Pengaruh Stress Terhadap Nyeri Kepala
-
Upload
yvonne-doyle -
Category
Documents
-
view
34 -
download
6
description
Transcript of Pengaruh Stress Terhadap Nyeri Kepala
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan di seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala.
Berdasarkan penyebabnya digolongkan nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas kelainan
anatomi atau kelainan struktur, yaitu migrain, nyeri kepala tipe tegang, nyeri
kepala klaster dan nyeri kepala primer lainnya. Nyeri kepala sekunder adalah
nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi maupun kelainan struktur dan
bersifat kronis progresif, antara lain meliputi kelainan non vaskuler(Sjahrir,2004).
Nyeri kepala merupakan masalah umum yang sering dijumpai dalam
praktek seharihari.Nyeri kepala timbul sebagai hasil perangsangan terhadap
bagian tubuh di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap nyeri.(Sjahrir,2004).
Bukan hanya masalah fisik semata sebagai sebab nyeri kepala tersebut namun
masalah psikis juga sebagai sebab dominan. Untuk nyeri kepala yang disebabkan
oleh faktor fisik lebih mudah didiagnosis karena pada pasien akan ditemukan
gejala fisik lain yang menyertai sakit kepala, namun tidak begitu halnya dengan
nyeri kepala yang disebabkan oleh faktor psikis. Nyeri kepala yang sering timbul
di masyarakat adalah nyeri kepala tanpa kelainan organik, dengan kata lain adalah
nyeri kepala yang disebabkan oleh faktor psikis(Neurona, 2005).
Nyeri kepala merupakan gejala yang dapat disebabkan oleh berbagai
kelainan baik struktural maupun fungsional, sehingga dibutuhkan sebuah
klasifikasi untuk menentukan jenis dari nyeri kepala tersebut. Sejak tahun 1985
International Headache Society (IHS) mulai mengembangkan system klasifikasi
dari nyeri kepala dan akhirnya pada tahun 1988 dihasilkan klasifikasi nyeri kepala
Setiap individu mempunyai persepsi dan respons yang berbeda terhadap
suatu rangsang atau stresor. Stresor bisa memicu seseorang untuk lebih maju, di
tingkat biomolekuler bahkan dapat merangsang neurogenesis. Di lain pihak,
stresor dapat mengakibatkan seseorang patah semangat bahkan bunuh diri, di
1
tingkat seluler dapat ditemukan kematian sel atau apoptosis. Sering kali istilah
stres dikonotasikan ke hal yang negatif, padahal tidak selalu demikian.
Pada setiap organisme hidup terdapat suatu keseimbangan yang dinamik
yang disebut sebagai homeostasis. Stresor akan marangsang reaksi di otak yang
disebut sebagai persepsi stres, yang kemudian akan mengaktifkan perubahan
sistem fisiologik pada tubuh yang disebut sebagai respons stres (Dhabhar,1999).
Proses yang mendasari respons stres ini dikenal dengan nama allostasis
(McEwen.,1998). Stresor akan memicu suatu kaskade peristiwa di otak dan sistem
perifer yang menyebabkan individu mampu melakukan mekanisme coping atau
adaptasi terhadap stresor tersebut .
Beberapa studi telah membuktikan bahwa stress dapat menyebabkan nyeri
kepala . Salah satu penelitian yang mengikutsertakan lebih dari 5.000 orang pada
populasi umum untuk disurvei tentang tingkat stres mereka dan sakit kepala
dengan jangka waktu 2 tahun. Peserta diminta menyatakan seberapa sering sakit
kepala mereka setiap bulannya dan tingkat stres mereka dinyatakan dalam level
dari 0 sampai 100.
Sebanyak 31% dari peserta memiliki nyeri kepala berupa tipe tegang, 14%
dilaporkan memiliki migrain, 11% memiliki migrain kombinasi dengan nyeri
kepala tipe tegang dan 17% jenis sakit kepala yang tidak terklasifikasi. Untuk
tingkat nyeri kepala (tipe tegang) dinilai stres mereka rata-rata pada level 52 dari
100. Sedangkan migrain pada level 62 dari 100 dan 59 untuk orang-orang dengan
kombinasi keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwa stres adalah masalah bagi sebagian besar
orang yang menderita sakit kepala dan menekankan pentingnya mengontrol stres
untuk orang yang mengidap migrain” kata Sara H. Schramm, MD, dari University
Hospital of Universitas Duisburg -Essen di Jerman”. Hasil penelitian ini
menguatkan bobot konsep bahwa stres dapat menjadi faktor yang berkontribusi
terhadap terjadinya gangguan sakit kepala, yang mempercepat perkembangan
untuk sakit kepala kronis, memperburuk riwayat sakit kepala, dan nyeri.
2
Oleh karena itu penulis menulis makalah yang berjudul “pengaruh stress
terhadap nyeri kepala “ sehingga dapat diketahui hubungan antara kedua hal
tersebut dan yang paling penting dapat diketahui cara mengatasi nyeri kepala
akibat stress sehingga dapat membantu kita dalam aktivitas sehari-hari.
2.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme nyeri kepala akibat stress
2. Bagaimana cara mengatasi nyeri kepala akibat stress
3.1 Tujuan
1. Untuk mengetahui mekanisme nyeri kepala akibat stress
2. Untuk mengetahui pengobatan nyeri kepala akibat stress
3.
4.1 Manfaat
1. Mengetahui pengobatan stress
2. Dapat mencegah terhadap nyeri akibat stress
3. Menghindarkan diri dari sikap hidup yang membuat stress
4. Menjadikan tubuh lebih sehat
5. Dental health education bertambah
3
BAB 2
ISI
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala tegang otot adalah bentuk sakit kepala yang paling sering
dijumpai dan sering dihubungkan dengan jangka waktu dan peningkatan stress.
