PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

30
PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT Oleh : Rina Listyowati, S.SiT, M.Kes (197105292008122001) PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2019

Transcript of PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

Page 1: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA

KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT

Oleh :

Rina Listyowati, S.SiT, M.Kes (197105292008122001)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

Page 2: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

ii

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan YME atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik

itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan

pembuatan makalah sebagai salah satu komitmen penulis dalam memenuhi tugas Tri Darma

Perguruan Tinggi di Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas

Udayana dengan judul “Pengetahuan Dan Motivasi Dalam Penerapan Budaya Keselamatan

Pasien Di Rumah Sakit ”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih

banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan

kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi

makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini

penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak khususnya kepada pihak-pihak terkait, yang telah membimbing dalam menulis

makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Denpasar, Juli 2019

Penulis

Page 3: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

iii

DAFTAR ISI

COVER ……………………………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….iii

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI

RUMAH SAKIT ............................................................................................................................................ i

I. Pengetahuan ...................................................................................................................................... 1

II. Motivasi ........................................................................................................................................ 4

Supervisi Pelayanan Keperawatan ............................................................................................................ 6

III. Keselamatan Pasien ...................................................................................................................... 8

1. Sasaran keselamatan pasien .......................................................................................................... 9

2. Standar keselamatan pasien rumah sakit ....................................................................................... 9

3. Langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit ...................................................................... 10

4. Sembilan solusi live saving keselamatan pasien rumah sakit ..................................................... 11

5. Jenis Insiden keselamatan pasien ................................................................................................ 11

IV. Budaya Keselamatan Pasien ....................................................................................................... 12

1. Dimensi budaya keselamatan pasien ........................................................................................... 13

2. Manfaat penerapan budaya keselamatan pasien ......................................................................... 15

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien ................................ 16

4. Mengukur penerapan budaya keselamatan pasien ...................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 26

Page 4: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

1

PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN

PASIEN DI RUMAH SAKIT

I. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia terhadap obyek melalui indera yang

dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo,2010). Pengetahuan seseorang

tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek

ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang

diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu begitu juga

sebaliknya. Menurut teori WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), salah satu bentuk objek

kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah sesuatu

yang diketahui oleh seseorang melalui pengenalan sumber informasi, ide yang diperoleh

sebelumnya baik secara formal maupun informal.

Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat, mengingat kembali (recall) seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah tahap seseorang mampu untuk menjelaskan secara benar tentang objek

yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang

Page 5: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

2

telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada

kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata

kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu

suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang

ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran

pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket (kuesioner) yang menanyakan

tentang materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang

menurut Notoatmodjo (2010) yaitu :

Page 6: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

3

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan,

perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang

pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian mengenai

pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidikan

itu mempertinggi taraf intelegensi individu.

b. Media massa/ informasi

Perkembangan dan peredaran informasi di media massa sangat cepat dan tanpa batas.

Ditambah lagi pada zaman ini masyarakat dapat mengakses informasi dari mana saja dan

kapan saja. Perkembangan arus informasi ini tentu akan mempengaruhi tingkat

pengetahuan individu.

c. Usia

Usia menunjukkan lama seorang individu hidup dan berinteraksi dengan lingkungan.

Semakin tua usia seorang individu hal itu juga berarti semakin banyak informasi,

pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman yang didapatkannya melalui media massa,

bangku pendidikan, lingkungan maupun sosial budaya dan ekonomi. Selain itu individu

ang lebih tua lebih dianggap lebih berpengalaman dan dewasa daripada individu yang

lebih muda.

d. Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan), juga merupakan

kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera manusia. Pengetahuan yang

diperoleh dari pengalaman berdasarkan kenyataan yang pasti dan pengalaman yang

berulang-ulang dapat menyebabkan terbentuknya pengetahuan.

