pengaruh SMEWG APEC terhadap UMKM
-
Upload
miftahur-rahman -
Category
Documents
-
view
42 -
download
9
description
Transcript of pengaruh SMEWG APEC terhadap UMKM
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Interaksi yang terjadi antar beberapa negara sudah lama menjadi pokok bahasan dalam
kajian hubungan internasional. Interaksi tersebut bukan hanya berbentuk perang antar negara
namun juga interaksi damai, interaksi kerja sama, interaksi ekonomi, budaya dan lain
sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu dalam studi Hubungan Internasional, kajian
yang menjadi pokok bahasan dalam studi Hubungan Internasional kontemporer pun memiliki
perkembangan dan perluasan objek yang dikaji. Aktor non-negara muncul sebagai aktor yang
juga ingin berpartisipasi dalam tatanan sistem internasional, aktor non-negara pun menjadi aktor
yang juga memilki pengaruh kuat dalam pengambilan kebijakan oleh sebuah Negara.1 Perubahan
aktor ditandai dengan perubahan jumlah baik bertambah maupun berkurang serta dengan
perubahan sifat dari aktor hubungan internasional. Perubahan jumlah yang sangat signifikan
terjadi pada penambahan jumlah aktor non-negara seperti Multi-National Corporation (MNCs),
International Govermental Organizations (IGOs), International non-Govermental Organizations
(INGOs) serta beberapa kelompok dan individu yang melintasi batas negara. Kemunculan sebuah
aktor baru pada pola interaksi dalam hubungan internasioal merupakan sebuah konsekuensi yang
tidak dapat dihindarkan dari pesatnya perkembangan teknologi informasi di seluruh belahan
dunia.2
Arus globalisasi yang kita kenal saat ini ditandai dengan kemajuan dan integrasi dalam
berbagai bidang; informasi, komunikasi, transportasi, dan terknologi, yang kemudian menjadikan
pola hubungan internasional semakin luas. Selain itu istilah globalisasi sangat erat kaitannya
dengan perubahan sifat ketergantungan antar-bangsa maupun antar-masyarakat dalam
berinteraksi di dunia internasional.3 Interaksi dan ketergantungan yang dilakukan oleh berbagai 1 Henderson, Conway W.1998. International Relations, Conflict and Cooperation at the Turn of 21 Century. McGraw-Hill International Editions 3rd Edition.2 David Chandler.(2009). The Global Ideology: Rethinking the Politics of the 'Global Turn' in IR. Journal of International Relations. SAGE Press.Hlm. 5353 David Chandler.(2009). The Global Ideology: Rethinking the Politics of the 'Global Turn' in IR. Journal of International Relations. SAGE Press.Hlm. 535-536
2
aktor dalam kancah internasional bisa berbentuk sebuah investasi, perdagangan, jasa dan barang
serta bentuk interaksi lainnya yang semakin menjadikan batas dari sebuah negara semakin bias.
Beberapa aktor yang bergerak dalam pola interaksi ekonomi pun tidak lagi sebatas aktor
negara. Seorang kepala perusahaan, investor, Chief Executive Officer (CEO) perusahaan dan
pedagang serta pelaku ekomoni lainnya bisa menjadi sebuah aktor (non-negara) yang memiliki
pengaruh besar terhadap timbulnya pola interaksi ekonomi dunia. Pola interaksi ekonomi antar-
aktor (Negara dan Non-Negara) dalam ruang lingkup internasional telah menciptakan sebuah
kondisi ekonomi global, kondisi inilah yang kemudian dikenal sebagai “Globalisasi Ekonomi”.
Globalisasi dalam bidang perekonomian diartikan sebagai suatu proses interkasi/kegiatan
ekonomi dan perdagangan, seluruh negara yang ada menciptakan sebuah kondisi perekonomian
global dan menciptakan sebuah pasar yang terintegrasi.4 Kemajuan dari globalisasi ekonomi
sangat erat kaitannya dengan tiga faktor pendorong; 1) kemunculan kaum kapitalis global atau
sering disebut sebagai Multi National Corporaton (MNC) yang menjadi semakin kuat serta
mampu beroperasi di berbagai belahan dunia, 2) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, 3)
adanya dukungan dari Negara-Negara Sedang Berkembang atas aksi ekspansi kaum kapitalis
global.5
Menurut Baghwati, globalisasi ekonomi juga diartikan sebagai sebuah bentuk penyatuan
dari berbagai sistem ekonomi kedalam lingkup internasional yang mencakup perdagangan,
masuknya modal asing dari berbagai investor, perusahaan multinasional dan juga korporasi.6
Fenomena dari praktek perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara dan perusahaan
internasioal hingga saat ini sebenarnya sudah menjadi aktifitas rutin para saudagar dan pelancong
jauh sebelum terbentuknya nation-state karena para saudagar dan para pelancong sudah
mempraktekan perdangan ke beberapa benua yang mereka kunjungi.7 Melihat dari praktek
perdagangan internasional yang dilakukan oleh para saudagar dari beberapa benua maka
keterbukaan dan kebebasan dalam perdagangan haruslah diiringi dengan aturan dan kesepakatan
antar-negara, sehingga arus perdagangan dari dalam ke luar negeri dan juga sebaliknya dapat
terbentuk secara struktural dan sistematis sehingga lebih terkontrol. Oleh karena itu sebuah
kesepakatan ataupun perjanjian dalam kerja sama ekonomi menciptakan sebuah organisasi 4 Budi Winarno.(2008). GLOBALISASI; Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Penerbit Erlangga. Hlm-xv5 Dr. Darsono Prawironegoro.(2006). Ekonomi Politik Globalisasi (Kajian Ekonomi Politik, Filsafat, dan Antropologi) Diadit Media. Hlm. 1216 Jagdish Baghwati.(2013) Membela Globalisasi, Melawan Okol dengan Akal”.IMR Press.7 Budi Winarno. (2008). GLOBALISASI; Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Penerbit Erlangga. Hlm. 1
3
internasional yang diharapkan bisa menjadi payung utama dalam mengayomi negara-negara
yang ikut di dalamnya, sejalan dengan terbentuknya sebuah organisasi internasional maka secara
tidak langsung akan mendukung terciptanya sebuah interaksi hubungan internasional antar-
negara.
D.W. Bowet mengatakan bahwa Organisasi Internasional adalah sebuah organisasi
permanen yang berdiri atas dasar sebuah traktat, yang selalu bersifat multilateral serta memiliki
kriteria yang disesuaikan dengan tujuan tertentu. J.G. Starke menyebutkan bahwa Organisasi
Internasional memiliki kesamaan posisi dalam konteks fungsional dari negara modern yang
memiliki hak, kewajiban, dan kekuasaan dan telah diatur oleh hukum konstitusi internasional.
Pengertian lain oleh Teuku May Rudy, mendefinisikan Organisasi Internasional sebagai sebuah
bentuk kerja sama yang telah melintasi batas-batas Negara dengan mendasarkan pada struktur
organisasi yang bertujuan untuk melaksanakan fungsinya demi tercapainya beberapa tujuan
bersama yang telah disepakati baik antar-pemerintah maupun antar-sesama kelompok non-
pemerintah.8
Secara garis besar, sebuah Organisasi Internasional bisa diklarifikasikan berdasarkan
keanggotaan, aktivias, cakupan teritorial, tujuan, sifat fungsi serta strukturnya. Melihat dari
keanggotaan, sebuah organisasi internasional bisa dibedakan menjadi organisasi internasional
yang beranggotakan wakil pemerintahan atau Intergovermental Organizations (IGO), dan yang
beranggotakan bukan dari wakil pemerintah yang disebut sebagai International Non-
Govermental Organizations (INGO).9 Menurut bentuk dan pola kerja sama, pembagian
organisasi internasional bisa dibagi menjadi dua: pertama, kerja sama aliansi institusional yang
dikenal sebagai institutiuonalized alliance seperti SEATO, NATO: kedua, kerja sama fungsional
seperti ASEAN, EU, PBB, LBB, APEC dan setiap bentuk kerja sama memiliki fungsi yang
berbeda-beda.10
Salah satu hal yang membuat sebuah negara bergabung dalam kerja sama internasional
adalah fungsi ekonomi. Dalam sebuah kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan
beberapa negara (negara maju dan negara berkembang) tentunya setiap negara anggota berharap
mendapatkan output positif dan hubungan timbal balik dari kerja sama tersebut. Indonesia 8 http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-18515-1-babi(p-).pdf Diakses pada 12 April 2015. Pkl 12.30 WIB.9 Clive Archer. (2001). International Organizations,3rd Edition. Routledge. Taylor& Francis e-Library. New York. Hal. 33 10 Ibdid. Hlm. 56
4
sebagai negara berkembang, tentunya membutuhkan bantuan negara maju agar dapat
meningkatkan kondisi perekonomian serta tingkat kesejahteraan dalam negeri melalui bantuan
teknologi, alat-alat modern, dan juga modal yang bisa didapatkan dari skema kerja sama
ekonomi internasional.11 IMF (International Monetary Fund), AFTA (Asean Free Trade Area),
APEC (Asia Pasific Economic Cooperation), ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah
contoh dari beberapa kerjasama ekonomi internasional yang diikuti oleh Indonesia.