Orang-orang yang cenderung menderita nyeri kepala mempunyai kepribadian
yang tidak banyak berbeda(Machfoed,2004). Sebagian besar tergolong dalam
kelompok yang mempunyai perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar dan tegang. Karena sifat yang
seperti itu, maka akan menghasilkan sikap hidup yang serba kaku, sangat berhati-
hati, sangat cermat serta menginginkan semua yang dilakukan serba sempurna dan
juga cenderung untuk mendendam. Pada akhirnya, terjadi peningkatan tekanan
jiwa dan penurunan tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan ketidakpuasan
membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta vaskularisasi
kepala sehingga timbul nyeri kepala. Nyeri seperti inilah yang disebut nyeri
kepala tegang otot.
Nyeri kepala ini disebabkan oleh ketegangan otot di leher, bahu dan
kepala. Nyeri ini tersebar secara difus dan sifat nyerinya mulai dari ringan hingga
sedang. Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini dibagi
menjadi nyeri kepala episodik dan nyeri kepala kronis(Goetz. 2003). Nyeri kepala
tegang otot dikatakan episodik jika perlangsungannya kurang dari 15 hari dengan
serangan yang terjadi kurang dari 1 hari perbulan (12 hari dalam 1 tahun). Nyeri
kepala ini sangat umum dan banyak ditemukan di masyarakat, tetapi tidak
memerlukan penanganan khusus dan dapat sembuh dengan pemberian analgetik
sedangkan apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih dari 15 hari
selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala tegang otot kronis.
4
2.1.2 Epidemiology Dan Etiology Nyeri Kepala
Di Amerika serikat, hanya 1-4 % pasien dengan keluhan nyeri kepala yang
masuk ke Instalasi Rawat Darurat, tetapi merupakan alasan terbanyak pasien
berkonsultasi kepada dokter. 90% dari nyeri kepala tersebut merupakan nyeri
kepala tegang otot.1 Frekuensi nyeri kepala ini tidak berbeda dari wilayah yang
satu dengan wilayah yang lainnya. Jika berdasarkan jenis kelamin, nyeri kepala ini
lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan
3:1. Semua usia dapat terkena, namun sebagian besar pasien adalah orang dewasa
muda yang berumur berkisar antara 20-40 tahun. Riwayat dalam keluarga dapat
ditemukan.
Penyebab dari nyeri kepala tegang otot ini masih belum diketahui. Diduga
dapat disebabakan oleh faktor psikis maupun fakor fisik. Secara psikis, nyeri
kepala ini dapat timbul akibat reaksi tubuh terhadap stress, kecemasan, depresi
maupun konflik emosional. Sedangkan secara fisik, posisi kepala yang menetap
yang mengakibatkan kontraksi otot-otot kepala dan leher dalam jangka waktu
lama, tidur yang kurang, kesalahan dalam posisi tidur dan kelelahan juga dapat
menyebabkan nyeri kepala tegang otot ini. Selain itu, posisi tertentu yang
menyebabkan kontraksi otot kepala dan leher yang dilakukan bersamaan dengan
kegiatan-kegiatan yang membutuhkan peningkatan fungsi mata dalam jangka
waktu lama misalnya membaca dapat pula menimbulkan nyeri kepala jenis
ini.6,9,10 Selain penyebab tersebut di atas, ada pula beberapa pemicu yang dapat
menyebabkan timbulnya nyeri kepala jenis ini, antara lain konsumsi coklat, keju
dan penyedap masakan (MSG). orang yang terbiasa minum kopi juga akan
mengalami sakit kepala bila yang bersangkutan lupa untuk minum kopi. Jika nyeri
kepala tegang otot ini akibat pengaruh psikis maka biasanya akan menghilang
setelah masa stress berlalu.
2.1.3 Klasifikasi Nyeri Kepala
Berdasar dari banyak penelitian mengenai jenis nyeri kepala dan
melibatkan sekitar 100 orang ahli neurologi, maka International Headache Society
5
mengembangkan klasifikasi ”International Classification of Headache Disorders,
2nd edition” untuk nyeri kepala.
Klasifikasi ini secara garis besar membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu
nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer kemudian
dibagi menjadi empat kategori yaitu migraine, nyeri kepala tipe tegang, nyeri
kepala cluster – trigerminal, dan nyeri kepala primer lainnya.
1. Migraine
Istilah migraine berasal dari kata Yunani yang berarti “sakit kepala sesisi”.
Memang pada 2/3 penderita migraine, nyerinya dirasakan secara unilateral, tetapi
pada 1/3 lainnya dinyatakan pada kedua belah sisi secara bergantian dan tidak
teratur. Rasa nyeri ini disebabkan oleh adanya dilatasi pembuluh darah besar
intracranial dan dibebaskannya substansi neurokinin ketika vasodilatasi terjadi.
Penyebab vasodilatasi ini belum diketahui.
Terdapat dua syndrome klinis migraine, yaitu migraine dengan aura dan migraine
tanpa aura. (Hooker, 1986). Selama beberapa tahun, migraine dengan aura
dikatakan sebagai migraine klasik dan sindrom yang kedua dikatakan sebagai
migraine umum. Migrain disertai aura diawali dengan adanya gangguan pada
fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala hemikranial (unilateral),
mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan selama beberapa jam
kadangpula terjadi dalam sehari penuh bahkan lebih. Migrain tanpa aura
merupakan nyeri kepala hemikranial disertai atau tanpa mual muntah yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa gangguan fungsi saraf sebagai pertanda dan gejala ini terjadi
dalam beberapa menit atau jam. Aspek hemikranial dan sensasi berdenyut
merupakan karakteristik paling khas yang membedakan migraine dengan jenis
nyeri kepala lainnya(George, 2006).
