PENGARUH VARIASI KONSENTRASI BATUBARA ANTRASIT, …digilib.unila.ac.id/59213/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of PENGARUH VARIASI KONSENTRASI BATUBARA ANTRASIT, …digilib.unila.ac.id/59213/3/SKRIPSI TANPA BAB...
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI BATUBARA ANTRASIT,TEMPERATUR DAN WAKTU TAHAN REDUKSI PADA PRODUK
FERONIKEL BERBAHAN DASAR BIJIH NIKEL LATERIT SULAWESITENGGARA DENGAN PENAMBAHAN UNSUR BELERANG 10%
(Skripsi)
Oleh
Nanda Ayu Septiana
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
i
ABSTRAK
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI BATUBARA ANTRASIT,TEMPERATUR, DAN WAKTU TAHAN PADA PRODUK FERONIKELBERBAHAN DASAR BIJIH NIKEL LATERIT SULAWESI TENGGARA
DENGAN PENAMBAHAN UNSUR BELERANG 10%
Oleh
NANDA AYU SEPTIANA
Telah dilakukan percobaan reduksi selektif bijih nikel laterit denganmenggunakan reduktor 5%, 10%, dan 15% berat dan aditif unsur belerang 10%berat. Penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kadar nikel dalamkonsentrat feronikel. Proses reduksi selektif dilakukan pada temperatur 950 C,1050 C, dan 1150 C dengan waktu tahan selama 60 menit, 90 menit, dan 120menit diikuti dengan pemisahan magnetik untuk menghasilkan konsentrat dantailing. Karakterisasi XRD hasil reduksi selektif menunjukkan fasa yang dominanseperti fayalite (Fe2SiO4), quartz low (SiO2), magnesioferrite (Fe2MgO4), wustite(FeO), iron nickel (FeNi), dan pyrrhotite (FeS). Karakterisasi AAS dari konsentratmenunjukkan nilai optimum yaitu pada temperatur 1150C dengan reduktor 5%dan waktu tahan reduksi selama 60 menit dengan kadar dan recovery nikelmasing-masing sebesar 3,72% dan 95,67%. Ukuran partikel feronikel pada sampeltersebut terbentuk dengan rata-rata ukuran butir sebesar 38,07µm.
Kata kunci : bijih nikel laterit, reduksi selektif, uji karakterisasi
ii
ABSTRACT
THE EFFECT OF VARIATIONS IN THE CONCENTRATION OFANTHRACITE COAL, TEMPERATURE AND HOLDING TIME ON THE
SELECTIVE REDUCTION IN LATERITE NICKEL ORE BASEDFERRONICKEL PRODUCTS FROM SOUTHEAST SULAWESI WITH
THE ADDITION OF ELEMENTAL SULFUR 10%
By
NANDA AYU SEPTIANA
Experiments have been carried out selective reduction of nickel laterite ore byusing the reducing agent 5%, 10%, and 15% by weight of additives elementalsulfur 10% by weight. This study is intended to increase the levels of nickel inferronickel concentrate. The process of selective reduction carried out at atemperature of 950 C, 1050 C, and 1150 C with a holding time of 60 minutes,90 minutes, and 120 minutes followed by magnetic separation to produce aconcentrate and tailings. Characterization of selective reduction XRD results showthat the dominant phase as fayalite (Fe2SiO4), low quartz (SiO2), magnesioferrite(Fe2MgO4), wustite (FeO), iron nickel (FeNi) and pyrrhotite (FeS). AAScharacterization of concentrates indicate the optimum value at a temperature of1150C with 5% reductant and the reduction of the holding time for 60 minuteswith grade and recovery of nickel respectively by 3.72% and 95.67%. The particlesize of ferronickel in the sample formed with an average grain size of 38,07μm.
Keywords: nickel laterite ore, selective reduction, characterization test
iii
PENGARUH VARIASI KONSENTRASI BATUBARA ANTRASIT,TEMPERATUR DAN WAKTU TAHAN REDUKSI PADA PRODUK
FERONIKEL BERBAHAN DASAR BIJIH NIKEL LATERIT SULAWESITENGGARA DENGAN PENAMBAHAN UNSUR BELERANG 10%
Oleh
NANDA AYU SEPTIANA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSARJANA SAINS
Pada
Jurusan FisikaFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal Binangun, pada tanggal 18 September 1996. Anak dari
pasangan Bapak Kasiyanto dan Ibu Ruswanti yang merupakan putri pertama dari
2 bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 1 Sumberejo pada tahun
2009, SMPN 2 Sumberejo pada tahun 2012, dan SMAN 1 Sumberejo pada tahun
2015 di Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus.
Pada tahun 2015 penulis masuk dan terdaftar sebagai mahasisiwi Jurusan Fisika
di Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menempuh pendidikan,
penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Fisika Dasar I, Fisika Dasar II, Sol
Gel, dan Fisika Eksperimen. Penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa
Fisika sebagai Anggota Sosial Masyarakat (SOSMAS) dari tahun 2015-2016.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dilaksanakan di Balai Besar
Keramik, Bandung pada tahun 2018 dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Banjar Negara Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus
sebagai tugas akhir di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Lampung.
viii
MOTTO
“Kegagalan hanya terjadi bila kita menyerah”
(Nanda Ayu Septiana)
ix
“Dengan Menyebut Nama Allah Subhanahu Wataalla Yang Maha Pengasih LagiMaha Penyayang, Segala Puji Bagi Allah Subhanahu Wataalla”
Kupersembahkan hasil karya yang sederhana ini kepada:
“Ayah dan Ibu”Yang penuh kesabaran dalam membimbing, mendidik, menemani dan
menyemangati dengan kelembutan doa dan kasih sayang.Terima kasih atas restu yang tiada hentinya hingga sekarang dan sampai nanti
“Adikku”Terima Kasih atas semangat, curahan kasih sayang dan bantuan yang
telah kau berikan
“Sahabat-Sahabatku”Terima Kasih telah memberi warna dan pelajaran padaku.
Dari yang mengajari arti hidup sampai membantu dalam proses penyusunan karyayang sederhana ini.
Universitas LampungAlmamater Tercinta
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kesehatan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi Konsentrasi Batubara Antrasit,
Temperatur dan Waktu Tahan Reduksi pada Produk Feronikel Berbahan
Dasar Bijih Nikel Laterit Sulawesi Tenggara dengan Penambahan Unsur
Belerang 10%”. Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu
persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana dan melatih mahasiswa untuk
berpikir cerdas dan kreatif dalam menulis karya ilmiah.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bandar Lampung, 12 September 2019Penulis,
Nanda Ayu Septiana
xi
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas kuasa-Nya penulis masih diberikan
kesempatan untuk mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian penelitian dan skripsi ini, terutama kepada:
1. Kedua orang tuaku, Ayah dan Ibu tercinta yang tak henti memberiku semangat
dan doa.
2. Bapak Drs. Syafriadi, M.Si. sebagai pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan serta nasehat dalam menyelesaikan tugas akhir.
3. Bapak Achmad Shofi, S.T., M.T. yang senantiasa memberikan bimbingan dan
masukan serta nasehat dalam menyelesaikan tugas akhir.
4. Bapak Drs. Pulung Karo-Karo, M.Si sebagai penguji yang telah mengoreksi
kekurangan, memberi kritik dan saran selama penulisan skripsi.
5. (BPTM) Balai Penelitian Teknologi Mineral- LIPI Lampung yang telah
membiayai dan mengizinkan untuk melakukan penelitian serta peneliti, staf,
dan karyawan yang membantu dalam melakukan penelitian untuk
menyelesaikan tugas akhir.
6. Bapak Arif Surtono, M.Si., M.Eng. selaku ketua Jurusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
xii
7. Bapak Gurum Ahmad Pauzi, S.Si., M.T. selaku sekretaris Jurusan Fisika dan
sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta
nasehat dari awal perkuliahan sampai menyelesaikan tugas akhir.
9. Bapak Drs. Suratman, M.Sc. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
10. Para dosen serta karyawan di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
11. Teman–teman fisika 2015 serta kakak dan adik tingkat yang membantu dan
memberikan semangat dalam proses menyelesaikan tugas akhir.
Akhir kata, atas segala bantuannya mendapat balasan dari Allah SWT dan
dilimpahkan karunianya kepada kita semua.
xiii
DAFTAR ISI
HalamanABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v
PERNYATAAN................................................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
MOTTO ............................................................................................................. viii
PERSEMBAHAN.............................................................................................. ix
KATA PENGANTAR ...................................................................................... x
SANWACANA .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... . xviii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 11.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 51.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 51.4 Batasan Masalah ................................................................................... 61.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 7
xiv
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Feronikel (FeNi).................................................................................... 82.1.1 Besi (Fe)...................................................................................... 82.1.2 Nikel (Ni) .................................................................................... 10
2.2 Pemanfaatan Nikel ................................................................................ 122.3 Bijih Nikel Laterit ................................................................................. 132.4 Jenis-Jenis Nikel Laterit........................................................................ 14
2.4.1 Bijih Laterit Limonit.................................................................... 142.4.2 Bijih Laterit Saprolit .................................................................... 15
2.5 Proses Pengolahan Bijih Laterit Menjadi Nikel.................................... 172.5.1 Proses Hidrometalurgi ................................................................. 182.5.2 Proses Pirometalurgi.................................................................... 19
2.6 Jenis Inovasi Teknik Upgrading ........................................................... 222.7 Batubara Sebagai Reduktor................................................................... 262.8 Pengaruh Zat Aditif Unsur Belerang Terhadap Perolehan Feronikel ... 282.9 Termodinamika Reduksi ....................................................................... 322.10 Analisis AAS (Atomic Absoprtion Spectroscopy) ............................... 342.11 Analisis XRD (X-Ray Diffraction)....................................................... 362.12 Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy) .................................. 38
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 433.2 Alat dan Bahan...................................................................................... 433.3 Prosedur Penelitian ............................................................................... 43
3.3.1 Preparasi Sampel........................................................................ 433.3.2 Proses Reduksi Selektif.............................................................. 443.3.3 Proses Separasi Magnetik .......................................................... 44
3.4 Prosedur Karakterisasi .......................................................................... 453.4.1 Karakterisasi XRD...................................................................... 453.4.2 Karakterisasi AAS ...................................................................... 453.4.3 Karakterisasi Optical Microscopy............................................... 473.4.4 Karakterisasi SEM-EDS ............................................................. 47
3.5 Diagram Alir Penelitian ........................................................................ 48
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakterisitik Bahan Baku Bijih Nikel Laterit ..................................... 524.2 Uji Analisis Proksimat Batubara........................................................... 554.3 Pengaruh Temperatur Terhadap Kadar dan Perolehan dalam Konsentrat
Feronikel ............................................................................................... 564.3.1 Karakterisasi AAS ....................................................................... 564.3.2 Karakterisasi XRD....................................................................... 584.3.3 Karakterisasi Optical Microscopy ............................................... 61
4.4 Pengaruh Waktu Tahan Reduksi Terhadap Kadar dan Perolehan dalamKonsentrat Feronikel............................................................................. 63
xv
4.4.1 Karakterisasi AAS....................................................................... 634.4.2 Karakterisasi XRD ...................................................................... 644.4.3 Karakterisasi Optical Microscopy ............................................... 68
4.5 Pengaruh Jumlah Reduktor Batubara Antrasit Terhadap Kadar danPerolehan dalam Konsentrat Feronikel ................................................. 694.5.1 Karakterisasi AAS....................................................................... 694.5.2 Karakterisasi XRD ...................................................................... 714.5.3 Karakterisasi Optical Microscopy ............................................... 744.5.4 Karakterisasi SEM-EDX ............................................................. 75
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 785.2 Saran ..................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR GAMBAR
HalamanGambar 1. Besi (Fe) .......................................................................................... 9
Gambar 2. Batuan Nikel .................................................................................... 11
Gambar 3. Mineral laterit .................................................................................. 14
Gambar 4. Profil skematik stratifikasi endapan pada laterit tipe silika, clay
dan oksida......................................................................................... 16
Gambar 5. Profil stratifikasi bijih nikel laterit, komposisi kimia dan
korelasinya dengan teknik pengolahannya....................................... 17
Gambar 6. SEM dari Fasa FeNi dan FeS........................................................... 29
Gambar 7. Skema umum komponen pada alat AAS......................................... 34
Gambar 8. Prinsip kerja XRD............................................................................ 37
Gambar 9. Scanning Electron Microscopy........................................................ 38
Gambar 10. Prinsip Kerja SEM......................................................................... 41
Gambar 11. Diagram alir penelitian .................................................................. 50
Gambar 12. Diagram alir karakterisasi AAS..................................................... 51
Gambar 13. Difraktogram XRD bijih nikel laterit ............................................ 53
Gambar 14. SEM image dari bijih nikel laterit sebelum dilakukan reduksi...... 54
Gambar 15. Difraktogram XRD sampel produk reduksi pada reduktor 5%
dengan temperatur (a) 950 C, (b) 1050 C, (c) 1150 C dan waktu
tahan 60 menit................................................................................ 58
xvii
Gambar 16. Ukuran butir bijih produk reduksi dengan aditif 10% unsur
belerang pada waktu tahan reduksi 60 menit, reduktor 5% berat,
dan variasi temperatur yaitu 950 C, 1050 C, dan 1150 C ......... 61
Gambar 17. Difraktogram XRD sampel produk reduksi pada reduktor 5%,
temperatur 1050C, reduktor 5% berat dan variasi waktu tahan yaitu
60 menit, 90 menit dan 120 menit ................................................. 64
Gambar 18. Ukuran butir bijih produk reduksi dengan aditif 10% unsur
belerang pada temperatur reduksi 1050 C, reduktor 5% berat,
dan variasi waktu tahan yaitu 60, 90 dan 120 menit...................... 67
Gambar 19. Difraktogram XRD sampel produk reduksi pada pengaruh variasi
jumlah reduktor (a) 5%, (b) 10%, (c) 15% dengan temperatur 1150
C dan waktu tahan 60 menit......................................................... 71
Gambar 20. Persebaran butir FeNi bijih produk reduksi dengan aditif 10% unsur
belerang pada waktu tahan reduksi 60 menit, temperatur reduksi
1150 C, dan variasi jumlah reduktor 5%, 10%, dan 15% ............ 73
Gambar 21. Ukuran butir hasil SEM bijih produk reduksi dengan aditif 10%
unsur belerang pada waktu tahan reduksi 60 menit, temperatur
reduksi 1150 C, dan variasi jumlah reduktor 5%, 10%, dan
15% ................................................................................................ 74
Gambar 22. (a) Hasil pengamatan SEM pada temperatur 1150 C dengan waktu
tahan reduksi 60 menit, aditif 10% unsur belerang dan reduktor 10%
wt, (b) Spektrum EDX dari daerah 1, (c) Spektrum EDX dari daerah
2, (d) Spektrum EDX dari daerah 3 ............................................... 76
xviii
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1. Unsur kimia bijih laterit limonit.......................................................... 15
Tabel 2. Unsur kimia bijih laterit saprolit ......................................................... 15
Tabel 3. Komposisi kimia bijih nikel laterit (%) .............................................. 52
Tabel 4. Perhitungan rietveld refinement bijih nikel laterit............................... 53
Tabel 5. Hasil analisis proksimat batubara........................................................ 55
Tabel 6. Pengaruh temperatur reduksi pada konsentrat dengan aditif 10%
unsur belerang pada waktu tahan 60 menit dan reduktor 5% berat
terhadap kadar Fe dan Ni serta recovery Fe dan Ni ........................... 56
Tabel 7. Perhitungan rietveld refinement senyawa hasil reduksi dengan aditif
unsur belerang 10% (variasi : temperatur) ......................................... 60
Tabel 8. Pengaruh waktu tahan reduksi pada konsentrat dengan aditif 10%
unsur belerang pada temperatur reduksi 1050 C dan reduktor 5%
berat terhadap kadar Fe dan Ni serta recovery Fe dan Ni .................. 63
Tabel 9. Perhitungan rietveld refinement senyawa hasil reduksi dengan aditif
unsur belerang 10% (variasi : waktu tahan reduksi)........................... 66
xix
Tabel 10. Pengaruh variasi reduktor pada konsentrat dengan aditif 10%
unsur belerang pada waktu tahan 60 menit dan temperatur reduksi
1150C terhadap kadar Fe dan Ni serta perolehan Fe dan Ni ............ 70
Tabel 11. Perhitungan rietveld refinement senyawa hasil reduksi dengan aditif
unsur belerang 10% (variasi : jumlah reduktor) ................................. 73
Tabel 12. Hasil berat unsur dalam spektrum EDX pada konsentrasi
reduktor 10% ..................................................................................... 78
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Terdapat tiga
daerah penghasil nikel di Indonesia yaitu Sulawesi, Papua, dan Kalimantan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, nikel merupakan salah satu
jenis produksi pertambangan yang paling menonjol di daerah Sulawesi Tenggara.