Dari sekian banyak organisasi ekonomi yang ada, salah satu oraganisasi yang dibentuk
untuk pengembangan ekonomi adalah Asia-Pacific Economic Coorperation (APEC). APEC
merupakan sebuah organisasi internasional yang bergerak dalam bidang kerja sama
perekonomian. APEC adalah forum kerja sama antar 21 Ekonomi di lingkar Samudera Pasifik
yang berdiri tahun 1989. Saat ini terdapat 21 Ekonomi yang menjadi anggota APEC, yaitu
Australia, Brunei Darussalam, Canada, Chile, China, Hong Kong-China, Indonesia, Japan, South
Korea, Malaysia, Mexico, New Zealand, the Philippines, Peru, PNG, Russia, Singapore, Chinese
Taipei, Thailand, the United States, dan Viet Nam. Kerja sama di APEC merupakan kerja sama
non-politis, ditandai dengan keanggotaan Hong Kong-China dan Chinese Taipei. Anggota APEC
disebut “Ekonomi” mengingat setiap anggota saling berinteraksi sebagai entitas ekonomi, dan
bukan sebagai negara.12
Indonesia bergabung dengan APEC sejak pertama berdiri pada tahun 1989. Saat itu
Indonesia merasa bahwa kerjasama intra di kawasan Asia Tenggara masih kurang memenuhi
kepentingan dalam negeri. Dengan bergabungnya Indonesia dalam skema kerjasama APEC
diharapkan bisa meningkatkan kondisi perekonomian, meningkatkan jumlah dan kualitas ekspor-
impor baik sektor industri pengolahan, pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, dan
berbagai sektor barang dan jasa yang dimiliki Indonesia.13 Tingkat komoditas ekspor dari sebuah
negara yang berkesianmbungan dan semakin tumbuh dari tahun-ketahun menandakan bahwa
negara tersebut mampu menstabilkan kondisi perekonomian dalam negeri serta mampu
memaksimalkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Disisi lain dengan
11 http://www.artikelsiana.com/2015/03/Manfaat-Bentuk-Kerja-Ekonomi-Internasional.html#_ Diakses pada 4 Mei 2015. Pkl 17.35WIB12 http://apec.org/About-Us/About-APEC.aspx. Diakses pada 26 April 2015. Pkl 10.20 WIB13 Yuri O. Thamrin. Peran Indonesia di APEC Disesuaikan Dengan Kondisi Internasional. Tabloid Diplomasi 2012 http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/180-diplomasi-november-2012/1560-peran-indonesia-di-apec-disesuaikan-dengan-kondisi-internasional.html Diakses pada 26 April 2015. Pukul 05.04 WIB
5
meningkatknya permintaan expor baik barang dan jasa maka secara langsung akan meningkatkan
nilai mata uang dari negara yang bersangkutan.14
Pada saat perang dingin berakhir, kondisi perekonomian dunia mulai mengarah kepada
sebuah ideologi pasar bebas. Sebuah sistem pasar yang lebih mengandalkan pada persaingan
bebas antar-negara di dunia.15 Sebagai negara yang memiliki populasi dan luas wilayah yang
lebih besar dari negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia selalu berupaya untuk ikut andil
dalam sebuah kerjasama internasional. Sejak awal berdirinya APEC, Indonesia telah
memberikan sumbangan terbesarnya bagi sebuah organisasi APEC. Sebuah kebijakan yang
menjadi tumpuan bagi sebuah organisasi antar kawasan dan tentunya berpengaruh besar terhadap
semua negara anggota APEC (Ekonomi).16
Salah satu kebijakan yang dihasilkan dalam pertemuan tahunan KTT APEC adalah
mengenai keputusan Bogor Declaration yang juga dikenal sebagai kesepakatan Bogor Goals,
sebuah kesepakatan yang merupakan hasil dari pertemuan KTT APEC tahun 1994 di Bogor. Saat
itu Indonesia menjadi tuan rumah pertama kalinya bagi pertemuan yang di selenggarakan APEC
sejak dibentuk pada 1989. Pertemuan ini menghasilkan 11 (sebelas) poin utama pada Bogor
Declaration yang tentu semuanya bertujuan untuk memajukan kondisi perekonomian Ekonomi
APEC. Salah satu poin dalam deklarasi tersebut menyatakan bahwa;
8. Cooperative programs in this area cover expanded human resource
development (such as education and training and especially improving
management and technical skills), the development of APEC study centers,
cooperation in science and technology (including technology transfer), measures
aimed at promoting small and medium scale enterprises and steps to improve
economic infrastructure, such as energy, transportation, information,
telecommunications and tourism, with the aim of contributing to sustainable
development”17
14 Analisaforex.com – Faktor Yang Memperngaruhi Nilai Tukar Mata Uang. http://www.analisaforex.com/26/02/2014/faktor-yang-mempengaruhi-nilai-tukar-mata-uang/5305.html. Diakses pada 26 April. Pukul 04.55 WIB.15 Yuri O. Thamrin. Peran Indonesia di APEC Disesuaikan Dengan Kondisi Internasional. Tabloid Diplomasi 201216 http://hatta-rajasa.info/read/801/apec-dan-ekonomi-indonesia Diakses pada 26 April 2015. Pukul 05.10 WIB17 www.apec.org Diakses pada 26 April. Pukul 04.50 WIB.
6
Dari salah satu poin Bogor Declaration tersebut, APEC memulai untuk terus berusaha
menentukan sebuah skema ekonomi politik internasional yang diharapkan mampu meningkatkan
kondisi UMKM di semua Ekonomi APEC. Upaya KTT-APEC tersebut kemudian diwujudkan
dalam sebuah komitmen yang dari seluruh Ekonomi APEC yang terangkum dalam Bogor
Declaration yakni;
a) terciptanya sebuah liberalisasi perdagangan;
b) investasi yang terbuka pada tahun 2010 bagi ekonomi maju di kawasan Asia dan
Pasifik, dan target pencapaian 2020 bagi ekonomi berkembang,18
c) serta lebih memfokuskan kepada fasilitas bisnis, kerja sama ekonomi dan teknis.19
Komitmen Indonesia dalam Bogor Declaration yang diajukan pada kesepakatan APEC
tersebut tentu tak lepas dari kepentingan nasional untuk memajukan kondisi perekonomian
dalam negeri. Salah satu sektor yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia adalah sektor
UMKM. Sektor UMKM menjadi perhatian utama pemerintah Indoneisa karena pemerintah
melihat belum adanya sebuah landasan yang kuat bagi sistem perekonomian Indonesia, selain itu
kemampuan UMKM dalam menyerap tenaga kerja yang yang cukup besar menjadikannya
mampu bersaing dengan perusahaan besar yang ada di Indonesia yang notabene memerlukan
modal besar untuk mengembangkan perusahaan tersebut.20 Kemampuan UMKM yang mampu
bertahan dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi membuatnya hadir sebagai jawaban bagi
pemerintah Indonesia sebagai sektor yang patut untuk terus diberdayakan baik dari segi
pertumbuhan dan perkembangan pelaku UMKM itu sendiri.21
Menurut data yang dihimpun oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2009 UMKM
Indonesia mengalamai pertumbuhan yang sangat signifikan, pada satu periodisasi tahun 2008-
2009 UMKM telah mengalami pertumbuhan sebanyak 2,64% yang artinya jika dihitung dalam
jumlah angka maka UMKM tumbuh pada tahun 2008 dari 51.409.612 unit menjadi 52.764.603
unit pada tahun 2009. Tidak semua unit UMKM mengalami perkembangan dalam jumlah yang
18 Master-APEC at glance.doc. 3 Nov 2013. Hlm. 119 APEC’s Bogor Goals Progress Report; APEC Policy Support Unit. August 2012.20 Sudaryanto dan Anifatul Hanim. (2002). Evaluasi kesiapan UKM Menyongsong Pasar Bebas Asean (AFTA) : Analisis Perspektif dan Tinjauan Teoritis. Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, Vol 1 No 2, Desember 200221 Sudaryanto dan Anifatul Hanim. (2002). Evaluasi kesiapan UKM Menyongsong Pasar Bebas Asean (AFTA) : Analisis Perspektif dan Tinjauan Teoritis. Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, Vol 1 No 2, Desember 2002
7
banyak, karena ada beberapa unit UMKM yang juga hanya mengalami sedikit perkembangan.
Grafik berikut ini mengambarkan seberapa besar unit usaha mengalami perkembangan;
Diagram 1. Proporsi sektor ekomomi UMKM berdasarkan jumlah unit usaha tahun 2009
Sumber: BPS UMKM Tahun 2008-2009
Dari grafik yang dihimpun oleh BPS tersebut menunjukkan bahwa unit usaha yang
memiliki proporsi tersebar adalah bidang usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan,
sedangkan unit usaha yang memiliki proporsi terkecil adalah pada bidang usaha Listrik, Gas dan
Air Bersih. Dengan adanya perkembangan jumlah unit usaha di Indonesia, tentunya secara
langsung UMKM tersebut akan berkontribusi terhadap PDB, serta penyerapan tenaga kerja. Hal
ini tentu sangat membantu program pemerintah dalam upaya mengurangi jumlah pengangguran
serta membuktikan bahwa meskipun disebut sebagai “usaha kecil” tetapi UMKM memiliki
kontribusi besar terhadap kondisi perekoniman dalam negeri.
Untuk mengukur besarnya kontribusi UMKM terhadap PDB diperlukan sebuah patokan
dalam menentukan jumlah nilai pertumbuhan UMKM, dalam menentukan hal tersebut BPS
menggunakan harga berlaku dan harga konstan. Untuk mengetahui signifikansi UMKM dalam
kontribusinya kepada PDB di setiap tahunnya dibutuhkan penghitungan berdasarkan harga
konstan. BPS memilih tahun 2000 sebagai tahun konstan karena pada tahun tersebut BPS menilai
8
kondisi perekoniman Indonesia dalam kondisi yang stabil.22 Bila berdasarkan harga konstan
tahun 2000, UMKM menyumbang sebanyak Rp. 682,46 triliun atau setara dengan 58,17%
terhadap PDB nasional pada tahun 2009 dan meningkat sebanyak 4,20% dari tahun 2008. Grafik
berikut akan menjelaskan besarnya kontribusi UMKM terhadap PDB berdasar harga konstan
2000;
Diagram 2. Proporsi kontribusi UMKM dan Usaha Besar terhadap PDB Nasional
Menurut Harga Konstan 2000 (%).
Sumber: BPS UMKM Tahun 2008-2009
Kontribusi selanjutnya yang diberikan UMKM adalah terkait penyerapan tenaga kerja,
pada tahun 2009 sebanyak 96.211.332 orang mampu diserap UMKM sebagai tenaga kerja aktif
dari total keseluruhan dari status sosial, tingkat pendidikan serta jenis kelamin. Penyerapan
terbesar dipegang oleh UMKM sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan yang
mampu menyerap sebanyak 42.041.978 pekerja dari total penyerapan secara keseluruhan pada
tahun 2009. Penyerapan tenaga kerja ini meningkat sebanyak 0,77% dari tahun 2008.
Penyerapan selanjutnya dimiliki oleh sektor 2) Perdagangan, Hotel dan Restoran, 3) Jasa
swasta, 4) Pengangkutan dan Komunikasi, 5) Bangunan, 6) Keuangan, 7) Persewaan, dan Jasa
Perusahaan, 8) Pertambangan dan Penggalian, 9) Listrik, Gas, dan Air Bersih. Tabel berikut ini
22 PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Diakses dari http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/11 pada 22 April 2015, Pkl 03.30 WIB.
9
akan lebih mempermudah dalam menjelasan seberapa besar kontribusi UMKM terhadap
perkembangan jumlah penyerapan tenaga kerja.
Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja UMKM Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2009.
Sumber: BPS UMKM Tahun 2008-2009.
1.2 Identifikasi Masalah
Berbagai bentuk kerjasama ekonomi yang terjalin baik dalam satu kawasan regional
maupun lintas regional, bilateral dan juga multilateral dan APEC hadir sebagai sebuah kerjasama
multilateral yang bersifat lintas regional. Salah satu yang menjadi alasan dalam pemilihan
organisasi APEC pada penelitian ini adalah karena presentase dari negara-negara yang tergabung
dalam keanggotaan APEC. Dalam kerjasama Ekonomi APEC ada sebanyak 21 negara anggota
yang tergabung dalam kerjasama ini, dan negara-negara tersebut telah mewakili 41% populasi
dunia, dan tak kalah pentingnya adalah karena negara-negara tersebut memiliki banyak
berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian dunia. Sebanyak 49% dari perdagangan
internasional dihasilkan dari kerjasama APEC dan sebanyak 56% untuk Produk Domestik Bruto
dunia. Dari data presentase kenaggotaan APEC tersebut, maka akan sangat mudah bagi negara-
negara yang tergabung dalam kerjasama internasional ini untuk meningkatkan kondisi
perekonomian dalam Negeri.23
23 Diakses dari http://www.apec.org/About-Us/About-APEC.aspx pada 26 Arpil. 01.05 WIB.
10
Setiap negara berupaya meningkatkan kondisi perekonomian dengan melakukan berbagai
cara, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memajukan dan memfokuskan sebuah
kebijakan pada sektor UMKM. Anggota Ekonomi APEC memiliki persamaan persepsi dalam
menciptakan sebuah kebijakan yang mendukung pertumbuhan para pelaku UMKM serta
melancarkan segala arus barang dan jasa serta investasi yang berhubungan langsung dengan para
pelaku UMKM. Keyakinan dari para Ekonomi APEC berawal dari sebuah pertemuan para
menteri UMKM dari setiap perwakilan Ekonomi yang diselenggarakan pada tahun 1994.
