mempercepat
proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak, akan tetapi selama pengeringan
kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena proses penguapan dan oksidasi
(Ketaren 1985).
Ada dua cara ekstraksi untuk mengekstrak sari temulawak, yaitu ekstraksi
dengan cara soxhlet dan cara perkolasi dengan atau tanpa pemanasan. Cara
perkolasi pada prinsipnya adalah menambahkan pelarut pada bahan yang akan
15
diekstrak dengan perbandingan tertentu kemudian diaduk dengan magnetic stirer
atau mixer (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991).
Beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk proses ektraksi oleoresin
adalah aseton, metanol, haksana, etil alkohol, isopropil alkohol, dan etilen
diklorida. Hasil penelitian Ria (1989) menunjukkan bahwa pelarut organik yang
mempunyai gugus hidroksil dan karbonil, yaitu etanol dan aseton ternyata mampu
melarutkan oleoresin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pelarut
hidrokarbon (heksana).
Penyaringan sebagai proses pemisahan benda padat dengan larutan atau
gas melalui media yang berlubang, yang akan menahan benda padat tapi
mengalirkan cairan. Faktor yang mempengaruhi tingkat penyaringan adalah luas
dari medium filter, tekanan dari “cake filter” dan filter, kekentalan filtrat dan
perbedaan tekanan antar filter. Pemilihan media penyaring tergantung dari tujuan
penyaringan dan jumlah yang akan disaring. Sifat-sifat dari medium penyaring
yang baik, yaitu kecilnya tahanan terhadap aliran cairan filtrat, kemampuannya
untuk menjembatani zat padat pada lubang-lubangnya setelah mulai dimasukkan,
tidak boleh ada reaksi kimia dengan campuran yang akan disaring, cukup kuat
untuk menahan tekanan penyaringan dan mekanis, harus mempunyai daya serap
kecil terhadap bahan yang larut dan permukaan filter harus halus untuk
memudahkan membuang ampas (Suwiah 1991).
Pengering semprot (spray dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan
yang berbentuk larutan dengan viskositas tinggi. Larutan tersebut dilewatkan
melalui lubang kecil (nozzle) dan disemprotkan ke dalam ruang pengering.
Penyemprotan bahan juga dapat dilakukan melalui cairan yang berputar dengan
kecepatan tinggi dimana zat cair akan menguap dengan cepat karena
permukaannya terpapar langsung dengan udara kering bersuhu tinggi. Dalam
ruang pengering ini dialirkan udara panas yang arah alirannya dapat dikondisikan
agar searah maupun berlawanan dengan arah jatuhnya bahan. Pemindahan panas
berlangsung cepat karena luasnya permukaan bahan sehingga larutan langsung
kering dalam waktu antara 1 sampai 10 detik. Tekanan semprot yang umum
digunakan berkisar antara 125 – 350 kg/cm2. Ukuran garis tengah tepung yang
16
dihasilkan dari proses ini berkisar antara 10 – 200 mikron. Kadar air bahan hasil
pengeringan antara 3 – 5% (Taib et al. 1988).
Keuntungan menggunakan spray dryer dan bahan pengisi untuk kapsulasi
flavor adalah bahan tidak volatil karena zat flavor diselubungi oleh suatu lapisan
yang tidak bisa ditembus sehingga terlindung dari kehilangan karena penguapan
dan perubahan oksidatif; bahan yang dihasilkan kering; tidak higroskopis; tidak
menggumpal; bahan siap digabungkan ke dalam campuran makanan untuk
membentuk dispersi flavor yang homogen; kekuatan flavor dan kualitasnya
terjamin selama masa penyimpanan; saat bahan dicampur dengan air maka kapsul
akan pecah dan mengeluarkan flavor (mudah larut dalam air dingin); ukuran
partikel yang dihasilkan antara 10 – 200 mikron dengan mayoritas berbentuk bola
yang berdiameter 50 mikron serta aktivitas air (aw) di bawah 0.2 – 0.3 (Heath &
Pharm 1978 dalam Suwiah 1991).
Proses lanjutan setelah terbentuk tepung ekstrak temulawak adalah
pencampuran tepung ekstrak tersebut dengan menggunakan berbagai bahan
pengisi dan perasa yang terdiri atas maltodekstrin, gula tepung, garam, sukralosa,
dan asam sitrat. Penambahan gula tepung sebagai pemberi rasa manis akan
memberikan sumbangan energi, oleh karena itu perlu ditambahkan pemanis
buatan (sukralosa) sehingga minuman instan temulawak yang dihasilkan akan
tetap memiliki rasa yang dapat diterima tetapi juga dapat diklaim rendah energi.
Berdasarkan SNI 01-6993-2004 dan Komisi Regulasi Uni Eropa/Commission
Regulation EU (2006) diketahui bahwa suatu produk dapat diklaim sebagai
produk rendah energi jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran
saji.
Status Gizi dan Imunitas
Sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi
berbagai agen (bakteri, virus, jamur, dan parasit) yang ada di lingkungan.
Mekanisme pertahanan pada sistem ini meliputi pemusnahan mikroorganisme
yang berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatisnya meliputi
pemusnahan berbagai sel yang rusak. Mekanisme pengawasan berfungsi
mendeteksi dan menghancurkan sel yang termutasi, atau menunjukkan tanda-
17
tanda yang tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain
(Zakaria 1996 dalam Rusilanti 2006).
Sistem pertahanan tubuh terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis
besar dapat dibagi dua yaitu kekebalan adaptif (adaptive immunity) dan kekebalan
non adaptive (innate immunity) (Harlow dan Lane 1999 dalam Rusilanti 2006;
Baratawidjaja dan Rengganis 2009). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel
yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di
dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozime, dan sel lisis oleh sel
NK (natural killer). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah
kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali.
Kekebalan adaptif/spesifik ditujukan untuk melawan molekul asing yang
spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali.
Kekebalan spesifik/adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat
mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat
berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang disekresikan ini
dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan
antibodi disebut antigen.
Gambar 4 berikut memberi penjelasan secara skematik sistem imun non
spesifik (innate) dan spesifik (adaptif/acquired).
Gambar 4 Skema sistem imun adaptif dan non adaptif Sumber: Roitt & Delves (2001)
Dalam sistem kekebalan spesifik, mempunyai kemampuan untuk
mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali
muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi
Sel NK
Infeksi intraseluler Infeksi ekstraseluler
Sel B Antibodi
Komplemen Polimorf Sitokin
Sel T
Makrofag
Innate
Adaptif
Imunitas seluler Imunitas humoral
18
sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel imun yang sudah tersensitasi
tersebut terpajan/terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda
asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat untuk kemudian dihancurkan.
Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi-komplemen-
fagosit dan antara sel T-makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Infeksi mikroorganisme dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada tubuh.
Dalam rangka menghancurkan benda asing atau mikroorganisme, tubuh akan
mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat mikroorganisme yang masuk
tersebut. Ada tiga pertahanan yang dilakukan oleh tubuh, yaitu:
1. Penghalang pada permukaan seperti enzim dan mucus yang secara langsung
bertindak sebagai antimikroba atau menghambat penempelan mikroba.
2. Mikroba yang berhasil menembus lapisan ektoderm, maka yang akan
menghadapi pertama kali adalah respon imun natural (innate immunity) yang
meliputi sel-sel fagosit (neutrofil, monosit, dan maktofag) yang melepaskan
media inflamasi (basofil, sel mast, dan eosinofil) dan sel natural killer (NK).
Komponen molekuler yang terlibat dalam respon imun natural antara lain
komplemen, protein fase akut, dan sitokin (protein yang berperan dalam
inflamasi dan sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun).
3. Pertahanan yang ketiga adalah respon imun dapatan (acquired immunity)
yang meliputi proliferasi sel B dan T peka-antigen. Sel B mengeluarkan
imunoglobulin dan sel T membantu sel B membuat antibodi dan juga
membasmi patogen intraseluler dengan mengaktifkan makrofag. Respon
imun natural dan dapatan bekerja bersama-sama untuk membunuh patogen
(Roitt & Delves 2001).
Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr
Limfosit terdiri atas sel T (Th, Tc, dan Tr), sel B, dan sel NK. Sel T
berasal dari progenitor sel asal sumsum tulang yang bermigrasi ke timus dan
berdirensiasi. Sel T atau disebut juga timosit yang belum matang dipersiapkan di
dalam timus untuk memperoleh reseptor. Sel T ini memiliki antigen permukaan
CD3 dan hanya dapat menjadi matang jika reseptornya tidak berintegrasi dengan
peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang diikat oleh MHC (Mono
19
Histocompatability Complex) dan dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell)
(Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel
timosit/CD3 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal, Balasubramaniam,
Quek, Gill, dan Nasuruddin (1995) adalah 2092 ± 905 sel/µL.
Sel T yang berkembang penuh melewati dinding venul poskapilar,
mencapai sirkulasi sistemik serta menempati organ limfoid perifer dan beberapa
diantaranya disirkulasikan ulang. Sel T akan berdiferensiasi jika terpajan dengan
antigen spesifik yang dipresentasikan APC dalam organ limfoid sekunder seperti
limpa, kelenjar limfoid, dan MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissue).
Kemampuan sel T matang untuk mengenal benda asing dimungkinkan oleh
ekspresi molekul unik pada membrannya yang disebut TCR (T cell receptor) yang
memiliki sifat diversitas, spesifisitas, memori, dan berperan dalam imunitas
spesifik (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Peran sel T adalah pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktivasi
dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi, serta pengenalan dan penghancuran
sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri atas beberapa subset yaitu sel T naif,
Th/CD4, Tc/CD8, Tr/Treg/Th3, dan sel NKT. Sel T naif yang terpajan dengan
kompleks antigen MHC dan dipresentasikan APC atau rangsangan sitokin spesifik
akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4 dan CD8 dengan fungsi
efektor yang berlainan (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Sel T naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan belum
berdiferensiasi, belum terpajan antigen, dan memiliki molekul permukaan
CD45RA. Dari timus sel T naif dibawa darah ke organ limfoid perifer. Sel T naïf
yang terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang selanjutnya akan
berkembang lagi menjadi sel efektor Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan
berdasarkan jenis sitokin yang diproduksinya. Sel Th0 memproduksi sitokin IL-2,
IFN, dan IL-4 (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Sel Th atau sel CD4 disebut juga sel T inducer karena merupakan subset
sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen
yang ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke
sel CD4 yang selanjutnya akan diaktifkan dan mengekspresikan IL-2R serta
memproduksi IL-2 yang autokrin. Sel CD4 yang berproliferasi dan berdiferensiasi
20
berkembang menjadi subset Th1 dan Th2 yang akan mensintesis sitokin serta
mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti CD8, sel B, makrofag, dan sel NK
(Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel CD4 untuk orang melayu normal
menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 1052 ± 526 sel/µL
Sel CD8 naif yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik/Tc dan
rata-rata untuk orang melayu normal adalah 965 ± 470 sel/µL (Dhaliwal et al.
1995). Sel CD8 mengenal kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan APC.
Molekul MHC-I ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utama
sel CD8 adalah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas
dan sel histoin kompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Pada
kondisi tertentu, sel CD8 juga dapat menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri
intraseluler. Sel CD8 menimbulkan sitolisis/penghancuran sel sasaran melalui
mekanisme perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis/penghancuran diri), TNF-α
serta memacu produksi sitokin Th1 dan Th2 (Roitt & Delves 2001; Abbas &
Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Proses penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim
dimulai dari sel CD8 yang aktif dan mengekspresikan molekul yang disebut
perforin yang menyerupai MAC (Macrophage Activating Cytokine) dari
komplemen. Perforin membuat lubang-lubnag dipermukaan sel T. Enzim yang
disebut granzim lalu dimasukkan ke sel sasaran dan selanjutnya mengaktifkan
kaspase, yaitu protein intraseluler dengan sistein di lokasi aktifnya yang berikatan
dengan substrat di C terminal dari residu asam aspartik serta merupakan
komponen kaskade enzim yang menimbulkan kematian apoptosis sel. Sedangkan
penghancuran melalui mekanisme FasL diawali dari sel CD8 yang
mengekspresikan molekul yang disebut FasL. Molekul ini akan mengikat Fas di
permukaan sel sasaran dan Fas memiliki domen mati sitoplasma yang juga akan
mengaktifkan kaspase (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Subset sel T berikutnya adalah sel Tr atau T regulator/Ts/Th3 yang diduga
berperan dalam toleransi oral dan regulator imunitas mukosa, imuno-regulasi
dengan menekan sejumlah respon imun seperti respon terhadap sel-antigen,
alloantigen, antigen tumor, dan pathogen. Sel Tr yang dibentuk dari timosit di
timus mengekspresikan dan melepas TGF-β dan IL-10 yang diduga merupakan
21
petanda supresif. IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag sedangkan
TGF-β akan menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag (Baratawidjaja &
Rengganis 2009).
Sel B (CD19+)
Sel B atau limfosit B memiliki antigen permukaan CD19 dan memiliki
peranan utama dalam sistem imun spesifik humoral. Jumlah sel B berkisar antara
5 – 25% dari limfosit dalam darah dan pertama kali diproduksi selama fase
embrionik dan berlangsung terus selama hidup. Sebelum janin dilahirkan, yolk
sac, hati, dan sumsum tulang janin merupakan tempat pematangan utama sel B
dan setelah janin dilahirkan pematangan sel B terjadi di sumsum tulang.
Pematangan sel B terjadi dalam beberapa tahap dan berhubungan dengan berbagai
Ig yang diproduksi (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel B untuk
orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 414 ± 283 sel/µL.
Pematangan limfosit terjadi melalui proses yang disebut seleksi (positif
dan negatif) dan untuk sel B proses seleksi pematangan primer terjadi dalam
organ limfoid primer sumsum tulang. Sel B akan berproliferasi atas pengaruh
sitokin IL-12 yang meningkatkan jumlah sel imatur. Perkembangan sel B mulai
dari sel precursor limfoid yang berdiferensiasi menjadi sel progenitor B (pro-sel
B) yang mengekspresikan transmembran tirosin-fosfatase (CD45R). Proliferasi
dan diferensiasi pro-B menjadi prekursor B memerlukan lingkungan mikro dari
stroma sel sumsum tulang. Jadi jika sel pro-B dibiakkan secara in vivo, tidak akan
tumbuh menjadi sel yang matang kecuali ada sel sumsum tulang yang melepas
sitokin IL-17 untuk membantu perkembangan sel tersebut (Roitt & Delves 2001;
Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Pematangan progenitor sel B disertai modifikasi gen yang berperan dalam
diversitas produk akhir dan penentuan spesifisitas sel B. Pematangan dalam
sumsum tulang tidak memerlukan antigen, tapi aktivasi dan diferensiasi sel B
matang di kelenjar getah bening (KGB) perifer memerlukan antigen. Proses
aktivasi sel B diawali dengan pengenalan antigen spesifik oleh reseptor
permukaan. Antigen dan perangsang lain termasuk Th akan merangsang
proliferasi dan diferensiasi klon sel B spesifik. Dalam perkembangannya sel B
22
mula-mula memproduksi IgM atau isotope Ig lain (missal IgG), menjadi matang,
atau menetap sebagai sel memori (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Sel NK (CD16+56+)
Sel NK merupakan salah satu kelompok limfosit yang memiliki antigen
permukaan CD 56 dan 16 (CD16+56+) (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel NK
akan merespon antigen atau mikroba intraseluler dengan membunuh sel-sel yang
terinfeksi dan memproduksi IFN-γ, yaitu sitokin yang akan mengaktivasi
makrofag dan berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel tumor
(Abbas & Lichtman 2004).
Jumlah sel NK sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari
limfosit dalam jaringan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dhaliwal et al
(1995), rata-rata sel NK pada orang melayu normal adalah 649 ± 349 sel/µL. Sel
NK berkembang dari sel sel asal progenitor yang sama dengan sel B dan sel T
tetapi tidak memiliki petanda sel B, sel T, atau immunoglobulin permukaan. Sel
NK juga bermigrasi ke organ limfoid perifer seperti limpa dan kelenjar getah
bening meskipun hanya merupakan sebagian kecil dari sel T (Abbas & Lichtman
2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Sel NK mengenal dan membunuh sel terinfeksi atau sel yang
menunjukkan transformasi ganas, tetapi tidak membunuh sel sendiri yang normal
karena dapat membedakan sel sendiri dari sel yang potensial berbahaya. Hal
tersebut dimungkinkan karena reseptornya yang berupa reseptor inhibitori dan
reseptor aktivasi. Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel sehat
dan tidak oleh sel yang terinfeksi virus atau kanker. Reseptor yang diaktifkan
dapat mengenal struktur yang ada pada sel sasaran yang rentan terhadap sel NK
dan sel normal. Pengaruh reseptor inhibitori akan dominan dan mengikat MHC-I
yang normal diekspresikan pada sel sehat (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Kemampuan sel NK untuk membunuh berbagai sasaran (termasuk sel
tumor) sangat ditentukan oleh reseptor aktivasi. Ikatan ligan dengan reseptor
tersebut memacu produksi sitokin yang meningkatkan migrasinya ke tempat
infeksi dan membunuh sel sasaran yang mengekspresikan ligannya. Pada
umumnya tumor mengekspresikan antigen yang dapat dikenal sel sistem imun,
23
tetapi mungkin tidak dikenal oleh sel CTL/CD8. Sel tumor dapat berkembang dan
menjadi varian tumor yang secara genetik tidak stabil, dengan ekspresi MHC yang
kurang pada permukaan sel, sehingga sel CD8 tidak mampu mengenalinya.
Beberapa jenis virus juga dapat mengurangkan ekspresi molekul MHC-I pada sel
terinfeksi sehingga mempersulit sel CD8 dalam mengenali dan membunuh sel
tersebut. Hal inilah yang menjadi kelebihan sel NK karena dapat membunuh sel
pejamu yang mengekspresikan molekul MHC-I abnormal. Dalam hal ini, sel NK
dengan reseptor aktivasinya yang mengenali molekul MHC-I abnormal pada sel
sasaran dapat membunuh sel tumor serta memusnahkan sel terinfeksi virus
intraselular, sehingga dapat menyingkirkan sumber infeksi. Mekanisme kerja sel
NK dalam imunitas spesifik terjadi melalui produksi IFN-γ dan TNF-α yang
merupakan dua sitokin proinflamasi poten dan dapat merangsang pematangan sel
dendritik yang merupakan sel koordinator imunitas nonspesifik dan spesifik. IFN-
γ merupakan mediator poten aktivasi makrofag dan penting pada regulasi
perkembangan Th yang merupakan bagian dari imunitas spesifik (Roitt & Delves
2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Fungsi imun dan obesitas
Sistem imun sangat dipengaruhi oleh gizi karena tanpa gizi yang memadai,
maka sistem imun akan kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk
menghasilkan respon imun yang efektif. Kekurangan gizi pada manusia biasanya
merupakan kasus kurang gizi komplek (bukan hanya satu zat gizi). Hasil
penelitian (dengan hewan coba dan pengamatan pada pasien kurang gizi tunggal)
telah menunjukkan peran penting dari vitamin A, beta karoten, asam folat, vitamin
B2, B6, B12, vitamin C, vitamin E, besi, seng, dan selenium dalam pemeliharaan
sistem imun (Chandra 2002; Grimble 1997 dalam Marcos, Nova, & Montero
2003). Perbaikan gizi akan dapat meningkatkan kembali fungsi imun dan
resistensi tubuh terhadap infeksi. Meskipun demikian, kelebihan gizi juga akan
berdampak negative/merusak fungsi kekebalan tubuh (Calder dan Kew 2002)
Lemak sebagai salah satu komponen yang sangat penting dalam diet juga
merupakan zat yang sangat berperan dalam memodulasi sistem imun. Komposisi
asam lemak dalam limfosit dan sel-sel imun akan dibentuk sesuai dengan
24
komposisi asam lemak yang ada dalam diet. Oleh karena itu, pengaturan lemak
dalam diet menjadi penting terutama jika diet tersebut digunakan dalam tata
laksana diet penyakit yang terkait dengan proses peradangan maupun penyakit
autoimun (De Pablo & Alvarez de Cienfuegos 2000 dalam Marcos, Nova, &
Montero 2003).
Sampai saat ini, informasi mengenai mekanisme yang menyebabkan
terjadinya peningkatan risiko infeksi dan rendahnya respon antibodi pada orang-
orang obes masih belum diketahui, tetapi kemungkinan yang terbesar adalah
karena adanya kaitan antara proses metabolisme dalam tubuh yang buruk yang
akhirnya menghasilkan respon imun yang buruk pula (Lamas et al. 2002 dalam
Marcos, Nova & Montero 2003). Hal ini didukung dengan banyaknya bukti
ilmiah yang menunjukkan adanya hubungan antara metabolism jaringan adipose
dengan fungsi sel yang mampu mengembangkan respon kekebalan tubuh
(imunokompeten). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, diketahui
bahwa pada subjek hewan coba obes ada hubungan antara keberadaan leptin dan
TNF-α dalam jaringan adiposa dengan penurunan seluruh subset limfosit T dan
populasi sel B (Kimura et al. 1998 dalam Marcos, Nova & Montero 2003). Selain
itu, tingkat responsifitas limfosit hewan coba obes pada berbagai mitogen lebih
rendah jika dibandingkan pada subjek yang tidak obes (Tanaka et al. 1998 dalam
Marcos, Nova & Montero 2003).
Penelitian lebih lanjut pada subjek manusia dewasa menunjukkan hasil
serupa bahwa kapasitas limfosit untuk berproliferasi lebih rendah untuk merespon
aktivasi mitogen. Obesitas pada subjek dewasa obes berhubungan dengan
peningkatan jumlah leukosit dan subset limfosit (kecuali untuk sel NK dan
sitotoksik/sel T supresor), mitogen sel B dan T yang lebih rendah, yang disertai
dengan fagositosis granulosit dan monosit lebih tinggi tetapi dengan sel-sel NK
yang tetap berfungsi normal (Marti, Marcos, & Martinez 2001). Meskipun
demikian, pada penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda dan bahkan
berlawanan, terutama dalam jumlah leukosit dan subset limfosit. Hal tersebut
terjadi kemungkinan karena heterogenitas dan jumlah subjek yang dilibatkan
dalam penelitian. Selain itu, pada penelitian dengan subjek obes yang telah
mengalami penurunan berat badan atau kekurangan gizi (pada periode
25
sebelumnya) juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda (Marcos, Nova, &
Montero 2003). Beberapa hasil penelitian yang membandingkan respon imun
pada subjek obes dan non obes disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes
dibandingkan dengan subjek non obes
Subjek Hasil Penelitian Sumber
Individu obes Total limfosit (sel-sel helper (CD4+) dan sel T sitotoksik (CD8+), kadar IL-6 dan IL-1 α, dan kadar serum protein C-reaktif) lebih tinggi dibandingkan subjek non obes.
Nieman et al. (1999) Visser et al. (1999) Raymond et al. (1999)
Individu obes Respon limfosit yang lebih rendah terhadap mitogen dibandingkan subjek non obes, terkait dengan kadar TNF-α yang lebih tinggi.
Nieman et al. (1999) Tanaka et al. (1993)
Individu obes dengan pembatasan asupan energi
Respon proliferasi yang lebih rendah terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.
Nieman et al. (1996)
Individu obes setelah mengalami penurunan berat badan
Peningkatan respon sel T dan peningkatan respon proliferasi terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.
Tanaka et al. (1993 dan 2001)
Individu obes setelah berpuasa
Jumlah PHA (phytohaemaglutinin) lebih rendah dan aktifitas sel NK serta IgM (penunjuk terjadinya infeksi primer) lebih tinggi dibandingkan pada subjek non obes.