Terdapat banyak jenis farmakoterapi yang digunakan untuk mengatasi
migraine dan pemilihan untuk tiap pasien bergantung dari tingkat keparahan
serangan, gejala terkait seperti mual dan muntah, permasalahan komorbid, dan
respon pasien terhadap pengobatan. Pemberian analgesic tunggal atau
dikombinasikan dengan komponen lainnya telah terbukti meringankan nyeri
6
kepala ringan hingga berat. Agonis 5-HT1 dan/atau analgesi opioid dapat
diberikan dan dapat dikombinasikan dengan antagonis dopamine jika migraine
tergolong berat. Penggunaan farmakoterapi ini harus dibatasi hingga 2-3 hari
dalam seminggu untuk mencegah berkembangnya fenomena nyeri kepala
rebound.
2. Nyeri Kepala Tipe Tegang
Nyeri kepala tipe tegang (NKTT) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan nyeri kepala tanpa sebab yang jelas dan kurang memiliki
gambaran khas dibanding migraine dan nyeri kepala cluster. Mekanisme
patofisiologi yang mendasarinya tidak diketahui secara pasti dan ketegangan
sepertinya bukan penyebab utama. Kontraksi dari otot leher dan kulit kepala yang
selama ini telah dikatakan sebagai penyebab, kemungkinan hanya merupakan
fenomena sekunder.
Pada umumnya, NKTT merupakan gangguan kronik yang bermulai
setelah umur 20 tahun. Gangguan ini ditandai dengan serangan nyeri kepala
bilateral pada bagian occipital tanpa sensasi denyutan dan tidak disertai rasa mual,
muntah, atau gangguan penglihatan. Nyeri biasa dideskripsikan seperti ada pita
yang mengikat kepala dengan ketat. Wanita lebih sering terkena dibanding pria.
Walaupun NKTT dan migraine dianggap suatu gangguan yang berbeda,
tidak jarang ditemukan pasien yang mengalami nyeri kepala dengan gejala
keduanya. Pasien yang diklasifikasikan NKTT seperti ini mengalami nyeri kepala
berdenyut, nyeri kepala unilateral, atau mengalami muntah pada saat serangan.
Konsekuensinya, mungkin lebih tepat menganggap NKTT dan migraine
merupakan perwakilan dari suatu kutub berlawanan dari satu spectrum
klinis.Nyeri kepala tipe tegang dapat diatasi dengan pemberian analgesic
sederhana, seperti aspirin atau asetaminophen atau jenis NSAID lainnya. Akan
tetapi pengobatan ini hanya diberi dalam periode yang singkat. Nyeri kepala tipe
tegang berespon sangat baik pada obat yang digunakan untuk menanganai depresi
atau kecemasan, terutama jika kedua gangguan ini ditemukan. Raskin melaporkan
keberhasilan menanganai NKTT dengan calcium channel blocker, phenelzine,
7
atau cyptoheptadine. Ergotamine dan propanolol kurang efektif kecuali ditemukan
gejala migraine dan NKTT secara bersamaan. Teknik relaksasi juga dapat
digunakan untuk mengatasi stress dan kecemasan yang dapat menyebabkan
terpicunya NKTT
3. Nyeri Kepala Cluster
Nyeri kepala cluster merupakan sindroma nyeri kepala yang lebih sering
terjadi pada pria dibanding wanita. Nyeri kepala cluster ini pada umumnya terjadi
pada usia yang lebih tua dibanding dengan migraine. Nyeri pada sindrom ini
terjadi hemikranial pada daerah yang lebih kecil dibanding migraine, sering kali
pada daerah orbital, sehingga dikatakan sebagai klaster. Jika serangan terjadi,
nyeri ini dirasakan sangat berat, nyeri tidak berdenyut konstan selama beberapa
menit hingga 2 jam. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Donnet,
kebanyakan pasien mengalami serangan dengan durasi 30 hingga 60 menit. 8,10
Tidak seperti migraine, nyeri kepala cluster selalu unilateral dan biasanya terjadi
pada region yang sama secara berulang-ulang. Nyeri kepala ini umumnya terjadi
pada malam hari, membangunkan pasien dari tidur, terjadi tiap hari, seringkali
terjadi lebih dari sekali dalam satu hari. Nyeri kepala ini bermulai sebagai sensasi
terbakar (burning sensastion) pada aspek lateral dari hidung atau sebagai sensasi
tekanan pada mata. Injeksi konjunctiva dan lakrimasi ipsilateral, kongesti nasal,
ptosis, photophobia, sindrom Horner, bahkan ditemukan pula pasien dengan
gejala gastrointestinal .
Serangan nyeri kepala cluster nokturnal dapat ditangani dengan dosis
ergotamine sebelum tidur untuk mencegah serangan. Pemberian lidocaine
intranasal atau sumatriptan dapat pula digunakan pada serangan akut. Pada
beberapa pasien, ergotamine diberikan satu kali atau dua kali perhari juga terbukti
bermanfaat. Jika ergotamine dan sumatriptan tidak efektif mengatasi serangan,
beberapa neurolog pakar nyeri kepala menyarankan penggunaan verapamil
dengan dosis hingga 480 mg per hari. Ekbom memperkenalkan terapi lithium
untuk nyeri kepala cluster dan Kudrow telah membuktikan efektivitas lithium
8
pada kasus kronik. Indomethacin dengan dosis 75 mg hingga 200 mg/hari telah
dilaporkan berhasil pada kasus kronik akan tetapi beberapa pasien juga tidak
mengalami perbaikan. Beberapa kasus nyeri kepala cluster tidak dapat diatasi
dengan terapi farmakoterapi dan membutuhkan pemotongan nervus trigerminus
parsial, seperti dideskripsikan Jarrar dkk.