Pertemuan ini menghasilkan sebuah badan sementara yang bertujuan untuk menciptakan sebuah
kerangka kebijakan APEC khusus untuk membantu meningkatkan kualitas serta memberikan
fasilitas pendanaan melalui arus investasi langsung bagi para pelaku UMKM agar mampu
bersaing di pasar terbuka (pasar internasional). Pada bulan Februari 1995, badan ini kemudian
disebut dengan Ad Hoc Policy Level Group on SME’s (PLGSME).24 Lima tahun pasca
pembentukan badan Ad Hoc tersebut, pada tahun 2000 para Ekonomi APEC menyepakati untuk
merubah nama dan mengukuhkan keberadaan badan tersebut menjadi Small and Medium
Enterprises (SMEWG) atau APEC's Small and Medium Enterprises Working Group (SMEWG).
Pembentukan Forum APEC’s SMEWG telah membuktikan keseriusan organisasi APEC
dalam mengembangkan sektor UMKM, sektor yang telah lama menjadi penggerak bagi roda
perekonomian dalam skema kerjasama regional APEC. Pertemuan SMEWG memiliki pertemuan
rutin yang digelar setiap tahun sejak 1994. Dalam upayanya menumbuhan peran UMKM,
SMEWG memiliki beberapa prosedur dan sebuah kerangka tersendiri. Kerangka ini dicetuskan
pada tahun 1997 yang dikenal dengan Framework for SME Activities, kerangka ini menjadi
sebuah titik tumpu bagi terciptanya sebuah Plan of Action for SME Development (SPAN
1998/2002) yang juga menjadi cikal bakal sebuah Strategic Plan dalam Forum SMEWG.25
Dalam proses tahap pembangunan ekonomi di Indonesia, sektor UMKM selalu
digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting walaupun sebagian besar jumlah
penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik disektor
tradisional maupun modern namun ia mampu berkembang dan bertahan dari gesekan krisis
24 Small and Medium Enterprises dalam http://www.apec.org/Groups/SOM-Steering-Committee-on-Economic-and-Technical-Cooperation/Working-Groups/Small-and-Medium-Enterprises.aspx. Diakses pada 7 Mei 2015. Pkl 04.14WIB.25 SMEWG Strategic Plan 2013-2016. 35th SMEWG Meeting, St. Petersburg, Russia. 1-2 August 2012. Hal. 1
11
ekonomi yang melanda dunia pada tahun 2008.26 Peranan pelaku UMKM tersebut menjadi
bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh
beberapa departemen; Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta Departemen Koperasi
dan UMKM. Namun demikian usaha pengembangan yang telah dilaksanakan masih belum
memuaskan hasilnya, karena pada kenyataannya kemajuan UMKM sangat kecil dibandingkan
dengan kemajuan yang sudah dicapai Usaha Besar.27 Pelaksanaan kebijaksanaan UMKM oleh
pemerintah selama Orde Baru, sedikit saja yang dilaksanakan, lebih banyak hanya merupakan
semboyan saja, sehingga hasilnya sangat tidak memuaskan. Pemerintah lebih berpihak pada
pengusaha besar hampir disemua sektor, antara lain : perdagangan, perbankan, kehutanan,
pertanian dan industri.28
Dari data yang dihimpun oleh Kementerian Koperasi UMKM menyebutkan bahwa, pada
tahun 2011 UMKM berperan penuh terhadap pembentukan total nilai ekspor non-migas
mencapai Rp.187,4 triliun atau 16,44% dari total nilai ekspor non-migas. Kontribusi lain datang
dari Usaha Mikro (UMi) tercatat sebanyak Rp.17,2 triliun atau 1,51% dan Usaha Kecil (UK)
mencapai angka Rp.39,3 triliun atau 3,45%. Sedangkan Usaha Makro (UM) tercatat sebesar
Rp.130,9 triliun atau 11,48%.29
Hingga saat ini, APEC mencacat bahwa sektor UMKM mampu mencapai angka 97%
dari semua jumlah wirausaha dan mampu menyerap setengah dari total jumlah pekerja yang
terdaftar di setiap Ekonomi APEC dan dari segi penyumbangan angka tingkat Product
Domestic Bruto (PDB), UMKM telah tumbuh dari 20% menjadi 50% bagi sebagian besar
anggota Ekonomi APEC. Itu artinya pelaku UMKM mampu menunjukkan kemampuannya
dalam bersaing di pasar global serta mampu meningkatkan PDB dalam negeri Ekonomi anggota
APEC.30 Melihat angka yang mampu dicapai oleh para pelaku UMKM tersebut maka APEC
semakin yakin dan terus berupaya menciptakan sebuah kebijkan dan inovasi baru yang lebih
26 Ina Primiana (Guru Besar FE Unpad). Masihkah UKM Kebal Krisis Global? :dalam Analisis, Headline http://www.infobanknews.com/2011/10/masihkah-ukm-kebal-krisis-global/. Diakses pada 7 Mei 2015. Pkl.12.05 WIB27 Faisal H. Basri.(2002). Perekonomian Indoneisa; Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Bangsa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hlm. 210-201128 Ibid. Hlm. 20729 Laporan dari Statistik UMKM dari Kementrian Koperasi dan UMKM tahun 2010-2011. Hlm. 1230 Small and Medium Enterprises dalam http://www.apec.org/Groups/SOM-Steering-Committee-on-Economic-and-Technical-Cooperation/Working-Groups/Small-and-Medium-Enterprises.aspx. Diakses pada 7 Mei 2015. Pkl 04.17WIB.
12
pro-UMKM demi kemajuan dan ketahanan APEC dalam menghadapi perusahaan-perusahaan
besar di kancah pasar internasional.
1.3 Pembatasan Masalah
Topik bahasan dampak keanggotaan Indonesia dalam forum SMEWG APEC terhadap
pelaku UMKM Indonesia akan ditelaah dalam beberapa koridor batasan masalah agar lebih
memfokuskan pembahasan dan memudahkan dalam mengarahkan sistematika pembahasan.
Batasan-batasan yang akan diangkat dalam penelitian ini antara lain;
1. Berbagai forum yang digelar APEC pada setiap pertemuan memiliki pokok bahasan
masing-masing yang bertujuan untuk lebih memfokuskan pembahasan dan mengarahkan
setiap anggota Ekonomi APEC yang bergabung di dalamnya. Forum Small Medium
Enterprises Working Group APEC (SMEWG-APEC) menjadi batasan yang tepat untuk
mengkaji dampak kebijakan ekonomi yang dihasilkan terhadap pelaku UMKM setiap
Ekonomi APEC yang tergabung dalam forum tersebut termasuk Indonesia. Forum
SMEWG-APEC memiliki misi tersendiri dalam meningkatkan kualitas dan produktifitas
UMKM, forum ini dibentuk dengan tujuan menciptakan sebuah kebijakan khusus untuk
menangani UMKM, berbagai kebijakan yang bisa meningkatkan pertumbuhan baik dari
sisi kuantitas juga kuantitas serta memberikan akses kemudahan bagi UMKM untuk lebih
siap dalam menghadapi pasar internasional.31
2. Hingga saat ini APEC memiliki 21 anggota Ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia
Pasifik. Pada tahun 2008, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam total jumlah
UMKM di setiap anggota Ekonomi APEC yakni sebanyak 51,257,537 unit UMKM,
sedangkan Rusia menduduki peringkat kedua dalam jumlah UMKM atau sebanyak 92%
dari jumlah yang dimiliki Indonesia (99,99%). Meskipun Kanada, Korea dan Amerika
Serikat pun memiliki jumlah UMKM yang cukup besar namun lain halnya dengan
Indonesia yang mampu menyerap hingga 97% dari proporsi total jumlah pekerja.32
Kondisi inilah yang menjadi perhatian khusus dalam pemilihan Pelaku UMKM dan
31 APEC Policy Support Unit. SME Market Access and Internalization; Medium-term KPIs for the SMEWG Strategic Plan. June 2010. Hlm 1.
13
Indonesia sebagai Ekonomi anggota APEC yang tergabung dalam forum SMEWG-APEC
untuk bisa dijadikan fokus penelitian.
3. 21 anggota Ekonomi yang ada di APEC merupakan kumpulan dari berbagai negara dan
bangsa yang ada di kawasan Asia-Pasifik. Data yang disebutkan oleh World Bank tahun
2011, dari anggota ASEAN yang masuk dalam APEC Indonesia menduduki peringkat
pertama dalam perihal minimum capital to start a business, yakni 53,1% dari total
pendapatan perkapita.33 Artinya, tingginya tingkat minimum capital ini selalu dikaitkan
dengan dua hal, pertama kemudahan akses keuangan atau pendanaan bagi para
pengusaha UMKM pada saat mengawali usaha, dan kedua terkait serta sistem proteksi
pemerintah terhadap para investor (shareholders). Dengan keikutsertaan Indonesia dalam
forum SMEWG- APEC diharapkan dapat mendukung pemerintah Indonesia untuk turut
serta memberikan kemudahan bagi para pelaku UMKM serta mendapatkan kemudahan
mendapatkan modal demi keberlangsungan produksi yang mereka miliki.
4. SMEWG-APEC memiliki agenda 4 (empat) tahunan yang dikenal dengan APEC SMEWG
Strategic Plan. Agenda tersebut di mulai semenjak tahun 1998 dan baru diresmikan sejak
terbentuknya SMEWG Strategic-Plan 2009-2012, agenda ini memiliki dampak yang
signifikan terhadap kondisi UMKM di setiap anggota Ekonomi APEC hingga berlanjut
kepada agenda yang terakhir disepakati adalah tahun 2013-2016. Pemilihan tahun 2009-
2014 bertujuan untuk memfokuskan kajian penelitian dan memudahkan dalam mengukur
pertumbuhan UMKM serta pengaruh dari keanggotaan Indonesia dalam forum SMEWG-
APEC. Selain itu pemilihan tahun tersebut juga bisa memfokuskan penilitian dalam
mengukur sejauh mana SMEWG Strategic Plan diaplikasikan oleh anggota Ekonomie
APEC.
1.4 Perumusan Masalah
32 APEC Policy Support Unit. SME Market Access and Internalization; Medium-term KPIs for the SMEWG Strategic Plan. June 2010. Hlm. 4-5.33 The World Bank. Doing Business 2011: Making a Difference for Entrepreneurs
14
1. Bagaimana dampak keanggotaan Indonesia dalam Small Medium Enterprise Working
Group APEC (SMEWG APEC) terhadap pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) Indonesia?
2. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat keanggotaan Indonesia pada
Small Medium Enterprises Working Group APEC (SMEWG APEC) dalam
mengimplementasikan kebijakan terkait pertumbuhan UMKM Indonesia?
1.5 Tujuan dan kegunaan penelitian
Tujuan Penelitian;
1. Untuk mengetahui besarnya dampak dari keanggotaan Indonesia dalam Forum Small
Medium Enterprise Working Group APEC (SMEWG APEC) terhadap pelaku Usaha
Kecil Menengah (UMKM) Indonesia periode 2009-2014
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat keanggotaan Indonesia pada Small
Medium Enterprises Working Group APEC (SMEWG APEC) dalam
mengimplementasikan kebijakan terkait pertumbuhan UMKM Indonesia.