Wing et al. (1983)
Individu obes dengan program fat burn
Bakterinemia, demam, durasi antibiotherapy, dan lama rawat inap di rumah sakit yang lebih tinggi dibandingkan pada subjek non obes.
Gottschlich et al. (1993)
Sumber: Lamas, Marti, & Martinez (2002)
26
KERANGKA PEMIKIRAN
RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa penyakit infeksi utama yang
perlu mendapat perhatian tinggi di Indonesia adalah HIV/AIDS, malaria, dan TBC
karena dapat memberikan risiko yang fatal dan prevalensi kejadian ketiga
penyakit infeksi ini masih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus
infeksi akan berakibat fatal jika terjadi pada individu yang mengalami obesitas.
Hal ini perlu mendapat perhatian lebih karena permasalahan obesitas di Indonesia
saat ini juga semakin meningkat. Penelitian lain menunjukkan bahwa kejadian
obesitas terbukti membawa dampak negatif yang diantaranya adalah penurunan
fungsi imun sehingga penderita obesitas jadi semakin rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi.
Upaya yang dapat ditempuh untuk perbaikan sistem imun diantaranya
dengan pemanfaatan bahan lokal yaitu temulawak. Secara tradisional temulawak
banyak digunakan untuk tujuan pengobatan atau sebagai minuman untuk menjaga
kesehatan sehingga sampai saat ini berbagai produk berbahan dasar temulawak
telah banyak beredar di pasaran, meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak
yang belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun.
Lebih jauh lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada
produk juga belum terjamin.
Kandungan bahan aktif (xanthorrhizol) pada temulawak telah diketahui
memberikan manfaat dalam penekanan peradangan yang menjadi salah satu
penanda peningkatan sistem imun. Hasil penelitian Lee et al. (2002) pada sel
makrofag mencit (RAW 264.7) menunjukkan bahwa xanthorrhizol dari
temulawak mampu menghambat aktivitas cyclooxygenase (COX-2) yang
merupakan mediator penting dalam proses peradangan. Penelitian Kim, Kim,
Shim, dan Hwang (2007) pada kultur sel RAW 264.7 juga menunjukkan bahwa
ekstrak temulawak dapat menginduksi aktivitas sistem imun pada makrofag yang
diperantarai secara spesifik oleh aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB),
sedangkan penelitian Kosim et al (2007) melaporkan pemberian temulawak dapat
meningkatkan respon imun pada ayam yang diberi vaksin flu burung.
27
Pemanfaatan temulawak, khususnya untuk kesehatan sangat dipengaruhi
oleh pengetahuan masyarakat mengenai temulawak. Pengetahuan mengenai
manfaat kesehatan temulawak akan memberikan persepsi yang baik pula
mengenai temulawak sehingga penerimaan masyarakat terhadap produk pangan
fungsional berbasis temulawak akan semakin baik jika pengetahuan dan persepsi
terhadap temulawak juga baik. Jadi dapat dikatakan bahwa persepsi berpengaruh
secara langsung terhadap penerimaan. Lebih lanjut, hal ini tentunya akan sangat
menentukan apakah produk minuman serbuk temulawak yang diberikan akan
berpengaruh terhadap fungsi sistem imun atau tidak.
Keterangan
= Peubah yang diteliti = Hubungan yang diteliti
= Peubah yang tidak diteliti = Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 5 Kerangka pemikiran
Tingkat pendidikan
Subjek
Obesitas
Penurunan fungsi imun
Pemberian minuman temulawak
Akses informasi
Perbaikan fungsi imun [↑ jumlah dan % limfosit
serta subsetnya: Sel T (CD3+, CD4+, CD8+), Sel B
(CD19+), dan Sel NK (CD16+56+)]
Pengetahuan tentang manfaat kesehatan
temulawak
Persepsi tentang manfaat kesehatan
temulawak
Penerimaan dan pemanfaatan
temulawak untuk kesehatan
28
METODE
Cakupan Kegiatan
Cakupan kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak pada orang
dewasa.
2. Pengembangan minuman instan temulawak
3. Uji klinis pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi imun
yang diukur dari populasi limfosit total (sel B, sel T, dan sel NK).
Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan
terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T
dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol
(0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa
Obes.
Berbagai data serta cara pengumpulan yang dilakukan dalam seluruh
kegiatan penelitain ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data
Tujuan Data Cara Pengumpulan Jenis Data/Sumber
Analisis pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak.
Pengalaman mengonsumsi temulawak
Pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak
Wawancara dengan kuesioner
Wawancara dengan kuesioner
Data primer
Data primer
Pengembangan produk minuman instan temulawak
Daya terima organoleptik
Uji organoleptik Data primer
Analisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.
Sel T dan subsetnya (CD3+, CD4+, dan CD8+)
Sel B (CD19+)
Sel NK (CD16+56+)
Flow cytometri
Flow cytometri
Flow cytometri
Dwiriani, Dewi, dan Januwati (2010)
Dwiriani, Dewi, dan Januwati (2010)
Data primer
29
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak
Desain, tempat dan waktu
Penelitian ini merupakan penelitian lapang dengan desain cross sectional
study yang akan dilaksanakan pada April – Juni 2011. Lokasi penelitian
ditentukan secara purposive, yaitu di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Lokasi
penelitian tersebut dipilih dengan pertimbangan: (1) keberadaan subjek yang akan
mewakili populasi sasaran, dan (2) kemudahan akses.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Berdasarkan pengelompokkan penduduk dalam RISKESDAS diketahui
bahwa penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk dewasa jika berumur lebih
dari 18 tahun. Lokasi untuk survei ditentukan secara purposive yaitu di Kampus
IPB Darmaga. Mempertimbangkan bahwa pengetahuan akan sangat dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan maka subjek dikelompokkan menjadi dua yaitu
kelompok subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat
pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok, subjek terbagi lagi
berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu kelompok laki-laki dan perempuan sehingga
kerangka penarikan subjeknya adalah sebagai berikut:
Gambar 6 Kerangka pengambilan subjek
Jumlah subjek minimum dihitung berdasarkan rumus perhitungan jumlah
sampel minimum penelitian cross sectional study dengan mempertimbangkan
power sebesar 90% seperti berikut:
n ≥ zα2 x p (1 – p)/d2
n = jumlah contoh/subjek minimum p = 0.9 atau 90% zα
2 = 1.96 d = perkiraan ketepatan penelitian (0.1)
Pegawai IPB
Tingkat pendidikan tinggi Tingkat pendidikan rendah
Laki-laki (18) Perempuan (18) Laki-laki (18) Perempuan (18)
30
Berdasarkan rumus perhitungan tersebut, jumlah subjek minimum untuk
tiap kelompok (tingkat pendidikan dan jenis kelamin) penelitian adalah 18.
Jumlah total subjek untuk survei pengetahuan menjadi: 18 x 2 (kelompok status
pekerjaan) x 2 (kelompok jenis kelamin) = 72 subjek. Jumlah tersebut dibulatkan
menjadi 80 untuk meningkatkan ketepatan penelitian. Teknik yang digunakan
dalam pengambilan contoh yaitu dengan random sampling. Contoh dipilih secara
acak pada lokasi yang telah ditentukan secara purposive.
Kriteria inklusi untuk subjek adalah: berusia dewasa (> 18 tahun) dan
berstatus sebagai pegawai IPB (PNS maupun honorer), sedangkan kriteria ekslusi
subjek adalah: pegawai pendidik pakar pangan, gizi, dan kesehatan.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam survei ini dilakukan melalui wawancara
dan pengisian langsung dengan subjek. Data tersebut meliputi karakteristik sosial
ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun
obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan
temulawak serta sumber informasinya.
Data terkait pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan
temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit
perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu
makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat
malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim,
demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan
ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian
terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak.
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan perangkat lunak
Microsoft Excel dan SPSS 13.00 for Windows. Analisis dilakukan secara
deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung frekuensi contoh
berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, besar
keluarga, pengalaman mengonsumsi temulawak, pengetahuan tentang manfaat
kesehatan temulawak, dan sumber informasi tentang temulawak.
31
Kuesioner untuk pengukuran tingkat pengetahuan mengenai manfaat
kesehatan temulawak diuji validitas dan reliabilitasnya dengan tes reliabilitas.
Nilai Cronbach’s Alpha dari tes ini akan menentukan reliabilitas kuesioner yang
digunakan sedangkan nilai korelasi pada uji ini akan menentukan validitas setiap
pertanyaan dalam kuesioner. Tingkat pengetahuan tentang manfaat kesehatan
temulawak dikategorikan dengan menetapkan cut off point dari skor yang
mengadopsi penentuan cut off point pengetahuan gizi (Khomsan, 2000).
Kategorinya adalah baik jika skor > 80, sedang jika skor antara 60 – 80, dan
kurang jika skor < 60.
Pengembangan Minuman Instan Temulawak
Pengembangan ekstrak temulawak dilakukan melalui tahapan: Penyiapan
bahan baku, identifikasi dan analisis mutu bahan aktif, serta formulasi minuman
instan temulawak berbasis xanthorrhizol. Standardisasi bahan baku dilakukan
dengan mengambil satu dari tiga varietas temulawak unggul yang telah diteliti
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro). Penelitian skala
laboratorium untuk pengembangan produk minuman instan temulawak dilakukan
di Lab. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Lab. Analisis
Makanan dan Instrumentasi, Dept. GM, dan Lab. Pilot Plan, FATETA IPB.
Pembuatan ekstrak kering temulawak
a. Bahan dan Metode
Bahan kimia yang digunakan yaitu, metanol HPLC, etanol teknis,
aquades, maltodextrin, dan bahan kimia lainnya untuk analisis mutu. Sedangkan
peralatan yang digunakan seperti, ekstraktor, blower, spray dryer, freeze dryer,
rotavapor, alat penyuling serta peralatan lainnya untuk analisis mutu ekstrak.
b. Rancangan Kerja
Rimpang temulawak dicuci bersih kemudian dirajang dengan ukuran
ketebalan 7 – 8 mm, lalu diblender sehingga dihasilkan bubur temulawak.
Selanjutnya ke dalam bubur ditambahkan pelarut etanol 96% (1:5) kemudian
diekstrak dengan ekstraktor selama empat jam. Selanjutnya bahan disaring
menggunakan kertas saring dan dihasilkan sari/filtrat yang selanjutnya diuapkan
menggunakan alat rotavapor sehingga dihasilkan ekstrak kental. Ekstrak yang
32
dihasilkan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer sehingga dihasilkan
ekstrak temulawak kering. Untuk mempercepat proses pengeringan serta
memperbaiki terkstur ekstrak sebelum proses pengeringan, ekstrak diencerkan dan
ditambahkan bahan pengisi berupa maltodekstrin lalu diaduk hingga merata.
Setelah kering dilakukan analisis mutu terhadap ekstrak yang dihasilkan.
c. Rancangan pengamatan
Pengamatan mutu dari ekstrak kering temulawak dilakukan meliputi
parameter tekstur, kadar air, warna, kadar bahan aktif (marker) kurkumin dan
xanthorhizol.
Teknik pengembangan minuman instan temulawak
a. Rancangan kerja
Formulasi produk berupa serbuk dari ekstrak kering, yang ditambahkan
dengan pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat, dan bahan
pengisi (maltodekstrin).
Rimpang segar temulawak ↓
Pencucian ↓
Pengupasan ↓
Perajangan (tebal 7 – 8 mm) ↓
Penghancuran/blender ↓
Bubur temulawak ↓
Ekstraksi (4 jam) ↓
Pemerasan ↓
Penyaringan ↓
Filtrat/Sari ↓
(Penguapan pelarut 70oC, 0.75 atm) Pengendapan pati ↓
` Pengeringan (spray dryer) Bahan Pengisi ↓ (maltodekstrin, 35%)
Penghalusan ↓
Serbuk Temulawak ↓
Analisis mutu serbuk temulawak
Gambar 7 Diagram alir pembuatan serbuk temulawak (Sumber: Ria 1989)
Analisis mutu bahan segar
+ aquades dan etanol 96% (1:5)
Ampas dan etanol
Proses ekstraksi dilakukan 3 kali
33
Berdasarkan diagram alir pada Gambar 7, proses pencampuran ekstrak
kering temulawak dengan berbagai bahan pengisi dilakukan dengan cara
pencampuran kering (dry mixing). Ekstrak kering temulawak yang diberikan
untuk dosis satu kali pemberian sebanyak 400 mg (mengandung 2.80 mg
kurkumin dan 7.56 mg xanthorrhizol). Berat minuman instan temulawak yang
diberikan diketahui dari berat ekstrak kering temulawak (400 mg) ditambah
dengan berat pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat, dan bahan
pengisi (maltodekstrin).
Beberapa pertimbangan yang mendasari penggunaan berbagai bahan
pengisi dan perasa dalam pembuatan minuman instan temulawak adalah berat
tepung ekstrak temulawak (400 mg) yang terlalu kecil sehingga mempersulit
pengemasan, rasa asli dari tepung ekstrak temulawak yang pahit sehingga
kemungkinan akan sulit disukai, kemudahan untuk larut (tanpa ada endapan)
terutama di air bersuhu rendah/dingin yang juga merupakan kriteria agar dapat
disebut minuman instan, dan upaya agar minuman ini tetap dapat disebut
minuman rendah energi.
Gula, garam, dan asam sitrat yang ditambahkan dalam pembuatan
minuman instan temulawak ditujukan untuk memperbaiki cita rasa minuman
instan temulawak yang dihasilkan. Besarnya jumlah gula, garam, dan asam sitrat
yang digunakan didasarkan pada SNI 01-4320-1996 tentang minuman serbuk
tradisional. Dalam SNI tersebut dinyatakan bahwa rasa dari minuman serbuk
tradisional adalah tetap normal, khas rempah-rempah dan tidak disebutkan
mengenai batas maksimal jumlah garam dan asam sitrat yang boleh ditambahkan.
Jadi selama garam dan asam sitrat yang ditambahkan tidak menghilangkan cita
rasa asli dari temulawak maka masih diperkenankan.
Pemanis yang digunakan sebagian merupakan gula tepung (sebanyak 10
gram) dan sebagian lagi diganti dengan sukralosa. Penggunaan gula tepung
bertujuan agar rasa manis dari minuman ini tetap normal sedangkan sukralosa
digunakan agar minuman instan temulawak ini tetap dapat disebut sebagai
minuman rendah energy karena hanya mengandung energy sebesar 36.4 kkal per
sajian. Commission Regulation EU (2006) menyatakan bahwa produk pangan
34
dapat dikatakan rendah energi jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per
takaran saji.
Perbandingan antara jumlah Tepung ekstrak temulawak yang diperoleh
dari proses spray dryer sudah mudah larut dalam air, termasuk yang bersuhu
rendah. Penambahan maltodekstrin ditujukan untuk mempertahankan kemampuan
ini. Jumlah maltodekstrin (sebagai bahan pengisi) yang ditambahkan didasarkan
pada kelaziman berat berbagai produk minuman instan yang sudah ada di pasaran,
yang beratnya berkisar antara 8 sampai 25 gram.
Rancangan percobaan yang digunakan untuk formulasi minuman instan
temulawak adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor
perlakuan yaitu jumlah pemanis buatan (sukralosa) yang ditambahkan dengan
empat taraf masing-masing 10%, 15%, 20%, dan 25%. Model linier untuk RAL
dengan satu faktor adalah sebagai berikut:
Yij = μ + αi + εij
Keterangan : Yi = peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j μ = nilai rata-rata umum αi = pengaruh penambahan sukralosa pada taraf ke-i εij = galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = banyak taraf penambahan sukralosa (i = 10%, 15%, 20%, dan 25%) j = banyak ulangan
b. Uji organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji organoleptik dengan
panelis umum dan uji organoleptik dengan panelis terbatas. Uji tersebut dilakukan
untuk menentukan besarnya daya terima produk minuman instan temulawak yang
dihasilkan.
Uji organoleptik dengan panelis umum terdiri atas uji hedonik (kesukaan)
dan uji mutu hedonik. Panelis yang dilibatkan dalam pengujian ini berjumlah 32
yang seluruhnya merupakan mahasiswa (laki-laki dan perempuan dengan umur
antara 18 – 19 tahun). Uji kesukaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana
penerimaan panelis terhadap produk yang diujikan dari segi warna, aroma, rasa,
kekentalan, dan penerimaan keseluruhan. Selain itu dilakukan juga uji mutu
hedonik untuk seluruh parameter produk minuman instan temulawak.
35
Penilaian yang diberikan, baik untuk uji hedonik maupun mutu hedonik
mulai dari 1 sampai 9. Pada uji hedonik nilai 1 menyatakan amat sangat tidak
suka dan 9 menunjukkan amat sangat suka, sedangkan pada uji mutu hedonik
meskipun menggunakan penilaian yang sama (1 – 9) tetapi makna penilaian
disesuaikan dengan parameter yang dinilai. Misal untuk warna, nilai 1
menunjukkan amat sangat gelap sedangkan nilai 9 menunjukkan amat sangat
terang.
Penilaian keseluruhan dalam uji organoleptik yang dilakukan merupakan
penilaian komposit/gabungan dari parameter warna, aroma, rasa, dan kekentalan
produk yang dibobot. Rasa merupakan aspek produk yang menjadi faktor
perlakuan sehingga bobot terhadap penilaian rasa menjadi lebih tinggi
dibandingkan aspek yang lain sehingga bobot untuk rasa adalah 40% sedangkan
yang lain (warna, aroma, dan kekentalan) masing-masing 20%. Seluruh data uji
kesukaan dengan panelis umum diolah dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan
pada software SPSS 13 for windows.
Uji organoleptik panelis terbatas dilakukan oleh 7 orang panelis. Uji ini
dilakukan untuk memperkuat hasil uji organoleptik dengan panelis umum dan
pengujian yang dilakukan hanya uji kesukaan (hedonik) untuk parameter rasa dari
produk minuman instan temulawak yang dibuat dengan 4 (empat) formula. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui penerimaan panelis karena perbedaan kadar pemanis
(sukralose) akan sangat berpengaruh terhadap rasa. Penilaian yang diberikan
berkisar mulai dari 1 (amat sangat tidak suka) sampai 9 (amat sangat suka) dan
nilai tengah (5) dikategorikan sebagai biasa. Produk dinyatakan diterima oleh
panelis jika nilai yang diberikan minimal 5.
Uji Klinis Pemberian Minuman Instan Temulawak
Desain dan tempat penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapang dengan desain desain kuasi
eksperimental dengan pre dan post test. Lokasi penelitian ditentukan secara
purposive, yaitu di Kampus IPB Darmaga, Bogor dengan pertimbangan: (1)
Keberadaan subjek yang akan mewakili populasi sasaran, dan (2) Kemudahan
akses. Analisis jumlah dan jenis limfosit subjek dilakukan di Laboratorium
Makmal Imunoendokrinologi FKUI Jakarta.
36
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Populasi subjek adalah orang dewasa (usia > 18 tahun), laki-laki dan
perempuan, dengan indeks massa tubuh (IMT) > 27. Subjek dipilih dari pegawai
IPB dengan kriteria eksklusi sebagai berikut :
(1). Menderita penyakit yang berkaitan dengan penurunan fungsi imun (hepatitis,
diabetes melitus, penyakit autoimun, dan lainnya)
(2). Mengonsumsi alkohol dan obat-obatan
(3). Perempuan yang sedang hamil atau sudah memasuki menopouse
(4). Tidak bersedia terlibat dalam penelitian
Setelah mendapat ijin dari pihak instansi tempat penelitian dilakukan,
orang dewasa dengan penampilan obes akan ditimbang berat dan tinggi badannya
untuk kemudian dihitung nilai IMT-nya. Selain itu, untuk memastikan bahwa
subjek memang mengalami obesitas maka dilakukan pula pengukuran lingkar
pinggang dan panggul sehingga dapat diketahui status obesitas sentralnya melalui
nilai rasio lingkar pinggang panggul/RLPP. Contoh kemudian dipilih secara acak
dari populasi yang memenuhi persyaratan inklusi setelah melalui pemeriksaan
klinis yaitu pengukuran tekanan darah, gula darah dan anamnesis riwayat penyakit
oleh dokter medis.
Jumlah subjek yang diperlukan untuk mendeteksi perbedaan kadar subset
limfosit sebesar 10%, dengan standar deviasi masing-masing 9.0% (Dhaliwal et al
1995), α = 0.05 dan power 90% adalah 17 orang yang kemudian digenapkan
menjadi 20 orang. Rumus untuk menghitung jumlah contoh adalah :
n ≥ 2 x SD2 x (Zα + Zβ)2 /δ2
n = jumlah sampel untuk setiap kelompok perlakuan Zβ = power 90% (1.28) SD = standar deviasi subset limfosit (9.0) δ = perbedaan subset limfosit (10) Zα = selang kepercayaan 90% (1.96)
Dengan mempertimbangkan akan adanya loss to follow up 20%, maka
jumlah contoh yang diperlukan adalah 24 orang dengan proporsi pria dan wanita
yang relatif sama.
Pemberian intervensi
Minuman instan temulawak yang dikembangkan pada penelitian
laboratorium akan diberikan pada subjek untuk diminum setiap hari selama dua
37
minggu (14 hari). Pertimbangan lama waktu uji klinis selama dua minggu dan
dosis 400 mg/hari ekstrak temulawak didasarkan pada dosis dan lama waktu yang
memberikan efek penurunan inflamasi (Kertia et al. 2005). Berat minuman instan
temulawak yang diberikan untuk setiap subjek per hari ditentukan berdasarkan
hasil pengembangan produk minuman instan temulawak. Hasil dari
pengembangan produk minuman instan temulawak tersebut diketahui bahwa berat
minuman instan temulawak per kemasan untuk diminum per hari adalah sebesar
13.24 gram. Setiap subjek akan mengonsumsi serbuk temulawak ini yang
sebelumnya dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air. Air yang digunakan
diupayakan air dingin untuk menghindari kerusakan bahan aktif. Bagan
pelaksanaan uji klinis adalah sebagai berikut:
Gambar 8 Bagan pelaksanaan uji klinis
Subjek akan mengonsumsi minuman instan ekstrak temulawak yang
dibagikan setiap hari oleh peneliti. Minuman ini diupayakan untuk langsung
diminum di depan peneliti saat baru dibagikan. Selain itu, form kepatuhan
(compliance) akan disediakan bagi setiap subjek. Hal ini dilakukan untuk
menjamin kepatuhan subjek dalam mengonsumsi minuman instan ekstrak
temulawak, terutama ditujukan bagi subjek yang kemungkinan tidak dapat
ditemui saat pembagian minuman instan temulawak.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer terdiri atas data karakteristik individu, dan sel NK (hasil analisis darah).
Pre uji klinis
Pasca uji klinis
Pemberian minuman instan temulawak selama 2 minggu/14
hari Pengambilan sampel darah (5 ml) untuk analisis jumlah dan % limfosit serta subsetnya
Persiapan uji klinis
Scanning calon subjek dengan pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan status gizi (IMT dan RLPP)
Penjelasan pada subjek dan pengisian informed consent
Pengambilan sampel darah (5 ml) untuk analisis jumlah dan % limfosit serta subsetnya
2 hari
38
Data karakteristik individu meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan (untuk menentukan nilai IMT), lingkar pinggang, dan lingkar panggul
(unutk menentukan nilai RLPP). Data status gizi untuk menentukan bahwa subjek
termasuk kategori obes ditentukan berdasarkan nilai IMT dan rasio lingkar
pinggang panggul. Riwayat dan status kesehatan meliputi hasil pemeriksaan fisik
dan anamnesa dokter medik. Data penilaian fungsi imun (sel NK) merupakan data
primer yang diperoleh dari hasil analisis darah yang dilakukan dengan metode
flow cytometri sedangkan data sel B dan sel T merupakan data sekunder yang
dikumpulkan dengan metode yang sama dan berasal dari penelitian Dwiriani,
Dewi, dan Januwati (2011). Seluruh data tersebut digunakan untuk penilaian
fungsi imun (baik humoral maupun seluler) (Abbas & Lichtman 2004).