2.1.4 Stress
Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam
percakapan sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan
akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi
teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin
berat.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan
perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu
menarik adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh. Akhir-
akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja saraf,
fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong
munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi
Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan
tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya
ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman
emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan
perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi
yang menyebabkan stres. Sedangkan Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai
‘the nonspesific response of the body to any demand‘, stress juga dapat diartikan
sebagai berikut, ‘stress occurs where there are demands on the person which tax
or exceed his adjustive resources’ (Lazarus, 1976).
Teori stres bermula dari penelitian Cannon (1929) yang kemudian
diadopsi oleh Meyer (1951) yang melatih para dokter untuk menggunakan riwayat
9
hidup penderita sebagai sarana diagnostik karena banyak dijumpai kejadian
traumatik pada penderita yang menjadi penyebab penyakitnya
Hans Selye (1956) dalam penelitiannya menggunakan stimulus untuk
menimbulkan reaksi fisiologik yang ia sebut GAS (General Adaptation
Syndrome). Menurut teorinya stresor fisik maupun psikologik akan
mengakibatkan 3 tingkatan gejala adaptasi umum; tahap reaksi alarm (alarm
reaction), resistensi (resistance) dan tahap kehabisan tenaga (exhaustion).
Menurut Prawirohusodo, stresor adalah faktor-faktor yang dapat
menimbulkan stres. Stresor dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu : Stresor
fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain.
Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian,
jatuh cinta dan lain-lain.
Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-
lain.Stres yang merusak sering disebut distress, adalah ketika seseorang mendapat
impuls rangsangan secara terus-menerus dan berulang kali yang melampaui batas
adaptasi. Telah dilaporkan bahwa pekerja yang berada atau bekerja di tempat yang
mempunyai tingkat kebisingan tinggi sering mengalami gangguan kesehatan dan
mudah terserang infeksi (Budiman, 2004).
Wheaton (1983) membedakan stres akut dan kronik sedangkan Holmes
dan Rahe (1967) menekankan pembagian pada jumlah stres (total amount of
change) yang dialami individu yang sangat berpengaruh terhadap efek
psikologiknya. Ross dan Viowsky (1979) dalam penelitiannya berpendapat,
bahwa bukan jumlah stres maupun beratnya stres yang mempunyai efek
psikologik menonjol akan tetapi apakah stres tersebut diinginkan atau tidak
diinginkan (undesirable) yang mempunyai potensi besar dalam menimbulkan efek
psikologik
Menurut Hans Selye stres terbagi menjadi dua secara makro yaitu :
- Fisiologik (= Eustress), misalnya saat bayi dilahirkan, pubertas, kehamilan dan pesalinan dll.
10
- Patologik (= Distress), stres yang terjadi pada kehidupan sehari-hari (‘real-life stres’) misalnya terpapar sinar ultra violet dalam waktu lama, infeksi, beberapa sosial stres (kehilangan pekerjaan, PHK, kehilangan rumah dll) dan personal stres (kematian pasangan hidup, perceraian, kematian anak dll)
2.1.5 HPA AXIS
HPA AXIS adalah Singkatan dari HPA = Hypothalamus-Pituitary-
Adrenal. Sedang pengertian AXIS adalah Sumbu / hubungan langsung.
HPA AXIS adalah bagian utama dari sistem Neuroendokrin (Saraf pada
hormon) yang mengontrol reaksi terhadap Stres dan pula memiliki fungsi penting
dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan
tubuh ,suasana hati, emosi, seksualitas, dan penyimpanan penggunaan energi.
Sumbu HPA juga terlibat dalam gangguan kecemasan, gangguan bipolar, pasca-
traumatic stress disorder, depresi klinis, kelelahan dan sindrom iritasi usus besar.
Perubahan biomolekuler terhadap stres akut berbeda dengan kronik stres.
Pada akut stres (menit-jam), sistem simpatik (terutama noradrenergik) akan
teraktivasi, kondisi ini terjadi pada stres psikologik ringan atau selama latihan
fisik tertentu. Sebaliknya pada kronik stres (hari-bulan) yaitu pada stres
psikologik berat, stres fisik berat, maka akan mengaktivasi sistem HPA aksis yang
nantinya akan mengakibatkan gangguan pada sistem imunologis dan gangguan
pada proses plastisitas (Dhabhar et al., 1997).
11
Gambar 16. HPA AXIS
Source: total-body-psychology.com.au
Dengan adanya suatu rangsangan berupa stres maka akan mengaktifkan
HPA aksis yaitu dengan dikeluarkan corticotropin-releasing hormon (CRH) dan
vasopresin (AVP) oleh nukleus paraventrikular dari hipotalamus, kemudian akan
merangsang produksi dari adrenocorticotropik hormon (ACTH) oleh kelenjar
pituitari anterior. ACTH ini akan merangsang sintesis dari glukokortikoid dari
kelenjar adrenal korteks (pada manusia kortisol, pada hewan seperti tikus dan
ayam). Pengaturan kontrol HPA aksis yang seimbang sangatlah penting untuk
survival sel dan kesehatan. Ini dilakukan dengan adanya mekanisme feedback dari
glukokortikoid pada kelenjar pituitari maupun pada beberapa tempat di otak
termasuk pada hipokampus (De Kloet et al.,1998). Sebaliknya semua input dari
amigdala akan mengaktifkan HPA aksis (Herman et al., 2003).
Stres dapat mengakibatkan perubahan molekular dan selular di dalam otak,
Hal ini terutama melalui 2 reseptor yaitu reseptor mineralocorticoid (MR) dan
glucocorticoid (GR). Pada stres yang singkat maka MR akan terangsang lebih
dahulu (Karst et al., 2005), sedangkan untuk kronik stres maka GR yang berperan.
