pengembangan KKL melalui CBD
Transcript of pengembangan KKL melalui CBD
PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT MELALUI
COMMUNITY BASED DEVELOPMENT / CBD
I. PENDAHULUAN
Konservasi menjadi hal yang sangat dipertimbangkan di berbagai bidang pada masa
sekarang ini. Konservasi diperlukan untuk menyelamatkan dan melindungi sesuatu yang dianggap
penting di masa mendatang sehingga ketersediaannya harus dijaga. Sesuai dengan yang tercantum
dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya di mana konservasi bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya
alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sumberdaya hayati yang terdapat di
wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu sumberdaya yang mendapat perhatian dari
pemerintah terkait pengembangan kawasan konservasi. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah
Indonesia yang berada di pesisir dan tentunya berbatasan langsung dengan laut lepas. Untuk
menjamin ketersediaan sumberdaya hayati yang berasal dari pesisir maupun laut yang menjadi
sumber mata penghidupan masyarakat sekitar, pemerintah menetapkan beberapa kawasan
konservasi laut.
Menurut Supriharyono (2009), ada 41 kawasan konservasi laut yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Kawasan konservasi laut ini dikembangkan dengan berbagai pertimbangan,
antara lain dari segi lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya. Sosial budaya merupakan aspek
penting dalam pengembangan suatu kawasan konservasi mengingat manusia tidak pernah bisa
terlepas dari sumberdaya hayati untuk mendukung kehidupannya. Masyarakat lokal yang bermukim
di sekitar kawasan konservasi pada umumnya telah mempunyai hubungan yang panjang dengan
daerah tersebut. Mereka menggantungkan kebutuhan hidupnya sehari-hari dari sumberdaya yang
ada di dalamnya. Karena itu, sering terjadi konflik kepentingan antara pemerintah dengan
masyarakat lokal saat akan ditetapkannya daerah tersebut menjadi kawasan konservasi. Latar
belakang masyarakat pesisir yang umumnya berpendidikan dan berpenghasilan rendah
menyebabkan konflik sulit diatasi. Apalagi ditambah karakteristik sumberdaya pesisir dan laut yang
merupakan milik bersama (common property). Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan
strategi konservasi yang berbasis masyarakat atau community based development (CBD). Dengan
demikian, masyarakat merasa turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya
sendiri.
II. PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
2.1. Pengertian Konservasi
Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pengertian ini
mengandung makna bahwa dalam upaya konservasi, sumberdaya alam bukan tidak boleh
dimanfaatkan sama sekali. Tetapi, pemanfaatannya harus memperhatikan prinsip pengelolaan yang
baik agar ketersediaannya terjaga dan lestari.
Lebih lanjut, konservasi direalisasikan ke dalam suatu kawasan yang biasa disebut dengan
kawasan konservasi. Kawasan konservasi dikenal sebagai salah satu bentuk konservasi in situ yang
penting. Menurut IUCN (1994) dalam Adiprasetyo, dkk. (2009) kawasan konservasi didefinisikan
sebagai suatu kawasan daratan atau laut yang didedikasikan untuk proteksi dan pemeliharaan
keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam yang terkait dengan sosial budaya dan dikelola
berdasarkan hukum atau cara lain yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi. Berdasarkan
Keppres No. 32 Tahun 1990, kawasan konservasi ini terdiri atas tiga kawasan, yakni kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawah (hutan lindung, bergambut, resapan air); kawasan
perlindungan setempat (sempadan pantai, sungai, sekitar danau atau waduk, mata air); dan kawasan
suaka alam dan cagar budaya (suaka alam, hutan bakau, taman nasional, cagar budaya dan ilmu
pengetahuan) (Supriharyono, 2009).
2.2. Kawasan Konservasi Laut
Konservasi sumberdaya hayati pesisir dan laut merupakan suatu upaya perlindungan
terhadap kelestarian habitat serta biota akuatik di daerah pesisir dan laut. Habitat ini meliputi sub-
sistem estuaria, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Keseluruhan atau sebagian ekosistem tersebut dapat ditemui dalam satu kawasan konservasi laut.
IUCN dalam Susanto (2009) mendefinisikan Kawasan Konservasi Laut (KKL) sebagai sebuah areal
yang berada di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta
berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah
ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik
sebagian maupun keseluruhannya.
Sampai saat ini sudah ada sekitar 41 kawasan konservasi laut yang terdapat di Indonesia.