Metode flow cytometri merupakan metode yang biasa digunakan untuk
menghitung dan menganalisis partikel mikroskopis (sel) yang tersuspensi dalam
aliran fluida (Sayed, EL-Attar, & Hussein 2009). Pada metode ini suspensi sel
diinkubasikan dengan antibodi berlabel flouresen atau lainnya, selanjutnya
dihitung jumlah yang diikat setiap sel dalam populasi dengan jalan melewatkan
sel-sel satu persatu melalui flourimeter dengan bantuan sinar laser (Baratawidjaja
& Rengganis 2009).
Pengambilan data sosial ekonomi demografi, status gizi dan anamnesa
riwayat kesehatan (sebagai screening subjek) dilakukan sebelum kegiatan
intervensi berlangsung (baseline). Sedangkan data analisa darah dikumpulkan dua
kali, yaitu sebelum kegiatan intervensi (baseline) dan setelah dua minggu
intervensi (endline).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data yang akan dilakukan mencakup perancangan struktur file
yang berisi variabel dan record. Data dalam file excel kemudian akan diimpor ke
perangkat lunak SPSS sehingga menjadi SPSS file. Uji statistik akan dilakukan
untuk mengetahui perbedaan keragaman data seluruh peubah antar kelompok saat
baseline dan endline.
Pengaruh intervensi dianalisis berdasarkan perbedaan (selisih) nilai fungsi
imun yang diamati sebelum dan setelah dua minggu intervensi. Uji normalitas
dengan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan terlebih dahulu terhadap
39
variabel yang diamati. Nilai populasi limfosit sebelum dan sesudah intervensi
akan dibandingkan dan untuk melihat apakah intervensi yang diberikan
berpengaruh nyata terhadap populasi limfosit maka dilakukan uji T berpasangan.
Definisi Operasional
Obesitas adalah kategori status gizi bagi subjek yang ditentukan berdasarkan
ukuran Indeks Massa Tubuh/IMT (kg/m2) yang lebih dari atau sama
dengan 27.
Dewasa adalah tahapan kehidupan yang dimulai dari usia 18 tahun sampai dengan
usia 60 tahun.
Subjek survei pengetahuan adalah orang yang berusia > 18 tahun, baik laki-laki
maupun perempuan, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, mampu
berkomunikasi dengan baik, serta bersedia untuk terlibat dalam penelitian.
Subjek uji klinis adalah orang yang berusia > 18 tahun, baik laki-laki maupun
perempuan, memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, mampu berkomunikasi
dengan baik, serta bersedia untuk terlibat dalam penelitian (termasuk
untuk kegiatan yang bersifat invasif).
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah
ditempuh contoh. Tingkat pendidikan dikategorikan rendah jika jenjang
pendidikan formal terakhir yang ditamatkan hanya sampai pendidikan
dasar (9 tahun) atau di bawahnya dan dikategorikan tinggi jika jenjang
pendidikan formal lebih dari jenjang pendidikan dasar (9 tahun).
Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan contoh yang dihasilkan per bulan
dari pekerjaan utama, pekerjaan tambahan, atau pemberian dari orang lain
yang dinilai dalam rupiah.
Sumber informasi adalah berbagai media yang digunakan subjek untuk
memperoleh informasi mengenai minuman temulawak seperti teman,
keluarga, televisi, radio, Koran, majalah, dan sebagainya.
Tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak adalah skor yang
diperoleh contoh dari 11 pertanyaan mengenai manfaat kesehatan
temulawak yang diajukan dalam kuesioner.
40
Uji organoleptik adalah uji untuk menentukan tingkat penerimaan produk
minuman instan temulawak berdasarkan tanggapan pribadi panelis yang
terbagi menjadi uji hedonik/kesukaan dan uji mutu hedonik.
Uji hedonik adalah uji untuk menentukan tingkat kesukaan produk minuman
instan temulawak dari segi warna, aroma, rasa, kekentalan, dan
penampilan minuman instaan temulawak secara keseluruhan berdasarkan
tanggapan pribadi panelis yang penilaiannya berkisar antara 1 (amat sangat
tidak suka) sampai 9 (amat sangat suka).
Uji mutu hedonik adalah uji untuk menentukan tingkat karakteristik produk
minuman instan temulawak (warna, aroma, rasa, dan kekentalan) yang
paling disukai atau mendapat penerimaan terbesar berdasarkan tanggapan
pribadi panelis. Penilaian berkisar antara 1 – 9 dengan skala penilaian yang
disesuaikan dengan aspek produk yang dinilai, misal untuk warna, 1 (amat
sangat gelap) sampai 9 (amat sangat terang).
Kepatuhan/compliance adalah ukuran kemauan subjek untuk mengonsumsi
minuman instan temulawak selama masa intervensi (14 hari) sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat antara peneliti dan subjek.
Serbuk ekstrak temulawak adalah serbuk hasil ekstrak temulawak yang
digunakan untuk penelitian dengan kandungan bahan aktif kurkumin
sebesar 0.70% b/b dan xanthorrhizol sebesar 1.89% b/b. Banyaknya
serbuk temulawak yang diberikan pada subjek per hari sebesar 400 mg.
Minuman instan temulawak adalah minuman instan dengan berat 13.24 gram
yang dikembangkan dari serbuk ekstrak temulawak sebesar 400 mg
ditambah dengan pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat,
dan bahan pengisi (maltodekstrin).
Fungsi imun tubuh adalah penilaian terhadap imun tubuh yang diukur dari
jumlah dan persentase populasi limfosit total, limfosit T/sel T serta
subsetnya (CD4 dan CD8), limfosit B/sel B, dan sel NK) dengan metode
flow cytometri.
41
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak Karakteristik subjek survei pengetahuan
Pemilihan subjek yang terlibat dalam kegiatan survei pengetahuan tentang
manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan pertimbangan bahwa
pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sehingga
subjek dikelompokkan menjadi subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan
subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok tingkat
pendidikan, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu subjek laki-
laki dan perempuan sehingga berdasarkan kelompok tingkat pendidikan dan jenis
kelamin, jumlah dan persentase subjek jadi berimbang. Jumlah subjek yang
terpilih sebanyak 79 orang. Jumlah ini sudah lebih dari jumlah minimum subjek
yaitu sebanyak 72 orang yang terbagi menjadi 18 orang untuk setiap jenis kelamin
dan kelompok tingkat pendidikan. Berdasarkan jenis kelaminnya, terdapat 40
subjek laki-laki dan 39 subjek perempuan sedangkan berdasarkan kelompok
tingkat pendidikannya terdapat 40 subjek yang tergolong memiliki tingkat
pendidikan tinggi dan 39 subjek memiliki tingkat pendidikan rendah.
Seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori
dewasa dengan rata-rata umurnya 37.7 ± 10.8 tahun. Rata-rata umur subjek laki-
laki adalah 36.6 ± 9.6 tahun sedangkan subjek perempuan rata-rata berumur 38.9
± 12.0 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikannya, sebanyak 26.6% subjek
memiliki pendidikan sampai perguruan tinggi, 24.1% berpendidikan SMU, 30.4%
berpendidikan SLTP, dan 19.0% berpendidikan SD.
Secara keseluruhan, sebagian besar subjek (74.7%) memiliki jumlah
anggota rumahtangga antara 3 – 5 orang sedangkan yang memiliki jumlah
anggota rumahtangga kurang dari atau sama dengan 2 orang hanya 4 subjek
(5.1%). Subjek yang memiliki anggota rumahtangga kurang dari atau sama
dengan 2 orang kemungkinan merupakan subjek yang belum menikah dan
pendatang sehingga hanya tinggal sendiri. Proporsi ini tidak berubah jika subjek
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, yaitu subjek terbanyak memiliki
jumlah anggota rumahtangga 3 – 5 orang, berikutnya subjek yang memiliki
42
jumlah anggota rumahtangga lebih dari 5 orang dan yang paling sedikit adalah
subjek dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 2 orang.
Sebagian besar subjek (46.8%) memiliki besar pendapatan antara 0.5 – 1
juta. Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya, maka pada subjek laki-
laki (65.0%) sebagian besar memiliki pendapatan 0.5 – 1 juta sedangkan pada
kelompok subjek perempuan sebagian besar (38.5%) memiliki pendapatan kurang
dari 0.5 juta. Pendapatan yang diukur dalam penelitian ini merupakan pendapatan
yang diterima dari pekerjaan utama saja sehingga kemungkinan besar pendapatan
subjek yang sesungguhnya lebih dari ini. Data lengkap mengenai berbagai
karakteristik subjek disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan
temulawak
Karakteristik subjek Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % Kelompok Umur 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total
11 24 5
40
27.5 60.0 12.5 100
9
21 9
39
23.1 53.8 23.1 100
20 45 14 79
25.3 57.0 17.7 100
Rata-rata ± SD 36.6 ± 9.6 38.9 ± 12.0 37.7 ± 10.8 Tingkat Pendidikan SD SLTP SMU Perguruan Tinggi Total
0
20 11 9
40
0.0
50.0 27.5 22.5 100
15 4 8
12 39
38.5 10.3 20.5 30.8 100
15 24 19 21 79
19.0 30.4 24.1 26.6 100
Anggota Rumahtangga ≤ 2 orang 3 – 5 orang >5 orang Total
3
31 6
40
7.5
77.5 15.0 100
1
28 10 39
2.6
71.8 25.6 100
4
59 16 79
5.1
74.7 20.3 100
Rata-rata ± SD 4.5 ± 1.7 4.8 ± 1.9 4.6 ± 1.8 Pendapatan per bulan < 0.5 juta 0.5 – 1 juta 1 – 2 juta >2 juta Total
5
26 2 7
40
12.5 65.0 5.0
17.5 100
15 11 5 8
39
38.5 28.2 12.8 20.5 100
20 37 7
15 79
25.3 46.8 8.9
19.0 100
Pengalaman mengonsumsi temulawak
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara keseluruhan,
persentase subjek yang pernah mengonsumsi temulawak lebih besar (74.7%)
dibandingkan dengan yang tidak pernah (25.3%). Penggunaan temulawak lebih
43
banyak diantara subjek perempuan (87.2%) dibandingkan pada subjek laki-laki
yang hanya 62.5% saja. Hal ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi jamu atau obat
tradisional lebih banyak dibandingkan laki-laki (Gitawati & Handayani 2008;
Balitbangkes 2010; Kennedy 2005; Tanaka et al. 2008).
Pengalaman subjek terkait dengan konsumsi temulawak yang berikutnya
dikaji dalam survei adalah mengenai rutinitas konsumsinya. Bagi subjek yang
menyatakan pernah mengonsumsi temulawak maka informasi yang dikaji
diperdalam dengam menanyakan mengenai rutinitas konsumsinya, bentuk
temulawak yang biasa dikonsumsi, tempat memperoleh temulawak, tingkat
kesulitan mendapat temulawak, serta tujuan mengonsumsinya sedangkan bagi
subjek yang menyatakan mengonsumsi temulawak secara rutin maka informasi
yang diperdalam adalah informasi tentang frekuensi konsumsi, manfaat yang
dirasakan, bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi, tujuan mengonsumsi, serta
bentuk produk baru temulawak yang diharapkan jika diproduksi.
Dari 59 subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak, hanya
16 subjek (10 laki-laki dan 6 perempuan) saja yang menyatakan mengonsumsi
temulawak secara rutin. Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi oleh sebagian
besar subjek (55.9%) adalah bentuk minuman, baik berupa minuman kemasan
maupun hasil merebus sendiri. Tempat terbanyak bagi subjek untuk memperoleh
temulawak adalah pasar tradisional (50.8%) dan penjaja/tukang jamu keliling
(25.4%). Hampir seluruh subjek menyatakan bahwa temulawak ini tidak sulit
untuk diperoleh, jadi di pasar tradisional ataupun warung, temulawak selalu
tersedia baik yang sudah dalam bentuk minuman maupun rimpang yang nantinya
akan diolah sendiri untuk dijadikan minuman. Selain itu, subjek juga menyatakan
bahwa hampir setiap penjaja jamu keliling menyediakan jamu temulawak.
Tujuan sebagian besar subjek (72.9%) mengonsumsi temulawak adalah
untuk menjaga kesehatan. Subjek yang menggunakan temulawak untuk tujuan
pengobatan hanya sebesar 15.2% dan sisanya (11.9%) mengonsumsi temulawak
dengan tujuan untuk meningkatkan nafsu makan serta ada pula yang menyatakan
hanya sekedar ingin mencoba. Hasil ini cukup sejalan dengan penelitian Kennedy
(2005) yang menyebutkan bahwa tujuan penggunaan jamu dan obat tradisional
44
yang terbesar adalah untuk menjaga kesehatan. Data lengkap mengenai
pengalaman subjek dalam mengonsumsi temulawak disajikan pada Tabel 5 dan
Tabel 6.
Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak
Peubah Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % Pernah mengonsumsi temulawak Ya, pernah Tidak pernah Total
25 15 40
62.5 37.5 100
34 5
39
87.2 12.8 100
59 20 79
74.7 25.3 100
Rutinitas mengonsumsi temulawak Ya, rutin Tidak rutin Total1
10 15 25
40.0 60.0 100
6 28 34
17.6 82.4 100
16 43 59
27.1 72.9 100
Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi Minuman Bagian dari bumbu masak Jamu Obat/kapsul Lainnya2 Total1
14 1
10 0 0
25
56.0 4.0
40.0 0 0
100
19 0
10 1 4
34
55.9 0
29.4 2.9
11.8 100
33 1
20 1 4
59
55.9 1.7
33.9 1.7 6.8 100
Tempat memperoleh temulawak Tanaman sendiri Pasar tradisional/warung Supermarket Toko obat Penjaja Lainnya3 Total1
0 17 2 2 4 0
25
0 68.0 8.0 8.0
16.0 0
100
2 13 2 0
11 6
34
5.9 38.2 5.9 0
32.4 17.6 100
2 30 4 2
15 6
59
3.4 50.8 6.8 3.4
25.4 10.2 100
Tingkat kesulitan memperoleh temulawak Ya, sulit Tidak sulit Total1
6 19 25
24.0 76.0 100
3 31 34
8.8 91.2 100
9 50 59
15.3 84.7 100
Tujuan mengonsumsi temulawak Menjaga kesehatan Upaya pengobatan Lainnya4 Total1
20 4 1
25
80.0 16.0 4.0 100
23 5 6
34
67.6 14.7 17.6 100
43 9 7
59
72.9 15.2 11.9 100
Keterangan: 1Dari 59 subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak. 2Bentuk temulawak lainnya yang biasa dikonsumsi adalah perpaduan dari berbagai bentuk sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek. 3Tempat lainnya yang dinyatakan oleh subjek untuk mendapatkan temulawak adalah tanaman di sekitar rumah (milik tetangga) dan perpaduan dari berbagai sumber sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek. 4Tujuan lainnya yang dinyatakan oleh subjek untuk adalah hanya sekedar ingin mencoba, ingin meningkatkan nafsu makan, dan perpaduan dari berbagai tujuan sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek.
45
Pada subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin diketahui bahwa
frekuensi konsumsi yang paling banyak adalah antara 4 – 8 kali per bulan serta
manfaat terbanyak yang dirasakan dari konsumsi temulawak secara rutin adalah
tubuh terasa lebih segar. Tujuan sebagian besar subjek yang rutin mengonsumsi
temulawak adalah untuk menjaga kesehatan dengan bentuk terbanyak yang biasa
dikonsumsi adalah minuman. Bentuk produk baru dari temulawak yang
diharapkan oleh sebagian besar kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak
secara rutin adalah minuman instan.
Tabel 6 Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin
Peubah Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % Frekuensi mengonsumsi temulawak (per bulan) < 4 kali 4 – 8 kali > 8 kali Total
5 3 2
10
50.0 30.0 20.0 100
0 6 0 6
0 100
0 100
5 9 2
16
31.2 56.3 12.5 100
Manfaat yang dirasakan Tubuh terasa lebih segar Nafsu makan meningkat Jarang sakit Lainnya* Total
5 2 2 1
10
50.0 20.0 20.0 10.0 100
1 2 1 2 6
16.7 33.3 16.7 33.3 100
6 4 3 3
16
37.5 25.0 18.8 18.8 100
Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi Minuman Jamu Total
7 3
10
70.0 30.0 100
5 1 6
83.3 16.7 100
12 4
16
75.0 25.0 100
Tujuan mengonsumsi temulawak Menjaga kesehatan Upaya pengobatan kesehatan dan pengobatan Total
7 2 1
10
70.0 20.0 10.0 100
5 1 0 6
83.3 16.7
0 100
12 3 1
16
75.0 18.8 6.2 100
Bentuk produk baru temulawak yang diinginkan Minuman instan Permen/camilan Jamu Obat/kapsul Total
7 1 1 1
10
70.0 10.0 10.0 10.0 100
3 1 2 0 6
50.0 16.7 33.3
0 100
10 2 3 1
16
62.5 12.5 18.8 6.2 100
Keterangan: *Manfaat lainnya yang dirasakan subjek yaitu tubuh lebih segar, jarang sakit dan sakit maagnya sembuh (pada subjek laki-laki) dan tubuh segar serta tidak cepat lesu (subjek perempuan).
Informasi yang terkait dengan harapan subjek terhadap pengembangan
temulawak sebagai pangan fungsional yang ditelusuri dalam penelitian adalah
46
mengenai bentuk produk pangan baru berbahan baku temulawak, kesediaan
subjek untuk mengonsumsi produk baru berbahan baku temulawak, dan alasan
subjek menerima produk baru tersebut. Data ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan produk
baru berbahan baku temulawak
Peubah Laki-laki Perempuan Total n % n % n %
Bentuk produk baru temulawak yang diinginkan Minuman instan Permen/camilan Jamu Obat/kapsul Total
15 12 8 5
40
37.5 30.0 20.0 12.5 100
18 11 10 0
39
46.2 28.2 25.6
0 100
33 23 18 5
79
41.8 29.1 22.8 6.3 100
Kesediaan mengonsumsi produk baru dari temulawak Bersedia Tidak bersedia Total
38 2
40
95.0 5.0 100
35 4
39
89.7 10.3 100
73 6
79
92.4 7.6 100
Alasan untuk menerima produk baru temulawak Rasa khas temulawak Manfaat kesehatan Total*
3 35 38
7.9 92.1 100
2 33 35
5.7 94.3 100
5 68 74
6.8 93.2 100
Keterangan: *Dari 73 subjek yang menyatakan bersedia untuk mengonsumsi produk baru dari temulawak
Sebagian besar subjek (41.8%) menginginkan bentuk produk baru yang
dikembangkan dari temulawak adalah berbentuk minuman instan. Bentuk lain
yang juga cukup banyak diinginkan oleh subjek adalah berbentuk cemilan atau
permen. Sebanyak 92.4% subjek menyatakan bersedia untuk mengonsumsi
produk baru tersebut dengan alasan yang terbanyak adalah karena manfaat
kesehatan yang terkandung di dalamnya.
Adanya harapan dan kesediaan subjek untuk mengonsumsi produk baru
berbahan temulawak bisa jadi menunjukkan adanya peningkatan sikap positif
terhadap temulawak. Peningkatan sikap positif terhadap temulawak juga dapat
disebabkan oleh berbagai faktor lain seperti adanya ketidakpuasan terhadap
pelayanan kesehatan konvensional, peningkatan biaya pelayanan kesehatan
konvensional, adanya efek plasebo karena berbagai testimoni/pernyataan positif
dari pengguna yang lain (Kennedy 2005), anjuran dari praktisi kesehatan
konvensional, serta karena adanya rasa ketertarikan untuk mencoba (Tanaka et al.
2008).
47
Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa hampir seluruh subjek (96.2%)
mengetahui bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Jika dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, maka diketahui bahwa seluruh subjek perempuan
(100%) dan 92.5% subjek laki-laki menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki
manfaat kesehatan. Jadi hanya ada 3 subjek yang menyatakan tidak tahu bahwa
temulawak memiliki manfaat kesehatan dan semuanya adalah subjek laki-laki.
Adanya pengetahuan mengenai manfaat kesehatan pada temulawak kemungkinan
diantaranya adalah karena pengalaman mengonsumsi. Hasil penelitian lain yang
dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi
tanaman obat (dalam bentuk jamu) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan
laki-laki (Gitawati & Handayani 2008; Balitbangkes 2010; Kennedy 2005;
Tanaka, Gryzlak, Zimmerman, Nisly, & Wallace 2008) dan temulawak
merupakan tanaman obat terbanyak ketiga yang digunakan (39.6%) setelah jahe
dan kencur (Balitbangkes 2010). Oleh karena itu tidak mengherankan jika
perempuan lebih banyak yang mengetahui bahwa temulawak bermanfaat bagi
kesehatan dibandingkan laki-laki. Data lengkap yang menyatakan bahwa subjek
mengetahui temulawak memiliki manfaat kesehatan serta sumber informasinya
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat
kesehatan dan sumber informasinya
Peubah Laki-laki Perempuan Total n % n % n %
Tahu bahwa temulawak bermanfaat untuk kesehatan Ya, tahu Tidak tahu Total
37 3
40
92.5 7.5 100
39 0
39
100.0
0 100
76 3
79
96.2 3.8 100
Sumber informasi tentang manfaat kesehatan temulawak* Koran/majalah (media cetak) Radio Televisi Keluarga/teman Lainnya** Total
8 2 3
18 6
37
21.6 5.4 8.1
48.6 16.2 100
4 0 5
24 6
39
10.2 0
12.8 61.5 15.4 100
12 2 8
42 12 76
15.8 2.6
10.5 55.3 15.8 100
Keterangan: * Berasal dari 76 subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak bermanfaat untuk kesehatan. ** Sumber informasi lainnya yang dinyatakan oleh subjek yaitu dokter, internet, penjual jamu, bungkus/kemasan jamu, seminar, jurnal ilmiah, serta gabungan dari berbagai sumber yang telah disebutkan oleh subjek lainnya.
48
Sumber informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak yang terbanyak
(55.3%) bagi seluruh subjek adalah dari keluarga/teman. Sumber informasi
berikutnya setelah keluarga/teman adalah dari media cetak dan sumber informasi
lainnya (masing-masing sebesar 15.8%), berikutnya televisi (10.5%) dan yang
paling sedikit dari radio (2.6%).
Informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak dari radio memiliki
persentase paling rendah kemungkinan karena saat ini masyarakat lebih banyak
menonton televisi dibandingkan dengan mendengarkan radio. Sumber informasi
manfaat kesehatan temulawak berikutnya yang cukup besar adalah media cetak
dan media lainnya karena media cetak ini mencakup majalah, koran, tabloid,
maupun buku sedangkan media lainnya mencakup internet, bungkus/kemasan
jamu, jurnal ilmiah, seminar, informasi dari dokter, serta gabungan dari berbagai
media tersebut. Kedua kategori ini memiliki persentase yang lebih besar daripada
radio dan televisi sebenarnya karena banyaknya jenis sumber informasi yang
tercakup dalam kedua kelompok media tersebut.
Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak yang lebih banyak dari
keluarga/teman sesuai dengan penggunaannya selama ini dalam pengobatan
tradisional. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kuntorini (2005), Karo-Karo
(2009), dan Hendarini (2011) yang menunjukkan bahwa informasi mengenai
tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional paling banyak
bersumber dari keluarga/orang tua.
Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan kepercayaan
Survei tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak
dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri atas 16 pertanyaan tentang
aspek manfaat kesehatan temulawak. Survei ini dilakukan hanya kepada 76 subjek
yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Kuesioner
untuk menilai pengetahuan manfaat kesehatan temulawak sebelumnya diuji
validitas serta relibilitas dan berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh nilai
Cronbach’s Alpha sebesar 0.799. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai r
tabel (0.497) pada taraf 5% sehingga kuesioner tersebut dinyatakan reliable. Hasil
uji validitas menunjukkan ada lima pertanyaan mengenai manfaat kesehatan
temulawak yang tidak valid (nilai korelasi lebih rendah dari pada nilai r tabel
49
korelasi product moment). Lima pertanyaan pengetahuan manfaat kesehatan
temulawak yang dinyatakan tidak valid adalah pertanyaan mengenai manfaat
temulawak untuk memperlancar buang air besar, manfaat temulawak untuk
menurunkan demam, manfaat temulawak dalam mengobati malaria, perbandingan
manfaat kesehatan temulawak dan ginseng, serta manfaat temulawak yang tidak
menyebabkan kegemukan karena nafsu makan menjadi tinggi.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa aspek manfaat kesehatan
temulawak yang paling banyak dijawab dengan benar oleh subjek adalah
mengenai manfaat temulawak untuk meningkatkan nafsu makan (93.4%) dan
manfaat temulawak untuk ketahanan tubuh (92.1%), sedangkan yang paling
sedikit dijawab benar adalah manfaat temulawak untuk mengobati penyakit ginjal
(32.9%) dan mengobati gatal-gatal atau eksim (32.9%). Kondisi tersebut tidak
jauh berbeda jika subjek dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Aspek
manfaat kesehatan temulawak yang lebih banyak diketahui oleh subjek
perempuan adalah tentang manfaat temulawak dalam mengembalikan kekejangan
otot setelah melahirkan. Sebanyak 74.4% subjek perempuan dapat menjawab
dengan benar pertanyaan ini sedangkan pada subjek laki-laki hanya 56.8% saja
yang menjawab dengan benar. Hal ini kemungkinan karena perempuan yang akan
atau pernah memanfaatkan temulawak untuk digunakan setelah persalinan
sehingga perempuan lebih banyak yang tahu dibandingkan laki-laki bahwa
temulawak juga dapat mengembalikan kekejangan otot setelah persalinan. Hal
tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Kuntorini (2005) yang menunjukkan
bahwa temulawak dimanfaatkan setelah persalinan oleh 30% masyarakat jawa dan
31.3% masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) meskipun tujuannya adalah untuk
membersihkan darah nifas, melancarkan peredaran darah, dan melancarkan haid.
Manfaat temulawak dalam meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan
ketahanan tubuh merupakan manfaat kesehatan yang cukup dikenal masyarakat.
Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Kuntorini (2005) yang menunjukkan
bahwa pada masyarakat Jawa dan Banjar (Kalimantan Selatan), pemanfaatan
temulawak yang cukup besar diantaranya adalah untuk peningkatan nafsu makan
dan menjaga kondisi/ketahanan tubuh. Selain itu, keberadaan produk-produk
suplemen untuk perbaikan nafsu makan berbahan temulawak yang disertai dengan
50
gencarnya promosi produk tersebut juga turut memberi andil dalam
mempopulerkan manfaat temulawak sebagai peningkat nafsu makan dan menjaga
kondisi kesehatan tubuh. Data sebaran subjek yang mampu menjawab dengan
benar beberapa aspek manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada
kepercayaan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek manfaat
kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan
Manfaat kesehatan temulawak Laki-laki Perempuan Totaln % n % n %
Meningkatkan nafsu makan 34 91.9 37 94.9 71 93.4Meningkatkan ketahanan tubuh 34 91.9 36 92.3 70 92.1Mempercepat proses penyembuhan luka 17 45.9 11 28.2 28 36.8Mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin/melahirkan 21 56.8 29 74.4 50 65.8
Mengobati sakit maag 19 51.4 23 59.0 42 55.3Mengobati penyakit ginjal 12 32.4 13 33.3 25 32.9Mengobati sakit kencing 19 51.4 14 35.9 33 43.4Mengobati gatal-gatal atau eksim 10 27.0 15 38.5 25 32.9Mengobati peradangan dalam perut maupun kulit 23 62.2 20 51.3 43 56.6Mengobati sakit perut 23 62.2 27 69.2 50 65.8Mengobati sakit hati/penyakit kuning 20 54.1 24 61.5 44 57.9
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin diketahui
bahwa subjek perempuan memiliki rata-rata skor pengetahuan manfaat kesehatan
temulawak yang lebih tinggi (58.0 ± 25.8) dibandingkan dengan subjek laki-laki
(57.0 ± 28.3) meskipun skor tersebut masih dalam kategori kurang dari 60.
Meskipun demikian, hasil uji T saling bebas menunjukkan bahwa rata-rata skor
tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.867) dan uji chi-square dengan selang
kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan
pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak (p > 0.05). Data lengkap
mengenai tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan jenis
kelamin disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek
berdasarkan jenis kelamin
Tingkat pengetahuan Laki-laki Perempuan Total
Uji beda n % n % n %
Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total
21 8 8
37
56.8 21.6 21.6 100
22 6
11 39
56.4 15.4 28.2 100
43 14 19 76
56.6 18.4 25.0 100
p = 0.867
Rata-rata ± SD 57.0 ± 28.3 58.0 ± 25.8 57.5 ± 26.9 Uji chi-square p = 0.694
51
Berdasarkan tingkat pendidikannya diketahui bahwa subjek yang berasal
dari kelompok tingkat pendidikan tinggi memiliki rata-rata skor pengetahuan
manfaat kesehatan temulawak yang lebih rendah (49.1 ± 26.3) dibandingkan
dengan subjek yang berasal dari kelompok pendidikan rendah (66.9 ± 24.5). Rata-
rata skor pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada subjek
kelompok pendidikan rendah sudah termasuk pada kategori sedang. Jika dicermati
lebih rinci juga diketahui bahwa pada kelompok subjek pendidikan rendah,
persentase subjek yang memiliki skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak
baik (> 80) lebih besar dibandingkan dengan dengan subjek kelompok pendidikan
tinggi sementara persentase subjek dengan skor pengetahuan kurang (< 60) lebih
kecil dibandingkan pada subjek kelompok pendidikan tinggi. Hasil uji chi-square
dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak (p <
0.05) dan hasil uji T saling bebas menunjukkan bahwa skor pengetahuan manfaat
kesehatan temulawak pada subjek berpendidikan tinggi dan subjek berpendidikan
rendah berbeda nyata (p = 0.003). Data lengkap mengenai tingkat pengetahuan
manfaat kesehatan temulawak berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek
berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat pengetahuan Tinggi Rendah Total
Uji beda n % n % n %
Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total
28 7 5
40
70.0 17.5 12.5 100
15 7
14 36
41.7 19.4 38.9 100
43 14 19 76
56.6 18.4 25.0 100
p = 0.003**
Rata-rata ± SD 49.1 ± 26.3 66.9 ± 24.5 57.5 ± 26.9 Uji chi-square p = 0.018*
Keterangan: *Berhubungan nyata pada α = 0.05 **Berbeda nyata pada α = 0.05
Data RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa konsumen jamu dan obat-
obatan tradisional lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah (60%) daripada
kelompok pendidikan tinggi. Data tersebut mendukung hasil penelitian ini karena
informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak yang kemungkinan diperoleh
dari pengalaman mengonsumsi dan lebih banyak didapat secara turun temurun
melalui keluarga tentu akan lebih banyak dimiliki oleh orang dewasa dengan
52
kemampuan sosial ekonomi menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah
sementara kelompok orang dewasa dengan kemampuan sosial ekonomi menengah
ke atas dan tingkat pendidikannya tinggi akan mengakses pelayanan kesehatan
konvensional (dokter, klinik, dan rumah sakit). Hasil ini bertolak belakang jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Kennedy (2005) maupun Tanaka et al.
(2008) di US yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara status
sosial ekonomi dengan penggunaan jamu atau obat tradisional. Hal ini
kemungkinan karena di negara maju pemahaman masyarakat terhadap jamu dan
obat tradisional sudah lebih baik sehingga penerimaan masyarakat (khususnya
dari kelompok pendidikan tinggi) jadi lebih positif.
Kemungkinan mengenai penyebaran pengetahuan manfaat kesehatan
temulawak yang didasarkan pada kepercayaan terjadi secara turun temurun
melalui keluarga serta melalui pengalaman diperkuat dengan lebih besarnya
persentase subjek yang memiliki tingkat pengetahuan baik (skor > 80) pada
kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin dibandingkan
dengan subjek yang tidak mengonsumsi temulawak secara rutin. Selain itu rata-
rata skor pengetahuan subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin juga
lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak mengonsumsi secara rutin
meskipun tidak berbeda nyata (Tabel 12).
Tabel 12 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek
berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak
Tingkat pengetahuan Rutin Tidak Rutin Total
Uji beda n % n % n %
Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total
9 1 6
16
56.3 6.2 37.5 100
24 10 9
43
55.8 23.3 20.9 100
33 11 15 59
55.9 18.6 25.4 100
p = 0.459
Rata-rata ± SD 62.5 ± 23.9 56.6 ± 27.7 58.2 ± 26.6
Pengembangan Minuman Instan Temulawak
Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu
Temulawak yang digunakan untuk pembuatan minuman temulawak
berasal dari Kebun Percobaan Balittro, di Cicurug yang dipanen saat umur 10
bulan. Rimpang temulawak tersebut diproduksi dengan menerapkan SOP/Standart
Operational Practices budidaya temulawak (Rahardjo & Rostiana 2009),
53
sehingga bahan yang digunakan juga memenuhi kriteria standar Good
Agricultural Practices (GAP) dan Good Collection Pratices (GACP) sesuai
ketentuan WHO (2003).
Proses yang dilakukan setelah rimpang temulawak diperoleh adalah
pembuatan simplisia temulawak. Rimpang temulawak dicuci bersih dan dirajang
dengan ketebalan antara 7 – 8 mm kemudian dikeringkan. Rimpang yang telah
kering/simplisia diblender sehingga dihasilkan bubur temulawak. Selanjutnya ke
dalam bubur ditambahkan pelarut etanol 96% (1:5) kemudian diekstrak dengan
ekstraktor selama 4 jam. Selanjutnya bahan disaring menggunakan kertas saring
dan dihasilkan sari/filtrat yang selanjutnya diuapkan menggunakan alat rotavapor
sehingga dihasilkan ekstrak kental rimpang temulawak. Jumlah simplisia yang
digunakan dalam proses tersebut adalah sebanyak 12.25 kg sedangkan ekstrak
kental yang dihasilkan adalah sebanyak 2600 ml.
Pembuatan ekstrak kering temulawak dilakukan dengan menggunakan
spray dryer. Pada tahap ini, ekstrak kental diencerkan terlebih dulu dan
ditambahkan bahan pengisi (maltodekstrin). Pengenceran dan penambahan
maltodekstrin dilakukan terkait dengan kemampuan alat spray dryer yang
digunakan dan juga untuk memperbaiki terkstur ekstrak sebelum proses
pengeringan. Pengenceran ekstrak kental dilakukan dengan perbandingan 1:9
sedangkan maltodekstrin yang ditambahkan sebanyak 35% dari bahan encer.
Besarnya pengenceran dan maltodekstrin yang ditambahkan diketahui melalui
proses trial and error yang telah dilakukan sebelumnya. Perbandingan air dan
maltodekstrin sebanyak ini menghasilkan ekstrak kering terbaik yang ditandai
dengan bentuk ekstrak kering yang halus dan tidak melekatnya hasil ekstrak di
dinding alat spray dryer. Total ekstrak kering temulawak yang dihasilkan dari
proses ini adalah sebanyak 499.39 gram.
Proses pengenceran dilakukan secara bertahap (sebanyak lima kali) karena
terkait dengan kemampuan stirrer/pengaduk serta wadah untuk pencampuran
yang tersedia. Jadi setiap pengenceran terdiri atas 520 ml ekstrak kental
temulawak dan 4300 ml air (total volume cairan 5000 ml). Diasumsikan berat
jenis campuran tersebut adalah 1 sehingga berat maltodekstrin yang digunakan
adalah:
54
Berat maltodekstrin (5 kali pengenceran) =
Berdasarkan berbagai proses pengolahan yang dilakukan maka besarnya
rendemen dari ekstrak kering temulawak dapat diketahui dengan menggunakan
formula berikut :
Rendemen (%) =
=
= 2.38%
Pengamatan mutu pada simplisia dan ekstrak kering dilakukan untuk
memastikan bahwa bahan yang digunakan sesuai dengan standar serta
memastikan kandungan xanthorrhizol dalam ekstrak temulawak yang akan diuji
klinis. Uji laboratorium pengamatan mutu pada simplisia dan ekstrak kering
dilakukan oleh laboratorium Balittro, Kementerian Pertanian RI. Berdasarkan uji
mutu simplisia dan ekstrak kering yang telah dilakukan diketahui bahwa karakter
simplisia yang digunakan telah memenuhi persyaratan standar mutu simplisia
(Materia Medika Indonesia/MMI 1979). Data karakteristik hasil uji mutu
simplisia dan ekstrak kering temulawak disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak
Karakteristik HasilPengujian (%)
Metode pengujian Standar
Simplisia* Simplisia Ekstrak keringKadar air 5.99 4.0 Destilasi < 12 Kadar abu 4.59 0.43 SNI 01-3709-1995 3 – 7 Kadar abu tak larut asam
1.54 0 SNI 01-3709-1995 1.54
Kadar sari dalam air 17.21 78.35 Gravimetri 17.21 Kadar sari dalam alkohol
14.07 35.19 Gravimetri 14.07
Kadar kurkumin 1.45 0.70 Spektrophotometri 0.02 - 2 Kadar xanthorrhizol 1.02 1.89 HPLC - Keterangan : Laboratorium Balittro (2010) dan Standar * (MMI 1979)
Formulasi minuman instan temulawak
Jumlah ekstrak kering temulawak yang harus diberikan dalam intervensi
ditentukan berdasarkan jumlah xanthorrhizol yang harus diberikan. Hal ini
55
didasari dari penelitian Chung et al. (2007) bahwa pada orang yang obes terjadi
peradangan kronis yang perlu ditekan karena meningkatkan risiko terjadinya
penyakit infeksi dan hasil penelitian Lee et al. (2002) serta Kim et al. (2007) yang
menunjukkan bahwa xanthorrhizol yang terkandung dalam temulawak mampu
memberikan efek penurunan peradangan serta menginduksi aktivitas sistem imun.
Besarnya dosis xanthorrhizol yang dapat memberikan efek penekanan peradangan
didasarkan pada hasil penelitian Kertia et al. (2005). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa jumlah minyak atsiri dalam temulawak yang dapat
memberikan efek penurunan inflamasi adalah sebesar 25 mg dengan kandungan
xanthorrhizol dalam minyak atsiri tersebut sebesar 27.64 ± 0.85%. Penelitian
terbaru yang dilakukan oleh Yulianti (2010) menunjukkan bahwa kandungan
xanthorrizol dalam minyak atsiri berkisar antara 1.26 – 42.82%.
Hasil penelitian Kertia et al. (2005) dan Yulianti (2010) digunakan sebagai
pendekatan dalam menentukan kandungan xanthorrhizol dalam minyak atsiri
temulawak, sehingga kandungan xantorrhizol dalam minyak atsiri menjadi:
Besarnya kandungan xanthorrhizol dalam kapsul penelitian Kertia et al. (2005)
berdasarkan pendekatan hasil penelitian Kertia et al. (2005) dan Yulianti (2010)
adalah:
Berdasarkan hasil uji mutu dan karakteristik yang telah dilakukan diketahui
bahwa kadar xanthorrhizol dalam ekstrak kering temulawak adalah 1.89%
(gram/100 gram). Jadi jumlah ekstrak kering temulawak agar mengandung 8.81
mg xanthorrhizol adalah sebesar:
Jumlah ini dikurangi menjadi 0.40 gram atau 400 mg untuk memperkuat
hipotesis bahwa meskipun diberikan dengan jumlah yang lebih rendah,
xanthorrhizol dalam minuman serbuk temulawak ini tetap mampu memberikan
efek penurunan inflamasi.
56
Berat ekstrak kering temulawak sebesar 0.4 gram/400 mg masih terlalu
kecil sehingga akan mempersulit pembagian dalam sachet dan juga proses
pengemasan. Jika melihat berbagai produk minuman instan yang sudah ada di
pasaran, maka beratnya berkisar antara 8 sampai 25 gram. Oleh karena itu untuk
minuman instan temulawak perlu ditambah dengan bahan pengisi yang terdiri atas
maltodekstrin dan perasa (pemanis, garam, dan asam sitrat).
Berat bahan pengisi untuk maltodekstrin, garam, dan asam sitrat yang
ditambahkan berturut-turut adalah 2 gram, 0.1% (per volume larutan), dan 0.3%
(per volume larutan). Pemanis yang ditambahkan terdiri atas gula tepung dan
sukralosa. Jumlah gula tepung dibatasi hanya 10 gram per sachet agar produk
minuman instan ini tetap dapat dikatakan rendah kalori (10 g gula tepung = 36.4
kkal). Suatu produk pangan dapat dikatakan sebagai produk rendah kalori jika
total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji (Commission Regulation
EU 2006). Sukralosa yang ditambahkan dibuat menjadi empat taraf, yaitu 10%,
15%, 20%, dan 25%. Berdasarkan komposisi tersebut maka formula minuman
instan temulawak yang akan diuji organoleptik menjadi empat formula dengan
rincian seperti yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Komposisi formula minuman instan temulawak
Komposisi Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4
Tepung temulawak (g) 0.4 0.4 0.4 0.4
Maltodekstrin (g) 2 2 2 2
Garam (0.10%; g) 0.2 0.2 0.2 0.2
Asam sitrat (0.30%; g) 0.6 0.6 0.6 0.6
Pemanis :
Gula (5%; g) 10 10 10 10
Sukralosa (pemanis 20%; g) 0.014 0.028 0.043 0.057
Berat (per kemasan; g) 13.214 13.228 13.243 13.257
Keterangan: Nilai % adalah persentase terhadap berat total minuman setelah ditambahkan air dalam anjuran (200 gram)
Uji organoleptik panelis umum
Uji organoleptik merupakan tanggapan pribadi tentang kesukaan atau
ketidaksukaan pada suatu produk yang diujikan yang disertai dengan tingkatannya
(nilai) (Hardinsyah et al. 2009). Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian
57
ini adalah uji tingkat kesukaan atau uji hedonik dan uji mutu hedonik produk
minuman instan temulawak yang dibuat dengan empat formula yang berbeda.
Uji organoleptik dengan panelis umum dilakukan pada parameter warna,
aroma, rasa, kekentalan, dan penampilan keseluruhan produk. Jumlah panelis
yang dilibatkan dalam uji ini sebanyak 32 orang yang terdiri atas 14 panelis laki-
laki dan 18 panelis perempuan.
Kriteria uji hedonik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
skala 1 - 9, yaitu 1 (amat sangat tidak suka), 2 (sangat tidak suka), 3 (tidak suka),
4 (agak tidak suka), 5 (biasa), 6 (agak suka), 7 (suka), 8 (sangat suka), dan 9 (amat
sangat suka). Selanjutnya untuk mengetahui besarnya persen penerimaan skala
tersebut dipersempit lagi hanya menjadi dua kategori yaitu menerima dan tidak
menerima. Tidak menerima jika nilainya 1 (amat sangat tidak suka) sampai 4
(agak tidak suka) dan dikategorikan menerima jika nilainya 5 (biasa) sampai 9
(amat sangat suka).
a. Warna
Produk minuman instan temulawak sebenarnya berbentuk serbuk dalam
kemasan sachet yang jika akan dikonsumsi dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml
air. Pada saat uji organoleptik dilakukan, produk yang disajikan kepada panelis
sudah berbentuk minuman yang berwarna kuning. Warna kuning pada minuman
instan temulawak disebabkan karena kandungan pigmen warna kurkuminoid
(Istafid 2006; Sembiring, Ma’mun, & Ginting 2006), yang merupakan unsur non
zat gizi yang berwarna kuning dan bersifat aromatik, sehingga dalam bidang
pangan dapat digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman.
Gambar 9 Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan panelis umum
58
Warna merupakan salah satu parameter organoleptik utama yang dapat
menentukan mutu suatu produk pangan. Berdasarkan uji hedonik yang telah
dilakukan diketahui bahwa yang paling diterima oleh panelis adalah warna produk
yang dibuat dengan Formula 2. Warna produk ini diterima oleh 81.3% panelis.
Hasil uji hedonik terhadap warna minuman instan temulawak disajikan pada
gambar 9.
Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter warna diketahui bahwa
kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut
berbeda nyata (p = 0.01), dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari
keempat produk minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 2
berbeda nyata dengan penerimaan terhadap Formula 3 dan 4. Hasil uji statistik
lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
b. Aroma
Aroma merupakan salah satu kriteria yang penting bagi konsumen dalam
memilih produk pangan yang disukai. Jika aroma suatu bahan pangan/makanan
semakin enak maka konsumen juga akan semakin menyukai produk pangan
tersebut (Winarno 2002; Hardinsyah et al. 2009). Berdasarkan alasan tersebut
maka uji hedonik untuk parameter aroma minuman instan temulawak dilakukan.
Produk minuman instan temulawak memiliki aroma segar serta
menyengat/tajam yang khas yang disebabkan karena kandungan kurkuminoid
(Istafid 2006; Sembiring, Ma’mun, & Ginting 2006). Berdasarkan uji hedonik
yang telah dilakukan diketahui bahwa yang memiliki persen penerimaan paling
besar adalah produk dengan Formula 2 dan Formula 4, yaitu sama-sama diterima
oleh 59.4% panelis. Hasil uji hedonik terhadap aroma minuman instan temulawak
disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan panelis umum
59
Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter aroma diketahui bahwa
kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut
tidak berbeda nyata (p = 0.779) dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut
Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 4.
c. Rasa
Rasa adalah parameter selain aroma yang akan sangat menentukan
penerimaan suatu produk pangan pada konsumen (Hardinsyah et al. 2009).
Meskipun suatu produk memiliki aroma yang menarik tetapi apabila rasanya tidak
disukai maka akan membuat produk tersebut sulit diterima (Suharyono 2007).
Oleh karena itu, penilaian terhadap rasa suatu produk pangan menjadi sangat
penting karena tidak jarang rasa yang akan menentukan penerimaan akhir
konsumen terhadap produk pangan tersebut.
Hasil uji hedonik terhadap rasa minuman instan temulawak menunjukkan
bahwa yang memiliki persen penerimaan terbesar adalah produk yang dibuat
dengan Formula 4 (diterima oleh 81.3% panelis) sedangkan yang memiliki persen
penerimaan terendah adalah produk dengan Formula 1 (diterima oleh 25%
panelis). Data lebih lengkap mengenai persen penerimaan terhadap rasa minuman
instan temulawak disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan panelis umum
60
Berdasarkan uji kesukaan diketahui bahwa sebagian besar panelis lebih
menyukai produk dengan rasa yang cenderung manis dari pada rasa tajam/pahit.
Rasa pahit pada produk minuman instan temulawak ini juga disebabkan karena
kurkuminoid dan kadar kurkuminoid yang masih layak atau dapat ditoleransi yaitu
antara 0.0737% sampai 0.0746% (Istafid 2006).
