Pengelolaan Sampah Di Palembang Dengan Metode Waste to Energy
-
Upload
adhitya-dwiky-putra -
Category
Documents
-
view
28 -
download
3
description
Transcript of Pengelolaan Sampah Di Palembang Dengan Metode Waste to Energy
Pengelolaan Sampah di Kota Palembang dengan Metode
Waste to Energy
Lingkungan
Adhitya Dwiky Putra
“Kemukakan Ide Kreatifmu sebagai Generasi EmasTeknik Kimia Universitas Sriwijaya untuk
Mengatasi Permasalahan di Daerah Sekitarmu”
RINGKASAN
Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi oleh seluruh negara di
dunia, termasuk Indonesia. Sampah merupakan sisa atau hasil penggunaan kegiatan manusia yang
tidak terpakai lagi, dari organik yang bersifat terurai hingga anorganik yang bersifat sulit terurai
oleh dekomposer. Kesadaran masyarakat akan kepedulian terhadap sampah masih sangat rendah. Itu
terlihat dari masih banyaknya masyarakat membuang sampah di pinggir jalan, selokan air, maupun
di sungai. Kejadian ini bukan hanya terjadi di kota metropolitan seperti Jakarta, tetapi di Palembang
pun hal ini masih sering terjadi.
Palembang yang terkenal dengan makanan khas seperti pempek dan kain songket yang
bernilai tinggi memiliki slogan „Bersih, Aman, Rapi, dan Indah‟ atau yang disingkat “BARI”.
Namun, slogan “BARI” tidak teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari masyarkat Palembang. Itu
masih terlihat dari menumpuknya sampah di pinggir jalan yang menyebabkan kenyamanan menjadi
terganggu dan meluasnya sampah di sungai Musi yang menyebabkan tercemarnya air di sungai
tersebut.
Banyak solusi yang dilakukan semua pihak, dari masyarakat sampai pemerintah daerah.
Dari mendaur ulang, memisah sampah sesuai jenisnya, hingga memakainya kembali dalam bentuk
yang berbeda. Tetapi, hal itu masih kurang efektif karena banyaknya produksi sampah yang
dihasilkan masyarakat. Banyak cara yang dilakukan oleh negara lain untuk mengatasi permasalahan
sampah. Di Jepang, pemerintah setempat mengeluarkan peraturan pembagian sampah menjadi 4
jenis, dimana setiap jenis sampah sudah memiliki jadwal pengangkutan sampah sesuai jenisnya. Di
Jerman, pemerintah setempat mempertimbangkan aspek-aspek seperti waste avoidance, waste
recovery dan environmentally compatible disposal dalam proses produksi dan pengemasan barang.
Terakhir di Swedia, pemerintah setempat mencanangkan program Waste to Energy atau disingkat
menjadi WtE. Dari ketiga contoh, Palembang bisa meniru seluruh program-program yang
dicanangkan negara lain. Namun, dari segi efektivitas, program di Swedia lebih tepat untuk
digunakan di Palembang sebagai solusi mengurangi jumlah sampah yang ada.
Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi oleh seluruh negara di
dunia, termasuk Indonesia. Dari sampah plastik, rumah tangga, sampai B3 (Berbau, Beracun, dan
Berbahaya). Sampah merupakan sisa atau hasil penggunaan kegiatan manusia yang tidak terpakai
lagi, dari organik yang bersifat terurai hingga anorganik yang bersifat sulit terurai oleh dekomposer.
Kalau sampah organik tidak masalah, bisa dijadikan pupuk. Masalahnya kalau sampah anorganik,
sulit diuraikan oleh bakteri karena butuh berpuluh-puluh tahun untuk menghancurkan sampah
anorganik secara alami.
Kesadaran masyarakat akan kepedulian terhadap sampah masih sangat rendah. Itu terlihat
dari masih banyaknya masyarakat membuang sampah di pinggir jalan, selokan air, maupun di
sungai. Ditambah lagi sampah-sampah yang diangkut oleh truk-truk khusus dan dibuang atau
ditumpuk begitu saja di tempat yang sudah disediakan tanpa di apa-apakan lagi. Hal ini membuat
pemandangan kota yang kurang indah di pandang, membuat banjir ketika hujan datang dan sampah
yang membusuk akan menjadi bibit penyakit di kemudian hari. Kejadian ini bukan hanya terjadi di
kota metropolitan seperti Jakarta, tetapi di Palembang pun hal ini masih sering terjadi.
Palembang merupakan kota yang terletak di Sumatera Selatan. Palembang yang terkenal
dengan makanan khas seperti pempek dan kain songket yang bernilai tinggi memiliki slogan
„Bersih, Aman, Rapi, dan Indah‟ atau yang disingkat “BARI”.
Namun, slogan “BARI” tidak teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari masyarkat
Palembang. Itu masih terlihat dari menumpuknya sampah di pinggir jalan yang menyebabkan
kenyamanan menjadi terganggu dan meluasnya sampah di sungai Musi yang menyebabkan
tercemarnya air di sungai tersebut. Meskipun gelar Adipura Kencana didapatkan Palembang, tetapi
gelar itu masih tidak ternilai akibat masih terlihat banyaknya sampah di kota Palembang. Dengan
total 600 ton sampah per hari, membuat Dinas Kebersihan Kota Palembang menjadi sibuk. Setiap
hari, diperlukan 200 truk sampah untuk mengangkut sampah-sampah.
Banyak solusi yang dilakukan semua pihak, dari masyarakat sampai pemerintah daerah.
Dari mendaur ulang, memisah sampah sesuai jenisnya, hingga memakainya kembali dalam bentuk
yang berbeda. Tetapi, hal itu masih kurang efektif karena banyaknya produksi sampah yang
dihasilkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat pun harus mencari cara yang lebih efektif untuk
mengurangi produksi sampah.
Banyak cara yang dilakukan oleh negara lain untuk mengatasi permasalahan sampah. Di
Jepang, pemerintah setempat mengeluarkan peraturan pembagian sampah menjadi 4 jenis, dimana
setiap jenis sampah sudah memiliki jadwal pengangkutan sampah sesuai jenisnya. Di Jerman,
pemerintah setempat mempertimbangkan aspek-aspek seperti waste avoidance, waste recovery dan
environmentally compatible disposal dalam proses produksi dan pengemasan barang. Terakhir di
Swedia, pemerintah setempat mencanangkan program Waste to Energy atau disingkat menjadi WtE.
Dari ketiga contoh, Palembang bisa meniru seluruh program-program yang dicanangkan
negara lain. Namun, dari segi efektivitas, program di Swedia lebih tepat untuk digunakan di
Palembang sebagai solusi mengurangi jumlah sampah yang ada.
Swedia, negara terbesar ke-56 di dunia, dikenal memiliki manajemen sampah yang baik. Di
Swedia, sebagian dari limbah antara didaur ulang atau dijadikan kompos. Limbah ini digunakan
untuk program Waste to Energy yang diimplementasikan Swedia dimana tujuan akhirnya adalah
agar dapat merubah limbah menjadi tenaga panas dan listrik.
WtE atau Waste to Energy mempunyai 3 teknologi di dalam prosesnya yaitu incineration,
gasification, dan biogas. Incineration adalah konsep dimana sampah dibakar praktis pada kondisi
sesuai keadaan yang diterima tanpa mengalami pemrosesan yang rumit terlebih dahulu. Pemrosesan
yang diperlukan hanya bertujuan untuk mengurangi kadar air sampah. Pada konsep ini sampah yang
telah dipilah-pilah dibakar dalam ruang bakar untuk menghasilkan panas yang nantinya dapat
dimanfaatkan sebagai penggerak turbin uap. Selanjutnya, gasification pada prinsipnya adalah
mengkonversi sampah menjadi syngas yang terdiri atas hidrogen dan karbon oksida dengan metode
kekurangan udara. Gas ini kemudian dapat langsung dimanfaatkan sebagai penggerak turbin gas
atau dimanfaatkan sebagai bahan bakar setelah dibersihkan dari hidrogen sulfida dan ammonia pada
turbin uap. Proses gasifikasi ini menggunakan komponen utama yang disebut gasifier. Terakhir,
biogas dihasilkan dari proses anaerobic fermentation. Proses ini merupakan proses biologis dimana
zat-zat organik pada sampah diuraikan oleh bakteri mikrobiologis. Proses penguraian ini kemudian
akan menghasilkan gas- gas yang mudah terbakar seperti gas metan (CH4). Gas metan ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam motor bakar. Karena prosesnya merupakan proses
biologis yang sangat tergantung pada bakteri, proses ini memerlukan waktu yang lama dan hanya
dapat menghasilkan listrik dengan skala yang kecil. Tetapi, Swedia menggunakan proses
incineration karena prosesnya cepat dan dapat mereduksi sampah dengan cepat meskipun
memerlukan kontrol emisi yang ketat. Salah satu fasilitas incineration terletak di Malmo, Swedia.