Menurut statusnya, kawasan konservasi laut tersebut dibedakan atas dua macam, yaitu Suaka Alam
Laut dan Pelestarian Alam Laut. Suaka Alam Laut terdiri atas Cagar Alam (10 lokasi) dan Suaka
Marga Satwa (6 lokasi). Sedangkan Pelestarian Alam Laut terdiri atas Taman Nasional Laut (7
lokasi), Taman Wisata Alam Pantai dan Laut (18 lokasi). Kawasan konservasi tersebut tersebar di
seluruh wilayah perairan Indonesia, dengan total area 5.143.536,30 ha. Selain dengan penetapan
kawasan konservasi laut, upaya konservasi juga didukung dengan program-program pemerintah
seperti COREMAP (Coral Reef Management Program) untuk pengelolaan ekosistem terumbu
karang. Hasil dari program ini diharapkan dapat dikembangkan di kawasan konservasi laut
(Supriharyono, 2009).
III. PERAN SERTA MASYARAKAT
3.1. Posisi Masyarakat dalam Konservasi
Daerah yang dijadikan sebagai kawasan konservasi biasanya merupakan daerah bebas yang
selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk mencari makan. Dalam konteks konservasi
sumberdaya hayati pesisir dan laut, masyarakat yang umumnya nelayan sudah secara turun-temurun
menangkap ikan di laut dan sekitar pantai. Saat daerah tersebut dijadikan kawasan konservasi oleh
pemerintah, maka terdapat beberapa zona dengan pemanfaatan yang terbatas. Hal ini tentu
memberatkan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari daerah tersebut.
Selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya
manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan
kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program;
masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima
keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan
tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian, 2004). Untuk mengoreksi pengertian tersebut, Nasdian
(2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri,
dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
Masyarakat tidak dapat dihindarkan dari kegiatan konservasi maupun pembangunan
kawasan konservasi di daerahnya. Sesuai pendapat Nasdian di atas, peran serta masyarakat di
kawasan konservasi laut adalah dengan berperan aktif terhadap kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan konservasi. Seperti yang dituliskan Supriharyono (2009) bahwa peran
masyarakat sangat diperlukan dalam setiap program pembangunan, termasuk konservasi. Hal ini
mengingat masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan daerah atau area yang akan
dijadikan objek pembangunan. Maka, posisi masyarakat dalam kegiatan konservasi adalah sebagai
pemeran utama dalam perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan, maupun pengawasan dari
sumberdaya alam hayati itu sendiri.
3.2. Manfaat Konservasi Bagi Masyarakat
Konservasi memiliki manfaat penting bagi masyarakat mengingat tujuan utama konservasi
yakni mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati untuk mendukung kesejahteraan manusia.
Konservasi sumberdaya pesisir dan laut mempunyai manfaat tersendiri bagi masyarakat yang
bermukim di sekitar kawasan tersebut. Di mana masyarakatnya sangat bergantung kepada
ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut untuk pemenuhan hidupnya sehari-hari seperti mencari
ikan dan budidaya tambak. Beberapa manfaat dari adanya kawasan konservasi laut di daerah
mereka antara lain adalah terlindunginya sistem laut dan estuaria sehingga dapat dimanfaatkan
secara terus-menerus dalam jangka panjang dan mempertahankan keanekaragaman genetik;
terjaganya habitat bagi kelangsungan hidup populasi dan spesies langka; terlindunginya kawasan
yang merupakan siklus hidup spesies ekonomis penting; mencegah aktivitas luar yang
memungkinkan kerusakan kawasan konservasi laut; memberikan kesejahteraan terus-menerus
dengan menyelamatkan, melindungi, dan mengelola daerah-daerah estuaria, mempermudah dalam
menginterpretasikan sistem laut dan estuaria untuk tujuan konservasi, pendidikan, dan pariwisata;
menyediakan sarana untuk penelitian dan pelatihan, pemantauan pengaruh manusia sebagai dampak
pembangunan dan pemanfaatan lahan (Supriharyono, 2009).
IV. PENGEMBANGAN STRATEGI CBD DALAM PENGELOLAAN KKL
Strategi community based development dalam pengembangan kawasan konservasi laut di
Indonesia perlu dikembangkan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana sehingga lebih mudah
dipahami dan diterapkan dalam masyarakat. Salah satunya adalah dengan melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan kawasan konservasi laut. Masyarakat merupakan komponen utama penggerak
pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di daerahnya. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap
keberadaan kawasan konservasi perlu diarahkan kepada cara pandang akan pentingnya pelestarian
sumberdaya pesisir dan laut melalui kawasan konservasi tersebut. Masyarakat diharapkan dapat
memperhitungkan sendiri berapa besar sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk sekarang dan
bagaimana upaya menjaga ketersediaannya agar dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang.