Aktivasi dari GR ini melalui 2 mekanisme independen yang dapat menghasilkan
suatu protein yaitu mekanisme langsung dimana GR dengan DNA spesifik
sequences pada regio promoternya dan interaksi dengan beberapa faktor
transkripsi seperti c-Jun, API, NF-kB, STAT 5, CREB (Sandi.et al.,2004)
MR disebut pula sebagai tipe I dari reseptor kortikosteroid, sedangkan GR
merupakan tipe II dari reseptor kortikosteroid. Tipe I terdistribusi tidak merata,
terutama terdapat di daerah sistem limbik, sedangkan tipe II terdistribusi sangat
luas di otak, yaitu di daerah para ventrikel, limbik, korteks serebral dan batang
otak (Reul, 1985).
Pada sistem limbik terdapat baik reseptor I dan II dari kortikosteroid.
Sistem limbik ini meliputi beberapa area yaitu hipokampus, girus
parahipokampal, korteks entorinal dan insular, amigdala, nukleus septal,
hipotalamus, anterior talamus, nukleus akumbens serta korteks cingulatus. Sistem
12
ini juga mempunyai interkoneksi yang luas dengan beberapa area yaitu lobus
temporal media, diencephalon, subkorteks dari forebrain, dan regio septal dari
lobus frantalis. Jadi sistem limbik tersebut menerima input dari sekitarnya baik
berupa afektif, kognitif maupun emosional data (Lupien at al., 1997).
Hipokampus adalah organ yang mempunyai ke 2 reseptor baik tipe I dan
ke II. Beberapa studi menunjukkan adanya modulasi kortikosteroid terhadap
aktivitas hipokampus dalam proses belajar dan memori. Diamond dkk (1994)
menyebutkan bahwa tipe I mempunyai efek dalam merangsang peningkatan LTP
(Long-term Potentiation) berarti terdapat neurite outgrowth, sedangkan
rangsangan dari tipe II justru didapatkan LTD (Long-term Depression) atau
penurunan LTP, dengan dikeluarkannya beberapa neurotransmiter yang berakibat
buruk pada hipokampus (Diamond et al., 1994). Aktivasi kortikosteroid terhadap
fungsi kognisi berupa dose, time dan reseptor-dependent (Lupien et al., 1997).
Aktivasi dari tipe 2 akan mengakibatkan peningkatan Ca current yang
kemudian akan merangsang N-methyl D-aspartate (NMDA) reseptor dari
glutamat pada neuron hipokampus tapi tidak pada daerah kortek (Weiland et al.,
1995), juga merangsang dikeluarkannya beberapa asam amino serta serotonin oleh
neuron di hipokampus (DeKloet et al., 1998). Serotonin juga akan dilepaskan oleh
rangsangan dari stres itu sendiri yang nantinya dapat berinteraksi dengan NMDA-
R dari glutamat melalui 5-HT2 reseptor (Rahmann et al., 1993).
Area CA3 di hipokampus merupakan subregio yang sensitif terhadap
rangsang kronik stres, selain itu kerusakan cabang-cabang dendrit juga dapat
ditemukan di daerah CA1 (Sousa et al., 2000), amigdala (Vyas et al., 2002) serta
korteks prefrontal (Wellman., 2001).
Adrenal steroid ikut berperan dalam 3 tipe plastisitas pada hipokampus,
yaitu:
1. Berperan dalam LTP dan LTD, ini adalah efek biphasic pada eksitabilitas,
kognisi dan memori pada ritmik diurnal dan setelah stres tipe acute non-
painful (Diamond et al 1996).
13
2. Berparitisipasi dalam neurogenesis di girus dentatus dengan eksitabilitas
asam amino. Pada keadaan akut stres dapat menghambat neurogenesis
yang berlangsung (Galea et al 1996), terutama menyangkut fear-related
learning and memory karena secara anatomi dan fungsional terdapat
hubungan antara amigdala dan girus dentatus (Ikegaya et al., 1997).
3. Partisipasi pada stress-induced atrophy pada girus dentatus dan regio CA3
pada hipokampus yang berakibat penurunan fungsi memori (McEwen.,
1999).
Stres akan mempengaruhi baik fungsi maupun struktur hipokampus,
beberapa studi menunjukkan korelasi ke duanya, sebagai contoh stres dapat
mengakibatkan demensia (Kaplan et al., 2001), depresi ataupun skizofrenia (Heim
et al., 2004). Stres pada saat prenatal dapat menyebabkan pengecilan ukuran pada
hipokampus yang nantinya mengakibatkan penurunan fungsi kognisi (Kim et al.,
2002). Akibat stres baik akut atau kronik akan mengaktivasi beberapa gen yaitu
CREB dan Fos yang menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dan memori
(Blank et al., 2004, Chen et al., 2006).
Rangsangan HPA aksis dengan dilepaskannya adrenal steroid akan
berperan dalam plastisitas di hipokampus melalui NMDA dan beberapa asam
amino, di saat yang sama juga dapat menimbulkan efek destruksi sehingga
berakibat penurunan fungsi kognisi.
Stresor mempunyai dampak di tingkat biomolekuler, serta dapat
mengakibatkan gangguan aktivitas neuronal, yaitu dengan ditemukannya ekspresi
neuronal cell adhesion molecules (NCAM) yang berperan dalam formasi sinaps
dan stabilisasi transmisi sinaps (Kiss, 2001).