Untuk melengkapi proses WtE, diperlukan sampah dalam jumlah yang banyak. Namun,
sampah yang digunakan bukan sembarangan. Sampah yang digunakan adalah sampah yang bersifat
organik seperti sampah dapur, dedaunan atau kotoran hewan yang diolah secara biologi menjadi
kompos dan biogas. Untuk kertas bekas dan plastik yang recyclable akan didaur ulang (non
recyclacle) akan dibakar di incinerator. Incinerator akan menghasilkan panas yang kemudian
disalurkan melalui pipa ke wilayah perumahan dan gedung komersil. Sistem pembakaran dengan
incinerator ini sudah ada sejak tahun 1904 dan teknologinya terus dikembangkan sampai sekarang
agar gas hasil pembuangan incinerator bisa berkurang. Untuk abu atau sisa galian tanah dapat
digunakan sebagai campuran lapisan dalam pembuatan jalan. Sedangkan sampah yang tidak
memungkinkan untuk dibakar atau didaur ulang bisa dibuang ke landfill.
Masyarakat Swedia juga membantu program ini dengan gemar memilah sampah. Bahkan
untuk jenis sampah padat, mereka harus memilahnya ke dalam 14 jenis wadah yang berbeda. 14
jenis wadah itu terdiri dari wadah untuk kardus, koran, kertas perkantoran, plastik, makanan, metal,
kantong belanja, botol kaca, alat elektronik, dan baterai. Sampah-sampah tersebut dipisahkan
karena masing-masing sampah membutuhkan penanganan dan pengolahan yang berbeda. Contoh,
sampah makanan bisa diolah menjadi kompos atau kertas bisa didaur ulang. Semua sampah
dikumpulkan dan ditempatkan di sebuah bangunan yang bernama Miljoehus.
Berkurangnya sampah di Swedia tidak membuat pemerintah berhenti. Swedia dengan aktif
terus melanjutkan program ini. Sampai saat ini, Swedia harus mengimpor 800 ribu ton sampah per
tahun dari negara-negara tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari Norwegia.
Sampah-sampah ini dikumpulkan agar program WtE (Waste-to-Energy) di Swedia tetap berjalan
dan berguna bagi masyarakat.
Pemerintah Swedia juga menetapkan beberapa kebijakan yang dinilai dapat mengurangi
produksi sampah, seperti produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan,
terutama perusahaan pengemasan, koran atau percetakan, produsen ban, mobil, dan alat-alat
elektronik. Para produsen ini selain menghasilkan barang juga perlu memikirkan bagaimana
caranya mengolah sampah yang dihasilkan daru sisa produknya dan diusahakan sebisa mungkin
untuk menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Kebijakan yang lain adalah tingginya
pajak TPA (landfill tax). Hal ini bertujuan agar pembuangan sampah di TPA dapat berkurang.
Karena seperti yang kita ketahui, jika terlalu banyak sampah yang bertumpuk di suatu lahan tertentu
membuat kualitas tanah, air, dan udara menjadi rendah. Sejak tahun 1980, pemerintah Swedia juga
gencar mengkampanyekan kepada masyarakat pentingnya mengurangi, memilah dan mengolah
sampah yang ada. Bahkan cara-cara pengolahan sampah itu sendiri juga dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah. Jadi, tak heran jika budaya ini sudah turun-temurun dan mendarah daging di
dalam masyarakat Swedia.
Bagaimana proses incineration secara rinci? Proses dimulai dari pembuangan sampah yang
diangkut oleh truk sampah ke dalam ruang penyimpanan sampah (storage pit). Luas tempat
pembuangan dan penyimpanan sampah ini merupakan fungsi dari laju truk yang masuk PLTS atau
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan kapasitas laju sampah yang akan diproses pada PLTS.