Prinsip pengelolaan tersebut merupakan pengelolaan berbasis masyarakat di mana menurut
Rahardjo dalam Bengen (2000) mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Mengelola di sini mengandung arti, masyarakat ikut
memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, memonitor dan
mengevaluasi sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Dengan membiarkan masyarakat sendiri
mengelola dan mengusulkan, diharapkan apa yang menjadi kebutuhannya, keprihatinan dan
aspirasinya dapat tertampung.
Pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat juga perlu memperhatikan kelompok-
kelompok dalam masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang ada di kawasan tersebut.
Bengen (2000) mengungkapkan bahwa suatu pembangunan berbasis masyarakat dapat terbentuk,
jika ada satu kelompok berkolaborasi, karena mereka sadar tidak dapat mengerjakan suatu tugas
sendiri-sendiri dan tidak dapat mencapai tujuan secara individual baik karena sifat dari tugas atau
tujuan itu sendiri, maupun karena keterbatasan sumber-sumber. Kebersamaan dan kesamaan dalam
perhatian, kepedulian, biasanya membuta masyarakat bersatu. Jika kebersamaan itu melembaga,
dan menimbulkan kesetiakawanan, rasa saling percaya, tercipta aturan-aturan main, maka inilah
dasar dari terbentuknya basis masyarakat.
Pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat menuntut adanya pemberdayaan
atau peningkatan kesadaran masyarakat dalam pelestarian sumberdaya alam di wilayah pesisir dan
laut. Peningkatan kesadaran masyarakat ditujukan untuk meyakinkan kepada masyarakat pesisir
akan manfaat jangka panjang dari perlindungan kawasan pesisir dan laut. Karenanya, peran serta
masyarakat harus dipusatkan pada identifikasi, perancangan dan pelaksanaan berbagai
kemungkinan manfaat yang dapat diperoleh dari usaha perlindungan kawasan pesisir dan laut.
Peningkatan kesadaran masyarakat antara lain dapat dilakukan dengan pendidikan, pelatihan, dan
bimbingan moral; mengembangkan sarana dan prasarana; menyebarluaskan arti konservasi
ekosistem sumberdaya pesisir dan laut, kaitannya dengan kegiatan di masyarakat; menyebarluaskan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari; melakukan pengawasan terhadap
sumberdaya yang telah langka dan kritis; juga dengan pemulihan habitat sumberdaya yang telah
rusak (Supriharyono, 2009).
Pemberdayaan masyarakat setempat tidak saja dapat memecahkan sebagian masalah dana
dan tenaga dalam lingkup lokal, namun sekaligus dapat pula menanggulangi konflik yang sering
terjadi antara masyarakat dan pengelola kawasan. Secara tidak langsung, hal ini dapat membuat
fungsi kawasan pengelolaan menjadi lebih optimal, dan pada gilirannya dapat mempercepat tujuan
pengelolaan tersebut (Hasan dalam Sudarmadji, 2002).
V. PENUTUP
Pengembangan kawasan konservasi laut melalui pengembangan berbasis masyarakat
(community based development) merupakan salah satu strategi dalam upaya pengelolaan kawasan
konservasi laut yang dapat diterapkan di Indonesia. Dengan adanya pemahaman dan keterlibatan
langsung masyarakat terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam di daerahnya, diharapkan
pengelolaan bisa lebih efektif dan tepat sasaran. Selain itu, juga untuk menghindari adanya konflik
antara pihak pengelola atau pemerintah dengan masyarakat lokal yang telah lama mendiami
kawasan konservasi tersebut. Pengembangan berbasis masyarakat ini tentunya juga harus mendapat
dukungan dan perhatian, khususnya dari pemerintah dan pengelola kawasan agar dapat berjalan
dengan baik. Bila masyarakat telah mampu mengelola kawasan konservasi laut dengan baik, maka
sumberdaya alam hayati yang berasal dari pesisir maupun laut dapat lestari dan terjaga
ketersediaannya untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetyo, Teguh; Eriyatno, Erliza Noor, dan Fadjar Sofyar. 2009. Sikap Masyarakat Lokal
Terhadap Konservasi dan Taman Nasional sebagai Pendukung Keputusan dalam
Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat (Studi Kasus di Kabupaten Kerinci dan
Lebong, Indonesia). Jurnal bumi lestari, volume 9 no. 2, agustus 2009, hlm. 173 – 186
Bengen, D.G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nasdian, F.T. 2004. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Fakultas Pertanian
IPB. Bogor.
Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah (The Important of Society Empowering in
the Effor of Biodiversity Conservation in the Era of Local Autonomy Implementation).
Jurnal ILMU DASAR, Vol. 3 No. 1, 2002:50-55
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Susanto, R.F. 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Taman
Nasional Karimunjawa. www.kolokiumkpmipb.wordpress.com. Diakses tanggal 26 Oktober
2010.
Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya