Pengembangan Partisipasi Masyarakat

download Pengembangan Partisipasi Masyarakat

If you can't read please download the document

Transcript of Pengembangan Partisipasi Masyarakat

Perempuan dan Partisipasi PolitikPermasalahan keterlibatan warga negara (perempuan) dibidang politik di Indonesia telah lama menjadi perhatian masyarakat terutama bagi yang memperjuangkan kesetaraan gender. Sebenarnya keinginan tersebut tidak menjadi monopoli sebagai masyarakat saja tetapi sudah menjadi tuntutan dan cita-cita kita semua yaitu bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama (khususnya dibidang politik). Dalam membangun sistem hukum, maka yang akan dibangun tidak hanya mampu membangun landasan bagi proses perubahan tetapi juga harus mampu menjadi avand garde dalam mengawal dan mengarahkan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan (Yusril Ihza Mahendra) Perubahan yang diinginkan tersebut bisa jadi bertumpu pada tingkat pembuatan kebijakan sehingga bidang ini sangat strategis bagi perubahan perubahan atas apapun yang menjadi cita cita atau sering disebut legal reform. Terkait dengan permasalahan diatas maka pertanyaan lanjutannya adalah apa yang sebaiknya dilakukan perempuan? Dan mengapa perempuan perlu terlibat baik secara langsung (aktif) maupun tidak langsung (pasif). Seperti kita ketahui jika permasalahan di masyarakat masih menunjukkan indikasi dimana perempuan, anak menjadi korbannya bisa diartikan persoalan ketimpangan gender masih cukup kuat di tengah tengah kita. Indikator tersebut bisa dilihat dari : Subordinasi Meski pun jumlah kaum perempuan mencapai lebih dari 50% dari semua penduduk, namun posisi mereka ditentukan dan dipimpin oleh kaum lelaki. Subordinasi tersebut tidak saja secara global melainkan juga dalam birokrasi pemerintahan, dalam masyarakat maupun dalam rumah tangga. Banyak sekali kasus baik dalam tradisi, tafsiran keagamaan, maupun dalam birokrasi di mana kaum perempuan diletakan sebagai subordinasi dari kaum lelaki. Marginalisasi Marginalisasi terjadi dalam budaya, birokrasi maupun program pembangunan. Di samping itu banyak sekali jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, selain dianggap bernilai rendah, juga mendapat imbalan ekonomis lebih rendah. Stereotip atau label negatif Stereotif adalah suatu bentuk ketidakadilan budaya, yakni pemberian label yang memojokkan kaum pertempuan sehingga berakibat pada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya label kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat merugikan mereka jika mereka hendak aktif dalam kegiatan lelaki seperti kegiatan politik dan bisnis maupun birokrasi. Sementara label lelaki sebagai1

pencari nafkah mengakibatkan apa saja yang dihasilkan kaum perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cendrung tidak diperhitungkan. Beban ganda (burden) Jika kita lihat pada umumnya suatu rumah tangga, beberapa jenis kegiatan yang dilakukan oleh lelaki dan beberapa yang dilakukan oleh perempuan, dari pengamatan menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan domestik. Terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Kekerasan (violence) Berbagai bentuk kekerasan baik pisik, psikis, seksual terhadap kaum perempuan akibat perbedaan gender masih cukup tinggi. Jika di tengah masyarakat berbagai persoalan yang disebabkan faktor faktor tersebut diatas masih dominan, bisa diartikan perempuan masih harus berusaha memaksimalkan berbagai upaya secara strategis untuk mencapai keadilan gender. Secara rinci keterlibatan perempuan bisa dikelompokkan dalam berbagai bidang misalnya bagaimana upaya pemberdayaannya, pendidikan politiknya (kesadaran atas hak sipil dan politik) dan partisipasinya sebagai pemilih dan yang dipilih, serta keterwakilan perempuan baik di DPR/D Kabupaten, Kota dan DPD. Secara konseptual dibedakan antara partisipasi dan keterwakilan. Partisipasi adalah agenda yang diformulasikan dan dipengaruhi oleh perorangan (individual) dan keterwakilan adalah proses dari berbagai pihak dalam posisinya sebagai pengambil keputusan /menyampaikan agenda politik mewakili kelompok kepentingan (misalnya partai politik) Beberapa hambatan keberhasilan partisipasi dan keterwakilan perempuan untuk terlibat secara di bidang politik adalah : Faktor Manusianya, dalam hal ini diri perempuan sendiri yang selama ini belum terkondisikan untuk terjun dan berperan di arena apolitik dan kehidupan publik, karena sejak kecil lebih dibiasakan atau ditempatkan dalam lingkup kehidupan rumah tangga dan keluarga, yang selalu dinilai lebih rendah daripada yang dikerjakan oleh laki-laki di lingkup kehidupan publik; dan karenanya kedudukan (status) perempuan dianggap lebih rendah (- subordinasi) dari laki-laki. Akibatnya, perempuan lebih berperan sebagai objek dan pelaksana, serta tidak mendapat akses/kesempatan untuk berperan sebagai pengambil keputusan dan penentu kebijakan publik, sehingga perempuan tertinggal di berbagai bidang kehidupan dan tidak menerima manfaat yang sama guna mencapai

2

persamaan dan keadilan (Gender Equality and Justice) seperti yang dijamin oleh Pasal 27 jo Pasal 28 H ayat 2 Undang-undang Dasar 1945. Hambatan Nilai-nilai Sosial Budaya, yaitu nilai-nilai, citra-baku/Stereotype, pandangan dalam masyarakat yang dikonstruksi/dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki di posisi pemimpin, penentu dan pengambil keputusan dengan kedudukan superior, sehingga perempuan menjadi warga negara kelas 2, didiskriminasikan dan dimarginalkan (Isu Gender), termasuk tafsir ajaran agama yang bias gender. Akibatnya, posisi-posisi penentu kebijakan publik di lembaga-lembaga perwakilan, pemerintahan, didominasi oleh laki-laki, termasuk di partai-partai politik; Hambatan struktural dan kelembagaan, termasuk dalam pengertian ini ialah system politik Indonesia yang maskulin, peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan bias gender, sistem quota dalam UU Pemilu yang setengah hati. Sistem perencanaan pembangunan nasional yang Topdown dan tata pemerintahan yang tidak tanggap gender; belum optimalnya Political Will dari para penentu kebijakan di pusat dan daerah untuk melaksanakan Gender Mainstreamin dalam merumuskan program/proyek pembangunan. Akibatnya, yang Subordinat (perempuan) tetap di bawah dan terpinggirkan. Ketiga faktor di atas saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga intervensi terhadap ketiganya harus dijalankan serempak (Simultaneously), baik dari segi manusianya, lingkungan nilai budaya dan struktur/kelembagaannya.

Ani Purwanti, SH M Hum Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

Partisipasi akan berjalan dengan baik apabila ada kesateraan pihak pihak yang terlibat, tanpa keseteraan yang akan terjadi adalah dominasi oleh pihak pihak yang lebih kuat terhadap3

kelompok yang lemah. Ketika terjadi dominasi dalam partisipasi yang terjadi kemudian adalah pemandulam hak, ide, kereatifitas pihak yang didominasi. Pemandulam hak, ide, kereatifitas pihak yang didominasi akan menggelicirkan partisipasi kedalam area mobilisasi. Partisipasi adalah mengelola bayak pelaku yang juga berarti mengelola banyak kepentingan maka untuk mendapatkan kesepakatan kesepakatan tentunya juga memerlukan waktu yang lebih lama dan ini berarti juga harus tersedia pedanaan yang memadai. HABATAN PARTISIPASI Partisipasi tidak akan berjalan dengan baik / terhambat manakala faktor faktor penghambat partisipasi masih bercokl. Faktor faktor yang dapat menghabat partisipasi antara lain : Minimnya transparasi badan publikyang ada disesa Tidak adanya kemauan politik dari penguasa ( Pemerintah desa dan BPD ) Minimnya rasa saling percaya antar pelaku di tingkat desa Adanya perbedaan kepentingan Adanya perbedaan persepsi antar pelaku ditingkat desa Perbedaan posisi tawar Lemahnya pengorganisasian partisipasi Hambatan hambatan seperti disebutkan diatas, tentunya menjadi priorias untuk diminimalisasi atau bahkan dihilangkan sama sekali mana kala kita ingin mewujudkan Tata Pemerintahan Desa Yang Baik.. RUANG LINGKUP PARTISIPASI Ruang lingkup partisipasi dalam Tata Pengelolaan Pemerintihan desa meliputi hal-hal berikut ini : 1. Penyusunan Perencanaan Desa dalam hal ini dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa ( RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa ( RKP Desa ) 2. Pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan. 3. Monitoring dan evaluasi kebijakan publik ditingkat desa 4. Penyusunan Anggaran Desa 5. Penyusunan Pungutan Desa4

6. Penyusunan Peraturan Desa 7. Penyusunan Peraturan Kepala Desa 8. Proses perumusan Kebijakan Publik Desa lainya yang langsung berdampak dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. Ketika hal hal tersebut dilakukan secara partisipatif di tingkat desa maka dapat dikatakan Tata Kelola Pemerintahn Desa tersebut sudah partisipatif Partisipasi Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL : Sebuah usulan mekanisme penerapannya dalam konteks Indonesiaoleh Arimbi Heroepoetri, S.H.,LL.M :

