pengaruh TAK dengan kemampuan sosialisasi lansia

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Lansia 2.1.1 Definisi Lansia adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa decade (Notoatmodjo, 2007). Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1: Seseorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Mubarak, 2006). . Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas (Tamher, 2011). 2.1.2 Batasan- Batasan Lanjut Usia a) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , batasan lanjut usia meliputi (Notoatmodjo, 2007) :

description

pengaruh TAK dengan kemampuan sosialisasi lansia

Transcript of pengaruh TAK dengan kemampuan sosialisasi lansia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lansia

2.1.1 Definisi

Lansia adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses

perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa decade (Notoatmodjo,

2007).

Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1: Seseorang dapat dinyatakan

sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur

55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Mubarak,

2006). .

Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang

menyebutkan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas

(Tamher, 2011).

2.1.2 Batasan- Batasan Lanjut Usia

a) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , batasan lanjut usia meliputi

(Notoatmodjo, 2007) :

1. Usia Pertengahan (Middle Age) : usia antara 45- 59 tahun

2. Usia Lanjut (Elderly) : usia antara 60-70 tahun

3. Usia Lanjut Tua (Old), : usia antara 75-90 tahun

4. Usia Sangat Tua (Very Old), : usia 90 tahun keatas

b) Menurut Bab 1 pasal 1 ayat (2) Undang- Undang No. 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lansia yang berbunyi sebagai berikut: lansia adalah seseorang

yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Tamher, 2011).

c) Menurut (Mubarak, 2010) Departemen Kesehatan RI membagi lansia

menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas,

2. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium dan

3. Kelompok usia lanjut (>65 tahun) sebagai senium

d) Menurut Setyonegoro, 1984 dalam (Tamher,2011) menggolongkan bahwa

yang di sebut usia lanjut (geriatric age) adalah:

1. Young old : usia 70-75 tahun

2. Old : usia 75-80 tahun

3. Very old : usia lebih dari 80 tahun

2.1.3 Tipe Lansia

Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,

lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000 dalam

Bukhari, 2008). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Tipe Arif Bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan

zaman, ramah, rendah hati, mempunyai kesibukan, dermawan, dan menjadi

panutan.

2. Tipe Mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari

pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

3. Tipe Tidak Puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,

tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak

menuntut.

4. Tipe Pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan

melakukan kegiatan apa saja.

5. Tipe Bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,

dan acuh tak acuh.

2.1.4 Teori Proses Menua

a. Defenisi

Proses menua adalah suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari

dan akan di alami oleh setiap orang (Mubarak, 2006). Proses menua adalah

suatu proses menghilangnya secara perlahan - lahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi

normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki

kerusakan yang di derita (Constantinides, 1994 Dalam Bukhari, 2008).

b. Teori-teori proses menua

Ada beberapa teori yang menyebabkan proses menua, yaitu:

1). Teori biologi

Penuaan merupakan proses secara berangsur mengakibatkan

perubahan yang kumulatif dan mengakibatkan perubahan yang berakhir

dengan kematian (Sinoto & Toni Setiabudi, 1999 Dalam Mubarak,

2010).

Penuaan juga akan mengakibatkan perubahan yang berakhir

dengan kematian. Penuaan juga menyangkut perubahan struktur sel,

akibat interaksi sel dengan lingkungannya, yang pada akhirnya

menimbulkan perubahan generatif (Mubarak, 2010).

2). Teori kejiwaan sosial

a. Teori aktivitas atau kegiatan (activity theory)

Teori aktivitas berpandangan bahwa kelanjutan aktivitas

dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan. Menurut Lemon

et al, 1972 mengusulkan bahwa orang tua yang aktif secara sosial

lebih cendrung menyesuaikan diri terhadap penuaan yang baik

(Potter, 2005).

Havighusrst dan Albrecht (1953) berpendapat bahwa sangat

penting bagi individu usia lanjut untuk tetap beraktivitas dan

mencapai kepuasan hidup. Jadi dapat dikatakan usia lanjut yang

sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan

sosial (Mubarak, 2010).

Teori aktivitas dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon

et al (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses

bergantung dari bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan

dalam melakukan aktivitas serta memepertahankan aktivitas tersebut

lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan

(Bukhari. 2008).

b. Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)

Mubarak (2006) menyatakan perubahan yang terjadi pada

seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality

yang dimilikinya, sedangkan dasar kepribadian atau tingkah laku

tidak berubah pada lanjut usia.

Teori ini menyatakan bahwa lansia yang berhasil

menyesuaikan diri adalah lansia yang tetap melanjutkan pola

hidupnya di sepanjang masa kehidupan, yaitu untuk memelihara

kontinuitas pada masa lalu yang menyangkut kebiasaan, nilai-nilai,

dan minat pada masa lalu (Atchley, 1989 dan Neugarten, 1964

Dalam: Smeltzer, 2001).

Teori kontinuitas (Stanly, 2006) ini menjelaskan dampak

kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri

agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua

dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana

seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat

penuaan.

c. Teori pembebasan (di sengagement)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,

maka seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari

pergaulan sekitarnya, akibatnya interaksi sosialpun akan menurun,

baik secara kualitas maupun kuantitas (Mubarak, 2010).

Teori pembebasan (Cumming and Henry, 1961)

mengemukakan bahwa individu lansia, dengan menarik diri dari

masyarakat pada saat yang sama di mana masyarakat menarik

dukungannya dari kelompok usianya, mencapai moral dan kepuasan

hidup yang tinggi. Teori ini disangkal oleh temuan riset yang

menyatakan bahwa individu yang terikat dan aktif akan mencapai

kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu

yang tidak terikat dan lebih pasif (Smeltzer, 2001).

3) Teori psikologi

Aspek psikologis pada lansia tidak dapat langsung tampak, hal

ini dapat dilihat dari perbedaan kemampuan lanjut usia dalam

memecahkan masalah, di mana sebagian lanjut usia masih mampu

memecahkan masalah mereka dengan baik, tetapi sebagian lanjut usia

telah mengalami kemunduran mental yang substansial atau luas (Watson,

2003). Sedangkan Smeltzer (2001) berpendapat bahwa psikologi

penuaan yang berhasil dapat dilihat dari kemampuan individu lansia

dalam beradaptasi terhadap kehilangan fisik, sosial, dan emosional serta

mencapai kebahagiaan, kedamaian dan kepuasan hidup.

Hanghurst (1972) berpendapat bahwa setiap individu harus

memperhatikan tugas perkembangan yang spesifik pada tiap tahap

kehidupan yang akan memberikan perasaan bahagia dan sukses

(Mubarak, 2010).

4) Teori Perkembangan

Joan Birchenall dan Mary E. Streight (1973) menekankan

perlunya mempelajari psikologi perkembangan guna memahami

perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya

(Bukhari. 2008).

5) Teori kesalahan genetik

Dari Afgel berpendapat bahwa proses menjadi tua ditentukan oleh

kesalahan sel genetik DNA dimana sel genetik memperbanyak diri (ada

yang memperbanyak diri sebelum pembelahan sel) sehingga

mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang berakibat pula dengan

terhambatnya pembentukan sel berikutnya sehingga mengakibatkan

kematian sel. Pada saat sel mengalami kematian maka seseorang akan

tampak tua (Mubarak, 2010).

6) Rusaknya sistem imun tubuh (autoimun)

Dalam teori ini mutasi yang terjadi secara berulang

mengakibatkan berkurangnya kemampuan system imun untuk mengenali

dirinya (self recognition), sehingga terjadi kelainan-kelainan pada sel

dan menganggapnya sebagai sel asing yang siap untuk dihancurkan

(Mubarak, 2006).

7) Teori menua akibat metabolisme

Menurut Balin dan Allen, 1989 dikutip oleh Suhana, 1994

terdapat hubungan antara tingkat metabolisme dengan panjang umur,

yaitu semakin tinggi tingkat metabolisme maka semakin panjang umur.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan pada hewan,

dimana hewan yang hidup di alam bebas yang banyak bergerak lebih

panjang umurnya dari pada hewan laboratorium (Darmojo, 2004).

2.1.5 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Akibat Proses Menua

Menurut Harlock dalam (Mubarak, 2006) akibat perkembangan usia, lanjut

usia mengalami perubahan-perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuaikan

diri secara terus–menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya

kurang berhasil maka akan terjadi berbagai masalah. Adapun perubahan-perubahan

yang terjadi pada lansia di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Perubahan fisik

Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh,

diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler,

sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, genitor urinaria,

endokrin dan integument (Mubarak, 2006).

b. Perubahan kondisi mental

Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan

psikomotor. Perubahan–perubahan mental ini erat sekali kaitannya dengan

perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan serta

situasi lingkungan. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan

pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental

akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut di telantarkan

karena tidak berguna lagi (Mubarak, 2006).

