Pengertian Versi 2nasikh Wa Mansukh Dalam Al
-
Upload
emir-thobroni -
Category
Documents
-
view
24 -
download
5
description
Transcript of Pengertian Versi 2nasikh Wa Mansukh Dalam Al
NASIKH WA MANSUKH DALAM AL-QURAN Muhammad Kamal 9:36 AM Ulumulqur'an
Alquran dan Hadis adalah dua pedoman umat Islam yang tidak henti-
hentinya menjadi pusat kajian keislaman hingga sekarang. Keduanya
memiliki persamaan dalam ilmunya masing-masing, bahkan yang satunya
menjadi penjelas atau mubayyin terhadap yang lain. Berbagai corak
turunnya Alquran menghasilkan bermacam-macam ilmu dalam al-quran,
dengan arahan Rasulullah saw dan juga dengan ijtihad para sahabat. Salah
satunya adalah ilmu nasakh dan mansukh yang menjadi sangat penting
untuk memahami al-quran.
Ilmu Nasakh dan Mansukh adalah salah satu alat untuk memahami
alquran, baik persamaan atau perbedaan ayat yang satu dengan ayat lain
yang berakibatkan pertentangan ayat dalam alquran bahkan menimbulkan
kerancuan terhadap keotentikan atau kebenaran alquran itu sendiri kalau
tidak mendalamai salah satu ilmu ini. Dengan begitulah ilmu nasakh dan
mansukh dalam alquran sangat dibutuhkan untuk memahami alquran secara
benar. Di dalam alquran sendiri Allah swt. mencamtumkan beberapa ayat
yang berkaitan tentang nasakh dan beberapa contoh yang diyakini oleh
ulama sebagai ayat-ayat nasakh.
Selain nasakh dan mansukh juga terdapat ilmu-ilmu lain untuk
memahami alquran yaitu dengan tipe-tipe lain seperti menggunakan hadis
dan aqal (aqal Ulama).
Dalam pembahasan nasakh disebut-sebut, adanya ayat Alquran yang
mansukh. Jumlahnya pun cukup banyak. Sampai ada yang menetapkan
jumlah ayat mansukh sebanarnya 100 buah. Besar kemungkinan penetapan
jumlah yang cukup memprihatinkan itu akibat kerancuan di dalam
menangkap pengertian nasakh.[1]
A. Pengertian
An-naskh merupakan mashdar dari naskha, yang secara harfiyah berarti:
menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah. Dari kata nasakha
terbentuk kata An-Nasikh dan Al-Mansukh. Secara etimologi, An-Nasikh
berarti yang menhapus, yang mengganti atau yang mengubah. Sedangkan
Al-Mansukh berarti yang dihapus., yang diganntikan atau yang diubah. [2]
Penghapusan suatu hukum dengan hukum yang lain dinamakan Nasakh.[3]
Penggunaan Nasikh sendiri dapat dilihat dalam firman Allah swt. surah al-
hajjaj (22) ayat 52:
Ibnu Jauzi dalam kitabnya Nasikh Mansukh menjelaskan bahwa, makna
kata Nasakh secara etimologi ada dua:
1. Ar-Ra’u wal Izalah yang artinya: mencabut dan menghilangkan. Orang-orang
Arab biasa berkata, “Nasakh Asy-Syamsu Azhilla (Sang Surya menghapus
awan pagi dengan sinarnya yang terbit).
2. At-Tashwir yang artinya gambaran atau salinan, seperti sesuatu yang ditulis
di tempat lain.
Jika kata nasakh yang dipergunakan dalam konteks syariah, maka yang
digunakan adalah makna yang asal, yakni Ar-Raf’u. Sebab, menansakh
hukumnya adalah mencabut sebuah hukum yang berlaku bagi hamba untuk
kemudian diganti dengan hukum yang lain, atau bahkan dibiarkan tanpa
diganti degan sebuah produk.[4]
Secara terminologi (istilah), An-Nasakh menurut Subhi Shalih berarti
“mengangkat hukum syara” dengan dalil syara’’.[5] Mana’ Qathan
mendifinisikan pula kepada “mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’
yang lain.” [6] Kesimpulannya adalah suatu hukum yang telah ditetapkan
bisa saja dibatalkan kemudian digantikan oleh hukum yang lain. Atau suatu
ayat yang telah diturunkan secara makna dan lafal bisa saja dicabut kembali
lafal, makna (hukumnya) atau lafal sekaligus maknanya. Baik penghapusan
itu secara keseluruhan (kulli), atau sebagian (Juz’i), menurut
kepentingannya. Atau melahirkan dalil yang datang kemudian yang secara
implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu. Tidak ada naskh atau
pembatalan hukum syara’ dalam al-quran dan hadis setelah rasulullah saw.
wafat.[7]
Sementara Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan dan
sebagainya.[8] Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain
itu ada juga yang mengartikan , الحكم yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan [ 9 ]المرتفع
secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau
diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
B. Macam-macam al-nasakh (dari segi kejelasan cakupannya)
Dari sini dapat kita lihat bahwa Nasikh-Mansukh mensyaratkan ;
1), Hukum yang di-mansukh adalah hukum syara’.
2), Dalil penghapusan hukum tersebut adalah hukum syara’ yang datang
lebih kemudian, yang hukumnya mansukh.
Konsep nasikh dan mansukh sangat erat kaitannya dengan turunnya al-
Qur'an secara bertahap dan juga erat kaitannya dengan asbab al-nuzul.
Sebab secara gamblang dapat dijelaskan bahwa, haruslah ayat
nasikhat yang datang kemudian dari pada ayat mansukhat, sebab jelas
bahwa tidak mungkin sesuatu yang datang lebih dahulu mengganti sesuatu
yang datang kemudian.[10]
3), Hukum yang mansukh, hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu
tertentu.[11]
C. Pembagian al-nasakh (dari segi bacaan dan hukumnya)
1. nasakh tilawah dan hukum.
Maksudnya, bacaan dinasakh, hukumnya juga dinasakh, misalnya
tentang kawin muth’ah. Rasulullah membolehkan muth’ah dengan perintah
allah pada tahun penaklukan mekkah kemudian melarangnya dengan tegas
pada masa perang khaibar, yaitu pada bulan shafar tahun ke -7.[12]
2. Ayat yang bacaannya dinasakh, sedangkan hukumnya tidak.
Contoh jenis ini biasanya diambil tentang ayat rajam. Mula-mula, ayat
rajam ini terbilang ayat alquran, kemudian bacaannya dinasakh, sementara
hukumnya tetap berlaku.[13] ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya
sementara hukumnya tetap berlaku itu berbunyi:
MمN NزM حQكPي \ مPنQ اللهP وQ اللهV عQزPي Qاال Qك aةQ ن Qت Nب جVمVوهVمQا ال NارQا فQ Qي ن Qا زQذP NخQةV إ ي aالشQو VخN ي aالشArtinya: Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah
keduanya. Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi
Maha Bijaksana.
3. Mansûkh hukumnya, sementara redaksinya tetap ada di dalam Alquran,
seperti surat al-Mujadilah ayat 12:
NيQدQ ي QنN Qي ب فQقQدuمVوا QولVس aالر VمV Nت ي QاجQ ن PذQا إ Vوا آمQن QينPذa ال {هQا يQ أ Qا ي
Qهa الل aنP فQإ QجPدVوا ت Nمa ل Pن فQإ VرQهNطQ وQأ NمV aك ل MرN ي Qخ QكP ذQل صQدQقQة\ NمV QجNوQاك ن
MيمPح aر MورVفQغArtinya, "Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu
dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan)
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini di-naskh hukumnya oleh surat al-Mujadalah ayat 13.
Vوا QفNعQل ت NمQ ل NذP فQإ صQدQقQات� NمV QجNوQاك ن NيQدQ ي QنN Qي ب VقQدuمVوا ت Qن أ NمV فQقNت NشQ Qأ أ
Qهa الل QطPيعVوا وQأ QاةQ ك aالز Vوا وQآت Qالةaالص QقPيمVوا فQأ NمV Nك Qي عQل Vهa الل QابQ وQت
QونV QعNمQل ت PمQا ب MيرP ب Qخ Vهa وQالل VهQ ول Vس QرQوArtinya, "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul?
Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Al-Qur’an telah memberikan penjelasan tentang hal ini dan naskh
seperti ini telah dikenal baik oleh semua ulama dan para mufasir, yang mana
masuk akal dan dapat diterima. Karena sesungguhnya hukum-hukum syar’i
tidak diturunkan secara langsung sekaligus, namun bertahap, supaya umat
terbiasa dengannya dan akal-akal memahaminya. Secara bertahap hukum-
hukum yang pernah turun sebelumnya digantikan dengan hukum-hukum
yang baru; namun lafadz-lafadz (ayat-ayat) hukum yang lama itu tetap ada
karena mengandung rahasia Tuhan yang mendidik dan bermanfaat yang
mana hanya Tuhan yang lebih tahu tentang alasannya.
D. Pembagian al-nasakh (dari segi nash yang dinasakh dan yang
menansakh)
1. Al-quran di nasakhkan dengan al-quran pula. Ulama-ulama sepakat
mengatakan ini diperbolehkan.[14] dan telah terjadi dalam pandangan
mereka yang mendukung adanya naskh dalam al-Qur'an. Misalnya ada ayat
tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240,
Yang artinya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".
Ayat ini kemudian di naskh oleh surah yang sama pada ayat 234,
Artinya ayat tersebut adalah "Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat".
2. alquran itu dinasikhkan dengan sunnah (hadis). Yang termasuk ini ada dua
macam, yaitu:
a. Al-qur’an itu dinasikhkan dengan hadis ahad. Menurut jumhur, hal ini tidak
diperbolehkan. Karena Alquran itu adalah mutawatir , harus diyakini,
sedangkan ahad itu masih diragukan. Tidak sah membuang yang sudah
diketahui itu dengan dzan (yang masih diragukan).
b. alquran itu dinasikhkan dengan sunnah mutawatir . diperbolehkan oleh
imam malik, abu hanifah dan ahmadbin hambal. Karena seluruh alquran
adalah wahyu. Alasan mereka adalah bahwa keduanya merupakan wahyu,
sedangkan dalil yang mereka gunakan untuk mendukung pendapat ini
adalah surah al-Najm ayat 4-5, selain itu juga surah al-Nahl ayat 44,
dan naskh itu sendiri menurut mereka adalah merupakan salah satu
penjelasan.[15]
Sementara itu, Imam Syafi'i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayat lain menyatakan
penolakan terhadap naskh al-Qur'an dengan hadis mutawatir, ini berdasarkan al-Qur'an surah al-
Baqarah ayat 106 "Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya". Sementara itu hadis adalah tidak lebih baik dari atau sebanding dengan al-Qur'an.
[16]
3. nasakh Assunnah dengan al-quran. Ini diperbolehkan oleh jumhu, sebagai
contoh adalah masalah menghadap kebaitul maqdis yang ditetapkan dengan
sunnah dan di dalam alquran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
Ketetapan ini dinasakh oleh alquran dengn firmannya;
“maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram. (albaqarah: 144).
4. Nasakh sunnah dengan sunnah. Dalam katagori ini terdapat empat bentuk :
Nasakh mutawatir dengan mutawatir, nasakh ahad dengan ahad, nasakh
ahad dengan ahad, nasakh ahad dengan mutawatir. Tiga bentuk pertma
dibolehkan sedang pada pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya nasakh alquran dengan hadis ahad , yaitu tidak dibolehkan
jumhur. [17]
E. pendapat ulama tentang nasakh
Para ulama telah bersepakat kalau di dalam alquran ada beberapa
ayat yang dinasakh (dihapus), hanya saja ada yang segelintir ulama yang
berpaling dari kesepakatan tersebut. [18]
Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah
Imam Syafi’i (204 H), An Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H).]19[
sebagian ulama lain yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa
nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-
Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-
Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul
derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
menurut Quraish Shihab bahwa tentang nasikh dan mansukh ini, sama seperti obat-obatan
yang diberikan oleh dokter pada pasien. Disini hukum-hukum yang diubah dimisalkan sebagai
obat, dan Nabi sebagai dokter. Disatu sisi, mempersamakan Nabi sebagai dokter dan hukum-
hukum sebagai obat, memberikan kesan bahwa Nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-
hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Pada sisi lain, mempersamakan
hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibubuangnya obat-obat
tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien
lain yang membutuhkannya.[20]
namun, dalam alquran sendiri terdapat ayat yang menerangkan tentang nasakh dan
mansukh dalam alquran yaitu ayat:
Al Baqarah ayat 106, yang artinya:
“ Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Bukankah kamu
mengetahui bahwa Allah swt. berkuasa atas segala sesuatu.”