Uji ANOVA untuk parameter rasa diketahui bahwa kesukaan panelis
terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut berbeda nyata (p =
0.000) dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari keempat produk
minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 4 berbeda nyata
sedangkan antara Formula 3 dan 4 tidak berbeda nyata. Hasil uji statistik lebih
lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil ini memperkuat uji organoleptik dengan panelis terbatas yang telah
dilakukan sebelumnya bahwa yang memiliki kemungkinan terbesar untuk
diterima dan dikonsumsi adalah produk dengan Formula 3 dan 4. Perbedaan hasil
antara uji organoleptik dengan panelis terbatas dan umum kemungkinan karena
perbedaan kelompok umur dan kebiasaan yang akan mempengaruhi preferensi
rasa produk pangan. Rasa produk dengan Formula 4 cenderung lebih manis
dibandingkan produk Formula 3 karena kadar pemanis yang lebih besar.
d. Kekentalan
Produk minuman instan diharapkan memiliki tingkat kekentalan yang
lebih rendah dari pada produk sirup karena perbedaan kepekatan zat terlarut di
dalamnya. Hal ini melatarbelakangi perlunya pengujian organoleptik untuk
parameter kekentalan minuman instan.
Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang
memiliki persen penerimaan paling besar adalah produk dengan Formula 1 yaitu
diterima oleh 78.1% panelis. Hasil uji hedonik terhadap kekentalan minuman
instan temulawak disajikan pada gambar 12.
Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter kekentalan diketahui bahwa
kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut
tidak berbeda nyata (p = 0.123) dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut
Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 4.
61
Gambar 12 Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik dengan panelis umum
e. Keseluruhan
Penilaian keseluruhan merupakan penilaian gabungan atau hasil akumulasi
yang diberikan oleh panelis terhadap suatu produk pangan berdasarkan berbagai
penilaian mutu hedonik sebelumnya. Jadi jika pada penilaian mutu hedonik
sebelumnya (warna, aroma, rasa, dan kekentalan) panelis menyatakan suka maka
daya terimanya juga akan baik. Data hasil uji hedonik untuk penilaian keseluruhan
minuman instan temulawak dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum
Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa yang memiliki persen penerimaan
tertinggi adalah produk dengan Formula 4. Poduk ini diterima oleh 62.5% panelis.
Uji ANOVA untuk penilaian keseluruhan menunjukkan bahwa kesukaan panelis
terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata
(p = 0.212) Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
62
Berdasarkan uji organoleptik ini diketahui bahwa meskipun produk
dengan Formula 4 memiliki persen penerimaan tertinggi tetapi sebenarnya tidak
berbeda nyata dengan formula yang lain, sehingga untuk keperluan intervensi
perlu dilakukan uji organoleptik dengan panelis terbatas yang memiliki
karakteristik mendekati karakteristik sasaran intervensi (kelompok dewasa).
Formula produk yang akan digunakan dalam intervensi ditentukan berdasarkan
pertimbangan hasil uji organoleptik dengan panelis terbatas dan panelis umum.
f. Uji mutu hedonik
Uji mutu hedonik dilakukan pada minuman instan temulawak dengan
formula yang paling disukai, yaitu pada formula 3 dan 4. Hasil uji mutu hedonik
menunjukkan bahwa penilaian mutu untuk formula 3 dan 4 ini hampir sama.
Secara sederhana dapat dilihat dari Gambar 14 yang menunjukkan grafik radar
formula 3 dan 4 yang saling berhimpitan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik
yang telah dilakukan diketahui bahwa warna yang disukai dari minuman instan
temulawak yaitu kuning terang khas temulawak. Aroma yang disukai adalah
aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam, kepekatan cairan yang disukai
adalah yang cenderung encer, sedangkan rasa yang disukai adalah yang tidak
terlalu manis.
Gambar 14 Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman instan temulawak
Kuning terang khas temulawak
Cenderung encer/cair
Tidak terlalu manis
Aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam
63
Berdasarkan hasil uji organoleptik panelis terbatas dan panelis umum
maka formula minuman instan temulawak yang terpilih untuk digunakan dalam
uji klinis adalah formula 3 dengan berat yang berat tiap sachetnya adalah sebesar
13.24 gram.
Uji organoleptik panelis terbatas
Uji organoleptik dengan panelis terbatas dilakukan hanya pada parameter
rasa produk. Uji ini dilakukan untuk memperkuat/mengonfirmasi hasil uji
organoleptik yang dilakukan dengan panelis umum. Jumlah panelis yang
dilibatkan dalam uji ini hanya 7 (tujuh) orang yang seluruhnya merupakan
anggota tim peneliti beserta asisten. Berdasarkan hasil organoleptik yang telah
dilakukan diketahui bahwa produk yang paling banyak diterima adalah produk
dengan formula 3 (pemanis 20%). Produk yang memiliki persen penerimaan
tertinggi adalah produk dengan Formula 3, dengan persen penerimaan sebesar
85.7%. Hasil analisis secara deskriptif berdasarkan uji yang telah dilakukan
disajikan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15 Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas
Gambar 16 Minuman instan temulawak dengan formula terpilih
64
Besarnya persen penerimaan dari uji organoleptik yang telah dilakukan
menjadi dasar untuk menentukan formula produk minuman instan temulawak
yang digunakan dalam uji klinis. Berdasarkan hasil tersebut maka ditentukan
bahwa formula 3 (pemanis 20%) merupakan formula minuman instan temulawak
yang digunakan dalam uji klinis dengan foto produk disajikan pada Gambar 16.
Uji Klinis Minuman Instan Temulawak Pelaksanaan uji klinis
Ada beberapa faktor yang terkait dengan keberhasilan penelitian yang
menggunakan desain kuasi eksperimental (pre dan post test desain) atau dalam hal
ini uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh. Pada
desain penelitian sudah dipertimbangkan berbagai hal, termasuk dalam pemilihan
subjek, metode pengukuran untuk minimalisasi bias, formulasi minuman instan
temulawak, sampai dengan upaya penjaminan kepatuhan subjek, meskipun
hasilnya terkadang tidak selalu seperti yang diformulasikan pada hipotesis.
Menurut Yu dan Ohlund (2010) kesesuaian hipotesis dengan hasil penelitian
dengan desain kuasi eksperimental (pre dan post test desain) diantaranya
dipengaruhi oleh: 1) jangka waktu intervensi, 2) metode pengukuran yang
digunakan, 3) tingkat kepatuhan atau compliance, dan 4) keberadaan peubah
pengganggu atau confounding factor yang tidak terkontrol karena tidak adanya
pengacakan dan kelompok kontrol.
Minuman instan temulawak yang telah dikembangkan diberikan pada
subjek untuk diminum setiap hari selama dua minggu/14 hari berturut-turut.
Pertimbangan lama waktu intervensi selama dua minggu dan dosis 400 mg/hari
ekstrak temulawak didasarkan pada dosis dan lama waktu yang memberikan efek
penurunan inflamasi (Kertia et al. 2005). Berat minuman instan temulawak yang
diberikan untuk setiap subjek per hari adalah 13.24 gram. Setiap subjek akan
mengonsumsi serbuk temulawak ini yang sebelumnya dilarutkan terlebih dulu
dalam 200 ml air dingin untuk menghindari kerusakan bahan aktif (xanthorrhizol).
Yulianti (2010) menyatakan bahwa xanthorrhizol memiliki sifat sensistif terhadap
panas dan peningkatan suhu akan mengakibatkan terjadinya kerusakan terhadap
xanthorrhizol.
65
Jumlah subjek yang ditentukan dalam desain di awal penelitian dengan
mempertimbangkan adanya subjek yang drop out (tambahan 20%) adalah
sebanyak 24 orang. Jumlah subjek yang terkumpul saat kegiatan penjelasan awal
dan intervensi hari pertama hanya sebanyak 21 orang dan jumlah ini bertahan
sampai kegiatan uji klinis berakhir sehingga total subjek untuk uji klinis menjadi
21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Jumlah
ini (21 subjek) masih lebih besar dari jumlah subjek minimum yang ditetapkan
dalam desain (20 subjek).
Subjek mengonsumsi minuman instan temulawak yang dibagikan setiap
pagi hari di tempat kerja subjek (gedung Rektorat IPB). Saat pembagian minuman
instan yang dilakukan pagi hari, ada subjek yang tidak dapat ditemui langsung
karena sedang tidak ada di tempat/masih dalam perjalanan. Minuman instan
temulawak bagi subjek tersebut dititipkan kepada subjek lain yang ruang/tempat
kerjanya berdekatan untuk memudahkan dan memastikan diterima serta diminum
oleh subjek. Penjaminan kepatuhan subjek dilakukan dengan mengupayakan agar
minuman instan temulawak langsung diminum di depan peneliti saat baru
dibagikan. Selain itu disediakan pula form kepatuhan (compliance) yang
dibagikan kepada seluruh subjek. Harun, Putra, Chair, dan Sastroasmoro (2008)
menyebutkan bahwa kepatuhan subjek diantaranya dipengaruhi oleh lamanya
intervensi, sifat bahan yang diintervensikan (rasa, jumlah, efek samping), biaya,
penjelasan sebelum intervensi, sikap dan cara pendekatan terhadap subjek lokasi,
dan karakteristik subjek. Ketidakpatuhan subjek dalam uji klinis minuman instan
temulawak ini dapat diminimalkan dengan pemberian pengertian mengenai tujuan
dan cara penelitian, penjelasan dosis dan cara konsumsi minuman instan
temulawak, serta pengawasan khususnya saat intervensi dilaksanakan.
Hasil pengamatan selama kegiatan intervensi menunjukkan bahwa seluruh
subjek (100%) patuh mengonsumsi minuman instan temulawak dan sebagian
besar (81.0%) meminumnya pagi hari saat baru dibagikan. Seluruh subjek
mengonsumsi minuman instan temulawak dalam waktu yang teratur. Tingkat
kepatuhan subjek tinggi dalam uji klinis ini tinggi sehingga dampak minuman
instan temulawak terhadap uji klinis tidak dipengaruhi oleh rendahnya tingkat
66
kepatuhan. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman instan
temulawak disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk
temulawak
Waktu Laki-laki Perempuan Total n % n % n %
Pagi Siang Sore Total
6 0 1 7
85.1 0
14.3 100
11 3 0
14
78.6 21.4
0 100
17 3 1
21
81.0 14.3 4.7 100
Briawan (2008) menyatakan bahwa kepatuhan merupakan faktor penting
dalam kegiatan penelitian intervensi dan metode penjaminan kepatuhan dengan
pengawasan langsung serta pencatatan laporan (self reported) sudah cukup
banyak digunakan oleh peneliti lain.
Karakteristik subjek uji klinis
Subjek yang terlibat dalam kegiatan uji klinis minuman instan temulawak
untuk peningkatan limfosit tubuh dipilih berdasarkan kriteria inklusi berusia
dewasa dan memiliki status gizi obes. Jumlah subjek yang terlibat sampai
kegiatan uji klinis selesai adalah sebanyak 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek
laki-laki dan 14 subjek perempuan. Berdasarkan rata-rata umurnya, antara subjek
laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata dan secara keseluruhan rata-rata
umur subjek adalah 44.1 ± 6.4 tahun dengan subjek yang paling muda berumur 29
tahun sedangkan yang paling tua berumur 54 tahun. Data sebaran subjek
berdasarkan kelompok umurnya disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur Laki-laki Perempuan Total
Uji beda n % n % n %
19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total
0 7 0 7
0 100 0
100
1 8 5
14
7.1 57.1 35.7 100
1 15 5
21
4.8 71.4 23.8 100
p = 0.732
Rata-rata ± SD 43.6 ± 2.1 44.4 ± 7.9 44.1 ± 6.5
Penentuan status gizi subjek uji klinis dilakukan dengan menggunakan
IMT. Selain itu dilakukan pula pengukuran lingkar pinggang dan panggul
sehingga bisa diketahui status obesitas sentral (berisiko mengalami penyakit
67
degeneratif) pada subjek yang terlibat dalam uji klinis. Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa subjek yang terlibat memang benar-benar mengalami
kelebihan berat badan serta memiliki akumulasi lemak yang tinggi di bagian
rongga abdomen sebagai penyebab berbagai komplikasi dan gangguan
metabolisme dalam tubuh (Septina, Purba, & Hartriyanti 2010). Berdasarkan nilai
IMT, diketahui bahwa seluruh subjek sudah terkategori obes (IMT > 27.0) dengan
IMT subjek yang paling rendah sebesar 27.7. Rata-rata IMT untuk seluruh subjek
adalah 31.1 ± 2.3 sedangkan jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka
rata-rata IMT pada subjek laki-laki sebesar 30.5 ± 2.3 dan pada subjek perempuan
sebesar 31.5 ± 2.3. Seluruh subjek juga sudah terkategori mengalami obesitas
sentral dengan risiko penyakit degeneratif tinggi dengan rata-rata RLPP sebesar
0.9 ± 0.1. Data lengkap mengenai sebaran subjek berdasarkan IMT dan RLPP
disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan
rasio lingkar pinggang panggul (RLPP)
Kategori status gizi subjek Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Indeks Massa Tubuh/IMT (kg/m2) 27 – 29.9 ≥ 30 Total
3 4 7
42.9 57.1 100
5 9
14
35.8 64.2 100
8 13 21
38.1 61.9 100
Rata-rata ± SD 30.5 ± 2.3 31.5 ± 2.3 31.1 ± 2.3
Rasio lingkar pinggang panggul/RLPP* Risiko sedang Risiko tinggi Total
2 5 7
28.6 71.4 100
0
14 14
0
100 100
2
19 21
9.5
90.5 100
Rata-rata ± SD 1.0 ± 0.1 0.9 ± 0.0 0.9 ± 0.1
Keterangan: *Laki-laki, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.90; risiko tinggi jika RLPP > 0.90 sedangkan perempuan, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.80; risiko tinggi jika RLPP > 0.80 (Sumber: Septina, Purba, Hartriyanti 2010)
Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi
Total sel limfosit merupakan gabungan dari jumlah sel T, sel B, dan sel
NK. Pada tubuh manusia limfosit diproduksi di sumsum tulang, kelenjar timus,
limpa, kelenjar getah bening (tersebar sepanjang pembuluh darah), dan amandel
(Vander, Sherman, & Luciano 1998). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov
diketahui bahwa data jumlah limfosit baik sebelum intervensi maupun setelah
68
21
fase
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
Lim
fosi
t Tot
al
intervensi tersebar normal (p > 0.05), meskipun jika dilihat sekilas pada grafik
box-plot (Gambar 17) seolah data cenderung menyebar ke atas/skew positif,
terutama pada saat sebelum intervensi. Pada grafik box-plot dapat diketahui
bahwa tidak ada subjek yang memiliki jumlah limfosit ekstrim (sangat kecil
maupun sangat besar) baik sebelum dilakukan intervensi maupun setelah
intervensi.
Gambar 17 Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah total sel limfosit sebelum intervensi adalah sebesar
2773.4 ± 660.8 sel/µL dengan selang antara 1677 – 4161 sel/µL. Setelah
intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, ada peningkatan rata-rata
jumlah total sel limfosit sebesar 100.3 sel/µL atau ada peningkatan sebesar 3.6%,
sehingga rata-rata total sel limfosit menjadi 2874.2 ± 755.4 sel/µL dengan selang
antara 1734 – 4254 sel/µL. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5%
menunjukkan bahwa peningkatan total sel limfosit setelah intervensi tidak
signifikan (p = 0.370). Data lengkap mengenai jumlah rata-rata dan selisih/Δ total
sel limfosit antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi
Fase Rata-rata ± SD Uji beda Sebelum intervensi (sel/µL) 2773.9 ± 660.8
p = 0.370 Setelah intervensi (sel/µL) 2874.2 ± 755.4 Selisih/Δ (sel/µL) 100.3 ± 101.2 % Selisih (%Δ) 3.6
Sebelum intervensi Setelah intervensi
1500
2500
3500
4500
3000
2000
40004161
4254
Sel/µL
2797 2813
23062166
3119
3511
1734 1677
69
Baratawidjaja dan Rengganis (2009) menyatakan bahwa pembentukan sel
limfosit (sebagai bagian dari sel darah putih) pada manusia telah dimulai sejak
janin dalam yolk sac berusia beberapa minggu. Pada tahap awal tersebut, sel induk
hematopoietik kemudian berdiferensiasi menjadi sel eritroid primitif yang
mengandung hemoglobin yolk sac. Sel induk hematopoietik bermigrasi dari yolk
sac ke hati janin dan selanjutnya mengkolonisasi limpa. Proses hematopoiesis
yang terjadi pada kedua organ tersebut berlangsung saat janin berusia tiga sampai
dengan tujuh bulan. Setelah itu, proses diferensiasi sel hematopoietik akan
dilakukan dalam sumsum tulang dan berlangsung terus menerus (sel matang
diproduksi dengan kecepatan yang sama dengan kematiannya).
Peningkatan jumlah limfosit setelah intervensi minuman instan temulawak
selama 14 belas hari yang tidak signifikan kemungkinan terjadi karena apoptosis
atau kematian sel yang terprogram sebagai bagian dari proses hematopiesis.
Proses apoptosis memiliki peran penting dalam mempertahankan jumlah
progenitor hematopoietik yang benar untuk eritrosit serta berbagai jenis leukosit
dan setiap sel memiliki masa hidup yang berbeda. Sebagai gambaran, berbagai
limfosit memiliki masa hidup antara satu hari (neutrofil) dan ada yang sampai 20
– 30 tahun untuk beberapa sel T (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Penelitian Nieman, Henson, Nehlsen-Cannarella, Ekkens, Utter,
Butterworth, dan Fagoaga (1999) serta Womack, Tien, Feldman, Shin, Fennie,
Anastos et al. (2007) menunjukkan bahwa peningkatan berat badan berhubungan
dengan peningkatan jumlah limfosit, CD4, CD8, dan jumlah leukosit. Pada
penelitian Nieman et al. (1999) diketahui bahwa rata-rata orang obes memiliki
jumlah limfosit 2110 sel/µL sedangkan hasil penelitian Womack et al. (2007)
menunjukkan bahwa median total limfosit orang obes adalah 2064 sel/µL. Rata-
rata (2773.9 sel/µL) maupuan median (2797 sel/µL) total limfosit subjek sebelum
intervensi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Womack
et al. (2007). Jumlah total limfosit sebelum intervensi sudah terkategori tinggi
juga kemungkinan menjadi penyebab tidak signifikannya peningkatan jumlah
total limfosit setelah intervensi.
Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi
Sel T atau timosit (CD3) merupakan bagian dari limfosit yang berkembang
di kelenjar timus. Sel T yang masih belum matang dipersiapkan di dalam timus
70
21
fase
3000
2500
2000
1500
1000
Sel
T (
abs
)
21
fase
80
70
60
50
40
Se
l T (
%)
untuk memperoleh reseptor dan sel T hanya dapat menjadi matang jika
reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen)
karena akan mengalami apoptosis. Diferensiasi sel T berhubungan dengan petanda
permukaannya dan hasil diferensiasi ini akan menghasilkan sel T helper (Sel
Th/sel CD4) dan sel T sitotoksis (Sel Tc/sel CD8) (Baratawidjaja & Rengganis
2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah
dan persentase sel T sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p >
0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 18) menunjukkan bahwa ada peningkatan
jumlah dan persentase sel T setelah intervensi minuman instan temulawak.
Gambar 18a menunjukkan bahwa jumlah sel T baik sebelum maupun
setelah intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif sedangkan pada
Gambar 18b, persentase sel T sebelum dan sesudah intervensi cenderung
menyebar ke bawah/skew negatif. Perbedaan ini terjadi karena nilai persentase sel
T merupakan nilai perbandingan antara jumlah sel T dengan jumlah total limfosit
sehingga untuk sel T dapat dinotasikan juga dengan CD3+/CD45+. Hal yang sama
juga berlaku untuk sel lain yang merupakan bagian dari limfosit. Perbedaan
sebaran antara data jumlah dan persentase sel T memiliki makna yang sama jika
dikaitkan dengan intervensi minuman instan temulawak yang diberikan.
Intervensi minuman instan temulawak meningkatkan jumlah dan persentase sel T.
Berdasarkan grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa intervensi minuman
instan temulawak tidak menyebabkan peningkatan jumlah dan persentase sel T
yang ekstrim.
(a) (b)
Gambar 18 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah intervensi
Sebelum intervensi Setelah intervensi Sebelum intervensi Setelah intervensi
%Sel/µL 65.0 64.0
1698 1585
78.0
44.0 42.0
79.0
1048
3020 3113
959
55.0 57.0
68.0
73.0
1405 1435
2150 2282
1000
1500
2000
2500
3000
80
70
60
50
40
71
Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi adalah sebesar 1746.2 ± 569.9
sel/µL dengan selang antara 1048 – 3020 sel/µL. Rata-rata jumlah sel T sebelum
intervensi pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
jumlah sel T subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) yang nilainya adalah
1560 ± 430.0 sel/µL namun lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai referensi
(rata-rata sel T subjek normal) yang besarnya 2092 ± 905 sel/µL (Dhaliwal et al.
1995). Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, terjadi
peningkatan rata-rata jumlah sel T sebesar 112.9 sel/µL atau ada peningkatan
sebesar 6.5%, sehingga rata-rata sel T menjadi 1859.1 ± 682.3 sel/µL dengan
selang antara 959 – 3113 sel/µL. Jika dilihat persentasenya maka pemberian
minuman instan temulawak meningkatkan persentase sel T sebesar 1.4%.
Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% pada jumlah sel T
menunjukkan bahwa peningkatan sel T setelah intervensi sebesar 112.9 sel/µL
merupakan peningkatan yang tidak signifikan (p = 0.162) sedangkan jika dilihat
berdasarkan nilai persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak
memberikan peningkatan yang signifikan (p = 0.034). Data lengkap mengenai
jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel T antara sebelum dan setelah
intervensi disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi
Fase Rata-rata ± SD Uji beda Jumlah sel T (sel/µL)
p = 0.162 Sebelum intervensi 1746.2 ± 569.9 Setelah intervensi 1859.1 ± 682.3 Selisih (Δ) 112.9 ± 119.3 % Selisih (%Δ) 6.5
Persentase sel T (%)
p = 0.034 Sebelum intervensi 62.5 ± 9.9 Setelah intervensi 63.9 ± 11.1 Selisih (Δ) 1.4 ± 2.8 % Selisih (%Δ) 2.2
a. Sel CD4
Sel CD4 atau disebut juga sel Th atau sel T inducer merupakan subset sel
T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Sel CD4
yang berproliferasi dan berdiferensiasi akan berkembang menjadi sel Th1 dan sel
72
21
fase
2000
1500
1000
500
CD
4+ (
abs)
21
fase
60
50
40
30
20
CD
4+ (
%)
Th2 yang akan mensintesis sitokin (protein yang berperan dalam inflamasi dan
sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun) dan juga mengaktifkan
fungsi sel imun lain seperti sel CD8, sel B, makrofag (sel sistem imun yang hidup
dalam jaringan), dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan
hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel
CD4 sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada
box-plot (Gambar 19) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk
temulawak selama 14 hari mampu meningkatkan jumlah dan persentase sel CD4.
Gambar 19 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase sel CD4
mengalami peningkatan setelah intervensi minuman serbuk temulawak selama 14
hari. Grafik box-plot jumlah sel CD4 cenderung menyebar ke atas/skew positif
sedangkan jika dilihat pada persentasenya, maka ada pergeseran dari yang semula
menyebar ke bawah menjadi menyebar ke atas/skew positif. Berdasarkan data
pada grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa tidak ada peningkatan jumlah
dan persentase sel CD4 yang ekstrim dari intervensi minuman serbuk temulawak
selama 14 hari.
(a) (b)
Gambar 19 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah intervensi
Rata-rata jumlah sel CD4 sebelum intervensi adalah sebesar 990.0 ± 285.7
sel/µL dengan selang antara 593 – 1551 sel/µL. Rata-rata maupun median jumlah
sel CD4 sebelum intervensi pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan
dengan rata-rata dan median jumlah sel CD4 subjek obes penelitian Nieman et al.
