Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

10
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG AKIBAT BLEACHING DAN SEDIMENTASI EKOLOGI WILAYAH PESISIR DAN LAUT AHDIAT P 0201212401

Transcript of Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

Page 1: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG AKIBAT BLEACHING DAN SEDIMENTASI

EKOLOGI WILAYAH PESISIR DAN LAUT

AHDIATP 0201212401

PROGRAM PASCASARJANAPROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH

KONSENTRASI MANAJEMEN KELAUTANUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2012

Page 2: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

A. Pendahuluan Tingkat kerusakan terumbu karang yang diamati berdasarkan persentasi penutupan karang hidup dan biota hidup lainnya menurut Suharsono dan Sukarno (1992), menggambarkan bahwa dari 24 lokasi yang tersebar di Perairan Indonesia, 6 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39,5 % dalam keadaan rusak.Sementara itu, menurut KLH (1993), 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai ingkat mengkhawatirkan, 46% telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan hanya 7 % dalam keadaan sangat baik.Terumbu Karang atau coral reefs merupakan ekosistem yang dibangun oleh komponen-komponen abiotik, terutama lingkungan perairan dan komponen tumbuhan hayati berupa binatang karang (Coelenterata), sponge, ikan, moluska, cacing, plankton laut, holothuria, crustacea, rumput laut, asteroid dsb, membentuk suatu harmoni kehidupan yang saling mendukung dalam keseimbangan lestari. Pembentuk utama ekosistem ini adalah bintang karang penghasil deposit kerangka kapur (CaCO3) yang terbentuk secara terus menerus hasil kerjasama saling menguntungkan antara jenis alga renik (zooxantelae) dengan binatang karang (coral). Kemampuan dari alga renik untuk mampu memanfaatkan hasil sekresi dan respirasi berupa mukus, gas CO2 dalam proses fotosintesa menjadikan keberadaan organisme tersebut mendukung terbentuknya zat kapur, sedangkan oksigen yang dihasilkan oleh proses tersebut digunakan langsung untuk menunjang kehidupan koral dan organisme di lingkungan perairan di sekitarnya.

B. Tentang BleachingSebagian besar karang adalah binatang-binatang kecil (disebut POLIP) yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara: pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton dan kedua, melalui alga kecil (disebut zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang. Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup di satu jenis karang (Rowan dan Knowlton, 1995; Rowan et al., 1997). Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan : warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip (Sebens, 1997). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang (Muscatine, 1990).Dalam karang pembentuk terumbu, kombinasi fotosintesis dari alga dan proses fisiologis lainnya dalam karang membentuk kerangka batu kapur (kalsium karbonat). Pembentukan kerangka yang lambat ini, diawali dengan pembentukan koloni dan kemudian membentuk kerangka kerja tiga dimensi yang rumit menjadikan terumbu karang sebagai tempat berlabuh bagi banyak jenis biota, yang banyak diantaranya penting untuk kehidupan masyarakat dan komunitas pesisir.Bleaching atau “Pemutihan” karang (yaitu menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al., 1999; Fitt et al., 2000). Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa dibeberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50–80% dari pigmen fotosintesinya. (Glynn, 1996). Ketika penyebab masalah itu disingkirkan, karang yang terinfeksi dapat pulih kembali, tetapi jumlah zooxanthellae kembali normal, tetapi hal ini tergantung dari durasi dan tingkat gangguan lingkungan (Hoegh-Guldberg,1999). Gangguan yang berkepanjangan dapat membuat kematian sebagian atau keseluruhan tidak hanya kepada individu koloni tetapi juga terumbu karang secara luas.