3. Untuk menerapkan beberapa teori dan konsep dalam ilmu Hubungan Internasional yang
terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam topik penulisan skripsi ini.
15
Kegunaan penelitian:
1. Agar dapat memahami lebih dalam dampak yang ditimbulkan dari keanggotaan Indonesia
dalam Forum SMEWG-APEC terhadap pelaku UMKM serta mengetahui beberapa faktor
pendukung dan penghambat yang dihadapi Indonesia demi meningkatkan kondisi pelaku
UMKM.
2. Agar bisa menjadi referensi dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai topik
bahasan yang lebih mendalam.
3. Agar bisa menjadi pelajaran dan pengalaman bagi penulis dalam menyelesaikan tugas
penulisan skripsi jurusan Hubungan Internasional.
1.6 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan beberapa teroi dan konsep yang diharapkan bisa menjadi
acuan dalam menganalisa dan memperdalam permasalahan yang diangkat. Maupun teori dan
konsep yang akan digunakan di dalam menjawab Research Questions yang telah ditetapkan di
dalam penelitian ini antara lain:
Neoliberal Institutionalism
Para pemikir dari kaum Neoliberal Institusional merupakan sebuah pembaharuan
pemikiran dari perspektif liberalisme dalam kajian Hubungan Internasional. Perkembangan dan
pembaharuan pemikiran Neoliberal terletak pada ketidaksamaan kaum liberal dan neoliberal
dalam memandang perilaku manusia. Bila pendahulunya lebih mengannggap bahwa manusia
selalu bersifat baik maka kaum neoliberal lebih “rasional” dalam memandang sifat dan perilaku
manusia, sehingga neoliberal menyatakan bahwa manusia tidak sutuhnya bersifat baik dan
memiliki keinginan baik. Dalam buku Samuel Barkin lebih menggunakan pendekatan
“rationalist” untuk menjelaskan keinginan, sifat dan karakter manusia.34 Dalam kajian hubungan
internasional, sifat dan karakteristik manusia ini diartikuliasikan menjadi sifat dari sebuah
negara. Sehingga para pemikir neoliberal pun mengganggap bahwa untuk mencapai perdamaian
dunia maka setiap negara haruslah menjalin sebuah kerjasama.35 Namun dalam sebuah kerjasama
34 J. Sauel Barkin.(2006). International Organization: Theories and Institutions. Palgrave Machmilan. New York. Hlm. 39-40.35 http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html Diakses pada 12 Mei 2015, Pkl. 22.47 WIB
16
internasional yang diikuti, negara tetaplah bersifat rasional dan egois, hal ini dibuktikan dengan
sikap negara yang lebih mementingkan kepentingan nasional serta lebih condong kepada sebuah
kerjasama yang dapat menguntungkan negara tersebut. Artinya, negara sebagai aktor yang
bertindak secara rasional akan lebih cenderung kepada sikap negara yang selalu menghitung
dengan sangat teliti serta memperkirakan keuntungan dan kerugian dari sebuah kerjasama demi
tercapainya kepentingan nasional masing-masing negara bahkan, terkadang aktor negara akan
melakukan cara-cara yang terkesan egois untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal
(absolute gain).
Trade Liberalizations
Konsep Free Trade, Investment, dan technology sangatlah dibutuhkan keberadaannya
untuk bisa menguatkan sebuah negara ataupun perusahaan dalam proses distribusi antar-negara.
Perdagangan bebas yang juga mengadopsi pemikiran dari Trade Liberalitation sudah diterapkan
di setiap bentuk kerjasama perekonomian yang ada. Sistem ini sangat menjunjung tinggi
pemberlakuan sistem non-tariff barriees, sebuah sistem perdagangan internasional yang tidak
memberlakukan tarif pada kegiatan ekspor-impornya. Negara anggota yang masuk kedalam
sebuah lembaga kerjasam ekonomi dunia akan mendapatkan keringanan dalam biaya
pendistribusian barang. Sehingga harga barang tidak terlampau tinggi karena adanya penekanan
terhadap segi pemberlakuan pajak bea cukai yang terlalu tinggi. Konsep dari perdagangan bebas
merupakan sebuah manifestasi dari konsep General Agreement of Tariffs and Trade (GATT)
yang dibentuk pada tahun 194736.
Sebuah kerjasama ekonomi yang ada dalam kawasan maupun lintas kawasan memiliki
tujuan masing-masing. Namun secara umum kerjasama tersebut diharapkan bisa memberi
manfaat bagi negara anggota yakni dengan menciptakan kesempatan kerja, harga barang dan jasa
menjadi semakin murah, dan meningkatkan kemampuan industri lokal untuk berpartisipasi dan
bersaing dalam pasar internasional. Keberadaan pasar global adalah sebagai wadah persaingan
negara oleh karena itu ciri utama dari pasar global adalah terdapat integrasi. Aktor-aktor yang
bermain di dalamnya pun tidak hanya sebatas antar negara, terjadi beberapa hubungan yang
saling memperngaruhi satu sama lain. Pertama hubungan tradisional antar negara, kedua 36 Yanai, Akiko, Characteristic of APEC trade liberalization; A compare analysis with the WTO (tanpa tahun), Hlm. 11.
17
hubungan negara dengan pasar global dan ketiga adalah hubungan antara individu dengan
negara.37 Intergrasi ini memaksa setiap negara untuk bisa lebih produktif dalam menghadapi
globalilsai agar tidak tergerus dengan negara lain yang menjadi pesaingnya.
Iklim perdagangan bebas yang ada menjadikan persaingan dari setiap perusahaan
semakin pesat. Persaingan pun terjadi dalam bidang penanaman investasi asing dan teknologi
yang di rahkan demi meningkatkat produksi dan melancarkan pemasaran hasil produksi. Dalm
hal ini dibutuhkan keberadaan pemerintah sebagai institusi yang menopang persaingan industri
lokal untuk selalu meningkatkan daya saing, memberikan motivasi bagi sektor usaha dan bisnis
demi terciptanya pertumbuhan industri nasional.
National Interest
Sebuah kebijakan yang dirumuskan oleh setiap pemimpin negara tentulah tak lepas dari
sebuah kepentingan nasional yang menjadi pedoman utama. Kepentingan nasional sebuah negara
bisa menjadi acuan utama dalam menentukan sikap negara yang di aplikasikan ke dalam
kebijakan luar negeri. Kepentingan nasional pun juga menjadi pegangan bagi pemangku
kebijakan pada proses pengambilan kebijakan dalam konteks politik internasional, perjanjian
atau kerjasama internasional lainnya. Sehingga dengan adanya kepentingan nasional, negara
akan mudah menentukan arah kebijakan juga menempatkan posisi negara demi tercapainya
sebuah kepentingan nasional. Konsep kepetingan nasional menjadi sangat penting untuk
digunakan sebagai landasan utama penelitian dalam mengkaji sikap aktor negara. Morgenthau
menjelaskan bahwa, kepentingan nasional adalah hasil dari beberapa kebijakan pokok yang
direalisasikan dalam sebuah politik luar negeri baik itu bersifat kerjasama dan juga bisa bersifat
kekerasan.38
Kebijakan luar negeri pemerintah yang bersifat kerjasama ditunjukkan dengan
bergabungnya sebuah negara ke dalam beberapa kerangka organisasi ekonomi internasional, baik
kerjasama bilateral maupun multilateral. Dengan berlandaskan sebuah kepentingan nasional,
negara akan mengikuti kerjasama-kerjasama yang dirasa dapat memenuhi kepentingan
nasionalnya. Proses selanjutnya adalah pengaplikasian hasil dari perjanjian internasional menjadi 37 Rudy, T. May.2003. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global. Bandung: PT. Refika Aditama. Hlm. 3938 Mohtar Maso’ed.1990. Ilmu Hubungan Internasional: disiplin dan metodologi. Jakarta: PT Pustaka LP3ES. Hlm. 142
18
sebuah kebijakan-kebijakan domestik dalam negeri. Untuk mengaplikasikan sebuah perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional, terlebih dahulu negara akan menyatakan kesepakatan
dan mengikatkan diri pada suatu penjanjian. Kedua proses tersebut harus melalui tahap
penandatanganan (signature) kemudian pengesahan (ratification).39 Untuk bisa menjelaskan
penyebab munculnya ratifikasi dan bagaimana proses ratifikasi tersebut bisa diterapkan dalam
kebijakan nasional maka terlebih dahulu kita pahami sebuah payung hukum yang dijadikan
pedoman negara-negara dalam melakukan kerjasama internasional.
Konsep Ratifikasi
Perjanjian internasional terbentuk atas dasar kemauan dari beberapa negara yang
kemudian dituangkan ke dalam sebuah persetujuan perjanjian internasional baik dalam kerangka
perjanjian bilateral maupun multilateral yang skema organisasi internasional. Perjanjian
internasional ini diterapkan berdasarkan konvensi internasional, dan Viena Convention 1969
tentang Perjanjian Internasional adalah konvensi dasar dari perjanjian internasional. Dalam
Konvensi Wina tersebut perjanjian internasional didefinisikan sebagai:
“Treaty means an international agreement governed by international law and concluded in
written form:
(i) between one or more States and one or more international organizations; or
(ii) between international organizations, wether that agreement is embodied in a single
instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation”
“Treaty means an international agreement concluded between States in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or
more related instruments and whatever its particular designation.”40
Definisi tersebut kemudian dikembangkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yakni:
39 Boer Mauna.2005. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni. Hlm. 116-11840 Konvensi Wina 1969 pasal 2 ayat 1 .
19
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang
diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional dan subjek hukum
internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik
Indonesia yang bersifat hukum publik”.41
Bila melihat pada semua definisi yang dijelaskan, pada dasarnya definisi tersebut hanya
menyebutkan negara sebagai aktor/subjek tunggal sebagai pelaku dan tidak menyebutkan aktor
lain sebagai subjek hukum dan perjanjian internasional dan prosedur perjanjian internasional
adalah yang sifatnya tertulis bukan hanya sekedar hasil dari kesepakatan atau wacana
perbincangan antar wakil negara (subjek hukum internasional). Meskipun demikian, perjanjian
internasional pada hakekatnya merupakan sumber utama atas terciptanya sebuah Hukum
Internasional, karena dalam perjanjian internasional terdapat beberapa instrumen yuridik yang
berisi kepentingan dan persetujuan dari masing-masing negara yang bertujuan untuk mencapai
kepentingan bersama.42
Poses pembuatan sebuah kesepakatan atau perjanjian bersama haruslah mengikuti
beberapa tahap dan prosedur tertentu, dan setiap organisasi internasional memiliki standar
prosedur yang berbeda yang harus diikuti oleh anggota negara yang tergabung di dalamnya.
Menurut Boer Mauna, sebuah perjanjian harus melalui proses yang kompleks serta
membutuhkan rentan waktu yang tidak cepat, prosedur tersebut meliputi; 43
a) Pembuatan sebuah kesepakatan internasional diawali dengan menentukan negara
yang memiliki hak dan wewenang dalam membuat sebuah kesepakatan (treaty-
making power);
b) Menunjuk wakil-wakil dari negara anggota untuk turut serta merundingkan
kesepakatan. Tidak setiap individu dapat mewakili perundingan tersebut karena
para wakil negara telah diberi kekuasaan penuh (full powers) yang ditandai
dengan adanya bukti surat resmi/surat kuasa dari pemimpin negara (presiden)
yang bersangkutan.41 Boer Mauna.2005. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.84-85.42 Ibid. 43 Ibid. Hlm. 83
20
Sedangkan proses pembuatan perjanjian internasional melalui beberapa tahap, yakni:
1. Perundingan (negotiation);
2. Penandatanganan (signature);
3. Pengesahan (ratification);
Tidak semua perjanjian internasional melalui tiga tahap tersebut, karena ada juga
perjanjian internasional yang hanya melalui dua tahap, perundingan serta penandatanganan saja
dan bisanya hal tersebut terjadi pada perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral baru disahkan saat
setelah pertukaran piagam pengesahan atau setelah adanya pemberitahuan kepada kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian bahwa prosedur-prosedur yang dibutuhkan untuk
mengesahkan perjanjian bilateral sepenuhnya sudah disepakati. Untuk perjanjian multilateral,
perjanjian baru berlaku pada saat negara telah menyimpan piagam ratifikasi yang telah ditanda-
tangani dan menyerahkannnya pada pemerintah negara penyimpan atau kepada Sekertaris
Organisasi Internasional yang mengadakan perjanjian/konferensi tersebut.44
Prosedur-prosedur yang sudah dipenuhi oleh setiap negara akan diadopsikan ke dalam
undang-undang terkait perjanjian yang disahkan. Dalam prakteknya, setiap negara tidak secara
langsung memberlakukan hukum perjanjian internasional pada tingkatan hukum nasional oleh
pengadilan-pengadilan ataupun badan yang berhak mengeluarkan kebijakan terkait perjanjian
hukum internasional yang telah disepakati. Untuk memahami proses tersebut J.G. Starke
memberikan teori “Specific Adoption” dan teori delegasi “the delegation theory”.
Kaum positivis beranggapan bahwa dalam proses penerapan asas-asas mendasar dari
hukum internasional tidak dapat diterapkan langsung atau ex proprio vigore diberlakukan di
dalam lingkungan nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional atau oleh siapapun, oleh karena
itu untuk dapat memberlakukan kaidah, asas yang menjadi rumusan hukum internasional harus
melalui proses adopsi khusus (specific adoption) oleh badan yang yang sah dan memiliki
legitimasi. Hal tersebut merupakan cerminan bahwa kaum positivis menganut paham dualisme
yang membedakan kedudukan hukum internasional dan hukum nasional, baik secara sistem
maupun struktural.
44 Boer Mauna.2005. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni. 84
21
Teori lain yang dijelaskan oleh J.G. Starke terkait hubungan hukum internasional yang
diaplikasikan ke dalam hukum nasional adalah the delegation theory. Teori ini muncul dengan
asumsi:
“…ada suatu pendelegasian kepada setiap konstitusi negara oleh kaidah-kaidah
konstitusional dari hukum internasional yaitu hak-hak untuk menentukan kapan
ketentuan-ketentuan suatu traktat atau konvensi berlaku dan bagaimana cara
ketentuan tersebut dimasukkan ke dalam hukum nasional.”45
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak semua hasil konvesi yang
dilakukan oleh negara harus sepenuhnya diterapkan dalam hukum nasional secara langsung.
Karena meskipun suatu perjanjian mempuanyai kekuatan hukum dan bersifat mengikat oleh
pihak yang menandatangani, namun dalam prakteknya setiap negara memiliki hak untuk
mengatur kembali proses dan prosedur-prosedur yang sesuai dengan kepentingan nasional negara
dan disesuaikan dengan hasil kesepakatan internasional yang telah sah ditandatangani.46
Sebagai anggota organisasi internasional serta negara yang berdaulat, Indonesia turut
serta dalam berperan aktif menjalin hubungan luar negeri serta membuat perjanjian-perjanjian,
baik bilateral, multilateral ataupun kerjasama regional seperti ASEAN dan APEC. Untuk
mengatur perjanjian luar negeri tersebut pemerintah Indonesia mendasarkan kepada UU 1945
Pasal 11 serta Surat Presiden No. 2826/HK/1960 sebagai landasan hukum dalam membuat dan
mengesahkan perjanjian internasional.47 Para pemangku kebijakan melihat bahwa dasar hukum
tersebut tidak lagi relevan dan bisa menimbulkan simpang siur dalam menafsirkannya. Sehingga
pada tahun 2000 beberapa pihak mengadakan revisi UU dan perjanjian internasional dan
mengesahkannya menjadi UU No. 24 Tahun 2000.48
Pasal 10 Undang-undang No.24 Tahun 2000 memberikan klasifikasi perjanjian yang bisa
disahkan oleh pemerintah dalam perjanjian internasional, pengkalisifikasian perjanjian
berdasarkan pada materi perjanjian dan tidak lagi berdasarkan pada nama perjanjian
45 J.G Starke.1989. Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi ke-10. Terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Sinar Grafika; Jakarta. Hlm. 102.46 Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni. 16647 Ibid. Hlm. 17848 Boer Mauna.2005. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni. Hlm. 181
22
(nomenclature) bertujuan untuk memastikan kejelasan hukum dan membedakan keseragaman
bentuk pengesahan perjanjian internasional sehinga akan mempermudah bagi presiden dalam
menunjuk wakil negara serta menunjuk pemangku kebijakan dalam memutuskan sebuah
perjanjian internasional. Klasifikasi tersebut adalah:
a. Masalah politik , perdamaian , dan keamanan negara;
b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
d. Hak asasi manusia dan lin gkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru ;
f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri.
Beberapa hal yang tidak tercantum dalam klasifikasi tersebut kemudian telah diatur
dalam pasal 11 ayat 1 yang menyebutkan bahwa: perjanian-perjanjian yang memerlukan
pengesahan Presiden sebelum mulai diberlakukannya penjanjian tersebut biasanya merupakan
perjanjian yang bersifat prosedural, tidak memerlukan waktu yang lama, serta tidak
mempengaruhi peraturan-peraturan tetap yang telah disahkan dalam undang-undang nasional.
Perjanjian tersebut adalah perjanjian yang berkaitan dengan; perjanjian induk yang menyangkut
kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan,
kebudayaan, pelayaran, niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerjasama perlindungan
penanaman modal, serta perjanjian –perjanjian yang bersifat teknis.49
Bila dikaitkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang digelar dalam organisasi
internasional APEC, maka jenis-jenis perjanjian, prosedur pembuatan sebuah kesepakatan yang
ada memiliki kesamaan dengan sifat perjanjian yang dilakukan anggota Ekonomi APEC dalam
setiap pertemuan APEC, baik dalam pertemuan SOM, Working Group, maupun KTT APEC.
Oleh karena itu teori dan konsep di atas diharapkan mampu menjadi pisau analisa untuk
mengetahui besarnya pengaruh yang ditimbulkan dari keanggotaan Indonesia dalam forum SME-
WG APEC terhadap pertumbuhan UMKM di Indonesia.
49 Jenis-jenis perjanjian tersebut adalah jenis perjanjian yang dijelaskan dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000, Pasal 11 ayat 1.
23
1.7 Metodologi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendukung pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini, metode pelelitian yang
akan digunakan akan berdasar pada metode penelitian deskriptif analitik. Penelitian ini akan
menjelaskan sebuah fenomena-fenomena hubungan internasional yang memiliki keterkaitan
dengan bahasan penelitian. Metode deskriptif analitis digunakan untuk menguraikan sebuah
fenomena kemudian menganalisa dan mendeskripsikannya ke dalam sebuah tulisan.50 Beberapa
pokok bahasan yang ada dalam penelitian ini dikaji menggunakan teori dan/atau konsep yang
telah disebutkan dalam kerangka pemikiran dan perlu mendeskripsikan dan mengeksplorasi
sebuah fenomena hubungan internasional sebagai upaya dalam mengembangkan dan
menerepkan teori-teori hubungan internasional. Dari proses tersebut, kemudikan diharapkan
mampu menghasilkan sebuah penelitan deskriptif analisis yang menjelaskan keterkaitan antara
beberapa variabel dengan teori-teori terkait.
Penelitian yang diambil bersifat penelitian kualitatif, penelitian ini memiliki karakteristik
tersendiri pada saat menjalani proses pengumpulan, penyusunan, serta pendeskripsian beberapa
data dan fenomena yang di temukan kemudian menganalisanya. Dalam upaya mengumpulan
data premier dan sekunder, teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan teknik studi
pustaka, literature review yakni bersumber dari;
Buku-buku, jurnal-junal, majalah, koran lokal dan juga internasional, serta diktat kuliah.
Data-data tertulis yang berbentuk elektronik berupa e-book dan website dan informasi
elektronik lainnya yang dapat membantu dalam mengumpulkan data sekunder yang
sesuai dengan topik pembahasan dalam menyelesaikan penelitian ini.
50 Elly Lestari Pembayun.2013. One Stop; Qualitative Research Methodology In Communication; Konsep, Panduan, dan Aplikasi. Lentera Ilmu. Jakarta. Hlm. 10.
24
BAB II
SME-WG SERTA KAITANNYA DENGAN UPAYA PENGEMBANGAN UMKM
2.1 Profil APEC dan SME-WG
APEC adalah sebuah kerjasama ekonomi internasional yang fokus kepada permasalahan
dan topik terbaru khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Saat awal berdiri, kerjasama ini hanya
beranggotakan 12 anggota. Kerjasama yang dibentuk di Canberra tahun 1989 ini kini memiliki
21 anggota Negara yang disebut sebagai Member Economies. Anggota economies tersebut yakni;
United States; Australia; Brunei Darussalam; Canada; Chile; China; Hong Kong, China;
Indonesia; Japan; Malaysia; Mexico; New Zealand; Papua New Guinea; Peru; The Philippines;
Russia; Singapore; Republic of Korea; Chinese Taipei; Thailand; and Viet Nam. APEC
bertujuan untuk memfasilitasi negara-negara untuk dapat mengembangkan kondisi
perekonomian, kerjasama, perdagangan serta mempermudah arus investasi ke seluruh Economies
di kawasan Asia-Pasifik.51
Gambar 1. Anggota Ekonomi APEC beserta tahun berdiri dan GDP
51 http://www.state.gov/p/eap/regional/apec/ Diakses pada 19 Mei 2015. Pkl 23.50 WIB
25
Tabel tersebut menunjukkan bahwa APEC merupakan organisasi internasional yang
besar karena Negara anggota APEC juga sebagian besar adalah Negara anggota ASEAN dan
mayoritas Negara yang tidak bergabung dengan European Union (EU). Selain itu, bila dilihat
dari signifikansi dan besarnya anggota Ekonomi, APEC juga menjadi organisasi yang
memainkan peran penting dalam pembentukan kerjasama pasar bebas khsusunya untuk skala
regional Asia dan Pasifik.52 Sesuai dengan tujuan awalnya, forum APEC terus berupaya
mewujudkan sebuah agenda penting yakni “free and open trade and investment” di dalam
kawasan regional.
APEC yang dikenal saat ini merupakan hasil dari berbagai proses yang lama. Gagasan
awal pembentukan organisasi kerjasama APEC telah dikemukakan oleh Perdana Menteri
Australia, Bob Hawke saat melakukan presentasi di hadapan 12 negara pendiri APEC pada 13
Januari 1989.53 Namun sebenarnya, ide pembentukan komunitas Asia-Pasifik telah dicanangkan
lebih dari 40 tahun lalu. Sir John Crawfod dan Dr. Saburo Okita adalah dua orang teknokrat
yang menyumbangkan gagasan dalam pembentukan organisasi regional di Benua Asia dan
Pasifik. Saat itu, di tahun 1980, Sir John Crawfod dan Dr. Saburo Okita telah meyakinkan ide
dan gagasannya kepada masing-masing perdana menteri mereka, Masayoshi Ohira dari pihak
Jepang dan John Malcolm Fraser dari pihak Australia. Keduanya diminta untuk mengadakan
konferensi yang bertujuan untuk menyampaikan gagasan atas pembentukan organisasi regional
kemudian mendiskusikannya. Konferensi tersebut dikenal sebagai “The Pacific Community
Seminar”, konferensi yang digelar di Canberra ini juga ikuti oleh perwakilan Amerika Serikat,
Richard Holdbrook.54 Konferensi tersebut tidaklah berjalan mulus seperti yang diharapkan
namun Negara-negara yang ikut setuju akan ide pembentukkan organsasi regional. Dua tahun
kemudian, konferensi digelar kembali di Thailand atas permintaan Australia serta dukungan
finansial dari Jepang terbentuklah sebuah organisasi Pacific Economic Cooperation Council
(PECC).
PECC inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan APEC karena PECC terus
menjaga ide awal hingga tahun 1989 pertemuan para menteri kembali digelar. Pertemuan yang
52 Akiko Yanai.2004. Characteristic of APEC trade liberalization; A comporative analysis with the WTO dalam Trade Liberalization and APEC. Routledge. London. Hlm. 53 Diakses dari http://www.apec.org/About-Us/About-APEC/History.aspx pada 27 Mei 2015. Pkl 19.36 WIB54 Diakses dari http://www.apec.org/Press/Features/2014/APECafter25.aspx . Pada 27 Mei 2015. Pkl. 19.24 WIB
26
digelar dalam rentan waktu 1989 hingga 1992 merupakan pertemuan informal yang sifatnya
dialog pada level Senior Official dan Ministerial. Dan pada tahun berikutnya, 1993, APEC
memulai pertamemuan resmi perdananya yang pertama kali digagas oleh mantan presiden
Amerika Serikat Bill Clinton. Hal tersebut menandakan keseriusan para pemimpin Ekonomi
APEC untuk lebih mewujudkan misi APEC. Misi APEC yang tercantum dalam “APEC Mission
Statement” adalah;
“Our primary goal is to support sustainable economic growth and prosperity in the Asia-Pacific region.
We are united in our drive to build a dynamic and harmonious Asia-Pacific community by championing free and open trade and investment, promoting and accelerating regional economic integration, encouraging economic and technical cooperation, enhancing human security, and facilitating a favorable and sustainable business environment.” 55
Visi Misi yang tersebut di atas mengandung beberapa poin utama dan kunci utama dan
upaya pencapaian visi tersebut telah terangkum dalam kesepakatan Bogor Goals yakni;
“tercapainya perdagangan dan arus investasi asing yang bebas di kawasan Asia Pasifik pada
tahun 2010 untuk negara maju dan pada tahun 2020 untuk negara berkembang”.56 Dan untuk
memfokuskan pembahasan poin-poin tersebut APEC membagi beberapa badan dan forum di
setiap pertemuan tahunan yang diselenggarakan baik setahun sekali, maupun 4 kali pertemuan
dalam satu tahun. Pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa representatif Ekonomi APEC yang
terdiri dari para pelaku usaha, pemangku kebijakan, diplomat, menteri, dan berakhir pada
pengesahan hasil diskusi ataupun dialog oleh Presiden. Pembagian pertemuan dalam forum yang
ada di APEC adalah sebagai berikut;
1. Tingkat Kebijakan (policy level) 57
Dalam tingkat pertemuan oleh pemangku kebijakan terdapat 4 (empat) pembagian
pertemuan;
55 Diakses dari http://www.apec.org/About-Us/About-APEC/Mission-Statement.aspx Pada Senin, 19 Mei 2015. Pkl 23.55WIB56 Rangkuman dari APEC Secretariat, Singapore. 3 November 2003. Hlm. 3.57 Diakses dari http://www.apec.org/About-Us/How-APEC-Operates/Policy-Level.aspx pada Ahad, 7 Juni 2015. 08.54 WIB
27
APEC Economic Leader’s Meeting
Pertemuan ini adalah pertemuan tertinggi di APEC dan dihadiri oleh para pemimpin
Ekonomi APEC (Kepala Negara/Kepala Pemerintahan), para pemimpin Ekonomi
APEC memutuskan sebuah kesepakatan yang akan menjadi agenda kebijakan bagi
organisasi APEC. Sebagai contoh adalah 2009 Leaders' Declaration di Singapore
yang mengusung tema “Sustaining Growth, Connecting the Region”, dan pada tahun
2010 di Yokohama dengan tema “The Yokohama Vision; Bogor and Beyond, Change
and Action”. Dengan adanya tema yang di deklarasikan setiap tahunnya maka akan
mempermudah Ekonomi APEC dalam menyusun sebuah agenda dan rencana
pembahasan di setiap pertemuan.
APEC Ministerial Meeting
Dalam pertemuan ini, para Menteri Luar Negeri dan Menteri Ekonomi ataupun
Menteri Perdagangan menyelenggaran pertemuan untuk membahas agenda dan topik
pembahasan di tahun tersebut, hasil dari pertemuan menteri ini kemudian menjadi
rekomendasi kebijakan dan di serahkan kepada para pemimpin Ekonomi APEC untuk
bisa dipertimbangkan. Oleh karena itu pertemuan ini digelar sebelum peretemuan para
pemimpin Ekonomi APEC.
Sectoral Ministerial Meeting
Pertemuan ini merupakan pertemuan yang lebih spesifik karena terdiri dari para
menteri yang memangku kebijakan di setiap sektornya. Beberapa sektor yang ada
dalam pertemuan ini adalah; pendidikan, lingkungan dan pembangunan, energi,
keuangan, Sumber Daya Manusia, IPTEK, Usaha Kecil dan Menengah, Teknologi dan
Informasi, pariwisata, perdagangan, perhubungan, serta peran wanita/pemberdayaan
wanita. Hasil dari pertemuan ini juga diserahkan kepada para pemimpin Ekonomi
APEC untuk kemudian dipertimbangkan.
APEC Business Advisory Council (ABAC)
28
ABAC dibentuk dari kesepakatan para pemimpin Ekonomi APEC untuk
menghadirkan ahli bisnis dari institusi swasta yang diharapkan bisa memberikan
rekomendai kebijakan terhadap permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi. ABAC
mengadakan 4 kali pertemuan dalam satu tahun, anggota ABAC terdiri dari 3 (tiga)
orang Senior Bisnis dari perwakilan Ekonomi APEC. Pemimpin pertemuan ABAC
diambil dari Senior Bisnis dari Ekonomi yang menjadi tuan rumah pertemuan KTT
APEC. Meskipun ABAC merupakan badan swasta yang dapat memberikan
rekomendasi kebijakan kepada para pemimpin Ekonomi APEC namun agenda dan
topik pembahasan yang dibahas dalam pertemuan ABAC ditentukan oleh para
Pemimpin Ekonomi.58
2. Tingkat Pelaksanaan (working level)
Pertemuan tingkat pelaksana dalam APEC di arahkan oleh APEC Senior Official dari 21
Ekonomi APEC membahas mengenai beberapa aktivitas yang akan dilaksanakan APEC.
Proses berjalannya pertemuan di awali dengan arahan para Menteri kepada Pejabat Senior,
selanjutnya Pejabat Senior (senior officials) akan mengarahkan pertemuan pada tingkatan
Committee yang di selenggarakan sebanyak 3-4 kali dalam satu tahun pertemuan. Ada 4
(empat) komite tertinggi pada APEC working level, yakni; 59
Committee on Trade and Investment (CTI), (1993)
Komite yang terbentuk sejak tahun 1993 ini memiliki kewajiban mengurangi beberapa
hambatan yang dihadapi oleh APEC dalam meliberalisasikan perdagangan serta arus
investasi. Yang menjadi acuan oleh CTI adalah Osaka Action Agenda (OAA) 1995,
Agenda Osaka menyebutkan 15 bidang ekonomi yang menjadi pokok bahasan yakni;60
tariff, non-tariff, services, investment, standards and conformance, custom procedures,
intellectual property right, competition policy, government procurement, deregulation,
rules of origin, dispute mediation, mobility of business people, and implementation of
58 Diakses dari; http://www.apec.org/Groups/Other-Groups/APEC-Business-Advisory-Council.aspx pada Ahad, 7 Juni 2015. 08.54 WIB59 Diakses dari; http://www.apec.org/About-Us/How-APEC-Operates/Working-Level.aspx pada Ahad, 7 Juni 2015. 08.56 WIB60 Rangkuman dari APEC Secretariat, Singapore. 3 November 2003. Hlm. 6.
29
WTO Obligation. 15 Agenda tersebut kemudian diturunkan kepada pertemuan Sub-
Committes dan Experts Groups.
Senior Officials' Meeting Committee on Economic and Technical Cooperation (SOM
Committee on ECOTECH), (1988)
Tujuan utama dari komite ini adalah mengkoordinasi dan menyelerasksan beberapa
agenda APEC terkait permasalahan kerjasama ekonomi secara teknis. Hal ini
bertujuan untuk mempertahankan kondisi pertumbuhan ekonomi, meratakan tingkat
pembangunan, dan terus berupaya meningkatkan kemakmuran masyarakat di setiap
anggota Ekonomi APEC.
Economic Committee (EC), (1994)
Perbedaan mendasar Economic Committee dengan komite SOM on ECOTECH adalah
pada tingkat pelaksanaannya. Economic Committee hanya melakukan sebuah
penelitian menyeluruh tentang isu ekonomi yang nantinya akan menjadi agenda pokok
pembahasan APEC. Forum ini sekaligus menjadi tempat bertukarnya informasi dan
pandangan terkait permasalahan yang dihadapi di setiap anggota APEC.
Budget and Management Committee (BMC)
SOM memiliki agenda perekonomian yang menyangkut pengelolaan budget, isu
administratif serta isu lain terakit manajerial keuangan yang dihadapi oleh beberapa
Komite dan Working Groups APEC. Hasil pertemuan dalam komite BMC kemudian
dijadikan rekomendasi kebijakan untuk dibahas dalam pertemuan SOM agar lebih
efektif dan efisien.
Working Groups (WG)
Hasil dari pertemuan dalam Working Group APEC EC akan kembali dibahas dalam
beberapa sektor pertemuan lebih spesifik dan kemudian diarahkan oleh para Menteri-
Menteri APEC, Menteri-Menteri Sekotral APEC dan para pemimpin serta pejabat
senior APEC. Jenis-jenis Working Group yang berada di bawah arahan Sectoral
Ministerial Meeting mencakup beberapa bahasan; Agricultural Technical Cooperation,
Anti-Corruption and Transparency, Counter Terrorism, Emergency Preparedness,
30
Energy, Expert Group on illegal Logging and Associated Trade, Healt Working
Group, Human Resource Development, Ocean Fisheries, Small Medium Enterprises,
Telecommunications and Information, Tourism, Transportation.
SOM Special Task Groups/Ad-hoc Groups
Pejabat Senior APEC mengatur kelompok spesial yang dikhususkan untuk
mengidentifikasi masalah dan isu serta membua rekomendasi terkait sektor-sektor
penting untuk konsiderasi yang akan dibuat oleh APEC. Kelompok-kelompok Ad-hoc
juga telah dibuat untuk membantu memberikan informasi yang relevan atau untuk
memenuhi tugas-tugas penting yang tidak dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok
APEC lainnya.
Bagan berikut akan menjelaskan secara singkat struktur APEC beserta pembagian
pertemuan yang ada dalam APEC;
Gambar 2. Struktur APEC
Sumber; http://www.customs.go.kr/images/eng/news/news0503_01.gif
31
2.2 Peran Indonesia dalam APEC
Pada era Soeharto, kondisi perekonomian Indonesia yang lebih cenderung menganut pada
sistem perekonomian liberal. Pada masa awal rezim Orde Baru (1966-1998), pemerintah
Indonesia lebih cenderung kepada penyelesaian masalah penyelamatan perekonomian yakni
masalah manajemen pengendalian laju inflasi, pembenaran sistem administrasi untuk
menyelamatkan uang negara dan memperbaiki sektor perbankan serta cenderung kepada
peningkatan kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu, kebijakan ekonomi yang digagas oleh
presiden Soeharto lebih cenderung kepada upaya menarik modal dan investor dari negara-negara
barat untuk mengembangkan kondisi perekonomian Indonesia.61
Kebijakan yang mereformasi perekonomian dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi
makro yang signifikan tersebut disertai dengan meningkatnya arus investasi asing sebesar 11,9%
rata-rata pertahun pada periode 1973-1980an dan terus berlanjut menjadi 7,1% pada periode
1980-1991.62 Arus investasi tersebut dimaksudkan untuk mampu menopang industri manufaktur
dalam negeri sehingga pada masa Orde Baru, Indonesia hadir sebagai negara pengekspor sepatu,
tekstil, serta hasil industri manufaktur lainnya yang mampu meningkatkan GDP menjadi 20%
dari output nasional sejak tahun 1965 yang hanya mampu mencapai angka 8,4%.63
Paham ekonomi liberal pada masa Orde Baru menjadikan Indonesia turut serta dalam
beberapa kerjasama regional dan internasional baik yang bersifat politik maupun ekonomi,
bilateral juga multilateral. Upaya ini ditunjukkan dengan kembalinya Indonesia bergabung
dengan organisasi PBB pada 23 September 1966 yang fokus pada permasalahan perdamaian dan
keamanan dunia.64 Keseriusan Indonesia dalam menunjukan kemampuannya di kancah
internasional dibuktikkan dengan menjadi salah satu negara pendiri ASEAN pada 8 Agustus
1967.65 Selain pembentukkan ASEAN, Indonesia juga ikut andil dalam memprakarsai
terbentuknya kerjasama ekonomi regional seperti APEC pada 1989.
61 Diakses dari www.bbc.uk/indonesia/indepth/story/2008/01/ pada 11 Juni 2015, Pkl. 21.14 WIB62 World bank pada 11 Juni 2015, Pkl. 22.42 WIB63 Yanuar Nugroho.“Sekilas Profil Ekonomi Indonesia Setelah 28 Tahun Pembangunan”, dalam Majalah Wacana No. 3/ Juli-Agustus 1996. Hlm. 1.64 Diakses dari www.bbc.uk/indonesia/indepth/story/2008/01/ pada 11 Juni 2015 Pkl. 21.14 WIB65 Doiakses dari www.asean.org/asean/about-asean/history pada 12 Juni 2015, Pkl. 01.51 WIB
32
Bergabungnya Indonesia dengan kerjasama APEC merupakan salah satu cerminan
kebijakan pemerintah Indonesia yang bertujuan merealisasikan Keputusan Presiden menyangkut
kebijakan Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994).66 Hal ini sejalan dengan
kepentingan nasional indonesia pada saat itu yang mengutamakan pembangunan infrasutruktur
dan sektor industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau dikenal sebagai kebijakan
“Trilogi Pembangunan” yakni; stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-
hasil pembangunan.67
Selain kebijakan REPELITA yang bersinggungan dengan kepentingan nasional, faktor
lain yang menyebabkan Indonesia ikut andil dalam pembentukkan forum organisasi APEC
adalah kondisi konstelasi global pasca perang dingin yang tak lagi berkiblat pada Uni Soviet.
Saat berakhirnya perang dingin, seluruh negara yang bergabung dalam gerakan Non-Blok (Non-
Aligned Movement) terus berupaya menjaga stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri
khususnya dan dunia umumnya. Poin utama yang selalu disuarakan oleh negara-negara yang
tergabung dalam gerakan non-blok adalah mengenai;68
a) Mewujudkan perdamaian dunia;
Melakukan berbagai cara untuk mewujudkan perdamaian dunia untuk mencegah
timbulnya perang dunia selanjutnya
Membantu menyelesaikan masalah sengketa yang terjadi antar bangsa maupun
negara serta memperjuangkan kemerdekaan negara yang masih terjajah
Menentang adanya persekutuan militer dan pengadaan pengkalan militer asing di
dalam suatu negara
Menghilangkan kolonialisme, rasisme dan apartheid.
b) Mengembangkan sektor perekonomian;
66 -Repelita IV (1984-1989) memfokuskan kepada peningkatan sektor pertanian, penciptaan swasembada pangan dengan cara memperbaharui mesin-mesin untuk meningkatkan produksi pertanian serta penciptaan lapangan kerja. -Repelita V (1989-1994) memfokuskan kepada bidang transportasi dan sektor pendidikan dan kebijakan yang dihasilkan selalu bertumpu pada “Trilogi Pembangunan”.Dokumen lengkap REPELITA IV dan V di unduh dari www.bappenas.go.id67 Yanuar Nugroho.“Sekilas Profil Ekonomi Indonesia Setelah 28 Tahun Pembangunan”, dalam Majalah Wacana No. 3/ Juli-Agustus 1996.Hlm. 2.68 Diakses dari; www.nam.gov.za/backgroud/history.htm Pada 14 Juni 2015, 13 Juni 2015, Pkl 20.38 WIB
33
Upaya ini dilakukan dengan mengupayakan kemerdekaan setiap negara dalam
bidang perekonomian
Menjalin kerjasama antar negara maju dengan negara-negara berkembang yang
bertujuan memeratakan kondisi perekonomian agar tercipta sebuah perekonomian
dunia yang stabil.
Beberapa tujuan utama tersebut menjadikan negara-negara di beberapa kawasan
mendirikan sebuah organisasi regional, karena dengan bergabungnya negara dalam kerjasama
regional yang anggotanya terdiri dari negara maju dan negara berkembang, diharapkan bisa
menguatkan stabilitas negara baik dalam bidang politik serta ekonomi, layaknya APEC. APEC
menjadi organisasi regional yang diharapkan mampu membantu merealisasikan kebijakan dalam
maupun luar negeri Indonesia saat itu. Selain itu dengan berdirinya APEC merupakan sebuah
jawaban bagi beberapa negara yang diharapkan mampu mewujudkan keputusan-keputusan
dalam Uruguay Round. Dalam kesepakatan Uruguay Round Agreement, para menteri berhasil
menghasilkan kesepakatan GATT di akhir perang Dunia ke dua, walaupun dalam prakteknya
Urugay Round sering kali berakhir dengan jalan buntu.69
Indonesia yang saat itu sangat berambisi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
merasa membutuhkan sebuah kerjasama antar negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
APEC merupakan sebuah bentuk kerjasama yang dirasa dapat memenuhi kepentingan
pemerintah dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Karena dengan sebuah bentuk
kerjasama antar negara dalam kawasan regional yang lebih luas Indonesia bisa terus melakukan
kegiatan ekspor dan impornya ke berbagai Ekonomi anggota APEC. Dengan tanpa mengurangi
esensi dari sebuah kedaulatan negara, Indonesia membuka diri kepada negara-negara maju untuk
terus melakukan hubungan kerjasama ekonomi agar bisa meningkatkan kualitas dan produktifitas
sumber daya dalam negeri. Dan dengan adanya pembaharuan teknologi dan komunikasi dalam
negeri melalui skema kerjasama dengan negara maju tersebut, Indonesia berharap mendapatkan
efek positif dari aktifitas ekonomi yang tiada batas.70
69 Diakses dari; www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min98_e/slide_e/ur.htm , Pada 13 Juni 2015, Pkl 20.38 WIB70 Huala Adolf. 2011. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar. Keni Media; Bandung. Hlm. 1
34
2.2.1 Peran Aktif Indonesia dalam APEC
Indonesia merupakan negara yang memiliki letak strategis, secara geografis Indonesia
berada di antara samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Jalur laut merupakan jalur paling
berpengaruh dalam sejarah perdagangan yang hingga saat ini masih menjadi jalur pilihan negara-
negara dalam melakukan praktek transportasi (ekspor-impor) perdagangan antar negara. Oleh
sebab itu, negara yang berada di dalam jalur perdagangan, dan notabene terletak di pinggir pantai
akan menjadi negara pusat peradaban, pusat integrasi, serta pusat aktifitas perekonomian dunia. 71
Kesadaran pemerintah Indonesia tersebut kemudian diimplementasikan dengan keikutsertaan
Indonesia dalam beberapa kerjasama regional, bilateral, maupun multilateral di wilayah Asia
Pasifik.
Konsep kerjasama antar negara menjadi motif utama negara untuk mendapatkan
keuntungan yang melengkapi satu negara dengan yang lainnya atau David Ricardo menyebutnya
sebagai “comparative advantage”. Pembangunan ekonomi satu negara akan membutuhkan
negara lain untuk bisa memasarkan produknya, memenuhi kebutuhan dalam negeri yang tidak
terpenuhi karena ketidakmampuan pemerintah dan ketidaaan sumber daya. Dalam skema
kerjasama internasional pada umumnya dilakukan oleh negara maju dan negara berkembang
sekalipun, setiap negara mendapatkan keuntungan yang sebanding satu sama lain.72
Sebagai contoh, negara Indonesia pada saat itu memiliki REPELITA IV (1984-1989)
yang memfokuskan pada pertumbuhan sektor produksi pangan yang bertujuan mewujudkan
kemadirian dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Upaya ini dibarengi dengan adanya
penyediaan dan pembaharuan mesin-mesin agraria untuk meningkatkan hasil produksi pertanian.
Keuntungan Indonesia diperoleh dari banyaknya hasil ekspor produksi pangan ke negara-negara
yang tidak mampu memproduksinya. Di sisi lain, Indonesia juga mendapatkan keuntungan dari
adanya sistem kerjasama antar negara sehingga Indonesia bisa mengimpor mesin-mesin
pertanian yang belum bisa diproduksi dalam negeri, kondisi inilah yang disebut David Ricardo
sebagai “comparative advantage”.