Sebelum intervensi Setelah intervensi Sebelum intervensi Setelah intervensi
20
30
40
50
602000
1500
1000
500
Sel/µL %
986 982
1178
1339
763 798
593 489
1963
1551 50.0
56.0
24.0 22.0
34.0
37.0
29.0 31.0
44.0 46.0
73
(1999) dan Womack et al. (2007) yang nilainya berturut-turut adalah 1060.0 ±
320.0 sel/µL dan 995.0 sel/µL. Rata-rata jumlah dan persentase sel CD4 ini juga
lebih rendah dibandingkan dengan nilai referensi (rata-rata sel CD4 subjek
normal) yang besarnya berturut-turut 1052 ± 526 sel/µL dan 33.2 ± 8.5%
(Dhaliwal et al. 1995). Setelah intervensi minuman serbuk instan temulawak
selama 14 hari, rata-rata jumlah dan persentase sel CD4 meningkat dan bahkan
jadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensi. Peningkatan yang terjadi
adalah sebesar 88.9 sel/µL atau meningkat sebesar 9.0%. Jika berdasarkan
persentasenya (CD3+CD4+/CD45+) maka diketahui bahwa pemberian minuman
instan temulawak meningkatkan persentase sel CD4 sebesar 1.5%.
Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% menunjukkan bahwa
peningkatan persentase sel CD4 setelah intervensi sebesar 1.5% merupakan
peningkatan yang signifikan (p = 0.045). Data lengkap mengenai jumlah dan
persentase rata-rata serta selisih/Δ sel CD4 antara sebelum dan setelah intervensi
disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Jumlah dan persentase sel CD4 subjek sebelum dan setelah intervensi
Fase Rata-rata ± SD Uji beda Jumlah sel CD4 (sel/µL)
p = 0.092 Sebelum intervensi 990.0 ± 285.7 Setelah intervensi 1078.8 ± 399.9 Selisih (Δ) 88.9 ± 96.1 % Selisih (%Δ) 9.0
Persentase sel CD4 (%)
p = 0.045 Sebelum intervensi 36.1 ± 8.4 Setelah intervensi 37.6 ± 9.5 Selisih (Δ) 1.5 ± 1.6 % Selisih (%Δ) 4.1
b. Sel CD8
Sel CD8 merupakan salah satu subset sel T yang memiliki fungsi utama
untuk menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin
kompatibel (protein penting yang akan membentuk rangkaian DNA) yang
menimbulkan penolakan pada transplantasi, menghancurkan sel yang terinfeksi
bakteri intraselular, serta memacu produksi sitokin pada Th1 dan Th2
(Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov
diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel CD8 sebelum maupun setelah
74
21
fase
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
CD
8+
(ab
s)
10
21
fase
40
30
20
10
CD
8+ (
%)
intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 20)
menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak
meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8.
Berdasarkan data pada Gambar 20a diketahui jumlah sel CD8 sebelum
intervensi cenderung menyebar ke bawah/skew negatif dengan ada satu nilai
ekstrim (1551 sel/µL) sedangkan setelah intervensi, data jumlah sel cenderung
menyebar ke atas/skew positif dengan nilai median yang sama (605 sel/µL).
Penilaian dengan menggunakan persentase sel CD8 (CD3+CD8+/CD45+) juga
menunjukkan hal yang sama, hanya tanpa nilai ekstrim bahkan dengan selang
minimum – maksimum yang juga menurun, semula 10 – 37% menjadi 9 – 34%.
Jumlah dan persentase sel CD8 yang semakin menurun pada subjek obes diduga
berkaitan dengan tingginya kerusakan oksidatif pada orang obes karena
keberadaan jaringan adiposit yang berlebih (Nieman et al. 1999), peradangan
kronis yang menyebabkan sistem imun tidak berfungsi normal, dan adanya
resistensi insulin pada orang obesitas sehingga akhirnya menghambat pematangan
sel CD8 (Strandberg 2009). Jumlah sel CD8 yang sangat tinggi bisa terjadi pada
subjek yang mengalamai obesitas tingkat parah/morbid obese atau jika
berdasarkan IMT maka nilainya lebih dari 30 kg/m2 (Womack et al. 2007).
Setelah ditelusuri maka diketahui bahwa nilai ekstrim untuk jumlah sel CD8
sebelum intervensi (1551 sel/µL) berasal dari subjek yang memiliki nilai IMT
32.05 kg/m2 dan kategori status gizi menurut RLPP tergolong sangat berisiko.
(a) (b)
Gambar 20 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah intervensi
Sebelum intervensi Setelah intervensi Sebelum intervensi Setelah intervensi
Sel/µL %
605
832
463
247
947
1551
605
815
415
235
22.0
28.0
19.0
10.0
22.0
25.0
16.0
9.0 10
20
1600
1000
800
600
200
400
1400
1200 30
40
1347
37.0 34.0
75
Rata-rata jumlah sel CD8 sebelum intervensi adalah sebesar 659.5 ± 303.2
sel/µL dengan selang antara 247 – 947 sel/µL. Rata-rata maupun median jumlah
sel CD8 sebelum intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rata-rata dan median jumlah sel CD8 subjek obes penelitian
Nieman et al. (1999) dan Womack et al. (2007) yang nilainya berturut-turut
adalah 510.0 ± 220.0 sel/µL dan 487.5 sel/µL. Meskipun demikian, hasil ini
konsisten dengan penelitian Nieman et al (1999) yang menyatakan bahwa jumlah
CD8 pada orang obes lebih sedikit dibandingkan dengan orang normal yang
nilainya rata-rata 965 ± 470 sel/µL atau 30.2 ± 7.8% (Dhaliwal et al. 1995).
Intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan
jumlah dan persentase sel CD8 dan. Ada penurunan jumlah sel CD8 setelah
intervensi sebesar 43.9 sel/µL atau menurun sebesar 6.7%. Jika berdasarkan
persentasenya (CD3+CD8+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah pemberian
minuman instan temulawak selama 14 hari ada penurunan persentase sel CD8
sebesar 2.2% dan penurunan ini signifikan (p = 0.001) pada nilai α = 5%. Data
lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel CD8 antara
sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21 Jumlah dan persentase sel CD8 subjek sebelum dan setelah intervensi
Fase Rata-rata ± SD Uji beda Jumlah sel CD8 (sel/µL)
p = 0.110 Sebelum intervensi 659.5 ± 303.2 Setelah intervensi 615.6 ± 279.4 Selisih (Δ) -43.9 ± 44.1 % Selisih (%Δ) -6.7
Persentase sel CD8 (%)
p = 0.001 Sebelum intervensi 23.1 ± 7.1 Setelah intervensi 20.9 ± 6.1 Selisih (Δ) -2.2 ± 2.2 % Selisih (%Δ) -9.7
Peningkatan jumlah serta persentase sel T serta sel CD4 setelah intervensi
minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif kurkumin dan
xanthorrhizol selama 14 hari (Gambar 19 dan Tabel 20) diduga terjadi melalui
mekanisme yang diperantarai oleh nuclear factor-kappa B (NF-kB). Penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kim, Kim, Shim, dan Hwang (2007)
menunjukkan bahwa bahan aktif dalam temulawak (kurkumin dan xanthorrhizol)
76
mampu menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB. Baratawidjaja dan
Rengganis (2009) menyebutkan bahwa NF-kB merupakan protein yang penting
dalam proses transkripsi banyak gen baik yang diperlukan untuk respon imun
bawaan/innate maupun respon imun adaptif/spesifik. Jadi NF-kB akan dapat
bergerak aktif dan mencapai nucleus/inti sel lalu segera mengaktifkan proses
transkripsi beberapa gen tertentu yang diperlukan untuk respon imun (Abbas &
Lichtman 2004). Selain itu, NF-kB juga berperan dalam memicu peradangan akut
yang merupakan respon khas imunitas nonspesifik dengan tujuan untuk eradikasi
bahan atau mikroorganisme pada tahap awal (Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Hasil intervensi yang tidak mampu meningkatkan jumlah dan persentase
sel CD8 diduga karena adanya variasi yang tinggi pada jumlah dan persentase sel
CD8 subjek. Jadi ada beberapa subjek yang sejak awal sudah memiliki jumlah dan
persentase sel CD8 yang tinggi. Kondisi ini kemungkinan dipicu karena
keberadaan leptin yang tinggi pada orang obes (Oliveros & Villamor 2008).
Leptin merupakan protein berbentuk heliks yang disekresi jaringan lemak dan
bekerja terhadap reseptor permukaan nukleus ventromedial hipotalamus untuk
mengendalikan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi jika
penimbunan lemak meningkat (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Baratawidjaja &
Rengganis 2009). Leptin juga berfungsi sebagai aktivator sistem imun meskipun
mekanismenya masih belum jelas (Lamas, Marty, & Martinez 2002). Fungsi
leptin sebagai aktivator sistem imun diantaranya adalah dengan memicu aktivasi
sel T serta mengendalikan diferensiasi sel T melalui respon sel Th1 sehingga
akhirnya mempengaruhi keseimbangan komposisi sel T (Matarese 2000; Gomez,
Lago, Gomez-Reino, Dieguez, & Gualillo 2009)
Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi
Sel B merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar (50%)
mengalami pematangan di sumsum tulang, lalu sepertiga bagian berasal dari
kelenjar getah bening, dan kurang dari 1% berasal dari timus. Banyaknya sel B
berkisar antara 5 – 25% dari limfosit (Baratawidjaja & Rengganis 2009;
Strandberg 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa
data jumlah dan persentase sel B sebelum maupun setelah intervensi tersebar
normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 21) menunjukkan bahwa
77
21
fase
700
600
500
400
300
200
100
Sel
B (
abs
)
33
31
27
26
23
21
fase
20
18
16
14
12
10
8
6
Sel
B (
%)
23
27
intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah
maupun persentase sel B.
Berdasarkan data pada Gambar 21a diketahui jumlah sel B sebelum
intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif dengan nilai median 367
sel/µL sedangkan setelah intervensi, data jumlah sel cenderung menyebar ke
bawah/skew negatif dengan nilai median lebih rendah (308 sel/µL) serta ada
beberapa nilai outlier dan ekstrim. Penilaian dengan menggunakan persentase sel
B (CD19+/CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, nilai median yang semula
14% turun menjadi 11%.
Penelitian Nieman et al. (1999) menunjukkan bahwa pada subjek obes,
terjadi penurunan fungsi sel B. Penurunan fungsi sel B diduga diduga berkaitan
dengan penurunan kapasitas limfosit untuk berproliferasi (diantaranya sel B)
karena aktivasi mitogen yang terhambat (Kimura, Tanaka, Isoda, Sekigawa,
Yamakawa, & Sekihara 1998) yang juga mengakibatkan jumlah sel B dalam
tubuh orang obes menjadi rendah. Selain itu, adanya jaringan adiposit berlebih
pada orang obes yang menyebabkan peradangan kronis juga diduga menyebabkan
sistem imun (termasuk dalam proliferasi dan diferensiasi sel B) menjadi tidak
normal (Strandberg 2009).
(a) (b)
Gambar 21 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah intervensi
Rata-rata jumlah sel B sebelum intervensi adalah sebesar 388.1 ± 121.3
sel/µL dengan selang antara 171 – 659 sel/µL sedangkan setelah intervensi rata-
ratanya menjadi 328.4 ± 97.5 sel/µL dengan selang antara 190 – 338 sel/µL. Rata-
Sebelum intervensi Setelah intervensi Setelah intervensi Sebelum intervensi
200
100
300
400
500
600
700 20
18
16
14
12
10
8
6
%Sel/µL
659
461
367
301
171 149 190
279 308 338
457
530
12.0
14.0
18.0
20.0
8.0
10.0 11.0 12.0
7.0
16.0
17.0
78
rata jumlah sel B sebelum dan setelah intervensi pada penelitian ini masih lebih
tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel B subjek obes penelitian
Nieman et al. (1999) yang besarnya adalah 250.0 ± 110.0 sel/µL. Meskipun
demikian, rata-rata jumlah sel B sebelum dan setelah intervensi masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan nilai referensinya yang nilainya adalah 414 ±
283 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Jika dilihat berdasarkan persentasenya
(CD19+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah intervensi persentase sel B juga
masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai referensinya.
Hasil uji beda T berpasangan pada nilai α = 5% menunjukkan bahwa
jumlah dan persentase sel B setelah intervensi minuman instan temulawak selama
14 hari menurun signifikan (p < 0.05). Terjadi penurunan rata-rata jumlah sel B
sebesar 59.8 sel/µL atau sebesar 15.4% setelah intervensi sedangkan jika dilihat
menggunakan nilai persentasenya (CD19+/CD45+) maka ada penurunan
persentase sel B sebesar 2.6%. Data lengkap mengenai jumlah dan persentase
rata-rata serta selisih/Δ sel B antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada
Tabel 22.
Tabel 22 Jumlah dan persentase sel B subjek sebelum dan setelah intervensi
Fase Rata-rata ± SD Uji beda Jumlah sel B (sel/µL)
p = 0.001 Sebelum intervensi 388.1 ± 121.3 Setelah intervensi 328.4 ± 97.5 Selisih (Δ) -59.8 ± 58.7 % Selisih (%Δ) -15.4
Persentase sel B (%)
p = 0.000 Sebelum intervensi 14.2 ± 3.5 Setelah intervensi 11.6 ± 2.7 Selisih (Δ) -2.6 ± 2.6 % Selisih (%Δ) -18.4
Intervensi minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif
kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan
persentase sel B. Jika ditinjau dari desain penelitian, maka yang mungkin menjadi
penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan hipotesis adalah karena tidak
adanya pengacakan sehingga keberadaan peubah pengganggu/confounder jadi
tidak terkontrol (Yu & Ohlund 2010). Permasalahan utama dalam memahami
hubungan sebab akibat antara obesitas dengan sistem imun adalah sangat
79
beragamnya karakteristik yang ada pada penderita obesitas serta sangat
beragamnya faktor yang berpengaruh pada sistem imun. Berbagai faktor yang
dimaksud adalah umur, jenis kelamin, genetik, pola konsumsi pangan (termasuk
alkohol dan rokok), aktivitas fisik, stres, status hormonal, paparan patogen dan
riwayat vaksinasi, serta lingkungan sosial (Lamas, Marty, & Martinez 2002;
Calder & Kew 2002; Ekelund, Neovius, Linné, Brage, Wareham, & Rössner
2005).
Berbagai faktor tersebut tentu menjadi sumber peubah pengganggu
meskipun beberapa sumber peubah pengganggu sudah diupayakan dikontrol pada
saat penentuan subjek. Sumber peubah pengganggu yang dimaksud diantaranya
adalah kondisi hiperlipidemia dan dislipidemia, pengaruh hormon, dan asupan
bahan/zat aktif yang akan berpengaruh terhadap sistem imun. Sumber peubah
pengganggu yang lain tidak dikontrol sehingga hal tersebut diduga menjadi
penyebab hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesis serta adanya beberapa
nilai outlier dan ekstrim setelah intervensi.
Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi
Sel Natural Killer (NK) merupakan bagian dari sel limfosit yang
jumlahnya sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit
dalam jaringan. Sel NK berkembang dari sel asal progenitor yang sama dengan sel
B dan sel T. Sel NK berbeda dengan sel T dan sel B yang butuh fase pematangan
dan diferensiasi sebelum aktif. Sel NK akan langsung aktif begitu bertemu dengan
antigen target, sel NK juga tidak butuh Major Histocompatability Complex
(MHC-I dan MHC-II) untuk mengenali antigen. Sel NK bekerjasama dengan
imunitas adaptif dengan mensekresi sitokin yang akan meregulasi sel T (Abbas &
Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji
Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel NK
sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-
plot (Gambar 22) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak
selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah maupun persentase sel NK.
Berdasarkan data pada Gambar 22 diketahui bahwa data jumlah dan
persentase sel NK sebelum maupun setelah intervensi cenderung menyebar ke
atas/skew positif. Sebelum intervensi, nilai median jumlah sel NK adalah 683
80
21
fase
1500
1250
1000
750
500
250
Se
l NK
(ab
s)
28
21
fase
50
40
30
20
10
Sel N
K (
%)
sel/µL sedangkan setelah intervensi median jumlah sel NK menjadi 616 sel/µL,
data jumlah sel cenderung menyebar ke atas/skew positif serta ada nilai outlier
atau ekstrim. Penilaian dengan menggunakan persentase sel NK (CD16+56+/
CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, nilai median yang semula 23% turun
menjadi 20%.
Subjek obes memiliki jumlah sel NK yang lebih rendah dibandingkan
dengan subjek normal (Nieman et al. 1996 dalam Lamas, Marty, & Martinez
2002; O’Shea, Cawood, O’Farrelly, Lynch 2010). Jumlah sel NK yang tidak
normal pada subjek obes kemungkinan berkaitan dengan penurunan kapasitas
limfosit untuk berproliferasi (diantaranya sel B) karena aktivasi mitogen yang
terhambat (Kimura, Tanaka, Isoda, Sekigawa, Yamakawa, & Sekihara 1998) yang
juga mengakibatkan jumlah sel NK dalam tubuh orang obes cenderung menjadi
rendah. Selain itu, adanya jaringan adiposit berlebih pada orang obes yang
menyebabkan peradangan kronis juga diduga menyebabkan sistem imun
(termasuk dalam proliferasi sel NK) menjadi tidak normal (Strandberg 2009).
(a) (b)
Gambar 22 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel NK (b) sebelum dan setelah intervensi
Rata-rata jumlah sel NK sebelum intervensi adalah sebesar 714.9 ± 346.6
sel/µL dengan selang antara 304 – 1462 sel/µL sedangkan setelah intervensi rata-
ratanya menjadi 663.9 ± 274.7 sel/µL dengan selang antara 326 – 1082 sel/µL.
Rata-rata jumlah sel NK sebelum dan setelah intervensi pada penelitian ini masih
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel NK subjek obes
Setelah intervensi Sebelum intervensi Setelah intervensi Sebelum intervensi
250
500
750
1000
1500
1250
50
40
30
20
10
683
392 304
616
910 787
1082
326
1462 1337
31.0
23.0
46.0
32.0
40.0
20.0 18.0
10.0
17.0
13.0
473
%Sel/µL
81
penelitian Nieman et al. (1999) yang besarnya adalah 260.0 ± 110.0 sel/µL. Rata-
rata jumlah sel NK sebelum dan setelah intervensi hasil penelitian ini juga masih
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensinya yang besarnya adalah 649 ±
349 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Jika dilihat berdasarkan persentasenya
(CD16+56+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah intervensi persentase sel NK
juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensinya (23.6% vs 21.2%).
Jumlah dan persentase sel NK mengalami penurunan setelah intervensi
minuman instan temulawak selama 14 hari. Penurunan rata-rata jumlah sel NK
sebesar 51.0 sel/µL atau sebesar 7.1% setelah intervensi sedangkan jika dilihat
menggunakan nilai persentasenya (CD16+56+/CD45+) maka ada penurunan
persentase sel NK sebesar 2.3%. Hasil uji beda T berpasangan pada nilai α = 5%
menunjukkan bahwa penurunan jumlah dan persentase sel NK setelah intervensi
minuman instan temulawak selama 14 hari tidak signifikan (p > 0.05). Data
lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel B antara
sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Jumlah dan persentase sel NK subjek sebelum dan setelah intervensi
Fase Rata-rata ± SD Uji beda Jumlah sel NK (sel/µL)
p = 0.341 Sebelum intervensi 714.9 ± 346.6 Setelah intervensi 663.9 ± 274.7 Selisih (Δ) -51.0 ± 45.7 % Selisih (%Δ) -7.1
Persentase sel NK (%)
p = 0.095 Sebelum intervensi 25.9 ± 11.3 Setelah intervensi 23.6 ± 9.1 Selisih (Δ) -2.3 ± 2.1 % Selisih (%Δ) -8.8
Hasil yang diharapkan dari intervensi minuman instan temulawak adalah
terjadinya peningkatan populasi limfosit (diantaranya sel NK) yang diukur dari
jumlah dan persentase selnya. Kurkumin dan xanthorrhizol sebagai bahan aktif
yang terkandung dalam minuman instan temulawak diharapkan akan dapat
menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan
diferensiasi sel-sel sistem imun bisa meningkat.
Intervensi minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif
kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan
82
persentase sel NK. Jika ditinjau dari desain penelitian, maka penyebab
ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan hipotesis yang paling mungkin adalah
karena tidak adanya pengacakan sehingga keberadaan peubah pengganggu/
confounder jadi tidak terkontrol, sama seperti pada sel B (Yu & Ohlund 2010),
serta jumlah sel NK sebelum intervensi yang sudah tinggi. Berbagai faktor sumber
peubah pengganggu yang dimaksud adalah umur, jenis kelamin, genetik, pola
konsumsi pangan (termasuk alkohol dan rokok), aktivitas fisik, stres, status
hormonal, paparan patogen dan riwayat vaksinasi, serta lingkungan sosial (Lamas,
Marty, & Martinez 2002; Calder & Kew 2002; Ekelund et al. 2005). Keberadaan
nilai outlier jumlah sel NK setelah intervensi juga menunjukkan bahwa ada
peubah pengganggu yang tidak terkontrol.
Jumlah dan persentase sel imun (khususnya sel NK) sebelum intervensi
yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi pangan penunjang sistem
imun yang tinggi serta adanya kebiasaan aktivitas fisik yang baik dari subjek
dalam penelitian ini. Zat gizi dan non gizi dalam pangan yang telah terbukti
menunjang sistem imun diantaranya adalah beta glucan (polisakarida); arginin dan
glutamin (bagian dari protein); asam lemak omega 6/asam linoleat; vitamin A, C,
D, E, B6, B12, asam folat; seng/Zn, zat besi/Fe, tembaga/Cu, dan selenium/Se;
likopen, bahan aktif dalam tomat; serta Lactobacillus acidophilus (probiotik dalam
yoghurt) (Calder & Kew 2002; Chandra 2002; Fatmah 2006).
Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam pengujian bahan aktif
tertentu kaitannya untuk perbaikan/peningkatan fungsi imun tubuh, khususnya
pada subjek obes adalah jenis pengukuran atau penilaian fungsi imun yang
digunakan. Baratawidjaja dan Rengganis (2009) menyebutkan bahwa
pemeriksaan limfosit untuk penilaian fungsi imun dalam tubuh secara umum
terbagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan kuantitas dan fenotip dan yang kedua
adalah pemeriksaan fungsi. Hasil pemeriksaan kuantitas dan fenotip adalah
jumlah dan persentase populasi limfosit beserta subsetnya, seperti yang telah
dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pada
subjek obes meskipun beberapa subset limfosit memiliki jumlah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan subjek normal, tetapi umumnya kemampuan atau sifat
fungsionalnya lebih rendah (Nieman et al. 1999; Lamas, Marty, & Martinez 2002;
83
Marcos, Nova, & Montero 2003). Oleh karena itu pemeriksaan fungsi seperti uji
transformasi limfosit, uji proliferasi, dan uji sitotoksisitas, juga sangat penting
dilakukan agar dapat memberikan penilaian terhadap sistem imun tubuh yang
lebih lengkap.
Generalisasi Penelitian
Generalisasi suatu penelitian adalah seberapa jauh hasil penelitian tersebut
dapat diterapkan pada populasi lainnya (Hennekens & Buring 1997) dan agar
dapat dilakukan generalisasi, maka harus dipastikan bahwa penelitian memiliki
validitas internal yang baik, yaitu bebas dari kesalahan acak, bias, dan berbagai
faktor perancu/peubah pengganggu (Sastroasmoro 2008). Terkait dengan hal
tersebut berbagai upaya telah dilakukan untuk menjamin validitas ini.
Survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang
didasarkan pada kepercayaan dilakukan dengan desain cross sectional dan
berdasarkan telaah literatur telah diketahui bahwa pengetahuan akan dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan sehingga subjek dikelompokkan menjadi subjek
dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah.
Selain itu, dari setiap kelompok tingkat pendidikan, subjek terbagi lagi
berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu subjek laki-laki dan perempuan sehingga
berdasarkan kelompok tingkat pendidikan dan jenis kelamin, jumlah dan
persentase subjek jadi berimbang. Hal tersebut akan berlaku sama jika wilayah
penelitian dipindah ke wilayah lain. Selain itu alat ukur pengetahuan yang
digunakan dalam penelitian ini juga telah memenuhi uji validitas dan reabilitas
sehingga menjamin validitas data yang dikumpulkan.
Pada uji klinis, selain desain (kuasi eksperimental) yang dipilih karena
adanya keterbatasan sumberdaya maka berbagai faktor lain mulai dari pemilihan
subjek, pengembangan minuman instan temulawak untuk intervensi, penjaminan
compliance, dan pemilihan metode analisis biomarker telah diupayakan sebaik
mungkin agar hasil penelitian ini valid.
Subjek yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta
jumlah subjek telah melebihi jumlah minimum subjek untuk desain penelitian ini.
Minuman instan temulawak yang diintervensikan memiliki kandungan energi
rendah yaitu hanya 36.4 kkal atau sekitar 2% dari kecukupan energi per hari (jika
84
menggunakan AKG sebesar 2000 kkal) sehingga kemungkinan adanya
penyimpangan hasil karena konsumsi gula yang tinggi dan menyebabkan
kenaikan IMT sudah sangat diminimalkan. Hal tersebut diperkuat dengan
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada subjek overweight dan
obes bisa terjadi peningkatan berat badan dan IMT (yang akan berpengaruh
terhadap fungsi imun) jika subjek mengonsumsi minuman/snack tinggi energi
paling tidak selama empat minggu berturut-turut. Penelitian dengan desain
eksperimental yang menunjukkan hal ini antara lain penelitian yang dilakukan
Tordoff dan Alleva (1990), DiMeglio dan Mattes (2000), serta Raben et al.
(2002). Jangka waktu yang menunjukkan bahwa konsumsi minuman/snack tinggi
energi akan meningkatkan IMT orang obes atau overweight bervariasi mulai dari
empat minggu (DiMeglio & Mattes 2000) sampai dengan sepuluh minggu (Raben
et al. 2002). Beberapa penelitian lain, yang dilakukan dengan desain cohort
prospective malah menunjukkan bahwa konsumsi minuman tinggi energi tidak
signifikan meningkatkan IMT (French et al. 1994; Kvaavik, Andersen & Klepp
2005).
Khasiat temulawak dalam meningkatkan nafsu makan belum terbukti
untuk orang overweight dan obes. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Rahmat dan Setianingrum (1999) memang menunjukkan bahwa temulawak
mampu meningkatkan nafsu makan secara signifikan tetapi pada subjek yang
mengalami anoreksia. Oleh karena itu, penyimpangan hasil uji klinis karena
asupan gula dari minuman instan temulawak maupun dari konsumsi pangan yang
meningkat pada subjek telah diminimalkan.
Upaya lain dalam meningkatkan validitas hasil penelitian (uji klinis) ini
adalah dengan penjaminan kepatuhan subjek yang terbukti tinggi dan metode
pengukuran biomarker limfosit dan subsetnya. Seluruh subjek patuh dan 81%
diantaranya langsung mengonsumsi pada saat dibagikan. Jika ditinjau dari metode
pengukuran biomarker, maka metode flow cytometry merupakan metode yang
sudah baku dalam pengukuran limfosit dan subsetnya serta metode ini sudah
semakin maju karena dalam perkembangan terakhir, pengukuran flow cytometry
selain mengukur jumlah dan ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding
sel, granula intraseluler, struktur intra sitoplasmik, dan inti sel (Barus 2011).
85
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang
didasarkan pada kepercayaan pada perempuan tidak berbeda nyata (p > 0.05)
dengan laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa tingkat
pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan
antara subjek yang berpendidikan tinggi dan rendah berbeda nyata (p < 0.05) serta
berbanding terbalik. Jadi penyebaran informasi mengenai manfaat kesehatan
temulawak lebih banyak diperoleh dari pengalaman serta penyebaran informasi di
masyarakat sebagian besar dilakukan secara turun temurun melalui keluarga atau
kerabat. Kondisi tersebut juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini yaitu bahwa
subjek yang mengonsumi temulawak secara rutin memiliki rata-rata skor
pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang lebih tinggi dibandingkan
dengan subjek yang tidak mengonsumsi temulawak secara rutin.
Proses pembuatan minuman instan temulawak terbagi menjadi dua yaitu
proses pembuatan ekstrak kering temulawak menggunakan spray dryer dan
pembuatan minuman instan temulawak dengan metode dry mixing atau
pencampuran kering. Berdasarkan uji hedonik dan mutu hedonik yang telah
dilakukan selama pengembangan produk maka dihasilkan bahwa produk
minuman instan temulawak yang disukai adalah yang mengandung pemanis 20%
sehingga komposisi minuman serbuk temulawak instan untuk setiap
sachet/kemasan per kali minum yang terpilih terdiri atas tepung ekstrak kering
temulawak (0.4 g), maltodekstrin (2 g), garam (0.2 g), asam sitrat (0.6 g), gula
tepung (10 g), dan sukralosa (0.043 g) sehingga total berat minuman instan
temulawak per sachet adalah 13.24 g.
Intervensi 400 mg ekstrak temulawak yang dibuat dalam bentuk minuman
instan temulawak selama 14 hari memberi peningkatan yang signifikan terhadap
persentase sel T/CD3+ dan sel CD4+ sebagai bagian dari sistem imun spesifik
yang bekerja di tingkat seluler. Peningkatan persentase sel T dan sel CD4+ diduga
karena pengaruh dari kurkumin dan xanthorrhizol yang terkandung dalam
minuman instan temulawak yang menginduksi kerja sistem imun melalui jalur
NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun meningkat.
86
Hasil uji klinis menunjukkan bahwa intervensi 400 mg ekstrak temulawak
selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8+, sel B/CD19+,
dan sel NK/CD16+56+. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah subset sel
tersebut yang sejak awal (sebelum intervensi) sudah tinggi serta kebiasaan
konsumsi pangan dan aktivitas yang menunjang sistem imun yang tidak
sepenuhnya terkontrol, khususnya sebelum kegiatan intervensi dilaksanakan.
Saran
Penerimaan masyarakat yang berasal dari kelompok pendidikan tinggi
terhadap bahan obat tradisional (khususnya temulawak) masih belum sebaik
kelompok masyarakat pendidikan rendah sehingga diperlukan sosialisasi yang
lebih baik yang disertai dengan berbagai uji klinis mengenai berbagai manfaat
kesehatan temulawak. Melalui penerimaan masyarakat, terutama kelompok
pendidikan tinggi yang lebih positif/baik terhadap temulawak diharapkan
pengembangan temulawak, baik sebagai pangan fungsional maupun sebagai
bahan obat akan lebih baik.
Penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan temulawak untuk perbaikan
sistem imun tubuh perlu dikembangkan lagi dengan desain yang lebih baik
(Randomized Control Trial/RCT), baik dengan kelompok subjek yang sama
(overweight dan obes) maupun dengan kelompok subjek yang lain (misal
memiliki status gizi normal) untuk meminimalkan berbagai peubah pengganggu
yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu penilaian fungsi imun yang
dilakukan dalam kajian lanjutan juga diharapkan tidak hanya pemeriksaan
kuantitas, tapi juga mencakup pemeriksaan fungsi seperti uji transformasi
limfosit, uji proliferasi, dan uji sitotoksisitas, sehingga penilaian terhadap sistem
imun tubuh menjadi lebih tepat.
87
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2011. Khasiat temulawak, kandungan tanaman temulawak bermanfaat
untuk kesehatan dan pengobatan tradisional. [terhubung berkala] http://indonesia-liek.blogspot.com/2011/07/khasiat-temulawak-kandungan -tanaman.html [ 26 Juli 2011].
Abbas AK & Lichtman AH. 2004. Basic Immunology: Functions and dissorders
of the immune system. Second edition. Philadelphia: Saunders, an imprint of Elsevier,
Artanti GD. 2009. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
(acceptance) petani terhadap Produk Rekayasa Genetika. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aziz N. 1995. Hubungan karakteristik petani dan aktivitas komunikasi dengan
tingkat pengetahuan mereka tentang dampak perladangan dan pola pertanian menetap di Kecamatan Jarai Kabupaten Lahat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Laporan
Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
. 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS)
2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Baratawidjaja KG dan Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar Edisi ke-8. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Barus M. 2011. Human immunodefeciency. [terhubung berkala] http://repository.
usu.ac.id/bitstream/123456789/30152/4/Chapter%20II.pdf [2 Februari 2012].
Bercault N, Boulain T, Kuteifan K, Wolf M, Runge I, & Fleury JC. 2004.
Obesity-related excess mortality rate in an adult intensive care unit: a risk-adjusted matched cohort study. Crit Care Med, 32:998-1003.
Boynton A, Neuhouser ML, Wener MH, Wood B, Sorensen B, Chen-Levy Z,
Kirk EA, Yasui Y, LaCroix K, McTiernan A, & Ulrich CM. 2007. Associations between healthy eating patterns and immune function or inflammation in overweight or obese postmenopausal women. Am J Clin Nutr, 86:1445–55. [terhubung berkala] http://www.ajcn.org. [7 Agustus 2011]
88
Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi remaja wanita. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bahan Tambahan Makanan. SNI 01-
0222-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. . 2004. 1996. Minuman Serbuk Tradisional. SNI 01-4320-1996.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. . 2004. Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk
Pangan. SNI 01-6993-2004. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Calder PC & Kew S. 2002. The immune system: a target for functional food?
British Journal of Nutrition, 88, S165-S176. Cermin Dunia Kedokteran. 2009. Kesehatan masyarakat dan lingkungan. Status
lingkungan hidup Indonesia 2005. 10: 268-71. [terhubung berkala] http://www.menlh.go.id/slhi/22-%20Bab%2010_268_271.pdf [3 Februari 2011]
Chandra RK. 2002. Nutrition and the immune system form birth to old age.
European Journal of Clinical Nutrition, 56, Suppl 3, S73 – S76. Chung WY, Park JH, Kim MJ, Kim HO, Hwang JK, Lee SK, & Park KK. 2007.
Xanthorrhizol inhibits 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate-induced acute inflammation and two-stage mouse skin carcinogenesis by blocking the expression of ornithine decarboxylase, cyclooxygenase-2 and inducible nitric oxide synthase through mitogen-activated protein kinases and/or the nuclear factor-kB. Carcinogenesis, 28(6):1224–1231
Commission Regulation EU. 2006. Regulation (EC) No 1924/2006 of The
European Parliament and of the Council, on nutrition and health claims made on foods. OJ L 404, 30.12.2006, p. 9
Damayanti R. 2008. Uji efek sediaan serbuk instan rimpang temulawak (curcuma
xanthorrhiza roxb) sebagai tonikum terhadap mencit jantan galur Swiss Webster. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Darwis SN, Madjo Indo ABD, & Hasiyah S. 1992. Tanaman Obat Famili
Zingiberaceae. Seri Pengembangan No. 17 Tahun 1992. Dhaliwal JS, Balasubramaniam T, Quek CK, Gill HK, & Nasuruddin BA. 1995.
Reference range for lymphocyte subsets in a defined Malaysian population. Singapore Med J, 36:288-291.
89
DiMeglio DP, Mattes RD. 2000. Liquid versus solid carbohydrate: effects on food intake and body weight. Int J Obes Relat Metab Disord, 24:794–800.
Dwiriani CM, Dewi M, & Januwati M. 2010. Efikasi ekstrak temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan aktif xanthorrhizol (0.05%) untuk meningkatkan populasi limfosit t (>10%) pada orang dewasa obes. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ekelund U, Neovius M, Linné Y, Brage S, Wareham NJ,& Rössner S. 2005.
Associations between physical activity and fat mass in adolescents: the Stockholm Weight Development Study. Am J Clin Nutr, 81:355– 60.
Engel JF, RD Blackwell, dan PW Miniard. 1995. Perilaku Konsumen Jilid 2 (2nd
ed.). (FX Budiyanto, penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara. Fatmah. 2006. Respon imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut.
MAKARA, Kesehatan, 10(1): 47-53. French SA, Jeffery RW, Forster JL, McGovern PG, Kelder SH, & Baxter JE.
1994. Predictors of weight change over two years among a population of working adults: the Healthy Worker Project. Int J Obes Relat Metab Disord, 18:145–54.
Gie L. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Gitawati R & Handayani RS. 2008. Profil konsumen obat tradisional terhadap
ketanggapan akan adanya efek samping obat tradisional. Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan, 11(3): 283 - 288. [terhubung berkala] http://apotekputer.com/ma/index.php?option=com_content&task=view&id=139&Itemid=63 [16 Oktober 2011]
Gomez R, Lago F, Gomez-Reino J, Dieguez C, & Gualillo O. 2009. Adipokines
in the skeleton: influence on cartilage function and joint degenerative diseases. Journal of Molecular Endocrinology. 43, 11–18
Hardinsyah, Briawan D, Rimbawan, Sulaeman A, & Aries M. 2009. Uji
Preferensi, Nilai Antioksidan, dan Indeks Glikemik serta Pengaruh Stamina dari Konsumsi Sari dan Buah Kurma. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Hargono D. 1985. Prospek Pemanfaatan Temulawak. Dalam Prosiding
Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.
Harun SR, Putra ST, Chair I, & Sastroasmoro S. 2008. Uji Klinis. Dalam Dasar-
dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-3 (Sastroasmoro S dan Ismael S, Eds). Jakarta: CV Sagung Seto.
90
Hendarini AT. 2011. Persepsi masyarakat terhadap manfaat kesehatan dan pengembangan produk minuman fungsional dari ekstrak daun hantap (Sterculia oblongata R.Brown) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hennekens CH & Buring JE. 1997. Epidemiology in Medicine. Boston, USA:
Little Brown and Company. Herman AS. 1985. Berbagai Macam Penggunaan Temulawak dalam Makanan
dan Minuman. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.
Huang MT, Lysz T, Ferraro T, Abidi TF, Laskin JD, & Conney AH. 1991.
Inhibitory effects of kurkumin on in vitro lipoxygenase and cyclooxygenase activities in mouse epidermis. Cancer Research, 51(3): p. 813-9.
Istafid W. 2006. Visibility studi minuman instan ekstrak temulawak dan ekstrak
mengkudu sebagai minuman kesehatan. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.
Karo-Karo U. 2009. Pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) untuk
pengobatan sendiri dan pengembangan usaha di Kelurahan Tanah 600 Kecamatan Medan Marelan. [Tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
Kennedy J. 2005. Herb and supplement use in the US adult population.
J.Clinthera, 27(11): 1847-58. [terhubung berkala] http://linkinghub.else- vier.com [20 Oktober 2011]
Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka. Kertia N, Sudarsono, Imono AD, Mufrod, Catur E, Rahardjo P, & Asdie AH.
2005. Pengaruh pemberian kombinasi minyak atsiri temulawak dan ekstrak kunyit dibandingkan dengan piroksikam terhadap angka leukosit cairan sendi penderita dengan osteoartritis lutut. Majalah Farmasi Indonesia, 16(3):155 - 161. [terhubung berkala] http://mfi.farmasi.ugm. ac.id/files/news/5._16-3-2005-sudarsono.pdf [4 Maret 2011]
Khomsan A. 2000. Metode Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kim AJ, Kim YO, Shim JS, & Hwang JK. 2007. Immunostimulating Activity of
Crude Polysaccharide Extract Isolated from Curcuma xanthorrhixa Roxb. Biosci. Biotechnol. Biochem, 71 (6), 1428-1438
91
Kimura M, Tanaka S, Isoda F, Sekigawa K, Yamakawa T & Sekihara H. 1998. T lymphopenia in obese diabetic (db/db) mice is nonselective and thymus independent. Life Sci. 62, 1243 – 1250.
Komisi Penaggulangan AIDS. 2009. Situasi HIV dan AIDS di Indonesia.
[terhubung berkala] http://www.icaap9.org/uploads/200907281232220. OUTLINE-Analisis%20Situasi%20HIV%20dan%20AIDS%20di%20Indo nesia.pdf. [4 Maret 2011]
Kosim L, Priosoeryanto BP, & Purwakusumah ED. 2007. Potensi Temulawak
Testandar Untuk Menanggulangi Flu Burung. Laporan penelitian. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB.
Kuntorini EM. 2005. Botani ekonomi suku zingiberaceae sebagai obat tradisional
oleh masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. BIOSCIENTIAE, Volume 2, Nomor 1, Januari 2005 [terhubung berkala] http://bioscientiae.tripod.com. [27 April 2011]
Kurniawan DA. 2002. Analisis perilaku dan preferensi konsumen minuman
ringan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) (Studi kasus di PD Nanjung, Bogor) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kvaavik E, Andersen LF, & Klepp KI. 2005. The stability of soft drinks intake
from adolescence to adult age and the association between long-term consumption of soft drinks and lifestyle factors and body weight. Public Health Nutr, 8:149 –57.
Lamas O, Marti A, & Martinez JA. 2002. Obessity and immunocompetence.
European Journal of Clinical Nutrition, 56, Suppl 3, S42–S45. Lee SK, Hong CH, Huh SK, Kim SS, Oh OJ, Min HY, Park KK, Chung WY, &
Hwang JK. 2002. Suppressive effect of natural sesquiterpenoids on inducible cyclooxygenase (COX-2) and nitric oxide synthase (iNOS) activity in mouse macrophage cells. J Environ Pathol Toxicol Oncol. 21(2):141-8. [terhubung berkala] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12086400 [27 April 2011].
Materia Medika Indonesia/MMI. 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Marcos A, Nova E & Montero A. 2003. Changes in the immune system are
conditioned by nutrition. European Journal of Clinical Nutrition, 57, Suppl 1, S66–S69.
Martí A, Marcos A, & Martínez JA. 2001. Obesity and immune function
relationships. obesity reviews, 2, 131–140
92
Matarese G. 2000. Leptin and the immune system: how nutritiomal status influences the immune response. European Cytokine Network, 11(1): 7–14.
Moelyono. 2007. Temulawak, ikon obat herbal Indonesia? [terhubung berkala]
http://blogs.unpad.ac.id/moelyono/2007/09/21/temulawak-ikon-obatherbal -indonesia/. [26 Juli 2011].
Nieman DC, Henson DA, Nehlsen-Cannarella SL, Ekkens M, Utter AC,
Butterworth DE & Fagoaga OR. 1999. Influence of obesity on immune function. J. Am. Diet. Assoc. 99, 294 – 299.
Oliveros H & Villamor E. 2008. Obesity and mortality in critically ill adults: A
systematic review and meta-analysis. Obesity. 16(3), 515 – 521. O’Shea D, Cawood TJ, O’Farrelly C, Lynch L. 2010. Natural killer cells in
obesity: Impaired function and increased susceptibility to the effects of cigarette smoke. PLoS ONE. 5(1): e8660.
Raben A, Vasilaras TH, Moller AC, Astrup A. 2002. Sucrose compared with
artificial sweeteners: different effects on ad libitum food intake and body weight after 10 wk of supplementation in overweight subjects. Am J Clin Nutr, 76:721–9.
Rahardjo M & Rostiana O. 2003. SOP budidaya jahe, kencur, kunyit dan
temulawak. Circular Balittro, No.16. 43h. Rahmat ES dan Setianingrum. 1999. Pengaruh Ekstrak Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) untuk Meningkatkan Nafsu Makan pada Penderita Anoreksia Primer [terhubung berkala] http://www.risbinkes.litbang.dep- kes.go.id/Buku%20laporan%20penelitian%201997-2006/21pengaruh_eks- trak_temu_lawak.htm. [26 Desember 2011].
Ria EB. 1989. Pengaruh jumlah pelarut, lama ekstraksi, dan ukuran bahan
terhadap rendemen dan mutu oleoresin temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Roitt IM & Delves PJ. 2001. Essential Immunology Tenth Edition. Massachusets,
USA: Blackwell Publishing Inc. Rusilanti. 2006. Aspek psiko social, aktivitas fisik, konsumsi makanan, status gizi,
dan pengaruh susu probiotik (Enterococcus faecium IS-27526) (MEDP) terhadap respon imun IgA lansia [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
93
Sastroasmoro S. 2008. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-3 (Sastroasmoro S dan Ismael S, Eds). Jakarta: CV Sagung Seto.
Sayed DM, EL-Attar MM, & Hussein AARM. 2009. Evaluation of flow
cytometric immunophenotyping and DNA analysis for detection of malignant cells in serosal cavity fluids. Cytopathol, 37 (7) : 498-504.
Sembiring BB, Ma’mun, Ginting EI. 2006. Pengaruh kehalusan bahan dan lama
ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bul. Littro. 17(2), 53–58.
Septina T, Purba M, & Hartriyanti Y. 2010. Studi validasi indeks massa tubuh dan
rasio lingkar pinggang panggul terhadap profil lipid pada pasien rawat jalan di Poli Jantung RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 7(1), 34–40.
Sidik, Mulayono MW, & Muhatdi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.). Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam.
Strandberg L. 2009. Interactions between nutrition, obesity, and the immune
system [Doctoral thesis]. Gothenburg, Sweden: Section of Endocrinology, Department of Physiology, institute of Neuroscience and Physiology, The Sahlgrenska Academy at the University of Gothenburg.
Suharyono AS. 2007. Efek Sinar Ultraviolet terhadap Kandungan Total Mikroba
dan Vitamin C Sari Buah Jeruk Nipis. Lampung: Jurusan Teknologi Pasca Panen, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. [terhubung berkala] uppmpolinela.files.wordpress.com/.../efek-sinar-ultraviolet-terhadap-kand- ungan-total-mikroba-dan-vita min-c-sari-buah-jeruk-nipis.doc [13 Agustus 2010]
Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam
Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sumiaty. 1997. Minuman berkhasiat dari temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suryati HA. 1985. Berbagai macam penggunaan temulawak dalam makanan dan
minuman. Dalam Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.
Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan dan jenis pelarut yang digunakan
pada pembuatan temulawak instan (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap rendemen dan mutunya [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
94
Taib G, Said G, & Wiraatmadja S. 1987. Operasi Pengeringan pada Pengolahan
Hasil Pertanian. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa. Tanaka MJ, Gryzlak BM, Zimmerman MB, NL Nisly & RB Wallace. 2008.
Patterns of natural herb use by Asian and Pacific Islanders. Ethnicity & Health, 13(2): 93-108
Taryono ME, Rachmat S, dan Sardina A. 1987. Plasma nutfah Tanaman Temu-
temuan dalam Pengembangan Penelitian Plasma Nutfah Tanaman Rempah dan Obat. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Kementerian Pertanian RI.
Tordoff MG & Alleva AM. 1990. Effect of drinking soda sweetened with
aspartame or high-fructose corn syrup on food intake and body weight. Am J Clin Nutr, 51:963–9.
Vander A, Sherman J, & Luciano D. 1998. Human Physiology: The Mechanism of
Body Function, 7th Edition. Boston, Massachusetts: McGraw-Hill Companies Inc.