Page 3: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

Belum banyak yang dimengerti dari mekanisme pemutihan karang. Akan tetapi, diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu menganggu kemampuan zooxanthellae untuk berfotosintesis, dan dapat memicu produksi kimiawi berbahaya yang merusak sel-sel mereka (Jones et al., 1998; Hoegh-Guldberg dan Jones, 1999). Pemutihan dapat pula terjadi pada organisme-organisme bukan pembentuk terumbu karang seperti karang lunak (soft coral), anemon dan beberapa jenis kima raksasa tertentu (Tridacna spp.), yang juga mempunyai alga simbiosis dalam jaringannya. Sama seperti karang, organisme-organisme ini dapat juga mati apabila kondisi-kondisi yang mengarah kepada pemutihan cukup parah.Akibat dari pemutihan sangat bervariasi. Pola pemutihan yang berbeda-beda dapat ditemukan dibeberapa koloni dari jenis yang sama, antara jenis yang berlainan di terumbu yang sama dan antara terumbu disuatu daerah (Brown, 2000; Huppert dan Stone, 1998; Spencer et al., 2000). Penyebabnya masih belum dapat diketahui, kemungkinan berbagai jenis tekanan alami atau gabungan dari beberapa tekanan menjadi pemicunya bersama dengan variasi-variasi dari jenis zooxanthellae dan kerapatan dalam koloni. Jenis Zooxanthellae yang berbeda dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa zooxanthellae telah menunjukkan dapat beradaptasi kepada beberapa jenis jenis karang tertentu; hal ini dapat menjelaskan variasi pemutihan pada satu jenis karang (Rowan et al., 1997).Koloni karang yang telah memutih, apakah mereka mati seluruhnya atau hanya sebagian, lebih rapuh terhadap perkembangan alga yang berlebihan, penyakit dan organisme karang yang menjangkiti kerangka dan melemahkan struktur terumbu karang. Hasilnya adalah bilamana kematian tinggi, terumbu yang memutih berubah secara cepat dari warna putih salju menjadi abu-abu kecoklatan pupus seiring dengan perkembangan alga menutupi mereka. Bila dampak pemutihan yang terjadi sangat parah, alga yang berkembang secara ekstensif dapat mencegah rekolonisasi karang-karang baru, yang secara dramatis merubah pola-pola keanekaragaman jenis karang dan menyebabkan restrukturisasi komunitas tersebut.

C. Beberapa Penyebab BleachingTekanan penyebab pemutihan antara lain tingginya suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan dan sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi. Mayoritas pemutihan karang secara besar-besaran dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan laut (SPL) dan khususnya pada HotSpots (Hoegh-Guldberg, 1999). HotSpot adalah daerah dimana SPL naik hingga melebihi maksimal perkiraan tahunan (suhu tertinggi pertahun dari rata-rata selama 10 tahun) dilokasi tersebut (Goreau dan Hayes, 1994). Apabila HotSpot dari 1°C diatas maksimal tahunan bertahan selama 10 minggu atau lebih, pemutihan pasti terjadi (Wilkinson et al., 1999; NOAA, 2000). Dampak gabungan dari tingginya SPL dan tingginya tingkat sinar matahari (pada gelombang panjang ultraviolet) dapat mempercepat proses pemutihan dengan mengalahkanmekanisme alami karang untuk melindungi dirinya sendiri dari sinar matahari yang berlebihan. (Glynn, 1996; Schick et al., 1996; Jones et al., 1998). Peristiwa pemutihan dalam skala besar di tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an tidak dapat dijelaskan keseluruhannya sebagai akibat dari faktor tekanan local seperti contohnya sirkulasi air yang buruk dan segera dikaitkan dengan peristiwa El Nino (Glynn, 1990). Tahun 1983 adalah tahun tercatatnya El Nino terkuat hingga saat itu, diikuti oleh peristiwa serupa tahun 1987 dan yang kuat lagi tahun 1992 (Goreau dan Hayes, 1994). Pemutihan karang telah muncul pula di tahun yang bukan merupakan tahun-tahun ElNino, dan telah dikenali sebagai faktor lain selain naiknya SPL yang dapat terkait, seperti angin, awan yang menutup dan hujan (Glynn, 1993; Brown, 1997).Peristiwa pemutihan dalam skala besar dipengaruhi oleh naik-turunnya SPL, dimana pemutihan dalam skala kecil seringkali disebabkan karena tekanan langsung dari manusia (contohnya polusi) yang berpengaruh pada karang dalam skala kecil yang terlokalisir. Pada saat pemanasan dan

Page 4: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

dampak langsung manusia terjadi bersamaan, satu sama lain daapt saling mengganggu. Apabila suhu rata-rata terus menerus naik karena perubahan iklim dunia, karang hampir dapat dipastikan menjadi subjek pemutihan yang lebih sering dan ekstrim nantinya. Oleh karena itu, perubahan iklim saat ini dapat menjadi ancaman terbesar satu-satunya untuk terumbu karang di seluruh dunia.

D. Strategi Pemulihan Terumbu Karang Akibat Bleachinga. Mengurangi dan mengontrol aktivias masyarakat di darat yang dapat menyebabkan peningkatan

keasaman air laut, misalnya polusi udara dan sampah.b. Menetapkan ekosistem karang yang rusak sebagai daerah konservasic. Menjaga keseimbangan aliran energy dan siklus materi di daerah konservasi.d. Memberlakukan peraturan yang melarang praktik penangkapan ikan yang merusak (seperti

dengan peledak, jaring insang (gill net), pukat cincin (purse seine), sianida dan racun lain) yang dapat merusak terumbu karang.

e. Pendidikan/penyuluhan kepada masyarakat tentang dampak rusaknya ekosistem karang terhadap berukurangnya populasi ikan serta dampaknya secara ekonomi.