Ekspresi kronik glucocorticoid akan mengakibatkan perubahan kadar
CAM pada beberapa area di otak. Hal ini disebabkan karena adrenosteroid
mempunyai efek langsung terhadap transkripsi gen dari CAM, yaitu dengan
melakukan interaksi bersama dua faktor transkripsi yaitu nuclear factor-kB atau
NF-kB dan activator protein-1 atau AP-1 (Vreugdenhil, 2001). Penelitian Datson
(2001) menggunakan teknik Serial Analysis of Gene Expression (SAGE)
14
menemukan bahwa NCAM-140 tersupresi oleh reseptor glucocorticoid (GR)
tetapi tidak oleh reseptor mineralocorticoid (MR)
Rangsangan Glucocorticoid pada kondisi stres kronis akan mengakibatkan
peningkatan ekspresi dari NMDA reseptor dari glutamat, disertai penurunan
respons AMPA reseptor di hipokampus (Bartanusz, 1995). NMDA akan
mengaktivasi NCAM-140, sedangkan AMPA akan merangsang NCAM-180 tetapi
bukan NCAM-140, NCAM-140 isoform yang mempunyai peran dalam stabilisasi
sinaps.(Touyarot, 2002). Jadi setiap isoform dari NCAM mempunyai efek yang
berbeda.
Rangsangan glucocorticoid akan menurunkan kadar brain derived
neurotrophic factor (BDNF) (Smith et al., 1995) dan sebaliknya terjadi
peningkatan ekspresi fibroblast growth factor-2 (FGF-2). Hal ini diduga
merupakan mekanisme neuroprotektif. FGF reseptor mempunyai efek interaksi
secara langsung ke NCAM-140 yang penting untuk neurite outgrowth
(Niethammer, 2002). NCAM-140 juga mempunyai fungsi sebagai reseptor dari
glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF) yang mempunyai peran
penting dalam perkembangan akson di hipokampus (Paratcha, 2003). Beberapa
studi menunjukkan bahwa pada kondisi distress juga akan mempengaruhi
intracellular tranduction pathway dari neurotrophin, yaitu kaskade dari Ras-
mitogen acctivated protein kinase (MAPK), yang berperan penting dalam sinaptik
plastisitas dan ketahanan neuronal (Meller, 2003). Stimulasi GR yang berlebihan
akan mengakibatkan defisit energi dari hipokampus berupa penurunan ATP
sehingga aktivitas proteolitik dari NCAM meningkat serta penurunan ikatan
membran dari NCAM (Skladchikova, 1999). Jadi kondisi distress yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan penurunan biosintesis NCAM disertai
peningkatan katalisis
15
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Mekanisme Nyeri Kepala Akibat Stress
HPA axis diaktivasi oleh keadaan stres. Namun belum ada penjelasan yang
memuaskan mengenai definisi dari stres itu sendiri. Stresor fisiologis seperti rasa
lapar, haus, aktivitas fisik ataupun trauma bersifat umum, mengancam
homeostasis dan respon fisiologis yang akan terjadi (termasuk aktivasi HPA)
merupakan suatu tindakan untuk mempertahankan atau mengembalikan
homeostasis. Stresor psikologis tidak secara langsung mengacaukan homeostasis,
ataupun individunya dan respon stres yang terjadi dapat dipelajari. Stresor
psikologis menghasilkan perasaan emosional : gelisah, takut, marah, frustasi,
depresi, dan sebagainya, dimana timbulnya dan besarnya perasaan tersebut
bergantung pada penilaian seseorang terhadap suatu keadaan. Definisi lain yang
sering dipakai mengenai stres ialah suatu keadaan dimana terdapat peningkatan
konsentrasi ACTH dan glukokortikoid yang berkepanjangan.
Peningkatan sekresi glukokortikoid sangat berguna dalam keadaan stres.
Glukokortikoid memobilisasi lemak dan asam amino dari lemak dan sel otot yang
selanjutnya akan digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis di hepar.
Sebagian besar dari glukosa yang baru tersebut kemudian diubah menjadi 21
glikogen melalui glikogenolisis dan disimpan. Sebagai tambahan, glukokortikoid
mempunyai efek potensiasi dengan katekolamin.
Konsentrasi glukokortikoid yang tinggi yang terlihat saat keadaan stres
menyebabkan ditempatinya 50% dari reseptor-reseptor glukokortikoid di nukleus
paraventrikel dan hipokampus dan menyebabkan terhentinya respon stres melalui
mekanisme umpan balik negatif. HPA axis sangat lebih sensitif terhadap aktivasi
stres dan mekanisme inhibisi umpan balik negatif ketika konsentrasi
glukokortikoid darah pada kadar terendah.
Aktivasi HPA axis yang berlarut-larut karena stres kronik mengakibatkan
efek yang merusak. Konsentrasi kortikosteroid yang tinggi yang bekerja melalui
16
reseptor glukokortikoid akan meningkatkan transmisi asam amino eksitatorik dan
meningkatkan influks kalsium ke dalam sel-sel hipokampus melalui pompa Ca2+
voltage-dependent, sehingga akibatnya mematikan sel-sel tersebut. Kemungkinan
hal ini yang mengakibatkan ditemukannya pengurangan jumlah sel-sel piramidal
di hipokampus tikus yang berusia lanjut, yang disertai juga dengan ditemukannya
pengurangan reseptor glukokortikoid sehingga membuat efektivitas umpan balik
glukokortikoid berkurang; baik pada tikus dan manusia yang berusia lebih tua
konsentrasi kortikosteroid untuk kembali ke keadaan basal membutuhkan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan yang berusia lebih muda..Sehingga bila
efektifitas umpan balik glukokortikoid menurun mengakibatkan respon terhadap
stress pun menurun sehingga bisa mengakibatkan nyeri pada kepala akibat stress
tadi.
Pada saat stress meningkat, tubuh akan semkain banyak mengeluarkan
adrenalin dan kortisol(Bendtsen,2009). Sebaliknya, substansi yang berkaitan
dengan "relaksasi" seperti endorfin akan menurun. Hal ini akan meningkatkan
ketegangan otot pada kepala dan leher.( Sauro KM,2009)
Jika stres terjadi berkepanjangan, maka akan menurunkan sistem imun
tubuh, ambang nyeri dan toleransi terhadap nyeri lebih jauh lagi, sehingga rasa
nyeri kepala akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih sakit.
3.2 Pengobatan Nyeri Kepala Karena Stress
Banyak orang yang sering mengalami sakit kepala karena stress. Sejumlah
cara nonmedis dapat membantu meringankan keparahan dan frekuensi serangan
sakit kepala.Ada Beberapa cara yang dapat mengurangi nyeri pada kepala akibat
stress. Pertama, mandi air hangat. Mandi air hangat dan istirahat mungkin yang
anda butuhkan ketika sakit kepala mendera gara-gara stres. Tambahkan garam
kristal jika ada, hasilnya akan lebih baik untuk menyegarkan tubuh kembali.
Kedua, lakukan gaya hidup sehat. Kebiasaan hidup sehat membantu
mencegah datangnya sakit kepala. Pola hidup sehat ini meliputi makan sehat
17
dengan gizi seimbang tentunya, lalu tidur teratur dan hindari asupan kafein
berlebihan. Jangan lupa olahraga teratur seperti jalan kaki, berenang dan
bersepeda.
Hal ketiga itu adalah manajemen stres. Satu cara mengurangi stres adalah
dengan melakukan perencanaan matang dan mengatur waktu dengan bijaksana.
Cara lain adalah dengan menyediakan waktu untuk rileks. Lakukan latihan
bernapas dalam (menarik napas panjang dan menbuangnya perlahan-lahan).
Hal keempat, rileksasi otot. Otot yang tegang sering jadi penyebab sakit
kepala. Kompres otot yang tegang dengan air hangat atau es, sesuai selera.
Bungkus es ke dalam handuk sebelum ditempelkan ke tubuh. Jika kompres hangat
jadi pilihan Anda, gunakan botol berisi air panas atau handuk panas. Anda juga
bisa dipijat untuk mengurangi ketegangan otot.
Hal kelima dan terakhir yaitu penggunaan obat. Pemberian analgesik
seperti acetaminophen , aspirin oral (500-1000)mg , ibunofren (400mg) dan
ketoprofen (50 mg) atau NSAIDs. Dosis aspirin dan acetaminophen yang
ditingkatkan jika diperlukan . Apabila sudah kronis dapat diberikan golongan
triptan yaitu amitriptyline dengan dosisi rendah (10-75mg) per hari. Selain efek
terhadap nyeri amitriptilin juga dapat menurunkan tenderness otot.
18
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sakit kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling sering
dikeluhkan oleh masyarakat. Hampir setiap orang pernah mengalami sakit kepala.
Tidak hanya menyebabkan tidak nyaman, sakit kepala juga menyebabkan
penderita menjadi kurang produktif. Salah satunya adalah faktor penyebab sakit
kepala adalah stres, seperti konflik emosional dan stres psikososial; dan sangat
erat hubungannya dengan sakit kepala tegang dan migrain.
Depresi dan kondisi stres dapat menyebabkan sakit kepala biasa berlanjut
menjadi sakit kepala kronis, yaitu sakit kepala yang terjadi > 180 hari/tahun. Studi
menunjukkan tingginya tingkat kecemasan, depresi dan tekanan mental yang
berkepanjangan pada penderita sakit kepala kronis dibandingkan dengan penderita
sakit kepala biasa. Yang lebih menarik lagi, kebiasaan yang tidak sehat dalam
menghadapi stres, seperti melampiaskan amarah pada barang, menghindari
masalah, sangat umum ditemukan pada penderita sakit kepala.
Jika stres terjadi berkepanjangan, maka akan menurunkan sistem imun
tubuh, ambang nyeri dan toleransi terhadap nyeri lebih jauh lagi, sehingga rasa
nyeri kepala akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih sakit.
4.2 Saran
Penanganan sakit kepala yang tepat sebaiknya dimulai dengan catatan
sakit kepala (headache diary), dimana dilakukan pencatatan mengenai hal-hal
pemicu sakit kepala dan obat yang diminum. Hal ini akan sangat membantu dalam
menemukan penyebab sakit kepala. Terapi obat dengan menggunakan obat-obatan
diperlukan dalam menangani sakit kepala yang terjadi Terapi tanpa obat juga
dapat memberikan kontribusi namun hanya sebagai pengobatan
komplementer/pelengkap dalam penatalaksanaan nyeri kepala. Terapi non obat
19
yang dimaksudkan adalah dengan fisioterapi. Terapi tanpa obat lainnya yang juga
bisa dilakukan adalah program olahraga teratur, terapi ultrasound, stimulasi
elektrik (Electromyography (EMG) biofeedback) dan terapi kognitif perilaku
untuk manajemen stres juga dapat dilakukan.
Jika ditemukan tanda-tanda depresi atau kecemasan yang berlebihan, harus
segera berkonsultasi dengan dokter untuk penanganan lebih lanjut. Yang perlu
diperhatikan untuk penderita sakit kepala yang berulang, bahwa sakit kepala tidak
dapat sepenuhnya disembuhkan, tetapi frekuensi dan intensitas nyeri kepala dapat
membaik secara signifikan jika pemicunya dihindari dan mendapat terapi yang
tepat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Blank T, Nijholt I, Spiess J, 2004. Molecular determinants mediating
effects of acute stress on hippocampus-dependent synaptic plasticity and learning.
Mol. Neurobiol. 29:131-8
Charney DS, Manji HK 2004, Life stress, genes, and depression: multiple
pathways lead to increased risk and new opportunities for intervention. Sci STKE.
2004;225.
Charney DS, Manji HK 2004, Life stress, genes, and depression: multiple
pathways lead to increased risk and new opportunities for intervention. Sci STKE.
2004;225
Chen Y, Fenoglio KA, Dube CM, Grigoriadis DE, Baram TZ, 2006.