Page 7: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

4

e. Lingkungan

Lingkungan adalah faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan perilaku

individu. Dari lingkungan seorang individu akan belajar, melihat, mendengar, mendapat

pengalaman dan informasi yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan individu

tersebut.

f. Sosial budaya ekonomi

Sosial ekonomi sering dilihat untuk menilai tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini

karena hubungan sosial dan ekonomi berhungan erat dengan tingkat pendidikan,

pengalaman dan informasi yang diperoleh. Sedangkan kebudayaan berhubungan erat

dengan nilai dan norma dalam lingkungan individu yang akan mempengaruhi

kemampuannya untuk mengadopsi pengetahuan.

II. Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berarti to move, yang secara umum mengacu pada

adanya dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu dan dalam mempelajari

motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan (Quinn, 1995

dalam Notoatmojo 2010). Dalam buku John Elder (et,al) 1998 yang berjudul bagaimana

memotivasi perilaku sehat, motivasi didefinisikan sebagai interaksi antara pelaku dan

lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku

(Notoatmodjo, 2010). Menurut Supriyono (2010), motivasi adalah kemampuan untuk berbuat

sesuatu sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan untuk berbuat sesuatu.

Motivasi seseorang di pengaruhi oleh stimuli kekuatan, intrinsik yang ada pada individu yang

bersangkutan. Stimuli eksternal mungkin dapat pula mempengaruhi motivasi tetapi motivasi

itu sendiri mencerminkan reaksi individu terhadap stimuli tersebut. Rumusan lain tentang

Page 8: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

5

motivasi yang diberikan oleh Robbins (2006), yang dimaksud motivasi karyawan adalah

kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian,

yang dikondisi oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual

tertentu. Definisi lain tentang motivasi menurut Gray et-al (dalam Winardi, 2001)

menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau

eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan

persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Menurut Marquis dan Huston (2000), motivasi terbagi menjadi dua yaitu motivasi

instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik berasal dari dalam individu, merupakan

dorongan bagi individu untuk menjadi produktif. Motivasi instriksik berhubungan langsung

dengan cita-cita individu, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang ditingkatkan

melalui lingkungan pekerjaan atau penghargaan diberikan setelah pekerjaan sempurna.

Menurut Sardiman (2007), fungsi motivasi ada tiga, yaitu: mendorong manusia untuk

berbuat, menentukan arah perbuatan dan menyeleksi perbuatan. Sedangkan menurut Hamalik

(2000) ada tiga fungsi motivasi, yaitu: mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan,

sebagai pengarah kepada pencapaian tujuan yang diinginkan,dan seebagai penggerak yang

akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjan dilakukan.

Menurut Taufik (2002) secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah

untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya

untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil dan atau mencapai tujuan

tertentu. Untuk tenaga kesehatan motivasi diperlukan untuk meningkatkan kulaitas

kinerjanya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada keselamatan

pasien. Robbins (2006) menjelaskan bahwa motivasi dapat digunakan sebagai strategi untuk

Page 9: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

6

meningkatkan kinerja karyawan atau bawahan. Sebab efektifitas karyawan dengan asumsi

mereka memiliki peluang untuk kinerja yang baik dan memiliki kemampuan yang diperlukan

tergantung pada motivasi. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil apabila tujuan jelas

dan didasari oleh orang yang di motivasi. Oleh karena itu setiap orang yang akan

memberikan motivasi harus mengenal dan memahami benar-benar latar belakang kehidupan,

kebutuhan serta keribadian orang yang akan dimotivasi. (Taufik, 2002).

III. Supervisi Pelayanan Keperawatan

Terdapat 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (change

agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan (direction),

pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies, 1994). Supervisi

keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima supervisi (supervisee) dan komponen

dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm, 2009). Dimana kegiatan supervisi dilaksanakan

untuk pemantauan (monitoring), bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang masalah-

masalah pribadi, profesional, dan perkembangan pendidikan dalam konteks pelayanan

kesehatan yang aman bagi pasien (Kilminster, 2000).

Supervisi pelayanan keperawatan merupakan kegiatan dinamis yang bertujuan untuk

meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor

atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa

pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Dalam kegiatannya interaksi dan

komunikasi professional antara supervisor keperawatan dan perawat pelaksana mencakup

bimbingan, dukungan, bantuan dan kepercayaan, sehingga perawat pelaksana dapat

memberikan asuhan yang aman kepada pasien (Halpern & McKimm 2009 dan Suyanto,

2008).