[WHO] World Health Organization. 2003. WHO guidelines on good agricultural
and collection practices (GACP) for medicinal plants. Geneva: WHO. . 2010. Clinical features of severe cases of pandemic influenza Pandemic
(H1N1) 2009 briefing note 13 [terhubung berkala] http://www.who.int/csr /disease/swineflu/notes/h1n1_clinical_features_20091016/en/index.html [1 Agustus 2011]
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Womack J, Tien PC, Feldman J, Shin JH, Fennie K, Anastos K, Cohen MH,
Bacon MC, & Minkoff H. 2007. Obesity and immune cell counts in women. Metabolism, 56(7): 998–1004.
Yu Ch dan Ohlund B. 2010. Threats to validity of research design. [terhubung
berkala] http://www.creative-wisdom.com/teaching/WBI/threat.shtml [1 November 2011]
Yulianti NP. 2010. Pengaruh nisbah bahan baku-pelarut dan suhu ekstraksi
terhadap kandungan xanthorrhizol dalam oleoresin temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
95
LAMPIRAN
96
Kuesioner “PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK”
Isi atau lingkari jawaban yang sesuai
I. IDENTITAS 1. Nama Lengkap : 2. Jenis kelamin : (1) Laki-laki (2) Perempuan 3. Usia : ...................................(Tahun) 4. Pekerjaan : (1) Tenaga pendidik (2) Tenaga kependidikan 5. Pendidikan terakhir (termasuk yang tidak tamat pada masing-masing kategori) (1) Tidak Sekolah (2) SD (3) SLTP (4) SLTA (5) Perguruan Tinggi 6. Jumlah anggota keluarga: ...................................(orang) 7. Besar pendapatan per bulan (Rp): (1) <0,5 juta (2) 0,5 - 1 juta (3) 1 – 2 juta (4) > 2 juta 8. Alamat tempat tinggal : ...................................................... No Telp/Hp :....................................
II. PENGALAMAN MENGONSUMSI TEMULAWAK 1. Apakah Bapak/Ibu dan keluarga pernah mengonsumsi temulawak? (1) Ya (2) Tidak 2. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1 Apakah temulawak tersebut rutin dikonsumsi Bapak/Ibu dan keluarga? (1) Ya,...........kali per hari/minggu/bulan (2) Tidak 3. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 2 manfaat apakah yang dirasakan oleh Bapak/Ibu? (1) Tubuh terasa lebih segar (2) Nafsu makan meningkat (3) Jarang sakit (4) Tubuh jadi lebih gemuk (5) Tidak merasakan manfaat apapun (6) Lainnya,....................... 4. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, dalam bentuk apakah temulawak tersebut dikonsumsi
(1) Minuman/jus (2) Bagian dari bumbu masak (3) Jamu (4) Obat/kapsul 5. Lainnya,: ………… 5. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, dari manakah Bapak/Ibu memperoleh Temulawak tersebut?
(1) Tanaman sendiri (2) Pasar tradisonal/warung (3) Supermarket (4) Toko obat (5) Penjaja (6) Lainnya, sebutkan : ............
6. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, apakah Bapak/Ibu menemui kesulitan dalam mendapatkan temulawak? (1) Ya (2) Tidak 7. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 1, apa tujuan Bapak/Ibu & keluarga mengonsumsi/menggunakan temulawak? (1) Membuat makanan/masakan lebih enak (2) Menjaga kesehatan (3) Upaya pengobatan (4) Lainnya,................................ 8. Jika ada produk baru yang terbuat dari temulawak, bentuk produk apakah yang diharapkan oleh Bapak/Ibu? (1) Minuman instan (2) Permen/camilan (3) Jamu (4) Obat/kapsul (5) Lainnya,................. 9. Jika ada produk baru yang terbuat dari temulawak, apakah Bapak/Ibu mau mengonsumsinya? (1) Ya (2) Tidak 10. Bila Ya jawaban pertanyaan no. 8, alasan apa yang membuat Bapak/Ibu mau mengonsumsi produk tersebut?
(1) Rasa temulawak yang khas (2) Manfaat kesehatannya (3) Lainnya,.................... III. PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK
1. Apakah Bapak/Ibu tahu bahwa temulawak bermanfaat bagi kesehatan? (1) Ya (2) Tidak 2. Dari manakah Bapak/Ibu tahu tentang manfaat kesehatan temulawak tersebut?
(1) Koran/majalah (Media Cetak) (2) Radio (3) Televisi (4) Keluarga/teman (5) Seminar (6) Jurnal ilmiah (7) Lainnya,......................................
Untuk pertanyaan No. 3 – 18 cukup pilih jawaban “Ya” atau “Tidak” 3. Temulawak bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan. 4. Temulawak bermanfaat untuk memperlancar buang air besar. 5. Temulawak bermanfaat untuk menurunkan demam. 6. Temulawak bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan tubuh. 7. Temulawak bermanfaat untuk mempercepat proses penyembuhan luka. 8. Temulawak bermanfaat untuk mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin/melahirkan. 9. Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit maag. 10.Temulawak bermanfaat untuk mengobati penyakit ginjal. 11.Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit kencing. 12.Temulawak bermanfaat untuk mengobati gatal-gatal atau eksim. 13.Temulawak bermanfaat untuk mengobati peradangan dalam perut maupun kulit. 14.Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit perut. 15.Temulawak bermanfaat untuk mengobati sakit hati/penyakit kuning. 16.Temulawak bermanfaat untuk mengobati malaria. 17.Temulawak memiliki manfaat kesehatan yang jauh lebih besar daripada ginseng. 18.Temulawak memiliki efek samping negatif yaitu meyebabkan kegemukan karena nafsu makan sangat tinggi.
Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak
Data yang dikumpulkan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian atas nama Muhammad Aries (NRP: I 151090011) pada Mayor Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, IPB.
Lampiran 1.
97
Lampiran 2.
Formulir Uji Organoleptik Produk Minuman Serbuk Temulawak Nama Panelis : Tanggal Pengujian : Jenis Kelamin : L / P Nama Produk : Minuman serbuk temulawak Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Minuman serbuk temulawak. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 dibawah ini yang tepat
menggambarkan persepsi Saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel
berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian
Hedonik Warna
Aroma
Rasa
Kekentalan
Keseluruhan
Komentar ..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
TERIMAKASIH
Amat Sangat Suka
Amat Sangat Tidak Suka
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Suka
Amat Sangat Tidak Suka
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Suka
Amat Sangat Tidak Suka
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Suka
Amat Sangat Tidak Suka
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Suka
Amat Sangat Tidak Suka
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
98
Formulir Uji Organoleptik Produk Minuman Serbuk Temulawak Nama Panelis : Tanggal Pengujian : Jenis Kelamin : L / P Nama Produk : Minuman serbuk temulawak Dihadapan Saudara/i disajikan sampel produk Minuman serbuk temulawak. Anda diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Beri tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 dibawah ini yang tepat
menggambarkan persepsi Saudara/i 2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Anda menilai sampel
berikutnya 3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Anda melakukan penilaian
Mutu Hedonik
Warna
Aroma
Rasa
Kekentalan
Keseluruhan
Komentar ..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
TERIMAKASIH
Amat Sangat Segar
Amat Sangat Tidak Segar
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Terang
Amat Sangat Gelap
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Kental
Amat Sangat Encer
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Manis
Amat Sangat Pahit
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
Amat Sangat Enak
Amat Sangat Tidak Enak
Biasa1 2 3 4 5 6 7 8 9
99
Lampiran 3. Contoh lembar hasil analisis limfosit Lembar 1.
100
Lembar 2.
101
Lembar 3.
102
Lampiran 4. Berbagai hasil pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 13.00 for Windows Hasil uji validitas dan reabilitas kuesioner survei pengetahuan mengenai manfaat
kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan
Case Processing Summary
N % Cases Valid 79 100.0
Excluded(a) 0 .0 Total 79 100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.799 16
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
NMKAN 7.20 12.548 .472 .787 BAB 7.47 12.355 .313 .795 DEMAM 7.63 12.517 .250 .800 TAHAN 7.22 12.504 .464 .786 LUKA 7.75 11.909 .456 .784 SALIN 7.47 11.534 .573 .775 MAAG 7.57 11.453 .574 .774 GINJL 7.78 11.812 .505 .780 KENC 7.68 11.886 .445 .785 EKSIM 7.78 11.658 .557 .776 RADNG 7.56 11.455 .575 .774 PERT 7.47 11.739 .506 .780 HATI 7.54 11.815 .463 .783 MLR 7.85 12.515 .307 .794 GINS 7.90 13.554 -.020 .813 GEMK 7.65 13.360 .012 .817
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
8.10 13.656 3.695 16
103
Hasil uji chi-square antara karakteristik subjek (jenis kelamin dan tingkat pendidikan) dengan skor pengetetahuan manfaat kesehatan temulawak yang
didasarkan pada kepercayaan
Jenis kelamin dan skor pengetahuan Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent KATSKOR * JK 76 100.0% 0 .0% 76 100.0%
KATSKOR * JK Crosstabulation
21 22 43
56.8% 56.4% 56.6%
8 11 19
21.6% 28.2% 25.0%
8 6 14
21.6% 15.4% 18.4%
37 39 76
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% within JK
Count
% within JK
Count
% within JK
Count
% within JK
< 60
> 80
60 - 80
KATSKOR
Total
1 2
JK
Total
Chi-Square Tests
.731a 2 .694
.733 2 .693
76
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
0 cells (.0%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is 6.82.
a.
Tingkat pendidikan dan skor pengetahuan
Case Processing Summary
76 100.0% 0 .0% 76 100.0%KATSKOR * KELPDDKN Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
104
KATSKOR * KELPDDK Crosstabulation
28 15 43
70.0% 41.7% 56.6%
5 14 19
12.5% 38.9% 25.0%
7 7 14
17.5% 19.4% 18.4%
40 36 76
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% within KELPDDK
Count
% within KELPDDK
Count
% within KELPDDK
Count
% within KELPDDK
< 60
> 80
60 - 80
KATSKOR
Total
1 2
KELPDDK
Total
Chi-Square Tests
8.005a 2 .018
8.221 2 .016
76
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
0 cells (.0%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is 6.63.
a.
Hasil uji beda skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan
Antar kelompok jenis kelamin
Group Statistics
37 57.002 28.3174 4.6554
39 58.042 25.7650 4.1257
JK1
2
SKORN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
.533 .468 -.168 74 .867 -1.0395 6.2048 -13.4029 11.3239
-.167 72.429 .868 -1.0395 6.2204 -13.4384 11.3594
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
SKORF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
105
Antar kelompok tingkat pendidikan
Group Statistics
40 49.091 26.3480 4.1660
36 66.919 24.5048 4.0841
KELPDDK1
2
SKORN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
.013 .909 -3.044 74 .003 -17.8283 5.8566 -29.4978 -6.1588
-3.056 73.913 .003 -17.8283 5.8340 -29.4530 -6.2036
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
SKORF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Antar kelompok dengan kebiasaan/rutinitas mengonsumsi temulawak
Group Statistics
16 62,500 23,9087 5,9772
43 56,660 27,6907 4,2228
RUTIN11
2
SKORN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
,190 ,665 ,746 57 ,459 5,8404 7,8327 -9,8443 21,5251
,798 30,956 ,431 5,8404 7,3184 -9,0864 20,7671
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
SKORF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
106
Hasil uji ANOVA minuman instan temulawak
Descriptives
32 6,131 1,8177 ,3213 5,476 6,787 2,5 9,0
32 5,984 1,4019 ,2478 5,479 6,490 3,4 9,0
32 5,116 1,6294 ,2880 4,528 5,703 2,0 8,0
32 4,994 1,7827 ,3151 4,351 5,636 2,5 8,0
128 5,556 1,7228 ,1523 5,255 5,858 2,0 9,0
32 4,475 1,9877 ,3514 3,758 5,192 ,0 9,0
32 4,663 2,2737 ,4019 3,843 5,482 ,0 9,0
32 4,413 1,8990 ,3357 3,728 5,097 ,0 9,0
32 4,894 1,9341 ,3419 4,196 5,591 ,0 8,5
128 4,611 2,0137 ,1780 4,259 4,963 ,0 9,0
32 3,838 1,9727 ,3487 3,126 4,549 1,4 8,2
32 4,572 1,8796 ,3323 3,894 5,250 ,0 8,0
32 5,181 1,5849 ,2802 4,610 5,753 1,7 9,0
32 5,953 1,3942 ,2465 5,450 6,456 3,0 8,5
128 4,886 1,8737 ,1656 4,558 5,214 ,0 9,0
32 5,891 1,9106 ,3378 5,202 6,579 2,2 9,0
32 5,247 1,4274 ,2523 4,732 5,761 2,4 8,0
32 4,850 1,8437 ,3259 4,185 5,515 1,0 9,0
32 5,213 1,7641 ,3119 4,576 5,849 2,0 9,0
128 5,300 1,7662 ,1561 4,991 5,609 1,0 9,0
32 4,494 1,8828 ,3328 3,815 5,173 ,0 7,5
32 4,875 1,6662 ,2945 4,274 5,476 ,0 7,0
32 5,247 1,5764 ,2787 4,679 5,815 ,0 7,5
32 5,803 1,7314 ,3061 5,179 6,427 ,0 8,0
128 5,105 1,7654 ,1560 4,796 5,413 ,0 8,0
32 4,8344 1,32749 ,23467 4,3558 5,3130 2,24 7,10
32 5,0075 1,03109 ,18227 4,6358 5,3792 3,20 7,00
32 4,9481 1,08108 ,19111 4,5584 5,3379 3,00 7,40
32 5,4013 1,05465 ,18644 5,0210 5,7815 3,46 7,30
128 5,0478 1,13680 ,10048 4,8490 5,2466 2,24 7,40
1
2
3
4
Total
1
2
3
4
Total
1
2
3
4
Total
1
2
3
4
Total
1
2
3
4
Total
1
2
3
4
Total
warna
aroma
rasa
kekentalan
keseluruhan
bobot keseluruhan
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
ANOVA
32,783 3 10,928 3,937 ,010
344,172 124 2,776
376,955 127
4,496 3 1,499 ,364 ,779
510,489 124 4,117
514,985 127
77,567 3 25,856 8,705 ,000
368,288 124 2,970
445,855 127
17,978 3 5,993 1,965 ,123
378,182 124 3,050
396,160 127
29,889 3 9,963 3,376 ,021
365,928 124 2,951
395,817 127
5,825 3 1,942 1,521 ,212
158,298 124 1,277
164,123 127
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
warna
aroma
rasa
kekentalan
keseluruhan
bobot keseluruhan
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
107
Uji lanjut Duncan
warna
Duncana
32 4,994
32 5,116
32 5,984
32 6,131
,770 ,725
perlak14
3
2
1
Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displa
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.a.
aroma
Duncana
32 4,413
32 4,475
32 4,663
32 4,894
,395
perlak13
1
2
4
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displaye
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.a.
rasa
Duncana
32 3,838
32 4,572 4,572
32 5,181 5,181
32 5,953
,091 ,160 ,076
perlak11
2
3
4
Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are disp
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.a.
kekentalan
Duncana
32 4,850
32 5,213 5,213
32 5,247 5,247
32 5,891
,396 ,146
perlak13
4
2
1
Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are disp
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.a.
keseluruhan
Duncana
32 4,494
32 4,875
32 5,247 5,247
32 5,803
,100 ,198
perlak11
2
3
4
Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.a.
bobot keseluruhan
Duncana
32 4,8344
32 4,9481
32 5,0075
32 5,4013
,068
perlak11
3
2
4
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000.a.
108
Hasil uji normalitas (one sample Kolmogorov-Smirnov) untuk seluruh variabel yang diamati dalam uji klinis
Descriptive Statistics
21 62.48 9.923 44 78
21 1746.24 569.879 1048 3020
21 36.10 8.390 22 50
21 989.95 285.654 593 1551
21 2773.86 660.793 1677 4161
21 23.14 7.143 10 37
21 659.48 303.164 247 1528
21 14.24 3.534 8 20
21 388.14 121.294 171 659
21 25.90 11.296 10 46
21 714.90 346.635 304 1462
21 63.86 11.051 42 79
21 1859.14 682.256 959 3113
21 37.57 9.516 24 56
21 1078.81 399.878 489 1963
21 2874.19 755.405 1734 4254
21 20.90 6.139 9 34
21 615.62 279.377 235 1347
21 11.62 2.655 7 17
21 328.38 97.523 149 530
21 23.62 9.129 13 40
21 663.86 274.692 326 1337
sel T%_1
sel T#_1
cd4+%_1
cd4+#_1
limfosit#_1
cd8+%_1
cd8+#_1
sel B%_1
sel B#_1
sel_nk%_1
sel_nk#_1
sel T%_2
sel T#_2
cd4+%_2
cd4+#_2
limfosit#_2
cd8+%_2
cd8+#_2
sel B%_2
sel B#_2
sel_nk%_2
sel_nk#_2
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
One sample kolmogorov-smirnov test
sel
T%_1 sel
T#_1 cd4+ %_1 cd4+#_1 limf#_1
cd8+ %_1
cd8+#_1
sel B%_1
sel B#_1
sel_ nk%_1
sel_ nk#_1
N 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21
Normal Parameters(a,b)
Mean 62.48
1746.24
36.10 989.95 2773.8
6 23.14 659.48 14.24
388.14
25.90 714.90
Std. Deviation
9.923 569.87
9 8.390 285.654
660.793
7.143 303.164 3.534 121.2
94 11.296
346.635
Most Extreme Differences
Absolute .132 .110 .170 .140 .084 .127 .118 .146 .120 .138 .145
Positive .114 .109 .170 .140 .074 .127 .118 .146 .120 .138 .145
Negative -.132 -.110 -.128 -.104 -.084 -.090 -.107 -.142 -.080 -.113 -.118
Kolmogorov-Smirnov Z .607 .505 .779 .644 .383 .582 .541 .669 .548 .634 .662
Asymp. Sig. (2-tailed) .855 .961 .578 .802 .999 .887 .932 .763 .925 .816 .773
sel
T%_2 sel
T#_2 cd4+ %_2
cd4+#_2 limf#_2
cd8+ %_2
cd8+#_2
sel B%_2
sel B#_2
sel_ nk%_2
sel_ nk#_2
N 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21
Normal Parameters(a,b)
Mean 63.86 1859.14
37.57
1078.81 2874.19 20.90 615.62 11.62 328.38 23.62 663.8
6 Std.
Deviation11.051 682.256
9.516
399.878 755.405 6.139 279.377 2.655 97.523 9.129 274.6
92Most Extreme Differences
Absolute .129 .180 .102 .119 .111 .125 .111 .205 .223 .226 .175
Positive .085 .180 .102 .119 .111 .074 .111 .205 .223 .226 .175
Negative -.129 -.135 -.098 -.073 -.086 -.125 -.087 -.122 -.097 -.133 -.109
Kolmogorov-Smirnov Z .593 .824 .467 .547 .511 .574 .510 .939 1.020 1.034 .803
Asymp. Sig. (2-tailed) .874 .505 .981 .925 .957 .897 .957 .341 .249 .236 .540
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
109
Hasil uji beda untuk seluruh variabel yang diamati dalam uji klinis
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Umur 21 29 54 44.10 6.457 imt 21 27.57 35.65 31.1481 2.28028 sel T%_1 21 44 78 63.62 9.421 sel T#_1 21 1056 3020 1823.71 580.700 cd4+%_1 21 22 50 37.29 7.773 cd4+#_1 21 613 1592 1037.52 299.110 limfosit#_1 21 1677 4161 2847.67 683.937 cd8+%_1 21 10 37 23.43 7.173 cd8+#_1 21 247 1528 685.14 309.428 sel B%_1 21 8 20 14.57 3.443 sel B#_1 21 171 663 408.76 129.586 sel_nk%_1 21 10 46 25.00 10.507 sel_nk#_1 21 304 1462 712.67 344.890 sel T%_2 21 42 79 63.86 11.051 sel T#_2 21 959 3113 1859.14 682.256 cd4+%_2 21 24 56 37.57 9.516 cd4+#_2 21 489 1963 1078.81 399.878 limfosit#_2 21 1734 4254 2874.19 755.405 cd8+%_2 21 9 34 20.90 6.139 cd8+#_2 21 235 1347 615.62 279.377 sel B%_2 21 7 17 11.62 2.655 sel B#_2 21 149 530 328.38 97.523 sel_nk%_2 21 13 40 23.62 9.129 sel_nk#_2 21 326 1337 663.86 274.692 Valid N (listwise) 21
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error
Mean Pair 1 sel T%_1 63.62 21 9.421 2.056 sel T%_2 63.86 21 11.051 2.412 Pair 2 sel T#_1 1823.71 21 580.700 126.719 sel T#_2 1859.14 21 682.256 148.881 Pair 3 cd4+%_1 37.29 21 7.773 1.696 cd4+%_2 37.57 21 9.516 2.077 Pair 4 cd4+#_1 1037.52 21 299.110 65.271 cd4+#_2 1078.81 21 399.878 87.261 Pair 5 limfosit#_1 2847.67 21 683.937 149.247 limfosit#_2 2874.19 21 755.405 164.843 Pair 6 cd8+%_1 23.43 21 7.173 1.565 cd8+%_2 20.90 21 6.139 1.340 Pair 7 cd8+#_1 685.14 21 309.428 67.523 cd8+#_2 615.62 21 279.377 60.965 Pair 8 sel B%_1 14.57 21 3.443 .751 sel B%_2 11.62 21 2.655 .579 Pair 9 sel B#_1 408.76 21 129.586 28.278 sel B#_2 328.38 21 97.523 21.281 Pair 10
sel_nk%_1 25.00 21 10.507 2.293
sel_nk%_2 23.62 21 9.129 1.992 Pair 11
sel_nk#_1 712.67 21 344.890 75.261
sel_nk#_2 663.86 21 274.692 59.943
110
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 sel T%_1 & sel T%_2 21 .851 .000 Pair 2 sel T#_1 & sel T#_2 21 .652 .001 Pair 3 cd4+%_1 & cd4+%_2 21 .801 .000 Pair 4 cd4+#_1 & cd4+#_2 21 .542 .011 Pair 5 limfosit#_1 & limfosit#_2 21 .594 .005 Pair 6 cd8+%_1 & cd8+%_2 21 .946 .000 Pair 7 cd8+#_1 & cd8+#_2 21 .850 .000 Pair 8 sel B%_1 & sel B%_2 21 .845 .000 Pair 9 sel B#_1 & sel B#_2 21 .535 .012 Pair 10 sel_nk%_1 & sel_nk%_2 21 .752 .000 Pair 11 sel_nk#_1 & sel_nk#_2 21 .725 .000
Paired Samples Test
-.238 5.804 1.267 -2.880 2.404 -.188 20 .853
-35.429 534.775 116.697 -278.855 207.998 -.304 20 .765
-.286 5.693 1.242 -2.877 2.306 -.230 20 .820
-41.286 346.035 75.511 -198.799 116.228 -.547 20 .591
-26.524 651.687 142.210 -323.168 270.121 -.187 20 .854
2.524 2.421 .528 1.422 3.626 4.777 20 .000
69.524 163.846 35.754 -5.058 144.106 1.944 20 .066
2.952 1.857 .405 2.107 3.798 7.287 20 .000
80.381 113.003 24.659 28.943 131.819 3.260 20 .004
1.381 7.039 1.536 -1.823 4.585 .899 20 .379
48.810 238.706 52.090 -59.848 157.467 .937 20 .360
sel T%_1 - sel T%_2Pair 1
sel T#_1 - sel T#_2Pair 2
cd4+%_1 - cd4+%_2Pair 3
cd4+#_1 - cd4+#_2Pair 4
limfosit#_1 - limfosit#_Pair 5
cd8+%_1 - cd8+%_2Pair 6
cd8+#_1 - cd8+#_2Pair 7
sel B%_1 - sel B%_2Pair 8
sel B#_1 - sel B#_2Pair 9
sel_nk%_1 - sel_nk%Pair 10
sel_nk#_1 - sel_nk#_Pair 11
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)