Kapasitas ruang penyimpanan ini biasanya didesain untuk menampung sampah 2 hari. Untuk
mencegah bau keluar dari PLTS, udara ditarik ke dalam tungku pembakaran sebagai campuran
pembakaran. Pemasukan sampah ke ruang pembakaran menggunakan crane yang sekaligus
berfungsi mencampur sampah agar lebih homogen dan memisah-misah komponen yang tidak
terbakar.
Sampah kemudian dimasukkan ke dalam corong pengumpan sampah yang langsung menuju
tungku pembakaran. Sampah yang masuk tungku pembakaran langsung dibakar pada grate dengan
pencampuran udara undergrate. Sampah yang dibakar ini menghasilkan gas-gas yang bervariasi
yang kemudian menuju ke combustion chamber dimana juga terjadi pembakaran dengan meniupkan
udara overfire. Panas dari hasil pembakaran ini kemudian dimanfaatkan oleh boiler untuk
menghasilkan uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin.
Karena teknologi pembakaran langsung ini dapat menghasilkan gas-gas yang relatif
berbahaya, maka diperlukan fasilitas pengolahan udara agar udara yang dibuang keluar memenuhi
standar emisi udara. Fasilitas ini berupa penginjeksian amonia untuk mengontrol NOx, dry scrubber
untuk mengontrol SO2, dan baghouse sebagai penyaring udara. Untuk menjamin aliran udara yang
melewati fasilitas pengolahan udara, dipasang fan yang juga dapat berfungsi meniupkan udara
untuk pembakaran di ruang pembakaran. Udara yang telah melewati proses penyaringan tadi
kemudian dibuang melalui cerobong.
Selain menghasilkan panas dan gas, pembakaran sampah ini juga menyisakan abu dan
material-material yang tidak terbakar. Abu dan material- material yang tidak terbakar ini jatuh dari
grate ke quench tank untuk kemudian dibuang ke landfill atau dimanfaatkan sebagai bahan dasar
pembuatan batako.
Program WtE atau Waste to Energy merupakan satu dari beribu solusi untuk mengatasi
penumpukan sampah di sebuah negara. Dari membuat pembagian sampah sesuai jenisnya,
melakukan denda apabila membuang sampah sembarangan seperti di Singapura, melakukan daur
ulang terhadap sampah anorganik dan cara-cara yang lain. Tetapi, untuk melaksanakan cara-cara
tersebut, diperlukan kepedulian dari masyarakat. Karena tanpa adanya partisipasi dari masyarakat,
suatu program tidak akan berjalan secara maksimal. Kita sebagai generasi emas harus bisa
melakukan tindakan dan perilaku yang positif, terutama di sektor lingkungan agar permasalahan ini
bisa berkurang sedikit demi sedikit. Semoga, negara Indonesia yang kita cintai ini bisa mengadopsi
peraturan dari negara yang berhasil mengatasi permasalahan sampah atau membuat inovasi yang
berkualitas, bermutu, dan bermanfaat bagi negara kita sendiri dan dunia yang luas.
DAFTAR PUSTAKA
Isroi. 2011. Belajar dari Swedia: Memilah-Milah Sampah Sejak dari Awal,
http://isroi.com/2011/01/29/belajar-dari-swedia-memilah-milah-sampah-sejak-dari-awal.html,
(diakses 25 Juli 2014)
Rahmaputro, Syawalianto. 2012. Mengolah Sampah menjadi Energi,
http://www.hijauku.com/2012/09/12/mengolah-sampah-menjadi-energi.html, (diakses 25 Juli 2014)
Pranata, Deddy. 2014. Di Palembang, Sampah “Tumbuh” di Pembatas Jalan,
http://www.mongabay.co.id/2014/07/24/di-palembang-sampah-tumbuh-di-pembatas-jalan.html,
(diakses 25 Juli 2014)
Mongabay-Green Radio. Baru Raih Adipura, Palembang Kini Penuh Sampah,
http://portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/3327831_4264.html, (diakses 25 Juli 2014)
Gupita, Fransiska. 2013. Pengelolaan Limbah di Swedia,
http://fransiskagupita.wordpress.com/2013/11/19/pengelolaan-limbah-di-swedia.html, (diakses 26
Juli 2014)
Setiana, Rika. 2013. Mengintip Sistem Pengelolaan Sampah di Negara Maju,
http://mjeducation.com/mengintip-sistem-pengelolaan-sampah-di-negara-maju.html. (diakses 26
Juli 2014)