Page 10: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

7

Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian

yang bertanggung jawab antara lain:

a. Kepala ruangan

Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan

yang diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya.

b. Pengawas keperawatan

Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungsional

mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab mengawasi jalannya

pelayanan keperawatan.

c. Kepala bidang keperawatan

Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab

untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala bidang

keperawatan memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal mungkin kondisi

kerja yang aman dan nyaman, efektif, dan efisien. Pada intinya, tugas dari supervisor

keperawatan yang terdiri atas kepala ruangan, pengawas keperawatan dan kepala bidang

keperawatan adalah mengorientasikan, melatih, dan memberikan pengarahan kepada

perawat pelaksana dalam pelaksanaan tugas. Tujuan memberikan pelayanan bimbingan

dalam memberikan asuhan keperawatan dan juga hal terkait keselamatan pasien agar

perawat yang disupervisi menyadari, mengerti terhadap peran dan fungsi sebagai

pelaksana asuhan keperawatan yang aman.

Kegiatan supervisi merupakan kegiatan dengan fokus peningkatan mutu dan kualitas

pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama. Agar tidak menyimpang dari tujuan, maka ada

Page 11: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

8

beberapa kompetensi yang harus dimiliki seorang supervisor (Arwani & Supriyatno, 2006)

diantaranya:

a. Kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk mengenai tugas dan tanggung jawab

perawat pelaksana.

b. Kemampuan memberikan saran dan bantuan

c. Kemampuan memberikan motivasi

d. Kemampuan memberikan latihan dan bimbingan/ sebagai contoh

e. Kemampuan dalam melakukan penilaian objektif terhadap penilaian kinerja

Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan pasien

menjadi bagian dari budaya organisasi) pemimpin mulai mengajak perawat untuk melihat,

percaya, bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai

kolektif dan memakai nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk

kebiasaan dan perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didukung

oleh penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan efektif oleh

kepala ruang dengan penerapa budaya keselamatan pasien (Setiowati, 2010).

IV. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan

merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien

lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar

dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya

risiko (Depkes RI, 2008).

Page 12: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

9

Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan yang

diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan keamanan

tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan.

Adapun tujuan program keselamatan pasien adalah untuk terciptanya budaya

keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah sakit , menurunnya

kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC) dan kejadian nyaris cedera

(KNC) dan terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan

kejadian tidak diharapkan (Depkes RI, 2008).

1. Sasaran keselamatan pasien

Terdapat enam sasaran keselamatan pasien yang meliputi: melakukan identifikasi pasien

secara tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan penggunaan

obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, mengurangi risiko salah

lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi, mengurangi risiko infeksi nosokomial,

mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh (Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB IV

Pasal 8 ayat 2).

2. Standar keselamatan pasien rumah sakit

Standar keselamatan pasien yag disusun ini mengacu pada “Hospital Patient Safety

Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health

Organization pada tahun 2002 yang telah disesuaikan dengan kondisi perumahsakitan di

Indonesia. Standar keselamatan pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya

dilakukan dengan instrument akreditasi rumah sakit.

Adapun standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar (Depkes RI, 2008)

yaitu :

Page 13: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

10

a. Hak pasien

b. Mendidik pasien dan keluarga

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan

program peningkatan keselamatan pasien

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

g. Komunikasi sebagai kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

3. Langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit

Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses

baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui

pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk

meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit dalam Permenkes No 1961 Tahun

2011, BAB V Pasal 9 ayat 2 antara lain :

a. Membangun budaya keselamatan pasien

b. Pimpinan dan dukungan terhadap staf

c. Integrasi aktivitas manajemen risiko

d. Membangun sistem pelaporan

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik

f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien

g. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian

Page 14: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

11

4. Sembilan solusi live saving keselamatan pasien rumah sakit

Pada tgl 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre for Patient Safety resmi menerbitkan

panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi Keselamatan Pasien

Rumah Sakit). Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sebagai berikut:

a. Perhatikan Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM)/ Look-Alike, Sound-Alike