Bijih nikel laterit Sulawesi Tenggara mengandung mineral-mineral goethite,
magnesium silikat dan silika. Nikel tersebar merata di dalam jaringan mineral
goethite dan magnesium silikat (Solihin dkk., 2014). Nikel digunakan sebagai
bahan campuran untuk pembuatan baja tahan karat (stainlees steel) yang banyak
diperuntukan untuk alat-alat anti karat, seperti bodi pesawat, mobil, dan alat-alat
dapur (Rahman dkk., 2015). Indonesia juga merupakan negara penghasil nikel
terbesar kedua dunia setelah Rusia yang memberikan sumbangan sekitar 15% dari
jumlah produksi nikel dunia pada tahun 2010 (Fitrian dkk., 2011).
Nikel adalah salah satu logam yang paling penting dan memiliki banyak aplikasi
dalam industri. Berdasarkan pembentukannya, bijih nikel diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu sulfida dan laterit. Menurut Dalvi et al, sekitar 70% cadangan bijih
nikel dunia adalah laterit dan 30% adalah sulfida. Meningkatnya kebutuhan akan
nikel dan menipisnya cadangan batuan sulfida memaksa industri untuk mulai
mempertimbangkan sumber cadangan batuan laterit sebagai salah satu sumber
2
utama nikel di masa depan sehingga penelitian terhadap nikel laterit yang
digunakan sebagai sumber utama nikel menjadi topik hangat (Pickles, 2004).
Beberapa jenis nikel laterit antara lain adalah limonit, asbolit: (1 – 1,7% Ni, 0,1 –
0,2% Co), nontronit: (1 - 5% Ni, 0,05% Co), serpentin: (1,5 - 10% Ni, 0,05 –
0,10% Co) dan garnierit: (10 - 20% Ni, 0,05 – 0,10% Co) (Dalvi et al, 2004).
Perkembangan pembentukan endapan nikel laterit meningkat yang ditandai oleh
terbentuknya lapisan limonit, lapisan saprolit dan kemudian terhenti oleh material
erosi (Tonggiroh dkk., 2012). Bijih nikel laterit yang mempunyai cadangan lebih
banyak, perlu dimanfaatkan secara maksimal karena cadangan bijih nikel sulfida
yang digunakan sebagai bahan baku terus menurun secara signifikan (Norgate dan
Jahanshahi, 2011). Penurunan cadangan nikel kadar tinggi menyebabkan
penggunaan bijih nikel kadar rendah, khususnya yang mengandung Ni kurang dari
2% mulai diperhatikan karena berpotensi menjadi bahan baku produksi nikel di
masa depan (Lee et al, 2005).
Hingga saat ini, pengolahan bijih nikel laterit di Indonesia lebih banyak dilakukan
pada bijih yang berkadar tinggi yang dilakukan melalui jalur pirometalurgi, yaitu
untuk menghasilkan feronikel dan nikel matte. Sementara, lapisan dengan kadar
nikel yang lebih rendah yaitu lapisan limonit sampai saat ini belum banyak diolah,
meskipun jumlahnya melimpah. Proses ekstraksi nikel laterit berkadar rendah di
industri umumnya dilakukan dengan jalur hidrometalurgi (Dalvi et al, 2004).
Salah satu pemanfaatan bijih nikel laterit yaitu sebagai bahan dasar pembuatan
feronikel. Kadar nikel dalam feronikel berkisar antara 20 – 40%. Feronikel
umumnya digunakan untuk membuat stainless steel. Selain itu, feronikel juga
3
digunakan dalam pembuatan NCPI / NPI. NCPI (Nickel Containing Pig Iron)
adalah feronikel (FeNi) yang mengandung 1,5 - 25% Ni (Prasetyo dan Puguh,
2011).
Peningkatan kadar Fe dan Ni di dalam konsentrat dapat meningkat dengan
semakin meningkatnya jumlah reduktor, temperatur dan waktu reduksi. Penelitian
yang telah dilakukan oleh Prasetyo dkk. (2014), pada temperatur proses di bawah
1100 °C kurang memberikan persen peningkatan perolehan konsentrat dan
kadarnya. Pemakaian jumlah batubara dan waktu reduksi yang berlebihan tidak
memberikan peningkatan terhadap konsentrat dan kadarnya secara signifikan.
Diperoleh data optimum dari proses reduksi bijih nikel laterit kadar rendah jenis
limonit untuk peningkatan kadar Fe dan Ni-nya, yaitu reduksi dengan temperatur
1100 °C selama 3 jam dengan reduktor batubara sebesar 7,5%. Jungah Kim et al
(2010), telah memaparkan bahwa preparasi awal terhadap bijih dengan cara
roasting awal pada beberapa temperatur dan diikuti dengan pemisahan magnetik
dapat meningkatkan kadar nikel dari 1,5% menjadi 2,9%. Menurut Crawford
(1960), telah menunjukkan bahwa pada temperatur tinggi dan kadar besi yang
tinggi sangat baik untuk memperoleh recovery atau perolehan yang tinggi.
Salah satu metode yang dapat meningkatkan kadar nikel dalam bijih limonit yaitu
dengan cara reduksi selektif yang dilanjutkan dengan proses konsentrasi. Reduksi
selektif merupakan proses yang bertujuan untuk mereduksi logam oksida menjadi
logam menggunakan reduktor pada temperatur tertentu disertai dengan
penambahan zat aditif agar dapat meningkatkan selektivitas logam. Reduksi
selektif dilakukan pada temperatur 800 – 1200 C untuk membentuk feronikel
4
yang kemudian dapat dipisahkan dari mineral pengganggu dengan separasi
magnetik (Elliot et al, 2017).
Kawahara (1988), mengklaim bahwa pada temperatur reduksi yang lebih besar
dari 800 °C akan menghambat perolehan nikel karena terjadi pembentukan fase
olivin yang stabil. Berdasarkan penelitian Valix dan Cheung, kehadiran sulfur
dapat meningkatkan perolehan Ni dan Co pada bijih laterit. Dalam studi ini,
limonit dan saprolit bijih laterit berkurang dengan adanya aktivator dalam bentuk
elemental sulfur atau unsur belerang. Aditif sulfur memaksimalkan perolehan dan
selektivitas kadar Ni dan Co. Dalam limonit, keberadaan belerang mengarah pada
pembentukan besi sulfida (FeS) dan paduan FeNi (Feronikel) yang lebih rendah
(Valix dan Cheung, 2002). Penambahan material berbasis sulfur menyebabkan
perolehan Fe rendah tetapi perolehan Ni meningkat akibat terbentuknya FeS yang
non magnetik (Cao et al, 2010). Akan tetapi FeS di dalam baja ternyata dapat
mempengaruhi kekuatan baja (Jiang et al, 2013), sehingga berkembang penelitian
lain dengan menambahkan klorida untuk meningkatkan perolehan feronikel, yaitu
dengan penambahan garam klorida. Pengolahan feronikel dari bijih laterit adalah
pengolahan yang intensif, terutama bila kandungan bijih nikel laterit yang rendah
diproses (Norgate dan Jahansashi, 2011).
Pada penelitian ini, dilakukan proses reduksi selektif bijih nikel laterit berkadar
rendah menggunakan aditif unsur belerang dengan penambahan reduktor batubara
antrasit sebanyak 5%, 10%, dan 15% berat. Kemudian dilanjutkan dengan
pemisahan magnetik untuk menghasilkan konsentrat feronikel.
5
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pengaruh variasi temperatur reduksi terhadap produk konsentrat
feronikel?
2. Bagaimana pengaruh variasi waktu tahan reduksi terhadap produk
konsentrat feronikel?
3. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi reduktor batubara antrasit terhadap
produk konsentrat feronikel?
4. Bagaimana peran aditif unsur belerang terhadap partikel konsentrat feronikel
yang terbentuk?
5. Bagaimana peran unsur belerang terhadap perubahan fasa yang terjadi pada
temperatur dan waktu tahan reduksi yang berbeda?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
1. Mengetahui pengaruh temperatur reduksi terhadap produk konsentrat
feronikel.
2. Mengetahui pengaruh waktu tahan reduksi terhadap produk konsentrat
feronikel.
3. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi reduktor batubara antrasit terhadap
produk konsentrat feronikel.
4. Mengetahui peran aditif unsur belerang terhadap partikel konsentrat
feronikel yang terbentuk.
6
5. Mengetahui peran unsur belerang terhadap perubahan fasa yang terjadi pada
temperatur dan waktu tahan reduksi yang berbeda.
1.4 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bijih nikel laterit yang digunakan dalam penelitian ini adalah bijih nikel
kadar rendah (limonit) yang berasal dari Kabupaten Konawe, Sulawesi
Tenggara dengan kadar 1,36% Ni dan 37,3% Fe.
2. Reduktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah batubara antrasit
sebanyak 5%, 10%, dan 15% berat.
3. Aditif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa unsur belerang
sebanyak 10% berat.
4. Reduksi selektif dilakukan dengan variasi temperatur 950 C, 1050 C, dan
1150 oC dengan variasi waktu tahan selama 60, 90, dan 120 menit.
5. Karakterisasi yang dilakukan untuk mengetahui komposisi bijih nikel laterit
dengan Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS), analisis mineral yang
terkandung dalam bijih nikel laterit setelah melalui proses reduksi selektif
dengan X-ray Diffraction (XRD), analisis unsur yang terkandung pada bijih
nikel laterit setelah melalui proses reduksi selektif hasil magnetisasi
(konsentrat dan tailing) dengan Atomic Absorption Spectrophotometry
(AAS) dan analisis struktur mikro menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM) yang dilengkapi dengan Energy Dispersive X-ray
Spectroscopy (EDS).
7
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Memberikan informasi bagaimana pengaruh variasi konsentrasi reduktor
batubara antrasit, temperatur dan waktu tahan terhadap kadar dalam
konsentrat feronikel pada bijih nikel laterit dengan penambahan unsur
belerang 10%.
2. Membangkitkan keinginan untuk melanjutkan penelitian mengenai salah
satu pengolahan untuk meningkatkan kadar bijih nikel laterit melalui proses
reduksi selektif dan separasi magnetik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Feronikel (FeNi)
Feronikel adalah pengolahan nikel melalui proses pyrometallurgi yang memiliki
kandungan besi sekitar 80% dan nikel sebesar 20%. Komoditas feronikel
umumnya yang dibedakan dari kandungan karbon tinggi atau rendah, dijual dalam
bentuk buliran (pellet) ke produsen baja nirkarat di Eropa dan Korea. Untuk
memproduksi feronikel, bijih nikel pada feronikel yang memiliki kadar nikel
minimum 1,8% dan kadar besi maksimum 25%, diolah melalui proses
penghancuran, pengeringan, pemanasan, dan penambahan beberapa material
untuk mengurangi tingkat keasaman melalui beberapa alat. Bijih nikel yang telah
diolah kemudian dilebur. Feronikel dihasilkan dari peleburan reduksi bijih nikel
oksida atau silikat yang mengandung besi. Dapat dikatakan bahwa feronikel
merupakan suatu logam paduan antara besi dan nikel (Kartaman, 2013).
2.1.1 Besi (Fe)
Besi merupakan unsur yang ditemukan berlimpah di alam. Inti bumi diyakini
mayoritas unsur penyusunnya adalah besi dan nikel. Besi juga diketahui sebagai
unsur yang paling banyak membentuk bumi, yaitu kira-kira 4,7-5% pada kerak
9
bumi. Teras bumi yang dianggap utama terdiri atas Fe dan Ni. Kebanyakan besi
terdapat dalam batuan dan tanah sebagai oksida besi, seperti oksida besi magnetite
(Fe3O4) mengandung besi 65%, hematite (Fe2O3) mengandung 60–75% besi,
limonite (Fe2O3 . H2O) mengandung besi 20% dan siderit (Fe2CO3). Besi murni
cukup reaktif dalam udara lembab cepat teroksidasi memberikan besi (III)
oksida hidrat (karat) yang tidak sanggup melindungi, karena zat ini
hancur dan membiarkan permukaan logam yang baru terbuka. Besi yang sangat
halus bersifat pirofor (Keenan, 1992).
Gambar 1. Besi (Fe)
Menurut Achmad (2001), besi adalah logam yang paling murah diantara logam-
logam yang dikenal manusia. Senyawa besi terdapat dalam kebanyakan batuan
dan tanah. Bijih besi digunakan untuk produksi besi dan baja bergantung dari
kadar fosfor yang dikandungnya. Oleh karena itu, bijih besi dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Bijih berkadar fosfor rendah: hematite merah (Fe2O3), magnetite (Fe3O4)
2. Bijih berkadar fosfor tinggi: siderite coklat, siderite (FeCO3).
Bijih besi adalah bahan baku utama untuk pembuatan besi kasar, sedangkan besi
kasar tersebut adalah bahan baku untuk pembuatan besi tempa, besi tuang dan
baja. Bijih besi didapat dari hasil penambangan bijih besi. Sedangkan bahan-
10
bahan lain yang bercampur dengan bijih tersebut selain kotoran yang merugikan
antara lain belerang, pospor silika, tanah liat juga ada kotoran yang
menguntungkan antara lain emas, platina, perak (Cotton, 1898).
2.1.2 Nikel (Ni)
Nikel adalah salah satu unsur kimia yang tergolong dalam logam transisi,
berwarna putih keperakan dengan sedikit keemasan bersifat kuat dan mudah
dibentuk. Penggunaan nikel sangat beragam, baik nikel primer (produk nikel yang
berasal dari pemrosesan bijih nikel) maupun nikel sekunder (produk nikel yang
berasal dari pemrosesan nikel primer). Sebanyak 48% nikel primer digunakan
untuk produksi baja tahan karat (stainless steel) dan baja paduan, 39% digunakan
untuk produksi paduan non logam (non ferrous alloy) dan 10% untuk
elektroplating. Sedangkan untuk nikel sekunder, 30% digunakan untuk
transportasi, 14% digunakan untuk produksi produk-produk metal, 12% untuk
peralatan elektronik, 10% digunakan pada industri petroleum, dan sisanya 8%
digunakan pada industri kimia, konstruksi, peralatan rumah tangga dan industri
mesin (Kuck, 2013).
Nikel bersifat lembek dalam keadaan murni, namun akan menjadi baja keras yang
tahan karat jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya. Sekitar 70%-
80% nikel berada dalam batuan laterit yang tersebar di daerah-daerah tropis dan
subtropis, seperti Indonesia, New Caledonia, Australia, Cuba, dan Filipina (Kyle,
2010). Nikel adalah logam penting yang digunakan dalam produksi stainless steel
dan campuran logam (Zhu et al, 2012).
11
Berdasarkan pembentukannya, bijih nikel diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
sulfida dan laterit (Kirk, 1998). Endapan bijih sulfida biasanya terdapat di belahan
bumi bagian utara, sementara endapan bijih laterit biasanya terdapat di belahan
bumi beriklim tropis (Duke, 1990 dan Mudd, 2009).
Gambar 2. Batuan Nikel
Dalam beberapa penelitian saat ini, dapat dikatakan bahwa nikel laterit akan
mendominasi produksi nikel dalam waktu dekat di masa yang akan datang. Ada
banyak alasan yang menjadikan bahwa nikel laterit akan mendominasi produksi
nikel, antara lain :
1. Dilihat dari ketersediaannya, jumlah bijih laterit lebih banyak daripada bijih
sulfida. Cadangan nikel yang ada di dunia yaitu 36% berupa sulfida dan
64% berupa laterit.
2. Dilihat dari biaya penambangannya, karena bijih sulfida terletak pada hard
rock, sebagai eksplorasi lebih lanjut cadangan sulfida akan didapatkan pada
bagian yang lebih dalam yang menyebabkan biaya penambangan lebih
tinggi. Sedangkan penambangan bijih laterit pada dasarnya yaitu berpindah–
pindah yang bagaimanapun juga menjadikan biaya penambangannya lebih
rendah.
12
3. Dilihat dari efek terhadap lingkungannya, produksi nikel dari bijih sulfida
menimbulkan masalah pada lingkungan yaitu terciptanya emisi sulfur
oksida. Sedangkan produksi nikel berbasis bijih laterit memiliki masalah
lingkungan lebih sedikit.
4. Dilihat dari segi faktor teknologi, ada cara yang dapat membuat proses
produksi nikel berbasis laterit lebih menguntungkan melalui pengurangan
biaya produksi dan peningkatan pendapatan oleh produk (Shoubao Li,
1999).
2.2 Pemanfaatan Nikel
Nikel adalah salah satu logam yang penting karena memiliki banyak aplikasi
dalam bidang industri. Terdapat jenis produk turunan nikel seperti logam halus,
bubuk, dan spons. Sebanyak 62% logam nikel dimanfaatkan sebagai baja tahan
karat (Barkas, 2010). Produk turunan nikel pada umumnya dibagi menjadi tiga,
yaitu feronikel (FeNi), Nickel Pig Iron (NPI), dan nickel sulfide matte (nickel
matte). Nickel matte merupakan produk yang dihasilkan melalui proses smelting
atau peleburan, sama seperti feronikel. Akan tetapi, setelah melalui rotary kiln,
bijih selanjutnya direaksikan dengan sulfur di dalam electric furnace. Kemudian
produknya dimasukkan ke sebuah konverter, dimana udara dialirkan dan
menghasilkan Ni dengan kadar 75-78%. Nickel matte pertama kali dibuat di
Kaledonia Baru dengan menggunakan blast furnace, sedangkan feronikel
memiliki kandungan yang lebih rendah dibandingkan dengan Nickel matte yaitu
15-25% Ni (Rochani, 2013). Nickel Pig Iron (NPI) adalah feronikel yang
13
mengandung 1,5-25% Ni sedangkan feronikel (FeNi) pada umumnya
mengandung 20-40% Ni ( Prasetyo dan Puguh, 2011 ).
Salah satu pemakaian nikel dalam bentuk logam murni adalah pelapis untuk
menambah kekerasan, daya tahan terhadap korosi permukaan, ketahanan
kepudaran, dan sebagainya. Berikut kegunaan logam nikel yang lain yaitu sebagai
campuran dalam pembuatan stainless steel, untuk pelapisan logam lain (nickel
plating), bahan untuk industri kimia (sebagai katalis) untuk pemurnian minyak,
bahan untuk industri peralatan rumah tangga, dll (Setiawan dkk., 2018).
2.3 Bijih Nikel Laterit
Nikel laterit adalah hasil laterisasi batuan ultramafik yang memiliki kandungan
besi dan magnesium yang tinggi, dapat ditemukan pada permukaan tanah yang
relatif dangkal yaitu sekitar 6-15 meter, tetapi bisa juga mencapai 60 meter di
bawah permukaan tanah. Pembentukan bijih nikel laterit dapat berlangsung lebih
dari satu juta tahun (Kose, 2010). Bijih nikel laterit biasanya terdapat di daerah
tropis atau sub-tropis yang mengandung zat besi dan magnesium dalam tingkat
tinggi. Indonesia memiliki cadangan bijih nikel laterit yang cukup besar terutama
di Sulawesi, Halmahera, Papua dan Kalimantan (Henpristian dkk., 2014). Bijih
nikel laterit menyumbang 72% sumber nikel global, namun hanya 42% untuk
produksi logam nikel primer. Sebaliknya, bijih nikel sulfida menyumbang 58%
produksi nikel. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa secara global, sebagian
besar produksi nikel berasal dari bijih sulfida (Foster dkk., 2016).
14
Gambar 3. Mineral laterit
Endapan nikel laterit merupakan bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan
batuan yang ada di atas permukaan bumi (Ningsih, 2012). Mineral utama bijih
laterit adalah FeO(OH), mineral lainnya adalah (Fe2O3H2O)(NiO) dan (Cr2O3)
akan terhidroksilasi atau melepaskan ikatan OH jika dipanaskan pada temperatur
250-350 C, ditandai dengan penurunan temperatur yang semakin besar. Sebagian
besar sumber nikel terkandung dalam tipe deposit laterit (sekitar 72%) yang
ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia, Kuba, Filipina,dan Australia (Rao,
2013).
2.4 Jenis-Jenis Nikel Laterit
Nikel laterit dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
2.4.1 Bijih Laterit Limonit
Bijih laterit limonit diperkaya oleh zat besi, namun mengandung silika dan
magnesium yang rendah (Fe 15-32%, MgO<10%). Komponen utama dari bijih
laterit limonit adalah oksida besi, kobalt dan kromium (Kose, 2011). Limonit
umumnya berwarna coklat kemerahan. Warna merah dihasilkan dari oksida
hematite (Nukdin, 2012). Tabel 1 memperlihatkan unsur-unsur kimia yang
terkandung dalam bijih laterit limonit
15
Tabel 1. Unsur kimia bijih laterit limonit (Zhu et al, 2012).No. Unsur Kimia Kandungan (%)1. Fe 40,902. Ni 0,973. Co 0,094. SiO2 12,555. MgO 4,656. Al2O3 6,527. CaO 0,308. Cr2O3 2,86
2.4.2 Bijih Laterit Saprolit
Bijih laterit saprolit mengandung zat besi yang lebih rendah dengan magnesium
yang lebih tinggi (Fe < 12% dan MgO > 25%). Bijih laterit saprolit disebut
sebagai garnierite (Pournaderi, 2014). Tabel 2 memperlihatkan unsur-unsur kimia
yang terkandung dalam bijih laterit saprolit.
Tabel 2. Unsur kimia bijih laterit saprolit (Zhu et al, 2012).No. Unsur Kimia Kandungan (%)1. Fe 23,162. Ni 1,423. Co 0,084. SiO2 27,745. MgO 0,576. Al2O3 4,057. CaO 0,508. Cr2O3 1,68
Berdasarkan tipe mineral utamanya, secara umum bijih nikel laterit digolongkan
ke dalam 3 jenis yaitu (Luo dan Zhuo, 2011):
a. Laterit oksida (oxide laterites).
Laterit oksida merupakan produk yang paling umum dari proses laterisasi,
terbentuk terutama dari olivine atau serpentine pada kondisi lingkungan yang
basa/lembab membentuk ferric hydroxide kemudian goethite. Contoh deposit
oksida adalah bijih nikel laterit di Moa Bay dan Pinares (Luo dan Zhuo, 2011).
16
b. Clay laterite
Clay laterite terbentuk pada kondisi lingkungan yang lebih sejuk atau kering.
Pada kondisi lingkungan yang lebih sejuk atau kering, silika tidak larut melainkan
bergabung dengan Fe dan sedikit Al membentuk zona yang didominasi oleh
smectic clay nontronite. Umumnya nontronite mengandung nikel sekitar 1-1,5%.
Contoh endapan clay laterite adalah di Australia (Murrin-Murrin, Bulong,
Malborough) dan di Brazil (Luo dan Zhuo, 2011).
c. Laterit silika
Laterit silika terbentuk pada bagian yang lebih dalam dan mungkin dilapisi oleh
laterit oksida. Dalam laterit silika terjadi pengayaan konsentrasi Ni pada zona
saprolit termasuk mineral primer yang teralterasi seperti secondary serpentine dan
garnierit. Nikel dari mineral primer terendapkan kembali di dalam saprolite
dengan menggantikan posisi Mg pada secondary serpentine yang dapat
mengandung Ni sampai sekitar 5% dan pada garnierit dapat mencapai 20%.
Laterit silika rata-rata mengandung Ni sekitar 2-3%. Contoh endapan silica
laterite adalah yang terdapat di New Caledonia (Luo dan Zhuo, 2011).
Gambar 4. Profil skematik stratifikasi endapan pada laterit tipe silika, clay danoksida
17
2.5 Proses Pengolahan Bijih Laterit Menjadi Nikel
Penggunaan bijih nikel laterit dalam produksi nikel masih sedikit dilakukan
karena bijih nikel laterit memiliki kandungan nikel yang relatif rendah, sehingga
diperlukan perlakuan khusus untuk meningkatkan kadar nikel yang akan
diekstraksi (Rao dkk., 2013). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5, deposit
laterit umumnya terbentuk dalam tiga lapisan terdiri dari limonit, transisi
(smectite), dan saprolit (garnierite), dan terdapat tiga proses dasar yang digunakan
untuk mengekstrak nikel dari bijih nikel laterit. Selain itu, bijih saprolit dan
limonit masing-masing memiliki karakter yang berbeda dan bervariasi dari satu
tempat ke tempat lain. Karena perbedaan karakter ini (kadar nikel, komposisi
mineral dan carrier nikel dalam bijih), maka kedua jenis bijih ini memerlukan
perlakuan yang berbeda dalam pengolahannya (Elias, 2002).
Gambar 5. Profil stratifikasi bijih nikel laterit, komposisi kimia dankorelasinya dengan teknik pengolahannya
Teknik prekonsentrasi secara konvensional tidak sesuai untuk mengolah nikel
laterit karena sebagian besar nikel terdistribusi di dalam oksida besi dan clay. Hal
18
ini berbeda dengan pengolahan bijih nikel sulfida yang menghasilkan nikel
sebagai mineral yang terpisah. Produksi nikel dari bijih laterit memerlukan energi
yang sangat besar dan terkait dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan bijih sulfida (Mudd, 2010). Laterit dapat diproses
untuk menghasilkan nikel dengan dua cara, yaitu dengan hidrometalurgi dan
pirometalurgi.