Perubahan mental yang sering terjadi pada lansia di antaranya penurunan

daya ingat, depresi, yang muncul akibat hilangnya berbagai fungsi organ tubuh

oleh karena bertambahnya usia. Lansia juga mudah tersinggung dan merasa

kesepian karena kehilangan pasangan hidup (Hudak & Carolyn, 1997). Selain

perubahan fisik dan mental lansia juga mengalami perubahan sosial. Biasanya

ini berkaitan dengan kehilangan pekerjaan akibat masa pensiun, merasa hilang

kekuasaan, merasa tidak berguna dan diasingkan. Jika keterasingan terjadi

maka lansia akan menolak untuk bersosialisasi dengan lingkungan (Kuntjoro,

2002).

c. Perubahan psikolososial

Masalah perubahan psikososial serta reaksi individu terhadap perubahan

ini sangat beragam, bergantung kepada kepribadian invidu yang bersangkutan.

Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja

mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun.

Tetapi bagi banyak pekerja pensiun berarti terputus dari lingkungan dan

teman–teman yang akrab dan disingkirkan untuk duduk–duduk dirumah

dengan begitu dapat menimbulkan perasaan kesepian akibat pengasingan dari

lingkungan sosial, kehilangan hubungan teman dan keluarga, perubahan

mendadak dalam kehidupan rutin barang tentu membuat mereka merasa kurang

melakukan kegiatan yang berguna, antara lain:

1) Minat

Pada umumnya diakui bawa minat seseorang berubah dalam

kuantitas dan kualitas pada masa lanjut usia. Lazimnya minat dalam

aktifitas fisik cenderung menurun dengan bertambahnya umur. Kendati

perubahan minat pada usia lanjut jelas berhubungan dengan menurunnya

kemampuan fisik, tidak dapat diragukan bahwa hal–hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor– faktor sosial.

2) Isolasi dan kesepian

Isolasi sosial di mana seorang individu mengalami penurunan atau

tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Merasa ditolak,

tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang bearti

dengan orang lain. Banyak faktor bergabung sehingga membuat orang

lanjut usia terisolasi dari yang lain. Secara fisik, mereka kurang mampu

mengikuti aktivitas yang melibatkan usaha. Selanjutnya membuat orang

lanjut usia merasa terputus dari hubungan dengan orang–orang lain. Faktor

lain yang membuat isolasi makin menjadi lebih parah adalah perubahan

sosial, terutama mengendornya ikatan kekeluargaan. Bila orang usia lanjut

tinggal bersama sanak saudaranya, mereka mungkin bersikap toleran

terhadapnya, tetapi jarang menghormatinya lebih sering terjadi seorang

lanjut usia menjadi terisolasi dalam arti kata yang sebenarnya, karena ia

hidup sendiri (Mubarak, 2006).

Kesepian merupakan suatu perasaan pedih, sunyi, lengang, tidak

ramai, hidup dalam keterasingan karena kehilangan (Prasetya, 2004).

Kesepian adalah sebuah perasaan dimana orang mengalami rasa yang kuat

kehampaan dan kesendirian. Kesepian adalah suatu kesadaran pedih bahwa

seseorang memiliki hubungan yang tidak dekat dan tidak berarti dengan

orang lain. Kekurangan tadi menimbulakan kekosongan, kesedihan,

pengasingan diri bahkan keputusasaan, perasaan di tolak dalam citra diri

yang rendah karena tidak dapat bergaul atau merasa tersisih dan tidak

disukai (Rinanovrina, 2010).

Lansia suka menyendiri, komunikasi kurang, berdiam diri dikamar,

menolak interaksi dengan orang lain, kesepian, lansia merasa tidak

dihargai, tidak dihormati, tidak diperhatikan, merasa tersisih dari

masyarakat, lansia suka menunduk, tidak percaya diri, merasa kehilangan

orang yang di cintai. Inilah yang menyebabkan lansia menjadi isolasi sosial

atau menarik diri (Stuard and Sundeen,1995 dalam skripsi Setiabudhi,

2005).

d. Perubahan kognitif

Perubahan pada fungsi kognitif diantaranya :

1) Kemundurun umumnya terjadi pada tugas–tugas yang membutuhkan

kecepatan dan tugas yang membutuhakan memori jangka pendek.

2) Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran.

3) Kemampuan verbal dalam bidang kosakata akan menetap bila tidak ada

penyakit (Mubarak, 2006).

2.2 Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

2.2.1 Definisi Kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang saling berinteraksi dan

mempunyai tujuan bersama. Di namika kelompok merupakan suatu kelompok

yang terdiri dari dua orang atau lebih individu yang memiliki hubungan

psikologis secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang dapat

berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama (Aziz, 2007).

Terapi Kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara

kelompok untuk memberikan stimulus bagi klien dengan gangguan

interpersonal.

Jumlah Anggota dan Komposisi dalam Terapi Kelompok yaitu :

1. Menurut Wartono (1976) : Kelompok dengan cara verbalisasi biasanya 7-8

anggota merupakan jumlah yang ideal. Sedangkan jumlah minimum 4 dan

maksimum 10.

2. Menurut Caplan (1971) : besarnya anggota kelompok terdiri dari 7-9

anggota (Pria dan wanita) memungkinkan anggota berada dalam rasa tau

suku, latar belakang social dan pendidikan sehingga mirip dengan

kehidupan nyata.

3. Menurut Johnson (1963) : Therapi Kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8

anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada

kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggota lebih dari 10,

maka komunikasi sulit untuk difokuskan, sedangkan jika anggota kurang

dari 4, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota

sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan sering kali

bertingkah laku irasional (Yosep, 2007).

2.2.2 Perkembangan kelompok

Menurut Yalom yang dikutip oleh Stuart & Sundeen, 1995, Fase – fase dalam

Terapi aktivitas kelompok adalah sebagai berikut :

1. Pre kelompok

Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan, siapa yang menjadi

leader, anggota, dimana, kapan kegiatan kelompok tersebut dilaksanakan,

proses evaluasi pada anggota dan kelompok, menjelaskan sumber - sumber

yang diperlukan kelompok seperti proyektor dan jika memungkinkan biaya

dan keuangan.

2. Fase awal

Pada fase ini terdapat 3 kemungkinan tahapan yang terjadi yaitu orientasi,

konflik atau kebersamaan.

a. Fase Orientasi.

Anggota mulai mengembangkan system sosial masing – masing, dan

leader mulai menunjukkan rencana terapi dan mengambil kontrak dengan

anggota.

b. Fase Konflik

Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai

memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana peran

anggota, tugasnya dan saling ketergantungan yang akan terjadi.

c.  Fase Kebersamaan

Setelah tahap konflik anggota mulai bekerja sama untuk mengatasi

masalah, anggota mulai menemukan siapa dirinya.

3. Fase kerja

Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim. Perasaan positif dan negatif

dikoreksi dengan hubungan saling percaya yang telah dibina, bekerja sama

untuk mencapai tujuan yang telah disepakati, kecemasan menurun,

kelompok lebih stabil dan realistis, mengeksplorasikan lebih jauh sesuai

dengan tujuan dan tugas kelompok, dan penyelesaian masalah yang kreatif.

4. Fase terminasi

Terminasi dapat sementara (temporal) atau akhir. Terminasi dapat juga 

anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok. Pada

akhir sesi, perlu dicatat atau didokumentasikan proses yang terjadi berupa

notulen.

2.2.3 Definisi Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang

dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah

keperawatan yang sama (Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok dibagi

empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi

aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi

realita, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat,2005).

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan kegiatan yang diberikan

kelompok klien dengan maksud memberi terapi bagi anggotanya. Dimana

berkesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan respon

sosial.

Terapi Aktifitas Kelompok sangat dibutuhkan bagi lansia karena dapat

mempertahankan kemampuan stimulasi persepsi lansia, mempertahankan

kemampuan stimulasi sensori lansia, mempertahankan kemampuan orientasi

realitas lansia dan mempertahankan kemampuan sosialisasi lansia. Manfaat

Terapi Aktivitas Kelompok bagi lansia yaitu agar anggota kelompok merasa

dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain,

membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain, serta merubah

perilaku yang destruktif dan mal adaptif dan sebagai tempat untuk berbagi

pengalaman dan saling mambantu satu sama lain untuk menemukan cara

menyelesaikan masalah (Fiky, 2011).

2.2.4 Jenis-jenis Terapi Aktivitas Kelompok pada Lansia

1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori

Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensasi klien,

kemudian di observasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang

disediakan, berupa ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah,

gerakan tubuh, ucapan. Terapi Aktivitas Kelompok untuk menstimulasi

sensori pada penderita yang mengalami kemunduran fungsi sensori. Teknik

yang digunakan meliputi fasilitas penggunaan panca indra dan kemampuan

mengekspresikan stimulasi baik dari internal maupun eksternal.

2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif / Persepsi

Klien dilatih mempersepsikan stimulasi yang disediakan / stimulasi

yang pernah dialami. Terapi Aktivitas Kelompok stimulasi kognitif/ persepsi

adalah Terapi yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami

kemunduran orientasi, menstimulasi persepsi dalam upaya memotivasi

proses berfikir dan afektif serta mengurangi prilaku maladaptif.

3) Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita

Klien di orientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien yaitu

diri sendiri, orang lain yang ada di sekeliling klien/ orang yang dekat dengan

klien, lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan klien di waktu

saat ini dari yang lalu. Terapi aktivitas kelompok Orientasi Realita adalah

pendekatan untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien yaitu diri

sendiri, orang lain/ lingkungan, tempat dan waktu.

4) Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi

Klien dibantu untuk melakukan sosialisai dengan individu yang ada

disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dan

interpersonal (satu dan satu) kelompok dan massa. Aktivitas dapat berupa

latihan sosialisasi dalam kelompok (Panji, 2012).

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) adalah suatu bentuk

terapi yang meliputi sekelompok orang yang memfokuskan pada kesadaran

diri dan mengenal diri sendiri dalam memperbaiki hubungan interpersonal

dan merubah tingkah laku (Keliat, 2005).

Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAkS) adalah upaya

memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah

hubungan sosial, klien dibantu untuk melakukan sosialisasi yang ada

disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari

interpersonal, kelompok dan masyarakat (Bulletin Klasik, 2008).

Tujuan umum mampu meningkatkan hubungan interpersonal antara

anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi

tanggapan terhadap orang lain, mengekspresikan ide serta menerima

stimulasi eksternal.

Tujuan khusus :

a. Penderita mampu menyebutkan identitasnya.

b. Menyebutkan identitas penderita lain.

c. Berespon terhadap penderita lain.

d. Mengikuti aturan main.

e. Mengemukakan pendapat dan perasaannya.

(Herman, 2011 ).

Menurut Keliat (2005), tujuan umum TAK sosialisasi yaitu klien dapat

meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap.

Sementara, tujuan khususnya adalah:

1. Klien mampu Memperkenalkan diri.

2. Klien mampu Berkenalan dengan anggota kelompok.

3. Klien mampu Bercakap-cakap dengan anggota kelompok.

4. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi.

5. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi

pada orang lain.

6. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok.

7. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan

TAKS yang telah dilakukan.

2.2.5 Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok

Tujuan dari terapi aktivitas kelompok :

1) Mengembangkan stimulasi persepsi

2) Mengembangkan stimulasi sensoris

3) Mengembangkan orientasi realitas

4) Mengembangkan sosialisasi

2.2.6 Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok Bagi Lansia

1. Agar anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan di hargai eksistensinya

oleh anggota kelompok yang lain.

2. Membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain serta merubah

perilaku yang destruktif dan maladaptif.

3. Sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan saling mambantu satu sama

lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.

2.3.7 Model Dalam Terapi Aktivitas Kelompok

a. Fokal konflik model

Mengatasi konflik yang tidak disadari

Terapis membantu kelompok memahami terapi

Digunakan bila ada perbedaan pendapat antar kelompok

b. Communication model

Mengembangkan komunikasi : verbal, non verbal, terbuka

Pesan yang disampaikan dipahami orang lain

c. Model interpersonal

Terapis bekerja dengan individu dan kelompok

Anggota kelompok belajar dari interaksi antara anggota dan terapis

Melalui proses interaksi: tingkah laku dapat dikoreksi

d. Model psikodrama

Aplikasi dari bermain peran dalam kehidupan.

1.4 Isolasi sosial (Menarik diri)

2.4.1. Definisi

Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi

dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun

komunikasi dengan orang lain (Keliat, 1998 dalam Yosep, 2010).

Isolasi sosial adalah keadaan seseorang individu mengalami

penurunan/bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di

sekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak

mampu membina hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan

orang lain (Yosep, 2010).

Isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang

lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai

kesempatan untuk berbagi rasa , pikiran dan kegagalan. Klien mengalami

kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang

dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup

berbagi pengalaman (Yosep, 2010).

Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian secara individu dan dirasakan

segan terhadap orang lain dan sebagai keadaan yang negative/mengancam

(Nanda 2005-2006).

2.4.2. Rentang respon sosial

Respon sosial maladaptif yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari

adalah menarik diri, tergantung manipulasi, curiga, gangguan komunikasi, dan

kesepian.

Menurut Stuart Sundeen dalam Yosep, 2010 rentang respon klien ditinjau dari

interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang

terbentang antara respons adaptif dengan maladaptif sebagai berikut :

Respon adaptif Respon maladaptif

Stuart Sundeen

1. Respon adaptif

a. Menyendiri

Respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi di

lingkungan sosialnya.

b. Kemampuan

Individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam

hubungan sosial.

c. Bekerjasam

Kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.

d. Interdependen

Saling ketergantungan antara individu denganorang lain dalam membina hubungan

interpersonal.

2. Respon maladaptif

Respon yang diberikan individu yang menyimpang dari norma sosial, yang termasuk

respon maladaptif adalah :

1. Menarik diri

Merasa sendiriDepedensi

curiga

Menarik diriKetergantungan

Manipulasicuriga

MenyendiriOtonomi

Bekerjasamainterdependen

Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka

dengan orang lain.

2. Ketergantungan

Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung dengan

orang lain.

3. Manipulasi

Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga tidak dapat

membina hubungan sosial secara mendalam.

4. Curiga

Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

2.5 Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) Terhadap Peningkatan

Bersosialisasi Pada Lansia

Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan

menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat

berperan dan berfungsi dengan kelompoknya. Robert M.Z. Lawang: Sosialisasi adalah

proses mempelajari nilai, norma, peran dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk

memungkinkan seseorang dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial.

Tujuan Sosialisasi

1. Memberikan keterampilan kepada seseorang untuk dapat hidup bermasyarakat.

2. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara efektif.

3. Membantu mengendalikan fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-

latihan mawas diri yang tepat.

4. Membiasakan diri berprilaku sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok

yang ada di masyarakat.

Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari inter personal (satu dan

satu), kelompok, dan massa. Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok.

Faktor hubungan sosial meliputi hubungan sosial antara orang lanjut

usia dengan keluarga, teman sebaya/ usia lebih muda, dan masyarakat.

Dalam hubungan ini dikaji berbagai bentuk kegiatan yang diikuti lanjut

usia dalam kehidupan sehari-hari. Sosialisasi lanjut usia mengalami kemunduran

setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau tibanya saat pensiun. Teman-teman

sekerja yang biasanya menjadi curahan segala masalah sudah tidak dapat dijumpai

setiap hari. Lebih-lebih lagi ketika teman sebaya/sekampung sudah lebih dahulu

meninggalkannya. Sosialisasi yang dapat dilakukan adalah dengan keluarga dan

masyarakat yang relatif berusia muda .

Lansia di bantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar

lansia. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan lansia dalam

melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial. Sosialisasi di

maksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :

a. Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal.

b. Memberi tanggapan terhadap orang lain.

c. Mengekspresikan ide dan tukar persepsi.

d. Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan.

Pada umumnya hubungan sosial yang dilakukan para lanjut usia adalah karena

mereka mengacu pada teori pertukaran sosial. Dalam teori pertukaran sosial sumber

kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Hubungan ini

mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain. Pekerjaan yang dilakukan

seorang diripun dapat menimbulkan kebahagiaan seperti halnya membaca buku,

membuat karya seni, dan sebagainya, karena pengalaman-pengalaman tadi dapat

dikomunikasikan dengan orang lain.

Menurut Sri Tresnaningtyas Gulardi (1999) ada dua syarat yang harus dipenuhi

bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial :

(1) Perilaku tersebut berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui

interaksi dengan orang lain

(2) Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan.

Terapi Aktivitas Kelompok sangat efektif mengubah perilaku karena di dalam

kelompok terjadi interaksi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Dalam

kelompok akan terbentuk satu sistem sosial yang saling berinteraksi dan menjadi

tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku lama yang

maladaptif (Christopher, 2007).

Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi adalah upaya memfasilitasi kemampuan

sosialisasi sejumlah lansia dengan masalah hubungan sosial. Dengan TAK sosialisasi

maka lansia dapat meningkatkan hubungan sosial secara bertahap dari interpersonal

(satu dan satu), kelompok dan masyarakat (Keliat,2006).

Mengenai pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok terhadap lansia dengan masalah isolasi sosial

dapat menunjukkan hasil pelaksanaan yang memuaskan yaitu mencapai tingkat keberhasilan

dimana mampu meningkatkan kemampuan lansia untuk berinteraksi sosial (Tamonsang,

2012).