Medication Names (LASA)

b. Pastikan identifikasi pasien

c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien

d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar

e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated)

f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan

g. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube)

h. Gunakan alat injeksi sekali pakai

i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial

5. Jenis Insiden keselamatan pasien

Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah

menurut (Permenkes No 1961, BAB I Pasal 1 ayat 3-7) yaitu:

a. Kejadian potensial cedera (KPC)

KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk

menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.

b. Kejadian nyaris cidera (KNC)

KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang nyaris terjadi/ terpapar pada

pasien.

Page 15: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

12

c. Kejadian tidak cedera (KTC)

KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien akan

tetapi tidak timbul cedera.

d. Kejadian tidak diharapkan (KTD)

Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau

komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya cedera pada

pasien dan atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen medis dan

bukan karena penyakit yang diderita.

e. Kejadian sentinel

Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera serius

bahkan kematian terhadap pasien.

V. Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf

sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak bermasalah. Staf dan organisasi yang

mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau mengambil tindakan untuk

mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan (National Patient

Safety Agency (NPSA), 2004).

Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan

organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk

meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses

perawatan (Fleming 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki karakteristik

bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang pentingnya

keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun

Page 16: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

13

organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan

pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (NSPA, 2004).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien

merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang terbuka, adil,

informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya

keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur

dengan kuesioner.

Budaya keselamatan pasien mencakup banyak elemen dalam pelayanan kesehatan

dimana elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada perilaku dan kepercayaan staf yang

meningkat dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan (Jones et.al, 2007 dalam Keresna

Putra, 2015). Menurut The Institute of Medicine (IOM) budaya keselamatan pasien

membutuhkan tiga elemen penting. Elemen tersebut yaitu kepercayaan, komitmen dan

lingkungan kerja.

1. Dimensi budaya keselamatan pasien

James Reason dalam NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan pasien

dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:

a. Budaya keterbukaan (open culture)

Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi

antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa

nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu

terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan.

Komunikasi terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut

perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks

Page 17: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

14

keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien

yang potensial terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan

kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah

terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko

terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap informasi yang

berhubungan dengan keselamatan pasien.

b. Budaya pelaporan (reporting culture)

Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan

keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang

dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang

terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi.

Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi

lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan.

Menciptakan program evaluasi atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan

laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah

nyata dalam membangun dimensi budaya ini.

c. Budaya keadilan (just culture)

Perawat saling memperlakukan secara adil antar perawat ketika terjadi insiden, tidak

berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara

sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu

mendapat perhatian adalah keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan

dampak hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan

organisasi bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat

Page 18: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

15

laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas

kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat

pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak

menyalahkan perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara

organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya

terhadap perawat untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat

diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi rasa takut

untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien.

d. Budaya pembelajaran (learning culture)

Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem

umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihan-

pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden

yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk

mempelajari insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna

mencegah terulangnya kesalahan.

2. Manfaat penerapan budaya keselamatan pasien

Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari

apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono,

2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan

budaya keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam

organisasi akan lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya

fokus terhadap programnya saja.

Page 19: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

16

Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain

(NPSA, 2004):

a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika

kesalahan terjadi.

b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan

berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari

insiden keselamatan pasien.

c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan

jika ada kesalahan.

d. Berkurangnya staf yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah

diperbuat.

e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden, pada

umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan

lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.

f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.

g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien

Menurut Cooper (2000), tentang Total Safety Culture, menyebutkan bahwa terdapat tiga

kelompok faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien, yaitu (Keresna Putra,

2014) :

a. Faktor Personal

Tenaga kesehatan sebagai seorang manusia, merupakan komponen utama yang

menjadi pelaksana budaya keselamatan pasien. Pelaksana ini dalam menerapkan

Page 20: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

17

budaya keselamatan pasien dipengaruhi oleh aspek-aspek personal seperti

pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian.