2.5.1 Proses Hidrometalurgi
Hidrometalurgi merupakan proses pemurnian logam dengan menggunakan pelarut
kimia untuk melarutkan bahan logam tertentu sehingga kemurnian logam yang
diinginkan meningkat (leaching). Hidrometalurgi adalah metode yang cukup
menjanjikan karena mampu menghasilkan nikel dengan kemurnian tinggi.
Jenis–jenis proses hidrometalurgi antara lain:
Proses caron
Pada proses ini, bijih terlebih dahulu direduksi sebelum dilakukan proses roasting
menggunakan amonium karbonat dalam tekanan atmosferik. Kemudian recovery
nikel dari larutan leaching diperoleh dengan cara menguapkan larutan tersebut
sehingga terbentuk endapan nikel karbonat. Reaksi roasting berlangsung pada
suhu 850 C. Bijih yang sudah selesai direduksi kemudian didinginkan dengan
cara quenching pada suhu 150 C – 200 C dalam larutan ammonium karbonat.
Ni dan Co yang terkandung dalam bijih akan larut dan membentuk ammonia
kompleks, sedangkan Fe akan teroksidasi dan mengendap sebagai Fe(OH)3. Pada
proses ini didapatkan larutan yang tidak mengandung Fe, sehingga didapatkan Ni
dan Co yang lebih murni. Proses caron dapat digunakan untuk bijih limonit dan
19
beberapa jenis bijih saprolit (Kyle, 2010).
High Pressure Acid Leaching ( HPAL )
Teknologi ini telah menjadi metode utama dalam proses hydrometallurgy. Proses
ini cocok untuk bijih limonit. Bijih dilarutkan dalam larutan asam sulfat pada suhu
240 C – 270 C selama 60-90 menit. Pada akhirnya Fe akan mengendap sebagai
hematite (Fe2O3) dan jarosite (H3O)Fe3(SO4)2(OH)6), sedangkan Al dalam bentuk
alunit (H3O)Al3(SO4)2(OH)6. Hampir semua Fe, Al, Si, dan Cr akan mengendap.
Lebih dari 95% Ni dan 90% Mg akan larut dalam larutan (Kyle, 2010).
Enhaced Pressure Acid Leaching (EPAL)
Atmospheric Leaching (AL) dipasang disisi HPAL untuk menghasilkan Enhaced
Pressure Acid Leaching (EPAL). Pada proses Atmospheric Leaching, Ni dan Co
diekstraksi. Proses ini menggunakan bijih saprolit untuk menetralkan asam yang
tersisa setelah proses HPAL, sehingga meningkatkan kandungan nikel pada
larutan. Saprolit dilarutkan kembali dalam larutan asam sulfat dan terjadi
peningkatan PH untuk membantu mengendapkan besi (Fe) dari larutan sebagai
goethite (Liu et al., 2014).
2.5.2 Proses Pirometalurgi
Bijih saprolit berkadar tinggi mengandung nikel dengan mineral magnesium
silikat seperti serpentine dan garnierite dilakukan pengolahan dengan metode
pirometalurgi. Sedangkan bijih limonit dianggap sebagai overburden dan jarang
diolah sebagai umpan karena kadar nikel yang rendah dan kadar besi yang tinggi
(Solar et al, 2008). Umumnya jalur pirometalurgi menggunakan aliran proses
konvensional meliputi tahapan upgrading dari penambangan, pengeringan,
20
kalsinasi/reduksi, dan peleburan menggunakan tungku listrik yang diikuti proses
pemurnian lainnya. Hasil olahannya dapat berupa feronikel atau nickel matte yang
akan dimurnikan lebih lanjut, selain itu Nickel Pig Iron (NPI) juga merupakan
produk pengolahan melalui jalur pirometalurgi (Kruger et al, 2010). Beberapa
proses pirometalurgi bijih laterit dipaparkan lebih lanjut dalam uraian berikut :
Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF)
Pada proses pembuatan feronikel, pertama-tama bijih nikel laterit dikalsinasi di
dalam tungku putar (Rotary Kiln) dengan temperatur berkisar pada 850 C – 1000
°C. Dari unit operasi ini, material dilebur pada temperatur antara 1500 C – 1600
°C di dalam Arc Furnace dengan pereduksi karbon sehingga terpisah antara fasa
besi nikel dari fasa slag silika magnesia. Semakin kuat kondisi reduksi akan
menghasilkan feronikel dengan grade antara 10-15% Ni, sedangkan kondisi
reduksi yang semakin lemah akan menghasilkan feronikel dengan grade lebih dari
30% Ni (Norgate, 2011). Seluruh nikel akan tereduksi, sementara hanya sekitar
60-70% Fe yang akan tereduksi (Kyle, 2010). Reduksi besi oksida akan
menurunkan kadar nikel hingga mencapai nilai 5-15% Ni yang merupakan range
untuk Nickel Pig Iron (NPI) (Oxley, 2013).
Reaksi reduksi yang terjadi adalah sebagai berikut (Oxley, 2013) :
NiO + C Ni + CO (1)
NiO + CO Ni + CO2 (2)
FeO + C Fe + CO (3)
Fe2O3 + 3CO 2Fe + 3CO2 (4)
21
Feronikel dimurnikan dengan membuang pengotor seperti sulfur, silikon,
kromium, dan fosfor. Feronikel yang telah dimurnikan selanjutnya digunakan
untuk produksi baja tahan karat (Kyle, 2010).
Nippon Yakin Oheyama
Nippon Yakin Oheyama Process merupakan reduksi langsung garnierite ore yang
menghasilkan feronikel dalam suatu rotary kiln (Watanabe et al, 1987). Silicate
ore (2,3-2,6% Ni, 12-15% Fe) bersama antrasit, coke breeze, dan batu kapur yang
dicampur dan dibuat menjadi briket untuk kemudian diumpankan dalam rotary
kiln pada gradien temperatur 700-1300 °C. Dalam rotary kiln tersebut, briket akan
mengalami proses pengeringan, dehydrated, reduksi, dan dilebur sehingga
menghasilkan feronikel yang disebut luppen. Hasil tersebut kemudian didinginkan
cepat dalam air kemudian dipisahkan dari teraknya melalui proses grinding,
screening, jigging, dan magnetic separation. Kadar nikel yang didapatkan
mencapai 22% Ni dan 0,45% Co dengan perolehan kembali logam nikel mencapai
80%. Pada tahap selanjutnya dilakukan proses peningkatan pada perolehan
kembali logam nikel melalui pretreatment technology dan segregasi luppen (Kyle,
2010).
Nickel Pig Iron
Merupakan feronikel yang memiliki kadar nikel relatif rendah (1,5-8% Ni).
Pembuatan NPI dilakukan dengan menggunakan mini blast furnace. Proses
produksi NPI menggunakan kokas sebagai reduktor dan sumber energi panas.
Karbon akan mereduksi besi sehingga kandungan FeO didalam terak akan kecil.
Proses ini juga akan ditambahkan batu kapur untuk mengatur basisitas sehingga
diperoleh temperatur lelehan terak yang rendah. Hal ini perlu dilakukan karena
22
pada saat proses berlangsung temperatur lelehan dari terak akan tinggi sebagai
akibat dari rendahnya kandungan FeO dan tingginya kadar silika dan magnesia
didalam terak (Kyle, 2010).
2.6 Jenis Teknik Inovasi Upgrading
Produksi feronikel dari bijih laterit memerlukan energi tinggi, karena bijih laterit
atau bijih pra-reduksi umumnya langsung dilebur untuk menghasilkan sejumlah
kecil produk feronikel dan sejumlah besar slag. Proses prekonsentrasi secara
pirometalurgi atau lebih umum dikenal sebagai upgrading process dilakukan
untuk memperoleh nikel atau feronikel dari bijih nikel laterit, seperti roasting dan
smelting. Beberapa jenis teknik inovasi yang terkait dengan proses ini antara lain
thermal upgrading process, sulfidasi selektif dan proses segregasi.
Thermal Upgrading
Thermal upgrading adalah teknik yang ditujukan untuk memperlakukan bijih
nikel kadar rendah agar lebih memberikan nilai lebih ketika dilakukan proses
benefisiasi fisik. Teknik ini mengacu pada reduksi dari nikel dan kobalt yang
terkandung dalam bijih limonit untuk menjadi logam yang dapat dipisahkan dari
mineral-mineral pengganggu. Berbagai kondisi operasi seperti temperatur, waktu
tahan, suasana reduksi, dan penambahan reagen/bahan aditif bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ukuran partikel logam yang menguntungkan jika
dilakukan pemisahan secara magnetik atau flotasi. Mineral pengganggu, yang
sebagian besar berupa oksida besi, tereduksi menjadi wustite dan terpisah dari
feronikel (Li et al, 2011). Proses reduksi dari oksida besi dapat dijelaskan melalui
langkah:
23
Goethite Hematite Magnetite Wustite Metallic Iron
Kontrol yang hati-hati pada potensial reduksi selama percobaan akan mampu
menghasilkan fasa wustite dan sedikit pembentukan logam besi. Rendahnya
tingkat logam besi dalam konsentrat dapat diilustrasikan dengan rasio besi
terhadap nikel yang rendah atau kecil. Logam besi yang tercampur dalam
konsentrat FeNi, akan mengurangi kadar nikel dan meningkatkan berat dari
konsentrat yang dihasilkan. Magnetite dapat juga tercampur dalam konsentrat dan
ini dihasilkan baik oleh under reduction dari fasa oksida besi ataupun melalui
oksidasi atau ketidakproporsionalan dari fasa wustite (Crama, 1984). Wustite
adalah fasa metastabil yang menjadi tidak stabil dalam kondisi netral dibawah
temperatur 570 °C (Wagner et al, 2006). Wustite mengalami reaksi
disproporsionasi, artinya sebagian dari oksida besi akan mengalami oksidasi dan
sebagian lagi mengalami reduksi. Reaksi ini membentuk fasa magnetite dan besi
logam seperti yang terlihat dalam persamaan di bawah.
4FeO → Fe3O4 + Fe (5)
Reaksi disproporsionasi ini ditemukan dan terjadi pada kisaran temperatur dari
300 C - 570 °C menggunakan Mossbauer Spectrometry meskipun kemungkinan
secara termodinamika, kinetik dari reaksi ini berjalan lamban dan membutuhkan
waktu tinggal lebih dari 60 menit pada temperatur tinggi. Inovasi lain dalam
kaitannya dengan thermal upgrading telah dilakukan oleh Elliot et al (2015) yaitu
bijih yang digunakan berupa nikel kadar rendah yang dicampur dengan 6%
batubara dan 4% sulfur dan menerapkan metode dua tahap thermal upgrading dan
di akhiri dengan pemisahan magnet. Tujuan dari metode dua tahap thermal
upgrading adalah untuk men-treatment bijih nikel kadar rendah agar didapatkan
24
feronikel yang memiliki kadar dan perolehan kembali logam nikel yang tinggi
dengan penggunaan panas yang tidak terlalu tinggi (1000 °C) dan penambahan
sulfur yang relatif sedikit (10%). Tahap pertama pemanasan dilakukan pada bijih
yang dicampur batubara dan sulfur di temperatur 600 °C selama satu jam untuk
mereduksi nikel oksida dengan sempurna dan mendapatkan fasa Fe-Ni-S yang
kaya nikel. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Li et al (2011) yang
menyatakan bahwa pada kondisi standar dengan tekanan atmosfir, temperatur
minimum untuk terjadinya reduksi nikel oksida dengan pereduksi karbon adalah
440 °C, dan optimal pada temperatur 600 °C. Tahap kedua atau disebut
pemanasan lanjut dilakukan dengan melakukan treatment panas pada temperatur
1000 °C dan ditahan satu jam untuk membentuk fasa Fe-Ni-S semi-liquid yang
mempermudah berkumpulnya partikel feronikel, selain itu dalam proses
pemanasan lanjut juga terjadi pertumbuhan partikel feronikel (Li et al, 2011).
Sulfidasi Selektif
Harris (2012) dan Harris dkk (2011) mempelajari sulfidasi pada temperatur
rendah dari bijih laterit dan mampu menunjukkan bahwa nikel oksida dalam bijih
dapat disulfidasi secara selektif menjadi nikel-besi sulfida. Nikel-besi sulfida
dapat di konsentrat melalui flotasi, menghasilkan produk menengah dengan
penggunaan tingkat konsumsi energi yang rendah dan relatif sederhana alur proses
nya jika dibandingkan dengan proses yang telah ada. Sulfida nikel terbentuk pada
potensial sulfur yang lebih rendah daripada sulfida besi, dan diyakini bahwa NiO
dapat kemudian disulfidasi secara selektif menjadi monosulfida dan disulfida.
Sulfidasi dilakukan pada temperatur 450 C - 1100 °C dengan penambahan sulfur
antara 25-900 kilogram per satu ton bijih. Proses selektif sangat bergantung pada
25
temperatur dan penambahan sulfur. Tingkat tertinggi dari sulfidasi nikel diperoleh
dengan menambahkan 100 kg sulfur dalam satu ton bijih pada temperatur diatas
500 °C, tetapi fasa Fe-Ni-S yang terbentuk mempunyai ukuran submikron. Ketika
temperatur dinaikkan pada 1050 C - 1100 °C, partikel sulfida akan tumbuh
melalui mekanisme sintering fasa cair dalam matte yang kaya oksigen menjadi
14µm. Temperatur pertumbuhan sulfida adalah sama dengan temperatur daerah
tumbuhnya logam. Flotasi dari nikel-besi sulfida menghasilkan kadar dalam
konsentrat nikel sebesar 4-5%, dengan perolehan kembali logam nikel sebesar 35-
45%. Rendahnya perolehan kembali logam nikel disebabkan oleh partikel sulfida
yang dihasilkan berukuran kecil. Konsep ini telah terbukti ditunjukkan dalam
proses selektif sulfidasi nikel dari bijih limonit, namun diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk pengembangan proses (Harris, 2012).