E. Sedimentasi dan Dampaknya Terhadap KarangIndonesia adalah salah satu negara yang kaya akan keanekaragamanhayatinya, salah satunya adalah keanekaragaman hayati terumbu karang. Indonesia mempunyai hampir sepertiga jenis karang yang ada di dunia. Proses terbentuknya terumbu karang ini bukan dalam waktu yang singkat namun merupakan suatu proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu karang, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang ahermatifik dan karang hermatifik, karang ahermatifik adalah karang yang tidak dapat membentuk terumbu, sedangkan karang hermatifik merupakan karang yang dapat membentuk terumbu.Untuk mendapatkan pertumbuhan yang maksimum terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang hangat, sirkulasi air yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi. Namun saat ini kondisi terumbu karang yang ada di indonesia telah mengalami berbagai macam kerusakan, baik oleh manusia maupun faktor alam. Salah satunya adalah karena adanya proses sedimentasi.Sedimentasi ini adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, es, angin, atau gletser di suatu cekungan. Sedimen laut ini berasal dari berbagai sumber material yang berasal dari erosi material yang meliputi fragmen - fragmen batuan dengan berbagai ukuran dan bentuk, organisme yang mati, yang kemudian terbawa oleh aliran sungai, angin, es yang mencair, atau aliran bawah tanah yang masuk ke dalam samudra dengan berbagai proses tertentu. Sedimen ini dibentuk dari material yang berasal dari hasil pembongkaran batu-batuan, cangkang molluska, serta sisa dari rangka-rangka organisme laut. Sedimen laut juga dapat berasal dari udara, air, dan daratan. Namun sebagian besar material berasal dari sedimen berasal darat yang dibawa oleh aliran sungai. Partikel-partikel yang ada di laut dapat berasal dari detritus yang terangkut oleh sungai, benda atmosfer, aktifitas biologi, reaksi kimia, dan pengadukan dari sedimen dasar laut. Sedimen laut yang paling menonjol berasal dari batuan klastik, yang biasa di bawa oleh aliran sungai masuk ke dalam laut. Apabila di dalam sedimen yang dominan adalah material organik seperti pada daerah terumbu, maka sedimen yang berasal dari biogenik akan melimpah. Sedimen klastik tertahan untuk masuk ke dalam laut, karena digoyang-goyangkan oleh gelombang secara terus-menerus, maka mengakibatkan pemisahan pecahan-pecahan klastik. Partikel-partikel berukuran kasar akan diendapkan dekat pantai, sedangkan partikel yang berukuran lebih halus akan masuk ke perairan yang relatif dalam. Adanya arus lokal seperti arus turbidit, sewaktu-waktu dapat mempercepat gerakan partikel kasar dan halus ini masuk ke perairan yang relatif lebih dalam. Terumbu karang merupakan tumbuhan yang memiliki banyak kegunaan dan kelebihan, namun terumbu karang merupakan ekosistem yang rapuh dan mudah rusak akibat tekanan dari sedimen baik secara langsung atau tidak langsung. Tekanan sedimentasi pada ekosisitem terumbu karang dapat