b. Faktor perilaku organisasi/ kondisi lingkungan kerja

Dalam menyusupkan budaya keselamatan pasien kedalam setiap diri dari staf rumah

sakit, maka organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya

keselamatan pasien tersebut. Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif,

organisasi harus mampu mengontrol faktor-faktor baik yang mendukung ataupun

yang melemahkan. Adapun faktor perilaku organisasi yang perlu dikontol agar

menciptakan kondisi lingkungan budaya keselamatan pasien antara lain :

kepemimpinan (direction, supervision, coordination), kewaspadaan situasi,

komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, kepemimpinan tim dan pengambilan

keputusan.

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit merupakan faktor yang

mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Ketersediaan dan kualitas

perlengkapan yang menunjang terciptanya budaya keselamatan pasien seperti

peralatan, mesin, standar prosedur operasional (SPO), kebersihan dan kondisi

bangunan yang baik, merupakan pendukung dalam proses pelaksanaan pelayanan

kesehatan. Dengan ketersediaan peralatan yang memadai dan berkualitas maka

rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar dan

tentunya berdampak positif terhadap keselamatan pasien.

Page 21: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

18

4. Mengukur penerapan budaya keselamatan pasien

Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan

instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang

dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) yang merupakan

suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk

peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan keselamatan pasien. Dalam

instrument tersebut terdapat 12 elemen penilaian yang dikembangkan untuk mengukur

budaya keselamatan pasien dari perspektif staf. Berikut penjelasan terkait instrument budaya

keselamatan pasien (Keresna Putra, 2015) :

a. Responden

Responden yang dapat mengisi instrument budaya keselamatan pasien adalah

seluruh jenis staf yang berada di pelayanan rumah sakit. Survey ini sangat cocok

dilakukan pada staf yang langsung bersentuhan dengan pasien (perawat, dokter, bidan,

radiologi dll), staf yang tidak langsung bersentuhan langsung dengan pasien namun

pelayanannya dapat mempengaruhi pasien (farmasi, analis laboratorium dll), pemimpin,

manajer dan petugas manajeman rumah sakit.

b. Dimensi pertanyaan

Survey budaya keselamatan pasien terdiri dari 12 elemen yang dibagi menjadi 2

kelompok yang dituangkan dalam 9 bagian dalam kuesioner. Adapun penjelasannya

sebagai berikut :

1) Kelompok outcome (hasil) yang terdiri dari 2 dimensi pertanyaan :

a) Keseluruhan persepsi tentang keselamatan pasien yang merupakan pendapat

subyektif kondisi keseluruhan budaya keselamatan pasien yang dirasakan

Page 22: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

19

ditempat kerjanya. Pendapat ini dituangkan dari angka 1-5, semakin besar angka

yang dipilih semakin baik persepsi tentang keselamatan pasien.

b) Frekuensi pelaporan kejadian/ insiden, merupakan jumlah pelaporan insiden yang

sudah pernah dilakukan yang diketahui oleh staf, dituangkan dalam angka 0

sampai tak terhingga dengan skoring 0 untuk 0 insiden, 1 untuk 1 insiden, 2 untuk

2 insiden dan seterusnya. Hal ini membuktikan kesadaran akan insiden dan

pelaporannya dalam unit masing-masing.

2) Kelompok budaya keselamatan, terdiri dari 10 dimensi pertanyaan yaitu :

a) Kerjasama tim dalam unit

b) Ekspektasi dan aksi pimpinan dalam mempromosikan keselamatan pasien

c) Proses belajar organisasi, perbaikan berkelanjtan

d) Dukungan manajemen rumah sakit dalam keselamatan pasien

e) Umpan balik dan komunikasi kejadian kesalahan

f) Keterbukaan organisasi

g) Kerjasama tim antar unit di rumah sakit

h) Staffing

i) Serah terima dan transisi

j) Respon tidak menyalahkan terhadap kejadian kesalahan

5. Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit

Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit sebagai syarat untuk diterapkan di

semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

Page 23: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

20

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari

WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh komite keselamatan pasien rumah

sakit (KKPRS PERSI), dan joint Commission International (JCI).