Cellular and molecular mechanism of hippocampus activation by actue stress are
age-dependent. Mol. Psychiatry 11:992-1002.
de Kloet ER, Joels M, Holsboer F, 2005. Stress and the brain: from
adaptation to disease. Nature Rev Neurosci. 6(6): 463-75.
de Kloet ER, Vreugdenhil E, Oitzl MS, Joeis M, 1998. Brain
corticosteroid receptor balance in health and disease. Endocr. Rev 19:269-301.
Dhabhar FS, McEwen BS, 1999. Enhancing versus suppressive effects of
stress hormones on skin immune function. Proceeding of the National Academy
of Sciences USA, 96:1059-64.
Diamond DM, Fleshner M, Ingersoll N, ose GM, 1996. Psychological
stress impairs spatial working memory: relevance to electrophysiological studies
of hippocampal function. Behav Brain Res 62:1-9
Diamond DM, Fleshner M, Rose GM, 1994. Psychological stress
repeatedly blocks hippocampal primed burst potentiation in behaving rats. Behav
Brain Res 62:1-9.
21
George, K.O. 2006. Migraine Headache. National Institute of Health.
Goetz GC. 2003. Headache and Facial Pain.In : Texbook of Clinical
Neurology. Second edition.Elsevier Science. USA: 1187-94
Grossman CJ. Immunoendocrinology, dalam : Basic and Clinical
Endocrinology, Third ed. Lange Medical Book. 1991. 2.Wheaton B. Stress,
personal coping resources and psychiatric symptoms.
Heim C, Plotsky PM, Nemeroff CB, 2004. Importance of studying the
constribution of early adverse experience to neurobiological findings in
depression. Neuropsychopharmacology 29:641-8.
Herman JP et al, 2003. Central mechanism of stress integration:
hierarchical circuitry controlling Hypothalamo-Pituitary-Adrenocortical
responsiveness. Front Neuroendocrinol 24: 151-80.
Hooker WD, Raskin NH, 1986, Neuropsychologic alterations in classic
and common
Ikegaya Y, Saito H, Abe K, 1997. The basomedial and basolateral
amygdaloid nuclei contribute to the induction of LTP in the dentate gyrus in vivo.
Eur. J. Neurosci. 8:1833-9.
Kaplan Z, Iancu I, Bodner E, 2001. A review of psychological debriefing
after extreme stress. Psychiatr. Serv. 52:824-7.
Karst H, Berger S, Turiault M, Tronche F, Schultz G, Joels M, 2005.
Mineralocorticoid receptors are indispensable for non genomic modulation of
hippocampal glutamate transmission by corticosterone. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA. 102: 19204-7.
Kiss JZ, Troncoso E, Djebbara Z, Vutskits L, Muller D, 2001. The role of
neural cell adhesion molecules in plasticity and repair. Brain Res Rev 36: 175-84.
Lucas, S. 2005.Epidemiology of Primary Headache in Women. Chapter 1:
1-9
22
Lupien SJ, McEwen BS, 1997. The acute effects of corticosteroid on
cognition: Integration of animal and human model studies. Brain Res Rev 24:1-
27.
Machfoed, M.H., 2004. Aspek Genetik dan Biomolekuler Migren. Dalam:
Nyeri Kepala, jilid 2. Kelompok Studi Nyeri Kepala PERDOSSI. USU Press.
Medan. Hal 1-12.
McEwen BS, 1998. Protective and damaging effects of stress mediators:
allostasis and allotatic load. New England Journal of Medicine 338:171-79.
McEwen BS, 1999. Stress and hippocampal plasticity. Neurosci 22:105-
22.
migraine, Arc Neurology, 43: 709-12.
Neurona, 2005. Nyeri kepala dan neuro oftalmologi, vol 22,no 2, Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran USU.
Niethammer P et al., 2002. Cosignaling of NCAM via lipid rafts and the
FGF receptor as required for neuritogenesis. J. Cell Biol 157:521-32
Paratcha G, Ledda F, Ibanez CF, 2003. The NCAM is an alternative
signaling receptor for GDNF family ligands. Cell 113: 867-79.
Rahmann S, Neumann RS, 1993. Activation of 5-HT2 receptor facilitates
depolarization of neocortical neurons by NMDA. Eur .J Pharmacol 231: 347-54.
Reul JMHM, De Kloet ER, 1985. 2 receptor systems for corticosterone in
rat brains: microdistribution of different occupation. Endocrinology 117:2505-12.
Sandi C., 2004. Stress, cognitive impairment and cell adhesion molecules.
Nature Rev Neurosci 5(12):917-31.
Sjahrir, H. 2004. Nyeri Kepala 1,2 &3. Kelompok Studi Nyeri Kepala.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
23
Skladchikova G, Ronn LC, Berezin V, Book E, 1999. Extracellular ATP
affects neural and NCAM-mediated cell adhesion and neurite outgrowth. J.
Neurosci Res 57:207-18
Soewadi. Simptomatologi dalam Psikiatri, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa,
Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. 1997
Sousa N, Lukoyanov NV, Madeira MD, Almeida OF, Paula-Barbossa
MM, 2000. Reorganization of the morphology of hippocampus neurites and
synapses after stress-induced damage correlates with behavioral improvement.
Neuroscience 97:253-66.
Vreugdenhil E, de Kloet ER, Schaaf M, Datson NA, 2001. Genetic
dissection of corticosterone receptor function in the rat hippokampus. Eur.
Neuropsychopharmacol 11:423-30.
Vyas A, Mitra R, Shankananarayana Rao BS, Chattarji S, 2002. Chronic
stress induces contrasting pattern of dendritic remodelling in hippokampal and
amygdaloid neurons. J. Neurosci 22:6810-8.
Wellman CL, 2001. Dendritic reorganization in pyramidal neurons in
medial predrontal cortex after chronic corticosterone administration. J. Neurosci
49: 245-53.
24