Page 5: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

menyebabkan kematian terumbu karang, karena kebanyakan karang hernatifik tidak dapat bertahan dengan adanya sedimen yang berat, yang menutupi dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Proses sedimentasi dapat menyebabkan pengaruh yang negatif terhadap terumbu karang. Memalui mekanisme shading dan smoothing sedimen dapat menyebabkan pertumbuhan karang terhambat bahkan mati. Efek dari sedimentasi ini dapat menyebabkan bioerosi pada karang oleh berbagai organisme macroboring seperti bivalva, cacing, dan spons. Sedimentasi juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan kematian karang batu pada saat proses rekrutmen melalui proses mekanisme smothering. Pada tingkat jaringan, sedimentasi juga dapat mempengaruhi tingkat ketebalan jaringan pada polip karang. Kondisi stress pada karang yang diakibatkan oleh sedimentasi juga dapat terlihat dari menurunnya jumlah alga zooxanthellae dan kosentrasi klorofil pada jaringan polip karang.Tingkat sedimentasi yang tinggi menyebabkan tingkat kekeruhan yang tinggi pula sehingga dapat menyebabkan berkurangnya kecerahan di dalam air yang berakibat pula terhadap penetrasi cahaya dalam suatu perairan. Cahaya ini adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Cahaya dibutuhkan Zooxanthellae (alga yang bersimbiosis dengan karang) dalam proses fotosintesis, sementara pengaruh tekanan sedimentasi tidak sesuai lagi dengan lingkungan yang cocok bagi alga Zooxanthellae yang hidup pada karang, sehingga alga Zooxanthellae akan meninggalkan karang, sehingga terjadi pemutihan pada karang. Bila kondisi perairan tidak sesuai dengan kebutuhannya maka alga tersebut akan mencari habitat perairan yang cocok baginya, sehingga pemasukan oksigen bagi karangakan terhenti, Sementara hampir 30-90% energi terumbu karang berasal dari Zooxanthellae. Yang pada akhirnya terumbu karang akan mati.Secara berurutan, kejadian pengaruh sedimentasi terhadap hewankarang dimulai dengan terganggunya fotosintesis zooxhantellae dan proses selanjutnya adalah tertutupnya koloni karang oleh partikel sedimen. Respon awal akibat tingginya kekeruhan terhadap alokasi energin hewan karang ditunjukkan oleh besarnya kemampuan dalam penggunaan sumber energi heterotrop. Hal ini mengindikasikan bawa sumber energi autotrop yang biasanya diperoleh dari simbion karang zooxanthellae sudah tidak dapat di peroleh lagi. Dengan katalain, zooxanthellae telah lolos dari jaringan karang atau kemungkinan tidak dapat berfungsi lagi dalam menyumbang energi utama karang. sebagaimana diketahui bahwa energi utama karang diperoleh dari zooxanthellae selain dari pemangsaan zooplankton. Jenis-jenis karang tertentu dapat beradaptasi terhadap kondisi sedimen disekitarnya sampai pada kisaran tertentu. Karang yang memiliki ukuran polip yang lebih besar akan lebih bisa bertaha pada kondisi perairan yang keruh dari pada karang dengan ukuran polip yang kecil. Bentuk adaptasi lain dari terumbu karang terhadap sedimentasi adalah melalui adaptasi morfologi, yaitu dengan memiliki bentuk pertumbuhan tertentu. Pengaruh sedimentasi terhadap pertumbuhan karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung yaitu jika ukuran sedimennya itu cukup besar sedimen yang terdeposit akan menutupi permukaan polip. Sedangakan pengaruh tidak langsung adalah melalui penetrasi cahaya dan banyaknya energi yang di keluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang mengakibatkan menurunnya laju pertumbuhan terumbu karang. Apabila jumlah sedimen cukup tinggi dan melebihi kemampuan batas polip karang untuk beradaptasi, maka akan terjadi kematian dan penurunan penutupan terumbu karang pada daerah tersebut. Di sisi lain apabila sedimen mengandung sejumlah besar bahan organik maka akan tejadi invasi oleh alga. Pertumbuhan karang, seperti di Pantai Bandengan, Jepara, JawaTengah, lambat pada musim hujan karena banyaknya sedimen. Sebaliknya cepat pada musim kemarau. Sebagai contoh, pertumbuhan acropora aspera hanya sekitar 1-2 mm/bulan pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau mencapai > 10 mm/bulan. Demikian pula pada keanekaragaman dan tutupan karang hidup (living coral cover) pertumbuhannya cenderung rendah pada perairan yang sedimentasinya tinggi. Perairan karang di Puerto Rico yangsedimentasinya tinggi (antara 3,0-15 mg/cm2/hari), keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya yang relativ rendah. Sedimentasi ini

Page 6: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

bisa disebabkan karena penggundulan hutan, praktek pertanian yang buruk, penambangan di bawah laut (timah, bauksit, granit) dan perubahan tata guna lahan, semuanya menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sehingga menyebabkan dampak negatif bagi suatu perairan. Permasalahan tekanan sedimentasi terhadap ekosistem terumbu karang telah terjadi di beberapa wilayah di dunia seperti Hawaii, Australia, dan beberapa negara di Asia Tenggara. Kerusakan terumbu karang di Indonesia, Malaysia,Thailand, Filipina, Vietnam dan Singapura kebanyakan disebabkan karena aktivitas manusia di darat yang menyebabkan sedimentasi. Pada perairan pantai utara Pulau Jawa merupakan wilayah yang banyak aliran sungai-sungai besar yang beresiko akan kekeruhan dan sedimentasi. Keadaan ini selanjutnya akan menurunan kondisi ekosistem terumbu karang dengan rendahnya presentase penutupan karang dan keanekaragam karang. Masa pemulihan terumbu karang yang rusak oleh sedimentasi tak dapat diprediksi. Berbeda dengan kerusakan karang oleh bom, karang dapat pulihantara 10 – 50 tahun tergantung pada tingkat kerusakannya. Sedangkan Kerusakan akibat sedimentasi telah mengubah tipe substrat yang sebelumnya pasir dan batuan karang menjadi lumpur berdebu yang halus dan gampang melayang oleh arus. Substrat ini menutup karang yang akhirnya mati dan ditumbuhi makroalga. Pemulihan karang akan sulit terjadi karena laju pertumbuhan alga jauh lebih cepat dari pada laju pertumbuhan karang. Oleh sebab itu kita sebagai manusia harus menyadari sejak dini hal-hal yang mungkin dapat merusak terumbu karang. Karena terumbu karang merupakan suatu komponen yang penting bagi suatu perairan dan memiliki berbagai fungsi baik secara ekologis maupun ekonomis yang bermacam-macam yang tak lain pemanfaatannya pun akan dirasakan oleh kita sebagai manusia.