Maksud dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong peningkatan spesifik

dalam kesel amatan pasien. Sasaran ini menyoroti area bermasalah dalam pelayanan

kesehatan dan menguraikan tentang solusi atas consensus berbasis bukti dan keahlian

terhadap permasalahan ini. Dengan pengakuan bahwa desain/rancangan sistem yang

baik itu instrinsik/menyatu dalam pemberian asuhan yang aman dan bermutu tinggi,

tujuan sasaran umumnya difokuskan pada solusi secara sistem bila memungkinkan.

Ada Enam Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit:

a. Sasaran 1 : ketepatan identifikasi pasien

Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan

pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan kejadian error /kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien adalah pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi,

mengalami disorientasi atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat

tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitasi sensori

atau akibat situasi lain.

b. Sasaran 2 : peningkatan komunikasi yang efektif

Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami

oleh resipien/penerima akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan

peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan atau tertulis.

Komunikasi yang paling mudah mengalamikesalahan adalah perintah diberikan secara

lisan dan yangdiberikanmelalui telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan.

Page 24: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

21

Komunikasilain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil

pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayananpasien untuk

melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.

c. Sasaran 3 : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, makapenerapan

manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikankeselamatan pasien. Obat-

obatan yang perlu diwaspadai adalah obatyang persentasinya tinggi dalam

menyebabkan terjadinyakesalahan/error, obat yang beresiko tinggi menyebabkan

dampak yangtidak diinginkan, demikian pula obat-obat yang tampak

mirip/ucapanmirip. Daftar obat-obat yang sangat perlu diwaspadai tersedia di

WHO. Yang sering disebut dalam isu keamanan obat adalah

penerimaanelektrolit konsentrat secara tidak sengaja. Kesalahan ini bisa terjadi

bilastaf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bilaperawat

kontrak tidak diorientasi sebagaimana mestinya terhadap unitasuhan pasien atau

pada kegawatdaruratan. Cara yang paling efektifuntuk mengurangi atau

mengeliminasi kejadian tersebut adalah denganmengembangkan proses pengelolaan

obat-obat yang perlu diwaspadaitermasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari

unit pelayanan pasienke farmasi.

d. Sasaran 4 : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi

Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi adalah kejadian

yangmengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalahakibat dari

komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antaraanggota tim bedah,

Page 25: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

22

kurang/tidak melibatkan pasien didalam penandaan ntegrasi kulit yang menurun.

Program tersebut harus diterapkan dirumah sakit.

VI. Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah pola dasar asumsi, nilai dan keyakinan bersama Yang

dianggap sebagai cara berfikir dan bertindak yang tepat dalam menghadapi

masalah dan peluang organisasi (McShane,2003). Budaya organisasi yang kuat

membangun kesuksesan organisasi. (Gett, 2003) budaya organisasi memiliki tiga fungsi

(McShane, 2003):

a. Budaya organisasi adalah bentuk yang tertanam dan terkontrol social yang

mempengaruhi bagaimana pegawai mengambil keputusan dan berperilaku.

b. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat orang-orang dan membuat

mereka merasa menjadi bagian dari organisasi. Pegawai termotivasi untuk

mendalami budaya organisasi yang dominan karena hal tersebut memenuhi kebutuhan

identitas sosial mereka.

c. Budaya organisasi membantu proses nilai keputusan. Membantu pegawai mengerti

situasi organisasi. Mereka dapat menyelesa ikan tugas mereka ketimbang

menghabiskan waktu mencari tahu apa yang diharapkan dari mereka. Pegawai dapat

berkomunikasi dengan lebih efisien dan bekerja sama dengan baik karena

mempunyai model mental yang sama (Flemming 2005)

Page 26: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

23

VII. Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan adalah hasil akhir dari sikap, nilai, persepsi, kompetensi,

dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan keandalan

manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif

dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan adalah hasil akhir dari sikap, nilai, persepsi, kompetensi,

dan pola kebiasaan yang memberi gambaran komitmen, gaya dan keandalan

manajemen suatu organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif

dikarakterkan dengan komunikasi berdasarkan 14 kepercayaan, dengan bertukar persepsi

akan keselamatan dan oleh efektifnya langkah-langkah pencegah. Untuk mencapai

keselamatan pasien, dibutuhkan komunikan terbuka, kerja tim dan dukungan

lingkungan yang merupakan karakter dari budaya kelompok. Peningkatan keselamatan

pasien juga memerlukan perubahan organisasi, inovasi dan keberanian mengambil

resiko yang merupakan elemen dari budaya berkembang. (Singer et al, 2009)

sebaliknya meskipun budaya hirarki dan budaya rasional fokus pada hasil yang mem

bantu dalam pemeriksaan kesalahan dan prosedur keselamatan lainnya, ada elemen

yang tidak sesuai dengan tujuan positif keselamatan pasien. Disamping itu budaya

hirarki menghambat komunikasi dan keterbukaan untuk menunjang perubahan. Budaya

rasional yang m enitikberatkan pada hasil dan pencapaian dapat membawa organisasi

untuk fokus kepada produksi dan efisiensi sebagai penghamburan unsur keselamatan.

(Singer at al 2009).

Page 27: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

24

VIII. Model Budaya Keselamatan Pasien

Model DISC (Design for Integrated Safety Culture) menjelaskan unsur-unsur dari

suatu organisasi yang memiliki potensi baik untuk keselamatan pasien. Menurut model

DISC, organisasi memiliki potensi yang baik untuk keselamatan ketika memenuhi

kriteria sebagai berikut dalam kegiatan organisasi:

1. Keselamatan ada lah nilai utama dalam organisasi dalam mengambil keputusan dan

kegiatan sehari-hari

2. Keselamatan ini dipahami sebagai fenomena yang kompleks dan sistemik.

3. Bahaya dan persyaratan tugas dipahami secara menyeluruh.

4. Organisasi sadar dalam praktik pelayanan kesehatannya.

5. Tanggung jawab akan fungsi yang aman dari seluruh sistem. Keg Model DISC

menitikberatkan pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang keselamatan,

tugas utama diharapkan dan bahaya yang ada dalam sistem. Tanpa pemahaman

yang menyeluruh terhadap keselamatan dan risiko, organisasi bisa fokus pada

tantangan yang tidak relevan, membuat keputusan beresiko atau buta terhadap

ancaman baru. Model DISC juga menyatakan bahwa fungsi organisasi

tertentu diperlukan untuk mengembangkan taraf keselamatan yang tinggi

dalam suatu organisasi termasuk manajemen bahaya (seperti penilaian resiko,

sistem keselamatan dan alat pelindung diri), praktik manajemen kompetensi (seperti

kursus pelatihan teknologi tertentu atau pengobatan yang digunakan, mentoring

pendatang baru), pro-aktif mengembangkan keselamatan (seperti melaporkan

dan manganalisa insiden, penilaian organisasi berkala) dan praktek kerja manajemen

kondisi (seperti menilai kecukupan staf, dan memastikan peralatan yang diperlukan

Page 28: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

25

untuk kerja). (Machii et.al, 2011) Budaya keselamatan mempengaruhi keselamatan

pasien dengan memotivasi pegawai dalam memilih kebiasaan yang meningkatkan

dibanding yang menurunkan keselamatan pasien (Nieva and Sorra 2003).

6. Langkah pertama menuju keselamatan pasien adalah membangun budaya keselamatan

pasien. Singer et al (2003), mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen budaya keselamatan

pasien sebagai berikut:

a. Komitmen pemimpin akan keselamatan.

b. Sumber daya organisasi akan keselamatan pasien.

c. Prioritas keselamatan dibanding produksi.

d. Keefektifan dan keterbukaan komunikasi.

e. Keterbukaan terhadap masalah dan kesalahan.

f. Studi organisasi.

g. Frekuensi tindakan tidak aman iatan diselenggarakan secara teratur Dalam

menciptakan budaya keselamatan pasien dan menurunkan angka kesalahan,

diperlukan pemimpin yang menanamkan budaya yang jelas, mendukung usaha

pegawai dan tidak bersifat menghukum yang disebut dengan kepemimpinan

transformasional. Budaya keselamatan pasien yang kuat dengan sendirinya akan

menurunkan angka kesalahan medis (Ruchlin et al., 2004)

Page 29: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

26

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Helthcare Research and Quality. (2004). Hospital Survey on Patient Safety Culture.