menurut sebagian ulama, bahwa nasikh dan mansukh tidak ada dalam alquran, mereka
berdalil dengan ayat diatas. namun mereka berpendapat bahwa antara ayat yang satu dengan ayat
yang lain bisa dikompromikan sehingga bisa diselesaikan dan terjadinya mengahpusan terhadap
ayat yang lain sangat sedikit. berbeda dengan ulama yang menganggap bahwa nasikh dalam
alquran jumlahnya banyak, dan ini sendiri adalah menurut ijtihad para ulama itu sendiri.
F. perbedaan antara Al-nasakh dan Al-takhsis
Ulama salaf ada yang menganggap bahwa takhsish adalah salah satu
bentuk dari nasakh sehingga kalau ada ayat yang mentakhshish sebuah ayat
yang sifatnya masih umum, maka mereka menggatakan kalau ayat itu telah
menansakh ayat yang sifatnya lebih umum tersebut.[21] Akan tetapi,
Nasakh tidak sama dengan takhsish. Nasakh, sebagaimana yang telah
dijelaskan, adalah mengangkat sutu hukum syara’ dengan sebab munculnya
hukum baru. Sedangkan takhsish adalah meringankan pemberlakuan hukum
secara umum, sehingga menjadi sebagiannya saja. Meringaskan, pada
hakikatnya, bukanlah mengangkat hukum sebagian individu-individu, ia
hanya merupakan pengucalian ketentuan hukum terhadapnya.[22]
Persamaan Nasakh Dengan Takhshis:
a. Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-
sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang
takhshis dengan batasan materi.
Misalnya, dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah sebelum
menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan
itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai
berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu,
kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci,
kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu
tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan
paham diantara para ulama. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan
terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap
nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.
b. Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi
berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan
mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi
keumuman jangkauan hukum syara’.
c. Dalil yang mansukh (Yang dihapus) sama dengan dalil yang menakhshis,
yaitu sama-sama berupa dalil syara.’
[1]. Kamaluddin Marzuku, Ulum Al-Quran, (Bandung, IKAPI, 1994). Hal 117[2] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakrta: Amzah, 2010). Hal. 113
[3] Muhammad Jamil Zainu, Bagaimana Memahami Al-quran, penerjemah salafuddin, (Jakarta,: Pustaka Al-Kutsar, 2006). Hal. 31.
[4] Ibnul Jauzi, Nasikh mansukh, penerjemah. Wawan Djuned Soffandi, (Jakarta, Media Grafika, 1992). Hal. 23-24.
[6]. Kadar M. Yusuf ....115.[7] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Quran. (Jakarta: Amzah, 2012). Hal. 221.[8] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. (Bandung : Mizan. 1998) hlm 143[9] Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an,(Maktabah Wahbah, Kairo) , HAL. 224.[10] Nasirudin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005). Hal. 175[11] Manna Khalil al-Qattan,.....Hal. 232-233.[12] Abu Anwar. Ulumul Qur’an. (Pekan Baru; Amzah.2009). hal. 60.[13] Kamaluddin Marzuku, Ulum Al-Quran, (Bandung, IKAPI, 1994. Hal. 137
[14] Mana’ul qathan, Pembahasan ilmu al-qur’an. Penerjemah. Halimuddin, (jakarta: renika Cipta: 1994). Hal. 36-37
[15] Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. terj. Aunur Rafiq el-Mazni. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Hal. 292.[16]Ibid.
[17] Manna’ Al-Qaththan. Pengantar studi ilmu Al-Quran...,Hal. 292-293[18] Ibnul Jauzi, Nasikh mansukh, penerjemah. Wawan Djuned Soffandi, (Jakarta, Media
Grafika, 1992). Hal. 19.[19] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 104[20] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu……, Hal. 145.[21] Ibnu Jauzi...Hal. 26[22] Kadar....124