Proses Segregasi
Beberapa teknik inovasi yang dapat dilakukan pada nikel laterit untuk
meningkatkan kadar dan perolehan nikel dalam konsentrat feronikel adalah proses
segregasi, dimana terjadi proses pemisahan secara selektif dalam reduksi Ni, Co,
dan Fe ke keadaan logam melalui gas klorida. Dalam penelitian lain, Li et al
(2012) mengungkapkan bahwa NaCl mampu meningkatkan tingkat
pemanggangan reduksi-pemisahan magnet dari bijih laterit secara signifikan dan
memperbaiki kadar dan perolehan kembali logam nikel dan besi dari hasil
pemisahan magnet. Ericson et al (1987) mencampur bijih nikel laterit dengan 2%
kokas dan 4% CaCl2.2H2O dalam tungku pembakaran pada temperatur 950 °C
kemudian didinginkan dan dipisah menggunakan pemisah magnet. Hasil yang
diperoleh yaitu terjadi peningkatan perolehan kembali logam nikel dari 60% hasil
26
konsentrat nikel menjadi 65% setelah dihaluskan dan 90% setelah dilakukan
pemisahan dengan magnet. Selain itu, diperoleh hasil yang menyebutkan bahwa
dengan melakukan segregasi, maka fasa logam feronikel akan tereduksi dan akan
meningkatkan ukuran partikel sehingga dapat menguntungkan ketika dilakukan
proses pemisahan dengan magnet. Liu et al (2010) melakukan penelitian dengan
mencampurkan bijih nikel laterit, magnesium klorida (MgCl2) dan kokas pada
kondisi optimal didapat dengan mencampurkan 6% MgCl2, 2% kokas pada
temperatur 980 °C selama 90 menit menghasilkan kadar dan perolehan kembali
nikel masing-masing 5,25% dan 91,5%. Namun dari penelitian yang telah
dilakukan, semua menggunakan bijih nikel saprolit dan belum diuji cobakan pada
bijih nikel kadar rendah. Proses segregasi melibatkan pencampuran bijih laterit
dengan agen pengkloridasi (CaCl2, NaCl, atau MgCl2) dan zat pereduksi padat
(kokas atau batubara) kemudian memanggang campuran antara suhu 900 C –
1000 C (Liu et al, 2010).
2.7 Batubara Sebagai Reduktor
Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan
sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah
sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur
utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen (Diessel, 1992). Menurut
Sukandarrumidi (2006) reaksi pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai
berikut :
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO (6)
Cellulosa lignit metana air
27
Reduktor dengan karbon merupakan jenis reduktor yang paling banyak digunakan
untuk reduksi bijih nikel karena kelimpahannya yang sangat besar. Salah satu
proses yang popular yaitu produksi ferronikel Krupp-Renn process. Tahapan
proses ini yaitu penggerusan bijih dengan mencampur bahan material berkarbon
yaitu batubara antrasit, kokas dan limestone sebagai flux kemudian dibuat briket.
Tahap selanjutnya direduksi dengan dialiri gas panas dari hasil pembakaran batu
bara. Produk yang terbentuk didinginkan, digerus, dipisahkan secara fisik dan
terakhir pemisahan dengan magnetik. Produk akhir berupa partikel dengan ukuran
2 - 3 mm dengan komposisi Ni 18-22% (T. Watanabe, 1987). Analisis unsur
memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan
C240H90O4NS untuk antrasit.
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas
dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-
bituminus, lignit dan gambut.
1. Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%.
2. Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10%
dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
3. Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan
bituminus.
4. Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya.
28
5. Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah (Anggarda, 2017).
Menurut C. F. K. Diessel (1992) pembentukan batubara diawali dengan proses
biokimia, kemudian diikuti oleh proses geokimia dan fisika, proses yang kedua ini
sangat berpengaruh terhadap peringkat batubara “coal rank“, yaitu perubahan
jenis mulai dari gambut ke lignit, bituminous, sampai antrasit. Faktor yang sangat
berperan didalam proses kedua tersebut adalah temperatur, tekanan, dan waktu.
Antrasit adalah jenis batubara yang paling diminati karena mengandung lebih
banyak energi daripada jenis lainnya dan juga merupakan yang paling ramah
lingkungan karena kemurniannya. Antrasit mengandung lebih banyak karbon
tetap daripada jenis batubara lainnya dan jumlah bahan yang mudah menguap
yang paling sedikit. Berdasarkan kandungan karbonnya, batubara antrasit dibagi
menjadi tiga yaitu semi-antrasit, antrasit, dan meta-antrasit (Anggarda, 2017).
2.8 Pengaruh Zat Aditif Unsur Belerang Terhadap Perolehan Feronikel
Kadar nikel, perolehan nikel, dan pemulihan besi dalam konsentrat feronikel
digunakan untuk mengetahui pengaruh penurunan selektif pada konsentrat
feronikel. Produk magnetik yang diperoleh disebut sebagai konsentrat
feronikel. Pengaruh penambahan aditif sulfur terhadap pertumbuhan partikel
lebih berpengaruh signifikan daripada pengaruh penambahan massa batubara
sebagai reduktor (Elliot et al, 2017). Pengaruh penambahan sulfur terhadap
pembentukan partikel feronikel selama proses reduksi bijih laterit telah dijelakan
Rao et al, selama proses reduksi bijih nikel saprolit dengan penambahan sulfur,
ada tiga fasa utama terbentuk yaitu logam oksida, logam sulfida dan paduan
29
feronikel serta diperkirakan fasa yang terjadi adalah Fe-O-S. Interaksi FeS dan
metalik Fe terbentuk selama proses reduksi sebagai pendorong pertumbuhan
partikel feronikel. Sistem biner Fe-S menunjukkan eutektik Fe-FeS pada
temperatur 988°C, memungkinkan terbentuknya fasa cair pada temperatur rendah.
Temperatur reduksi lebih tinggi dari eutektik, maka lelehan jenuh besi akan ada
pada antarmuka partikel feronikel dan logam sulfida sekitarnya. Kehadiran fasa
ini menyebabkan fase cair melakukan kapilaritas ke antara partikel yang
menyinter, sehingga terjadi aglomerasi (Rao et al, 2016).
Selain itu, dinyatakan bahwa dengan kehadiran sulfur akan meningkatkan
recovery Ni dan Co dari bijih laterit dengan terbentuknya troilit (FeS) dan sedikit
paduan Fe-Ni (Valix et al, 2002). Sulfur juga dapat menurunkan tekanan
permukaan pada partikel FeNi, sehingga menyebabkan partikel logam yang
terbentuk untuk berkumpul atau terjadi aglomerasi. Gambar SEM dibawah ini
menunjukkan partikel feronikel yang terbungkus oleh FeS dan diyakini bahwa
fasa FeNi mengendap diluar fasa FeS. Penambahan sulfur meningkatkan partikel
FeNi dari 5-10 µm sampai >50 µm (Li et al, 2012).
Gambar 6. SEM dari Fasa FeNi dan FeS: (A) FeS dan (B) FeNi
30
Selain itu, sulfur juga diketahui mampu membebaskan besi dan nikel dari mineral
silikat. Dimana sodium oksida yang terbentuk melalui proses dekomposisi termal
natrium sulfat akan bereaksi dengan dengan mineral-mineral silikat dengan titik
lebur rendah yang kemudian mempercepat migrasi dan meningkatkan
pertumbuhan partikel metalik (Lu et al, 2013).
Pada penelitian yang dilakukkan oleh Elliot et al, menggunakan bijih limonit
dengan kadar nikel awal 1,38% dilakukkan dua tahap reduksi untuk menghasilkan
produk feronikel dengan separasi magnetik. Penambahan 6% batubara dan 4%
sulfur dengan temperatur reduksi tahap awal 600C selama 60 menit kemudian
tahap kedua reduksi terjadi pertumbuhan partikel pada temperatur 1000C selama
60 menit. Dihasilkan konsentrat feronikel dengan kadar nikel 4% dan recovery
nikel 93,2%. Ukuran partikel meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur
dan lamanya waktu reduksi dengan ukuran partikel 10 - 20 μm. Penelitian lebih
lanjut juga dilakukkan oleh Elliot et al, dengan variasi jumlah batu bara, elemental
sulfur atau unsur belerang, pirit dan temperatur reduksi 1000 – 1200C. Dengan
penambahan sedikit sulfur (4%) terobservasi rata - rata partikel feronikel
meningkat signifikan selama reduksi sedangkan rata - rata kadar nikel menurun.
Hal ini dikarenakan meningkatnya metalisasi besi.
Berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan Jiang et al, dengan aditif yang
berbeda yaitu Na2O dapat meningkatkan perolehan nikel, dan sulfur atau belerang
secara signifikan mempengaruhi peningkatan terhadap kelas nikel. Perolehan
nikel dan besi dari feronikel dengan penambahan campuran Na2O dan S adalah
serupa dengan Na2S dan Na2SO4 yang terpisah. Ketika dosis Na2S, Na2SO4, dan
31
campuran Na2O dan S meningkat menjadi 10 wt.%, kelas nikel dari konsentrat
feronikel meningkat menjadi 9,87%, 10,86%, dan 9,29%, dengan perolehan nikel
dari 90,90%, 88,56%, dan 87,29%, dan perolehan besi 29,55%, 24,62%, dan
30,76%. Penambahan aditif dapat menurunkan recovery besi pada konsentrat
feronikel karena terbentuknya wustite dan FeS. Wustite lebih sulit tereduksi dari
pada nikel oksida sedangkan S bereaksi dengan Fe membentuk FeS bersifat non
magnetik yang dapat mengurangi recovery besi dan meningkatkan kadar nikel
saat benefisiasi melalui separasi magnetik. Selain itu penambahan S dapat
menurunkan tegangan permukaan dan memperbesar ukuran partikel (Jiang et al,
2013). Elektrolisis sulfur atau belerang dapat menggunakan elektrolit asam kuat
maupun asam lemah. Akan tetapi yang umum digunakan adalah berupa asam kuat
seperti HCL dan asam sulfat. Sedangkan elektroda yang digunakan adalah
elektroda baja, grafit, dan stainless steel (Budevsky, 1979).
Reaksi yang terjadi pada larutan elektrolit :
H2SO4 2H+ + SO42- (7)
Katoda : 2H+ (aq) + 2e- H2 (g) E0 = 0
Anoda : 2H2O (l) 4H+ (aq) + O2 (g) + 4e- E0 = -1,23
2H2O (l) O2 (g) + 2 H2 (g) E0 = -1,23
Reaksi yang terjadi pada sulfur :
FeS2 Fe2+ + S22- (8)
Katoda : Fe2+ (aq) + 2e- Fe (s) E0 = -0,44
Anoda : S22- 2S0 (g) + 2e- E0 = +2,58
Fe2+ (aq) + S22- Fe (s) + 2S0 (g) E0 = +2,44
32
2.9 Termodinamika Reduksi
Reduksi adalah reaksi pelepasan oksigen dari suatu senyawa. Reduktor adalah zat
yang menarik oksigen pada reaksi reduksi. Temperatur terendah pada tekanan 1
atm agar reduksi NiO oleh fixed carbon terjadi adalah 440 C. Faktanya, bijih
nikel laterit tergolong bijih kompleks yang mengandung NiO, Fe2O3, Fe3O4 dan
sebagainya. Reaksi - reaksi lainnya terjadi secara simultan pada proses reduksi (Li
et al, 2011).
Termodinamika dasar nikel laterit selama proses reduksi telah dijelaskan oleh
Harris et al (2011). Setelah bijih dikeringkan dan digerus ke ukuran partikel yang
diinginkan, tahap pertama dalam ekstraksi nikel adalah dehidroksilasi mineral
nikel yang terhidrasi. Dalam bijih limonit, nikel disubstitisi ke dalam struktur
kristal goethite. Dehidroksilasi dari goethite terjadi pada temperatur sekitar 300
°C dengan reaksi sebagai berikut:
2 (Fe, Ni) O⋅OH → (Fe, Ni)2O3 + H2O (g) (9)
Setelah proses dehidroksilasi, trevorite (NiFe2O4) terbentuk dalam struktur
hematite baru (Landers et al, 2011). Sedikit di bawah kondisi reduksi, nikel akan
bergabung menjadi fasa spinel dengan reaksi:
6(Fe, Ni)O·OH → 2(Fe,Ni)3O4 + 3H2O(g) + 0,5O2 (g) (10)
Pada bijih saprolit, proses dehidroksilasi serupa terjadi terhadap struktur
serpentine yang berlangsung pada temperatur antara 650-810 °C dengan reaksi
sebagai berikut (Rhamdhani et al, 2014):
(Mg,Ni)3Si2O5(OH)4 → (Mg,Ni)SiO3 + (Mg,Ni)2SiO4 + 2H2O(g) (11)
33
Baik besi maupun nikel menstubtitusi magnesium di dalam struktur kristal
mineral yang terbentuk (Valix et al, 2002).
Mekanisme reduksi pada bijih nikel laterit dengan penambahan sumber karbon
padat terdapat tiga reaksi reduksi, yaitu reduksi besi oksida, reduksi nikel oksida
dan gasifikasi karbon (Zevgolis et al, 2010). Mekanisme reduksi padat yang
terjadi pada oksida besi melalui tiga tahap reaksi.
Tahap I : Reduksi hematite menjadi magnetite
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2 (12)
Tahap II : Reduksi magnetite menjadi wustite
Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 (13)
Tahap III : Reduksi wustite menjadi metallic iron
FeO + CO → Fe + CO2 (14)
Reduksi Oksida Nikel terjadi melalui reaksi :
NiO + CO → Ni + CO2 (15)
Carbon gasification berlangsung melalui reaksi :
C + CO2 → 2CO (16)
Mekanisme reduksi padat berlangsung karena adanya gas pereduksi yang
terbentuk melalui reaksi Boudoard yang menjaga atmosfir dalam keadaan reduktif
(Zevgolis et al, 2010).
34
2.10 Analisis AAS (Atomic Absorption Spectroscopy)
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) merupakan metode analisis unsur secara
kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang
gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas, dimana AAS memiliki
range ukur optimum dan panjang gelombang 200-300 nm (Skoog et al, 2000).
Pada alat AAS terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang menghasilkan
atom-atom gas bebas dalam keadaan dasarnya dan suatu sistem optik untuk
pengukuran sinyal. Rangkaian alat AAS adalah sebagai berikut:
Gambar 7. Prinsip kerja komponen alat AAS
Sumber cahaya yang paling sering digunakan dalam pengukuran serapan atom
adalah lampu katoda cekung. Lampu katoda ini dimasukan kedalam yang
dihampakan dan kemudian diisi gas monoatomik yang murni. Dengan adanya
beda potensial yang cukup besar, ion dipercepat gerakannya ke arah katoda. Pada
waktu terjadi tumbukan dengan katoda, beberapa atom logam akan dibebaskan
dari permukaan katoda dan membentuk kabut atom logam di ruang katoda.
Peristiwa ini disebut nebulizer (sistem pengkabutan) dan burner (sistem
pembakar), sehingga atomizer sering disebut sistem pengabut dan pembakar
(Underwood, 2001). Fungsi utama dari sistem optik adalah untuk menyeleksi dan
35
mengisolasi garis-garis spectra yang terbentuk. Monokromator digunakan untuk
mengisolasi spectra, sehingga garis spectra yang dikehendaki sampai pada
detektor. Detektor yang biasa digunakan ialah tabung pengganda foton, yang
terdiri dari katoda yang dilapisi senyawa yang bersifat peka cahaya dan suatu
anoda yang mampu mengumpulkan elektron. Antara katoda dan anoda terdapat
dinoda-dinoda yang mampu menggandakan elektron. Sehingga intensitas elektron
yang sampai menuju anoda besar dan akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik
yang diperkuat oleh amplifier sebelum dianalisis (Basset, 1994).
Spektrofotometri memiliki prinsip penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral
dalam keadaan gas. Sampel yang akan dianalisis diuraikan dengan suatu alat
disebut “atomizer” sehingga menjadi atom netral yang berbentuk uap, kemudian
atom netral ini disinari oleh sinar yang sesuai sehingga terjadi serapan atom
(absorbansi). Larutan sampel yang akan dianalisa dihisap dengan menggunakan
pipa kapiler dan disemprotkan dalam bentuk kabut. Pada temperatur tinggi zat
tersebut akan terurai menjadi ion-ionnya. Penyerapan energi radiasi oleh atom-
atom unsur logam sebanding dengan konsentrasi atom logam dalam nyala.
Beberapa atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, namun kebanyakan atom
tetap berada dalam keadaan dasar. Atom-atom yang berada keadaan dasar
kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang sesuai.
Panjang gelombang yang dihasilkannya sama dengan panjang gelombang yang
diabsorbasi oleh atom nyala. Absorbasi ini mengikuti hukum Lambert-Beer, yakni
absorbasi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan
konsentrasi uap atom dalam nyala (Underwood, 2001).
36
2.11. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
XRD atau X-Ray Diffraction merupakan suatu alat yang digunakan untuk
menganalisis sistem kristal pada material yang diuji. XRD dapat memberikan
informasi mengenai jenis struktur, parameter kisi, susunan atom yang berbeda
pada kristal. Prinsip kerja dari XRD ini menggunakan difraksi sinar X yang
dihamburkan oleh sudut Kristal material yang diuji. Komponen utama pada XRD
ini terdiri dari tabung katoda, sampel holder dan detektor. XRD akan memberikan
data difraksi dan juga kuantitasi intensitas difraksi pada sudut dari suatu bahan.
Setiap pola yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang Kristal yang
memiliki orientasi tertentu. Berkas sinar-X yang dihamburkan ada yang saling
menghilangkan dan saling menguatkan. Selain dari kelebihan XRD diatas,
pastinya XRD juga mempunyai kekurangan, yaitu tidak dapat digunakan untuk
analisa kuantitatif, sehingga XRD tidak dapat kita gunakan untuk menghitung
jumlah dan kadar dari mineral-mineral tersebut. Biasanya, XRD digunakan untuk
menghitung analisa jumlah yang tidak harus akurat (Brady, 1999).
Setiap kumpulan bidang kisi tersebut memiliki beberapa sudut orientasi sudut
tertentu, sehingga difraksi sinar-X memenuhi Hukum Bragg:
2d sin = n (17)
dengan:
d = jarak antar bidang dalam kristal
= sudut difraksi
n = orde difraksi (0, 1, 2, 3,...)
= panjang gelombang
37
Hukum Bragg merupakan perumusan matematik mengenai proses difraksi yang
terjadi sebagai hasil interaksi antara sinar-X yang dipantulkan oleh material.
Pantulan tersebut terjadi tanpa mengalami kehilangan energi sehingga
menghasilkan pantulan elastis atau elastic scattering. Bragg menunjukkan bahwa
bidang yang berisi atom-atom di dalam kristal akan memantulkan radiasi dengan
cara yang sama persis dengan peristiwa pemantulan cahaya di bidang cermin
(Vlack, 1980).
Gambar 8. Prinsip Kerja XRD
Prinsip dari alat XRD (X-ray diffraction) adalah sinar X yang dihasilkan dari
suatu logam tertentu memiliki panjang gelombang tertentu, sehingga dengan
memvariasi besar sudut pantulan sehingga terjadi pantulan elastis yang dapat
dideteksi. Maka menurut Hukum Bragg jarak antar bidang atom dapat dihitung
dengan data difraksi yang dihasilkan pada besar sudut-sudut tertentu. Difraksi
sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah
kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan
interferensi yang konstruktif. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk
mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg (Brady, 1999).
38
2.12 Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)
Scanning Electron Microscopy (SEM) adalah alat deteksi yang menggunakan
sinar elektron berenergi tinggi untuk melihat objek pada skala yang sangat kecil.
SEM mempunyai depth of field yang besar, yang dapat memfokus jumlah sampel
yang lebih banyak pada satu waktu dan menghasilkan bayangan yang baik dari
sampel tiga dimensi. SEM menghasilkan bayangan dengan resolusi yang tinggi,
maksudnya pada jarak yang sangat dekat tetap dapat menghasilkan perbesaran
yang maksimal tanpa memecahkan gambar. SEM terdiri dari dua bagian utama,
yaitu konsol elektronik dan kolom elektron. Pada konsol terdapat tombol-tombol
yang berguna untuk mengatur fokus, perbesaran, dan intensitas gambar pada
tampilan layar. Kolom merupakan tempat berkas elektron dihasilkan, difokuskan
ke suatu titik kecil dan di scan melewati sampel untuk membuat sinyal yang dapat
mengontrol intensitas gambar pada layar (Zhou dan Wang, 2006).
Gambar 9. Scanning Electron Microscopy
Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat beberapa peralatan utama antara
lain (Zhou dan Wang, 2006):
39
1. Pistol elektron, biasanya berupa filamen yang terbuat dari unsur yang
mudah melepas elektron misal tungsten.
2. Lensa untuk elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang
bermuatan negatif dapat dibelokkan oleh medan magnet.
3. Sistem vakum, karena elektron sangat kecil dan ringan maka jika ada
molekul udara yang lain elektron yang berjalan menuju sasaran akan
terpencar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran sehingga
menghilangkan molekul udara menjadi sangat penting.
SEM dapat menghasilkan gambar dengan resolusi yang tinggi dari suatu
permukaan sampel, menangkap secara lengkap dengan ukuran sekitar 1 - 5 nm.
Agar menghasilkan gambar yang diinginkan maka SEM mempunyai sebuah lebar
fokus yang sangat besar (biasanya 25 – 250.000 kali pembesaran). SEM dapat
menghasilkan karakteristik bentuk 3 dimensi yang berguna untuk memahami
struktur permukaan dari suatu sampel (Crundwell et al, 2011)
Keunggulan SEM adalah sebagai berikut:
1. Daya pisah tinggi
Dapat ditinjau dari jalannya berkas media, SEM dapat digolongkan dengan
optik metalurgi yang menggunakan prinsip refleksi, yang diartikan sebagai
permukaan spesimen yang memantulkan berkas media.
2. Menampilkan data permukaan spesimen
Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisis
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan
atau lapisan yang tebalnya sekitar 20 mikro meter dari permukaan. Sinyal lain
yang penting adalah back scattered electron yang intensitasnya bergantung
40
pada nomor atom, yang unsurnya menyatakn permukaan spesimen. Dengan
cara ini diperoleh gambar yang menyatakan perbedaan unsur kimia yang
lebih tinggi pada nomor atomnya. Kemampuannya yang beragam membuat
SEM popular dan luas penggunaannya, tidak hanya dibidang material
melainkn juga dibidang biologi, pertanian, kedokteran, elektronika,
mikroelektronika dan lain-lain.
3. Kemudahan penyiapan sampel
Spesimen untuk SEM dapat berupa material yang cukup tebal, oleh karena itu
penyiapannya sangat mudah. Untuk pemeriksaan permukaan patahan
(fraktografi), permukaan diusahakan tetap seperti apa adanya, namun bersih
dari kotoran, misalnya debu dan minyak. Permukaan spesimen harus bersifat
konduktif. Oleh karena itu permukaan spesimen harus bersih dari kotoran dan
tidak terkontaminasi oleh keringat (Zhou dan Wang, 2006).
Sedangkan kelemahan dari teknik SEM antara lain:
1. Memerlukan kondisi vakum.
2. Hanya menganalisa permukaan.
3. Resolusi lebih rendah dari TEM.
4. Sampel harus bahan yang konduktif, jika tidak konduktor maka perlu dilapis
logam seperti emas.
Prinsip kerja dari SEM adalah sebagai berikut (Brady, 1999) :
1. Electron gun menghasilkan electron beam dari filamen. Pada umumnya
electron gun yang digunakan adalah tungsten hairpin gun dengan filamen
berupa lilitan tungsten yang berfungsi sebagai katoda. Tegangan yang
diberikan kepada lilitan mengakibatkan terjadinya pemanasan. Anoda
41
kemudian akan membentuk gaya yang dapat menarik elektron melaju menuju
ke anoda.
2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju suatu titik pada permukaan
sampel.
3. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan
diarahkan oleh koil pemindai.
4. Ketika elektron mengenai sampel, maka akan terjadi hamburan elektron, baik
Secondary Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dari permukaan
sampel dan akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan dalam bentuk
gambar pada monitor CR.
Gambar 10. Prinsip Kerja SEM
III. METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini akan dilakukan “Pengaruh Variasi Konsentrasi Batubara
Antrasit, Temperatur dan Waktu Tahan Reduksi pada Produk Feronikel Berbahan
Dasar Bijih Nikel Laterit Sulawesi Tenggara dengan Penambahan Unsur Belerang
10%” dengan variasi temperatur 950 C, 1050 C dan 1150 C dan variasi waktu
tahan selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Reduktor yang digunakan yaitu
batubara antrasit sebanyak 5%, 10% dan 15% berat. Bijih laterit yang digunakan
pada penelitian ini adalah jenis limonit. Sampel yang akan digunakan diayak
menggunakan mesh-100 kemudian dikarakterisasi menggunakan AAS dan XRD
sebelum dibuat pellet. Karakterisasi AAS berfungsi untuk mengetahui unsur-
unsur kimia yang terdapat pada sampel dan karakterisasi XRD berfungsi untuk
mengetahui fasa yang dominan pada bijih nikel laterit. Pembuatan pelet dilakukan
dengan mencampurkan bijih nikel laterit, unsur belerang, dan reduktor batubara
antrasit. Kemudian dilakukan proses reduksi bijih nikel laterit menggunakan
furnace. Hasil dari proses reduksi kemudian dilakukan proses pemisahan
magnetik yang menghasilkan konsentrat feronikel dan tailing. Setelah melalui
proses pemisahan magnetik, hasil konsentrat feronikel dan tailing dikarakterisasi
menggunakan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS), X-Ray Diffraction
(XRD), dan analisis struktur permukaan menggunakan Scanning Electron
Microscopy - Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDS).
43
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2019 di
Laboratorium Kimia Analisa Balai Penelitian Teknologi Mineral LIPI, Jl. Ir
Sutami Km. 15 Tanjung Bintang, Lampung Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan digital merk
gold series ohaus, ball mill, spatula, muffle furnace, shaker mill, gelas ukur, labu
erlenmeyer, kertas saring, pengaduk magnet, cawan, funel atau corong, oven merk
memmert, mortar, pastel, cawan, krusibel, mesin mounting, mesin AAS, mesin
XRD PAN Analytical dan mesin SEM. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu
bijih nikel laterit, batubara antrasit sebanyak 5%, 10%, dan 15% berat sebagai
reduktor, aditif unsur belerang, air sebagai media pendinginan cepat, alkohol
sebagai pembersih sampel setelah proses polishing dan titanium oksida sebagai
bahan pembuat larutan pada proses polishing.
3.3 Prosedur Penelitian
Prosedur kerja pada penelitian ini adalah sebagai berikut
3.3.1 Preparasi Sampel
Tahap preparasi sampel bijih nikel laterit adalah:
1. Menimbang serbuk bijih nikel laterit dan reduktor batubara antrasit dengan
neraca digital.
2. Mencampurkan bijih nikel laterit, aditif unsur belerang dan batubara antrasit
dengan menggunakan air agar bahan tercampur hingga homogen.
44
3. Melakukan proses pelletizing secara manual sehingga membentuk pellet.
4. Melakukan proses pengeringan pellet di dalam oven pada temperatur 120°C
selama 4 jam.
3.3.2 Analisis Proksimat Batubara
Melakukan analisis proximat pada batubara sebagai reduktor, untuk mengetahui
moisture (kadar air), volatile (zat terbang), ash (abu), dan fixed carbon.