Pendahuluan Berbicara menegenai tentang partisipasi masyarakat akan menjadi kompleks karena sangat tergantung struktur sosial dan politik suatu masyarakat, termasuk derajat pemahaman mereka atas makna partisipasi. Dalam konteks Indonesia, belum ada platform yang tegas akan makna partisipasi masyarakat di tingkat proses AMDAL sekalipun. Ini bukan saja ditingkat masyarakat yang partisipasi politiknya sengaja dimatikan selama tiga dekade ini, tetapi juga ditingkat pejabat negara yang seharusnya mengemban amanat rakyat. Seringkali dialami bahwa makna partisipasi adalah hanya sekadar mengundang dengar pendapat, mengadakan seminar atau sekadar mengundang rapat atas sesuatu hal. Namun syarat utama yang melandasi adanya partisipasi malah diabaikan, yaitu ; informasi yang lengkap dan terus-menerus dari masalah yang dibicarakan. Kesalahkaprahan pemaknaan 'partisipasi' bisa terlihat dalam UU. No 23 Thn 1997 tentang Pengelolaan lingkungan yang merancukan 'partisipasi' (participation) sebagai 'peran' (role). Dalam konteks ini, merupakan suatu kemunduran ketimbang UU No. 4 Thn. 1982 yang digantikannya. Namun dalam konteks makro terlihat adanya kemandegan dalm pola pikir dan pemahaman politik atas makna partisipasi, karena rumusan dalam kedua UU tersebut tidak banyak berubah. Cilakanya rumusan 'sesat' mengenai partisipasi dalam UU No. 23 Thn. 1997 menurun pula dalam RPP AMDAL yang sekarang tengah digodog. Hal ini nampaknya dilakukan karena keberadaan PP AMDAL dilandasi oleh UU No. 23 Thn. 1997. Karena itu, perlu dicatat dua hal mendasar ketika kita akan membicarakan masalah partisipasi. Pertama partisipasi masyarakat adalah hak mendasar setiap warga negara (Hak Asasi Manusia) dan dijamin oleh konstitusi (Pasal 28 UUD 1945). Jadi jika ada mekanisme atau tata cara penyampaian pendapat, itu sebatas melempangkan implementasi hak diatas bukan sebagai pagar pembatas hak tersebut. Mekanisme tidak boleh menjadi belenggu baru yang di'legal'kan dalam pelaksanaan HAM tersebut. Kedua, partisipasi dalam AMDAL adalah salah satu pilar terwujudnya tujuan AMDAL, yaitu untuk melindungi kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber-sumber daya alam. Tanpa partisipasi yang genuine, AMDAL semata menjadi mata rantai administrasi negara. Karena partisipasi merupakan hak mendasar manusia, maka tidak semua pertanyaan-pertanyaan teknis mekanisme bisa tuntas dijawab. Kertas kerja ini bukanlah maual know-how bagaimana orang atau kelompok masyarakat bertindak sehingga bisa dikategorikan sebagai suatu bentuk partisipasi. Tentang Partisipasi Masyarakat dalam AMDAL Ketika banyak para sarjana mengartikan partisipasi dalam berbagai penafsiran dengan alasannya masing-masing, saya lebih cenderung mengartikan partisipasi masyarakat sebagai bentuk kekuatan dan

5

kedaulatan rakyat. Yang menempatkan masyarakat sebagai kekuatan untuk melakukan kontrol sosial (social control) terhadap setiap kekuatan yang diambil oleh pejabat negara. Karena itu saya lebih condong untuk mengutip pendapat Arnstein yang menempatkan masyarakat setara dengan pengusaha dengan menjalankan prinsip kemitraan 9partnership). Sehingga suara masyarakat mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pada tingkat ini, masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan, bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijaksanaan tertentu. Arnstein menyebutnya sebagai tingkat Kekuasaan Masyarakat (citizen power), yaitu suatu bentuk partisipasi rakyat yang nyata dan genuine. Karena itu partisipasi rakyat dalam proses AMDAL adalah bagaimana rakyat mempunyai posisi tawar atas keputusan yang diambil pejabat negara. Bagaimana rakyat mempunyai kekuatan riil (real power) agar suaranya didengar dan menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan, serta bagaimana rakyat melakukan pengawasan sosial atas setiap keputusan-keputusan AMDAL suatu rencana kegiatan. Tujuannya jelas, yaitu bagaimana kepentingan piblik terlindungi ketika suatukekuatan melakukan eksploitasi atas lingkungan. Apalagi untuk kasus-kasus lingkungan, yang walau bagaimanapun setiap aktivitas atas lingkungan akan mengganggu fungsi-fungsinya, maka tujuan AMDAL juga menyangkut bagaimana masyarakat menjadi sadar (aware) akan dampak-dampak dari aktivitas diatas, dan melakukan tawara (trade-off) dari dampak yang mungkin ditimbulkan. Mempunyai posisi tawar tidaklah terlepas dari penggalangan kekuatan dalam masyarakat. Untuk itu, rakyat harus diberdayakan, dimana salah satu syarat utama adalah penyediaan informasi yang benar, terus-menerus dan ter-up date. Penyediaan informasi ini adalah kewajiban pemerintah 9dalam hal ini Komisi AMDAL dan instansi terkait). Selama pembenahan mekanisme penyediaan informasi tidak pernah dilakukan, jangan harap akan ada partisipasi rakyat yang riil dalam proses AMDAL. Partisipasi masyarakat dalam AMDAL di Indonesia : PP. AMDAL dan praktiknya. Dalam PP. No. 51 Thn. 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (PP. AMDAL) peluang parisipasi masyarakat dimulai ketika : Pemrakarsa mengumumkan rencana proyeknya ke masyarakat sekitar, adanya kemungkinan masyarakat terlibat sebagai anggota Komisi Amdal, - serta adanya pengumuman rencana kegiatan dan terbukanya akses masyarakat terhadap dokumen-dokumen AMDAL dan keputusan yang diambilatas AMDAL yang diajukan pemrakarsa (Pasal 22).

Namun dalam praktiknya peluang-peluang tersebut tidaklah maksimum dijalankan. Kerancuan dimulai dari tahap awal, ketika masyarakat mengumumkan rencana proyeknya ke masyarakat sekitar misalnya, seringkali tidak langsung ke masyarakat tersebut, melainkan ke Kepala desa (yang dianggap mewakili masyarakat lokal). Dan Kepala Desa tersebut memobilisasi warganya, bukan ntuk mengkritisi dampakdampak yang mungkin terjadi dari rencana kegiatan tersebut, tetapi lebih mendukung aktivitas tersebut. Kerancuan berlanjut, ketika pemrakarsa menuangkan 'temuan'nya dalam sebuah dokumen AMDAL (yang biasanya dibantu oleh Konsultan Amdal), terjadi penyederhanaan kompleksitas struktur masyarakat kita dengan membakukan analisis menjadi Dampak Positif (biasanya dengan alasan karena akan membuka peluang kerja), dan Dampak Negatif (umumnya adanya kemungkinan konflik antara pendatang dan penduduk asli). Sementara kemungkinan masyarakat terlibat sebagai anggota Komisi Amdal dinihilkan dengan menganggap Ornop senagai wakil masyarakat dalam Komisi Amdal. Jikapun masyarakat begitu ingin untuk terlibat dalam komisi Amdal, informasi sidang-sidang komisi Amdal tidak tersedia, masyarakat harus membiayai sendiri untuk bisa hadir dalam rapat-rapat komisi (yang umumnya berada di jakarta). Lebih jauh, berbicara soal akses publik bagi dokumen-dokumen Amdal masih menjadi sekedar cerita, karena faktanya belum ada mekanisme clearing house Amdal yang seyogyanya dikomandoi oleh BAPEDAL.

6

Ruang Lingkup Partisipasi Masyarakat dalam AMDAL Masyarakat harus ditempatkan dalam subyek pembangunan, sehingga pendekatan proaktif dan partisipatif perlu disosialisasikan dalam proses pelibatan masyarakat dalam Amdal. Setidaknya ada lima area yang penting untuk diperhatikan untuk menuju partisipasi masyarakat dalam Amdal yang benarbenar partisipatif. Pertama, perlu dipikirkan mekanisme pelayanan informasi di masing-masing Komisi Amdal Pusat dan daerah. Kedua, perlu dijalankan mekanisme pemberitahuan (notification) yang sudah dituangkan dalam PP Amdal. Ketiga, Harus ada ketentuan yang mewajibkan pelibatan masyarakat sejak awal. Keempat, perlu dikembangkan mekanisme Banding dari masyarakat, atas setiap keputusan Amdal yang tidak mereka setujui, dan Kelima, pengadaan Dana Partisipasi Masyarakat, yang mendukung masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses Amdal.

Strategi Pelaksanaan Kelima lingkup partisipasi masyarakat di atas harus dirumuskan lebih lanjut dengan strategi pelaksanaan berjenjang. Dimulai dengan lebih mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga Amdal yang sudah ada (seperti Komisi Amdal), sampai melakukan tambahan (sddendum)dalam RPP AMDAL yang tengah digarap, utamanya untuk memberikan dasar hukum mekanisme Banding bagi masyarakat. strategi Pelaksanaan lebih detil adalah sebagai berikut :

1. Mekanisme

Pelayanan Informasi Perlu dibangun unit khusus di masing-masing Instansi yang bertangggung jawab, di BAPEDAL maupun BAPEDALDA, dan unit khusus pelayanan informasi sebagai penunjang kegiatan Komisi Amdal. Unit ini hanya bertugas dan berkewajiban melayani informasi AMDAL, seperti pengelolaan perpustakaan terhadap semua dokumen AMDAL yang telah disetujui, dan up-dating informasi mengenai status suatu AMDAL, membuat ringkasan Amdal dan suatu rencana kegiatan. Dasar hukum pembentukan unit ini bisa dikeluarkan dalam SK Ketua BAPEDAL, yang secara spesifik menyebutkan mandatnya sekaligus hak dan kewajiban masyarakat untuk menikmati unit pelayanan ini. sebagai misal perlu dicantumkan secara tegas biaya-biaya apa saja yang harus dikeluarkan jika ada untuk mendapatkan informasi dari unti pelayanan ini. 2. Mekanisme Pemberitahuan (notification) Pengumuman atas rencana kegiatan yang wajib memiliki AMDAL ditentukan dalam pasal 23 ayat 1 PP No. 51 Thn. 1993. Namun ketiadaan penjelasan tentang mekanisme pemberitahuan membuat ketentuan tersebut mudah diabaikan. Dalam rancangan PP AMDAL (yang diatur dalam Pasal 32) mewajibkan pemrakarsa untuk melakukan pengumuman (Pasal 32 ayat 2 RPP), namun tetap saja tidak dijabarkan bagaimana mekanisme Pengumuman tersebut. Mekanisme pengumuman dapat dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Ketua BAPEDAL dengan mengacu kepada Penjelasan Pasal 32 ayat 1 RPP. Kritik saya atas Pasal 32 RPP adalah kewajiban mengumumkan seharusnya bukan hanya dibebankan kepada Pemrakarsa, tetapi juga ke instansi yang Bertanggung jawab. Ini perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan sekaligus kontrol atas (check and balance) informasi. Sehingga perlu ada paragraf dalam Pasal 32 ayat 3 RPP yang menegaskan kewajiban diatas. Semetara dalam tingkat Keputusan Kepala BAPEDAL dapat mengharuskan Komisi Amdal untuk melakukan sekurang-kurangnya satu kali Dengar Pendapat (public hearing) untuk satu rencana kegiatan dengan melakukan pengumuman (public notification) seluas mungkin. 3. Ketentuan yang Mewajibkan Pelibatan Masyarakat Sejak Dini. Perauran Pemerintah No. 51 Thn. 1993 tidak mewajubkan adanya keterlibatan masyarakat sejak awal kegiatan Amdal. Yang ada hanyalah kemungkinan masyarakat