71 http://www.gurusejarah.com/2014/10/terbentuknya-jaringan-nusantara-melalui.html Diakses pada 14 Juni 2015, Pkl 17.35 WIB72 Brad McDonald. “International Trade: Commerce among Nation”. Dalam International Monetary Fund [Database Online] (IMF, 2009-[dikutip pada 15 Juni 2015]); diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/basics/trade.htm
35
Selama keanggotaan dalam kerjasama regional APEC Indonesia telah menyumbangkan
kebijakan penting yang dijadikan pijakan utama di setiap pertemuan dalam APEC yakni Bogor
Goals. Kesepakatan yang dihasilkan pada pertemuan APEC tahun 1994 ini merupakan sebuah
sumbangan inspirasi terbesar dari Indonesia terhadap kerangka kebijakan APEC yang disepakati
bersama dan pada tahapan selanjutnya menjadi panduan umum bagi negara anggota untuk
diterapkan dalam kebijakan dalam negeri. Salah satu norma yang menjadi komitmen utama para
anggota Ekonomi APEC yang terangkum dalam Bogor Goals adalah mewujudkan arus
perdagangan bebas sesama anggota APEC yang tidak lagi dibebani oleh tarif ekspor/impor serta
meminimalisasikan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Di samping itu, komitmen tersebut
juga diharapkan mampu meliberalisasi perdagangan yang akan terus mengupayakan berbagai
cara untuk pengurangan, bahkan penghapusan tarif serta peningkatan arus investasi asing.73
Kontribusi Indonesia dalam kerjasama regional APEC terus berlanjut dengan pembentukkan
kerjasama APEC dalam hal menuntaskan masalah antikorupsi di tahun 2002, dan pada tahun
2005 Indonesia kembali menyumbangkan gagasannya dengan pembentukkan kerjasama
emergency preparedness (kesiaptanggapan bencana) sebagai respon dari bencana Tasunami
Aceh yang melanda Indonesia dan beberapa anggota Ekonomi APEC lainnya.
Keaktifan Indonesia untuk terus meningkatkan efektifitas dan fungsi kerjasama regional
APEC telah banyak memberikan dampak positif bagi kondisi dalam negeri dan seluruh Ekonomi
APEC. Menurut data yang dihimpun oleh Asian Development Bank (ADB) menyebutkan bahwa
beberapa anggota Ekonomi APEC yang tergolong dalam negara berkembang mampu
meningkatkan kondisi perekonomian dalam negeri karena adanya manfaat dari perdagangan
antar-anggota Ekonomi APEC, serta banyaknya permintaan pasar dalam negeri terhadap
pembelian barang dan jasa.74 Data lain menyebutkan bahwa kerjasama regional APEC mampu
mengurangi hambatan tarif di seluruh Ekonomi APEC dari angka 17% di tahun 1989 menurun
menjadi 5,8% pada tahun 2012.75
73“Assessment of Achievements of the Bogor Goals”. Dalam APEC [Database Online] (APEC,-[dikutip pada 15 Juni 2015]); diakses dari http://www.apec.org/About-Us/About-APEC/Achievements%20and%20Benefits/Bogor-Goals.aspx74 Xinhua. “Bogor Goals inspire APEC members to go beyond 2020”. Dalam Global Times [Database Online] (Global Times, 2013-[dikutip pada 15 Juni 2015]); diakses dari www.globaltimes.cn/content/815848.shtml75 APEC’s Bogor Goals Progress Report; APEC Policy Support Unit. August 2012.
36
Manfaat yang sangat dirasakan Indonesia dari keanggotaan APEC adalah pertumbuhan
total perdagangan Indonesia dengan Ekonomi APEC pada tahun 2011 mencapai angka 289,3
milyar dolar Amerika, angka tersebut sama dengan peningkatan sebanyak 10 kali lipat
dibandingkan dengan pada saat Indonesia baru bergabung dengan APEC 1989 yakni sebanyak
29,9 milyar dolar. Selain manfaat perdagangan yang terus meningkat, Indonesia juga
mendapatkan berbagai macam pelatihan, baik teknis maupun skill SDM, yang diharapkan terus
bisa menigkatkan kualitas dan produktifitas dalam negeri agar kesejahteraan masyarakat
Indonesia bisa diraih semaksimal mungkin dan merata secara keseluruhan.76 Oleh karena itu,
sejak awal pembentukkan APEC, Indonesia selalu beranggapan bahwa anggota Ekonomi yang
tergabung dalam APEC merupakan mitra kerjasama dagang yang memiliki potensi untuk
pengembangan beberapa sektor perekonomian dalam negeri.
Salah satu sektor yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dalam negeri adalah
sektor UMKM. Sektor perekonomian rakyat yang tak lagi diragukan kemampuannya dalam
menyesuaikan kondisi dan mampu untuk terus berinovasi sehingga dapat bertahan pada saat
kondisi krisis, hal inilah yang menjadikan UMKM sebagai salah satu pilar perokomian
nasional.77 Dalam kondisi pasar dunia, sektor usaha besar (ataupun kecil) lebih adaptif dan
kompetitif karena adanya proses dinamika pasar global, terlebih lagi dengan dukungan
lingkungan pemerintahan yang demokratis. Rezim demokratis lebih menguntungkan para
pengusaha besar karena lebih memilki banyak jalan dan keleluasaan untuk mengembangkan
serta mengaktualisasikan potensi positif yang dimiliki setiap pengusaha agar bisa ditingkatkan
secara optimal.78
Pada masa pemerintahan Orde Baru para teknokrat mengutamakan peningkatan pada
sektor perekonomian makro. Sikap ini disebabkan karena pada saat itu para teknokrat percaya
bahwa bahwa dengan mengutamakan pembangunan industri-besar (industri hulu) kesenjangan
dan kesejahteraan rakyat akan tumbuh seiring dengan adanya peningkatan perekonomian
76 Yuri O. Thamrin. “Peran Indonesia di APEC Disesuaikan Dengan Kondisi Internasional”. Dalam Tabloid Diplomasi [Database Online] (Tabloid Diplomasi, 2012-[dikutip pada 15 Juni 2015]); diakses dari http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/180-diplomasi-november-2012/1560-peran-indonesia-di-apec-disesuaikan-dengan-kondisi-internasional.html 77 “UMKM sebagai pilar perekonomian nasional”. Dalam Kabar Bisnis [Database Online] (Kabar Bisnis-Aneka Bisnis, 2009-[dikutip pada 16 Juni 2015]); diakses dari http://www.kabarbisnis.com/read/286263 78 Faisal H. Basri.(2002). Perekonomian Indoneisa; Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Bangsa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hlm. 207
37
nasional.79 Ketimpangan pemerintah dalam mendukung program pengembangan indutri hulu dan
hilir ini menjadikan UMKM mengalami keterlambatan untuk bisa dikembangkan dan
dipromosikan. Kondisi ketimpangan yang banyak menimbulkan aksi protes dari beberapa
kalangan ini juga diakui oleh Presiden Soeharto dalam pidato tanpa teksnya mengatakan;80
“Usaha besar di Indonesia telah tumbuh dengan baik, sebaliknya, usaha kecil dan menengah masih tertinggal. Ketinggalannya jauh, sehingga sekarang orang menilai, ini kesenjangannya terlalu jauh, sehingga seolah-olah pembangunan ini hanya menghasilkan kesenjangan, kecemburuan saja. Padahal ini merupakan fase yang harus kita hadapi
…
Kinilah fasenya untuk meningkatkan usaha menengah-kecil sedemikian rupa sehingga lambat laun menjadi dekat dengan yang besar”
Pidato Presiden tersebut kemudian menjadi acuan para pemangku kebijakan untuk terus
mengembangkan perekonomian demi menuntaskan kesenjangan dan mengusahakan pemerataan
kesejahteraan rakyat dengan lebih mengutamakan industri hilir. Perwujudan kesejahteraan yang
merata bukanlah hanya tanggung jawab birokrasi pemerintah, pemangku kebijakan serta badan
lain yang berkaitan namun juga merupakan tanggung jawab para pelaku usaha. Sehingga dalam
upaya menumbuh-kembangkan kondisi usaha kecil dan menengah, pemerintah mewajibkan para
usaha besar untuk memberikan dana sumbangan sebanyak 2 persen dari keuntungan yang
didapatkan baik secara rutin maupun hanya insindental. Hal tersebut dipandang sebagai bentuk
timbal balik dan hutang yang harus dibayar oleh para pengusaha besar untuk pemerintah yang
telah menjadikan sektor industri hulu berkembang dengan stabil pada masa itu.81
Tanggapan serius tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan pemerintah terkait
penyelesaian atas kondisi ketimpangan pertumbuhan ekonomi yang telah disahkan dalam
beberapa Undang-Undang, Undang-Undang tersebut diantaranya;82
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;79 Faisal H. Basri.(2002). Perekonomian Indoneisa; Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Bangsa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hlm. 20680 Ibid. Hlm. 208-20981 Ibid. Hlm. 20982 Faisal H. Basri.(2002). Perekonomian Indoneisa; Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Bangsa. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hlm. 335
38
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan berjangka Komoditi;
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat;
7. Perangkat hukum dan ketentuan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata 1356 mengenai persaingan usaha;
8. Kitab Undang-Undang Pidana Pasal 382;
Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, Indonesia semakin percaya untuk membuka
diri dalam persaingan pasar bebas. Karena dengan adanya payung hukum yang kuat diharapkan
bisa mengatur berbagai kemungkinan persaingan usaha akibat dari timbulnya kemitraan dalam
skala global, selain itu pemerintah Indonesia akan lebih mudah memaksimalkan peranannya
dalam mengontrol arus investasi asing untuk mengembangkan sektor industri, baik hulu maupun
hilir. Kesiapan sektor industri hulu dan hilir ini pula yang meyakinkan Indonesia untuk bisa
menyumbangkan kontribusinya dan terus berperan aktif dalam kerjasama regional APEC.
39
2.2.2 Keanggotaan Indonesia dalam SMEWG
Kontribusi Indonesia dalam menciptakan Bogor Goals telah menginspirasi para
pemimpin Ekonomi APEC. Setahun setelah pertemuan KTT APEC di Bogor terbentuklah
sebuah Badan khusus yang menangani permasalahan UMKM yang ada di negara anggota
Ekonomi APEC.
Keaktifan indonesia dalam SMEWG
Apa pentingnya SMEWG bagi indonesia
https://books.google.co.id/books?
id=wABE2A3U03gC&pg=PA120&lpg=PA120&dq=committee+on+trade+and+investment+AP
EC&source=bl&ots=BIJDTKUzui&sig=fw2yf9KG-f-MNiib-
TGnqAWNZZ4&hl=en&sa=X&ved=0CEcQ6AEwC2oVChMIkMeAhKuRxgIVI-
emCh08eAD5#v=onepage&q=committee%20on%20trade%20and%20investment
%20APEC&f=false
http://economy.okezone.com/read/2015/06/15/320/1165625/tahan-krisis-ekonomi-umkm-
layak-melantai-di-bursa
http://economy.okezone.com/
2.3 UMKM dan keikutsertaan Indonesia dalam APEC
a. Kondisi UMKM anggota APEC secara general
b. Pentingnya UMKM dalam APEC
40
2.3.1 Bagaimana kondisi UMKM pasca Indonesia bergabung dengan APEC
2.3.2 Pengaruh Forum SMEWG Dalam UMKM (General dan khususnya Indonesia)
41
42
BAB III
43
BAB IV
4.1 Hambatan Indonesia dalam pengimplementasikan kebijakan terkait pengembangan UMKM