1. Moisture (Kadar Air)
a. Menimbang cawan kosong yang akan digunakan untuk wadah sampel
batubara menggunakan neraca analitik.
b. Menandai cawan dengan tanda cawan 1.
c. Menambahkan sampel batubara sebanyak 45 gram ke dalam cawan 1
yang masih berada dalam timbangan, dan catat hasilnya.
d. Mengoven cawan 1 yang sudah berisi sampel batubara selama 1 jam, 2
jam, dan 24 jam.
e. Setelah mengoven 1 jam, mengeluarkan dan membiarkan sampai dingin.
f. Menimbang cawan 1 sebelum dan sesudah dioven, dan mencatat
hasilnya, begitu juga pada oven 2 jam dan 24 jam.
g. Menghitung kadar air total dan kadar air lembab menggunakan
perhitungan Kadar air total (%) = x 100% (18)
m1 = cawan kosong (gr)
m2 = cawan + sampel batubara sebelum dioven (gr)
m3 = cawan + sampel batubara sesudah dioven 1 jam (gr)
Kadar air lembab (%) = x 100% (19)
45
m1 = cawan kosong (gr)
m2 = cawan + sampel batubara sesudah dioven 2 jam (gr)
m3 = cawan + sampel batubara sesudah dioven 24 jam (gr)
2. Volatile (Zat Terbang)
a. Menimbang cawan yang akan digunakan untuk wadah sampel batubara
menggunakan neraca analitik, dan mencatat hasil timbangan.
b. Menandai cawan dengan tanda cawan 2.
c. Menambah sampel batubara sebanyak 45 gram ke dalam cawan 1 yang
masih berada dalam timbangan, dan mencatat hasilnya.
d. Mengoven cawan 1 yang sudah berisi sampel batubara selama 1 jam.
e. Setelah mengoven 1 jam, mengeluarkan dan biarkan beberapa menit
sampai dingin, kemudian menimbang cawan 2 dan mencatat hasilnya.
f. Menyiapkan 2 cawan kecil yang sudah diberi tanda a dan b.
g. Menimbang cawan a dan b sebelum dan sesudah diberi sampel batubara
sebanyak 1 gram dan mencatat hasilnya.
h. Memanaskan cawan a dan b dalam keadaan cawan tertutup menggunakan
furnace barnstead pada suhu 900C selama 7 menit.
i. Mengeluarkan cawan a dan b dan menunggu sampai dingin, kemudian
menimbang cawan a dan b tanpa tutup, dan mencatat hasilnya.
j. Menghitung volatile (zat terbang) menggunakan perhitungan
volatile (%) = ( x 100%) – kadar air lembab (20)
m1 = cawan kosong (gr)
m2 = cawan + sampel batubara sebelum di furnace (gr)
46
m3 = cawan + sampel batubara sesudah di furnace (gr)
3. Ash (kadar abu)
a. Menyiapkan 2 cawan kecil yang sudah diberi tanda a dan b.
b. Menimbang cawan a dan b menggunakan neraca analitik sebelum dan
sesudah diberi sampel batubara sebanyak 0,5 gram dari sampel batubara
yang sama dengan volatile pada cawan 2 dan mencatat hasilnya.
c. Memanaskan cawan a dan b dalam keadaan cawan terbuka menggunakan
furnace barnstead pada suhu 900 C selama 1 jam.
d. Mengeluarkan cawan a dan b dan menunggu sampai dingin, kemudian
menimbang cawan a dan b tanpa menutup, dan mencatat hasilnya.
e. Menghitung ash (kadar abu) menggunakan perhitungan
Kadar abu (%) = x 100% (21)
m1 = cawan kosong (cawan a dan b) (gr)
m2 = cawan + sampel batubara sebelum di furnace (gr)
m3 = cawan + sampel batubara sesudah di furnace (gr)
4. Fixed Carbon
Menghitung fixed carbon menggunakan perhitungan
FC (%) = 100% - (air lembab + zat terbang)% (22)
3.3.3 Proses Reduksi Selektif
Tahap proses reduksi selektif adalah:
1. Menimbang sampel dalam bentuk pellet dengan menggunakan timbangan
digital sebanyak 60 gram.
47
2. Memasukkan pellet ke dalam crucible grafit.
3. Memasukkan pellet ke dalam muffle furnace untuk proses reduksi dengan
variasi waktu tahan yaitu 60, 90, dan 120 menit serta variasi temperatur 950
°C, 1050 °C dan 1150 °C.
4. Melakukan metode pendinginan cepat menggunakan media air.
3.3.4 Proses Separasi Magnetik
Tahap proses separasi magnetik adalah
1. Sampel digerus dengan mortar dan pastel, kemudian dihaluskan dengan
shaker mill sampai mendapatkan ukuran 200 mesh.
2. Sampel hasil reduksi kemudian ditimbang dan dilakukan separasi magnetik
untuk menghasilkan konsentrat dan tailing.
3. Pemisahan magnetik dilakukan secara manual menggunakan magnet dengan
berkekuatan 500 Gauss dengan metode basah.
4. Hasil reduksi dari proses pemanggangan untuk selanjutnya dicampur
dengan air dengan perbandingan bijih hasil reduksi terhadap air sebesar 1:10
dan dilakukan pemisah dengan magnet (magnetic separator). Komponen
magnetic (konsentrat) menempel pada alat separasi magnetic sedangkan
partikel non-magnetic (tailing) tidak menempel pada magnet.
3.4 Prosedur Karakterisasi
3.4.3 Karakterisasi XRD
Karakterisasi dengan XRD bertujuan untuk mengetahui senyawa atau fasa
dominan penyusun dari bijih nikel laterit dan sampel hasil reduksi selektif.
48
Karakterisasi dengan XRD untuk sampel awal bijih nikel laterit dan sampel hasil
reduksi selektif dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Mineral-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (BPTM-LIPI) Lampung. Prinsip analisis XRD adalah
dengan memancarkan elektron yang memiliki kecepatan tinggi dan kemudian
menumbuk objek sehingga energi akan berubah menjadi energi panas dan
pancaran sinar-X. Panjang gelombang sinar-X yang dipancarkan ini akan
tertangkap oleh detektor dan diterjemahkan dalam bentuk grafik intensitas
terhadap 2θ.
3.4.4 Karakterisasi AAS
AAS merupakan metode analisis unsur secara kuantitatif yang pengukurannya
berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom
logam dalam keadaan bebas. Prinsip dasar dari AAS adalah penyerapan energi
secara eksklusif oleh atom dalam keadaan dasar dan berada dalam bentuk gas.
Hasil karakterisasi AAS (dalam satuan ppm) digunakan untuk menghitung kadar
nikel dan besi di dalam konsentrat magnetik. Untuk pengujian kadar nikel dan
besi hasil reduksi selektif, konsentrat ataupun tailing hasil pemisahan magnetik
maka serbuk kemudian ditimbang sekitar 0,5 gram menggunakan timbangan
analitik. Berat penimbangan harus dicatat dengan presisi angka desimalnya karena
sangat berpengaruh pada perhitungan kadar. Kemudian hasil penimbangan
tersebut dicampurkan ke dalam 200 ml larutan aquaregia dengan perbandingan
asam klorida terhadap asam nitrat sebesar 3 : 1 atau campuran antara 150 ml HCl
dan 50 ml HNO3. Tuang larutan aquaregia kedalam sampel sebanyak 50 ml.
Larutan sampel tersebut kemudian dipanaskan hingga uap yang semula berwarna
49
kuning berubah menjadi putih yang menandakan proses pelarutan telah selesai.
Larutan kemudian disaring menggunakan kertas saring dan diencerkan sebanyak
25x faktor pengenceran ke dalam labu ukur untuk pengujian unsur nikel (Ni), dan
625x faktor pengenceran untuk unsur besi (Fe). Hasil pengenceran tersebut
dianalisis menggunakan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) untuk
mengetahui kadar nikel dan besi pada produk konsentrat feronikel dan tailing
hasil pemisahan magnetik.
Perhitungan yang dilakukan untuk analisis adalah sebagai berikut:
R(Fe, Ni) (%) =( ) (%)( ) (%) x 100% (23)
K(Fe,Ni) (%) =( ) ( )( / ) ( ) x 100% (24)
Keterangan:
R : Recovery ; K : kadar
3.4.3 Karakterisasi Optical Microscopy
Karakterisasi dengan OM dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Mineral-LIPI
Lampung. Pengamatan dengan OM bertujuan untuk mengamati struktur mikro
dengan resolusi yang baik, selain itu juga untuk mengamati keberadaan fasa
dengan lebih detail.
3.4.4 Karakterisasi SEM-EDX
Karakterisasi dengan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan EDX (Energy
Dispersive X-Ray Spectroscopy) di UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra
Inovasi Teknologi Universitas Lampung. Pengamatan dengan SEM-EDX
bertujuan untuk mengamati struktur mikro dan morfologi yang terbentuk dengan
50
resolusi yang lebih baik, selain itu juga untuk mengamati keberadaan fasa dengan
lebih detail.
3.5 Diagram Alir Penelitian
Adapun diagram alir pada penelitian ini adalah sebagai berikut
Gambar 11. Diagram alir penelitian
Bijih nikel laterit dan reduktor batubara antrasit
Dihaluskan menggunakan mortarDiayak menggunakan mesh 100Bijih nikel laterit dianalisa XRD dan AASReduktor ditimbang 5%, 10% dan 15% berat
1800 gr bijih nikel laterit + 180 gr unsur belerang + 180 gr reduktor
Dicampurkan kemudian dibentuk pelletDikeringkan selama 4 jam, T = 120 C
Pellet yang direduksi pada T = 950 C, 1050 C dan 1150 C denganvariasi waktu tahan 60, 90, dan 120 menit
Dilakukan pendinginan cepat (quenching)Dikeringkan selama 4 jam, T = 120 CDigerus dan dihaluskan 200 meshDikarakterisasi dengan XRD dan SEM-EDX
Hasil reduksi
Dilakukan pemisahan magnetik
Hasil tailing dan konsentrat feronikel
Dikarakterisasi menggunakan AAS danXRD
Data
Dianalisa
Hasil
51
Adapun diagram alir hasil reduksi yang berupa konsentrat dan tailing
dikarakterisasi menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) pada
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Gambar 12. Diagram alir karakterisasi AAS
Hasil reduksi (konsentrat dan tailing)
Ditimbang sekitar 0,5 gramDicampurkan kedalam 200 ml larutanaquaregia
Larutan aquaregia dengan perbandingan asam kloridadengan asam nitrat sebesar 3:1
Dituang sebanyak 50 ml kedalamsampel hasil reduksi yang sudahditimbangDipanaskan hingga uap berubahmenjadi warna putih
Pengenceran larutan
Diencerkan sebanyak 25x faktorpengenceran untuk pengujian unsurnikel (Ni) dan 625x faktorpengenceran untuk unsur besi (Fe)
Karakterisasi AAS
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut
1. Hasil dari kadar nikel dengan recovery nikel menunjukkan nilai optimal
pada temperatur reduksi 1150 C dengan kadar nikel sebesar 3,72% dan
recovery nikel sebesar 95,67%.
2. Hasil dari kadar nikel dengan recovery nikel menunjukkan nilai optimal
pada waktu tahan reduksi 60 menit dengan kadar nikel sebesar 4,28% dan
recovery nikel sebesar 62,31%.
3. Hasil dari kadar nikel dengan recovery nikel menunjukkan nilai optimal
pada jumlah reduktor 5% dengan kadar nikel sebesar 3,72% dan recovery
nikel sebesar 95,67%.
4. Penambahan unsur belerang dapat menekan pembentukan metalisasi Fe
dengan membentuk FeS sehingga mampu menaikkan kadar dan perolehan
FeNi. Kadar FeS tertinggi terdapat pada jumlah reduktor 10% dengan
temperatur 1150C dan waktu tahan 60 menit sebesar 20,7%.
5. Hasil uji XRD bijih nikel laterit yang direduksi dengan 10% unsur belerang
didominasi oleh senyawa-senyawa seperti fayalite (Fe2SiO4), quartz low
(SiO2), magnesioferrite (Fe2MgO4), wustite (FeO), iron nickel (FeNi),
pyrrhotite (FeS) dan nickel oxide (NiO).
79
5.2 Saran
Dalam upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan penelitian bijih nikel
laterit terdapat beberapa saran antara lain:
1. Pemisahan magnetik sebaiknya dilakukan dengan mempelajari besarnya kuat
medan magnet optimal agar didapatkan fraksi konsentrat yang tepat dan
sesuai.
2. Karakterisasi termal perlu dilakukan pada sampel agar dapat dianalisis
perubahan dan reaksi-reaksi yang terjadi selama proses reduksi.
DAFTAR PUSTAKA
Anggarda, D.Y. 2017. Studi Pengaruh Variasi Jenis Fluks dalam ProsesAglomerasi Bijih Nikel Laterit terhadap Kadar Ni dan Fe serta MorfologiAglomerat sebagai Bahan Umpan Mini Blast Furnace. Thesis. InstitutTeknologi Sepuluh Nopember.
Arifin, M., Widodo, S., dan Anshariah. 2015. Karakteristik Endapan Nikel Lateritpada Blok X PT. Bintang Delapan Mineral Kecamatan Bahodopi KabupatenMorowali Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Geomine. Vol. 01. Hal. 37-45.
Barkas, J. 2010. Drivers and risks for nickel demand. 7th International ChinaNickel Conference. Shanghai.
Basset, J. 1994. Buku Ajar Kimia Analisa Kuantitatif Anorganik. Jakarta: EGC
Brady, J.E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta: Binarupa Aksara
Budevsky, D. 1979. Foundation of Chemical Analysis. London: Eliss Horwood.
Cao, Z.C., Sun, T.C., Yang, H.F., Wang, J.J., Wu, X.D., 2010. Recovery of ironand nickel from nickel laterite ore by direct reduction roasting and magneticseparation. University Science Technology Beijing. Vol. 32. No. 6. Pp. 708–712.
Cotton, W. 1989. Kimia Anorganik Dasar. UI-Press. Jakarta.
Crama, W. J., Baas, A. H., 1984. Patent No. 4,490,174. United States.
Crawford, G.A. 1960. Segregation of Nickel in Laterites - The FalconbridgeExperience. Segregation Symposium. Pp. 219-240.
Crundwell, F. K., Moats, M. S., Ramachandran, V., Robinson, T. G., andDavenport, W. G. 2011. Extractive Metallurgy of Nickel, Cobalt andPlatinum - Group Metals. Oxford: Elsvier.
Dalvi, A.D., Bacon, W.G, and Osborne, R.C. 2004. The past and the future ofnickel laterites. PDAC 2004 International Convention. Trade show &Investor Exchange. North Carolina USA.