7

berpartisipasi dalm Komisi Amdal. Ini berarti masyarakat hanya bisa berpartisipasi di tingkat penilaian (review), bukan sejak tahap niat pemrakarsa untuk melakukan kegiatannya. Sehingga mereduksi kemungkinan masyarakat untuk memberikan pendapatnya secara matang atas suatu proses Amdal. Syukurlah, dalam RPP Amdal nanti telah tercantum kewajiban pemrakarsa untuk melibatkan matarakat yang diatur dalam Pasal 32 ayat 2. Walaupunsebagai suatu Rancangan kemungkinan diubah masih bisa terjasi, namun kita bisa berharap agar Pasal di atas dapat diperhatikan. Sedangkan tentang bagaimana mekanisme pemberian pendapat, saran dan tanggapan masyarakat yang efektif, dapat diatur dalam SK Kepala BAPEDAL yang memberi ruang tegas untuk Komisi Amdal menentukan pilihan dari alternatif-alternatif pemberiaan pendapat, saran dan tanggapan masyarakat. Pilihan tersebut dapat dilihat dari karakter komunikasi (communication characteristic), seperti tingkat kontak dengan publik yang akan diraih, kemampuan untuk menangani kepentingan, dan tingkat komunikasi dua arah. Karakter komunikasi ini yang akan menentukan tekinik-teknik partisipasi apa saja yang cocok untuk diterapkan, juga hasil yang diharapkan dari tujuan penilaiannya. Sebagai misal teknik Dengar Pendapat mempunyai kelebihan menjangkau masyarakat luas, namun tingkat kontak komunikasi dua arahnya akan rendah karena jumlah orang yang hadir dalam dengar pendapat cukup banyak. Sementara dengan teknik ini akan didapat identifikasi masalah/nilai yangdianut dan masukan-balik dari peserta dengar pendapat. Bagan yang dikembangkan oleh Canter sebagai berikut akan sangat membantu untuk menentukan bentuk-bentuk tersebut. Tabel 1. Kemampuan dari Teknik Peran Serta Masyarakat

Communication characteristic Impact assessment objectives Ability Public Level of to Degree of two participation public Identify handle way techniques Inform/educate problems/values contract specific communication achieved interest Public M L L X hearings Public M L M X X meetings Informal small L M H group X X meetings General public M L M information X meetings Presentasions L M M to community X X organization Information L H H coordination X seminars Operating field L M L X offices Local planning L H H X visits Planning L H L brochures and X workbooks Information M M L brochures and X pamphlets Field trips and L H H X X site visits Public H L M X displays

Get Resolve ideas/solve Fedback Evaluate conflict/consensus problems X X X X X X

X

X X X X X X X X X

X

X

8

M H L

L L H

M L M

H

L

L

L L L L L L

H H H H H H

L H H H H H

Model demonstration X projects Material for X mass media Response to public X inquirias Pree releases inviting X comments Letter requests for comments Workshop Charettes Advisory committees Task Forces Employment of community residents Community interest advocates Ombudsman or representative X X X X X X X X X

X

X

X

X

X X X X X X X X X X

L

H

H

X

X

X

L

H

H

X

X

X

X

X

4. Mekanisme Banding Masyarakat. Pasal 11 PP. No. 51 Thn. 1993 memberikan hak keberatan bagi pemrakarsa ataskeputusan penolakan yang diambil instansi yamg bertanggung jawab. Namun tidak memberikan hak keberatan bagi masyarakat atas setiap keputusan Amdal yang tidak menerapkan prinsip partisipasi dalam prosesnya. Dasar hukum pengajuan keberatan masyarakat harus dicantumkan dalam PP. Amdal, sementara mekanisme dapat diatur dalam SK. Ketua BAPEDAL. Mekanisme pengajuan keberatan dari masyarakatterhadap keputusan yang mereka tidak setujui mutlak harus diberikan, karena dapat mendorong pengambil keputusan untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh masukan yang didapat dari masyarakat. Sayangnya, jika menyimak Rancangan PP Amdal ketentuan tentang Keberatan malah ditiadakan. Pemrakarsa tidak mempunyai jalan untuk mengajukan keberatan atas keputusan instansi yang bertanggung jawab tentang Amdal, sementara Keberatan masyarakat juga sama sekali tidak disentuh. Karena itu, sebaliknya ketentuan mengenai Keberatan bagi Pemrakarsa dan bagi masyarakat sebaiknya dicantumkan dalam Rancangan PP Amdal. 5. Dana Partisipasi Masyarakat. Bahwa disadari untuk mendukung suatu proses partisipasi masyarakat, diperlukan dukungan sumber daya manusia dan sumber-sumber dana. Karena itu, diusulkan agar dikembangkan Dana Partisipasi Masyarakat (DPM) dalam Amdal dengan skema yang meniru Dana Reboisasi di bidang kehutanan. Namun berbeda dengan Dana Reboisasi, DPM dikelola oleh kelompok independen (seperti Komisi Nasional Lingkungan) dimana semua lapisan masyarakat dapat mengajukan permohonan pembiayaan agar mereka bisa melaksanakan haknya berpartisipasi. Semisal biaya melakukan dengar pendapat ke DPR atau ke Komisi Amdal, biaya mendapatkan informasi, atau biaya membayar ahli-ahli lingkungan. Dana dihimpun dari pemrakarsa yang disetorkan ke DPM, dengan hitungan sekian persen(%) dari jumlah total investasi rencana kegiatannya yang wajib amdal. Alokasi APBN agar instansi yang terkait bisa menyediakan data yang diperlukan masyarakat untuk berpartispasi, serta usaha pencarian dana lainnya yang dilakukan oleh Komisi Lingkungan.

9

Keberadaan Komisi Lingkungan perlu diatur dalam -sekurang-kurangnya- Keputusan Presiden berikut hak, kewenangan dan kewajiban Komisi ini.

Peran Komisi AMDAL Dalam menjalankan hak rakyat untuk berpartisipasi dalam proses Amdal, perlu pula dilihat peran Komisi Amdal utamanyaperan Komisi sebagai dinamisator dan fasilitator agar proses Amdal dapat berjalan secara adil, berwawasan lingkungan dan berwawasan sosial. Jika menilik peran Komisi Amdal (dalam RPP disebut Komisi Amdal Penilai) sejak zaman PP. 29 Thn. 1986 maupun dlam RPP, komisi Amdal hanyalah berfungsi sebagai lembaga penilai tanpa mempunyai wewenang mengambil keputusan, karena keputusan akhir tetap ada ditangan Menteri dan/atau Gubernur. Tetapi bukan berarti komisi Amdal tidak mempunyai 'kekuasaan' untuk menentukan proses Amdal. Sebagai lembaga penilai komisi AMdal harus menunjukkan kewibaan dan kemampuan yang handal agar saran-sarannya bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan (acountibility). Dalam tangan Komisi Amdal diperlukan penilaian-penilaian berdasarkan keahlian mereka untuk menentukan misalnya apakah suatu perbuatan pemrakarsa bisa dikategorikan partisipasi, mekanisme seperti apa yang harus ditempuh pemrakarsa untuk menampung aspirasi rakyat dan sebagainya. Diperlukan kreativitas mereka untuk 'menemukan' pendekatan inovatif berdasarkan dinamika masyarakat yang tidak sekedar berpedoman pada buku atau Keputusan-keputusan Menteri. Pembentukan Tim Partisipasi Jika dalam PP 51 maupun RPP dimungkinkan adanya Tim Teknis, maka perlu dipikirkan untuk membentuk Tim Partisipasi yang memikirkan dan mendalami bentuk, masalah dan teknis partisipasi macam apa yang cocok dikembangkan untuk AMDAL sustu rencana kegiatan. Karena hanya dengan komitmen yang terus-menerus dan sungguh-sungguh disertai pengalaman empirik saja, maka akan dapat dikembangkan dan ditemukan bentuk partisipasi masyarakat yang cocok untuk konteks Indonesia. Penutup Perlu diingat bahwa partisipasi masyarakat dalam proses Amdal hanyalah satu tiang (dari banyak tiang) untuk tegaknya aturan yang dibuat dalam AMDAL. Komisi ini tidak terlepas dari kendala lainnya yang dihadapi dalam penerapan Amdal, sepanjang pengamatan saya sejak diberlakukannya amdal selalu menghadapi kendala klasik seperti : Amdal fiktif Kurangnya tenaga ahli Masalah di tingkat konsultan dan komisi Amdal Masalah Pembiayaan Pentaatan Sampai sekarang walau PP 29 Thn. 1986 telah diganti oleh PP. No. 51 Thn. 1993 dan akan diganti lagi lewat RPP yang sekarang tengah digodog, tidak nampak perbaikan berarti dari kendala-kendala diatas. Sehingga bebean Amdal ssekarang yang dikembangkan sebagai alat pengelola lingkungan akan sama beratnya, malah semakin berat karena laju kerusakan lingkungan jauh pesat meninggalkan usaha-usaha manusia untuk melindungi fungsi lingkungan.