(R. Westat, J Sorra & V. Nieva, Eds). Rockville : Services, Agency for Helthcare

Research and Quality U.S. Departement of health and Human.

Arwani & Supriyanto (2006). Manajemen Bangsal Keperawatan Edisi-1. Jakarta : EGC

Cahyono (2008). Membangun Budaya keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran .

Yogyakarta: Kanisius

Chooper, M.D. (2000). Toward a Model f safety Culture. Safety Science Jurnal.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (Patient Safety)-Edisi 2. Jakarta :Depkes RI

Dwiprahasto, Iwan. (2008). Mutu Pelayanan Yang Berorientasi Pada Patient Safety. Bagian

Farmakologi & Toksikologi/Clinical Epidemiologi and Biostatistics Unit (CE&BU)

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/ RSUP Dr. Sardjito.

Fleming. (2012). Patient Safety Culture. Sharing and Learning From Each Other.

www.caphc.org/patient_safety_culture

Flemming, Mark.(2005). Patient Safety Culture Measurement and Improvement: A “How To”

Guide. Journal of Nurturing a Patient Safety Culture;8:14-18

Gillies. (1994). Manajemen Keperawatan Sebagai Suatu Pendekatan Sistem (3th ed). W.B..

Philadelphia USA : Saunders Company

Halpern & McKimm. (2009). Supervision. British journal of Hospital Medicine, April 2009, Vol

70, No 4.

Hamalik, Oemar. (2000). Manajemen Pendidikan dan Pelatihan. Bandung :Y.P Pemindo

Hospital Survey in Patient Safety Culture : A Tool to Plan and Evaluate Patien Safety Program

Institute of Medicine, To Err Is Human: Building a Safer Health System. 2000, Institute of

Medicine: Washington DC.

Keresna Putra, I.D.A Rat. (2015). Hubungan Budaya Keselamatan Pasien dengan Jumlah

Laporan Kejadian Nyaris Cedera Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat

Sanglah Tahun 2015. Skripsi Universitas Udayana

Kilminster, S.M. & Jolly. (2000). Effective Supervision in Clinical Practice Setting : a Literature

review. Ireland: Blackwell Science Ltd. Medical Education ; 34:827-840

Page 30: PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DALAM PENERAPAN BUDAYA ...

27

Marquis, B.L. & Huston, C.J. 2000. Management Dicision Marking of Nurses. Philadelphia :

Lippincott

Mustikawati, Y.H. (2011). Analisis Determinan kejadian Nyaris Cedera dan kejadian Tidak

Diharapkan Di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Jakarta. Universitas

Indonesia

National Patient Safety Agency. (2004). Right Patient-Right Care.NHS.

Notoatmodjo, Prof.Dr.Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan (Teori & Aplikasi) Edisi Revisi.

Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan (Pedoman

Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan). Jakarta : Salemba Medika

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Robbins. (2006). Perilaku Organisasi-Edisi 10. Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia

Sardiman . (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Saryono & Anggraeni. (2012). Metodelogi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang

Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu

Setiowati. (2010). Hubungan Kepemimpinan Efektif Head Nurse dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien Oleh Perawat pelaksana Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Jakarta: Universitas Indonesia

Suyanto. (2008). Mengenal Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan Di Rumah Sakit.

Jogjakarta : Mitra Cendikia Jogjakarta

Taufik. (2002). Prinsip-Prinsip Promosi Kesehatan Dalam Bidang Keperawatan. Jakarta : CV.

Infomedika

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

WHO. (2011). Panduan Kurikulum Keselamatan Pasien Edisi Multi Prefesional. Editor Dr.

AfrisyaIriviranty. Jakarta : Lembaga Kesehatan Budi Keilmuan

Winardi (2001). Motivasi & Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta : Rajawali Pers