Diessel, C. F. K. 1992. Coal Facies and Depositional Environment. Coal-BearingDepositional System. Pp. 161-264.
Donghua, H., Jianliang, Z., Rui, M., Mingming, C., 2011. Thermal Behaviors andGrowth of Reduced Ferronickel Particles in Carbon-Laterite Composites.Rare Metals. Vol. 30-6, pp. 681-687.
Duke, J.M. 1990. Mineral Deposit Models: Nickel Sulfide Deposits Of TheKambalda Type. Canadian Mineralogist. Vol. 28. Pp. 379-388.
Elias, M. 2002. Nickel Laterite Deposits-Geological Overview, Resources andExploitation. Pongratz, CODES Special Publication 4. Centre for OreDeposit Research. University of Tasmania. Pp. 205-220.
Elliot, R., Pickles, C. A., and Forster, J. 2016. Thermodynamics of the ReductionRoasting of Nickeliferous Laterite Ores. Journal of Minerals and MaterialsCharacterization and Engineering.Vol. 4. Pp. 320-346.
Elliot, R., Pickles, C., and Peacey, J. 2017. Ferronickel Particle Formation Duringthe Carbothermic Reduction of a Limonitic Laterite ore. MineralsEngineering. Vol. 100. Pp. 166-176.
Elliot, R., Rodrigues, F., Pickles, C. A., Peacey, J. 2015. A Two-Stage ThermalUpgrading Process for Nickeliferous Limonitic Laterite Ores. CanadianMetallurgical Quarterly. Pp. 235-252.
Ericson, A. S., Svensson, J., and Ishii, K. 1987. The MINPRO-PAMCO NickelSegregation Process. International Journal of Mineral Processing , Pp. 223-236.
Fitiran, E.B., Massinai, M.A., dan Maria. 2011. Identifikasi Sebaran Nikel Lateritdan Volume Bijih Nikel Daerah Anoa menggunakan Korelasi data Bor.Jurnal Geofisika. Universitas Hasanuddin.
Foster, J., Pickles, C.A., and Elliot, R. 2016. Microwave Carbhotematic ReductionRoasting of Low Grade Nickeliferous Silicate Laterite Ore. MineralsEngineering. Vol. 88. Pp. 18-27.
Harris, C. H., 2012. The Selective Sulphidation and Physical Upgrading of Nickelfrom a Nickeliferous Laterite Ore. Kingston, Ontario: Queen’s University.
Harris, C., Peacey, J., and Pickles, C. 2011. Selective Sulphidation Of aNickeliferous Lateritic Ore. Minerals Engineering. Vol. 24. Pp. 651-660.
Henpristian, Y., Antoro, I.D., dan Oediyani, S. 2014. Pengaruh Waktu Reduksidan Komposisi Pelet terhadap Persen Fe Metal dan Persen Fe Ni Spons dariBijih Nikel. Vol. 29. ISSN. 126-3188-1205-214.
Jiang, M., Sun, T., Liu, Z., Kou, J., Liu, N., and Zhang, S. 2013. Mechanism ofSodium Sulfate in Promoting Selective Reduction of Nickel Laterite OreDuring Reduction Roasting Process. International Journal of MineralProcessing. Vol. 123. Pp. 32-38.
Kartaman, M., Husna, M., dan Paid, A. 2013. Pengaruh Temperatur TerhadapSifat Bahan Paduan Aluminium Feronikel. Urania. Vol. 19. No. 2. Hal. 63-118.
Kawahara, M., Toguri, J.M., and Bergman, R.A. 1988. Reducibility of LateriteOres. Metall Trans. Vol. 19. Pp. 181–186.
Keenan, C. W. 1992. Kimia untuk Universitas Jilid 2. Erlangga : Jakarta.
Kim, J., Dodbiba, G., Tanno, H., Okaya, K., Matsuo, S., and Fujita, T., 2010.Calcinations of Low-Grade Laterite for Concentration of Ni by MagneticSeparation. Minerals Engineering. Vol. 23. No. 4. Pp. 282-288.
Kirk-Othmer. 1998. Encyclopedia of Chemical Technology. 4th Edition Volume 1.John Willey & Sons Inc. USA.
Kose, S. 2010. Hydrometallurgical Processing of Lateritical Nickel Ores. Thesis.Metallurgical and Materials Engeneering. Pp.195.
Kruger, P.V., Silva, C. A., Vieira, C. B., Araujo, F. G. S., Seshadri, V., 2010.Relevant Aspect Related To Production of Iron Nickel Alloys (Pig IronContaining Nickel) in Mini Blast furnace. The Twelfth InternationalFerroalloys Congress Sustainable Future. Finland.
Kuck, P.H and Nickle, U.S. 2013. Geological Survey. Mineral CommoditySummaries. http://minerals.usgs.gov.
Kyle, J. 2010. Nickel Laterit Processing Technologies-Where to Next. Murdoch.University Repository.
Landers, M., Grafe, M., Gilkes, R. J., Saunders, M., Wells, M. A. 2011. NickelDistribution and Speciation in Rapidly Dehydroxylated Geothite in Oxide-Type Lateritic Nickel Ores: XAS and TEM Spectroscopic (EELS andEFTEM) Investigation. Aust. J. Earth Sci. Vol. 58. Pp.745-765.
Lee, H.Y., Kim, S.G., and Oh, J.K. 2005. Electrochemical leaching of nickel fromlow-grade laterite. Hydrometallurgy. Vol. 77. Pp. 263 – 268.
Li, B., Wang, H., and Wei, Y. 2011. The Reduction of Nickel From Low - GradeNickel Laterite Ore Using a Solid - State Deoxidation Method. MineralsEngineering. Vol. 24. Hal. 1556-1562.
Li, G.H., Rao, M.J., Kiang, T., Shi, T.M., Huang, Q.Q., 2012b. Reductionroasting-magnetic separation mechanisms of nickeliferous laterite ore inpresence of sodium salts. Chin. J. Nonferr Met. Vol. 1. Pp. 274–280.
Li, G., Shi, T., Rao, M., Jiang, T., Zhang, Y. 2012. Beneficiation of NickeliferousLaterite by Reduction Roasting in the Presence of Sodium Sulfate. MineralsEngineering. Vol. 32. Pp. 19-26.
Li, S. and Coley, K. S. 2000. Kinetics and Mechanism of Reduction Laterite OreHigh in Serpentine. The 39th Annual Conference of Metallurgists. Pp 179-192.
Liu, W. Li, X.-h., Hu, Q.-y., Wang, Z.-x., Gu, K.-z., Li, J.-h., and Zhang, L.-x.2010. Pretreatment study on chloridizing segregation and magneticseparation of low-grade nickel laterites. Trans. Nonferrous MetallurgicalSociety of China. PP. 82-86.
Liu, M., Xuewei. 2014. Novel Process of Ferronickel Nugget Production FromNickel laterite by Semi-molten State Reduction. ISIJ International. Vol. 54.No. 8. Pp. 1749-1754.
Lu, J., Liu, S., Shangguan, J., Du, W., Pan, F., Yang, S., 2013. The Effect ofSodium Sulphate on the Hydrogen Reduction Process of Nickel LateriteOre. Mineral Engineering. Vol. 49. Pp. 154-164.
Luo, S., Yi, C., Zhou, Y., 2011. Direct Reduction of mixed Biomass-Fe2O3
Briquettes Using Biomass-generated Syngas. Renewable Energy. Vol. 36.Pp. 3332-3336.
Mudd, G. M. 2009. Nickel Sulfide Versus Laterite. The Hard SustainabilityChallenge Remains, Proceeding of 48th Annual Conference of Metallurgists.Canadian Metallurgical Society. Sudbury, Ontario, Canada.
Mudd, G.M., 2010. Global trends and environmental issues in nickel mining:Sulfides versus laterites. Ore Geol. Vol. 38. Pp. 9–26.
Ningsih, S. 2012. Ekspolarasi Awal Nikel Laterit di Desa Lamuntoli. JurnalIlmiah MTG. Vol. 5. No. 2. Pp. 35-42.
Norgate, T., Jahanshahi, S. 2011. Assesing the energy and greenhouse gasfootprint of nickle laterite processing. Mineral Engineering. Vol. 24. Hal.698-707.
Nukdin, E. 2012. Geologi dan Studi Pengaruh Batuan Dasar Terhadap DepositNikel Laterit. Jurnal Ilmiah MTG. Vol. 5. No. 1.
Oxley, A., Barcza, N., 2013. Hydro-pyro Integration in the Processing of NickelLaterites. Minerals Engineering. Vol. 54. Pp. 2-13.
Pickles, C.A., 2004. Microwave heating behaviour of nickeliferous limoniticlaterite ores. Mineral Engineering. Vol. 17. Hal. 775–784.
Pickles, J. Forster and R. Elliott. 2014. Thermodynamic analysis of thecarbothermic reduction roasting of a nickeliferous limonitic laterite ore.Minerals Engineering. Vol. 65. Pp. 33-40.
Prasetyo, A.B dan Puguh. 2011. Peningkatan Kadar Nikel (Ni) dan Besi (Fe) dariBijih Nikel Laterit Kadar Rendah Jenis Saprolit Untuk Bahan Baku NickelContaining Pig Iron (NCPII/NPI). Majalah Metalurgi. Vol. 26. No. 3. Pp.123-130.
Prasetyo, A.B., Firdiyono, dan Febriana, E. 2014. Optimasi Proses Reduksi BijihNikel Laterit Jenis Limonit Sebagai Bahan Baku NPI (Nickel Pig Iron).Majalah Metalurgi. Vol. 29. No. 1. Hal. 9-16.
Pournaderi, S. 2014. Optimization of Ferronikel Reduction from Nickel LateriteOres. Thesis. School of Natural and Science. Pp. 195.
Rahman, A., Djamaluddin, dan Bakri, H. 2015. Pemodelan Sumberdaya NikelLaterit Pada Block C PT. Anugerah Harisma Barakah Kabaena SelatanTalaga Raya Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Geomine. Vol. 01. Hal. 6-8.
Rao, M., Li, G., Jiang, T., Luo, J., Zhang, Y., and Fan, X. 2013. CharbotemicReduction of Nickeliferous Laterite Ores for Nickel Pig Iron Production inChina. Journal Metallurgy. Vol. 65. No. 11. Pp. 1573-1583.
Rao, M., Li, G., Zhang, X., Luo, J., Peng, Z. and Jiang, T. 2016. ReductiveRoasting of Nickel Laterite Ore with Sodium Sulfate for Fe-Ni Production.Part I: Reduction/sulfidation characteristics. Separation Science andTechnology. Vol. 51. No.8. Pp. 1408-1420.
Rhamdhani, M. A., Hayes, P. C., and Jak, E. 2014. Nickel Laterite Part 2Thermodynamic Analysis of Phase Transformation Occuring DuringReduction Roasting. Mineral Processing and Extractive Metallurgy. Vol.118. Pp. 146-155.
Setiawan, K.N.S., Achmadi, T., dan Lazuardi, S.D. 2018. Analisis SkalaPenambangan Mineral dan Pengangkutan (Studi Kasus : Angkutan Nikel diSulawesi Tenggara). Jurnal Teknik. Vol. 7. No. 1. Hal. 2337-3539.
Shoubao Li. 1999. Study of Nickeliferrous Laterite Reduction. Pp. 1- 8.
Skoog. D. A., Donald M. West, F. James Holler, Stanley R. Crouch, 2000.Fundamentals of Analytical Chemistry. Publisher: Brooks Cole. Pp. 992.
Solar, M. Y., Candy, I., Wasmund, B., 2008. Selection of Optimum FerronickelGrade for Smelting Nickel Laterites. Canadian Institute of Mining,Metallurgy and Petroleum.
Solihin, Mubarok, M.Z., Hapid, A., dan Firdiyono, F. 2014. Pelindihan BijihNikel Laterit Sulawesi Tenggara dalam Media Asam Sulfat. Prosiding
Pemaparan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Geoteknoloogi Lipi. ISBN:978-979-8636-23-3.
Subagja, A. B. Prasetyo and W. M. Sari. 2016. Peningkatan kadar nikel dalamlaterit jenis limonit dengan cara peletasi, pemanggangan reduksi danpemisahan magnet campuran bijih, batubara, dan Na2SO4. JurnalMetalurgi. Vol. 2. Pp. 103-115.
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pers UGM.
Tonggiroh, A., Suharto, dan Mustafa, M. 2012. Analisis Pelapukan Serpentin danEndapan Nikel Laterit Daerah Pallanga Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara. Prosiding. Vol. 6. ISBN: 978-979-127255-0-6.
Underwood, A.L. 2001. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:Erlangga.
Valix and Cheung. 2002. Effect of Sulfur On The Mineral Phases of Laterite Oresat High Temperature Reduction. Minerals Engineering. Vol. 15. No. 7. Pp.523-530.
Vlack, L.H.V. 1980. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam).Jakarta: Erlangga.
Wagner, D., Devisme, O., Patisson, F., Ablitzer, D., 2006. A Laboratory Study ofThe Reduction of Iron Oxides by Hydrogen. Sohn International Symposium.TMS. Vol. 2. Pp. 111-120.
Wang, M. Chu, Z. Liu, H. Wang, W. Zhao and L. Gao. 2017. Preparingferronickel alloy from low-grade laterite nickel ore based on metallizedreduction-magnetic separation. J. Metals 7. Vol. 313.
Watanabe, T.S. 1987. Direct Reduction of Garnierite Ore for Production ofFerronickel with a Rotary Kiln at Nippon Yakin Kogyo Co. InternationalJournal of Mineral Processing. Vol. 19. Pp. 173-187.
Zevgolis, E., Zografidis, C., Halikia, I., 2010. The Reducibility of The GreekNickeliferous Laterites : a review. Mineral Processing and ExtractiveMetallurgy. Pp. 9-17.
Zhou, W., and Wang, Z.L. 2006. Scanning Microscopy for NanotechnologyTechniques and Applications. USA: Springer.
Zhu, D. Q. and Cui, Y. 2012. Upgrading Low Nickel Content Laterite Ores UsingSelective Reduction Followed by Magnetic Separation. InternasionalJournal of Mineral Processing. Vol. 106. No. 109. Pp. 1-7.