Bab XI PARTISIPASI MASYARAKAT10

DALAM PENDIDIKAN (Suatu Bahasan Kebijakan Pendidikan)A. Pengantar Seperti diketahui bahwa United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2004 ini menempatkan Human Development Index (HDI) Indonesia pada urutan 111 dari 175 negara. Bahkan dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Philipina, posisi Indonesia berada di bawah mereka. Tiga komponen peningkatan HDI yakni indeks kesehatan, indeks perekonomian, dan indeks pendidikan. Kondisi di atas terkait dengan adanya tuntutan pengembangan sumberdaya manusia yang terus menerus meningkat dari waktu ke waktu. Standar mutu baik dari jenis karya, kualitas jasa, dan produk, serta layanan mengalami dinamisasi kualitas untuk pemenuhan kebutuhan dan kepuasan hidup manusia yang terus meningkat pula. Ini artinya bahwa layanan pendidikan kita haruslah mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Hal lain yang menjadi pertimbangan penulisan judul ini adalah belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam ikutserta mengembangkan kualitas pendidikan di tanah air ini. Tanggungjawab pengembangan pendidikan anak atau generasi bangsa yaitu berada pada orang tua, masyarakat, dan negara. Partisipasi masyarakat di sini tercakup di dalamnya peran orangtua dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya di luar sekolah atau lembaga pendidikan. Peran dominan orang tua terutama pada saat anak-anak mereka berada dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang dewasa. Pada masa pertumbuhan orang tua harus memenuhi kebutuhan pokok demi menjamin perkembangan yang sehat dan baik. Menurut Russell (1993) orang tua harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anaknya antara lain udara segar, makanan bergizi, kesempatan bermain, kebebasan tumbuh dan berekspresi, serta lingkungan yang aman secara fisik sehingga bebas dari luka-luka dan bencana. Pada tahap berikutnya hingga anak dewasa, orang tua berperan mengantarkan dan memfasilitasinya hingga menjadi dirinya sendiri. Peran dari kelompokkelompok masyarakat lainnya adalah membantu proses pendewasaan dan kematangan individu sebagai anggota kelompok dalam suatu masyarakat. Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, kita ingin menjadikan generasi masa depan bangsa Indonesia sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tulisan ini secara khusus bertujuan ingin menggambarkan bahwa tanggung jawab untuk peningkatan mutu pendidikan bukan saja oleh negara tetapi justru sebaliknya yang terpenting adalah oleh orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan reaktualisasi partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan. 11

B. PartisipasiMasyarakat Kata partisipasi masyarakat dalam pembangunan menunjukkan pengertian pada keikutsertaan mereka dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan (United Nation, 1975). Dalam kebijakan nasional kenegaraan saat ini, melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan atau partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada umumnya dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil, dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff. 1980). Secara lebih rinci, partisipasi dalam pembangunan berarti mengambil bagian atau peran dalam pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya (Sahidu, 1998). Selama ini, penyelenggaraan partisipasi masyarakat di Indonesia dalam kenyataannya masih terbatas pada keikutsertaan anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan pro gram-program pembangunan saja. Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakankebijakannya. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan. Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan untuk warga atau kelompok dari suatu masyarakat, maka tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi. 12

Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Perlu ditumbuhkan adanya kemauan dan kemampuan keluarga/warga atau kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebaliknya juga pihak penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan perlu memberikan ruang dan/atau kesempatan dalam hal lingkup apa, seluas mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan mekanisme bagaimana partisipasi masyarakat itu dapat dilakukan. Ada tidaknya kemauan keluarga/warga atau kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia terkait dengan paradigma pembangunan yang dominan saat ini dan sebelumnya. Paradigma pembangunan yang sentralistik yang dianut pemerintah sampai satu dekade yang lalu, telah menumbuhkan opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama pembangunan (dalam bidang pendidikan) adalah terletak di tangan pemerintah. Warga dan kelompok masyarakat yang lebih ditempatkan sebagai bukan pemain utama telah merasa terpinggirkan, walaupun mengurus kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Menurut Sutrisno (1995) perencanaan pembangunan yang demikian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai suatu subsistem yang diasumsikan sebagai bagian pasif dari sistem pembangunan. Kesan tersebut telah melemahkan kemauan berpartisipasi warga dan kelompok-kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya. Kemampuan berpartisipasi terkait dengan kepemilikan sumber daya yang diperlukan untuk dipartisipasikan, baik menyangkut kualitas sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti dana, tenaga, dan lain-lain. Agar kemampuan untuk berpartisipasi dimiliki oleh masyarakat, maka perlu peningkatan sumber daya manusia dengan cara memperbaharui dan meluaskan tiga jenis pendidikan masyarakat baik formal, nonformal maupun informal. Akses yang luas terhadap tiga jenis pendidikan tersebut akan mempercepat tingginya tingkat pendidikan dan pada gilirannya akan memampukan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan (termasuk pengembangan pendidikan). Bagi suatu masyarakat, hakikat pendidikan diharapkan mampu berfungsi menunjang bagi kelangsungan dan proses 13

kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata perilaku lainnya kepada generasi mudanya. Tiap masyarakat selalu berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode zamannya kepada generasi muda melalui pendidikan, atau secara khusus melalui interaksi sosial. Dengan demikian fungsi pendidikan tidak lain adalah sebagai proses sosialisasi (Nasution, 1999). Dalam pengertian sosialisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas pendidikan sebenarnya sudah dimulai semenjak seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan eksternal di luarnya, yakni keluarga. Seorang bayi yang baru lahir tentunya hidup dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Menyadari hal demikian sang ibu berupaya memberikan segala bentuk curahan kasih sayang dan buaian cinta kasih melalui air susunya, perawatan yang lembut serta gendongan yang begitu mesra kepada si bayi. Begitulah proses tersebut berlangsung selama si bayi masih tetap memerlukan pertolongan intensif dari manusia lain. Sampai pada umur tertentu ia tumbuh dan berkembang dengan sehat di dalam mahligai cinta kasih keluarga, perpaduan sepasang manusia yang menjadi orang tuanya. Anggota keluarga baru itu terus menerus belajar mengetahui, mempelajari serta melakukan berbagai reaksi terhadap stimulus dari dunia barunya. Lalu, sang bayi juga berusaha memahami esensi nilai-nilai kemanusiaan dari keluarganya dalam bentuk gerak tubuh, belajar berbicara, tertawa serta semua tindak tanduk yang menggambarkan bahwa jiwa raganya telah terpaut erat oleh belaian kasih sayang manusia dewasa. Begitulah pendidikan berjalan dalam keluarga. Proses tersebut berlangsung pula ketika seseorang tumbuh menjadi manusia dewasa. Pendidikan sebagai proses sosialisasi di masyarakat berjalan mulai dari lingkungan yang terkecil sampai lingkungan yang terbesar dari individu tersebut. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula ternyata masyarakat dunia secara global telah ikut mempengaruhi iklim pendidikan. Pengaruh modernisasi di berbagai sektor kehidupan telah melahirkan karakter pendidikan yang hampir sama di seluruh dunia, meskipun memiliki ciri khas tertentu di tiap-tiap negara. Dalam masyarakat yang sudah maju, proses pendidikan sebagian dilaksanakan dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah dan pendidikan dalam lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu kegiatan yang lebih teratur dan terdeferensiasi. Inilah pendidikan formal yang biasa dikenal oleh masyarakat sebagai schooling (Tilaar, 2003). Oleh karena tuntutan tugas keluarga dan masyarakat, lalu tugas-tugas di atas diambil alih oleh sekolah, atau sebaliknya keluarga dan masyarakat telah merasa memandatkan atau menyerahkan tugas tersebut sepenuhnya kepada sekolah. Jadi seakan-akan tugas sosialisasi agar suatu generasi dapat mencapai 14

prestasi tertentu, dikonotasikan menjadi tugas sekolah. Apabila pada masa tertentu suatu generasi dengan capaian prestasi tertentu, maka lalu dikonotasikan pula bahwa hasil capaian tersebut adalah merupakan prestasi sekolah. Padahal, apabila tugas pendidikan telah tercerabut dari program lingkungannya atau masyarakatnya, dapat dipastikan akan menghasilkan suatu capaian yang tidak memuaskan hasilnya bagi masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa antara sekolah, keluarga, dan masyarakat saling berpacu menuju perubahan. Akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, suatu keluarga dan anggotanya terkadang lebih maju di depan daripada sekolah tempat anak-anaknya dikirim untuk diharapkan dapat mengembangkan diri. Demikian juga dengan kelompokkelompok masyarakat, baik itu dari jasa industri, kelompok profesi atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya terkadang telah lebih dahulu maju di depan daripada sekolah itu sendiri. Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satusatunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar. Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumbersumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas internet yang telah menjadi sekolah maya. Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi di masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina hubungan sosial, rasa 15

kebersamaan, kohesi sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan reaktualisasi partisipasi masyarakat dalam rangka perbaikan mutu layanan dan output pendidikan. Dikatakan sebagai reaktualisasi karena sebenarnya dalam usaha pendidikan pada dasarnya sudah menjadi bagian dari tugas mereka (yaitu para orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya). D. Reaktualisasi Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan di Indonesia Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif. Namun dalam kenyataannya, arti pembangunan mengalami gelombang pasang sesuai kebutuhan dan tuntutannya. Pada saat di mana suatu program pembangunan didominasi oleh peran pemerintah dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu hanya ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-program pembangunan itu. Sebaliknya, apabila kemudian peran masyarakat kuat dan ditempatkan sebagai subjek, maka akan bermakna sebagai upaya pemberdayaan atau penguatan masyarakat, baik secara institusional maupun perseorangan anggota masyarakat (Karsidi, 2002). Penguatan masyarakat secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. menyusun program, dan bekerja secara sistematis, serta bisa merasakan adanya perkembangan dan kemajuan sebagai hasil kegiatan mereka. Pembentukan dan pengembangan kelompok masyarakat dapat dikatakan sebagai basis dari strategi pembangunan dari bawah. Dari kelompok-kelompok itu diharapkan akan timbul 16