F. Pengelolaan Karang Akibat SedimentasiUpaya rehabilitasi yang bisa dilakukan antara lain :1. Pengendalian kegiatan di darat yang mengakibatkan meningkatnya sedimentasi di laut, seperti

penebangan hutan.2. Melaksanakan program penghijauan di daerah hulu.3. Sosialisasi dampak sedimentasi terhadap ekosistem laut dan hubungannya dengan ketahanan

pangan serta mengikutsertakan masyarakat pengguna dalam pengelolaannya.4. Menetapkan ekosistem karang yang rusak sebagai daerah konservasi.5. Menjaga keseimbangan aliran energy dan siklus materi di daerah konservasi.6. Memberlakukan peraturan yang melarang praktik penangkapan ikan yang merusak (seperti

dengan peledak, jaring insang (gill net), pukat cincin (purse seine), sianida dan racun lain) yang dapat merusak terumbu karang.Mengindarkan pencemaran dan peningkatan nutrien ke dalam ekosistem terumbu karang.

7. Melakukan pemantauan ekosistem terumbu karang untuk mengetahui perkembangan kondisi rehabilitasi terumbu karang.

G. Daftar PustakaAnonim. 2012. Terumbu Karang Pariaman Terhadang Sedimentasi.

http://regional.kompas.com/read/2012/01/24/03003492/Terumbu.Karang.Pariaman.Terhadang.Sedimentasi Diakses pada tanggal 8 Desember 2012.

Brown, B.E., Dunne, R.P., Ambarsari, I., Le Tissier, M.D.A. and Satapoomin, U. 1999. Seasonal fluctuations in environmental factors and variations in symbiotic algae and chlorophyll pigments in four Indo-Pacific coral species. Marine Ecology Progress Series 91

Goreau, T.J. and Hayes, R.L. (1994) Coral bleaching and ocean hotspots. AmbioGlynn, P.W. 1990. Global Ecological Consequences of the 1982–83 El Nino – Southern Oscillation.

Elsevier, Amsterdam.Glynn, P.W. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspectives. Coral ReefsGlynn, P.W. 1996. Coral reef bleaching: facts, hypothesis and implications. Global Change Biology

Page 7: Pengelolaan Terumbu Karang Akibat Bleaching Dan Sedimentasi

Huppert, A. and Stone, L. 1998. Chaos in the Pacific’s coral reef bleaching cycle. American NaturalistHoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s coral reefs.

Marine and Freshwater ResearchJones, R., Hoegh-Guldberg, O., Larkum, A.W.L. and Schreiber, U. 1998. Temperature induced

bleaching of corals begins with impairment of dark metabolism in zooxanthellae. Plant Cell and Environment

Muscatine, L. 1990. The role of symbiotic algae in carbon and energy flux in reef corals. In Z. Dubinsky (ed.) Coral Reefs: Ecosystems of the World, Volume 25. Elsevier Science, Amsterdam

Partini. 2010. Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43706. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012.

Rowan, R. and Knowlton, N. 1995. Intraspecific diversity and ecological zonation in coral algal symbiosis. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America

Rowan, R., Knowlton, N., Baker, A. and Jara, J. 1997. Landscape ecology of algal symbionts creates variation within episodes of coral bleaching. Nature

Sebens, K.P. 1987. Coelenterata. In T.J. Pandian and F.J. Vernberg (eds) Animal Energetics. Academic Press, San Diego, California

Spencer, T., Teleki, K.A., Bradshaw, C. and Spalding, M.D. 2000. Coral bleaching in the Southern Seychelles during the 1997–1998 Indian Ocean warming event. Marine Pollution Bulletin