dinamika dari bawah. Hal yang mendasar dalam kelompok adalah perlunya penyadaran warga masyarakat untuk mau dan mampu berpartisipasi sehingga dalam kelompok terjadi dinamika sebagai institusi masyarakat. Pada dasarnya, partisipasi masyarakat telah terjadi di sekolah dalam praktik penyelenggaraan musyawarah maupun pembentukan institusi lokal. Dua jenis kebijakan pemerintah tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah serta Majelis Wali Amanah (MWA) di perguruan tinggi BHMN adalah contoh dari bentuk perwujudan mekanisme dan struktur kelembagaan untuk menyalurkan partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan. Masalahnya adalah apakah kedua contoh kelembagaan tersebut telah mampu menjadi saluran partisipasi yang benar-benar mewakili masyarakat yang seharusnya diwakilinya. Lebih dari itu, apakah lembaga-lembaga tersebut telah menjalankan fungsi penyaluran partisipasi masyarakat dari yang seharusnya disalurkan. Selama ini keterwakilan dalam suatu organisasi atau forum biasanya diserahkan kepada warga negara yang digolongkan sebagai tokoh masyarakat atau elit. Namun cara seperti ini terkadang justru menyebabkan warga biasa (yang bukan tokoh) tidak akan mampu menjadi bagian dari forum dan pada gilirannya tidak tersalurkan pula aspirasinya. Komponen-komponen masyarakat baik orang tua siswa, atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya di luar sekolah, seharusnya mempunyai tanggung jawab mengembangkan pendidikan secara mikro yaitu dalam lingkup pendidikan di sekolah dan secara makro adalah untuk pengembangan sumber daya manusia bangsa. Dalam hal apa saja seharusnya mereka berpartisipasi? Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tanggung jawab pengembangan pendidikan sebagai proses sosialisasi adalah berada pada orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan. Tanggung jawab tersebut tidak pernah lepas tetapi pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma pembangunan sentralistik. Oleh karena paradigma tersebut telah bergeser menuju kepada peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali partisipasi masyarakat, maka perlu segera dilakukan upaya pemulihan dan pengembalian tanggung jawab masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala mikro maupun skala makro. Inilah yang saya sebut sebagai reaktualisasi partisipasi masyarakat, karena sebenarnya yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah justru masyarakat itu sendiri. Mengacu pada lingkup partisipasi masyarakat, maka dalam pengembangan pendidikan, masyarakat harus dilibatkan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya. Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai 17

diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara. Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan. Sebagai contoh adalah tanggungjawab dunia usaha/industri. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut ber tanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompokkelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara demikian, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat tersebut. Bagaimana dengan tanggungjawab negara terhadap pengembangan pendidikan? Uraian di atas bukan bermaksud untuk mengurangi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam bidang pendidikan. Sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas, 2003 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan, serta berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara dari usia tujuh sampai usia lima belas tahun. Lebih dari itu, sebenarnya peluang bagi orang tua/warga dan kelompok masyarakat masih sangatlah luas. Untuk itu, maka dalam kondisi kualitas layanan dan output pendidikan sedang banyak dipertanyakan mutu dan relevansinya, maka pemerintah seharusnya memberikan peluang yang luas bagi partisipasi masyarakat. Lebih dari itu, pemerintah perlu menyusun mekanisme sehingga orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat dapat berpartisipasi secara optimal dalam pengembangan 18

pendidikan di Indonesia. E. Kesimpulan 1. Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama pembangunan (dalam bidang pendidikan) hanya terletak di tangan pemerintah, menyebabkan masyarakat merasa hanya ditempatkan sebagai bukan pemain utama dan berakibat melemahkan kemauan berpartisipasi warga dan kelompokkelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Kondisi ini telah merugikan pengembangan pendidikan itu sendiri dan semakin memberatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara. 2. Perkembangan teknologi (terutama di bidang teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan mulai bergeser. Di kemudian hari sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar. Peranan orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat menjadi sangat penting untuk mengisi kekosongan peran yang tidak lagi mampu diambil oleh sekolah/lembaga pendidikan. 3. Bergesernya paradigma pembangunan sentralistik ke desentralistik telah membuka peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan. 4. Orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat harus dilibatkan dalam pengembangan pendidikan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya. 5. Media dan forum yang dapat dimanfaatkan untuk penyaluran partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan antara lain adalah media musyawarah dan pembentukan institusi masyarakat yang mampu menampung aspirasi masyarakat, terutama di wilayah atau komunitas tempat sekolah/lembaga pendidikan berada. 6. Diperlukan adanya peraturan perundangan yang mengatur mekanisme partisipasi masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala nasional, daerah, maupun tingkat penyelenggara pendidikan.

PARTISIPASI DAN KETERLIBATAN POLITIK Oleh: Gatut Priyowidodo Pengertian Partisipasi Politik Perspektif pertama diwakili Almond dan Verba (1965), Weiner (1977) yang menjelaskan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara yang bersifat sukarela dalam mempengaruhi proses politik. Bahkan Weiner, secara agak radikal menyatakan bahwa pemberian suara (dalam19

pemilu) tidak termasuk ke dalam bentuk partisipasi politik. Ini antara lain disebabkan warga negara tidak diperbolehkan membuat pilihan terhadap calon. Lebih tepatnya partisipasi demikian disebut support participation atau mass mobilitation pada sistem politik yang otoriter. Sementara kutub kontemporer diwakili Nelson dan Hutington (1994) yang menolak pandangan jika seremonial dan mobilisasi bisa dikategorikan sebagai wujud partisipasi politik. Menurutnya, sulit untuk memisahkan kegiatan yang bersifat volunter dengan kegiatan yang bersifat coercion terselubung, sebab keduanya dalam satu spektrum. Faktor Yang Berpengaruh Dalam Partisipasi : Pendidikan Sosialisasi pengalaman berorganisasi. Kultur Pendidikan merupakan faktor sosial yang menentukan tingkat partisipasi seseorang. Sementara pendapatan, agama, suku jenis kelamin, asal-usul merupakan faktor demografik yang mempunyai korelasi terhadap keaktifan seseorang . Burgess dan Locke (1990) membedakan pola hubungan antar peran dalam keluarga menjadi dua yakni; pola hubungan yang lebih didasarkan pada faktor yang bersifat eksternal seperti adat; pola hubungan di mana peran di dasarkan atas pengertian dan kesepakatanbersama anggota keluarga. Partisipasi politik itu apa ? Menurut Verba adalah kegiatan pribadi wrga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/ tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka (By political participation we refer to those legal activities by private citizen which are more or less directly aimed at influencing the selection of govermmental personel and/ or the actions they take). Sementara Hutington secara sederhana memberikan pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Empat hal pokok dalam partisipasi politik : Pertama, ia mencakup kegiatan-kegiatan dan bukannya sikap-sikap. pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan kefektifan politik, persepsi-persepsi tentang relevansi politik, itu semua seringkali dapat berkaitan erat dengan tindakan politik, namun juga seringkali tidak. Kedua adalah kegiatan-kegiatan warga negara preman (private citizen), sesuatu yang dibedakan orang-orang profesional di bidang politik. . Ketiga, kegiatan yang bisa secara langsung mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Kegiatan yang demikian difokuskan terhadap pejabat-pejabat umum, yang diakui mempunyai wewenang dalam pengambilan keputusan danKeempat, Pengalokasian nilai-nilai secara otoritatif di dalam masyarakat. Keempat, definisi tersebut juga mencakup semua kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi pemerintah, tidak peduli apakah kegiatan tersebut mempunyai efek atau tidak. Berhasil atau tidak, bisa berkuasa atau tidak semua bisa dikategorikan bentuk partisipasi politik.20

Sebab itu, partisipasi politik yang luas dalam politik tidak perlu berarti bahwa pemerintahan yang bersangkutan demokratis, bertanggung-jawab atau representatif. Namun begitu seringkali kata partisipasi politik mengalami pembiasan makna, ketika harus diinterpertasi dengan paradigma kepentingan yang berbeda. Karenanya agar terjadi sinkronisasi pemahaman sekurangnya ada enam rambu-rambu yang harus disepakati kedua belah pihak. Pertama, partisipasi yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk dalam pengertian ini, seperti kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik. Keempat, kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan secara tidak langsung berarti mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang diangap dapat meyakinkan pemerintah. Keduanya termasuk dalam kategori partisipasi politik. Kendatipun rambu-rambu yang dipasang tersebut sudah jelas, namun tetap pula harus disadari bahwa kualitas ataupun kuantitas partisipasi politik itupun amat beragam di masing-masing negara. Bahkan lebih spesifik lagi antara orang kota dengan orang desa ataupun orang yang berpendidikan dengan yang kurang berpendidikan bisa secara jelas menggambarkan ranking perbedaan tersebut. Studi yang dilakukan Lipset di Amerika Serikat maupun di negara-negara Eropa seperti Jerman, Swedia, Norwegia, Finladia ternyata menemukan pola umum yang hampir sama. Ia menemukan bahwa orang kota memiliki partisipasi lebih tinggi dibanding dengan orang desa. Begitu pula halnya mereka yang berumur di atas 35 dan 55 tahun lebih banyak memberikan suara daripada yang usianya di bawah 35 tahun. Pria ternyata memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi dibanding perempuan. Demikian juga mereka yang berpendidikan, berincome dan berstatus tinggi, ditemukan memiliki tingkat partisipasi politik lebih tinggi dibanding mereka yang berpedidikan, berincome dan berstatus sosial rendah. Tipologi Partisipasi Politik Menurut Milbrath dan Goel partisipasi politik ternyata dibedakan sekurangnya dalam empat kategori. Pertama apatis artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua spektator artinya orang yang setidak-tidaknya ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. Keempat pengritik artinya dalam bentuk partisipasi tak konvensional.

21

Sementara menurut Muller partisipasi politik dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku yakni individual dan kolektif. Partisipasi politik individual adalah bersifat perorangan, dalam pengertian siapapun berhak mengajukan protes atas setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah jika dirasa itu tidak dalam koridor perlindungan hak-hak publik. Mekanisme yang bisa ditempuh boleh melalui surat pembaca, saluran hotline khusus yang biasanya dibuka untuk menjaring komplain masyarakat atau bisa pula melalaui e-mail dan umunya bersifat sementara. Beda halnya dengan partisipasi politik kolektif yang terbagi atas partisipasi konvensional yang tercermin dalam pelaksanaan pemilu dan yang non konvensional (agresif) seperti pada pemogokan yang tak sah, menguasai bangunan umum dan huru-hara, waktu yang dibutuhkanpun agak lebih lama. Model Partisipasi Politik Menurut Hutington (1990:45,75), konsep partisipasi politik mengandung ukuran intensitas dan lingkup partisipasi dan model atau bentuk partisipasi politik. Intensistas dan model partisipasi tercermin dalam bentuk pemberian suara (voting), memberikan dukungan, membuat petisi, diskusi politik, lobi, kontak formal dan informal serta aktivitas kerjasama (almon and Powell, 1980). Intensitas dan model partisipasi politik tersebut mampu menghasilkan keputusan yang dapat mengubah dan mempertahankan tatanan politik (Manheim, 1975). Bahkan model dan intensitas partisipasi politik tersebut akan menghasilkan tiga klasifikasi pola partisi[pasi politik yang berbeda yaitu partisipasi politik otonom, mobilisasi dan demokratik. Sekarang terserah seluruh konstituen di Indonesia, apakah mereka akan mau berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 dan 8 Juli 2009 dalam Pilpres nanti? Semua tergantung pada rakyat dalam melihat makna peritiwa politik tersebut bagi kepentingan mereka kedepan.

Perempuan dan Partisipasi Politik Ani Purwanti Permasalahan keterlibatan warga negara (perempuan) dibidang politik di Indonesia telah lama menjadi perhatian masyarakat terutama bagi yang memperjuangkan kesetaraan gender. Sebenarnya keinginan tersebut tidak menjadi monopoli sebagai masyarakat saja tetapi sudah menjadi tuntutan dan cita-cita kita semua yaitu bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama (khususnya dibidang politik). Dalam membangun sistem hukum, maka yang akan dibangun tidak hanya mampu membangun landasan bagi proses perubahan tetapi juga harus mampu menjadi avand garde dalam mengawal dan mengarahkan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan (Yusril Ihza Mahendra) Perubahan yang diinginkan tersebut bisa jadi bertumpu pada tingkat pembuatan kebijakan sehingga bidang ini sangat strategis bagi perubahan perubahan atas apapun yang menjadi cita cita atau sering disebut legal reform. Terkait dengan permasalahan diatas maka pertanyaan lanjutannya adalah apa yang sebaiknya dilakukan perempuan? Dan mengapa perempuan perlu terlibat baik secara langsung (aktif) maupun tidak langsung (pasif). Seperti kita ketahui jika permasalahan di masyarakat masih menunjukkan indikasi dimana perempuan, anak menjadi korbannya bisa diartikan persoalan ketimpangan gender masih cukup kuat di tengah tengah kita. Indikator tersebut bisa dilihat dari :22

Subordinasi Meski pun jumlah kaum perempuan mencapai lebih dari 50% dari semua penduduk, namun posisi mereka ditentukan dan dipimpin oleh kaum lelaki. Subordinasi tersebut tidak saja secara global melainkan juga dalam birokrasi pemerintahan, dalam masyarakat maupun dalam rumah tangga. Banyak sekali kasus baik dalam tradisi, tafsiran keagamaan, maupun dalam birokrasi di mana kaum perempuan diletakan sebagai subordinasi dari kaum lelaki. Marginalisasi Marginalisasi terjadi dalam budaya, birokrasi maupun program pembangunan. Di samping itu banyak sekali jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, selain dianggap bernilai rendah, juga mendapat imbalan ekonomis lebih rendah. Stereotip atau label negatif Stereotif adalah suatu bentuk ketidakadilan budaya, yakni pemberian label yang memojokkan kaum pertempuan sehingga berakibat pada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya label kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat merugikan mereka jika mereka hendak aktif dalam kegiatan lelaki seperti kegiatan politik dan bisnis maupun birokrasi. Sementara label lelaki sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa saja yang dihasilkan kaum perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cendrung tidak diperhitungkan. Beban ganda (burden) Jika kita lihat pada umumnya suatu rumah tangga, beberapa jenis kegiatan yang dilakukan oleh lelaki dan beberapa yang dilakukan oleh perempuan, dari pengamatan menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan domestik. Terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Kekerasan (violence) Berbagai bentuk kekerasan baik pisik, psikis, seksual terhadap kaum perempuan akibat perbedaan gender masih cukup tinggi. Jika di tengah masyarakat berbagai persoalan yang disebabkan faktor faktor tersebut diatas masih dominan, bisa diartikan perempuan masih harus berusaha memaksimalkan berbagai upaya secara strategis untuk mencapai keadilan gender. Secara rinci keterlibatan perempuan bisa dikelompokkan dalam berbagai bidang misalnya bagaimana upaya pemberdayaannya, pendidikan politiknya (kesadaran atas hak sipil dan politik) dan partisipasinya sebagai pemilih dan yang dipilih, serta keterwakilan perempuan baik di DPR/D Kabupaten, Kota dan DPD. Secara konseptual dibedakan antara partisipasi dan keterwakilan. Partisipasi adalah agenda yang diformulasikan dan dipengaruhi oleh perorangan (individual) dan keterwakilan adalah proses dari berbagai pihak dalam posisinya sebagai pengambil keputusan /menyampaikan agenda politik mewakili kelompok kepentingan (misalnya partai politik) Beberapa hambatan keberhasilan partisipasi dan keterwakilan perempuan untuk terlibat secara di bidang politik adalah : Faktor Manusianya, dalam hal ini diri perempuan sendiri yang selama ini belum terkondisikan untuk terjun dan berperan di arena apolitik dan kehidupan publik, karena sejak kecil lebih dibiasakan atau ditempatkan dalam lingkup kehidupan rumah tangga dan keluarga, yang selalu dinilai lebih rendah daripada yang dikerjakan oleh laki-laki di lingkup kehidupan publik; dan karenanya kedudukan (status) perempuan dianggap lebih rendah (- subordinasi) dari laki-laki. Akibatnya, perempuan lebih berperan sebagai objek dan pelaksana, serta tidak mendapat akses/kesempatan23

untuk berperan sebagai pengambil keputusan dan penentu kebijakan publik, sehingga perempuan tertinggal di berbagai bidang kehidupan dan tidak menerima manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (Gender Equality and Justice) seperti yang dijamin oleh Pasal 27 jo Pasal 28 H ayat 2 Undang-undang Dasar 1945. Hambatan Nilai-nilai Sosial Budaya, yaitu nilai-nilai, citra-baku/Stereotype, pandangan dalam masyarakat yang dikonstruksi/dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki di posisi pemimpin, penentu dan pengambil keputusan dengan kedudukan superior, sehingga perempuan menjadi warga negara kelas 2, didiskriminasikan dan dimarginalkan (Isu Gender), termasuk tafsir ajaran agama yang bias gender. Akibatnya, posisi-posisi penentu kebijakan publik di lembaga-lembaga perwakilan, pemerintahan, didominasi oleh laki-laki, termasuk di partai-partai politik; Hambatan struktural dan kelembagaan, termasuk dalam pengertian ini ialah system politik Indonesia yang maskulin, peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan bias gender, sistem quota dalam UU Pemilu yang setengah hati. Sistem perencanaan pembangunan nasional yang Top-down dan tata pemerintahan yang tidak tanggap gender; belum optimalnya Political Will dari para penentu kebijakan di pusat dan daerah untuk melaksanakan Gender Mainstreamin dalam merumuskan program/proyek pembangunan. Akibatnya, yang Subordinat (perempuan) tetap di bawah dan terpinggirkan. Ketiga faktor di atas saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga intervensi terhadap ketiganya harus dijalankan serempak (Simultaneously), baik dari segi manusianya, lingkungan nilai budaya dan struktur/kelembagaannya. Ani Purwanti, SH M Hum Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

Penutup: Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional Arti kata partisipasi masyarakat seringkali diberikan pada pengertian keterlibatan atau peran serta masyarakat. Atau, partisipasi dalam pengertian ini dapat juga berarti mengambil bagian atau peran dalam pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya. Dalam realitasnya itu, pengertian partisipasi sepertinya masih terbatas pada keikutsertaan masyarakat dalam implementasi atau penerapan pelbagai program pendidikan yang dicanangkan pemerintah. Itu artinya, pula bahwa partisipasi dalam pengertian ini lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi dalam pengertian yang lebih ideal berarti masyarakat ikut serta dalam merumuskan kebijakan. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya24

kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Kemauan dan kemampuan berpartisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai badan dunia dan lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini adalah pihak pemerintah. Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari pihak luar yang dalam hal ini masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi. Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, pemerintahan perlu memberikan ruang atau kesempatan kepada masyarakt untuk berpatisipasi. Namun demikian, kesempatan untuk berpartisipasi itu pun perlu pembatasan dalam hal lingkup apa, seluas mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan mekanisme bagaimana. Dalam tataran partisipasi masyarakat yang terkait dengan bidang pendidikan nasional menilik pengalaman Malaysia, seluruh jenjang pendidikan diselenggarakan secara nasional. Ini artinya, pendidikan mulai peringkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi dilakukan sepenuhnya oleh negara. Hal itu terkait dengan filosofi pendidikan mereka yang meletakkan pendidikan nasional sebagai wahana utama internalisasi wawasan kebangsaan dalam kerangka pembentukan identitas bangsa. Terkait dengan pengalaman itu, bagi Indonesia yang penduduknya terdiri atas pelbagai sukubangsa peran negara dalam pendidikan nasional jelas menjadi penentu utama pembentuk identitas bangsa. Walaupun dalam prakteknya bisa saja peran negara tidak dilakukan pada setiap jenjang pendidikan. Dalam konteks itu, pendidikan dasar dan menengah secara nasional peran negara harus begitu kuat, karena yang menjadi landasan filosofi pendidikan ini adalah bagaimana nilai-nilai yang berhubungan dengan wawasan kebangsaan ditanamkan sejak awal untuk membetuk identitas keindonesiaan. Sedangkan, bagi pendidikan tinggi peran masyarakat dalam hal ini badan dunia atau lembaga swadaya masyarakat dapat menompang filosofi pendidikan tinggi untuk kepentingan inovasi dan kreativitas dengan pendekatan pemikiran kritis. Simpulannya, adalah pendidikan nasional sebagai upaya membentuk semangat nasionalisme, tampaknya porsi besar ditanggung sepenuhnya oleh negara. Lain halnya yang tidak menyangkut misi bukan pengembangan semangat nasionalisme atau pembentukan identitas bangsa dapat diberikan kesempatan berpartisipasi kepada masyarakat baik yang datang dari badan dunia maupun lembaga swadaya masyarakat. Dalam konteks itu, partisipasi yang bernuansa masyarakat lebih diarahkan pada bagaimana mewujudkan keindonesiaan bagi seluruh peserta didik dengan tidak mengabaikan proses terbentuknya keseimbangan nilai-nilai kebangsaan dan nilai ilmu pengetahuan.

Mengelola Partisipasi Menuju Good GovernanceSenin, Desember 3, 2007 WIB Print Halaman ini 25

Oleh : Mashudi SR Demokratisasi yang terus menggeliat di negeri ini, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan, kepercayaan dan keterlibatan semua warga negara. Keterlibatan tersebut menjadikan upaya konsolidasi demokrasi bisa terlaksana. Mengutip Saiful Mujani (2007), bahwa demokrasi adalah sikap sekaligus tindakan. Dengan demikian, sejauhmana demokrasi terkonsolidasi, ditentukan pada tingkat perilaku, yakni tindakan demokratis atau partisipasi politik yang reguler. Eratnya kaitan partisipasi masyarakat dengan stabilitas politik dan demokrasi, memang sebuah hal yang niscaya. Tanpa kepedulian dari masyarakat, sulit rasanya akan lahir sebuah tatanan kehidupan yang saling menghormati dalam semagat egaliter. Sebaliknya yang muncul adalah ketertindasan, ketidaknyamanan, menyempitnya ruang publik dan kemiskinan serta ketidakadilan. Perubahan iklim kehidupan demokrasi pasca kejatuhan Soeharto pada media mei 1998, telah merubah wajah dan perilaku kehidupan negeri ini. Masyarakat yang sebelumnya dirumuskan sebagai penerima manfaat, saat ini mereka sudah harus di(me)posisikan pada pihak yang ikut terlibat dalam merumuskan kebijakan pembangunan. Kehadiran mereka menjadi sesuatu yang niscaya. Secara perlahan pula, konsep pembangunan berubah menjadi pembangunan yang partisipatif. Pengikutsertaan publik dalam proses penentuan kebijakan publik, karenanya telah dianggap sebagai salah satu cara yang efektif untuk menampung dan mengakomodasi beragam kepentingan. Dengan kata lain, upaya pengikutsertaan publik yang terwujud melalui perencanaan partisipatif dapat membawa keuntungan substantif dimana keputusan publik yang diambil akan lebih efektif disamping akan memberi sebuah rasa kepuasan dan dukungan publik yang cukup kuat terhadap suatu proses pembangunan. Hadirnya masyarakat dalam proses tersebut saat ini telah menjadi sebuah gerakan yang terus disuarakan. Bahwa hal itu adalah hak yang sudah semestinya dilakukan. Tanggungjawab negara memastikan hak tersebut berada pada tempat yang aman dan nyaman. Dengan kata lain, ruang keterlibatan publik harus diberikan dan dijaga oleh negara sebagai bagian dari tanggungjawabnya. Karena itu, partisipasi publik bukanlah hadiah dari negara, melainkan hak yang sejatinya selalu melekat kapan dan dimanapun warga masyarakat berada. Indonesia yang sedang berproses menjadi negara demokratis, tentunya berkepentingan agar ruang partisipasi publik tetap terjamin. Meski harus pula disadari, dalam prakteknya institusiinstitusi negara seringkali mengabaikan hal tersebut. Masyarakat diberi ruang untuk terlibat hanya sebatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah. padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan. Begitulah, partisipasi saat ini menjadi seperti endemi yang menyerang setiap ruang pusat kesadaran masyarakat. Disemua daerah dan level pemerintahan, kata ini menjadi ikon yang begitu populer dan karenanya harus dipatenkan dalam sebuah produk hukum berskala daerah. Ini seakan menjadi bukti bahwa pengakuan negara akan hak tersebut sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya, belum melahirkan keyakinan dari masyarakat. Karena itu, lahirlah berbagai produk hukum daerah yang secara khusus mengatur segala seluk-beluk tentang keterlibatan masyarakat dalam proyek pembangunan daerah. Mulai26

dari perencanaan, penyusunan, pembahasan dan pelaksanaan. Revolusi Kesadaran Persoalan mendasar dari pelaksanaan partisipasi ini adalah, belum adanya kesadaran bersama yang tumbuh dikalangan pembuat kebijakan. Aparatur pemerintah di semua institusi negara masih menganggap kehadiran masyarakat dalam sebuah proses perumusan kebijakan berpotensi mengganggu dan memperlambat proses tersebut. Karena itu, keterlibatan mereka harus dibatasi. Hampir semua proses yang terjadi di tubuh pemerintahan berkaitan dengan proses membangun perekonomian, pendidikan, kesehatan dan hak-hak masyarakat lainnya, sepi dari keterlibatan publik. Perencanaan yang dilakukan berjalan sendiri. Idem dito dengan pelaksanaannya. Pemerintah begitu rapat menutup pintu bagi terbukanya ruang-ruang keterlibatan tersebut. Kalaupun dibuka, masih setengah-setengah. Dalam upaya membangun tata pemerintahan yang baik, dimana prinsip transparansi dan akuntabilitas diperlukan, tentu saja kondisi di atas menjadi bertolak belakang. Terlebih dalam semangat otonomi daerah, hal mana perencanaan pembangunan partisipatif lahir guna memaksimalkan peran dan fungsi daerah otonom, dengan menentukan sendiri strategi perencanaan daerahnya. Karenanya pertimbangan-pertimbangan kebutuhan kapasitas, keragaman pelaku dalam pelaksanaan proses perencanaan di tingkat daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah menjadi sangat penting. Strategi perencanaan tersebut mengadopsi prinsip pemerintahan yang baik seperti pembuatan keputusan yang demokratis, partisipasi, transparansi dan sistem pertanggungjawaban dan mencoba menyerapkannya pada kondisi lokal. Situasi ketertutupan juga terjadi diwilayah legislatif. Ruang-ruang keterlibatan publik selalu dipenuhi dengan aroma politik. Begitu susah mendapatkan akses informasi dari rumah rakyat tersebut yang berkaitan dengan keberlangsungan hajat hidup mayarakat. Dilibatkannya publik oleh para wakil rakyat dalam proses pembahasan sebuah peraturan, masih terkesan setengah hati. Sekadar menggugurkan kewajiban bahwa peraturan yang sedang dibahas dan nantinya akan diberlakukan itu, sudah terlebih dahulu melalui konsultasi publik. Sesungguhnya sempitnya ruang keteribatan publik adalah cermin dari belum berjalannya demokrasi. Sebab sistem ini mensyaratkan adanya kebebasan masyarakat dalam mengejawantahkan hak-haknya. Termasuk hak untuk terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan proyek pembangunan dan kebijakan. Sejatinya pendekatan partisipatif dalam konteks apapun, termasuk dalam perencanaan, selalu dikaitkan dengan proses demokratisasi, di mana masyarakat sebagai elemen terbesar dalam suatu tatanan masyarakat diharapkan dapat ikut dalam proses penentuan arah pembangunan. Dengan pemikiran ini, menjadi penting untuk melakukan perubahan secara besar dan sungguhsungguh terutama dilingkungan birokrasi pemerintahan dan legislatif. Komponen masyarakat yang sudah mengalami pencerahan berkepentingan membalik situasi ini kearah yang lebih demokratis. Pada titik ini sinergisitas merupakan hal mendasar dalam melakukan upaya membalik kesadaran tersebut. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan strategi dan waktu yang panjang. Sebab merubah sesuatu yang sudah mapan dalam cara pikir dan bertindak di tubuh eksekutif dan legislatif, akan melahirkan perlawanan yang kuat. Karena itu strategi menjadi penting diperhatikan. Bagaimana menemukan pola yang tepat guna mendesain model dan bentuk keterlibatan publik pada proses pembangunan. Intinya bagaimana memberikan kesempatan positif kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses mengidentifikasi, membahas, menyampaikan persepsi, kebutuhan dan tujuan-tujuan bagi pembangunan. Tidak Cukup Dengan Aturan27

Dengan semangat tersebut, maka upaya mendorong terbukanya ruang keterlibatan publik tidak berhenti ketika aturan hukum yang mengatur tentang itu lahir. Sebab semua norma-norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan itu, tidak akan bermakna apabila para penyelenggaran tata pemerintahan ini tidak memiliki kesadaran tersebut. Khusus untuk Aceh yang telah memiliki payung hukum berupa Qanun No.3/2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, belumlah cukup untuk memastikan bahwa keterlibatan masyarakat akan bisa berjalan dengan baik. pada prakteknya pasca qanun tersebut disahkan, masih tetap terjadi pengabaian hak-hak masyarakat. Karenanya, dibutuhkan upaya untuk mendesain model partisipasi publik yang sesuai dengan kebutuhan, terutama menyangkut lingkup partisipasi yang sesuai. Dari sini kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas di tingkat sistem, institusi, dan individu untuk menjamin kontinuitas perkembangan inovasi dan konsepnya pada masa yang akan datang, harus sesegera mungkin dijawab. Jawaban dari semua itu akan bermuara pada terwujudnya kehidupan demokrasi yang cita-citakan dan tata pemerintahan yang baik yang diidam-idamkan. Fastabiqu al-Khairat**Anggota Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) Aceh

BEBERAPA TEKNIK PEMBELAJARAN PARTISIPATIF3 02 2009

BEBERAPA TEKNIK PEMBELAJARAN PARTISIPATIF 3 02 2009

Banyak sekali teknik pembelajaran yang dapat dipakai dalam pembelajaran partisipatif. Masing-masing teknik mempunyai kekuatan dan kelemahan. Selain itu, masing-masing teknik mungkin lebih cocok dilakukan pada tahap tertentu, tetapi beberapa teknik dapat dipakai pada beberapa tahap pembelajaran yang berbeda.

Untuk menyederhanakan pembahasan, dan untuk memusatkan perhatian pembaca, di sini hanya dipilih beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pelatihanpelatihan yang diadakan oleh penulis. Sebaiknya Anda mendalami teknik-teknik pembelajaran yang dibahas di sini, dan berusaha untuk menerapkannya dalam pelatihan yang akan Anda adakan, sampai Anda merasa mantap menggunakannya. Setelah itu Anda dapat menambah perbendaharaan teknik pembelajaran yang Anda kuasai dengan memperlajari teknik-teknik yang lain. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) yang sudah terbukti unggul dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan peserta didik. 28

Berikut ini diberikan gambaran umum tentang beberapa teknik pembelajaran partisipatif.

1. Teknik Delphi:

Teknik Delphi digunakan untuk menghimpun keputusan-keputusan tertulis yang diajukan oleh sejumlah calon peserta didik atau para pakar yang tempat tinggalnya terpisah-pisah dan mereka tidak dapat berkumpul atau tidak dapat bertemu muka dalam menentukan keputusan-keputusan itu. Keputusan-keputusan tersebut menyangkut tujuan kegiatan belajar, perencanaan kegiatan, pemecahan masalah yang dihadapi bersama, dan lain sebagainya. Karena itu teknik ini sangat cocok dipakai pada tahap perencanaan program.

Teknik Delphi pada dasarnya merupakan proses kegiatan kelompok dengan menggunakan jawaban-jawaban tertulis dari para calon peserta didik atau para pakar terhadap pertanyaan-pertanyaan tertulis yang diajukan kepada mereka. Kegiatan ini bertujuan untuk melibatkan para calon peserta didik atau para pakar dalam membuat keputusan bersama sehingga keputusan-keputusan itu lebih berbobot dan menjadi milik bersama.

Teknik Delphi tidak mensyaratkan peserta didik dan para pakar untuk berkumpul atau bertemu muka. Karena itu teknik ini sangat berguna untuk melibatkan pimpinan lembaga dan masyarakat dalam memberika masukan terhadap rencana pelatihan.

Teknik Delphi pada dasarnya merupakan rangkain pertanyaan yang bertahap dan berkelanjutan. Pertanyaan-pertanyaan pertama memerlukan jawaban-jawaban yang bersifat umum seperti tentang tujuan program kegiatan belajar, masalah dan pemecahannya. Pertanyaan berikutnya disusun dan dikirimkan kembali kepada responden berdasarkan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan pertama. Proses tanya jawab ini berakhir apabila kesepakatan di antara calon peserta didik atau para pakar telah tercapai setelah informasi yang lengkap terkumpul.

Langkah-langkah pelaksanaan teknik ini adalah sebagai berikut: 29

a. Pelatih atau perencana program menyusun daftar pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan, kebutuhan belajar, tujuan belajar, masalah dan hambatan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan rencana program.

b. Pelatih atau perencana program menghubungi para calon peserta didik atau para pakar yang akan terlibat dalam pelatihan. Untuk itu dapat dipakai berbagai sarana komunikasi yang tersedia, seperti surat, telepon, e-mail dan lain-lain. Pada kesempatan ini pelatih memperkenalkan diri kepada calon peserta, menjelaskan kepada peserta bahwa mereka akan dikirimi daftar pertanyaan. Pelatih juga perlu menjelaskan bahwa informasi yang diberikan oleh peserta akan berguna untuk merancang pelatihan yang akan memenuhi kebutuhan mereka, dan memotivasi mereka untuk melibatkan diri secara aktif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.

c. Pelatih atau perencana program mengirimkan daftar pertanyaan, dan meminta peserta untuk mengisi dan mengembalikan daftar pertanyaan tersebut kepada pelatih.

d. Pelatih atau perencana program menganalisa jawaban-jawaban yang diberikan, dan merumuskan kesimpulan.

e. Berdasarkan hasil analisa di atas, pelatih atau perencana program membuat lagi pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus dan terperinci.

f. Pelatih atau perencana program melakukan langka (c) dan (d).

g. Pelatih atau perencana program merumuskan dan menetapkan keputusan berdasarkan informasi tersebut.

2. Diad

30

Teknik diad atau berpasangan merupakan teknik belajar partisipatif yang melibatkan dua orang yang berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Teknik diad sangat cocok dilakukan pada tahap pembinaan keakraban, khususnya kalau peserta belum saling mengenal. Teknik ini digunakan agar peserta lebih mengenal satu sama lain dan lebih akrab, sehingga akan mengurangi atau meniadakan hambatan komunikasi di antara para peserta. Hal ini perlu dilakukan agar peserta pelatihan dapat lebih ikut terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran. Tetapi teknik diad bukan hanya dipakai pada tahap perkenalan, melainkan dapat dipakai pada tahap pembelajaran lain yang menuntut pemikiran yang tajam dan mendalam.

Teknik diad dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana, bahkan oleh orang-orang yang belum berkenalan satu sama lain. Pada tahap perkenalan, teknik ini dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Mula-mula pelatih meminta peserta untuk mencari seorang pasangan dari antara peserta yang lain. Kalau dilakukan pada tahap pembinaan keakraban, sebaiknya peserta mencari pasangan yang belum dikenal.

b. Kemudian pelatih memberikan pokok-pokok yang harus ditanyakan secara bergantian oleh masing-masing pasangan, misalnya: nama, umur, pendidikan, pekerjaan, minat, kegemaran, latar belakang keluarga, alasan mengikuti pelatihan, dll. Untuk membuat pembelajaran lebih menarik, dapat pula ditanyakan pengalaman yang paling lucu atau berkesan. Hasil wawancara disusun secara tertulis berdasarkan urutan pertanyaannya.

c. Apabila pasangan diad sudah selesai saling mewawancarai, masing-masing peserta diminta memperkenalkan pasangannya kepada seluruh kelompok. Cara memperkenalkannya dapat diselingi dengan guyonan, nyanyian, deklamasi, dan sebagainya.

d. Pelatih dapat memberikan komentar singkat setelah setiap pasangan melaporkan hasil wawancaranya. Sebaiknya komentar yang diberikan merupakan humor, tetapi jangan sampai menyakiti hati orang yang dikomentari.

3. Curah Pendapat (Brainsorming): 31

Curah pendapat adalah teknik pembelajaran yang dipakai untuk menghimpun gagasan dan pendapat untuk menjawab pertanyaan tertentu, dengan cara mengajukan pendapat atau gagasan sebanyak-banyaknya. Curah pendapat dilakukan dalam kelompok yang pesertanya memiliki latar belakang yang berbedabeda. Hal ini akan memberikan peluang untuk mendapatkan sebanyak mungkin pendapat atau gagasan yang berbeda. Pada kegiatan curah pendapat, yang ditekankan adalah menghasilkan pendapat atau gagasan yang sebanyakbanyaknya dalam waktu yang singkat.

Dalam pelaksanaan teknik ini setiap peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya atau gagasannya. Pelatih atau fasilitator atau peserta yang tidak sedang menyampaikan pendapat tidak boleh menyanggah atau memberikan komentar terhadap pendapat atau gagasan yang disampaikan oleh peserta yang sedang berbicara, tetapi menerima saja setiap pendapat atau gagasan yang disampaikan.

Kegiatan curah pendapat dilakukan sebagai berikut:

a. Pelatih menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran. Sebagai contoh, pelatih dapat menanyakan apa yang diperlukan peserta untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas atau pekerjaannya.

b. Pelatih mengajukan pertanyaan tersebut kepada peserta. Kemudian pelatih memberikan waktu 2-3 menit kepada setiap peserta untuk memikirkan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Perlu pula dijelaskan bahwa setiap peserta hanya perlu menyampaikan pendapatnya, tidak boleh megkritik atau menyela pendapat orang lain.

c. Pelatih dapat berperan sebagai juru tulis yang mencatat pendapat atau gagasan itu di papan tulis atau pada kertas (flipchart) yang disediakan, atau menunjukkan seorang dari peserta untuk melaksanakan tugas tersebut.

d. Sesudah peserta diberi kesempatan untuk memikirkan jawabannya, peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas. Setiap 32

pendapat akan ditulis di papan tulis atau kertas yang sudah disediakan. Pelatih dapat memberi batasan waktu untuk melakukan kegiatan ini, misalnya 5 atau 10 menit.

e. Sesudah waktu habis, pendapat atau gagasan yang terkumpul dapat dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori tertentu. Pada akhirnya tim dapat memgevaluasi pendapat-pendapat yang sudah terkumpul.

4. Kelompok Kecil:

Kelompok kecil terdiri dari dua orang atau lebih. Kelompok ini dapat terdiri dari orang-orang yang memiliki minat dan keahlian yang sama (homogen), dapat juga terdiri dari orang-orang yang memiliki minat atau keahlian yang berbeda (heterogen). Pemilihan kelompok homogen atau heterogen ditentukan oleh tugas yang diberikan atau masalah yang dihadapi. Kalau tugas yang diberikan masih dalam tahap penjajagan dan memerlukan pemikiran yang meluas, lebih baik kalau membentuk kelompok-kelompok yang heterogen. Tetapi kalau tugas atau masalah yang dihadapi memerlukan pemikiran yang tajam dan mendalam, mungkin lebih baik kalau membentuk kelompok-kelompok yang homogen.

Setiap kelompok dapat membahas pokok pikiran atau topik bahasan tertentu. Dalam kelompok kecil peserta dapat mengungkapkan pikiran, gagasan atau pendapat tentang pokok pikiran atau topik yang dibahas. Melalui kegiatan ini peserta dapat tukar menukar informasi tentang topik yang dibahas sehingga dapat dicapai kesepakatan di antara peserta. Hasil dari diskusi kelompok kecil ini kemudian dapat dibagikan dalam kelompok besar, yaitu di hadapan seluruh peserta yang lain.

Kegiatan diskusi kelompok kecil dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Sebelum diskusi dilangsungkan, pelatih menghimpun sebanyak-banyaknya informasi yang berhubungan dengan pokok pikiran atau topik yang akan dibahas.

33

b. Pelatih menyusun uraian suatu topik dan masalah yang ada. Uraian topik ini mungkin berupa pernyataan-pernyataan atau uraian pendek dalam bentuk cerita. Pada akhir uraian, pelatih melontarkan masalah, baik dalam bentuk pertanyaan maupun dalam bentuk tugas yang harus dikerjakan oleh masing-masing kelompok. Perlu pula dicantumkan lamanya waktu yang disediakan untuk membahas topik itu.

c. Sebelum meminta peserta untuk memulai diskusi, pelatih p